LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

30
LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN ASMA PADA OPERASI KISTOMA OVARII dr. Cynthia Dewi Sinardja,SpAn.MARS DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RS SANGLAH 2018

Transcript of LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

Page 1: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

LAPORAN KASUS

MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN ASMA PADA OPERASI

KISTOMA OVARII

dr. Cynthia Dewi Sinardja,SpAn.MARS

DEPARTEMEN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RS SANGLAH

2018

Page 2: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

1

Pendahuluan

Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan tingkat prevalensi tinggi dan

terus meningkat dan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas yang bersamaan.1 Studi

menunjukkan bahwa prevalensi asma pada orang dewasa adalah 11% dan bahkan lebih tinggi

di antara anak-anak.1

Asma adalah penyakit kronis pada jalan napas di mana banyak sel dan elemen seluler

berperan.1 Peradangan kronis dikaitkan dengan hiperresponsive saluran napas yang

menyebabkan episode berulang mengi, sesak napas, sesak dada dan batuk, terutama pada

malam hari atau di pagi hari.1 Episode ini biasanya terkait dengan penyempitan/ obstruksi

aliran jalan nafas dalam paru-paru yang sering reversibel baik secara spontan atau dengan

pengobatan.1 Obstruksi terjadi karena konstriksi otot halus bronchial, edema, dan

peningkatan sekresi. Secara umum, obstruksi dipresipitasi oleh komponen airbone seperti

debu, bulu binatang, dan serbuk sari, dan lainnya.2 Pada beberapa pasien, bronkospasme

dapat terjadi setelah pasien mengkonsumsi aspirin, non steroidal anti inflammatory agents

(NSAID), sulfat, dan zat pewarna.2 Olahraga, emosi yang berlebihan, dan infeksi virus juga

dapat mencetuskan bronkospasme pada banyak pasien.2 Asma diklasifikasikan akut atau

khronis.2 Asma khronis dibagi lagi menjadi intermittent (ringan), moderate (sedang), dan

severe persistent (berat).2 Status asmatikus didefinisikan sebagai kondisi bronkospasme yang

mengancam nyawa yang terjadi meskipun pasien sudah mendapat terapi.3

Bronkospasme yang merupakan gambaran klinis eksaserbasi hiperreaktivitas jalan

nafas dapat menjadi bencana pada pengelolaan anestesi. Selama periode perioperatif,

bronkospasme biasanya muncul selama induksi anestesi tetapi juga terjadi pada tahap

anestesi manapun.1 Bronkospasme perioperatif (gambaran klinis eksaserbasi hiperreaktivitas

jalan napas) dikaitkan dengan type-E immunoglobulin (IgE)-mediated anaphylaxis atau

mungkin terjadi dipicu oleh faktor mekanik dan / atau farmakologis.1

Patofisiologi

Patofisiologi asma meliputi pelepasan lokal berbagai mediator kimia di jalan nafas,

dan juga kemungkinan, reaksi berlebihan dari sistem saraf parasimpatis. Substansi yang

dihirup dapat mencetuskan bronkospasme melalui mekanisme imun spesifik dan yang tidak

spesifik dengan degranulasi sel mast bronchial. Pada asma klasik alergi, antigen yang terikat

Page 3: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

2

pada immunoglobulin-E (IgE) pada permukaan sel mast akan menyebabkan proses

degranulasi. Bronkokontriksi yang terjadi adalah hasil dari pelepasan histamine, bradykinin,

leukotriene C, D, dan E, platelet activating factor, prostaglandin (PG) PGE2, PGF2, dan

PGD2, faktor-faktor netrofil dan eosinophil. Sistem saraf parasimpatis berperan penting

menjaga tonus bronchial yang normal, dengan variasi diurnal tonus dengan peak airway

resistance terjadi di pagi hari (sekitar jam 06.00 pagi) pada sebagian besar orang. Aferen

vagal pada bronkus peka terhadap histamine dan berbagai stimulus nyeri, termasuk udara

dingin, menghirup substansi yang iritatif, dan instrumentasi (intubasi trakea). Aktivasi reflek

vagal sebabkan bronkokontriksi, yang di mediasi oleh peningkatan intracellular cyclic

guanosine monophosphate (cGMP).2

Saat serangan asma, bronkokontriksi, edem mukosa, dan sekresi akan meningkatkan

resistensi terhadap aliran udara pada level jalan nafas yang rendah. Saat serangan asma pulih,

resistensi jalan nafas akan kembali normal dimulai dari jalan nafas yang besar (bronkus

utama, lobar, segmental, dan subsegmental), kemudian diikuti jalan nafas perifer. Akibatnya,

expiratory flow rates awalnya menurun sepanjang ekshalasi paksa, tetapi saat terjadi resolusi

dari serangan asma, expiratory flow rate hanya menurun pada low lung volumes. Total Lung

Capacity (TLC), residual volume (RV), dan Functional Residual Capacity (FRC) akan

meningkat. Pada kondisi akut, Residual Volume (RV) dan FRC dapat meningkat lebih dari

400% dan 100%. Serangan yang berat dan memanjang, akan meningkatkan work of breathing

dan dapat terjadi kelelahan otot pernafasan. Jumlah alveolar dengan V/Q ratio yang rendah

akan meningkat, menjadikan kondisi hipoksemia. Takipneu terjadi karena stimulasi reseptor

bronchial sehingga terjadi kondisi hipkapnia. PaCO2 yang normal atau tinggi

mengindikasikan bahwa pasien tidak lagi dapat mempertahankan work of breathing dan

merupakan tanda impending gagal nafas. Pulsus paradoksus dan gambaran EKG (perubahan

segmen ST, right axis deviation, dan right bundle branch block) juga mengindikasikan

obstruksi jalan nafas yang berat.2

Terapi

Obat-obat untuk penanganan asma meliputi agrenergik agonis, methylxantine,

glukokortikoid, antikolinergik, leukotriene blocker, dan mast cell stabilizing agent. Dengan

pengecualian mast cell stabilizing agent, obat-obat diatas dapat digunakan untuk terapi asma

akut maupun khronis. Meskipun tanpa sifat bronkodilator, cromolyn sodium dan nedocromil

Page 4: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

3

efektif untuk mencegah bronkospasme dengan cara memblok degranulasi sel mast.2

Pengobatan asma dibagi dalam 2 komponen, yaitu terapi ‘controller’ yang

memodifikasi area jalan nafas sehingga penyempitan jalan nafas akut lebih jarang terjadi.

Terapi ‘controller’ diantaranya adalah kortikosteroid inhalasi dan sistemik, teofilin, dan

leukotrian. Kemudian terapi ‘reliever’ atau agen ‘rescue’ untuk bronkospasme akut. Terapi

‘reliever’ diantaranya adrenergik agonis dan obat antikolinergik.3

Obat simpatomimetik (lihat tabel di bawah1) paling banyak digunakan untuk terapi

eksaserbasi akut, dengan cara kerja bronkodilatasi via aktivitas 2 agonis.

Aktivasi reseptor 2 adrenergik pada otot halus bronkhiolar akan menstimulasi aktivitas

adeylate siklase, menghasilkan pembentukan intracellular cyclic adenosine monophosphate

(cAMP).2 cAMP pada level sel akan menyebabkan relaksasi otot halus dan meningkatkan

clearance mukosilier. Walaupun agonis dapat diberikan secara oral atau intravena,

pemberian secara inhalasi memberikan efek target organ dan efek bronkodilatasi yang cepat

dengan efek samping sistemik yang kecil. β2-selective adrenergic agonists yang bekerja

cepat, contohnya albuterol (salbutamol- 1.25 hingga 5 mg dalam 3ml saline tiap 4-8 jam) dan

levalbuterol (levosalbutamol 0.63- 1.25mg tiap 4-8 jam) dengan onset of action 5 menit, efek

puncak tercapai dalam 1 jam, dan durasi aksi 4-6 jam.1 Long acting β2-selective agonists,

Page 5: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

4

seperti arformoterol, formoterol, and salmeterol, (12 μg/blister tiap 12 jam) menghasilkan

efek bronkodilatasi ˃12 jam dan efek samping hampir tidak ada.1 Golongan long- acting

tidak mensupresi reaksi inflamasi, sehingga tidak digunakan tanpa terapi inflamasi untuk

mengontrol asma.1 Penggunaan selektif 2 agonis (terbutaline, albuterol) dapat menurunkan

kejadian efek ke jantung via 1 yang tidak diharapkan, tetapi seringkali tidak terlalu selektif

pada dosis tinggi.2 Sediaan transdermal, tulobuterol, sudah tersedia di Jepang sejak beberapa

tahun yang lalu.4 Obat tersebut merupakan long acting agonist (LABA) untuk mengontrol

gejala asma pada orang dewasa dan anak-anak.4 Long acting inhaled agonist dapat juga

digunakan untuk terapi asma khronis, tetapi jika digunakan bersamaan dengan kortikosteroid

inhalasi.1

Methylxantine bekerja dengan cara menghasilkan bronkodilatasi dengan menginhibisi

phosphodiesterase, enzim yang berperan pada kerusakan cAMP. Efek ke paru lebih kompleks

meliputi pelepasan katekolamin, dan stimulasi diafragma. Teofilin sediaan oral long acting

digunakan untuk pasien dengan gejala nocturnal. Tetapi, teofilin memiliki batasan terapi yang

sempit, dengan kadar darah terapeutik 10-20 mcg/ml. Kadar yang lebih rendah, dapat juga

efektif. Monitoring kadar serum dalam darah diperlukan pada penggunaan dosis tinggi,

sedangkan penggunaan dosis rendah menghasilkan efek antiinflamasi tanpa perlu monitoring

yang ketat. Efek samping meliputi mual, muntah, aritmia, nyeri kepala, kejang. Aminofilin

merupakan satu-satunya sediaan teofilin intravena yang tersedia. Hati-hati penggunaan

bersama dengan halotan karena dapat menyebabkan disritmia ventricular.1,4

Glukokortikoid digunakan untuk terapi kondisi akut dan pemeliharaan untuk pasien

asma karena efek anti inflamasi dan membrane stabilizing.2 Pada level sel, kortikosteroid

menurunkan jumlah sel inflamasi (eosinophil, limfosit T, sel mast, sel dendrit) di jalan nafas

dengan menghambat kelangsungan hidup sel inflamasi dan menekan produksi mediator

chemotactic. 4 Pasien asma yang diterapi dengan kortikosteroid pre operative menunjukkan

insiden yang lebih rendah terjadinya komplikasi saat operasi. 4 Beclometason, triamcinolone,

fluticasone, dan budesonide adalah sintetik steroid yang biasa digunakan dalam bentuk

metered dose inhalers (MDI) untuk terapi pemeliharaan. Contoh dosis inhalasi,

beclomethasone (40 μg 2x sehari, 2 inhalasi), budesonide (0.25mg/2ml 2x sehari) dan

fluticasone (88μg 2x sehari), merupakan terapi utama untuk menstabilkan dan memperbaiki

asma persisten. Penggunaan yang berkelanjutan, akan menurunkan angka morbiditas dan

mortalitas pada pasien asma, dimana kortikosteroid inhalasi lebih bersifat supresi daripada

Page 6: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

5

kuratif. Supresi adrenal tidak terjadi pada pemberian dengan dosis rendah sampai sedang.

Hidrokortison (200 mg IV) atau methylprednisolone (40-80 mg/hari) intravena digunakan

untuk serangan asma akut yang berat, diikuti dengan tapering doses prednisone oral

(misalnya prednisone 40-80 mg/hari dosis tunggal atau terbagi 2 dosis). Efeknya ke jalan

nafas (steroid parenteral) memerlukan waktu 4-6 jam pada bronkospasme akut. Supresi

adrenal, hambatan proses penyembuhan, infeksi, hiperglikemia, retensi cairan, merupakan

komplikasi yang umum terjadi pada penggunaan jangka panjang. Tetapi, hambatan

penyembuhan luka dan peningkatan resiko infeksi tidak tampak pada pasien asma yang

diterapi dengan steroid sistemik perioperative. Pasien dengan penggunaan kortikosteroid >2

minggu pada 6 bulan pertama harus diwaspadai resiko terjadinya supresi adrenal pada kasus

dengan penyakit akut yang berat, trauma, atau operasi mayor.1 Untuk status asmatikus,

kortikosteroid yang sering digunakan adalah (1) cortisol 2 mg/kg IV diikuti 0,5 mg/kg/jam

via infus dan (2) methylprednisolone 60-125 mg IV setiap 6 jam.3

Obat golongan antikolinergik menyebabkan bronkodilatasi lewat aksi di reseptor

kolinergik muskarinik dan memblok reflek bronkokontriksi. Ipratropium, dapat diberikan

secara metered dose inhaler (MDI) atau aerosol, merupakan bronkodilator yang cukup efektif

yang tidak menyebabkan efek antikolinergik sistemik yang bermakna.1 Efek sampingnya

mengeringkan sekresi jalan nafas. Pada penanganan serangan asma akut yang berat, dapat

menggunakan ipratropium yang dikombinasikan dengan modalitas terapi lainnya.4

Leukotrienes pathway modifiers diproduksi oleh sel-sel inflamasi seperti basophil,

eosinophil, dan sel mast. Mediator inflamasi ini akan mencetuskan terjadinya edem bronkial,

menstimulasi sekresi jalan nafas dan proliferasi otot halus lewat mekanisme non histamine.

Inhibisi mediator ini akan menyebabkan bronkodilatasi ringan lewat jalur yang berbeda dari

β-agonists, sehingga memberikan efek additive. Leukotriene pathway modifiers (contohnya :

montelukast 10 mg, zafirlukast 40 mg/hari) digunakan sebagai controller lini kedua setelah

steroid untuk penanganan asma khronis. Golongan ini efektif untuk asma spesifik seperti

asma yang disebabkan oleh latihan fisik, virus (intermittent), dan asma yang dicetuskan oleh

aspirin. 1,4

Cromolyn sodium dan Nedocromil sodium menstabilkan sel mast dan menganggu

fungsi sel terhadap chloride. Golongan ini hanya digunakan sebagai alternative (jarang) terapi

untuk penanganan asma pada orang dewasa, tidak direkomendasikan untuk anak. Golongan

Page 7: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

6

ini tidak digunakan untuk terapi emergency. Jika digunakan pun, merupakan bagian dari

strategi preventif jangka panjang. 4

Berikut adalah obat asma yang umum digunakan dan cara kerjanya3

Manajemen Anestesi

Pre Operatif

Dalam mengevaluasi pasien dengan asma, harus menentukan status penyakit

asmanya, dan anamnesa juga riwayat masuk rumah sakit karena serangan asma akut, dan

Page 8: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

7

memastikan pasien dalam kondisi optimal. Untuk mengevaluasi terkontrol atau tidaknya

gejala asma pasien dapat dengan bantuan tabel berikut5

Pasien dengan asma yang tidak terkontrol dengan baik atau wheezing pada waktu induksi

anestesi memiliki faktor resiko yang tinggi terjadi komplikasi perioperative. Sebaliknya,

asma yang terkontrol dengan baik tidak menjadi faktor resiko terjadinya komplikasi

intraoperative maupun postoperative. Riwayat asma dan pemeriksaan fisik sangat penting.2

Pemeriksaan fisik meliputi tanda vital, pemeriksaan suara pernafasan dan penggunaan

otot aksesoris. Adanya usaha nafas yang sulit, penggunaan otot aksesoris, dan waktu

ekspirasi yang memanjang menunjukkan control asma yang buruk. Wheezing yang terdengar

saat auskultasi merupakan hal yang harus dicermati, terutama jika wheezing terjadi pada fase

siklus respirasi selain di akhir respirasi. Pasien harus menunjukkan tidak ada atau minimal

Page 9: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

8

dyspnea, wheezing atau batuk. Resolusi komplit eksaserbasi harus dikonfirmasi dengan

pemeriksaan fisik auskultasi dada.1,2

Tes laboratorium tidak rutin diperlukan. Hitung jenis eosinophil sering berjalan

parallel dengan derajat inflamasi jalan nafas dan hiperreaktivitas jalan nafas, merupakan

pemeriksaan tidak langsung tyang menilai status penyakit. Pemeriksaan analisa gas darah

dapat berguna pada kasus asma yang berat, untuk menentukan baseline oksigenasi, retensi

karbondioksida, dan status asam basa. Asma ringan biasanya menunjukkan normal PaO2 dan

PaCO2. Hipokarbia dan alkalosis respiratory paling sering ditemukan pada pasien asma.

Seiring dengan obstruksi airflow memberat, ventilation/ perfusion mismatching akan

menghasilkan nilai PaO2 < 60 mmHg pada udara ruangan. PaCO2 akan mulai meningkat saat

FEV1 < 25% dari nilai prediksi. Kelelahan otot bantu skeletal untuk bernafas juga akan

ditunjukkan dengan gambaran hasil hiperkarbia. Jadi, Hipoksemia dan hiperkapnia

merupakan gambaran asma sedang dan berat, bahkan hiperkapnia ringan dapat merupakan

penunjuk air trapping yang berat dan merupakan tanda akan terjadi gagal nafas. Foto thorax

dapat menunjukkan air trapping, hiperinflasi yang menyebabkan diafragma mendatar, jantung

terlihat kecil, dan area paru tampak hiperlusen. Pulmonary Function Test (PFT) terutama

pengukuran aliran udara ekspirasi seperti Forced Expiratory Volume in 1 second (FEV1),

FEV1/FVC, Maximum Mid Expiratory Flow (MMEF/FEF 25-75%), dan peak expiratory

flow rate membantu menentukan derajat keparahan obstruksi jalan nafas dan reversible/ tidak

setelah terapi bronkodilator.3 Pasien asma yang datang ke rumah sakit untuk berobat

biasanya dengan hasil pemeriksaan FEV1 <35%, dan MMEF 20%. Flow-volume loops

menunjukkan karakteristik downward scooping dari cabang ekspirasi dari loop . Flow-volume

loop dimana bagian inhalasi atau ekshalasi rata membantu membedakan wheezing

disebabkan oleh obstruksi jalan nafas (benda asing, stenosis trakea, tumor mediastinum) dari

asma. Pada serangan asma sedang atau berat, Functional Residual Capacity (FRC) dapat

meningkat, tetapi Total Lung Capacity (TLC) tetap dalam batas normal. Diffusing Capacity

for Carbon Monoxide tidak berubah. Respon terhadap bronkodilator dapat membatu jika

pasien dicurigai asma, dimana peningkatan airflow setelah inhalasi bronkodilator mendukung

diagnosis asma. Nilai abnormal pada PFT masih dapat terjadi hingga beberapa hari setelah

serangan asma akut walaupun gejala sudah tidak ada. Mengingat asma adalah penyakit

episodic, diagnosisnya masih belum dapat disingkirkan walupun PFT nya menunjukkan hasil

normal. Pada pasien yang hendak dijadwalkan operasi mayor, dapat dijadwalkan untuk

pemeriksaan PFT sebelum dan setelah bronkodilator. FEV1 atau FVC < 70% dan FEV1/FVC

Page 10: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

9

ratio < 65% nilai prediksi, biasanya menjadi faktor resiko terjadinya komplikasi

perioperative.1,3 Pada pemeriksaan Elektokardiografi (EKG), dapat menunjukkan gagal

jantung kanan atau iritabilitas ventrikel saat serangan asma.3

Page 11: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

10

Resiko terjadinya bronkospasme intraoperative, yang merupakan salah satu

komplikasi asma, dapat meningkat dengan adanya atopy, eczema, allergic rhinitis, dan

kondisi lain dari inflamasi khronis. Riwayat keluarga asma dan atopi harus dicari, dan juga

menjadi penanda peningkatan resiko perioperative.1

Page 12: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

11

Pasien asma dengan bronkospasme aktif yang hendal menjalani operasi emergency

harus diterapi agresif. Suplementasi oksigen, nebulizer dengan 2 agonis, dan glukokortikoid

intravena, dapat memperbaiki fungsi paru dalam beberapa jam.2

Pemberian sedasi pre operasi, dapat berguna pada pasien asma yang kan menjalani

operasi elektif, terutama pada pasien dimana faktor emosional dapat mencetuskan asma.

Secara umum, benzodiazepin merupakan golongan terpilih untuk premedikasi. Golongan

antikolinergik tidak umum diberikan kecuali pada pasien dengan sekresi yang banyak atau

direncanakan induksi menggunakan ketamin. Antikolinergik intramuskular tidak efektif

mencegah reflek bronkospasme yang terjadi setelah intubasi. Penggunaan golongan H2-

blocker (cimetidine, ranitidine, famotidine) secara teoritis merugikan, karena aktivasi reseptor

H2 akan menyebabkan bronkodilatasi, pada keadaan dimana terjadi pelepasan histamin,

aktivasi H1 dengan blokade H2 dapat menyebabkan bronkokontriksi.2

Bronkodilator harus dilanjutkan sampai dengan waktu menjelang operasi. Dapat

digunakan 2 agonis, glukokortikoid inhalasi, leukotrien blocker, mast cell stabilizer,

teofilin, atikolinergik.2

Menurut Enright, manajemen pre operasi pada pasien asma meliputi :1

i. Bronkospasme harus diterapi dengan inhalasi β2-agonis.

Page 13: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

12

ii. Jika pasien beresiko terjadi komplikasi, terapi pre operasi dengan 40-60 mg of

prednisone per hari atau hydrocortisone 100 mg tiap 8 jam intravena disarankan.

Pada pemeriksaan pre operasi dengan FEV1<80% nilai prediksi sebaiknya diberikan

steroid.

iii. Infeksi diatasi dengan pemberian antibiotik.

iv. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit harus dikoreksi, karena pemberian β2-

agonis dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia, hiperglikemia dan

hipomagnesemia. Juga, imbalance menyebabkan penurunan respon terhadap β2-

agonis dan predisposisi terhadap terjadinya aritmia irama jantung.

v. Terapi profilaksis dengan cromolyn untuk mencegah degranulasi sel mast dan

pelepasan mediator harus dilanjutkan.

vi. Fisioterapi dada akan meningkatkan clearance sputum dan drainase bronkial.

vii. Kondisi lain seperti cor pulmonale harus diterapi.

viii. Pasien harus stop merokok minimal 2 bulan sebelum operasi untuk

menurunkan level karboksihemoglobin dan memulihkan clearance mucus silier

endobronkial.

Intra Operatif

Saat yang paling kritis pada pasien asma yang akan menjalani anestesi adalah saat

instrumentasi jalan nafas. Anestesi umum via sungkup muka atau anestesi regional akan

mengatasi masalah ini, tetapi tidak berarti mengeliminasi kemungkinan terjadinya

bronkospasme. Terdapat bukti bahwa intubasi trachea dapat menyebabkan peningkatan

resistensi jalan nafas, tetapi tidak pada penggunaan LMA. Bahkan, beberapa klinisi

berpendapat high spinal atau anestesi epidural dapat memperburuk bronkokontriksi lewat

blok tonus simpatis pada lower airway (T1-T4), menyebabkan aktivitas parasimpatis menjadi

dominan. Nyeri, stress emosional, atau stimulasi dengan anestesi umum yang dangkal dapat

mempresipitasi bronkospasme. Obat-obatan yang berhubungan dengan histamine release

(atracurium, morphin, meperidine) harus dihindari atau diberikan secara sangat lambat jika

digunakan. Sasaran anestesi umum adalah induksi yang halus dan smooth emergence, dengan

kedalaman anestesi yang cukup saat dilakukan stimulasi.2

Pemilihan agen induksi tidak terlalu penting, jika kedalaman anestesi tercapai

sebelum intubasi atau stimulasi operasi. Tiopental dapat mencetuskan bronkospasme, karena

Page 14: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

13

pelepasan histamin. Propofol dan etomidat merupakan agen induksi yang cocok, propofol

dapat juga menyebabkan bronkodilatasi. Propofol bekerja dengan cara menurunkan

konsentrasi Ca2+ intrasel, menurunkan tonus motorik reflek vagal, menstimulasi motilitas

silier pada jalan nafas, mencegah inflamasi jalan nafas, meregulasi efek ke reseptor GABA, 5

HT dan sistem saraf nonadrenergic noncholinergic (NANC), sehingga memberikan efek

anestesi yang baik untuk pasien asma.9 Ketamin memiliki sifat bronkodilator dan merupakan

pilihan yang baik untuk pasien asma dengan hemodinamik yang tidak stabil. Ketamin tidak

boleh digunakan pada pasien dengan kadar teofilin yang tinggi, karena kombinasi aksi dari

kedua agen tersebut dapat mempresipitasi kejang. Halotan dan sevoflurane memberikan

induksi inhalasi yang baik dengan efek bronkodilatasi pada pasien anak-anak dengan asma.

Isoflurane dan desflurane juga memiliki efek bronkodilatasi yang serupa, tetapi tidak

digunakan sebagai agen induksi inhalasi. Desflurane memiliki bau yang menyengat, sehingga

dapat menyebabkan batuk, laringospasme, dan bronkospasme.2

Reflek bronkospasme dapat ditumpulkan sebelum intubasi dengan pemberian dosis

tambahan agen induksi, ventilasi dengan 2-3 minimum alveolar concentration (MAC) agen

volatile selama 5 menit, atau memberikan lidokaine intravena atau intratracheal (1-2

mg/kgBB). Harus diperhatikan bahwa pemberian lidokaine intratrakheal sendiri dapat

mencetuskan bronkospasme jika dosis agen induksi yang digunakan tidak adekuat.

Pemberian obat antikolinergik dapat memblok reflek bronkospasme, tetapi menyebabkan

takikardi yang berlebihan. Walaupun suksinilkolin dapat menyebabkan pelepasan histamin,

penggunaannya aman pada sebagian besar pasien asma.2 Peningkatan atau penurunan tonus

bronkhial dan reaktivitas bergantung pada reseptor muskarinik mana yang distimulasi.

Relaksan otot yang lebih mempengaruhi reseptor M2 daripada reseptor (gallamin,

pipecuronium, dan rapacuronium) dapat menyebabkan bronkokonstriksi. Sedangkan relaksan

otot yang terikat pada reseptor M3 lebih atau setidaknya sama seperti reseptor M2 tidak

menyebabkan bronkokontriksi, diantaranya adalah vecuronium, rocuronium, cisatracurium,

dan pancuronium aman digunakan. Disamping efek langsung pada reseptor muskarinik,

atracurium dan mivacurium bergantung dosis akan melepaskan histamine, dan dapat

mencetuskan bronkokontriksi sehingga harus digunakan secara hati-hati pada pasien asma.1

Jika tidak ada kapnografi, konfirmasi penempatan trakheal yang tepat dengan auskultasi

dada dapat menjadi sulit jika terjadi bronkospasme.2

Page 15: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

14

Agen volatile sering digunakan untuk pemeliharaan anestesi karena efek

bronkodilator yang poten menguntungkan. Ventilasi harus dengan gas lembab yang hangat

jika memungkinkan.2

Obstruksi jalan nafas saat ekspirasi terlihat pada kapnografi sebagai lambatnya

peningkatan nilai end tidal CO2.2

Beratnya derajat obstruksi secara umum berbanding terbalik dengan dengan peningkatan end

tidal CO2. Bronkospasme yang berat terlihat dengan naiknya peak inspiratory pressure dan

tidak komplitnya ekshalasi. Tidal volume 6-8 ml/kg, dengan waktu ekspirasi yang

diperpanjang, dapat memberi distribusi aliran gas yang merata pada kedua lapang paru dan

mencegah terjadinya air trapping (terjadinya intrinsik/ auto PEEP).2

Bronkospasme akut intraoperatif (Perioperative Bronchospasm)

Tanda dari obstruksi jalan nafas konsisten dengan bronkospasme meliputi terjadinya

wheezing, peningkatan peak airway pressure (plateu pressure tidak berubah), pemanjangan

fase ekspirasi, dan melambatnya penurunan dada yang dapat diamati (menurunnya volume

tidal ekshalasi). Kapnografi menunjukkan penyempitan jalan nafas dan pemanjangan

ekspirasi yang menghasilkan perlambatan kenaikan end tidal karbondioksida, menghasilkan

karakteristik ‘shark-fin appearance’ pada kapnografi.1

Dada (jika sulit dijangkau, cabang ekspirasi dari sirkuit anestesi) harus di auskultasi

untuk mengkonfirmasi adanya wheezing. Terbatasnya atau tidak adanya suara nafas menjadi

tanda aliran udara (airflow) yang rendah hingga mencapai titik kritis. Differential diagnosis

meliputi mucous plugging jalan nafas dan edema pulmo. Unilateral wheezing menandakan

kemungkinan intubasi endobronkhial, obstruksi benda asing seperti gigi yang lepas, atau

tension pneumotorak. Jika tidak ada satupun dari kondisi diatas, atau jika bronkospasme

menetap walaupun telah diberikan koreksi, maka algoritme terapi untuk bronkospasme akut

Page 16: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

15

intraoperatif harus mulai diberikan.1

Terapi Bronkospasme Intraoperatif

Tujuan terapi adalah untuk memulihkan obstruksi aliran udara dan hipoksemia yang

terjadi secepatnya. Saat bronkospasme perioperatif terjadi, konsentrasi oksigen harus

dinaikkan hingga 100%, dan manual bag ventilation segera dimulai untuk mengevaluasi

compliance pulmonum dan mengidentifikasi semua penyebab tekanan sirkuit yang tinggi.

Menaikkan konsentrasi volatile anestesi (sevoflurane, isoflurane) dapat berguna dengan

pengecualian desflurane karena efeknya yang mengiritasi jalan nafas, terutama pada pasien

perokok.1

Mendalamkan anestesi dengan agen anestesi intravena (propofol) mungkin diperlukan

karena bronkospasme yang dicetuskan oleh intubasi dapat berhubungan dengan kedalaman

anestesi yang tidak adekuat. Jika setelah mendalamkan anestesi, bronkospasme masih

berlanjut, pemberian β2 agonis dapat dilakukan. Agen inhalasi short- acting β2-selective

(terutama terbutaline dan salbutamol) merupakan obat yang penting untuk meredakan

bronkokontriksi dengan cepat. Onset kerja tercapai dalam 5 menit, dengan peak effect dalam

60 menit dan durasi kerja 4-6 jam. Agen ini diberikan secepatnya melalui nebulizer (8–10

puffs untuk mencapai level terapi yang tepat, dapat diulang dengan interval 15-30 menit) atau

jika tersedia, dengan metered dose inhaler (5-10 mg/jam) disambungkan ke cabang inspirasi

sirkuit ventilator. Tidak ada perbedaan dalam kemanjuran pengunaan terbutaline dan

salbutamol. Pemberian secara berkelanjutan (daripada intermittent) salbutamol menghasilkan

perbaikan yang lebih besar pada PEF dan FEV1. Nebulizer epinefrin tidak memiliki efek

yang menguntungkan jika dibandingkan dengan terbutaline atau salbutamol.1

Glukokortikoid sistemik juga jangan dilupakan. Steroid parenteral adalah obat yang

penting untuk pengobatan bronkospasme karena sifat kerjanya yang menimbulkan resolusi

cepat eksaserbasi dengan menurunkan inflamasi jalan nafas. Glukokortikoid sistemik seperti

methylprednisone (1 mg / kg) lebih dipilih daripada cortison karena efek anti inflamasinya

yang lebih poten. Tetapi efek anti inflamasi tersebut membutuhkan waktu.1

Kombinasi nebulizer ipratoprium bromide dengan nebulizer β2-agonis menghasilkan

efek bronkodilator yang lebih baik daripada hanya β2-agonis saja. Magnesium memiliki

peran pada penanganan asma lewat relaksasi otot halus bronchial, sehingga bisa diberikan

secara intavena atau sediaan inhalasi pada pasien dengan bronkospasme berat yang gagal

Page 17: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

16

respon dengan β2-agonis. Salbutamol yang diencerkan dengan isotonic magnesium sulfate

memberikan efek yang lebih baik daripada jika diencerkan dengan saline.1

Tidak ada rekomendasi tentang penggunaan epinefrin sistemik, kecuali

penggunaannya masih beralasan sebagai terapi pertolongan pada pasien dengan asma berat

yang disertai dengan hipotensi. Epinefrin 5-10 mcg intravena dapat diberikan dengan resiko

tinggi takikardi dan takiaritmia. Sebagai alternatif, dapat diberikan dosis kontinyu 0,5-2

mcg/menit pada pasien dewasa dengan efek samping yang lebih minimal.1,6

Fase Emergence

Laringospasme, bronkospasme, dan hipoksemia merupakan resiko yang mengancam

yang dapat terjadi pada fase emergence. Suction jalan nafas harus diberikan secara hati-hati.

Aspirasi juga dapat mencetuskan bronkospasme. Profilaksis dengan menggunakan obat

antiemetic, antasida, dan suction gaster sebelum emergence dapat dilakukan. Fungsi mekanik

pernafasan harus diperiksa secara menyeluruh sebelum ekstubai dan emergence. Reversal

pelumpuh otot dapat berbahaya untuk pasien asma. Neostigmin akan meningkatkan resiko

bronkospasme karena efek muskarinik dan pro sekresi. Pemberian reversal obat pelumpuh

otot non depolarisasi tidak akan mempresipitasi bronkokontriksi, jika didahului dengan dosis

yang sesuai dari golongan obat antikolinergik (glikopirolat atau atropine), tetapi perlu diingat

durasi aksi neostigmine dapat lebih lama daripada vagolitik yang diberikan terutama pada

pasien dengan gangguan fungsi ginjal. Ekstubasi dalam (sebelum reflek jalan nafas kembali)

akan menurunkan kejadian bronkospasme saat emergence. Lidokain bolus (1,5 – 2 mg/kg)

dapat membantu menumpulkan reflek jalan nafas saat emergence.1

Jika kondisi bronkospasme akut bertahan pada akhir operasi atau menjadi lebih berat,

atau jika pasien dengan masalah difficult airway, trauma, atau perut penuh, perlu dipikirkan

penggunaan ventilasi mekanik post operasi untuk menghindari penggunaan reverse relaksan

otot dan memberikan waktu untuk pemulihan jalan nafas. Pemberian ulang β2- agonis seperti

albuterol sebelum emergence disarankan. Saat fase emergence, harus disertai dengan

analgesia yang adekuat, baik secara intravena maupun neuroaxial. Untuk mencegah

komplikasi pulmonal postoperasi, deep breathing exercises, mobilisasi dini, terapi

bronkodilator, profilaksis gastro-oesophageal reflux dapat diterapkan. Non-invasive positive

pressure ventilation merupakan pilihan pada pasien dengan persisten bronkospasme setelah

ekstubasi trakea.1

Page 18: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

17

KASUS

Evaluasi Pra Anestesia

Identitas Penderita

Nama : Ni Nyoman Sudiartini

RM : 16040418

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 46 tahun

Agama : Hindu

Suku : Bali

Kebangsaan : Indonesia

Alamat : Denpasar

Pendidikan : SMA

Status : Menikah

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

MRS : 11-10-2016

Page 19: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

18

Operator : Dr.dr. Budiana SpOG (K)

Diagnosis : Kistoma ovarii curiga ganas + Asma bronkhiale (terkontrol)

Tindakan : Laparotomi- Frozen section

1. Anamnesis/ autoanamnesis

a. Anamnesis Umum

Riwayat alergi Kaltrofen suppositoria dengan reaksi bengkak di wajah.

Riwayat Riwayat asma sejak pasien SMP, terakhir kambuh 1 bulan yang lalu dengan

terapi Ventolin.

Riwayat penyakit hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes mellitus disangkal

Riwayat operasi sebelumnya tidak ada

a. Anamnesis Khusus

Pasien dengan keluhan perut membesar sejak Juli 2016 (3 bulan sebelum masuk RS).

Perut dirasakan makin lama makin membesar dan terasa agak nyeri. Pasien kemudian

berobat ke RS Klungkung, dilakukan pemeriksaan USG perut dan dikatakan terdapat

kista ovarium, pasien kemudian dirujuk ke RSUP Sanglah.

Saat ini tidak ada keluhan demam/ sesak/ mual/muntah. Pasien dapat makan dan minum

dengan baik, pasien merasa lebih nyaman tidur diganjal dengan 1 bantal.

BAK dan BAB lancar dan normal.

2. Status Present

Kesadaran : Compos mentis

Respirasi : 16 x / menit

SpO2 : 95% room air

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Nadi : 107 x / menit

Suhu Axilla : 36,8oC

Page 20: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

19

Berat Badan : 63 kg

Tinggi Badan : 158 cm, BMI : 25,2 Kg/m2

VAS diam : 0/100 mm

VAS gerak : 20/100 mm

3. Status Fisik

1. Sistem Saraf Pusat : Compos mentis

2. Sistem Sirkulasi : Normal

3. Sistem Respirasi : Normal

4. Sistem Hematologi : Normal

5. Sistem Gastro Intestinal : Distended (+)

6. Sistem Hepatobilier : Normal

7. Sistem Urogenital : Normal

8. Sistem Metabolik : Normal

9. Sistem Otot Rangka : Mallampati II, fleksi defleksi leher normal

4. Pemeriksaan Penunjang

1. Hematologi (07/10/2016)

WBC 16,39x103/µL (Netrofil 81,94%; Lymphosit 13,44%)

HGB 10,61 g/dL

HCT 36,76%

PLT 473,80x103/ µL

2. Faal Hemostasis (07-10-2016) :

PT 13,9 (10,8-14,4) detik

APTT 28,4 (24-36) detik

INR 1,15

CT 7’30’’

BT 2’00’’

3. Kimia Darah (07-10-2016) :

SGOT 16 U/L

Page 21: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

20

SGPT 14,6 U/L

Albumin 3,70 g/dL

BUN 5,00 mg/dL

SC 0,73 mg/dL

GDS 100 mg/dL

Na 142 mmol/L

K 4,59 mmol/L

4. Thorax photo AP (21-09-2016) :

Tidak ditemukan efusi pleura; Kesan cor dan pulmo tak tampak kelainan.

5. EKG (11-09-2016) :

NSR; HR 99x/menit; ST-T change tidak ada; axis normal

6. USG Abdomen (21-09-2016) :

- Kista di cavum pelvis sampai abdomen, suspek malignancy

- Tidak ditemukan cairan bebas intra peritoneal

- Hepar/GB/pankreas/lien/ginjal kanan kiri/buli/uterus saat ini tak tampak kelainan

7. Papsmear (27-09-2016) :

Negative for intraephitelial transformation zone/ endocervical component absent

Permasalahan Pasien :

✓ Respirasi : Riwayat asma bronkhiale terkontrol

✓ GIT : Distensi abdomen dengan USG Abdomen (21-09-2016) : Kista di

cavum pelvis sampai abdomen, suspek malignancy. Tidak ditemukan cairan bebas

intra peritoneal

✓ Anemia ringan (HGB 10,61 g/dL )

Kesimpulan Status fisik : ASA II

Persiapan Pra Aanestesia

I. Persiapan Di Ruang Perawatan

Evaluasi identitas penderita

Page 22: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

21

• Psikis : Autoanamnesis umum & Autoanamnesis khusus

• Penjelasan tentang rencana anestesi yang akan dilakukan pada pasien mulai di ruang

penerimaan, ruang operasi sampai di ruang pemulihan.

• Memasang intravenous line dengan Abocath G18, cairan kristaloid ringer fundin (RF)

maintenance 1500 ml/ 24jam

• Memberikan nebulizer ventolin 1 ampul, malam menjelang operasi dan pagi hari

menjelang operasi

• Memberikan Methylprednisolone 62,5 mg IV, 4 jam sebelum operasi

• Memberikan metoclopramide 10 mg IV malam hari sebelum operasi dan pagi hari

menjelang operasi

Fisik :

• Puasa 8 jam sebelum operasi untuk makanan padat.

• Untuk air putih non partikel diperbolehkan sampai dengan 2 jam sebelum operasi.

• Perhiasan dilepaskan sebelum ke ruang operasi.

• Ganti pakaian khusus sebelum ke ruang operasi.

• Memeriksa status present, status fisik dan hasil pemeriksaan penunjang.

• Memeriksa surat persetujuan tindakan medis.

II. Persiapan Di Ruang Persiapan Anestesi (OK Instalasi Bedah Sentral) Pukul 08.20

WITA

• Memeriksa ulang catatan medik pasien, identitas dan persetujuan operasi.

• Menanyakan kembali persiapan yang dilakukan di ruang perawatan

• Evaluasi ulang status fisik pasien

• Penjelasan ulang kepada pasien tentang rencana anestesi

III. Persiapan di Kamar Operasi

• Mempersiapkan mesin anestesi dan aliran gas

• Mempersiapkan obat dan alat anestesia

• Mempersiapkan obat dan alat resusitasi

• Mempersiapkan obat-obat penanganan asma (aminophyline, methyprednisolone,

adrenaline, ventolin dan pulmicort ampul untuk nebulizer)

• Mempersiapkan monitor dan kartu anestesia

Page 23: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

22

• Pasang monitor ECG, tensimeter, dan saturasi oksigen pada pasien

• Evaluasi ulang status present penderita : GCS E4V5M6, RR 20 x/menit, TD 120/80

mmHg, nadi 110 x/menit, pemeriksaan paru tidak ada rhonki/ wheezing

Pengelolaan Anestesia

1. Jenis Anestesi : Anestesi Umum

2. Teknik Anestesi : Anestesi Umum inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakea nafas

kendali dengan tehnik Rapid Sequence Intubation

• Penderita tidur telentang posisi dengan head up 30 derajat

• Berikan preoksigensi O2 8 liter/menit selama 5 menit

• Induksi dengan Propofol 150 mg IV pukul 08.40 WITA, Analgetik dengan Fentanyl

150 mcg IV diberikan 3 menit sebelum intubasi, dilakukan sellick maneuver oleh

bantuan penolong

• Pelumpuh otot Rocuronium 50 mg IV diberikan 1 menit sebelum intubasi, tidak

dilakukan ventilasi manual

• Laringoskopi dan intubasi dengan PET no 7 cuff (+), level di bibir 21 cm, sellick

maneuver dilepaskan

• Setelah dilakukan intubasi, dilakukan pengecekan kedua lapang paru dengan ventilasi

manual (bagging manual). Suara vesikuler sangat lemah dan didapatkan wheezing di

kedua lapang paru, saturasi menurun hingga 30 persen dan terus menurun hingga 0 %,

heart rate bradikardi hingga 40x/menit dimasukkan Sulfas atropine 0,5 mg IV

respon (+), HR naik hingga 80x/menit, bagging manual ventilator diganti dengan

bagging Ambu bag ventilation, oksigen dinaikkan hingga 15 lpm, saturasi oksigen

mulai naik perlahan hingga 90%.

• Dengan tetap dilakukan ventilasi manual dan observasi ketat hemodinamik termasuk

tekanan darah, dimasukkan propofol 50 mg IV untuk mendalamkan anestesi,

methylprednisolone 125 mg IV, Aminophyline 120 mg IV (2x) dilanjutkan

maintenance 30 mg/jam IV via syringe pump. Saturasi oksigen mulai naik perlahan

hingga 95%. Wheezing di kedua lapang paru berangsur hilang.

• Respirasi dengan ventilator dengan target volume tidal 360-480 ml, dengan RR

14x/menit, PEEP 5

Page 24: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

23

• Pemeliharaan dengan Compressed Air:O2 = 2:2; Sevoflurane 2 vol %; Fentanyl 0,5

mcg/kgBB/jam; Rocuronium 0,2 mg/kgBB/jam. Saturasi oksigen 99%, dilakukan

pemeriksaan fisik kedua lapang paru dengan stetoskope, bronkovesikuler kedua lapang

paru, tidak ada whhezing/ rhonki.

• Operasi mulai pukul 09.20 WITA selesai pukul 14.30 WITA, operasi berlangsung

selama 5 jam 10 menit

• Dilakukan pemeriksaan AGD dan Elektrolit durante operasi (Pkl 13.19), dengan hasil:

• Na 140 mmol/l (136-145)

• K 3,65 mmol/l (3,50-5,10)

• Cl 108 mmol/L (96-108)

• pH 7,44

• pCO2 32,4 mmHg (35-45)

• pO2 251,5 mmHg (80-100)

• BE -3 mmol/l (-2 – 2)

• HCO3- 21,3 mmol/l (22-26)

• SO2 99,6% (95-100)

• TCO2 22,3 mmol/l (24-30)

• Setelah operasi selesai dan nafas spontan pasien adekuat, dilakukan ekstubasi dalam.

Setelah pasien sadar, pasien diantar ke PACU dengan ventilasi spontan via simple

masker 6 lpm.

3. Pukul 15.10 WITA

• Aldrette Skor 10, TD 114/65 mmHg, Nadi 89 x/mnt

• Pasien dipindahkan ke ICU, ventilasi pasien spontan via simple masker 6 lpm

• Terapi yang diberikan di ICU adalah:

• Ampicillin 1 gram tiap 8 jam (iv)

• Fentanyl 300 mcg/24 jam dengan target Visual Analoque Scale (VAS) < 40 mm

• Omeprazole 40 mg tiap 12 jam (iv)

• Paracetamol 1g tiap 8 jam (iv)

• Aminophylline 30 mg/jam continuous (iv)

• Methylprednisolone 125 mg tiap 8 jam (iv)

4. Lama operasi 5 jam, 10 menit

Page 25: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

24

Lama anestesia 5 jam 55 menit

5. Rekapitulasi cairan :

Cairan masuk durante operasi: Kristaloid 3500 ml

Cairan keluar durante operasi: Perdarahan 250 ml; Urin 600 ml

6. Hemodinamik pasien durante operasi

HR 40-120x/menit

TD 85-125/50-80 mmHg

SpO2 0-99%

Perkembangan Paska Operasi

• Hemodinamik pasien selama perawatan di ICU

o HR 85-98x/menit

o TD 110-130/65-80 mmHg

o SpO2 98-99%

• Dilakukan pemeriksaan laboratorium paska operasi:

Hematologi (12/10/2016) pukul 22.31 WITA

• WBC 25,68 103/UL (Netrofil 93,61%; Lymphosit 3,61%)

• HGB 9,87 gr/dL

• HCT 33,78 %

• PLT 387,6 x 103/UL

Kimia Darah (22/10/2016)

• SGOT 15,80 U/L (11-33)

• SGPT 11,50 U/L (11-50)

• GDS 135 mg/dl (70-140)

• BUN 4 mg/dl (8-23)

• Kreatinin 0,64 mg/dl (0,3-1,20)

• Na 137 mmol/l (136-145)

• Kalium 4,10 mmol/L (3,5-5,10)

• Pasien dipindahkan ke ruangan perawatan Cempaka gyn keesokan harinya.

Page 26: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

25

DISKUSI

Pasien datang dengan direncanakan operasi kistoma ovarii. Tindakan yang dapat dilakukan

pada pasien bisa meliputi Total Abdominal Histerektomi (TAH), Bilateral Salpingo-

oophorectomy (BSO), pelvic and paraaortic lymph node dissection, infracolic omentectomy,

appendectomy, dan prosedur cytoreductive lainnya. Posisi pasien saat operasi adalah supine

dengan incise midline atau paramedian,7 sehingga posisi pasien saat operasi tidak akan

menjadi permasalahan.

Massa tumor yang besar menyebabkan distensi abdomen pada pasien sehingga pasien lebih

merasa nyaman tidur dengan diganjal 1 bantal. Massa tumor yang besar dapat menyebabkan

gangguan pada sistem respirasi pasien, terutama karena pasien memiliki riwayat asma, bisa

menjadi faktor resiko terjadinya eksaserbasi. Pada pemeriksaan pre operasi kami menilai

pasien termasuk dalam asma yang terkontrol (dalam 4 minggu terakhir tidak ada gejala asma/

sesak, tidak ada riwayat terbangun pada malam hari karena serangan asma, reliever tidak

digunakan, dan tidak ada pembatasan aktivitas karena asma), dengan pemeriksaan fisik

auskultasi tidak ada wheezing pada kedua lapang paru, dengan respirasi rate dalam batas

Page 27: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

26

normal dan saturasi oksigen perifer 95% room air. Pemeriksaan foto thorak tidak

mengesankan adanya hiperinflasi yang menyebabkan diafragma mendatar (kesan : cor dan

pulmo normal). Pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan Pulmonary Function Test untuk

mengetahui status penyakit asma pasien tetapi pada pasien ini tidak dilakukan.

Untuk persiapan pre operasi, karena pasien beresiko terjadi komplikasi kami memberikan

terapi anti inflamasi dan bronkodilator yang dilanjutkan sampai pada waktu menjelang

operasi, dengan Nebulizer Ventolin 1 vial tiap 8 jam, dan methylprednisolone 62,5 mg secara

intavena. Waktu yang dibutuhkan steroid intravena untuk menghasilkan efek adalah 4-6 jam

setelah pemberian, sehingga pada pagi hari menjelang operasi, methylprednisolone diberikan

4 jam sebelum waktu operasi. Pada pasien dengan massa tumor yang besar, dapat terjadi

distensi abdomen yang merupakan salah satu resiko terjadinya regurgitasi dan aspirasi.

Sehingga pada pasien puasa minimal 8 jam diwajibkan pada operasi elektif dan pemberian

metoclopramide dapat meningkatkan motilitas gaster dan tonus spincter esophagus sehingga

dapat memberi efek yang menguntungkan.

Untuk manajemen operasi, kami menggunakan anestesi umum orotrakheal tube karena

pertimbangan incisi letak tinggi dan manipulasi pembedahan yang dilakukan pada pasien

yang membutuhkan relaksasi lapangan operasi. Untuk induksi, digunakan propofol intravena

karena efeknya yang dapat menyebabkan bronkodilatasi dan merupakan agen induksi terpilih

pada pasien dengan reactive airway dengan hemodinamik stabil. Pada studi terbaru,

dikatakan induksi pada pasien dengan asma menggunakan propofol dosis 2,5 mg/kgBB

memberikan insidensi wheezing yang lebih kecil setelah intubasi trachea dibandingkan

dengan induksi dengan thiopental atau thiamylal 5 mg/kgBB atau methohexital 1,75

mg/kgBB.6 Analgetik menggunakan fentanyl yang merupakan opioid yang kuat, tidak

histamine release, dan onset kerjanya cepat. Relaksan otot menggunakan rocuronium yang

lebih bekerja pada reseptor muskarinik M3 sehingga tidak menyebabkan bronkokontriksi.

Setelah pasien terintubasi, kami melakukan pengecekan suara nafas di kedua lapang dada

untuk mengkonfirmasi penempatan endotrakeal. Idealnya seharusnya dipasang kapnografi

untuk monitoring dan mengkonfirmasi penempatan intubasi selang endotracheal yang benar

dengan adanya peningkatan End Tidal CO2 (ETCO2). Pada pasien ini kami dapatkan

terjadinya bronkospasme paska tindakan intubasi yang ditandai dengan tidak adanya suara

nafas vesicular yang terdengar di kedua lapang paru, disertai dengan desaturasi yang tiba-

tiba. Tindakan yang kami lakukan segera untuk bronkospasme yang terjadi paska intubasi

pada pasien ini adalah :

Page 28: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

27

1. Mengganti bagging manual ventilator dengan bagging Ambu bag ventilation yang

dapat memberikan tekanan yang lebih besar, oksigen dinaikkan maksimal untuk

memberikan fraksi oksigen 100 persen.

2. Bradikardi yang terjadi pada pasien adalah karena hipoksemia, sehingga karena nadi

(+) kami berikan sulfas atropine dengan dosis 0,01 mg/kgBB intravena .

3. Dalamkan anestesi dengan pemberian tambahan propofol intravena, karena pemberian

sevoflurane inhalasi tidak efektif karena masih terjadi bronkospasme (tetap perhatikan

tekanan darah dan hemodinamik pasien).Dalam kasus ini, setelah mendalamkan

anestesi, bronkospasme teratasi dan saturasi pasien mulai naik perlahan.

4. Kami berikan methylprednisolone dengan dosis 125 mg intravena sebagai

antiinflamasi.

5. Kami berikan aminophylline (Methylxantine) yang memberikan efek bronkodilatasi

dengan menginhibisi phosphodiesterase, enzim yang berperan pada kerusakan cAMP.

Teori yang terbaru adalah teofilin bekerja dengan cara mengaktifkan key nuclear

enzyme histone deacetylase-2, yang merupakan mekanisme penting untuk

menonaktifkan gen inflamasi. Dosis yang dapat diberika loading 5 mg/kgBB dalam

waktu 20 menit. Lalu dilanjutkan dengan dosis maintenance 0,5-0,7 mg/kg/jam.

Idealnya pemeriksaan kadar teofilin dalam plasma dilakukan 4-6 jam setelah infus

intravena dilakukan, dengan target 10-20 mg/liter plasma teofilin.6,10

Setelah bronkospasme teratasi, kami berikan pemeliharaan anestesi dengan volatile

yang memiliki efek bronkodilatasi yang menguntungkan dengan cara merelaksasi otot

halus jalan nafas secara langsung dengan kerjanya yang mendepresi kontraktilitas otot

halus, fentanyl dan rocuronium intermiten.

Durante operasi kami lakukan pemeriksaan analisa gas darah sebagai dasar salah satu

pertimbangan ekstubasi di akhir operasi.

Di akhir operasi, setelah memastikan nafas adekuat dengan tidal volume yang cukup,

tidak adanya wheezing di kedua lapang paru dan hasil AGD baik, kami melakukan

ekstubasi dalam pada pasien. Pasien sadar baik, dan untuk perawatan selanjutnya pasien

dirawat di ruang terapi intensif untuk pemantauan status asma.

Page 29: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

28

KESIMPULAN

Pemahaman tentang pathogenesis, diagnosis dini, dan pemberian terapi yang baik

akan menurunkan mortalitas dan morbiditas pada kasus asma bronkial. Insiden bronkospasme

perioperative kecil pada pasien asma yang menjalani anestesi, tetapi jika terjadi, dapat

menjadi bahaya besar. Pendekatan yang bijak pada diagnosis dan intervensi yang dilakukan,

akan menghasilkan penatalaksanaan yang baik. Sehingga pemeriksaan pre operasi yang teliti,

pemberian farmakoterapi, persiapan dan penggunaan agen-agen anestesi yang aman selama

perioperasi, pemeliharaan dan penanganan post operasi yang baik sangat penting.

Page 30: LAPORAN KASUS MANAJEMEN PERIOPERATIF SERANGAN …

29

DAFTAR PUSTAKA

1. Shaikh SI, Nilangekar MT, Perioperative Anaesthetic management in Asthma.

International Journal od Biomedical Research 2015; 6(03):144-150.

DOI:10.7439/ijbr

2. Morgan GE, Mikhail MS, Anesthesia for Pediatri. Clinical Anesthesiology.

2006; p.: .877-879

3. Hines RL, Marschall KE, Respiratory Diseases. Stoeltings’s anesthesia and

co-existing disease.-6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2012.

4. Applegate R, Lauer R, Lenart J, Gatling J, Vadi M, The Perioperative

Management of Asthma. J Aller Ther S11: 007. DOI:10.4172/2155-

6121.S11-007

5. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and

Prevention, 2017. Available from: www.ginasthma.org

6. SIGN/ BTS Asthma Guidelines 2012. accessed April 2014 via

https://www.brit-thoracic.org.uk/document-library/clinical-

information/asthma/btssign-guideline-on-the-management-of-asthma/

7. Jaffe RA. Pediatric General Surgery. In : Anesthesiologist’s Manual of

Surgical Procedures. 2014; p : 2045-2048

8. Liccardi G, Salzillo A, So a M, D’Amato M, D’Amato G. Bronchial asthma.

2012. Curr Opin Anaesthesiol 25: 30-37.

9. Zou et al. J perioperative science 2014,1:5. Available from :

http://www.perioperative-science.com/content/01/05

10. Yao FS, Anesthesiology: Problem Oriented Patient Management seventh

edition. Asthma and Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Philadelphia:

Lippincott Wlliams&Wilkins; 2012.