laporan lapangan

18
Kata Pengantar Alhamdulillah, segala puji dan puja bagi Allah, Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan hidayah serta inayahNya, saya dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Lapangan Praktikum Geologi Fisik ini. Shalawat serta Salam tak lupa kita haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang atas perjuangannya membawa perubahan di bumi hingga dapat menikmati indah dan nikmatnya Nur Ilahi. Terima kasih kepada para asisten pembimbing yang dengan jerih payahnya membina kami untuk lebih memahami rahasia alam ini khususnya didalam bidang ilmu kebumian, mulai dari praktikum dilaboratorium hingga praktikum dilapangan. Praktikum lapangan yang dilaksanakan mulai dari lereng hingga puncak gunung amarilis merupakan titik awal bagi kami untuk mengenal dunia kerja yang akan kami geluti nanti. Diawal pengenalan ini, rasa susah dan jerih payah dalam menaklukkan alam sudah pasti menjadi tolak ukur untuk menerawang kedepan bahwa seperti inilah kehidupan mahasiswa kebumian. Tidak jarang beberapa mahasiswa yang dalam praktikum lapangan ini tak sanggup menghadapi suasana alam bebas. Apalagi dengan kegiatan seperti mendaki gunug dengan memikul beban sampel batuan yang tidak ringan. Namun sekali lagi, itulah tolak ukur mahasiswa kebumian jika telah memasuki dunia kerja dan menggunakan ilmu yang diperolehnya pada masa perkuliahan. Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan laporan ini. Kendari, Desember 2013 Eka Elfan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sulawesi dan daerah sekitarnya terletak pada pertemuan tiga lempeng yang saling bertabrakan; Lempeng Benua Eurasia yang

description

laporan lapangan

Transcript of laporan lapangan

Page 1: laporan lapangan

Kata Pengantar

Alhamdulillah, segala puji dan puja bagi Allah, Tuhan semesta alam yang dengan rahmat dan hidayah serta inayahNya, saya dapat menyelesaikan penyusunan Laporan Lapangan Praktikum Geologi Fisik ini. Shalawat serta Salam tak lupa kita haturkan kepada Rasulullah Muhammad SAW, yang atas perjuangannya membawa perubahan di bumi hingga dapat menikmati indah dan nikmatnya Nur Ilahi.Terima kasih kepada para asisten pembimbing yang dengan jerih payahnya membina kami untuk lebih memahami rahasia alam ini khususnya didalam bidang ilmu kebumian, mulai dari praktikum dilaboratorium hingga praktikum dilapangan.Praktikum lapangan yang dilaksanakan mulai dari lereng hingga puncak gunung amarilis merupakan titik awal bagi kami untuk mengenal dunia kerja yang akan kami geluti nanti. Diawal pengenalan ini, rasa susah dan jerih payah dalam menaklukkan alam sudah pasti menjadi tolak ukur untuk menerawang kedepan bahwa seperti inilah kehidupan mahasiswa kebumian. Tidak jarang beberapa mahasiswa yang dalam praktikum lapangan ini tak sanggup menghadapi suasana alam bebas. Apalagi dengan kegiatan seperti mendaki gunug dengan memikul beban sampel batuan yang tidak ringan. Namun sekali lagi, itulah tolak ukur mahasiswa kebumian jika telah memasuki dunia kerja dan menggunakan ilmu yang diperolehnya pada masa perkuliahan.Saya menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi kesempurnaan laporan ini.

Kendari, Desember 2013

Eka Elfan

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Sulawesi dan daerah sekitarnya terletak pada pertemuan tiga lempeng yang saling bertabrakan; Lempeng Benua Eurasia yang relative diam, Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat dan Lempeng Australia-Hindia yang bergerak ke utara, sehingga kondisi tektoniknya sangat kompleks, dimana kumpulan batuan dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofiolit, dan bongkah dari mikrokontinen terbawa bersama proses penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainnya. Adapun struktur geologi yang berkembang didominasi sesar-sesar mendatar, dimana mekanisme pembentukan struktur geologi Sulawesi bisa dijelaskan dengan model simple shear. Dari beberapa propinsi di wilayah Sulawesi, salah satu daerah yang memiliki struktur geologi yang kompleks adalah Sulawesi tenggara. Daerah Sulawesi tenggara merupakan bagian dari kepingan benua kepulauan. Meski demikian ada beberapa daerah yang temasuk dalam Sulawesi tenggara yang struktur geologinya masih berkaitan erat dengan proses-proses geologi yang ada di mandala timur yang terkenal dengan kompleks ofiolitnya.Dari perkembang pengetahuan tentang peristiwa geologi sejak dahulu, manusia ingin mengetahuai

Page 2: laporan lapangan

bagaimana terbentuknya batuan yang mempunyai beraneka jenis bentuk, struktur, tekstur, warna yang berbeda untuk setiap jenisnya bagaimana terbentuknya gunung api, perlapisan bumi atau lapisan-lapisan bumi, gempa, tanah longsor dan lainnya. Juga bagaimana menentukan jurus dan kemiringan batuan serta menentukan posisi pada peta. pengkajian secara teori mengenai identifikasi batuan, menentukan strike dan dip serta menentukan posisi pada peta tidaklah cukup hanya di lakukan di laboratorium saja. Dilakukannya praktikum lapangan supaya mahasiswa kebumian dapat mengamati sendiri singkapan batuan, dapat mengukur sendiri strike dan dip serta dapat menentukan posisi pada peta berdasarkan koordinat yang di berikan oleh GPS yang digunakan.

1.2. Maksud dan Tujuana. Mengamati litologi sungai amarilis.b. Menentukan strike dan dip dari singkapan batuan yang di dapatkan di lapangan.c. Menentukan posisi pada peta.d. Menyimpulkan penyebaran batuan di Kota Kendari.e. Mendeskripsikan bentang alam kota kendari.

1.3. Waktu, Letak dan Kesampaian DaerahPraktikum ini dilaksanakan pada tanggal 8 Desember 2013 pukul 08:30–17:00 WITA yang bertempat di sepanjang sungai amarilis sampai puncaknya yang melalui enam stasiun yaitu Stasiun I dengan titik koordinat 3° 57’ 28,0” S, 122° 31’ 54,9” E, Stasiun II dengan titik koordinat 3° 57’ 12,8” S, 122° 31’ 48,7” E, Stasiun III dengan titik koordinat 3° 57’ 7,0” S, 122° 31’ 58,2” E, Stasiun IV dengan titik koordinat 3° 56’ 47,1” S, 122° 32’ 11,6” E, Stasiun V dengan titik koordinat 3° 56’ 40,4” S, 122° 32’ 12,2” E dan Stasiun VI dengan titik koordinat 3° 56’ 31,6” S, 122° 32’ 21,6” E.

1.4. Alat dan BahanAdapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu sebagai berikut:

No Alat dan Bahan Kegunaan1 Alat Tulis Mencatat hasil pengamatan2 Palu dan Betel Untuk memecah singkapan batuan menjadi bagian yang lebih kecil3 Kompas geologi Menentukan Strike dan Dip4 GPS Menentukan titik koordinat5 Kamera Digital Memotret sampel dan singkapan batuan6 Kantong Sampel Tempat menyimpan sampel batuan yang akan diidentifikasi7 Spidol Permanen Mencatat informasi sampel pada kantong sampel8 Clip Board (Papan Komputer) • Sebagai alas untuk menulis• Mempermudah pengukuran Dip9 Peta Lokasi Ploting posisi stasiun untuk untuk mengetahui penyebaran batuan pada stasiun tersebut.10 Lembar Pengamatan Lembaran untuk mencatat informasi dari hasil identifikasi dari setiap stasiun.

1.5. Penelitian TerdahuluPosisi sulawesi tenggara sendiri terbentuk akibat tumbukan (collition) dua buah lempeng besar, yaitu

Page 3: laporan lapangan

: lempeng benua yang berasal dari Australia dan lempeng samudra yang berasal dari Pasifik. Sulawesi tenggara merupakan bagian dari pulau Sulawesi. Pulau Sulawesi sendiri berbentuk mirip huruf K, sehingga jika diibaratkan sebuah gari dengan dua buah lengan maka letak Sulawesi tenggara berada pada lengan tenggara dari Pulau Sulawesi.1. Continental terraneMenurut Surono (1994) kepingan benua di lengan tenggara Sulawesi dinamai Mintakat Benua Sulawesi Tenggara (Southeast Sulawesi Continental Terrane) dan Mintakat Matarombeo. Ini didasari oleh keberadaan kedua kepingan ini yang cukup besar di daerah Sulawesi Tenggara. Penamaan lain untuk mintakat ini adalah Keping Benua Lajur Tinondo (Rusmana & Sukarna, 1985) dan Benua Renik Sulawesi Tenggara ( Davidson, 1991).Mintakat benua Sulawesi Tenggara tersusun oleh Batuan tertua berupa kompleks batuan malihan (matamorfik complex) berumur paleozoikum. Kompleks batuan malihan di Sulawesi Tenggara terdiri dari sekis, kuarsit, sabak dan marmer (Simanjuntak, 1993) yang melampar dari kolaka utara hingga ke selatan membentuk pegunungan Tangkelemboke, Mendoke dan Pegunungan Rumbia. Selanjutnya diterobos oleh aplit dan diabas (Surono, 1986) yang batuannya dapat dilihat di Sungai Ranteanging.Kemudian pada akhir Trias pada mintakat benua di Sulawesi Tenggara diendapkan formasi Meluhu (Rusmana & Sukarna, 1985) yang terdiri dari batupasir kuarsa, serpih merah, batulanau dan batulumpur pada bagian bawahnya, perselingan serpih hitam, batupasir dan batugamping dibagian atasnya. Selanjutnya ditindih takselaras (unconformity) diatasnya oleh formasi Tampakura yang berumur Eosen-Oligosen (surono, 1994) yang terdiri dari oolit, mudstone, wackestone, packstone dan sisipan batupasir, serpih, lanau dan napal dibagian bawahnya. Kedua formasi tersebut merupakan batuan sedimen klastik dan batuan sedimen karbonatan. Sehingga menunjukkan pada saat mesozoikum di daerah Sulawesi Tenggara terdapat peristiwa perubahan lingkungan pendendapan dari darat menjadi laut atau terjadi peristiwa transgresi.2. Oceanic terraneOceanic terrane di Sulawesi Tenggara terdiri dari kompleks ofiolit dan sedimen pelagic. Kompleks ofiolit Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari lajur ofiolit Sulawesi Timur dimana diatasnya di tutupi oleh sedimen pelagic . Kompleks ofiolit Sulawesi Tenggara didominasi oleh batuan ultramafik dan mafik yang terdiri dari harzburgit, dunit, werlit, lerzolit, websterit, serpentinit, dan piroksinit ( kundig, 1956, simanjuntak dkk, 1993, rusmana dkk, 1993 dalam Surono, 2010). Sedangkan untuk batuan mafik terdiri atas gabro, basalt, dolerite, mikrogabro, dan amfibolit. Untuk batuan sedimen pelagic tersusun oleh batugamping laut dalam dan sisipan rijang merah (rijang radiolarian) (Hamilton, 1979, silver 1983, Simanjuntak 1986 dalam Surono, 2010).3. Molasa SulawesiMolasa Sulawesi di Sulawesi Tenggara tersebar luas dan umumnya menempati bagian selatan dari jasirah Sulawesi bagian tenggara. Molasa Sulawesi yang berada di Sulawesi Tenggara terdiri atas sedimen klastik dan sedimen karbonatan. Sedimen klastik dari molasa Sulawesi terdiri atas Formasi Langkowala dan Formasi Boepinang. Sedangkan sedimen karbonat yang berasosiasi dengan batupasir adalah formasi eomoikoSulawesi terletak pada pertemuan 3 Lempeng besar yaitu Eurasia, Pasifik,dan IndoAustralia serta sejumlah lempeng lebih kecil (Lempeng Filipina) yang menyebabkan kondisi tektoniknya sangat kompleks. Kumpulan batuan dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofiolit, dan bongkah dari mikrokontinen terbawa bersama proses penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainnya (Van

Page 4: laporan lapangan

Leeuwen, 1994).

BAB II

GEOLOGI REGIONAL

2.1. Geomorfologi RegionalPulau Sulawesi yang luasnya sekitar 172.000 km2 (van Bemmelen, 1949), dikelilingi laut yang cukup dalam. Sebagian daratannya dibentuk oleh pegunungan yang ketinggiannya mencapai 3.440 m (Gunung Latimojong). Pulau Sulawesi berbentuk huruf “K”, dengan empat lengan : Lengan Timur memanjang Timur Laut – Barat Daya, Lengan Utara memanjang barat – timur dengan ujung baratnya membelok kearah Utara – Selatan, Lengan tenggara memanjang barat laut – tenggara, dan lengan Selatan membujur utara – selatan. Keempat lengan tersebut bertemu ditengah Sulawesi.Pulau sulawesi dan daerah sekitarnya merupakan pertemuan tiga lempeng yang aktif bertabrakan. Akibat tektonik aktif ini, pulau sulawesi dan sekitarnya dipotong sesar regional yang masih aktif sampai sekarang. Kenampakan morfologi di kawasan ini merupakan cerminan sistem sesar regional yang memotong pulau ini serta batuan penyusunnya. Bagian tengah sulawesi, Lengan Tenggara, dan Lengan Selatan dipotong oleh sesar regional yang umumnya berarah timur laut – barat daya. Sesar aktif sekarang ini umumnya merupakan sesar geser mengiri.Van Bemmelen (1949) membagi lengan tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian: Ujung Utara, bagian tengah, dan ujung selatan. Ujung utara Lengan Tenggara Sulawesi dicirikan dengan munculnya Kompleks danau Malili yang terdiri atas Danau Matano, danau Towuti dan tiga danau kecil disekitarnya (Danau Mahalona, danau lantoa, dan Danau Masapi). Morfologi bagian tengah Lengan Tenggara Sulawesi didominasi pegunungan yang umumnya memanjang hampir sejajar berarah barat laut – tenggara. Pegunungan tersebut diantaranya Pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelamboke dan Pegunungan Matarombeo. Ujung Selatan Lengan Tenggara Sulawesi didominasi morfologi dataran dan perbukitan. Pada beberapa bagian muncul pegunungan, seperti pegunungan Rumbia dan Mendoke.Satuan morfologi perbukitan tinggi menempati bagian selatan Lengan tenggara, terutama di Selatan Kendari. Satuan ini terdiri atas bukit-bukit yang mencapai ketinggian 500 m dpl dengan morfologi kasar. Batuan penyusun morfologi ini berupa batuan sedimen klastika mesozoikum dan Tersier. Satuan morfologi perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan ujung Selatan Lengan Tenggara. Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan rendah dengan morfologi yang bergelombang. Batuan penyusun satuan ini terutama batuan sedimen klastika Mesozoikum dan Tersier.Satuan morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah ujung selatan Lengan Tenggara. Tepi selatan Dataran Wawotobi dan Dataran Sampara berbatasan langsung dengan satuan morfologi pegunungan. Penyebaran satuan dataran rendah ini tampak sangat dipengaruhi sesar geser mengiri (Sesar Kolaka dan system Sesar Konaweha). Kedua system sesar ini diduga masi aktif, yang ditunjukkan dengan adanya torehan pada endapan alluvial dalam kedua dataran tersebut (Surono dkk., 1997), sehingga sangat mungkin kedua dataran tersebut terus mengalami penurunan. Penurunan ini terntu berdampak buruk pada dataran tersebut, diantaranya pemukiman dan pertanian dikedua dataran itu akan diterjang banjir yang semakin parah setiap tahunnya.

2.2. Stratigrafi RegionalPenyelidikan geologi pertama di Lengan Tenggara Sulawesi dilakukan oleh Koolhoven pada tahun

Page 5: laporan lapangan

1923, dalam rangka pencarian bijih nikel sepanjang sungai Lasolo. Kemudian Bothe (1927) yang melakukan beberapa lintasan geologi dan melakukan pengambilan contoh batuan. Contoh batuan malihannya kemudian dianalisis de Rover (1956). Penelitian lebih rinci dilakukan oleh Bothe dan Hetzel (1936), yang meneliti geologi di daerah Poleang dan Rumbia (sekarang termasuk Kabupaten Bombana) serta sekitar Kolaka.Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi telah selesai memetakan geologi Lengan Tenggara dengan skala 1 : 1.000.000 dan 1 : 250.000, dan penulis terlibat langsung dalam proyek pemetaan geologi itu. Peta geologi yang meliputi Lengan Tenggara dan Lengan Timur berskala 1 : 1.000.000 Lembar Ujungpandang disusun oleh Sukamto (1975). Sedangkan peta geologi berskala 1 : 250.000 dengan para penyusunnya yang meliputi lengan Tenggara adalah :1. Lembar Kolaka (Simandjuntak dkk.,1993)2. Lembar Kendari dan Lasusua (Rusmana dkk., 1993)3. Lembar Malili (Simandjuntak dkk.,1993)4. Lembar Bungku (Simandjuntak dkk.,1993)Kepingan benua di Lengan Tenggara Sulawesi dinamai Mintakat Benua Sulawesi Tenggara (Southeast Sulawesi Continental Terrane) dan Mintakat Matarombeo oleh Surono (1994). Kedua lempeng dari jenis yang berbeda ini bertabrakan dan kemudian ditindih oleh endapan Molasa Sulawesi.Kota Kendari yang sekaligus Ibukota Propinsi Sulawesi Tenggara, secara geografis terletak dibagian selatan garis katulistiwa berada diantara 3o54’30” - 4o3’11” Lintang Selatan dan terbentang dari barat ke timur diantara 120o23’6” Bujur Timur. Berdasarkan stratigrafi dan perkembangan tektoniknya, Sulawesi dapat dibagi menjadi empat mendala geologi: Lajur Gunung Api Sulawesi Barat, Lajur Malihan Sulawesi Tengah, Lajur Ofiolit Sulawesi Timur dan Kepingan Benua Renik. Ke empat mendala tersebut terbentuk dan berkembang secara terpisah. Lajur Gunung Api Sulawesi Barat membentang mulai Lengan Selatan sampai ke Lengan Utara Sulawesi. Tektonostratigrafi lajur ini dapat dibagi menjadi empat: prapemekaran, selama pemekaran, setelah pemekaran, dan selama orogenesa. Lajur Malihan Sulawesi Tengah diduga terbentuk karena subduksi pada Kapur. Lajur Ofiolit Sulawesi Timur merupakan hasil pemekaran Samodra Pasifik pada Kapur – Eosen. Sedangkan kepingan benua yang tersebar di bagian timur Sulawesi merupakan pecahan tepi utara Australia.Setelah keempat mendala geologi tersebut bertemu, terjadilah perenggangan yang membentuk cekungan dimana diendapkan Molasa Sulawesi, pada Miosen Awal – Miosen Tengah. Kompresi akibat bergeraknya kepingan benua di bagian timur Sulawesi yang berlangsung terus sampai saat ini, menyebabkan sesar aktif dan pengangkatan beberapa bagian Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya. Pembahasan dalam makalah ini dibatasi pada tektonostratigrafi bagian timur Sulawesi yang terdiri atas kepingan ofiolit dan benua. Keduanya ditutupi Molasa Sulawesi.Secara administratif batas-batas wilayah Kota Kendari adalah sebagai berikut:• Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Soropia.• Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Moramo.• Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Ranomeeto dan Kecamatan Sampara.• Sebelah timur berbatasan dengan Laut Kendari.Wilayah Kota Kendari yang terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi. Wilayah daratnya sebagian besar terdapat didaratan Pulau Sulawesi mengelilingi Teluk Kendari dan terdapat satu pulau yaitu Pulau Bungkutoko. Luas wilayah daratan Kota Kendari 267,98 km2 atau 0,70 % dari luas daratan Propinsi Sulawesi Tenggara.Luas wilayah menurut kecamatan sangat beragam, Kecamatan Poasia merupakan wilayah

Page 6: laporan lapangan

kecamatan yang paling luas yaitu 131.76 km2 (44,53 %), menyusul Kecamatan Mandonga 65, 35 km2 (22,09 %), Kecamatan Baruga 63,28 km2 (21,39 %) dan Kecamatan Kendari 33,50 km2 (12,00 %). Kota Kendari dengan keadaan topografinya mulai dengan gunung rendah sekitar 49 %, tanah bukit 25 % dan dataran rendah 26 %, serta berdasarkan gelogisnya 67 % sedimen, metamorfosis 20 % dan batuan beku 13 %, dengan jenis tanahnya adalah didominasi podzolik 59,24 % dan alluvial 40,76 %. secara Topografi wilayah Kota Kendari pada dasarnya bervariasi antar datar dan berbukit, dimana untuk daerah datar hanya terdapat di bagian barat dan selatan Teluk Kendari sedangkan daerah perbukitan terletak di sebelah utara Teluk Kendari yang dikenal dengan pegunungan Nipa nipa. Ketinggian pengunungan tersebut mencapai kurang lebih 459 m dari garis pantai, sedangkan kearah selatan tingkat kemiringan antara 5 % sampai 30 %.Selanjutnya pada bagian barat yaitu di kecamatan Mandonga dan pada bagian Selatan Kota yaitu di kecamatan Poasia memiliki karakteristik wilayah yang berbukit bergelombang rendah dengan kemiringan kearah teluk Kendari.Peta geologi Kota Kendari terkelompok dalam dua lembar peta. Bagian Utara berada pada Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi (Rusmana dkk., 1993) dan bagian Selatan berada pada Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi (Simandjuntak dkk., 1994).Berdasarkan kedua lembar peta geologi tersebut, maka stratigrafi Kota Kendari dapat dibagi dalam lima formasi batuan berikut :• Aluvium (Qa)Satuan Aluvium tersusun oleh jenis batuan kerikil, kerakal, pasir lempung dan lumpur. Satuan ini berasal dari endapan sungai, rawa dan pantai sebagai endapan permukaan. Sebarannya terdapat di daerah dataran sekitar muara sungai besar dan pantai. Umur satuan aluvium ini diperkirakan Holosen. • Formasi Alangga (Qpa)Jenis batuan penyusun formasi Alangga adalah batu pasir dan konglomerat. Tidak didapat fosil dalam satuan ini. Berdasarkan kesamaan litologi dengan formasi yang sama pada Peta Geologi Lembar Kolaka, umur formasi ini diduga Plistosen Akhir. Lingkungan pengendapannya adalah darat sampai payau, dengan ketebalan diperkirakan mencapai puluhan meter yang menindih secara tak selaras batuan yang lebih tua.

• Formasi Meluhu (Trjm)Formasi ini terdiri dari berbagai jenis batuan seperti batu pasir, kuarsit, serpih hitam, serpih merah, filit, batu sabak, batu gamping, dan batu lanau. Formasi ini berdasarkan fosil Halobia sp. dan Daonella sp. yang dikandungnya diduga berumur Trias Tengah hingga Trias Akhir, dan terbentuk dalam lingkungan laut dangkal hingga laguna. Tebal seluruhnya diperkirakan mencapai 1000 m bahkan lebih. Satuan ini menindih secara tak selaras Batuan Malihan Mekongga dan Batuan Malihan Tamosi. Hubungannya dengan batuan ofiolit berupa sesar. • Terumbu Koral Kuarter (Ql)Jenis batuan penyusun satuan ini adalah batu gamping terumbu. Fosil yang dijumpai dalam satuan ini adalah koral, ganggang, dan cangkang moluska, yang semuanya sulit ditentukan umurnya. Berdasarkan pada kesamaan litologi dengan formasi yang sama pada Peta Geologi Lembar Kolaka, formasi ini berumur Plistosen hingga Holosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal, tebalnya diperkirakan dari beberapa meter sampai puluhan meter. Sebarannya terutama terdapat di daerah pantai.

Page 7: laporan lapangan

• Formasi Langkolawa (Tml)Formasi ini terdiri dari batu pasir, serpih, dan konglomerat. Fosil tidak dijumpai dalam Formasi Langkolawa. Formasi ini tertindih secara tak selaras oleh Formasi Boepinang yang berumur Miosen Akhir-Pliosen. Satuan ini paling tidak berumur awal Miosen Akhir atau akhir Miosen Tengah. Lingkungan pengendapannya diduga pada laut dangkal hingga darat. Tebal formasi mencapai 450 meter. Khusus untuk geologi daerah penelitian (Kota Kendari), terdapat dua jenis formasi batuan yang menyusun wilayah ini yakni Formasi Meluhu (Trjm) dan Aluvium (Qa)2.3. Struktur GeologiKendari SultraHasil pengukuran gaya berat di daerah Kendari, Sulawesi Tenggara, yang sebagian besar daerahnya ditutupi oleh batuan ofiolit, menunjukan perkembangan tektonik dan geologi daerah ini mempunyai banyak persamaan dengan daerah Lengan Timur Sulawesi dengan ditemukannya endapan hidrokarbon di daerah Batui.Struktur lipatan hasil analisis data gaya berat daerah ini menunjukkan potensi sumber daya geologi yang sangat besar, berupa: panas bumi dan endapan hidrokarbon.• Panas bumi berada di sekitar daerah Tinobu, Kecamatan Lasolo, sepanjang sesar Lasolo• Cebakan hidrokarbon di sekitar pantai dan lepas pantai timur daerah ini, seperti: daerah Kepulauan Limbele, Teluk Matapare (Kepulauan Nuha Labengke) Wawalinda Telewata Singgere pantai Labengke), Wawalinda, Telewata, Singgere, utara Kendari, dan lain sebagainya.

Sulawesi merupakan pulau yang khas dan terletak di tengah-tengah kawasan Wallacea. Kawasan ini merupakan wilayah yang terletak di antara dua benua yaitu Asia dan Australia. Karena posisinya di tengah, maka kawasan ini memiliki tingkat endemisitas yang tinggi dalam hal flora dan fauna, serta memiliki perbedaan yang sangat jelas dengan Kalimanta n yang hanya dipisahkan oleh Selat Makassar yang tidak terlalu luas.Hal ini pertama kali dilaporkan oleh Alfred Wallace yang melakukan perjalanan keliling Indonesia pada tahun 1856 sampai 1862. Agar kita dapat lebih memahami keberadaan dan keistimewaan pulau Sulawesi maka disusunlah suatu essai yang akan menjelaskan bagaimana sejarah geologi terbentuknya pulau Sulawesi. Alfred Russel Wallace adalah seorang berkebangsaan Inggris yang melakukan perjalanan mengelilingi Indonesia dimulai dari Borneo sampai Irian termasuk Sulawesi. Wallace mengemukakan pandangannya bahwa kepulauan Indonesia dihuni oleh dua fauna yang berbeda, satu di bagian timur dan yang lainnya di bagian barat. Wilayah ini ditentukan atas dasar agihan jenis-jenis burung dengan menempatkan batasnya antara Lombok dan Bali antara Kalimantan dan Sulawesi. Kalimantan dan Sulawesi memiliki burung yang berbeda, padahal tidak terpisahkan oleh perintang fisik atau iklim yang berarti. Wallace berpendapat bahwa Kalimantan, Jawa dan Sumatra pernah merupakan bagian Asia dan bahwa Timor, Maluku, Irian dan barangkali Sulawesi merupakan bagian benua Pasifik Australia. Fauna Sulawesi tampak demikian khas, sehingga diduga Sulawesi itu pernah bersambung baik dengan benua Asia maupun benua Pasifik Australia.Di Sulawesi Wallace melakukan perjalanannya yang dimulai dari Ujung Pandang (Makassar) pada bulan September Desember 1856, kemudian pada bulan Juni September 1859 berada di Manado dan bagian Minahasa serta pulau pulau kecil di sekitarnya. Dari hasil perjalanannya ini Wallace menyatakan bahwa pulau Sulawesi terletak di tengah-tengah kepulauan yang sebelah utaranya berbatasan dengan Filipina, sebelah barat dengan Borneo, sebelah timur dengan pulau Maluku dan

Page 8: laporan lapangan

sebelah selatan dengan kelompok Timor. Dengan demikian posisi Sulawesi dapat lebih mudah menerima imigran dari semua sisi jika dibandingkan dengan pulau Jawa. Pemicu terbentuknya sesar-sesar di Sulawesi adalah gabungan antaramikrokontinen Benua Australia dan mikro-kontinen Sunda yangterjadi sejak Miosen. Pergerakan dari pecahan lempeng BenuaAustralia tersebut relatif ke arah barat. Adanya sesar utama sepertiSesar Palu-Koro dan Sesar Walanae juga memberikan peranan dalampembentukan sesar-sesar kecil di sekitarnya. Data dan hasil analisisstruktur geologi, seperti pola kelurusan dan arah pergerakan relatifsesar, mengindikasikan bahwa deformasi di daerah Sulawesidipengaruhi oleh aktivitas Sesar Mendatar Palu-Koro dan terusanSesar Mendatar Walanae, dimana mekanisme pembentukan strukturgeologi Sulawesi bisa dijelaskan dengan model simple shear.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pemetaan PermukaanDalam Praktikum lapangan geologi fisik, ditentukan ada enam lokasi stasiun pengamatan. Lima stasiun untuk pengamatan singkapan batuan dan litologi sungai amarilis serta satu stasiun untuk pengamatan bentang alam kota Kendari.Stasiun I sampai V adalah stasiun pengamatan singkapan batuan dan litologi sungai. Pada tiap tiap stasiun tersebut, hal pertama yang dilakukan adalah mengamati serta menganalisa jenis struktur geologi daerah disekitar stasiun pengukuran. Setelah itu di lakukan pengamatan dan analisis proses geologi daerah sekitar stasiun pengukuran. Dari singkapan batuan yang terlihat pada stasiun pengukuran, diambil sampel batuannya dengan ukuran kurang lebih sebesar kepalan tangan dan kemudian dimasukkan kedalam kantong sampel yang sudah bertuliskan beberapa informasi terkait waktu pengambilan sampel serta informasi lain mengenai stasiun pengukuran tempat mengambil sampel tersebut. Selanjutnya, dengan menggunakan GPS, kami menentukan titik koordinat masing masing stasiun pengukuran. Titik koordinat tersebut merupakan hal yang sangat penting, sebab tanpa diketahuinya titik koordinat maka akan sangat sulit dalam penentuan penyebaran batuan dilokasi pengamatan. Kemudian, dilakukan pengukuran strike dan dip, memotret, serta mengsketsa singkapan batuan pada setiap stasiun. Terakhir adalah menyampling singkapan batuan dan mengidentifikasinya.Adapun stasiun VI merupakan puncak dari gunung Amarilis. Pada stasiun ini dilakukan kegiatan mensketsa bentang alam kota kendari. Selain itu, dengan pengamatan secara langsung, harus pula ada pendeskripsian terhadap sketsa tersebut sehingga melahirkan suatu kesimpulan tentang keadaan bentang alam kota Kendari.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Page 9: laporan lapangan

4.1. Deskripsi litologi

1. Batu PasirKlasifikasi Pettijohn merupakan salah satu klasifikasi terhadap batupasir yang banyak dipakai. Batupasir merupakan batuan sedimen yang terdiri dari butiran-butiran yang berukuran pasir. Pasir sendiri didefinisikan sebagai sedimen yang mengandung butiran berukuran antara 63 μm hingga 2 mm. Sedangkan pasir ini sendiri dibagi lagi kedalam lima interval, yaitu: sangat halus, halus, sedang, kasar, dan sangat kasar. Penamaan batupasir ini hanya berdasarkan ukuran partikel penyusunnya. Meskipun banyak batupasir yang mengandung kuarsa, istilah batupasir tidak berimplikasi pada jumlah kehadiran kuarsa dalam batuan karena beberapa batupasir tidak mengandung butir kuarsa sama sekali. Butir pasir terbentuk oleh hancuran batuan yang sudah ada sebelumnya yang merupakan hasil dari proses pelapukan dan erosi, serta dari material yang terbentuk didalam lingkungan transportasi dan pengendapan. Hasil lapukan terbagi ke dalam dua kategori : butir mineral detrital, tererosi dari batuan yang lebih tua, dan sedimen-sedimen berukuran pasir dari batuan atau fragmen batuan. Butiran yang terbentuk didalam lingkungan pengendapan umumnya merupakan material biogenik (bagian dari tanaman atau hewan) tapi ada beberapa yang terbentuk dari reaksi kimia.Kuarsa adalah mineral yang paling umum ditemukan sebagai penyusundari batupasir. Hal ini dimungkinkan karena kuarsa memiliki tingkat resistensi yang tinggi sehingga tidak mudah lapuk menjadi soil. Kuarsa merupakan mineral yang kestabilannya sangat tinggi sehingga tahan terhadap pelapukan kimia di permukaan bumi. Butiran kuarsa dapatsaja hancur dan terabrasi selama transportasi, tapi dengan kekerasan 7 pada skala Mohs, butir kuarsa masih tersisa setelah transportasi yang panjang dan lama.Dari 5 stasiun pengamatan singkapan batuan, sampel yang dibahas memang merupakan batuan dengan jenis yang sama, yaitu batu pasir (Sandstone). Namun, walaupun memiliki jenis yang sama, tetap ada perbedaan dari masing masing sampel baik dari segi warna maupun kandungan mineral asesori. Agar dapat diperoleh data yang lebih spesifik tentang sampel batuan di tiap-tiap stasiun, maka ditindaklanjuti dengan identifikasi laboratorium seperti praktikum-praktikum sebelumnya.Pengamatan pada stasiun I dengan titik koordinat 3o, 57’, 28,0” dan 122o, 31’, 54,9” memperlihatkan struktur perlapisan dengan ukuran yang besar, akibatnya tekstur perlapisan pun sangat jelas sehingga memudahkan untuk melakukan identifikasi. Selain itu, kemiringan perlapisan dan kedudukan batuan menunjukan sudut kemiringan yang cukup besar pula yang di tunjukan dan di perjelas dengan nilai derajat strike dan dip setelah pengukuran dilakukan yakni N 950 E/410. Kemiringan perlapisan ini di sebabkan stress yang diakibatkan oleh tenaga dari dalam bumi (tenaga endogen). Peristiwa ini terjadi dalam dimensi waktu yang lama sehingga faktor seperti pelapukan dan erosi turut mempengaruhi struktur batuan pada perlapisan singkapan batuan pada stasiun I. Dari gaya-gaya dan pengaruh erosi dan pelapukan akibatnya membentuk struktur geologi yang ada pada stasiun I.Dilihat dari kondisi singkapan yang ditumbuhi oleh tanaman dapat dilihat bahwa singkapa mengalami pelapukan biologis . Dari segi pelapuka biofisik yakni akar tanaman yang tumbuh di daerah singkapan mengakibatkan akar dari tanaman tersebut menembus singkapan yang mengakibatkan terbentuknya rekah-rekahan dari singkapan. Sedangkan pelapukan biokimia yang berarti adanya zat yang dikeluarkan oleh tanaman yang menakibatkan rapuhnya sinkapan yang terkena zat tersebut.Ciri khusus yang dapat langsung diamati pada singkapan batuan stasiun 1 adalah adanya urat batuan

Page 10: laporan lapangan

(Feyn) yang terlihat silang siur dan seperti teranyam. Urat urat tersebut terbentuk akibat gaya endogen atau proses pelapukan sehingga menyebabkan retakan pada singkapan batuan tersebut. Siring waktu, retakan tersebut terisi dengan mineral seperti kuarsa atau kalsit. Mineral tersebut adalah mineral yang sifatnya mudah mengisi suang kosong. Sehingga urat urat batuan tersebut cenderung berwarna putih atau putih kekuningan karena terisi oleh mineral kalsit atau kwarsa.Pengamatan pada stasiun II dengan koordinat 3° 57’ 12,8” S, 122° 31’ 48,7” E memperlihatkan singkapan batuan yang lebih besar dibandingkan dengan sinkapan batuan pada stasiun I dengan ketinggian sangat curam serta relief yang menyerupai lembaran-lembaran. Lembaran tersebut Nampak halus dibagian bawah dan kasar pada bagian atas. Hal tersebut disebabkan oleh pengikisan arus sungai terhadap relief singkapan tersebut. Dari pengamatan litologi sungai, memperlihatkan model sungai yang cukup dalam namun sempit. Ukuran butir pada singkapan ini termasuk butiran sangat halus. Hal tersebut telah sesuai dengan prinsip sedimentasi yang menyatakan batuan akan memiliki ukuran butir makin kecil jika makin jauh pula dari pusat sedimentasi.Seperti halnya pada singkapan I, singkapan II ini juga mengalami pelapukan biologis. Perbedaannya adalah pada singkapan II ini mengalami pelapukan biologis yang lebih ekstrim karena akar akar pepohonan telah menembus batuan, sedangkan pada singkapan I pelapukan biologis yang dialami tidak sampai memperlihatkan akar pepohonan yang menembus tubuh batuan.Pengamatan pada stasiun III dengan koordinat 3° 57’ 7,0” S, 122° 32’ 58,2” E memperlihatkan singkapan batuan yang dibagian atasnya ditumbuhi pepohonan yang cukup besar. Dengan adanya pepohonan yang besar tersebut mengakibatkan efek pelapukan bilogis yang sangat besar dan melebihi efek pelapukan biologis pada singkapan II. Dari data geomorfologi yang didapatkan bahwa singkapan batuan III ini terletak didaerah hutan jati sehingga mengakibatkan akar akar dari tumbuhan jati yang telah berusia dewasa tersebut menembus batuan. Akibatnya ditemukan banyak retakan serta hancurnya beberapa bagian dari singkapan batuan tersebut.Dalam identifikasi batuan yang didapatkan dari singkapan batuan stasiun III ini didapatkan suatu cirri yang tidak biasa yaitu terdapat bercak atau butir butir mineral yang meiliki kilap logam. Butiran tersebut sebenarnya adalah meniral kuarsa dengan kadarnya yang cukup banyak. Jadi batuan pada singkapan ini termasuk batu pasir kuarsa. Pada singkapan I memang ditemukan kandungan kuarsa yang cukup besar namun bersifat mengisi retakan retakan batuan sehingga membentuk feyn atau urat batuan. Adapun pada singkapan III ini memiliki kadar kuarsa yang tinggi namun tersebar merata keseluruh bagian batuan sehingga nampak seperti butir butir yang mengkilap.Pengamatan pada stasiun IV dengan koordinat 3° 56’ 47,1” S, 122° 32’ 11,6” E memperlihatkan singkapan batuan yang juga mengalami pelapukan biologis seperti pada singkapan singkapan sebelumnya. Perbedaannya adalah pada singkapan ini ditumbuhi dengan pepohonan yang berukuran kecil bahkan ada yang berukuran semak semak yang tumbuh pada batuan. Dari pengamatan disekitar singkapan dilihat beberapa batang pohon yang tumbang tepat dipinggiran sungai. Dari hal tersebut dihasilkan sebuah hipotesis bahwa pohoh pohon yang tumbang tersebut mulanya tumbuh pada batuan. Namun akarnya tidak mampu lagi menembus tubuh batuan sehingga menyebabkan kekurangan suplai air dan akhirnya mati. Hal tersebut juga didukung oleh keadaan sungai dengan arus yang agak deras.Adapun ukuran butir pada batuan ini sudah beralih menjadi ukuran pasir halus dari yang sebelumnya berukuran sangat halus. Dengan kata lain, ukuran butir dari singkapan pertama hingga yang keempat ini akan terus menjadi lebih kasar karena mendekati pusat sedimentasi.Pengamatan pada stasiun V dengan koordinat 3° 56’ 40,4” S, 122° 32’ 12,2” E memperlihatkan singkapan batuan yang mirip dengan singkapan II yaitu berbentuk seperti lembaran lembaran.

Page 11: laporan lapangan

Namun pada singkapan ini terlihat batuan yang berlapis dengan sususan yang sangat rapi (seperti sususan buku pada rak buku). Dari lima singkapan batuan, singkapan pada stasiun V ini adalah yang terkecil. Letaknya tepat di daerah pembelokan sungai. Dari hal tersebut dihasilkan suatu hipotesa yang menjawab mengapa perlapisan pada singkapan batuan ini terlihat miring. Hal tersebut karena adanya dorongan dari arus sungai seiring dengan proses sedimentasi pada daerah ini. Sehingga mengakibatkan partikel partikel yang menumpuk dan menyemen menjadi miring dengan arahnya membelakangi arah arus sungai.Pada singkapan batuan ini tidak ditemukan adanya proses pelapukan biologis karena pada dasarnya singkapan batuan yang diamati ini terletak agak jauh dari tempat tumbuhnya pepohonan. Pada identifikasi sampel batuan didapatkan ukuran butir pasir halus. Dengan kata lain lebih kasar dari sampel batuan pada singkapan batuan pada stasiun I, II dan III.Pada stasiun VI dengan koordinat 3° 56’ 31,6” S, 122° 32’ 21,6” E di lakukan pengamatan pada bentang alam kota Kendari. Pada saat pengamatan, kami mendapat momen yang baik karena pada saat pengamatan, laut sedang surut. Jadi, dapat dengan mudah mengamati bentang alam pada pesisir pantai.Didalam peta dapat dilihat bahwa kota Kendari memiliki pesisir pantai yang hampir mengelilingi sebuah teluk secara utuh. Serta dari referensi yang ada, Kendari adalah satu satunya Kota dengan keadaan bentang alam pesisir seperti itu. Dari hal tersebut dapat dikatakan bahwa Pesisir kota Kendari dan juga dataran tingginya membentuk pola huruf “U”. Pengamatan selanjutnya memperlihatkan bahwa kota Kendari mempunyai relief perbukitan rendah. Adapun pesisirnya tergolong dangkal karena dari kejauhan dalam keadaan surut, dapat dengan mudah dilihat hamparan pasir yang luas didaerah pantai kota Kendari.Karena daratan kota Kendari membentuk pola huruf “U”, maka hasil transportasi material dari hulu sungai akan tertumpuk ditengah teluk. Contohnya sungai Amarilis dan sungai wanggu. Dari pengamatan sungai wanggu, ternyata sungai tersebut memiliki kedalaman jauh lebih besar dibandingkan dengan sungai Amarilis. Selain itu, sungai wanggu juga cenderung lebih lurus dan tidak banyak memiliki pembelokan. Namun, hal itu tidak terkait terhadap transportasi material dari kedua sungai tersebut. Yang menjadi pembeda adalah dari segi waktu berjalannya transportasi.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan1. Jenis batuan pada Sungai amarilis didominas oleh batuan sedimen klastik yaitu batu pasir.2. Mengukur strike dan dip yaitu dengan menempelkan bagian kompas yang bertuliskan arah east pada top lapisan. Posisikan bubbles pada tengah lingkaran. Baca angka yang berimpit dengan arah north. Itulah strike lapisan yang kita ukur. Goreskan kompas sehingga didapatkan garis lurus.Tempelkan bagian kompas berarah west tegak lurus dengan garis yang telah kita buat tadi (sehingga tangan penunjuk mengarah searah dip). Ubah klinometer sehingga bubbles di tengah. Baca sudut yang berimpit dengan angka 0. Cara pengukuran ini adalah default agar kita mendapat besaran standar sesuai aturan tangan kanan.

Page 12: laporan lapangan

3. Posisi pada peta dapat ditentukan dengan membuat garis lintang berdasarkan koordinat S dan menghubungkannya dengan garis bujur yang berdasarkan koordinat E, posisi pada peta merupakan pertemuan kedua garis tersebut.4. Batuan di kota Kendari di dominasi oleh batuan sedimen. Ada juga batuan metamorf serta metasedimen, namun dalam jumlah sedikit.5. Bentang alam kota Kendari membentuk pola huruf “U”. Dengan kata lain, semua daratan yaitu mulai dari pesisir hingga perbukitan hampir mengelilingi secara total sebuah teluk. Daratan kota Kendari termaksud perbukitan rendahB. SaranAdapun saran yang dapat saya ajukan ialah melihat keadaan puncak amarilis yang begitu indah benar benar pas dijadikan sebagai tempat wisata, sehingga puncak amarilis dapat dikenal luas di kalangan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim,2013. Penuntun Praktikum Geologi Fisik. Kendari: Laboratorium KebumianAnonim,2000. Geologi Lengan Sulawesi Tenggara. Jakarta.Asikin, Sukendar. 1978. Dasar-dasar Geologi Struktur. Departemen Teknik Geologi ITB. Bandung.Badgley, P.C. 1959. Structural Methot For The Exploration Geologist. Oxford Book Company. New Delhi.Geologisultra.blogspot.com/stratigrafi-daerah-sulawesi-tenggara.html (Diakses tanggal: 20 Desember 2013)Jurnal.unpad.ac.id (Diakses tanggal: 20 Desember 2013)Posalu.wordpress.com/proposal-geologi-tentang-pemetaan-geologi (Diakses tanggal: 20 Desember 2013)Psdg.bgl.esdm.go.id/index.php?sulawesi-tenggara (Diakses tanggal: 20 Desember 2013)Wikepedia.comwww.slideshare.net/armstrong/formasi-geologi-sulawesi-armstrong-unima (Diakses tanggal: 20 Desember 2013)www.slideshare.net/buku-geologi-sulawesi-armstrong-sompotan (Diakses tanggal: 20 Desember 2013)W. T. Huang.1962. Modul ekskursi Endapan Mineral. Program Studi Teknik Geologi. Institut Teknologi Bandung.