Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5
-
Upload
siska-lia-kisdiyanti -
Category
Documents
-
view
59 -
download
12
Transcript of Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5
![Page 1: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/1.jpg)
LAPORAN DISKUSI KASUS 1
BLOK BIOETHICS AND HEALTH LAW V
( BLOK BHL V )
Tutor :
dr. Retno Widiastuti, MS
Oleh :
Kelompok 1
Prasastie Gita W (G1A009023)Gizza Dandy Pradana (G1A009024)Yulita Swandani Aziz (G1A009032)Bagus Sanjaya H (G1A009033)Masrurotut Daroen (G1A009036)Sudjati Adhinugroho (G1A009051)Femy Indriani (G1A009052)Siska Lia Kisdiyanti (G1A009065)Herlinda Yudi Saputri (G1A009080)Handiana Samanta (G1A009100)Argo Mulyo (G1A009111)
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER
PURWOKERTO
2012
![Page 2: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/2.jpg)
BAB 1 LATAR BELAKANG
![Page 3: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/3.jpg)
BAB II PEMBAHASAN
Kasus 1 :
The Brain-Dead Patient And The Family's Dilemma
Physician: There is a patient in the ward who is on ventilator. He is around 40-45
years. He suffered major injuries is now brain dead. The family members have
been explained everything. They are in a dazed state and don't know what to do.
Probably, their heart does not allow them to let their loved one go and take the
responsibility of switching off the ventilator.
Interviewer: So what do your colleagues have to say on that?
Physician: We cannot do anything. We may discuss it among ourselves but it is
pointless. Switching off the ventilator is euthanasia which is not permitted. It also
depends upon the family. If they are well educated and reconciled to the idea, then
some of them do decide that, OK, you can switch off the support system. But it
can go on for days or weeks. In the past, whenever this situation came up, it has
gone on like this. Ultimately, when the patient's heart failed, Nature took the final
decision.
Questions
1. Can a group of physicians take a decision to switch off the ventilator in this
case if it is needed by another patient?
2. Should the group be assisted by a person with legal expertise?
3. Discuss legal versus ethical issues in this case.
Terjemahan
Questions (Pertanyaan)
![Page 4: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/4.jpg)
1. Can a group of physicians take a decision to switch off the ventilator in
this case if it is needed by another patient?
Jawab
Untuk memutuskan penghentian ventilator pada pasien tersebut tidak
bisa diputuskan hanya oleh beberapa dokter saja, tetapi diperlukan keterlibatan
dari pihak hukum atau instansi yang terkait dengan mempertimbangkan aspek
etik, social dan agama, meskipun ada pasien lain yang memerlukan ventilator
tersebut. Kalau memang pasien tersebut sudah mati batang otak dan tidak ada
harapan untuk sembuh lagi, Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga
pasien dan memberi pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian
peralatan tersebut perlu dihentikan, dan ada pasien yang lebih membutuhkan
alat ventilator tersebut.
Penghentian ventilator ini bisa dianggap sebagai euthanasia pasif.
Euthanasia menurut KODEKI pasal 12 bab II adalah melakukan perbuatan
yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri atau
keluarganya. Ada tiga jenis pelaksanaan euthanasia, yaitu euthanasia pasif,
euthanasia non-aktif, dan euthanasia aktif. Istilah lain untuk euthanasia pasif
ialah euthanasia tidak langsung, sedangkan euthanasia non-aktif dan aktif bisa
dianggap euthanasia langsung. Euthanasia pasif diartikan sebagai euthanasia
yang dilakukan dengan cara menghentikan pemberian obat atau pemberian obat
yang terbukti mempunyai kemungkinan untuk membunuh, tetapi juga
diperlukan untuk membantu pasien menjadi sembuh. Euthanasia non-aktif
ialah euthanasia yang dilakukan dengan cara mematikan mesin life support,
yang sudah tentu akan menyebabkan kematian pasien.
Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan
bertentangandengan kehendak Tuhan.Mereka berpendapat bahwa hidup adalah
semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau
institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan
penderitatersebut.Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
tidak memiliki hak untuk mati. Oleh karena itu di Negara Indonesia, euthanasia
![Page 5: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/5.jpg)
masih dilarang. Apabila dokter terpaksa harus melakukan ini, maka benar-
benar harus dengan persetujuan keluarga pasien dengan menandatangani
informed consent dan disertai dengan keterlibatan instansi terkait, baru
ventilator bisa dihentikan meskipun ada pasien yang lebih membutuhkan.
2. Should the group be assisted by a person with legal expertise?
Jawab
Harus, karena kapasitas untuk mengambil keputusan merupakan aspek
etik dan hukum yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan
keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan
bukan atas dasar label diagnosis.
Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai
aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll)
maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan
penderita yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board).
(Brocklehurst and Allen 1987, Kane et al, 1994).
3. Discuss legal versus ethical issues in this case.
Jawab
Dalam kasus ini, issue ethic yang dilanggar dokter adalah:
a. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri.
Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi apabila pasien
dalam keadaan koma dan tidak kompeten dalam mengambil keputusan
maka dibantu oleh pendapat keluarga dekat. Pada kasus ini apabila dokter
menghentikan ventilator tersebut maka melanggar hak otonomi pasien, dan
apabila ventilator ini tetap dipasang tidak dihentikan pihak dokter juga
melanggar hak otonomi pasien lain yang lebih membutuhkan.
![Page 6: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/6.jpg)
b. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan harus memberikan perlakuan yang sama
bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita
secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang
tidak relevan. Dalam kasus ini keadilan baik bagi pasien dengan
penghentian ventilator dilanggar, begitu juga sebaliknya apabila pasien yang
lebih membutuhkan ventilator tersebut tidak mendapatkan pelayanan yang
menjadi haknya.
Kasus 2 :
The Terminal Patient Who Did Not Die
Physician: We had a patient with chronic obstructive airway disease who
developed pneumothorax and she was put on a ventilator. She was in her early
sixties and able to communicate. We managed her on the ventilator, but it was
very difficult to wean her away from the ventilator. Ultimately we discussed with
the patient's relatives that she may not make it. If the relatives agreed, we could
switch off the ventilator. The husband of the patient said: "You see, she is going
to die if you switch off the ventilator. But I will not be able to excuse myself if I
let you remove the life support. For my whole life I will feel guilt. So please,
continue the ventilator till she improves or dies." To my surprise she recovered
very well and I have subsequently discharged her.
This case is a good example of a conflict between limited resources and the nature
of the disease itself. We can say that we cannot waste our resources by pulling on
with a patient for a long time. This was a collective decision. All involved staff
thought that it was wise to switch off the ventilator, but, retrospectively, I can see
that it would have been a wrong decision.
![Page 7: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/7.jpg)
Questions
1. Do you think that the physicians were justified in their decision to wean off the
patient from the ventilator at the time they made it, in light of the scarce
resources available?
2. Under what circumstances (if any) do you find it ethically justifiable to wean
off a patient from the ventilator, expecting the patient to subsequently die, if
the patient is not brain-dead?
Terjemahan :
Seorang pasien menderita chronic obstructive airway disease yang
berkembang menjadi pneumothoraks dan dia memakai ventilator. Pasien ini
berumur 60-an tahun. Dokter beranggapan sulit untuk menyapih pasien jauh dari
ventilator. Pada akhirnya, dokter berdiskusi dengan keluarga pasien bahwa ia sulit
untuk bertahan. Jika keluarga setuju, maka dokter akan mematikan ventilator.
Namun suami pasien tetap menginginkan ventilator dipasang sampai pasien
sembuh atau meninggal. Ternyata pasien tersebut sembuh dengan baik dan dapat
kembali ke rumah.
Kasus ini adalah contoh yang baik dari konflik antara sumber daya yang
terbatas dan sifat suatu penyakit. Dokter dapat mengatakan bahwa kita tidak dapat
membuang-buang sumber daya yang terbatas untuk dipakai seorang pasien dalam
jangka waktu lama. Ini adalah keputusan kolektif. Semua staf yang terlibat
berpikir bahwa mematikan ventilator adalah hal yang tepat. Tapi secara
retrospektif, keputusan itu akan menjadi keputusan yang salah.
Questions (Pertanyaan)
1. Do you think that the physicians were justified in their decision to wean
off the patient from the ventilator at the time they made it, in light of the
scarce resources available? Apakah anda berfikir bahwa dokter dibenarkan
![Page 8: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/8.jpg)
dalam keputusan mereka untuk menyapih pasien dari ventilator, mengingat
sumber daya yang langka tersedia?
Jawab
Kami tidak sependapat dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter
tersebut, mengingat pasien masih bisa berkomunikasi, tidak mati batang otak,
dan pihak keluatga pun tidak menyetujui tindakan penyapihan tersebut. Jika
dokter tetap melepas ventilator tersebut maka tindakan dokter tersebut dapat
dianggap sebagai euthanasia aktif yang mana hal tersebut dilarang di
Indonesia, menurut IDI dan KUHP. KODEKI pasal 7D yang berbunyi “Setiap
dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup nmakhluk
insani”, pada penjelasan dan pedoman pelaksanaannya secara jelas tertulis
sebagai berikut:
“Baik menurut agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik Kedokteran,
seorang dokter tidak diperbolehkan:
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
b. Mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan
tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia)
Mengenai sumber daya yang terbatas di Rumah Sakit tersebut pun perlu
dipertanyakan kembali, apakah benar Rumah Sakit tersebut kekurangan
ventilator.
Dokter tidak berhak mengambil keputusan sendiri, walaupun keputusan
kolektif antara dokter spesialis.
2. Under what circumstances (if any) do you find it ethically justifiable to
wean off a patient from the ventilator, expecting the patient to
subsequently die, if the patient is not brain-dead? Dalam keadaan apa (jika
ada) yang Anda menemukannya etis dibenarkan untuk menyapih pasien dari
ventilator, mengharapkan pasien untuk kemudian mati, jika pasien tidak mati
otak?
Jawab
![Page 9: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/9.jpg)
Kasus 3 :
The Terminal Cancer Patient
Physician: I have been seeing a patient for the last 10 days. This patient has
carcinoma. Six months ago when he was operated outside, the impression given
by the surgeon to the patient was that there was some kind of a blockage in the
intestine and that it had been corrected. Five months later, he came up with a lump
in the abdomen and after that he developed jaundice. He has now come to us with
a huge lump with jaundice. There are different options available but none of them
is very safe and none of them is going to help on a long-term basis. I am sure he is
going to die. He has a confirmed cancer. It is not curable, and it is not treatable.
So, should you palliate his symptoms and to what extent. In this case, his relatives
are very keen that he is not told what is happening to him. I can't give him any
hope and I feel very bad telling him that I can't do anything. I have already told
the relatives. But if he asks me directly, "Am I going to live? Am I going to die?
Do I have a cancer?", then I will tell him the truth. But if he doesn't, then I will
probably end up telling only his relatives.
There have been occasions when after the patient has spent about 40 to 50,000 or
100,000 and goes back home, the relatives ask you the question: "have we
achieved anything after we have spent so much money, and should we continue to
spend not knowing when it will end?" I often tell myself that I cannot play God.
Here you come across situations where a poor man has 40,000 in his bank, he's
got a house and if he dies he's going to leave behind three children and a wife who
doesn't earn. So is it worth that his family spends all of that on him and then be
out on the street after he dies?
Questions
1. Do you agree with the doctor's position here that he will not give the patient
himself the choice of treatment?
2. Does it make a difference that the treatment is very expensive?
![Page 10: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/10.jpg)
Terjemahan :
Pasien Kanker Terminal
Dokter: Saya telah melihat pasien selama 10 hari terakhir. Pasien ini
memiliki karsinoma. Enam bulan lalu ketika ia dioperasi di luar, hasil yang
diberikan oleh ahli bedah untuk pasien ini adalah bahwa ada semacam
penyumbatan pada usus dan bahwa hal itu telah ditangani. Lima bulan kemudian,
ia datang dengan benjolan di perut disertai dengan ikterik. Dia kini datang kepada
kami (dokter) dengan benjolan yang sudah besar disertai dengan ikterik. Ada
pilihan yang tersedia tetapi tidak satupun dari pilihan itu yang aman dan tidak
satupun dapat menolong pasien dalam jangka panjang. Saya yakin pasien ini akan
meninggal. Dia telah terkonfirmasi kanker. Hal ini tidak dapat disembuhkan, dan
tidak dapat diobati. Jadi, sebaiknya kami meringankan gejala dan melihat sampai
sejauh mana. Dalam hal ini, keluarganya menyarankan bahwa pasien tidak
diberitahu apa yang terjadi padanya. Saya tidak bisa memberinya harapan dan
saya merasa sangat tidak enak mengatakan kepadanya bahwa saya tidak dapat
melakukan apapun. Saya sudah mengatakan kepada keluarganya. Tapi jika ia
menanyakan secara langsung, "apakah saya akan hidup, apakah saya akan mati?
apakah saya kanker?", Maka saya akan mengatakan yang sebenarnya. Tetapi jika
dia tidak bertanya, maka saya mungkin akan hanya memberitahu keluarganya.
Ada kesempatan ketika setelah pasien telah menghabiskan sekitar 40
sampai 50.000 atau 100.000 dan pulang ke rumah, keluarga menanyakan: "apa
yang telah kita capai setelah kita menghabiskan begitu banyak uang, dan haruskah
kita terus menghabiskan yang kita punya dan tidak tahu kapan semua itu akan
berakhir? "Saya sering mengatakan pada diri sendiri bahwa saya tidak dapat
berperan sebagai Tuhan. Di sini kita menemukan situasi di mana orang miskin
hanya memiliki 40.000 di bank, dia punya sebuah rumah dan jika dia meninggal
dia akan meninggalkan tiga anak dan seorang istri. Jadi apakah itu layak bahwa
keluarganya menghabiskan semua itu untuknya dan kemudian keluar di jalan
setelah kepala keluarganya meninggal?
![Page 11: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/11.jpg)
Questions (Pertanyaan)
1. Do you agree with the doctor's position here that he will not give the
patient himself the choice of treatment? Apakah Anda setuju dengan posisi
dokter di sini bahwa dia tidak akan memberikan pasien sendiri pilihan
pengobatan?
Jawab
Dokter berkewajiban memberitahukan kondisi pasien yang sebenarnya
pada pasien. Jika pasien tidak kompeten, maka harus diberitahukan kondisi
pasien pada keluarga pasien. Sedangkan pada kasus, dokter mau
memberitahukan pada pasien tentang kondisinya jika pasien tersebut bertanya
pada dokter. Namun jika pasien tidak bertanya, dokter tidak akan
memberitahukan pada pasien tentang kondisinya. Hal ini disebabkan keluarga
pasien tidak memperbolehkan dokter memberitahukan pasien tentang
kondisinya sekarang. Hal ini sangat bertentangan dengan kewajiban dokter,
dimana dokter berkewajiban memberitahukan kondisi pasien yang sebenarnya.
Namun, hal ini juga tergantung minat pasien. Jika pasien tidak ingin tahu
tentang kondisi kesehatannya, dokter tidak perlu memberitahukan kondisi
kesehatan pasien pada pasien.
Jika dokter akan mengambil tindakan, pasien dan keluarga harus diberi
pengetahuan tentang tujuan, manfaat, kerugian tindakan tersebut agar dapat
mengambil keputusan yang tepat.
Menurut KUHP pasal 351, perawatan medis yang tidak ada manfaatnya
termasuk penganiayaan karena merusak kesehatan.
Dokter jangan under estimate pada pasien untuk pilihan terapi yang
mungkin.
![Page 12: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/12.jpg)
2. Does it make a difference that the treatment is very expensive? Apakah itu
membuat perbedaan bahwa pengobatan ini sangat mahal ?
![Page 13: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/13.jpg)
BAB III KESIMPULAN
![Page 14: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5](https://reader035.fdokumen.com/reader035/viewer/2022072922/557211db497959fc0b8f9887/html5/thumbnails/14.jpg)
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. 2000. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut), Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. 2005. Panduan Gerontologi, Tinjauan Dari
Berbagai Aspek. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.