Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

69
Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia – fokus pada cabe Laporan Penelitian SADI-ACIAR nomor proyek SMAR/2007/042 tanggal publikasi September 2009 dipersiapkan oleh Mr Benjamin White Departemen Industri Utama, Victoria anggota tim penulis/ kontributor/ kolaborator Mr Philip Morey Morelink Pty Ltd Dr Ronnie Natawidjaja Center for Agricultural Policy and Agribusiness Studies Dr Wendy Morgan, RMIT International disetujui oleh David Shearer nomor laporan akhir FR2007-10a ISBN 978 1 921615 45 0

Transcript of Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Page 1: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di

Kawasan Timur Indonesia – fokus pada cabe

Laporan Penelitian SADI-ACIAR

nomor proyek SMAR/2007/042

tanggal publikasi September 2009

dipersiapkan oleh Mr Benjamin White Departemen Industri Utama, Victoria

anggota tim penulis/ kontributor/ kolaborator

Mr Philip Morey Morelink Pty Ltd

Dr Ronnie Natawidjaja Center for Agricultural Policy and Agribusiness Studies

Dr Wendy Morgan, RMIT International

disetujui oleh David Shearer

nomor laporan akhir

FR2007-10a

ISBN 978 1 921615 45 0

Page 2: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

dipublikasikan oleh

ACIAR GPO Box 1571 Canberra ACT 2601 Australia

Publikasi ini diterbitkan oleh ACIAR ABN 34 864 955 427. Berbagai upaya telah dilaksanakan untuk memastikan keakuratan informasi yang termuat di dalam publikasi ini. Meskipun demikian, ACIAR tidak bertanggung jawab terhadap keakuratan atau kelengkapan informasi atau pendapat yang termuat dalam publikasi ini. Anda dihimbau melakukan pemeriksaan sendiri sebelum mengambil keputusan yang terkait kepentingan Anda. Dilarang untuk melakukan reproduksi seluruh atau sebagian isi dari publikasi ini tanpa ijin tertulis dari ACIAR.

© Commonwealth of Australia 2009 – Laporan ini dilindungi oleh UU Hak Cipta. Selain dari pemanfaatan yang diijinkan oleh UU Hak Cipta 1968, tidak satupun bagian yang dibenarkan untuk direproduksi dengan cara apapun tanpa ijin tertulis sebelumnya dari pihak Commonwealth. Permintaan dan pertanyaan perihal reproduksi dan hak dialamatkan ke pihak Bagian Perlindungan Hak Cipta Commonwealth, Kejaksaan-Agung, Robert Garran, National Circuit, Barton ACT 2600 atau ke http://www.ag.gov.au/cca.

Page 3: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Partisipasi ACIAR di dalam Program Kemitraan Australia–Indonesia Program Kemitraan Australia–Indonesia (Australia–Indonesia Partnership/AIP) mendukung berbagai upaya rekonstruksi dan pembangunan Indonesia, baik di daerah yang terkena bencana tsunami maupun di luarnya. Bantuan yang diberikan berupa kerja sama jangka panjang yang menekankan pada pembangunan sosial ekonomi. Sebagai bagian dari AIP, Prakarsa Pengembangan Agribisnis Petani Kecil (Smallholder Agribusiness Development Initiative/SADI) bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan produktifitas petani dan agribisnis sebagai respon terhadap beragam peluang pasar. Program ini dilaksanakan di empat provinsi di kawasan timur Indonesia – Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Komitmen ACIAR pada SADI menekankan pada dukungan terhadap kegiatan penelitian terapan yang berbasis pasar, peningkatan proses alih pengetahuan dan pengembangan kapasitas para stakeholder kelembagaan utama. Komitmen ini bertujuan untuk mengatasi berbagai kendala dan hambatan yang merintangi para petani kecil dan sektor agribisnis di dalam menjalin hubungan dengan pasar.

Page 4: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Pengantar Program Kemitraan Australia-Indonesia (Australia-Indonesia Partnership /AIP), yang berupa bantuan dana hibah sebesar $500 juta dan pinjaman ringan sebesar $500 juta dengan jangka waktu lima tahun, diumumkan pada Januari 2005. Kemitraan ini mendukung berbagai upaya rekonstruksi dan pembangunan Indonesia, baik di daerah yang terkena tsunami maupun di luarnya. Bantuan yang diberikan berupa kerja sama jangka panjang yang berkelanjutan dengan fokus pada berbagai proyek pembangunan sosial dan ekonomi serta program-program di bidang reformasi dan demokratisasi di Indonesia. ACIAR berkomitmen kepada kemitraan ini melalui keterlibatannya di dalam pelaksanaan salah suatu komponen dari Prakarsa Pengembangan Agribisnis Petani Rakyat (Smallholder Agribusiness Development Initiative/SADI) yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas dan pertumbuhan sektor pedesaan di empat provinsi di kawasan timur Indonesia – Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Prakarsa ini akan meningkatkan pendapatan dan produktivitas petani dan agribisnis di dalam merespon berbagai peluang pasar melalui sebuah proses yang didukung oleh kapasitas penelitian dan pengembangan terapan yang telah dikembangkan.

Peranan ACIAR di dalam prakarsa ini adalah untuk memperkuat kapasitas penelitian dan pengembangan pertanian di tingkat provinsi yang berbasis pasar dan klien serta mewujudkan proses alih pengetahuan yang efektif kepada para pengguna akhir. Bagian utama dari pendekatan ini dilaksanakan melalui berbagai proyek penelitian terapan berbasis pasar yang menjadi prioritas bagi para petani rakyat, kelompok tani, agribisnis, pemerintah, dan lembaga pendukung lainnya.

Laporan ini merupakan bagian dari sumbangsih ACIAR kepada Program Kemitraan Australia-Indonesia dalam bentuk analisa yang mendalam terhadap sebuah komoditas usaha tani rakyat yang penting di kawasan timur Indonesia. Laporan ini merekomendasikan untuk memberikan dukungan terhadap pengembangan di masa depan atas industri terkait di dalam kerangka Program SADI dan akan dimanfaatkan secara lebih lanjut di dalam komitmen ACIAR terhadap Program Kemitraan Australia-Indonesia di masa yang akan datang.

Saya yakin dan percaya bahwa laporan ini akan memberikan kontribusi yang bernilai kepada hubungan kemitraan yang penting ini.

Nick Austin Chief Executive Officer

Page 5: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Daftar Isi

1  Ucapan Terimakasih ................................................................................. 7 

2  Ringkasan Eksekutif ................................................................................. 8 

3  Pendahuluan ........................................................................................... 10 

4  Permintaan pasar untuk sayuran segar ................................................ 11 4.1  Ukuran pasar, komposisi dan pertumbuhan ...................................................................... 11 

4.2  Pola dan trend konsumsi makanan ................................................................................... 11 

5  Saluran Pemasaran Makanan ................................................................ 13 5.1  Permasalahan Distribusi .................................................................................................... 13 

5.2  Pola Belanja Konsumen .................................................................................................... 13 

5.3  Peran Dan Pertumbuhan Pasar Eceran Modern ............................................................... 14 

6  Industri Sayuran Indonesia dan Saluran Pasokan Regional ............... 16 6.1  Produksi Sayuran Indonesia .............................................................................................. 16 

6.2  Ekspor Sayuran Indonesia ................................................................................................. 17 

6.3  Impor Sayuran Indonesia ................................................................................................... 17 

7  Industri Sayuran Kawasan Timur Indonesia ........................................ 19 7.1  Overview ............................................................................................................................ 19 

7.2  Sulawesi Selatan ............................................................................................................... 20 

7.3  Sulawesi Tenggara ............................................................................................................ 24 

7.4  Nusa Tenggara Barat ........................................................................................................ 26 

7.5  Nusa Tenggara Timur ........................................................................................................ 27 

8  Fokus Pada Industri Cabe ...................................................................... 29 8.1  Overview atas Pasokan ..................................................................................................... 29 

8.2  Industri Pengolahan Cabe – Perspektif Pulau Jawa ......................................................... 29 

8.3  Industri Cabe di Sulawesi Selatan ..................................................................................... 30 

8.4  Perbandingan Rantai Pasokan Cabe di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Jawa Timur .................................................................................................................................. 33 

9  Kesimpulan dan rekomendasi ............................................................... 41 9.1  Indonesia memiliki industri sayuran yang besar dan beragam ......................................... 41 

Page 6: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

9.2  Cabe memiliki input dan produktifitas yang rendah di kawasan Timur Indonesia ............. 41 

9.3  Peluang pengolahan dan pemberian nilai tambah ............................................................ 42 

9.4  Pengelolaan pasca panen dan fasilitas berpendingin ....................................................... 42 

9.5  Terdapat banyak pilihan distribusi ..................................................................................... 43 

9.6  Peluang pengembangan pasar .......................................................................................... 43 

9.7  Analisis rantai nilai menunjukkan daya tawar petani masih rendah .................................. 44 

10  Daftar Pustaka ......................................................................................... 44 

11  Lampiran .................................................................................................. 46 11.1  Tabel produksi, ekspor, dan impor .................................................................................... 46 

11.2  Analisis Budidaya Cabe Kecil dan Cabe Besar di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur ..... 52 

11.3  Perbandingan kegiatan bertani dan teknologi di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur ........ 54 

11.4  Ringkasan Rantai Nilai Cabe Kecil .................................................................................... 54 

11.5  Detail rantai nilai cabe kecil ............................................................................................... 56 

11.6  Ringkasan Rantai Nilai Cabe Besar .................................................................................. 64 

11.7  Detail rantai nilai cabe besar ............................................................................................. 65 

Page 7: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

1 Ucapan Terimakasih Tim proyek ingin mengucapkan terimakasih kepada Balai Pengkajian Teknologi pertanian (BPTP) di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara atas berbagai masukan dan panduan tentang isu-isu regional serta kontribusi berharga yang diberikan oleh pihak Direktorat Jenderal Hortikultura.

Page 8: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

2 Ringkasan Eksekutif Indonesia, pasar terbesar keempat di dunia dengan jumlah populasi sebesar 220 juta pada tahun 2005, diperkirakan akan mencapai jumlah 250 juta pada tahun 2015, yang membuatnya menjadi sebuah pasar yang besar. Konsumsi makanan segar mengalami peningkatan dan konsumen di wilayah perkotaan menjadi semakin sadar dan peka terhadap gaya hidup yang sehat. Hal ini memberi peluang bagi sektor eceran modern untuk melakukan ekspansi di dalam penjualan makanan segar, misalnya produk sayuran hidroponik dan organik.

Indonesia memiliki 17.000 pulau dan hal ini merupakan sebuah tantangan utama di dalam mendistribusikan produk segar secara nasional. Umumnya produk sayuran segar lokal (kubis, kentang dan cabe) di Indonesia didistribusikan ke seluruh wilayah Indonesia tanpa menggunakan fasilitas pengangkutan yang berpendingin. Akan tetapi terdapat peningkatan penggunaan jasa angkutan udara untuk produk sayuran tertentu yang bernilai tinggi di dalam perdagangan antar pulau ke wilayah yang memiliki kekurangan pasokan.

Pasar basah tradisional masih mendominasi perdagangan makanan segar walaupun terdapat trend kenaikan pembelian makanan di outlet-outlet eceran modern. Sebagian besar supermarket dan hypermarket di Indonesia telah mengembangkan pangsa pasar mereka pada sektor eceran dengan membuka cabang-cabang baru di berbagai kota besar di Indonesia dan memberikan alokasi yang semakin besar kepada pangsa makanan segar dan bernilai tinggi, misalnya produk sayuran hidroponik dan organik. Baik jaringan Hypermarket Matahari maupun Supermarket Hero pada saat ini telah menawarkan beragam pilihan produk sayuran bumbu dapur dan jenis produk makanan lainnya yang merupakan bahan baku penting di dalam masakan Indonesia. Pada saat ini terdapat beragam pilihan cabe (lima varietas), jahe, bawang merah, bawang putih, lada, dan lain sebagainya.

Produksi sayuran Indonesia telah mengalami peningkatan sebesar rata-rata 8% per tahun sejak tahun 2001 dari 6,9 juta ton menjadi 9 juta ton (di luar produksi jamur sebesar 31 juta ton) pada tahun 2005, dimana hasil produksi ini dihasilkan dari lahan seluas satu juta hektar; dengan produksi rata-rata 9,6 ton per hektar. Tanaman sayuran utama yang dibudidayakan di Indonesia (di luar jamur) adalah kubis, cabe, kentang, bawang merah dan tomat.

Terdapat 33 provinsi di Indonesia yang memproduksi lebih dari 20 jenis sayuran: akan tetapi 85% dari keseluruhan tanaman dibudidayakan di Pulau Jawa dan Sumatera. Provinsi-provinsi penghasil sayuran terbesar adalah: Jawa Barat (35,6%), Jawa Tengah (13,3%), Jawa Timur (11,9%), dan Sumatera Utara (10,3%). Keempat provinsi ini menghasilkan lebih dari 70% total produksi sayuran.

Produk sayuran impor hanya bernilai sebesar 4% dari konsumsi total di Indonesia pada tahun 2005.

Kawasan timur Indonesia berkontribusi terhadap 11,6% dari jumlah produk sayuran Indonesia pada tahun 2005, dan memiliki populasi penduduk sebesar 16,0% dari jumlah populasi nasional. Hal ini memberikan angka rata-rata sebesar 28,7 kg per kapita dibandingkan dengan angka rata-rata nasional sebesar 39,8 kg per kapita. Oleh karena itu kawasan timur Indonesia merupakan importir bersih untuk produk sayuran, dimana pasokan terbesar diperoleh dari Pulau Jawa.

Sulawesi Utara (274.134 ton) dan Sulawesi Selatan (256.153 ton) merupakan provinsi-provinsi penghasil sayuran terbesar di kawasan timur Indonesia pada tahun 2005. Kedua provinsi ini menguasai 52% total produksi sayuran yang dihasilkan oleh 13 provinsi di kawasan timur Indonesia.

Page 9: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Provinsi Sulawesi Selatan memiliki kondisi topografi dan iklim yang sesuai untuk kegiatan budidaya tanaman sayuran dan oleh karenanya membudidayakan berbagai macam sayuran untuk keperluan konsumsi lokal dan perdagangan antar pulau. Sulawesi Selatan menghasilkan sekitar 256.000 ton sayuran dari lahan seluas 55.000 hektar; dengan hasil panen rata-rata sebesar 4,7 ton per hektar. Tanaman sayuran utama yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan adalah kubis (25,4%), cabe (15,3%), kacang panjang (7,9%), bawang perai (6,5%) dan tomat (6,3%).

Permasalahan utama yang terkait dengan pasokan sayuran untuk para pengecer di Makassar, ibukota Sulawesi Selatan adalah:

• Konsistensi jumlah yang diakibatkan oleh kurangnya pasokan sayuran lokal dari Sulawesi, terutama pada saat musim hujan dimana para pengecer terpaksa harus memasok kebutuhan mereka dari Pulau Jawa.

• Mutu produk sayuran segar lokal yang rendah dibandingkan dengan produk yang didatangkan dari Jawa.

• Besarnya fluktuasi harga untuk sejumlah produk sayuran seperti cabe.

Produksi cabe di Indonesia telah mengalami peningkatan rata-rata sebesar 20% per tahun sejak tahun 2001 dan mencapai 1 juta ton pada tahun 2005 yang dihasilkan dari lahan seluas 190.000 hektar; yang bernilai 12% dari total produksi sayuran. Lebih dari 60% cabe dihasilkan di Jawa, dimana Jawa Barat (198.000 ton) merupakan sumber utama pemasok cabe besar dan Jawa Timur (143.000 ton) menjadi pemasok terbesar untuk cabe kecil. Terdapat sebuah variasi yang besar antara hasil panen cabe besar dan cabe kecil.

Industri pengolahan saus cabe berpusat di Pulau Jawa (yang menguasai 60% produksi keseluruhan cabe segar maupun olahan) yang memiliki 10 perusahaan besar dan 12 pabrik pengolahan.

Sebuah analisis rantai nilai terhadap empat buah rantai pasokan cabe menemukan bahwa pasokan ke supermarket memberikan tingkat keuntungan tertinggi bagi para petani. Rantai nilai terendah adalah pasar tradisional.

Permasalahan utama yang dihadapi oleh industri cabe di Sulawesi Selatan adalah:

1. Produktifitas yang rendah.

2. Rendahnya upaya untuk memanfaatkan peluang nilai tambah pada tingkat petani (on farm).

3. Tidak adanya pemanfaatan fasilitas berpendingin untuk penanganan pasca panen.

4. Peluang pengembangan pasar.

5. Lemahnya daya tawar petani.

Direkomendasikan bahwa terdapat kebutuhan untuk menghubungkan para petani rakyat dengan pasar yang lebih dinamis, misalnya menghubungkan dengan pasar eceran modern dan industri makanan olahan. Dukungan teknis kepada para petani juga diperlukan untuk mewujudkan teknologi budidaya yang efisien di dalam meningkatkan produktifitas dan penerapan penanganan pasca panen yang efektif.

Page 10: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

3 Pendahuluan Indonesia merupakan sebuah pasar yang besar dan beragam dengan populasi sebesar 220 juta penduduk yang tersebar di 33 provinsi1. Mayoritas populasi dan kesejahteraan terdapat di provinsi-provinsi bagian barat Indonesia. Pada saat ini Pemerintah Indonesia dan lembaga bantuan internasional telah meningkatkan alokasi sumberdayanya di provinsi-provinsi bagian timur Indonesia untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat setempat.

Sebagian besar industri sayuran di kawasan timur Indonesia menghadapi permasalahan budidaya, misalnya serangan hama dan penyakit serta pengelolaan nutrisi serta pengairan. Pelaksanaan Program Smallholder Agribusiness Development Initiative (SADI) di kawasan timur Indonesia memberikan peluang untuk meningkatkan pemahaman tentang berbagai hambatan yang diakibatkan oleh pasar yang berdampak pada perkembangan industri sayuran Indonesia. Hambatan-hambatan memiliki potensi dampak terhadap keseluruhan proses rantai pasokan. Rantai pasokan yang kompetitif difokuskan pada sistem kerjasama yang didasarkan pada permintaan (bukan oleh sisi pasokan). Menurut Rijnconsult2, “Rantai nilai merupakan kolaborasi strategis dari berbagai lembaga yang bertujuan untuk mencapai tujuan-tujuan pasar spesifik secara jangka panjang untuk keuntungan bersama seluruh pihak yang terlibat di dalam rantai nilai tersebut.” Terdapat banyak jenis rantai pasokan, akan tetapi agar sebuah rantai pasokan dapat menjadi efektif dan mampu meningkatkan nilai di sepanjang proses rantai nilai maka diperlukan upaya pengkoordinasian, peningkatan fokus pada konsumen dan ketersediaan pengetahuan tentang pasar di sepanjang rantai tersebut. Permasalahan-permasalahan ini akan dijawab di dalam laporan ini.

Sebuah analisis rantai nilai terhadap industri cabe dilaksanakan untuk mengkaji berbagai permasalahan permintaan pasar yang dihadapi oleh industri sayuran di kawasan timur Indonesia, termasuk: produktifitas, pengolahan dan pemberian nilai tambah, penanganan pasca panen dan penggunaan fasilitas penyimpanan berpendingin, kemampuan distribusi dan pengembangan pasar.

Laporan ini memberikan sebuah tinjauan terhadap berbagai permasalahan yang berdampak pada permintaan pasar untuk produk sayuran (Bagian 2) dan juga saluran pemasaran yang digunakan di dalam mendistribusikan produk sayuran ke pihak konsumen (Bagian 3): hal ini meliputi sebuah pembahasan tentang pola belanja konsumen dan peran pengecer modern. Produksi, impor dan ekspor produk sayuran dibahas di Bagian 4.

Bagian 5 memaparkan tentang informasi terperinci tentang industri sayuran di kawasan timur Indonesia, yaitu di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB dan NTT. Sementara itu, Bagian 6 akan memberikan analisis tentang industri cabe di Indonesia dengan fokus pada Sulawesi Selatan.

Ringkasan tentang permasalahan-permasalahan utama yang berdampak pada pertumbuhan industri cabe disajikan pada Bagian 7.

1 Pada tahun 2007 terdapat 33 provinsi di Indonesia. Data 2005 yang menjadi dasar laporan ini dianalisis ketika baru terdapat 31 provinsi. Provinsi-provinsi baru adalah Provinsi Kepulauan Riau dan Sulawesi Barat. 2 AFFA, Supply Chain Learning for Australian Agribusiness (pembelajaran rantai pasokan untuk agribisnis Australia), 2000, hal. 9.

Page 11: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

4 Permintaan pasar untuk sayuran segar

4.1 Ukuran pasar, komposisi dan pertumbuhan Populasi Indonesia diperkirakan akan meningkat sebesar rata-rata 1,3% per tahun dalam kurun waktu 10 tahun yang akan datang, dan akan mencapai jumlah penduduk sebesar 250 juta jiwa pada tahun 2015. Hal ini membuat Indonesia menjadi pasar yang besar untuk produk sayuran segar maupun olahan.

Mayoritas populasi hidup di Pulau jawa (58%), dan di Pulau Sumatera (22%). Populasi yang terdapat di keempat provinsi yang dicakup oleh Program Smallholder Agribusiness Development Initiative (SADI), yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB dan NTT adalah sebesar 19,1 jiwa (hampir sebesar populasi Australia) yang merupakan 8,7% dari populasi Indonesia.

Urbanisasi menjadi suatu hal yang umum di Indonesia, dimana orang berpindah ke wilayah perkotaan untuk memperoleh pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik. Populasi di wilayah perkotaan adalah sekitar 45% total populasi penduduk Indonesia pada tahun 2005 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 52% dalam kurun waktu 10 tahun yang akan datang. Hal ini menjadi basis populasi yang besar bagi sektor eceran modern dan memiliki dampak positif terhadap para pemasok sayuran lokal.

Indonesia merupakan negara Islam terbesar di dunia. Lebih dari 88% populasi di Indonesia menganut agama Islam. Protestan dan Katolik merupakankelompok agama terbesar berikutnya, dengan jumlah 9% dari populasi, dan diikuti oleh Hindu (2%) dan Budha (1%). Oleh karena konsumen Muslim hanya mengkonsumsi makanan yang memenuhi persyaratan kehalalan yang ketat, hal ini membuat Indonesia menjadi pasar makanan halal terbesar di dunia.

4.2 Pola dan trend konsumsi makanan Makanan masih merupakan bagian terbesar (55% pada tahun 2004) dari pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia. Akan tetapi, pengeluaran untuk makanan sebagai bagian persentase dari keseluruhan pengeluaran mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat menjadi semakin makmur. Tabel 1: Persentase anggaran makanan di 9 negara* Negara Minuman dan

Tembakau Roti dan Sereal

Susu Lemak dan Minyak

Ikan Buah dan Sayuran

Daging Total Pengeluaran Makanan

Indonesia 11,3 33,5 5,7 4,7 8,7 23,7 5,1 54,6 Filipina 11,9 29,7 6,7 1,8 14,5 11,1 14,5 48,4 Thailand 28,6 16,1 5,2 2,8 3,3 16,4 18,6 28,6 Inggris 47,5 8,3 6,9 1,3 2,3 12,0 12,6 16,4 Australia 25,2 13,5 9,7 1,7 3,1 18,3 16,9 15,1 Jepang 23,1 22,3 4,8 0,7 17,0 12,8 7,8 14,9 Singapura 25,2 10,3 5,0 1,8 15,0 18,1 13,3 13,0 Hong Kong 17,9 9,0 3,4 3,3 19,7 11,8 22,7 10,3 AS 28,7 11,4 8,6 1,8 1,2 14,7 19,6 9,7 *Total persentase anggaran makanan di dalam keseluruhan pengeluaran; persentase sub-kelompok makanan sebagai bagian dari total pengeluaran makanan. Sumber: www.ers.usda.gov

Page 12: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Mayoritas (33%) pengeluaran makanan masyarakat Indonesia adalah untuk sub-kelompok “Roti dan Sereal” (terutama beras dan mie dari tepung gandum). Hal ini diikuti oleh “buah-buahan dan sayuran” sebesar 24%, sementara konsumsi “daging” dan “susu” hanya sebesar 5% anggaran makanan harian masyarakat Indonesia. Konsumen Australia membelanjakan proporsi yang lebih tinggi dari anggaran belanja makanan mereka untuk daging, susu dan minuman Tabel 1).

Konsumsi makanan segar mengalami kenaikan, terutama karena makanan segar tersedia secara luas dan para konsumen bisa menyimpannya di rumah masing-masing. Konsumsi sayuran telah mengalami peningkatan walaupun pada tingkatan yang lambat dibandingkan dengan produk hortikultura lainnya. Logistik yang lebih baik membuat makanan segar menjadi lebih mudah tersedia untuk para konsumen. Konsumen di wilayah perkotaan menjadi semakin sadar dan peka tentang kesehatan maupun keamanan makanan. Hal ini membuka peluang bagi sektor eceran modern untuk menawarkan sejumlah produk seperti sayuran hidroponik dan organik, dimana kedua produk ini dipasok dan dikemas oleh produsen lokal yang terspesialisasi.

Salah satu pemain eceran utama di dalam bisnis makanan dan gaya hidup organik di Indonesia adalah “Healthy Choice” yang memulai usahanya sejak tahun 2002 dan saat ini telah memiliki 7 cabang toko dan berencana untuk membuka 2 cabang lagi pada tahun 2007. “Healthy Choice” mempromosikan sebuah “cara baru untuk menikmati hidup sebaik mungkin” dan menawarkan lebih dari 200 jenis makanan organic dimana sebagian besar produk didatangkan dari AS, Uni Eropa, Taiwan dan Selandia Baru.

Terdapat kenaikan minat oleh sejumlah konsumen di Indonesia tentang gaya hidup yang sehat dan Healthy Choice merupakan pembuka jalan melalui penyediaan informasi dan promosi terhadap produk organic. Tabel 2: Konsumsi Produk Hortikultura Segar, Kg per kapita 1998 2003 % perubahan (1998-2003) Kentang 9,70 10,85 11,86 Tomat segar 1,42 1,61 13,54 Sayuran hijau 30,68 32,50 5,92 Jeruk 2,83 3,39 19,87 Buah lainnya 27,71 31,13 12,35 Sumber: Euromonitor dari berbagai sumber perdagangan

Akan tetapi kenaikan konsumsi makanan segar tidaklah secepat kenaikan makanan siap saji maupun makanan dalam kemasan. Masyarakat Indonesia menyukai makanan yang praktis dan nyaman. Makanan kemasan seperti keripik, es krim dan makanan-makanan ringan lainnya seringkali dibeli sebagai bagian dari kegiatan belanja rutin di supermarket. Makanan olahan beku juga mengalami kenaikan konsumsi akibat peningkatan ketersediaan makanan beku dan makin banyaknya rumah tangga yang memiliki lemari penyimpanan berpendingin.

Page 13: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

5 Saluran Pemasaran Makanan

5.1 Permasalahan Distribusi Indonesia menghadapi tantangan yang besar di dalam pendistribusian produk secara nasional. Sebagian besar distribusi produk lokal dilakukan melalui pelabuhan laut dan depot-depot regional.

Permasalahan distribusi terbesar bagi perusahaan adalah kurangnya sarana pengangkutan berpendingin dan sistem distribusi jalan yang jelek. Pada masa lalu, investasi pembangunan prasarana di kawasan timur Indonesia sangat terbatas dan hal ini menimbulkan permasalahan di dalam melaksanakan sistem pengangkutan berpendingin untuk produk-produk segar yang mudah rusak dari kawasan timur Indonesia.

Hanya sedikit perusahaan Indonesia yang menjalankan usaha distribusi national yang melayani produk lokal maupun impor. Hal ini melibatkan pengangkutan produk dari pusat industri/pergudangan yang berbasis di sejumlah depot regional di pulau-pulau utama – Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali/Lombok. Banyak importer dan pihak industri yang menjual ke pedagang grosir/distributor yang memasok secara langsung ke pasar eceran dan konsumen lainnya.

Di Jakarta, terdapat sebuah pasar grosir utama (Kramat Jati) untuk buah dan sayuran segar lokal, sementara produk hortikultura impor segar dijual langsung ke para pedagang grosiran (beroperasi di luar pasar grosir domestik) yang kemudian mendistribusikannya ke pasar eceran.

Sebagian besar produk sayuran segar lokal (kubis, kentang, dan cabe) didistribusikan ke seluruh Indonesia dengan menggunakan truk tanpa fasilitas berpendingin. Akan tetapi terdapat peningkatan penggunaan angkutan udara untuk produk sayuran tertentu yang bernilai tinggi untuk perdagangan antar pulau ke daerah yang mengalami kekurangan pasokan. Terdapat juga penggunaan truk berpendingin berukuran kecil oleh para produsen yang memasok produk sayuran bernilai tinggi ke pasar eceran modern dan industri makanan di Jakarta.

5.2 Pola Belanja Konsumen Pasar basah tradisional masih mendominasi perdagangan makanan segar, akan tetapi terdapat trend untuk berbelanja di outlet-outlet modern (AC Nielsen, 2003).

Pada masa sekarang, jam kerja orang Indonesia menjadi lebih panjang daripada masa sebelumnya, dan semakin banyak perempuan yang menikah serta memiliki anak yang bekerja dan menginginkan hidup yang lebih nyaman. Para pembelanja kelas menengah Indonesia (kurang lebih 30 juta jiwa dari total populasi sebesar 220 juta) telah menjadi semakin sadar dan peka terhadap merek serta trend. Gaya hidup mereka pada saat ini mengalami perubahan, dan bagian dari perubahan tersebut adalah kecenderungan untuk berbelanja di supermarket dan hypermarket daripada di pasar basah (tradisional).

Akan tetapi, terdapat lebih dari 95% pembelanja rumah tangga yang memilih untuk membeli produk daging segar, ikan dan produk laut lainnya, serta sayuran di pasar tradisional, sementara 21% pembelanja memilih untuk membeli produk buah segar di outlet pasar modern yang disebabkan oleh sistem penataan dan penyimpanan yang menarik dan lebih baik, serta akses yang lebih baik ke produk buah impor (AC Nielsen, 2003).

Page 14: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Konsumen yang berbelanja di pasar eceran modern menjadi semakin sadar atas isu kesehatan dan cenderung mencari pilihan yang “sehat”.

5.3 Peran Dan Pertumbuhan Pasar Eceran Modern Umumnya supermarket dan hypermarket di Indonesia telah memperluas pangsa pasar eceran mereka dengan cara membuka cabang-cabang baru di berbagai kota besar di Indonesia dengan memberikan penekanan kepada produk makanan segar. Belanja konsumen di pasar-pasar modern telah mengalami peningkatan dari 22% pada tahun 2000 menjadi sekitar 30% pada tahun 2004.

Pihak pedagang eceran mengatakan bahwa mereka memperkirakan pertumbuhan sebesar 17% pada tahun 2007, sementara hypermarket dan mini-market diperkirakan akan bertumbuh sebesar 25%. Sektor eceran cenderung akan menambah investasi mereka pada tahun 2007, dimana sejumlah pengusaha eceran luar negeri berencana untuk memasuki pasar Indonesia pada tahun 2007/2008, di antaranya adalah Metro (Eropa) dan Seibu (Jepang).

Terjadi peningkatan bertahap dalam hal jumlah usaha eceran modern yang membuka cabang di wilayah Indonesia untuk memenuhi peningkatan daya beli konsumen di sejumlah provinsi. Kurang lebih separuh dari 33 provinsi di Indonesia menjadi lokasi investasi usaha eceran modern. Walaupun mayoritas supermarket modern dan hypermarket berlokasi di Jakarta (dengan jumlah cabang sebanyak 109 buah), pada saat ini terdapat sejumlah pengecer modern yang membuka cabang di provinsi-provinsi yang terletak di kawasan timur Indonesia; tujuh di antaranya berlokasi di Sulawesi Selatan.

5.3.1 Carrefour Usaha waralaba eceran raksasa Perancis, Carrefour akan membuka lebih dari 10 cabang pada tahun ini, untuk menambah jumlah outlet pada saat ini sebanyak 28 buah yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, 19 di antaranya berlokasi di Jakarta. Lokasi cabang selain Jakarta antara lain adalah Bali, Surabaya, Makassar, Medan, Bandung dan Palembang.

5.3.2 Matahari PT Matahari Putra Prima (operator department store dan supermarket Indonesia) berencana untuk melipattigakan jumlah outlet menjadi 207 buah pada akhir 2009. Setelah membuka 12 cabang hypermarket baru tahun lalu, Matahari akan membuka 17 cabang lagi pada tahun 2007, dimana cabang-cabang ini akan menjadi tambahan bagi 18 hypermarket Matahari yang telah beroperasi di berbagai wilayah di Indonesia. Hypermart Matahari memfokuskan pada pemenuhan berbagai kebutuhan konsumen atas pasokan makanan dan pada saat ini menawarkan berbagai jenis produk sayuran bumbu dan jenis masakan lain yang penting bagi masakan Indonesia. Pada bagian sayuran, pada saat ini telah tersedia berbagai macam jenis cabe (lima varietas), jahe, bawang merah, bawang putih, merica, dan lain-lain yang dipajang bagi konsumen.

Hypermart memiliki 50 pemasok terdaftar untuk produk buah dan sayuran segar. semuanya diikat dengan menggunakan perjanjian kerjasama yang berlaku selama satu tahun dan pemasok mingguan dipilih berdasarkan proses tender harga terbaik. Terdapat tiga buah pemasok utama untuk produk cabe bagi Hypermarket dari Jawa Barat dan Jawa Timur dimana pasokan didasarkan pada kesepakatan harga mingguan.

Apabila 65% produk buah yang dijual oleh Hypermart adalah produk impor, maka sebagian besar produk sayuran berasal dari pemasok lokal.

Page 15: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Tidak terdapat ketentuan spesifikasi produk, aturan keamanan makanan maupun penerapan HACCP untuk produk sayuran segar. Pengecualian hanya berlaku pada produk sayuran hydroponic, aeroponic, dan organik yang menspesifikasikan bahwa produk yang dijual “bebas dari pestisida, dan bahan kimia” serta dibudidayakan secara organik. Akan tetapi, Hypermart tidak melakukan pengujian atas produk-produk ini. Berdasarkan narasumber di Matahari, merupakan hal yang sulit untuk menerapkan standar keamanan makanan untuk pemasok sayuran segar lokal.

Konsumen menjadi semakin tertarik atas pilihan gaya hidup sehat, sehingga produk-produk “yang sehat” mengalami pertumbuhan di dalam hal penjualan. Produk-produk ‘sehat’ ini mencakup produk sayuran hydroponic, aeroponic, dan organik yang diklaim antara lain sebagai produk yang bebas pestisida.

Terdapat rata-rata 5% produk sayuran segar sisa di seluruh jaringan outlet, bahkan angka ini bisa menjadi beragam hingga 15% pada sejumlah outlet.

5.3.3 Hero/Giant Operator supermarket terbesar di Indonesia PT Hero Supermarket (Dairy Farm) memiliki 241 outlet di seluruh wilayah Indonesia termasuk sejumlah cabang supermarket Giant. PT Hero Supermarket mengatakan bahwa perusahaan ini berencana untuk membuka 41 cabang baru pada tahun 2007. Supermarket Hero telah mengoperasikan sebuah pusat pendistribusian produk segar dengan fasilitas penyimpanan berpendingin di Cibitung selama hampir 10 tahun. Hero memiliki spesifikasi produk yang terperinci untuk seluruh produk buah dan sayuran segar merek. Produk yang tidak memenuhi ketentuan spesifikasi akan ditolak oleh pusat distribusi. Akan tetapi, peraturan tersebut baru diterapkan beberapa waktu yang lalu dan berhasil mengurangi persentase produk sisa hingga menjadi sebesar 7%.

Hero menerapkan perjanjian kerjasama dagang yang berlaku selama satu tahun dengan para pemasok mereka, sementara itu pemasok mingguan ditentukan berdasarkan mekanisme tender. Hero memiliki dua pemasok utama untuk produk sayuran yang membeli produk dari para petani dan mengemasnya untuk dipasarkan di Jakarta untuk Hero sebagaimana spesifikasi yang ditentukan. Tiga buah isu yang menjadi tantangan adalah biaya produksi, ketahanan hidup produk, dan mutu.

Untuk produk dari kawasan timur Indonesia, yang menjadi permasalahan utama adalah tingginya biaya transportasi dan kurangnya ketersediaan fasilitas penyimpanan dan pengangkutan berpendingin.

Hero memiliki sepuluh buah outlet A+ sebagai respon terhadap meningkatnya ketertarikan terhadap produk organik dan bebas pestisida oleh para konsumen. Outlet-outlet ini diperiksa secara independen setiap bulannya untuk memastikan perihal keamanan makanan (bagian daging dan bahan makanan), misalnya kemungkinan terjadinya kontaminasi.

Hero menawarkan empat varietas cabe kepada konsumennya dan menjual sekitar 1 hingga 2 ton per minggu per outlet di wilayah Jabotabek (Jakarta Raya). Angka ini menunjukkan peningkatan sebesar 500kg per minggu sejak Hero meningkatkan fokusnya pada produk bumbu masakan dan memperbaikan mutu tampilan pajangan di bagian produk tersebut.

Page 16: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

6 Industri Sayuran Indonesia dan Saluran Pasokan Regional

6.1 Produksi Sayuran Indonesia

6.1.1 Overview Produksi sayuran Indonesia mengalami kenaikan rata-rata sebesar 8% per tahun sejak tahun 2001 dari 6,9 juta ton menjadi lebih dari 9 juta ton (di luar produksi jamur sebesar 31 juta ton) pada tahun 2005. Produksi ini dihasilkan dari lahan pertanian seluas lebih dari satu juta hektar dengan hasil panen rata-rata 9,6 ton per hektar.

Produk cabe menggunakan 20% dari lahan pertanian sayuran, akan tetapi hanya menghasilkan 12% dari total hasil produk sayuran akibat tingkat panen rata-rata yang rendah. Hal ini tampak jelas jika dibandingkan dengan produksi kubis dan kentang yang masing-masing hanya menggunakan 6,5% dan 6,8% luas lahan pertanian sayuran namun mampu menghasilkan volume produksi yang lebih besar.

Tanaman sayuran utama yang dibudidayakan di Indonesia (kecuali jamur) dan hasil panen rata-rata mereka (ton per hektar) adalah sebagai berikut: Kubis (22,4 ton/ha), Cabe (4,7 hingga 6,4 ton/ha), Bawang merah (8,8 ton/ha) dan Tomat (12,6 ton/ha). Grafik 1: Sayuran, berdasarkan produksi di Indonesia, 2005

Saluran Pasokan Regional Terdapat 33 provinsi di Indonesia yang menghasilkan lebih dari 20 jenis sayuran, akan tetapi sebesar 85% dari keseluruhan sayuran dibudidayakan di Pulau jawa dan Sumatera.

Provinsi-provinsi penghasil sayuran terbesar adalah: Jawa Barat (35,6%), Jawa Tengah (13,3%), Jaw Timur (11,9%) dan Sumatera Utara (10,3%): keempat provinsi ini menghasilkan lebih dari 70% produksi keseluruhan sayuran.

Di kawasan timur Indonesia, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara merupakan produsen sayuran terbesar dengan persentase produksi masing-masing sebesar 3,1% dan 2,9% dari total produksi Indonesia.

Page 17: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

6.2 Ekspor Sayuran Indonesia Pada tahun 2005, Indonesia mengekspor 60.000 ton sayuran dengan nilai sebesar 18 juta dolar AS: hal ini hanya merupakan 0,2% dari total produksi yang dihasilkan.

Produk sayuran ekspor terbesar adalah kubis, kentang, jamur dan bawang merah. Gambar 1. Ekspor Indonesia atas sejumlah produk sayuran segar berdasarkan volume, 2005

6.3 Impor Sayuran Indonesia Indonesia mengimpor berbagai jenis sayuran melalui jalur laut dan juga udara untuk memenuhi pasokan sejumlah supermarket, hotel dan restoran. Impor produk sayuran Indonesia mengalami kenaikan tiga kali lipat (dalam nilai) selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir yang mencapai 98,0 juta dolar AS (374.000 ton) pada tahun 2005, sebuah kenaikan dari angka 33,4 juta dolar AS (53.500 ton) pada tahun 1994.

Produk sayuran impor terbesar pada tahun 2005 adalah bawang putih (283.282 ton), bawang merah (53.071 ton) dan bawang (22.133 ton). Ketiga jenis sayuran ini bernilai 96% dari volume dan 91% dari nilai impor sayuran Indonesia pada tahun 2005. China merupakan pemasok terbesar untuk produk bawang putih, bawang merah dan bawang.

Sayuran impor hanya bernilai sebesar 4% konsumsi total Indonesia pada tahun 2005.

Page 18: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Gambar 2. Impor Indonesia atas sejumlah produk sayuran segar berdasarkan volume, 2005

Page 19: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

7 Industri Sayuran Kawasan Timur Indonesia

7.1 Overview Kawasan timur Indonesia berkontribusi hanya sebesar 11,6% dari volume keseluruhan produksi sayuran di Indonesia. Sementara itu jumlah populasi Indonesia adalah sebesar 16% dari keseluruhan populasi. Hal ini merepresentasikan angka rata-rata sebesar 28,7 kg per kapita dibandingkan dengan rata-rata nasional Indonesia yang bernilai sebesar 39,8 kg. Oleh karena itu, maka kawasan timur Indonesia merupakan importir resmi sayuran, yang sebagian besar didatangkan dari Jawa.

Sulawesi Utara (274.134 ton) dan Sulawesi Selatan (256.153 ton) merupakan dua buah provinsi terbesar penghasil sayuran di kawasan timur Indonesia3 pada tahun 2005, dimana kedua provinsi ini menguasai 52% produksi sayuran yang dihasilkan oleh 13 provinsi di kawasan timur Indonesia.

Walaupun terdapat 20 jenis tanaman sayuran utama yang dibudidayakan di Indonesia, sejumlah provinsi di kawasan timur Indonesia umumnya hanya membudidayakan satu jenis tanaman sayuran spesifik, misalnya Sulawesi Utara (60% kentang) dan NTB (52% bawang merah).

Sebagian besar kentang dari Sulawesi Utara dibudidayakan di bawah sistem kontrak dengan pihak Indofood’s Fritolay untuk produk makanan ringan olahan. Para petani kentang di Sulawesi Utara dibayar dengan harga yang tetap dan memperoleh bantuan petunjuk teknis agrinomi dari pihak Indofood. Produk kentang diangkut dengan menggunakan peti kemas pintu terbuka dengan ukuran 20 kaki dan menempuh jalur laut ke Jakarta, sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu 5-6 hari. Harga yang disepakati oleh pihak perusahaan bernilai lebih rendah daripada harga kentang yang dipasok dari Jawa Barat. Harga yang lebih murah disebabkan oleh karena biaya lahan dan budidaya di Sulawesi Utara yang lebih rendah.

Provinsi Sulawesi Selatan memiliki topografi dan iklim yang sesuai untuk kegiatan budidaya tanaman sayuran dan oleh karena itu membudidayakan berbagai macam tanaman sayuran untuk keperluan konsumsi lokal dan perdagangan antar pulau.

3 KTI merujuk pada 13 provinsi: Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, NTT dan NTB.

Page 20: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Tabel 3. Produk Sayuran dan Populasi Per Provinsi di Kawasan Timur Indonesia, 2005 Provinsi Produksi (Ton) % Populasi (juta) % Konsumsi Per Kapita (kg)

Sulawesi Selatan

256.153 2,9 8,5 3,9 30,1

Sulawesi Tenggara

34.577 0,4 2,1 0,9 16,5

NTT 50.413 0,6 4,1 1,9 12,3 NTB 157.794 1,8 4,4 2,0 35,9 Total 498.937 5,7 19,1 8,7 26,1 Provinsi lain di KTI*

516.507 5,9 16,3 7,3 31,7

Total KTI 1.015.444 11,6 35,4 16,0 28,7 Lainnya 7.719.263 88,4 183,8 84,0 42,0 Total Indonesia

8.734.707 100,0 219,2 100,0 39,8

*Mencakup 9 provinsi, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan

Sumber: BPS-Statistik Indonesia dan Direktorat Jenderal Pengembangan Produksi Hortikultura

7.2 Sulawesi Selatan

7.2.1 Populasi Populasi di provinsi ini adalah sebesar 8,5 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai 9,1 juta jiwa pada tahun 2015; dengan tingkat kenaikan rata-rata sebesar 1,0%. Sulawesi Selatan berada pada peringkat ketujuh provinsi dengan populasi terbesar di Indonesia dan merupakan yang terbesar di luar Pulau Jawa dan Sumatera. Luas wilayah daratan Sulawesi Selatan adalah 62.482 km² dengan ibukota provinsi di Makassar.

7.2.2 Produksi Sayuran Sulawesi Selatan menghasilkan sekitar 256.000 ton sayuran dari lahan seluas 55.000 ha; tingkat panen rata-rata yang dihasilkan adalah sebesar 4,7 ton per ha.

Tanaman sayuran utama yang dihasilkan di Sulawesi Selatan dan hasil panen rata-rata (ton per ha) adalah sebagai berikut:

• Kubis (25,4%) – 23,9 ton/ha.

• Cabe (15,3%) – 2,4 hingga 4,9 ton/ha.

• Kacang panjang (7,9%) – 3,4 ton/ha.

• Bawang perai (6,5%) – 8,1 ton/ha.

• Tomat (6,3%) – 3,2 ton/ha.

Page 21: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Grafik 2. Produksi Sayuran, Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2005

Sulawesi Selatan terbagi ke dalam dua buayh wilayah iklim dan geografis yang berbeda – timur dan barat yang dipisahkan oleh kawasan pegunungan di bagian tengah. Ketika bagian timur Sulawesi Selatan mengalami musim hujan, maka bagi barat akan mengalami musim kemarau. Hal ini memberikan peluang untuk melakukan kegiatan budidaya sayuran sepanjang tahun.

Terdapat juga pemisahan antara kegiatan pertanian di wilayah dataran rendah (beriklim lebih panas) dengan wilayah dataran tinggi yang beriklim lebih dingin dan lebih sesuai untuk kegiatan budidaya sayuran.

Kegiatan budidaya sayuran di Provinsi Sulawesi Selatan terpusat utamanya di Kabupaten Enrekang dan Gowa.

• Kentang – Enrekang (50%), Gowa (31%), Tator (9,9%) dan Bone (6,2%)

• Kubis – Enrekang (90%), Gowa (5,2%) dan Tator (2,2%)

• Cabe besar – Enrekang (18%), Gowa (17,4%) dan 4 kabupaten lainnya dengan persentase 7-8%. untuk setiap kabupaten.

• Cabe kecil – Tator (15,9%), Gowa (11,3%) dan Takalar (11,3%).

Kabupaten Enrekang terletak di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan (sekitar 10 jam perjalanan darat), sementara Kabupaten Gowa berada di wilayah pegunungan di dekat ibukota Makassar (sekitar 2 jam perjalanan darat).

7.2.3 Studi Kasus – Pelabuhan Makassar Makassar merupakan satu di antara empat otoritas pelabuhan di Indonesia yang berada di bawah pengelolaan pemerintah pusat (Medan, Jakarta, Surabaya, dan Makassar). Pelabuhan Makassar memiliki tanggungjawab atas kawasan timur Indonesia (mulai dari Kalimantan Timur) dan mencakup 18 pelabuhan. Pelabuhan-pelabuhan utama di wilayah ini adalah Makassar, Bitung (dekat Manado), Balikpapan dan Sorong (Jayapura).

Biaya transportasi peti kemas adalah sebagai berikut:

• Makassar ke Jakarta – 20 kaki = Rp. 3,5 juta; 40 kaki = 4,0 juta

• Makassar ke Surabaya – 20 kaki = Rp. 2,5 juta; 40 kaki = Rp. 3,0 juta

Production (Ton)

70,000

60,000

50,000

40,000

30,000

20,000

10,000

0

Page 22: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Harga di atas belum termasuk biaya-biaya lainnya yang bisa dinegosiasikan tergantung pada permintaan. Menurut salah seorang importir biaya peti kemas berpendingin untuk buah-buahan yang diangkut dengan jalur laut dari Makassar ke Jakarta adalah sebesar Rp. 18,5 juta rupiah untuk peti kemas berkapasitas 40 kaki dan Rp. 14,5 juta untuk sebuah peti kemas berkapasitas 20 kaki.

Terdapat 281 eksportir yang terdaftar di Bea Cukai di Makassar, dimana 60 di antaranya mengekspor produk (sebagian besar adalah produk hasil laut) dengan menggunakan peti kemas berpendingin.

Arus angkutan barang di Pelabuhan Makassar telah mengalami peningkatan dari 6,3 juta ton pada tahun 2000 menjadi 8,9 juta ton pada tahun 2004 (sebagian besar merupakan perdagangan antar pulau domestik dan hanya 22% yang merupakan perdagangan ekspor/impor).

Ekspor produk dengan menggunakan peti kemas mengalami peningkatan dari 10.684 (TEU)4 pada tahun 2000 menjadi 12.283 (TEU) pada tahun 2006. Hal ini dibandingkan dengan impor produk yang diangkut dengan menggunakan peti kemas hanya sebesar 1.262 (TEU) pada tahun 2006 sementara angkutan barang dengan menggunakan peti kemas untuk pasar domestik memiliki nilai yang sangat besar, yaitu 242.526 (TEU) pada tahun 2006.

Sepuluh jenis barang terbesar yang diekspor adalah: arang, kakao, marmer, semen, kayu dan kayu lapis, produk hasil laut, kacang mete, karet, kopi, dan gula tetes.

7.2.4 Studi Kasus – Supermarket Eceran Diamond, Mal Panakukang Diamond merupakan satu dari tiga supermarket yang berada di mal Panakukang yang merupakan mal eceran terbesar Makassar – bersama dengan Carrefour dan Hypermart, usaha eceran makanan lainnya. Mal ini sangat ramai dimana sekitar 2 juta pengunjung per bulan dan tidak pernah kurang dari 20.000 pengunjung per hari.

Diamond Makassar memasok produk cabe dengan menggunakan peti kemas berpendingin berukuran 1 x 20 kaki per minggu dari Jakarta dan produk sayuran segar (sayuran dan sebagainya) dengan menggunakan satu truk terbuka (20 ton) dari Surabaya.

Permasalahan terbesar sayuran bagi para pengecer di Makassar adalah:

• Konsistensi jumlah – terdapat kekurangan sejumlah sayuran tertentu dari Sulawesi, terutama pada musim hujan, sehingga perlu untuk mendatangkan pasokan dari Jawa.

• Mutu sayuran lokal tidak sebaik produk sayuran yang dihasilkan di Jawa.

• Terdapat kemungkinan fluktuasi harga yang tinggi untuk sejumlah produk sayuran misalnya cabe (hingga Rp. 25.000 per kg pada bulan Desember dari harga terendah sebesar Rp. 6.000 per kg).

• Tidak terdapat koordinasi dengan petani maupun pendistribusian yang terorganisir serta investasi dari pihak swasta (kecuali PT Focus di Malino).

Diamond memiliki sebuah pemasok utama (pengumpul) untuk sekitar 80% kebutuhan sayuran mereka. Pihak pengumpul tersebut membeli langsung dari petani maupun pasar tradisional. Tidak ada kontrak formal maupun spesifikasi produk yang tertulis. Apabila produk yang 4 TEU – Kapasitas peti kemas diukur di dalam unit yang ekuivalen dengan duapuluh kaki (TEU, atau seringkali disebut teu). Satu unit ekuivalen merupakan pengukuran atas kapasitas angkutan barang yang dikirim dengan menggunakan peti kemas dan setara dengan peti kemas yang berukuran 20 kaki (panjang), 8 kaki (lebar), 9 kaki (tinggi).

Page 23: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

ditawarkan tidak sesuai dengan persyaratan mutu Diamond (visual) maka mereka akan menginformasikan kepada pengumpul yang akan memasok dari petani lainnya. Tidak terdapat sanksi dan aliran informasi formal maupun informal kepada petani sehingga mereka tidak menerima informasi yang memungkinkan bagi mereka untuk memperbaiki praktik yang berlaku selama ini.

7.2.5 Studi Kasus – Pedagang pengumpul kubis dari Malino Sulawesi Selatan membudidayakan kubis (65.048 ton) untuk memenuhi kebutuhan konsumsi lokal dan perdagangan antar pulau. Di Malino (3 jam dari Makassar) para pedagang pengumpul memuat kubis ke atas truk untuk dikapalkan ke Kalimantan Timur. Kubis dimaksukkan ke dalam karung dan setiap karung ditimbang (sekitar 70 kg per karung), kubis tersebut kemudian dikeluarkan kembali dari dalam karung dan dinaikkan dan ditumpuk di atas truk. Kubis-kubis tersebut dijejerkan secara merapat agar tidak goyang. Daun kubis sendiri tidak dibuang dan digunakan sebagai pelapis alami untuk melindungi produk sayur ini.

Truk dikapalkan ke Balikpapan (KalimantanTimur). Terdapat sekitar 8% produk yang rusak pada saat truk tiba di pasar. Kerugian produk yang rusak ditanggung sama rata antara pedagang pengumpul dengan pihak pemesan/pembeli. Kubis dijual berdasarkan harga tetap yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu sebesar Rp. 1.500 per kg. Harga di tingkat petani adalah sebesar Rp. 600 – 650 per kg (sekitar 40% dari harga jual) sementara biaya truk adalah sebesar Rp. 150 per kg). Pedagang pengumpul memperoleh keuntungan hingga Rp. 700 per kg (atau Rp. 14 juta per truk).

7.2.6 Studi Kasus – PT Focus Malino (Greenfields Malino) – Usaha Sayuran Terpadu

Focus merupakan sebuah perusahaan sayuran terpadu modern. Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan antara pengusaha Belanda dengan pihak pemerintah daerah. Focus adalah sebuah usaha pertanian modern (yang memiliki setidaknya tiga buah traktor dan sejumlah peralatan modern) yang dilengkapi dengan fasilitas gudang pengemasan (penyeleksian dan pembersihan untuk kentang dan wortel) serta dua buah fasilitas penyimpanan berpendingin yang berkapasitas 40 ton. Hampir semua peralatan yang dimiliki diimpor dari luar negeri.

Perusahaan ini menginvestasikan 1,7 juta Euro untuk pengadaan fasilitas modern. Focus memiliki lahan pertanian seluas 30 hektar dan melakukan hubungan kontrak kerjasama dengan sekitar 20 orang petani untuk pasokan tambahan. Perusahaan ini memilih petani yang berlokasi tidak di dekat jalan utama untuk mempermudah melakukan negosiasi harga pembelian yang lebih murah. Usaha ini dimulai sejak 18 bulan yang lalu yang didasarkan pada hasil kajian Focus yang menemukan tingkat margin keuntungan yang sangat besar antara harga yang diterima oleh petani dengan harga penjualan di pasar. Focus membayar para petani lebih tinggi 20% daripada harga yang biasanya diterima oleh petani dan mampu memasok secara langsung dengan menggunakan fasilitas pengangkutan berpendingin ke pasar eceran modern, antara lain Hypermart dan Diamond di Makassar pada tingkat harga yang lebih murah daripada yang ditawarkan oleh pesaingnya. Focus telah menghasilkan sebuah rantai nilai yang mampu menyediakan kepada konsumennya tawaran produk bermutu pada tingkatan harga yang bersaing.

Perusahaan ini bertujuan untuk menjadi pemasok utama produk sayuran segar di kawasan timur Indonesia bagi pasar eceran modern dan industri jasa makanan (hotel, restoran dan catering). Provinsi yang menjadi sasaran mencakup seluruh provinsi yang dimulai dari Kalimantan Timur hingga Papua.

Page 24: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Hingga saat ini belum ada penerapan spesifikasi produk yang formal maupun sistem HACCP selain penggunaan spesifikasi lisan. Seluruh proses pemilihan dan pengemasan dilakukan pada gudang pengemasan yang berada di Malino. Sejumlah produk sayuran (misalnya kubis) dibungkus rapat dan dikemas ke dalam peti plastik sebelum dimasukkan ke dalam penyimpanan berpendingin dan dikirim ke Makassar di dalam truk berpendingin.

Perusahaan ini masih membutuhkan pasokan tambahan dan memiliki peluang untuk menjadi sebuah penghubung utama (mirip koperasi) bagi wilayah dimana perusahaan ini beroperasi dan melakukan kontrak kerjasama dengan lebih banyak petani untuk memenuhi kebutuhan rencana perluasan yang dimiliki.

7.2.7 Studi Kasus – Petani Kentang di Malino Sebuah perusahaan kentang besar (Musanto) yang membudidayakan varietas granola menjalankan kegiatan usaha pertanian kentang di lahan seluas 47 hektar yang dilengkapi dengan sebuah fasilitas pembibitan, serta memiliki sekitar 10 ekor ternak sapi yang digunakan untuk menghasilkan pupuk organik, 3 buah traktor dan 2 buah truk. Penggunaan bahan kimia dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas penyiraman overhead sprinkle. Terdapat sebuah fasilitas terminal sub agribisnis (dibangun oleh Departemen Pertanian) pada lokasi perusahaan ini yang digunakan sebagai tempat untuk melakukan penyeleksian atas kentang berdasarkan ukuran (kecil, menengah, besar) sebelum kemudian dimasukkan ke dalam karung berukuran 70 kg. Karung-karung tersebut kemudian disimpan di dalam gudang hingga mencapai volume yang maksimal untuk diangkut dengan menggunakan truk untuk didistribusikan ke pasar di Surabaya, Makassar atau Balikpapan. Biaya transportasi adalah sekitar Rp. 250 per kg ke Balikpapan (Rp. 5 juta per truk berkapasitas 20 ton).

Perusahaan ini mempekerjakan seorang sarjana ahli kesehatan tanaman sebagai manajer pengembangan pembibitan dan produksi. Perusahaan tersebut pada saat ini mengembangkan varietas Atlantic di fasilitas pembibitan yang dimiliki dan sementara menjajaki peluang kerjasama dengan pihak Indofood.

7.3 Sulawesi Tenggara

7.3.1 Populasi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang paling terpencil di Pulau Sulawesi dimana tidak terdapat jalur jalan yang menghubungkannya dengan provinsi-provinsi lainnya di Sulawesi. Jalur transportasi utama adalah dengan menggunakan kapal feri yang melintasi Teluk Bone antara Watampone (Bone) di Sulawesi Selatan dengan Pelabuhan Kolaka di Sulawesi Tenggara. Populasi provinsi ini adalah sebesar 2,1 juta jiwa yang sebagian besar bermukim di Pulau Buton yang berada di bagian selatan Sulawesi Tenggara dan di Kota Kendari (ibukota). Populasi provinsi ini diperkirakan akan mencapai 2,65 juta jiwa pada tahun 2015; tingkat pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 2,7%.

7.3.2 Budidaya Sayuran Sulawesi Tenggara menghasilkan sekitar 35.000 ton produk sayuran dari lahan pertanian seluas 7.500 hektar; tingkat panen rata-rata adalah 4,6 ton per tahun. Tanaman sayuran utama yang dibudidayakan di Sulawesi Tenggara beserta hasil panen rata-ratanya adalah sebagai berikut:

• Terong (18,4%) – 8,4 ton/ha

• Kacang panjang (15,9%) – 4,5 ton/ha

Page 25: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

• Kangkung (13,32%) – 5,8 ton/ha

• Tomat (11,3%) – 5,4 ton/ha

• Kubis Cina (10,8%) – 6,5 ton/ha Grafik 2: Produksi Sayuran, Provinsi Sulawesi Tenggara pada Tahun 2005

Permasalahan utama yang dihadapi oleh produksi sayuran di Sulawesi Tenggara adalah:

• Provinsi ini mengimpor sayuran dalam jumlah besar dari Makassar (Sulawesi Selatan) dan Surabaya (Jawa Timur) yang disebabkan karena iklim di Sulawesi Tenggara yang terlalu panas untuk membudidayakan tanaman sayuran dalam jumlah besar.

• Kebutuhan untuk meningkatkan pengadopsian teknologi.

• Tidak adanya sub-terminal agribisnis di tingkat kabupaten sehingga memerlukan investasi.

• Adanya kebutuhan untuk memperkuat hubungan di antara pedagang pengumpul dan petani untuk kemitraan jangka panjang. Sistem yang berlaku pada saat ini dimana pedagang pengumpul mendatangi petani dan petani menerima harga yang ditawarkan hanyalah menguntungkan pihak pedagang pengumpul (yang memperoleh tingkat keuntungan terbesar).

Tanaman pertanian utama di provinsi ini adalah: kakao, produk hasil laut dan kacang mete.

7.3.3 Studi Kasus – Pasar Eceran Tradisional Baran Berbagai jenis produk sayuran segar tersedia di pasar eceran lokal. Harga eceran produk cabe besar lokal dijual seharga Rp. 10.000 per kg, sementara cabe keriting kecil dijual seharga Rp. 5.000 (dibeli seharga Rp. 4.000) per kg. Cabe kecil dijual seharga Rp. 5.000 per liter (2,5 liter per kg).

Di luar pasar terdapat sebuah kios yang menawarkan jasa pengolahan buah (pemarutan kelapa) dan sayuran (penggilingan cabe dan bumbu masak lainnya menjadi saus) dengan biaya Rp. 3.000 per kantong (1-2 kg). Mesin (dengan motor tarik) yang digunakan berharga Rp. 2 juta.

7.3.4 Studi Kasus – Pasar Grosir Umumnya produk sayuran (kentang, wortel, kubis dan tomat) yang dijual di pasar grosir di Kendari didatangkan dari Makassar dengan menggunakan angkutan bus. Dibutuhkan waktu

Page 26: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

selama dua hari via bus yang menempuh jalur darat dan laut (feri) dengan biaya angkut sebesar Rp. 600 per kg. Bus yang digunakan adalah bus penumpang yang mengangkut sekitar 20 orang dan karung-karung berisi sayuran yang diletakkan di bagian belakang serta di atas atap bus beserta berbagai jenis barang lainnya (misalnya computer).

Tanaman cabe lokal ditawarkan seharga jual Rp. 6.000 per kg, dimana harga pembeliannya adalah Rp. 4.000 per kg. Pihak pedagang melakukan penyortiran di pasar. Terdapat peluang untuk melakukan penambahan nilai melalui pengolahan produk cabe yang rusak dan bermutu jelek. Akan tetapi biaya pengadaan mesin penggiling tampaknya cukup mahal.

7.4 Nusa Tenggara Barat

7.4.1 Populasi Nusa Tenggara Barat (NTB) adalah sebuah provinsi yang terletak di bagian selatan-tengah Indonesia. Provinsi ini mencakup bagian barat Kepulauan Sunda Kecil, kecuali Bali. Dua pulau terbesar di provinsi ini adalah Pulau Lombok di sebelah barat dan Pulau Sumbawa yang berukuran lebih besar di bagian timur. Mataram yang terletak di Pulau Lombok merupakan ibukota dan kota terbesar di provinsi ini. Jumlah populasi di provinsi ini adalah sebesar 4,3 juta jiwa; 71% dari populasi tersebut hidup di Pulau Lombok.

7.4.2 Produksi Sayuran NTB menghasilkan sekitar 158.000 ton sayuran dari lahan pertanian seluas 26.000 hektar; hasil panen rata-rata per hektar adalah 6,1 ton. Tanaman sayuran utama yang dibudidayakan di NTB beserta hasil panen rata-ratanya (ton per hektar) adalah sebagai berikut:

• Bawang merah (51,5%) – 8,0 ton/ha

• Cabe (15,5%) – 2,5 hingga 3,4 ton/ha

• Tomat (6,6%) – 10,0 ton/ha

• Kacang panjang (6,2%) -6,3 ton/ha

• Kangkung (4,2%) – 17,4 ton/ha

Produksi bawang merah dan cabe kecil dari NTB berada pada peringkat keempat output produksi di Indonesia.

Page 27: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Grafik 4: Produksi Sayuran, Provinsi NTB pada Tahun 2005

010,00020,00030,00040,00050,00060,00070,00080,00090,000

Production (Ton) 81,369 24,517 10,499 9,784 6,560 6,440 5,670 4,512 3,541 1,680

Shallot Chili Tomato Y.Bean S. Cabbage Garlic Cucumber Aubergin Cabbage Pumpkin

7.5 Nusa Tenggara Timur

7.5.1 Populasi Populasi provinsi ini adalah sebesar 4,1 juta jiwa dan diperkirakan akan mencapai 4,7 juta jiwa pada tahun 2015. Percampuran agama di NTT tidaklah sebagaimana kondisi di Indonesia pada umumnya, dimana 91% menganut agama Kristen (mayoritas adalah Katolik walaupun juga terdapat populasi Protestan yang cukup besar) dan hanya 8% Muslim.

Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di bagian timur Kepulauan Sunda Kecil, termasuk Timor Barat. Ibukota provinsi ini adalah Kupang yang terletak di Timor Barat. Provinsi ini memiliki 550 pulau yang meliputi wilayah seluas 46.138 km², dimana terdapat tiga pulau terbesar, yaitu Flores, Sumba dan Timor Barat.

7.5.2 Produksi Sayuran NTT menghasilkan sekitar 50.000 ton sayuran dari lahan pertanian seluas 11.000 hektar hasil panen rata-rata per hektar adalah 4,5 ton. Tanaman sayuran utama yang dibudidayakan di NTT beserta hasil panen rata-ratanya (ton per hektar) adalah sebagai berikut:

• Kacang merah (16,6%) – 3,2 ton/ha

• Kubis Cina (10,0%) – 6,6 ton/ha

• Labu (9,1%) – 7,5 ton/ha

• Bawang merah (7,6%) – 4,5 ton/ha

• Terong (6,8%) – 6,9 ton/ha

Page 28: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Grafik 5. Produksi Sayuran, Provinsi NTT pada Tahun 2005

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

Production (Ton) 8,380 5,064 4,585 3,837 3,422 3,206 2,940 2,937 2,558 2,119

K.Bean C. Cabbage Pumpkin Shallot Aubergin Cucumber S.

Cabbage Tomato Chili Y. Bean

Page 29: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

8 Fokus Pada Industri Cabe

8.1 Overview atas Pasokan Produksi cabe5 di Indonesia mengalami peningkatan rata-rata sebesar 20% per tahun sejak tahun 2001 yang menghasilkan angka produksi sebesar 1 juta ton pada tahun 2005 yang dihasilkan dari lahan pertanian seluas 190.000 hektar, dimana angka produksi ini merupakan 12% dari keseluruhan produksi sayuran. Pada tahun 2005, mayoritas cabe yang dibudidayakan di Indonesia adalah cabe merah besar (661.730 ton atau 62% dari total produksi cabe) sementara produksi cabe kecil adalah 396.293 ton (atau 38% dari total produksi cabe). Tabel 4. Cabe Indonesia pada tahun 2001-2005 Uraian 2001 2002 2003 2004 2005 Produksi 580.464 653.089 1.066.722 1.100.514 1.058.023 Wilayah Panen 142.556 150.598 176.264 194.588 187.236 Hasil Panen (Ton/ Ha) 4,07 4,22 6,05 5,66 5,65 Sumber: Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Holtikultura, Direktorat Budidaya Tanaman dan Biofarmatika

Lebih dari 60% produksi cabe dihasilkan di Jawa dimana Jawa Barat (198.000 ton) merupakan penghasil terbesar cabe merah besar (30% produksi Indonesia) dan Jawa Timur (143.000 ton) sebagai penghasil terbesar cabe kecil (36% produksi Indonesia).

Hasil panen cabe besar berkisar antara 2,1 ton per hektar di Maluku dan 12,7 ton per hektar di Jawa Barat, sementara hasil panen cabe kecil berkisar antara 1,4 ton per hektar di Sulawesi Tenggara dan 11,8 ton per hektar di Jawa Barat.

Produksi cabe besar dan cabe kecil di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara diurut menurut ukuran (dengan diperbandingkan dengan ke-33 provinsi) di Tabel 5. Tabel tersebut memperlihatkan bahwa Sulawesi Selatan merupakan produsen cabe (cabe besar maupun cabe kecil) yang signifikan, tetapi kurang efisien dalam hal produktifitas (hasil panen). Sulawesi Selatan diurut sebagai salah satu produsen terkecil cabe besar maupun cabe kecil dan memiliki tingkat hasil panen yang paling rendah. Tabel 5. Produksi Cabe Besar dan Cabe Kecil di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Sulawesi Tenggara

Cabe besar Cabe kecil Cabe besar Cabe kecil Produksi (Ton) 30.168 (ke-7) 9.395 (ke-8) 820 (ke-27) 718 (ke-28) Produksi (HA) 6.152 (ke-7) 3.840 (ke-5) 367 (ke-25) 518 (ke-22) Hasil panen (T/HA) 4,9 (ke-11) 2,4 (ke-27) 2,2 (ke-29) 1,4 (ke-31)

8.2 Industri Pengolahan Cabe – Perspektif Pulau Jawa Industri pabrik pengolahan saus cabe berpusat di Pulau Jawa (60% dari semua produksi cabe segar dan olahan berlangsung di daerah ini) tempat beroperasi 10 perusahaan besar dan 12 pabrik pabrik pengolahan sebagai berikut: Jawa Barat (5), Jawa Timur (3), Jawa Tengah (2), dan Jakarta (2). Dua produsen besar saus cabe bermerek adalah Indofood dan ABC Heinz 5 Cabe merujuk pada (1) cabe merah besar untuk berbagai kebutuhan memasak, dan (2) cabe kecil untuk bahan saus

Page 30: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

yang masing-masing memiliki 2 pabrik besar. (Lihat Lampiran 2) Di samping itu terdapat banyak industri pengolahan saus cabe berskala kecil cabe, antara lain adalah PK Sinar di Makassar (Sulawesi Selatan).

8.2.1 Studi Kasus –ABC Heinz ABC merupakan industri pengolahan dan penjual terbesar produk saus cabe di Indonesia dimana produk-produknya umumnya dijual di jaringan eceran modern. ABC dalam sehari mengolah sekitar 50 ton cabe segar. Perusahaan tersebut telah mengadakan kontrak dengan petani yang memenuhi 50% dari kebutuhan perusahaan pada harga tetap Rp. 5.500 per kg dan diantar ke pabrik di Jakarta. Sisa 50% dari kebutuhan dibeli dengan harga yang berlaku (spot price) dari para pengumpul; harga dapat berfluktuasi antara Rp. 2.000 per kg dan Rp. 15.000 per kg. ABC bekerja sama dengan ahli gizi dari Institut Pertanian Bogor untuk mengembangkan mutu (tingkat kepedasan) cabe yang tepat dalam rangka memenuhi selera konsumen. Pasokan cabe untuk ABC Heinz didatangkan dari petani di Jawa Timur dan Jawa Barat. ABC mempunyai tim agrinomi yang bekerja sama dengan petani untuk menangani berbagai persoalan terkait dengan mutu dan serangan hama dan penyakit. Para petani yang dikontrak diharuskan untuk membudidayakan varietas bibit yang diinginkan oleh ABC. Terdapat 25 petani dalam satu kelompok yang bekerja di satu wilayah seluas 5 hektar yang rata-rata menghasilkan 2 ton. Setiap supervisor agrinomi ditugaskan untuk mengawasi 50 hektar (10 kelompok). Seorang supervisor ditempatkan di Jawa Timur dan seorang supervisor lainnya ditempatkan di Jawa Barat. Supervisor bertemu dengan kelompok tani setidaknya 3 kali –sebelum penanaman, saat penyemaian, dan setelah panen.

Petani berusaha untuk menghasilkan 0,5 kg sampai dengan 0,9 kg cabe per tanaman, dimana hasil tersebut tergantung pada kondisi mutu tanah dan pengelolaan. Para pedagang pengumpul akan melakukan penyortiran dan pengklasifikasian atas produk cabe yang dihasilkan untuk memenuhi spesifikasi produk yang ditentukan oleh ABC. ABC bertujuan untuk meningkatkan mutu keamanan produk makanan melalui kerjasama dengan para di dalam memperbaiki mutu teknik pemanenan cabe untuk menghindari adanya kandungan kotoran pada saat dikemas.

Tidak terdapat penggunaan fasilitas berpendingin karena cabe langsung diolah dalam kurun waktu 48 jam setelah tiba di pabrik. Namun, ABC juga mengimpor cabe beku dari Cina pada saat harga lokal sedang tinggi. Terdapat peluang untuk menghasilkan jaringan rantai pasokan dengan produk cabe dari Sulawesi, tetapi ini tergantung pada harga, mutu, dan ketersediaan serta biaya pengangkutan.

8.3 Industri Cabe di Sulawesi Selatan Industri cabe di Sulawesi Selatan berpusat di dua kabupaten –Gowa (selatan) dan Enrekang (utara).

Terdapat dua jenis cabe berdasarkan bentuk ukuran yang dibudidayakan di Indonesia, dimana keduanya masing-masing dikenal dengan nama cabe kecil dan cabe besar. Di Sulawesi Selatan terdapat sejumlah perbedaan penting antara petani cabe kecil dan cabe besar:

Petani cabe kecil tidak memakai bibit bermutu tinggi dan bersertifikat, sementara petani di provinsi yang sama menghasilkan cabe besar menggunakan bibit bersertifikat. Pemakaian bibit bersertifikat disebabkan oleh tingginya permintaan pasar dan kebutuhan kegiatan budidaya yang lebih intensif.

Kegiatan budidaya cabe kecil cenderung kurang intensif dan menggunakan bahan kimia yang lebih sedikit dibandingkan dengan budidaya cabe besar. Pada umumnya, petani di Sulawesi

Page 31: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Selatan memakai lebih sedikit pupuk dan pestisida dibandingkan dengan sistem pertanian di Jawa Timur, yang sudah sangat komersial dimana petani memakai banyak pupuk dan insektisida.

Budidaya cabe kecil tidak bersifat padat karya dan padat teknologi. Sementara itu, kegiatan budidaya cabe besar di Sulawesi Selatan cenderung mirip dengan pola yang diterapkan oleh petani di Jawa Timur.

Tampak jelas bahwa produksi cabe di Sulawesi Selatan membutuhkan banyak penyempurnaan karena saat ini baik produksi cabe kecil maupun cabe besar berada jauh di bawah kapasitas produksi. Berdasarkan hasil survei atas petani, produktivftas cabe kecil di Sulawesi Selatan adalah kurang dari 3 ton per ha, yang hanya 50% dari produktifitas cabe di Jawa Timur (6 ton per ha). Hal yang sama berlaku pada produktifitas cabe besar di Sulawesi Selatan yang sebesar 3,7 ton per ha dan hanya merupakan 25% dari produktifitas cabe besar di Jawa Timur (15 ton per ha).

Salah satu kendala pada sistem rantai pasokan adalah para pedagang pengumpul hasil bumi segar tidak bersifat permanen (seperti di Pulau Jawa); mereka bersifat fleksibel. Terdapat kebutuhan untuk memperkuat sistem antara para pedagang pengumpul dan petani. Kendala lain yang dihadapi adalah fluktuasi harga yang berujung pada terbatasnya komitmen petani untuk membudidayakan cabe setelah mereka mengalami panen buruk dengan harga rendah.

Di sini terdapat sejumlah alternatif untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu melakukan pengeringan dan kemudian pencampuran untuk pasokan sektor industri.

Mengelola hubungan antara pasokan (masa panen) dan permintaan adalah sangat penting untuk menghasilkan penawaran harga yang rasional bagi para petani. Pasokan yang ada pada saat ini masih tidak stabil dan oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem untuk mengelola produksi tanaman. Puncak musim cabe adalah pada bulan Agustus-September, tetapi harga mengalami penurunan bila produksi dari kabupaten-kabupaten di wilayah utara mengalami peningkatan. Pasokan ke pasar lokal menurun ketika permintaan dari Kalimantan dan Papua meningkat pada bulan Oktober-November.

Page 32: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Gambar 3: Industri cabe di Sulawesi Selatan (Makassar)

Bentuk rantai pasokan yang paling lazim selama puncak musim produksi adalah petani menjual secara langsung ke pasar-pasar tradisional (lewat pengumpul). Saat pasokan sedang rendah, pedagang mendatangi petani dan melakukan pembelian langsung. Petani menyadari bahwa harga mestinya sedang tinggi apabila pedagang grosiran mendatangi petani; oleh karena itu mereka berusaha memperoleh informasi dari pedagang lainnya. Di sini tidak terdapat sistem pelaporan harga pasar formal untuk menginformasikan harga pasar kepada para petani.

Sebagai contoh, pada bulan Mei 2006, harga cabe turun dari Rp. 7.000 per kg menjadi Rp. 3.500 per kg dalam tempo dua minggu. Hal ini terutama disebabkan karena terjadinya peningkatan pasokan. Harga impas adalah sekitar Rp. 2.000 per kg.

Pedagang menjual cabe tanpa melakukan pengklasifikasian di kebanyakan pasar eceran. Penyortiran hanya dilakukan di pasar grosiran untuk sektor eceran modern. Tingkat penyusutan di pasar adalah minimal, yaitu kurang dari 1%. Pasar Makassar:

Hampir 90% cabe lokal dijual lewat pasar grosiran; yaitu, sekitar 30 hingga 50 ton sehari. Di sini terdapat 2 pedagang utama cabe; cabe dapat dijual ke Surabaya dan Balikpapan lewat pengangkutan udara jika harga sedang bagus. Pedagang menjual sekarung cabe (50kg) dengan margin laba Rp. 50.000 – Rp. 70.000 per karung (Rp. 1.000 per kg); namun, saat musim puncak margin laba tersebut berlipat dua.

Terdapat sekitar sepuluh UKM lokal yang bergerak di bidang industri pengolahan saus cabe – beberapa menambahkan garam selama penyimpanan untuk memperpanjang umur simpan produk. PK Sinar, produsen saus cabe lokal, membeli dari pasar (5-10 ton sehari) jika harga sedang rendah atau akan membeli langsung dari petani. PK Sinar memproduksi saus cabe dalam botol-botol bir ukuran besar untuk kebutuhan pedagang kaki lima dan warung makanan.

8.3.1 Studi Kasus–Pengecer Diamond menjual 5 varietas cabe sebanyak kira-kira 100 kilogram per hari (lebih dari 20 kali lipat Matahari Hypermart, yang berada di lokasi yang sama). Diamond mempunyai basis pelanggan makanan yang besar (hotel dan restoran) dan dikenal dengan penawaran harga termurah untuk produk sayuran segar; penerapan harga pasar dan tempat luas untuk

Page 33: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

memajang berbagai produk mendorong pembelian secara besar-besaran. Margin keuntungan yang diterima oleh pengecer adalah 25% (setelah pajak).

Tidak terdapat pemberlakuan HACCP, tidak terdapat standar keamanan makanan, dan tidak ada spesifikasi tertulis untuk pemasok. Penyusutan di toko adalah sekitar 5% untuk produk sayuran. Tidak ada komunikasi kepada petani tentang mutu; informasi ini hanya diberikan kepada pengumpul, tetapi itu pun tidak setiap saat. Potongan harga tidak dimintakan jika ternyata produk bermutu rendah.

Kendala utama adalah keterbatasan volume pasokan produk bermutu. Seringkali pihak Diamond menerima produk sayuran yang tidak memenuhi standar visual yang diberlakukan di dalam menyeleksi produk yang akan dijual.

Harga eceran cabe di Matahari adalah sebagai berikut:

• Cabe merah keriting – Rp. 15.900 per kg

• Cabe hijau TW – Rp. 18.900 per kg

• Cabe rawit hijau – Rp. 18.990 per kg

• Cabe rawit merah – Rp. 19.900 per kg

• Cabe merah TW – Rp. 13.250 per kg

• Cabe rawit Makassar – Rp. 58.900 per kg

8.3.2 Studi Kasus –Petani Cabe Seorang petani dengan lahan sekitar 0,5 hektare (yang diwarisi dari generasi sebelumnya) menanam cabe kecil yang ditumpangsarikan dengan tanaman terung dan pohon rambutan. Tanaman cabe berjarak sekitar 1 meter satu sama lain, tetapi tidak berpola. Tanaman cabe bertahan hidup selama 2 tahun sebelum mati dan digantikan.

Input yang dipakai masih minimum. Petani membeli dan memakai sejumlah pupuk (urea) dan tanaman disemprot bahan kimia ketika sudah besar.

Cabe kecil dipetik ketika telah berwarna merah dan petani menjualnya per liter kepada para pengumpul atau langsung dijual ke pasar. Petani tidak melakukan penyortiran.

8.4 Perbandingan Rantai Pasokan Cabe di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Jawa Timur

Rantai Pasokan Cabe di Sulawesi Selatan –umum Di Sulawesi Selatan, petani menjual cabe kepada pengumpul lokal (85%), pedagang grosiran tradisional (5%), dan pasar eceran lokal (10%) (Gambar 4).

Page 34: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Gambar 4. Saluran Pemasaran Cabe di Sulawesi Selatan

Setengah dari produksi cabe dikirim oleh para pengumpul ke pulau lainnya. Pengumpul dari Kabupaten Majene, Mamuju, Sidrap, Enrekang, dan Tator mengirim cabe dari Sulawesi Selatan ke Kalimantan Timur. Sementara itu, pengumpul dari Kabupaten Bulukumba, Takalar, Wajo, dan Selayar seringkali mengirim cabe ke Sulawesi Tenggara. Sisa 50% cabe yang dibeli pengumpul dipasarkan kepada pedagang grosiran di Pasar Terong yang merupakan pasar induk di Makassar.

Dari pedagang grosiran di Pasar Terong, cabe dijual ke pedagang grosiran untuk supermarket (2,5%), langsung ke supermarket (5%), industri makanan (10%), pedagang cabe kering grosir (20%), pedagang antarpulau (25%), dan pasar tradisional (38%). Pedagang grosiran asal Sulawesi Selatan berdagang ke sebagian besar wilayah kawasan timur Indonesia, termasuk Kota Balikpapan, Kendari, Ambon, Manado, Timika, dan Jayapura.

Jumlah cabe yang dipasarkan lewat Pasar Terong adalah sekitar 2-3 ton per hari. Pihak industri olahan meningkatkan volume pembelian mereka dari pasar grosiran ketika harga sedang rendah, dimana PK Sinar, Sumber Baru, Merpati, dan Sampurna rutin membeli dari pedagang grosir.

Supermarket membeli cabe baik secara langsung dari pedagang grosiran (5%) di Pasar Terong atau dari pedagang grosiran khusus supermarket (2,5%). Pedagang grosiran tradisional memasok sekitar 50-150 kg cabe kecil per hari ke supermarket dan 100-250 kg per hari cabe besar. Pedagang grosiran tradisional juga memasok cabe bermutu tinggi (2,5%) ke pedagang grosiran supermarket, yang membutuhkan sekitar 50-100 kg per hari. Supermarket yang membeli cabe lokal di Sulawesi Selatan adalah Diamond dan Makro (150 kg per hari), Carrefour, Hypermart, Gelael, dan Hero (10-50 kg per hari).

Page 35: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

8.4.1 Rantai Pasokan Cabe di Sulawesi Tenggara – umum Sulawesi Tenggara memiliki rantai pasokan yang lebih kecil dan singkat untuk cabe lokal (Gambar 5). Pasokan cabe untuk Sulawesi Tenggara juga didatangkan dari Sulawesi Selatan lewat Pasar Terong. Produksi cabe di Sulawesi Tenggara terbatas dan tidak berlangsung secara berkelanjutan sepanjang tahun. Sementara itu (menurut seorang pedagang grosiran di Pasar Kendari), permintaan pasar terhadap cabe untuk grosiran mencapai setidaknya 500 kg per hari di Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Gambar 5. Rantai Pasokan Cabe di Sulawesi Tenggara

Kelokalan rantai pasokan yang terjadi di provinsi ini memberikan kesempatan kepada petani untuk menjual langsung kepada pedagang grosiran di pasar induk (20%) dan pengecer lokal (20%). Pedagang grosiran tradisional menjual di pasar eceran dan hanya sejumlah kecil yang disalurkan ke supermarket (5-10 kg per hari). Di Kendari hanya terdapat satu supermarket modern dan jumlah yang dibutuhkan sangatlah kecil, yaitu sekitar 2-5 kg per hari. Umumnya pelanggan supermarket adalah pendatang, sementara masyarakat setempat kebanyakan berbelanja bahan makanan di pasar tradisional.

8.4.2 Perbandingan dengan Jawa Timur Rantai pasokan di Sulawesi Selatan (Gambar 4) memiliki kemiripan dengan yang ada di Jawa Timur (Gambar 6). Kedua rantai tersebut memiliki tujuan pasar dan produk yang beragam, yang menjadikan mereka berdaya saing. Akan tetapi, oleh karena Jawa Timur merupakan salah satu pusat produksi utama cabe di Indonesia, maka volume perdagangannya jauh lebih besar daripada Sulawesi Selatan. Kedua pasar ini menjadi bagian dari pasar utama cabe Indonesia, dimana Sulawesi Selatan memainkan peranan yang lebih dominan di pasar Kawasan Timur Indonesia. Meningkatkan efisiensi rantai pasokan Sulawesi Selatan akan memberikan dampak yang signifikan, terutama pada pasar di kawasan timur Indonesia.

Page 36: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Gambar 6. Saluran Pemasaran Cabe di Jawa Timur

Supermarket Wholesaler

5% Supermarket

5% 5%

Farmer 90%

Collector

90%

Central Wholesale

Market

50% Trad. Retail Market

10% 25%

Local retailer

2.5 Inter Province

Market 10%

Retailer at Central Market

7.5 Consumer

8.4.3 Analisis Rantai Nilai Cabe Analisis rantai nilai terhadap berbagai rantai pasokan, sebagaimana yang dijabarkan di atas (Gambar 5 dan 6), dilakukan berdasarkan saluran paling lazim digunakan oleh petani untuk menjual hasil panen mereka dan sebagai duntuk melakukan perbandingan antara rantai tradisional dan modern. Dengan demikian, rantai yang dipilih adalah sebagai berikut: Gambar 7. Peta Rantai Nilai Cabe Kecil dan Cabe Besar di Sulawesi

Chain-1

Large

Chilli Chain-2

Small Chilli

Chain-3

Chain-4

Rantai 1 sampai dengan 3 adalah untuk cabe kecil dan cabe besar, sementara Rantai 4 hanya berlaku untuk cabe kecil. Dari keempat rantai, satu rantai bermuara di pasar tradisional (cabe kecil dan cabe besar), dua rantai bermuara di supermarket (cabe kecil dan cabe besar), dan satu rantai bermuara di industri makanan (hanya cabe kecil). Cabe besar juga dijual ke industri

Food Industri

Page 37: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

makanan, akan tetapi karena cabe besar dicampur dengan bahan lainnya, maka pada saat ini tidak terdapat informasi yang lebih rinci terhadap hal tersebut dan oleh karenanya tidak dimasukkan dalam analisa.

Subbagian berikut ini adalah sebuah analisis atas distribusi nilai tambah dan biaya untuk setiap rantai yang berbeda berdasarkan jenis cabe. Rantai 1(a) – cabe kecil kepada pengecer tradisional

1. Labor cost 67%

2. Agri input cost 15%

3. Land rent 18%

Cost

Value Added:

Rp 3,024.- per kg Value added

Petani menjual cabe kepada pengumpul lokal di lapangan tanpa melakukan klasifikasi. Pengumpul kemudian membuat penawaran kepada sejumlah pedagang grosiran di Pasar Terong. Setelah harga disepakati, pengumpul mengirimkan cabe ke pasar grosiran. Keseluruhan rantai tersebut menghasilkan pertambahan nilai Rp. 3.024 per kg cabe kecil dan jumlah biaya yang dihabiskan untuk menghasilkan pertambahan nilai adalah Rp. 1.478 per kg. Dari jumlah pertambahan nilai, petani menerima bagian terbesar, yaitu 37%, dan menghabiskan bagian terbesar di sisi biaya (60%). Petani cabe kecil menghabiskan sebagian besar dari biaya tersebut untuk buruh dan input lainnya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk. Namun, pada saluran pemasaran ke pasar tradisional, hanya sedikit biaya yang dihabiskan untuk menghasilkan pertambahan nilai. Oleh karena itu, pertambahan nilai yang dihasilkan adalah kecil. Rantai 1(b) – cabe besar ke pengecer tradisional

Untuk cabe besar, rantai ke pengecer tradisional menghasilkan pertambahan nilai sebesar Rp. 3.383 per kg dengan biaya sebesar Rp. 3.117 per kg. Dibandingkan dengan cabe kecil, pertambahan nilai yang dihasilkan oleh cabe besar bernilai lebih besar, akan tetapi pada saat bersamaan juga membutuhkan biaya yang lebih besar (dua kali lipat). Dari jumlah pertambahan nilai yang dihasilkan, pedagang grosiran menerima bagian terbesar dari pertambahan nilai (29%). Petani juga menerima bagian besar dari pertambahan nilai (28%), walaupun jauh lebih kecil daripada bagian yang diterima petani cabe kecil. Sebaliknya, pedagang grosiran dengan hanya 1% dari jumlah biaya rantai memperoleh bagian tertinggi dari pertambahan nilai. Pedagang grosiran tersebut menghabiskan sebagian besar biaya operasional untuk buruh untuk pengadaan produk serta penjualan dan penyerahan ke pasar eceran. Pedagang grosiran memiliki selisih terbesar antara biaya dan pertambahan nilai dan hal ini dapat dijelaskan oleh kenyataan bahwa pedagang grosiran memiliki lebih banyak informasi dan saat harga

Page 38: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

berfluktuasi dia dapat memanfaatkan informasi tersebut untuk memperoleh posisi tawar-menawar dan harga yang lebih baik.

Rantai 1a dan 1b ke pengecer tradisional hanya mempunyai satu kegiatan kecil pertambahan nilai (yang paling kecil di antara keempat saluran yang dianalisa) lantaran di rantai ini tidak dilakukan kegiatan penyimpanan, penyortiran, pengklasifikasian, pengemasan dan pelabelan, serta pengolahan. Rantai 2(a) – cabe kecil ke supermarket

1. Labor Cost 66% 2. Agri Input cost 21% 3. Land Rent 13%

Petani menjual cabe yang belum disortir kepada pengumpul lokal. Pengumpul kemudian menyortir cabe dan menjual cabe bermutu tertinggi kepada pedagang grosiran. Pedagang grosiran hanya memasok cabe bermutu tertinggi ke supermarket. Rantai kedua untuk cabe kecil ini menghasilkan pertambahan nilai Rp. 4.332 per kg dimana jumlah biaya yang dihabiskan untuk menghasilkan pertambahan nilai tersebut adalah Rp. 3.117 per kg. Dari jumlah pertambahan nilai yang dihasilkan, petani menerima bagian pertambahan nilai yang terbesar (44%). Petani cabe kecil menghabiskan sebagian besar biaya untuk buruh (66%) dan input lainnya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk. Di dalam rantai ini, pengumpul dan pedagang grosiran melaksanakan kegiatan pertambahan nilai seperti penyortiran, pengklasifikasian, dan pengemasan. Hasilnya, rantai tersebut menghasilkan pertambahan nilai yang lebih besar daripada rantai 1a. Rantai 2(b) – cabe besar ke supermarket

1. Labor Cost 50% 2. Agri Input cost 44% 3. Land Rent 5%

Large Chilli

Rantai kedua pada cabe besar menghasilkan pertambahan nilai Rp. 4.552 per kg untuk jumlah biaya Rp4.046 per kg. Dari jumlah pertambahan nilai yang dihasilkan, petani menerima bagian terbesar dari pertambahan nilai (37%). Namun, petani juga harus mengeluarkan Rp. 2.101 per kg (52% dari biaya rantai) yang sebagian besar dibelanjakan untuk buruh (50%) dan input lainnya. Pengumpul dan pedagang grosiran cabe besar melaksanakan beberapa fungsi pemasaran untuk menghasilkan pertambahan nilai seperti penyortiran, pengklasifikasian, dan pengemasan sesuai permintaan supermarket. Jumlah pertambahan nilai cabe besar pada

Page 39: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Rantai 2b adalah 34% lebih tinggi daripada pertambahan nilai yang dihasilkan oleh Rantai 1b (saluran ke pasar tradisional). Rantai 3(a) – cabe kecil ke supermarket, lewat pedagang grosiran spesialistis

Rantai nilai ini menghasilkan pertambahan nilai Rp5.810 per kg cabe kecil dengan jumlah biaya Rp2.600 per kg. Dari jumlah pertambahan nilai yang dihasilkan, pedagang grosiran spesialistis menerima bagian terbesar dari pertambahan nilai (33%). Namun, pedagang grosiran tersebut mesti mengeluarkan Rp604 per kg untuk menghasilkan pertambahan nilai tersebut (22% dari biaya rantai), yang sebagian besar dibelanjakan untuk biaya penjualan/ penyerahan (68%). Pedagang borong spesialistis cabe kecil mengharuskan pedagang grosiran tradisional melaksanakan beberapa fungsi pemasaran untuk menghasilkan pertambahan nilai seperti penyortiran, pengklasifikasian, dan pengemasan sesuai permintaan supermarket. Petani juga mendapatkan bagian besar dari pertambahan nilai (terbesar kedua di dalam rantai, yaitu 28%). Jumlah pertambahan nilai cabe kecil di dalam Rantai 3a adalah 92% lebih tinggi daripada pertambahan nilai yang dihasilkan oleh saluran ke pasar tradisional (Rantai 1a). Rantai 3(b) –cabe besar ke supermarket, lewat pedagang grosiran spesialistis

1. Labor Cost 50% 2. Agri Input cost 44% 3. Land Rent 5%

Large Chilli

Rantai 3(b) menghasilkan pertambahan nilai Rp. 5.045 per kg cabe besar dengan jumlah biaya Rp. 3.935 per kg. Dari jumlah pertambahan nilai yang dihasilkan, petani mendapatkan bagian terbesar dari pertambahan nilai (33%). Namun, petani juga harus mengeluarkan Rp. 2.037 per kg (52% dari biaya rantai) yang sebagian besar dibelanjakan untuk buruh (55%) dan input lainnya yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk. Pedagang grosiran cabe besar juga melaksanakan beberapa fungsi pemasaran untuk menghasilkan pertambahan nilai seperti penyortiran, pengklasifikasian, dan pengemasan yang dimintakan oleh supermarket. Jumlah pertambahan nilai cabe besar lewat Rantai 3(b) adalah 49% lebih tinggi daripada pertambahan nilai yang dihasilkan oleh saluran ke pasar tradisional (Rantai 1(b)).

Page 40: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Rantai 4 – cabe kecil ke pengolahan makanan

Sebagian besar perusahaan industri makanan yang mengolah cabe di Sulawesi Selatan masuk ke dalam kategori usaha kecil dan menengah (UKM). Industri ini memasok kebutuhan cabe mereka dari para pedagang grosiran di Makassar atau yang berada di kabupaten terdekat daripada memasok langsung dari petani. Industri tidak mempersyaratkan cabe yang bermutu tinggi karena cabe lazimnya diolah bersama bahan lainnya dan hanya berfungsi sebagai bumbu untuk menghasilkan rasa pedas, utamanya untuk saus cabe. Oleh karena itu, di Sulawesi, konsistensi, kontinuitas, dan mutu produk bukanlah suatu hal yang penting bagi pabrik-pabrik UKM yang memakai cabe. Selain itu, saat ini permintaan industri terhadap cabe masih tergolong kecil.

Rantai untuk industri pangan menghasilkan pertambahan nilai Rp. 3.083 per kg cabe kecil dengan jumlah biaya pertambahan nilai Rp. 3.261 per kg. Dari jumlah pertambahan nilai tersebut, petani dan prosesor makanan mendapatkan bagian tertinggi dari pertambahan nilai (yaitu masing-masing 36% dan 35%). Petani harus mengeluarkan Rp. 881 per kg (27% dari biaya rantai) untuk menghasilkan pertambahan nilai tersebut yang sebagian besar dibelanjakan untuk buruh (67%) dan input lainnya untuk menghasilkan produk. Sebaliknya, industri menghabiskan bagian terbesar biaya, yaitu Rp. 2.014 per kg (62%), untuk memproduksi sambal cabe. Jumlah pertambahan nilai cabe kecil untuk industri makanan hanya 2% lebih tinggi daripada pertambahan nilai yang dihasilkan oleh saluran pasar tradisional.

8.4.4 Analisis rantai nilai – ringkasan Singkatnya, rantai nilai ke supermarket memberikan keuntungan terbesar kepada petani karena meliputi berbagai kegiatan penciptaan nilai, seperti penerapan teknologi yang tepat guna di dalam kegiatan budidaya dan peningkatan mutu penanganan pasca panen.

Analisis terhadap keempat rantai nilai ini memperlihatkan bahwa rantai pertambahan nilai tertinggi adalah saluran ke supermarket melalui pedagang grosiran supermarket (Rantai 1). Secara konsisten, petani mendapat keuntungan tertinggi dengan cara memasok ke supermarket (Rantai 1 dan 2) jika dibandingkan dengan saluran lainnya. Rantai pertambahan nilai terendah adalah saluran ke pasar tradisional.

Terdapat kebutuhan untuk membantu para petani untuk bisa terhubung dengan pasar-pasar yang lebih dinamis, antara lain ke supermarket dan industri makanan. Bantuan teknis kepada petani juga dibutuhkan dalam hal teknologi budidaya yang lebih efisien untuk meningkatkan produktifitas dan penerapan penanganan pasca panen.

1. Labor Cost 50% 2. Agri Input cost 44% 3. Land Rent 5%

Page 41: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

9 Kesimpulan dan rekomendasi

9.1 Indonesia memiliki industri sayuran yang besar dan beragam Indonesia, dengan jumlah penduduk 220 juta jiwa, merupakan konsumen dan penghasil sayuran yang besar. Pada tahun 2005, Indonesia menghasilkan lebih dari 9 juta ton (di luar 31 juta ton jamur) dan mengimpor lebih dari 370.000 ton sayuran, yang sebagian besar berasal dari Cina.

Di Indonesia terdapat 33 provinsi yang menghasilkan lebih dari 20 jenis sayuran. Sayuran utama yang dibudidayakan di Indonesia (selain jamur) adalah kubis, cabe, kentang, bawang merah/ bawang bombai, dan tomat.

Provinsi penghasil utama sayuran adalah: Jawa Barat (36%), Jawa Tengah (13%), Jawa Timur (12%), dan Sumatera Utara (10%); keempat provinsi tersebut menghasilkan lebih dari 70% dari keseluruhan produksi sayuran.

Di kawasan timur Indonesia, Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan merupakan penghasil utama sayuran dengan persentase produksi masing-masing sekitar 3,1% dan 2,9% dari produksi nasional.

9.2 Cabe memiliki input dan produktifitas yang rendah di kawasan Timur Indonesia

Lebih dari 60% jumlah produksi cabe dihasilkan di Pulau Jawa, dimana Jawa Barat(198.000 ton) adalah sumber utama cabe besar dan Jawa Timur (143.000 ton) adalah sumber utama cabe kecil.

Sulawesi Selatan merupakan penghasil besar cabe (cabe kecil maupun cabe besar), tetapi tidak efisien dari segi produktifitas (hasil panen), sementara Sulawesi Tenggara merupakan sebagai salah satu penghasil terkecil cabe kecil maupun cabe besar dan memiliki produktifitas yang paling rendah.

Sulawesi Selatan berkondisi iklim unik yang memungkinkan daerah ini untuk menghasilkan cabe sepanjang tahun. Pada umumnya, budidaya cabe di Sulawesi Tenggara kurang intensif dan oleh karena itu memiliki produktifitas yang lebih rendah dibandingkan dengan Sulawesi Selatan. Produksi dan produktifitas cabe (maupun sayuran lainnya) yang rendah di Sulawesi Tenggara terutama diakibatkan oleh kondisi iklim (terlalu panas) yang menjadikan provinsi ini kurang sesuai untuk kegiatan budidaya sayuran berskala besar.

Hasil panen cabe besar di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara berkisar masing-masing antara 4,9 ton dan 2,2 ton per hektar dibandingkan dengan 12,7 ton per hektar yang dihasilkan di Jawa Barat, sementara hasil panen cabe kecil di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara berkisar masing-masing antara 2,4 ton dan 1,4 ton per hektar dibandingkan dengan 11,8 ton per hektar di Jawa Barat.

Sebagian besar petani cabe di Sulawesi adalah petani rakyat yang melaksanakan pola pertanian “input rendah”. Terdapat penggunaan bahan kimia dan pupuk yang rendah. Sementara itu, di Jawa Timur produktifitas bernilai jauh lebih tinggi sebagai hasil dari penggunaan pupuk (nutrisi) dan pola manajemen yang lebih baik.

Page 42: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Terdapat peluang untuk meningkatkan produktifitas petani cabe dan petani sayuran lainnya dengan cara memperkenalkan dan mengadopsi pola-pola kerja terbaik yang dilaksanakan di provinsi lainnya, seperti di Jawa Barat dan Jawa Timur.

9.3 Peluang pengolahan dan pemberian nilai tambah Konsumen Indonesia mengonsumsi cabe dalam jumlah yang besar pada saat memasak (cabe segar) maupun pada saat makan (cabe segar dan saus cabe). Di Indonesia terdapat 10 perusahaan besar yang menggunakan cabe untuk memproduksi saus dengan merek seperti Indofood, ABC, Sasa, Fina, Delmonte, dan lain sebagainya. Semua pabrik besar berlokasi di Pulau Jawa dari Jakarta sampai dengan Surabaya.

Perusahaan-perusahaan besar seperti ABC Heinz memiliki sistem rantai pasokan formal dengan para pemasok mereka agar bisa memperoleh produk dan mutu yang dibutuhkan pada harga tetap. Ini merupakan sistem rantai pasokan yang tertutup dimana sejumlah petani mendaftar kepada pihak pabrik untuk memasok cabe dengan mutu dan jumlah tertentu pada harga yang telah disepakati. Pihak perusahaan memberikan bantuan informasi, input (termasuk bibit), dan pendampingan teknis kepada pemasok mereka.

Sementara itu, di Makassar (Sulawesi Selatan) terdapat sejumlah perusahaan kecil (PK) yang memproduksi saus cabe untuk konsumsi lokal di pasar tingkat bawah (non merek). Mereka memasok kebutuhan mereka dari pasar berdasarkan harga tanpa penerapan spesifikasi produk maupun ketentuan mutu. Sejumlah pedagang kecil melakukan pengeringan cabe untuk dijual ke pasar tradisional, sementara yang lainnya melakukan proses pemberian nilai tambah dengan melakukan pengolahan (penggilingan) cabe beserta bahan lainnya menjadi saus dengan biaya Rp. 3.000 per kantong (1-2 kg). Mesin pengolah dapat dibeli dengan harga kurang dari Rp. 2 juta. Ini merupakan peluang bagi kelompok petani lokal untuk membeli mesin untuk mengolah cabe mutu kelas dua atau untuk mengolah cabe pada saat harga lagi turun dan terdapat kebutuhan untuk menyimpan produk.

Terdapat peluang untuk bekerja sama dengan pihak industri pengolahan makanan yang besar (seperti ABC Heinz) atau pabrik lokal untuk menciptakan rantai pasokan dengan para petani cabe di Sulawesi Selatan untuk keperluan industri saus.

9.4 Pengelolaan pasca panen dan fasilitas berpendingin Cabe dan sayuran segar lainnya merupakan produk dengan umur simpan yang singkat akibat belum optimalnya pola-pola penanganan pasca panen – tidak adanya pengemasan maupun fasilitas penyimpanan berpendingin. Cabe dan sayuran lainnya (seperti kentang dan kubis) dikemas di dalam karung-karung besar (berkapasitas hingga 70kg) dan dimuat di dalam truk terbuka/ bus untuk diangkut ke pasar. Pembusukan dan penyusutan produk menjadi kendala yang dihadapi oleh pembeli, tetapi hanya sedikit umpan balik yang diperoleh di sepanjang rantai pasokan. Terdapat kebutuhan untuk teknik pengemasan yang efektif agar bisa melindungi produk mulai dari petani hingga tiba di pasar, mengurangi kerusakan, dan meningkatkan keuntungan.

Di Malino, suatu perusahaan swasta (PT Focus) telah mendirikan usaha pertanian sayuran modern yang terpadu secara vertikal yang meliputi fasilitas pengemasan dan penyimpanan berpendingin tempat dimana semua kegiatan penyortiran, pemangkasan, dan pengemasan dengan plastik berlangsung. Mesin modern dipakai untuk mencuci dan menyortir wortel dan kentang. Produk dikirim ke kota-kota besar dengan menggunakan truk berpendingin sehingga

Page 43: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

tingkat penyusutan dapat diminimalkan dan menghasilkan harga jual eceran yang lebih rendah dibandingkan dengan pesaing. Walaupun hal ini dapat dianggap sebagai rantai pasokan tertutup, perusahaan tersebut masih membutuhkan pasokan yang lebih besar dan di sini terdapat peluang untuk memperluas basis pemasok dengan melibatkan lebih banyak petani.

9.5 Terdapat banyak pilihan distribusi Pelabuhan Makassar merupakan pelabuhan utama untuk kawasan timur Indonesia dan terdapat lebih dari 280 pengekspor terdaftar dimana 20% di antaranya bergerak di bidang usaha angkutan barang berpendingin. Akan tetapi, sebagian besar peti kemas berpendingin digunakan untuk memuat produk hasil laut. Sebagai tambahan terdapat sejumlah pelabuhan berskala lebih kecil yang beroperasi di Sulawesi Selatan dan melayani pengiriman sayuran (dengan truk) dengan menggunakan kapal feri ke pulau lainnya, termasuk Kendari (Sulawesi Tenggara) dan Balikpapan (Kalimantan Timur). Hasil bumi dikirim dengan truk atau bus di atas kapal feri.

Semua pengecer modern di Sulawesi Selatan memasok produk hasil bumi segar (termasuk sayuran) dengan menggunakan peti kemas berpendingin dari Jakarta. Sayuran juga dibeli dari Surabaya dengan menggunakan truk yang tidak berpendingin. Distributor besar makanan seperti Sukanda Jaya mengirim hingga 8 peti kemas berpendingin (beku) per bulan yang berisikan produk makanan impor dan lokal asal Jakarta untuk didistribusikan ke sektor jasa makanan dan eceran.

Umumnya petani melaksanakan pola di mana produk mereka dijemput di pinggir jalan (oleh pengumpul) dalam truk terbuka untuk dikirimkan ke pasar. Di sini petani tidak melakukan penyortiran awal maupun pengemasan hasil bumi. Hal ini berbeda dengan pola kerja PT Focus, yang memiliki tempat pengemasan modern untuk menyortir, mengemas, dan mendinginkan hasil bumi sebelum dikirim ke pelanggan-pelanggan utama mereka dengan menggunakan truk berpendingin.

Sulawesi Selatan belum memiliki fasilitas pengemasan dan pergudangan modern yang terpusat, walaupun di Malino telah terdapat sebuah subterminal agribisnis, yang berlokasi di dekat fasilitas pengemasan dan penyimpanan berpendingin modern milik PT Focus. Hal ini memberikan peluang untuk melakukan diskusi dengan para pedagang atau pengumpul utama untuk mengkaji minat mereka untuk mengembangkan rantai pasokan baru dengan menggunakan subterminal agribisnis di Malino.

9.6 Peluang pengembangan pasar Pada saat ini sementara berkembang sebuah trend produk organik dan hidroponik di mana beberapa perusahaan di Jawa dan Bali telah mengkhususkan diri pada pembudidayaan berbagai jenis sayuran untuk memenuhi trend konsumen ini. Pasar tersebut adalah untuk produk bermerek yang dijual melalui sektor pengecer modern.

Sulawesi Tenggara akan membuka kompleks pengecer modern yang pertama di provinsi ini pada tahun 2010, dan ini akan menawarkan lebih banyak peluang bagi para pemasok sayuran. Provinsi lainnya di kawasan timur Indonesia sedang berkembang dan juga memberikan peluang kepada pemasok sayuran segar, termasuk cabe.

Mengambil alih pangsa produk impor merupakan peluang awal di kawasan timur Indonesia mengingat volume sayuran segar yang diimpor dari Jawa ke Sulawesi Selatan dan provinsi di kawasan timur Indonesia lainnya memiliki nilai yang sangat besar akibat kurangnya pasokan dan hasil bumi yang bermutu bagus.

Page 44: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

9.7 Analisis rantai nilai menunjukkan daya tawar petani masih rendah Sebagian besar petani sayuran merupakan petani rakyat yang hanya memiliki lahan yang berukuran luas di bawah satu hektar tempat dilaksanakannya kegiatan pertanian campuran. Petani harus menjual hasil bumi untuk memperoleh pendapatan dan menerima harga yang ditawarkan oleh pengumpul dan pedagang. Terdapat keterbatasan pengetahuan tentang harga jual yang berlaku di pasar maupun perihal margin laba yang diperoleh oleh para pedagang. Pembagian keuntungan masih timpang dan petani masih lemah di dalam mengakses sinyal pasar. Terdapat kebutuhan untuk memperkuat kelompok petani dan memformalkan hubungan rantai pasokan antara petani dan pedagang.

Analisis rantai nilai terhadap keempat rantai pasokan memperlihatkan bahwa supermarket menawarkan keuntungan tertinggi kepada petani karena mencakup berbagai kegiatan penciptaan nilai, seperti penerapan teknologi yang efisien di dalam kegiatan budidaya dan pelaksanaan penanganan pascapanen. Analisis terhadap keempat rantai nilai memperlihatkan bahwa rantai pertambahan nilai yang tertinggi adalah penyaluran ke supermarket lewat pedagang grosiran supermarket. Secara konsisten, petani mendapat keuntungan tertinggi dengan cara memasok ke supermarket jika dibandingkan dengan saluran lainnya. Rantai pertambahan nilai terendah adalah saluran ke pasar tradisional. Terdapat kebutuhan untuk membantu petani agar bisa terhubung ke pasar-pasar yang lebih dinamis, misalnya saluran ke supermarket dan industri makanan.

10 Daftar Pustaka AFFA, 2002. Forming and managing supply chains in agribusiness: learning form others, Canberra, AFFA, CD-ROM. Perhatikan AFFA sekarang bernama DAFF. BPS, Biro Pusat Statistik, pelbagai publikasi.

R.S. Basuki, W. Adiyoga, Suyamto, A. Dimyati (2006) Marketing facilities needed to improve supply chain management of vegetables in west Java, Indonesia In Acta Horticulture 699: International Symposium on Improving the Performance of Supply Chains in the Transitional Economies (Juni 2006).

Dimyati, A. (2004) Supply Chain management in Indonesia: Prospects for Methodological Adjustment and Practical Applications. In ACIAR Proceedings No. 119: Agri-product Supply Chain Management in Developing Countries.

Genova II, K. Weinberger, H. An, D. Dam, N. Loc, L. Thinh, N. Thuy. 2006. Postharvest loss in the supply chain for vegetables: The case of chilli and tomato in Viet Nam. AVRDC-The World Vegetable Center, Shanhua, Taiwan. AVRDC Publication No. 06-683, Working Paper No. 16, hlm 47. Satu dari tiga makalah yang telah rampung dan satu untuk Indonesia tengah disusun.

Gniffke, P (2006) Report on Inception Workshop for ACIAR CP2004/048, Integrated disease management (IDM) for anthracnose, Phytophthora blight, and whitefly transmitted geminiviruses in chilli pepper in Indonesia, Bandungan, Central Java, Indonesia, September 4-8, 2006 hlm 31.

Irianto, B., Yuniarti dan P. Santoso (2006) Supply chain management assessment to improve the performance of contract farming between a multinational company and smallholders in east Java. Acta Horticulture 699: I International Symposium on Improving the Performance of Supply Chains in the Transitional Economies (Juni 2006).

Natawidjaja, R.S., Noor, T.I., Perdana, T., Rasmikayanti, E., Bachri, S. dan Reardon, T. (2006) Restructuring of Agrifood Chains in Indonesia.

Page 45: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Singgih, S dan E J Woods (2004) Banana Supply Chains in Indonesia and Australia: Effects of culture on supply chains ACIAR Proceedings No. 119.

Singh, S. (2006) Horticultural Supply Chains and Small Producers in South Asia: Governance, Participation, and Strategies Acta Horticulture 699: I International Symposium on Improving the Performance of Supply Chains in the Transitional Economies (Juni 2006).

Page 46: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

11 Lampiran

11.1 Tabel produksi, ekspor, dan impor Tabel 1: Produksi Sayuran Indonesia dalam Ton, 2001-2005 Komoditi Produksi (ton)

2001 2002 2003 2004 2005 Cabe 580.464 635.089 1.066.722 1.100.514 1.058.023 Bawang 861.150 766.572 762.795 757.399 732.610 Kentang 831.140 893.824 1.009.979 1.072.040 1.009.619 Tomat 483.991 573.517 657.459 626.872 647.020 Wortel 300.648 282.248 355.802 423.722 440.001 Kubis 1.205.404 1.232.843 1.348.433 1.432.814 1.292.984 Lainnya 2.656.827 2.760.652 3.373.679 3.646.315 3.921.729 JUMLAH 6.919.624 7.144.745 8.574.869 9.059.676 9.101.986 Sumber: Departemen Pertanian Direktorat Jenderal Hortikultura, 2006 (ISBN: 979-99060-4-0)

Tabel 2: Wilayah Panen, Produksi & Hasil panen Sayuran di Indonesia, 2005 Uraian Wilayah Panen (%) Produksi (Ton) (%) Hasil panen (Ton/Ha) Bawang Merah 83.614 9,2 732.609 8,4 8,8 Bawang Putih 3.280 0,4 20.733 0,2 6,3 Bawang Prei 45.402 5,0 501.437 5,7 11,0 Kentang 61.557 6,8 1.009.619 11,6 16,4 Kubis 57.765 6,3 1.292.984 14,8 22,4 Kembang Kubis 8.763 1,0 127.320 1,5 14,5 Sawi 51.785 5,7 548.453 6,3 10,6 Wortel 24.653 2,7 440.002 5,0 17,8 Lobak 3.293 0,4 54.226 0,6 16,5 Kacang Merah 34.545 3,8 132.218 1,5 3,8 Kacang Panjang 84.839 9,3 466.387 5,3 5,5 Cabe 103.531 11,4 661.730 7,6 6,4 Cabe Kecil 83.705 9,2 396.293 4,5 4,7 Tomat 51.205 5,6 647.020 7,4 12,6 Terung 45.340 5,0 333.328 3,8 7,4 Kacang Buncis 32.254 3,5 283.649 3,2 8,8 Mentimun 53.109 5,8 552.891 6,3 10,4 Labu Siam 9.569 1,0 180.029 2,1 18,8 Kangkung 36.184 4,0 229.997 2,6 6,4 Bayam 36.952 4,1 123.785 1,4 3,3 JUMLAH 911.345 100,0 8.734.710 100,0 9,6 Jamur 2.542.417 73,6 30.853.530 77,9 12,1 JUMLAH 3.453.762 100,0 39.588.240 100,0 11,5 Sumber: Survei Statistika Pertanian Tanaman Sayuran dan Buah di Indonesia 2005

Page 47: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Tabel 3. Jumlah Ekspor Sayuran Segar Pilihan Indonesia, menurut Nilai (US$ '000) dan Volume (Ton), 2005-2006 Uraian Komoditas 2005 2006

Volume (Ton) Nilai (US$'000) Volume (Ton) Nilai (US$'000) Kentang, Bibit Segar atau Didinginkan 176 50 72 35 Kentang, Segar/ Didinginkan selain Bibit 13.644 3.527 85.922 5.917 Tomat 1.169 433 179 92 Bawang 235 101 2.922 775 Bawang Merah 4.259 1.520 15.701 6.366 Bawang Putih 18 7 17 11 Bawang Prei 108 32 54 39 Kembang Kubis & Brokoli 3.186 927 1.696 438 Kubis Mini 142 53 16 7 Kubis 34.352 7.910 30.045 7.903 Selada Kubis 26 9 2 5 Jamur 2.644 2.385 1.089 1.033 Wortel 173 38 369 103 Asparagus 543 983 - - Seledri 1 32 2 1 JUMLAH 60.676 18.007 138.086 22.725 Sumber: Biro Pusat Statistika (BPS)

Tabel 4: Impor Sayuran Indonesia (dalam US$'000) Komoditas 1994 2001 2002 2003 2004 2005 Kentang, Bibit Segar atau Didinginkan 873 584 808 455 454 1.010 Kentang, Segar/ Didinginkan selain Bibit 164 773 747 888 1.217 2.248 Tomat 210 178 552 255 98 142 Bawang Bombai 2.572 3.508 3.685 3.695 5.058 6.751 Bawang Merah 5.964 12.475 9.069 12.370 14.240 15.412 Bawang Putih 22.673 51.217 52.298 48.900 53.303 66.665 Bawang Prei 94 34 387 109 294 571 Kembang Kubis & Brokoli 149 216 188 243 288 568 Kubis Mini 1 43 7 7 30 24 Kubis 180 117 82 175 165 180 Selada Kubis 271 128 129 173 132 224 Jamur 94 119 58 224 209 309 Wortel 86 289 495 691 1.708 3.043 Asparagus 3 52 10 12 58 90 Seledri 118 137 187 253 185 722 JUMLAH 33.452 69.868 68.702 68.450 77.439 97.958 Sumber: Biro Pusat Statistika (BPS)

Page 48: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Tabel 5: Impor Sayuran Indonesia (dalam ton) Komoditas 1994 2001 2002 2003 2004 2005 Kentang, Bibit Segar atau Didinginkan 866 1.136 1.436 676 683 1.360 Kentang, Segar/ Didinginkan selain Bibit 332 2.679 2.336 2.404 3.148 5.031 Tomat 219 227 1.711 380 120 125 Bawang Bombai 6.340 12.964 12.913 12.343 17.385 22.133 Bawang Merah 15.213 47.946 32.929 42.008 48.927 53.071 Bawang Putih 29.626 205.470 226.085 218.538 243.721 283.283 Bawang Prei 91 51 2.022 448 172 959 Kembang Kubis & Brokoli 161 288 204 220 303 616 Kubis Mini 1 136 75 4 25 19 Kubis 306 112 171 226 133 166 Selada Kubis 175 106 142 171 274 240 Jamur 80 77 27 129 194 226 Wortel 104 476 1.262 1.623 5.239 7.030 Asparagus 2 171 9 9 38 67 Seledri 138 122 144 166 142 155 JUMLAH 53.652 271.961 281.465 279.345 320.505 374.482 Sumber: Biro Pusat Statistika (BPS)

Table 6: Wilayah Panen, Produksi & Hasil panen Sayuran, 2005, Provinsi Sulawesi Selatan Uraian Wilayah Panen (%) Produksi (Ton) (%) Hasil panen/Ha (Ton/Ha) Bawang Merah 2.381 4,4 12.081 4,7 5,1 Bawang Putih 40 0,1 101 0,04 2,5 Bawang Prei 2.034 3,7 16.518 6,5 8,1 Kentang 1.253 2,3 12.615 4,9 10,1 Kubis 2.716 5,0 65.048 25,4 23,9 Kembang Kubis 143 0,3 1.566 0,6 11,0 Sawi 1.702 3,1 11.476 4,5 6,7 Wortel 796 1,5 7.113 2,8 8,9 Lobak 0 0,0 0 0,0 0 Kacang Merah 1.885 3,5 6.953 2,7 3,7 Kacang Panjang 5.974 11,0 20.205 7,9 3,4 Cabe 6.152 11,3 30.168 11,8 4,9 Cabe Kecil 3.840 7,0 9.395 3,7 2,4 Jamur 0 0,0 0 0,0 0 Tomat 4.993 9,2 16.119 6,3 3,2 Terung 6.251 11,5 11.634 4,5 1,9 Kacang Buncis 3.269 6,0 8.134 3,2 2,5 Mentimun 2.402 4,4 7.882 3,1 3,3 Labu Siam 2.436 4,5 6.355 2,5 2,6 Kangkung 3.222 5,9 7.325 2,9 2,3 Bayam 3.049 5,6 5.049 2,0 1,8 JUMLAH 54.538 100,0 255.737 100,0

Page 49: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Tabel 7: Wilayah Panen, Produksi & Hasil panen Sayuran, 2005, Provinsi Sulawesi Tenggara Uraian Wilayah Panen (%) Produksi (Ton) (%) Hasil panen/Ha (Ton/Ha) Bawang Merah 108 1,4 418 1,2 3,9 Bawang Putih 2 0,0 5 0,0 2,5 Bawang Prei 271 3,6 1.589 4,6 5,9 Kentang 0 0,0 0 0,0 0 Kubis 114 1,5 718 2,1 6,3 Kembang Kubis 5 0,1 23 0,1 4,6 Sawi 574 7,7 3.736 10,8 6,5 Wortel 0 0,0 0 0,0 0 Lobak 8 0,1 17 0,0 2,1 Kacang Merah 105 1,4 66 0,2 0,6 Kacang Panjang 1.221 16,4 5.505 15,9 4,5 Cabe 367 4,9 820 2,4 2,2 Cabe Kecil 518 6,9 718 2,1 1,4 Jamur 0 0,0 0 0,0 0 Tomat 715 9,6 3.895 11,3 5,4 Terung 760 10,2 6.379 18,4 8,4 Kacang Buncis 230 3,1 609 1,8 2,6 Mentimun 569 7,6 2.931 8,5 5,2 Labu Siam 277 3,7 473 1,4 1,7 Kangkung 792 10,6 4.556 13,2 5,8 Bayam 822 11,0 2.119 6,1 2,6 JUMLAH 7.458 100,0 34.577 100,0

Tabel 8: Wilayah Panen, Produksi & Hasil panen Sayuran, 2005, Provinsi NTB Uraian Wilayah Panen (%) Produksi (Ton) (%) Hasil panen/Ha (Ton/Ha) Bawang Merah 10.136 39,4 81.369 51,5 8,0 Bawang Putih 655 2,5 6.440 4,08 9,8 Bawang Prei 9 0,0 66 0,0 7,3 Kentang 33 0,1 307 0,2 9,3 Kubis 355 1,4 3.541 2,2 10,0 Kembang Kubis 10 0,0 27 0,0 2,7 Sawi 199 0,8 1.167 0,7 5,9 Wortel 40 0,2 360 0,2 9,0 Lobak 0 0,0 0 0,0 0,0 Kacang Merah 337 1,3 324 0,2 1,0 Kacang Panjang 1.553 6,0 9.784 6,2 6,3 Cabe 549 2,1 1.867 1,2 3,4 Cabe Kecil 9.060 35,2 22.650 14,3 2,5 Jamur 78 0,3 190 0,1 2,4 Tomat 1.048 4,1 10.499 6,6 10,0 Terung 469 1,8 4.512 2,9 9,6 Kacang Buncis 92 0,4 148 0,1 1,6

Page 50: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Mentimun 504 2,0 5.670 3,6 11,3 Labu Siam 84 0,3 1.680 1,1 20,0 Kangkung 377 1,5 6.560 4,2 17,4 Bayam 168 0,7 823 0,5 4,9 JUMLAH 25.756 100,0 157.984 100,0

Tabel 9: Wilayah Panen, Produksi & Hasil panen Sayuran, 2005, Provinsi NTT Uraian Wilayah Panen (%) Produksi (Ton) (%) Hasil panen/Ha (Ton/Ha) Bawang Merah 852 7,6 3.837 7,6 4,5 Bawang Putih 421 3,8 1.764 3,50 4,2 Bawang Prei 88 0,8 532 1,1 6,0 Kentang 403 3,6 1.808 3,6 4,5 Kubis 235 2,1 1.237 2,5 5,3 Kembang Kubis 57 0,5 357 0,7 6,3 Sawi 767 6,8 5.064 10,0 6,6 Wortel 281 2,5 1.817 3,6 6,5 Lobak 4 0,0 29 0,1 7,3 Kacang Merah 2.627 23,4 8.380 16,6 3,2 Kacang Panjang 910 8,1 2.119 4,2 2,3 Cabe 378 3,4 1.067 2,1 2,8 Cabe Kecil 644 5,7 1.491 3,0 2,3 Jamur 0 0,0 0 0,0 0,0 Tomat 419 3,7 2.937 5,8 7,0 Terung 499 4,5 3.422 6,8 6,9 Kacang Buncis 288 2,6 1.799 3,6 6,2 Mentimun 520 4,6 3.206 6,4 6,2 Labu Siam 615 5,5 4.585 9,1 7,5 Kangkung 632 5,6 2.940 5,8 4,7 Bayam 564 5,0 2.022 4,0 3,6 JUMLAH 11.204 100,0 50.413 100,0

Page 51: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Tabel 10: Daftar Perusahaan Utama Pengolah Cabe di Indonesia No Nama Perusahaan Merek Kota Provinsi

1 Indosentra Pelangi, PT Indofood Bekasi Jawa Barat 2 Indosentra Pelangi , PT Indofood Semarang Jawa Tengah 3 Lasallefood, PT Delmonte Jakarta DKI Jakarta 4 Sekar Laut Tbk, PT Fina Sidoarjo Jawa Timur 5 Ika Food Putramas, PT Kokita Bandung Jawa Barat 6 Heinz ABC Indonesia, PT ABC Jakarta DKI Jakarta 7 Heinz ABC Indonesia, PT ABC Karawang Timur Jawa Barat 8 Mitratama Kencana Sejati, PT Sasa Bekasi Jawa Barat 9 Merak Food Indrutries, PT Soiz Bandung Jawa Barat 10 Lombok Gandaria, PT Gandaria Solo Jawa Tengah 11 Rimbaria, PT Rimbaria Surabaya Jawa Timur 12 Batara Agung Mulia, PT Bahagia, Raja Rasa Surabaya Jawa Timur 13 PK. Sinar - Makassar Sulawesi Selatan

Page 52: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

11.2 Analisis Budidaya Cabe Kecil dan Cabe Besar di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur Faktor Prod. Unit Sulawesi Selatan Jawa Timur

Cabe Kecil Cabe Besar Cabe Kecil Cabe Besar Jumlah (Per Ha)

Nilai (Rp/Ha)

Jumlah (Per Ha)

Nilai (Rp/Ha)

Jumlah (Per Ha)

Nilai (Rp/Ha)

Jumlah (Per Ha)

Nilai (Rp/Ha)

A. Input Agri 1. Bibit 212.500 600.000 150.000 600.000 a. Bibit Bersertifikat Paket - - 10 600.000 10 150.000 10,00 600.000 b. Bibit Lokal (Tidak bersertifikat) Paket 25 212.500 - - - - - 2. Pupuk 310.000 935.000 280.000 1.110.000 a. Pupuk Kimiawi 310.000 310.000 280.000 1.110.000 - Urea Kg 150 210.000 150 210.000 - - - - SP-36 Kg - - - 75 127.500 150 255.000 - KCl Kg 50 100.00 50 100.000 50 70.000 300 420.000 - ZA Kg - - - 75 82.500 350 385.000 - KNO4 Kg - - - - - 10 50.000

b. Pupuk Organik Kg - - 2.500 625.000 - - - 3. Pestisida 106.250 960.000 805.000 1.417.000 - Herbisida L - - - 3 120.000 7 280.000 - Fungisida Kg - - 8 480.000 6 252.000 12 504.000 - Insektisida 1 L 2,5 106.250 16 480.000 4 148.000 4 148.000 - Insektisida 2 L - - - 5 185.000 5 185.000 - Insektisida 3 L - - - 0,1 100.000 0,3 300.000 4. Bahan - 500.000 17.500 2.952.500 a. Jerami Gulung - - - - - 10 1.800.000 b. Tongkat Panjang Batang - - 20.000 500.000 - - 15.000 1.050.000

c. Tongkat Pendek Batang - - - - - 6 60.000 c. Polybag Semaian Paket - - - 10 17.500 10 17.500 d. Tali Rafia Gulung - - - - - 5 25.000 Jumlah Biaya Input Agri Rp/Ha 628.750 2.995.000 1.252.500 6.079.500 B. Buruh

Page 53: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

1. Penyemaian HOK 2 40.000 2 40.000 - 486.000 a. Penyiapan bibit HOK - - - - - 27 270.000 b. Pembedengan HOK - - - - - 12 216.000

2. Penyiapan lahan 500.000 620.000 2.300.000 2.300.000 a. Pembajakan HOK 25 500.000 25 500.000 60 600.000 60 600.000 b. Guludan HOK - - 6 120.000 170 1.700.000 170 1.700.000 3. Penanaman HOK 15 262.500 15 225.000 15 150.000 20 400.000 4. Penanaman kembali HOK 14 280.000 15 300.000 4 40.000 8 80.000 5. Pengairan/ irigasi HOK 30 600.000 25 500.000 3 30.000 6 60.000 6. Pemangkasan HOK - - - - - 25 250.000 7. Penyiangan HOK 30 600.000 20 400.000 10 100.000 10 100.000 8. Pemupukan HOK 8 160.000 30 600.000 45 450.000 107 1.070.000 9. Penyemprotan HOK 30 600.000 40 800.000 30 300.000 180 1.800.000 10. Pemeliharaan tanaman HOK - 600.000 - 1.110.000 a. pengomposan HOK - - - 56 560.000 b. penyokongan dengan tiang HOK - 10 200.000 - 15 150.000 c. membatasi dgn tali HOK - 10 200.000 - 25 250.000 d. penyiangan HOK - 10 200.000 - 15 150.000

11. Pemanenan HOK 45 787.500 60 1.200.000 30 300.000 120 1.200.000 Jumlah Biaya Buruh Rp/Ha 3.830.000 5.285.000 3.670.000 8.856.000 C. Sewa Lahan Ha 1 400.000 1 400.000 1 750.000 1 3.000.000 D. Depresiasi 80.000 180.000 536.667 536.667 a. Penyemprot unit 1 30.000 1 30.000 5 300.000 5 300.000

b. Bajak tangan unit 2 25.000 3 25.000 2 50.000 2 50.000 c. Sabit Unit 2 12.500 3 12.500 2 20.000 2 20.000 d. Kored unit 2 12.500 2 12.500 2 16.667 2 16.667 e. selang rol - - 1 100.000 1 150.000 1 150.000 Jumlah Biaya Rp/Ha 4.898.750 8.860.000 6.209.167 18.472.167 Produksi Kg/Ha 3.000 3.700 5.000 15.000 Harga Jual Rp/Kg 2.000 3.000 1.700 3.000 Pendapatan Rp/Ha 6.000.000 11.100.000 8.500.000 45.000.000 Laba Rp/Ha 1.061.250 2.240.000 2.290.833 26.527.833

Page 54: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

11.3 Perbandingan kegiatan bertani dan teknologi di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur Uraian Sulawesi Selatan Jawa Timur

Cabe Kecil Cabe Besar Cabe Kecil Cabe Besar Buruh 1. Penyiapan lahan - Pembersihan dan penyemaian

√ √ √ √

- Pembajakan √ √ * √ *

- Pembuangan air √ √ √

- Pemupukan (organik) √

- Pengemburan lahan √ √ √

- Pengomposan √ √

2. Pemeliharaan

- Penanam kembali √ √ √ √

- Menyokong dgn tiang √ √

- Pengairan/ irigasi √ √ √ √

- Pemupukan √ √ √

- Penyiangan √ √ √ √

- Pengendalian hama penyakit

√ ** √ √ √

3. Pemanenan √ √ √ √

Input agri

1. Bibit bersertifikat √ √ √

2. Pupuk

- Urea √ - TSP √ √

- KCl √ *** √ √

- ZA √ √

3. Pestisida √ √ √ √*) Pembajakan menggunakan traktor **) Pengendalian hama kurang intensif/ tidak preventif ***) Sebagian besar petani tidak memakai KCL, hanya petani yang bermitra dengan pedagang grosiran supermarket yang memakainya

11.4 Ringkasan Rantai Nilai Cabe Kecil No. Pelaku dan Kegiatan Rantai Farm-Coll-

Trad Whol-Trad Ret

Farm-Coll-Trad Whol-Superm

Farm-Coll-Trad Whol-Spr Whol-Superm

Farm-Coll-Trad Whol-F Ind

I A. Petani Jumlah Biaya Petani Rp/Kg 881 1.047 881 881 % 60 39 33 27 Pertambahan Nilai Rp/Kg 1.119 1.927 1.634 1.119 % 37 44 28 36

Page 55: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Harga Jual Rp/Kg 2.000 2.974 2.516 2.000 II Pengumpul Jumlah Biaya Rp/Kg 284 292 284 314 % 19 11 11 10 Pertambahan Nilai Rp/Kg 716 734 716 686 % 24 17 12 22 Harga Jual Rp/Kg 3.000 4.000 3.516 3.000 III Pedagang Grosiran Tradisional Jumlah Biaya Rp/Kg 29 614 146 37 % 2 23 5 1 Pertambahan Nilai Rp/Kg 471 886 838 213 % 16 20 14 7 Harga Jual Rp/Kg 3.500 5.500 4.500 3.250 IV Pedagang Grosiran Supermarket Jumlah Biaya Rp/Kg 604 % 22 Pertambahan Nilai Rp/Kg 1.896 % 33 Harga Jual Rp/Kg 7.000 V Supermarket Jumlah Biaya Rp/Kg 715 775 % 27 29 Pertambahan Nilai Rp/Kg 785 725 % 18 12 Harga Jual Rp/Kg 7.000 8.500 VI Pengecer Tradisional Jumlah Biaya Rp/Kg 282 % 19 Pertambahan Nilai Rp/Kg 718 % 24 Harga Jual Rp/Kg 4.500

Jumlah Biaya Rp/Kg 2.017 % 62

Pertambahan Nilai Rp/Kg 1.077 % 35

Harga Jual Rp/Kg 6.344 Jumlah Biaya Rp/Kg 1.476 2.668 2.690 3.249 Jumlah Pertambahan Nilai Rp/Kg 3.024 4.332 5.810 3.095 Catatan: Farm=Petani; Coll=Pengumpul; Trd Woll=Pedagang Grosiran Tradisional; Spr Whol=Pedagang Grosiran Supermarket; Trad Ret=Pasar Pengecer Tradisional; Superm=Supermarket

Page 56: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

11.5 Detail rantai nilai cabe kecil Catatan: Farm=Petani; Coll=Pengumpul; Trd Woll=Pedagang Grosiran Tradisional; Spr Whol=Pedagang Grosiran Supermarket; Trad Ret=Pasar Pengecer Tradisional; Superm=Supermarket

No Pelaku dan Kegiatan Rantai Farm-Coll-Trad Whol-Trad Ret

Farm-Coll-Trad Whol-Superm

Farm-Coll-Trad Whol-Spr Whol-Superm

Farm-Coll-Trad Whol-F Ind

Nilai % Nilai % Nilai % Nilai %

IA Petani

1 Biaya Buruh (keluarga dan sewaan) a. Penyiapan lahan Rp/Kg 175 30% 120 17% 175 30% 175 30% b. Pemupukan Rp/Kg 53 8% c. Pemakaian pestisida Rp/Kg 105 18% 200 29% 105 18% 105 18% d. Penyiangan Rp/Kg 73 12% 61 9% 73 12% 73 12% e. Pemanenan Rp/Kg 234 40% 260 37% 234 40% 234 40% Jumlah Biaya Buruh Rp/Kg 587 67% 694 66% 587 67% 587 67% 2 Biaya Input Agri a. Bibit Rp/Kg 85 63% 71 32% 85 63% 85 63% b. Pupuk Rp/Kg 103 47% c. Pestisida Rp/Kg 43 32% 35 16% 43 32% 43 32% d. Tongkat, Plastik, dan Input lainnya Rp/Kg 7 5% 10 5% 7 5% 7 5% Jumlah Biaya Input Rp/Kg 135 15% 220 21% 135 15% 135 15% 3 Sewa Lahan Rp/Kg 160 18% 133 13% 160 18% 160 18% Jumlah Biaya Rp/Kg 881 60% 1.047 39% 881 33% 881 27%

4 Harga Jual Rp/Kg 2.000 2.974 2.516 2.000 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 1.119 37% 1.927 44% 1.634 28% 1.119 36%

II Pengumpul

1 Harga Beli Rp/Kg 2.000 2.974 2.516 2.000 2 Pengadaan a. Buruh Rp/Kg 21 27% 21 25% 21 27% 21 19%

- Bongkar-muat Rp/Kg 15 73% 15 73% 15 73% 15 73% - Pengemudi dan Asisten Pengemudi Rp/Kg 6 27% 6 27% 6 27% 6 27%

Page 57: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 28 35% 28 32% 28 35% 58 53%

- Depresiasi skala Rp/Kg 0,3 1% 0,3 1% 0 1% - Bahan pengemasan Rp/Kg 15 55% 15 55% 15 55% 15 27% - Depresiasi mobil Rp/Kg 6 23% 6 23% 6 23% 6 11% - Biaya operasional mobil Rp/Kg 6 21% 6 21% 6 21% 36 62% c. Kehilangan Bobot Rp/Kg 30 38% 38 43% 30 38% 30 28% d. Retribusi Rp/Kg 0% Biaya Pengadaan Rp/Kg 79 28% 86 30% 79 28% 109 35% 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg 13 34% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 2 4% - Depresiasi Peti Kemas Rp/Kg 0,3 15% - Depresiasi Bangunan Rp/Kg 1 70% - Depresiasi Skala Rp/Kg 0,3 15% b. Kehilangan Bobot Rp/Kg 25 62% Biaya Penanganan Rp/Kg 40 14% 4 Penyimpanan a. Bahan dan Peralatan Rp/Kg - Depresiasi Bangunan Rp/Kg Biaya Penyimpanan Rp/Kg 0 0% 5 Penyerahan a. Buruh Rp/Kg 15 8% 15 9% 15 8% 15 8%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 150 73% 150 91% 150 73% 150 73%

- Rental dan operasional truk Rp/Kg 150 100% 150 100% 150 100% 150 100% - Bahan Pengemasan Rp/Kg c. Kehilangan Bobot Rp/Kg 39 19% 39 19% 39 19% d. Retribusi Rp/Kg 0% Biaya Penyerahan Rp/Kg 205 72% 165 57% 205 72% 205 65% Jumlah Biaya Rp/Kg 284 19% 292 11% 284 11% 314 10%

6 Harga Jual Rp/Kg 3.000 4.000 3.516 3,00 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 716 24% 734 17% 716 12% 686 22%

Page 58: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

III Pedagang Grosiran Tradisional

1 Harga Beli 3.000 4.000 3.516 3,00 2 Pengadaan a. Buruh 23 91% 99 98% 23 91% 23 92%

- Bongkar-muat Rp/Kg 15 66% 99 100% 15 66% 15 66% - Penskalaan Rp/Kg 8 34% 8 34% 8 34% b. Bahan dan Peralatan 0,3 1,0% 0,3 1%

- Depresiasi skala Rp/Kg 0,3 100% 0,3 100% c. Retribusi Rp/Kg 2 8% 2 2% 2 8% 2 8%

Biaya Pengadaan Rp/Kg 26 90% 100 16% 26 18% 25 49% 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg 83 75% 35 32% 15 100%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 28 25% 60 68%

- Depresiasi Peti Kemas Rp/Kg 23 81% 0,2 0,3% - Alas plastik Rp/Kg - Alas Plat (Besi / baja / triplek) Rp/Kg - Sewa Lahan/ Bangunan Rp/Kg 5 16% - Karung Rp/Kg - Depresiasi Skala Rp/Kg 1 2% - Pengemasan Rp/Kg 15 20% 15 100% - Kehilangan Bobot Rp/Kg 60 100% Biaya Penanganan Rp/Kg 0,00 0% 112 18% 110,6 76% 15 30% 4 Penyimpanan a. Buruh Rp/Kg b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg - Depresiasi Bangunan - Pengemasan Rp/Kg - Kehilangan Bobot Rp/Kg Biaya Penyimpanan Rp/Kg 5 Penyerahan a. Buruh Rp/Kg 83 21%

Page 59: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 44 11% 7 70% 11 100%

- Pengemasan Rp/Kg

- Truk Rp/Kg 44 100% 11 100% - Feri Rp/Kg - Depresiasi Skala Rp/Kg 7 100% c. Kehilangan Bobot d. Komisi 275 68% d. Retribusi Rp/Kg 3 100% 3 30%

Biaya Penyerahan Rp/Kg 3 10% 402 65% 10 7% 11 22% Jumlah Biaya Rp/Kg 29 2% 614 23% 146 5% 52 2%

6 Harga Jual Rp/Kg 3.500 5.500 4.500 3.250

Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 471 16% 886 20% 838 14% 198 6%

IV Pedagang Grosiran Supermarket

1 Harga Beli Rp/Kg 4.500 2 Pengadaan a. Buruh Rp/Kg 35 35%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 15 16%

c. Komisi Rp/Kg 0%

d. Retribusi Rp/Kg 8 8%

e. Truk Rp/Kg 41 41%

Biaya Pengadaan Rp/Kg 98 16% 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg 26 27%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 25 26%

-Pengemasan Rp/Kg 21 82% -Depresiasi Skala Rp/Kg 1 3% -Bangunan Rp/Kg 4 15% -Alas plat (besi / baja / triplek) Rp/Kg -Sewa Lahan Rp/Kg b. Kehilangan Bobot Rp/Kg 45 47%

Page 60: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

b. Komisi Rp/Kg Biaya Penanganan Rp/Kg 96 16% 4 Penyimpanan a. Buruh Rp/Kg b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg -Depresiasi Bangunan Rp/Kg -Sewa Lahan Rp/Kg -Depresiasi Bahan Pengemasan Rp/Kg c. Kehilangan Bobot Rp/Kg Biaya Penyimpanan Rp/Kg 5 Penyerahan a. Buruh Rp/Kg 19 32%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 41 68%

-Bahan Pengemasan Rp/Kg -Depresiasi Truk Rp/Kg 16 38% -Biaya Operasional Truk Rp/Kg 25 62% Biaya Penyerahan Rp/Kg 60 10% 6 Komisi Rp/Kg 350 58%

Jumlah Biaya Rp/Kg 604 22%

7 Harga Jual Rp/Kg 7.000 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 1.896 33%

V Supermarket

1 Harga Beli Rp/Kg 5.500 7.000 2 Biaya Penanganan a. Buruh Rp/Kg 240 34% 240 31% b. Bahan Rp/Kg 255 36% 255 33% c. Kehilangan Bobot Rp/Kg 220 31% 280 36% Jumlah Biaya Rp/Kg 715 27% 775 29%

2 Harga Jual Rp/Kg 7.000 8.500 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 785 18% 725 12%

VI Pengecer Tradisional

Page 61: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

1 Harga Beli Rp/Kg 3.500 2 Pengadaan a. Buruh Rp/Kg 15 100%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg

-Depresiasi Skala Rp/Kg -Rental Truk Rp/Kg c. Retribusi Rp/Kg

d. Kehilangan Bobot Rp/Kg

Biaya Pengadaan Rp/Kg 15 5% 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg 7 100%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 52 88%

- Depresiasi skala Rp/Kg 2 4%

- Bahan pengemasan Rp/Kg 50 96%

Biaya Penanganan Rp/Kg 59 21% 4 Penyimpanan a. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 77 37%

-Sewa Tempat Penyimpanan Rp/Kg 77 100% b. Retribusi Rp/Kg 23 11% c. Kehilangan Bobot Rp/Kg 108 52% Biaya Penyimpanan Rp/Kg 208 74% 5 Penyerahan a. Buruh Rp/Kg

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg

- Depresiasi skala Rp/Kg - Bahan pengemasan Rp/Kg Biaya Penyerahan Rp/Kg Jumlah Biaya Rp/Kg 282 19%

6 Harga Jual Rp/Kg 4.500 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 718 24%

Page 62: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

VII Industri Pangan

1 Harga Beli Rp/Kg 3.250 2 Pengadaan a. Buruh Rp/Kg 20 99%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 0,2 1%

-Depresiasi Skala Rp/Kg 0,2 100% -Rental Truk Rp/Kg c. Retribusi Rp/Kg

d. Kehilangan Bobot Rp/Kg

Biaya Pengadaan Rp/Kg 20 1% 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg 500 93,8%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 1 0,1%

b. Kehilangan Bobot Rp/Kg 33 2%

Biaya Penanganan Rp/Kg 533 26%

4 Biaya Pengolahan

a. Buruh Rp/Kg 60 4%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 1.323 96%

- Motor, Mesin, Gerinda, dan Sabuk Rp/Kg 70 5%

- Karung Rp/Kg 1 0,04%

- Komisi air Rp/Kg 3 0,26%

- Pengemasan Rp/Kg 1.250 94%

Biaya Pengolahan Rp/Kg 1.383 69%

5 Penyimpanan a. Buruh Rp/Kg 20 60%

a. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 2 7%

-Sewa Tempat Penyimpanan Rp/Kg 2 100% b. Drum Rp/Kg 11 34% c. Retribusi Rp/Kg d. Kehilangan Bobot Rp/Kg

Page 63: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Biaya Penyimpanan Rp/Kg 33 2% 6 Pengolahan a. Buruh Rp/Kg 20 2%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 1.250 96%

- Motor Rp/Kg 64 92%

- Mesin Rp/Kg 2 2%

- Gerinda Rp/Kg 3 4%

- Sabuk Rp/Kg 1 1%

- Bahan pengemasan Rp/Kg 1.250 100% c. Retribusi Rp/Kg 1 0% d. Sewa Truk Rp/Kg 27 2% Biaya Pengolahan Rp/Kg 1.298 64%

Jumlah Biaya Rp/Kg 2.014 62%

7 Harga Jual Rp/Kg 6.344

Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 1.080 35%

Bagian Petani % 44% 42% 30% 32%

Jumlah Pertambahan Nilai Rp/Kg 3.027 100% 4.332 100% 5.849 100% 3.082 65%

Jumlah Biaya Rp/Kg 1.473 100% 2.668 100% 2.651 100% 3.262 38%

Page 64: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

11.6 Ringkasan Rantai Nilai Cabe Besar Catatan: Farm=Petani; Coll=Pengumpul; Trd Woll=Pedagang Grosiran Tradisional; Spr Whol=Pedagang Grosiran Supermarket; Trad Ret=Pasar Pengecer Tradisional; Superm=Supermarket

No. Pelaku dan Kegiatan Rantai Farm-Coll-TradWhol-Trad Ret

Farm-Coll-Trad Whol-Superm

Farm-Coll-Trad Whol-Supr Whol-Superm

I Petani Jumlah Biaya Petani Rp/Kg 2.037 2.101 2.037 % 65 52 58

Pertambahan Nilai Rp/Kg 963 1.683 1.671 % 28,4 38 31

Harga Jual Rp/Kg 3.000 3.784 3.708 II Pengumpul Jumlah Biaya Rp/Kg 418 425 425 % 13 11 12

Pertambahan Nilai Rp/Kg 582 686 664 % 17 15 12

Harga Jual Rp/Kg 4.000 4.895 4.797 III Pedagang Grosiran Tradisional Jumlah Biaya Rp/Kg 35 727 154 % 1 18 4

Pertambahan Nilai Rp/Kg 965 1.378 1.549 % 28.5 31 28

Harga Jual Rp/Kg 5.000 7.000 6.500 IV Pedagang Grosiran Supermarket Jumlah Biaya Rp/Kg 294 % 8

Pertambahan Nilai Rp/Kg 1.206 % 22

Harga Jual Rp/Kg 8.000 V Supermarket Jumlah Biaya Rp/Kg 775 650 % 19 18

Pertambahan Nilai Rp/Kg 725 350 % 16 6

Harga Jual Rp/Kg 8.500 9.000 VI Pengecer Tradisional Jumlah Biaya Rp/Kg 621 % 20

Pertambahan Nilai Rp/Kg 879 % 26

Harga Jual Rp/Kg 6.500 VII Industri Pangan Jumlah Biaya Rp/Kg %

Pertambahan Nilai Rp/Kg %

Page 65: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Laporan Akhir SADI: Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia – fokus pada cabe

65 dari 69

Harga Jual Rp/Kg JUMLAH BIAYA Rp/Kg 3.111 4.028 3.560 JUMLAH NILAI PERTAMBAHAN Rp/Kg 3.389 4.472 5.440

11.7 Detail rantai nilai cabe besar Catatan: Farm=Petani; Coll=Pengumpul; Trd Woll=Pedagang Grosiran Tradisional; Spr Whol=Pedagang Grosiran Supermarket; Trad Ret=Pasar Pengecer Tradisional; Superm=Supermarket

No Pelaku dan Kegiatan Rantai Farm-Coll-Trad Whol-Trad Ret

Farm-Coll-Trad Whol-Superm

Farm-Coll-Trad Whol-Supr Whol-Superm

Nilai % Nilai % Nilai %

IA Petani

1 Biaya Buruh (keluarga dan sewaan) a. Penyiapan lahan Rp/Kg 193 17% 250 24% 193 17% b. Pemupukan Rp/Kg 133 12% 162 15% 133 12% c. Pemakaian pestisida Rp/Kg 296 27% 216 20% 296 27% d. Penyiangan Rp/Kg 156 14% 189 18% 156 14% e. Pemupukan Rp/Kg 333 30% 243 23% 333 30% Jumlah Biaya Buruh Rp/Kg 1.111 55% 1.061 50% 1.111 55% 2 Biaya Input Agri a. Bibit Rp/Kg 222 29% 162 17% 222 29% b. Pupuk Rp/Kg 309 40% 347 37% 309 40% c. Pestisida Rp/Kg 37 5% 270 29% 37 5% d. Tongkat, Plastik, dan Input

lainnya Rp/Kg 209 27% 153 16% 209 27%

Jumlah Biaya Buruh Rp/Kg 778 38% 933 44% 778 38% 3 Sewa Lahan Rp/Kg 148 7% 108 5% 148 7% Jumlah Biaya Rp/Kg 2.037 65% 2.101 52% 2.037 52% 4 Harga Jual Rp/Kg 3.000 3.784 3.708 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 963 28% 1.683 37% 1.671 33% II Pengumpul Nilai % Nilai % Nilai %

1 Harga Beli Rp/Kg 3.000 3.784 3.708 2 Pengadaan a. Buruh Rp/Kg 24 64% 24 64% 24 64% - Bongkar-muat Rp/Kg 15 63% 15 63% 15 63% - Pengemudi dan Asisten

Pengemudi Rp/Kg 9 37% 9 37% 9 37%

b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 12 32% 12 32% 12 32% - Depresiasi skala Rp/Kg 0,1 1% 0,1 1% 0,1 1% - Bahan pengemasan Rp/Kg 0,1 1% 0,1 1% 0,1 1% - Depresiasi mobil Rp/Kg 6 51% 6 51% 6 51% - Biaya operasional mobil Rp/Kg 6 47% 6 47% 6 47% c. Kehilangan Bobot Rp/Kg d. Retribusi Rp/Kg 2 4% 2 4% 2 4% Biaya Pengadaan Rp/Kg 38 9% 38 9% 38 9% 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg 13 30% 20 39% 20 39% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 2 4% 2 3% 2 3% - Depresiasi Peti Kemas Rp/Kg 0,3 17% 0,3 20% 0,3 20%

Page 66: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Laporan Akhir SADI: Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia – fokus pada cabe

66 dari 69

- Depresiasi Bangunan Rp/Kg 1 77% 1 74% 1 74% - Depresiasi Skala Rp/Kg 0,1 7% 0,1 6% 0,1 6% b. Kehilangan Bobot Rp/Kg 30 67% 30 58% 30 58% Biaya Penanganan Rp/Kg 45 10% 52 12% 52 12% 4 Penyimpanan a. Bahan dan Peralatan Rp/Kg - Depresiasi Bangunan Rp/Kg Biaya Penyimpanan Rp/Kg 5 Penyerahan a. Buruh Rp/Kg 20 6% 20 6% 20 6% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 250 75% 250 75% 250 75% - Rentral dan operasional truk Rp/Kg 250 100% 250 100% 250 100% - Bahan Pengemasan Rp/Kg c. Kehilangan Bobot Rp/Kg 59 18% 59 18% 59 18% d. Retribusi Rp/Kg 5 1% 5 1% 5 1% Biaya Penyerahan Rp/Kg 334 80% 334 79% 334 79% Jumlah Biaya Rp/Kg 418 13% 425 11% 425 12% 6 Harga Jual Rp/Kg 4.000 4.895 4.797 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 582 17% 686 15% 664 12% III Pedagang Grosiran (Umum

dan Tradisional) Value % Value % Value %

1 Harga Beli 4.000 4.797 4.797 2 Pengadaan a. Buruh 19 92% 15 85% 7 78% - Bongkar-muat Rp/Kg 13 15 100% - Penskalaan Rp/Kg 7 35% 7 100% b. Bahan dan Peralatan 0,3 1% 0,2 1% 0,3 3% - Depresiasi skala Rp/Kg 0,3 100% 0,2 100% 0,3 100% c. Retribusi Rp/Kg 2 8% 3 14% 2 19% Biaya Pengadaan Rp/Kg 21 60% 18 2% 9 6% 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg 60 33% 35 27% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 121 67% 96 73% - Depresiasi Peti Kemas Rp/Kg 0,4 0,3% - Alas plastik Rp/Kg - Alat plat (besi / baja / triplek) Rp/Kg - Sewa Lahan/ Bangunan Rp/Kg 7 6% - Karung Rp/Kg 0,3 0.3% - Depresiasi Skala Rp/Kg 0,2 0,1% 0,5 0% - Pengemasan Rp/Kg 23 19% 15 - Kehilangan Bobot Rp/Kg 90 75% 80 83% Biaya Penanganan Rp/Kg 181 25% 131 85% 4 Penyimpanan a. Buruh Rp/Kg b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg - Depresiasi Bangunan - Pengemasan Rp/Kg - Kehilangan Bobot Rp/Kg

Page 67: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Laporan Akhir SADI: Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia – fokus pada cabe

67 dari 69

Biaya Penyimpanan Rp/Kg 5 Penyerahan a. Buruh Rp/Kg 13 88% 125 24% 13 88% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 53 10% 0 0% - Pengemasan Rp/Kg - Truk Rp/Kg 53 100% - Feri Rp/Kg - Depresiasi Skala Rp/Kg c. Kehilangan Bobot 350 66% d. Komisi d. Pemarkiran Rp/Kg 2 12% 2 6% Biaya Penyerahan Rp/Kg 14 40% 528 73% 30 19% Jumlah Biaya Rp/Kg 35 1% 727 18% 154 4% 6 Harga Jual Rp/Kg 5.000 7.000 6.500 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 965 28% 1.378 31% 1.549 31% IV Pedagang Grosiran Super Nilai % Nilai % Nilai %

1 Harga Beli Rp/Kg 6.500 2 Pengadaan a. Buruh Rp/Kg 35 82% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg c. Komisi Rp/Kg d. Retribusi Rp/Kg 8 18% e. Truk Rp/Kg Biaya Pengadaan Rp/Kg 42 6% 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg 20 73% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 31 42% -Pengemasan Rp/Kg 0,4 1% -Depresiasi Skala Rp/Kg 0,2 1% -Bangunan Rp/Kg 7 23% - Alat plat (besi / baja / triplek) Rp/Kg -Sewa Lahan Rp/Kg -Pengemasan Rp/Kg 23 75% b. Kehilangan Bobot Rp/Kg Biaya Penanganan Rp/Kg 74 25% 4 Penyimpanan a. Buruh Rp/Kg b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg -Depresiasi Bangunan Rp/Kg -Sewa Lahan Rp/Kg -Depresiasi Bahan

Pengemasan Rp/Kg

c. Kehilangan Bobot Rp/Kg Biaya Penyimpanan Rp/Kg 5 Penyerahan a. Buruh Rp/Kg 125 70% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 53 30% -Bahan Pengemasan Rp/Kg 0 0%

Page 68: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Laporan Akhir SADI: Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia – fokus pada cabe

68 dari 69

-Depresiasi Truk Rp/Kg 9 18% -Biaya Operasional Truk Rp/Kg 44 82% Biaya Penyerahan Rp/Kg 178 61% 6 Komisi Rp/Kg Jumlah Biaya Rp/Kg 294 8% 7 Harga Jual Rp/Kg 8.000 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 1.206 22% V Supermarket Nilai % Nilai % Nilai %

1 Harga Beli Rp/Kg 7.000 8.000 2 Biaya Penanganan a. Buruh Rp/Kg 240 31% 160 25% b. Bahan Rp/Kg 255 33% 170 26% c. Kehilangan Bobot Rp/Kg 280 36% 320 Jumlah Biaya Rp/Kg 775 19% 650 16% 2 Harga Jual Rp/Kg 8.500 9.000 Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 725 16% 350 6% VI Pasar Eceran Tradisional Value % Value % Value %

1 Harga Beli Rp/Kg 5.000 2 Pengadaan a. Buruh Rp/Kg 15 100% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg -Depresiasi Skala Rp/Kg -Rental Truk Rp/Kg c. Retribusi Rp/Kg d. Kehilangan Bobot Rp/Kg Biaya Pengadaan Rp/Kg 15 2% 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg 35 41% b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 52 38% - Depresiasi Skala Rp/Kg 2 4% - Bahan Pengemasan Rp/Kg 50 96% c. Kehilangan Bobot Rp/Kg 50 37% Biaya Penanganan Rp/Kg 137 22% 4 Penyimpanan a. Bahan dan Peralatan Rp/Kg 75 16% -Sewa Penyimpanan Rp/Kg 75 100% b. Retribusi Rp/Kg 9 2% c. Kehilangan Bobot Rp/Kg 385 82% Biaya Penyimpanan Rp/Kg 469 75% 5 Penyerahan a. Buruh Rp/Kg b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg - Depresiasi Skala Rp/Kg - Bahan Pengemasan Rp/Kg Biaya Penyerahan Rp/Kg Jumlah Biaya Rp/Kg 621 20% 6 Harga Jual Rp/Kg 6.500

Page 69: Laporan Akhir Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia

Laporan Akhir SADI: Rantai nilai sayuran di Kawasan Timur Indonesia – fokus pada cabe

69 dari 69

Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg 879 26% VII Industri Pangan

1 Harga Beli Rp/Kg 2 Pengadaan a. Buruh Rp/Kg b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg -Depresiasi Skala Rp/Kg -Rental Truk Rp/Kg c. Retribusi Rp/Kg d. Kehilangan Bobot Rp/Kg Biaya Pengadaan Rp/Kg 3 Penanganan (Penyortiran, Pengklasifikasian, Pengemasan) a. Buruh Rp/Kg b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg - Motor Rp/Kg - Mesin Rp/Kg - Penggiling Rp/Kg - Sabuk Rp/Kg - Karung Rp/Kg b. Kehilangan Bobot Rp/Kg Biaya Penanganan Rp/Kg 4 Penyimpanan a. Buruh Rp/Kg a. Bahan dan Peralatan Rp/Kg -Sewa Penyimpanan Rp/Kg b. Drum Rp/Kg c. Retribusi Rp/Kg d. Kehilangan Bobot Rp/Kg Biaya Penyimpanan Rp/Kg 5 Penyerahan a. Buruh Rp/Kg b. Bahan dan Peralatan Rp/Kg - Depresiasi Skala Rp/Kg - Bahan Pengemasan Rp/Kg c. Retribusi Rp/Kg d. Rental Truk Rp/Kg Biaya Penyerahan Rp/Kg Jumlah Biaya Rp/Kg 6 Harga Jual Rp/Kg Laba/ Pertambahan Nilai Rp/Kg Bagian petani % 46% 45% 41% Jumlah Pertambahan Nilai Rp/Kg 3.319 100% 4.472 100% 5.440 100% Jumlah Biaya Rp/Kg 3.181 100% 4.028 100% 3.560 100%