Laporan Krisis Ekonomi

44
Yang Bertahan, Yang Dilupakan Dampak Krisis Ekonomi Global 2008-2009 terhadap Pekerja Perempuan Indonesia May Miller-Dawkins, Irwansyah Roysepta Abimanyu Sebuah Laporan Oxfam GB Indonesia 7 Januari 2010

Transcript of Laporan Krisis Ekonomi

Page 1: Laporan Krisis Ekonomi

Yang Bertahan, Yang Dilupakan

Dampak Krisis Ekonomi Global 2008-2009 terhadap

Pekerja Perempuan Indonesia

May Miller-Dawkins,

Irwansyah

Roysepta Abimanyu

Sebuah Laporan Oxfam GB Indonesia

7 Januari 2010

Page 2: Laporan Krisis Ekonomi

2

Ucapan Terima Kasih

Tim riset ingin menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah

membantu memberikan informasi, pemutakhiran serta menyediakan waktu

untuk wawancara/ diskusi. Meski tidak mungkin menyebutkan semua pihak

satu per satu, kami ingin menyampaikan penghargaan khusus kepada Ibu

Michaela Prokop dari UNDP Indonesia Crisis Monitoring Unit, Bpk. Simon dan

Bpk. Beno dari KASBI, serta Bpk. Fauzan Mahdami dari LIPS.

Page 3: Laporan Krisis Ekonomi

3

Daftar Isi

Ucapan Terima Kasih!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"!

1. ! Pengantar!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!#!

1.1! Metodologi dan tantangan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! $!

2.! Dampak Krisis Ekonomi Global (KEG) !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! %&!

2.1! Penularan krisis !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!%&!

2.2! Kelentingan Ekonomi atau Pelambatan Dampak? !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!%"!

2.3! Dampak terhadap Pekerjaan!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!%'!

3.! Tanggapan Pemerintah !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! %$!

3.1! Stimulus Fiskal !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!%$!

3.2! Posisi Fiskal Yang Baik?!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"&!

3.3! Mengenai Jaminan Sosial !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"%!

4.! Menilai Tanggapan Pemerintah dan Realitas Yang Dihadapi Pekerja

Perempuan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! "'!

4.1! Fleksibilitas Tenaga Kerja!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"'!

4.2! Strategi Penanggulangan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"$!

4.3! Migrasi dan pekerja migran!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!''!

4.4! Dampak terhadap akses jaminan sosial dan layanan pokok !!!!!!!!!!!!!!!!!'#!

5.! Kesimpulan dan Rekomendasi !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! '(!

Ringkasan Eksekutif

Page 4: Laporan Krisis Ekonomi

4

Krisis Ekonomi Global 2008-2009 (KEG) menjangkiti Indonesia terutama

akibat menurunnya permintaan dari pasar asing. Krisis yang datang pada

kuartal terakhir 2008 menyebabkan kontraksi aktivitas ekonomi dalam sektor

manufaktur. Angka ekspor dari sektor tersebut merosot hingga 25,4%,

membuat para pekerja harus mengalami PHK atau dirumahkan sementara.

Namun demikian terjadinya PHK juga didorong oleh tuntutan jangka panjang

fleksibilitas pasar tenaga kerja yang telah dimulai pada awal dasawarsa ini.

Sebagian besar pekerja dirumahkan dengan skema kompensasi yang tidak

layak, sedang sebagian lain “disodori” perubahan bentuk perjanjian kerja: dari

perjanjian kerja tetap menjadi perjanjian kerja waktu tertentu.

Studi pendahuluan ini bertujuan untuk mengungkap dampak KEG kepada

perempuan, khususnya mereka yang bekerja dalam zona industrial. Dengan

metode kualitatif seperti diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion)

dan wawancara mendalam, riset berhasil menemukan bahwa meski

Pemerintah Indonesia sedikit cepat memberikan respon, banyak pekerja

perempuan yang belum tersentuh oleh paket stimulus yang dikemas

pemerintah.

Melalui studi ini dapat dipastikan bahwa krisis memberikan dampak yang

berbeda kepada laki-laki dan perempuan, baik dalam sementara rezim

hubungan industrial maupun dalam konstruksi sosial hubungan gender. Meski

angka PHK meningkat, fleksibilitas pasar tenaga kerja dan pertumbuhan

sektor informal dapat sedikit mengurangi tingkat pengangguran. Namun

demikian, hal tersebut memaksa pekerja perempuan untuk menerima

penghasilan yang rendah tanpa jaminan sosial. Penghasilan lebih rendah

juga berarti bahwa dalam keluarga, pekerja perempuan harus mengurangi

makanan dan konsumsi lain sehingga lebih rawan dengan konflik domestik

yang dapat memicu kekerasan. Tekanan untuk menjadi pekerja migran serta

pekerja prostitusi selanjutnya menjadi bagian dari pilihan terakhir yang

dihadapi oleh pekerja perempuan.

Rekomendasi yang dibuat dalam studi ini sedianya dipandang sebagai

pengantar menuju riset kebijakan lebih mendalam mengingat keterbatasan

Page 5: Laporan Krisis Ekonomi

5

dalam hal metode kuantitatif dan sifatnya yang masih berupa penelitian

pendahuluan mengenai isu jaminan sosial. Betapapun, dengan temuan-

temuan yang dihasilkan, studi ini harus secara tegas merekomendasikan

diupayakannya skema dan implementasi program jaminan sosial yang lebih

baik di Indonesia, dengan fokus utama pada perempuan dan partipasinya

dalam ekonomi. Untuk sementara waktu, kiranya saran-saran berikut dapat

dipertimbangkan dengan memberikan fokus tertentu kepada isu gender:

• Pelibatan kelompok perempuan dan masyarakat sipil melalui

mekanisme yang tepat untuk memberikan kontribusi informasi dan

analisis kepada Komisi Pemantauan dan Tanggapan dari pihak

pemerintah;

• Penegakan undang-undang ketenagakerjaan dalam rangka melindungi

hak pekerja perempuan secara lebih efektif: undang-undang

ketenagakerjaan yang tidak ditegakkan secara konsisten

mengakibatkan terjadinya pelanggaran seperti ketiadaan dana

pesangon serta pemberangusan serikat pekerja;

• Krisis ekonomi boleh jadi merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk

membangun pijakan sosial yang efektif dengan mengembangkan

program jaminan sosial, khususnya asuransi pengangguran bagi

pekerja dalam sektor informal. Jaminan sosial dan asuransi harus

diperluas agar dapat menjangkau pekerja sektor informal, terutama jika

mereka harus bertahan hidup dalam kondisi ekonomi yang tidak

menentu.

• Mengatasi kesenjangan dalam upaya pemantauan: mengupayakan

pemantauan yang efektif atas dampak krisis terhadap pekerja migran,

terlebih pekerja rumah tangga, dalam sektor informal serta

mengupayakan analisis gender yang lebih tajam termasuk secara

konsisten menghimpun data yang telah dipisahkan berdasarkan

gender;

• Diplomasi pemerintah dalam rangka mengupayakan perlindungan bagi

pekerja migran baik secara bilateral maupun dalam kerangka forum

Page 6: Laporan Krisis Ekonomi

6

regional dan internasional, dengan fokus utama pada Timur Tengah

(ini akan memberikan pengaruh positif sementara kesepakatan dengan

Hong Kong dan sementara negosiasi dengan Malaysia);

• Jaring pengaman untuk pekerja migran yang diberhentikan serta

penyertaan keluarga mereka dalam program jaminan sosial;

• Mendesain program infrastruktur atau program pekerjaan umum untuk

menyediakan lapangan kerja bagi perempuan – baik melalui

penetapan situs kerja yang terpisah, giliran kerja bagi perempuan di

siang hari dan laki-laki di malam hari, maupun langkah lain seperti

yang umum diterapkan di banyak negara.

Page 7: Laporan Krisis Ekonomi

7

1. Pengantar

Studi ini adalah studi kualitatif mengenai dampak krisis ekonomi terhadap

perempuan di Indonesia dan analisis mengenai tanggapan pemerintah

terhadap krisis tersebut. Studi ini meletakkan fokus pada pekerja perempuan,

baik non-migran maupun migrant, termasuk cara mereka mengatasi dampak

krisis serta bagaimana tanggapan pemerintah dapat memengaruhi upaya

penanggulangan yang mereka lakukan.

Di luar mereka yang menjadi ibu rumah tangga “purnawaktu”, sebagaimana

hitungan para ahli statistik, perempuan secara umum mewakili 37% dari

seluruh angkatan kerja Indonesia. Mereka menjalankan 43% pekerjaan dalam

sektor manufaktur dan 50% pekerjaan dalam sektor perdagangan umum

serta pariwisata.1 Dengan demikian, pentingnya kontribusi perempuan dalam

ekonomi tidak dapat disanggah. Namun, seringkali kebijakan-kebijakan

pemulihan ekonomi mengabaikan kepentingan perempuan, bahkan

menimbulkan konsekuensi yang merugikan terhadap capaian yang telah

berhasil diperjuangkan oleh gerakan emansipasi perempuan.

Studi ini bertujuan untuk memahami dampak Krisis Ekonomi Global (KEG)

dan dampak tanggapan serta kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Studi ini

diharapkan dapat memberikan wawasan kepada para pembuat kebijakan,

baik pemerintah maupun non-pemerintah, dari perspektif pekerja perempuan

yang menghadapi konsekuensi-konsekuensi dari krisis dan tanggapan

kebijakan.

1 Biro Pusat Statistik, Kecenderungan INdikator Sosial Ekonomi Terpilih Indonesia, Maret 2009. Diperoleh pada tanggal 1 December 2009, http://www.bps.go.id/download_file/booklet_maret_2009.pdf

Page 8: Laporan Krisis Ekonomi

8

Studi ini adalah bagian dari proyek riset di seluruh Asia Tenggara yang

diadakan oleh Oxfam bersama mitra-mitranya.2 Proyek tersebut berupaya

mengeksplorasi hubungan antar variabel-variabel seperti: tanggapan

pemerintah terhadap krisis ekonomi global, penyelarasan struktural terhadap

ekonomi yang memengaruhi hubungan kerja dan keamanan kerja, serta taraf

hidup perempuan yang terkena dampak krisis.

1.1 Metodologi dan tantangan

Studi di Indonesia ini lebih banyak menggunakan metode kualitatif dengan

penekanan pada diskusi kelompok terarah tingkat mikro serta wawancara

mendalam dengan pakar riset dan pejabat baik dari lembaga pemerintah

maupun lembaga internasional termasuk para tokoh masyarakat sipil.

Alasannya, mengingat luas dan kompleksitas Indonesia, dibutuhkan riset

yang juga luas dan kompleks untuk memahami krisis secara kuantitatif.

Namun, riset tingkat mikro seringkali mengungkapkan cerita yang berbeda.

Hal tersebut justru mampu memberikan penjelasan lebih jernih dibandingkan

dengan studi kuantitatif statistik mengenai kondisi masyarakat yang terkena

dampak.

Telah dibentuk tiga kelompok terarah yang beranggotakan perempuan dari

sejumlah kota industri di sekitar Jakarta pada bulan Juli tahun 2009:

• Satu kelompok terarah beranggotakan 10 orang perempuan dari

Bekasi yang kehilangan pekerjaan sebelum krisis ekonomi;

2 Yada Praparpurn, “Dampak krisis ekonomi global pada Perempuan di 5 Negara Asia Tenggara”, Proyek Riset Oxfam (akan segera diterbitkan).

Page 9: Laporan Krisis Ekonomi

9

• Satu kelompok terarah lagi beranggotakan 6 orang perempuan dari

Tangerang yang sementara bekerja untuk sebuah pabrik alas kaki;

• Satu kelompok terarah terakhir beranggotakan 9 orang perempuan dari

Serang yang telah diberhentikan sejak terjadinya krisis ekonomi.

Diskusi kelompok terarah difokuskan pada perubahan pendapatan dan

pekerjaan, belanja rumah tangga, konsumsi makanan, pendidikan anak,

kesehatan, konflik serta perubahan sosial dan ekonomi lain.

Di samping kelompok terarah, diadakan wawancara dengan lebih dari 20

informan kunci laki-laki dan perempuan di Jakarta yang meliputi:

• 1 orang pejabat pemerintah;

• 1 orang pengusaha – bekerja sebagai bagian dari rantai pasokan sebuah

ritel busana besar di AS;

• 8 orang pengurus serikat buruh;

• 6 orang pengurus LSM;

• 3 orang pejabat lembaga bilateral;

• 4 orang pejabat Lembaga Keuangan Internasional;

• 4 orang periset.

Studi ini juga didukung dengan tinjauan dokumen dan analisis data resmi.

Tantangan terbesar untuk menjelaskan dampak krisis ekonomi terhadap

masyarakat pekerja di Indonesia adalah hal yang berhubungan dengan

ketidaksesuaian antara data indikator ekonomi makro dengan temuan tingkat

mikro. Data ekonomi makro tampak berusaha memperlihatkan keberhasilan

besar pemerintah Indonesia untuk keluar dari dampak negatif yang

Page 10: Laporan Krisis Ekonomi

10

ditimbulkan krisis ekonomi global. Sebagian lembaga internasional

memberikan penghargaan kepada pemerintah Indonesia atas hal yang

mereka nilai sebagai upaya sukses dalam mengendalikan angka PHK

massal. Para Pejabat dari ILO, IMF, dan World Bank secara terpisah dalam

berbagai kesempatan berbeda memberikan pujian atas angka resmi yang

mencerminkan kondisi ekonomi makro dan ketenagakerjaan di Indonesia.3

Studi ini bersifat terbatas sehingga temuan-temuannya hanya dapat

diperlakukan sebagai indikasi yang membutuhkan investigasi dan verifikasi

lebih mendalam. Jika memungkinkan, diupayakan untuk melakukan verifikasi

dengan merujuk pada studi dan data resmi lain.

2. Dampak Krisis Ekonomi Global (KEG)

2.1 Penularan krisis

Dampak krisis ekonomi global pertama kali dirasakan di Indonesia pada

kuartal keempat tahun 2008 ketika pertumbuhan ekonomi turun dari 6,1%

hingga 5,2% akibat penurunan ekspor secara signifikan (Sarwono, 2009).

Ekspor terpukul karena dua alasan utama: jatuhnya harga komoditi sejak

pertengahan 2008 dan melemahnya permintaan ekspor barang dari luar

setelah September 2008 (Titiheruw et al, 2009).

Tren penurunan ekspor terus berlanjut pada 2009 sehingga kemudian

memicu kekhawatiran mengenai kemungkinan pertumbuhan ekspor yang

negatif sepanjang tahun tersebut. Situasi sedikit berubah pada Agustus 2009

3 Lihat: http://www.thejakartaglobe.com/business/world-bank-indonesia-could-do-better/277167, http://www.imf.org/external/pubs/ft/survey/so/2009/car072809b.htm, http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/19/05055111/ilo.apresiasi.langkah.ri.redam.krisis

Page 11: Laporan Krisis Ekonomi

11

ketika angka ekspor mulai merangkak naik. Sektor pertambangan

memberikan kontribusi paling besar terhadap pola perubahan ekspor

tersebut. Secara kumulatif, tren sejak Januari hingga September 2009

menunjukkan penurunan sebesar 25,75% dibandingkan dengan periode yang

sama pada tahun sebelumnya, dengan penurunan pada sektor non migas

sebesar 18,21% dibandingkan dengan capaian tahun 2008. Produksi ekspor

dari insdustri manufaktur, sektor yang menyerap 12,5 juta pekerja, mengalami

penurunan sekitar 25,46% dibandingkan dengan periode yang sama pada

2008. Sektor agrikultur juga mengalami tren penurunan sebesar sekitar

10,72% berbanding periode yang sama pada Januari-September 2008. Satu-

satunya sinyal yang bagus muncul pada ekspor pertambangan yang naik

sebesar 25,46% dibanding periode yang sama tahun 2008.4

Dalam industri tekstil dan garmen global, Indonesia adalah salah satu

pemasok strategis dalam ‘lingkar inti terpenting’ bersama dengan China dan

Vietnam. Sedemikian pentingnya pangsa produksi negara-negara ini

sehingga menjadi andalan bagi konsumen’ (Bimbaum, 2009). Dalam masa-

masa sulit, meskipun ekspor bersih Indonesia tengah menurun, pangsa pasar

industri tekstil dan garmennya terhadap pasar dunia justru meningkat.

Manajer rantai pasokan dari merek garmen besar AS yang diwawancarai

dalam studi ini memiliki tanggung jawab untuk mengawasi 100 pabrik di

Indonesia. Sebagai akibat dari krisis, hanya satu di antara pabrik-pabrik

4 Badan Pusat Statistik, Berita Resmi Statistik, No. 63/11/Th. XII, 2 November 2009 (terbitan resmi dari Biro Pusat Statistik Indonesia)

Page 12: Laporan Krisis Ekonomi

12

tersebut yang harus ditutup, sedang pabrik-pabrik lain meski mengalami

penurunan pesanan masih dapat beroperasi.

2.2 Kelentingan Ekonomi atau Pelambatan Dampak?

Karena krisis baru terjadi pada paruh akhir 2008, Indonesia bisa menikmati

pertumbuhan ekonomi yang baik pada tahun tersebut. Angka pertumbuhan

sebesar 6,1% dalam tahun ini terutama tertopang oleh konsumsi swasta yang

besar dan investasi. Konsumsi swasta memberikan kontribusi hingga

setengah dari keseluruhan pertumbuhan PDB yang tercatat meski harga

bahan bakar dan pangan meningkat (ADB 2009a). Seorang pengusaha yang

diwawancarai menyatakan ‘permintaan domestik merupakan anugerah tidak

terduga yang menyelamatkan kami dari dampak terburuk krisis – namun ini

tidak dipersiapkan secara sengaja’. Seorang pejabat pemerintah memahami

anugerah tersebut dengan cara yang agak berbeda: “Fokus kami saat ini

adalah untuk mendorong permintaan domestik, ini merupakan anugerah tidak

terduga dari krisis”. Diakui atau tidak, posisi Indonesia yang relatif baik

dibanding negara lain dalam kawasan, bisa diperoleh lebih karena

pertumbuhan yang bergantung lebih kuat terhadap permintaan domestik

ketimbang orientasi ekspor.

Namun demikian, data yang tercatat dari kuartal ketiga tahun 2009

memperlihatkan pertumbuhan yang lebih lambat sebesar 4,2% dibanding

kuartal yang sama tahun sebelumnya, sebagaimana diprediksi oleh lembaga

pemerintah dan lembaga internasional. Penurunan signifikan dalam ekspor

secara parsial turut menekan sehingga ekspor kumulatif Januari-Oktober

Page 13: Laporan Krisis Ekonomi

13

2009 jatuh sebesar 22,3% dibanding periode yang sama pada 2008.5

Tekanan deflasi kemudian berlanjut dengan semakin sulitnya kehidupan

kaum urban yang pada akhirnya memaksa mereka untuk beradaptasi dengan

kondisi krisis yang baru serta daya beli yang melemah.

Fakta ini mendukung beberapa penjelasan yang diberikan oleh ekonom

Indonesia di luar arus utama bahwa akibat interaksi Indonesia yang

terlokalisasi (bukan dibatasi) dengan ekonomi global, maka dampak krisis

tidak akan seperti pasang naik. Banyak cara yang dapat digunakan oleh

perusahaan berorientasi ekspor untuk mengatasi berkurangnya permintaan

pasar dari luar negeri. Salah satu contoh, barang ekspor ulang atau barang

ekspor yang tidak terkirim selalu punya cara untuk menembus pasar

domestik. Inilah yang terjadi pada kasus “factory outlets” pada pusat industri

pakaian seperti di Bandung. Walau tidak terdapat kebijakan yang jelas untuk

membangun pasar domestik, namun jumlah penduduk yang ada membentuk

kapasitas besar untuk menyerap sisa ekspor. Karenanya, akan selalu

terdapat pelambatan, baik dalam hal waktu maupun skala, antara saat

terjadinya pukulan pertama dampak krisis, dalam hal ini penurunan

permintaan secara tiba-tiba dari negara-negara tujuan ekspor, hingga

terjadinya kehilangan pendapatan pekerja.

2.3 Dampak terhadap Pekerjaan

Tren penurunan ini memperlihatkan kemungkinan dampak sangat besar yang

mengakibatkan berkurangnya ketersediaan lapangan kerja terutama dalam

5 BPS, Berita Resmi Statistik, No.72/12/Th.XII, 1 Desember 2009, diperoleh tanggal 5 Desember 2009, dari http://www.bps.go.id/brs_file/exim-01des09.pdf.

Page 14: Laporan Krisis Ekonomi

14

sektor manufaktur, mengingat sebagian besar di antaranya berorientasi

ekspor. Manufaktur bagaimanapun merupakan sebuah sektor yang signifikan

dalam ekonomi dengan proporsi yang dimiliki terhadap PDB (26,8%) dan

mengalami kecenderungan penurunan paling signifikan dalam kuartal

keempat 2008 (Sarwono, 2009). Tingkat pertumbuhan ekspor pada kuartal

keempat 2008 merupakan yang terendah sejak 1986 (1%). Pada bulan

Januari 2009 pertumbuhan ekspor dibanding bulan yang sama tahun

sebelumnya merosot hingga 36,8% (Titiheruw et al, 2009).

Pada tanggal 28 Agustus 2009, Departemen Tenaga Kerja mencatat bahwa

telah terjadi 65.200 PHK sebagai akibat dari krisis (Depnakertrans, 2009).

Mayoritas PHK terjadi pada sektor tekstil dan garmen, kayu, serta barang

elektronik. PHK secara geografis terkonsentrasi di wilayah Jawa Barat.

Angka PHK yang dinyatakan pemerintah jauh berbeda dengan yang

dilaporkan oleh APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), yaitu antara

150.000 hingga 200.000 PHK termasuk pekerja alih daya (outsourcing) dan

pekerja harian lepas (David dan Baskoro, dikutip dalam Titiheruw et al, 2009).

Tabel 1 Statistik Ketenagakerjaan Indonesia

Populasi berdasarkan kegiatan tahun 2006, 2007, 2008 dan 2009

Jenis Kegiatan 2006 (Agustus) 2007 (Feb) 2007 (Agustus) 2008 (Agustus) 2009 (Feb)

1. Populasi di atas usia 15 tahun

160 811 498 162 352 048 164 118 323 166 641 050 168 264 448

2. Tenaga kerja 106 388 935 108 131 058 109 941 359 111 947 265 113 744 408

Tingkat Partisipasi Tenaga Kerja

66.16 66.6 66.99 67.18 67.6

Page 15: Laporan Krisis Ekonomi

15

Bekerja 95 456 935 97 583 141 99 930.217 102 552 750 104 485 444

Pengangguran Terbuka *)

10 932 000 10 547 917 10 011 142 9 394 515 9 258 964

Tingkat Pengangguran Terbuka

10.28 9.75 0.11 8.39 8.14

3. Bukan Tenaga Kerja

54 422 563 54 220 990 54 176 964 54 693 785 54 520 040

Dalam pendidikan

13 530 160 14 320 491 13 777 378 13 226 066 13 665 903

Mengurus rumah tangga

31 977 973 31 133 071 31 989 042 32 770 941 32 578 420

Lain-lain 8 914 430 8 767 428 8 410 544 8 696 778 8 275 717

*) Pengangguran terbuka: Mencari kerja, menyiapkan badan usaha swasta, Memiliki persepsi ketidakmungkinan mendapatkan pekerjaan. Mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai

Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009

Ketika kami mencoba melihat gambaran yang lebih besar dari tingkat

kebekerjaan (Gambar 2), kami menjumpai data statistik nasional resmi pada

bulan Februari 2009 yang memperlihatkan bahwa sesungguhnya terdapat

penurunan tingkat pengangguran sebesar 0,25% dibandingkan dengan bulan

yang sama pada tahun sebelumnya (dari 8,39% menjadi 8,14%). Menjadi

sangat membingungkan jika kami mencoba memahami problem dan realitas

kondisi pekerja di Indonesia selama masa krisis ekonomi global hanya

dengan melihat kulit muka ekonomi Indonesia yang meskipun bersifat umum

namun masih dangkal tersebut.

Alternatif yang paling memungkinkan adalah dengan mengamati sektor

informal yang saat ini menyerap hampir 70% dari angkatan kerja. Para

pekerja yang mengalami PHK cenderung akan terjun ke dalam ekonomi

informal untuk bertahan hidup. Meminjam istilah Faisal Basri, seorang

Page 16: Laporan Krisis Ekonomi

16

pengajar Ekonomi dan penasihat KADIN, “mereka terlalu miskin untuk

menganggur.”

Asesmen singkat ILO terhadap Indonesia mendorong perhatian lebih

mendalam mengenai motif PHK: ‘kami tidak benar-benar yakin apakah PHK

dilakukan akibat krisis ekonomi global sekarang (frekuensi pesanan yang

lebih sedikit, pelambatan permintaan, dan seterusnya) atau sesungguhnya

rencana untuk melakukan PHK telah dibuat jauh sebelum krisis memukul

Indonesia, namun baru dilaksanakan sekarang!’ (ILO, 2008). Ini diperkuat

dengan sebuah riset yang menemukan bahwa krisis ekonomi disalahgunakan

untuk melakukan PHK terhadap karyawan tetap dan menggantikan dengan

pekerja kontrak – sehingga meningkatkan fleksibilitas angkatan kerja dan

sebaliknya mengurangi keamanan pendapatan mereka.

Data PHK yang dihimpun memiliki sejumlah kekurangan seperti: data

dihimpun berdasarkan laporan pabrik-pabrik tanpa menyertakan catatan

apakah pekerja yang mengalami PHK dipekerjakan kembali dengan kontrak

dan data juga tidak dipisahkan menurut gender. Perempuan terkonsentrasi

dalam segmen rantai pasokan global yang lebih rendah, ‘tempat pekerjaan

bersifat tidak menentu, upah rendah, dan kondisi kerja buruk’ (ILO, 2009).

Faktor ini, ditambah dampak krisis ekonomi pada sektor manufaktur, di mana

perempuan menjadi bagian signifikan dari angkatan kerja mungkin

mengakibatkan perempuan menjadi lebih rentan kehilangan pekerjaan.

Dua di antara tiga kelompok terarah menengarai usia sebagai sebuah faktor

yang memicu PHK dan menjadi hambatan untuk memperoleh pekerjaan baru

dalam sektor terkait, terutama bagi perempuan dengan usia di atas 30 tahun.

Data BPS mengenai pengangguran sebelum krisis memperlihatkan

Page 17: Laporan Krisis Ekonomi

17

penurunan pengangguran secara umum dari Februari hingga Agustus 2008,

kecuali pengangguran perempuan yang justru meningkat sebesar 5% (BPS,

2009). Perubahan tingkat pengangguran perempuan terjadi secara tidak

merata pada berbagai kelompok umur. Tingkat pengangguran meningkat

pada kelompok umur 15-29 tahun (14%) dan perempuan di atas 50 tahun

(54%) namun menurun pada kelompok umur 30-49 tahun (23%). Fakta ini

mendukung bukti anekdotal dari kelompok terarah dan wawancara bahwa

pengusaha dalam perkembangannya semakin menyasar kelompok

demografis tertentu untuk dipekerjakan. Tren tersebut berkembang sebelum

terjadinya dampak krisis ekonomi pada bulan Oktober 2008. Sebuah serikat

pekerja yang mencermati PHK sejak Oktober 2008 mencatat bahwa pekerja

yang mengalami PHK cenderung mencari pekerjaan di sektor informal atau

menjadi pekerja migran dan hanya 10% yang menjadi pekerja kontrak:

‘”Pabrik ingin pekerja yang lebih muda dan lebih segar untuk kontrak dan

mereka dapat membayar lebih murah’.

Kelompok terarah di Jawa Barat yang diadakan untuk riset ini melibatkan para

perempuan yang telah bekerja pada pabrik yang sama antara 8 hingga 14

tahun. Umumnya mereka menduga terkena PHK akibat krisis ekonomi dan

kecenderungan penurunan permintaan. Pabrik selanjutnya mempekerjakan

kembali mereka yang berusia lebih muda dengan berbagai bentuk

kesepakatan kerja lebih fleksibel dengan upah lebih murah termasuk kontrak

jangka pendek, magang atau alih daya. Pengurus serikat pekerja yang

diwawancarai menengarai berlangsungnya tren ganda berupa kontrak jangka

pendek dan kecenderungan terhadap perempuan berusia lebih muda sebagai

pekerja.

Page 18: Laporan Krisis Ekonomi

18

Para pekerja menuntut hak mereka untuk memperoleh formula yang

diberlakukan secara resmi berkaitan dengan uang pesangon, dengan

melakukan unjuk rasa selama 8 hari di kantor gubernur. Meskipun pabrik

pada akhirnya menerima, namun nyatanya mereka telah mempekerjakan

pekerja kontrak lain. Dari 73 pekerja yang terkena PHK, 17 di antaranya

memperoleh uang pesangon sedang 56 lainnya tidak, karena menuntut

pemulihan hak – mereka menginginkan pekerjaan mereka kembali.

Sementara waktu mereka berupaya mencari pekerjaan lain, kesepuluh

perempuan dalam kelompok terarah mencari pekerjaan melalui alih daya,

pekerjaan kontrak pada pabrik atau dalam sektor informal. Dua di antaranya

menjual kudapan goreng; empat lainnya bekerja lepas di lokasi setempat.

Mereka merasa kesulitan untuk memperoleh pekerjaan formal. Salah satu

hambatan yang dikeluhkan adalah keharusan untuk memberikan suap –

antara 1,5 – 2,15 juta rupiah – agar diterima untuk sebuah pekerjaan.

3. Tanggapan Pemerintah

3.1 Stimulus Fiskal

Pada tingkat ekonomi makro, Pemerintah Indonesia memberikan tanggapan

cukup cepat terhadap krisis dengan menyeimbangkan pasar finansial dan

mengembangkan paket stimulus setara dengan 1,4% dari PDB yang

diluncurkan pada bulan Maret 2009. Para pejabat berargumentasi bahwa

faktor kunci dalam posisi fiskal pemerintah Indonesia adalah pengurangan

belanja untuk subsidi bahan bakar, sampai lebih dari setengah, sehingga

memberikan ruang fiskal bagi belanja pemerintah yang lain (Bank Indonesia,

2009).

Page 19: Laporan Krisis Ekonomi

19

Kita bagaimanapun harus memperhatikan alokasi dari stimulus ini

sebagaimana diperlihatkan dalam Gambar 1 berikut. Sebagian besar dari

stimulus (77%) adalah dalam bentuk potongan pajak dan bea impor dengan

hanya 12,2 dari 73,4 triliun rupiah yang berasal dari simpanan pemerintah.

Sebagai bantuan langsung untuk mengurangi dampak krisis pada tingkat

mikro, pemerintah diproyeksikan akan membelanjakan 300 miliar rupiah untuk

balai latihan kerja, 600 miliar rupiah untuk mengembangkan PNPM Mandiri,

serta 500 miliar rupiah untuk obat-obatan dan air. Proyek-proyek infrastruktur

sosial ekonomi juga akan didanai dengan stimulus ini: 800 miliar rupiah untuk

jalan pertanian, 600 miliar rupiah untuk pasar dan 700 miliar rupiah untuk

perumahan rakyat (dengan prioritas bagi masyarakat nelayan).

Gambar 1 Alokasi Paket Stimulus Fiskal 2009

Angka dalam triliun rupiah

Page 20: Laporan Krisis Ekonomi

20

3.2 Posisi Fiskal Yang Baik?

Posisi fiskal yang baik sebagaimana diargumentasikan juga telah membantu

pemerintah untuk meneruskan rencana meningkatkan belanjanya.

Pemerintah tidak mengurangi belanja untuk pekerjaan penanganan

kemiskinan dalam anggaran tahun 2009. Belanja Lini Kementerian dan

Lembaga serta Alokasi untuk Daerah secara riil meningkat, meskipun sebagai

persentase dari PDB menurun (Bank Indonesia, 2009). Selanjutnya,

dibutuhkan analisis mengenai proporsi penggunaan dana-dana tersebut

apakah proporsi untuk pelaksanaan pelayanan sudah lebih besar dari belanja

operasional dan upah. Sejalan dengan rencana pra-krisis, pembiayaan untuk

“alokasi kemiskinan” ditingkatkan hingga 7,1 juta USD pada tahun 2009, naik

50% dari tahun 2008 (ILO, 2009a).

Meski Indonesia telah menurunkan tingkat utangnya dalam beberapa tahun

terakhir, pengembalian utang masih merupakan bagian signifikan dari

anggaran negara. Pembayaran utang mengakibatkan berkurangnya dana

yang tersedia untuk membiayai pelayanan publik - perumahan, listrik, air,

kesehatan dan pendidikan. Wawancara dengan masyarakat sipil mengarah

seputar isu privatisasi listrik, air dan kesehatan yang sementara berlangsung

serta ketiadaan pijakan sosial yang memberikan jaminan sosial bagi seluruh

warga negara. Dibandingkan isu pembayaran utang, isu efektivitas dan

efisiensi (serta korupsi) dalam pelayanan cenderung memiliki dampak yang

lebih kuat terhadap ketersediaan akses bagi masyarakat untuk memperoleh

pelayanan yang memadai. Sebagai tanggapan terhadap krisis ekonomi,

Pemerintah Indonesia telah menegosiasikan fasilitas pinjaman siaga hingga

sejumlah 5 miliar USD dengan pihak donor, terutama ADB, World Bank,

Page 21: Laporan Krisis Ekonomi

21

Jepang dan Australia jika kondisi permodalan dunia menjadi sangat restriktif

(ADB, 2009b). Ini telah membantu memperkuat neraca pembayaran.

Berdasarkan situasi yang sedang berlangsung tidak ada alasan yang cukup

kuat untuk mencairkan dana tersebut. Sebagai gantinya Indonesia berhasil

menghimpun dana melalui obligasi domestik dan internasional serta

memastikan akses untuk melakukan kesepakatan swap mata uang dengan

ASEAN yang memberikan jaminan tambahan untuk cadangan internasional

(ADB, 2009a).

3.3 Mengenai Jaminan Sosial

Pemerintah telah meneruskan atau mengembangkan program sosial sebagai

tanggapan terhadap krisis ekonomi:

• Bantuan Operasional Sekolah (BOS), meski tekanan finansial biaya

pendidikan masih dirasakan oleh para orang tua, telah berhasil

membuka akses lebih luas terhadap pendidikan.

• Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) – menyasar kalangan

miskin dengan memberikan layanan gratis di puskesmas, pustu dan

posyandu. Pembiayaan untuk program kesehatan ini tidak pernah

dikurangi sejak krisis dan telah ditambah sebagaimana direncanakan

sebelum krisis.

• Program Beras Miskin (Raskin) dimulai pada tahun 2000 awalnya

sebagai program jaring pengaman sosial untuk mengurangi dampak

krisis 1997/1998.

• Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diadakan sebagai

tanggapan terhadap krisis bahan bakar pada tahun 2005 dilanjutkan.

Page 22: Laporan Krisis Ekonomi

22

Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini memberikan bantuan

tunai kepada rumah tangga miskin dan hampir-miskin yang memenuhi

syarat di antaranya menyekolahkan kembali anak-anak berusia 6

hingga 15 tahun dan memanfaatkan Puskesmas jika setiap anggota

rumah tangga membutuhkan pengobatan. Dana tunai yang diterima

oleh rumah tangga bervariasi bergantung pada komposisi rumah

tangga.

• Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat – Mandiri (PNPM

Mandiri), bertujuan untuk mengurangi kemiskiknan, memperkuat

pemerintah daerah serta institusi kemasyarakatan, juga memperbaiki

pengelolaan pemerintahan di daerah. Program penanggulangan

kemiskinan ini sudah menjangkau hampir setengah dari seluruh

wilayah Indonesia dan diharapkan akan menjangkau 80.000 desa dan

kota di seluruh Indonesia secara keseluruhan pada tahun 2009. PNPM

Mandiri menyasar perempuan sebagai target khusus: Dalam PNPM

pedesaan terdapat alokasi kredit dan simpanan yang dikhususkan

untuk kelompok perempuan.

Sebuah isu yang penting untuk program-program tersebut terutama yang

memperoleh tambahan anggaran adalah kemampuan Pemerintah Pusat dan

Propinsi untuk membelanjakan uang secara efektif berdasarkan rentang

kebutuhan masyarakat. Pejabat dari pihak donor yang diwawancarai

mengemukakan kekhawatiran mendalam mengenai kemampuan pemerintah

untuk menerapkan anggaran, regulasi seputar anggaran yang mengakibatkan

kesulitan untuk melakukan pergeseran pembiayaan saat dibutuhkan dan

pendekatan terpisah-pisah antar departemen pemerintah. Selama alokasi

Page 23: Laporan Krisis Ekonomi

23

pembiayaan masih tersedia, penting untuk terus memantau implementasinya

dalam rangka memastikan bahwa alokasi pembiayaan tersebut benar-benar

menjangkau kelompok rawan yang membutuhkan.

Stimulus tidak memiliki langkah-langkah baru khusus yang ditujukan bagi

perempuan dan belum mengakomodasi kerawanan khusus perempuan akibat

tingkat partisipasi yang tinggi dalam industri berorientasi ekspor dan migrasi.

Mereka yang memiliki kedekatan dengan pemerintah menyatakan bahwa isu

gender tidak didiskusikan secara khusus dalam Komisi Pemantauan dan

Tanggapan yang resmi dari pihak pemerintah. Pemerintah telah

memprakarsai upaya pemantauan melalui BPS dan Bappenas, yang

didukung oleh World Bank dan UNDP. Meski upaya pemantauan ini berusaha

menangkap perubahan-perubahan pada tingkat propinsi dan secara kualitatif

menginvestigasi perubahan-perubahan dalam saluran transmisi khusus,

masih terdapat hal yang terabaikan seperti pemantauan dampak pada sektor

informal, kemampuan untuk menangkap data yang akurat mengenai

kepulangan pekerja migran, dampak tidak langsung terhadap pekerja

domestik baik secara internal maupun eksternal serta fokus gender yang

cukup.

4. Menilai Tanggapan Pemerintah dan Realitas Yang Dihadapi

Pekerja Perempuan

4.1 Fleksibilitas Tenaga Kerja

Walau pemerintah menyatakan bahwa tanggapan mereka bertujuan untuk

memitigasi dampak krisis berkaitan dengan pengangguran dan daya beli,

sebagian kebijakan pemerintah justru bertolak belakang dengan tujuan-tujuan

Page 24: Laporan Krisis Ekonomi

24

tersebut. Sebagai contoh kita dapat melihat implikasi dari SKB 4 Menteri –

Menakertrans, Mendagri, Menperin dan Mendag, yang pada prinsipnya

bertolak belakang dengan Undang-Undang No.13 Tahun 2003 mengenai

Ketenagakerjaan. Dalam undang-undang tersebut, Dewan Pengupahan

Kabupaten harus menetapkan jumlah upah minimum dengan melakukan

survei kebutuhan hidup layak (KHL).

Kontroversi lain terdapat dalam Pasal 3 SKB, yang menyatakan, jika sebuah

perusahaan tidak sanggup membayar UMK maka penyelesaiannya harus

dilakukan melalui mekanisme bipartit. Ini berarti bahwa pembicaraan hanya

dapat dilakukan jika terdapat paling sedikit satu serikat pekerja yang artinya

saat ini sebagian besar pekerja di Indonesia tidak memiliki kesempatan untuk

melakukan negosiasi mengingat mereka belum berserikat.

SKB 4 Menteri jelas telah mengakibatkan posisi tawar yang tidak berimbang

antara pengusaha dengan pekerja. LIPS, sebuah LSM riset ketenagakerjaan

di Indonesia, menemukan dalam observasi mereka bahwa mayoritas

perusahaan menggunakan dalih krisis ekonomi sebagai cara untuk menekan

posisi tawar pekerja mereka dalam setiap negosiasi mengenai perbaikan

kesejahteraan. Penyebarluasan rumor mengenai kebutuhan perusahaan

untuk mengambil langkah efisiensi dan lebih banyak menerapkan sistem alih

daya dalam produksi mereka menjadi tren yang semakin populer. 6

Segera, menyusul tekanan hebat dari serikat, dilakukan revisi terhadap SKB

sehingga tidak lagi menyiratkan desakan untuk menetapkan upah minimum

6 Fauzan A Mahdami (eds) “Krisis Finansial Global: Petaka Bagi Buruh yang Tak Kunjung Usai.”

Page 25: Laporan Krisis Ekonomi

25

berdasarkan pertumbuhan ekonomi nasional. UMK di berbagai kabupaten

dan kota untuk 2009 secara umum meningkat sebesar 10% dibanding tahun

sebelumnya. Namun demikian, para pengusaha cenderung untuk

mengabaikan ketetapan upah minimum dengan menggunakan dalih krisis

ekonomi. Meski secara hukum dimungkinkan untuk mengesampingkan

regulasi mengenai upah minimum, banyak perusahaan melakukan hal

tersebut tanpa mengikuti prosedur pengesampingan yang seharusnya. Para

pimpinan serikat pekerja secara tegas menyatakan bahwa mereka

menemukan sejumlah besar pelanggaran sejenis yang dilakukan oleh

perusahaan. Di samping itu, mayoritas pekerja menerima tindakan ini akibat

sulitnya memperoleh pekerjaan dan kekhawatiran terhadap masa depan jika

mengalami PHK.

Semakin banyak pula bukti bahwa banyak perusahaan menggunakan dalih

‘krisis ekonomi’ untuk mempercepat langkah menuju angkatan kerja yang

lebih fleksibel. Fleksibilisasi pasar tenaga kerja faktanya merupakan tren yang

sudah berlangsung sebelum krisis ekonomi. Krisis ekonomi telah membuka

kesempatan untuk memperdalam tren ini.

Fleksibilisasi pasar kerja menempatkan pekerja dalam kondisi dan upah yang

tidak terjamin – terutama akibat jangka waktu kontrak yang lebih singkat dan

upah kontrak yang lebih rendah. Salah satu modus yang dikemukakan oleh

pimpinan serikat pekerja dan kelompok terarah adalah merekrut perempuan

berusia muda ke pabrik-pabrik untuk pelatihan atau magang dengan bayaran

di bawah upah minimum dan selanjutnya menerima upah murah melalui

kontrak kerja upah minimum. Praktek ini berakhir sesudah maksimal 2 tahun

masa kerja, yang hanya 15 bulan di antaranya menerapkan upah minimum.

Page 26: Laporan Krisis Ekonomi

26

Kelompok terarah yang berhasil mempertahankan pekerjaan pada sebuah

industri alas kaki di pinggiran Jakarta, menyatakan bahwa sejak 2008 mereka

merasa bahwa pabrik menjadi lebih ringan memberhentikan pekerja. Pabrik

memulai program ‘pelatihan’ di mana para kandidat bekerja selama 3 bulan

dan selanjutnya hanya sebagian yang diterima sebagai pekerja tetap. Pekerja

yang menjadi target PHK dipindahkan ke dalam departemen yang berlebihan

tenaga sehingga mereka tidak memperoleh pekerjaan untuk dilakukan dan

seringkali menjadi sasaran kemarahan pekerja lain yang kelebihan beban

kerja.

Data PHK resmi tidak mampu secara memadai menangkap meningkatnya

praktek fleksibilisasi pasar tenaga kerja. Sebuah serikat pekerja nasional

berhasil melacak PHK dan perubahan kondisi yang terjadi pada jaringan

serikat berbasis pabriknya sejak Oktober 2008. Data mereka, meskipun tidak

komprehensif, mengungkapkan cerita yang berbeda dengan data resmi.

Mereka mencatat terdapat 6500 pekerja tetap pada 4 pabrik yang terkena

PHK dan diganti dengan pekerja kontrak. Ini mencerminkan pengalaman

serupa yang terjadi dalam krisis 1997/98 ketika pabrik pengolahan produk

ekspor memberhentikan pekerja reguler, yang sebagian besar perempuan,

dan mempekerjakan mereka kembali sebagai pekerja borongan (piece rate

worker) dengan upah lebih murah (ILO, 2009). Catatan ini lebih tinggi

dibanding catatan mereka mengenai jumlah pekerja tetap yang diberhentikan

karena kepailitan (5.635). Dari tren PHK ini tertangkap bukti anekdotal bahwa

perusahaan memang mengincar para pimpinan serikat pekerja. Bahkan

terdapat laporan bahwa nama-nama para pimpinan serikat pekerja telah

beredar di kalangan pemilik perusahaan sebagai daftar hitam. PHK masal di

Page 27: Laporan Krisis Ekonomi

27

Serang terhadap 73 orang pekerja pada sebuah pabrik dengan jumlah

pekerja 310 meliputi 7 dari 11 pengurus serikat pekerja dan 25 dari 26

perwakilan pekerja. Pengurus serikat pekerja melaporkan bahwa krisis

ekonomi memudahkan perusahaan untuk menarget pimpinan dan anggota

serikat pekerja, sebuah praktek yang lagi-lagi sudah berlangsung sebelum

krisis ekonomi.

Terdapat isu aturan main yang penting dalam pasar tenaga kerja: meskipun

sejumlah perlindungan yang sementara ada bagi pekerja, terutama pekerja

tetap, terhitung baik, namun perlindungan tersebut belum diterapkan secara

konsisten. Serikat pekerja merasa bahwa undang-undang belum

diimplementasikan secara berimbang. Undang-undang membatasi jenis

pekerjaan yang dapat dialihdayakan pada pekerjaan pengamanan, tata boga,

pengemudi, asisten pengemudi dan staf layanan kebersihan. Sejak tahun

2005, alih daya telah digunakan untuk mengisi posisi kunci, khususnya posisi

operator produksi. Pekerja dikontrak untuk jangka waktu antara 3 hingga 12

bulan dan kontrak mereka hanya dapat diperpanjang satu kali mengingat jika

mereka dikontrak lebih dari dua kali secara otomatis akan dinggap sebagai

pekerja tetap berdasarkan undang-undang (Fillaili, 2009). Undang-undang

ketenagakerjaan yang terdesentralisasi – pada tingkat kabupaten dan

propinsi – juga memiliki dampak tersendiri. Perubahan upah minimum di

beberapa daerah tertentu telah mendorong perusahaan untuk memindahkan

bisnis mereka ke propinsi lain dan mengakibatkan pengangguran atau

tekanan kepada para pekerja untuk bermigrasi, bahkan meskipun mereka

harus menerima upah lebih murah.

Page 28: Laporan Krisis Ekonomi

28

Fleksibilitas pasar tenaga kerja mengakibatkan semakin sulitnya kondisi kerja

sehingga pekerja bisa lebih ringan diberhentikan dan menerima upah lebih

murah. Situasi menjadi semakin sulit bagi pekerja kontrak waktu tertentu

karena pada masa sebelumnya saat kontrak habis mereka dapat mencari

pekerjaan baru sedang sementara waktu sulit untuk mencari pekerjaan lain

(Fillaili, 2009). Indonesia memiliki Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(JAMSOSTEK) untuk pekerja namun tetap tidak ada tunjangan bagi

pengangguran atau pekerja dalam sektor informal yang merupakan

mayoritas.

Baik pekerja tetap maupun pekerja kontrak waktu tertentu mengalami

perubahan pendapatan dan kondisi kerja sebagai akibat dari kecenderungan

menurunnya produksi. Data serikat pekerja pada 40 pabrik memperlihatkan

bahwa 12 pabrik telah mengurangi jam kerja atau menerapkan

pemberhentian sementara kepada pekerja sehingga tidak terhitung lagi

jumlah pekerja yang terkena dampaknya.

4.2 Strategi Penanggulangan

Meningkatnya kesulitan kerja sebagaimana diuraikan di atas berimplikasi

terhadap pendapatan rumah tangga, konsumsi makanan dan faktor-faktor

lain. Situasi demikian juga memaksa pekerja sektor formal untuk mengambil

pekerjaan tambahan, seringkali dalam sektor informal. Dalam salah satu

kelompok terarah, perempuan yang bekerja purnawaktu juga mengambil

pekerjaan tambahan pada sektor informal untuk membiayai belanja rumah

tangga termasuk dengan mengumpulkan gelas plastik, menjual burung kecil,

menjual seragam sekolah, bernyanyi di bar-bar kecil atau melakukan

pekerjaan seks. Pengurus serikat pekerja menyatakan bahwa sulit bagi

Page 29: Laporan Krisis Ekonomi

29

perempuan yang berusia lebih tua, atau pimpinan serikat pekerja yang telah

masuk daftar hitam untuk memperoleh pekerjaan di pabrik lain dan sebagian

besar beralih ke migrasi atau pekerjaan informal termasuk pekerjaan seks.

Partisipan kelompok terarah melaporkan berkurangnya pendapatan dari

sektor informal akibat ketatnya kompetisi sementara informan lain melihat

indikasi bertambahnya jumlah pekerja informal – semakin banyak warteg dan

warung di sepanjang jalan. Perempuan dalam studi kami menanggung beban

kerja yang semakin besar karena melakukan lebih banyak pekerjaan untuk

memenuhi kebutuhan hidup, baik karena kenaikan harga maupun

berkurangnya pendapatan.

Kombinasi antara berkurangnya penghasilan dengan harga makanan dan

bahan bakar yang tinggi semakin mempersulit situasi bagi banyak rumah

tangga. Makanan dan bahan bakar merupakan 48% dari belanja konsumen di

Indonesia (World Bank, 2008). Berdasarkan definisi garis kemiskinan yang

sementara berlaku, survei sosial ekonomi (SUSENAS) bulan Maret 2008

mengindikasikan bahwa kontribusi belanja beras terhadap pengeluaran per

kapita penduduk miskin sekitar 38,97% di wilayah pedesaan dan 28,06% di

wilayan perkotaan. Di Indonesia kenaikan harga mencapai 15-25% untuk

gula, beras dan telur, 50% untuk gas, dan 40% untuk angkutan umum dalam

12 bulan terakhir (Horn, 2009). Indeks harga pangan melonjak lebih tinggi dari

indeks umum harga konsumen untuk mayoritas dua belas bulan terakhir dan,

setelah sempat turun sekarang kembali mengalami kenaikan. Artinya, nilai riil

upah pekerja mengalami penurunan.

Partisipan dalam kelompok terarah juga studi-studi lain menegaskan bahwa

harga yang dengan sendirinya merangkak naik juga mempersulit keluarga

Page 30: Laporan Krisis Ekonomi

30

dengan penghasilan tetap, sedang mereka yang telah mengalami

pengurangan jam kerja, upah atau yang telah diberhentikan membatasi

konsumsi makanan, meminjam uang dan melakukan tindakan-tindakan lain

sebagai penanggulangan (Fillaili, 2009; Horn, 2009; IDS, 2008). Tekanan

inflasi pada rumah tangga ini membuat kompetisi pada sektor informal

menjadi semakin ketat akibat para pekerja tetap dan pekerja kontrak yang

mengambil pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan.

Para pekerja yang terkena dampak PHK, atau pengurangan jam kerja,

menghadapi kondisi kehidupan yang semakin sulit. Dampak paling signifikan

yang tercatat dari kelompok terarah dan dalam studi-studi lain adalah pada

konsumsi makanan, penghasilan, barang dan utang.

Semua partisipan kelompok terarah, baik yang sementara bekerja maupun

tidak menunjuk harga makanan sebagai masalah bagi rumah tangga mereka

meski sebagian dapat membeli Raskin dengan harga lebih murah. Pola

konsumsi makanan telah mengalami perubahan dalam 12 bulan terakhir

terlepas dari status pekerjaan yang disandang pekerja, meskipun lebih

mencolok pada perempuan penganggur.

Perempuan yang masih bekerja mengeluhkan terbatasnya pilihan makanan

dan ketidakmampuan untuk membeli daging atau ikan. Perempuan yang

sementara menganggur menghadapi pilihan yang lebih pahit: mereka yang

telah menganggur selama setahun sementara hanya mengonsumsi makanan

dua kali sehari dari yang seharusnya tiga kali sehari juga harus makan lebih

sedikit. Mereka tidak lagi mengonsumsi ikan, ayam atau daging. Mereka

mengencerkan susu bagi bayi-bayi dan mengurangi makanan untuk anak-

anak, juga tidak lagi sanggup memberikan uang kepada anak-anak untuk

Page 31: Laporan Krisis Ekonomi

31

jajan di sekolah. Perempuan yang diberhentikan pada bulan Maret 2009 telah

mengurangi asupan makanan mereka: “Untuk tiga bulan pertama anak-anak

saya merasa kesulitan untuk berpisah dengan nasi, tempe serta tahu dan

hanya makan sup serta makanan murah lainnya”. Mereka merasa kesulitan

untuk membeli beras lebih-lebih membeli ayam atau daging. Sebagian

perempuan berhenti menggunakan susu formula dan hanya menggunakan air

putih atau teh dengan gula. Dua orang perempuan melaporkan bahwa anak-

anak mereka menjadi lebih kurus.

Kesulitan rumah tangga ini terjadi karena harga makanan yang tinggi dan

perubahan pendapatan rumah tangga. Dalam semua kasus, nutrisi bagi anak-

anak, secara khusus, dipertaruhkan, meskipun para orang tua seringkali

harus berpuasa agar anak-anak mereka bisa makan. Bahkan dengan

pengorbanan yang telah mereka lakukan, tetap belum tersedia cukup

makanan bagi anak-anak.

Dampak krisis terhadap pendidikan belum terlalu jelas dan membutuhkan

pemantauan cermat. Tidak ada di antara para perempuan dalam kelompok

terarah yang terpaksa mengeluarkan anak mereka dari sekolah. Para orang

tua melaporkan bahwa mereka mengurangi makan, menjual barang serta

melakukan tindakan-tindakan lain agar anak-anak tetap bisa bersekolah.

Program Bantuan Operasional Sekolah sedianya bertujuan mengupayakan

pendidikan bebas biaya. Namun kebijakan tersebut belum mampu mengatasi

problem biaya pendidikan mengingat para orang tua masih harus

menanggung biaya buku, seragam dan uang pendaftaran (Fillaili, 2009).

Sebagian perempuan menganggap ‘sekolah bebas biaya sebagai sebuah

kebohongan karena kami tetap harus membeli buku dan seragam.’ Hingga

Page 32: Laporan Krisis Ekonomi

32

kini mereka masih berjuang agar anak-anak tetap bisa bersekolah ‘Lebih baik

kami tidak makan daripada anak-anak harus berhenti sekolah.’ Tidak ada

perbedaan antara perlakuan terhadap laki-laki maupun perempuan berkaitan

dengan pendidikan pada keluarga-keluarga yang diwawancarai.

Di luar biaya makanan dan pendidikan, krisis memiliki dampak yang cukup

luas. Untuk pekerja yang diberhentikan, kehilangan pendapatan

memengaruhi setiap bagian dari kondisi keuangan dan mereka harus

berjuang untuk memenuhi kebutuhan rutin. Pada dua kelompok terarah,

pekerja yang diberhentikan menghadapi kesulitan untuk membayar sewa

rumah.

Strategi penanggulangan yang umum untuk mengatasi utang dan membayar

sewa rumah adalah dengan menjual barang. Tujuh di antara sembilan

perempuan dalam sebuah kelompok terarah telah menjual perabot rumah

tangga atau mengembalikan kendaraan serta telepon genggam.

Perempuan yang kehilangan pekerjaan juga mungkin menghadapi perceraian

atau kekerasan dalam rumah tangga. Dalam salah satu kelompok terarah,

para perempuan mengungkapkan secara emosional bahwa hilangnya

pekerjaan telah mengakibatkan dampak tersendiri terhadap rumah tangga

mereka. Sebagian perempuan merasa hal tersebut memicu meningkatnya

konflik. Terlepas dari contoh-contoh keretakan dalam hubungan rumah

tangga ini, mekanisme penanggulangan krisis bagi semua pekerja yang kami

wawancarai tampaknya tergantung pada jaringan sosial serta keluarga

mereka. Jaringan sosial memberikan dukungan bagi mereka melalui pinjaman

uang, serta penyediaan makanan dan perawatan bagi anak-anak.

Page 33: Laporan Krisis Ekonomi

33

4.3 Migrasi dan pekerja migran

Migrasi internal dan eksternal kaum perempuan untuk bekerja telah

meningkat secara signifikan dalam 30 tahun terakhir di Indonesia. Dampak

dari krisis ekonomi agaknya sedikit paradoks: Krisis memicu risiko kehilangan

pekerjaan dan kekerasan bagi sebagian pekerja perempuan, sebaliknya

memberikan tekanan untuk bermigrasi bagi perempuan yang lain.

Cukup jelas dari kelompok terarah bahwa kiriman uang dari pekerja migran

dalam negeri di Indonesia mengalami gangguan. Pada semua kelompok

terarah, keluarga pekerja migran cenderung mengurangi atau menghentikan

pengiriman uang kepada keluarga mereka. Dalam beberapa kasus keluarga

yang tinggal di wilayah perkotaan kini justru menerima kiriman balik dari

keluarga yang tinggal di desa agar mereka bisa bertahan dan mencari

pekerjaan tambahan. Pekerja migran dalam negeri mungkin tidak

memperoleh akses program jaminan sosial di desa asal atau di tempat tinggal

mereka yang baru, yang seringkali merupakan wilayah industri tempat

mereka bekerja untuk industri berorientasi ekspor.

Pada akhir tahun 2008 terdapat 4,4 juta pekerja Indonesia di luar negeri

dengan rincian 2,1 juta di Malaysia, 1,4 juta di Arab Saudi, dan hampir 1 juta

di Hong Kong, Taiwan, Singapura serta Uni Emirat Arab. Delapan puluh

persen (80%) di antaranya adalah perempuan. Pekerja migran perempuan

terkonsentrasi pada pekerjaan rumah tangga, kesehatan serta sejumlah

pekerjaan non-terampil atau semi-terampil dalam industri ekspor. Pemerintah

memiliki target untuk meningkatkan pendapatan valuta asing melalui kiriman

uang, dari 8,6 miliar USD tahun 2008 menjadi 15 miliar USD tahun 2009 dan

untuk itu mendorong serta memfasilitasi pertambahan migrasi eksternal

Page 34: Laporan Krisis Ekonomi

34

(Susilo, 2009). Banyak LSM melihat hal ini sebagai ‘komoditisasi’ pekerja

migran – sebuah tren berbahaya yang memaksa lebih banyak orang untuk

bermigrasi tanpa perlindungan yang memadai terhadap kekerasan.

Dampak dari kehilangan pekerjaan yang dialami pekerja migran adalah

berkurangnya kiriman uang kepada keluarga yang bergantung kepada

mereka di seluruh Indonesia, terutama di wilayah-wilayah paling miskin.

Keluarga pekerja migran luar negeri seringkali tidak memperoleh skema

jaminan sosial, seperti bantuan tunai langsung, mengingat mereka menerima

pendapatan dari luar negeri dan dapat memperbaiki kehidupan (seringkali

digunakan sebagai jalan pintas mengukur kemiskinan untuk kepentingan

penargetan program). Ketika pekerja migran kehilangan pekerjaan dan

kembali ke kampung halaman mereka mungkin tidak lagi tercatat sebagai

warga desa sehingga tidak lagi dianggap memenuhi syarat memperoleh

program jaminan sosial. Demikian pula, keluarga akan kehilangan karena

tidak ada lagi pendapatan dan tidak memiliki tabungan.

Meskipun sebagian pekerja migran kembali pulang, namun keseluruhan

jumlah pekerja migran yang berangkat ke luar negeri meningkat sebesar 54%

(dari kuartal ke kuartal) antara September 2008 hingga Desember 2008

(Titiheruw et al, 2009). Pengiriman uang meningkat pada tahun 2008,

meskipun terjadi penurunan yang jelas pada kuartal keempat. Pengiriman

uang terutama mengalami perubahan di Malaysia dan setelah melewati tahun

tersebut proporsi pengiriman uang dari Saudi Arabia meningkat di atas

Malaysia. Ini mencerminkan bertambahnya pekerja perempuan yang

bermigrasi ke Saudi Arabia sebagai pekerja rumah tangga dan dampak krisis

yang relatif kecil di Saudi Arabia dibandingkan di Malaysia.

Page 35: Laporan Krisis Ekonomi

35

Hilangnya pendapatan rumah tangga selama krisis dapat meningkatkan

tekanan kepada kaum perempuan untuk bermigrasi. Ini diperkuat dengan

kebijakan pemerintah untuk mendorong dan memfasilitasi pertambahan

migrasi demi mencapai target pengiriman uang yang tinggi. Organisasi

perempuan percaya bahwa risiko migrasi dan perdagangan perempuan di

bawah umur akan meningkat. Di balik risiko migrasi terdapat pula potensi

keuntungan – baik ekonomi maupun sosial, terutama bagi perempuan,

berupa peningkatan kepercayaan diri, harga diri serta keterampilan yang

dapat diperoleh kesempatan hidup di luar wilayah desa mereka.

Kebijakan pemerintah juga memicu keputusan untuk bermigrasi pada

perempuan bekerja. Pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebagai

bagian dari paket stimulus untuk melatih korban krisis ekonomi di balai latihan

kerja, sehingga mereka siap menjadi pekerja migran potensial. Ironisnya

mayoritas negara-negara tujuan pekerja migran Indonesia justru mengalami

krisis ekonomi yang paling parah. Akibatnya, banyak calon pekerja migran

tertahan dan belum dapat diberangkatkan karena tidak ada pekerjaan yang

tersedia di negara tujuan. Banyak diantara kasus sejenis terjadi pada mereka

yang ingin menjadi pekerja migran di Korea Selatan. Mereka telah

mengeluarkan uang agar dapat diproses menjadi pekerja migran. Uang yang

mereka keluarkan umumnya diperoleh dari utang dengan bunga yang terus

membengkak. Banyak di antara mereka yang sedemikian putus asa sehingga

Page 36: Laporan Krisis Ekonomi

36

memilih untuk berangkat menuju Korea meski harus mengambil risiko

sebagai pekerja ilegal. 7

Dalam sektor pekerja migran terdapat sebuah situasi yang unik berkaitan

dengan fakta bahwa tidak terjadi ledakan kepulangan pekerja migran. LSM

dan pejabat pemerintah telah memprediksi bahwa tidak kurang dari 300.000

pekerja migran akan pulang dari negara-negara yang terkena dampak krisis

ekonomi global – Malaysia, Korea Selatan, Taiwan dan Hong Kong. Ternyata

yang terjadi justru reaksi terbalik dari pekerja migran. Mereka memilih untuk

tidak pulang meskipun diberhentikan dari pekerjaan semula karena yakin

akan memperoleh kondisi kehidupan dan pendapatan yang lebih baik jika

tetap tinggal dan tidak kembali ke Indonesia.

Hal yang kami ketahui secara pasti dari pengalaman pekerja migran

Indonesia di Korea Selatan adalah bahwa mereka memanfaatkan skema dari

kesepakatan antar pemerintah yang memungkinkan agensi tenaga kerja

memfasilitasi penggantian status izin kerja. Dengan kesepakatan tersebut

banyak pekerja migran Indonesia yang dapat berpindah pekerjaan ke

perusahaan lain – sebagian besar bekerja untuk Usaha Kecil Menengah yang

merupakan rantai produksi dari korporasi besar – dan tidak ingin pulang

karena tidak memiliki pekerjaan lain. Selain Korea Selatan, fenomena ini juga

terjadi bahkan di negara yang tidak memiliki kesepakatan antar pemerintah.

Spesialis informasi di BNP2TKI mengeluhkan bahwa fenomena ini

mengakibatkan sulitnya melakukan pencatatan jumlah pekerja migran yang

7 Wawancara dengan aktivis dari Migrant Care, dan secara relative dikonfirmasi oleh staf BNP2TKI – lembaga pemerintah untuk penempatan dan perlindungan Tenaga Kerja Migran Indonesia.

Page 37: Laporan Krisis Ekonomi

37

masih bekerja di luar negeri setelah sedemikian banyak negara tujuan

konvensional terkena dampak krisis ekonomi global. Sebagian besar pekerja

migran Indonesia tidak melaporkan status kerja mereka kepada kedutaan

besar Indonesia. Mereka memilih untuk menjadi pekerja ilegal dan

menanggung risiko menjadi pekerja informal karena persepsi bahwa mereka

akan memperoleh penghidupan yang lebih baik dengan bekerja sebagai

pekerja migran.

Bahaya besar yang mengintai mereka dan ini telah menjadi tren dalam kasus-

kasus yang dilaporkan kepada BNP2TKI. Para pekerja ilegal sangat rawan

dengan pekerjaan asusila dan sebagian pekerja migran bahkan terjebak

dalam prostitusi. Sejumlah kasus HIV pada pekerja migran berhasil

diidentifikasi dan dilaporkan kepada pejabat pemerintah beserta LSM, namun

kedua belah pihak sepakat bahwa angka sesungguhnya pasti akan lebih

besar, meskipun demikian, sebagian besar tetap memilih ilegal karena

program pemerintah untuk melindungi pekerja migran masih sangat terbatas.8

4.4 Dampak terhadap akses jaminan sosial dan layanan pokok

Krisis telah memukul usaha kecil dan menengah yang mewakili 90% lebih

dari keseluruhan usaha dalam berbagai sektor di Indonesia. UKM lebih jauh

merupakan sumber lapangan kerja paling besar, memberikan penghidupan

bagi lebih dari 90% angkatan kerja dalam negeri, terutama perempuan dan

pemuda (Tambunan, 2007).

8 Wawancara dengan Mohammad Jumhur Hidayat, kepala BNP2TKI.

Page 38: Laporan Krisis Ekonomi

38

Permintaan atas kredit mikro di Indonesia akan meningkat sebagai akibat dari

krisis ekonomi seiring para perempuan yang mengalami kehilangan pekerjaan

atau penurunan upah (baik secara aktual maupun karena penurunan daya

beli) dan beralih ke sektor informal untuk menambah penghasilan mereka.

Dalam hal ini yang menjadi hambatan bukan ketersediaan kredit namun

syarat-syarat kredit, termasuk syarat bahwa sebuah usaha harus sudah

berjalan paling sedikit satu tahun agar dapat memperoleh kredit dari

pemerintah. Sementara paket stimulus pemerintah memberikan dukungan

kepada industri ekspor, belum terdapat fokus yang seimbang untuk

memberikan tambahan dukungan bagi UKM, atau usaha perempuan secara

khusus – baik melalu kredit maupun bantuan. Bagi sebuah organisasi

perempuan fakta ini menyiratkan gagasan mengenai model pembangunan

ekonomi: ‘Pemerintah Indonesia lebih baik memprakarsai lebih banyak

aktivitas ekonomi pada tingkat akar rumput’.

Ditemukan pula beberapa fakta selama riset yang memperlihatkan problem

dalam implementasi program jaminan social.

• Tidak ada perempuan dalam kelompok terarah kami yang pernah

menerima BLT. Masing-masing rumah tangga miskin menerima Rp.

300.000 (sekitar 30 USD), untuk jangka waktu 3 bulan. Tidak ada

persyaratan dalam menggunakan dana. Mereka menyatakan tiga

sebab tidak memperoleh BLT: mereka dianggap tidak memenuhi

syarat karena tidak bekerja; tidak tercatat sebagai penduduk desa

karena pernah menjadi pekerja migran (dan belum mendaftarkan diri

pada lokasi yang baru) atau akibat korupsi yang dilakukan pejabat

desa.

Page 39: Laporan Krisis Ekonomi

39

Studi percontohan SMERU menemukan bahwa sejak terjadi krisis, pekerja

kontrak yang kontraknya telah habis cenderung memanfaatkan layanan

kesehatan ini. Namun demikian, mereka juga menemukan bahwa anggota

masyarakat banyak yang belum mengetahui mengenai program-program

yang menyasar kelompok miskin, seperti Jamkesmas, dan belum

memanfaatkan layanan sejenis. Sebaliknya, mereka masih menggunakan

klinik swasta yang berjarak dekat dan memperbolehkan kelompok miskin

untuk membayar dengan angsuran, atau, dalam beberapa kasus,

memberikan pengobatan gratis (Fillaili, 2009).

5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Perempuan Indonesia merupakan kelompok paling rawan yang terkena

dampak krisis sekarang, mengingat tanggung jawab mereka terhadap

keluarga. Sejumlah besar perempuan dalam industri berorientasi ekspor

harus kehilangan pekerjaan atau mengalami pengurangan jam kerja.

Menurunnya pengiriman uang dari luar negeri telah memberikan dampak

tersendiri kepada keluarga-keluarga yang menggantungkan kesejahteraan

kepada pekerja migran Pemerintah telah memberikan tanggapan yang baik

meskipun kurang memiliki sensitivitas gender.

Kami belum benar-benar dapat menyimpulkan hal tersebut karena Indonesia

masih memiliki pertumbuhan ekonomi lebih positif dibanding banyak negara

lain, yang artinya angkatan kerja di Indonesia akan menikmati keuntungan

dan kondisi penghidupan yang lebih baik. Pembahasan dan analisis

mengenai kondisi penghidupan pekerja berkaitan dengan dampak krisis

ekonomi global harus diarahkan pada penjelasan mengenai bagaimana

pembebanan seperti krisis ekonomi global dapat membentuk sejumlah aspek

Page 40: Laporan Krisis Ekonomi

40

kualitatif bagi penyelarasan struktural dalam lapangan hubungan industrial

yang secara substansial tidak selalu menguntungkan posisi dan daya tawar

pekerja.

Dengan memperhatikan banyak riset serta publikasi mengenai dampak krisis

terhadap tenaga kerja di Indonesia, dirasa penting untuk menekankan

kembali mengenai sangat terbatasnya data dan catatan yang relevan

mengenai kondisi pekerjaan tenaga kerja. Otoritas resmi pemerintah belum

menyediakan informasi yang memadai, mutakhir dan lebih rinci mengenai

dinamika hubungan industrial. Masih terdapat banyak angka gelap yang tidak

dapat memberikan informasi memadai sebagai dasar untuk memberikan

penjelasan logis mengenai problem riil yang harus diadvokasi dalam rangka

melindungi masyarakat pekerja dari dampak negatif krisis ekonomi. Sejumlah

problem yang dirasa perlu untuk dipantau secara cermat melalui laporan ini

adalah: statistik mengenai informalisasi pekerjaan sebagai dampak dari

imposisi pasar tenaga kerja fleksibel, yang tidak hanya terjadi di Indonesia

namun dalam masa krisis ekonomi juga memengaruhi pekerja migran

Indonesia; statistik mengenai upah yang dibayar di bawah kesepakatan upah

minimum.

Berkaitan dengan tanggapan pemerintah terhadap krisis yang tersebut di

atas, saran-saran berikut dapat dipertimbangkan dengan fokus utama pada

gender:

• Pelibatan kelompok perempuan dan masyarakat sipil melalui

mekanisme yang tepat untuk memberikan kontribusi informasi dan

analisis kepada Komisi Pemantauan dan Tanggapan dari pihak

pemerintah;

Page 41: Laporan Krisis Ekonomi

41

• Penegakan undang-undang tenaga kerja untuk memberikan

perlindungan lebih efektif atas hak pekerja perempuan: undang-

undang ketenagakerjaan yang tidak ditegakkan secara konsisten

mengakibatkan terjadinya pelanggaran seperti ketiadaan dana

pesangon serta pemberangusan serikat pekerja;

• Krisis ekonomi boleh jadi merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk

membangun pijakan sosial efektif dengan mengembangkan jaminan

sosial, terutama asuransi pengangguran bagi pekerja pada sektor

informal.9 Jaminan sosial dan asuransi harus dikembangkan agar

dapat menjangkau pekerja sektor informal, terutama jika mereka harus

bertahan dalam kondisi ekonomi yang tidak menentu.

• Mengatasi kekurangan dalam upaya pemantauan: mengupayakan

pemantauan yang efektif atas dampak krisis terhadap pekerja migran,

terlebih pekerja rumah tangga, dalam sektor informal serta

mengupayakan analisis gender yang lebih tajam termasuk secara

konsisten menghimpun data yang telah dipisahkan berdasarkan

gender;

• Diplomasi pemerintah dalam rangka mengupayakan perlindungan bagi

pekerja migran baik secara bilateral maupun dalam kerangka forum

regional dan internasional, dengan fokus utama pada Timur Tengah

(ini akan memberikan pengaruh positif sementara kesepakatan dengan

Hong Kong dan sementara negosiasi dengan Malaysia);

9 Pemerintah sedang memproses undang-undang perlindungan sosial untuk tujuan melakukan perlindungan sosial dalam cara yang lebih terpadu dan ini diharapkan terwujud pada tahun 2010.

Page 42: Laporan Krisis Ekonomi

42

• Jaring pengaman untuk pekerja migran yang diberhentikan serta

penyertaan keluarga mereka dalam program jaminan sosial;

• Mendesain program infrastruktur atau program pekerjaan umum untuk

menyediakan lapangan pekerjaan bagi perempuan – melalui

penerapan situs kerja terpisah, giliran kerja bagi perempuan di siang

hari serta laki-laki di malam hari dan langkah lain seperti yang umum

diterapkan di berbagai negara.

Page 43: Laporan Krisis Ekonomi

43

Daftar Pustaka

Asian Development Bank. (2009). Conference on Global Financial Crisis:

Social Impacts. Retrieved 15 October 2009 from

http://www.adbi.org/event/3261.gfc.social.impacts/default.php

Bank of Indonesia, (2009a), State Budget.

Bank of Indonesia (2009b), The 2009 Revised Budget Fiscal Stimulus

Programme: Mitigating the Impact from the Global Crisis.

Department of Manpower and Transmigration of the Government of

Indonesia. (2009). Crisis Center Statistics. Retrieved 19 October 2009

from www.nakertrans.go.id/microsite/krisiscenter

Fillaili, R., Suharyo, W., I., Sulaksono, B., Hustuti, and Budiyati, S., Usman, S.

(2009). Pilot Qualitative Study on Crisis Impact and Response.

Indonesia: SMERU Research Institute.

Guina, C. S. (2009). Making Economic Stimulus Packages Work for Women

and Gender Equality. United Nations Development Fund For Women

Working Paper. Retrieved 16 October 2009 from

http://www.unifem.org/attachments/events/UNIFEM_Working_Paper_Ma

king_Economic_Stimulus_Packages_Work_for_Women.pdf

Hang, S. C. (14 July 2009). Public Forum on the Impact of the Global

Economic Downturn and Need for Policy Responses at CJCC

Horn, Z. (2009), No Cushion to Fall Back On: The global economic crisis and

informal workers, Inclusive Cities Study Synthesis Report, WIEGO.

ILO. (March 5, 2009). Press Release. Retrieved 19 October 2009 from

www.ilo.org/global/About_the_ILO/

ILO. (2009a) Asia in the Global Economic Crisis: Impacts and responses from

a gender perspective, a paper for ‘Responding to the Economic Crisis –

Page 44: Laporan Krisis Ekonomi

44

Coherent Policies for Growth, Employment and Decent Work in Asia and

Pacific’, Manila, Philippines, 18-20 February 2009.

ILO. (2009b), The Fallout in Asia: Assessing labor market impacts and

national policy responses to the global financial crisis, a paper for

‘Responding to the Economic Crisis – Coherent Policies for Growth,

Employment and Decent Work in Asia and Pacific’, Manila, Philippines,

18-20 February 2009.

ILO (2008), Impact of the Global Financial and Economic Crisis on Indonesia:

A Rapid Assessment, prepared for the ILO by Komara Djaja.

Sarwono, H. A. (2009) Managing Global Shocks: The Case of Indonesia,

Presentation of the Deputy Governor, Bank of Indonesia.

Tambunan, T (2007) Development of SME and Women Entrepreneurs in a

Developing Country: The Indonesian Story. Small Enterprise Research

15, 2.

Titiheruw, I. S., Soesastro, H. and Atje, R. (2009), Indonesia, Global Financial

Crisis Discussion Series, Paper 6, Overseas Development Institute.

World Bank. (2009). Financial Crisis. Retrieved 9 October 2009 from

http://www.worldbank.org/financialcrisis/

World Bank (2008), East Asia: Navigating the Perfect Storm. Retrieved 9

October 2009 from http://www.worldbank.org