Laporan Pati

24
Laporan Pati, Gula, dan Sukrokimia Bentuk Granula Pati dalam tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Dengan menggunakan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga dengan sifat birefringent-nya. Distribusi ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran granula pati yang kecil menyebabkan kekuatan pembengkakannya rendah. Bentuk mikroskopis granula menandakan sumber patinya. Bentuk dan ukuran granula pati dipengaruhi oleh sifat biokimia dari kloroplas atau amyloplasnya. Sifat birefringence adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning (Astuti 2013). Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas. Apabila suspensi pati dipanaskan sampai suhu 60-70 o C, granula pati yang berukuran relatif besar akan membengkak sangat cepat. Jika suhu pemanasan terus meningkat, granula yang lebih kecil ikut membengkak hingga seluruh granula pati membengkak secara maksimal. Pembengkakan ini terjadi akibat energi panas yang akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi (Pratiwi 2014). Ukuran granula pati berkaitan dengan seberapa banyak air yang dapat ditampung ketika pati mengalami proses pemanasan. Semakin besar ukuran granula, maka

Transcript of Laporan Pati

Page 1: Laporan Pati

Laporan Pati, Gula, dan Sukrokimia

Bentuk Granula

Pati dalam tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Dengan menggunakan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga dengan sifat birefringent-nya. Distribusi ukuran granula pati berpengaruh terhadap kekuatan pembengkakan pati. Ukuran granula pati yang kecil menyebabkan kekuatan pembengkakannya rendah. Bentuk mikroskopis granula menandakan sumber patinya. Bentuk dan ukuran granula pati dipengaruhi oleh sifat biokimia dari kloroplas atau amyloplasnya. Sifat birefringence adalah sifat granula pati yang dapat merefleksi cahaya terpolarisasi sehingga di bawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning (Astuti 2013).

Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas. Apabila suspensi pati dipanaskan sampai suhu 60-70oC, granula pati yang berukuran relatif besar akan membengkak sangat cepat. Jika suhu pemanasan terus meningkat, granula yang lebih kecil ikut membengkak hingga seluruh granula pati membengkak secara maksimal. Pembengkakan ini terjadi akibat energi panas yang akan menyebabkan ikatan hidrogen terputus, dan air masuk ke dalam granula pati. Air yang masuk selanjutnya membentuk ikatan hidrogen dengan amilosa dan amilopektin. Meresapnya air ke dalam granula menyebabkan terjadinya pembengkakan granula pati. Ukuran granula akan meningkat sampai batas tertentu sebelum akhirnya granula pati tersebut pecah. Pecahnya granula menyebabkan bagian amilosa dan amilopektin berdifusi keluar. Proses masuknya air ke dalam pati yang menyebabkan granula mengembang dan akhirnya pecah disebut dengan gelatinisasi, sedangkan suhu dimana terjadinya gelatinisasi disebut dengan suhu gelatinisasi (Pratiwi 2014).

Ukuran granula pati berkaitan dengan seberapa banyak air yang dapat ditampung ketika pati mengalami proses pemanasan. Semakin besar ukuran granula, maka air yang dapat ditampung akan semakin besar. Hal ini terkait dengan kapasitas penyimpanan air yang dimiliki pati dan mempengaruhi sifat pemasakan pati (Makfud 1982). Pengamatan bentuk granula pati pada praktikum ini dilakukan terhadap beberapa jenis pati yaitu pati singkong, kacang hijau, ganyong, ubi jalar putih, sagu, dan kentang. Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, terdapat variasi bentuk dari granula masing-masing pati yang diamati.

Menurut Kalsum dan Surfiana (2013), perbedaan ukuran granula pada pati singkong dapat dipengaruhi oleh kondisi dan waktu panen singkong. Ukuran granula pati singkong umumnya berukuran 4-35 μm, berbentuk oval, kerucut dengan bagian atas terpotong, dan seperti kettle drum. Banyak granula-granula pada pati singkong menunjukkan keberadaan hilum di bagian tengahnya. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, bentuk granula dari pati singkong yang dihasilkan adalah berbentuk oval dengan ukuran yang besar. Ukuran granula yang besar pada pati singkong menyebabkan lebih tingginya kemampuan granula untuk menyerap air.

Menurut Astuti (2013), bentuk granula pati kacang hijau adalah oval hingga bulat dengan diameter butiran 7-26 µm. Pati kacang hijau memiliki ukuran

Page 2: Laporan Pati

yang kecil sehingga menyebabkan rendahnya kemampuan dalam penyerapa air. Pada praktikum ini dihasilkan bentuk granula pati kacang hijau yaitu berbentuk spherical dengan ukuran granula yang kecil. Menurut Ratnaningsih et al (2011), pati ganyong mempunyai bentuk granula umumnya oval dengan ukuran granula yang cukup besar yaitu 10–80 μm. Berdasarkan hasil praktikum, granula pati ganyong yang diamati memiliki bentuk oval, besar, dan renggang. Granula yang besar mampu menyerap air lebih banyak dan granula yang renggang menyebabkan kecepatan penyerapan air lebih lambat akibat jumlah granula yang sedikit (Pratiwi 2014).

Pati ubi jalar memiliki bentuk granula halus, lonjong, dan poliogonal dengan ukuran sekitar 2-42 μm. Pati ubi jalar ini berdiameter 16 –25 μm dengan kandungan amilosa sekitar 15–25% (Pratiwi 2014). Hasil dari analisis mikroskopik bentuk granula ubi jalar putih pada penelitian Wigati dan Putri (2015) menunjukkan bahwa pada umumnya tepung ubi jalar dengan ketebalan 1 mm memiliki ketebalan dinding granula yang cenderung lebih tipis daripada tepung ubi jalar dengan ketebalan 3 mm. Pada tepung perlakuan ketebalan chips 1 mm, bentuk granula yang dihasilkan cenderung lebih renggang karena adanya proses pemecahan granula. Pemecahan granula ini yang dapat memperbaiki sifat dan karakteristik dari tepung ubi jalar, karena bentuk granula yang renggang akan mempermudah dalam pengikatan air dan pembentukan gel. Pada tepung ubi jalar putih, granula pati tampak terlihat utuh dan masih memiliki sifat birefriengence yaitu sifat granula pati yang dapat merefleksikan cahaya terpolarisasi, sehingga dibawah mikroskop polarisasi membentuk bidang berwarna biru dan kuning. Pada praktikum ini, bentuk granula dari pati ubi jalar putih yang dihasilkan adalah berbentuk oval dengan ukuran cukup besar dengan sebagian besar granula berwarna biru.

Granula pati sagu memiliki bentuk yang bervariasi dari bulat, lonjong (oval) hingga berbentuk oval terpotong. Untuk bentuk oval terpotong, bukan merupakan bentuk alami, tetapi lebih disebabkan karena rusaknya granula akibat proses pengecilan ukuran empulur sagu dalam proses ekstraksi pati. Hal ini ditunjukkan pada pengamatan mikroskopis, dimana ketika dilakukan pemanasan granula dengan bentuk oval terpotong langsung mengalami amylose leaching Ukuran granula pati sagu berkisar antara 5-62,5 μm. Pengembangan granula pati sagu dapat terjadi akibat pengeringan pada suhu yang lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pengeringan secara konvensional. Berdasarkan ukurannya, granula pati sagu lebih didominasi dan tergolong berukuran besar (Polnaya et al 2009). Pada praktikum ini, granula dari pati sagu yang dihasilkan berbentuk oval namun memiliki ukuran yang kecil. Ukuran granula yang kecil ini menyebabkan granula pati sagu akan memiliki waktu yang lebih lama untuk mengembang dikarenakan semakin kecil ukuran granula maka semakin rendah daya mengembangnya.

Granula pati kentang adalah yang terbesar ukurannya di antara pati-pati komersial, yaitu antara 5-100 μm. Bentuk granula kentang adalah bulat telur dan granulanya mempunyai hilum terletak di dekat ujung (Hardiyanti et al 2013). Pada praktikum ini, bentuk granula dari pati kentang yang dihasilkan adalah oval dengan ukuran yang besar dan memiliki kerapatan yang tinggi. Kerapatan yang tinggi ini menyebabkan rendahnya kemampuan granula dalam pengikatan air dan

Page 3: Laporan Pati

pembentukan gel. Selain itu, semakin rapat granula pati membuktikan bahwa pati masih belum terjadi pemecahan granula pada pati (Astuti 2013).

Page 4: Laporan Pati

Kadar Pati

Pati memiliki bentuk kristal, bergranula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan, dan memiliki ukuran dan bentuk tergantung pada jenis tanamannya. Pati digunakan sebagai pengental dan penstabil dalam makanan. Pati alami (native) mudah mengalami sineresis (pemisahan air dari struktur gelnya) akibat terjadinya retrogradasi pati, terutama selama penyimpanan dingin. Retrogradasi terjadi karena kecenderungan terbentuknya ikatan hidrogen dari molekul-molekul amilosa dan amilopektin selama pendinginan sehingga air akan terpisah dari struktur gelnya. selain itu, pati alami juga memiliki kestabilan dan ketahanan pasta yang rendah( Winarno 2002).

Kadar pati dari suatu bahan pangan dapat diketahui dengan menggunakan metode Luff Schoorl. Prinsip dari penetapan kadar pati dengan metode Luff Schoorl adalah gula pereduksi (glukosa dan matosa) dapat mereduksi Cu2+

menjadi Cu+. Kemudian sisa Cu2+ yang tidak tereduksi dititrasi secara iodometrik. Jumlah Cu2+ asli ditentukan dalam suatu percobaan blanko dan dari penetapannya dapat ditentukan jumlah gula dalam suatu bahan pangan yang dianalisis. Kadar pati merupakan kriteria mutu dan kualitas dari pati murni yang dihasilkan (Krisna 2011). Pada praktikum ini dilakukan uji kadar pati pada berbagai jenis tepung yang meliputi tepung ketan hitam, tepung ubi jalar ungu, tepung ubi jalar merah, tepung pisang, tepung talas, dan tepung kacang hijau.

Ketan hitam memiliki kadar pati yang tinggi yaitu sekitar 80-85%. Ketan hitam juga mengandung protein, vitamin (terutama pada bagian aleuron), mineral, dan air. Tepung ketan memiliki amilopektin yang lebih besar dibandingkan dengan tepung-tepung lain. Amilopektin inilah yang menyebabkan tepung ketan hitam lebih pulen dibandingkan dengan tepung lainnya. Makin tinggi kandungan amiloktin pada pati maka makin pulen pati tersebut (Soeharto 2012). Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, kadar pati yang dihasilkan berbeda signifikan dengan literatur tersebut yaitu hanya sebesar 38,19%. Hasil yang berbeda ini dapat disebabkan akibat perubahan warna yang berbeda antar kelompok karena tidak adanya ketetapan warna hasil titrasi. Selain itu, hasil praktikum ini menunjukkan bahwa tepung ketan hitam yang digunakan memiliki kandungan pati yang lebih rendah dari ketan hitam pada umumnya.

Kadar pati tepung pisang umumnya memiliki rentang antara 65,98 - 70,29%. Tepung pisang dengan perlakuan pemanasan menyebabkan turunnya kadar pati dari tepung tersebut hingga rentang 62,12-64,81%. Pemanasan menyebabkan reduksi kandungan pati akibat gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati ini menyebabkan substansi kerusakan pati yang menunjukkan peningkatan level kerusakan pati. Peningkatan level kerusakan pati berkorelasi positif dengan peningkatan daya cerna dan kadar amilosa (Jenie et al 2012). Pada praktikum ini, kadar pati tepung pisang yang digunakan berbeda signifikan dengan tepung pisang literatur yaitu memiliki kadar pati sebesar 34,2%. Hasil yang berbeda ini dapat disebabkan akibat perubahan warna yang berbeda antar kelompok karena tidak adanya ketetapan warna hasil titrasi. Selain itu, hasil praktikum ini menunjukkan bahwa tepung pisang yang digunakan memiliki kandungan pati yang lebih rendah dari tepung pisang pada umumnya.

Page 5: Laporan Pati

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Yasni et al (2009), kadar pati tepung ubi jalar ungu umumnya berkisar 65%-70%. Hasil praktikum menunjukkan bahwa kadar pati ubi jalar ungu yang digunakan memiliki kadar pati yang masih berada pada rentang tersebut yaitu 68,7%. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Setiawan (2011), tepung ubi jalar merah umumnya memiliki kadar pati berkisar antara 21-24%. Hasil praktikum menunjukkan bahwa hasil yang tidak berbeda signifikan dengan literatur yaitu sebesar 30,7%.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Witono et al (2012), komponen terbesar dari karbohidrat talas adalah pati yang mencapai 66-75 %. Pati umbi talas terdiri atas 17-28 persen amilosa, sisanya 72-83 persen adalah amilopektin. Hasil praktikum menunjukkan bahwa kadar pati yang dihasilkan pada praktikum berbeda signifikan dengan literatur yang ada yaitu hanya sebesar 20%. Hasil yang berbeda ini dapat disebabkan akibat perubahan warna yang berbeda antar kelompok karena tidak adanya ketetapan warna hasil titrasi. Selain itu, hasil praktikum ini menunjukkan bahwa tepung talas yang digunakan memiliki kandungan pati yang lebih rendah dari tepung talas pada umumnya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ladamay dan Yuwono (2013), kadar pati tepung kacang hijau umumnya berkisar antara 65-75%. Hasil praktikum menunjukkan bahwa kadar pati yang dihasilkan pada praktikum memiliki nilai yang berbada signifikan dengan literatur yaitu hanya sebesar 36,45%. Hasil yang berbeda ini dapat disebabkan akibat perubahan warna yang berbeda antar kelompok karena tidak adanya ketetapan warna hasil titrasi. Selain itu, hasil praktikum ini menunjukkan bahwa tepung kacang hijau yang digunakan memiliki kandungan pati yang lebih rendah dari tepung kacang hijau pada umumnya. Hasil penelitian dari Pratiwi (2014), menghasilkan kadar pati pada ubi jalar oranye sebesar 15.18%. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa kadar pati yang dihasilkan tidak berbeda signifikan dengan literatur yang ada yaitu sebesar 30,8%.

Dari keseluruhan kadar pati hasil praktikum, kadar pati terbesar dimiliki oleh tepung ubi jalar ungu dengan prosentase 68,7%. Kadar pati terendah pada praktikum ini dimiliki oleh pati talas yaitu sebesar 20%. Kadar pati praktikum yang memiliki nilai yang umumnya sama yaitu berkisar antara 30-38%. Tepung yang memiliki nilai hampir sama tersebut adalah tepung ketan hitam, tepung ubi jalar merah, tepung pisang, dan tepung hijau.

Page 6: Laporan Pati

Viskositas

Viskositas atau kekentalan adalah daya alir bahan terhadap suatu gaya maupun tekanan. Peningkatan penggelembungan granula oleh pengaruh panas akan meningkatkan viskositas suspensi pati sampai mencapai tingkat pengembangan maksimum atau viskositas maksimum (VM) yaitu viskositas puncak pada saat pati terjadi gelatinasi sempurna. Makin besar kemampuan mengembang granula pati maka viskositas pasta makin tinggi dan akhirnya akan menurun kembali setelah pecahnya granula pati. Suspensi pati bila dipanaskan, granula-granula akan menggelembung karena menyerap air dan selanjutnya mengalami gelatinasi dan mengakibatkan terbentuknya pasta yang ditandai dengan kenaikan viskositas pasta. Kenaikan viskositas ini disebabkan oleh terjadinya penggelembungan granula pati khususnya amilosa. Proses ini berlanjut terus hingga viskositas puncak pasta tercapai, kemudian viskositas menurun akibat gaya ikatan antara granula-granula pati yang telah mengembang dan tergelatinasi menjadi berkurang oleh pemanasan yang tinggi dan pengadukan yang keras (Imanningsih 2011).

Selain itu, akibat pemanasan ini struktur granula pati juga pecah sehingga menyebabkan penurunan viskositas pasta serta stabilitas viskositas pasta rendah. Ketahanan viskositas pasta pati terhadap gaya gesekan atau pengadukan berbeda untuk setiap jenis pati tergantung pada kekuatan ikatan hydrogen granula pati. Pati yang berasal dari akar, umbi dan pati amilosa rendah bila dimasak, granula patinya sangat mudah mengembang dan mudah pecah sehingga penurunan viskositasnya sangat besar dan menghasilkan pasta yang encer. Sebaliknya pati yang berasal dari serealia (jagung, gandum, sorgum dan beras), pemasakannya lebih lambat, pengembangan granula lebih rendah dan menunjukkan ketahanan yang lebih besar untuk melawan penurunan viskositas akibat pengadukan. Besarnya penurunan viskositas pasta setara dengan kemampuan mengembang dan kelarutan granula pati (Amin 2013).

Sifat viskositas beberapa macam pati dapat diamati dan dibandingkan dengan menggunakan alat Rapid Visco analyzer (RVA) untuk mengevaluasi sifat-sifat gelatinisasi pati selama proses pemasakan. RVA ini mengukur apparent viscosity berdasarkan rasio antara shear stress dan shear rate. Apparent viscosity berubah seiring dengan fungsi temperatur, gesekan, waktu dan jenis sampel. Data apparent viscosity diperoleh pada tingkat gesekan yang berbeda, berupa jumlah putaran per menit (rpm). Data ini dapat digunakan untuk mengkarakterisasi sifat dari larutan pati (Noviasari et al 2013).

Kurva yang dihasilkan oleh RVA memiliki karakteristik yang sangat khas. Sumbu x pada kurva ini adalah waktu, sedangkan sumbu y adalah viskositas (mPas). Selama pengukuran, cairan dipanaskan sambil diaduk. Gaya tahan cairan terhadap baling-baling pemutar diukur sebagai viskositas. Ada fase-fase dalam pengukuran dengan menggunakan RVA. Pada fase pertama kurva, suhu masih berada di bawah suhu gelatinisasi pati, sehingga viskositas yang terukur rendah. Pada fase kedua, suhu lalu ditingkatkan secara perlahan sampai mencapai suhu gelatinsasi pati, yaitu suhu di mana granula pati mulai membengkak dan viskositas meningkat. Peningkatan suhu dan viskositas ini dikenal dengan istilah suhu puncak dan viskositas puncak (peak viscosity) (Jannah 2013).

Page 7: Laporan Pati

Ketika sebagian besar granula pati membengkak, terjadi peningkatan yang cepat pada viskositas. Fase ketiga, saat temperatur-tetap meningkat dan pengadukan terus dilakukan (holding), granula pati akan pecah dan amilosa keluar dari granula ke cairan, yang menyebabkan viskositas menurun. Pada fase keempat, campuran kemudian didinginkan, yang menyebabkan asosiasi kembali antara molekul-molekul pati (setback), sehingga terbentuklah gel dan viskositas kembali meningkat hingga mencapai viskositas akhir (Imanningsih 2011). Jadi, pembengkakan pati selalu diikuti dengan peningkatan viskositas. Semakin besar pembengkakan granula, viskositas semakin besar. Setelah pembengkakan maksimum, dan granula pati pecah, dan pemanasan tetap dilanjutkandengan suhu konstan, maka akan terjadi penurunan viskositas akibat proses degradasi.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ratnaningsih et al (2011), pati ganyong memiliki viskositas puncak 9.30–10.6 cP dan pasta pati ganyong lebih stabil bila didinginkan dan mengalami peningkatan viskositas sampai 18.00 cP. Hasil praktikum yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pati ganyong yang diamati memiliki viskositas yang berbeda signifikan dengan literatur yaitu hanya sebesar 1.11cP. Hasil yang menyimpang pada praktikum ini disebabkan oleh pengangkatan pati pada saat pemanasan dengan kondisi pati belum tergelatinisasi sempurna.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hardiyanti et al (2013), viskositas pati kentang memiliki titip puncak pada 5.523 cP. Viskositas akhir pati kentang 3.252 cP sedangkan viskositas setback 0.480. Hasil praktikum yang telah dilakukan menunjukkan viskositas pati kentang memiliki nilai yang tidak berbeda signifikan dengan hasil penelitian tersebut yaitu sebesar 1.95 cP.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Jannah (2013), mengemukakan bahwa pati sagu memiliki viskositas puncak sebesar 41.895 cP, viskositas pasta panas sebesar 16.24 cP, dan viskositas pasta dingin sebesar 32.025 cP. Hasil praktikum yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pati sagu yang diamati memiliki nilai viskositas yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan literatur yaitu sebesar 1.63 cP. Hasil yang menyimpang pada praktikum ini disebabkan oleh pengangkatan pati pada saat pemanasan dengan kondisi pati belum tergelatinisasi sempurna. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmajana (2013), menyebutkan bahwa viskositas pati kacang hijau sebesar 1,714 cP. Hasil praktikum yang telah dilakukan memiliki hasil yang tidak berbeda signifikan dengan literatur tersebut yaitu sebesar 3.22 cP.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wigati dan Putri (2015), diketahui bahwa pati ubi jalar putih memiliki viskositas panas sebesar 29.67 cP dan viskositas dingin sebesar 11.064 cP. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dalam praktikum, dihasilkan nilai viskositas yang jauh di bawah dengan literatur tersebut yaitu sebesar 1.72 cP. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Armanto dan Nurasih (2008), dihasilkan viskositas pati singkong adalah 3,107-3,678 cP. Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diketahui bahwa viskositas pati singkong yang diamati memiliki viskositas yang masih berada dalam rentang literatur tersebut yaitu sebesar 3.19 cP.

Berdasarkan data hasil praktikum viskositas yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa pati yang memiliki viskositas tertinggi dimiliki oleh pati sagu yaitu sebesar 3,22 cP. Viskositas terendah yang dihasilkan pada praktikum ini dimiliki oleh pati ganyong yaitu sebesar 1,11 cP. Tingginya viskositas ini

Page 8: Laporan Pati

menunjukkan tingginya tingkat kekentalan dari suatu pati. Pati yang memiliki tingkat kekentalan yang sama dapat digunakan untuk substitusi satu sama lain (Imanningsih 2011).

Kejernihan Pasta

Pada saat terjadi gelatinasi akibat panas, maka suspensi pati yang mula-mula buram berangsur-angsur berkurang dan akhirnya menjadi jernih. Tingkat kejernihan pasta berhubungan langsung dengan pengembangan granula pati. Makin besar kemampuan mengembang granula pati maka pasta yang diperoleh lebih jernih, sebaliknya bila granula pati yang mengembang sedikit maka pasta yang dihasilkan menjadi buram. Kejernihan pasta juga berhubungan langsung dengan keadaan dispersi dan kecenderungan terjadinya gelatinasi ((Krisna 2011)).

Pratiwi (2014) mengemukakan bahwa perubahan granula pati dan struktur molekul oleh hidroksipropilasi dapat memfasilitasi penetrasi air dan absorbsi granula pati, sehingga menyebabkan pati mudah menggelembung dan meningkatkan kejernihan pasta. Hal ini berarti tersubtitusinya gugus hidroksipropil ke dalam granula pati, dapat menghambat terjadinya retrogradasi, yang berpengaruh pada kejernihan pasta pati. Meningkatnya kejernihan pasta pati disebabkan karena masuknya gugus subtitusi hidrofilik, yang mana menahan molekul air untuk membentuk ikatan hidrogen pada granula pati.

Mekanisme ini dapat dijelaskan sebagai berikut, pasta pati yang dipanaskan sampai melampaui suhu gelatinisasinya akan menyebabkan terlarutnya amilosa dari bagian pati ke bagian air. Pati yang tidak dimodifikasi memiliki suhu gelatinisasi yang paling tinggi diikuti dengan pati terasetilasi. Apabila kedua jenis pati ini dipanaskan hingga melampaui suhu gelatinisasi pati asalnya, maka amilosa yang terlarut pada pati yang dimodifikasi lebih banyak dibandingkan pati yang tidak dimodifikasi. Dalam hal ini pati terasetilasi memiliki amilosa terlarut paling banyak. Bila suhu pasta pati kemudian diturunkan hingga 25°C, amilosa terlarut cenderung berestrukturisasi/saling bergabung dengan amilosa yang lain (dikenal sebagai proses retrogradasi). Oleh karena itu, saat dianalisa dengan spektrofotometer, pada pasta pati yang dimodifikasi terdapat lebih banyak partikel-partikel amilosa sehingga menyerap lebih banyak sinar. Akibatnya adalah pasta pati yang dimodifikasi memiliki tingkat kekeruhan yang lebih tinggi daripada pati yang tidak termodifikasi (Amin 2013).

Kejernihan pasta pati digunakan untuk melihat tendensi retrogradasi yang terjadi pada pasta pati. Apabila pasta pati dibiarkan mendingin, lama kelamaan akan menjadi buram, karena proses retrogradasi dan akan dipercepat pada suhu rendah. Pati yang telah dimasak umumnya memiliki ciri khas rasa netral, kejernihan yang tinggi, kekuatan mengikat yang tinggi, tekstur baik dan kecenderungan minim terjadinya busa atau perubahan warna menjadi kuning pada larutan tersebut (Armanto dan Nurasih 2008).

Penelitian Jannah (2013) melaporkan pati yang memiliki nilai kejernihan pasta tinggi menghasilkan pasta pati dengan warna yang bening atau transparan, sehingga jika digunakan sebagai bahan baku akan menghasilkan produk dengan warna yang jernih atau transparan. Proses pemanasan yang dilakukan berulang-ulang dapat mempengaruhi kejernihan pasta. Semakin banyak pemanasan yang terjadi menyebabkan kejernihan pasta pati cenderung menurun. Pada praktikum

Page 9: Laporan Pati

ini dilakukan pengukuran kejernihan pasta pati meliputi pati singkong, pati kacang hijau, pati ubi jalar putih, pati ganyong, pati sagu, dan pati kentang.

Pada praktikum ini, tingkat kejernihan pasta dilakukan dengan mengukur tingkat kekeruhan dengan menggunakan alat spektrofotometer. Semakin tinggi nilai transmittan, menunjukkan bahwa suatu bahan memiliki warna yang semakin keruh yang berarti memiliki kejernihan yang semakin rendah. Perhitungan kejernihan pasta yang dilakukan menghasilkan bahwa tepung yang memiliki kejernihan paling tinggi dimiliki oleh pati kacang hijau dengan prosentase transmittan sebesar 27,1%. Kejernihan pasta terendah yang berarti memiliki warna paling keruh dan nilai transmittan paling tinggi berdasarkan hasil praktikum dimiliki oleh pati kentang dengan prosentase sebesar 75%. Pasta lain yang memiliki kekeruhan tinggi adalah tepung sagu yang memiliki nilai transmittan sebesar 71%. Pati yang diamati lainnya yaitu pati ganyong, singkong, dan ubi jalar putih memiliki tingkat kekeruhan pada selang 35-55%.

Page 10: Laporan Pati

Kelarutan dalam air

Kelarutan pati terbatas di dalam air. Kemampuan pati untuk membentuk tekstur yang kental dan gel akan menjadi masalah apabila dalam proses pengolahan diinginkan konsentrasi pati yang tinggi namun tidak diinginkan kekentalan dan struktur gel yang tinggi. Menurut Jannah (2013), kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu, serta kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap pati. Pola kelarutan pati dapat diketahui dengan cara mengukur berat supernatan yang telah dikeringkan dari hasil pengukuran swelling power. Solubilitas atau kelarutan pati tapioka lebih besar dibandingkan pati dari umbi-umbi yang lain. Penelitian yang dilakukan Kalsum dan Surfiana (2013) menyatakan bahwa kelarutan pati terkait dengan kemudahan molekul air untuk berinterkasi dengan molekul dalam granula pati dan menggantikan interaksi hidrogen antar molekul sehingga granula akan lebih mudah menyerap air dan mempunyai pengembangan yang tinggi. Adanya pengembangan tersebut akan menekan granula dari dalam sehingga granula akan pecah dan molekul pati terutama amilosa akan keluar.

Selain itu, pati serealia dan biji-bijian mengalami retrogradasi (kristalisasi) lebih cepat daripada pati dari umbi-umbian. Pati serealia dan biji-bijian mempunyai sifat pengembangan granula dan pelarutan pati yang terbatas disebabkan hubungan antar molekul yang kuat. Pada umumnya pati dari akar atau batang mempunyai tingkat pelarutan pati yang lebih besar. Hal ini menunjukkan pati dari akar atau batang mempunyai derajat ikatan antar molekul pati yang lebih rendah daripada pati serealia, sedangkan pati dari umbi umbian mempunyai tingkat pengembangan granula dan pelarutan yang tinggi (Pratiwi 2014).

Hasil pengujian yang telah dilakukan oleh Noviasari et al (2013), juga menunjukkan bahwa terjadi trend peningkatan kelarutan dalam air sesuai dengan semakin tingginya konsentrasi dan suhu pemanasan. Karakteristik kelarutan pati dan produk-produk turunannya berkaitan dengan panjang polimer pati. Semakin rendah panjang polimer rantai pati, maka akan semakin tinggi kelarutannya. Ketika pati dipanaskan dalam air yang berlebih, ikatan hidrogen yang akan menstabilkan struktur pati, kemudian putus dan digantikan oleh ikatan hidrogen antara pati dan air. Hal inilah yang mengakibatkan granula pati mengembang dan memudahkannya untuk larut di dalam air. Dibandingkan dengan pati asal, dekstrin (produk turunan pati) memiliki kelarutan dalam air yang lebih tinggi dan kekentalan yang lebih rendah. Kelarutan dalam air yang tinggi, menunjukkan jumlah dekstrin yang tinggi juga. Menurut Polnaya et al (2009), semakin lama waktu proses modifikasi pati, akan semakin banyak senyawa amilopektin yang tereduksi sehingga pati yang dihasilkan semakin mudah larut ke dalam air dan mengakibatkan kenaikan persentase kelarutan. Selama hidrolisis tejadi pemotongan ikatan a-(1,4) glikosidik secara acak sehingga dihasilkan oligosakarida, maltosa dan glukosa yang mudah larut dalam air.

Pada praktikum ini dilakukan pengujian kelarutan terhadap beberapa pati yaitu pati singkong, pati kacang hijau, pati ubi jalar putih, pati sagu, pati ganyong, dan pati kentang. Pati yang berasal dari akar ataupun batang yang berarti memiliki tingkat pelarutang yang tinggi pada praktikum ini dilakukan terhadap singkong, ubi jalar putih, sagu, ganyong, dan kentang sedangkan pati yang berasal dari

Page 11: Laporan Pati

serealian yang memiliki tingkat kelarutan yang rendah dilakukan terhadap pati kacang hijau.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kalsum dan Surfiana (2013), nilai kelarutan ubi kayu berkisar antara 55,12 % - 81,36 %. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi dan suhu pemanasan sangat memengaruhi karakteristik kelarutan dalam air pati ubi kayu. Dibandingkan dengan pati asal, dekstrin (produk turunan pati) memiliki kelarutan dalam air yang lebih tinggi dan kekentalan yang lebih rendah. Nilai kelarutan ubi kayu yang dilakukan pada praktikum memiliki nilai yang tidak berbeda signifikan dengan literatur tersebut yaitu sebesar 76.7%.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Ladamay dan Yuwono (2014), kelarutan kacang hijau dalam air sebesar 19,04%. Hal ini dikarenakan pati yang berasal dari serealia memiliki derajat ikatan antar molekul pati sehingga memiliki kelarutan yang rendah. Hasil praktikum menunjukkan bahwa pati kacang hijau memiliki nilai kelarutan yang berbeda signifikan dengan hasil penelitian tersebut, yaitu sebesar 83.3%. Hasil yang menyimpang ini dapat terjadi akibat suhu pemanasan dan pengadukan yang tidak bisa dijaga konstan sehingga proses pelarutan pati dalam air kurang sempurna.

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan oleh Wigati dan Putri (2015), kelarutan pati ubi jalar putih pada suhu 60 oC memiliki kelarutan 66.5-76.20%, pada suhu 70oC berkisar antara 73,23-80,29% dan Pada suhu 80 oC berkisar antara 72,28-80,15%. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka ikatan antar molekul pati dapat diputus sehingga menghasilkan kelarutan yang makin tinggi. Pada praktikum ini, dilakukan kelarutan pati ubi jalar putih pada suhu 70 oC dan menghasilkan kelarutan berbeda signifikan dengan literatur yaitu sebesar 43.3%. Hasil yang menyimpang ini dapat terjadi akibat suhu pemanasan dan pengadukan yang tidak bisa dijaga konstan sehingga proses pelarutan pati dalam air kurang sempurna.

Dari keseluruhan pengamatan kelarutan pati yang telah dilakukan, hasil praktikum menunjukkan bahwa kelarutan tertinggi dimiliki oleh pati kacang hijau yaitu sebesar 83,33%. Kelarutan terendah pada praktikum ini dimiliki oleh pati sagu yaitu sebesar 20%. Hasil ini menyimpang dengan literatur dari Pratiwi (2014) yang menyebutkan bahwa serealia memiliki kelarutan yang rendah akibat ikatan antar molekul pati yang kuat.

Daya Serap Air (Swelling Power) Swelling power merupakan kenaikan volume dan berat maksimum pati

selama mengalami pengembangan di dalam air. Swelling power menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang dalam air. Swelling power yang tinggi menunjukkan semakin tinggi pula kemampuan pati mengembang dalam air. Nilai swelling power perlu diketahui untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan dalam proses produksi sehingga jika pati mengalami swelling, wadah yang digunakan masih bisa menampung pati tersebut (Amin 2013).

Faktor-faktor yang mempengaruhi daya serap pati dalam air antara lain rasio amilosa-amilopektin, distribusi berat molekul dan panjang rantai, serta derajat percabangan dan konformasinya. Semakin besar sweeling power berarti semakin banyak air yang diserap selama pemasakan. Hal ini berkaitan dengan kandungan amilosa dan amilopektin yang terkandung dalam tepung. Semakin

Page 12: Laporan Pati

tinggi kadar amilosa maka nilai pengembangan volume akan semakin tinggi. Hal itu karena dengan kadar amilosa yang tinggi maka akan menyerap air lebih banyak sehingga pengembangan volume juga semakin besar. Sifat swelling pada pati sangat tergantung pada kekuatan dan sifat alami antar molekul di dalam granula pati, yang juga tergantung pada sifat alami dan kekuatan daya ikat granula (Krisna 2011).

Swelling power terjadi karena adanya ikatan nonkovalen antara molekul-molekul pati. Bila pati dimasukkan ke dalam air dingin, granula pati akan menyerap air dan membengkak. Namun demikian, jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Ketika granula pati dipanaskan dalam air, granula pati mulai mengembang (swelling). Swelling terjadi pada daerah amorf granula pati. Ikatan hidrogen yang lemah antar molekul pati pada daerah amorf akan terputus saat pemanasan, sehingga terjadi hidrasi air oleh granula pati. Granula pati akan terus mengembang, sehingga viskositas meningkat hingga volume hidrasi maksimum yang dapat dicapai oleh granula pati. Ketika molekul pati sudah benar-benar terhidrasi, molekul-molekulnya mulai menyebar ke media yang ada di luarnya dan yang pertama keluar adalah molekul-molekul amilosa yang memiliki rantai pendek. Semakin tinggi suhu maka semakin banyak molekul pati yang akan keluar dari granula pati. Selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa (Setiawan 2011). Selain itu, Jenie et al (2012) juga melaporkan selama pemanasan akan terjadi pemecahan granula pati, sehingga pati dengan kadar amilosa lebih tinggi, granulanya akan lebih banyak mengeluarkan amilosa.

Swelling power juga dipengaruhi oleh ikatan antarmolekul penyusun pati. Dengan masuknya air ke dalam molukul pati, ikatan antar molekul pati akan melemah sehingga nilai swelling power pati lebih tinggi daripada pati alami. Hasil penelitian Hardiyanti et al (2013) mengatakan bahwa semakin kecil perbandingan pati dan air, maka semakin besar nilai swelling power. Selain itu, Swelling power juga dipengaruhi oleh keberadaan gugus amilosa sebagai salah satu komponen penyusun pati. Semakin lama waktu proses, maka semakin banyak amilosa yang tereduksi, sehingga penurunan jumlah amilosa tersebut mengakibatkan kenaikan swelling power. Menurut Winarno (2002), kandungan amilosa dan amilopektin juga akan berhubungan dengan daya serap air. Pati dengan kadar amilosa tinggi, dapat menyerap dan melepaskan air lebih cepat. Selain menyerap air lebih banyak, pati dengan kadar amilosa yang tinggi memiliki daya kembang yang lebih besar saat dimasak,s sehingga sering digunakan untuk produk ekstrusi.

Faktor lain yang berpengaruh adalah rentang ukuran granula pati yang terkecil dimiliki oleh pati gandum (2-35μm), diikuti dengan kapasitas penyerapan air yang paling kecil pula (40-42%). Semakin kecil ukuran granula pati, kapasitas penyerapan air semakin sedikit, dan menghasilkan nilai swelling index yang semakin rendah (Pratiwi 2014).

Pada praktikum ini dilakukan pengujian swelling power terhadap beberapa pati yaitu pati singkong, pati kacang hijau, pati ubi jalar putih, pati sagu, pati ganyong, dan pati kentang. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Armanto dan Nurasih (2008), nilai daya serap air ubi kayu berkisar antara 71%. Pada praktikum ini, nilai swelling power yang dihasilkan pada pengamatan ubi

Page 13: Laporan Pati

kayu berbeda signifikan dengan literatur yaitu hanya menghasilkan 6%. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Krisna (2011), pati kacang hijau memiliki nilai swelling power sebesar 43,6%. Pada praktikum ini, nilai swelling power pati kacang hijau yang dihasilkan pada pengamatan tidak berbeda signifikan dengan literatur yaitu sebesar 53%.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Wigati dan Putri (2015), pati ubi jalar putih memiliki nilai swelling power sebesar 66,3-98%. Pada praktikum ini, nilai swelling power pati ubi jalar putih yang dihasilkan pada pengamatan berbeda signifikan dengan literatur yaitu sebesar 1.66%. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Polnaya et al (2009), pati sagu memiliki nilai swelling power sebesar 97%. Pada praktikum ini, nilai swelling power pati sagu yang dihasilkan pada pengamatan berbeda signifikan dengan literatur tersebut dan hanya menghasilkan nilai swelling power sebesar 20.3%. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Hardiyanti et al (2013), pati kentang memiliki nilai swelling power sebesar 115,3%. Pada praktikum ini, nilai swelling power pati kentang yang dihasilkan pada pengamatan berbeda signifikan dengan literatur tersebut dan hanya menghasilkan nilai swelling power sebesar 57.7%.

Berdasarkan pengamatan swelling power ini, dapat diketahui bahwa pati kentang memiliki daya serap air yang paling tinggi dan pati ubi jalar putih memiliki daya serap air yang paling rendah. Hal ini tidak terlepas dari ukuran dan kerapatan granula pati. Ukuran pati yang besar dan memiliki kerapatan yang tinggi akan memiliki daya serap air yang tinggi pula yang pada praktikum ini pati kentang memiliki granula yang besar dengan tingkat kerapatan tinggi. Penyimpangan yang terjadi pada praktikum ini dapat disebabkan oleh suhu pemanasan dan pengadukan yang tidak bisa dijaga konstan sehingga proses pelarutan pati dalam air kurang sempurna.

Page 14: Laporan Pati

Amin Nur Azizah. 2013. Pengaruh Suhu Fosforilasi Terhadap Sifat Fisikokimia Pati Tapioka Termodifikasi. Skripsi. Program Studi Ilmu Dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Makassar

Armanto Rosida dan Nurasih Anita Sawitri. 2008. Kajian Konsentrasi Bakteri Asam Laktat dan Lama Fermentasi pada Pembuatan Tepung Pati Singkong Asam. Jurnal Agroteknologi, Volume 28, Nomor 3.

Astuti Yuli. 2013. Pengetahuan Bahan Pangan : Granula Pati. Tugas Terstruktur. Purwokerto (ID): Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman.

Darmajana DA. 2011. Pengaruh Konsentrasi Starter dan Konsentrasi Karagenan terhadap Mutu Yoghurt Nabati Kacang Hijau. Prosiding SnaPP2011 Sains, Teknologi, dan Kesehatan. Bandung : Balai Besar pengembangan teknologi tepat guna-LIPI.

Hardiyanti Rini, Rusmarilin Herla, dan Karo-Karo Terip. 2013. Karakteristik Mutu Mie Instan dari Tepung Komposit Pati Kentang Termodifikasi, Tepung Mocaf, dan Tepung Terigu dengan Penambahan Garam Fosfat. Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian, Volume 1, Nomor 3.

Imanningsih Nelis. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-Tepungan untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Jurnal Penel Gizi Makan Volume 35Nomor 1: halaman 13-22.

Jannah Miftakhul. 2013. Perbedaan Sifat Fisik Dan Kimia Yoghurt Yang Dibuat dari Tepung Kedelai Full Fat dan Low Fat dengan Penambahan Penstabil Pati Sagu pada Berbagai Konsentrasi. Skripsi. Surakarta (ID) : Program Studi Transfer S1 Gizi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

Jenie Betty Sri Laksmi, Putra Reski Praja, dan Kusnandar Feri. 2012. Fermentasi Kultur Campuran Bakteri Asam Laktat dan Pemanasan Otoklaf dalam Meningkatkan Kadar Pati Resisten dan Sifat Fungsional Tepung Pisang Tanduk (Musa Paradisiaca Formatypica). Jurnal Pascapanen Volume 9 Nomor 1: 18 – 26.

Kalsum Nurbani dan Surfiana. 2013. Karakteristik Dekstrin dari Pati Ubi Kayu yang Diproduksi dengan Metode Pragelatinisasi Parsial. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan Volume 13 Nomor 1: halaman 13-23

Krisna Dimas Damar Adi. 2011. Pengaruh Regelatinasi dan Modifikasi Hidrotermal terhadap Sifat Fisik pada Pembuatan Edible Film dari Pati Kacang Hijau. Tesis. Semarang (ID): Program Studi Magister Teknik Kimia, Universitas Diponegoro.

Ladamay Nidha Arfa dan Yuwono Sudarminto Setyo. 2014. Pemanfaatan Bahan Lokal dalam Pembuatan Foodbars (Kajian Rasio Tapioka : Tepung Kacang Hijau dan Proporsi CMC). Jurnal Pangan dan Agroindustri Volume 2 Nomor 1:67-78

Makfud Djarir. 1982. Deskripsi Pengolahan Hasil Nabati. Yogyakarta(ID): Agritech.

Noviasari Santi, Kusnandar Feri, dan Budijanto Slamet. 2013. Pengembangan Beras Analog dengan Memanfaatkan Jagung Putih. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan Volume 24 Nomor 2

Page 15: Laporan Pati

Polnaya FJ, Talahatu J, Haryadi, dan Marseno DW. 2009. Karakterisasi Tiga Jenis Pati Sagu (Metroxylon sp.) Hidroksipropil. Jurnal Agritech, Vol. 29, No. 2.

Pratiwi Arlinda. 2014. Pengaruh Konsentrasi Garam dan Lama Fermentasi Spontan terhadap Pembengkakan Granula, Kelarutan, Nilai Rehidrasi, Konsentrasi Terbentuknya Gel, Warna, dan Aroma Tepung Ubi Jalar Putih. Skripsi. Lampung (ID) : Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung.

Pusparani Tika, Sudarminto, dan Yuwono Setyo. 2014. Pengaruh Fermentasi Alami pada Chips Ubi Jalar (Ipomoea batatas) terhadap Sifat Fisik Tepung Ubi Jalar. Jurnal Pangan dan Agroindustri, Volume 2, Nomor 4 : 137-147

Ratnaningsih Nani, Nugraheni Mutiara, Handayani Titin Hera Widi dan Chayati Ichda. 2011. Perbaikan Mutu dan Diversifikasi Produk Olahan Umbi Ganyong dalam Rangka Peningkatan Ketahanan Pangan. Hasil Penelitian. Yogyakarta (ID): Jurusan Pendidikan Teknik Boga dan Busana, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Yogyakarta.

Setiawan Iwan. 2011. Pengaruh Tingkat Pencampuran Tepung Ubi Jalar Merah dengan Bekatul Padi Terhadap Karakteristik Biskuit yang Dihasilkan. Skripsi. Padang(ID): Program Studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Andalas.

Soeharto imam. 2012. Kajian pustaka : beras ketan hitam. [terhubung] http://eprints.uny.ac.id/9312/3/BAB%202%20-09512134014.pdf (27 April 2015)

Wigati Peni dan Putri Widya Dwi Rukmi. 2015. Sifat Fisiko Kimia Tepung Ubi Jalar Putih Termodifikasi Perendaman STPP (Kajian Konsentrasi dan Lama Perendaman). Jurnal Pangan dan Agroindustri Volume 3 Nomor 1: 186-192

Winarno. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta(ID): Gramedia Pustaka Utama.Witono JR, Kumalaputri AJ, Dan Lukmana HS. 2012. Optimasi Rasio Tepung

Terigu, Tepung Pisang, dan Tepung Ubi Jalar, serta Konsentrasi Zat Aditif pada Pembuatan Mie. Hasil Penelitian. Bandung (ID): Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Universitas Katolik Parahayangan.

Yasni Sedarnawati, Widowati Sri, Agustinisari Iceu. 2009. Pemanfaatan Ubi Jalar Ungu sebagai Bahan Produk Pangan Fungsional. Hasil penelitian. Bogor (ID): Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Page 16: Laporan Pati

Simpulan :Bentuk dan ukuran granula dipengaruhi oleh jenis bahan sehingga

memiliki ukuran yang spesifik. Bentuk, ukuran, dan kerapatan granula pati menentukan daya serap pati dalam air dan viskositas. Pati yang memiliki ukuran yang besar dan kerapatan yang tinggi mampu menyerap air lebih besar dan memiliki viskositas yang tinggi. Hasil praktikum menunjukkan bahwa bentuk granula pati umumnya oval dan pati yang memiliki granula berukuran besar dan rapat adalah pati kentang.

Kadar pati merupakan kriteria mutu dan kualitas dari pati murni yang dihasilkan. Kadar pati tertinggi dimiliki oleh tepung ubi jalar ungu dan terendah dimiliki oleh tepung talas.

Viskositas atau kekentalan adalah daya alir bahan terhadap suatu gaya maupun tekanan. Tingginya viskositas ini dapat disebabkan oleh pemanasan dan pengadukan dan menunjukkan tingginya tingkat kekentalan dari suatu pati. Pati yang memiliki tingkat kekentalan yang sama dapat digunakan untuk substitusi satu sama lain. Hasil praktikum menunjukkan pati yang memiliki viskositas tertinggi dimiliki oleh pati sagu dan terendah oleh pati ganyong.

Kejernihan pasta pati digunakan untuk melihat tendensi retrogradasi yang terjadi pada pasta pati. Pengukuran kejernihan pasta pati dilakukan menggunakan spektrofotometer dengan menghitung nilai transmittan. Semakin tinggi nilai transmittan, menunjukkan bahwa suatu bahan memiliki warna yang semakin keruh yang berarti memiliki kejernihan yang semakin rendah. Pada praktikum ini, pasta pati paling keruh dimiliki oleh pati kentang dan paling jernih oleh pati sagu.

Pati memiliki kelarutan yang terbatas dalam air. Hal ini berhubungan dengan tingkat kekuatan ikatan antar molekul pati yang bisa putus akibat pelarutan dalam air. Pada praktikum ini, kelarutan pati tertinggi dimiliki oleh pati kacang hijau dan terendah oleh pati sagu.

Swelling power (daya serap air) menunjukkan kemampuan pati untuk mengembang dalam air. Nilai swelling power digunakan untuk memperkirakan ukuran atau volume wadah yang digunakan dalam proses produksi sehingga saat terjadi swelling, wadah yang digunakan masih bisa menampung pati. Hal ini berhubungan dengan ukuran dan kerapatan granula pati. Hasil praktikum menunjukkan bahwa daya serap air tertinggi dimiliki oleh pati kentang dan terendah oleh pati ubi jalar putih.