Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007
-
Upload
murniantik -
Category
Documents
-
view
344 -
download
1
Transcript of Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Prestasi pembangunan hukum di Indonesia khususnya dalam
pembangunan materi hukum (legal substance) lebih didasarkan pada
prestasi jumlah undang-undang yang dihasilkan. Sebagai ilustrasi sejak
terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1997, pada era Presiden
Habibie jumlah undang-undang yang dihasilkan mencapai angka yang
cukup mencengangkan. Pada akhir tahun 1998-1999 hampir kurang
lebih 90-an undang-undang dapat diterbitkan. Namun demikian apakah
prestasi dari sisi kuantitas tersebut juga diikuti dengan telah
dipenuhinya unsur yuridis, filosofis dan sosiologis dari undang-undang
tersebut. Karena dengan telah dipenuhinya unsur tersebut akan dapat
membantu implementasinya dalam masyarakat. Dalam kenyataannya
jumlah undang-undang yang diterbitkan menjadi indikator suksesnya
Pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.
Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari uraian di atas adalah
apakah undang-undang yang dikeluarkan tersebut benar-benar
diperlukan oleh masyarakat; apakah kerangka berpikir atau landasan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
2
berpikir telah dibuat untuk memberikan justifikasi bahwa suatu
permasalahan sangat membutuhkan pengaturan dalam bentuk undang-
undang atau cukup dengan peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang; apakah sudah menjadi asumsi umum bahwa dengan
dikeluarkannya suatu undang-undang, maka dengan sendirinya
undang-undang tersebut akan berjalan efektif dan implementatif;
apakah sebelum menyusun rancangan undang-undang tersebut telah
diantisipasi kebutuhan-kebutuhan adanya peraturan pelaksanaan, atau
apabila tidak diperlukan aturan pelaksanaan maka bagaimana
merancang suatu undang-undang yang langsung dapat
diimplementasikan di dalam masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut sebenarnya dapat dijawab dengan melalui suatu penelitian
awal yang hasilnya nanti akan dituangkan dalam bentuk naskah
akademik sebagai dokumen pendukung dari suatu rancangan undang-
undang.
Sebagian orang berpendapat bahwa tidak semua undang-
undang memerlukan suatu naskah akademik, karena sifat
pengaturannya yang bervariasi. Namun sebagian lain berpendapat
bahwa naskah akademik merupakan suatu keharusan karena suatu
undang-undang mengandung substansi yang sifatnya abstrak dan
umum. Oleh karenanya tidak mudah bagi semua orang untuk
memahami dasar filosofis, dasar yuridis dan dasar sosiologis hanya
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
3
dengan menuangkan dalam konsideran Menimbang dari suatu undang-
undang.
Pengalaman dari berbagai pembahasan rancangan undang-
undang baik di tingkat interdep maupun di DPR memperlihatkan
tingkat kualitas dari rancangan undang-undang sedikit banyak
tergantung pada apakah instansi pemrakarsa menguasai permasalahan
dan landasan dasar urgensi diajukannya suatu rancangan undang-
undang. Namun diakui bahwa adanya suatu naskah akademik itu pun
juga belum menjadi jaminan suatu undang-undang dapat berjalan
efektif di masyarakat, karena masih terdapat pihak-pihak terkait lainnya
yang juga perlu mendukung agar pelaksanaan undang-undang dapat
berjalan sebagaimana mestinya. Namun adanya naskah akademik
dirasakan akan lebih menguntungkan bagi pemangku kepentingan,
karena paling tidak landasan berpikir mengenai urgensi kebutuhan
undang-undang yang akan dikeluarkan tetap dapat menjadi referensi
dikemudian hari.
Permasalahan lain sehubungan dengan kebutuhan adanya suatu
naskah akademik adalah adanya anggapan bahwa suatu rancangan
undang-undang yang diajukan oleh lembaga/instansi seolah-olah
menjadi hak paten dari instansi/lembaga yang bersangkutan. Hal
tersebut berimplikasi bahwa pembuatan naskah akademik diserahkan
kepada instansi/lembaga pemrakarsa apakah mereka menganggap
penting atau tidak untuk membuat naskah akademik. Bahkan seringkali
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
4
terjadi rancangan undang-undang dibuat terlebih dahulu berdasarkan
tuntutan masyarakat sesaat atau kebutuhan dari instansi/lembaga
untuk dapat lebih meningkatkan kewenangannya sendiri (ego sektoral).
Di kemudian hari apabila mereka menghadapi kesulitan dalam
pembahasan rancangan undang-undang tersebut, barulah naskah
akademik dibuat. Hal tersebut jelas kurang mencerminkan pembuatan
suatu undang-undang yang baik, yaitu memenuhi syarat filosofis,
sosiologis dan yuridis, karena terlihat instansi/lembaga tidak siap
dalam mengajukan suatu rancangan undang-undang. Kecenderungan
yang ada selama ini terjadi adalah semata-mata untuk mendapatkan
alokasi anggaran pembangunan dan secara paralel disusun rancangan
undang-undang atau jika dibutuhkan maka dibuat naskah
akademiknya.
Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur mengenai kebutuhan
dibuatnya naskah akademik. Pengaturan mengenai adanya suatu
naskah akademik tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun
2005 tentang Tata Cara Penyusunan RUU. RPP, Perpres yang hanya
mencantumkan kata “dapat”, kata “dapat” diartikan bahwa boleh
dibuat dan boleh tidak dibuat. Pengaturan tersebut perlu dikaji lebih
lanjut apakah kata “dapat” perlu diubah dengan kata “wajib”.
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 hanya mengatur
mengenai Tata Cara Penyusunan Rancangan Undang-Undang,
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
5
Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, yang
artinya hanya peraturan di tingkat pusat, sedangkan untuk Tata Cara
Penyusunan peraturan di tingkat daerah tidak diatur lebih lanjut. Pasal
27 UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang
berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan
Presiden, namun hingga kini Peraturan Presiden tersebut belum juga
lahir. Oleh karena itu, untuk penyusunan peraturan di tingkat daerah
belum ada aturan yang mewajibkan naskah akademik ada dalam setiap
penyusunan peraturan di tingkat daerah.
Walaupun ketentuan tentang pembuatan naskah akademik bagi
setiap penyusunan rancangan peraturan daerah belum ada
pengaturannya, namun untuk menjaga agar pelaksanaan atau
implementasi Perda tidak menjadi bermasalah di kemudian hari, perlu
adanya ketentuan yang menjaga proses pembentukan Perda supaya
dapat menampung dan sesuai dengan aspirasi masyarakat yang ada.
Pada kenyataannya, banyak sekali Perda yang dalam pelaksanaannya
tidak efektif di lapangan sehingga tujuan pengaturan dari suatu Perda
menjadi tidak terlaksana. Perda-perda tentang larangan membuang
sampah, perda-perda tentang larangan merokok di tempat umum dan
perda-perda yang membatasi aktivitas kaum perempuan yang banyak
diterbitkan di daerah-daerah dapat dijadikan contoh peraturan yang
sulit pelaksanaannya dan lemah penegakan hukumnya. Kelemahan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
6
pada pengundangan perda tersebut, umumnya, terjadi karena lemahnya
pemetaan masalah yang ingin ditangani dan lemahnya kemampuan
pembuat peraturan untuk memahami kondisi sosiologis masyarakat
yang hendak diatur melalui perda-perda tersebut. Jika penyusunan
perda-perda tersebut didahului dengan naskah akademik yang
memadai seharusnya kelemahan-kelemahan tersebut dapat lebih
teratasi.
B. Rumusan Permasalahan
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka
rumusan permasalahan yang akan dijawab dalam kajian ini adalah
sebagai berikut:
1. Sejauhmana urgensi pembuatan naskah akademik menjadi
prasyarat bagi instansi/lembaga untuk mengajukan suatu RUU dan
RAPERDA;
2. Bagaimanakah standar muatan naskah akademik yang ideal bagi
pengajuan suatu RUU dan RAPERDA;
3. Bagaimanakah seharusnya mekanisme pembentukan dan
penggunaan naskah akademik dalam pengajuan suatu RUU dan
RAPERDA
C. Tujuan dan Manfaat
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
7
Tujuan dan Manfaat dilakukannya kajian Kebijakan Penetapan
Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan Rancangan Undang-
undang adalah:
1. Mengetahui dan menganalisis tentang urgensi peran naskah
akademik sebagai prasyarat bagi proses penyusunan rancangan
undang-undang dan RAPERDA
2. Mengetahui dan menganalisis tentang standar muatan naskah
akademik yang ideal bagi pengajuan RUU dan RAPERDA.
3. Mengetahui dan menganalisis bagaimana seharusnya mekanisme
penyusunan naskah akademik dalam pengajuan RUU dan
RAPERDA
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dari Kajian ini lebih dibatasi kepada
permasalahan atau faktor-faktor yang terkait dengan kepentingan
pembuatan Naskah Akademik dalam penyusunan rancangan undang-
undang yang dibuat (di tingkat pusat), serta membandingkannya
dengan proses penyusunan rancangan peraturan daerah (tingkat
daerah)
E. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam pelaksanaan kajian ini
adalah :
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
8
a. Metode Pengumpulan Data :
1) Melaksanakan wawancara yakni mengadakan tanya jawab
langsung dengan responden atau informan penelitian (key
informan) yang dilakukan secara terstruktur dengan
menggunakan pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan
untuk memperoleh data primer yang relevan dan sistematis.
2) Studi pustaka: dengan mempelajari referensi untuk memperoleh
kerangka teoritis maupun teknis yang dapat dijadikan bahan
acuan dalam analisis dan pembahasan selanjutnya.
b. Metode Analisis Data :
Adalah metode analisis deskriptif yaitu dengan menjabarkan,
menganalisis dan membandingkan data atau informasi yang diperoleh
melalui konsep-konsep teori yang relevan.
F. Sistimatika Penulisan
Dengan latar belakang dan hakikat permasalahan serta tujuan
dan manfaat sebagaimana diuraikan di atas, maka kajian ini akan
disusun dengan sistimatika penulisan sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
9
Menguraikan tentang latar belakang, rumusan permasalahan, maksud
dan tujuan, ruang lingkup, kerangka konseptual, metodologi serta
sistematika penulisan kajian.
Bab II : Kerangka Pemikiran Naskah Akademik
Membahas mengenai landasan konseptual dan teori-teori yang
mengatur tentang naskah akademik dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan, selain itu membahas peraturan perundang-
undangan dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang naskah
akademik dan selain itu membahas tentang urgensitas penggunaan
Naskah Akademik dalam penyusunan RUU dan Raperda.
Bab III : Landasan Hukum Pengaturan Naskah Akademik
dalam Pembentukan Undang-Undang
Bab ini menguraikan dan menganalisis tentang pengaturan mengenai
penyusunan dan penggunaan Naskah Akademik, pengaturan tentang
Materi Naskah Akademik, serta Klausul Imperatif dalam Pengaturan
Naskah Akademik serta penempatan pengaturan Naskah Akademik
dalam Produk Hukum.
Bab IV : Analisis Permasalahan
Bab ini menguraikan dan menganalisis tentang perbandingan muatan
Naskah Akademik dari berbagai sumber, termasuk perbandingan di
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
10
beberapa negara. Selain itu menganalisis tentang penggunaan dan
peranan Naskah Akademik dalam pembentukan atau penyusunan
RUU/Raperda serta menganalisis tentang muatan standar suatu Naskah
Akademik yang ideal dan efektif bagi pembentukan RUU/Raperda.
Bab V : Kesimpulan dan Rekomendasi
Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan dan rekomendasi yang
perlu ditindaklanjuti bagi pembentukan dan penyusunan RUU dan
Raperda di masa mendatang.
G. Lokasi Pengumpulan Data
Untuk memperoleh informasi dan data terkait, maka akan
diadakan ke beberapa instansi terkait antara lain :
1. Kementerian/lembaga negara terkait di tingkat pusat seperti
Departemen Hukum dan HAM, Badan Pembinaan Hukum Nasional,
Komisi Hukum Nasional, Sekretariat Kabinet, Badan Legislatif DPR
RI;
2. Biro Hukum Pemerintah Daerah;
3. DPR dan DPRD;
4. Lembaga Penelitian dan Universitas.
H. Hasil yang Diharapkan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
11
Berupa laporan yang memuat rekomendasi tentang sejauhmana
peranan naskah akademik dalam proses penyusunan RUU/Raperda,
sehingga produk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkan
dapat diimplementasikan dan berlaku efektif di kemudian hari serta
memberikan gambaran secara umum tentang naskah akademik yang
ideal bagi penyusunan peraturan perundang-undangan.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
12
BAB II
URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM PENYUSUNAN RUU
A. Landasan Teoritis dan Konseptual tentang Naskah Akademik
Sejak Indonesia merdeka, perkembangan pembentukan sistem
dan proses legislasi nasional masih terus berjalan sesuai dengan
perkembangan pemikiran dan kesadaran politik warga negara. Di masa
Orde Baru, penentuan kebijakan dilakukan sangat terpusat dan berada
pada satu tangan. Iklim sosial politik yang melingkupi pemerintahan
saat itu telah menghadirkan atmosfer pemerintahan yang anti kritik.
Kondisi ini telah pula menghadirkan masyarakat yang minim
keterlibatannya dalam proses pengambilan kebijakan nasional termasuk
proses pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pasca reformasi, gagasan akan pentingnya partisipasi publik
dalam proses legislasi berkali-kali digulirkan oleh berbagai kalangan
sebagai perwujudan bentuk pelibatan masyarakat dalam penentuan
kebijakan yang akan mengikat mereka di mana pun berada. Namun,
sistem yang terbentuk selama pemerintahan Orde Baru telah
mewujudkan birokrasi pemerintahan yang seolah-olah tidak
mempedulikan keinginan masyarakat, bahkan proses pembentukan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
13
peraturan perundang-undangan dilakukan tanpa sandaran prioritas
yang jelas.
Berbagai kekeliruan yang terbentuk sebagai warisan masa lalu itu
diperparah dengan lemahnya pemahaman akan pentingnya peran
proses dan hasil legislasi dalam masa transisi. Ann dan Robert Siedman
dalam Legislative Drafting for Democratic Social Change mengingatkan,
dalam proses pembentukan undang-undang (law making process) ada
enam kategori penting yang harus diperhatikan: (1) a bill‟s origins, (2)
the concept paper, (3) prioritization, (4) drafting the bill, (5) research,
dan (6) who has access and supplies input into the drafting process.1
Dalam konteks Indonesia, keenam kategori tersebut dapat
ditinjau melalui, Pertama, asal-muasal rancangan peraturan perundang-
undangan. Dari mana suatu rancangan peraturan perundang-undangan
berasal sangat menentukan garis kebijakan yang hendak dicapai. Pasca
reformasi, berbagai rancangan peraturan perundang-undangan yang
kerap muncul dari masyarakat menandakan tingkat kesadaran
masyarakat yang membaik dalam proses pembentukan hukum negara.
Demikian pula dengan rancangan yang muncul melalui inisiatif DPR,
dari segi jumlah, RUU yang berasal dari inisiatif DPR jauh lebih banyak
dibanding dengan era sebelumnya. Apalagi bila mencermati rumusan
dan pergeseran paradigma yang ada dalam UUD 1945, DPR harus lebih
proaktif dalam membuat RUU.
1 Ann Seidman, Robert B. Seidman and Nalin Abeysekere, Legislative Drafting for Democratic
Social Change: A Manual for Drafters , (Boston: Kluwer Law International, 2001) hal. 22-24.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
14
Kedua, tersedianya naskah konsepsi atau naskah kebijakan. Secara
formal, sejak 1994 pemerintah Indonesia, melalui BPHN telah
menyadari kebutuhan suatu naskah kebijakan dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan sebutan naskah
akademik. Namun selama kurun waktu berjalan, aspek kegunaan
naskah akademik bisa dikatakan masih sebatas formalitas semata.
Dalam praktek, penyusunan naskah akademik dilakukan pada tahapan
yang berbeda-beda. Ada naskah akademik yang disusun sebelum
peraturan perundang-undangan dirancang, dan ada pula yang
dirumuskan setelah suatu rancangan undang-undang selesai dilakukan
proses drafting-nya. Bahkan ada pula yang baru mulai dibuat setelah
muncul permintaan dari anggota dewan agar pemerintah melengkapi
rancangan peraturan perundang-undangan yang disampaikan dengan
suatu naskah akademik. Akibatnya, naskah akademik yang
disampaikan semata-mata hanyalah sebagai pembenaran terhadap
norma yang telah dirancang dalam bentuk pasal-pasal, tanpa hasil
penelitian mendalam. Padahal, naskah akademik diperlukan guna
menjelaskan usulan RUU secara detail. Lebih dari itu, naskah akademik
diperlukan guna menjelaskan logika, alternatif pilihan kebijakan,
bahkan alasan yang mendukung pentingnya RUU dijadikan undang-
undang.
Ketiga, penentuan prioritas agenda pembahasan peraturan
perundang-undangan. Setelah diberlakukannya UU No. 10 tahun 2004,
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
15
prioritas legislasi nasional yang terwujud dalam Prolegnas (Program
Legislasi Nasional) telah menjadi salah satu tolok ukur baru bagi politik
hukum perundang-undangan negara.2 Dalam perkembangannya,
Prolegnas tidak hanya berperan sebagai rencana hukum pembentukan
dan penggantian peraturan perundang-undangan, melainkan sekaligus
sebagai pedoman mekanisme pembatan UU yang mengikat.3 Artinya,
setiap RUU yang akan dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR,
harus terlebih dahulu tercantum dalam Prolegnas. Menurut Mahfud
MD, suatu RUU dapat disisipkan ke dalam Prolegnas berdasarkan
kesepakatan antara DPR dan Pemerintah, sebagai pengecualian, dengan
mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu. Antara lain, (1) jika
Presiden mengeluarkan Perppu, (2) jika ada putusan MK yang
menyebabkan terjadinya kekosongan hukum atau menyebabkan
kompleksitas hukum tentang sesuatu, (3) jika ada perjanjian
internasional antara Indonesia dengan negara lain yang harus
diratifikasi dengan UU, dan (4) jika terjadi keadaan mendesak lainnya
yang memerlukan tindakan darurat yang harus dituangkan dalam UU. 4
Keempat, perancangan konsepsi RUU. Secara ideal, perancangan
konsepsi RUU dilakukan dengan merujuk pada naskah kebijakan yang
telah dirumuskan. Dengan demikian, RUU tersebut tidak hanya
2 Mahfud MD menganggap Prolegnas sebagai penjabaran politik hukum untuk mencapai tujuan
negara dalam periode tertentu, yang dibuat berdasarkan kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah.
Lebih lanjut, lihat Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata NegaraPasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:
LP3ES, 2007), hal. 60. 3 Ibid.
4 Ibid.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
16
memiliki sandaran argumentasi yang kuat karena dirumuskan
berdasarkan penelitian yang mendalam, tapi juga memiliki visi yang
lebih jelas dan mudah dipahami dengan alur pikir yang telah dibangun
dalam naskah kebijakannya. Hal ini tentu membutuhkan tenaga
perancang yang capable dalam menterjemahkan kebijakan yang abstrak
menjadi norma hukum yang mengikat umum. Namun, sumber daya
yang memiliki kapabilitas sebagai legislative drafter pun masih sangat
minim. Keterbatasan tenaga perancang ini, di beberapa tempat
berdampak pada perilaku duplikasi peraturan yang berlaku di daerah
lain.
Kelima, penelitian. Ann dan Bob Seidman membedakan antara
concept paper dengan research.5 Sebutan yang pertama ditujukan untuk
dokumen resmi pemerintah yang berisi pilihan kebijakan yang hendak
diterapkan sebagai acuan dalam merumuskan suatu konsepsi RUU,
sementara penelitian yang dimaksud adalah upaya untuk menemukan
problem sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat,
sehingga dalam proses perumusan rancangan peraturan perundang-
undangan menjadi jelas perilaku bermasalah yang mana yang hendak
diperbaiki.
Keenam, siapa yang memperoleh akses dalam proses
perancangan. Ketika masih dalam tahap perancangan di tangan
pemerintah, berbagai bentuk partisipasi masyarakat berbeda-beda di
5 Seidman, Op. Cit., hal. 24.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
17
setiap negara. Mulai dari bentuk konsultasi pemerintah hanya dengan
para elit politik tanpa melibatkan masyarakat, sampai dengan bentuk
penyampaian aspirasi masyarakat secara langsung dengan
mengusulkan suatu rumusan rancangan peraturan perundang-
undangan dengan naskah akademiknya. Artinya, terbukanya akses
tersebut dapat berawal dari inisiatif pemerintah dengan menyampaikan
rencana kebijakannya kepada publik untuk mendapatkan respons, bisa
juga dilakukan berdasarkan inisiatif masyarakat dengan melakukan
audiensi, atau bahkan demonstrasi untuk mempengaruhi kebijakan.
Keenam kategori sebagaimana diuraikan tersebut, jika diterapkan
dalam proses legislasi di Indonesia, akan menghadirkan tahapan
komprehensif dalam proses penyiapan rancangan peraturan
perundang-undangan yang mengacu pada politik hukum perundang-
undangan negara.6 Kategori yang perlu pengaturan secara khusus di
antara keenam kategori tersebut adalah soal ketersediaan naskah
kebijakan. Meskipun telah disebutkan dalam UU No. 10 tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Presiden No. 68 tahun 2005, pedoman penyusunan naskah akademik
tidak secara jelas diatur. Bahkan pada prakteknya, masyarakat dapat
menemukan format naskah akademik yang berbeda-beda.
6 Mahfud MD menguraikan polit ik hukum perundang-undangan terkait dengan pengaturan dalam
konstitusi yang mencakup rangkaian proses pembentukan peraturan perundang -undangan mulai dari
pembentukan peraturna perundang-undangan sampai dengan pengujiannya untuk mencapai tu juan
negara. Lihat Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), hal. 57.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
18
Jimly Asshiddiqie membedakan rancangan atau draft undang-
undang ke dalam kategori naskah akademik, naskah politik dan naskah
hukum.7 Suatu rancangan undang-undang masih berstatus sebagai
naskah akademik pada saat masih dalam tahap perencanaan dan masih
berada dalam lingkup tanggung jawab internal pemerintah.8 Naskah ini
kemudian berubah status sebagai naskah politis pada saat telah resmi
diputuskan oleh pemegang otoritas politik menjadi rancangan undang-
undang.9 Dan akhirnya, setelah mendapatkan pengesahan melalui
Rapat Paripurna DPR sebagai tanda dicapainya persetujuan bersama
atas Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang,
naskah ini kemudian disebut sebagai naskah hukum.10
Dalam Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 diuraikan pengertian
naskah akademik sebagai berikut:
“naskah akademik adalah naskah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi
latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan
dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan
Undang-Undang.”11
7 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 320. 8 Ibid, hal. 322.
9 Ibid, hal. 323.
10 Ibid, hal.326-327.
11 Pasal 1 butir 7 Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan
Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
19
Dari pengertian tersebut, Maria Farida menyimpulkan bahwa naskah
akademik seharusnya disusun sebelum rancangan undang-undangnya
terbentuk.12 Dengan demikian, penyusunan naskah akademik yang
dilakukan setelah rancangan undang-undangnya dirumuskan,
meskipun dapat dipertanggungjawabkan secara imiah, namun secara
fungsional kurang memberikan arah pengaturan peraturan perundang-
undangan. Bahkan dalam hal tertentu dapat dinyatakan bahwa
penyusunan naskah akademik yang demikian hanyalah bersifat
formalitas belaka dan sekadar memberikan justifikasi akademis bagi
pembentuk peraturan perundang-undangan terhadap rancangan yang
telah disusunnya.
Lebih lanjut, Maria Farida memandang pentingnya pembentukan
risalah pembahasan yang dilakukan selama proses pembentukan
peraturan perundang-undangan tersebut berlangsung untuk mengukur
kesesuaian antara peraturan perundang-undangan yang dibentuk
dengan pilihan kebijakan yang direncanakan dan terumuskan dalam
naskah akademiknya.13 Risalah ini juga berguna sebagai bahan evaluasi
untuk mengetahui alasan-alasan yang mendasari setiap rumusan dalam
peraturan perundang-undangan tersebut.14
B. Urgensi Penggunaan Naskah Akademik
12
Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-undangan 2: Proses dan Teknik Pembentukkannya,
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 249. 13
Maria Farida Ibid., hlm. 249. 14
Maria Farida Ibid., hlm. 249.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
20
Keunggulan naskah akademik menurut Jimly Asshiddiqie,
terletak pada pertimbangan-pertimbangan normatif yang mengandung
kebenaran ilmiah. Karena naskah rancangan akademik undang-undang
disusun sebagai hasil kegiatan penelitian yang bersifat akademik sesuai
dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang rasional, kritis, objektif
dan impersonal. Mengingat kegunaannya sebagai landasan berpikir
perumusan suatu rancangan perundang-undangan, maka para perumus
rancangan akademik harus dapat menggambarkan adanya berbagai
alternatif rumusan yang mungkin dipilih oleh pemegang otoritas politik
atas rancangan undang-undang itu, apabila terdapat beberapa
kemungkinan gagasan normatif.
Rancangan peraturan perundang-undangan yang disiapkan
pemerintah, lazimnya hanya terfokus pada bentuk atau format draft
RUU atau Raperda-nya saja. Padahal, menurut Ann dan Bob Seidman,
untuk memperkuat justifikasi terhadap substansi rancangan peraturan
perundang-undangan, perancang membutuhkan suatu laporan
penelitian, karena tiga alasan.15 Pertama, laporan penelitian yang
adequate akan memberikan pembenaran bagi proses pembentukan
kebijakan yang sedang berlangsung. Kedua, laporan penelitian atau
naskah akademik juga berfungsi sebagai peta yang akan memandu
perancang (drafter) dalam menghimpun dan mensistematisir kerangka
besar kebijakan yang akan diterapkan berdasarkan kondisi yang
15
Seidman, Op. Cit., hal.86.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
21
tersedia. Ketiga, kehadiran naskah akademik juga akan memastikan
bahwa perancang akan menyusun serangkaian norma yang terstruktur
secara logis.
Disamping itu, urgensi naskah akademik dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan antara lain juga untuk
memberikan gambaran bahwa rancangan undang-undang yang
bersangkutan tidaklah disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan
yang mendadak, atau karena pemikiran yang tidak mendalam.16
Dengan demikian, kehadiran naskah akademik berfungsi pula sebagai
quality control bagi suatu rancangan peraturan perundang-undangan.17
Hal ini terkait dengan berbagai informasi yang disediakan dalam
naskah akademik yang memberikan gambaran bagi para legislator dan
masyarakat pada umumnya perihal problem sosial yang akan
diperbaiki sebagai tujuan yang hendak dicapai dari diundangkannya
peraturan tersebut.18
Urgensitas pembuatan Naskah Akademik bagi pembentukan
peraturan daerah juga merupakan :19
1. Media nyata bagi peran masyarakat dalam proses pembentukan
peraturan daerah, bahkan inisiatif penyusunan Naskah
Akademik dapat berasal dari masyarakat. Hal ini merupakan
16
Asshiddiqie, Op. Cit., hal. 321. 17
Seidman., Op. Cit., hal. 86. 18
Ibid. 19
“Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif (Urgensi, Strategi dan Proses Bagi
Pembentukan Perda yang Baik) oleh Dr. Jazim Hamid i, SH, MH dan kawan-kawan. Penerbit Total
Media, Yogyakarta, hlm 51
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
22
keuntungan tersendiri, dengan terlibatnya masyarakat dalam
proses pembentukan peraturan daerah maka aspirasi-aspirasi
masyarakat akan lebih terakomodasi. Peran serta masyarakat ini
juga sesuai dengan perumusan Pasal 53 UU Nomor 10 Tahun
2004 jo Pasal 139 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
2. Bahwasanya bahwa Naskah Akademik memaparkan alasan-
alasan, fakta-fakta atau latar belakang tentang hal-hal yang
mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga
sangat penting dan mendesak diatur dalam peraturan daerah.
Aspek yang perlu diperhatikan dalam latar belakang ini adalah
aspek ideologis, politis, budaya, sosial, ekonomi, pertahanan dan
keamanan (ekspoleksosbudhankam). Manfaat dari informasi
yang ada di dalam latar belakang bagi pembentuk peraturan
daerah adalah mereka bisa mengetahui dengan pasti tentang
mengapa perlunya dibuat sebuah peraturan daerah dan apakah
peraturan daerah tersebut memang diperlukan oleh masyarakat.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
23
BAB III
LANDASAN HUKUM PENGATURAN NASKAH AKADEMIK
DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang merupakan dasar bagi pengaturan semua
pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak secara
khusus memberikan rumusan mengenai keberadaan naskah akademik
dalam pembentukan undang-undang ataupun peraturan perundang-
undangan lainnya. Namun dalam undang-undang tersebut terdapat
beberapa pasal yang memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden
yang pada muatannya mengatur soal naskah akademik.20
Peraturan Presiden yang di dalamnya mengatur soal naskah akademik
yang telah diterbitkan dalam rangka memenuhi perintah UU No. 10 Tahun
2004 adalah Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan
Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan
Presiden. Selain kedua Perpres tersebut dalam lingkup pemerintah juga
20
Satya Arinanto, Beberapa Catatan tentang Penyusunan Naskah Akademik, disampaikan dalam
Legal Draft ing Skills Train ing di Canberra, Australia 5 Juni – 26 Agustus 2006 dilaksanakan oleh
Australian Marine Science and Technology Limited bekerja sama dengan ANU College of Law The
Australian National University.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
24
terdapat panduan penyusunan naskah akademik yang dikeluarkan oleh
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yaitu Keputusan Kepala
BPHN No. G159.PR.00.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan
Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan. Namun, kelemahan
pada panduan ini adalah dikeluarkan sebelum lahirnya UU No. 10 tahun
2004. Dalam lingkup DPR juga terdapat pengaturan mengenai naskah
akademik yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib DPR yang terdapat
dalam Surat Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005-2006
Dari kesemua peraturan yang ada tersebut secara garis besar dapat
dibagi dalam dua bagian yaitu, pertama, ketentuan-ketentuan yang
mengatur soal mekanisme penyusunan dan penggunaan naskah akademik
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan serta kedua,
ketentuan-ketentuan yang mengatur materi muatan yang seharusnya ada
dalam setiap naskah akademik.
A. Pengaturan mengenai Mekanisme Penyusunan dan Penggunaan
Naskah Akademik
Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 memberikan definisi
mengenai naskah akademik dengan menyatakan bahwa naskah
akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan
penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup jangkauan,
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
25
obyek atau arah pengaturan RUU.21 Dari definisi di atas dapat diketahui
bahwa naskah akademik seharusnya dibuat sebelum rancangan
undang-undang terbentuk. Hal ini perlu ditegaskan, mengingat sering
kali terjadi naskah akademik dibuat justru setelah rancangan undang-
undangnya selesai dibuat.22
Selanjutnya Perpres No. 68 Tahun 2005 menunjuk pihak yang
seharusnya membuat naskah akademik. Disebutkan bahwa naskah
akademik dibuat oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Departemen
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-
undangan. Dan juga disebutkan bahwa pelaksanaan pembuatan naskah
akademik dapat diserahkan kepada pihak ketiga yaitu kepada
perguruan tinggi atau pihak lain yang memiliki keahlian mengenai hal
tersebut.23
Dalam Perpres No. 61 Tahun 2005 disebutkan forum-forum di
lingkup pemerintah dalam proses legislasi yang memerlukan naskah
akademik sebagai bahan pembahasan. Dalam Pasal 13 disebutkan
bahwa dalam hal Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah
Nondepartemen telah menyusun Naskah Akademik RUU, maka
Naskah Akademik tersebut wajib disertakan dalam penyampaian
perencanaan pembentukan RUU. Selanjutnya juga disebutkan bahwa
dalam hal RUU disertai naskah akademik, maka naskah akademik
21
Pasal 1 butir 7 Perpres No. 168 Tahun 2005. 22
Op. Cit., Maria Farida, hlm. 249. 23
Pasal 5 ayat (2) Perpres No. 68 Tahun 2005.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
26
dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi24 yaitu forum
dilaksanakannya upaya pengharmonisasian, pembulatan dan
pemantapan konsepsi RUU25 yang dapat melibatkan para ahli dari
lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik,
profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.26
Dalam lingkup DPR keberadaan naskah akademik juga
ditekankan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. DPR mensyaratkan setiap
pengajuan rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR,
Presiden atau DPD disertai dengan naskah akademik.27 Namun kalimat
dalam Peraturan Tata Tertib DPR tersebut tidak imperatif melainkan
tetap fakultatif yaitu: ”rancangan undang-undang... diajukan beserta
penjelasan, keterangan, dan/ atau naskah akademik.”28 Dengan
demikian, tidak berbeda terlalu jauh kewajiban penggunaan naskah
akademik baik di lingkungan pemerintah maupun DPR.
B. Pengaturan mengenai Materi Naskah Akademik
Pengaturan mengenai muatan naskah akademik dapat dilihat
dalam Perpres No. 68 Tahun 2005 dan dalam Keputusan Kepala BPHN
No. G159.PR.00.10 Tahun 1994. Dalam Perpres No. 68 Tahun 2005
ditegaskan bahwa naskah akademik paling sedikit memuat dasar
24
Pasal 16 ayat (2) Perpres No. 61 Tahun 2005. 25
Pasal 16 ayat (1) Perpres No. 61 Tahun 2005. 26
Pasal 16 ayat (3) Perpres No. 61 Tahun 2005. 27
Pasal 121 ayat (3) dan (4), Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 134 Surat Keputusan DPR RI No. 08/DPR
RI/I/2005-2006. 28
Pasal 121 ayat (5) Surat Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/ I/2005-2006.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
27
filosofis, sosiologis, yuridis, pokok dan ruang lingkup materi yang akan
diatur.
Sedangkan dalam Keputusan Kepala BPHN No. G159.PR.00.10
Tahun 1994 muatan yang diharapkan ada dalam suatu naskah akademik
dibuat lebih rinci, yaitu: (1) hasil inventarisasi hukum positif (2) hasil
inventarisasi permasalahan hukum yang dihadapi (3) sebab-sebab
diperlukannya peraturan perundang-undangan yang baru (4) gagasan-
gagasan tentang materi hukum yang dituangkan ke dalam RUU/RPP
(5) konsepsi landasan, alas hukum dan prinsip yang akan digunakan (6)
pemikiran tentang norma-normanya yang telah dituangkan dalam
bentuk pasal-pasal dan (7) gagasan awal naskah RUU dan/atau RPP
yang disusun secara sistematis sesuai dengan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan.
C. Klausul Imperatif dalam Pengaturan Naskah Akademik
Dari kesemua ketentuan-ketentuan yang terdapat pada
peraturan-peraturan tentang naskah akademik tersebut tidak terdapat
klausul-klausul imperatif, baik mengenai mekanisme yang diwajibkan
dalam penyusunan dan penggunaan naskah akademik maupun
mengenai muatan yang diwajibkan dalam suatu naskah akademik.29
29
Menurut Chaerijah, S.H.,M.H., Phd, ketentuan-ketentuan mengenai naskah akademik dalam
berbagai peraturan bersifat fakultatif, memang terdapat klausul yang imperatif yaitu ketentuan yang
mengatakan bahwa apabila sudah terdapat naskah akademiknya, peng ajuan suatu RUU wajib
menyertakannya sebagai bahan pelengkap.Namun terhadap pendapat ini penulis beranggapan bahwa
kalimat ”apabila sudah terdapat naskah akademiknya” membuat ketentuan tersebut berkurang makna
imperatifnya. Pendapat Chaerijah S.H.,M.H.,P.hd.,dapat dilihat dalam Chaerijah, Penjelasan Umum
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
28
Prof. Dr. Maria Farida Indarti, SH., Guru Besar Ilmu Perundang-
undangan Universitas Indonesia, menyatakan bahwa dapat dimengerti
belum ada pedoman yang baku dalam penyusunan suatu naskah
akademik sehingga cenderung dilakukan berdasarkan kebiasaan yang
berlaku karena naskah akademik sendiri bukan merupakan suatu
produk hukum.30 Selain itu, satu hal penting yang dapat dijadikan
alasan mengapa tidak terdapatnya klausul yang bersifat imperatif dalam
pengaturan mengenai mekanisme penyusunan dan penggunaan serta
materi muatan naskah akademik adalah karena keberadaan naskah
akademik sendiri juga tidak diwajibkan dalam setiap pembentukan
semua peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang
dasar hingga peraturan daerah.31 Undang-undang No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sendiri yang
sekarang merupakan produk hukum tertinggi yang mengatur soal
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak merumuskan soal
kewajiban untuk menyusun dan menggunakan naskah akademik dalam
pembentukan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan
perundang-undangan yang lain.
Fungsi dan Peran Naskah Akademik dalam Penyusunan Undang-Undang, makalah yang disampaikan
pada Diklat Teknis dan Penyusunan Naskah Akademik bagi Tenaga Fungsional Sekretariat DPR RI
tanggal 1 Agustus 2007. 30
Op. Cit., Maria Farida, hlm. 248-249. 31
Dalam perubahan UUD 1945 yang baru lalu, mulai dari perubahan Pertama di tahun 1999 hingga
perubahan keempat di tahun 2002 d ilakukan tanpa dibuatnya naskah akademik terleb ih dahulu. Lihat
Risalah-Risalah Rapat-Rapat Panitia Ad Hoc I MPR dari tahun 1999 – 2004 yang mempersiapkan usulan
Perubahan UUD 1945.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
29
Terhadap kewajiban penyusunan dan penggunaan naskah
akademik hingga saat ini memang terdapat berbagai pendapat yang
berbeda sehingga tidak berhasil dirumuskan mengenai kewajiban
penyusunan dan penggunaannya. Dalam berbagai momen pembahasan
mengenai hal ini, baik di tingkat pemerintah maupun Dewan
Perwakilan Rakyat perdebatan mengenai hal ini selalu mengemuka.
Mereka yang mendukung kewajiban keberadaan naskah akademik
mengemukakan argumentasi-argumentasi tentang urgensi naskah
akademik ini mulai dari perencanaan suatu peraturan perundang-
undangan, khususnya undang-undang, hingga pelaksanaannnya.32
Kelompok yang merasa keberatan terhadap kewajiban penyusunan dan
penggunaan naskah akademik sama sekali tidak membantah tentang
urgensi naskah akademik, namun memberikan catatan bahwa terdapat
beberapa kondisi, kewajiban keberadaan naskah akademik sulit untuk
dilakukan atau alasan efisiensi waktu, sumber daya manusia dan dana.
Prof. Dr. Maria Farida SH juga menyampaikan pendapat mengenai hal
ini, yaitu mempertanyakan apakah suatu naskah akademik harus
dilakukan terhadap setiap rancangan peraturan perundang-undangan,
oleh karena materi peraturan perundang-undangan tersebut seringkali
hanya peraturan yang bersifat atribusi atau delegasi dari undang-
undang yang merupakan peraturan pelaksanaannya.33
32
Mengenai urgensi naskah akademik dapat dilihat dalam Bab II tulisan ini. 33
Op. Cit, Maria, hlm. 250.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
30
D. Penempatan Pengaturan Naskah Akademik dalam Produk Hukum
Dalam Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan
Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden disebutkan bahwa pedoman
penyusunan naskah akademik pengaturannya akan dilakukan dalam
sebuah Peraturan Menteri. Jika dilihat dari Peraturan yang memerintah
dan jenis peraturan yang diperintahkan mengatur naskah akademik
jelas sekali pengaturan yang dimaksud hanya akan berlaku di lingkup
pemerintah saja. Dengan demikian, dalam hal pengajuan undang-
undang yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ataupun
oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD)34 pengaturan tersebut menjadi
tidak berlaku karena baik Peraturan Presiden apalagi Peraturan Menteri
tidak dapat mengikat DPR ataupun DPD.
Oleh karena itu memang yang terbaik adalah mengaturnya
dalam bentuk undang-undang karena undang-undang dapat mengatur
seluruh lembaga negara yang terlibat dalam proses legislasi. Namun,
jika tidak dimungkinkan karena perubahan UU No. 10 Tahun 2004
diperkirakan membutuhkan waktu yang panjang dan perdebatan yang
banyak sementara kebutuhan untuk mewajibkan keberadaan naskah
akademik serta pedoman mengenai penyusunannya dirasa cukup
34
Berdasarkan Perubahan Ketiga pada Pasal 22D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Dewan Perwakilan Daerah mendapatkan kewenangan mengajukan rancangan undang -undang
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
31
mendesak, maka diperlukan jenis peraturan lain yang mengatur
mengenai hal ini.
Salah satu cara yang dianggap bisa mengatasi persoalan di atas
adalah dengan membuat pengaturan-pengaturan terutama mengenai
kewajiban penyusunan dan penggunaan naskah akademik bagi suatu
undang-undang dalam bentuk Peraturan Tata Tertib DPR. Peraturan
jenis ini yang sekarang dimuat dalam suatu Surat Keputusan DPR
memang merupakan peraturan yang mengikat internal di dalam DPR
saja (interne regelingen) namun karena semua pengajuan rancangan
undang-undang disampaikan ke DPR dan pembahasan rancangan
undang-undang semua dilakukan di DPR maka secara tidak langsung
semua lembaga negara yang terlibat legislasi, baik Pemerintah maupun
DPD, terikat dengan peraturan ini.35 Permasalahan akan timbul jika
peraturan ini tidak dibuat berdasarkan masukan dan koordinasi dari
lembaga-lembaga terkait baik di Pemerintah maupun di DPD. Keadaan
tersebut bisa saja terjadi mengingat Peraturan Tata Tertib DPR memang
hanya dibuat sepihak oleh DPR.
35
Dalam diskusi dengan Ronny Bako, seorang peneliti senior d i P3DI Sekretariat Jenderal DPR,
dalam rangka penelitian ini disebutkan bahwa DPR sedang mempersiapkan memas ukkan kewajiban
penyusunan dan penggunaan naskah akademik dalam setiap RUU yang akan dibahas di DPR. In formasi
disampaikan dalam focus group discussion tanggal oktober 2007 d i Bappenas, Jakarta.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
32
BAB IV
PENGGUNAAN DAN MUATAN NASKAH AKADEMIK
DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG
A. Perbandingan Muatan Naskah Akademik dari berbagai Sumber
1. Ann Seidman, Robert B. Seidman dan Nalin Abeysekere36
Untuk membantu perancang dalam merumuskan hipotesa atas
masalah sosial yang sedang berkembang di masyarakat, Ann dan
Robert Siedman mengintrodusir suatu metodologi yang dikenal
sebagai Problem Solving Method dengan menggunakan alat ukur
ROCCIPI. Alat ukur ini digunakan sebagai instrumen untuk
mengidentifikasi problem sosial yang muncul yang telah terbentuk
melalui peraturan perundang-undnagan yang berlaku hingga saat
itu. Alat ukur tersebut terdiri dari:
a. Rule (peraturan);
Ketika seseorang memutuskan untuk patuh atau tidak patuh
terhadap suatu peraturan, ia tidak hanya berhadapan dengan suatu
peraturan. Apalagi hanya satu pasal atau dua pasal. Sesseorang
harus berhadapan dengan banyak peraturan yang mungkin
36
Seidman, Op. Cit., hal. 93-98, dan hal. 109.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
33
tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Berbagai peraturan
yang ada mungkin juga tidak jelas, bisa ditafsirkan sesuka hati
masing-masing orang.
Setidaknya ada lima kelemahan yang membuat peraturan
menyebabkan perilaku bermasalah: (1) bahasa yang digunakan
peraturan rancu atau membingungkan. Peraturan tidak menjelaskan
apa yang harus dan dilarang untuk dilakukan. (2) beberapa
peraturan malah memberi peluang terjadinya perilaku bermasalah
bisa karena bertentangan atau saling tidak mendukung (3) peraturan
tidak menghilangkan penyebab-penyebab perilaku bermasalah.
Penyebab dihilangkan sebagian atau tidak sama sekali. (4) peraturan
membka peluang bagi periaku yang tidak transparan, tidak
akuntable dan tidak partisipatif, dan (5) peraturan mungkin
memberikan wewenang yang berlebihan kepada pelaksana
peraturan dalam mengatasi perilaku bermasalah.
b. Opportunity (Kesempatan);
Mungkin sebuah peraturan secara tegas melarang perilaku tertentu
namun jika terbuka kesempatan untuk tidak mematuhinya orang
dengan mudah melakukan perilau bermasalah.
c. Capacity (kemampuan);
Peraturan tidak dapat memerintahkan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang dia tidak mampu. Dengan demikian kita mesti
mengetahui kondisi-kondisi yang berada dalam diri orang yang
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
34
menjadi subyek peraturan. Kemampuan dalam diri orang dapat
dirinci ke dalam kemampuan politik, kemampuan ekonomi dan
kemampuan social budaya.
d. Communication (komunikasi);
Walaupun dalam ilmu hukum dikenal adanya fiksi hukum yang
menyatakan bahwa semua orang dianggap tahu hukum, namun
kenyataan fiksi ini tidak bisa diberlakukan begitu saja karena
masalah komunikasi seringkali muncul karena selama ini negara
tidak tertib dalam mengumumkan peraturannya. Media komunikasi
yang digunakanpun tidak menentu, bahkan kacaunya pengumuman
peraturan karena disengaja, supaya masyarakat tidak tahu cacat
yang ada dalam suatu peraturan.
e. Interest (kepetingan);
Interest terkait dengan manfaat bagi pelaku peran (pembuat
peraturan maupun yang akan terkena). Kepentingan ini bisa terdiri
dari kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan kepentingan
sosial budaya.
f. Process (proses); dan
Adalah proses bagi pelaku peran untuk memutuskan apakah akan
memenuhi atau tidak akan mematuhi peraturan perundang-
undangan.
g. Ideology ( ideologi).
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
35
Kategori ideologi secara umum diartikan sebagai kumpulan nilai
yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berfikir dan
bertindak. Termasuk didalamnya antara lain sikap mental,
pandangan tentang dunia, pemahaman keagamaan. Kadang-kadang
ideology juga disamakan dengan budaya yang sangat luas
cakupannya. Dalam masyarakat yang sangat plural seperti
masyarakat Indonesia, nilai-nilai yang ada sangat beragam, sebagian
malah saling bersaing, misalnya konflik norma hukum yang
dibentuk Negara dengan norma hukum adat.
Untuk mendapatkan sebuah peraturan perundang-undangan
yang baik, dalam proses penyusunan Naskah Akademik sangat
penting memperhatikan agenda ROCCIPI.37 Ketujuh kategori
tersebut berguna untuk mengarahkan para penentu kebijakan dalam
memandang permasalahan sosial yang sedang terjadi dan telah
terbentuk oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang
dibentuk belakangan.
Ketujuh kategori tersebut dibagi dalam dua faktor, yakni faktor
subjektif dan faktor objektif. Yang termasuk dalam faktor subjektif
antara lain Interest dan Ideoloy, sementara yang tergolong ke dalam
faktor objektif adalah Rule, Opportunity, Capacity, Communication
dan Process.
37
Seidman, hal. 116-121
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
36
2. Hikmahanto Juwana38
Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PhD mengibaratkan
naskah akademik dalam proses penyusunan RUU seperti potret
ataupun peta tentang berbagai hal terkait dengan peraturan
perundang-undangan yang hendak diterbitkan. Dengan adanya
potret tersebut dapat ditentukan apakah suatu peraturan
perundangan akan melembagakan atau memformalkan apa yang telah
ada dan berjalan di masyarakat atau juga dapat mengubah apa yang
hidup di masyarakat. Pengertian seperti ini perlu disampaikan
karena, dalam praktiknya, sering terjadi suatu kesalahan persepsi
bahwa naskah akademik dianggap atau malah dibuat untuk
melegitimasikan suatu RUU tertentu, akibatnya naskah akademik
dibuat setelah RUU disiapkan. Bahkan, dalam beberapa kasus, naskah
akademik dianggap dibuat hanya untuk memenuhi syarat formal saja,
karena telah ada anggaran yang dialokasikan untuk itu.
Secara muatan, pada prinsipnya, naskah akademik memuat
mengenai hal-hal yang menjadi landasan filosofis tentang apa yang
akan diatur dalam suatu RUU. Naskah akademik diperlukan bagi
pemangku kepentingan dan perancang (drafter) untuk mengambil
38
Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PhD adalah Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia dan juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bagian ini merupakan rangkuman dari
Hikmahanto Juwana, “Penyusunan Naskah Akademik Sebagai Prasyarat dalam Perencanaan Pembentukan RUU,”
(Makalah disampaikan pada Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas Pemerintah Tahun 2006, Cisarua, 4-6 Juli
2006),
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
37
keputusan apakah suatu substansi perlu atau tidak diatur dalam
suatu RUU.
Substansi-substansi yang harus ada dalam Naskah Akademik
antara lain:
a. Tujuan dibuatnya RUU
Naskah akademik harus memuat menge nai tujuan dibuatny a
suatu UU (politik hukum suatu UU). Politi k hu kum dapat
dibedakan dalam dua dimensi12. Pertama, politik hukum yang
menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan
perundang-undangan (kebijakan dasar atau basic policy).
Contohnya adalah UU Hak Cipta yang memilki kebijakan dasar
untuk memberikan perlindungan bagi pencipta dan ciptaannya.
Kedua, tujuan atau alasan yang muncul di balik pemberlakuan
suatu peraturan perundang-undang an (kebij akan
pemberlakuan atau enactment policy). Misalnya, UU Hak Cipta
dibentuk tidak sekedar untuk melindungi pencipta atas hasil
ciptaannya, tetapi juga untuk memberi iklim investasi yang
kondusif bagi investor asing. Pembahasan tentang apa yang
akan diatur.
b. Pembahasan ini sebaiknya diuraikan secara tepat dan tajam
karena menentukan muatan materi yang akan diatur dalam
Rancangan Undang-Undang.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
38
c. Faktor berjalannya Rancangan Undang-Undang
Dalam bagian ini diuraikan keberadaan infrastruktur pendukung
untuk terlaksananya rancangan undang-undang bila menjadi
undang-undang nantinya. Hal ini dibutuhkan agar UU tersebut
berjalan secara efektif dan tidak hanya memiliki makna
simbolik. Misal ny a jika disebutkan bahwa setiap orang
berhak mendapatkan pendidikan wajib hingga tingkat Sekolah
Menengah Umum (SMU), harus dilihat apakah setiap daerah di
Indonesia telah memiliki infrastruktur sekolah yang memadai.
d. Penelusuran peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
perjanjian internasional.
Penelusuran terhadap peraturan perundang- undangan
dilakukan untuk memastikan agar tidak ada ketentuan yang
saling bertentangan bila UU tersebut telah berlaku. Hal ini
diperlukan karena apabila ada UU yang saling bertentangan, akan
sulit untuk dicari penyelesaiannya. Penggunaan asas Lex
Spesialis derogat Lex Generalis ataupun asas peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi akan
mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah
tidak akan menyelesaikan peraturan perundang-undangan yang
saling bertentangan.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
39
e. Rujukan
Dalam naskah akademik perlu diuraikan tentang rujukan terkait
dengan RUU yang akan dibuat. Ada tiga rujukan yang
dapat digunakan. Yang pertama, mengambil peraturan dari luar
negeri yang mirip dengan RUU yang ak an dibu at. Kedua ,
merujuk model law yang dibuat oleh organisasi internasional.
Ketiga, merujuk kepada perjanjian-perjanjian internasional yang
belum diratifikasi oleh Indonesia.
3. Ronny Bako39
Menurut Ronny Bako, suatu naskah akademik idealnya berisi
pendahuluan, hasil pengkajian, hasil penelitian, pendapat hukum
dan usulan pengaturan. Pada bagian hasil pengkajian dimuat: (1)
dasar-dasar hukum yang berhubungan dengan permasalahan. Dasar
hukum ini tidak terbatas pada hukum nasional tetapi juga hukum-
hukum internasional. (2) hasil sinkronisasi terhadap dasar hukum
yang berhubungan dengan permasalahan. (3) hasil identifikasi
terhadap dasar hukum yang tidak sesuai dengan pokok
permasalahan. (4) pendapat hukum terhadap hasil sinkronsisasi. (5)
pendapat hukum terhadap hasil identifikasi.
39
Dr.Ronny Bako, S.H.,M.H. adalah penelit i di DPR RI dan juga dosen Ilmu Perundang -undangan
di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Bagian ini diambil dari modul yang berjudul “Naskah
Akademik” yang merupakan bahan kuliah Ilmu Perundang -undangan di Fakultas Hukum Universitas
Pelita Harapan.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
40
Berdasarkan hasil pengkajian, kemudian dibuat suatu
penelitian dengan menggunakan metode perbandingan hukum dan
sejarah hukum. Perbandingan hukum berisikan perbandingan
pengaturan pokok masalah yang dibahas dengan pengaturan yang
ada di berbagai negara. Sedangkan dalam bagian sejarah hukum
dilakukan pemberian landasan historis terhadap pokok masalah
yang akan diatur. Pada setiap bagian penelitian tersebut, baik
dengan metode perbandingan hukum maupun sejarah hukum
menghasilkan pendapat-pendapat hukum yang akan digunakan
dalam usulan pengaturan. Selain itu, dalam bagian hasil penelitian,
perlu juga diteliti peristiwa-peristiwa hukum yang terkait dengan
permasalahan yang dibahas.
Pendapat-pendapat hukum yang dihasilkan melalui pengkajian
dan penelitian merupakan usulan norma-norma yang akan diatur
dalam rancangan peraturan yang akan dibuat. Usulan pengaturan
ini yang akan ditindaklanjuti menjadi rancangan peraturan yang
dibuat berdasarkan format dan mekanisme yang telah diatur dalam
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan.
B. Perbandingan di berbagai Negara
Dalam prakteknya di negara lain, dokumen yang serupa dengan
naskah akademik yang ada di Indonesia, umumnya dikenal secara
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
41
beragam dengan sebutan policy paper, concept paper, green paper atau white
paper.40 Dokumen ini dimaksudkan sebagai dokumen kebijakan yang
mengidentifikasi permasalahan sosial yang akan diangkat, mulai dari
latar belakang permasalahan, fakta dan bukti di lapangan yang terkait
dengan permasalahan sosial tersebut, analisis penyebab dan usulan
kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi permasalahan sosial
dimaksud. Selain menguraikan pilihan kebijakan yang akan diambil,
sebuah “policy paper” juga memaparkan secara komprehensif apa saja
instrumen kebijakan yang dibutuhkan, baik hal-hal yang terkait dengan
dukungan finansial maupun kampanye penyadaran publik untuk
menjelaskan program pemerintah yang akan dilaksanakan di masa
mendatang.41
Penggunaan policy paper di berbagai negara dapat dipandang
sebagai upaya pembentuk kebijakan untuk menuangkan argumentasi
atas pilihan kebijakan yang diambil sebagai latar belakang
pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan
40
Berbagai istilah tersebut merupakan sebutan yang tidak baku untuk mengidentifikasi suatu naskah
kebijakan yang lazim dikenal masyarakat. Secara khusus, green paper ditujukan untuk naskah kebijakan
pemerintah yang masih berupa gagasan yang disampaikan kepada publik untuk memperoleh feed back
terhadap kebijakan yang hendak diterapkan. Setelah itu, kemudian pemerintah menangkap respon
tersebut sebagai bahan masukan yang kemudian dituangkan ke dalam white paper dalam bentuk
pernyataan resmi kebijakan pemerintah atau sebagai dokumen res mi pemerintah yang disampaikan ke
parlemen. Secara formal, penggunaan istilah tersebut berbeda-beda tergantung pada negara masing-
masing. Misalnya Inggris memilih istilah Command Paper, sementara di Amerika Serikat dikenal
dengan sebutan Legislative Proposal. Lebih lanjut, lihat Seidman, Op. Cit., hal. 24. Lihat juga Sarah
Waddell, “Terminology Pertain ing to Policy Papers”, art ikel d ipresentasikan pada Legal Draft ing Skills
Train ing di Canberra Australia. 41
Ann dan Bob Seidman bahkan menekankan bahwa selain untuk memberikan justifikasi terhadap
rancangan peraturan perundang-undangan yang hendak disampaikan, laporan penelitian yang diuraikan
dalam naskah kebijakan juga harus menampilkan fakta-fakta di lapangan untuk menguatkan argumentasi
bahwa kebijakan baru yang akan diterapkan nantinya akan dapat memperbaiki perilaku masyarakat.
Lebih lanjut, lihat Seidman, Op. Cit., hal. 87.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
42
pendapat Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip
ilmu pengetahuan yang rasional, kritis, objektif, dan impersonal yang
melingkupi suatu naskah akademik yang memiliki kebenaran ilmiah,
diharapkan dapat memperkuat argumentasi ide-ide normatif yang
hendak dilahirkan.42 Namun demikian, penulisan suatu naskah
akademik masih sering rancu dengan format penulisan ilmiah pada
umumnya yang sarat dengan landasan teoritis serta penuh dengan
catatan kaki.43
Hingga kini belum ada bentuk baku berupa pedoman muatan
maupun format penyajian naskah akademik yang hendak disampaikan
ke khalayak publik, selain Surat Keputusan Kepala BPHN No.
G159.PR.00.10 Tahun 1994 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.
Dalam prakteknya di negara lain, policy paper yang disampaikan oleh
pemerintah harus mengikuti guideline rules atau pedoman tentang
bagaimana cara penulisan dan bentuk penyajian suatu naskah
akademik.44 Pedoman inilah yang kemudian digunakan sebagai rujukan
utama bagi para pihak perumus rancangan peraturan perundang-
undangan untuk menyusun naskah kebijakan yang memadai, berikut
dengan materi yang hendak diatur. Guideline rules semacam ini juga
dijumpai di New Zealand yang memuat pedoman yang walaupun tidak
sedetail yang dimiliki pemerintah Inggris, namun pedoman ini cukup
42
Asshiddiqie, Op. Cit., hal. 320. 43
Ibid. 44
Kabinet Inggris membuat pedoman penulisan naskah kebijakan dalam How to Publish a
Command Paper: A Guide to What is a Command Paper and the Procedures for Printing, Publishing and
Presentation to Parliament.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
43
memberikan gambaran tentang apa yang seharusnya dimuat dalam
naskah kebijakan dan materi pengaturannya termasuk pengkategorian
materi-materi tertentu dalam primary legislation atau delegated
legislation.45
Kegunaan utama suatu naskah kebijakan di berbagai negara
adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan
kebijakan yang hendak diterapkan di masa yang akan datang. Dalam
policy paper tersebut antara lain diuraikan tentang capaian pemerintah
sebelumnya dalam sektor tertentu, dengan mengevaluasi paket
kebijakan yang telah diterapkan sebelumnya. Sebagai contoh, dalam
Local Government White Paper46 yang dikeluarkan oleh pemerintah
Inggris pada tahun 2006, antara lain menampilkan berbagai kondisi
yang telah terbentuk melalui kebijakan pemerintah sebelumnya
termasuk peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini di
sektor terkait.
Format yang disajikan dalam policy paper ini sama sekali jauh dari
format naskah akademik yang biasa disiapkan berbagai kalangan di
tanah air, lantaran tampilan dan deskripsinya yang mudah dicerna serta
atraktif. Dengan demikian masyarakat serta para legislator dapat
45
Lebih lanjut, lihat Legislat ion Advisory Committee, Guideline on Process and Content of Legislation,
http://www.justice.govt.nz/lac/index.html. 46
Lihat Department of Communities and Local Government, Strong and Prosperous Societies: The
Local Government White Paper, 2006. Naskah kebijakan yang disampaikan kepada parlemen ini
menampilkan gambaran besar harapan yang hendak diwujudkan pemerintah dengan mengevaluasi
kebijakan yang telah dilaksanakan selama kurun waktu 10 tahun terakhir.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
44
menangkap dengan mudah maksud dari penentu kebijakan akan apa
yang hendak diwujudkan oleh warganya.
C. Penggunaan Naskah Akademik dalam Proses Pembentukan Undang-
Undang
Menurut UU No. 10 Tahun 2004 Pembentukan undang-undang
atau peraturan perundang-undangan pada intinya meliputi kegiatan
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,
pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.47 Dari kesemua
kegiatan tersebut, hampir semua kegiatannya memerlukan naskah
akademik sebagai salah satu bahan penting untuk melengkapi proses.
Namun demikian tingkat urgensi, materi yang dibutuhkan dan cara
penyajian yang dibutuhkan dalam setiap kegiatan tersebut bisa
dikatakan berbeda-beda. Perbedaan terjadi karena dalam setiap kegiatan
tersebut melibatkan pihak-pihak yang berbeda, model aktivitas yang
berbeda dan tujuan yang juga berbeda.
TAHAP PERENCANAAN
Pada tahap perencanaan, penyusunan undang-undang dibuat
dalam suatu Program Legislasi Nasional (Prolegnas).48 Menurut
pengertian yang diberikan oleh UU No. 10 tahun 2004, Prolegnas adalah
instrumen perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara
47
Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004. 48
Pasal 15 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
45
berencana, terpadu dan sistematis.49 Dalam Peraturan Tata Tertib DPR
dijelaskan lagi bahwa dalam prolegnas dimuat daftar rancangan
undang-undang (RUU) yang akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah
untuk 5 (lima) tahunan dan 1 (satu) tahunan.50
Program legislasi nasional pada dasarnya hasil dari rumusan
atau kesepakatan bersama antara Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu,
sebelum melahirkan satu program legislasi nasional, DPR dan
Pemerintah di lingkungannya masing-masing menyusun program
legislasi nasional. Di lingkungan DPR penyusunan program legislasi
nasional dikoordinasikan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan cara
menginventarisasi masukan dari anggota Fraksi, Komisi, DPD dan
masyarakat,51 sedangkan penyusunan program legislasi nasional di
lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan
HAM dengan cara menginventarisasi masukan dari departemen-
departemen, lembaga-lembaga pemerintah non-departemen dan juga
masyarakat.52 Setelah masing-masing pihak memiliki program masing-
masing dilakukan koordinasi penyusunan program legislasi nasional
antara DPR dan Pemerintah yang dilaksanakan oleh DPR melalui Badan
Legislasi DPR.53
49
Pasal 1 angka 9 UU No. 10 Tahun 2004. 50
Pasal 42 ayat (1) huruf a Surat Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan
Tata Tertib DPR. 51
Pasal 16 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004. 52
Pasal 16 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004. 53
Pasal 16 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
46
Hasil diagnosis yang dilakukan oleh penelitian Komisi Hukum
Nasional terhadap penyusunan Prolegnas 1999 – 2004 dapat diketahui
ternyata perilaku penyusunan prolegnas masih dalam taraf mencatat
daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan, karena terbukti belum
mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat (para
stakeholders).54 Dalam penelitian tersebut diungkap bahwa salah satu
penyebab ketidakmampuan prolegnas mengakomodasi kebutuhan riil
masyarakat karena penyusunan prolegnas tidak dilakukan melalui
suatu penelitian hukum yang diorganisasi dengan baik untuk
menangkap aspirasi publik.55
Selain itu juga terungkap, sebagai sebuah program, indikator
yang digunakan dalam menyusun prolegnas juga sangat bervariasi yang
menunjukkan bahwa politik pembangunan hukum di Indonesia tidak
jelas atau minimal tidak dipahami dengan jelas oleh para pihak yang
berperan dalam penyusunan prolegnas.56
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat urgensitas
penggunaan penelitian hukum dalam penyusunan prolegnas dapat
dilihat dari kemampuan prolegnas menangkap kebutuhan riil
masyarakat serta penggunaan indikator yang terencana dan sistemik
dalam penetapan prioritas dalam penyusunan prolegnas. Dengan kata
lain dapat disimpulkan bahwa naskah akademik dibutuhkan sejak dari
54
Lihat hasil penelitian Komisi Hukum Nasional tentang Program Legislasi Nasional (Jakarta:
KHN, 2002), h lm. 88. 55
Ibid, h lm. 66. 56
Ibid, h lm. 67
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
47
penyusunan prolegnas yang sekurang-kurangnya berisikan arah politik
hukum, khususnya politik pembentukan hukum serta suatu penelitian
yang menggambarkan realitas kebutuhan masyarakat (para stakeholders)
terhadap pengaturan hukum.
TAHAP PEMBAHASAN
Pembahasan rancangan undang-undang menurut UUD Negara
RI tahun 1945 dilakukan bersama-sama antara DPR dan Presiden untuk
mendapatkan persetujuan bersama. Menurut Pasal 32 ayat (1) UU No.
10 tahun 2004 dalam pembahasan ini, pemerintah dapat diwakili oleh
Menteri yang ditugasi. Pembahasan rancangan undang-undang di DPR
dilakukan dalam 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu: Pembicaraan
Tingkat I dilakukan dalam Rapat Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat
Panitian Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus. Sedangkan Pembicaraan
Tingkat II dilakukan dalam sebuah Rapat Paripurna.57
Penggunaan naskah akademik dalam tahap pembahasan
undang-undang di DPR secara praktik memang dapat dikatakan belum
optimal. Terungkap bahwa sebagian besar anggota DPR kurang
memanfaatkan hasil penelitian dalam pembahasan undang-undang.58
Diantara penyebab tidak optimalnya para anggota DPR memanfaatkan
hasil penelitian adalah menyangkut tidak sesuainya hasil penelitian
57
Pasal 134 Tata Tertib DPR. 58
Pernyataan seperti ini bisa dilihat antara lain dalam “Pelayanan Riset di Bidang Legislatif”, penelitian
hasil kerjasama Komisi Hukum Nasional dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2003, h lm. 217
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
48
dengan materi yang dibutuhkan para anggota DPR dan cara penyajian
dari penelitian yang sering kali tidak efektif menyampaikan pesan yang
dibutuhkan.
Materi yang dibutuhkan para anggota dewan khususnya dalam
proses legislasi memang disebut sangat beragam. Namun, secara garis
besar, materi utama yang selalu dianggap dibutuhkan dalam setiap
pembahasan undang-undang adalah mengenai politik hukum yang
menjadi urgensi dan argumentasi dari suatu undang-undang yang akan
dilahirkan.59 Selain itu, secara praktis para anggota DPR juga menyebut
analisis pasal per pasal yang disertai alternatif-alternatifnya menjadi
kebutuhan ketika dilakukan pembahasan tingkat pertama di DPR. Hasil
penelitian ini juga sejajar dengan penelitian yang dilakukan oleh FH
Unand pada tahun 2002 yang menyebut bahwa jenis penelitian yang
dibutuhkan para anggota DPR adalah penelitian dokumentasi untuk
mengetahui sinkronisasi dan politik hukum. Kajian tentang politik
hukum dianggap sangat penting dilakukan untuk menentukan
konsistensi arah yang dicitacitakan dicapai oleh keberadaan suatu
peraturan/undang-undang.60
Seperti telah disebut di atas, cara penyajian juga menentukan
apakah suatu hasil penelitian digunakan dan bermanfaat dalam setiap
pembahasan undang-undang di DPR. Dari penelitian ini juga terungkap
59
Penelitian dilakukan terhadap anggota-anggota DPR dalam rentang waktu Oktober sampai Desember
2008. 60
Loc. Cit., hlm. 213.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
49
bahwa penyampaian analisis yang paling disukai oleh para anggota
dewan adalah melalui cara verbal dengan diskusi dan berbagai
pertemuan antara para anggota dewan dengan pakar atau para peneliti.
Jika ingin disampaikan dengan cara tertulis, bentuk ringkasan adalah
yang paling banyak disukai. Walaupun juga terdapat beberapa anggota
DPR yang menginginkan hasil penelitian disampaikan dalam bentuk
standar akademis namun pertimbangannya bukan karena efektif dalam
penggunaan tetapi karena dapat dijadikan dokumen yang diperlukan
ketika undang-undang dimaksud diaplikasikan, untuk mengetahui
urgensi dan argumentasi mengapa pengaturan tersebut perlu
dilakukan.
Terdapat pula anggota DPR yang menyampaikan bahwa naskah
akademik perlu dibuat dalam beberapa jenis penyajian sesuai dengan
kebutuhan penggunaannya. Penyampaian dalam bentuk ringkasan
(executive summary) diperlukan ketika rapat-rapat pembahasan tingkat I,
bentuk standar akademik diperlukan sebagai dokumen pelengkap dari
undang-undang yang akan dibutuhkan ketika undang-undang
dimaksud sudah diberlakukan dan juga dibutuhkan naskah akademik
dalam bentuk tulisan populer yang dibutuhkan ketika dilakukan
penyebarluasan kepada masyarakat.
Secara garis besar, hasil-hasil penelitian di atas juga hampir
serupa dengan penelitian yang dihasilkan oleh FH Unand yang
menyebut 59,40 % anggota DPR yang diteliti menyebut penyampaian
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
50
penelitian dalam bentuk ringkasan yang dibutuhkan dalam proses
legislasi. Berikut tabel hasil penelitian tersebut:
No Cara Menyediakan Hasil Penelitian
Frekuensi Persentase
1 . Dalam bentuk ringkasan 38 59,40 2 . Dalam bentuk hasil penelitian lengkap 13 20,30 3 . Hasil penelitian berkaitan dengan R U U 8 12,50 4 . Tidak menjawab 5 7,80
Total 64 100,00
TAHAP PENYERAPAN ASPIRASI
Penyerapan aspirasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum
dan kunjungan kerja. Melalui kedua media tersebut, masyarakat dapat
menyampaikan feedback terhadap apa yang telah menjadi pilihan kebijakan
perumus peraturan perundang-undangan (legal policy option) kepada para
legislator. Selain akan semakin memperbesar akses publik, melalui forum
dengar pendapat umum, masyarakat juga akan selalu mendatangi lembaga
dewan dengan berbagai bentuk, baik audiensi, demontrasi atau melakukan
tekakan-tekanan politik, diluar saluran-saluran politik yang telah disediakan.
Disamping itu, pemerintah maupun legislator juga dapat menjemput
bola dalam melakukan penyerapan aspirasi masyarakat melalui kunjungan
kerja untuk mendengarkan suara masyarakat diluar agenda yang telah dimiliki
oleh lembaga dewan. Komisi Hukum Nasional mencatat bahwa media dengar
pendapat umum secara institusional perlu dilembagakan sebagai salah satu
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
51
strategi yang akan membantu lembaga dewan untuk melakukan perumusan
dan rekomendasi suatu masalah, termasuk penyikapannya terhadap pilihan
kebijakan pemerintah. Pelembagaan yang dilakukan dengan memperluas
fungsi Sekretariat Jenderal DPR RI ini juga dimaksudkan untuk mempercepat
proses „pembudayaan‟ dengar pendapat umum menjadi lebih terarah,
kontinyu dan efisien, disamping itu juga mempunyai legitimasi membantu
lembaga DPR untuk lebih fokus di didalam menjalankan ketiga fungsi
utamanya, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan.
Pada tahap ini, tersedianya naskah akademik akan menjadi sarana yang
paling efektif bagi masyarakat untuk memahami pilihan kebijakan pemerintah
dan kemudian mengkritisinya dengan standar dan argumentasi yang terukur.
Lebih lanjut, bila kebiasaan mengkritisi kebijakan ini berlangsung secara terus
menerus dan dibudayakan, maka proses pembentukan legislasi di masa yang
akan datang akan menjadi semakin partisipatif.
Keikutsertaan atau partisipasi masyarakat dalam pembuatan Perda
dapat terjadi pada empat jenjang :61:
1. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan;
2. Partisipasi dalam pelaksanaan;
3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil;
4. Partisipasi dalam evaluasi
Tujuan dasar dari peran serta masyarakat adalah untuk menghasilkan
masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang
61
Dr. Jasim Hamid i, SH, MH, op.cit, h lm 41
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
52
berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas
pengambilan keputusan, karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial
terkena dampak akibat kebijakan dan kelompok kepentingan (interest group),
para pengambil keputusan dapat mengambil keputusan dapat menangkap
pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok
tersebut,, untuk kemudian menuangkannya ke dalam suatu konsep.
Pandangan dan rekasi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil
keputusan (stake holder) untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah
yang pasti dari berbagai faktor. Di samping itu, partisipasi masyarakat juga
merupakan pemenuhan terhadap etika politik yang menempatkan rakayat
sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan.
TAHAP PENGUJIAN
Pada tahap pengujian, ketersediaan naskah akademik berpengaruh pada
pilihan sudut pandang hakim dalam melakukan penafsiran pada saat
dilakukannya proses pengujian terhadap suatu produk peraturan perundang-
undangan. Salah satu metode penafsiran yang dapat digunakan oleh hakim,
yakni historical method (original intent), dapat dikatakan menjadi salah satu
metode penafsiran yang sangat mengandalkan tersedianya naskah akademik.
Pendalaman yang dilakukan hakim terhadap naskah akademik dengan
menggunakan metode ini, hakim akan dapat lebih memahami maksud dari
pembuat peraturan perundang-undangan sejak dari dilakukannya penentuan
pilihan dari sekian banyak alternatif legal policy yang tersedia, sampai dengan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
53
ditetapkannya pilihan kebijakan tersebut oleh pemerintah. Dengan demikian,
tersedianya gambaran menyeluruh terhadap pilihan kebijakan tersebut akan
lebih memudahkan hakim dalam menentukan apakah peraturan perundang-
undangan dimaksud telah bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berada di atasnya atau tidak.
D. Peranan Naskah Akademik dalam Penyusunan Peraturan Daerah
(contoh kunjungan lapangan ke Pemerintah Daerah Kabupaten
Jembrana Propinsi Bali, Kabupaten Sragen Propinsi Jawa Tengah,
Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Nusa Tenggara
Barat, Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Kalimantan Barat)
D.1. Kabupaten Jembrana, Propinsi Bali
Hasil kunjungan yang dilakukan ke Pemda Kabupaten Jembrana
(Bagian Hukum Organisasi dan Tatalaksana) Setda Kabupaten Jembrana secara
garis besar menunjukkan bahwa secara umum UU No. 10/2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diketahui dan dipahami.
Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tatacara
Penyusunan RUU, RPP dan Perpres belum diketahui dan dipahami secara
utuh karena belum ada referensi yang mereka peroleh selama ini terkait
dengan ketentuan perundang-undangan tersebut.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
54
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, pertimbangan yang
dijadikan dasar adalah terutama berdasarkan aspirasi, (1) tuntutan atau
kebutuhan masyarakat (LSM) (2) instruksi pimpinan instansi pusat/daerah (3)
Tekanan pihak legislative/DPRD, (4) pertimbangan lainnya dan (5) kebutuhan
operasional unit kerja.
Pembuatan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan
melakukan penyusunan Naskah Akademik yang bagi mereka penting untuk
dilakukan, namun tidak terhadap semua peraturan perundang-undangan
memerlukan naskah akademik. Di Kabupaten Jembrana sendiri terdapat tim
pembahas Raperda dan tim Legal Drafting (Universitas Udayana).
Dari hasil wawancara yang dilakukan, terdapat faktor-faktor dalam
proses penyusunan perundang-undangan yang secara efektif dan operasional
serta berdampak positif terhadap masyarakat lebih didominasi oleh instruksi
tertulis dari pimpinan, adanya kerangka acuan, adanya inisiatif/keterlibatan
dari masyarakat, dukungan pendanaan dan faktor lain contohnya tidak
bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Naskah akademik dianggap penting dan diperlukan untuk
menyelaraskan dan mengetahui apakah rancangan yang dibuat
bertentangan/tidak dengan aturan yang lebih tinggi dan berdasarkan
kebutuhan dari masyarakat.
Menurut mereka pembahasan yang diperlukan dalam setiap naskah
akademik adalah uraian tentang perilaku masalah yang ingin diselesaikan
dengan berlakunya suatu peraturan, politik hukum yang menjadi dasar
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
55
pemberlakuan suatu peraturan, penelusuran peraturan perundang-undangan
dan perjanjian internasional terkait, perbandingan pengaturan permasalahan
yang dimaksud di beberapa negara, analisis kondisi dan respon masyarakat
jika RPP/Raperda berlaku, analisis tentang unsur-unsur yang mendukung
berjalannya suatu peraturan dan pembahasan apa saja yang akan diatur.
Berdasarkan wawancara pula menurut bahwa terdapat yang dirasakan
oleh Pemda Kabupaten Jembrana bahwa dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan yang menggunakan naskah akademik dinilai tidak
mendapatkan kendala/hambatan dalam implementasinya (dengan contoh
pembuatan UU No. 22/1999).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa Naskah akademik juga tidak selalu
harus dibuat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan baik
dalam situasi negara yang normal maupun dalam keadaan darurat. Menurut
mereka seharusnya sejak perencanaan penyusunan rancangan peraturan
perundang-undangan dapat diprediksi jika aturan yang disusun dapat/tidak
diterima di masyarakat. Diusulkan pula bahwa pihak-pihak yang terlibat
dalam proses penyusunan naskah akademik adalah biro hukum instansi
pemrakarsa/dinas daerah, instansi lainnya yang terkait dengan penyusunan
naskah akademik (di luar instansi pemrakarsa), Dephukham/Kanwil
Dephukham, tokoh masyarakat/LSM/perguruan tinggi dan DPR/D.
Prioritas yang ditetapkan dalam penyusunan RUU/Raperda tidak
selalu terkait dengan kebutuhan atau tuntutan masyarakat karena penyusunan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
56
rancangan tidak selalu memprioritaskan kebutuhan atau tuntutan masyarakat
atau hal-hal lainnya.
Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penyusunan
Naskah Akademik adalah terkait dengan terbatasnya anggaran, waktu yang
lebih lama, kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang
memadai, dan komitmen pimpinan, serta ketidakjelasan aturan. Pembahasan
Raperda di DPRD atau RUU di DPR dianggap tidak harus selalu dimulai
dengan pembahasan akademik, tergantung dari keperluan DPRD.
Sedangkan urgensi dan tujuan RUU/Raperda yang disusun diketahui
dari Naskah Akademik RUU/Raperda, dari konsideran RUU/Raperda, dan
dari pengarahan oleh pihak yang mengajukan RUU/Raperda, serta dari opini
yang berkembang di media massa.
Sinkronisasi peraturan yang dibuat dengan peraturan perundang-
undangan lainnya dilakukan antara lain dengan melakukan penelitian yang
dilakukan sebelum RUU/Raperda dibuat, melalui penelitian sendiri,
berdasarkan pendapat ahli ketika pembahasan RUU/Raperda, dan diskusi
pembahasan RUU/Raperda.
Cara yang digunakan oleh Bagian Hukum dan Organisasi dan
Tatalaksana untuk memastikan efektifitas ketentuan yang akan dibahas dalam
penerapannya adalah melalui penelitian sosiologis yang dilakukan sebelum
disusunnya Raperda/RUU, rapat dengar pendapat umum dengan kelompok-
kelompok masyarakat ketika pembahasan RUU/Raperda, dan pelaksanaan
studi banding ke daerah/negara yang sudah mempunyai ketentuan yang
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
57
dimaksud. Pelaksanaan analisis yang dibutuhkan dalam proses pembahasan
RUU/Raperda adalah analisis terhadap perilaku bermasalah yang ingin
ditangani dan siapa pemilik perilaku yang bermasalah tersebut, melakukan
penelitian sosiologis untuk memahami realitas kesiapan masyarakat untuk
pelaksanaan ketentuan yang akan dibuat, sinkronisasi peraturan yang sedang
dibuat dengan peraturan-peraturan lainnya yang sudah ada, analisis tentang
infrastruktur yang dapat memastikan efektivitas ketentuan yang akan dibuat,
dan analisis tentang politik hukum dibuatnya peraturan tersebut.
Sebagai tambahan, Pemda Jembrana selama ini tetap mengikuti
ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur oleh
Departemen Dalam Negeri, yang membawahi pelaksanaan tugas Pemda.
Pemda Kabupaten Jembrana telah mencoba membuat peraturan perundangan
seperti ketentuan mengenai tata ruang dan sudah melakukan proses sosialisasi
dan sudah melalui proses konsultasi dengan Biro Hukum Depdagri. Namun
dalam konsultasi dengan Dinas Departemen Hukum dan Perundang-
undangan tidak pernah dilakukan karena tidak ada hubungan hirarki dan
kewajiban terkait.
D.2. Kabupaten Solok, Propinsi Sumatera Barat
Data yang diproleh adalah dari mengunjungi Biro Hukum Pemda Tk.II
Solok Provinsi Sumbar. Dari kunjungan tersebut, kami menemui bahwasannya
antara lain adalah:
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
58
Biro Hukum Pemda Tk.II Solok Sumbar telah mengetahui dan
memahami UU.No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Namun walaupun Biro Hukum Pemda Tk.II Solok Sumbar
mengetahui tentang Perpres No.68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan
RUU, RPP, dan Perpres akan tetapi kurang memahaminya karena dalam
aplikasi proses legislasi daerah, Peraturan Presiden tersebut tidak dijadikan
pedoman.
Ketentuan tentang Naskah Akademik belum sepenuhnya
digunakan/diterapkan di Pemda TK.II Solok karena ada beberapa kendala
yaitu :
a. Keterbatasan Anggaran;
b. Keterbatasan SDM; dan
c. Keterbatasan waktu yang ada dalam melakukan proses legislasi
daerah.
Dalam proses legislasi Biro Hukum ikut memperhatikan serta
melibatkan keberadaan Kanwil Hukum dan HAM Depkumham khususnya
keberadaan Panitia Daerah RAN HAM.
Selain itu dalam proses legislasi daerah konsultasi publik serta hearing
dengan stake holder tetap dilakukan, selain itu dalam proses legislasi daerah
mereka memiliki yang disebut tim sinergi (SKPD Plus) yang berisikan
komponen stake holders dari produk legislasi daerah yang sedang dibuat,
misalnya unsur masyarakat, SKPD terkait, LSM, anggota DPRD, dan pemuka-
pemuka adat Nagari. Tim SKPD Plus ini bertugas memproses rancangan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
59
perda yang nantinya akan dibahas di DPRD. Sebenarnya peran Naskah
Akademik yang belum maksimal bisa di cover dengan keberadaan tim ini,
sehingga menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.
Kekuatan proses legislasi peraturan daerah yang dikembangkan oleh
Kabupaten Solok berkaitan erat dengan sistem sosial yang berlaku. Dalam
kaitan ini pendekatan/sosialisasi awal yang dilakukan oleh kepala
daerah/bupati baik kepada anggota dewan dan kepala nagari serta
masyarakat merupakan kunci bagi suksesnya penerapan perda tersebut. Pasal
53 UU No. 10 Tahun 2004 yang mengatur tentang partisipasi publik telah
dioperasionalkan tidak hanya pada saat draft telah tersusun, akan tetapi jauh
lebih awal, yaitu sejak saat perumusan. Akibatnya yang dilakukan dewan
adalah acara formalnya saja. Selama ini Perda yang dihasilkan sebagian besar
masih merupakan inisiatif pihak eksekutif.
D.3. Propinsi Kalimantan Tengah
Di Propinsi Palangkaraya Tim melakukan kunjungan kepada Kepala
Bagian Peraturan Perundang-undangan pada Biro Hukum Setda Pemerintah
Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan didampingi oleh Kepala Bidang Tata
Ruang Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah. Wawancara dilakukan
berdasarkan kuesioner yang telah disiapkan dan dari hasil wawancara tersebut
adalah sebagai berikut :
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
60
Bahwa secara garis besar, responden menjawab bahwa yang
bersangkutan mengetahui dan memahami Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan
Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan RUU, RPP dan
Perpres.
Dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan, pertimbangan
yang melatarbelakangi umumnya adalah berdasarkan kebutuhan masyarakat.
Namun melalui wawancara, responden menyatakan bahwa untuk beberapa
hal tertentu, seperti permasalahan tanah adat memerlukan kajian khusus.
Penyusunan Raperda di Provinsi Kalimantan Tengah hampir
seluruhnya dilakukan karena berdasarkan perintah undang-undang sehingga
sebelumnya tidak pernah dilakukan kajian atau penelitian tertentu, tetapi
walaupun demikian perda-perda tersebut tetap akan memiliki daya ikat.
Melalui wawancara diketahui bahwa Biro Hukum Setda Pemprov Kalimantan
Tengah tidak memiliki dokumentasi mengenai Naskah Akademik ataupun
penelitian yang mendahului dibuatnya suatu Raperda. Hal tersebut juga
tercermin dari jawaban responden pada pertanyaan berkaitan dengan naskah
akademik.
Oleh karena itu, peran Naskah Akademik dalam penyusunan
RUU/Raperda baik negara dalam situasi normal atau negara dalam keadaan
genting atau darurat maupun pembahasan di tingkat DPRD ataupun DPR,
tidak begitu diperlukan karena prioritas yang digunakan adalah tetap hanya
berdasarkan kepada perintah undang-undang dan kebutuhan masyarakat.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
61
Namun tidak didapat keterangan mengenai bagaimana atau dalam bentuk apa
kebutuhan masyarakat tersebut disampaikan kepada pemerintah daerah
sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan Raperda.
Menurut pendapat Kabag Perundang-undangan Biro Hukum Setda
Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah selama ini, belum pernah ada
kajian mengenai produk hukum yang tidak bisa dilaksanakan karena tidak
adanya kajian akademik. Oleh karenanya, peranan Naskah Akademik
dianggap tidak penting karena yang dianggap paling berperan sebagai acuan
dalam penyusunan Raperda adalah aturan yuridis. Sehingga peranan Naskah
Akademik dalam pembuatan peraturan daerah tidak terlalu diutamakan untuk
dilakukan karena secara umum pelaksanaan dari peraturan daerah tersebut
tetap dapat dijalankan walaupun tanpa peran Naskah Akademik dalam awal
pembentukannya.
Apabila dari segi substansi, untuk mengetahui urgensi atau tujuan dari
penyusunan Raperda tersebut, umumnya dilihat dari konsiderannya.
Selain itu proses penyusunan Raperda di Kalimantan Tengah umumnya
melalui tahap konsultasi informal dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk
mengharmonisasikan peraturan di tingkat pusat dan daerah. Dalam konsultasi
dan evaluasi tersebut, bahan yang dipakai untuk pembahasan adalah draft
Raperda, sehingga pembahasan yang dilakukan adalah langsung pasal per
pasal.
Sebagai contoh untuk pembentukan Raperda Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi di Kalimantan Tengah, sudah ada laporan penelitian yang
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
62
dilakukan oleh tenaga ahli, yang digunakan pada saat pembahasan
pendahuluan (konsultasi) dengan stakeholder lainnya termasuk Pemerintah
Pusat. Sebagaimana umumnya peraturan daerah mengenai tata ruang, yang
menjadi substansi adalah pengaturan dalam penggunaan dan pemanfaatan
ruang. Perlu dikaji lebih lanjut apakah hal tersebut mencakup juga Regulatory
Impact Assessment atau dampak yang dihasilkan dari penggunaan dan
pemanfaatan ruang.
Namun sejauh ini menurut Kabag Perundang-undangan belum ada
pengaduan atau protes dari masyarakat terhadap Perda yang dihasilkan oleh
pemerintah daerah walaupun dalam pembentukan Perda tersebut tidak
menggunakan Naskah Akademik di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut,
responden juga menggarisbawahi bahwa pertanyaan tersebut sebaiknya
ditujukan pada masyarakat langsung dan tidak kepada pemerintah daerah.
D.4. Propinsi Kalimantan Barat
Sebagai bagian dari kegiatan Kajian Kebijakan Mengenai Penetapan
Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan Rancangan Undang-Undang
Dan Raperda, Tim melakukan wawancara kepada responden yang berada di
daerah untuk melihat sejauh mana peran dari naskah akademik dalam
penyusunan Raperda di Propinsi Pontianak. Instansi yang dikunjungi adalah
Biro Hukum Pemerintah Daerah tingkat I Pontianak. Sebagai responden adalah
Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Penyusunan Kajian Hukum Biro
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
63
Hukum Pemerintah Daerah Tingkat I Pontianak. Adapun hasil wawancara
tersebut adalah sebagai berikut:
Secara garis besar responden cukup memahami UU No. 10 Tahun 2004,
dijelaskan pula bahwa ketentuan yang mengatur mengenai tata cara
mempersiapkan Raperda yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota
diatur dengan Peraturan Presiden, namun hingga kini Peraturan Presiden
tersebut belum ada. Oleh karena itu untuk penyusunan peraturan di tingkat
daerah belum ada aturan yang mewajibkan Naskah Akademik ada dalam
setiap penyusunan peraturan di tingkat daerah.
Responden juga cukup memahami Peraturan Presiden No. 68 Tahun
2005, dijelaskan bahwa peraturan ini hanya mengatur mengenai penyusunan
RUU, RPP dan Peraturan Presiden, sementara tata cara penyusunan peraturan
di tingkat daerah tidak diatur.
Secara umum faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam
pembuatan Peraturan Daerah adalah : (1) Aspirasi, tuntutan dan kebutuhan
masyarakat (LSM); (2) Inisiatif kepala unit kerja;
Dalam pengalaman penyusunan peraturan daerah, Biro Hukum Pemda
Propinsi Kalimantan Barat pernah mendahuluinya dengan pembuatan Naskah
Akademik, namun dilakukan dengan cara yang sangat selektif. Salah satu
alasannya adalah adanya keterbatasan anggaran karena apabila menggunakan
Naskah Akademik biasanya akan membutuhkan anggaran yang lebih besar,
meskipun biasanya Raperda yang ada Naskah Akademiknya akan lebih baik
karena akan memperhitungkan aspek sosiologis, filosofis dan yuridis. Raperda
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
64
yang penyusunannya dimulai dengan Naskah Akademik biasanya terkait
dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum seperti pembebanan
pajak dan retribusi.
Sedangkan faktor-faktor yang ada dalam setiap penyusunan peraturan
perundang-undangan agar perundang-undangan yang dibuat dapat efektif,
operasional (dapat diimplementasikan) dan mempunyai dampak positif yang
langsung untuk masyarakat adalah (1) adanya inisiatif dan/atau keterlibatan
masyarakat; (2) adanya instruksi tertulis dari pimpinan; (3) adanya kerangka
acuan; (4) adanya dukungan pendanaan.
Selain itu disampaikan bahwa Naskah Akademik dalam penyusunan
RUU/Raperda merupakan unsur penting termasuk juga dalam situasi negara
dalam kondisi darurat. Alasannya karena dengan adanya Naskah Akademik
dapat memenuhi prinsip-prinsip sosiologis, filosofis, dan yuridis, sehingga
pada saat pembahasan di DPRD tidak akan menemukan kesulitan.
Ditambahkan pula bahwa dalam penyusunan suatu Raperda perlu adanya
Naskah Akademik karena Raperda mengandung substansi yang sifatnya
abstrak dan umum sehingga apabila terdapat penjelasan yang
melatarbelakangi dibentuknya peraturan daerah yang akan dibentuk,
diharapkan akan lebih mempermudah bagi semua orang untuk
memahaminya.
Dari hasil wawancara disebutkan bahwa pada dasarnya suatu Naskah
Akademik harus berisi mengenai (1) Analisis tentang unsur-unsur yang
mendukung berjalannya suatu peraturan; (2) Analisis kondisi dan respon
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
65
masyarakat jika diberlakukan RUU/Raperda dimaksud; (3) Uraian tentang
perilaku bermasalah yang ingin diselesaikan dengan berlakunya suatu
peraturan; (4) Penelusuran peraturan perundang-undangan dan perjanjian
internasional yang terkait.
Dari pengalaman yang ada terhadap Perda yang dimulai dengan
adanya Naskah Akademik mempunyai daya ikat dan efektifitasnya lebih baik
dibanding dengan Perda yang penyusunannya tidak dengan Naskah
Akademik. Sebagai contoh untuk Raperda tentang Transparansi meskipun
sifatnya sangat strategis namun tidak diawali dengan Naskah Akademik
akibatnya sampai sekarang belum bisa ditetapkan. Perda tentang Retribusi
Izin Pengangkatan laut Sungai dan Penyeberangan dalam Wilayah Propinsi
Kalimantan Barat merupakan contoh Perda yang diawali dengan Naskah
Akademik dan dalam pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik.
Dalam penyusunan Naskah Akademik untuk suatu Raperda maka
pihak-pihak yang perlu dilibatkan adalah (1)Biro Hukum instansi
pemrakarsa/dinas daerah; (2) DPR/D; (3) Tokoh masyarakat/LSM/perguruan
tinggi; (4) Dephukham/Kanwil Dephukham, perlu diikutsertakan khususnya
yang terkait dengan HAM.
Untuk hasil wawancara tentang Urgensi dan Tujuan dari RUU/Raperda
yang sedang disusun dapat dilihat dari (1) Dari Pengarahan oleh Pihak yang
mengajukan RUU/Raperda tersebut; (2) Dari Naskah Akademik
RUU/Raperda yang dimaksud; (3) Dari Konsideran RUU/Raperda dimaksud;
(4) Dari Opini yang berkembang di media massa.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
66
Untuk melakukan sinkronisasi ketentuan yang sedang dibahas dengan
ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain yang sudah
ada (1) Penelitian yang dilakukan sebelum RUU/Raperda dibuat; (2) Pendapat
ahli ketika pembahasan RUU/Raperda; (3) Diskusi ketika pembahasan
RUU/Raperda; (4) Meneliti/mencari sendiri.
Dalam menyusun suatu Naskah Akademik untuk Raperda maka
kendala-kendala yang seringkali dihadapi adalah (1) Kualitas dan kuantitas
Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memadai; (2) Waktu yang lebih
lama; (3) serta kurangnya ketersediaan anggaran yang cukup memadai dalam
menggunakan Naskah Akademik .
Dasar untuk menentukan prioritas suatu Raperda adalah kebutuhan
masyarakat dengan melalui proses dialog dengan anggota masyarakat.
Untuk memastikan suatu ketentuan yang sedang dibahas akan efektif
pelaksanaannya di lapangan maka langkah-langkah yang biasanya dilakukan
adalah (1) Penelitian sosiologis yang dilakukan sebelum disusunnya
RUU/Raperda; (2) Pendapat ahli ketika sedang berlangsungya pembahasan;
(3) Studi banding ke daerah/negara yang sudah punya ketentuan yang
dimaksud; (4) Rapat Dengar Pendapat Umum dengan kelompok-kelompok
masyarakat ketika pembahasan RUU/Raperda
Dalam melakukan analisis atas suatu RUU/Raperda (1) Analisis
terhadap perilaku bermasalah yang ingin ditangani dan siapa pemilik perilaku
bermasalah tersebut; (2) Analisis tentang infrastruktur yang dapat memastikan
efektifnya ketentuan yang akan dibuat; (3) Penelitian sosiologis untuk
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
67
memahami realitas kesiapan masyarakat untuk pelaksanaan ketentuan yang
akan dibuat; (4) Analisis tentang politik hukum dibuatnya peraturan
dimakasud; (5) Sinkronisasi Peraturan yang sedang dibuat dengan Peraturan-
peraturan lain yang sudah ada
D.5. Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah
Di kabupaten Sragen, tim mengadakan wawancara dengan Bagian
Hukum dan Pertanahan Setda Kabupaten Sragen yang menyatakan antara lain
bahwa mengetahui tentang Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan namun kurang memahaminya
secara utuh.
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara
Penyusunan RUU, RPP dan Perpres pun responden mengetahui namun
kurang memahami karena Perpres tersebut hanya mengatur tentang tata cara
penyusunan RUU, Rancangan Perpu dan Rancangan Perpres, tetapi tidak
mengatur Rancangan Produk Hukum Daerah.
Pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan tersebut antara lain diurutkan dari yang
paling dominan adalah : 1). Aspirasi dan tuntutan atau kebutuhan masyarakat
(LSM); 2). Instruksi pimpinan instansi pusat/daerah; 3). Inisiatif kepala unit
kerja; 4). Kebutuhan operasional unit kerja; 5). Serta pertimbangan lainnya
yaitu tentang tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
68
tinggi. Sedangkan tekanan dari pihak legislatif tidak dimasukkan dalam
pertimbangan-pertimbangan untuk pembuatan peraturan perundang-
undangan karena selama ini hubungan antara eksekutif dan legislatif adalah
sejajar/mitra kerja sehingga tidak ada istilah penekanan.
Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan kabupaten Sragen
menyatakan bahwa perlu dibuat Naskah Akademik atau semacamnya yang
berisikan informasi tentang latar belakang, urgensi atau alasan dibuatnya
peraturan perundang-undangan tersebut. Demikian pula dalam penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah, Naskah Akademik diperlukan untuk
menghasilkan Peraturan Daerah yang rumusannya akan lebih efektif dalam
pelaksanaannya di lapangan. Pengalaman dari Kabupaten Sragen bahwa
dalam pembuatan peraturan daerah, telah dilakukan dengan menggunakan
metode Regulatory Impact Assesment (RIA) yang dilakukan oleh Tim RIA yang
anggotanya terdiri dari setiap Satuan Kerja di Pemerintah Daerah Sragen.
Contohnya dalam pembuatan Perda tentang Retribusi Tanda Daftar Industri
(TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang didalamnya memuat tentang
masukan-masukan ataupun rekomendasi serta hasil analisa mengenai manfaat
dan biaya yang perlu dikeluarkan serta penyelesaian alternatif tindakan yang
perlu dilakukan apabila peraturan daerah tersebut dilaksanakan. Namun tidak
semua hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim RIA tersebut disetujui sebagai
acuan dalam pembuatan peraturan daerah yang ada, karena tergantung
peranan dari Kepala Daerah (Bupati) tersebut.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
69
Menurut Kabag Hukum dan Pertanahan Sekretariat Daerah Kabupaten
Sragen bahwa faktor-faktor yang mendukung agar setiap penyusunan
peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat lebih efektif dan dapat
diimplementasikan serta mempunyai dampak positif yang langsung untuk
masyarakat pada saat dilaksanakan. Hal ini dimulai dari faktor yang paling
dominan yaitu : 1) Kerangka acuan; 2) Inisiatif dan/atau keterlibatan
masyarakat; 3). Instruksi tertulis dari pimpinan; 4) Dukungan pendanaan; 5)
Faktor lainnya Sumber Daya Manusia yang tidak mampu dan mengetahui
materi Raperda tersebut.
Selain itu berdasarkan wawancara tersebut dinyatakan bahwa dalam
segi ketaatan masyarakat terhadap produk peraturan daerah yang dihasilkan,
antara yang menggunakan tahap pembuatan Naskah Akademik dengan yang
tidak menggunakan Naskah Akademik berpengaruh apapun, karena peraturan
daerah tersebut tetap diberlakukan sesuai ketentuan yang berlaku.
Namun dinyatakan bahwa dalam setiap proses penyusunan
RUU/Raperda, peran Naskah Akademik dirasakan sangat penting karena di
dalamnya akan memuat beberapa pertimbangan yang mendasari disusunnya
suatu peraturan perundang-undangan Pemerintah Daerah walaupun belum
ada format baku dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sehingga untuk langkah ke depan, responden di Kabupaten Sragen
mengusulkan perlunya format baku yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
70
Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembahasan yang perlu ada dalam
setiap Naskah Akademik dari bagian yang paling terpenting adalah :
1. Uraian mengenai perilaku bermasalah yang ingin diselesaikan dengan
berlakunya suatu peraturan;
2. Penelusuran peraturan perundang-undangan dan perjanjian
internasional yang terkait;
3. Politik hukum yang menjadi dasar pemberlakuan suatu peraturan;
4. Analisis kondisi dan respon masyarakat jika diberlakukan
RUU/Raperda dimaksud;
5. Pembahasan tentang apa saja yang akan diatur;
6. Analisis tentang unsur-unsur yang mendukung berjalannya suatu
peraturan;
7. Perbandingan pengaturan masalah yang dimaksud di beberapa negara.
Pihak-pihak yang secara umum terlibat dalam proses penyusunan
Naskah Akademik adalah 1) Biro Hukum Instansi pemrakarsa/ instansi
daerah; 2) DPRD; 3).Tokoh masyarakat/LSM/Perguruan Tinggi; 4). Institusi
lainnya, misalnya Biro Hukum Propinsi; dan 5) Depkumham/Kanwil
Depkumham.
Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi dalam penyusunan Naskah
Akademik adalah :
1. Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memadai baik dari segi
kualitas maupun kuantitas;
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
71
2. Tidak adanya anggaran, karena jika menggunakan naskah akademik
memerlukan anggaran yang lebih besar dibandingkan jika tidak
menggunakan Naskah Akademik. Sehingga perlu ada tambahan biaya
dalam pembentukan produk hukum. Dalam praktek yang dilakukan di
Kabupaten Sragen kekurangan dana dari legislatif dimintakan dana
dari eksekutif;
3. Adanya komitmen pimpinan;
4. Adanya waktu yang lebih lama;
5. Adanya ketidakjelasan aturan.
Kabupaten inipun menyatakan bahwa dalam setiap pembahasan
Raperda di DPRD dan RUU di DPR harus dimulai dengan pembahasan
Naskah Akademik.
B. 6. Propinsi Nusa Tenggara Barat
Dalam kunjungan yang dilakukan ke Propinsi Nusa Tenggara Barat,
Narasumber kami adalah Kepala Biro Hukum Setda Pemerintah Daerah
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kami melakukan wawancara singkat dan
menyerahkan kuesioner yang telah diisi dan dikirimkan kembali kepada kami
melalui Andi Hadianto, Kabag Perundang-undangan Setda Pemprov NTB.
Terkait dengan kuesinoner yang diberikan, responden menjawab bahwa
yang bersangkutan telah mengetahui dan memahami Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
72
Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan RUU,
RPP dan Perpres.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam hal pembuatan peraturan
perundang-undangan, pertimbangan yang melatarbelakangi umumnya adalah
berdasarkan perintah undang-undang dan kebutuhan masyarakat. Namun
untuk memastikan hal tersebut, peran Naskah Akademik dipandang perlu
sebagai bagian dari akuntabilitas penyusunan peraturan perundang-
undangan.
Melalui wawancara diketahui bahwa Biro Hukum Setda Pemprov NTB
tidak memiliki dokumentasi mengenai Naskah Akademik ataupun penelitian
yang mendahului dibuatnya suatu Raperda. Hal tersebut juga tercermin dari
jawaban responden pada pertanyaan berkaitan dengan naskah akademik.
Namun, melalui jawaban kuesioner diketahui bahwa peran Naskah
Akademik dalam penyusunan RUU/Raperda baik negara dalam situasi
normal atau negara dalam keadaan genting atau darurat maupun pembahasan
di tingkat DPRD ataupun DPR, tetap diperlukan untuk mewujudkan Good
Governance.
Di Nusa Tenggara Barat, Perda yang dipermasalahkan pada umumnya
menyangkut Retribusi dan Ijin Usaha, terutama di Kabupaten Dompu dimana
banyak terdapat sumber daya alam dan Kota Mataram sebagai pusat
perdagangan di NTB. Namun sejauh ini, belum ada pengaduan atau protes
dari masyarakat terhadap Perda yang dihasilkan oleh pemerintah daerah.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
73
Program Legislasi Daerah belum berjalan sebagaimana mestinya,
sehingga peran Naskah Akademik dalam penyusunan Perda belum dapat
dikatakan berhasil mencapai tujuannya. Selain itu dalam wawancara
ditemukan bahwa Pemprov NTB mengalami kesulitan untuk berkomunikasi
dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal perancangan Perda
Kabupaten/Kota, sehingga kelengkapan pembuatan Perda seperti Naskah
Akademik seringkali tidak disampaikan. Namun, dalam hal hubungan dengan
Departemen Dalam Negeri, Pemprov merasa sudah cukup baik dan sampai
dengan saat ini tidak dipermasalahkan apakah suatu Perda dilengkapi dengan
Naskah Akademik atau tidak.
E. Analisa Penggunaan dan Muatan Naskah Akademik yang dibutuhkan
bagi Efektivitas Pembentukan RUU dan Raperda
Penggunaan Naskah Akademik bagi Pembentukan Rancangan Undang-
Undang menurut Prof. Hikmahanto 62 menekankan bahwa pembuatan Naskah
Akademik jika sesuai kebutuhan memang harus dibuat. Namun yang perlu
ditekankan bahwa pembuatan Naskah Akademik tidak boleh dijadikan
sebagai upaya legitimasi dari produk peraturan perundang-undangan yang
akan dibuat. Naskah Akademik juga perlu perlu dibuat dengan
62
Seperti yang disampaikan Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum UI pada makalahnya berjudul “Penyusunan Naskah Akademik sebagai Prasyarat dalam Perencanaan
Pembentukan RUU” pada Lokakarya Kebijakan Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
Penyusunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah tanggal 19 Desember 2007 di
Hotel Le Merid ien
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
74
mempertimbangkan doktrin-doktrin yang ada. Naskah Akademik merupakan
potret tentang produk peraturan perundang-undangan tersebut jika
diimplementasikan pada masyarakat di masa mendatang. Pembuatan Naskah
Akademik merupakan hal yang penting tergantung dari kekuatan argumentasi
terhadap Naskah Akademik tersebut.
Lebih lanjut bahwa pembentukan Naskah Akademik 63 diusulkan untuk
tidak mewajibkan, namun perlu dibendung terlebih dahulu terhadap
permasalahan-permasalahan yang muncul, dan pentingnya pembuatan
Naskah Akademik diharapkan berdasarkan kebutuhan dan bukanlah suatu
kewajiban dan perlu dinilai sejauh mana kebutuhan tersebut. Selain itu bahwa
kepentingan untuk pembuatan Naskah Akademik perlu disosialisasikan
kepada masyarakat terlebih dahulu.
Menurut La Ode Ida 64 pembuatan Naskah Akademik merupakan
syarat alternatif, undang-undang pun tidak menyebutkan namun azas-asasnya
menggiring kita untuk menyimpulkan bahwa Naskah Akademik itu penting,
untuk dimasukkan dalam RUU yang akan dibuat.
Selain itu sebagai perbandingan bahwa pembuatan Naskah Akademik
di luar negeri memang ada, namun pembuatan Naskah Akademik bukan
merupakan persyaratan yang diwajibkan karena hal ini untuk mempermudah
63
Ibid 64
Disampaikan La Ode Ida, Wakil Ketua DPD RI dalam makalahnya berjudul “ Kebutuhan Naskah
Akademik dalam Penyusunan Perda” yang disampaikan pada Lokakarya Kebijakan Mengenai
Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan Rancangan Undang-Undang pada tanggal 19
Desember 2007 d i Hotel Le Merid ien, Jakarta.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
75
stake holder dalam merancang peraturan perundang-undangan yang akan
dibuat.
Prof. Mahfud MD65 menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman di
Badan Legislatif dengan mekanisme yang tidak sesuai alur, maka perlu
adanya kewajiban untuk membuat Naskah Akademik. Naskah Akademik
dapat dibuat secara sederhana formatnya dan mudah dipahami segala
kalangan. Lebih lanjut Naskah Akademik diperlukan dalam rangka proses
harmonisasi. Pro dan kontra dengan akan diberlakukannya produk peraturan
perundang-undangan yang baru dimasukkan ke dalam Naskah Akademik
sehingga pembaca dapat melihat dari berbagai sisi dari suatu kebijakan yang
akan dikeluarkan.
Namun disisi lain bahwa pembuatan Naskah Akademik bagi
pembentukan peraturan daerah adalah sangat mutlak diperlukan66. Hal ini
dalam rangka mempermudah kepada para pengambil kebijakan dalam
mengambil keputusan kepada opsi-opsi kebijakan yang ditawarkan, dan
adanya Naskah Akademik bukan sebagai pendukung dalam rangka
menetapkan semua Peraturan Daerah. Sehingga diusulkan perlu diwajibkan
dalam membuat Naskah Akademik bagi setiap pembentukan peraturan daerah
karena jika belum memakai Naskah Akademik akan mendapat permasalahan
lain yaitu antara lain sulit melihat latar belakang dibentuknya peraturan
65
Disampaikan Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD,SH.SU, Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) dalam
makalahnya berjudul “Urgensitas Naskah Akademik dalam Penyusunan RUU” yang disampaikan pada
Lokakarya Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan Rancangan
Undang-Undang pada tanggal 19 Desember 2007 d i Hotel Le Merid ien, Jakarta. 66
La Ode Ida, opcit
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
76
daerah yang akan dibentuk. Di sisi lain, usulan untuk mewajibkan pembuatan
Naskah Akademik tidaklah semata-mata untuk mendukung dibentuknya
Perda, karena pembuatan Naskah Akademik dapat sebagai penolakan
terhadap perlu tidaknya RUU itu dibuat. Jadi tidak selamanya pembuatan
Naskah Akademik menjadi pembenaran terhadap RUU yang akan dibentuk.
Lebih lanjut bahwa jika ada kewajiban pembuatan Naskah Akademik
bagi pembentukan peraturan daerah merupakan salah satu cara untuk
menghindari kepentingan-kepentingan politik dari para pemimpin di daerah,
karena dengan adanya kewajiban dalam pembuatan Naskah Akademik dalam
pembuatan peraturan daerah dapat mempunyai dampak kepada proses
kepemimpinan yang baik dan transparan serta memihak kepada kebutuhan
masyarakat.
Keadaan ini didukung berdasarkan penelitian67 bahwa ada
kecenderungan pandangan dari masyarakat yang menempatkan perundang-
undangan (peraturan daerah) sebagai suatu produk yang berpihak pada
kepentingan pemerintah (politik) sehingga implementasinya, masyarakat
tidak terlalu merasa memiliki dan menjiwai perundang-undangan tersebut.
Oleh karena itu Naskah Akademik diharapkan bisa digunakan sebagai
instrumen penyaring, menjembatani dan upaya meminimalisir unsur-unsur
kepentingan politik dari pihak pembentuk peraturan daerah, maksudnya
adalah bahwa melalui Naskah Akademik yang proses pembuatannya dengan
cara meneliti, menampung dan mengakomodasi secara ilmiah kebutuhan, serta
67
Dr. Jazim Hamid i, SH, MH dkk, op.cit. h lm 56
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
77
harapan masyarakat, maka masyarakat merasa memiliki dan menjiwai
perundang-undangan tersebut.
Berdasarkan pengaturan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang muatan Naskah Akademik, memang tidak ada keseragaman yang
dapat memenuhi keseluruhan aspek dan dapat berlaku bagi kalangan
eksekutif dan legislatif. Namun yang perlu menjadi perhatian dan untuk lebih
memudahkan melihat dampak sosiologis, yuridis dan filosofis seyogyanya
Naskah Akademik berisi alternatif-alternatif atau opsi-opsi kebijakan yang
perlu dilakukan jika peraturan perundang-undangan tersebut diberlakukan.
Semua kalangan baik pihak eksekutif, legislatif dan masyarakat diharapkan
dapat mengetahui maksud dan tujuan dengan akan diimplementasikannya
peraturan perundang-undangan tersebut.
Adapun Muatan Naskah Akademik yang diusulkan bagi efektifitas
pembentukan undang-undang antara lain memuat :
1. Landasan Filosofis yang berisikan tentang filsafat dan pandangan yang
menjadi cita-cita sewaktu menuangkannya suatu permasalahan ke dalam
peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk
2. Landasan Yuridis yang berisikan tentang landasan hukum yang berasal
dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan
bagi suatu instansi membuat aturan tertentu dan merupakan dasar
hukum untuk mengatur objek yang akan diatur.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
78
3. Landasan Sosiologis yaitu yang berisikan tentang latar belakang serta
realitas kondisi masyarakat serta nilai-nilai yang hidup dan berkembang
pada masyarakat.
4. Landasan politis yaitu yang berisikan tentang latar belakang
kebijaksanaan politik yang sedang berlaku pada saat itu sehingga menjadi
dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan di masa mendatang.
5. Landasan ekonomi an ekologi yaitu yang berisikan tentang
pertimbangan-pertimbangan yang terkait dengan dampak ekonomi jika
peraturan perundang-undangan tersebut diberlakukan. Diharapkan
perda yang sebelumnya telah dianalisa melalui Naskah Akademik dapat
memberikan dampak peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.
6. Landasan ekologi yaitu berisikan tentang pertimbangan ekologi yang
berorientasi pada kepedulian lingkungan dan sumber daya alam, serta
pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan yang baik agar
tetap terjaga kelestariannya
7. Landasan atau aspek-aspek lain yang disesuaikan dengan materi
peraturan daerah yang akan dibentuk.
8. Bentuk dari Naskah Akademik seyogyanya berupa hasil penelitian yang
berupa ringkasan besar dan mudah dipahami oleh semua pihak terkait
baik di kalangan eksekutif, legislatif maupun masyarakat sendiri sebagai
penerima kepentingan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-
undangan yang akan dibentuk.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
79
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kedudukan naskah akademik dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan sangat penting untuk memberikah arah bagi para
pemangku peran maupun perancang untuk memahami secara utuh
kebijakan baru yang hendak ditawarkan kepada masyarakat sebagai
pengganti kebijakan sebelumnya. Disamping itu, ketersediaan naskah
akademik diharapkan juga dapat meningkatkan kualitas perumusan
peraturan perundang-undangan karena dengan tersedianya alur pikir
yang terstruktur terhadap rangkaian kebijakan yang menyeluruh, suatu
rancangan peraturan perundang-undangan akan dapat dipahami
dengan baik.
2. Dalam berbagai peraturan yang ada memang terdapat beberapa
pengaturan tentang naskah akademik. Dapat disimpulkan, pengaturan-
pengaturan yang ada berbicara mengenai, pertama. mekanisme
penyusunan dan penggunaan naskah akademik dan kedua, mengenai
muatan yang seharusnya ada dalam suatu naskah akademik.
Namun dari berbagai peraturan yang memberi pengaturan mengenai
naskah akademik tidak terdapat satu klausul pun yang bersifat
imperatif. Semua klausul yang ada berisikan norma-norma tanpa ada
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
80
perintah untuk mewajibkan norma-norma tersebut baik dalam praktek
penyusunan, penggunaan maupun dalam menentukan muatan yang
seharusnya ada dalam setiap naskah akademik.
3. Naskah akademik juga harus memuat arah dan tujuan kebijakan pada
sektor yang hendak diatur dengan menampilkan politik hukum negara
tentang sesuatu yang hendak dicapai oleh para pemangku peran
dengan mengevaluasi kebijakan sebelumnya. Lebih lanjut, suatu naskah
akademik seyogyanya juga menampilkan pilihan kebijakan yang
hendak ditawarkan kepada masyarakat bahkan dilengkapi dengan
kemungkinan dampak yang mungkin timbul dari masing-masing
pilihan tersebut.
4. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan
dengan diawali oleh sebuah penelitian dan penentuan pilihan kebijakan,
akan semakin memperjelas alur kebijakan yang hendak dibentuk oleh
pemerintah bersama para legislator. Disamping itu, rangkaian besar
kebijakan sektor yang hendak diatur yang terhimpun dalam satu naskah
kebijakan, akan semakin memberikan potret yang menyeluruh tentang
permasalahan sosial yang hendak diselesaikan melalui berlakunya
peraturan perundang-undangan tertentu.
5. Mekanisme pembentukan dan penggunaan naskah akademik dalam
proses pembentukan peraturan perundang-undangan perlu diatur
dalam undang-undang untuk memberikan penekanan terhadap
pentingnya naskah akademik dalam mengawali proses pembentukan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
81
legislasi baik yang diprakarsai oleh pemerintah maupun lembaga
perwakilan.
6. Pedoman penyusunan naskah akademik yang akan menjadi acuan bagi
proses pembentukan peraturan perundang-undangan sangat
dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas legislasi nasional. Pedoman
tersebut harus memberikan acuan standar yang baku tidak hanya dalam
hal format dan bentuk naskah akademik, tapi juga menyangkut
bagaimana metodologi yang perlu dipertimbangkan dalam proses
penyusunan naskah kebijakan itu sendiri. Dengan demikian, naskah
akademik tidak semata-mata digunakan untuk memberikan justifikasi
bagi sebuah rancangan yang telah terlebih dahulu disusun oleh para
perancang.
7. Dalam proses pembentukan undang-undang, naskah akademik sudah
dibutuhkan sejak tahap perencanaan. Selanjutnya naskah akademik
diperlukan dalam tahap perancangan, pembahasan, penyerapan
aspirasi dan tahap penyebarluasan. Selain itu, dalam hal undang-
undang mengalami pengujian naskah akademik juga diperlukan
terutama untuk memahami politik hukum dibuatnya undang-undang
dimaksud dan untuk mengetahui original intent dari pembuat undang-
undang. Pada setiap tahapan-tahapan tersebut di atas penggunaan
naskah akademik perlu disesuaikan materi dan cara penyajiannnya
karena pada setiap tahapan kebutuhan dan aktor utamanya juga
berbeda.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
82
8. Penggunaan naskah akademik di tingkat daerah berdasarkan penelitian
di beberapa daerah menyatakan bahwa keperluan untuk menggunakan
naskah akademik belum merupakan suatu kewajiban atau keharusan
untuk dilakukan. Setiap daerah dapat secara inisiatif menggunakan
naskah akademik atau tidak tergantung dari kemampuan atau
ketersediaan sumber daya di masing-masing daerah tersebut. Hal ini
antara lain tidak ada atau belum ada ketentuan yang mengharuskan
untuk membuat naskah akademik dalam pembentukan peraturan
daerah. Jika daerah tersebut mempunyai kemampuan yang memadai
maka daerah tersebut akan membuat naskah akademik dalam
melakukan penyusunan peraturan daerah. Namun secara teori dan
pengalaman dari pelaksanaan pembentukan Raperda yang telah
dilakukan, adanya penggunaan naskah akademik dalam pembentukan
peraturan daerah di beberapa daerah menunjukkan tingkat yang lebih
baik dalam pengimplementasiannya di masyarakat.
B. Rekomendasi
1. Berdasarkan pengaturan-pengaturan mengenai naskah akademik dalam
berbagai peraturan yang ada perlu dilakukan beberapa perbaikan,
antara lain:
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
83
a. Diperlukan sebuah klausul imperatif yang mewajibkan pembuatan
naskah akademik dalam setiap penyusunan rancangan undang-
undang.
b. Diperlukan pengaturan yang menentukan bahwa pembuatan
naskah akademik harus dilakukan pada tahap perencanaan dalam
suatu proses pembentukan undang-undang.
c. Diperlukan pengaturan tentang penggunaan naskah akademik,
terutama dalam tahap pembahasan dalam suatu proses
pembentukan undang-undang
d. Diperlukan pengaturan mengenai muatan standar suatu naskah
akademik.
2. Pengaturan-pengaturan mengenai naskah akedemik memang sebaiknya
dilakukan dalam bentuk undang-undang, namun jika terdapat berbagai
kendala dalam melakukan perubahan terhadap UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka
pengaturan-pengaturan mengenai hal-hal yang disebut di atas dapat
dilakukan dalam peraturan-peraturan yang mengatur internal masing-
masing lembaga kekuasaan. Pemerintah dapat mengaturnya dalam
Peraturan Presiden ataupun Peraturan Menteri yang merupakan
pendelegasian dari Perpres No. 68 Tahun 2005, sedangkan DPR dapat
mengaturnya dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Namun demikian
pengaturan dalam Peraturan Tata Tertib DPR memiliki kelebihan karena
mengaturnya dalam Peraturan Tata Tertib DPR membuat pemerintah
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
84
juga terpaksa harus mengikuti pengaturan tersebut karena mekanisme
pembahasan suatu RUU terjadi di DPR
3. Bentuk pengaturan tentang ketentuan Naskah Akademik perlu penegasan
pengaturan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku termasuk tentang keharusan atau ketegasan pengaturan
ketentuan untuk pembuatan naskah akademik bagi pembentukan
peraturan daerah. Sehingga dapat dijadikan acuan dalam membentuk
undang-undang maupun peraturan daerah.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
85
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Asshiddiqie, Jimly. Konstitutsi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2004.
_________. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta:
Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002.
_________. Perihal Undang-Undang di Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Bentham, Jeremy. “Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi,
Hukum Perdata dan Hukum Pidana”, Jakarta: Penerbit Nusamedia dan
Penerbit Nuansa, 2006.
Jazim Hamidi, dkk SH, MH, Dr. “Pedoman Naskah Akademik PERDA
Partipatif, Yogyakarta : Penerbit Kreasi Total Media, 2007
Kusumaatmadja, Mochtar. “Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan”,
Bandung: Alumni, 2006.
Rifai, Amzulian. “Pengantar Konstitusi Australia”, Jakarta: Gramedia, 1994.
Seidman, Ann, Robert B. Seidman dan Nalin Abeysekere. Penyusunan
Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis,
terjemahan dari Legislative Drafting for Democratic Social Change, Jakarta:
Proyek Elips, 2001.
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
86
Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan
Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
_________. “Ilmu Perundang-undangan (2): Proses dan Teknik
Pembentukannya”, Jakarta: Kanisius, 2007.
Staronova, Katarina and Katarina Mathernova, “Recommendations for the
Improvement of the Legislative Drafting Process in Slovakia: Final Policy
Paper”, Budapest: IP Fellows, 2003.
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
_________. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU No. 10 tahun 2004, LN No. 53 tahun 2004, TLN No. 4389.
_________. Peraturan Presiden tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional. Perpres No. 61 tahun 2005, Lembaran Lepas,
2005.
_________. Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
Perpres No. 68 tahun 2005, Lembaran Lepas, 2005.
__________. Keputusan Kepala BPHN No. G159.PR.00.10 Tahun 1994 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademis Peraturan Perundang-
undangan
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat
P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”
87
C. Situs Internet Non-Berita dan Tanpa Pengarang
www.legis.state.wi.us/senate/scc/kids/toppagel.htm
thomas.loc.gov
www.house.gov/house/Legproc.html
www.explore.parliament.uk