LAPORAN AKHIR PENGAMBILAN BAHAN GALIAN...
-
Upload
duongkhanh -
Category
Documents
-
view
232 -
download
2
Transcript of LAPORAN AKHIR PENGAMBILAN BAHAN GALIAN...
LAPORAN AKHIR
(FINAL REPORT)
PENDATAAN DAN PENGKAJIAN POTENSI PAJAK
PENGAMBILAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C
DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG
2004
KEGIATAN KAJIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH
KABUPATEN BANDUNG
Kerjasama dengan
PUSAT STUDI ILMU PEMERINTAHAN
UNIVERSITAS JENDRAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2005
SUSUNAN TIM PENELITI
PENDATAAN DAN PENGKAJIAN POTENSI PAJAK
PENGAMBILAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C
DI WILAYAH KABUPATEN BANDUNG
TAHUN 2004
Penanggung Jawab : Dr. Sutejo Atmowasito
Ketua : A. Widanarto, Drs., M.Si.
Sekretaris : Agus Subagyo, S.IP., M.Si.
Anggota : RM. H. Yuddy Prabowo, SE., MP.
Dadan Kurniansyah, S.IP.
Sri Ari Wardana, Ir.
Keuangan : Chris Endang W.
Sekretariat : Tulus Haryono
Susmeidy Syamsi
Surveyor : Mahasiswa Fakultas Teknik dan FISIP UNJANI Cimahi
Staf Administrasi : Herwibowo C. Atmowasito
Asep Rodi Permana
Irwan Kusmanto
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Alhamdulillah Hirrobul Alamin, akhirnya laporan penelitian
tentang Pendataan dan Pengkajian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C di
Wilayah Kabupaten Bandung Tahun 2004 dapat kami selesaikan sesuai dengan waktu yang
telah ditetapkan dalam perjanjian kerjasama. Penelitian ini dilakukan atas kerjasama antara
Kegiatan Kajian Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten Bandung, berdasarkan Surat
Perjanjian Kerjasama Nomor: 074/PK/2004, dengan Pusat Studi Ilmu Pemerintahan
Universitas Jenderal Achmad Yani Cimahi berdasarkan Surat Perjanjian kerjasama Nomor:
SK/B/01/PSIP-UNJANI/K/VII/2004 Pada Bulan Juni 2004.
Gagasan Bupati Bandung dengan memberikan tugas kepada aparat Pemerintah
Daerah untuk meneliti potensi pajak daerah nampaknya didasarkan pada arti penting
peningkatan Pendapatan Asli Daerah bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan
daerah yang dewasa ini bertumpu pada kemampuan daerah dalam rangka aplikasi Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujukan utama bagi Pemerintah
Kabupaten Bandung dalam menyusun kebijakan, khususnya pada kebijakan yang berkaitan
dengan peningkatan PAD. Proses pelaksanaan penelitian ini tidak sedikit menemuai kendala,
namun kami terus berupaya untuk dapat menemukan soluasinya yang dapat mengoptimalkan
hasil penelitian ini. Data yang diperoleh di samping dari instansi pemerintah daerah, juga
dengan melakukan pengumpulan data melalui penelitian lapangan.
Harapan kami semoga hasil penelitian ini berguna bagi Pemerintah Kabupaten
Bandung, khususnya bagi instansi yang berkompeten dan memiliki kaitan langsung maupun
tidak langsung dalam upaya optimalisasi potensi PAD. Tidak ada gading yang tak retak.
Kritikan dan saran yang konstruktif guna perbaikan laporan penelitian ini tentunya terbuka
lebar. Terima kasih.
Cimahi, 1 Februari 2005
Ketua Tim Peneliti
A. Widanarto, Drs., M.Si.
DAFTAR ISI
Susunan Tim Peneliti
Kata Pengantar
Ucapan Terima Kasih
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
B. Identifikasi Masalah
C. Pokok-pokok Permasalahan
D. Ruang Lingkup Penelitian
E. Tujuan Penelitian
F. Output/Keluaran
G. Outcome/Hasil
H. Benefit/Manfaat
I. Impact/Dampak
J. Pendekatan Normatif
K. Metode Penelitian
L. Populasi dan Teknik Sampling
M. Sistematika Laporan hasil Penelitian
N. Penyusunan Laporan Akhir
O. Sistem Pelaporan
P. Lokasi Kegiatan
BAB II KAJIAN NORMATIF
A. Kontribusi PAD Terhadap APBD Masih Rendah
B. Kajian Normatif Perda Nomor 3 Tahun 1998 Tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan
Bahan Galian Golongan C.
C. Kajian Normatif Keputusan Bupati No. 22 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perda Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung No. 3 Tahun 1998 tentang Pajak
Pengambilan dan Pengolahan bahan Galian Golongan C.
d. Kajian Normatif Keputusan Bupati Nomor 973/Kep.161a-Dipenda/2003 tentang Harga
Standar bahan Galian Golongan C.
BAB III OBYEK PENELITIAN
A. Letak Geografis
B. Kondisi Demografis dan Luas Wilayah
C. Gambaran Umum Bahan Galian Golongan C.
BAB IV KAJIAN EMPIRIS HASIL PENELITIAN
A. Potensi Minimal Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.
B. Peningkatan Potensi Pajak secara Intensif dan Ekstensif.
C. Dampak Lingkungan Penambangan Bahan Galian Golongan C.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Rekomendasi
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah tehili membawa
nuansa baru bagi penyelenggaraan pemerintahan. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999
telah merubah paradigma lama pelaksanaan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggungjawab diletakkan pada daerah Kabupaten dan Kota. Sedangkan otonomi daerah
pada daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas. Penyelenggaraan otonomi daerah
dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi
dan keanekaragaman daerah. Perubahan secara fundamental tersebut adalah dalam upaya
mewujudkan kemandirian daerah dalam rangka mencapai tujuan otonomi daerah, yakni:
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan rakyat serta peningkatan kehidupan yang
demokratis.
Kota kunci keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kesejahteraan
masyarakat. Strategi untuk, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, selain melalui
pengelolaan sumber-sumber pendapatan asli daerah secara adil dan berkelanjutan, juga
melalui langkah-langkah strategic kebijakan pemerintah dalam upaya menggali sumber
keuangan daerahnya sendiri. Oleh karena itu daerah harus memiliki keleluasaan untuk
menentukan sendiri mengenai cara mengatur dan mengurus rumah tangganya. Upaya untuk
memperbesar lumbung keuangan daerah merupakan salah satu cara yang mesti dilakukan
agar keleluasaan dapat diwujudkan di samping prasyarat lain, mengingat pembiayaan
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang besar tidak cukup hanya mengandalkan dari dana
perimbangan dan subsidi Pemerintah Pusat saja, tetapi daerah harus dapat memberdayakan
seoptimal mungkin potensi yang ada di daerah itu sendiri agar memberikan kontribusi yang
optimal terhadap pendapatan daerah.
Upaya yang dilakukan daerah dalam memperbesar sumber keuangan daerah adalah
dengan memfokuskan bagaimana cara meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Salah
satu sumber untk pembiayaan dalam peningkatan potensi dan realisasi PAD (khususnya dari
pajak dan retribusi daerah) harus merupakan konsep yang dinamis dan berkesinambungan.
Pendapatan asli daerah sejauh ini kondisinya sangat tidak seimbang dengan potensi riil yang
ada di daerah. Hal ini merupakan bagian dari dampak kebijakan lalu yang serba terpusat.
Maksimalisasi PAD akan berimplikasi pada peningkatan pemungutan pajak dan retribusi
daerah, sehubungan kedua komponen tersebut merupakan penyumbang terbesar dalam pos
pendapatan APBD. Akibatnya Pemerintah Daerah berusaha meningkatkan pajak daerah,
retribusi daerah, sekaligus bagian laba BUMD, bahkan beberapa Pemda meminta bagian atas
hasil BUMD yang ada di daerahnya.
Pajak merupakan alat untuk menstabilkan anggaran daerah. Pajak ibarat "minyak
angin" untuk mengobati krisis ekonomi yang masih berlangsung, namun persoalannya kini,
sejauhmana efektivitas pemungutan pajak itu sendiri. Pemerintah Daerah harus bijaksana
dalam memungut pajak ini sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Artinya daerah
dapat memungut pajak dalam jumlah yang sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonominya.
Termasuk dampak inflasi harus dipertimbangkan. Jangan sampai pemungutan pajak yang
besar ini mengakibatkan kelesuan ekonomi, sehingga investor menjadi ragu untuk
menanamkan modalnya. Selain itu perlu kehati-hatian Pemerintah Daerah terutama untuk
menentukan pajak apa yang harus dikenakan dan masyarakat/publik atau sektor mana yang
harus dibebani pajak, agar tidak mengganggu kestabilan kehidupan makro dan mikro
ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah junto Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah,
bahwa jenis pajak yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota adalah:
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Pengambilan Pe gambilan Bohan Galiaa. Golongan C
7. Pajak Parkin
Pemerintah Kabupaten Bandung perlu meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dalam
upaya meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Hal ini penting untuk menghindari
ketergantungan APBD Kabupaten Bandung terhadap dana perimbangan, khususnya dana
alokasi umum yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. Sehingga penyelenggaraan otonomi
daerah yang mensyaratkan kemandirian daerah dalam mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri dapat terwujud.
Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, Pemerintah Kabupaten
Bandung pada tahun anggaran 2002 dan 2003 telah melaksanakan Pendataan dan Pengkajian
Potensi Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan dalan, Pajak Parkir dan Pajak
Restoran di Kabupaten Bandung, yang dalam pelaksanaannya bekerjasama dengan Perguruan
Tinggi. Oleh karena itu diperlukan penelitian lanjutan mengenai potensi pajak daerah lainnya,
khususnya potensi pajak pengambilan bahan galian C di Wilayah Kabupaten Bandung yang
potensinya sangat besar dan bisa menunjang upaya peningkatan PAD.
Berdasarkan data yang ada, target dan realisasi sektor pajak pengambilan bahan galian
C selama ini dirasakan masih kurang optimal jika dibandingkan potensi riil/sesungguhnya
yang dimiliki Kabupaten Bandung. Hal ini bisa dilihat dari data secara kuantitatif tentang
target dan realisasi penerimaan pajak pengambilan bahan galian C selama 3 tahun anggaran
Berta target tahun 2004, sebagaimana tercantum dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 1.1
Target dan Realisasi Penerimaan
Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
Tahun Anggaran 2001 s/d 2003 serta Target Tahun 2004
(dalam Jutaan Rupiah)
No. Tahun
Anggaran
Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C
Target Realisasi
1. 2001 310.000.000,00 299.351.259,00
2. 2002 437.500.000,00 314.327.119,00
3. 2003 462.500.000,00 493.377.285,00
4. 2004 650.000.000,00
Sumber: Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Bandung, 2003
Dari data tersebut di atas, maka tergambar dengan jelas bahwa target yang ditetapkan
oleh Pemerintah Kabupaten Bandung dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Target yang
ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bandung dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2002
tidak terpenuhi. Artinya, realisasi penerimaan pajaknya tidak sesuai dengan target yang
ditetapkan. Khusus untuk tahun 2003, realisasi penerimaan pajaknya melebihi target yang
ditetapkan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Kabupaten Bandung belum
memiliki patokan yang jelas mengenai berapa sebenarnya potensi yang dimiliki oleh
Pemerintah Kabupaten Bandung dari sektor Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.
Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Kabupaten
Bandung, sudah sangat mendesak kiranya dilakukan pendataan dan pengkajian potensi pajak
pengambilan bahan galian golongan C melalui kerjasama dengan pihak Perguruan Tinggi.
Kegiatan pendataan dan pengkajian potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C ini
perlu dilakukan agar supaya jangan sampai, tiba-tiba muncul suatu aturan yang menyangkut
penanganan sumber pajak pengambilan bahan galian golongan. C dengan pertimbangan yang
spekulatif, tanpa melalui suatu proses pengkajian secara ilmiah.
Oleh karena itu, Pemerintah Kabupaten Bandung bekerjasama dengan Pusat Studi
Ilmu Pemerintahan Universitas Jenderal Achmad Yani (PSIP - UNJANI) melakukan kegiatan
“Pendataan dan Pengkajian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C di Wilayah
Kabupaten Bandung”.
B. Identifikasi Masalah
Adapun permasalahan yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:
1. Masalah series dalam pelaksanaan kebijakan Otonomi Daerah adalah bagaimana
Pemerintah Kabupaten Bandung mendapatkan dana yang memadai, sementara
kemampuan sumber daya manusia dan kewenangan daerah dalam menggali sumber
keuangan sangat terbatas.
2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pernenntah
Pusat dan Daerah yang menganut sistem bagi hasil atas eksploitasi sumber daya alam,
secara teori hanya beberapa daerah yang akan memetik keuntungan optimal. Daerah-
daerah lain masih akan menggantungkan secara penuh pendanaannya dari Pusat
melalui Dana Alokasi Umum. Begitu pula, dengan kondisi yang terjadi di Kabupaten
Bandung dimana DAU yang diterima dari Pusat merupakan 70,42 % dari total
pendapatan dalam APBD tahun anggaran 2004.
3. Dalam membiayai kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah, Kabupaten Bandung
tidak dapat hanya mengandalkan bagian dari dana perimbangan saja, namun perlu
mengupayakan secara mandiri dalam menggali dan mengelola, potensi yang ada
dengan jalan meningkatkan penerimaan dari Pendapatan Asli Daerah, sehingga pada
gilirannya nanti PAD sebagai penopang utama APBD, sedangkan dana perimbangan
sebagai suplemen saja. Namun demikian, deskripsi saat ini posisi PAD dalam APBD
Kabupaten Bandung tahun 2004 hanya memberikan kontribusi sebesar 29,58 %. Hal
ini dirasakan relatif kecil dibandingkan dengan potensi PAD di Kabupaten Bandung
yang begitu besar, terutama dari sektor pajak daerah.
4. Kekhawatiran lain, jika daerah tertantang untuk lebih serius menggali sumber
keuangannya tanpa arahan, bukan tidak mungkin yang muncul justru tambahan beban
untuk rakyat dan pukulan balik bagi daerah, karena dijauhi investor.
5. Rencana penerimaan sumber PAD dari pajak daerah terutama pajak pengambilan
bahan galian golongan C dalam APBD tahun 2004 (Rp. 650.000.000,00) masih relatif
rendah dibandingkan dengan potensi yang ada di lapangan. Adapun kondisinya
sebagai berikut: Pajak pengambilan bahan galian golongan C memberikan kontribusi
hanya sebesar 0,6% dari total target pajak daerah, yaitu sebesar Rp.
45.687.500.000,00
6. Potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C yang sudah tergah menurut
pendapat beberapa kalangan baru sekitar 12% dari potensi riil atau yang sebenarnya
dimiliki Kabupaten Bandung. Untuk itu diperlukan kegiatan pengkajian dan
pendataan potensi yang sebenarnya dari bahan galian golongan C.
C. Pokok-pokok Permasalahan
Dari uraian latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka pokok
permasalahan yang akan diteliti, yaitu:
1. Secara kuantitatif, seberapa besar potensi pajak daerah dari jenis Pajak Pengambilan
Bahan Galian Golongan C di Kabupaten Bandung untuk tahun 2004?
2. Apakah pendapatan dari jenis pajak tersebut masih berpotensi untuk ditingkatkan,
baik secara intensif maupun secara ekstensif?
3. Apes dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya penambangan bahan galian
golongan C?
D. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada pengkajian potensi Pajak Pengambilan Bahan
Galian Golongan C di Kabupaten Bandung. Ruang lingkup penelitian meliputi:
1. Pengumpulan data sekunder dari Dinas Pendapatan Daerah.
2. Pengumpulan dan analisis data primer dari lapangan yang diperoleh melalui
wawancara dan angket dari subyek dan obyek pajak, kepada informan dan semua titik
Pengambilan. Bahan Galian Golongan C di setiap kecamatan di Kabupaten Bandung
3. Analisis potensi besarnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
4. Analisis masalah dan rekomendasi pemecahannya
5. Proyeksi target besarnya Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C.
E. Tujuan
Secara lebih terperinci tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui seberapa besar potensi pendapatan asli daerah yang dimiliki dan
dapat digali di wilayah Kabupaten Bandung dari sektor Pajak Pengambilan Bahan
Galian Golongan C.
2. Untuk menghimpun dan menganalisis objek pajak yang masih berpotensi untuk
ditingkatkan secara intensif dan ekstensif dari jenis pajak tersebut.
3. Untuk menguraikan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh adanya penambangan
bahan galian golongan C.
F. Output/Keluaran
1. Hasil Penelitian yang menggambarkan potensi pajak pengambilan bahan galian
golongan C di Kabupaten Bandung yang bisa digali dan dikembangkan berdasarkan
aturan yang berlaku.
2. Adanya hasil kajian yang akurat dan komprehensif tentang potensi riil pajak
pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten Bandung yang dapat dijadikan
sebagai bahan pengambilan kebijakan bagi Pemerintah Kabupaten Bandung untuk
menentukan target pajak pengambilan bahan galian golongan C yang bisa dicapai
dalam upaya meningkatkan PAD Kabupaten Bandung.
G. Outcome/Hasil
Outcome atau hasil yang diharapkan adalah berupa data/gambaran, rekomendasi dan
saran tindak terhadap potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten
Bandung.
H. Beneflit/Manfkat
Pemerintah Kabupaten Bandung dapat menetapkan target atas pajak pengambilan bahan
galian. golongan C yang lebih akurat dan sesuai dengan potensi sebenarnya berdasarkan
hasil penelitian di lapangan.
L. Impact/Dampak
PAD dari sektor Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C dapat meningkat secara
kuantitatif dan dampak negatif lingkungan hidup atas eksistensi penambangan galian C
dapat diantisipasi.
J. Pendekatan Normatif
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
merupakan wujud kesungguhan untuk mengakomodasi tuntutan daerah dalam
mewujudkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan demikian,
pembiayaan pemerintahan dan pembangunan daerah yang bersumber dari PAD,
khususnya dari pajak dan retribusi daerah sangat berpeluang untuk ditingkatkan. Ada
beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, yaitu:
Pertama, hal ini terlihat dari penambahan jenis pajak yang diserahkan kepada
Kabupaten/Kota, seperti tercantum dalam pasal 2 ayat (2) dan ayat (4) tentang jenis pajak
yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota. Kedua, dibedakannya pajak hotel dan pajak
restoran untuk kabupaten/kota yang semula dijadikan satu. Ketiga, pajak pengambilan
dan pengolahan bahan galian golongan C (untuk Kabupaten/Kota) yang diubah menjadi
pajak pengambilan bahan galian golongan C. Keempat, masih untuk Kabupaten/Kota,
ditambahkannya pajak parkir sebagai sumber penerimaan pajak baru. Kelima, di samping
tambahan maupun perluasan jenis pajak tersebut, Kabupaten/Kota juga diberikan
keleluasaan untuk menambah dengan jenis jenispajak baru, walaupun ada rambu-rambu
atau kriterianya.
Dalam rangka melaksanakan undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah dan
Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tentang Retribusi Daerah. Dengan berlakunya kedua
Peraturan Pemerintah tersebut, semua Peraturan Pemenntah yang berkaitan dengan Pajak
dan Retnbusi praktis tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan beberapa peraturan daerah
yang berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah harus mengalami perubahan. Alasan
pertama adalah untuk menyesuaikan dengan undang-undang dan peraturan pemerintah
baru yag telah diubah. Alasan kedua adalah untuk menyesuaikan dengan dinamika daerah
itu sendiri sesuai dengan potensi sumber-sumber PAD yang berkembang.
K. Metode Penelitian
Penelitian ini akan mempergunakan metode survey. Sementara jenis atau tipe
penelitian ini adalah deskriptif. Analisis data dilakukan secara deskriptif artinya tidak
hanya sebatas pengumpulan dan penyusunan data, tetapi juga meliputi menuturkan dan
menafsirkan (interpret) tentang arti data tersebut, sehingga nantinya Pemerintah Daerah
dapat menetapkan target pendapatan dari pajak pengambilan bahan galian golongan C
lebih akurat. Pada bagian akhir akan ditarik kesimpulan-kesimpulan (generalisasi) yang
didasarkan kepada data-data yang representatif.
Dalam pelaksanaan pendataan dan kajian potensi pajak daerah di wilajah
Kabupaten Bandung, dibutuhkan langkahlangkah persiapan dan tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1. Tahapan Persiapan
a. Penyamaan Persepsi
1) Menyamakan persepsi dilakukan melalui diskusi terbatas antara pihak pemberi
kerja dengan pelaksana pekerjaan, dengan sasaran dapat tercapai hasil secara
maksimal;
2) Pihak pelaksana pekerjaan mengajukan usulan penanganan pekerjaan
(proposal) yang dilaporkan pada Laporan Pendahuluan;
3) Pihak pelaksana pekerjaan melaksanakan paparan Laporan Pendahuluan atau
Paparan Rencana Penelitian di hadapan pengguna hasil penelitian tersebut.
b. Persiapan Teknis Survei
Persiapan Teknis Survei dilakukan setelah terjadi kesepakatan atau kesamaan
persepsi antara pihak pemberi dan pelaksana pekerjaan.
2. Tahapan Pelaksanaan Penelitian
a. Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang diperlukan untuk penelitian ini adalah data kualitatif dan data
kuantitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa teknik, yaitu:
1) Observasi. Ada dua jenis observasi yang akan dilakukan terhadap objek pajak:
(i) Teknik observasi langsung - Peneliti melakukan pengamatan dan
pencatatan secara langsung terhadap gejala-gejala obyek yang diteliti.
(ii) Teknik Observasi Tidak Langsung - Peneliti melakukan pengamatan
terhadap obyek yang diteliti melalui cara Check List, dokumen-dokumen
resmi, seperti Laporan Tahunan Pajak Daerah dari Pemerintah Kabupaten
Bandung serta Dinas Pendapatan Daerah dan dari sumber informasi
lainnya yang relevan seperti dari media massa.
2) Kuesioner (Angket). Penelitian ini mempergunakan angket berstruktur, karena
jawaban yang diharapkan dari responder adalah jawaban yang singkat, tegas,
konkrit dari pertanyaan-pertanyaan yang terbatas. Angket ini ditujukan kepada
para pengusaha yang melakukan pengambilan bahan galian golongan C di
semua titik potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C.
3) Wawancam (Intennew). Wawancara dilakukan terhadap responder terpilih,
yaitu DISPENDA Pemerintah Kabupaten Bandung dan Pihak Pengusaha
Penambangan Galian C. Data yang diperoleh dari teknik wawancara ini
selanjutnya digunakan untuk cross check validitas datanya dan untuk
melengkapi data primer dan data sekunder.
Alasan yang mendasari mengapa teknik pengumpulan data menggunakan
beberapa tahap sebagaimana diuraikan di atas adalah karena ukuran populasinya yang
demikian besar, lokasi penelitian yang begitu luas.
Di camping itu, dalam penelitian ini dilakukan juga pengumpulan data
sekunder yang diperoleh dari dokumendokumen pemerintah, yang meliputi peraturan
perundangundangan yang terkait dengan objek penelitian, jenis pajak daerah, jumlah
wajib pajak, serta target dan realisasi penerimaan daerah dari jenis pajak.
3. Pendekatan
Pendekatan dalam penelitian yang mengkaji potensi pajak pengambilan bahan galian
golongan C dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Kedua metode ini digunakan
secara bersamaan agar hasil penelitian mencapai sasaran dan tujuan yang
dimaksudkan yaitu secara kuantitatif dapat menetapkan potensi besarnya pajak
pengambilan bahan galian golongan C dan secara kualitatif dapat memahami
persoalan-persoalan yang bersifat normatif dan persoalan-persoalan implementasi
peraturan perundang-undangannya termasuk berbagai kendalanya.
4. Tahap Pengolahan dan Analisis Data
a. Pengolahan Data
1) Pengolahan data Kuantitatif dilakukan dengan koding, editing, klasifikasi,
kategorisasi, dan tabulasi dengan pengukuran secara kuantitatif sehingga,
dapat menunjukkan data berupa angka.
2) Pengolahan data kualitatif dilakukan secara deskriptif dengan
menggambarkan, menjelaskan, menggolongkan, menggeneralisasikan, dan
mengkonseptualisasikan data sekunder dan data primer melalui kata-kata,
kalimat, gambar, simbol, skema, bagan, tabel dan grafik.
b. Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data secara kuantitatif dan
kualitatif.
1) Analisis data kuantitatif terhadap kajian empiris potensi besarnya pajak
pengambilan bahan galian golongan C dilakukan dengan pembandingan
melalui tabulasi besarnya target pajak berdasarkan data sekunder dari Dinas
Pendapatan Daerah dibandingkan dengan potensi besarnya pajak berdasarkan
hasil penelitian.
2) Analisis data kualitatif dilakukan melalui:
(a) Reduksi data, yakni memilih dan memilah data-data pokok yang sesuai
dengan fokus penelitian.
(b) Display/penyajian data, yakni langkah menyajikan data dalam bentuk kata-
kata, kalimat, gambar, simbol, skema, bagan, tabel dan grafik.
(c) Verifikasi data, yakni data-data yang telah ada diuji secara empiris
sehingga validitas, reliabilitas, dan objektivitas data terpenuhi.
Apabila dalam rangka melakukan reduksi data, display/penyajian data, dan
verifikasi data, masih terdapat keraguan terhadap validitas dan reliabilitas
data, maka dipergunakan teknik analisis data berikut ini:
(a) Triangulasi data, yakni cross check atau pemeriksaan silang antar data,
dengan tujuan untuk memperoleh kepercayaan dan akurasi data.
(b) Interpretasi data, yakni mencari pemahaman, pemaknaan dan penghayatan
terhadap data yang telah diolah. Teknik analisis data seperti ini sering
disebut dengan teknik analisis Verstehen.
5. Unit Analisis Data
Unit analisis data dalam penelitian ini adalah individu dan badan hukum yang secara
potensial dapat dijadikan sebagai wajib pajak berdasarkan peraturan daerah,
keputusan bupati dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
pengambilan bahan galian golongan C.
L. Populasi dan Teknik Sampling
Populasi adalah kumpulan yang lengkap dari elemen-elemen (objek penelitian) yang
sejenis yang dibedakan karena karakteristiknya (Supranto, 1992:28). Data jumlah titik
pengambilan bahan galian golongan C dari 14 Kecamatan adalah berjumlah 104 titik.
Untuk memastikan jumlah titik pengambilan bahan galian golongan C yang
sesungguhnya, pengumpulan data dilakukan dengan teknik sensus dan uji petik melalui
cara pencatatan di lapangan terhadap semua titik potensi pajak pengambilan bahan galian
golongan C dari berbagai jenis kelompok usaha di setiap Kecamatan. Data ini sangat
penting karena dapat dijadikan dasar potensi dalam rangka intensifikasi dan ekstensifikasi
objek pajak.
M. Sistematika Laporan Akhir Penelitian
Adapun sistematika laporan Hasil Penelitian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C di Wilayah Kabupaten Bandung adalah sebagai berikut:
I. Pendahuluan
II. Kajian Normatif
III. Objek Penelitian
IV. Kajian Empiris Hasil Penelitian
V. Penutup
a. Kesimpulan
b. Rekomendasi
Buku Laporan Hasil Penelitian ini dilengkapi dengan tabel yang di dalamnya terdapat
angka-angka yang disusun secara sistematis dan analitik sehingga menghasilkan beberapa
rekomendasi penting yang siap digunakan sebagai bahan penunjang dalam pengambilan
kebijakan pemerintah Kabupaten Bandung meningkatkan dan menggali potensi PAD
secara optimal.
N. Penyusunan Laporan Akhir
Pada tahap ini hasilnya berupa Draft Laporan Akhir yang ditindaklanjuti dengan
Presentasi Draft Laporan Akhir yang akan digandakan oleh pihak pemberi pekerjaan di
hadapan pengguna (stakeholder] hasil kajian untuk penyempurnaan Laporan Akhir. Saran
dan masukan yang dianggap penting (baik angka/data maupun redaksionalnya) kemudian
dimasukkan demi penyempurnaan Laporan Akhir. Laporan Akhir yang telah
disempurnakan kemudian diserahkan kepada pihak pemberi pekerjaan untuk digandakan
lebih lanjut yang disertai/ditandai Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan.
O. Sistem Pelaporan
1. Laporan Pendahuluan, laporan ini dibuat atas dasar pemahaman terhadap materi
pekerjaan yang memuat elaborasi dan metode pelaksanaan pekerjaan yang akan
dilakukan serta memuat kegiatan kerja dan pengerahan tenaga kerja (Sumber Daya
Manusia) yang terhbat;
2. Laporan Akhir, laporan ini berisi proses seleksi, klasifikasi dan tabulasi data dari hasil
survey institusional maupun lapangan yang disertai analisis yang kemudian
dipresentasikan di hadapan pemakai/pengguna hasil kajian.
P. Lokasi Kegiatan
Kegiatan Kajian Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C ini tersebar di 14
Kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung.
BAB II
KAJIAN NORMATIF
Terhitung mulai 1 Januari 2001 pemerintah secara resmi memberikan Undang-undang
Nomor 32 Tahn 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Secara umum, subsidi kedua undang-undang
itu merupakan wujud aspirasi daerah dalam konteks desentralisasi atau sering disebutnya dengan
otonomi daerah. Bahkan, sebagian besar masyarakat memandang kedua undang-undang ini jauh
lebih aspiratif terhadap tuntutan otonomi daerah ketimbang Undang-undang Nomor 5 tahun
1974. Dengan ditetapkannya paket otonomi daerah, menjadi hak dan kewajiban Pemerintah
Kabupaten Bandung untuk memanfaatkan secara optimal kewenangannya sehingga dapat
memberikan ruang yang lebih luas lagi bagi penciptaan nilai tambah pembiayaan serta
penerimaan daerah.
Salah satu perubahan penting dalam melihat potensi dan dinamika perekonomian daerah
adalah dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Melalui PAD dapat terlihat langsung besarnya
penerimaan dan pengeluaran pembangunan darah. Semakin besar nilai PAD, semakin ringan
beban Pemerintah Daerah dalam membiayai pembangunan daerah. Demikian pula sebaliknya,
semakin kecil nilai PAD, semakin berat beban Pemerintah Daerah dalam membiayai
pembangunan daerah.
A. Kontribusi PAD Terhadap APBD Masih Rendah
Menurut data pada tahun anggaran 1998/1999, kontribusi PAD terhadap APBD
Kabupaten/Kota di Jawa Barat secara rata-rata masih relatif rendah, yakni berkisar antara 4,86
persen (Kabupaten Indramayu) sampai dengan 32,26 persen (Kota Bandung). Tabel 2.1 berikut
ini akan menunjukkan kontribusi PAD/APBD kabupaten/Kota se-Jawa Barat.
Tabel 2.1
Kontribusi PAD/APBD Kabupaten Kota
Se-Jawa Barat, 1997/1998 dan 1998/1999
No. Kabupaten/Kota Kontribusi PAD/APBD (%)
1997/1998 1998/1999
1. Kab. Pandeglang 7,50 6,69
2. Kab. Lebak 9,83 6,20
3. Kab. Bogor 32,11 25,66
4. Kab. Sukabumi 13,98 5,55
5. Kab. Cianjur 12,59 5,95
6. Kab. Bandung 14,40 12,21
7. Kab. Garut 8,50 7,51
8. Kab. Tasikmalaya 15,09 10,39
9. Kab. Ciamis 9,23 5,43
10. Kab. Kuningan 10,22 7,14
11. Kab. Cirebon 10,09 7,30
12. Kab. Majalengka 11,09 6,60
13. Kab. Sumedang 16,79 13,42
14. Kab. Indramayu 8,13 4,86
15. Kab. Subang 18,81 9,32
16. Kab. Purwakarta 24,32 23,64
17. Kab. Karawang 28,16 21,70
18. Kab. Bekasi 33,03 22,55
19. Kab. Tanggerang 32,57 23,00
20. Kab. Serang 35,60 27,21
21. Kota Bogor 32,86 25,43
22. Kota Sukabumi 28,88 22,92
23. Kota Bandung 35,22 32,26
24. Kota Cirebon 32,62 29,11
25. Kota Tangerang 42,97 23,82
26. Kota Bekasi na 21,87
Sumber: Diolah dari BPS, Statistik Keuangan Pemerintah Daerah Tingkat II, Kabupaten
Bandung, 1997/1998-1998/1999
Kontribusi PAD terhadap APBD Kabupaten/Kota di tahun 1998/1999 mengalami
penurunan untuk semua kabupaten/kota dibandingkan dengan tahun 1997/1998. Penurunan PAD
secara riil maupun sebagai persentase dari APBD dapat disebutkan oleh dampak krisis ekonomi
yang telah berlangsung sejak pertengahan 1997 dan implikasi implementasi UU 18 tahun 1997
tentang pajak daerah dan retribusi daerah.
Puncak krisis ekonomi di Jawa Barat dirasakan pada tahun 1998, yang ditandai dengan
laju pertumbuhan PDRB Jawa Barat terpuruk hingga -14 persen. PAD yang terdiri dari
komponen utamanya, pajak daerah dan retribusi daerah, umumnya bersifat elastis terhadap
perubahan PDRB.
Di samping krisis ekonomi, penurunan PAD bisa juga disebabkan atau dipertajam oleh
implikasi pemberlakuan UU Nomor 18 tahun 1997 yang merasionalisasikan dan
mengefisiensikan jumlah dan pemungutan pajak daerah serta retribusi daerah. Tentang penyebab
penurunan riil PAD hanya dapat ditentukan dengan menghitung dampak penurunan PDRB
terhadap penerimaan PAD, serta implikasi perubahan komponen pajak daerah dan retribusi
daerah terhadap penerimaan PAD.
Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan
wujud kesungguhan untuk mengakomodasikan tuntutan daerah dalam mewujudkan otonomi
daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, pembiayaan pemerintahan dan
pembangunan daerah di Kabupaten/Kota yang bersumber dari PAD, khususnya dari pajak daerah
dan retribusi daerah sangat berpeluang untuk ditingkatkan.
Ada beberapa alasan yang mendasar pernyataan tersebut, yaitu: Pertama, hal ini terlihat
dari penambahan jenis pajak yang diserahkan kepada kabupaten/Kota, seperti tercantum dalam
Pasal 2 poin 2 dan poin 4 tentang Pajak Kabupaten/Kota. Kedua, dibedakannya pajak hotel dan
pajak restoran untuk Kabupaten/Kota yang semua dijadikan satu. Ketiga, Pajak pengambilan dan
pengolahan bahan galian golongan C (untuk kabupaten/kota) yang diubah menjadi pajak
pengambilan bahan galian golongan C. Keempat, ditambahkannya pajak parkir sebagai sumber
penerimaan pajak baru bagi kabupaten/kota. Kelima, di samping tambahan maupun perluasan
jenis pajak tersebut, kabupaten/kota juga diberikan keleluasaan untuk menambah dengan jenis-
jenis pajak beru. Tentunya apabila semua pelung ini dapat dimanfaatkan, akan memiliki dampak
yang positif bagi kemandirian daerah dalam pembiayaan pembangunan daerah demi terwujudnya
pelaksanaan otonomi daerah yang berkesinambungan.
Dalam rangka melaksanakan undang-undang tersebut, Pemerintah Pusat telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan Peraturan
Pemerintah Nomor 66 tentang Retribusi Daerah. Karena itu, dengan berlakunya kedua Peraturan
Pemerintah tersebut, semua Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan Pajak dan retribusi
praktis tidak berlaku lagi. Demikian juga dengan beberapa peraturan daerah yang berkaitan
dengan pajak dan retribusi daerah yang dibuat sebelum berlakunya peraturan pemerintah terbaru
ini harus mengalami perubahan. Alasannya bukan hanya untuk menyesuaikan dengan undang-
undang dan peraturan pemerintah baru yang telah diubah, tetapi juga untuk menyesuaikan
dengan dinamika daerah itu sendiri sesuai dengan potensi sumber-sumber PAD yang
berkembang di daerah.
Namun demikian, di Kabupaten Bandung, masih ada Peraturan Daerah dan Keputusan
Bupati yang masih berlaku, meskipun dibuat dan ditetapkan sebelum adanya PP No. 65 Tahun
2001 tentang Pajak Daerah. Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati tersebut adalah: Peraturan
Daerah Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan bahan Galian
Golongan C; dan Keputusan Bupati Nomor 22 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung Nomor 3 Tahun 1998 tentang
Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golingan C. Oleh karena itu, fokus kajian normatif
dalam penelitian ini akan diarahkan untuk mengkaji kedua peraturan perundang-undangan di
tingkat daerah Kabupaten Bandung tersebut.
B. Kajian Normatif Perda No. 3 Tahun 1998 Tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan
Galian Golongan C.
Sebelum menguraikan permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan diterapkannya
Perda No. 3/1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C,
terlebih dahulu akan dipaparkan secara detail pasal-pasal krusial dan penting yang terdapat
dalam Perda tersebut.
1. Pasal-pasal Krusial dan Penting
Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 diuraikan bahwa:
a. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C yang selanjutnya disebut
Pajak adalah pungutan daerah atas Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan
C.
b. Bahan Galian Golongan C adalah semua bahan galian yang tidak termasuk dalam
golongan bahan galian strategis (A) dan golongan bahan galian vital (B).
c. Eskploitasi Bahan Galian Golongan C adalah pengambilan Bahan Galian Golongan C
dari sumber alam di dalam dan atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
Dalam Bab II Nama, Obyek Pajak dan Sumbyek Pajak Pasal 2 diuraikan bahwa:
a. Dengan nama Pajak Pengambilan dan Bahan Galian Golongan C dipungut pajak atas
kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C.
b. Obyek Pajak adalah kegiatan eksploitasi Bahan Galian Golongan C.
c. Bahan Galian Golongan C sebagaimana dimaksud ayat (2) meliputi:
a) Asbes
b) Batu Tulis
c) Batu Setengah Permata
d) Batu Kapur
e) Batu Apung
f) Batu Permata
g) Bentonit
h) Dolomit
i) Felspar
j) Garam Batu (Halite)
k) Grafit
l) Granit
m) Gips
n) Kalsit
o) Kaolin
p) Leusit
q) Magnesit
r) Mika
s) Marmer
t) Nitrat
u) Okeril
v) Pasir dan Kerikil
w) Pasir Kuarsa
x) Perlit
y) Phospat
z) Talk
aa) Tanah Serap
ab) Tanah Liat
ac) Tawas (alum)
ad) Tras
ae) Yarosif
af) Zeolit
ag) Opsidien
ah) Tanah Diatome
Sedangkan Pasal 3 ayat (1) dan (2) diuraikan bahwa:
a. Subyek pajak adalah orang pribadi atau badan yang mengeksploitasi atau mengambil
bahan galian golongan C.
b. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan eksploitasi bahan
galian golongan C.
Dalam Bab III Dasar Pengenaan dan Tarif Pajak Pasal 4 diuraikan bahwa:
a. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual hasil eksploitasi bahan galian golongan C.
b. Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan mengalikan
volume/tonase hasil eksploitasi dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing
jenis bahan galian golongan C.
c. Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada masing-masing jenis bahan galian
golongan C ditetapkan secara periodik oleh kepala daerah sesuai dengan harga rata-rata
yang berlaku di lokasi setempat.
d. Harga standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh insansi yang
berwenang dalam bidang penambangan bahan galian golongan C.
Sedangkan Pasal 5 diuraikan bahwa: Tarif ditetapkan sebesar 20%.
C. Kajian Normatif Keputusan Bupati No. 22 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Aperda
Kebupaten Daerah Tingkat II Bandung No. 3 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan
Pengolahan Bahan Galian Golongan C.
Sebelum menguraikan permasalahan-permasalahan yang muncul berkaitan
diterapkannya Keputusan Bupati Nomor 22 Tahun 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda
Kabupaten Daerah Tingkat II No 3/1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan
Galian Golongan C, terlebih dahulu akan dipaparkan secara detail pasal-pasal krusial dan
penting yang terdapat dalam Keputusan Bupati tersebut.
1. Pasal-pasal Krusial dan Penting
Dalam Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 diuraikan bahwa:
a. Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C yang selanjutnya
disebut Pajak adalah pungutan daerah atas Pengambilan dan Pengolahan Bahan
Galian Golongan C.
b. Bahan Galian Golongan C adalah semua bahan galian yang tidak termasuk dalam
golongan bahan galian strategis (A) dan golongan bahan galian vital (B).
c. Eskploitasi Bahan Galian Golongan C adalah pengambilan Bahan Galian Golongan C
dari sumber alam di dalam dan atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
Dalam Bab II Nama, Obyek Pajak dan Sumbyek Pajak Pasal 2 diuraikan bahwa:
a. Obyek pajak adalah kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C.
b. Bahan galian golongan C sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini meliputi:
1. Asbes
2. Batu Tulis
3. Batu Setengan Permata
4. Batu Permata
5. Batu Kapur
6. Batu Apung
7. Bentonit
8. Dolomit
9. Felspar
10. Garam Batu
11. Grafit
12. Granit/Andesit/Diorit/Dasit
13. Gips
14. Kalsit
15. Kaolin
16. Leusit
17. Magnesit
18. Mika
19. Marmer
20. Nitrat
21. Opsidan
22. Oker
23. Pasir dan Kerikil
a. Pasir Beton
b. Pasir Pasang
c. Pasir Urug
d. Sirtu
24. Pasir Kuarsa
25. Perlit
26. Phospat
27. Talk
28. Tanah Sedap
29. Tanah Diatome
30. Tanah Liat
a. Tanah Liat Tahan Api
b. Tanah Liat untuk Bangunan
31. Tawas (Alum)
32. Tras
33. Yarosit
34. Zeolit
Dalam Bab IV Dasar Pengenaan dan tarif Pajak pasal 6 diuraikan bahwa:
a. Dasar pengenaan pajak adalah jumlah pembayaran dan atau yang seharusnya dibayar
untuk menonton atau menikmati hiburan.
b. Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini dihitung dengan mengalikan
volume/tonase hasil eksploitasi dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing
jenis bahan galian golongan C.
c. Nilai pasar atau harga standar sebagaimana dimaksud pada masing-masing jenis
bahan galian golongan C akan ditetapkan kemudian secara periodik oleh kepala
daerah sesuai dengan harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat.
Dalam Bab V Tata Cara Perhitungan dan Penetapan pajak Pasal 9 diuraikan bahwa:
a. Masa pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C adalah 1 (satu)
bulan takwim.
b. Pajak-pajak terjadi saat terjadinya eksploitasi bahan galian golongan C.
D. Kajian Normatif keputusan Bupati Nomor 973/Kep.161a-Dipenda/2003 tentang Harga
Standar Bahan Galian Golongan C.
Sebagai tindak lanjut dari Perda Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan
Pengolahan Bahan Galian Golongan C, Pemerintah kabupaten Bandung mengluarkan
Keputusan Bupati yang berkiatan dengan harga standar dan jenis bahan galian golongan C
berikut ini:
Tabel 2.2
Harga Standar dan Jenis Bahan Galian Golongan C
Di kabupaten Bandung
No. Jenis Bahan Galian Harga Standar Dasar (Rp/Ton
Harga Lama Harga Baru
1. Batu Kapur 2.000 3.500
2. Granit/Andesit/Dionit/Dasit 3.000 9.000
3. a. Marmer
b. Barangkal Marmer
30.000 30.000
4. Pasir dan Kerikil
a. Pasir Beton
b. Pasir Pasang
c. Pasir Urug
d. Sirtu
3.000
2.500
2.000
1.500
15.000
12.000
4.000
6.000
5. Pasir Kuarsa 6.000 18.000
6. Tanah Urug 1.500 2.000
7. Tanah Liat untuk Bangunan 1.000 3.000
8. Tras 2.500 8.000
Harga standar sebagaimana terdapat dalam tabel di atas dijadikan sebagai patokan unsur
perhitungan pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C. Nilai pajak
sebagaimana dimaksud adalah 20% dikali nilai jual hasil eksploitasi. Nilai jual hasil
eksploitasi adalah volume/tonase dikalikan harga standar masing-masing jenis bahan galian
golongan C.
BAB III
OBJEK PENELITIAN
Dalam bob III ini akan diuraikan secara singkat Tatar belakang obyek penelitian, mulai dari letak
geografis, kondisi demografis clan Was wilayah Kabupaten Bandung Berta gambaran umum
penambangan bahan gahan golongan C yang terdapat di sebagian kecamatan di wilayah Kabupaten
Bandung, khususnya Bandung bagian Barat.
A. Letak Geografis
Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah di Propinsi Jawa Barat. Wilayah ini
merupakan lokasi yang paling dekat dengan Ibukota Propinsi Jawa Barat. Dampak positif
keberhasilan pembangunan di jantung Jawa Barat juga paling dirasakan oleh penduduk di
Kabupaten Bandung.
Wilayah Kabupaten Bandung, mengelilingi seluruh wilayah Kota Bandung, terletak di
tengah-tengah daerah Jawa Barat yang dikelilingi oleh beberapa daerah kabupaten, yaitu: 1. Sebelah
Utara, berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta
dan Kabupaten Subang.
2. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut.
Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Garut.
4. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.
Kabupaten Bandung merupakan salah satu wilayah terluas di Propinsi Jawa Barat bersama
beberapa daerah kabupaten/kota lainnya. Pada tahun 2001, daerah ini barn berjumlah 39 (tigapuluh
sembilan) kecamatan setelah Kecamatan Cimahi Selatan, Cimahi Tengah dan Cimahi Utara
memisahkan diri menjadi Kota Cimahi. Sesuai dengan laju pembangunan di Kabupaten Bandung,
jumlah kecamatan pada bulan Agustus 2001 dimekarkan menjadi 43 (empau puluh tiga) kecamatan,
yaitu Kecamatan Nagrek merupakan pemekaran dari kecamatan Cicalengka, Kecamatan Rongga
merupakan pemekaran dari Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Solokan Jeruk merupakan
pemekaran dari Kecamatan Majalaya, dengan 436 (empat ratus tiga puluh enam) desa/kelurahan.
Pada pertengahan tahun. 2003 ini jumlah kecamatan bertambah duo lagi yaitu Kecamatan
Cihampelas merupakan pemekaran dari Kecamatan Cihhn, dan. Kecamatan Cangkuang
merupakan pemekaran dari Kecamatan Banjaran. Dengan demikian, pada akhir tahun 2003 ini
jumlah kecamatan di Kabupaten Bandung menjadi 45 (empat puluh lima) kecamatan.
Dori 45 kecamatan yang ado di Kabupaten Bandung, secara rinci dapat dikemukakan
nama-nama kecamatan sebagai berikut:
1. Kecamatan Pad-.ilarang.
2. Kecamatan Batujajar.
3. Kecamatan Cipatat.
4. Kecamatan Ngamprah.
5. Kecamatan Cileunyi.
6. Kecamatan Cimenyan.
7. Cilengkrang.
8. Kecamatan Bojongsoang.
9. Kecamatan Margahayu.
10. Kecamatan Margaasih.
11. Kecamatan Ketapang.
12. Kecamatan Dayeuhkolot.
13. Kecamatan Banjaran.
14. Kecamatan Cangkuang **)
Kecamatan Pemeungpeuk.
16. Kecamatan Pangalengan.
17. Kecamatan Ranca Bali
18. Kecamatan Arjasari.
19. Kecamatan Cimaung.
20. Kecamatan Cililin.
21. Kecamatan Cihampelas **)
22. Kecamatan Sinciangkerta.
23. Kecamatan Cipongkor
24. Kecamatan Gununghalu
25. Kecamatan Rongga *)
26. Kecamatan Cikalong Wetan
27. Kecamatan Cipeundeuy 28-. Kecamatan Cicalengka
29. Kecamatan Nagrek *)
30. Kecamatan Cikancung
Kecamatan Rancaekek
31. Kecamatan Ciparay
32. Kecamatan Pacet
33. Kecamatan Kertasari
34. Kecamatan Baleendah
35. Kecamatan Majalaya
36. Kecamatan Solokan Jeruk *)
37. Kecamatan Paseh
38. Kecamatan Ibun
39. Kecamatan Soreang
40. Kecamatan Pasirjambu
41. Kecamatan Ciwidey
42. Kecamatan Lembang
43. Kecamatan Cisarua
44. Kecamatan Parongpong.
Keterangan Hasil Pemekaran Kecamatan Tahun 2001 Hasil Pemekaran
Kecamatan Tahun 2003
& Kondisi Demografis dan Luca Wilayah
Penduduk Kabupaten Bandung berdasarkan hasil registrasi tahun 1997 adalah sebanyak
3.557.665 jiwa, dengan perincian. 1.774.949 laki-laki dan 1.782.718 perempuan. Sex Ratio
penduduk di Kabupaten Bandung umumnya di bawah 100, kecuali untuk beberapa kecamatan ado
yang di atas 100. Hal ini menunjukkan kecenderungan bahwa penduduk wanita lebih banyak dari
pada penduduk laki-laki. Tetapi secara rata-
rata angka ini masih di bawah 100. Ini terlihat angka sex ratio untuk Kabupaten Bandung
hanya sebesar 99,56.
Secara rinci, mengenai lugs wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di
Kabupaten Bandung, dapat dilihat di dalam Tabel 3.1. sebagai berikut:
Tabel 3.1.
Was Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk
di Wilayah Kabupaten Bandung
Dori tabel di atas memperlihatkan bahwa luas wilayah kecamatan yang ado di
Kabupaten Bandung sangat bervariasi dan tidak merata. Was Kabupaten Bandung 2.852,09
Km2. Wilayah yang paling luas yaitu. 312,21 Km2 adalah Kecamatan Pangalengan
(sebelum dimekarkan menjadi 2 kecamatan pads tahun 2001), clan wilayah yang paling
sempit yaitu 9,63 Km2
adalah . Kecamatan Margahayu, dengan. Was- rata-rata tiap, kecamatan adalah 67,91 Km2.
Kecamatan yang memiliki Was mendekati rata-rata yaitu terdiri dari Kecamatan: Banjaran (sebelum
dimekarkan), Cimaung, Cipongkor, dan Soreang.
Dori jumlah penduduk Kabupaten Bandung pads akhir tahun 2000 sebanyak 3.205.659
jiwa (tidak termasuk Kota Cimahi), penduduk yang paling banyan .terdapat di -Kecamatan
Majalaya (sebelum dimekarkan mepjadi 2 kecamatan), yaitu sebanyak 181.619 jiwa, dan paling
sedikit terdapat di Kecamatan Cilengkrang, yaitu sebanyak 27.004 jiwa. Dengan demikian, maka
jumlah penduduk rata-rata tiap, kecamatan sebanyak 84.707 jiwa.
1 a .Memperhatikan Was wilayah dan j umlah penduduk tersebut, kepadatan penduduk ,
tertinggi di Kecamatan Margahayu yaitu sebesar 8.323,78 Km2, dan kepadatan penduduk paling
rendah terdapat di Kecamatan Cilengkrang yaitu sebanyak 243,41 jiwa/Km2, dan diikuti oleh
Kecamatan Gununghalu (sebelum dimekarkan menadi 2 kecamatan) yaitu sebesar 426 jiwa/KM2,
dan Kecamatan Kertasari yaitu sebesar 428 jiwa/Km2 dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar
1.247,39 jiwa/KM2•
Gambaran Umum Penambangan Bahan Galian Golongan C
Wilayah Kabupaten Bandung yang secara umum terdiri dari pegunungan dan perbukitan,
mengandung potensi sumber daya alam yang sangat potensial dan strategic. Salah satu potensi
tersebut adalah bahan galian golongan C yang banyak sekali terkandung di ,%ilayah Kabupaten
Bandung, khususnya di wilayah Bandung bagian Bast. Sebagai potensi. sumber daya alam yang
tidak dapat di,perbaharui, pengelolaan. bahan galian golongan C perlu.dilakukan secara berdaya
guna, berhasil guna, bertanggungjawab dan berkelanjutan serta pemanfaatannya ditujukan bagi
sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat.
Pemerintah Daerah, sebagai institusi formal yang berwenang untuk melakukan pengelolaan
pertambangan umum, khususnya bahan galian golongan C harus merumuskan kebijakan yang
berkaitan dengan perencanaan, pengaturan, pengurusan, pembinaan, pengawasan, pengendalian, dan
pengembangan potensi sumber daya alam tersebut.
Secara ekonomi, khususnya yang berkaitan dengan pajak untuk pendapatan daerah, Dinas
Pendapatan Daerah adalah institusi pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan untuk
memungut yak pengambilan bahan galian golongan C sesuai -dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku. Pajak yang dipungut tersebut secara normatif dipergunakan untuk
program pembangunan daerah yang pada akhirnya bermanfaat bagi seluruh rakyat.
Dori aspek lingkungan, khususnya yang berhubungan dengan dampak lingkungan di sekitar
lokasi penambangan galian. C, Dinas lingkungan adalah institusi resmi yang mempunyai kewenangan
untuk memperhatikan dampak-dampak.. - lingkungan yang kemungkinan bisa ditimbulkan dengan adanya
penambangan bahan galian golongan C. Realitas empiris sekarang ini menunjukkan bahwa banyak
perusahaan penambangan yang melakukan penambangan tanpa memperhatikan dampak lingkungan di
sekitar lokasi penambangan. Bahkan, meskipun perusahaan penambangan tersebut tidak memiliki izin
penambangan alias PETI (Penambangan. Unpa Izin), khususnya tidak adanya Surat izin UPL/UKL, pars
pengusaha penambangan nekat melakukan penambangan.
Menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung, di wilayah Kabupaten
Bandung, terdapat 14 Kecamatan yang terdapat potensi usaha penambangan bahan galian golongan C.
Dwi 14 Kecamatan tersebut, sebagian besar berasal dari wilayah Bandung bagian Barat, seperti
Padalarang, Cipatat, Cikalong Wetan, Rom Jajar dan Cihhn Bahan galian golongan C yang paling banyak
ditambang adalah batu andesit. Sampai saat ini, di wilayahj kabupaten bandung, terdapat 102 perusahaan
penambangan yang melakukan eksploitasi bahan galian golongan C. Tabel 3.2 berikut ini akan
menunjukkan sebaran lokasi penambangan bahan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung.
Daftar perusahaan penambangan bahan galian golongan., C sebagaimana yang terdapat
dalam tabel 3.2 di atas merupakan perusahaan penambangan galian C yang resmi (memiliki Surat
Izin Penambangan Daerah/SIPD) dan tidak resmi (tidak memiliki SIPD) Masih relatif banyak
perusahaan penambangan bahan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung yang belum
memiliki SIPD alias PETI. Beberapa alasan yang menyebabkaamercka belum memiliki SIPD
adalah karena : (1) Lokasi penambangan merupakan daerah terlarang. Artinya, lokasi penambangan
dianggap, tidak layak karena bisa membahayakan warga di sekitar lokasi atau mengganggu
keseimbangan lingkungan; (2) Masih menunggu UPL/UKL yang belum dipresentasikan dan bahkan
ada yang belum disusun; (3) Status Tanah di lokasi penambangan yang masih menjadi sengketa dan
belum ada, kesepakatan penyelesaian; (4) Melanggar Instruksi Bupati No. 545/instr-14-Perek/86
tanggal 15 September 1986 tentang larangan kegiatan pengusaha bahan galian golongan C dalam
radius 5 Km dari Kota Soreang.
Meskipun belum memiliki SIPD dan dilarang untuk melakukan penambangan, namun di lapangan masih
terlihat ada beberapa perusahaan penambangan yang masih aktif melakukan penambangan sehingga harus
memerlukan penanganan yang serius
mengmgat kegiatan tersebut tentunya melanggar ketentuan yang berlaku dalam peraturan
perundang-undangan. Belum lagi, masih terdapatnya penambangan kecil-kecilan dan dilakukan
secara manual oleh beberapa warga di beberapa lokasi penambangan dengan alasan pekerjaan
tersebut dilakukan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan, dari 102 lokasi penambangan sebagaimana dipaparkan di atas,
terdapat 68 lokasi penambangan bahan galian golongan. C yang masih aktif alias beroperasi, baik yang
resmi maupun tidak resmi. Tabel 3.3 berikut ini akan menunjukkan jumlah lokasi penambangan bahan
galian golongan C yang masih aktif beroperasi di wilayah Kabupaten Bandung berdasarkan hasil
observasi tiro peneliti di lapangan sehingga secara otomatis dapat ditetapkan sebagai objek pajak.
Dari 26 Perusahaan penambangan yang belum memiliki SIPD atau tidak resmi, 14 Perusahaan belum
mengajukan permohonan SIPD dan 12 Perusahaan telah mengajukan permohonan SIPD namun belum
keluar alias dalam proses pembuatan SIPD. Daftar Perusahaan Penambangan Galian C yang belum
memiliki SIPD dapat dilihat dalam Lampiran Ill.
Dari tabel 3.3, di atas menunjukkan bahwa jumlah Objek Pajak ftengarnbilan. Bahan Galian
Golongan. C di wilayah Kabupaten Bandung yang paling banyak adalah Kecamatan Cipatat, Batu Jajar
dan Padalarang. Objek Pajak Pengarnbilan. Bahan Galian Golongan C yang berjumlah 68 inilah yang
akan dijadikan sebagai unit analisis penelitian. Selain itu, dapat dikatakan bahwa Perusahaan.
PWambangan yang tidak memiliki SIPD kurang lebih 40,% dari total Perusahaan Penambangan.
BAB IV
KAJIAN EMPIRIS HASIL PENELITIAN
Dalam Bab IV ini dijelaskan dan dianalisis data yang diperoleh dari hasil penelitian
lapangan (data primer) membandingkan dengan data sekunder yang diperoleh dari instansi
yang berkaitan dengn pajak pengambilan bahan galian golongan C, sehingga akan tergambar
dengan jelas berapa potensi pajak secara nominal dari kedua jenis pajak yang diteliti tersebut.
Setelah itu, akan dipaparkan secara berurutan peningkatan potensi pajak secara intensif dan
ekstensif, kendala normatif dan kendala prosedural implementasi Perda No. 3 Tahun 1998
tetnang pajak pengambilan bahan galian golongan C, dan dampak lingkungan penambangan
bahan galian golongan C.
A. Potensi Minimal Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
Dalam rangka menghitung potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di
wilayah Kabupaten Bandung, perlu kiranya dianalisis terlebih dahulu data potensi pajak
pengambilan bahan galian golongan C yang diperoleh dari DISPENDA dan Dinas
Lingkungan Hidup seperti yang tergambar dalam Keputusan Bupati Bandung Tahun 2002
tentang Penjabaran Anggaran Pendapatan Kegiatan dan Proyek Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten Bandung Tahun 2003.
Menurut data dari DISPENDS dan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung
terdapat 102 buah Perusahaan Penambangan Bahan Galian Golongan C di Kabupaten
Bandung. Pada perkembangannya, selain banyak lokasi penambangan baru yang muncul dan
beroperasi sehingga dapat masuk dalam kriteria wajib pajak, ada pula beberapa wajib pajak
pengambilan bahan galian golongan C yang tercantum dalam data sekunder tahun 2004 tidak
beroperasi lagi pada tahun 2004 ini.
Dalam rangka pengkajian ulang potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C,
maka dilakukan pengumpulan data terhadap seluruh objek pajak pengambilan bahan galian
golongan C yang tercantum menurut data dari DISPENDA dan Dinas Lingkungan Hidup
serta ditambah dengan data lapangan lain berhasil dihimpun.
Untuk menghitung berapa potensi pajak pengambilan pengambilan bahan galian
golongan C ini, maka terlebih dahulu harus dikumpulkan data tentang:
1. Nama, alamat & pemilik penambangan
2. Jumlah pegawai
3. Jumlah upah/gaji pegawai
4. Jumlah modal kerja yang dikeluarkan per hari dan bulan
5. Jumlah rata-rata produksi galian C yang dikeluarkan
6. Jumlah obzet rata-rata per hari per bulan
Rumus dalam menghitung besarnya potensi pajak pengambilan bahan galian
golongan C adalah didasarkan pada dasar pengenaan tarif dan tarif pajak sebagaimana
tercantum dalam Perda No. 3 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan
Galian Golongan C sebagai berikut:
1. Dasar pengenaan pajak adalah nilai jual hasil eksploitasi bahan galian golongan C.
2. Nilai jual dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil eksploitasi dengan nilai pasar
atau harga standar masing-masing jenis bahan galian golongan C.
Berdasarkan dasar pengenaan dan tarif pajak tersebut, maka diperoleh hasil
perhitungan potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C dari hasil penelitian sebagai
berikut:
Tabel 4.1
Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C yang Sudah Memiliki SIPD Setiap Bulan
Berdasarkan hasil Penelitian di Kabupaten Bandung Tahun 2004
No. Kecamatan Jumlah Lokasi Jumlah Pajak (Rp)
1. Padalarang 7 228.558.500,00
2. Cililin 2 153.000.000,00
3. Margaasih 2 252.450.000,00
4. Batujajar 11 851.130.000,00
5. Baleendah 6 443.700.000,00
6. Pameungpeuk 1 91.850.000,00
7. Cicalengka - -
8. Soreang - -
9. Cimenyan 1 16.830.000,00
10. Cipatat 9 433.500.000,00
11. Cikalong Wetan 1 15.000.000,00
12. Cikancung 2 114.750.000,00
Total 42 2.600.768.500,00
Tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa potensi pajak pengambilan bahan galian
golongan C yang sudah memiliki SIPD per bulan di Kabupaten Bandung pada tahun 2004
adalah sebagai berikut:
1. Potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten Bandung pada tahun
2004 berjumlah Rp 2.600.768.500,00
2. Jika dihitung per tahun (dikalikan 10 bulan) berjumlah sebesar Rp 26.007.685.000,00.
Perkaliannya hanya sepuluh bulan adalah dengan asusumsi bahwa ada perusahaan galian
golongan C menerapkan satu hari libur dalam seminggu.
3. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan target pajak pengambilan bahan galian
golongan C yang ditetapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung untuk tahun 2004
sebesar Rp 650.000.000,- maka terdapat selisih atau perbedaan yang sangat besar.
Dengan kata lain bahwa berdasarkan hasil penelitian terdapat potensi yang dimiliki
sebesar Rp 25.357.685.000,- Artinya terdapat selisih yang sangat luar biasa, yakni sekitar
3.901%.
Sedangkan jumlah potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C yang belum
memiliki SIPD di Kabupaten Bandung per bulan pada tahun 2004 adalah sebagai berikut:
Tabel 4.2
Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C yang Belum Memiliki SIPD Setiap Bulan
Berdasarkan hasil Penelitian di Kabupaten Bandung Tahun 2004
No. Kecamatan Jumlah Lokasi Jumlah Pajak (Rp)
1. Padalarang 3 117.750.000,00
2. Cililin 3 145.350.000,00
3. Margaasih 1 Baru mulai produksi
4. Batujajar - -
5. Baleendah 1 Baru mulai produksi
6. Pameungpeuk - -
7. Cicalengka 2 36.126.000,00
8. Soreang 5 84.150.000,00
9. Cimenyan 4 52.020.000,00
10. Cipatat 7 12.250.000,00
11. Cikalong Wetan - -
12. Cikancung - -
Total 26 447.645.000,00
Setelah mengetahui secara terpisah jumlah potensi pajak pengambilan bahan galian
golongan C, baik yang sudah memiliki SIPD maupun yang belum memiliki SIPD, maka di
bawah ini akan ditunjukkan penggabungan jumlah potensi pajak pengambilan bahan galian
golongan C baik yang sudah maupun yang belum memiliki SIPD.
Tabel 4.3
Potensi Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C Setiap Bulan baik yang Memiliki SIPD maupun yang
Belum Memiliki SIPD Berdaarkan hasil Penelitian
Di Kabupaten Bandung tahun 2004
No. Kecamatan Jumlah Lokasi Jumlah Pajak (Rp)
1. Padalarang 10 325.308.500,00
2. Cililin 5 298.350.000,00
3. Margaasih 3 252.450.000,00
4. Batujajar 11 851.130.000,00
5. Baleendah 7 443.700.000,00
6. Pameungpeuk 1 68.850.000,00
7. Cicalengka 2 36.125.000,00
8. Soreang 5 84.150.000,00
9. Cimenyan 5 68.850.000,00
10. Cipatat 16 475.750.000,00
11. Cikalong Wetan 1 15.000.000,00
12. Cikancung 2 77.100.000,00
Total 68 3.048.363.500,00
Sumber: Hasil Penelitian Lapangan tahun 2004
Asumsi: Eksploitasi per minggu 6 hari
Keterangan: Data secararinci bisa dilihat pada lampiran II.
Tabel 4.3 di atas menunjukkan bahwa potensi pajak pengambilan bahan galian
golongan C di Kabupaten Bandung pada tahun 2004 adalah sebagai berikuit:
1. Potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten Bandung pada tahun
2004 ternyata sangat besat.
2. Terlihat jumlah omzet perbulan seluruh galinan C di Kabupaten Bandung adalah sebesar
Rp 15.241.817.500,-
3. Jika dihitung potensi pajaknya dengan didasarkan kepada peraturan daerah, dengan tarif
pajak yang telah ditetapkan yaitu sebesar 29% (dua puluh persen) dari besarnya omzet,
maka potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di Kabupaten Bandung per-
bulan adalah sebesar Rp 3.048.363.500,-
4. Jika dihitung pertahun (dikalikan 10 bulan) berjumlah sebesar Rp 30.483.635.000,-.
Perkaliannya hanya sepuluh bulan adalah dengan asumsi bahwa ada perusahaan galian
golongan C menerapkan satu hari libur dalam seminggu.
5. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan target pajak pengambilan bahan galian
golongan C yang ditetapkan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung untuk tahun 2004
sebesar Rp 650.000.000,- terdapat selisih atau perbedaan yang sangat besar. Dengan kata
lain yang dimiliki sebesar Rp 29.833.635,- Artinya terdapat selisih yang sangat luar
buasa, yakni sekitar 4.590%.
Mengapa demikian besar
Menurut informasi dari Dispenda, dasar penentuan besarnya jumlah pajak yang
ditetapkan oleh Dispenda kepada masing-masing objek pajak didasaran pada self assesment
yang dilaporkan oleh wajib pajak kepada Dispenda setiap bulan. Atas dasar self assesment
tersebut, Dispenda mengeluarkan SKPD (Surat keputusan Pajak Daerah). Dari alur yang
demikian, dapat dianalisis bahwa bisa saja selt assesment yang dibuat oleh wajib pajak tidak
sesuai dengan fakta di lapangan. Artinya sangat mungkin terjadi wajib pajak tidak
memberikan informasi yang sebenarnya tentang jumlah omzet dan overhead cost yang
dikeluarkan per hari dan per bulannya. Hal ini mungkin terjadi karena tidak ada mekanisme
cross check dari self assesment terhadap fakta di lapangan, yang bisa saja sebenarnya
dilakukan oleh Dispenda sehingga akan mendapatkan informasi yang benar-benar akurat.
B. Peningkatan Potensi pajak Secara Intensif dan Ekstensif
Dari hasil observasi di lapangan, potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C
di wilayah Kabupaten Bandung sebenarnya masih dapat dikembangkan dan digali lagi, baik
secara intensif maupun secara ekstensif.
1. Secara Intensif
a. Pemungutan pajak bisa dilakukan dengan cara menerapkan penagihan pajak
pengambilan bahan galian golongan C yang lebih ketat dan simultan, yakni
menurunkan petugas langsung ke pihak wajib pajak untuk memungut pajak.
b. Melakukan inspeksi dan wawancara yang bersifat kooperatif terhadap produktivitas
penambangan galian C. Hal ini dilakukan karena selama ini ada kesan bahwa pihak
pengusaha penambangan enggan dan bahkan terkesan menutup-nutupi besaran
produktivitas perusahaan dengan alasan “rahasia perusahaan”.
c. Sosialisasi guna menyadarkan kepada wajib pajak untuk membayar pajak
pengambilan bahan galian golongan C sesuai dengan pendapatan (omzet) yang wajar
dan tepat pada waktunya.
d. Menyusun langkah-langkah perencanaan, memperbaiki sistem administrasi,
melakukan pengawasan dan melakukan pelatihan manajemen pemungutan pajak
secara rutin kepada petugas pajak.
2. Secara Ekstensif
a. Pemungutan pajak bisa dilakukan dengan cara memperluas pendapatan objek pajak
pengambilan bahan galian golongan C yang baru. Hal ini bisa dilakukan dengan cara
koordinasi secara intensif kepada para Camat dan Lura/Kepala Desa yang mengetahui
secara detail wilayah-wilayah yang terdapat aktivitas penambangan galian C namun
belum memiliki izin, sehingga dihimbau untuk mengurus izin penambangan dengan
harapan dapat dipungut pajaknya setiap bulan.
b. Peranan Camat dan Lurah/Kepala Desa sangat penting untuk dilibatkan dalam
ekstentifikasi pemungutan pajak karena kedua pemimpin wilayah ini tahu betul
kondisi daerah masing-masing sehingga ketika ada aktivitas penambangan baru,
mereka ditugaskan untuk menginfortmasikan ke petugas pemungut pajak.
Langkah-langkah kreatif intensifikasi dan ekstentifikasi pemungutan pajak galian
C sebagaimana diterangkan di atas didasarkan pada kondisi yang sesungguhnya di
lapangan bahwa ternyata ada wajib pajak yang enggan untuk membayar pajak apabila
tidak ada petugas pajak yang datang ke obyek pajak dan banyak wajib pajak baru yang
beru meuncul dan tumbuh, namun belum didata dan didaftar secara resmi oleh Dispenda
dan Dinas Lingkungan Hidup.
C. Dampak Lingkungan Penambangan Bahan Galian Golongan C
Di bawah ini akan diuraikan dampak lingkungan penambangan bahan galian golongan
C yang ada di Kabupaten Bandung. Dampak lingkungan yang dimaksud adalah dampak
positif dan dampak negatif, khususnya yang langsung berkaitan dan dirasakan oleh
masyarakat. Data tentang dampak lingkungan ini diperoleh dari hasil observasi dan
wawancara dengan responden yang dianggap representatif.
Dampak positif dari kegiatan penambangan galian golongan C di wilayah Kabupatea
Bandung adalah;
1. Penyerapan Tenaga Kerja. Masyarakat di sekitar lokasi penambangan merasa bahwa
dengan beroperasinya penambangan galian golongan C dapat menyerap tenaga kerja.
Banyak dari kegiatan penambangan mengangkat karyawan atau pekerja yang berasal dari
warga sekitar, khususnya para pemuda yang sebelumnya menjadi pengganggur alias tidak
memiliki pekerjaan.
2. Kontribusi Pada Kas RT/RW. Seperti diketahui bahwa setiap truk yang keluar dari lokasi
penambangan dengan membawa bahan galian golongan C dipungut biaya retribusi kurang
lebih Rp. 1.000,- per truk. Retribusi ini dimasukkan ke kas RT/RW setempat. Rata-rata
per hari mereka bisa memungut sampai jumlah Rp. 100.000,-
3. Pembangunan Jalan Desa. Para pengusaha atau pemilik penambangan galian golongan C
seringkali melakukan perbaikan terhadap jalan kampung atau jalan desa yang dilalui oleh
truk-truk penambangan. Atau ada juga yang setiap bulan memberikan sumbangan untuk
perbaikan jalan.
4. Sumbangan Kas Desa. Sebagian pemilik penambangan galian golongan C ada yang tiap
bulan atau tiap tahun memberikan setoran sebagai sumbangan ke Kas Desa sebagai wujud
kepedulian mereka terhadap program pemberdayaan masyarakat disekitar lokasi
penambangan.
Sedangkan dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan
penambangan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung berdasarkan analisis
kualitatif adalah:
1. Debu. Debu yang beterbangan di sekitar lokasi penambangan karena truk-truk yang lalu
lalang mengangkut galian C, terutama jika musim kemarau. Debu yang beterbangan tiap
hari ini meresahkan warga, karena mengganggu kesehatan warga dengan bukti banyak
warga yang batuk-batuk dan terganggu saluran pernapasannya. Hal ini banyak
diungkapkan oleh penduduk yang rumahnya berada di sekitar lokasi penambangan.
2. Jalan Rusak. Kondisi jalan, khususnya jalan desa yang dilalui oleh truk-truk pengangkut
galian C yang lalu lalang alias keluar masuk lokasi penambangan. Padahal sebagian besar
jalan desa tersebut belum beraspal sehingga kalau musim penghujan tiba, jalan desa
tersebut licin karena berlumpur. Kondisi jalan desa yang rusak tersebut tentunya sangat
merugikan warga sekitar.
3. Tembok Rumah Retak akibat dinamit. Secara umum rumah-rumah penduduk yang
berada. di sekitar lokasi penambangan mengalami retak-retak pada temboknya. Hal ini
disebabkan oleh pihak penambang yang menggunakan alat seperti dinamit dalam
memecahkan batu di lokasi penambangan sehingga getaran keras dari ledakan dinamit
tersebut membuat retak tembok dari rumah-rumah penduduk.
4. Tanah Longsor. Ada sejumlah lokasi penambangan galian golongan C yang rawan
menimbulkan longsor sehingga mengkhawatirkan warga sekitar. Hal ini disebabkan
karena lokasi penambangan yang berada dalam posisi di atas pemukiman penduduk.
Ditambah lagi dengan kondisi tanah yang mudah untuk bergerak ke bawah apabila hujan
deras terjadi.
5. Kekurangan Air. Karen lokasi penambangan galian C yang sebagian besar berada di atas
dan di lereng bukit, maka daya serap air menjadi berkurang sehingga menurut warga
sekitar lokasi penambangan pada musim kemarau sering terjadi kekurangan dan kesulitan
air.
6. Batu Longsor. Ada sejumlah lokasi penambangan yang mengakibatkan karyawannya
meninggal karena tertimbun oleh longsornya, batu-batu pada saat mereka bekerja. Hal ini
terjadi karena pihak penambangan kurang memperhatikan posisi batu yang ditambang.
Kejadian ini berlangsung di lokasi penambangan dan menimpa karyawannya sendiri.
Secara kuantitatif, dampak negatif terhadap lingkungan yang diakibatkan oleh
kegiatan penambangan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung ini bisa dilihat
dalam tabel 4.4 berikut ini:
Tabel 4.4
Jumlah Dampak Lingkungan yang Diakibatkan oleh
Penambangan Galian C di Wilayah Kabupaten Bandung
Tahun 2004
No. Jumlah
Penambang
Dampak Lingkungan Jumlah
Dampak
Persenase
Dampak
1. 68 Debu 25 17
2. 68 Jalan Rusak 26 17,68
3. 68 Tembok Rumah Retak 14 9,52
4. 68 Tanah Longsor 5 3,4
5. 68 Kekurangan Air 8 5,44
6. 68 Batu Longsor 6 4,08
Catatan : Messing-messing perusahaan penambangan galian C bisa menimbulkan tidak hanya
satu dampak lingkungan, melainkan bisa lebih dari satu.
Dari tabel 4.4 di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak negatif lingkungan yang
paling banyak diakibatkan oleh penambangan galian C adalah masalah debu yang berasal dari
lokasi penambangan sehingga mengganggu kesehatan pernafasan masyarakat di sekitar lokasi
penambangan. Sedangkan dampak negatif lingkungan yang paling sedikit diakibatkan oleh
penambangan galian C adalah adalah tanah Longsor yang sering terjadi di wilayah Cililin.
Sedangkan dampak-dampak negatif terhadap lingkungan yang menonjol sehingga
perlu mendapatkan perhatian khusus dan segera, berkaitan dengan eksistensi penambangan
bahan galian golongan C adalah:
1. Warga RW 03 Kampung Ciampel Desa Laksanamekar Kecamatan Padalarang resah
dengan keberadaan kegiatan penambangan pasir di atas bukit yang lokasinya di tengah-
tengah perkampungan padat penduduk. Masyarakat sekitar sudah mencoba untuk
menghentikan kegiatan penggalian tersebut dengan meminta aparat pemerintah desa
untuk turun tangan menghentikan dan menutup usaha penggalian pasir liar tersebut.
Namun sampai surat ini dilayangkan tidak ada tanggapan, baik itu dari pihak pemerintah
desa maupun pihak pengusaha galian pasir. Padahal, dampak dari adanya kegiatan
tersebut sudah cukup mengganggu masyarakat antara lain jalan raga menuju Batujajar
berlumpur, banjir Lumpur menimpa rumah penduduk yang ada di bawah lokasi
pengupasan bukit, tembok rumah sekitar lokasi retak/pecah akibat getaran alat berat yang
berlalu lalang, bising oleh suara alat berat yang bekerja tidak kenal waktu, lalu lintas
macet akibat dari truk pasir yag lalu lalang dan parkir seenaknya. Intinya masyarakat
sekitar lokasi penambangan merasa resah melihat dampak kerusakan lingkungan akibat
pengeksploitasian alam secara berlebihan, dan yang lebih penting lagi adalah tidak
adanya legalitas dan perijinan yang dimiliki oleh pengusaha galian pasir tersebut.
2. Reklamasi. Proses reklamasi pasca penambangan galian golongan C di wilayah
Kabupaten Bandung relatif tidak berjalan secara normal. Artinya banyak pengusaha
penambangan yang setelah habis masa kontraknya langsung saja meninggalkan lokasi
penambangan tanpa ada upaya-upaya lebih lanjut dalam memperbaiki ekosistem di
sekitar lokasi penambangan. Padahal, pihak pengusaha penambangan seharusnya
melakukan upaya reklamasi terhadap ekosistem yang ada, sehingga keseimbangan
lingkungan pasca penambangan bisa terjaga secara utuh. Fakta di lapangan menunjukkan
bahwa secara umum mereka tidak menanami pohon-pohon pada lokasi penambangan
sehingga lahan menjadi gundul sehingga sulit meresap air dan sangat rentan terhadap
bahaya longsor, sebagaimana banyak terjadi di Cililin dan Batujajar.
BAB V
PENUTUP
Dalam bab V ini akan dipaparkan secara singkat berbagai kesimpulan yang telah
dibahas dalam bab IV. Setelah itu, berdasarkan kesimpulan tersebut, akan dirumuskan suatu
rekomendasi yang bersifat aplikabel dan workabel berkaitan dengan pendataan dan
pengakjian potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di wilayah Kabupaten
Bandung.
A. Kesimpulan
1. Besarnya potensi minimal pajak pengambilan bahan galian golongan C di wilayah
Kabupaten Baadung dengan status yang memiliki SIPD adalah Rp. 2.600.768.500,00
per bulan atau Rp. 26.007.685.000,00 per tahun, dan yang belum memiliki SIPD
adalah Rp. 447.645.000 per bulan atau Rp. 4.476.450.000,00 per tahun. Dengan
demikian apabila digabungkan antara penambangan bahan galian golongan C, baik
dengan status memiliki SIPD dan yang belum memiliki SIPD adalah Rp.
3.048.363.500 per bulan atau Rp. 30.483.365.000,00 per tahun.
Perhitungan satu tahun ini hanya dikalikan sepuluh bulan dengan asumsi bahwa
perusahaan penambangan galian golongan C beroperasinya tidak setiap hari
sepanjang tahun, melainkan ada hari-hari tertentu tidak melakukan kegiatan, antara
lain: pada bulan puasa, pada masa-masa lebaran atau hari-hari besar lainnya.
2. Potensi pajak pengambilan bahan galian golongan C di wilayah Kabupaten Bandung
sebenarnya masih dapat dikembangkan dan digali lagi, baik secara intensif dengan
cara melakukan penagihan pajak pengambilan bahan galian golongan C yang lebih
ketat dan simultan maupun secara ekstensif dengan cara memperluas pendataan objek
pajak pengambilan bahan galian golongan C yang baru melibatkan dan berkoordinasi
dengan Camat dan Lurah.
3. Dampak positif terhadap lingkungan dari kegiatan penambangan bahan galian
golongan C adalah penyerapan tenaga kerja, kontribusi pada kas RT/RW,
pembangunan jalan desa, dan sumbangan kas desa. Sedangkan dampak negatif
terhadap lingkungan adalah berkisar masalah-masalah Debu yang keluar dari lokasi
penambangan, kondisi jalan desa rusak akibat dilalui truk-truk penambangan, tembok
rumah retak akibat ledakan dinamit penambangan, dan kemungkinan longsor akibat
aktifitas penambangan yang tidak memperhatikan tekstur tanah.
B. Rekomendasi
1. Melihat data kuantitatif, besarnya potensi minimal pajak pengambilan bahan galian
golongan C, baik yang sudah memiliki SIPD maupun yang belum memiliki SIPD, di
wilayah Kabupaten Bandung, yang berjumlah Rp. 3.048.363.500 per bulan, maka
direkomendasikan kepada Bupati Bandung untuk memerintahkan kepada Kepala
Dinas Pendapatan Daerah untuk menghimpun pajak pengambilan bahan galian
golongan C tahun anggaran 2005 sesuai dengan hasil kalkulasi minimal di atas.
2. Dalam meningkatkan pajak pengambilan bahan galian golongan C baik secara intensif
maupun ekstensif, Dinas Pendapatan daerah disarankan untuk bekerjasama dan
berkoordinasi dengan para Camat dan Lurah / Kepala Desa dan ketua RT/RW untuk
mendapatkan gambaran dan informasi yang akurat dan obyektif berkaitan dengan jika
ada obyek pajak baru di daerahnya masing-masing.
3. Dalam hal dampak lingkungan yang bersifat negatif, Dinas Lingkungan Hidup
disarankan untuk secara rutin melakukan pengecekan dan observasi di lapangan
dengan bekerjasama dengan masyarakat sekitar, khususnya kepada Ketua RT dan RW
yang mengetahui secara pasti akibat-akibat negatif yang ditimbulkan dengan
keberadaan penambangan galian C. Setelah itu, apabila benar bahwa pihak
penambang melanggar ketentuan lingkungan, maka Dinas Lingkungan Hidup harus
bertindak tegas untuk memperingatkan pihak penambang dan kalau dipandang perlu
mencabut izin penambangannnya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Allen, Jane. 1956. How to Solve Your People Problem. Alih Bahasa, Kibardo 1991. Jakarta:
Binarupa Aksara.
Effendi, Sofyan, dkk. 1993. Membangun Martabat Manusia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Kaho, Yosef R. 1988. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Identifikasi
beberapa Faktor yang Mempengaruhi Penyelenggaraannya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Kast, E. Fremont dan James E. Rosenzeweig. 1990. Organisasi dan Manajemen,
Diterjemahkan A. Hasymi Ali, Edisi Keempat. Jakarta: Bumi Aksara.
Nyakman, Marzuki. 1995. Hukum dan Politik Indonesia: Tinjauan Analitis DekritPresiden
dan Otonomi Daerah. Penyunting Martin Hutabarat dkk. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Simon, Herbert A. 1984. Administration Behavior. New York: The Free Press.
Sugiyono, 1993, Metode Penelitian Administrasi, Bandung Alfa Beta.
Supranto,J, 1992, Teknik Sampling, Untuk Survei dan Eksperimen, Jakarta: Rineka Cipta
Surakhmad, Winarno, 1990, Pengantar Penelitian Rmiah Dasar, Metoda, Teknik, Bandung:
Tarsito
Makalah:
Alisjahbana, Armida S., 1999, “Identifikasi Permasalahan Pelaksanaan UU nomor 25 tahun
1999”, Makalah pada Seminar Nasional: “Identifikasi Problematika Pelaksanaan
Undang-undang.
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 25 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah di Bandung, 8 Agustus
1999.
_________ , 2000, “Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah”,
Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya: “Desentralisasi Fiskal di
Indonesia” yang diselenggarakan di Bandung, 29 Juni - 1 Juli, 2000
Simanjuntak, Robert A., 2001 “Kebijakan Pungutan Daerah di Era Otonomi”, Makalah
dipresentasikan pada Konferensi Mengenai Perdagangan Dalam Negeri,
Desentralisasi dan Globalisasi di Jakarta, Indonesia, pada tangga 13 April, 2001
Dokumen Resmi Pemerintah:
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan
Galian Golongan C.
Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah
Kabupaten Bandung
Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah Peraturan Pemerintah
Nomor 66 tentang Retribusi Daerah.
Potensi Pajak Daerah Kabupaten Bandung Tahun Anggaran 2002, DIPENDA, Kabupaten
Bandung, 2002
Rencana Keputusan Bupati Bandung Nomor 1 Tahun 2002 Tanggal 2 Januari 2002 Tentang
Penjabaran Anggaran Pendapatan Kegiatan dan Proyek Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten Bandung tahun 2002
Undang-Undang Nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.