LAPORAN KASUS.docx

24
LAPORAN KASUS MYELORADIKULOPATI THORACAL SETINGGI MEDULA SPINALIS VERTEBRA THORACAL X-XII ET CAUSA SPONDILITIS TUBERCULOSA Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Jayapura Disusun Oleh: Cendraiin I Minangkabau, S.Ked 2008 52 011 Pembimbing : dr. Nelly Y Rumpaisum Sp.S SMF NEUROLOGI RUMAH SAKIT UMUM JAYAPURA

Transcript of LAPORAN KASUS.docx

Page 1: LAPORAN KASUS.docx

LAPORAN KASUS

MYELORADIKULOPATI THORACAL SETINGGI MEDULA

SPINALIS VERTEBRA THORACAL X-XII ET CAUSA SPONDILITIS

TUBERCULOSA

Disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF Neurologi

Rumah Sakit Umum Jayapura

Disusun Oleh:

Cendraiin I Minangkabau, S.Ked2008 52 011

Pembimbing :

dr. Nelly Y Rumpaisum Sp.S

SMF NEUROLOGI

RUMAH SAKIT UMUM JAYAPURA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

JAYAPURA - PAPUA

2015

Page 2: LAPORAN KASUS.docx

LEMBAR PENGESAHAN

Telah disetujui dan diterima oleh penguji Laporan Kasus dengan judul “ Radikulopati

Thorakal Setinggi Medula Spinalis Vertebra Thorakal IX-XII Et Causa Spondilitis

Tuberculosa”, sebagai syarat untuk mengikuti ujian akhir Kepanitraan Klinik Madya pada

SMF Neurologi Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura, pada:

Hari : Rabu

Tanggal : 11 November 2015

Tempat : Ruang SMF Neurologi

Mengesahkan,

dr. Nelly Y Rumpaisum, Sp.S

Page 3: LAPORAN KASUS.docx

LAPORAN KASUS PASIEN

I. IDENTITAS

NO.DM : 01 31 35

NAMA : Ny. Y. D

UMUR : 42 Tahun

JENIS KELAMIN : Perempuan

MRS : 18-09-2015

KRS : 15-10-2015

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama :

Lemah pada kedua kaki

1. RPS :

± 3 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan lemah pada kedua kaki. Pasien

mengaku merasakanlemah pada kedua kaki, sehingga pasien tidak mampu untuk berjalan

sendiri dan apabila berjlana harus dibantu oleh orang lain. Awalnya pasien hanya merasakan

kram-kram pada kedua kaki namun pasien masih dapat beraktivitas seperti biasa, namun 1

minggu kemudian kedua kaki terasa seperti kaku dan 1 minggu kemudian lagi pasien sudah

tidak mampu menggerakkan kedua kaki.

2. RPD :

- Riwayat trauma pada tulang belakang pada saat pasien masih SMP

- DM (-)

- Hipertensi (-)

- Jantung (-)

- Riw.putus OAT < 1 bulan pada tahun 2013

3. Vital Sign:

TekananDarah : 120/80 mmHg

Nadi : 80 x/mnt

Respirasi : 20 x/mnt

Suhu : 36,5oC

Page 4: LAPORAN KASUS.docx

Kesadaran : compos mentis (E4V5M6)

4. Pemeriksaan Fisik

Status Interna

Kepala/

leher

: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pembesaran KGB (-), oral

candidiasis (-)

Thoraks : Paru : Simetris, retraksi (-), ikut gerak napas, Suara napas

vesikuler, Rhonki (+/+), Wheezing (-/-)

Jantun

g

: Bunyi jantung I-II regular, Murmur (-), Gallop (-)

Abdomen : Datar, supel, BU (+), Nyeri tekan (+), hepar/lien (3 jari bawah arcus

costa/tidak teraba)

Ekstremitas : Akral hangat, udema(-), ulkus (-)

Status Neurologis

Rangsang

Meningeal

: Kaku kuduk (-), Lasengue/kerning (tt/tt),Brudzingki I,II,III (-/-/-)

Saraf Otak : Mata :pupil bulat isokor, OD : 3 mm, reflex cahaya (+/-).

Wajah : simetris

Motorik : 5 5

1 2

Sensibilitas : Normostesia

Vegetatif : BAB/BAK (+/+), Makan/Minum (+/+)

Refleks Fisiologis : BTR (+/+), KPR (+/+), APR (+/+)

Refleks Patologis : Babinski (-/-), Chaddock (-/-), Gonda (-/-), Gordon (-/-), Oppenheim

(-/-), Schaefer (-/-)

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Page 5: LAPORAN KASUS.docx

a. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hematologi

Jenis PemeriksaanHasil Hasil Nilai Rujukan

18/09/2015 21/09/2015

Hb 9,6 g/Dl 9,1 g/dL 12,0 – 18,0

Leukosit 7,94/mm3 8,16 /mm3 5.000 – 10.000/mm3

Trombosit 261 103/uL 275 103/uL 150-400/uL

Hematokrit 26,8 % 28,7 % 35,0 % – 54,0 %

LED I 70 P : 0-10 jam W: 0-20

LED II 105 P: 0-10 W: 0-20

Parasit Malaria Negatif - + : 1-10 parasit/100 lp

++ : 11-100 parasit/100 lp

+++ : 1-10 parasit/ lp

++++ : > 10 parasit/ lp

Pemeriksaan Kimia Klinik

Jenis PemeriksaanHasil Nilai Rujukan

21/09/2015

Albumin 3,4 mg/dL 3,8 – 5,1 g/dl

Ureum 25 mg/dL 10 – 50 mg/dl

Kreatinin 0,9 mg/dL P: 0,6-1,1 mg/dl, W :0,5- 0,9 mg/dl

SGOT 24 U/I P: 8-37 U/I, W :8 – 31 U/I

SGPT 13 U/I P: 6-42 U/I, W :6 – 32 U/I

Kolesterol total 236 mg/dl <200 mg/dl

Trigliserida 76 mg/dL <150 mg/dL

HDL Kolesterol 45 Pria : 35-55 Wanita : 45-65

LDL Kolesterol 176 <150

IV. DIAGNOSA KERJA :

Page 6: LAPORAN KASUS.docx

Radikulopati Lumbal

V. TERAPI PADA SAAT MASUK RUMAH SAKIT :

- IVFD RL 500cc + Neurosanbe 1amp/12 jam

- Inj. Mecobalamin 3x1amp (iv)

- Calc 2x1 tab (p.o)

VI. FOLLOW UP RUANGANTanggal Catatan Tindakan Keterangan

13/09/2015

15/09/2015

S : lemah pada kedua kaki

Kesadaran : compos mentis

(E4V5M6)

VS: TD : 120/70 mmHg, N :

80x/mnt, R : 20x/mnt, SB :

36,5oC

Status Interna

Kepala/leher : Conjungtiva

anemis -/-, Sklera ikterik -/-,

Pembesaran KGB (-)

Thoraks : simetris, retraksi (-),

ikut gerak nafas, Suara nafas

vesikuler +/+, Rho (-/-), Whe

(-/-), BJ I-II Regular, Murmur

(-), galop (-)

Abdomen: cembung supel, BU

(+), nyeri tekan (-)

Ekstremitas : akral hangat,

udema (-),ulkus (-)

Status Neurologis

Rangsang Meningeal : Kaku

kuduk (-),Lasegue/kernig (-/-),

Brudzinky I,II,III (-/-/-)

Saraf Otak : Mata : pupil bulat

isokor, OD : 3 mm, reflex

cahaya (+/+), reflex kornea (+/+),

Wajah : simetris

- IVFD RL 500cc +

Ketorolac 1amp +

Diazepam 1 amp /12 jam

- Inj.Mecobalamin 3x1

amp (iv)

- Calc 1x1 tab (p.o)

- Glucosamin 2x1 tab

(p.o)

- FDC OAT 1x4 tab

-

Page 7: LAPORAN KASUS.docx

Motorik :

5 5

3 3

Sensibilitas : Normostesia

Vegetatif : Makan/Minum (+/+),

BAB/BAK (+/+)

Refleks Fisiologis : BTR (+/+),

KPR (+/+), APR (+/+)

Refleks Patologis : Babinsky

(-/-), chaddock (-/-), gonda (-/-),

Gordon (-/-), Oppenheim (-/-),

schaefer (-/-)

Diagnosa Kerja :

Radikulopati Thoracal

Setinggi Medula

Spinalis Vertebra

Thoracal X-XII e.c

Spondilitis TB

VII. DIAGNOSA AKHIR :

Radikulopati Thoracal Setinggi Medula Spinalis Vertebra Thoracal X-XII e.c

Spondilitis TB

VIII. TERAPI SAAT PULANG

TERAPI FARMAKOLOGI TERAPI NON FARMAKOLOGI

- Vip Albumin 2x1 tab (po)

- OAT (po)

- Kembali kontrol ke polik saraf

- Minum obat teratur

- Istirahat yang cukup

- Diet tinggi Albumin

IX. RESUME

± 3 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien merasakan lemah pada kedua kaki.

Pasien mengaku merasakanlemah pada kedua kaki, sehingga pasien tidak mampu untuk

Page 8: LAPORAN KASUS.docx

berjalan sendiri dan apabila berjlana harus dibantu oleh orang lain. Awalnya pasien

hanya merasakan kram-kram pada kedua kaki namun pasien masih dapat beraktivitas

seperti biasa, namun 1 minggu kemudian kedua kaki terasa seperti kaku dan 1 minggu

kemudian lagi pasien sudah tidak mampu menggerakkan kedua kaki. Kesadaran: compos

mentis, TD: 120/80 mmHg, N: 80x/m, R: 20x/m, SB: 36,50C. Kekuatan motorik

extremitas kanan 5/1, extremitas kiri 5/2,

X. PERMASALAHAN

1. Bagaimana mendiagnosis Radiculopati Thoracal Setinggi Medula Spinalis

Thoracal X-XII e.c Spondilitis TB ?

2. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan Radiculopati Thoracal Setinggi

Medula Spinalis Thoracal X-XII e.c Spondilitis TB ?

PEMBAHASAN

Page 9: LAPORAN KASUS.docx

A. Radikulopati

Kerusakan saraf yang dapat menyebabkan paralisis mungkin di dalam otak atau batang otak

( pusat sistem saraf ) atau mungkin di luar batang otak ( sistem saraf perifer ). Lebih sering

penyebab kerusakan pada otak adalah  stroke, tumor, truma ( disebabkan jatuh atau pukulan ),

multiple sclerosis ( penyakit yang merusak bungkus pelindung yang menutupi sel saraf ),

serebral palsy ( keadaan yang disebabkan injuri pada otak yang terjadi sesaat setelah lahir ),

gangguan metabolik ( gangguan dalam penghambatan kemampuan tubuh untuk

mempertahankannya ).

Kerusakan pada batang otak lebih sering disebabkan trauma, seperti jatuh atau kecelakaan

mobil. Kondisi lainnya yang dapat menyebabkan kerusakan saraf dalam atau dengan segera

berdekatan pada tulang belakang termasuk : tumor, herniasi sendi ( juga disebut ruptur

sendi ), spondilosis, rematoid artrirtis pada tulang belakang atau multiple sklerosis.

Kerusakan pada saraf tepi mungkin disebabkan trauma, carpal tunel sindrom, Gullain Barre

Syndrom, radiasi, toksin atau racun, CIDP, penyakit dimielinisasi.

Tanda dan gejala

Distribusi paralisis memberikan syarat yang penting untuk bagian saraf yang rusak.

Hemiplegia disebabkan kerusakan otak pada sisi berlawanan dengan paralysis, biasanya dari

stroke. Paraplegia terjadi setelah injuri pada bagian bawah batang otak , dan quadriplegia

terjadi setelah kerusakan bagian atas batang otak pada tingkat bahu atau lebih tinggi ( saraf

yang mengontrol lengan sejajar tulang belakang ). Diplegia biasanya mengindikasikan

kerusakan otak, lebih sering karena serebral palsy. Monoplegia mungkin disebabkan

pemisahan kerusakan diantara system saraf pusat atau saraf perifer. Kelemahan atau paralysis

hanya dapat terjadi pada lengan dan kaki dapat mengindikasikan penyakit diemelinisasi.

Gejala berfluktuasi dalam membedakan bagian tubuh mungkin disebabkan multiple sclerosis.

Kejadian paralysis lebih sering disebabkan injuri atau stroke. Penjalaran paralysis

Page 10: LAPORAN KASUS.docx

mengindikasikan penyakit degeneratif, penyakit infeski seperti  GBS atau CIDP, gangguan

metabolisme . Gejala lain yang sering menyertai paralisis termasuk mati rasa dan perasaan

kesemutan, nyeri, perubahan penglihatan , kesulitan berbicara,atau masalah dengan

keseimbangan. Cedera pada batang otak sering menyebabkan menurunnya fungsi kandung

kemih, BAB dan organ sex. Injuri diatas batang otak dapat menyebabkan kesulitan dalam

bernafas.

Kelainan pada saraf bisa berupa kelainan pada:

1.      Korteks Cerebri: cirinya terjadi gangguan fungsi luhur yaitu gangguan dalam berbahasa,

gangguan fraksi, dan gangguan genosis.

2.      Capsula Interna: terdapat nervus VII dan XII yang bersifat kontralateral. bila ada

kelainan maka menyebabkan lesi pada otot-otot bicara yang mengakibatkan bicara pelo.

3.      Medulla Spinalis: bila lesi setinggi cervical terjadi kelumpuhan tangan dan kaki, bila

lesi setinggi thorakal terjadi kelumpuhan tungkai, bila lesi setinggi lumbosakral terjadi

kelumpuhan hanya tungkai. Perbedaan lesi pada thorakal dan lumbosakral yaitu pada letak

lesi motoriknya. kalo pada thorakal di upper motorneuron, sedangkan pada lumbosakral di

lower motorneuron.

4.      Batang otak: Lesi berupa kelumpuhan anggota gerak yang bersifat kontralateral (bila

lumpuh pada sebelah kanan maka lesi pada saraf sebelah kiri)

Pemeriksaan

a. Anamnesis dan Inspeksi :

1) Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat

malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam

hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada pasien anak-anak, dapat juga

terlihat berkurangnya keinginan bermain di luar rumah. Demam (terkadang

demam tinggi), hilangnya berat badan dan berkurangnya nafsu makan akan

terlihat dengan jelas.

Page 11: LAPORAN KASUS.docx

2) Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah

disertai nyeri dada. Pada beberapa kasus terjadi pembesaran dari nodus

limfatikus, tuberkel di subkutan, dan pembesaran hati dan limpa.

3) Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku.

Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi

panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya

sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku mengelilingi

rongga dada dan tampak sebagai pembengkakan lunak dinding dada. Jika

menekan abses ini berjalan ke bagian belakang maka dapat menekan korda

spinalis dan menyebabkan paralisis.

4) Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulan

belakang, skoliosis, bayonet deformity, spondilolistesis, dan dislokasi.

5) Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis).

Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada

spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal.

b. Palpasi :

Sesuai dengan inspeksi, keadaan tulang belakang terdapat adanya gibbus

pada area tulang yang mengalami infeksi.

Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

1) Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis. Laju endap darah

meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.

2) Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative

(PPD) positif. Tuberculin skin test ini dikatakan positif jika tampak area

berindurasi, kemerahan dengan diameter ≥ 10mm di sekitar tempat suntikan

48-72 jam setelah suntikan.

3) Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium tuberculosis.

4) Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang

bersifat relative

Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis

tuberkulosa). Normalnya cairan serebrospinal tidak mengeksklusikan

Page 12: LAPORAN KASUS.docx

kemungkinan infeksi TBC. Pemeriksaan cairan serebrospinal secara serial

akan memberikan hasil yang lebih baik.

Radiologi

a. Sinar Rontgen

Diperlukan pengambilan gambar dua arah ,antero-posterior (AP) dan lateral

(L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus

vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus

intervertebralis, menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan

jaringan lunak di sekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform.

Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi

kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut

gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal,

merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang

berbentuk fusiform.

Pada pasien ini didapatkan lesi pada medula spinalis setinggi thorakal IX-XII sehingga

terjadi kelumpuhan pada ekstremitas inferior. Pada anamnesis didapatkan pasien

pernah mengkonsumsi OAT namun terputus, pemeriksaan terdapat Gibbus dan pada

pemeriksaan penunjang didapatkan pada pemeriksaan Laboratorium: LED meningkat

yaitu LED I : 70 LED II 105, pada hasil roentgen thoracal terdapat destruksi pada

thoracal XII.

PENATALAKSANAAN

Page 13: LAPORAN KASUS.docx

Kuman tuberkulosa pada umumnya dapat dibunuh atau dihambat dengan

pemberian obat-obat anti tuberkulosa, misalnya kombinasi INH, ethambutol,

pyrazinamid dan rifampicin. Namun karena vertebra yang terinfeksi mengalami

destruksi dengan pembentukan sekuester dan perkejuan, maka tindakan bedah

menjadi penting untuk dapat mengevakuasi sumber infeksi dan jaringan nekrotik.

Destruksi korpus vertebra dapat menyebabkan kompresi terhadap medulla spinalis

dan menyebabkan defisit neurologik, sehingga memerlukan tindakan bedah. Dasar

penatalaksanaan spondilitis tuberkulosa adalah mengistirahatkan vertebra yang sakit,

obat-oabat anti tuberkulosa dan pengeluaran abses.

a. Terapi Konservatif

Pengobatan konservatif yang ketat dapat memberikan hasil yang cukup baik.

5) Tirah baring (bed rest)

Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips terutama pada keadaan

akut atau fase aktif. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3 – 4 minggu,

sampai dicapai keadaan yang tenang secara klinis, radiologis dan laboratoris.

Nyeri akan berkurang, spasme otot-otot paravertebral menghilang, nafsu

makan pulih dan berat badan meningkat., suhu tubuh normal. Secara

laboratoris, laju endap darah menurun, tes mantoux diameter < 10 mm. Pada

pemeriksaan radiologis tidak dijumpai penambahan destruksi tulang, kavitasi

ataupun sekuester.

b. Anti Tuberkulosa

Obat anti tuberkulosa yang utama adalah isoniazid (INH),

rifamipicin (RMP), pyrazinamide (PZA), streptomycin (SM) dan

ethambutol (EMB).

Di bawah adalah penjelasan singkat dari obat anti tuberkulosa

yang primer:

I. Isoniazid (INH)

Bersifat bakterisidal baik di intra ataupun ekstraseluler

Tersedia dalam sediaan oral, intramuskuler dan intravena.

Bekerja untuk basil tuberkulosa yang berkembang cepat.

Berpenetrasi baik pada seluruh cairan tubuh termasuk cairan

serebrospinal.

Efek samping : hepatitis pada 1% kasus yang mengenai lebih

banyak pasien berusia lanjut usia, peripheral neuropathy karena

Page 14: LAPORAN KASUS.docx

defisiensi piridoksin secara relatif (bersifat reversibel dengan

pemberian suplemen piridoksin).

Relatif aman untuk kehamilan

Dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari

II. Rifampin (RMP)

Bersifat bakterisidal, efektif pada fase multiplikasi cepat ataupun

lambat dari basil, baik di intra ataupun ekstraseluler.

Keuntungan : melawan basil dengan aktivitas metabolik yang

paling rendah (seperti pada nekrosis perkijuan).

Lebih baik diabsorbsi dalam kondisi lambung kosong dan tersedia

dalam bentuk sediaan oral dan intravena.

Didistribusikan dengan baik di seluruh cairan tubuh termasuk cairan

serebrospinal.

Efek samping yang paling sering terjadi : perdarahan pada traktus

gastrointestinal, cholestatic jaundice, trombositopenia dan dose

dependent peripheral neuritis. Hepatotoksisitas meningkat bila

dikombinasi dengan INH.

Relatif aman untuk kehamilan

Dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari.

III. Pyrazinamide (PZA)

Bekerja secara aktif melawan basil tuberkulosa dalam lingkungan

yang bersifat asam dan paling efektif di intraseluler (dalam

makrofag) atau dalam lesi perkijuan.

Berpenetrasi baik ke dalam cairan serebrospinalis.

Efek samping :

1. Hepatotoksisitas dapat timbul akibat dosis tinggi obat ini yang

dipergunakan dalam jangka yang panjang tetapi bukan suatu masalah

bila diberikan dalam jangka pendek.

2. Asam urat akan meningkat, akan tetapi kondisi gout jarang

tampak. Arthralgia dapat timbul tetapi tidak berhubungan dengan

kadar asam urat.

Dosis : 15-30mg/kg/hari

IV. Ethambutol (EMB)

Page 15: LAPORAN KASUS.docx

Bersifat bakteriostatik intraseluler dan ekstraseluler

Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

Efek samping : toksisitas okular (optic neuritis) dengan timbulnya

kondisi buta warna, berkurangnya ketajaman penglihatan dan adanya

central scotoma.

Relatif aman untuk kehamilan

Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal

Dosis : 15-25 mg/kg/hari

V. Streptomycin (STM)

Bersifat bakterisidal

Efektif dalam lingkungan ekstraseluler yang bersifat basa sehingga

dipergunakan untuk melengkapi pemberian PZA.

Tidak berpenetrasi ke dalam meningen yang normal

Efek samping : ototoksisitas (kerusakan syaraf VIII), nausea dan

vertigo (terutama sering mengenai pasien lanjut usia)

Dipakai secara berhati-hati untuk pasien dengan insufisiensi ginjal

Dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

OAT berdasarkan berat ringannya penyakit;

1) Kategori I adalah tuberkulosis yang berat, termasuk tuberkulosis paru yang

luas, tuberkulosis milier, tuberkulosis disseminata, tuberkulosis disertai

diabetes mellitus dan tuberkulosis ekstrapulmonal termasuk spondilitis

tuberkulosa.

2) Kategori II adalah tuberkulosis paru yang kambuh atau gagal dalam

pengobatan.

3) Kategori III adalah tuberkulosis paru tersangka aktif.

c. Immobilisasi

Pemasangan gips bergantung pada level lesi, pada daerah servikal dapat

dilakukan immobilisasi dengan jaket minerva , pada daerah torakal, torakolumbal

dan lumbal atas immobilisasi dengan body jacket atau gips korset disertai fiksasi

pada salah satu panggul. Immobilisasi pada umumnya berlangsung 6 bulan,

dimulai sejak penderita diizinkan berobat jalan. Selama pengobatan penderita

menjalani kontrol berkala dan dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan

Page 16: LAPORAN KASUS.docx

laboratoris. Bila dalam pengamatan tidak tampak kemajuan, maka perlu difikirkan

kemungkinan resistensi obat, adanya jaringan kaseonekrotik dan sekuester, nutrisi

yang kurang baik, makan obat tidak berdisiplin.

c. Terapi Operatif

Tujuan terapi operatif adalah menghilangkan sumber infeksi, mengkoreksi

deformitas, menghilangkan komplikasi neurologik dan kerusakan lebih lanjut.

Salah satu tindakan bedah yang penting adalah debridement yang bertujuan

menghilangkan sumber infeksi dengan cara menbuang semua debri dan jaringan

nekrotik, benda asing dan mikro-organisme.

Indikasi operasi:

1) Jika terapi konservatif tidak memberikan hasil yang memuaskan, secara klinis

dan radiologis memburuk.

2) Deformitas bertambah, terjadi destruksi korpus multipel.

3) Terjadinya kompresi pada medula spinalis dengan atau tidak dengan defisit

neurologik, terdapat abses paravertebral

4) Lesi terletak torakolumbal, torakal tengah dan bawah pada penderita anak.

Lesi pada daerah ini akan menimbulkan deformitas berat pada anak dan tidak

dapat ditanggulangi hanya dengan OAT.

5) Radiologis menunjukkan adanya sekuester, kavitasi dan kaseonekrotik dalam

jumlah banyak.

Pada pasien ini penatalaksanaan yang diberikan yaitu dengan pemberian

OAT Kategori I dan tidak dilakukan tindakan operatif karena tidak

ketersediaan alat namun pada pasien ini ada indikasi untuk dilakukan

tindakan operatif.