LAPORAN HASIL KEGIATAN KAJIAN PERCEPATAN ADOPSI INOVASI...
-
Upload
truongkhanh -
Category
Documents
-
view
239 -
download
1
Transcript of LAPORAN HASIL KEGIATAN KAJIAN PERCEPATAN ADOPSI INOVASI...
1
LAPORAN HASIL KEGIATAN
KAJIAN PERCEPATAN ADOPSI INOVASI TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PASCAPANEN
KAKAO DI PROVINSI ACEH
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN ACEH BALAI BESAR PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI
PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN
2015
FENTY FERAYANTI
2
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul RPTP : :
Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi Aceh.
2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Aceh
3. Alamat Unit Kerja : Jalan P. Nyak Makam No. 27 Lampineung Banda Aceh - 23125
4. Sumber Dana : DIPA BPTP Aceh 2015
5. Status Penelitian : Baru 6. PenanggungJawab : A. Nama : Fenty Ferayanti, S.P
B. Pangkat/ Golongan : Penata Muda Tk.I/IIIb
C. Jabatan Peneliti Muda
7. Lokasi : Kabupaten Aceh Barat Daya
8. Agroekosistem : Lahan Kering
9. Tahun Mulai : 2015
10. Tahun Selesai : 2015
11. Output Tahun 2015 : Teradopsi Inovasi Teknologi Budidaya Dan Pasca Panen Kakao
12. Output Akhir Terjadi Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Mutu Kakao sehingga Terjadi peningkatan kesejahteraan Petani.
13. Biaya : 88.000.000,- (Delapan Puluh Delapan Juta Rupiah)
Mengetahui : Kepala Balai Besar
Menyetujui Kepala Balai
Dr. Ir. Abdul Basit MS NIP. 19610929 198603 1 003
Ir. Basri A. Bakar, M.Si. NIP. 19600811 198503 1 001
KATA PENGANTAR
Koordinator Program,
Dr. Rachman Jaya, S.Pi, M.Si NIP. 19740305 200003 1 001
Penanggungjawab Kegiatan,
Fenty Ferayanti, SP NIP. 19770331 200221 2 001
3
Puji syukur kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas terlaksananya
penyusunan laporan akhir dari hasil pelaksanaan kegiatan “Kajian Percepatan
Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi Aceh” yang
telah dilaksanakan dari bulan Maret – Desember 2015.
Terlaksananya kegiatan ini tidak terlepas dari dukungan dan peran aktif
seluruh Dinas/Instansi yang terkait, petani kooperator dan penyuluh/peneliti
yang ada di BPTP Aceh. Namun demikian kami menyadari dalam pelaksanaan
kegiatan ini masih banyak terdapat kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang membangun guna perbaikan dimasa yang akan datang.
Akhirnya kepada semua pihak yang telah membantu terlaksananya
kegiatan ini mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan yang
dilanjutkan dengan penyusunan laporan akhir ini, kami ucapkan terimakasih dan
semoga laporan ini memberikan manfaat bagi kita semua.
Banda Aceh, Desember 2015 Penanggungjawab,
Fenty Ferayanti, SP NIP. 19770331 200221 2 001
4
RINGKASAN
1. Judul RPTP : Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi
Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi
Aceh
2. Unit Kerja : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Aceh
3. Lokasi : Kabupaten Aceh Barat Daya
4. Agroekosistem : Lahan Kering
5. Status : Baru
6. Tujuan : - Meningkatkan minimal 25% adopsi
inovasi teknologi budidaya dan pasca
panen kakao di Aceh
- Meningkatkan produktivitas tanaman
kakao di Aceh, dan
- Mengetahui analisa usaha tani dan
pendapatan petani kakao pra dan pasca
kegiatan
7. Keluaran : - Terjadi peningkatan 25% adopsi inovasi
teknologi budidaya dan pasca panen
kakao di Aceh;
- Peningkatan produktivitas tanaman
kakao di Aceh, dan
- Di dapat analisa usaha tani dan
pendapatan petani kakao pra dan pasca
kegiatan.
5
8. Hasil : - Kegiatan ini telah dapat meningkatkan
adopsi inovasi teknologi budidaya dan
pasca panen kakao dari 18.21 %
menjadi 62.45 % di Kecamatan Babahrot
dan dari 15.38 % menjadi 55.88 % di
Kecamatan Setia Kab. Aceh Barat Daya
- Peningkatan adopsi inovasi teknologi
budidaya dan pasca panen kakao
mengakibatkan terjadinya peningkatan
produktivitas kakao dari 197.5 kg/ha/th
menjadi 317.5 kg/ha/tahun di
Kecamatan Babahrot dan dari 167.5
kg/ha/tahun menjadi 237.5 kg/ha/ tahun
di Kecamatan Setia Kab. Aceh Barat
Daya setelah dilakukan pengkajian
9. Prakiraan Manfaat : - diharapkan terjadi peningkatan adopsi
inovasi teknologi budidaya dan
pascapanen kakao, sehingga terjadi
peningkatan produktivitas tanaman
kakao rakyat.
10. Prakiraan Dampak : - Peningkatan adopsi inovasi teknologi
dapat meningkatkan produktivitas kakao
yang dihasilkan yang akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani.
-
11. Prosedur : Pengkajian ini dilaksanakan di Kecamatan
Babahrot dan Kecamatan Setia, Kabupaten
Aceh Barat Daya. Pemilihan lokasi ini
dilakukan secara sengaja (purposive
sampling) dengan pertimbangan bahwa
lokasi tersebut merupakan salah satu daerah
6
sentra pengembangan produksi kakao yang
luas. Pengkajian ini dilaksanakan dengan
metode survey pada awal dan akhir
pelaksanaan penelitian serta pelaksanaan
diseminasi inovasi teknologi dengan
pola/model Spectrum Diseminasi Multi
Channel (SDMC). Sampel dalam penelitian
ini adalah petani yang mengusahakan
komoditi kakao yang berstatus petani
pemilik penggarap. Penentuan sampel
dilakukan secara acak atas dasar strata
(stratified random sampling). Adapun
jumlah petani sampel berjumlah sebanyak
30 orang pada masing-masing kecamatan
dimana penelitian dilakukan sehingga
seluruhnya berjumlah 60 orang sampel
12. JangkaWaktu : 1 Tahun
13. Biaya : Rp.88.000.000,- (delapan puluh delapan juta rupiah)
7
SUMMARY
1. Title : Study on Acceleration of Cocoa Cultivation and Post Harvest Innovation Technology Adoption in Aceh Province
2. Implementation Unit : Assessment Institute for Agriculture Technology (AIAT)
3. Location : Aceh Southwest District
4. Agroecosystem : Dryland
5. Status : NEW
6. Objectives
: - To increase at least 25% of cultivation and post-harvest cocoa technological innovations adoption in Aceh Province
- To increase the productivity of cocoa trees in Aceh Province
- To analysis of farming and cocoa farmers' income pre and post activities.
7. Output
: - Increased at least 25% of cultivation
and post-harvest cocoa technological innovations adoption in Aceh Province.
- Increased the productivity of cocoa trees in Aceh Province.
- Analyzed of farming and cocoa farmers' income pre and post activities.
8. Outcome
: - This study has been able to increase
the cocoa cultivation and post-harvest of technology innovations adoption i.e 18.21 % to 62.45 % in Babahrot Districts and 15.38 % to 55.88 % in Setia Districts.
- The cultivation and post-harvest cocoa technology innovation adoption has been increase the productivity of cocoa from 197.5 kg ha-1 year-1 into 317.5 kg ha-1 year-1 in Babahrot Districts and 167.5 kg ha-1 year-1 to 237.5 kg ha-1 year-1 in
8
Setia Districts after assessment.
9. Expected benefit : - Expected to increase the technology
innovation adoption of cocoa cultivation and post harvest so that can increased the cocoa plant productivity.
10. Expected impact : Increased the technology innovation adoption of cocoa cultivation and post harvest can improve the productivity of cocoa produced which can increase the farmers income and welfare.
11. Procedure
: This assessment has been conducted at Babahrot sub-district and Setia sub-district, Southwest Aceh District. The site selection is done intentionally (purposive sampling) with the consideration that the location is one of the central areas of extensive development of cocoa production.The assessment was conducted by the method of the pre and post survey using the technology innovations dissemination approach to Spectrum Dissemination Multi Channel (SDMC). The sample in this study were farmers who cultivate cocoa as farmer tenants. The samples were carried out at random on the basis of strata (stratified random sampling). The number of samples i.e 30 people in each district where the assessments carried out so that the whole sample are 60 people.
12. Duration : 1 Year
13. Budget : IDR. 88.000.000,- (eighty-eight million rupiah)
9
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN PENGESAHAN....................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
RINGKASAN.........................................................................................
SUMMARY…………………………………………………………………………………………
iii
vi
DAFTAR ISI.......................................................................................... viii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………………………. ix
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………………………… xi
I. PENDAHULUAN.............................................................................
1.1 Latar Belakang...................................................................
1.2 Tujuan...............................................................................
1.3 Keluaran Yang Diharapkan..................................................
1.4 Perkiraan Manfaat dan Dampak...........................................
1
1
5
5
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Kakao..................................................................
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adopsi Petani..................
2.3 Mutu Biji Kakao……………....................................................
2.4 Paket Teknologi Untuk Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao……………………………………………..................................
6
6
7
9
9
III. METODOLOGI…………………………………………………………………………….
3.1 Pendekatan……………………………………………………………………..
3.2 Ruang Lingkup Kegiatan……………………………………………………
3.3 Bahan dan Metode Pelaksanaan Kegiatan…………………………..
12
12
12
13
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Pengkajian…………………………………..
4.2 Pelaksanaan Pengkajian.…………………………………………………..
4.3 Kegiatan Temu Lapang dan Pelatihan………………………………..
17
17
18
29
V. KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………………… 31
DAFTAR PUSTAKA……..……………………………………………………………………… 32
LAMPIRAN……………………………………………………………………………………….. 34
DAFTAR TABEL
10
No. Tabel Judul Tabel Hal
1. Spesifikasi Persyaratan Umum Mutu Biji Kakao Kualitas Ekspor.…… 9
2. Spesifikasi Persyaratan Khusus Mutu Biji Kakao untuk Ekspor……….. 10
3. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kecamatan Babahrot
dan Kecamatan Setia, Kabupaten Aceh Barat Daya,
2014………..………………………………………………………………………………
18
4. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan
Babahrot dan Kecamatan Setia, Kabupaten Aceh Barat Daya,
2014………………………………………………………………………………………..
19
5. Identitas Petani Responden Berdasarkan Kelompok Umur di
Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia pada Kajian Percepatan
Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di
Provinsi Aceh…………….………………………………………………………………
20
6. Identitas Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di
Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia pada Kajian Percepatan
Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di
Provinsi Aceh…………………………………………………………………………….
21
7. Luas Lahan petani responden di Kecamatan Babahrot dan
Kecamatan Setia pada Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi
Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi Aceh……………………….
22
8. Tingkat adopsi petani terhadap paket tekologi budidaya dan pasca
panen kakao di Kecamatan Babahrot pada Kajian Percepatan
Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di
Provinsi Aceh…………………………………………………………………………….
23
9. Tingkat adopsi petani terhadap paket tekologi budidaya dan pasca
panen kakao di Kecamatan Setia pada Kajian Percepatan Adopsi
Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi
Aceh…………………………………………………………………………………………
25
10. Produktivitas tanaman kakao di Kecamatan Babahrot dan
Kecamatan Setia sebelum dan setelah dilakukan pengkajian………..
28
11. Analisis usahatani budidaya kakao di Kecamatan Babahrot dan
Kecamatan Setia (per ha/th)………………………………………………………
29
DAFTAR GAMBAR
11
No. JUDUL GAMBAR Hal
1. Skema Kerangka Pemikiran Tingkat Adopsi Teknologi pada Kajian
Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen
Kakao di Provinsi Aceh…………………………………………………….…………
12
2. Peta Wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya.………………………………….. 17
12
DAFTAR LAMPIRAN
No. JUDUL LAMPIRAN Hal
1. Daftar Personalia……..…………………………………………………….………… 34
2. Daftar Resiko dan Penanganan Resiko………………………………………… 35
3. Foto – foto Kegiatan……..………………………………………………………….. 36
I. PENDAHULUAN
1. 1. Latar belakang
Pembangunan sektor pertanian merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari pembangunan nasional secara keseluruhan. Pembangunan sektor pertanian
ini sangat penting karena menyangkut hajat hidup lebih dari setengah penduduk
Indonesia yang menggantungkan perekonomian keluarganya pada sektor ini. Hal
ini dapat ditunjukkan dari banyaknya penduduk yang hidup dan bekerja pada
sektor ini, sehingga dapat dikatakan bahwa sektor pertanian mampu
menyediakan lapangan kerja serta menyumbangkan devisa melalui
bertambahnya ekspor. Sehingga wajar pemerintah memprioritaskan
pembangunan pada sektor pertanian yang didukung oleh sektor-sektor lainnya.
Program pemerintah di bidang pertanian senantiasa diarahkan pada
upaya mempertahankan dan meningkatkan pelayanan dalam rangka pemasaran
produk pertanian baik perluasan pasar dalam negeri maupun dalam pengamanan
pasar internasional. Untuk mewujudkan semua itu dilakukan dengan peningkatan
produksi disertai dengan kualitas mutu komoditas pertanian yang ada dengan
berbagai upaya termasuk penerapan budidaya yang baik serta penanganan
pasca panen demi pengamanan kualitas mutu yang berorientasi jangka
panjang. Kondisi tersebut merupakan suatu hal yang dapat memperkuat daya
saing harga-harga produk pertanian Indonesia di pasaran duni.
Bagi Indonesia kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
memiliki peranan yang cukup penting dan dapat diandalkan untuk mewujudkan
13
program pembangunan pertanian, khususnya dalam hal penyediaan lapangan
kerja, mendorong pengembangan wilayah, peningkatan kesejahteraan petani,
dan peningkatan pendapatan devisa Negara. Saat ini kakao tidak hanya
merupakan tanaman perkebunan besar tetapi telah menjadi tanaman
perkebunan rakyat. Luas areal kakao di Indonesia tahun 2013 telah mencapai
lebih dari 1.740.612 ha, dengan produksi ± 720,862 ton dan produktivitas
mencapai ± 821 kg/ha (BPS, 2014). Tanaman kakao tersebut tersebar pada
lahan dan tingkat produktivitasnya yang sangat beragam. Faktor lahan
mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas
kakao.
Perluasan areal perkebunan kakao Indonesia diperkirakan akan terus
mengalami peningkatan sehingga hal ini perlu mendapat dukungan dari semua
pihak agar kebun yang akan dibangun dapat meningkatkan produktivitas. Hal ini
dapat dilakukan melalui berbagai upaya perbaikan dan perluasan, dimana areal
perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2010 mencapai 1,1 juta ha dan mampu
menghasilkan produksi 730 ribu ton tahun-1 biji kakao. Sehingga pada tahun
2025, sasaran untuk menjadi produsen utama kakao dunia bisa menjadi
kenyataan karena pada tahun tersebut diperkirakan total areal perkebunan kakao
Indonesia mencapai 1,35 juta ha dan mampu menghasilkan 1,3 juta ton tahun-1
biji kakao, dengan dukungan teknologi budidaya yang maju seperti penyediaan
bibit unggul sehingga produktivitas kebun dapat meningkat (Anonim, 2008).
Provinsi Aceh merupakan salah satu provinsi di ujung barat Indonesia
yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Beragam komoditas
pertanian tumbuh subur di tanah yang dijuluki “Serambi Mekkah” ini. Salah satu
komoditas yang menjadi primadona adalah kakao, dengan luas lahan mencapai
86.195 hektar dengan produksi sekitar 40.000 ton kakao kering per tahun
(Kementan, 2013). Luas areal ini belum termasuk sekitar 120.000 ha lahan
“tidur” potensial yang tidak terdata dan dapat dimanfaatkan menjadi lahan
kakao.
Program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional
(GERNAS Kakao) telah diluncurkan oleh pemerintah pada tahun 2009 yang
dilaksanakan secara serentak, terpadu dan menyeluruh pada 9 Provinsi di
Indonesia Bagian Timur. Tujuannya adalah untuk mempercepat peningkatan
14
produktivitas tanaman dan mutu hasil kakao nasional dengan memberdayakan
/melibatkan secara optimal seluruh potensi pemangku serta sumberdaya yang
ada (Dirjenbun, 2009). Keberadaan Gernas, yang dilakukan melalui tiga metode
yakni peremajaan, rehabilitasi, dan intensifikasi dimaksudkan untuk memberikan
akselerasi untuk mengembangkan kakao.
Sejak Tahun 2011, Provinsi Aceh termasuk daerah yang melaksanakan
program Gernas Kakao dimana program ini telah melakukan rehabilitasi dan
peremajaan kebun kakao di Aceh yang mencapai sekitar 200 ha dari total 800 ha
yang diprogramkan. Empat daerah yang memperoleh program rehabilitasi dan
peremajaann kakao yakni Pidie, Pidie Jaya, Aceh Timur dan Aceh Utara, dengan
rincian masing-masing kabupaten dengan luas 200 hektar. Program gernas ini
merupakan pertama diberikan untuk petani di Aceh, setelah sebelumnya
dilakukan wilayah timur Indonesia (Disbunhut, 2012). Di Provinsi Aceh, sentra
produksi kakao tersebar di beberapa kabupaten antara lain Pidie, Pidie Jaya,
Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Aceh Barat Daya.
Salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang merupakan sentra produksi
kakao yaitu Kabupaten Aceh Barat Daya. Kabupaten Aceh Barat Daya
mempunyai luas wilayah 1.882,05 km2 yang terdiri dari 152 desa, 23 kemukiman
dan 9 kecamatan. Menurut data statistik perkebunan tahun 2014, luas areal
penanaman kakao di kabupaten Aceh Barat Daya seluas 3.700 ha yang tersebar
di 9 kecamatan dengan produksi 739 ton ha-1. Namun kondisi usahatani kakao di
Kab.Aceh Barat Daya umumnya belum memberikan hasil yang optimal, hal ini
terlihat dari produktivitas kakao dan mutu yang dihasilkan masih rendah. Rata-
rata produktivitas kakao yang dihasilkan baru mencapai kurang dari 300
kg/ha/th, produktivitas ini dianggap masih jauh dari potensi produksinya yang
bisa mencapai lebih besar dari 2 ton/ha/th (Manti, 2009).
Berdasarkan data dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh
Barat Daya, rendahnya produktivitas dan mutu biji kakao di sebabkan oleh faktor
yaitu :
(1) bahan tanaman yang digunakan oleh petani umumnya berasal dari biji yang
sebagian dari bukan sumber benih yang telah direkomendasi oleh
pemerintah atau balai penelitian,
15
(2) perkembangan serangan hama dan penyakit, dapat menurunkan
produktivitas sekaligus menjadi penyebab utama menurunnya kualitas hasil
produksi kakao,
(3) Pengelolaan teknologi pasca panen yang dilaksanakan kurang sempurna,
sehingga menyebabkan aroma kurang harum, kadar lemak rendah (kurang
dari 50%), jumlah biji tinggi (lebih besar dari 100 biji/100 gr), basa-asam
(pH) tinggi (lebih besar dari 5,0), kadar kulit biji tinggi (lebih besar dari
12%),
(4) Perlakuan pasar di tingkat lokal, harga biji kakao di tingkat petani seluruhnya
sama antara yang diolah dengan baik dengan biji kakao
Untuk peningkatan produktivitas dan mutu biji kakao telah banyak inovasi
teknologi yang dihasilkan oleh Badan Litbang Kementan antara lain : varietas
unggul dengan produksi tinggi, teknik rehabilitasi kebun tidak produktif cara
sambung pucuk dan sambung samping, pemupukan sepesifik lokasi,
pemangkasan, pengendalian hama penyakit utama kakao, sanitasi lahan dan
peningkatan mutu biji kakao melalui inovasi fermentasi. Teknologi tersebut
mempunyai peran penting dalam peningkatan produksi dan mutu biji kakao yang
dihasilkan. Namun sampai saat ini belum banyak inovasi tersebut diadopsi oleh
petani kakao.
Berkenaan dengan kondisi tersebut, mulai tahun 2011 Badan Litbang
Pertanian melaksanakan diseminasi dengan pendekatan model Spectrum
Diseminasi Multi Channel (SDMC), yaitu suatu terobosan untuk mempercepat dan
memperluas jangkauan diseminasi dengan memanfaatkan berbagai saluran
komunikasi dan pemangku kepentingan (stakeholder) yang terkait secara optimal
melalui berbagai media secara simultan dan terkoordinasi yang
diimplementasikan antara lain melalui identifikasi masalah, perumusan
kebutuhan teknologi yang melibatkan pengambil kebijakan, tokoh informal,
penyuluh, dan petani sebagai pelaku utama.
Diseminasi teknologi dilakukan melalui penyebaran media cetak, Sekolah
Lapang (SL), peragaan (demplot) teknologi budidaya dan pasca panen serta
temu lapang. Peningkatan adopsi inovasi teknologi diharapkan dapat
meningkatkan produktivitas dan mutu biji kakao yang dihasilkan oleh petani yang
pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.
16
Melalui kegiatan kajian percepatan adopsi inovasi teknologi budidaya dan
pascapanen kakao di Provinsi Aceh diharapkan dapat meningkatkan minimal 25%
adopsi inovasi teknologi budidaya dan pasca panen kakao di Aceh, meningkatkan
produktivitas tanaman kakao di Aceh, dan meningkatkan mutu biji kakao yang
dihasilkan petani sesuai dengan Standar Mutu Nasional (SNI).
1.2. Tujuan
Tujuan dari kajian ini yaitu :
- Meningkatkan minimal 25% adopsi inovasi teknologi budidaya dan pasca
panen kakao di Aceh
- Meningkatkan produktivitas tanaman kakao di Aceh, dan
- Mengetahui analisa usaha tani dan pendapatan petani kakao pra dan pasca
kegiatan.
1.4. Keluaran yang diharapkan
Keluaran yang diharapkan yaitu :
- Terjadi peningkatan 25% adopsi inovasi teknologi budidaya dan pasca
panen kakao di Aceh;
- Peningkatan produktivitas tanaman kakao di Aceh, dan
- Di dapat analisa usaha tani dan pendapatan petani kakao pra dan pasca
kegiatan.
1.5. Perkiraan Manfaat Dan Dampak
Kegiatan yang akan dilakukan ini diharapkan akan memberi manfaat dan
dampak antara lain :
- diharapkan terjadi peningkatan adopsi inovasi teknologi budidaya dan
pascapanen kakao, sehingga terjadi peningkatan produktivitas tanaman
kakao rakyat. Peningkatan adopsi inovasi teknologi dapat meningkatkan
produktivitas kakao yang dihasilkan yang akhirnya dapat meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan petani.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kakao (Theobroma cacao L.)
Tanaman kakao (Theobroma cacao L) termasuk golongan tanaman
tahunan yang tergolong dalam kelompok tanaman caulofloris, yaitu tanaman
yang berbunga dan berbuah pada batang dan cabang. Menurut Tambunan
(2009) sistematika tanaman kakao adalah sebagai berikut: Kingdom: Plantae ;
Divisi : Spermatophyta ; Sub divisio : Angiospermae; Kelas : Dicotyledoneae ;
Ordo : Malvales ; Family : Sterculiaceae; Genus : Theobroma ; Spesies :
Theobroma cacao L.
Akar kakao adalah akar tunggang (radix primaria). Pertumbuhan akar
kakao bisa sampai 8 m ke arah samping dan 15 m ke arah bawah. Kakao yang
diperbanyak secara vegetatif pada awal pertumbuhannya tidak menumbuhkan
akar tunggang, melainkan akar-akar serabut yang banyak jumlahnya. Setelah
dewasa, tanaman tersebut menumbuhkan dua akar yang menyerupai akar
tunggang (Soenaryo, 1983).
Kakao dapat tumbuh pada daerah – daerah yang memiliki curah hujan
rata-rata 1500-2000 mm/tahun. Lamanya bulan kering maksimum 3 bulan
(Tambunan, 2009). Pengaruh suhu terhadap kakao erat kaitannya dengan
ketersedian air, sinar matahari dan kelembaban. Faktor-faktor tersebut dapat
dikelola melalui pemangkasan dan penataan tanaman pelindung. Suhu sangat
berpengaruh terhadap pembentukan flush, pembungaan, serta kerusakan daun.
Menurut hasil penelitian, suhu ideal bagi tanaman kakao adalah 30o-32oC
(maksimum) dan 18º-21oC (minimum). Kakao juga dapat tumbuh dengan baik
pada suhu minimum 15oC per bulan (Karmawati, et al., 2010).
Kakao dapat dibagi atas dua bagian, yaitu bagian vegetatif yang meliputi
akar, batang serta daun dan bagian generatif yang meliputi bunga dan buah
(Siregar et al., 1989). Tanaman kakao yang diperbanyak melalui biji akan
menumbuhkan batang utama sebelum menumbuhkan cabang-cabang primer.
Letak cabang-cabang primer yang tumbuh disebut jorket, yang tingginya 1-2 m
dari permukaan tanah. Ketinggian jorket yang ideal adalah 1,2 m-1,5 m agar
tanaman dapat menghasilkan tajuk yang baik dan seimbang. Ditinjau dari tipe
18
pertumbuhannya, cabang-cabang tanaman kakao tumbuh ke arah atas (ototrop)
dan ke arah samping (plagiotrop) (Sunanto, 1992).
Tanaman kakao bersifat kaulifori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang
dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut
semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa disebut dengan
bantalan bunga. Bunga kakao mempunyai rumus K5C5A5+5G(5) artinya, bunga
disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun mahkota,
10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan masing-masing terdiri
dari 5 tangkai sari tetapi hanya 1 lingkaran yang fertil, dan 5 daun buah
yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih, ungu atau kemerahan. Tangkai
bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm) (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).
Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua
macam warna. Buah yang ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika
sudah masak akan berwarna kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda
berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (oranye). Kulit buah memiliki
10 alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan
trinitario alur kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya
kasar. Sebaliknya, pada tipe forastero, permukaan kulit buah pada umumnya
halus (rata), kulitnya tipis, dan liat. Buah akan masak setelah berumur enam
bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari panjang 10 hingga 30 cm
(Soenaryo, 1983).
Di dalam setiap buah, biji tersusun dalam 5 baris mengelilingi poros buah,
jumlahnya beragam antara 20-50 biji per buah. Pada penampakan melintang biji,
akan terlihat 2 kotiledon yang saling melipat. Biji kakao dilindungi oleh daging
buah yang berwarna putih. Di sebelah dalam daging buah terdapat kulit biji yang
membungkus dua kotiledon dan embryo axis. Biji kakao bersifat rekalsitran dan
tidak memiliki masa dorman (Suryani dan Zulfebriansyah, 2007).
2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adopsi Petani
Nitisemito (1992) menyatakan bahwa dalam pembangunan yang semakin
berkembang, masyarakat memainkan peran sentral sebagai objek sekaligus
subjek yang menentukan berhasil atau tidaknya suatu proses pembangunan.
Semua elemen berjalan seiring sejalan dengan dalam upaya mewujudkan
19
masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera dalam suasana berkeadilan.
Pembangunan yang demikian itu adalah pembangunan yang dari masyarakat,
dilaksanakan oleh masyarakat dan untuk masyarakat dalam artian bahwa
kemakmuran dihasilkan dari peran aktif dan kemampuan mayarakat secara
mandiri untuk mewujudkan kesejahteraan.
Pembangunan di bidang pertanian tidak terlepas dari peran aktif
masyarakat untuk menerima inovasi dan menerapkannya. Ide baru yang akan
diterima oleh suatu masyarakat, terlebih dahulu melalui proses adopsi, dimana
pada tahap ini seorang petani mengambil keputusan untuk menggunakan
sepenuhnya ide baru sebagai cara bertindak yang paling tepat (Mubyarto, 1998).
Adopsi inovasi mengandung pengertian yang kompleks dan dinamis. Hal
ini disebabkan karena proses adopsi inovasi sebenarnya adalah menyangkut
proses pengambilan keputusan, dimana dalam proses ini banyak faktor yang
mempengaruhinya. Adopsi inovasi merupakan proses berdasarkan dimensi
waktu. Proses adopsi inovasi merupakan proses yang terjadi pada diri seseorang
atau unit perbuatan keputusan lainnya, sejak pertama kali mengetahui adanya
suatu inovasi sampai mengambil suatu keputusan mengadopsi atau
menolak dan mengimplementasikan atau mengkofirmasikan keputusan tersebut.
Proses difusi suatu inovasi keberhasilannya diketahui dengan cara
mengukur tingkat adopsi. Tingkat adopsi merupakan kecepatan relatif suatu
inovasi diadopsi oleh anggota suatu sistem sosial. Kecepatan adopsi suatu
inovasi bisanya diukur dengan berapa lama jangka waktu yang diperlukan oleh
sekian persen anggota masyarakat untuk mengadopsi suatu inovasi. Kelancaran
proses tersebut dan diterimanya suatu inovasi sangat tergantung pada
keberadaan inovasi itu sendiri (Lubis, 2000).
Selanjutnya Lubis (2000) mengidentifikasikan faktor yang mempengaruhi
sikap dan tingkat adopsi petani terhadap inovasi ke dalam dua hal, yakni faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang terdapat
dalam diri petani dan merupakan potensi yang dimilikinya dalam melaksanakan
aktivitas usahataninya, sedangkan faktor luar yang turut mempengaruhi dalam
proses pengambilan keputusan mengenai usahataninya, dalam hal ini adalah
intensitas penyuluhan. Faktor tersebut juga akan dijadikan acuan dalam
menentukan faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi petani terhadap
20
teknologi usahatani kakao, yang meliputi umur, pendidikan, luas lahan garapan,
jumlah keluarga, pendapatan, kemampuan permodalan dan intensitas
penyuluhan.
2.3. Mutu Biji Kakao
Mutu suatu hasil produksi adalah tolak ukur dari hasil produksi itu sendiri
yang mampu mempertahankan, mengangkat atau bahkan menjatuhkan martabat
produksi dalam persaingan di pasar bebas. Biji kakao merupakan salah satu
komoditi perdagangan yang mempunyai peluang untuk dikembangkan dalam
rangka usaha memperbesar/meningkatkan devisa negara serta penghasilan
petani. Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun
mutu yang dihasilkan sangat rendah dan sangat beragam. Syarat mutu biji kakao
ada dua macam, yaitu syarat umum dan syarat khusus :
1. Syarat umum
Spesifikasi persyaratan umum mutu biji kakao kualitas ekspor dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Spesifikasi Persyaratan Umum Mutu Biji Kakao Kualitas Ekspor.
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1. Kadar air (b/b) % Maks. 7,5
2. Biji berbau asab/abnormal/bau asing - Tidak ada
3. Serangga hidup - Tidak ada
4. Biji pecah/pecahan kulit - Maks. 3
5. Benda asing (b/b) % Maks. 6
6. Serangga mati - Tidak ada
Mutu kakao merupakan sesuatu yang berkaitan dengn cita rasa (flavor)
dan mutu meliputi beberapa aspek yang menentukan harga jual dan
akseptabilitas dari suatu partai biji kakao oleh pembeli (konsumen). Persyaratan
mutu ini diatur dalam standar perdagangan. Persyaratan mutu yang diatur dalam
syarat perdagangan meliputi karakteristik fisik dan pencemaran atau tingkat
kebersihan. Karakter fisik merupakan persyaratan paling utama karena
menyangkut rendemen lemak (yield) yang akan dinikmati oleh pembeli dan
tingkat kadar. Karakter fisik ini mudah diukur dengan tata cara dan peralatan
21
baku yang disepakati oleh institusi internasional. Dengan demikian pengawasan
mutu berdasarkan sifat-sifat fisik ini dapat dengan mudah dikontrol oleh
konsumen.
2. Syarat khusus
Spesifikasi Persyaratan Khusus Mutu Biji Kakao untuk Ekspor dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi Persyaratan Khusus Mutu Biji Kakao untuk Ekspor
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1. Kadar biji berjamur (b/b) max. % Maks. 3
2. Kadar biji Slaty atau tidak terfermentasi - Maks. 3
3. Kadar biji berserangga hampa berkecambah - Maks. 3
4. Jumlah biji per 100 gr - 8
Persyaratan khusus mutu biji kakao merupakan persyaratan tambahan
yang telah disepakati antara eksportir dan konsumen (pembeli). Apabila
persyaratan di atas terpenuhi maka eksportir akan mendapat harga jual kakao
lebih tinggi. Biji kakao berkualitas baik terlebih untuk jenis kakao mulia akan
mendapatkan premi atau penambahan harga dari harga standar yang telah
ditetapkan. Sebaliknya biji berkualitas rendah akan dikenakan discount atau
pengurangan harga dari harga standar.
2.4. Paket Teknologi untuk Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao
Teknologi merupakan seluruh kegiatan yang merupakan proses
transformasi yang terjadi juga menyangkut sasaran-sasaran yang digunakan,
pendidikan dan keahlian indifidunya, serta prosedur kerja yang digunakan dalam
pelaksanaan seluruh komponen kegiatan. Teknologi juga merupakan
pengetahuan, alat-alat, teknik dan kegiatan-kegiatan yang digunakan untuk
mengubah input menjadi output yang lebih baik. Teknologi mencakup aspek
yang luas dan kegiatan yang jenisnya saling berbeda. Komponen kegiatan terdiri
dan tahapan-tahapan kegiatan yang berurutan dimana output dari suatu bagian
akan menjadi input bagian berikutnya.
22
Usaha peningkatan produksi persatuan luas dan persatuan waktu dapat
dicapai dengan menggunakan teknologi baru dalam usahatani. Teknologi baru
berarti ;
- cara mengerjakan lebih baik dari cara lama,
- pemakaian peralatan baru yang dapat menggantikan teknologi manusia dan
dapat menghasilkan pekerjaan yang lebih baik,
- penambahan input baru pada tanaman (Mosher, 1993).
Tinggi rendahnya produktivitas atau tingkat produksi suatu usahatani
tergantung pada teknis atau cara yang dipakai oleh petani dalam usaha
mengerjakan usahataninya. Cara pengelolaan usahatani kakao meliputi kegiatan
pengelolaan tanah, tingkat penggunaan benih kakao bermutu, penerapan
teknologi budidaya kakao (pemupukan, pemangkasan, pengendalian OPT dan
pengaturan jarak tanam) dan penerapan teknologi pasca panen (pemetikan,
fermentasi, sortasi dan pengeringan).
23
III. METODOLOGI
3.1. Pendekatan (Kerangka Pikir)
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Tingkat Adopsi Teknologi pada Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi Aceh
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup dan cakupan kegiatan kajian ini antara lain :
- Tingkat penggunaan benih kakao bermutu
- Penerapan teknologi budidaya kakao (pemupukan, pemangkasan,
pengendalian OPT )
Petani Kakao
Faktor – faktor yang berhubungan dengan keputusan petani
Intensitas Penyuluhan
Tingkat
Adopsi Paket
Teknologi
Kakao
Umur Pengalaman Usahatani
Pendidikan
Luas Lahan
Jumlah Tanggungan
Kemampuan Permodalan
Adopsi Tinggi/Rendah
Produktivitas dan Mutu Kakao
24
- Penerapan teknologi pasca panen (panen/pemetikan, pengupasan,
fermentasi, perendaman dan pencucian, pengeringan, sortasi biji dan
penyimpanan)
3.3. Bahan dan metode pelaksanaan kegiatan
A. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan yaitu saprodi yang diperlukan dalam
pelatihan dan demplot seperti : pupuk, bahan tanam unggul/entres, agen
pengendalian hayati, gunting pangkas serta bahan cetakan/brosur/leaflet.
B. Metode Pelaksanaan Kegiatan
Pengkajian ini dilaksanakan di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia,
Kabupaten Aceh Barat Daya. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja
(purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan
salah satu daerah sentra pengembangan produksi kakao dan sangat luas.
Pengkajian ini dilaksanakan dengan metode survey pada awal dan akhir
pelaksanaan penelitian serta pelaksanaan diseminasi inovasi teknologi dengan
pola/model Spectrum Diseminasi Multi Channel (SDMC). Sampel dalam penelitian
ini adalah petani yang mengusahakan komoditi kakao yang berstatus petani
pemilik penggarap. Penentuan sampel dilakukan secara acak atas dasar strata
(stratified random sampling). Adapun jumlah petani sampel berjumlah sebanyak
30 orang pada masing-masing kecamatan dimana penelitian dilakukan sehingga
seluruhnya berjumlah 60 orang sampel.
Pelaksanaan demplot percontohan mengikuti teknologi budidaya dan
pascapanen yang direkomendasikan yaitu :
a. Pemupukan
Dosis pemupukan berimbang spesifik lokasi adalah sebagai berikut : untuk
tanaman kakao yang telah menghasilkan (umur > 5 tahun) : Urea (2 x 270 g),
SP-36 (2 x 150 - 180 g), KCl (2 x 150 g), pupuk kandang atau kompos (2 x 3 kg)
dan pupuk Dolomit (2 x 80 g) per pohon setiap tahun.Pemberian pupuk
dilakukan 2 kali dalam setahun yaitu awal musim penghujan dan akhir musim
penghujan dengan cara membenamkan pupuk pada parit (10 cm) melingkar
pada piringan tanaman, kemudian pupuk ditimbun kembali dengan tanah.
b. Pemangkasan
25
Pemangkasan pada tanaman kakao merupakan usaha meningkatkan
produksi dan mempertahankan umur ekonomis tanaman. Dengan melakukan
pemangkasan, akan mencegah serangan hama dan penyakit, membentuk tajuk
pohon, memelihara tanaman, dan memacu produksi. Pemangkasan yang akan
dilakukan yaitu pemangkasan bentuk, pemangkasan produksi dan pemangkasan
pemeliharaan.
c. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Pengendalian OPT pada tanaman kakao dilakukan dengan sanitasi,
pemangkasan, panen sering, pemupukan, kondomisasi dan biologi. Untuk
pengendalian secara biologi yaitu dengan menggunakan jamur Trichoderma sp
untuk pengendalian penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phythoptora
palmivora.
d. Sambung Samping
Penyambungan dilakukan sebaiknya pada pagi hari dan awal musim
hujan,agar tanaman yang akan disambung masih dalam keadaan segar, dan
mudah terkelupas. Uraian pelaksanaan sambung samping adalah batang kakao
dikerat pada ketinggian 40-60 cm dari permukaan tanah. Setelah itu batang
disayat dengan pisau bersih selebar 1 cm dengan panjang 2- 4 cm. Sayatan
dibuka dengan hati-hati supaya tidak merusak cambium. Kemudian entres
dimasukkan dengan hati-hati kedalam lubang sayatan, sampai kedasar sayatan.
Kulit batang tanaman pokok ditutup kembali sambil ditekan dengan ibu jari dan
diikat. Setelah itu plastik penutup dipasang. Selanjutan dilakukkan pengamatan
tanpa membuka plastik penutup entres 2-3 minggu setelah penyambungan, hal
ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah sambungan itu jadi atau tidak. Bila
kondisi entres masih segar berarti sambungan berhasil. Dilakukkan pembukaan
plastik penutup bila panjang tunas sudah mencapai 2 cm atau lebih kurang umur
satu bulan sejak pelaksanan sambungan.
e. Penanganan panen dan pascapanen
Penanganan panen dan pascapanen yang akan dilakukan dalam kegiatan
ini yaitu dimulai dari :
- Pengumpulan Buah Kakao yang kemudian dikelompokkan menurut kelas
kematangan
26
- Fermentasi yang bertujuan untuk mematikan lembaga biji agar tidak
tumbuh sehingga perubahan-perubahan di dalam biji kakao akan mudah
terjadi, seperti warna keping biji, peningkatan aroma dan rasa, perbaikan
konsistensi keping biji, dan untuk melepaskan pulp. Biji kakao
difermentasikan di dalam kotak kayu berlubang. Selama fermentasi, biji
beserta pulpnya mengalami penurunan berat sampai 25%.
- Perendaman dan pencucian yang akan berpengaruh terhadap proses
pengeringan dan rendemen.
- Pengeringan biji kakao dapat dilaksanakan dengan sinar matahari atau
pengeringan buatan.
1. Pengumpulan Data/Pengamatan dan Metode Analisis
Jenis dan sumber data yang akan digunakan dalam pengkajian ini adalah
data primer dan data sekunder. Pengumpulan data primer dilakukan melalui
wawancara dengan responden dengan menggunakan kuesioner. Data yang
dikumpulkan kajian ini antara lain : (1) data persentase petani yang mengadopsi
inovasi teknologi budidaya (pemupukan, pemangkasan, sanitasi, pengendalian
OPT) dan pasca panen kakao pada awal dan akhir penelitian; (2) pertumbuhan
tanaman dan serangan OPT; (3) produktivitas dan mutu biji kakao yang
dihasilkan pada awal dan akhir penelitian. Data yang diperoleh dari penelitian ini
selanjutnya ditabulasi dan dianalisis dengan kebutuhan untuk membuktikan
hipotesis yang telah ditetapkan.
Analisis tingkat adopsi petani terhadap paket teknologi usahatani kakao
dilakukan dengan memberikan nilai bobot untuk setiap jawaban dari pertanyaan
yang diajurkan pada petani. Bobot nilai yang diberikan untuk setiap pertanyaan
maksimal = 3 dan minimal = 1 sesuai tingkat adopsi oleh petani untuk masing-
masing komponen teknologi yang dimaksud. Analisis deskriptif dimaksudkan
untuk menjelaskan atau menginterpretasikan data yang ada dalam bentuk tabel
sehingga dapat digambarkan tinggi atau rendahnya penerapan paket teknologi
kakao yang dilakukan petani.
Analisis data yang digunakan yaitu analisis ”Chi-Square” dimaksudkan
untuk menunjukkan hubungan antara tingkat penerapan teknologi kakao dengan
faktor umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga, luas usahatani
27
dan intensitas penyuluhan dalam rangka peningkatan produktivitas dan mutu
kakao (Sudjana,1996). Model analisis ”Chi-Square” dengan rumus sebagai
berikut :
N [( AD-BC) – (N/2)]² X² = ----------------------------
(A+B)(C+D)(A+C)(B+D)
Dimana :
X² = Nilai Chi-Square
N = Jumlah Sampel
A-D = Nilai tiap sel dari table kontingensi
N/2 = Jumlah responden dibagi dua
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Pengkajian
4.1.1. Kabupaten Aceh Barat Daya
Wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya dengan ibukota Blangpidie secara
geografis terletak di bagian barat selatan Propinsi Aceh yang merupakan hasil
pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan terdiri dari 9 kecamatan dan 132
kelurahan yang terletak di 3,7911o LU dan 96,9166o BT. Luas wilayah Kab.Aceh
Barat Daya ± 1.882,05 km2 dengan hutan mempunyai lahas terluas yaitu
mencapai 129.219,10 ha, diikuti lahan perkebunan seluas 27.504,28 ha. Batas
wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya yaitu :
- Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Selatan dan Samudera
Hindia
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Nagan Raya
- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gayo Lues
Gambar 2. Peta Wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya
29
4.1.2. Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia
Kecamatan Babahrot adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh
Barat Daya yang memiliki luas wilayah sebesar 548 km2 atau 23,51 persen dari
luas Kabupaten Aceh Barat Daya. Kecamatan Babahrot terdiri dari satu mukim
yaitu Pantee Rakyat, 7 (tujuh) desa dan 35 (tiga puluh lima)dusun dengan
ibukota kecamatan yaitu Pantee Rakyat.
Kecamatan Setia merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Aceh
Barat Daya yang memiliki luas wilayah sebesar 43.92 km2. Kecamatan Setia
terdiri dari 2 mukim dan 9 (sembilan) desa. Jarak kecamatan ini dari ibukota
kabupaten yaitu ± 7 km.
4.2 Pelaksanaan Pengkajian
4.2.1 Keadaan Penduduk
4.2.1.1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Perbandingan jumlah penduduk laki-laki dan perempuan dapat
mempengaruhi hasil produksi usahatani. Kecamatan Babahrot memiliki jumlah
penduduk sebanyak 17.941 jiwa yang terdiri dari 9.125 jiwa laki-laki dan 8.816
jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 4143 KK. Sedangkan
Kecamatan Setia memiliki jumlah penduduk sebanyak 8.159 jiwa yang terdiri dari
4.134 jiwa laki-laki dan 4025 jiwa perempuan dengan jumlah kepala keluarga
sebanyak 2.462 KK. Untuk mengetahui secara jelas jumlah penduduk menurut
jenis kelamin di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia, Kabupaten Aceh Barat Daya, 2014.
No. Jenis Kelamin
Kecamatan
Babahrot
Kecamatan
Setia
Jumlah (Jiwa)
(%) Jumlah (Jiwa)
(%)
1. Laki-laki 9.125 50,86 4.134 50.66
2. Perempuan 8.816 49.14 4.025 49.34
Jumlah 17.941 100 8.159 100
Sumber : BPS Kabupaten Aceh Barat Daya, 2014
30
4.2.1.2 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat perkembangan suatu daerah dapat diukur dari jenjang pendidikan
yang pernah diikuti masyarakatnya, karena pendidikan berpengaruh terhadap
pengetahuan dan penguasaan teknologi. Rendahnya tingkat pendidikan
merupakan salah satu faktor penghambat pengembangan sektor pertanian
didaerah pedesaan. Sebaliknya makin tinggi pendidikan penduduk suatu daerah
maka makin mudah dalam menerima dan menerapkan teknologi. Adapun tingkat
pendidikan penduduk di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia dapat dilihat
pada Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia, Kabupaten Aceh Barat Daya, 2014
No. Tingkat Pendidikan
Kecamatan Babahrot
Kecamatan Setia
Jumlah (Jiwa)
(%) Jumlah (Jiwa)
(%)
1. Buta Aksara 694 3,87 479 5,87
2. Tidak Tamat SD 1.751 9,76 1.661 20,36
3. Tamat SD/Sederajat 4.207 23,45 1.526 18,7
4. Tamat SLTP / Sederajat 3.908 21,78 1.528 18,73
5. Tamat SLTA / Sederajat 2.836 15,81 564 6,91
6. Akademi (D1-D3) 1.014 5,65 378 4,63
7. Strata satu (S1) 929 5,18 350 4,29
8. Belum Sekolah 2.601 14,5 1.673 20,51
Jumlah 17.941 100 8.159 100 Sumber : BPS Kabupaten Aceh Barat Daya, 2014
Tabel 4 menunjukkan bahwa jika dilihat dari tingkat pendidikan,
penduduk di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia masih dikategorikan
berpendidikan rendah karena jumlah penduduk yang paling besar
persentasenya adalah penduduk yang hanya duduk ditingkat SD/sederajat.
Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh petani sangat berhubungan dengan pola
pikir dan tingkat adopsi penduduk terhadap teknologi baru.
4.2.2. Identitas Petani Responden
Untuk memperoleh informasi tentang usahatani dan diusahakannya,
maka identitas petani responden merupakan salah satu hal penting yang dapat
membantu kelancaran proses pengumpulan data pengkajian. Identitas petani
31
responden yang meliputi umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga,
pengalaman berusahatani, dan luas lahan yang dimiliki oleh petani.
4.2.2.1 Umur
Umur responden sangat menentukan kemampuan fisik dalam bekerja dan
pola berpikir. Penduduk yang berumur muda mempunyai kemampuan besar dan
biasanya mempunyai pemikiran yang lebih inovatif dibandingkan dengan
penduduk yang lebih tua. Umur penduduk bervariasi antara satu penduduk
dengan penduduk lainnya. Tabel 5 menunjukkan identitas petani responden
berdasarkan kelompok umur pada pengkajian ini di Kecamatan Babahrot dan
Kecamatan Setia.
Tabel 5. Identitas Petani Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia pada Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi Aceh.
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2015
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa rata-rata petani kakao di Kecamatan
Babahrot dan Kecamatan Setia berada pada usia yang produktif. Hal ini
menjelaskan bahwa distribusi umur dapat dipakai sebagai ukuran perbandingan
antara banyaknya orang yang tidak produktif (umur <15 dan >64) dengan
banyaknya orang yang termasuk produktif secara ekonomi (15-64 tahun)
(Wirosuhardjo, 2004). Pada pengkajian ini umur petani responden yang
terendah yaitu 18 tahun sedangkan umur petani responden tertinggi yang
mengusahakan tanaman kakao adalah 65 tahun.
4.2.2.2 Tingkat Pendidikan Petani Responden
Tingkat pendidikan petani merupakan salah satu faktor penting dalam
pengelolaan usahatani. Tinggi rendahnya tingkat pendidikan seorang petani akan
berpengaruh terhadap cara penerimaan terhadap inovasi baru yang dianjurkan
No.
Umur (Thn)
Kecamatan Babahrot Kecamatan Setia
Jumlah responden (Orang)
% Jumlah responden (Orang)
%
1. <15 0 0 0 0
2. 15 – 64 30 100 29 97
3. >64 0 0 1 3
Jumlah 30 100 30 100
32
guna meningkatkan produksi pertanian sekaligus meningkatkan taraf hidup
petani atau masyarakat. Identitas petani responden berdasarkan tingkat
pendidikan petani responden dapat dilihat pada Tabel 6
Tabel 6. Identitas Petani Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia pada Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi Aceh.
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2015
Tingkat pendidikan seorang petani akan mempengaruhi pola pikir petani
dalam mengelola usahataninya. Petani yang memiliki pendidikan yang
cukup,relatif lebih dinamis dan cepat menerima inovasi dan teknologi baru
disektor pertanian (Patong, 1986).
4.2.2.3 Luas Lahan Usahatani Petani Responden
Lahan merupakan salah satu faktor produksi, dimana luas lahan
usahatani akan mempengaruhi jumlah produksi tanaman yang dikelola. Pada
umumnya semakin luas lahan usahatani yang digarap, maka akan semakin besar
pula jumlah produksi yang akan dihasilkan. Besarnya produksi ini kemudian akan
mempengaruhi jumlah pendapatan yang nantinya akan diterima oleh petani.
Tabel berikut akan menunjukkan luas lahan usahatani kakao yang dimiliki oleh
responden.
No
Tingkat Pendidikan
Kecamatan Babahrot Kecamatan Setia
Jumlah responden (Orang)
% Jumlah responden
(Orang) %
1. Tidak Tamat SD 4 13.3 6 20
2. SD/Sederajat 6 20 9 30
3. SMP/Sederajat 8 26.7 7 23.3
4. SMA/Sederajat 10 33.3 8 26.6
5. D3 2 6.6 0 0
6. S1 0 0 0 0
Jumlah 30 100 30 100
33
Tabel 7. Luas Lahan petani responden di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia pada Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi Aceh.
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, 2015
Tabel 7 menunjukkan bahwa di Kecamatan Babahrot jumlah petani yang
memiliki lahan dengan luasan < 1 ha yaitu sebanyak 12 petani responden, petani
yang memiliki lahan dengan luasan sekitar 1-2 ha yaitu sebanyak 18 petani
responden, sedangkan jumlah petani yang memiliki lahan dengan kisaran luas
lahan > 2 ha yaitu sebanyak 2 petani responden. Sedangkan di Kecamatan Setia
kepemilikan lahan oleh petani responden dengan luasan < 1 ha yaitu sebanyak
18 petani responden, petani yang memiliki lahan dengan luasan sekitar 1-2 ha
yaitu sebanyak 14 petani responden, dan tidak ada petani responden yang
memiliki lahan dengan kisaran luas lahan > 2 ha. Ketersediaan lahan yang
dimiliki petani responden mendorong petani untuk berusaha mengoptimalkan
uasahataninya sehingga mampu meningkatkan produksi kakao.
4.2.3 Tingkat Adopsi Petani Terhadap Paket teknologi
a. Kecamatan Babahrot
Tingkat adopsi petani adalah suatu kondisi dimana teknologi diadopsi dan
dilaksanakan oleh petani. Tingkat adopsi paket teknologi oleh petani diukur
sebelum dan sesudah dilakukan sosialisasi dan demontrasi teknologi melalui
pelatihan teknologi budidayadan pasca panen kakao. Paket teknologi yang
dimaksudkan dalam kajian ini adalah paket teknologi kakao yaitu teknologi
budidaya kakao (pemupukan, pemangkasan, pengendalian OPTdan sambung
samping) dan teknologi pasca panen (panen/pemetikan, pengupasan,
fermentasi, perendaman dan pencucian, pengeringan, sortasi biji dan
penyimpanan). Tingkat adopsi petani terhadap paket tekologi budidaya dan
pasca panen kakao di Kecamatan Babahrot, dapat dilihat pada Tabel…berikut :
No
Luas Lahan
Kecamatan Babahrot Kecamatan Setia
Jumlah responden (Orang)
% Jumlah responden (Orang)
%
1. < 1 12 40 16 53.3
2. 1-2 16 53.3 14 46.6
3. >2 2 6.6 0 0
Jumlah 30 100 30 100
34
Tabel 8. Tingkat adopsi petani terhadap paket tekologi budidaya dan pasca panen kakao di Kecamatan Babahrot pada Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi Aceh.
Keterangan : Skor 3 = sesuai anjuran, Skor 2 = di bawah anjuran, Skor 1 = tidak melaksanakan.
Tabel 8 menunjukkan bahwa pada komponen teknologi pemupukan,
tingkat adopsi inovasi teknologi sebelum dilakukan pelatihan teknik pemupukan
(jenis pupuk, dosis, waktu dan cara pemupukan) yaitu 22,5 % petani yang
melakukannya sesuai anjuran, 50 % petani yang melakukan di bawah anjuran
dan 27,5 % petani yang tidak melakukan teknologi pemupukan. Sedangkan
setelah dilakukan pelatihan teknik pemupukan, jumlah petani yang melakukan
sesuai anjuran yaitu 61,7 %, yang melakukan pemupukan di bawah anjuran
yaitu sebanyak 30,8 %, dan yang tidak melakukan pemupukan mengalami
penurunan sebesar 7,5 %. Berdasarkan kenyataan dilokasi pengkajian
menunjukkan bahwa pada umumnya petani tidak melaksanakan pemupukan
sesuai anjuran. Hal ini disebabkan oleh karena harga pupuk yang sangat mahal
sehingga produktivitas kakao tidak sesuai dengan yang diharapkan. Oleh sebab
itu, petani sangat membutuhkan upaya pemerintah atau pihak terkait untuk
memberi perhatian yang lebih dengan memberikan upaya/program bantuan
berupa sarana produksi termasuk pupuk sehingga angka produktivitas kakao
dapat ditingkatkan.
Pada komponen teknologi pemangkasan (jenis pemangkasan, alat
pangkas, waktu pemangkasan pemeliharaan dan waktu pemangkasan produksi)
menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi sebelum dilakukan
pelatihan teknik pemangkasan yaitu 23,3 % petani melakukannya sesuai
anjuran, 43,3 % petani yang melakukan di bawah anjuran dan 33,3 % petani
tidak melakukan pemangkasan. Namun, setelah dilakukan pelatihan teknik
pemangkasan terjadi peningkatan jumlah petani yang melakukannya sesuai
No Inovasi Teknologi
Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi (%)
Sebelum Sesudah
Skor 3 Skor 2 Skor 1 Skor 3 Skor 2 Skor 1
1. Pemupukan 22,5 50 27,5 30,8 61,7 7,5
2. Pemangkasan 23,3 43,3 33,3 55,0 35,8 9,2
3. Pengendalian HPT 21,1 32,2 32,8 55,0 22,2 6,1
4. Sambung samping 1,3 4,0 94,7 60,7 32,0 7,3
5. Panen dan Pasca Panen 7,9 48,8 43,3 55,5 33,0 11,5
35
anjuran yaitu sebanyak 55 %, sebanyak 35,8 % petani yang melakukan di
bawah anjuran dan hanya 9,2 % yang tidak melakukan pemangkasan.
Pada komponen teknologi pengendalian HPT dan sanitasi (pengendalian
terhadap PBK, penanggulangan terhadap BBK, penggunaan insektisida, waktu
sanitasi dan cara sanitasi) menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi
sebelum dilakukan pelatihan teknologi pengendalian HPT dan sanitasi yaitu 21,1
% petani melakukannya sesuai anjuran, lalu 32,2 % petani yang melakukan di
bawah anjuran dan sebanyak 32,8 % petani tidak melakukan pemangkasan.
Namun, setelah dilakukan pelatihan teknologi pengendalian HPT dan sanitasi
terjadi peningkatan jumlah petani yang melakukannya sesuai anjuran yaitu
sebanyak 55 %, hanya 22,2 % petani yang melakukan di bawah anjuran dan
hanya 6,1 % yang tidak melakukan pemangkasan. Hasil di lapangan
menunjukkan bahwa tingkat adopsi petani kakao terhadap pengendalian
organisme pengganggu tanaman masih tergolong rendah. Hal ini disebabkan
karena kurangnya kesadaran petani untuk menjaga kebersihan di sekitar
lingkungan tanaman kakaonya, seperti masih terdapat banyak kulit/buah kakao
yang telah terserang hama berserekan disekitar tanaman kakao. Maka dari itu,
diperlukan upaya penyuluhan yang lebih intensif sehingga petani mampu
memahami dan melaksanakannya dilapangan.
Pada komponen teknologi sambung samping (alat sambung samping,
penyiapan batang bawah, pemilihan mata entres, pembuatan tapak sambungan
dan penyambungan) menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi
sebelum dilakukan pelatihan yaitu sebesar 1,3 % petani melakukannya sesuai
anjuran, sebanyak 4 % petani yang melakukan di bawah anjuran dan 94,7 %
petani tidak melakukan sambung samping pada tanaman kakao di lahan mereka.
Namun, setelah dilakukan pelatihan teknik sambung samping terjadi peningkatan
jumlah petani yang melakukannya sesuai anjuran yaitu sebanyak 60,7 %,
sebanyak 32 % petani yang melakukan di bawah anjuran dan hanya 7,3 % yang
tidak melakukan sambung samping untuk peremajaan tanaman kakao mereka.
Pada komponen teknologi panen dan pasca panen kakao (waktu panen,
alat panen, pembelahan, fermentasi, perendaman dan pencucian, pengeringan,
sortasi biji, pengarungan, penyimpanan, lama penyimpanan dan pemasaran)
menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi panen dan pasca panen
36
kakao sebelum dilakukan pelatihan yaitu hanya 7,9 % petani melakukannya
sesuai anjuran, sebanyak 48,8 % petani yang melakukan di bawah anjuran dan
sebanyak 43,3 % petani tidak melakukan teknologi panen dan pasca panen
kakao. Namun, setelah dilakukan pelatihan jumlah petani yang melakukannya
sesuai anjuran yaitu sebanyak 55,5 %, hanya 33 % petani yang melakukan di
bawah anjuran dan 11,5 % yang tidak menerapkan teknologi panen dan pasca
panen kakao. Pada proses pasca panen dengan melakukan fermentasi jumlah
petani yang melakukannya sangat sedikit, hal ini menunjukkan bahwa adopsi
petani dalam fermentasi biji kakao masih tergolong sangat rendah. Rendahnya
adopsi petani terhadap fermentasi disebabkan oleh komponen dan tahapan kerja
dalam fermentasi masih sulit diterapkan oleh petani serta adanya tambahan
tenaga yang diperlukan sehingga menambah modal kerja, sementara tidak ada
perbedaan harga antara biji kakao yang terfermentasi dan tidak terfermentasi.
b. Kecamatan Setia
Tingkat adopsi petani terhadap paket tekologi budidaya dan pasca panen
kakao di Kecamatan Setia, dapat dilihat pada Tabel 8 berikut :
Tabel 9. Tingkat adopsi petani terhadap paket tekologi budidaya dan pasca panen kakao di Kecamatan Setia pada Kajian Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Budidaya dan Pascapanen Kakao di Provinsi Aceh.
Keterangan : Skor 3 = sesuai anjuran, Skor 2 = di bawah anjuran, Skor 1 = tidak melaksanakan.
Tabel 9 menunjukkan bahwa pada komponen teknologi pemupukan(jenis
pupuk, dosis, waktu dan cara pemupukan), tingkat adopsi inovasi teknologi
sebelum dilakukan pelatihan teknik pemupukan yaitu 3,3 % petani yang
melakukannya sesuai anjuran, 12,5 % petani yang melakukan di bawah anjuran
dan 84,2 % petani yang tidak melakukan teknologi pemupukan. Sedangkan
setelah dilakukan pelatihan teknik pemupukan, jumlah petani yang melakukan
No Inovasi Teknologi
Tingkat Adopsi Inovasi Teknologi (%)
Sebelum Sesudah
Skor 3 Skor 2 Skor 1 Skor 3 Skor 2 Skor 1
1. Pemupukan 3,3 12,5 84,2 47,5 50,8 1,7
2. Pemangkasan 3,3 7,5 89,2 55,8 42,5 1,7
3. Pengendalian HPT 11,1 36,7 35,6 48,3 26,7 8,3
4. Sambung samping 0,0 4,0 96,0 57,3 29,3 13,3
5. Panen dan Pasca Panen 7,9 48,8 43,3 54,5 33,0 12,4
37
sesuai anjuran yaitu 45,7 %, yang melakukan pemupukan di bawah anjuran
yaitu sebanyak 50,8 %, dan yang tidak melakukan pemupukan mengalami
penurunan sebesar 1,7 %. Berdasarkan hasil survey langsung di lapangan
menunjukkan bahwa pada umumnya petani tidak melaksanakan pemupukan
sesuai anjuran. Sama dengan petani di Kecamatan Babahrot, hal ini disebabkan
oleh karena harga pupuk yang sangat mahal sehingga produktivitas kakao tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Oleh sebab itu, petani sangat membutuhkan
upaya pemerintah atau pihak terkait untuk memberi perhatian yang lebih dengan
memberikan upaya/program bantuan berupa sarana produksi termasuk pupuk
sehingga angka produktivitas kakao dapat ditingkatkan.
Pada komponen teknologi pemangkasan (jenis pemangkasan, alat
pangkas, waktu pemangkasan pemeliharaan dan waktu pemangkasan produksi)
menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi sebelum dilakukan
pelatihan teknik pemangkasan yaitu 3,3 % petani melakukannya sesuai anjuran,
7,5 % petani yang melakukan di bawah anjuran dan 89,2 % petani tidak
melakukan pemangkasan. Namun, setelah dilakukan pelatihan teknik
pemangkasan terjadi peningkatan jumlah petani yang melakukannya sesuai
anjuran yaitu sebanyak 55,8 %, sebanyak 42,5 % petani yang melakukan di
bawah anjuran dan hanya 1,7 % yang tidak melakukan pemangkasan.
Pada komponen teknologi pengendalian HPT dan sanitasi (pengendalian
terhadap PBK, penanggulangan terhadap BBK, penggunaan insektisida, waktu
sanitasi dan cara sanitasi) menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi
sebelum dilakukan pelatihan teknologi pengendalian HPT dan sanitasi yaitu 11,1
% petani melakukannya sesuai anjuran, lalu 36,7 % petani yang melakukan di
bawah anjuran dan sebanyak 35,6 % petani tidak melakukan pemangkasan.
Namun, setelah dilakukan pelatihan teknologi pengendalian HPT dan sanitasi
terjadi peningkatan jumlah petani yang melakukannya sesuai anjuran yaitu
sebanyak 48,3 %, 26,7 % petani yang melakukan di bawah anjuran dan hanya
8,3 % yang tidak melakukan pemangkasan.
Pada komponen teknologi sambung samping (alat sambung samping,
penyiapan batang bawah, pemilihan mata entres, pembuatan tapak sambungan
dan penyambungan) menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi
sebelum dilakukan pelatihan yaitu tidak ada petani yang melakukansambung
38
samping sesuai anjuran (0 %), sebanyak 4 % petani yang melakukan di bawah
anjuran dan 96,0 % petani tidak melakukan sambung samping pada tanaman
kakao di lahan mereka. Namun, setelah dilakukan pelatihan teknik sambung
samping terjadi peningkatan jumlah petani yang melakukannya sesuai anjuran
yaitu sebanyak 57,3 %, sebanyak 29,3 % petani yang melakukan di bawah
anjuran dan hanya 13,3 % yang tidak melakukan sambung samping untuk
peremajaan tanaman kakao mereka.
Pada komponen teknologi panen dan pasca panen kakao (waktu panen,
alat panen, pembelahan, fermentasi, perendaman dan pencucian, pengeringan,
sortasi biji, pengarungan, penyimpanan, lama penyimpanan dan pemasaran)
menunjukkan bahwa tingkat adopsi inovasi teknologi panen dan pasca panen
kakao sebelum dilakukan pelatihan yaitu hanya 7,9 % petani melakukannya
sesuai anjuran, sebanyak 48,8 % petani yang melakukan di bawah anjuran dan
sebanyak 43,3 % petani tidak melakukan teknologi panen dan pasca panen
kakao. Namun, setelah dilakukan pelatihan jumlah petani yang melakukannya
sesuai anjuran yaitu sebanyak 54,5 %, hanya 33 % petani yang melakukan di
bawah anjuran dan 12,4 % yang tidak menerapkan teknologi panen dan pasca
panen kakao.
4.2.4 Produktivitas tanaman kakao
Produktivitas tanaman kakao di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan
Setia sebelum dan setelah dilakukan pengkajian dapat dilihat pada Tabel 9
dibawah ini :
Tabel 10. Produktivitas tanaman kakao di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan
Setia sebelum dan setelah dilakukan pengkajian.
No Kecamatan Produktivitas (kg/ha/thn)
Sebelum Sesudah
1. Babahrot
Kisaran produktivitas 55 - 450 115 - 750
Rata-rata produktivitas 197.5 317.5
39
2. Setia
Kisaran produktivitas 40 - 375 75 - 550
Rata-rata produktivitas 167.5 237.5
Dari Tabel 10 di atas terlihat bahwa sebelum dan sesudah penelitian
terjadi peningkatan produktivitas tanaman kakao, baik di Kecamatan Babahrot
maupun di Kecamatan Setia. Produktivitas tanaman kakao sebelum penelitian di
Kecamatan Babahrot berkisar antara 55 s/d 450 kg/ha/th dengan rataan
produktivitas 197.5 kg/ha/th sedangkan setelah dilakukan penelitian menjadi 115
s/d 750 kg/ha/th dengan rata-rata produktivitas 317.5 kg/ha/th. Sedangkan
produktivitas tanaman kakao sebelum penelitian di Kecamatan Setia berkisar
antara 40 s/d 375 kg/ha/th dengan rataan produktivitas 167.5 kg/ha/th
sedangkan setelah dilakukan penelitian menjadi 75 s/d 550 kg/ha/th dengan
rata-rata produktivitas 237.5 kg/ha/th. Hal ini menunjukkan bahwa adopsi inovasi
teknologi budidaya kakao oleh petani telah menyebabkan meningkatnya produksi
tanaman kakao petani. Kakao adalah tanaman manja yang membutuhkan
perawatan intensif sehingga dapat berproduksi optimal.
4.2.5 Analisis Usahatani Tanaman Kakao
Hasil analisis usahatani budidaya tanaman kakao di Kecamatan Babahrot
dan Kecamatan Setia dapat dilihat pada Tabel 10 di bawah ini :
Tabel 11. Analisis usahatani budidaya kakao di Kecamatan Babahrot dan Kecamatan Setia (per ha/th)
Uraian
Kecamatan Babahrot Kecamatan Setia
Volume Harga
(Rp)
Jumlah
(Rp) Volume
Harga
(Rp)
Jumlah
(Rp)
I. Saprodi
Pupuk Urea 220 kg 3.500 770.000 220 kg 3.500 770.000
Pupuk KCl 180 kg 3.500 630.000 180 kg 3.500 630.000
Pupuk SP-36 170 kg 3.500 595.000 170 kg 3.500 595.000
40
Fungisida 5 liter 200.000 1.000.000 5 liter 200.000 1.000.000
Insektisida 10 liter 20.000 200.000 10 liter 20.000 200.000
II. Gaji Upah
Pemangkasan 15 OH 75.000 1.125.000 15 OH 65.000 975.000
Pemupukan 8 OH 75.000 600.000 8 OH 65.000 520.000
Pengendalian OPT 30 OH 75.000 2.250.000 30 OH 65.000 1.950.000
Sanitasi 15 OH 75.000 1.125.000 15 OH 65.000 1.125.000
Panen 35 OH 75.000 2.625.000 35 OH 65.000 975.000
Pasca panen 28 OH 75.000 2.100.000 28 OH 65.000 1.820.000
Total Biaya Produksi
13.020.000 10.560.000
Produksi (Hasil) 750 kg 23.500 17.625.000 550 kg 23.500 12.925.000
Keuntungan 4.605.000 2.365.000
Dari Tabel 11 di atas terlihat bahwa keuntungan yang diterima petani
kakao di Kecamatan Babahrot (Rp. 17.625.000) lebih tinggi dibandingkan
dengan keuntungan diterima petani di Kecamatan Setia sebesar Rp. 12.925.000.
Keuntungan terbesar yang diterima oleh petani di Kecamatan Babahrot
disebabkan karena hasil yang didapatkan lebih tinggi dari hasil yang didapatkan
petani di Kecamatan Setia. Keuntungan diterima oleh petani di Kecamatan
Babahrot bisa lebih tinggi lagi bila biji kakao fermentasi harganya lebih tinggi
dibandingkan biji kakao non fermentasi.
4.3. Kegiatan Temu Lapang dan Pelatihan
Dalam upaya meningkatkan produktifitas tanaman kakao secara optimal
dan ekonomi masyarakat di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Aceh melaksanakan pelatihan dan temu
lapang kegiatan percepatan adopsi inovasi teknologi budidaya dan pascapanen
kakao kepada petani. Tujuan dari kegiatan ini yaitu untuk meningkatkan adopsi
inovasi teknologi budidaya dan pasca panen kakao di Aceh, meningkatkan
produktivitas tanaman kakao di Aceh, dan Meningkatkan mutu biji kakao yang
dihasilkan petani sesuai dengan Standar Mutu Nasional (SNI).
Menurut data statistik perkebunan tahun 2014, luas areal penanaman
kakao di kabupaten Aceh Barat Daya seluas 3700 ha yang tersebar di 9
41
kecamatan dan kecamatan Babah Rot yang paling luas penanamannya yaitu
mencapai 1549 ha dengan rata-rata produktivitas mencapai 739 kg/ha/tahun.
Kegiatan pelatihan ini dilakukan pada tanggal 28-29 April 2015 yang
dilaksanakan di 2 (dua) lokasi yaitu Desa Alue Jerjak Kecamatan Babahrot dan
Desa Rambong Kecamatan Setia. Pelatihan ini melibatkan kelompok tani Lhok
Sawang di Kecamatan Babahrot dengan anggota kelompok 25 orang dan
kelompok tani Batee Rayeuk di Kecamatan Setia dengan anggota kelompok 45
orang. Dengan adanya pelatihan dan temu lapang ini, diharapkan agar para
petani dapat mengerti tentang tatacara pembudidayaan kakao, baik cara
pemupukan, pemangkasan bahkan cara pengendalian penyakit pada tanaman
kakao.
42
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka
dapat disimpulkan hal- hal sebagai berikut :
- Kegiatan ini telah dapat meningkatkan adopsi inovasi teknologi budidaya
dan pasca panen kakao dari 18.21 % menjadi 62.45 % di Kecamatan
Babahrot dan dari 15.38 % menjadi 55.88 % di Kecamatan Setia Kab.
Aceh Barat Daya
- Peningkatan adopsi inovasi teknologi budidaya dan pasca panen kakao
mengakibatkan terjadinya peningkatan produktivitas kakao dari 197.5
kg/ha/th menjadi 317.5 kg/ha/tahun di Kecamatan Babahrot dan dari
167.5 kg/ha/tahun menjadi 237.5 kg/ha/ tahun di Kecamatan Setia Kab.
Aceh Barat Daya setelah dilakukan pengkajian.
Saran
Dalam upaya peningkatan produksi kakao di Provinsi Aceh perlu dilakukan
percepatan adopsi inovasi teknologi melalui pola/model Diseminasi Multi Channel
(DMC) dengan demplot dan Seko lah Lapang(SL) budidaya dan pascapanen
kakao pada setiap kecamatan daerah pengembangan kakao.
43
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Budidaya Kakao Klonal Plagiotrop. Diakses tanggal 20 April 2015.
Badan Pusat Statistik, 2014 Luas Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis
Tanaman di Indonesia. Jakarta: BPS Indonesia.
Dinas Perkebunan dan Kehutanan (Disbunhut) Aceh. 2012. Pengembangan
kakao di Aceh. Makalah disampaikan pada Acara Duek Pakat Forum
Kakao Aceh di Asrama Haji Banada Aceh.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2009. Gambaran Umum Gerakan Peningkatan
Produksi dan Mutu Kakao Nasional (2009-2011). Leaflet. Departemen
Pertanian RI.
Kementrian Pertanian. 2013. Luas Areal Tanaman Kakao Menurut Propinsi di
Seluruh Indonesia. Jakarta.
Lubis, S. N. 2000. Adopsi Teknologi dan Faktor-Faktor yang mempengaruhinya.
USU Press. Medan
Manti I. 2009. Jenis dan Tingkat Serangan Penyakit Busuk Buah Kakao di
Kabupaten Padang Pariaman. http//sumbar.litbang.
deptan.go.id/ind/index .[16 Juni 2015].
Mosher, AT., 1991. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. CV. Yasaguna.
Jakarta.
Nitisemito, Alex. 1982. Strategi Pembangunan Masyarakat. LP3ES. Jakarta.
Siregar, T.H.S., S. Riyadi., dan L. Nuraeni., 1989. Budidaya, Pengolahan dan
Pemasaran Hasil. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soenaryo, 1983. Upaya Meningkatkan Produksi Cacao. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Sudjana. 1996. Teknik Analisis Regresi Dan Korelasi. Tarsito: Bandung.
Sunanto Hatta, 1992. Coklat, Budidaya, Pengelolaan Hasil dan Aspek
Ekonominya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Suryani, D dan Zulfebriansyah, 2007. Komoditas Kakao : Potret Dan Peluang
Pembiayaan. Economic Review No. 210 Desember 2007
Tambunan, E. R. 2009. Respon pertumbuhan bibit kakao (theobroma cacao L.)
pada media tumbuh sub soil dengan aplikasi kompos
limbah pertanian dan pupuk anorganik.Tesis. Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Wirosuhardjo, K. 2004. Dasar-dasar Demografi. FEUI, Jakarta
44
Lampiran 1.
DAFTAR PERSONALIA
No Nama Lengkap Pendidikan Disiplin Ilmu Jabatan
Fungsional Waktu
1. Fenty Ferayanti,SP S1 HPT Peneliti Muda 30
2. Ir. T. Iskandar, M.Si S2 HPT Penyuluh Madya 10
3. Idawanni,SP S1 Agronomi Peneliti Muda 20
4. Ir. Nurbaiti, M.Si S2 Ilmu Tanah Penyuluh Pertama 10
5. Firdaus, SP. M.Si S2 HPT Penyuluh Muda 10
6. Sarianto SPMA SPMA Teknisi 10
45
Lampiran 2
ANALISIS RESIKO
A. Daftar Risiko
No Risiko Penyebab Dampak
1. Adopsi inovasi teknologi
budidaya kakao oleh
petani kurang berhasil
Implementasi SDMC
terkendala
Produktivitas kakao
rendah, kesejahteraan
petani tdk meningkat
B. Daftar Penanganan Risiko
No Risiko Penyebab Penanganan Risiko
1. Adopsi inovasi teknologi
budidaya kakao oleh petani
kurang berhasil
Implementasi
SDMC terkendala
Perlu dilkukan langkah
pengembangan
penerapan model SDMC
dengan internalisasi,
sosialisasi, dan advokasi
46
Lampiran 3
FOTO – FOTO KEGIATAN
47
48
49
50
51
52