Laporan Bentang Alam Fluvial

46
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Maksud Menghitung persentase kelerengan serta beda tinggi dengan perhitungan morfometri pada bentang alam fluvial berdasarkan klasifikasi Van Zuidam. Mengetahui pembagian satuan deliniasi pada peta topografi daerah Randudongkal untuk dapat mengetahui ciri khas morfologinya. Menggambarkan pola pengaliran sungai beserta jalan pada peta topografi. Menggambarkan sayatan peta topografi serta membuat profil eksagrasi. Mengetahui interpretasi proses pembentukan bentang alam fluvial dilihat dari peta topogafi. 1.2 Tujuan Menghitung persentase kelerengan serta beda tinggi dengan perhitungan morfometri pada bentang alam fluvial berdasarkan klasifikasi Van Zuidam. Mengetahui pembagian satuan deliniasi pada peta topografi daerah Randudongkal untuk dapat mengetahui ciri khas morfologinya. Menggambarkan pola pengaliran sungai beserta jalan pada peta topografi. 1

description

Laporan Geomorfologi Acara Bentang Alam Fluvial

Transcript of Laporan Bentang Alam Fluvial

Page 1: Laporan Bentang Alam Fluvial

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Maksud

Menghitung persentase kelerengan serta beda tinggi dengan perhitungan

morfometri pada bentang alam fluvial berdasarkan klasifikasi Van

Zuidam.

Mengetahui pembagian satuan deliniasi pada peta topografi daerah

Randudongkal untuk dapat mengetahui ciri khas morfologinya.

Menggambarkan pola pengaliran sungai beserta jalan pada peta

topografi.

Menggambarkan sayatan peta topografi serta membuat profil eksagrasi.

Mengetahui interpretasi proses pembentukan bentang alam fluvial dilihat

dari peta topogafi.

1.2 Tujuan

Menghitung persentase kelerengan serta beda tinggi dengan perhitungan

morfometri pada bentang alam fluvial berdasarkan klasifikasi Van

Zuidam.

Mengetahui pembagian satuan deliniasi pada peta topografi daerah

Randudongkal untuk dapat mengetahui ciri khas morfologinya.

Menggambarkan pola pengaliran sungai beserta jalan pada peta

topografi.

Menggambarkan sayatan peta topografi serta membuat profil eksagrasi.

Mengetahui interpretasi proses pembentukan bentang alam fluvial dilihat

dari peta topogafi.

1.3 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum

Hari : Kamis

Tanggal : 27 Maret 2014

1

Page 2: Laporan Bentang Alam Fluvial

Waktu : 15.30 – 17.30 WIB

Tempat Pelaksanaan : Ruang Seminar, Gedung Pertamina Sukowati

Teknik Geologi, Semarang

2

Page 3: Laporan Bentang Alam Fluvial

BAB II

DASAR TEORI

2.1. Pengertian Bentang Alam Fluvial

Bentang alam fluvial adalah bentang alam hasil dari proses kimia

maupun fisika yang menyebabkan perubahan bentuk muka bumi karena

pengaruh air permukaan (proses fluvial). Air permukaan dapat berupa sungai

yang mengalir di bukit-bukit (sheet water).

Sebagaimana proses geomorfik yang lain, proses fluvial akan

menghasilkan suatu bentang alam yang khas sebagai tingkah laku air yang

mengalir di permukaan. Bentang alam yang dibentuk dapat terjadi karena

proses erosi maupun karena proses sedimentasi yang dilakukan oleh air

permukaan. Adanya air permukaan sangat dikontrol oleh adanya air hujan,

sedangkan besar kecilnya jumlah air permukaan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, yaitu antara lain kelerengan, iklim, litologi dan nilai curah hujan.

Sungai merupakan aliran air yang dibatasi suatu alur yang mengalir ke tempat

/ lembah yang lebih rendah karena pengaruh gravitasi. Sungai termasuk

sungai besar, sungai kecil maupun anak sungai.

2.2. Proses Fluvial

Proses fluvial dibedakan menjadi 3, yaitu :

1. Proses erosi

Menurut Sukmana, 1979, proses erosi adlah suatu proses atau

peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah yang disebabkan oleh

pergerakan air atau angin. Sedangkan Arsyad, 1982, mendefinisikan

proses erosi sebagai peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau

bagia-bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami.

Menurut Holy, 1980, berdasarkan agen penyebabnya, erosi dibagi

menjadi empat macam, yaitu erosi oleh air, erosi oleh angin, erosi oleh

gletser dan erosi oleh salju. Dalam bentang alam ini, agen penyebab

erosi yang paling dominan adalah air. Sungai dapat mengerosi batuan

3

Page 4: Laporan Bentang Alam Fluvial

sedimen yang dilaluinya, memotong lembah, memperdalam dan

memperlebar sungai dengan cara-cara quarrying, abrasi, scouring,

korosi, hydraulic action, dan solution. Berdasarkan arahnya, erosi dapat

dibedakan menjadi :

Erosi kearah hulu ( head ward erotion) adalah erosi yang terjadi pada

ujung sungai.

Erosi vertikal, erosi yang arahnya tegak dan cenderung terjadi pada

daerah bagian hulu pada sungai dan menyebabkan terjadinya

pendalaman lembah sungai.

Erosi lateral, yaitu erosi yang arahnya mendatar dan dominan terjadi

pada daerah tengah sungai yang menyebabkan bertambah lebar dan

panjang sungai.

Erosi yang berlangsung terus hingga suatu saat akan mencapai

batas dimana air sungai sudah tidak lagi mampu mengerosi lagi (erition

base lavel). Erotion base level ini dapat dibagi menjadi ultimate base

level (yang base level-nya berupa laut) dan temporary base level (base

level-nya lokal seperti danau dan rawa.

Intensitas erosi pada suatu sungai berbanding lurus dengan

kecepatan aliran sungai tersebut. Erosi akan lebih efektif bila media

yang bersangkutan mengangkut bermacam-macam material. Erosi

memiliki tujuan akhir meratakan sehingga mendekati ultimate base

level.

2. Proses transportasi

Proses transportasi adalah proses perpindahan / pengangkutan

material yang diakibatkan oleh tenaga kinetis yang ada pada sungai

sebagai efek dari gaya gravitasi. Sungai mengangkut material hasil

erosinya dengan berbagai cara.

Traksi, yaitu material yang diangkut akan terseret pada dasar sungai.

4

Page 5: Laporan Bentang Alam Fluvial

Rolling, yaitu material akan terangkut dengan cara menggelinding di

dasara sungai.

Saltasi, yaitu material yang terangkut mengambang lalu kembali

tenggelam seolah-olah meloncat.

Suspensi, yaitu proses pengangkutan material secara mengambang

dan bercampur dengan air sehingga menybabkan air menjadi keruh.

Solution, yaitu pengangkutan material larut dalam air dan

membentuk larutan kimia.

3. Proses pengendapan

Proses sedimentasi adalah proses pengendapan mateial karena

aliran sungai tidak mampu lagi mengangkut material yang dibawanya.

Apabila tenaga angkut berkurang, maka material yang berukuran besar

dan lebih berat akan terendapkan terlebih dahulu, baru kemudian

material yang lebih halus dan ringan.

Bagian sungai yang paling efektif unutk proses pengendapan ini

adalah bagian hilir atau pada bagian slip of slope pada kelokan sungai,

karena biasanya pada bagian kelokan ini terjadi pengurangan energi

yang cukup besar.

Ukuran material yang diendapkan berbanding lurus dengan

besarnya energi pengangkut, sehingga semakin ke arah hilir, energi

semakin kecil, material yang diendapkan pun semakin halus.

2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Erosi dan Sedimentasi

1. Kecepatan Aliran Sungai

Kecepatan aliran sungai maksimal pada tengah alur sungai, bila

membelok maka kecepatan maksimal ada pada daerah cut off slope

(terjadi erosi) karena gaya sentrifugal. Pengendapan terjadi jika

kecepatan sungai menurun atau bahkan hilang.

5

Page 6: Laporan Bentang Alam Fluvial

2. Gradien/ Kemiringan Lereng Sungai

Bila air mengalir dari sungai yang kemiringan lerengnya curam

ke dataran yang lebih rendah maka kecepatan air akan berkurang dan

tiba-tiba hilang sehingga menyebabkan pengendapan pada dasar sungai.

Bila kemudian ada lereng yang terjal lagi, kecepatan akan meningkat

sehingga terjadi erosi yang menyebabkan pendalaman lembah.

3. Bentuk Alur Sungai

Aliran sungai akan menggerus bagian tepi dan dasar sungai.

Semakin besar gesekan yang terjadi maka air akan mengalir lebih

lambat. Sungai yang dalam, sempit dan permukaan dasarnya tidak

kasar, aliran airnya deras. Sungai yang lebar, dangkal dan permukaanya

tidak kasar, atau sempit, dalam tetapi permukaan dasarnya kasar maka

aliran airnya lambat.

4. Discharge

Merupakan volume air yang keluar dari suatu sungai. Proses erosi

dan transportasi terjadi karena besarnya kecepatan aliran sungai dan

discharge.

2.4 Pola Pengaliran (Drainage Pattern)

Satu sungai atau lebih beserta anak sugai dan cabangnya dapat

membentuk suatu pola atau sistem tertentu yang dikenal sebagai pola

pengaliran (drainage pattern). Pola ini dapat dibedakan menjadi beberapa

macam variasi tergantung struktur batuan dan variasi litologinya.

a. Pola pengaliran rectangular, yaitu pola pengaliran di mana anak-anak

sungainya membentuk sudut tegak lurus dengan sungai utamanya. Pola ini

biasanya terdapat pda daerah patahan yang bersistem teratur.

b. Pola pengaliran dendritik, yaitu pola pengaliran berbentuk seperti pohon

dan cabang-cabangnya yang berarah tidak teratur. Pola ini berkembang

pada daerah dengan batuan yang resistensinya seragam, lapisan sedimen

6

Page 7: Laporan Bentang Alam Fluvial

mendatar, batuan beku massif, daerah lipatan, dan daerah metamorf yang

kompleks.

c. Pola pengaliran sejajar/paralel, yaitu pola pengaliran yang arah alirannya

sejajar. Pola ini berkembang pada daerah yang memppunyai kemiringan

nyata, dan batuannya bertekstur halus.

d. Pola pengaliran trellis, yaitu pola pengaliran yang berbentuk seperti daun

dengan anak-anak sungai sejajar, sungai utamanya biasanya memanjang

searah dengan jurus perlapisan batuan. Pola ini banyak dijumpai pada

daerah patahan atau lipatan.

e. Pola pengaliran radial, yaitu pola pengaliran yang arahnya menyebar ke

segala arah dari suatu pusat. Umumnya berkemban pada daerah dengan

struktur kubah stadia muda, pada kerucut gunug api, dan pada bukit-bukit

ynag berbentuk kerucut.

f. Pola pengaliran annular, yaitu pola pengaliran di mana sungai atau anak

sungainya mempunyai penyebaran yang melingkar. Sering dijumpai pada

daerah kubah berstadia dewasa.

g. Pola pengaliran multibasinal (sink hole), yaitu pola pengaliran yang tidak

sempurna, kadang tampak kadang hilang yang disebut sebagai sungai

bawah tanah. Pola ini berkembang pada daerah karst atau betugamping.

h. Pola pengaliran contorted, yaitu pola pengaliran yang arah alirannya

berbalik dari arah semula. Pola ini terdapat pada daerah patahan.

Gambar 2.1 Pola Pengaliran Sungai

7

Page 8: Laporan Bentang Alam Fluvial

2.5 Klasifikasi Sungai dan Stadia Erosinya

Berdasarkan stadia erosinya, sungai dibedakan menjadi :

a. Sungai muda

Sungai stadia muda dicirikan oleh kemiringan dasar sungai besar, erosi

vertikal efektif, tidak terjadi pengendapan, pada lembah sungai banyak

dijumpai air terjun, dataran banjir sempit, penampang melintang sungai

berbentuk seperti huruf “V”, relatif lurus dan mengalir di atas batuan

induk, densitas sungai kecil, dan anak sungai jarang.

b. Sungai dewasa

Sungai stadia dewasa dicirikan oleh kemiringan dasar sungai yang lebih

kecil, erosi dan deposisi relaif kecil, erosi lateral efektif, penampang

melintang sungai berbentuk seperti huruf “U”, mulai membentuk meander

(kelokan sungai), cabang-cabang sungai sudah mulai banyak, dan dataran

banjir sudah mulai meluas.

c. Sungai tua

Sungai stadia tua dicirikan oleh kemiringan dasar sungai relatif kecil dan

hampir landai, penampang melintang sungai berbentuk cawan, tidak terjadi

erosi vertikal, tetapi erosi lateral sangat efektif, mulai tampak danau tapal

kuda (oxbow lake), bermeander, anak sungai lebih banyak, dataran banjir

luas

2.6 Klasifikasi Relief Van Zuidam

Tabel 2.1 Klasifikasi Relief Van Zuidam (1983)

Klasifikasi Relief Persen lereng (%) Beda tinggi (m)

Datar/hampir datar 0-2 <50

Bergelombang landai 3-7 5-50

Bergelombang miring 8-13 25-75

Berbukit bergelombang 14-20 50-200

8

Page 9: Laporan Bentang Alam Fluvial

Berbukit terjal 21-55 200-500

Pegunungan sangat terjal 56-140 500-1000

Pegunungan sangat curam >140 >1000

9

Page 10: Laporan Bentang Alam Fluvial

BAB III

METODOLOGI

3.1 Alat dan Bahan

1. Alat

Penggaris

Alat Tulis

Pensil Warna

Kalkulator

Solatip

Gunting

2. Bahan

Peta Topografi

Millimeter Block (A3)

Kertas HVS

Kertas Kalkir (A3)

3.2 Diagram Alir Fisis

1. Pembuatan Deliniasi

10

Mulai

Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Meletakkan kertas kalkir diatas peta topografi dan rekatkan dengan menggunakan selotip

Menentukan satuan fluvial, denudasional, struktural rapat dan struktural renggang pada

peta topografi

Page 11: Laporan Bentang Alam Fluvial

2. Pembuatan Profil Eksagrasi

11

Memberikan batas untuk masing – masing satuan deliniasi pada kertas kalkir

Memberikan warna pada wilayah satuan kontur tersebut dengan menggunakan pensil warna ungu

tua untuk struktural rapat, ungu muda untuk struktural renggang, hijau untuk fluvial, serta

cokelat untuk denudasional

Selesai

Mulai

Menyiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Menentukan titik A dan B yang masing – masing

mempunyai titik ketinggian tertentu yang melewati

struktural rapat, struktural renggang, denudasional

dan fluvial

Menghubungkan titik A dan B menjadi 1 garis lurus dengan panjang sekitar 25-30 cm

Memplotkan kertas HVS dengan garis – garis kontur

yang dilalui oleh sayatan A ke B untuk menghitung

ketinggian kontur

Page 12: Laporan Bentang Alam Fluvial

3. Perhitungan Persentase Kelerengan dan Beda Tinggi berdasarkan Klasifikasi Van Zuidam (1983)

12

Mulai

Membuat 5 sayatan di 2 satuan deliniasi pada kontur berbeda yang memotong 5 garis kontur dan 5 sayatan

pada satuan fluvial yang memotong 1 garis kontur terdekat dan hitung panjang sayatan tersebut

Menghitung rata-rata persentase kelerengan serta beda tinggi tiap kontur pada tiap satuan delineasi,

kecuali satuan fluvial

Mempersiapkan alat dan bahan yang diperlukan

Menghubungkan titik – titik tersebut hingga membentuk relief pada millimeter block.

Menghitung setiap kenaikan dan penurunan pada

kontur yang dilalui sayatan

Memindahkan data grafik yang dibuat ke kertas milimeter blok. Dengan perbandingan skala vertical :

skala horizontal 2 : 1 (profil eksagrasi)

Selesai

Page 13: Laporan Bentang Alam Fluvial

4. Pembuatan Pola Pengaliran Sungai dan Jalan

13

Mengklasifikasikan dari rata-rata kelerengan setiap satuan dan beda tinggi berdasarkan Klasifikasi Van

Zuidam (1983)

Selesai

Mulai

Mempersiapkan alat dan bahan yang ingin digunakan

Membuat garis pola pengaliran sungai dan garis jalan dengan pensil warna biru muda dan biru tua untuk pola pengaliran sungai, dan pensil warna merah untuk garis

jalan

Meletakkan kertas kalkir diatas peta topografi dan rekatkan menggunakan selotip

Selesai

Page 14: Laporan Bentang Alam Fluvial

BAB IV

MORFOMETRI

3.1 Satuan Deliniasi Struktural Rapat

Rumus :

a. n = 1,2 cm

d = 1,2 × 25000 = 30.000 cm = 300 m

% Lereng=62,5300

×100 %=¿ 20,83 %

b. n = 0,8 cm

d = 0,8 × 25000 = 12.500 cm = 125 m

% Lereng=62,5125

×100 %=¿ 31,25 %

c. n = 0,7 cm

d = 0,7 × 25000 = 17.500 cm = 175 m

% Lereng=62,5175

×100 %=¿ 35,71 %

d. n = 0,8 cm

d = 0,8 × 25000 = 12.500 cm = 125 m

% Lereng=62,5125

×100 %=¿ 31,25 %

e. n = 0,6 cm

d = 0,6 × 25000 = 15.000 cm = 150 m

14

Sayatan

1 = 20,83 %

2 = 31,25 %

3 = 35,71 %

4 = 31,25 %

5 = 41,67 %

Jumlah = 160,71 %

Rata-rata = 160,71 % : 5

= 32,14 %

Berbukit Terjal

(Van Zuidam, 1983)

Beda Tinggi : 770 – 406 = 364

Berbukit Terjal

(Van Zuidam, 1983)

IK= 12000

×25000=12,5 d = n × 2500

h = 5 × 12,5 = 62,5% Lereng=∆ hd

× 100 %

Page 15: Laporan Bentang Alam Fluvial

% Lereng=62,5150

×100 %=¿ 41,6 %

3.2 Satuan Deliniasi Struktural Renggang

Rumus :

a. n = 1,3 cm

d = 1,3 × 25000 = 32.500 cm = 325 m

% Lereng=62,5325

×100 %=¿ 19,23 %

b. n = 2 cm

d = 2 × 25000 = 50.000 cm = 500 m

% Lereng=62,5500

×100 %=¿ 12,5 %

c. n = 2 cm

d = 2 × 25000 = 50.000 cm = 500 m

% Lereng=62,5500

×100 %=¿ 12,5 %

d. n = 1,7 cm

d = 1,7 × 67.500 = 42.500 cm = 425 m

% Lereng=62,5425

×100 %=¿ 17,85 %

e. n = 1,4 cm

d = 1,4 × 25000 = 35.000 cm = 350 m

15

IK= 12000

×25000=12,5 d = n × 2500

h = 5 × 12,5 = 62,5% Lereng=∆ hd

× 100 %

Sayatan

1 = 19,23 %

2 = 12,5 %

3 = 12,5 %

4 = 14,70 %

5 = 17,85 %

Jumlah = 76,78 %

Rata-rata = 76,78 % : 5

= 15,35 %

Berbukit Bergelombang

(Van Zuidam, 1983)

Beda Tinggi : 375 - 127 = 248

Berbukit Terjal

(Van Zuidam, 1983)

Page 16: Laporan Bentang Alam Fluvial

% Lereng=62,5350

×100 %=¿ 17,85 %

16

Page 17: Laporan Bentang Alam Fluvial

3.3 Satuan Deliniasi Fluvial

Rumus :

a. n = 0,6 cm

d = 0,6 × 25000 = 15.000 cm = 150 m

% Lereng=12,5150

×100 %=¿ 8,33 %

b. n = 0,4 cm

d = 0,4 × 25000 = 10.000 cm = 100 m

% Lereng=12,5100

×100 %=¿ 12,5 %

c. n = 0,4 cm

d = 0,4 × 25000 = 10.000 cm = 100 m

% Lereng=12,5100

×100 %=¿ 12,5 %

d. n = 0,5 cm

d = 0,5 × 25000 = 12.500 cm = 125 m

% Lereng=12,5125

×100 %=¿ 10 %

e. n = 0,7 cm

d = 0,7 × 25000 = 17.500 cm = 175 m

% Lereng=12,5175

×100 %=¿ 7,14 %

16

IK= 12000

×25000=12,5 d = n × 2500

h = 1 × 12,5 = 12,5% Lereng=∆ hd

× 100 %

Sayatan

1 = 8,33 %

2 = 12,5 %

3 = 12,5 %

4 = 10 %

5 = 7,14 %

Jumlah = 50,47 %

Rata-rata = 50,47 % : 5

= 10,09 %

Bergelombang Curam

(Van Zuidam, 1983)

Page 18: Laporan Bentang Alam Fluvial

BAB V

PEMBAHASAN

Pada praktikum Geomorfologi dan Geologi Foto, acara Bentang Alam

Fluvial dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 27 Maret 2014. Bentang alam

fluvial adalah bentang alam yang terbentuk akibat proses fluviatil. Proses fluviatil

dapat berupa erosi, transportasi, maupun pengendapan. Berdasarkan pada peta

topografi daerah Randudongkal dan sekitarnya, maka dapat dibedakan menjadi

satuan fluvial, struktural rapat, struktural renggang, serta satuan denudasional.

Dimana pada tiap deliniasi tersebut diberikan batas-batas dengan menggunakan

pensil warna yang berbeda. Warna hijau untuk satuan deliniasi fluvial, warna

coklat untuk satuan deliniasi denudasional, warna ungu tua untuk satuan deliniasi

struktural rapat dan ungu muda untuk satuan deliniasi struktural renggang.

Disamping itu juga, praktikan harus menentukan pola pengaliran sungai yang

ditandai dengan warna biru tua untuk sungai induk dan biru muda untuk anak

sungai, serta pola jalan yang ditandai dengan warna merah. Berikut penjelasan

tiap satuan deliniasi tersebut :

5.1 Satuan Deliniasi Fluvial

Pada peta topografi daerah Randudongkal dan sekitarnya, satuan

deliniasi daerah fluvial untuk sungai induk diberi warna hijau pada

kertas kalkir. Satuan deliniasi fluvial mencakup sungai hingga dataran

banjir sungai tersebut. Sungai yang terdapat pada deliniasi tersebut

terdiri dari sungai induk yaitu K. Tjomal dan K. Wakung. Disamping

itu juga terdapat anak-anak sungai yang bercabang dari sungai induk

yang terdiri dari K. Bandjaran, K. Widjen, K. Subah, K. Pring, K. Paku,

K. Asal, K. Sodong, K. Ujah, K. Bandungan, K. Djakung, K. Genitri,

dan lain sebagainya. Anak sungai tersebut pada peta topografi ditandai

dengan simbol garis yang tidak tegas. Berdasarkan pada peta topografi,

dapat diindikasikan bahwa wilayah tersebut termasuk ke dalam satuan

deliniasi fluvial, karena terdapat aliran-aliran fluvial yang disebabkan

17

Page 19: Laporan Bentang Alam Fluvial

oleh adanya aksi air permukaan (proses fluviatil). Disamping itu juga

terdapat endapan yang berada di tengah alur sungai atau disebut channel

bar serta terdapatnya meander atau kelokan sungai pada kenampakan

topografi satuannya.

Pada satuan deliniasi fluvial ini dibuat sayatan sebanyak 5 buah

secara menyebar di seluruh peta yaitu dari batas dataran banjir hingga

ke kontur terdekat dari dataran banjir tersebut. Setelah itu, sayatan

tersebut dihitung panjang sayatannya yang berguna untuk menentukan

persentase kelerengan. Berdasarkan dari perhitungan morfometri, maka

didapatkan hasil bahwa pada wilayah dengan kontur yang rapat

memiliki persentase kelerengan sebesar 10,09 %. Berdasarkan dari hasil

perhitungan tersebut, maka dapat diklasifikasikan bahwa wilayah yang

memiliki satuan fluvial tergolong kedalam relief bergelombang miring

(Van Zuidam, 1983). Hal tersebut dapat diinterpretasikan bahwa aliran

sungai induk tersebut berada sudah jauh dari pusat atau hulu sungai,

karena memiliki kelerengan yang tidak terjal.

Tabel 5.1 Klasifikasi Kelerengan Menurut Van Zuidam (1983)

Klasifikasi Relief % Relief Beda Tinggi

Datar / hampir datar 0 – 2 < 50

Bergelombang landai 3 – 7 5–50

Bergelombang miring 8 – 13 25 – 75

Berbukit bergelombang 14 – 20 50 – 200

Berbukit terjal 21 – 55 200 – 500

Pegunungan terjal 56 – 140 500 – 1000

Pegunungan sangat terjal > 140 >1000

Berdasarkan dari kenampakan aliran sungai pada peta topografi

tersebut, maka dapat diindikasikan bahwa pola pengaliran sungai

tersebut yaitu pola pengaliran dendritik. Hal tersebut disebabkan karena

adanya aliran anak-anak sungai yang bercabang serta menjari dari

17

Page 20: Laporan Bentang Alam Fluvial

sungai induknya dengan bentuk yang tidak beraturan. Pola ini

berkembang pada daerah dengan litologi batuan yang resistensinya

seragam. Disamping itu juga, pada daerah tersebut terdapat banyak

zona lemah, sehingga akan mengakibatkan adanya rekahan-rekahan

dimana rekahan tersebut akan terisi oleh aliran fluviatil yang dapat

memungkinkan terbentuknya anak sungai yang bercabang-cabang.

Kemungkinan besar pada sungai ini terjadi erosi vertikal pada bagian

yang elevasinya tinggi atau bagian hulu sungai, sehingga sungainya

memiliki lebar yang kecil. Sementara pada bagian hilir yang memiliki

elevasi rendah erosinya merupakan erosi lateral, sehingga memiliki

lebar sungai yang besar.

Gambar 5.1 Pola Pengaliran Dendritik

Pada peta topografi tersebut, terdapat sungai induk yang memiliki

lebar sungai yang besar, dimana sungai tersebut permukaannya dangkal

dan tidak kasar, sehingga aliran airnya lambat. Bila air mengalir dari

sungai yang kemiringan lerengnya curam ke dataran yang lebih rendah

maka kecepatan air akan berkurang dan tiba-tiba hilang, sehingga akan

menyebabkan pengendapan di daerah hilir sungai. Sehingga akan

terbentuk endapan material yang berada di tengah sungai atau disebut

juga channel bar. Terbentuknya channel bar dapat disebabkan karena

tingkat resistensi yang berbeda dimana pada bagian tengah sungai

memiliki tingkat resistensi yang tinggi, sehingga tidak mudah untuk

tergerus. Disamping itu juga akibat dari bentuk sungainya yang lebar,

sehingga tidak memungkinkan untuk melakukan pengendapan di tepi

sungai. Dapat diinterpretasikan pula bahwa relief pada daerah tengah

17

Page 21: Laporan Bentang Alam Fluvial

sungai memiliki elevasi yang tinggi serta terdapat batuan penghalang

yang memungkinkan sulit untuk tergerus oleh arus sungai.

Pada peta topografi tersebut juga dapat diindikasikan terdapat

meander atau kelokan sungai. Hal tersebut disebabkan karena gaya

hantam air pada tepi sungai sangat efektif yang diakibatkan karena

adanya arus yang rendah, karena apabila arus sungai tinggi maka aliran

sungai akan mengalir dengan deras, sehingga tidak membentuk kelokan

pada sungai. Disamping itu juga dipengaruhi oleh litologi yang

seragam. Berdasarkan dari ciri – ciri tersebut dapat diinterpretasikan

bahwa litologi yang terdapat pada satuan ini merupakan batuan beku

hingga batuan sedimen. Dimana pada daerah ini dominan terdapat

batuan sedimen karena adanya proses eksogen yang tinggi. Batuan

sedimen tersebut diindikasikan memiliki ukuran butir lempung hingga

bongkah, sesuai dengan energi transportasi dan energi pengendapannya.

Pada daerah hilir sungai terjadi erosi lateral yang akan semakin efektif,

sehingga akan menyebabkan pelebaran sungai. Oleh karena itu, pada

daerah hilir terjadi proses pengendapan yang efektif karena arus yang

rendah. Semakin ke arah hilir, maka energi transportasi semakin kecil

dan energi sedimentasinya akan semakin besar, maka material yang

diendapkannya pun akan berukuran kecil.

Berdasarkan interpretasi tersebut, maka dapat diindikasikan

bahwa tingkatan atau stadia sungai tersebut terdiri dari stadia muda

hingga stadia dewasa. Pada stadia muda dicirikan dengan adanya erosi

vertikal yang efektif, sehingga lebar sungai menjadi kecil serta

kenampakkan sungai yang relatif lurus dan mengalir di atas batuan

induk. Sehingga pada daerah hulu sungai yang termasuk ke dalam

stadia muda, tidak terjadi proses pengendapan yang efektif. Disamping

itu juga, pada daerah dengan stadia sungai muda memiliki dataran

banjir yang sempit. Sedangkan pada stadia dewasa dicirikan oleh erosi

lateral yang efektif akan mengakibatkan sungai menjadi lebar, mulai

17

Page 22: Laporan Bentang Alam Fluvial

membentuk meander atau kelokan sungai, cabang-cabang sungai sudah

mulai banyak, serta dataran banjir sudah mulai meluas.

Potensi positif dari satuan ini adalah sebagai pembangkit listrik

tenaga air, serta sumber irigasi persawahan. Sedangkan potensi

negatifnya adalah dapat terjadinya banjir bandang ketika terjadi hujan

secara terus menerus. Tata guna lahan yang telah dimanfaatkan adalah

sebagai pertambangan pasir.

5.2 Satuan Deliniasi Denudasional

Pada peta topografi daerah Randudongkal dan sekitarnya, terdapat

berbagai satuan diliniasi, salah satunya yaitu satuan deliniasi

denudasional. Satuan diliniasi tersebut diberikan batas terhadap satuan

yang lain dengan menggunakan pensil warna cokelat. Satuan

denudasional pada peta topografi tersebut mencangkup daerah

Randudongkal, Karangmontjol, Bandjaran, Semingkir, dan daerah

sekitarnya. Kenampakan yang dilihat pada peta topografi yaitu pada

daerah tersebut memiliki kontur yang sangat renggang. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa wilayah ini termasuk satuan denudasional.

Satuan deliniasi daerah denudasional dicirikan dengan adanya

elevasi yang rata karena adanya proses denudasi yang tinggi baik

berupa erosi, pelapukan maupun gerakan tanah. Disamping itu juga

terdapat batas-batas wilayah pemukiman yang ditandai dengan adanya

jalan yang membentuk banyak simpang sehingga terlihat seperti

persegi. Daerah denudasional mengindikasikan bahwa adanya aktivitas

manusia pada daerah tersebut yang menyebabkan adanya pemerataan

pada daerah tersebut.

Proses yang terjadi pada kawasan ini dapat berupa proses alami

maupun proses buatan manusia. Dimana pada proses secara alami dapat

terjadi salah satunya yaitu proses longsoran dari dataran yang lebih

tinggi yang memiliki kelerengan yang curam, sehingga lama kelamaan

daerah tersebut akan mengalami keseragaman elevasi. Disamping itu

17

Page 23: Laporan Bentang Alam Fluvial

juga aktivitas dari manusia yang memanfaatkan daerah tersebut sebagai

jalan, pemukiman atau aktivitas yang lain. Manusia memanfaatkan

daerah tersebut sebagai pemukiman karena memiliki kelerengan yang

relatif landai yang ditandai dengan adanya kontur yang renggang.

Adanya jalan yang terbentuk akibat aktivitas manusia dapat berfungsi

sebagai akses untuk berpergian.

5.3 Satuan Deliniasi Struktural Rapat

Pada peta topografi bentang alam fluvial daerah Randudongkal

dan sekitarnya, terdapat satuan deliniasi yang terdiri dari satuan fluvial,

struktural rapat, struktural renggang, hingga denudasional. Garis-garis

kontur yang terdapat pada peta topografi menyatakan titik ketinggian

suatu daerah tertentu. Apabila semakin rapat garis kontur yang terdapat

di peta topografi, maka semakin curam ketinggian suatu wilayah

tersebut. Wilayah yang memiliki kontur rapat tersebut masing-masing

diberikan batas dengan menggunakan pensil warna ungu tua pada kertas

kalkir. Daerah-daerah satuan deliniasi struktural rapat mencakup daerah

G. Wadasgumantung, G. Djenggol, Igir Sibenda, G. Tedjaula, G. Serut,

G. Mritja, dan daerah sekitarnya. Hal tersebut diindikasikan sebagai

daerah struktural rapat karena pada kenampakan peta topografi tersebut

memiliki kontur yang rapat, dimana semakin rapat suatu kontur maka

ketinggian suatu daerah akan semakin curam. Disamping itu juga pada

peta topografi tersebut terdapat banyak aliran-aliran sungai yang berasal

dari hulu sungai atau daerah struktural rapat.

Daerah yang memiliki kontur rapat tersebut kemudian dibuat 5

sayatan yang memotong 5 garis kontur pada letak yang berbeda dan

saling menyebar. Setelah itu, sayatan tersebut dihitung panjang

sayatannya yang berguna untuk menentukan persentase kelerengan.

Disamping itu juga, mencari titik tertinggi serta titik terendah pada

satuan kontur rapat yang berfungsi untuk menentukan beda tinggi pada

wilayah tersebut. Berdasarkan dari perhitungan morfometri, maka

17

Page 24: Laporan Bentang Alam Fluvial

didapatkan hasil bahwa pada wilayah dengan kontur yang rapat

memiliki persentase kelerengan sebesar 32,14%. Berdasarkan dari hasil

perhitungan tersebut, maka dapat diklasifikasikan bahwa wilayah yang

memiliki satuan kontur rapat tergolong kedalam relief berbukit terjal

(Van Zuidam, 1983). Kemudian, pada satuan kontur rapat juga

didapatkan titik tertinggi sebesar 770 meter, sedangkan titik

terendahnya sebesar 406 meter. Sehingga, berdasarkan tophill dan

downhillnya didapatkan bahwa beda tinggi pada satuan kontur

renggang sebesar 364 meter. Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam, beda

tinggi tersebut termasuk ke dalam golongan relief berbukit terjal.

Tabel 5.2 Klasifikasi Kelerengan Menurut Van Zuidam (1983)

Klasifikasi Relief % Relief Beda Tinggi

Datar / hampir datar 0 – 2 < 50

Bergelombang landai 3 – 7 5–50

Bergelombang miring 8 – 13 25 – 75

Berbukit bergelombang 14 – 20 50 – 200

Berbukit terjal 21 – 55 200 – 500

Pegunungan terjal 56 – 140 500 – 1000

Pegunungan sangat terjal > 140 >1000

Berdasarkan dari satuan kontur rapat tersebut, maka dapat

diinterpretasikan bahwa wilayah tersebut memiliki ketinggian serta

kelerengan yang terjal. Dapat diinterpretasikan bahwa batuan yang

terbentuk pada satuan kontur rapat tersebut diindikasi terdiri dari batuan

beku serta terdapat batuan sedimen. Dimana batuan beku maupun

batuan sedimen tersebut memiliki tingkat resistensi yang tinggi

terhadap proses pelapukan maupun erosi. Sehingga, dilihat dari

teksturnya maka dapat diinterpretasikan bahwa pada satuan deliniasi

struktural rapat memiliki tekstur ukuran butir yang kasar, karena jarak

17

Page 25: Laporan Bentang Alam Fluvial

transportasi yang dekat dengan gunungapi. Semakin tinggi energi

transportasinya maka energi pengendapannya akan semakin rendah.

Berdasarkan peta topografi pada wilayah yang memiliki kontur

rapat, terdapat banyak aliran sungai yang memiliki pola pengaliran

dendritik. Pola pengaliran dendritik yaitu pola pengaliran yang

memiliki anak sungai yang bercabang dan menjari. Pada peta topografi,

pola pengaliran sungai ditandai dengan warna biru tua maupun muda.

Berdasarkan hal tersebut, dapat diinterpretasikan bahwa pada wilayah

kontur rapat terdapat banyak hulu sungai yang mengalir dari puncak.

Pada kontur rapat tersebut memiliki ketinggian yang terjal, sehingga

sesuai dengan sifat air yang akan mengalir dari tempat tinggi menuju ke

tempat yang lebih rendah. Disamping itu juga, pada daerah hulu terjadi

erosi vertikal yang intensif serta belum terbentuknya bar deposit karena

arus pada daerah hulu sangat kuat. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka

dapat diinterpretasikan bahwa tingkatan sungai pada daerah hulu yaitu

stadia muda. Akibat dari adanya aliran-aliran fluviatil, maka dapat

diindikasikan bahwa pada daerah tersebut terdapat struktur sekunder

berupa kekar, sesar, maupun lipatan. Dimana terbentuknya struktur

kekar terjadi pada wilayah yang memiliki zona lemah. Indikasi adanya

sesar disebabkan karena adanya pembelokan aliran sungai secara

mendadak dan tajam. Sedangkan indikasi adanya lipatan dilihat dari

kenampakan peta topografi tersebut, dimana terdapat kontur yang rapat

kemudian renggang pada suatu wilayah tertentu.

Gambar 5.2 Indikasi Struktur Sekunder

17

Indikasi Lipatan

Indikasi Sesar dan Kekar

Page 26: Laporan Bentang Alam Fluvial

Tata guna lahan pada daerah yang memiliki kontur rapat banyak

digunakan sebagai wisata, seperti climbing, rifting, trakking, wisata air

terjun, serta wisata alam. Disamping itu juga, pada daerah tersebut

dapat digunakan sebagai hutan lindung karena banyaknya vegetasi yang

tumbuh. Potensi positif yang terdapat pada wilayah satuan struktural

rapat yaitu dapat dijadikan daerah pertambangan, karena batuan beku

seperti andesit banyak ditemukan untuk bahan baku kontruksi

bangunan. Disamping itu juga dapat dijadikan sebagai kawasan

geothermal atau panas bumi, dimana sebagai sumber tenaga listrik dari

proses hidrotermal yang terjadi di daerah gunungapi. Sedangkan potensi

negatif yang terdapat pada daerah tersebut yaitu dapat terjadinya

longsor, karena daerah tersebut memiliki kelerengan yang terjal. Oleh

karena itu, kawasan tersebut tidak dapat dimanfaatkan sebagai tempat

pemukiman, dimana akses jalan untuk menuju lokasi tersebut sangat

sulit untuk ditempuh dan berbahaya.

2.

5.1 Satuan Deliniasi Struktural Renggang

Satuan deliniasi struktural renggang menunjukan daerah dengan

kelerengan yang cenderung landai. Pewarnaan pada daerah ini

menggunakan warna ungu muda. Pada peta topografi, daerah yang

merupakan struktural renggang terdiri dari Simaling, Bulakan,

Pedjarakan, Tjengis, dan sekitarnya. Hal tersebut disebabkan karena

pada daerah tersebut memiliki kelerengan yang tidak curam dilihat dari

kontur pada peta topografinya.

Daerah yang memiliki kontur renggang tersebut kemudian dibuat 5

sayatan yang memotong 5 garis kontur pada letak yang berbeda dan

saling menyebar. Setelah itu, sayatan tersebut dihitung panjang

sayatannya yang berguna untuk menentukan persentase kelerengan.

Disamping itu juga, mencari titik tertinggi serta titik terendah pada

satuan kontur rapat yang berfungsi untuk menentukan beda tinggi pada

wilayah tersebut. Berdasarkan dari perhitungan morfometri, maka

17

Page 27: Laporan Bentang Alam Fluvial

didapatkan hasil bahwa pada wilayah dengan kontur yang rapat

memiliki persentase kelerengan sebesar 15,35 %. Berdasarkan dari hasil

perhitungan tersebut, maka dapat diklasifikasikan bahwa wilayah yang

memiliki satuan kontur rapat tergolong kedalam relief berbukit

bergelombang (Van Zuidam, 1983). Kemudian, pada satuan kontur

rapat juga didapatkan titik tertinggi sebesar 375 meter, sedangkan titik

terendahnya sebesar 127 meter. Sehingga, berdasarkan tophill dan

downhillnya didapatkan bahwa beda tinggi pada satuan kontur

renggang sebesar 248 meter. Berdasarkan klasifikasi Van Zuidam, beda

tinggi tersebut termasuk ke dalam golongan relief berbukit terjal.

Perbedaan klasifikasi antara persentase kelerengan dengan beda tinggi

dapat disebabkan karena adanya letak 5 sayatan kontur yang tidak

menyebar ke seluruh bagian dari satuan kontur rapat tersebut. Hal

tersebut akan mengakibatkan perbedaan perhitungan tinggi pada

wilayah yang disayat dimana akan dapat menyebabkan terjadinya

perbedaan dalam klasifikasi kelerengan.

Tabel 5.3 Klasifikasi Kelerengan Menurut Van Zuidam (1983)

Klasifikasi Relief % Relief Beda Tinggi

Datar / hampir datar 0 – 2 < 50

Bergelombang landai 3 – 7 5–50

Bergelombang miring 8 – 13 25 – 75

Berbukit bergelombang 14 – 20 50 – 200

Berbukit terjal 21 – 55 200 – 500

Pegunungan terjal 56 – 140 500 – 1000

Pegunungan sangat terjal > 140 >1000

Sungai pada satuan ini bermuara dari hulu yang berasal dari

lereng gunung. Sungai yang terdapat pada satuan deliniasi ini

cenderung lebar dan banyak terdapat channel bar maupun meander

sungai. Hal tersebut mengindikasikan bahwa erosinya berupa erosi

17

Page 28: Laporan Bentang Alam Fluvial

lateral dan dengan arus aliran yang semakin lemah sehingga tidak

sanggup membawa material – material sedimen yang tertransport

sebelumnya, maka material tersebut akan terendapakan pada tengah

sungai. Dan aliran arus sungai yang mulai melemah cenderung mencari

zona lemah untuk di lewatinya sehingga banyak terdapat meander yaitu

berupa kelokan sungai. Aliran sungai pada satuan ini juga cenderung

menjari membentuk cabang anak sungai, sehingga pola pengalirannya

berupa pola pengaliraan dendritik, dengan ciri – ciri tersebut sungai ini

dapat dikategorikan dalam sungai stadia dewasa. Perkiraan litologi pada

satuan ini adalah batuan sedimen yang fragmennya berukuran lebih

kecil dari kerakal karena telah mengalami proses pelapukan, erosi dan

transportasi yang jauh. Disamping itu juga, litologi yang terdapat pada

daerah struktural renggang pada umumnya memiliki tekstur yang halus.

Disatu sisi, pada daerah tersebut dapat ditemukan litologi dengan

tekstur yang kasar. Hal ini disebabkan karena batuan tersebut

terlontarkan secara langsung dari pusat gunungapi ketika erupsi dan

mengendap di tempat yang jauh. Disamping itu juga dapat

diinterpretasikan karena awal transportasinya yang tidak jauh, serta

resistensi dari provenence. Dimana semakin resisten, maka tekstur yang

dihasilkan akan semakin besar dan kasar. Pada satuan deliniasi

struktural renggang, dapat diindikasikan adanya struktur sekunder

berupa kekar maupun sesar. Adanya kekar dikarenakan pada daerah

tersebut terdapat zona lemah yang menyebabkan adanya aliran

permukaan. Sedangkan adanya sesar disebabkan karena adanya

pembelokan arah aliran sungai secara tajam.

Potensi positif satuan ini adalah berupa irigasi persawahan,

sedangkan potensi negatifnya adalah dapat meluapnya air sungai yang

diakibatkan debit air yang semakin meninggi. Tata guna lahan yang

telah dimanfaatkan adalah pertambangan pasir.

17

Page 29: Laporan Bentang Alam Fluvial

Gambar 5.3 Indikasi Struktur Sekunder

17

Indikasi Sesar

Indikasi Kekar

Page 30: Laporan Bentang Alam Fluvial

BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Daerah morfologi fluvial yang mencakup K. Bandjaran, K. Genitri dan

sebagainya pada peta topografi diberi warna hijau. Pola pengaliran sungai

pada peta diinterpretasikan sebagai pola pengaliran dendritik.

Daerah morfologi denudasional mencakup Randudongkal dan sekitarnya

pada peta diberi warna coklat. Di morfologi ini ditemui kontur yang sangat

jarang karena adanya keseragaman elavasi. Daerah ini pada umumnya

sudah dimanfaatkan manusia sebagai pemukiman ataupun jalan

Daerah struktural berkontur rapat mencakup G. Wadasgumatung dan

sekitarnya diberi warna ungu tua. Elevasinya terjal, erosi pada aliran

sungai cenderung erosi vertical karena arus yang deras, serta terdapat hulu.

Daerah struktural berkontur renggang mencakup Bulakan dn sekitarnya

diberi warna ungu muda. Elevasinya rendah sehingga erosi pada aliran

sungi cenderung ke erosi lateral, arus aliran yang pelan, serta terdapat hilir.

Menurut klasifikasi Van Zuidam (1983), daerah Randudongkal satuan

fluvialnya merupakan relief bergelombang miring, struktural rapat

merupakan relief berbukit terjal, dan struktural renggang merupakan relief

berbukit bergelombang hingga berbukit terjal.

Litologi yang terdapat pada daerah tersebut umumnya batuan sedimen

dengan ukuran butir yang berbeda, serta terdapat indikasi struktur

sekunder.

6.2 Saran

Perlu adanya koordinasi lebih antara asisten agar tidak terjadinya

perbedaan informasi yang disampaikan.

Sebaiknya tidak membangun rumah di daerah dekat sungai maupun daerah

yang terjal, karena dapat terjadi banjir serta longsor.

17

Page 31: Laporan Bentang Alam Fluvial

DAFTAR PUSTAKA

Endarto, Danang. 2005. Pengantar Geologi Dasar. Surakarta: UNS Press.

http://aryadhani.blogspot.com/2009/05/bentang-alam-fluvial.html (Diakses pada

hari Minggu, tanggal 30 Maret 2014, pada pukul 11.07 WIB).

http://geouh10.blogspot.com/2012/10/pola-aliran-sungai.html (Diakses pada hari

Minggu, tanggal 30 Maret 2014 pada pukul 11.20 WIB).

http://www.scribd.com/doc/52030477/Bentang-Alam-Fluvial (Diakses pada hari

Minggu, 30 Maret 2014, pada pukul 10.23 WIB).

Tim Asisten Geomorfologi dan Geologi Foto.2012.Panduan Praktikum

Geomorfologi dan Feologi Foto.Semarang : Laboratorium Geomorfologi

dan Geologi Foto.

17