Laporan Final

32
1 Abstrak Kawasan Bantaran Kali Code sebagai ikon dari kawasan kumuh atau kawasan marginal dari Kota Yogyakarta tidak pernah sepi dari berbagai perhatian baik dari aktor formal maupun informal. Belakangan ada fenomena menarik dimana kawasan Code Selatan, sedikit demi sedikit “keluar” dari kesan kumuhnya karena telah dibangun beberapa fasilitas untuk memperindah kawasan bantaran kali tersebut, diantaranya paving blok, MCK, dll Adalah FKMCS (Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan) yang ternyata memiliki jasa besar dalam pembangunan fasilitas tersebut, tidak hanya pembangunan fisik, tapi juga non-fisik. FKMCS juga bertujuan untuk merubah gaya hidup masyarkat yang kotor dan pola pikir masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki kawasan Code, sehingga timbul partisipasi terhadap perbaikan dan pembangunan kawasan tersebut. dan oleh sebab itu kami tertarik untuk lebih lanjut mengamati fenomena pembangunan partisipasi tersebut. FKMCS yang diinisiasi oleh beberapa orang mampu berjejaring dengan berbagai lembaga lain yang bisa mendukung visi dan misi FKMCS diantaranya Bapedalda, LSM dan funding dalam hal ini GTZ. Akhirnya karena banyaknya fasilitas yang dibangun sedikit-demi sedikit mampu me-reframe masyarakat sehingga ikut “ngopeni” fasilitas tersebut. Hal ini diantaranya bisa terlihat dari banyaknya warga yang ikut dalam sarasehan yang diadakan FKMCS untuk menjaring aspirasi warga dalam membangun kawasan Code Selatan. Dalam laporan ini kita akan mengeksplorasi sejauh mana FKMCS mampu meng-engage partisipasi masyarakat dalam membangun kawasan Code Selatan mengingat derajat dan bentuk partisipasi yang berbeda-beda pada masing-masing individu dalam masyarakat. FKMCS sebagai aktor informal yang beranggotakan masyarakat setempat menjadi pendorong yang efektif untuk meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat setempat dalam membangun kampung mereka.

Transcript of Laporan Final

Page 1: Laporan Final

1

Abstrak

Kawasan Bantaran Kali Code sebagai ikon dari kawasan kumuh atau kawasan marginal dari Kota Yogyakarta tidak pernah sepi dari berbagai perhatian baik dari aktor formal maupun informal. Belakangan ada fenomena menarik dimana kawasan Code Selatan, sedikit demi sedikit “keluar” dari kesan kumuhnya karena telah dibangun beberapa fasilitas untuk memperindah kawasan bantaran kali tersebut, diantaranya paving blok, MCK, dll

Adalah FKMCS (Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan) yang ternyata memiliki jasa besar dalam pembangunan fasilitas tersebut, tidak hanya pembangunan fisik, tapi juga non-fisik. FKMCS juga bertujuan untuk merubah gaya hidup masyarkat yang kotor dan pola pikir masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki kawasan Code, sehingga timbul partisipasi terhadap perbaikan dan pembangunan kawasan tersebut. dan oleh sebab itu kami tertarik untuk lebih lanjut mengamati fenomena pembangunan partisipasi tersebut.

FKMCS yang diinisiasi oleh beberapa orang mampu berjejaring dengan berbagai lembaga lain yang bisa mendukung visi dan misi FKMCS diantaranya Bapedalda, LSM dan funding dalam hal ini GTZ. Akhirnya karena banyaknya fasilitas yang dibangun sedikit-demi sedikit mampu me-reframe masyarakat sehingga ikut “ngopeni” fasilitas tersebut. Hal ini diantaranya bisa terlihat dari banyaknya warga yang ikut dalam sarasehan yang diadakan FKMCS untuk menjaring aspirasi warga dalam membangun kawasan Code Selatan.

Dalam laporan ini kita akan mengeksplorasi sejauh mana FKMCS mampu meng-engage partisipasi masyarakat dalam membangun kawasan Code Selatan mengingat derajat dan bentuk partisipasi yang berbeda-beda pada masing-masing individu dalam masyarakat. FKMCS sebagai aktor informal yang beranggotakan masyarakat setempat menjadi pendorong yang efektif untuk meningkatkan tingkat partisipasi masyarakat setempat dalam membangun kampung mereka.

Page 2: Laporan Final

2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan yang berjalan secara masif di perkotaan menyebabkan

kota menjadi tumpuan harapan warga dari berbagai daerah untuk mengadu nasib

di kota. Berbondong-bondong warga desa meninggalkan kampung halaman

mereka demi secercah harapan yang dijanjikan oleh kota. Sayangnya, tidak

semua warga yang datang tersebut mendapatkan akses yang sama untuk meraih

harapan mereka. Sistem yang ada telah membuat sebagian besar dari mereka

tidak dapat bersaing dengan adil. Perlakuan yang diskriminatif terhadap fasilitas

perekonomian yang tidak diperuntukkan bagi warga imigran, persyaratan yang

rumit dalam mengakses administrasi kependudukan, dan minimnya pemerdayaan

ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah membuat keberadaan imigran dan

warga yang kurang mampu lainnya termarginalkan pelan-pelan namun pasti.

Akumulasi yang bertahun-tahun tersebut akhirnya telah menumbuhkan kekhasan

baru dalam menyebut profil kota, selalu ada tempat bagi mereka yang

termarginalkan secara ekonomi, politik, dan sosial, yang tidak mampu mengakses

fasilitas mewah perkotaan. Para kaum marginal ini selanjutnya terkonsentrasi di

daerah kumuh (slum area) yang akhirnya mencoret wajah cantik kota.

Bantaran Kali Code selama bertahun-tahun adalah sebuah symbol atas

kemiskinan, kekumuhan, dan tempat segala macam yang marginal bagi Kota

Jogjakarta. Kota Jogjakarta adalah kota dengan berbagai macam pluralitas yang

terdapat di dalamnya karena arus urbanisasi dan efek dari berkembangnya

sebuah pembangunan ekonomi. Bantaran Kali Code seakan menjadi tempat

penampungan bagi mereka yang tidak mendapat tempat di hati masyarakat kota

dan memilih untuk mengasingkan diri jauh dari kehidupan normal sebuah

masyarakat. Atau bisa jadi bantaran kali ini menjadi sebuah camp konsentrasi

bagi orang-orang yang kurang mampu mengakses fasilitas glamour Kota

Yogyakarta.

Kali Code memanjang dari hulu sampai hilir di pantai telah menorehkan

bermacam cerita di sepanjang daerah aliran sungainya. Kali Code seakan

menjadi simbol sebuah komunitas masyarakat yang tak mengenal batas

administrasi yang memiliki kekhasan mereka sendiri yang tak mau disamakan

dengan wilayah-wilayah lain yang lebih mapan. Karena daerahnya yang lintas

Page 3: Laporan Final

3

kabupaten, pemerintah provinsi yang kemudian mengambil tanggung jawab atas

pengelolaan Kali Code. Kenyataan ini seakan menafikkan efek atas berdirinya

kawasan ini di tengah kabupaten-kabupaten dan kota di Jogja yang dilewatinya

yang telah meninggalkan berbagai macam permasalahan.

Kali Code yang melintas di Kota Yogyakarta secara wilayah terbagi dalam

dua kawasan, yaitu kawasan utara yang berada di sekitar Gondolayu dan

kawasan selatan yang berada di sekitar jalan Kolonel Sugiono. Berbagai pihak

telah menaruh perhatian pada bantaran kali ini, sebuat saja Romo Mangun yang

terkenal sangat konsen dengan pengembangan bantaran Kali Code Utara. Romo

Mangun dengan kemampuan pengorganisasian masyarakat telah mampu

mendesak pemerintah untuk tidak jadi mengimplementasikan rencana kebijakan

penataan ruang yang ditujukan untuk bantaran Kali Code Utara. Rencana

penataan ruang yang berbasis kepada komunitas telah menjadi bargaining cukup

kuat kepada pemerintah sehingga pemerintah urung melaksakan kebijakannya

yang ditentang oleh pihak penghuni bantaran kali ini.

Sementara itu, Bantaran Kali Code Selatan memiliki karakteristik yang

berbeda dengan yang sebelah utara karena sejarah pembentukan kawasan ini

yang juga unik. Kawasan bantaran Code bagian selatan ini mulanya adalah

sebuah kandang kuda milik keraton Yogyakarta yang kemudian dibuah menjadi

tempat penampungan gelandangan dan orang berpenyakit lepra oleh yayasan

Zending pada zaman Kolonial Belanda. Pada perkembangannya, setelah

kemerdekaan kawasan ini menjadi tempat didirikannya panti yang memberikan

keterampilan kepada para penghuninya sehingga mereka bisa hidup mandiri.

Setelah semua mandiri, panti ini bubar dan berdatanganlah pada pegawai

pemerintah yang akan tinggal di tempat tersebut.

Struktur social yang dari awal terbentuk akibat pemisahan tempat tinggal

pasien lepra dan pengelola menumbuhkan benih-benih segregasi masyarakat

pada tahun-tahun berikutnya. Sampai saat ini, masih terdapat kelas-kelas social

yang membedakan warga bantaran kali ini, yaitu kelas masyarakat menengah ke

bawah yang merupakan anak cucu dari para penghuni panti dan pasien lepra

zaman dulu dan kelas masyarakat yang lebih mapan, yakni para pegawai yang

datang paling akhir. Kelas pertama mereka sebut sebagai wong mburi (orang

belakang), sedangkan kelas kedua mereka sebut wong ngarep (orang depan). Di

kalangan wong mburi pun masih terdapat diferensiasi mata pencaharian yang

membuat kawasan bantaran kali semakin khas, yaitu tukang becak, pedagang

Page 4: Laporan Final

4

keliling dan PKL, preman, dan lain-lain. Masyarakat bantaran kali ini secara rapi

telah terorganisir dalam sebuah organisasi yang bernama Forum Komunikasi

masyarakat Code Selatan (FKMCS).

FKMCS adalah organisasi pecinta lingkungan yang terdapat di kawasan

bantaran Kali Code Selatan. Forum ini adalah salah satu forum yang menyatukan

masyarakat bantaran Kali Code Selatan, masyarakat miskin Kota Jogja. Forum

yang merupakan inisiasi dari masyarakat sendiri ini berkegiatan dalam penjagaan

lingkungan sekitar, yaitu Kali Code bagian selatan agar masyarakat sekitar dapat

hidup nyaman dan aman. Forum pecinta lingkungan ini akhirnya berkembang

menjadi forum yang mampu melaksanakan perencanaan pembangunan secara

partisipatif.

Dengan sumber daya yang dimiliki, para pengurus FKMCS ini membuat

berbgai proposal yang diajukan ke berbagai lembaga, misalnya pemerintah untuk

mencari dana pembangunan kawasan ini. Ratusan juta, bahkan milyaran dana

telah dikucurkan oleh forum ini. Dana ini kemudian digunakan untuk

melaksanakan berbagai pembangunan fasilitas umum yang akhirnya sedikit demi

sedikit telah merubah image bantaran Kali Code yang kumuh menjadi lebih bersih

dan seperti kampung pada umumnya.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana bentuk collective action yang dilakukan oleh Forum

Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS) dalam perencanaan

pembangunan partisipatif di Bantaran Kali Code Selatan Kota Jogjakarta?

C. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui bentuk collective action yang dilakukan oleh Forum Komunikasi

Masyarakat Code Selatan (FKMCS)

b. Mengetahui bentuk partisipasi masyarakat dalam wadah FKMCS pada

perencanaan pembangunan partisipatif masyarakat bantaran Kali Code

Selatan

c. Memahami implikasi keberadaan FKMCS dalam rangka penguatan

masyarakat sipil dan penguatan demokrasi dari arus bawah

Page 5: Laporan Final

5

D. Landasan Konseptual dan Teori

1. Collective Goods dan Collective Action 1.1 Mendefinisikan Collective Goods

Public/ collective goods adalah barang yang diproduksi dan dikonsumsi

secara bersama-sama, tidak tunduk pada kerumunan, dan sulit untuk

mengasingkan keberadaan para free rider darinya (Vijayendra Rao, 2004).

Sebagai contoh: air di lautan, udara, jalan, sungai, dan lain-lain. Pemaknaan

terhadap public goods seringkali diidentikkan dengan infrastruktur yang harus

disediakan oleh negara atau pemerintah kepada rakyatnya sebagai bentuk

dan bagian dari pelayanan publik, dimana rakyat memiliki akses yang

sebesar-besarnya terhadap barang jenis ini.

Public goods sering pula disebut sebagai collective goods. Collective

goods dapat ditemui dalam pembahasan mengani modal sosial dalam

relasinya dengan bentuk-bentuk tindakan kolektif dan kerjasama. Yakni

barang yang tidak dapat dibatasi dalam hal aksesnya bagi masyarakat dan

untuk memperolehnya tidak diperebutkan/ dikompetisikan. Sekali barang ini

disediakan, maka tidak seorang pun dapat dikecualikan dalam hal akses

untuk memperoleh manfaat yang dimiliki oleh barang tersebut dan seseorang

yang konsumsi barang tersebut tidak akan mengurangi jumlah barang yang

dapat dikonsumsi oleh orang yang lain (Sarah Gillinson, 2004).

Dalam kasus Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan (RW 19

Kampung Karanganyar), collective goods dapat ditemui pada jalan kampung,

sistem pengelolaan sampah dan sanitasi. Latar belakang dari pembentukan

dan kemunculan collective action sangat berkaitan erat dengan pemaknaan

terhadap sampah maupun berbagi aktivitas pengelolaan sampah yang

mempengaruhi konsepsi masyarakat akan sampah sebagai sebuah goods.

Konsepsi tersebut tentu saja berkaitan erat dengan paradigma yang

menjadi landasan berpikir dari masyarakat sekitar kali Code Selatan. Studi ini

akan melihat pergeseran paradigma akan goods yang berpengaruh terhadap

munculnya kolektivitas dalam komunitas urban.

Page 6: Laporan Final

6

1.2 Collective goods sebagai tujuan dari collective action

Masyarakat tidak akan mengikuti sebuah kelompok dan bertindak

secara kolektif jika hal tersebut tidak akan lebih efektif untuk memperoleh

keuntungan bagi dirinya jika dibandingkan dengan apa yang diperoleh

kelompok dari dirinya. Keuntungan bagi anggota kelompok dapat berupa

collective (atau public) goods.

Mancur Olson Jr. menulis tentang bagaimana kelompok terbentuk.

Olson menyelidiki insentif-insentif dan disinsentif-disinsentif ekonomi untuk

pembentukan kelompok, kesimpulan yang ia dapatkan, yaitu individu

bertindak dalam sebuah prilaku self-interest yang mempengaruhi

keinginan untuk bekerja guna mencapai sebuah collective good.

Teori Collective action yang diperkenalkan oleh Mancur Olson Jr.

berangkat dari sudut keilmuan ekonomi, sehingga tidak mengherankan bila

logika collective action sangat kental dengan tolak ukur secara ekonomi,

seperti efesiensi, efektifitas, atau memiliki sudut pandang yang sangat

individual dengan mengedepankan self-interest (Bruce M. Sabin

Http://www.web.syr.edu/~bllichte/review1.html).

Olson melalui Logic of Collective action berusaha untuk menjelaskan

bahwa orang selalu berusaha untuk memaksimalkan pencapaian

kepentingan individunya melalui cara-cara yang rasional. Rasionalitas itu

terlihat dalam sebuah tindakan kolektif, dimana orang bertindak secara

kolektif ketika ia berpikir bahwa dengan bertindak secara bersama-sama,

maka peluang untuk mencapai tujuannya akan lebih besar. Dengan

demikian, tujuan kelompok sinergis dengan pencapaian individual yang

diinginkan anggotanya (Brooke Lichtenstein, 2005 Http://www.

web.syr.edu/~bllichte/review1.html).

Kolektifitas dibentuk untuk ”membawa kepentingan” dari para

anggota kelompoknya. Secara logis, seseorang akan mengikuti sebuah

kelompok hanya jika kelompok tersebut memberikan keuntungan bagi

individu tersebut ketika ia memutuskan untuk mengikuti organisasi

tersebut.

Page 7: Laporan Final

7

Tindakan kolektif menurut Olson dapat digambarkan dalam bentuk

kelompok yang dibagi ke dalam 3 kategori, yaitu kecil, menengah, dan

besar (Lars Udehn, Op. cit, Hal. 240).

1. Kelompok kecil atau priveledged memiliki sejumlah karakteristik, yaitu:

pertama, free riding bukanlah permasalahan dalam kelompok jenis ini

karena anggotanya yang sedikit. Kedua, setiap anggota memiliki

insentif untuk memperoleh collective goods yang disediakan. Dan

ketiga, ada insentif sosial pada pekerjaan, seperti persahabatan, status

sosial, prestise, dan lain-lain.

2. Kelompok menengah, memiliki digambarkan sebagai kelompok dimana

tidak ada satu pun anggota yang cukup beruntung untuk memasok

collective good untuk kelompok, tetapi tidak cukup besar untuk

membiarkan seorang free rider tidak teridentifikasi.

3. Kelompok besar atau latent digambarkan dengan cir-ciri: pertama,

keuntungan individu, secara pasti, terlalu rendah dan biaya organisasi

terlalu tinggi untuk collective action menjadi mungkin. Kedua, free riding

mendominasi kerjasama. Kelompok besar, dengan demikian

bergantung kepada selective incentives, seperti langganan jurnal atau

asuransi, atau kelompok tergantung pada kekuatan pemaksa, dengan

maksud untuk mengamankan dukungan.

Individu memutuskan dirinya untuk masuk ke dalam sebuah

kelompok atau komunitas, sebagaimana yang telah dijelaskan

sebelumnya, tentu dimotivasi oleh efektifitas dan efesiensi langkah dalam

mencapai apa yang menjadi tujuannya secara pribadi.

Untuk bertindak secara kolektif, terkadang membutuhkan pemantik

untuk mendorong masyarakat agar mau bertindak secara kolektif.

Masyarakat diantaranya mau bertindak secara kolektif karena dorongan

yang bersifat rasional, seperti selective incentive, atau terkadang orang

bertindak secara kolektif karena keberadaan coercion, seperti hukum

menghendaki keanggotaan dalam perkumpulan atau dengan kata lain

tindakan kolektif dapat terbentuk karena adanya otoritas yang dapat

Page 8: Laporan Final

8

melakukan pemaksaan (coecion) sehingga tindakan kolektif dapat

diwujudkan.

Sebagai hasilnya, kelompok-kelompok membutuhkan penggunaan

insentif dan coercion (paksaan) untuk menarik anggota. Selective

incentive merupakan segala sesuatu yang dapat memotivasi seorang

individu untuk mengikuti organisasi. Selective incentive merupakan

pengeluaran sampingan yang dirancang untuk mengontrol free-riding dan

mendorong pihak-pihak lain untuk ambil bagian dalam sebuah tindakan

yang bersifat kolektif. Selective incentive adalah sesuatu yang diinginkan

oleh banyak orang, akantetapi hanya dapat diperoleh melalui keanggotaan

dalam sebuah kelompok. Selective incentive dapat berupa penyiapan

asuransi, langganan majalah atau jurnal, atau tekanan sosial (Bruce M.

Sabin Http://www.web.syr.edu/~bllichte/review1.html).

2. Partisipasi

Dalam sebuah tindakan kolektif, salah satu aspek yang penting

adalah partisipasi individu dalam sebuah kelompok atau komunitas.

Mikkelsen mengidentifikasi paling tidak ada 6 tafsiran dan makna yang

berbeda mengenai partisipasi, yaitu:1

1. Partisipasi sebagai kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek

tanpa ikut serta dalam pengambilan keputusan.

2. Partisipasi sebagai usaha membuat masyarakat semakin peka dalam

meningkatkan kemauan menerima dan kemampuan menanggapi proyek-

proyek pembangunan.

3. Partisipasi sebagai proses yang aktif, dimana actor (orang/kelompok)

terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk

melakukan hal itu.

4. Partisipasi sebagai proses pemantapan dialog antara masyarakat

setempat dengan para staf dalam melakukan persiapan, pelaksanaan dan

monitoring proyek, agar memperoleh informasi mengenai konteks local

dan dampak-dampak social.

1 Britha Mikkelsen, Metode Penelitian Parsipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, hal.64.

Page 9: Laporan Final

9

5. Partisipasi sebagai keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam

perubahan yang ditentukannya sendiri.

6. Partisipasi sebagai proses keterlibatan masyarakat dalam pembangunan

diri, kehidupan dan lingkungan mereka.

Banyaknya pemaknaan dari kata partisipasi, sekaligus memperlihatkan

adanya pemahaman yang berbeda atas kedalaman partisipasi. Bagi sebagian

orang, terlibat hanya pada tataran pelaksanaan program (dalam konteks

pembangunan) sudah dapat dikatakan partisipasi, namun bagi sebagian yang

lain partisipasi berarti terlibat sejak tahap perencanaan. Pemaknaan ini

kemudian menyebabkan partisipasi masyarakat ada yang disebut dengan

partisipasi parsial dan partisipasi prosesional. Yang disebut kedua

memaksudkan partisipasi sebagai hal yang harus diikuti sebagai keseluruhan

proses, dari awal hingga akhir, dan bukan hanya sebagian (parsial) (Soetomo,

2006: 440).

Definisi partisipasi yang lain juga dibuat berdasarkan seberapa dalam

partisipasi, yaitu: (Mikkelsen, 1999: 66)

1. Partisipasi instrumental terjadi ketika partisipasi dilihat sebagai suatu cara

untuk mencapai sasaran tertentu – partisipasi masyarakat setempat

dalam proyek-proyek yang dilakukan oleh orang luar

2. Partisipasi transformasional terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya

sendiri dipandang sebagai tujuan, dan sebagai sarana untuk mencapai

tujuan yang lebih tinggi lagi, misalnya menjadi swadaya dan dapat

berkelanjutan.

Sedangkan Soetomo mengartikan partisipasi sebagai keterlibatan

masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh

determinasi dan kesadarannya tentang arti keterlibatannya tersebut. Apabila

yang muncul hanya unsur keterlibatan dan tidak dodirong oleh determinasi

dan kesadaran, hal tersebut tidak masuk dalam kategori partisipasi melainkan

lebih tepat disebut sebagai mobilisasi. (Soetomo: 2006, 439—440).

Sebagaimana yang dicantumkan dalam “Merajut Good Governance dalam

Penyelenggaraan Pemerintah Daerah” bahwa partisipasi harus memenuhi

unsur keterwakilan dan keterlibatan. Untuk mendukung hal tersebut,

diperlukan adanya suatu pengorganisasian keterlibatan dengan menyatukan

Page 10: Laporan Final

10

keterlibatan tersebut dalam proses pengambilan keputusan bersama yang

terstruktur. Semua pihak harus berpartisipasi secara sadar, bertemu untuk

membangun kolaborasi yang terstruktur dan merencanakan proses secara

bersama. (Dardias Kurniadi (et.al), 2006)

Pada tataran ideal, keterlibatan masyarakat dalam pembangunan pasti

akan menghasilkan pembangunan yang merata, tepat sasaran, dan

substansial. Apalagi era otonomi telah memberikan keleluasaan bagi daerah

untuk mengatur sendiri pembangunannya, sehingga partisipasi masyarakat

dapat dimungkinkan lebih mudah. Conyers mengemukakan ada lima cara

untuk mewujudkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu:2

1. Survai dan konsultasi local untuk memperoleh data dan informasi yang

diperlukan;

2. Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melaksanakan tugasnya

sebagai agen pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang

dibutuhkan dalam perencanaan;

3. Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang

yang semakin besar pada masyarakat untuk berpartisipasi;

4. Perencanaan melalui pemerintah local dan menggunakan strategi

pengembangan komunitas (community development).

Dalam kasus yang dibahas kali ini, partisipasi yang muncul diprakarsai

oleh sebagian masyarakat yang kemudian menularkannya pada masyarakat

lain, sehingga apa yang disebut pembangunan partisipatif dapat dicapai.

3. Manajemen Jaringan

Dalam aksi kolektif pada studi kasus ini, berkaitan erat dengan strategi

berjejaring yang mendukung misi meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pengelolaan collective goods di komunitas mereka.

Adapun Management Jaringan didefinisikan oleh Klijn & Koppenjan

(2000), dalam karyanya Public Management and Policy Networks sebagai

sebuah metode untuk:

2 Diana Conyers, Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994, hal.156.

Page 11: Laporan Final

11

1. Mengelola sumberdaya bersama (Common Pool Resources);

2. Antar pelaku yang otonom (rational actor);

3. Agar tercapai titik maksimal kemanfaatan bersama (collective gain);

4. yang secara berkesinambungan mampu menjaga ketaatan kerjasama

(cooperate);

5. dan menghindari kerusakan kerjasama (defect);

Sedangkan cakupan management jaringan terdiri dari Inisiasi Jaringan;

Formasi Jaringan; Perawatan & Pengembangan Jaringan. Pola berjejaring

dalam aksi kolektif pada penelitian ini, dapat dilihat dengan teori strategi

management jaringan dalam logika strukturisasi Gidden. Untuk lebih mudah

memahimanya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang lebih menitikberatkan

untuk memahami dan menjelaskan situasi tertentu, bukan hanya mencari

sebab akibat dari fenomena yang diteliti. Metode ini kami pilih karena kami

Page 12: Laporan Final

12

rasa adalah metode yang paling sesuai untuk memahami dan menjelaskan

situasi dan fenomena yang akan kami temukan di lapangan nantinya.

Temuan-temuan di lapangan pada saat penelitian sangat berguna bagi kami

mengeksplorasi hubungan-hubungan sosial dan politik seperti yang dialami

oleh responden dan lingkup penelitian kami. Kami menggunakan metode ini

juga karena metode ini lebih mengutamakan kualitas analisa dan bukan pada

data yang bersifat statistik.

Jenis metode kualitatif yang kami pergunakan adalah penelitian

deskriptif karena dengan memaparkan memaparkan keadaan berdasarkan

temuan-temuan lapangan yang akan kami dapat dari responden akan

membantu kami dalam memecahkan masalah penelitian.

Model penelitian deskriptif yang kami pergunakan adalah studi kasus.

Bantaran Kali Code Selatan yang merupakan kawasan operasional FKMCS

kami nilai sebuah kasus menarik dan khas yang berbeda dengan lingkup

penelitian pada umunya. Hal-hal yang dapat membuat kasus ini khas antara

lain adalah setting masyarakat yang merupakan masyarakat urban yang

berusaha menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang melekat pada diri

mereka secara mandiri. Dengan mempelejari kasus khas ini secara fokus,

kami harapa dapat mempelajari permalasahan penelitian secara mendalam.

2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, akan dilacak mengenai sebab-sebab terbentuknya

collective action di Bantaran Kali Code Selatan tepatnya RW 19 Kampung

Karanganyar, serta pengorganisasian dan jaringan yang dilakukan oleh

Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS). Selanjutnya, akan

dilacak secara spesifik mengenai bentuk partisipasi masyarakat dalam

perencanaan pembangunan partisipatif di Code Selatan.

Data diperoleh dari dua sumber, yaitu sumber primer dan sekunder.

Data primer diperoleh melalui indepth interview (wawancara mendalam)

dengan narasumber :

Anggota maupun tokoh di Forum Komunikasi Masyarakat Code

Selatan (FKMCS) yaitu Bapak Suwandi (Ketua RW 19 dan

Koordinator FKMCS), Bapak Jumiyo (Sekretaris FKMCS), dan

Bapak Taryono (Seksi Penghijauan dan Pembangunan FKMCS).

Page 13: Laporan Final

13

Warga di RW 19 (Bapak Sartono, Bapak Supardi, Ibu Sariya, Ibu

Mima, Ibu Suyatni)

Ketua Pemuda Kampung Karanganyar (Sdr. Guntur).

Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku, literatur ilmiah,

jurnal, koran maupun majalah yang berkaitan dengan rumusan masalah yang

akan dikaji. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik dokumentasi data.

Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan melalui observasi yakni

cara mengumpulkan data yang dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan

gejala-gejala yang tampak pada obyek peneitian yang pelaksanaannya

langsung pada tempat dimana suatu keadaan atau situasi sedang terjadi

(Hadari Nawawi, 1992). Menjadi penting bagi peneliti untuk melakukan

pengamatan secara langsung di Code Selatan terutama dalam kegiatan-

kegiatan FKMCS untuk mengetahui kondisi nyata dari subjek penelitian.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di perkampungan bantaran kali Code Selatan

yakni sekitar Kecamatan Brontokusuman dan daerah Mergangsan Kota

Jogjakarta yang merupakan tempat berkembangnya Forum Komunikasi

Masyarakat Code Selatan (FKMCS)

4. Kerangka Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengatur urutasn data,

mengorganisasikannya ke dalam suatu bentuk, kategori, dan satuan-satuan

uraian dasar. Kemudian data tersebut dikelompokkan, selanjutnya dilakukan

cross check untuk melihat validitas data yang terkumpul. Dari data yang

dikumpulkan, akan disajikan secara time series.

Berikut ini adalah rincian prosedur analisis data dalam penelitian ini:

1. Peneliti mengumpulkan dara primer melalui wawancara dengan

narasumber dan data sekunder.

2. Penilaian data berpegang pada prinsip validitas, reliabilitas, dan otentitas

sehingga data yang relevan saja yang digunakan.

Page 14: Laporan Final

14

3. Menafsirkan dan mengainterpretasi data. Peneliti berusaha untuk

meafsirkan dan menginterpretasi data, kemudian peneliti berusaha

menganalisisnya dengan menggunakan perspektif berbekal teori yang

dipakai dalam penelitian ini.

4. Penarikan kesimpulan dilakukan setelah semua data yang diperlukan

terkumpul, dinilai, diolah, dan ditafsirkan melalui penganalisaan, sehingga

dapat ditarik kesimpulan.

F. Sistematika Penulisan

Pada Bab I (Pendahuluan), terdapat uraian mengenai latar belakang studi

ini yang dirumuskan dalam sebuah pertanyaan penelitian, ”Bagaimana bentuk

collective action yang dilakukan oleh Forum Komunikasi Masyarakat Code

Selatan (FKMCS) dalam perencanaan pembangunan partisipatif di Bantaran Kali

Code Selatan Kota Jogjakarta?” . Selain itu juga memuat tujuan penelitian;

kerangka teori yang mencakup teori mengenai collective goods, collective action,

manajemen jaringan, dan partisipasi; serta metode penelitian yang digunakan

dan sistematika penulisan.

Bab II memuat tentang profil dan kegiatan Forum Komunikasi Masyarakat

Code Selatan (FKMCS). Bagian ini menjelaskan seting waktu dan tempat yang

menjadi lokasi penelitian kami mencakup sejarah, tujuan dan sasaran, serta

pertemuan yang dilakukan oleh FKMCS.

Bab III adalah pembahasan mengenai analisis hasil temuan penelitian

yaitu bentuk aksi kolektif dalam pengelolaan collective goods pada FKMCS. Di

dalamnya mencakup: a. Strategi Menggerakkan Masyarakat Dalam Pengelolaan

Kebersihan Lingkungan sebagai Collective Goods; b. Manajemen Jaringan ala

FKMCS; c. Melawan Rasionalitas Individu dalam Pengelolaan Kebersihan

Lingkungan Sebagai Sebuah Collective Goods; d. Collective Action yang

Berimbas pada Rekonsiliasi Konflik.

Bab IV memuat analisis hasil studi yakni FKMCS sebagai bentuk

collective action yang mendorong pembangunan partisipatif. Di dalamnya

mencakup: a. FKMCS sebagai bentuk dan pendorong partisipasi masyarakat

dalam pembangunan kampung; b. FKMCS mendorong partisipasi warga yang

lebih luas dalam pembangunan kampung; c. Proses belajar sosial warga code

selatan.

Page 15: Laporan Final

15

Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan mengenai bentuk collective

action pada Forum Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS) dan

kontribusi akademik atas studi ini.

Page 16: Laporan Final

16

Bab II PROFIL DAN KEGIATAN FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT CODE

SELATAN (FKMCS)

A. Sejarah

Sekitar tahun 2000, kondisi lingkungan Kampung Karanganyar terutama

RW 19 dan 18 di pinggir Kali Code masih sangat kumuh dan kotor. Masyarakat

salah kaprah dalam memaknai pepatah “pakakno asu – asune mati – buangen

kali”.3 Selain itu, Karanganyar masih dikenal sebagai daerah Gali, Maling, Gentho

(istilah untuk menyebut preman dan pencuri), yang membuat kampong tersebut

menjadi rawan tindak kriminal.

Pengurus kampong kemudian menginisiasi pembangunan Tempat

Pembuangan Sementara (TPS) pada tahun 2001-2002. Hal ini seakan menjadi

penanda awal kemunculan kesadaran warga untuk menjadikan kampong lebih

baik di kemudian hari. Dibuktikan dengan dibuatnya beberapa perencanaan

pembangunan wilayah Code Selatan dalam kurun waktu 5 tahun ke depan.

Pada tahun 2003, masyarakat memutuskan untuk melakukan studi banding

dengan mengirim perwakilannya ke Jakarta, tepatnya di beberapa wilayah

bantaran kali, termasuk Kali Ciliwung. Namun akhirnya mereka kecewa, karena

merasa tidak tepat melakukan studi banding ke Jakarta, karena justru keadaan

sungai di Jakarta lebih buruk dari yang dibayangkan. Akhirnya sekembalinya dari

Jakarta para pengurus kampong memiliki mimpi yang sama untuk membangun

kawasan Kali Code, khususnya kampong Karanganyar.

Pada tahun selanjutnya, tepatnya tanggal 9 September 2004, Forum

Komunikasi Masyarakat Code Selatan (FKMCS) dikukuhkan. Pembentukkannya

diawali dengan melakukan koordinasi dengan Forum Komunikasi Masyarakat

Code Utara yang sudah terbentuk lebih dahulu. FKMCS sendiri dibentuk sebagai

instrumen untuk membangun bantaran Kali Code Selatan, khususnya relasi

dengan lembaga funding, mengingat sulitnya membangun jaringan bila sarana

dibangun berdasarkan sarana RT atau RW. Yang hadir dalam forum pengukuhan

tersebut adalah perwakilan masyarakat RW 18 dan 19 disertai dengan aparat

pemerintah lain dari kecamatan, pemerintah provinsi, dan perguruan tinggi yang

terdiri dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

3 Berilah makan anjing, jika anjingnya mati buang saja di sungai.

Page 17: Laporan Final

17

Universitas Kristen Duta Wacana, Politeknik Kesehatan, dan Akademi

Perindustrian.

Kegiatan FKMCS dimulai dengan membuat rencana jangka panjang untuk

penataan sungai. Mereka membuat proposal yang diajukan ke Kimpraswil

provinsi. Proyek ini berjangka 5 tahun sejak tahun 2005. Diinisiasi oleh Bapak

Suwandi selaku koordinator FKMCS, proposal pembangunan wilayah disusun,

kemudian dikonsultasikan dengan Tim Konsultan dari perguruan tinggi

diantaranya Poltekkes dan Akprind maupun Konsultan Pembangunan dari CV.

Cipta Andhika. Pemerintah cukup mengadopsi ide-ide pembangunan yang dibuat

oleh FKMCS. Namun masih terdapat kendala birokrasi karena proposal yang

rencananya akan diajukan ke Jakarta secara langsung dari FKMCS kepada

Bappedal Pusat, oleh pemerintah kelurahan diminta mengajukan melalui

mekanisme formal, yaitu melalui RW ke kelurahan (Tim Penggerak Masyarakat),

lalu proposal dikirim ke jakarta melalui Bapedalda Propinsi. Di tahun yang sama

proposal FKCMS disetujui dan mendapat dana Rp138 juta yang akan digunakan

untuk membuat tanggul, paving jalan, dan fasilitas MCK.

Pada tahun 2006 terjadi gempa bumi yang mengakibatkan kerusakan

dalam pembangunan tanggul sehingga estimasi biaya tidak lagi mencukupi jika

membangun dari awal lagi. Atas inisiatif bapak Suwandi yang melakukan

komunikasi dengan Kimpraswil, maka pembangunan tanggul ditunda dan

dialihkan ke pembangunan balai RW yang sampai kini digunakan untuk

melakukan berbagai kegiatan warga. Keberadaan FKMCS lama-kelamaan

mendapatkan sambutan baik oleh pemerintah dengan kesediaan pemerintah

terlibat dalam berbagai forum sarasehan dengan warga masyarakat yang

diselenggarakan oleh FKMCS bekerja sama dengan Bappedalda Provinsi.

Pada tahun 2007 RW 19 masuk 10 besar dalam kejuaraan Green & Clean

dan mendapat donasi sebesar 511 juta Rupiah, dana itu pun dialokasikan untuk

menutup drainase, membuat pagar pengaman dan memperbaiki jalan. FKMCS

juga memotori dibuatnya Gerbang Insan Mandiri yang merupakan sebuah wadah

bagi berbagai kegiatan yang bertujuan untuk peningkatan perekonomian warga di

Kali Code Selatan seperti pembuatan kerajinan dari sampah plastik, dsb. Wadah

berbentuk badan hukum bernama Gerbang Insan Madiri ini dibuat sebagai

terobosan dalam menyelesaikan permasalahan batas administrasi yang sering

menghambat perluasan jaringan apabila wadahnya dibuat berdasarkan wilayah

RW.

Page 18: Laporan Final

18

Saat ini lembaga ini sedang melakukan penguatan jaringan dengan

lembaga-lembaga donor yang akan menyokong pembangunan di kali code

selatan yang mulai sekarang diarahkan ke pembangunan non fisik dengan ke

depannya akan mengadakan berbagai pelatihan untuk peningkatan kualitas SDM

dan pemberdayaan dan peningkatan ekonomi masyarakat.

Pada bulan Juli 2008, dilaksanakan sebuah sarasehan yang menghasilkan

sebuah rumusan program tahun 2008-2009 yaitu pembangunan pagar pinggir

sungai dan paving jalan di wetan kali (sisi timur sungai Code) yang sama sekali

belum tersentuh karena selama ini pembangunan dilaksanakan di kulon kali.

B. Sasaran dan Tujuan FKMCS

a. Perubahan-perubahan yang dikehendaki oleh forum ini adalah perubahan

perilaku masyarakat menjadi tidak lagi membuang sampah di sungai yang

didukung dengan perubahan penataan lingkungan fisik. Selain itu, upaya-

upaya yang dilakukan adalah untuk meningkatkan perekonomian warga

kampung melalui peningkatan kualitas SDM. b. Dalam jangka panjang akan mewujudkan Kali Code Selatan sebagai sebuah

sentra industri kecil dan obyek wisata. C. Pertemuan yang dilakukan FKMCS

Beberapa forum pun dibuat sebagai sarana dialog antara masyarakat dan

para akademisi serta pejabat terkait untuk mendiskusikan pembangunan

kawasan code selatan diantaranya Forum sarasehan yang diadakan sekali dalam

setahun yang dihadiri oleh berbagai unsur diantaranya masyarakat setempat,

pejabat Bapedalda (Badan pengendalian, dampak Lingkungan Daerah) Provinsi

DIY dan unsur mahasiswa dalam hal ini dari Poltekkes.

Forum ini dibuat untuk menampung pendapat masyarakat guna

menumbuhkan rasa kepemilikan masyarakat untuk bersama-sama membangun

kawasan kali code yang dapat dikatakan sebagai forum curhat warga terhadap

permasalahan-permasalahan lingkungan mereka. Dalam forum ini terjadi transfer

informasi dan ilmu antara masyarakat dan Tim Konsultan dari perguruan tinggi

dan Bapedalda sehingga mereka lebih bisa menemukan konsep permasalahan

dan penyelsaiannya secara bersama-sama.

Page 19: Laporan Final

19

Bab III

AKSI KOLEKTIF DALAM PENGELOLAAN COLLECTIVE GOODS

PADA FKMCS

A. Strategi Menggerakkan Masyarakat Dalam Pengelolaan Kebersihan Lingkungan sebagai Collective Goods

Membumikan isu kebersihan lingkungan tidak mudah dilakukan di bantaran

kali Code Selatan dengan segala kesemrawutan dan masalah yang ada, apalagi

hanya dimotori oleh beberapa orang saja. Pekerjaan tersebut tambah sulit ketika

menghadapi warga yang kompleks dan kurang mendapatkan respon karena

bukan orang asli daerah tersebut. Hal tersebut adalah yang dialami oleh para

penggerak dan aktivis lingkungan Code Selatan.

Respon masyarakat awalnya menentang terhadap pembentukan dan

perubahan yang akan terjadi. Misalnya dulu mereka tinggal membuang sampah

atau membuang hajat di sungai, sehingga pada awalnya mereka menolak untuk

membuang sampah pada tempatnya bahkan harus memisah-misah sampah

untuk dapat diolah lagi atau untuk membuang hajat di tempat MCK yang

disediakan.

Berbagai bentuk resistensi dilakukan oleh salah satu golongan pemuda,

yaitu yang menamakan diri mereka kelompok AMPERA (Angakatan Muda

Pejuang Rakyat-semacam genk lokal). Kelompok pemuda ini berhasil

memprovokasi warga yang tinggal di bantaran kali yang nota bene sangat sensitif

terhadap kata-kata “penggusuran” atau “penataan”. Mereka mengira bahwa

perbaikan lingkungan yang akan dilakukan adalah dengan menyingkirkan

keberadaan rumah-rumah liar atau menganggu eksistensi mereka. Untuk

masyarakat dengan taraf pendidikan dan ekonomi yang relatif rendah tersebut

susah untuk membayangkan mengenai pembangunan kawasan kumuh tersebut,

“mung kali wae kok diurusi”4, kata-kata tersebut sering terdengar dari mulut

warga yang protes mengenai perbaikan keadaan lingkungan yang akan

dilaksanakan.

Setelah mengalami bentrok dan tekanan dari beberapa warga selama

beberapa waktu akhirnya diambil langkah untuk memasukkan aktor penting

4 Cuma sungai saja diperhatikan. Wawancara dengan Guntur, ketua Pemuda Kampung Karanganyar pada 5 September 2008

Page 20: Laporan Final

20

dalam “pemberontakan” tersebut ke dalam proses perencanaan oleh FKMCS.

Pemuda akhirnya dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan aspirasi mereka

diakomodasi melalui program-program FKMCS yang akan dilaksanakan. Pemuda

dijadikan salah satu rekan FKMCS dalam membumikan isu yang mereka usung.

Berbagai program telah dilaksanakan dalam rangka mempromosikan citra baru

bantaran Kali Code Selatan yang akan dibangun.

Sebagai contoh adalah program pembuatan taman yang digawangi oleh

pemuda. Taman-taman ini selain berfungsi memperindah kampung juga terdapat

pesan moral yang terdapat di dalamnya. Di samping taman tersebut diletakkan

tong sampah untuk 3 jenis sampah (sampah organic, sampah plastic, dan kaca)

yang dicat bagus oleh pemuda. Selain itu, pemuda juga mendapatkan tempat

bermain sepak takraw di pinggir kali Code untuk semakin menyemarakkan

suasana pinggir kali. Promosi terhadap suasana baru bantaran kali ini juga

didukung dengan dilewatkannya rute lomba jalan sehat di sepanjang bantaran ini

dan diadakannya lomba pengamen grup kampung masa depan kota.

Selain menggaet pemuda dari berbagai golongan, strategi lain dalam

merubah pikiran warga adalah dengan memperlihatkan hasil yang teah

direncanakan dan disosialisasikan kepada warga. Pada akhirnya setelah

masyarakat melihat hasilnya, seperti lingkungan yang jadi lebih bersih setelah di

paving, tempat MCK yang bersih, dan manfaat lain yang dirasakan, mereka

perlan-lahan mendukung bahkan mulai melakukan usul-usul untuk membangun

yang lain. Golongan-golongan yang mulanya menentang kini perlahan-lahan

mulai mendukung dan memiliki rasa kepemilikikan yang tinggi terhadap kampung

mereka yang mulai bersih dan rapi.

Secara sosial, dengan lingkungan yang lebih tertata, kualitas hubungan

masyarakat semakin membaik dan citra kampung gali, maling, dan gentho

beserta permasalahan yang ditimbulkannya dengan banyaknya pendatang yang

keluar-masuk kampung sesuka hati semakin berkurang. Karena tertib kebersihan

lingkungan juga dibarengi dengan tertib administrasi kependudukan, sehinga

masyarakat memiliki rasa memiliki terhadap lingkungannya dan menjadi lebih

solid. Kontrol sosial yang tercipta di tengah masyarakat RW 18-19 membuat

kualitas lingkungan di sana juga semakin membaik. Berangsur-angsur kini

kesadaran masyarakat mengenai kemanan semakin tinggi seiring dengan

perkembangan pembangunan Kali Code.

Page 21: Laporan Final

21

B. Manajemen Jaringan Ala FKMCS

Pada titik inilah akhirnya FKMCS dituntut untuk dapat berjejaring dengan

tujuan merubah kondisi Masyarakat dan melakukan pembangunan Fisik

lingkungan code selatan yang akhirnya bermuara pada meningkatnya partisipasi

masyarakat setempat dalam membangun kawasan code selatan. Hal ini

dilakukan untuk mencapai tujuan jangka panjang yaitu mewujudkan Kali Code

Selatan sebagai sebuah sentra industri kecil dan obyek wisata

Dalam kasus code selatan, dan kaitannya dengan misi meningkatkan

partisipasi masyarakat dalam membangun wilayah code selatan, terdapat temuan

bahwa FKMCS melakukan beberapa aksi jejaring. Pola berjejaring dalam aksi

kolektif pada penelitian ini, dapat dilihat dengan teori strategi management

jaringan dalam logika strukturisasi Gidden.

Dalam level presepsi, FKMCS dihadapkan pada struktur masyarakat yang

memiliki framing yang buruk terhadap kebersihan sungai dan bantarannya,

sehingga kunci sukses bagi mereka untuk membuat masyarakat berpartisipasi

dalam rangka mencapai tujuan FKMCS adalah mengubah Frame atau melakukan

reframing pola pokir dan kebiasaan buruk masyarakat tersebut. FKMCS (pada

Page 22: Laporan Final

22

tahap ini masih merupakan kelompok masyarakat yang akhirnya melahirkan

FKMCS) berusaha menggunakan strategi game management.

Pertama mereka melakukan covenanting, yakni mengeksplorasi persamaan

dan perbedaan antar aktor, dan menjajaki guna menyelaraskan tujuan bersama,

hal ini akhirnya terbukti berhasil, masyarakat yang akhirnya tersadar akan tujuan

bersama untuk code yang lebih baik walau jumlahnya masih sedikit mereka

membentuk FKMCS pada tanggal 19 September 2004, setelah terlebih dahulu

mereka melakukan studi banding ke Jakarta guna melihat keadaan bantaran

sungai yang justru lebih memprihatinkan.

Tahap berikutnya yang mereka lakukan adalah apa yang disebut selective

de activation yakni memobilisasi aktor yang miskin sumber daya, dan

mendemobilisasi aktor yang kaya akan sumber daya. Hal ini kita gambarkan pada

saat FKMCS, menjalin hubungan atau berjejaring bersama actor-aktor yang

punya maksud dan tujuan yang sama, diantaranya Lembaga Donor, Bapedalda

Provinsi DIY, serta para akademisi dari dunia kampus yang memiliki konsentrasi

masalah lingkungan. Dengan kemampuan pembuatan proposal yang baik dan

jalilinan kerja sama yang kuat, FKMCS berhasil membuat infrastruktur

pembangunan di bantaran kali code selatan misalnya paving block, pagar taman,

MCK, dan taman bermain. Hal ini akhirnya melahirkan interaksi antar aktor/

kelompok.

Dengan adanya infrastrukur tersebut membuat masyarakat code selatan,

yang tadinya acuh tak acuh, menjadi “ngopeni” dan tertarik dalam proses

pengadaan dan penjagaan infrastruktur. Hal ini sedikit demi sedikit mampu

“mereframing” cara pandang masyarakat akan kebersihan sungai. Dalam konteks

network structuring hal ini berarti FKMCS telah berhasil dalam melakukan

manajement jaringan.

Dampaknya adalah partisipasi masyarakat semakin meningkat. .Jika

ditinjau dari sudut pandang manajement jaringan seperti dalam tabel diatas

disebut network de activation, dan hal ini sudah cukup menjelaskan bagaimana

management jaringan ala FKMCS digunakan untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat yang akhirnya meningkatkan partisipasi pembangunan.

Page 23: Laporan Final

23

C. Melawan Rasionalitas Individu dalam Pengelolaan Kebersihan Lingkungan Sebagai Sebuah Collective Goods

Untuk mensosialisasikan sebuah isu kebersihan lingkungan di bantaran kali

ini membutuhkan waktu yang cukup lama, paling tidak sampai sekarang sudah

terhitung 4 tahun sejak berdirinya FKMCS. Isu yang mulanya hanya difikirkan

oleh perseorangan warga akhirnya dapat terkomunikasikan dengan baik. Hal ini

membutuhkan taraf pendidikan yang tinggi untuk dapat merumuskan sebuah

perencanaan masa depan kampung pinggiran Kali Code Selatan. Tak masalah

bagi para aktor penggerak ini untuk mendapatkan dana dari pemerintah karena

jaringan yang sudah terjalin seleumnya dan kesempatan yang dibuka oleh

pemerintah akan perencanaan pembangunan partisipatif dengan adanya alokasi

anggaran untuk itu.

Sungai yang penuh dengan sampah, lingkungan yang kumuh, dan kondisi

sosial yang rawan kriminalitas dan segregasi sosial menjadi sebuah ancaman

bersama bagi warga bantaran Kali Code Selatan ini. Aktifitas masyarakat yang

rasional seperti membuang sampah sembarangan, tidak mempergunakan MCK,

persaingan antar kelompok masyarakat, dan sebagainya yang membuat

kemiskinan selalu melanda kawasan ini merupakan sebuah potensi akan

kehancuran bersama (tragedy of the common). Isu akan kebersihan lingkungan

yang ditularkan dari satu individu ke individu lain mampu membuat rasionalitas

individu berkurang dan mampu bekerja sama melawan kemiskinan dan

kekumuhan yang akhirnya hal ini menjadi isu yang diusung bersama. Isu tersebut

akhirnya menjadi sebuah collective good yang harus mereka pelihara bersama.

Di sisi lain, seperti yang dikatakan oleh Olson, warga memiliki self interest

terhadap perilaku mereka sehari-hari. Akan tetapi di sini FKMCS telah berhasil

mengubah sampah yang harus dibuang menjadi sumber ekonomi baru warga

dengan daur ulang sampah plastik menjadi barang-barang kerajinan. Semangat

warga terhadap orientasi ekonomi secara bersama ini cukup berhasil dala

mengurangi beban masalah sampah Pemerintah Kota Yogyakarta dan berhasil

menumbuhkan kawasan kumuh ini embrio sentra industri kecil yang berjaringan

internasonal. Beberapa bukti nyata ini sejajar dengan self interest warga

sehingga mendapatkan dukungan penuh dari semua warga.

Berbagai macam komunikasi, penjelasan, pertemuan-pertemuan warga

telah dilakukan demi terbentuknya jaringan yang kuat di kalangan warga. Upaya

ini sampai saat ini telah membuahkan hasil berupa aksi kolektif yang diinisiasi

Page 24: Laporan Final

24

oleh warga untuk kemajuan kawasan mereka. Rangkaian usaha mereka telah

menghasilkan sebuah collective action yang menolak kemiskinan dan

kekumuhan. Adanya collective action ini telah mendorong adanya sebuah usaha

untuk melaksanakan perencanaan pembangunan dari, oleh, dan untuk warga

demi mewujudkan impian warga tentang kampung mereka.

D. Inovasi Lokal dalam Mengatasi Masalah Perkotaan

Pelaksanaan pembangunan di bantaran Kali Code Selatan ini bisa

dianggap berhasil, terutama dalam mengatasi problem perkotaan seperti tempat

kumuh dan kemiskinan. Kesempatan yang dibukakan oleh pemerintah dalam

melaksanakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan warga telah memberikan

peranan penting dalam keberhasilan perencanaan pembangunan kawasan

bantaran kali ini. Perencanaan pembangunan partisipatif ini terbukti telah mampu

menyelesaikan masalah lokal di mana pemerintah belum tentu dapat

menyelesaikan permasalah-permasalahan yang ada di setiap wilayah, terutama

wilayah sub urban yang sulit untuk ditata seperti bantaran Kali Code Selatan.

Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan partisipatif

seperti di Code ini justru cukup tinggi. Selain karena orientasi ekonomi seperti

yang dijelaskan sebelumnya, lingkup wilayah yang cukup sempit, rasa

kepemilikan wilayah yang relatif besar, dan berhasilnya sosialisasi collective good

membuat keterlibatan amsayrakat dalam perencanaan pembangunan cukup

besar. Akan tetapi, keterwakilan warga dalam FKMCS masih minim karena masih

terdapat bias elit dan bias pendidikan tinggi dalam kepengurusannya.

E. Collective Action yang Berimbas pada Rekonsiliasi Konflik

Adanya berbagai macam kelompok masyarakat di kampung ini bukanlah

sebuah hal yang aneh bagi sebuah kawasan sub urban yang memiliki sejarah

pembentukan kampung yang panjang. Kelompok-kelompok masyarakat seperti

yang sudah diungkapkan dalam beb sebelumnya ini telah menimbulkan

segregasi social dan kriminalitas yang rawan yang tak mudah untuk dihilangkan

oleh pemerintah dengan otoritasnya untuk menangani permasalahan ini.

Pemerintah, dalam hal ini pemerintah provinsi DIY maupun pemerintah Kota

Yogyakarta kurang maksimal 2dalam melaksanakan tugasnya sehingga berbagai

Page 25: Laporan Final

25

permasalahan masih tersisa dan akhirnya menjadi sebuah rahasia umum atau

sebuah kebiasaan yang mendapatkan pemakluman dari semua pihak.

Forum-forum pertemuan warga seperti pertemuan RT, RW, PKK, pemuda,

pertemuan-pertemuan insidental lain, dan berbagai komunikasi lain yang

membahas perencanaan kampung telah menjadi sebuah cross cutting afiliation

untuk bertemunya para kelompok masyarakat dengan ego dan kepentingannya

masing-masing. Interkasi-ineraksi yang terjadi di antara kelompok masyarakat ini

sedikit-demi sedikit telah mencair dari pada sebelumnya, di mana hubungan antar

kelompok ini sebelumnya mengalami ketegangan. Ketegangan yang sudah

berkurang ini diindikasikan dengan diakomodasinya kepentingan berbagai

kelompok seperti pemuda (yang dalam kata “pemuda” sendiri di dalamnya

terkandung bermacam-macam kelompok, yaitu kelompok preman dan remaja

masjid), ibu-ibu PKK, dan lansia. Konflik yang terdapat di antara kelompok ini

sedikit demi sedikit mengalami penurunan karena berbagai interaksi yang mereka

jalani selama ini dalam rangka perencanaan kampung.

Page 26: Laporan Final

26

BAB IV

FKMCS SEBAGAI BENTUK COLLECTIVE ACTION

YANG MENDORONG PEMBANGUNAN PARTISIPATIF

A. FKMCS Sebagai Bentuk Dan Pendorong Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Kampung

Telah dibahas sebelumnya, bagaimana pengelolaan collective goods yang

dilakukan dengan cara collective action. Secara langsung atau tidak, aksi kolektif

dalam pembangunan yang menuntut keterlibatan akan menyebabkan

pembangunan partisipatif. Sehingga negara demokratis yang menyaratkan

partisipasi masyarakat dapat dicapai.

Partisipasi yang asli datang dari inisiatif masyarakat sendiri dan merupakan

tujuan dari proses demokrasi. (Mikkelsen, 1999: 65). Forum Komunikasi Code

Selatan yang dibentuk pada tahun 2004 merupakan sebuah hasil dari

kegelisahan sebagian warga melihat lingkungan kampung yang kumuh dan

pembangunan yang berjalan lambat. Pembangunan yang partisipatif memang

harus dimulai oleh orang-orang yang paling mengetahui tentang system

kehidupan mereka sendiri. 5 Inisiator FKMCS kemudian menjadi embrio dari

pembangunan partisipatif yang dilaksanakan oleh masyarakat Code Selatan.

FKMCS dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk partisipasi masyarakat

untuk terlibat dalam pembangunan. Hal ini ditunjukkan oleh motif pembentukkan

forum komunikasi ini, yaitu mengubah perilaku masyarakat untuk tidak lagi

membuang sampah di sungai yang didukung dengan perubahan penataan

lingkungan fisik dan berusaha untuk meningkatkan perekonomian warga

kampong untuk meningkatkan kualitas SDM. Motif jangka panjangnya adalah

untuk mewujudkan Kali Code Selatan sebagai sentra indutri kecil dan obyek

wisata.

Dari motif yang mewarnai pembentukkan FKMCS tergambar jelas bahwa

masyarakat Code Selatan berkeinginan penuh untuk terlibat dalam perbaikan

kampong. Baik itu perbaikan fisik, maupun perbaikan ekonomi warga. Karena

sebagian warga (inisiator FKMCS) telah menyadari bahwa perubahan suatu

5 J. Pretty dan Guijt, “Primary Enviromental Care: An Alternative Paradigm for Development Assitance”, dalam Enviroment and Urbanization, Vol.4, No. 1, 1992, hal. 23.

Page 27: Laporan Final

27

lingkungan harus melibatkan orang yang ada di dalamnya, dalam konteks ini,

warga Kali Code Selatan itu sendiri.

B. FKMCS Mendorong Partisipasi Warga Yang Lebih Luas Dalam Pembangunan Kampung

Kesadaran memang merupakan unsur penting dari partisipasi. Jika

partisipasi dilakukan tanpa kesadaran, maka tidak dapat disebut partisipasi.

Seperti yang dikatakan oleh Soetomo bahwa partisipasi adalah keterlibatan

masyarakat dalam suatu proses pembangunan yang didorong oleh determinasi

dan kesadarannya tentang arti keterlibatannya tersebut. Apabila yang muncul

hanya unsur keterlibatan dan tidak dodirong oleh determinasi dan kesadaran, hal

tersebut tidak masuk dalam kategori partisipasi melainkan lebih tepat disebut

sebagai mobilisasi. (Soetomo: 2006, 439—440).

Namun harus diakui, bahwa pada awalnya kesadaran untuk berpartisipasi

hanya dimiliki oleh beberapa orang yang kemudian mendirikan FKMCS.

Sedangkan warga lain cenderung menolak upaya-upaya penataan, bahkan

melawan (seperti yang dilakukan AMPERA). Di sinilah strategi partisipasi

digunakan. Kelompok warga yang melawan justru dilibatkan dalam setiap

aktivitas FKMCS, mulai dari tahap perencanaan, hingga pelaksanaan kegiatan

seperti pembuatan taman. Bahkan, kelompok warga tersebut juga dijadikan rekan

dalam membumikan isu yang FKMCS bawa kepada warga. Hal ini sekaligus

memperlihatkan pada kita bahwa rasa keterlibatan merupakan hal yang mutlak

dalam pembangunan partisipatif.

Tidak hanya berkutat pada masalah fisik internal kampong saja, FKMCS juga

berkontribusi dalam meningkatkan partisipasi warga untuk bersama-sama

pemerintah mengurangi beban masalah sampah di Kota Yogyakarta. Mereka

mendaur ulang plastic menjadi barang lain yang lebih fungsional dan memiliki

daya jual tinggi. Hal ini sekaligus menjadi penanda bahwa embrio sentra industry

kecil telah lahir, itu artinya bahwa pada waktunya nanti Pemerintah Kota

Yogyakarta juga akan diuntungkan.

Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa kesadaran yang semula

hanya dimiliki oleh sebagian orang, lambat laun menghinggapi warga lain.

Apalagi setelah hasil yang nyata sudah diperoleh, yaitu lingkungan kampong

Page 28: Laporan Final

28

yang tertata rapi juga sungai yang bersih. Kesadaran untuk menjaga, bahkan

menginisiasi program-program baru juga semakin bermunculan.

C. Proses Belajar Sosial Masyarakat Code Selatan

Proses belajar social adalah proses yang menggambarkan kemampuan

manusia dan kelompok manusia sebagai mahluk belajar yang berperilaku demi

mengubah dan merencanakan kembali perilaku tersebut. Dalam konteks stratei

pengelolaan sumber daya berbasis komunitas yang berperspektif people

centered development, aplikasi proses belajar social dapat diartikan sebagai

proses interaksi social di antara warga masyarakat dengan lembaga-lembaga

yang ada yang bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mereka melalui

kegiatan-kegiatan pemecahan masalah yang seringkali dilakukan melalui trial dan

error (Tjokrowinoto, 1996: 225). Peningkatan kemampuan ini dilakukan melalui

partisipasi dan interaksi dalam proses pengambilan keputusan dan aktivitas

bersama untuk melaksanakan keputusan tersebut.

Begitu pula yang dilakukan oleh masyarakat Code Selatan. Mereka

melaksanakan sebuah sarasehan setiap satu tahun sekali untuk kemudian

dimanfaatkan sebagai forum “curhat” warga untuk membicarakan masalah-

masalah kampung dan program pembangunan ke depan. Agar pertemuan itu

dirasa lebih efektif, diundang pula pihak pemerintah yang terkait misalnya

Bapedalda DIY, dan juga para akademisi serta mahasiswa yang bisa turut

memberikan masukan.

Dalam forum sarasehan dan diskusi itulah terjadi sebuah proses belajar

social yang memanfaatkan energi kreatif, pengetahuan, dan kearifan yang

terdapat dalam masyarakat Code Selatan, dalam proses pengambilan keputusan

dan pemecahan masalah. Sehingga masyarakat tidak hanya pasif, menunggu

program pembangunan dari pemerintah untuk wilayah mereka.

Proses belajar social ini kemudian juga dapat mengurangi unsur paternalistis

yang kental dan nuansa structural yang mewarnai. Proses ini memungkinkan

para inisiator FKMCS yang di awal cukup dominan kemudian memberi

kesempatan bagi warga untuk mengungkapkan aspirasinya.

Page 29: Laporan Final

29

BAB V

PENUTUP A. Kesimpulan

Dalam pengelolaan lingkungan di Bantaran Kali Code Selatan Kota

Jogjakarta khususnya RW 19 Kampung karanganyar Forum Komunikasi

Masyarakat Code Selatan (FKMCS) melakukan sebuah aksi kolektif dalam

perencanaan pembangunan partisipatif yang diinisiasi oleh warga untuk

kemajuan kawasan mereka. Rangkaian usaha mereka telah menghasilkan

sebuah collective action yang menolak kemiskinan dan kekumuhan. Adanya

collective action ini telah mendorong adanya sebuah usaha untuk melaksanakan

perencanaan pembangunan dari, oleh, dan untuk warga demi mewujudkan

impian warga tentang kampung mereka.

Sungai yang penuh dengan sampah, lingkungan yang kumuh, dan kondisi

sosial yang rawan kriminalitas dan segregasi sosial menjadi sebuah ancaman

bersama bagi warga bantaran Kali Code Selatan ini. Aktifitas masyarakat yang

rasional seperti membuang sampah sembarangan, tidak mempergunakan MCK,

persaingan antar kelompok masyarakat, dan sebagainya yang membuat

kemiskinan selalu melanda kawasan ini merupakan sebuah potensi akan

kehancuran bersama (tragedy of the common). Isu akan kebersihan lingkungan

yang ditularkan dari satu individu ke individu lain mampu membuat rasionalitas

individu berkurang dan mampu bekerja sama melawan kemiskinan dan

kekumuhan yang akhirnya hal ini menjadi isu yang diusung bersama. Isu tersebut

akhirnya menjadi sebuah collective good yang harus mereka pelihara bersama.

Di sisi lain, seperti yang dikatakan oleh Olson, warga memiliki self interest

terhadap perilaku mereka sehari-hari. Akan tetapi di sini FKMCS telah berhasil

mengubah sampah yang harus dibuang menjadi sumber ekonomi baru warga

dengan didaurulangnya sampah plastik menjadi barang-barang kerajinan.

Semangat warga terhadap orientasi ekonomi secara bersama ini cukup berhasil

dala mengurangi beban masalah sampah Pemerintah Kota Yogyakarta dan

berhasil menumbuhkan kawasan kumuh ini embrio sentra industri kecil yang

berjaringan internasonal. Beberapa bukti nyata ini sejajar dengan self interest

warga sehingga mendapatkan dukungan penuh dari semua warga.

Tak masalah bagi para aktor penggerak ini untuk mendapatkan dana dari

pemerintah karena jaringan yang sudah terjalin seleumnya dan kesempatan yang

Page 30: Laporan Final

30

dibuka oleh pemerintah akan perencanaan pembangunan partisipatif dengan

adanya alokasi anggaran untuk itu.

Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan partisipatif

seperti di Code ini cukup tinggi. Selain karena orientasi ekonomi seperti yang

dijelaskan sebelumnya, lingkup wilayah yang cukup sempit, rasa kepemilikan

wilayah yang relatif besar, dan berhasilnya sosialisasi untuk merubah paradigma

mereka dalam memandang kebersihan lingkungan sebagai collective good

membuat keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan cukup

tinggi. Akan tetapi, keterwakilan warga dalam FKMCS masih minim karena masih

terdapat bias elit dan bias pendidikan tinggi dalam kepengurusannya.

Namun harus diakui, bahwa pada awalnya kesadaran untuk berpartisipasi

hanya dimiliki oleh beberapa orang yang kemudian mendirikan FKMCS.

Sedangkan warga lain cenderung menolak upaya-upaya penataan, bahkan

melawan (seperti yang dilakukan AMPERA). Di sinilah strategi partisipasi

digunakan. Kelompok warga yang melawan justru dilibatkan dalam setiap

aktivitas FKMCS, mulai dari tahap perencanaan, hingga pelaksanaan kegiatan

seperti pembuatan taman. Bahkan, kelompok warga tersebut juga dijadikan rekan

dalam membumikan isu yang FKMCS bawa kepada warga. Hal ini sekaligus

memperlihatkan pada kita bahwa rasa keterlibatan merupakan hal yang mutlak

dalam pembangunan partisipatif.

Tidak hanya berkutat pada masalah fisik internal kampung saja, FKMCS juga

berkontribusi dalam meningkatkan partisipasi warga untuk bersama-sama

pemerintah mengurangi beban masalah sampah di Kota Yogyakarta. Mereka

mendaur ulang plastic menjadi barang lain yang lebih fungsional dan memiliki

daya jual tinggi. Hal ini sekaligus menjadi penanda bahwa embrio sentra industry

kecil telah lahir, itu artinya bahwa pada waktunya nanti Pemerintah Kota

Yogyakarta juga akan diuntungkan.

Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bahwa kesadaran yang semula

hanya dimiliki oleh sebagian orang, lambat laun menghinggapi warga lain.

Apalagi setelah hasil yang nyata sudah diperoleh, yaitu lingkungan kampong

yang tertata rapi juga sungai yang bersih. Kesadaran untuk menjaga, bahkan

menginisiasi program-program baru juga semakin bermunculan.

Page 31: Laporan Final

31

B. Kontribusi Akademik

Secara akademik, studi ini memberikan kontribusi dalam membuktikan teori-

teori tentang Collective Action bahwa masyarakat tidak akan mengikuti sebuah

kelompok dan bertindak secara kolektif jika hal tersebut tidak akan lebih efektif

untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya jika dibandingkan dengan apa yang

diperoleh kelompok dari dirinya. Keuntungan bagi anggota kelompok dapat

berupa collective (atau public) goods.

Olson melalui Logic of Collective action berusaha untuk menjelaskan bahwa

orang selalu berusaha untuk memaksimalkan pencapaian kepentingan

individunya melalui cara-cara yang rasional. Rasionalitas itu terlihat dalam

sebuah tindakan kolektif, dimana orang bertindak secara kolektif ketika ia berpikir

bahwa dengan bertindak secara bersama-sama, maka peluang untuk mencapai

tujuannya akan lebih besar. Dengan demikian, tujuan kelompok sinergis dengan

pencapaian individual yang diinginkan anggotanya (Brooke Lichtenstein, 2005

Http://www. web.syr.edu/~bllichte/review1.html).

Dari kasus penrencanaan pembangunan pertisipatif di RW 19 Kampung

Kaanganyar Kolektifitas dibentuk untuk ”membawa kepentingan” dari para

anggota kelompoknya. Secara logis, seseorang akan mengikuti sebuah

kelompok hanya jika kelompok tersebut memberikan keuntungan bagi individu

tersebut ketika ia memutuskan untuk mengikuti organisasi tersebut.

Page 32: Laporan Final

32

Daftar Pustaka

Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Pustaka Pelajar.

Yogyakarta.

Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan: Dilema dan Tantangan. Pustaka

Pelajar. Yogyakarta.

Pretty, J. dan Guijt. 1992. “Primary Enviromental Care: An Alternative Paradigm for

Development Assitance”, dalam Enviroment and Urbanization, Vol.4, No. 1.

M2ikkelsen, Britha. 2001. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya

Pemberdayaan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Conyers, Diana. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta.