LAPORAN AKHIR - Inovasiinovasi.lan.go.id/uploads/download/1456151174_FinalLap-akhir... · 0 laporan...
-
Upload
hoangnguyet -
Category
Documents
-
view
289 -
download
19
Transcript of LAPORAN AKHIR - Inovasiinovasi.lan.go.id/uploads/download/1456151174_FinalLap-akhir... · 0 laporan...
0
0
LAPORAN AKHIR
PENGEMBANGAN DAN DISEMINASI
DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA
PUSAT INOVASI PELAYANAN PUBLIK
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
2015
DRAF 2
Pengembangan dan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara
Bibliografi
ISBN :
Hak Cipta pada ©
Pusat Inovasi Pelayanan Publik - LAN
Diterbitkan Oleh:
Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Kedeputian Inovasi Administrasi Negara
Lembaga Administrasi Negara
Jl. Veteran No. 10
Jakarta 10110
CETAKAN PERTAMA,
Penyunting :
Erfi Muthmainah, Marsono, Witra Apdhi Yohanitas, Harditya Bayu Kusuma, Teguh Henry
Prayitno
Desain sampul :
Vishnu Wicaksono, Witra Apdhi Yohanitas
----- Cet.1.Jakarta,PIPP-LAN,2014
.... hal : ilus : 21x 29,7 cm
Sanksi pelanggaran Pasal 44, UU 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta:
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta
rupiah)
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
i
Anggota Tim (Sesuai SK)
Kania Damayanti (Almh)
Menik Noviati
Marsono
Witra Apdhi Yohanitas
Harditya Bayu Kusuma
Ria Veriani
Teguh Henry Prayitno
Isni Kartika Larasati
Gunanta
Sundari Rachmasari
Ramelan
Penulis
Witra Apdhi Yohanitas
Marsono
Harditya Bayu Kusuma
Ria Veriani
Teguh Henry Prayitno
Isni Kartika Larasati
Kontributor
Desi Fernanda
Kementerian Dalam Negeri
Kementerian PAN RB
Tri Utari (APEKSI)
Agus Inarto
Suryanto
Toni Murdianto Hidayat
Reviewer
Adi Suryanto
Tri Widodo Wahyu Utomo
Erfi Muthmainah
TIM PENYUSUN
ii
paya percepatan reformasi birokrasi perlu didorong melalui berbagai
terobosan, ide dan kreativitas yang dapat dituangkan ke dalam
berbagai inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan baik pusat
maupun daerah. Pada dasarnya sudah banyak praktik-praktik inovasi yang telah
memberikan kemanfaatan bagi masing-masing instansi pemerintah. Namun
demikian, hingga saat ini belum terbangun database inovasi administrasi negara
secara nasional yang dapat diakses oleh Kementerian/Lembaga, Pemda, Swasta,
NGO (LSM) dan masyarakat sebagai bahan rujukan dalam mendesain dan
menginisiasi pengembangan inovasi penyelenggaraan pemerintahan.
Oleh karena itu, dalam rangka mendorong tumbuh dan berkembangnya
inovasi di bidang administrasi negara tersebut, Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara menyusun Direktori Inovasi
Administrasi Negara yang dapat digunakan sebagai referensi dan rujukan dalam
replikasi inovasi. Atas terlaksananya penyusunan direktori ini kami mengucapkan
terima kasih yang tak terhingga kepada seluruh tim penyusun dan para narasumber
yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu, atas segala kritik dan masukan yang
disampaikan dalam proses penyusunan direktori ini. Semoga direktori ini dapat
bermanfaat bagi pengembangan inovasi dalam penyelenggaran pemerintahan baik
pusat dan daerah.
Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Erfi Muthmainah
U
KATA PENGANTAR
iii
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan, Sasaran dan Manfaat
C. Ruang Lingkup
D. Hasil yang diharapkan
E. Metode Pelaksanaan
F. Lokus Observasi Inovasi dan Diseminasi
G. Teknik Validasi Proyek Perubahan
H. Sistematika Penulisan
1
4
5
5
6
8
9
10
BAB II KONSEPSI DAN INSTRUMEN
A. Konsepsi Inovasi Administrasi Negara dan Proyek Perubahan
B. Konsepsi Inovator dan Pemimpin Perubahan
C. Proyek Perubahan Menuju Pemimpin Perubahan yang Inovatif
D. Instrumen Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara 2015
E. Instrumen Desain Penyaringan/Validasi Data Diklat Kepemimpinan
F. Instrumen Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara
12
19
22
28
31
34
BAB III ANALISA PENGELOLAAN DATA
A. Pengumpulan Data Proyek Perubahan
B. Pengelolaan Data Proyek Perubahan
48
50
BAB IV INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DALAM PROYEK PERUBAHAN
A. Proyek Perubahan Wilayah Jawa Barat
B. Proyek Perubahan Wilayah Yogyakarta
C. Proyek Perubahan Wilayah Jawa Tengah
D. Proyek Perubahan Wilayah Jawa Timur
53
71
88
102
BAB V DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA
A. Pedoman Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara
B. Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara Di Provinsi Aceh
C. Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara Di Makassar
112
113
118
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR ISI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
ercepatan reformasi birokrasi khususnya, dan reformasi administrasi
pada umumnya perlu dipacu dengan berbagai inovasi dalam
penyelenggaraan administrasi negara, baik dalam tata
pemerintahan, kelembagaan dan sumber daya aparatur, maupun pelayanan publik.
Dalam konteks publik, inovasi dapat berupa inovasi produk (produk baru), inovasi
proses (cara baru dimana proses-proses organisasi didesain), pelayanan (cara baru
dimana pelayanan disediakan untuk pengguna), inovasi retorikal (konsep baru), dan
lain-lain yang memberikan nilai tambah bagi penyelenggaraan pemerintahan.
Upaya pemerintah dalam percepatan pengembangan inovasi tersebut, antara
lain dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah, dimana dalam Pasal 386 Ayat (1) disebutkan bahwa
Pemerintah Daerah dapat melakukan inovasi dalam rangka peningkatan kinerja
penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Lebih lanjut dalam Pasal 387 disebutkan bahwa dalam merumuskan kebijakan
inovasi, Pemerintahan Daerah mengacu pada prinsip: (a) peningkatan efisiensi; (b)
perbaikan efektivitas; (c) perbaikan kualitas pelayanan; (d) tidak ada konflik
kepentingan; (e) berorientasi kepada kepentingan umum; (f) dilakukan secara
terbuka; (g) memenuhi nilai–nilai kepatutan; dan (h) dapat dipertanggung-jawabkan
hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri.
Secara lebih spesifik, upaya mendorong percepatan inovasi di bidang
pelayanan publik, Pasal 7 Ayat (4) huruf c Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik, telah memberikan amanat kepada Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kementerian PAN dan
RB) untuk memberikan penghargaan kepada penyelenggara pelayanan publik.
Sebelum undang-undang tersebut diterbitkan sudah ada upaya yang
dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dalam rangka percepatan
pengembangan inovasi. Sejak tahun 2007 telah diberikan penghargaan Innovative
Government Award (IGA) kepada 4 (empat) Kepala Daerah yang dinilai telah
P
2
memberikan kerja nyata dalam mengembangkan inovasi baru kepada masyarakat.
Saat itu pengembangan inovasi tersebut mencakup 4 (empat) kategori yaitu
kategori tata kelola pemerintahan, pelayanan publik, pemberdayaan masyarakat
dan peningkatan daya saing daerah. Indikator yang digunakan IGA dalam penilaian
tersebut meliputi 3 (tiga) indikator yaitu inisiatif program inovatif, replikasi program
inovatif, dan sumber pembiayaan program inovatif.
Dalam rangka mendorong tumbuh dan berkembangnya inovasi di bidang
administrasi negara, Lembaga Administrasi Negara telah menyusun Direktori
Inovasi Administrasi Negara pada tahun 2014. Pada awal penyusunannya, direktori
ini memuat beragam inovasi yang dilakukan oleh Kementerian, Lembaga
Pemerintah Non Kementerian (LPNK), Lembaga Non Struktural (LNS), Pemerintah
Daerah (Pemda), Lembaga-Lembaga Negara, atau Badan Usaha Milik
Negara/Daerah (BUMN/BUMD). Pada seri Direktori Inovasi Administrasi Negara
2014 tersebut, inovasi diartikan sebagai ide, gagasan, pemikiran, terobosan dalam
rangka melakukan pembaharuan dalam praktik dan proses penyelenggaraan
pemerintahan, sehingga memiliki nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan/atau
proses administrasi negara. Suatu ide, gagasan, pemikiran, terobosan dapat
dikatakan sebagai inovasi jika memiliki unsur kebaruan, manfaat, dapat
diadopsi/direplikasi, berkelanjutan serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Adapun inovasi administrasi negara diartikan
sebagai proses memikirkan dan mengimplementasikan suatu kebijakan oleh
penyelenggara kepentingan publik untuk memenuhi kepentingan publik yang
memiliki unsur kebaruan serta kemanfaatan.
Penyusunan Direktori Inovasi Administrasi Negara ini adalah kegiatan
multiyear (berkelanjutan), yang telah dimulai sejak Tahun 2014 dengan lingkup
inovasi yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga/Pemda dan masyarakat. Tahun
2015 ini, Direktori Inovasi Administrasi Negara difokuskan pada Proyek Perubahan
Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklat PIM) Tingkat I dan II Pola Baru.
Sedangkan pada tahun 2016 mendatang akan lebih difokuskan pada inovasi-
inovasi yang dilakukan oleh BUMN/BUMD dan pemda bidang pelayanan publik.
Berkaitan dengan inovasi-inovasi yang bersumber dari Proyek Perubahan
Diklat PIM Tingkat I dan II pada dasarnya adalah proyek perubahan yang dilakukan
3
oleh para Pemimpin Perubahan dalam Diklat PIM. Hal ini merupakan langkah
inovasi yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja instansinya masing-masing.
Inovasi yang dilakukan tersebut dapat digolongkan menjadi delapan jenis inovasi
dalam konsep Direktori Inovasi Administrasi Negara. Oleh karena itu keberadaan
direktori inovasi dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II ini dapat dijadikan
rujukan bagi Kementerian/Lembaga/Pemda sebelum melakukan benchmark ke
suatu daerah yang telah berhasil melakukan inovasi.
Selain itu, adanya materi Diklat PIM Tingkat I dan II Pola Baru yang menuntut
para pesertanya untuk berinovasi dengan cara menyusun satu perubahan besar
yang akan diimplementasikan pada instansinya masing-masing dengan tujuan
untuk memperbaiki kinerja instansi, yang diberi nama Proyek Perubahan.
Keberadaan inovasi yang berasal dari Proyek Perubahan sangatlah penting
sehingga perlu didokumentasikan dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara pada
tahun 2015.
Direktori Inovasi Administrasi Negara ini tentu saja tetap dilakukan
penyempurnaan dengan mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak.
Direktori Inovasi Administrasi Negara harus dapat menjadi media dalam berbagi
pengetahuan (transfer of knowledge) terutama kepada pihak-pihak yang concern
terhadap perkembangan inovasi bidang administrasi negara.
Saat ini telah terbangun database inovasi administrasi negara yang dapat
diakses oleh Kementerian/Lembaga, Pemda, Swasta, NGO (LSM) dan masyarakat
sebagai bahan rujukan dalam mendesain dan menginisiasi pengembangan inovasi
penyelenggaraan pemerintahan. Namun demikian, jumlah dan jenis inovasi selalu
bertambah dari waktu ke waktu, termasuk ide-ide inovasi dari Proyek Perubahan
Diklat PIM Tingkat I dan II yang selama ini belum diolah dan didokumentasikan
secara lebih baik. Akan tetapi aktivitas perubahan yang dilakukan oleh para
Pemimpin Perubahan tersebut belum dilakukan pendokumentasian yang menarik
yang dapat menggugah instansi lain untuk melakukan hal serupa. Dengan
disusunnya Proyek Perubahan ke dalam instrumen yang ada dalam Direktori
Inovasi Administrasi Negara maka kemanfaatan dari perubahan yang telah
dilakukan para pemimpin perubahan terlihat jelas dalam rangka peningkatan
kualitas pelayanan publik.
4
Selain itu perlu dilakukan sosialisasi terhadap hasil kegiatan penyusunan
Direktori Inovasi Administrasi Negara kepada stakeholders, dengan harapan
stakeholders dapat memanfaatkan Direktori Inovasi Administrasi Negara sebagai
rujukan untuk melakukan replikasi praktik-praktik inovasi administrasi negara dari
daerah lain.
Dari uraian sebagaimana tersebut diatas, Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2015 ini melakukan pengembangan dan
diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara yang bersumber dari praktik-
praktik penyelenggaraan pemerintahan yang kreatif dan inovatif yang dilakukan
oleh Pemimpin Perubahan dalam Diklat PIM Tingkat I dan II. Direktori Inovasi
Administrasi Negara berisikan koleksi praktik-praktik inovasi dari para Pemimpin
Perubahan yang disesuaikan dengan instrumen Direktori Inovasi Administrasi
Negara pada tahun 2015.
B. TUJUAN, SASARAN DAN MANFAAT
ujuan dari kegiatan pengembangan dan diseminasi Direktori Inovasi
Administrasi Negara adalah: (1) mempermudah pencarian informasi
inovasi yang telah dilakukan dalam Proyek Perubahan Diklat
Kepemimpinan Tingkat I dan II; (2) mensosialisasikan praktik-praktik inovasi
instansi pemerintah melalui diseminasi dokumen inovasi administrasi negara dalam
rangka pelayanan publik; 3) memotivasi Aparatur Sipil Negara dan instansi
pemerintah untuk melakukan berbagai inovasi di masing-masing instansinya.
Sasaran dari kegiatan pengembangan dan diseminasi Direktori Inovasi
Administrasi Negara adalah: (1) Termutakhirkannya bank data inovasi bidang
administrasi negara melalui penyusunan direktori inovasi Proyek Perubahan Diklat
Kepemimpinan Tingkat I dan II; (2) Tersosialisasikannya praktik-praktik inovasi
instansi pemerintah melalui diseminasi secara terpadu dalam rangka pelayanan
publik; (3) Tersusunnya bahan replikasi inovasi administrasi negara bagi Aparatur
Sipil Negara dan instansi pemerintah.
Sedangkan manfaat dan kegunaan yang dapat diperoleh dengan adanya
kegiatan ini adalah sebagai berikut:
T
5
1. Mempermudah Kementerian/Lembaga, Pemda, BUMN/BUMD, Swasta, NGO
(LSM) dan masyarakat dalam mencari/memperoleh informasi inovasi dalam
Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II;
2. Tersebarkannya informasi inovasi instansi pemerintah melalui diseminasi secara
terpadu dalam rangka pelayanan publik;
3. Memicu Kementerian/Lembaga, Pemda, BUMN/BUMD, Swasta, NGO (LSM)
dan masyarakat untuk melakukan inovasi.
C. RUANG LINGKUP
uang lingkup kegiatan pengembangan Direktori Inovasi Administrasi
Negara ini lebih difokuskan pada inovasi yang dilakukan dalam
Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II khususnya
yang diselenggarakan pada tahun 2013 – 2014. Adapun ide dan gagasan inovasi
Proyek Perubahan yang menjadi prioritas dalam direktori ini adalah predikat 5 (lima)
terbaik yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara yakni Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Aparatur Nasional (Pusdiklat KAN), Pusat
Kajian Pendidikan dan Pelatihan Aparatur (PKP2A) I Bandung, PKP2A II Makassar,
Badan Diklat Kemendagri, Badan Diklat Daerah Jawa Barat, Badan Diklat Provinsi
Jawa Tengah, serta Badan Diklat Provinsi Jawa Timur. Sedangkan terkait dengan
diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara, pelaksanaannya akan
berkolaborasi dengan PKP2A LAN di daerah yaitu Provinsi Aceh dan Provinsi
Sulawesi Selatan, agar target kepesertaan maupun cakupan wilayahnya dapat lebih
luas. Dengan demikian, efek percepatan inovasinya dapat menjangkau wilayah
regional secara lebih luas.
D. HASIL YANG DIHARAPKAN
asil yang diharapkan dari kegiatan ini adalah tersusunnya bank data
inovasi Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II
setelah melalui analisis serta validasi dengan indikator yang telah
ditetapkan berupa Buku Direktori Inovasi Administrasi Negara Jilid 2 Seri Proyek
Perubahan. Selanjutnya melalui diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara
diharapkan dapat mempercepat tumbuhnya ide dan gagasan inovasi di lingkungan
R
H
6
Pemerintah Daerah secara masif. Selanjutnya hasil konkret pelaksanaan
pengembangan dan diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara
terdokumentasikan dalam sebuah Laporan Akhir Pengembangan dan Diseminasi
Direktori Inovasi Administrasi Negara.
E. METODE PELAKSANAAN
etode dalam pengembangan Direktori Inovasi Administrasi Negara
adalah dengan melakukan stocktaking. Sumber informasi dalam
direktori diperoleh dari data primer melalui kunjungan dan
pengamatan terhadap sebuah praktik inovasi (Proyek Perubahan) yang dilakukan
oleh para Pemimpin Perubahan dalam Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II tahun
2013 – 2014 Pola Baru atau data sekunder dari Laporan Proyek Perubahan sebagai
dokumen bukti bahwa kegiatan itu telah dilakukan dan akan dilakukan secara
simultan.
Metode deskriptif eksploratif analitis digunakan untuk mendeskripsikan objek
studi yaitu inovasi administrasi negara, menggali sebanyak-banyaknya isu-isu
inovasi yang selama ini belum teridentifikasi dan terpetakan untuk selanjutnya
dianalisa manfaat, keberlanjutan dan kemungkinan replikasinya. Selain itu juga
dilakukan diskusi terbatas dengan mengundang narasumber baik dari para ahli,
praktisi dan akademisi untuk mendapatkan ide-ide inovatif terkait penyusunan
Direktori Inovasi Administrasi Negara sesuai dengan upaya penumbuhkembangan
inovasi.
Sedangkan dalam rangka mendiseminasikan Direktori Inovasi Administrasi
Negara dilakukan seminar/workshop/lokakarya kepada stakeholders terkait.
Diseminasi ini dilakukan di beberapa tempat dengan mempertimbangkan
pemberdayaan terhadap perwakilan LAN di daerah (PKP2A). Materi yang disajikan
pada kegiatan ini adalah Direktori Inovasi Administrasi Negara 2015 yang
diharapkan dapat memotivasi instansi pemerintah untuk berinovasi dalam rangka
peningkatan kualitas pelayanan instansi masing-masing.
Kegiatan Pengembangan dan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi
Negara dengan mengikuti tahapan kegiatan sebagai berikut:
M
7
1. Penyempurnaan Desain Direktori (Mei)
Tahap ini membahas penyempurnaan desain direktori yang telah disusun pada
tahun sebelumnya dengan mempertimbangkan masukan dari narasumber pada
tahapan finalisasi penyusunan Direktori Inovasi Administrasi Negara tahun
2014. Hasil dari penyempurnaan desain direktori ini akan dijadikan model guna
penyusunan direktori tahun-tahun berikutnya. Pada tahapan ini juga dilakukan
pendalaman dengan mengundang narasumber pada diskusi terbatas termasuk
yang terkait dengan Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II.
Pada tahapan ini juga dilakukan rapat dalam kantor dalam rangka
penyempurnaan desain.
2. Identifikasi Data dan Informasi Inovasi Administrasi Negara (Juni-Juli)
Pada tahapan ini dilakukan stocktaking melalui identifikasi data dan informasi
dari inovasi-inovasi bidang administrasi negara yang bersumber dari Proyek
Perubahan Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II terutama alumni yang
memperoleh peringkat 5 (lima) terbaik. Pengumpulan data-data Proyek
Perubahan dilakukan dengan mengidentifikasi status perubahan/inovasi yang
telah dilakukan oleh para alumni. Pertimbangan pemilihan fokus ini adalah
bahwa perubahan yang dilakukan oleh para alumni tidak lain sebagai suatu
langkah inovasi yang sangat membantu dalam peningkatan kinerja di
instansinya. Disamping itu dilakukan kunjungan ke instansi alumni yang
sebelumnya telah diidentifikasi. Tahapan ini menghasilkan daftar Proyek
Perubahan yang akan divalidasi setelah melalui seleksi menggunakan kriteria
yang telah ditentukan. Pada tahapan ini juga dilakukan rapat dalam kantor
dalam rangka identifikasi data sebelum proses validasi inovasi.
3. Validasi dan Penyempurnaan Draf Direktori (Agustus)
Setelah tahapan identifikasi, selanjutnya dilakukan penyusunan draf direktori
dan dilanjutkan dengan validasi dengan mengunjungi lokasi dimana Proyek
Perubahan tersebut dilaksanakan, sebagai tindak lanjut dari identifikasi awal
melalui dokumen yang ada. Setelah dilakukan validasi, tim kemudian
melakukan penyempurnaan draf melalui diskusi terbatas dengan mengundang
narasumber.
8
4. Finalisasi Direktori Inovasi Administrasi Negara dan Pencetakan
(September-Oktober)
Setelah draf direktori selesai disempurnakan dan mendapatkan masukan dari
narasumber, langkah selanjutnya adalah finalisasi direktori, dimana dalam
tahapan ini tim mengundang narasumber yang kompeten untuk memberikan
masukan terhadap direktori untuk selanjutnya dilakukan pencetakan. Pada
tahapan ini juga dilakukan rapat dalam kantor dalam rangka finalisasi Direktori
Inovasi Administrasi Negara.
5. Pelaksanaan Diseminasi Direktori Inovasi Pelayanan Publik (Oktober-
November)
Kegiatan diseminasi dilakukan untuk mensosialisasikan Direktori Inovasi
Pelayanan Publik kepada daerah/stakeholders, sehingga dapat dijadikan
rujukan (adopsi dan replikasi) daerah dalam melakukan inovasi.
Diseminasi dilakukan pada 2 (dua) daerah, yang meliputi Provinsi Aceh dan
Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokus Provinsi Aceh dan Provinsi
Sulawesi Selatan mempertimbangkan alasan karena di kedua daerah ini
terdapat perwakilan LAN, yaitu PKP2A dengan mekanisme diseminasi yang
dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Tim LAN melakukan koordinasi dengan PKP2A IV Aceh dan PKP2A II
Makassar untuk mengundang peserta dari berbagai Kabupaten/Kota yang
ada di sekitar wilayah masing-masing.
b. Tim LAN mengunjungi PKP2A guna menyampaikan hasil dari kegiatan
berupa Direktori Inovasi Administrasi Negara kepada para peserta.
6. Evaluasi dan Penyusunan Laporan Diseminasi (Desember)
Tahap ini dilaksanakan guna menyusun laporan pelaksanaan diseminasi.
Dalam tahap ini dilakukan diskusi terbatas dengan mengundang narasumber
yang kompeten. Setelah itu dilakukan pencetakan laporan diseminasi.
F. LOKUS OBSERVASI INOVASI DAN DISEMINASI
alam rangka memperkaya jenis dan bidang inovasi dalam
penyelenggaraan pemerintahan, maka dilakukan observasi
terhadap beberapa daerah terpilih yaitu instansi para Pemimpin D
9
Perubahan. Daerah yang diprioritaskan sebagai lokasi observasi adalah beberapa
daerah disekitar Pulau Jawa seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, serta Jawa Timur. Hal ini dilakukan karena beberapa instansi asal para
Pemimpin Perubahan ada di daerah Pulau Jawa.
Sedangkan lokus diseminasi dilakukan pada 2 (dua) daerah, yang meliputi
Provinsi Aceh dan Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan lokus Provinsi Aceh dan
Provinsi Sulawesi Selatan ini dipilih karena pertimbangan adanya perwakilan LAN,
yaitu PKP2A seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
G. TEKNIK VALIDASI PROYEK PERUBAHAN
alidasi dalam penyusunan Direktori Inovasi Administrasi Negara ini
mengarah pada pengukuran dan pembuktian bahwa Proyek
Perubahan yang telah dilaksanakan oleh peserta Diklat PIM Tingkat
I dan II Tahun 2013 – 2014 Pola Baru sesuai dengan kriteria inovasi yang telah
ditentukan. Kriteria inovasi yang dipakai dalam melakukan validasi adalah seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya yaitu manfaat, kebaruan, keberlanjutan, dan
replikasi. Beragam dan banyaknya data Proyek Perubahan yang ada harus
disesuaikan dengan berbagai teknik validasi untuk membuktikan keabsahan Proyek
Perubahan sebagai suatu inovasi, berbagai teknik tersebut juga untuk menyiasati
tersebarnya Proyek Perubahan di instansi pemerintah berbagai daerah. Berbagai
teknik validasi yang akan dipergunakan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:
a. Observasi Langsung
Teknik ini dilakukan melalui pengamatan atau peninjauan langsung untuk
mencermati pelaksanaan Proyek Perubahan. Observasi dilakukan dengan
berkunjung langsung ke instansi pemerintah dimana Proyek Perubahan itu
dilaksanakan. Kegiatan ini untuk membuktikan secara langsung setiap proses,
kegiatan, sistem ataupun mekanisme sesuai dengan tahapan (milestone) yang
telah disusun sebelumnya serta untuk mengukur Proyek Perubahan itu sesuai
dengan kriteria inovasi. Observasi langsung ini dilakukan dengan memilih data
proyek perubahan di dalam suatu daerah sehingga dalam satu periode
pelaksanaan observasi dapat melakukan kunjungan ke beberapa instansi. Data
yang didapat dalam observasi ini lebih valid, selain itu dapat diketahui
V
10
kemanfaatan langsung dari Proyek Perubahan tersebut dengan melakukan
wawancara kepada pihak terkait, misalnya pimpinan, pegawai instansi
pemerintah maupun masyarakat langsung.
b. Focus Group Discussion
Kegiatan ini modifikasi dari observasi yang diadakan dengan mengundang tim
sukses dan stakeholders serta masyarakat. Hal ini dilakukan untuk
menjembatani persoalan tersebarnya Proyek Perubahan yang dilakukan oleh
peserta Diklat PIM Tingkat I dan II. Melalui diskusi terbatas yang terarah,
diketahui pelaksanaan dan keberlanjutan Proyek Perubahan dari masing-
masing peserta Diklat PIM. Pada akhirnya didapatkan data yang valid mengenai
kondisi Proyek Perubahan terkini.
c. Kuesioner Terbuka
Kuesioner ini dikirim ke berbagai peserta Diklat PIM Tingkat I dan II untuk
mengetahui perkembangan dan keberlanjutan Proyek Perubahan. Kuesioner ini
berisi berbagai pertanyaan mengenai pelaksanaan proyek perubahan yang
telah dilaksanakan. Pertanyaan yang disusun akan lebih mengarah pada 4
(empat) kriteria inovasi yang telah ditentukan sehingga diketahui apakah Proyek
Perubahan tersebut merupakan suatu inovasi.
d. Media Komunikasi
Media komunikasi ini dilakukan melalui telepon, sms, email maupun media
sosial lainnya. Komunikasi melalui media ini dilakukan untuk menjalin hubungan
dengan peserta Diklat PIM Tingkat I dan II untuk mengetahui perkembangan
dan keberlanjutan pelaksanaan Proyek Perubahan. Media komunikasi ini juga
menjadi media pengumpulan data dan informasi tambahan apabila dalam
proses sebelumnya belum didapatkan data yang dikehendaki.
H. SISTEMATIKA PENULISAN
ntuk mempermudah pemahaman, buku ini disusun secara sistematis
dalam 5 (lima) bab yang berkaitan dan lampiran yang berisikan
beberapa inovasi yang telah dilakukan oleh instansi pemerintah baik
pusat maupun daerah.
U
11
Bab I Pendahuluan. Bab ini berisikan latar belakang pengembangan dan
diseminasi Inovasi Administrasi Negara, sasaran, kemanfaatan, metode
pelaksanaan, lokasi serta teknik pengolahan data.
Bab II Konsepsi dan Instrumen. Bab ini berisi konsep dasar dari inovasi
administrasi negara dan instrumen yang digunakan.
Bab III Analisa Pengelolaan Data. Bab ini berisi data yang dikumpulkan dan
dianalisa sesuai dengan instrumen yang telah disusun, berapa data yang
diperoleh dan bagaimana teknik validasinya.
Bab IV Inovasi Administrasi Negara Dalam Proyek Perubahan. Bab ini berisi
inovasi yang dihasilkan dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II.
Inovasi dikelompokkan berdasarkan wilayah validasi datanya.
Bab V Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara. Bab ini berisi
ringkasan penyelenggaraan Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara
di Aceh dan Sulawesi Selatan.
Bab V Penutup. Bab ini menjelaskan hal-hal yang dianggap penting dalam
menyusun Direktori Inovasi Administrasi Negara.
12
BAB II
KONSEPSI DAN INSTRUMEN
A. KONSEPSI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DAN PROYEK PERUBAHAN
ata inovasi (innovation dan innovate) mulai dikenal dalam kosakata
Bahasa Inggris pada abad ke-16. Namun pada masa itu, istilah
inovasi diasosiasikan secara negatif sebagai troublemaker dan lebih
identik dengan nuansa revolusi atau perubahan radikal sehingga cenderung ditolak
oleh rezim kekuasaan dan politik serta otoritas keagamaan masa itu. Barulah sekitar
300 (tiga ratus) tahun kemudian, pengertian inovasi perlahan mengalami
pergeseran makna menjadi positif yang dipahami sebagai “creating of something
new” atau penciptaan sesuatu yang baru. Melirik dari pergeseran pemahaman
tentang inovasi dapat terlihat bahwa inovasi dipahami sebagai perubahan dan
penciptaan baru/ pengetahuan baru.
Agus Dwiyanto (2013)1 menyatakan inovasi adalah “segala sesuatu yang
berkenaan dengan gagasan dan pengetahuan baru dan transformasinya kedalam
hasil (outcome) yang dapat menciptakan nilai tambah pada praktik dan proses,
barang dan jasa, adopsi teknik dan pendekatan baru dalam pengelolaan suatu
organisasi.” Dalam bidang administrasi publik, inovasi adalah setiap bentuk
transformasi gagasan dan pengetahuan baru yang mampu menciptakan nilai
tambah dalam satu atau lebih aspek dan/atau proses administrasi publik. Tri
Widodo Wahyu Utomo (2015)2 menyatakan bahwa inovasi merupakan proses
memikirkan dan mengimplementasikan suatu gagasan yang memiliki unsur
kebaruan (novelty) serta kemanfaatan (expediency). Sedangkan Lembaga
Administrasi Negara (2014)3 juga telah menyatakan bahwa inovasi merupakan ide,
gagasan, pemikiran, terobosan dalam rangka melakukan pembaharuan dalam
praktik dan proses penyelenggaraan pemerintahan, sehingga memiliki nilai tambah
dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi negara. Melihat kembali
1Dipaparkan dalam Diskusi Pertemuan Kedeputian Inovasi Administrasi Negara 2015 2Dipaparkan dalam Workshop Pengelolaan Laboratorium Inovasi, Jakarta, 4 Mei 2015 dengan judul “Inovasi
Administrasi Negara Sebuah Perjalanan Konseptual.” 3Dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara 2014 oleh Lembaga Administrasi Negara qq Pusat Inovasi
Pelayanan Publik
K
13
pengertian di atas dapat didefinisikan bahwa inovasi adalah proses memikirkan dan
mengimplementasikan gagasan, pengetahuan serta terobosan baru dalam rangka
pembaharuan dan penciptaan nilai tambah atau kemanfaatan. Definisi inovasi yang
dimaksud tentu saja segala suatu yang terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan.
Berbicara tentang inovasi administrasi negara, memang tidak bisa secara
langsung memberikan pengertian berdasarkan pengertian kata perkata. Konsep
inovasi administrasi negara telah disusun oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN)
setelah merujuk dari beberapa pendapat ahli. Jika disamakan dengan inovasi sektor
publik, maka Albury pernah mengungkapkan inovasi dalam sektor publik adalah
“ide-ide baru yang bekerja”. Jika dikaitkan dengan bidang administrasi publik, Prof.
Agus Dwiyanto mengungkapkan bahwa inovasi bidang administrasi publik adalah
setiap bentuk transformasi gagasan dan pengetahuan baru yang mampu
menciptakan nilai tambah dalam satu atau lebih aspek dan atau proses administrasi
publik. Oleh karena itu LAN mendeskripsikan inovasi administrasi negara
merupakan proses memikirkan dan mengimplementasikan suatu kebijakan oleh
penyelenggara kepentingan publik untuk memenuhi kepentingan publik yang
memiliki unsur kebaruan serta kemanfaatan.
LAN (2014) telah mengelompokkan 8 (delapan) jenis dari inovasi administrasi
negara yang disusun setelah melihat beberapa jenis inovasi yang ada. Jenis inovasi
administrasi negara adalah sebagai berikut:
1. Inovasi Proses (Process Innovation)
Inovasi yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas proses kerja baik internal
maupun eksternal agar lebih sederhana dan lebih efisien. Ruang lingkup dari
inovasi proses meliputi Standar Operasional Prosedur (SOP), tata laksana,
sistem, dan prosedur.
2. Inovasi Metode (Method Innovation)
Inovasi yang ditujukan dalam sebuah penerapan strategi, cara, dan teknik baru
untuk mencapai hasil yang lebih baik. Ruang lingkup dari inovasi metode adalah
strategi, cara, dan teknik baru.
3. Inovasi Produk (Product Innovation)
14
Inovasi yang ditujukan untuk penciptaan atau modifikasi barang atau jasa untuk
meningkatkan kualitas, citra, fungsi dan sebagainya dari barang atau jasa
tersebut. Ruang lingkup dari inovasi produk adalah produk yang dapat berupa
fisik (barang) maupun non-fisik atau imaterial (jasa).
4. Inovasi Konseptual (Conceptual Innovation)
Inovasi yang ditujukan untuk perubahan cara pandang atas masalah yang ada
sehingga memunculkan solusi atas masalah. Ruang lingkup dari inovasi
konseptual adalah kemunculan paradigma, ide, gagasan, pemikiran, dan
terobosan baru yang sebelumnya tak terbayangkan.
5. Inovasi Teknologi (Technology Innovation)
Inovasi yang ditujukan untuk penciptaan atau penggunaan teknologi baru yang
lebih efektif dan mampu memecahkan masalah. Ruang lingkup dari inovasi
teknologi biasanya dilakukan melalui introduksi e-government dan pembaruan
peralatan atau perangkat untuk menunjang pekerjaan.
6. Inovasi Struktur Organisasi (Organizational Structure Innovation)
Inovasi yang ditujukan untuk pengadopsian model organisasi baru yang
menggantikan model lama yang tidak sesuai perkembangan organisasi. Ruang
lingkup dari inovasi struktur organisasi adalah pembaruan struktur yang
dilakukan melalui berbagai model dan bentuk penggabungan, penghapusan,
pengembangan, dan modifikasi struktur.
7. Inovasi Hubungan (Relationship Innovation)
Inovasi yang ditujukan untuk bentuk dan mekanisme baru dalam berhubungan
dengan pihak lain demi tercapainya tujuan bersama. Ruang lingkup dari inovasi
hubungan adalah partnership, partisipasi masyarakat, relationship, dan
networking.
8. Inovasi Pengembangan Sumber Daya Manusia (Human Resources
Development Innovation)
Inovasi yang ditujukan untuk perubahan kebijakan untuk meningkatkan kualitas
tata nilai dan kapasitas dari sumber daya manusia (SDM). Ruang lingkup dari
inovasi SDM adalah pembaruan dan peningkatan kualitas atas salah satu atau
lebih dari berbagai aspek SDM, mulai tata nilai (budaya, mindset, etika),
kepemimpinan, kompetensi, profesionalisme, dan pemberdayaan.
15
Organisasi yang inovatif memiliki kemampuan untuk menyalurkan kreativitas
ke dalam hasil yang bermanfaat. Menurut Robbins dan Coulter (2012) dalam buku
Management edisi ke-11, organisasi kreatif akan mengembangkan cara-cara kerja
yang unik atau solusi baru untuk masalah. Tetapi hanya kreativitas saja tidak akan
cukup. Hasil dari proses kreatif juga harus diubah menjadi produk yang berguna
atau metode kerja, yang didefinisikan sebagai inovasi. Ketika pemimpin
menginginkan organisasi agar lebih kreatif, hal itu berarti pemimpin tersebut ingin
merangsang dan memelihara inovasi. Keberhasilan inovasi suatu instansi
pemerintah pusat maupun daerah tidak terlepas dari peran pemimpin untuk
melakukan perubahan. Perubahan tidak serta merta dapat terjadi jika tidak
didukung oleh seluruh pihak yang ada termasuk pimpinan organisasi yang dalam
hal ini adalah pimpinan instansi pemerintah. Konsepsi Proyek Perubahan yang
dilakukan oleh para Pemimpin Perubahan dalam Pendidikan dan Pelatihan
Kepemimpinan (Diklat PIM) dapat dikatakan sebagai langkah inovasi yang
dilakukan untuk meningkatkan kinerja instansinya masing-masing. Apa itu
perubahan? Dan apa pula itu Proyek Perubahan? Bagaimana keterkaitannya
dengan inovasi administrasi negara? Hal ini lah yang perlu dijabarkan lebih lanjut.
Kata Proyek Perubahan merupakan istilah yang saat ini sangat terkait dengan
pelaksanaan Diklat PIM dan bertujuan untuk mendapatkan pemimpin instansi
pemerintah yang inovatif dan profesional. Bisa dikatakan bahwa Proyek Perubahan4
merupakan salah satu kegiatan pembelajaran pada Diklat Kepemimpinan Tingkat I,
II, III, dan IV Pola Baru untuk mewujudkan kompetensi Kepemimpinan Visioner
melalui kemampuan berkolaborasi dengan stakeholders dalam penanganan isu
strategis nasional. Kegiatan ini mulai dijalankan pada tahun 2014 yang dimotori oleh
Lembaga Administrasi Negara (LAN) selaku instansi pembina diklat aparatur.
Apa itu perubahan? Menurut Harigopal (2006)5, perubahan adalah pergerakan
dari situasi sekarang ke masa depan, dari keadaan yang dikenal ke keadaan yang
relatif tidak dikenal. Menurut Brian Clegg Seperti yang dikutip oleh Fauzi (2013)6
Perubahan merupakan suatu kekuatan yang sangat hebat, yang dapat memotivasi
4Penjelasan Proyek Perubahan, Diklat Kepemimpinan Tingkat I, Lembaga Administrasi Negara, 2014 5Harigopal dalam Management of Organizational Change: Leveraging Transformation, 2nd edition.2006 6Pengertian Perubahan dan Perkembangan Organisasi. Tersedia Online (http://masfiifauzii02.blogspot.com/2013/05/pengertian-perubahan-dan-perkembangan_3.html)
16
atau mendemotivasi. Berdasarkan itu perubahan dapat diartikan sebagai
pergerakan menuju ke situasi yang relatif berbeda yang dapat memotivasi maupun
mendemotivasi lingkungan.
Menurut Suryanto (2015) Perubahan tidak selalu merupakan inovasi
(pembaharuan), akan tetapi di dalam inovasi pasti terdapat perubahan. Dengan
kata lain, perubahan merupakan bagian dari inovasi7. Hasil dari perubahan itu
tergantung dari cara pandang lingkungan terhadap perubahan yang dilakukan.
Melihat tipenya, perubahan dapat diartikan sebagai berikut:
1. Happened Change adalah perubahan yang tidak dapat diprediksi, terjadi secara
alami karena faktor eksternal.
2. Planned Change adalah perubahan yang direncanakan sebagai respons
terhadap tuntutan internal dan eksternal, biasanya terjadi pada aspek
matematis seperti pada perhitungan rancangan pembangunan jembatan.
3. Total Change adalah perubahan drastis dari sistem yang telah ada.
4. Reactive Change adalah perubahan yang merupakan respon dari peristiwa
atau serangkaian peristiwa
5. Transformational Change adalah perubahan yang melibatkan seluruh atau
sebagian besar dari organisasi disebabkan oleh adanya ancaman.
6. Revolutionary Change adalah perubahan yang mendadak dalam strategi dan
desain organisasi.
7. Strategic Change adalah perubahan seluruh atau sebagian besar komponen
organisasi.
8. Anticipatory Change adalah perubahan yang terjadi sebelum peristiwa sebagai
upaya antisipasi.
9. Recreation Change adalah perubahan yang menghancurkan sistem lama
kemudian membangun yang baru. Perubahannya tidak hanya menjadi lebih
baik, tetapi menjadi berbeda.
Dalam melakukan perubahan, pelaku perubahan harus memiliki alasan
terhadap usaha perubahan yang dilakukan. Seperti yang diidentifikasi oleh Kurt
7Bahan paparan FGD Pengembangan dan Diseminasi Direktori Inovasi, dengan judul “Identifikasi Data dan
Informasi Direktori Inovasi Administrasi Negara”, LAN 2015
17
Lewin (1951)8 sebagaimana yang dikutip oleh Irmawati (2012) bahwa beberapa hal
dan alasan yang harus dilaksanakan oleh seorang manajer dalam merencanakan
suatu perubahan, yaitu: 1) Perubahan hanya boleh dilaksanakan untuk alasan yang
baik; 2) Perubahan harus secara bertahap; 3) Semua perubahan harus
direncanakan dan tidak secara drastis atau mendadak; dan 4) Semua individu yang
terkena perubahan harus dilibatkan dalam perencanaan perubahan. Menurutnya
perubahan terjadi karena munculnya tekanan-tekanan terhadap organisasi,
individu, atau kelompok. Dengan berfokus pada pernyataan “mengapa”, dapat
diketahui bagaimana perubahan dapat dikelola dan menghasilkan sesuatu. Lewin
berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving forces) akan selalu berhadapan
dengan keengganan (resistances) untuk berubah. Perubahan itu sendiri dapat
terjadi dengan memperkuat “driving forces” itu, atau melemahkan “resistances to
change”. Karena itulah akan selalu ada pro dan kontra terhadap perubahan yang
terjadi dalam suatu organisasi.
Perubahan juga memiliki proses dalam tumbuh kembang sehingga dapat
bermanfaat bagi lingkungan. Menurut Robbins dan Coulter (2012) dalam buku
Management edisi ke-11, bahwa proses perubahan dapat berlangsung dari luar dan
dalam organisasi. Dari luar organisasi proses perubahan terjadi dikarenakan: 1)
adanya perubahan kebutuhan dan keinginan konsumen; 2) adanya peraturan/
hukum pemerintah yang baru; 3) adanya perubahan teknologi; 4) adanya
perubahan ekonomi. Sedangkan dari dalam dikarenakan: 1) adanya strategi baru
organisasi; 2) adanya perubahan komposisi tenaga kerja; 3) adanya peralatan baru;
4) adanya usaha mengubah sikap karyawan. Menurut Lewin (1951) seperti yang
dikutip Robbins dan Coulter (2012) menyatakan bahwa perubahan dapat
direncanakan dan harus memiliki konsep kesadaran terhadap perubahan atau
penolakan pada status quo. Ia berkesimpulan bahwa kekuatan tekanan (driving
forces) akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Yang
perlu dilakukan organisasi adalah mempersiapkan untuk perubahan yang
diperlukan (unfreezing), mengimplementasikan perubahan (changing),
menstabilkan situasi baru dengan memperkuat perilaku baru dengan
8Dikutip oleh Irmawati tahun 2012 dalam Teori Perubahan menurut para ahli
18
mempertahankannya (refreezing) atau bisa dikatakan ada keberlanjutan dari proses
perubahan.
Perubahan sekuat apapun yang telah dilakukan tentu memiliki faktor
penghambat dan tantangan dalam menjaga keunggulan dari perubahan tersebut.
Menurut New dan Couillard (1981) seperti yang dikutip oleh Irmawati (2012), faktor
penghambat (restraining force) terjadinya perubahan yaitu: 1) Adanya ancaman
terhadap kepentingan pribadi; 2) Adanya persepsi yang kurang tepat; 3) Reaksi
psikologis; 4) Toleransi untuk berubah rendah. Seringkali perilaku individu yang
menjadi hambatan dalam perubahan. Hal ini terkait dengan ketidakmauan atau
ketidakmampuan untuk mengubah sikap dan tingkah laku yang lama menjadi
kebiasaan. Individu yang diberi kebebasan cenderung untuk kembali ke pola
tingkah laku yang sudah menjadi kebiasaan. Ada beberapa metode yang dapat
dilakukan untuk menangani penolakan terhadap perubahan diantaranya sebagai
berikut:
1. Pendidikan dan komunikasi, yaitu menjelaskan kebutuhan akan dan logika dari
perubahan kepada individu, kelompok dan bahkan seluruh organisasi.
Hal ini terkait dengan partisipasi dan penyertaan, dimana pengelola perubahan
dapat meminta anggota organisasi untuk membantu mendesain perubahan.
2. Memberi fasilitas dan dukungan, yaitu menawarkan program pelatihan, liburan,
dukungan emosional dan memahami orang yang terpengaruh oleh perubahan.
Hal ini terkait dengan negosiasi dan persetujuan, dimana pengelola perubahan
dapat melakukan negosiasi dengan penolak potensial, bahkan mengusahakan
surat pemahaman tertulis.
3. Manipulasi dan pemilihan menjadi anggota, memberikan peran yang diinginkan
oleh orang yang berpengaruh dalam mendesain atau mengimplementasikan
proses perubahan.
Hal ini terkait dengan memaksa secara terang-terangan terselubung, dimana
pengelola perubahan dapat menakut-nakuti dengan kehilangan pekerjaan atau
pemindahan, tidak dipromosikan.
Proyek perubahan merupakan salah satu kegiatan pembelajaran pada Diklat
Kepemimpinan Tingkat I, II, III, dan IV Pola Baru. Para peserta dituntut untuk
membuat terobosan kebijakan di lingkungan instansinya guna meningkatkan kinerja
19
organisasi. Terobosan tersebut dapat berupa gagasan inovatif maupun gagasan
yang lebih menuntut perubahan situasi yang ada di instansi masing masing. Melirik
dari hirarki Proyek Perubahan yang telah membagi tingkatan Proyek Perubahan
menjadi tiga tingkat yaitu: 1) Perubahan pada tingkat paradigma (jangka panjang);
2) Perubahan pada tingkat kebijakan (jangka menengah); 3) Perubahan pada
tingkat manajemen strategis (jangka pendek), terlihat hubungan antara inovasi
administrasi negara dengan Proyek Perubahan. Tuntutan awal proyek perubahan
berada pada level rendah yaitu tingkat manajemen strategis. yang dituntut berubah
disini lebih ke perubahan lingkungan. Tingkatan tertinggi dari Proyek Perubahan
adalah perubahan paradigma. Perubahan pada tahap ini tentu sudah melewati
banyak tantangan dan hambatan bagi pelaku perubahannya. Untuk menghadapi
tantangan dan hambatan dalam perlu memikirkan dan mengimplementasikan
terobosan yang baru agar terasa kemanfaatan. Disanalah tindakan inovatif
dibutuhkan lebih dari sekedar tindakan normatif.
Menurut Kasali (2009) perubahan tidak selalu membawa pembaharuan, hal ini
disebabkan oleh: 1) Kepemimpinan yang belum cukup kuat; 2) Salah melihat
reformasi; 3) Sabotase di tengah jalan; 4) Komunikasi yang tidak begitu bagus; 5)
Masyarakat yang tidak cukup mendukung; 6) Proses “buy in” yang tidak berjalan9.
Untuk itulah Proyek Perubahan tersebut perlu dilihat kembali terkait dengan
pembaharuan yang dihasilkannya.
B. KONSEPSI INOVATOR DAN PEMIMPIN PERUBAHAN
novasi administrasi negara tidak terlepas dari pelaku dibalik gagasan
suatu inovasi yang pada akhirnya membawa perubahan dalam sektor
pelayanan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri sosok penggagas inovasi
atau inovator dapat menjadi inspirasi bagi instansi pemerintah yang lain dalam
meningkatkan kualitas pelayanannya. Apa itu inovator? Berikut ini akan sedikit
dijelaskan mengenai sang penggagas inovasi atau inovator.
Menurut Roger (1995) yang dikutip oleh Ginting dan Meiyanto, inovator adalah
kelompok orang yang berani dan siap untuk mencoba hal-hal baru. Sedangkan
9Bahan paparan di Mahkamah Agung yang berjudul Change Management oleh Rhenald Kasali, 2009
I
20
menurut (Maner, dkk, 2007) mereka yang tergolong inovator adalah orang yang
tidak mengalami keraguan setelah membeli karena apapun yang terjadi mereka
telah siap dengan risikonya. Berdasarkan kedua pendapat tersebut serta
dihubungkan dengan pengertian inovasi administrasi negara dapat ditarik
pengertian bahwa inovator adalah individu/kelompok/penyelenggara kepentingan
publik yang berani melakukan atau mengimplementasikan gagasan baru dan siap
terhadap risiko yang akan dihadapi untuk memenuhi kepentingan publik
Seorang inovator dapat dilihat dari berbagai aspek. Seperti yang dijelaskan
oleh Rogers (1995) yang dikutip oleh Ginting dan Meiyanto bahwa inovator dapat
dilihat dari aspek personality, relative advantage, compatibility, complexity dan
triability serta observability. Personality (kepribadian) merupakan pendirian,
kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang untuk kreatif dan inovatif. Relative
Advantage (keuntungan relatif) adalah tingkat kelebihan suatu inovasi, apakah lebih
baik dari inovasi yang ada sebelumnya atau dari hal-hal yang biasa dilakukan.
Compatibility atau kompatibilitas (keserasian) adalah tingkat keserasian dari suatu
inovasi, apakah dianggap konsisten atau sesuai dengan nilai-nilai, pengalaman dan
kebutuhan yang ada. Complexity atau kompleksitas (kerumitan) adalah tingkat
kerumitan dari suatu inovasi untuk diadopsi, seberapa sulit memahami dan
menggunakan inovasi. Triability atau triabilitas (dapat diuji coba) merupakan tingkat
apakah suatu inovasi dapat dicoba terlebih dahulu atau harus terikat untuk
menggunakannya. Observability (dapat diobservasi) adalah tingkat bagaimana
hasil penggunaan suatu inovasi dapat dilihat oleh orang lain.
Dalam penyelenggaraan negara, kepemimpinan (leadership) memegang
peranan penting dan merupakan salah satu faktor kunci dalam kehidupan
organisasi baik di sektor publik/pemerintahan maupun sektor privat (perusahaan
dan lembaga swadaya masyarakat). Keberhasilan seorang pemimpin sangat
ditentukan kemampuan mengelola bawahan dan situasi kondisi internal dan
eksternal. Dengan pola kepemimpinan yang baik dapat dihasilkan shared vision,
terlaksana misi dan program yang selaras dengan visi serta pemberdayaan
(empowering). Kepemimpinan juga mengarah pada penciptaan, pengarahan dan
akselerasi perubahan-perubahan yang signifikan (transformational leadership).
21
Disamping menjalankan fungsi manajemen, seorang pemimpin yang
menduduki jabatan sektor publik maupun privat harus melaksanakan
kepemimpinan (manager) dan sekaligus menjadi leader. Kenyataan di lapangan
seringkali ditemukan kurangnya penguasaan kepemimpinan dibanding manajemen
yang mengakibatkan kondisi under and over-managed.
Pemimpin Perubahan belakangan ini sering dikaitkan dengan sosok pemimpin
instansi sektor publik yang tentu saja terkait dengan Pendidikan dan Pelatihan
Kepemimpian yang harus dilalui sebagai ilmu dasar memimpin instansi masing
masing. Menurut Maurer (Yukl, 2001) seperti yang dikutip oleh Ginting dan Meiyanto
(2010) mengatakan bahwa sebagai seorang pemimpin tidak selamanya melakukan
perubahan menjadi sesuatu yang menyenangkan. Ada risiko yang harus
ditanggung ketika mencoba melakukan perubahan. Kondisi ini menyebabkan opini
bahwa seorang pemimpin juga memiliki kecemasan ketika mengevaluasi apakah
hasil sesuai dengan yang diharapkan atau tidak. Agen perubahan atau Pemimpin
Perubahan adalah suatu bagian dari sistem sosial yang berpengaruh terhadap
sistem sosialnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu memengaruhi sikap
orang lain untuk menerima sebuah inovasi. Pemimpin perubahan merupakan
orang-orang profesional yang telah mendapatkan pendidikan atau pelatihan
tertentu untuk dapat memengaruhi sistem sosialnya. Kemampuan dan keterampilan
menjadi agent of change berperan besar terhadap diterima atau ditolaknya inovasi
tertentu.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan diatas dapat terlihat perbedaan dan
persamaan antara inovator dengan Pemimpin Perubahan. Jika inovator tersebut
merupakan sosok yang inspiratif dalam suatu perubahan yang terjadi pada
pelayanan publik yang diterima masyarakat, maka Pemimpin Perubahan
merupakan sosok penentu yang mempengaruhi keberhasilan perubahan pelayanan
publik. Persamaan yang dapat terlihat adalah kedua sosok ini sudah siap
menghadapi risiko yang timbul terhadap apapun gagasan dan pemikirannya dalam
memperbaiki kualitas pelayanan publik di instansi masing-masing. Para Pemimpin
Perubahan memang melakukan penciptaan, pengarahan dan akselerasi
perubahan-perubahan yang signifikan bagi perbaikan kinerja instansi sehingga
pada akhirnya mereka layak disebut sang innovator.
22
C. PROYEK PERUBAHAN MENUJU PEMIMPIN PERUBAHAN YANG INOVATIF
paratur Sipil Negara (ASN) mempunyai peranan penting untuk
menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan. Sosok ASN yang mampu memainkan peranan
tersebut adalah ASN yang mempunyai kompetensi, kapabilitas, dan kemampuan
kepemimpinan. Kompetensi tersebut diindikasikan dari sikap dan perilaku yang
penuh kesetiaan dan ketaatan kepada bangsa dan negara, bermoral, bermental
baik, profesional, sadar akan tanggung jawab sebagai pelayan publik, serta mampu
menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk dapat membentuk sosok ASN tersebut, perlu dilaksanakan pembinaan
melalui jalur Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklat PIM). Diklat PIM
merupakan diklat yang sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dalam Undang-Undang tersebut tertulis
dengan jelas bahwa Lembaga Administrasi Negara mempunyai fungsi dan tugas
dalam pembinaan diklat.
Pasal 43 Undang-Undang ASN mengisyaratkan fungsi LAN sebagai berikut:
1. Pengembangan standar dan kualitas pendidikan dan pelatihan pegawai ASN;
2. Pembinaan pendidikan dan pelatihan kompetensi managerial pegawai ASN;
3. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kompetensi manajerial pegawai ASN
baik secara sendiri maupun bersama-sama lembaga pendidikan dan pelatihan
lainnya;
4. Pengkajian terkait dengan kebijakan dan manajemen ASN; dan
5. Melakukan akreditasi lembaga pendidikan dan pelatihan pegawai ASN, baik
sendiri maupun bersama lembaga diklat lainnya.
Lebih lanjut Pasal 44 Undang-Undang ASN mengamanatkan tugas LAN
sebagai berikut:
1. Meneliti, mengkaji, dan melakukan inovasi manajemen ASN sesuai dengan
kebutuhan kebijakan;
2. Membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan pegawai ASN
berbasis kompetensi;
3. Merencanakan dan mengawasi kebutuhan pendidikan dan pelatihan pegawai
ASN secara nasional;
A
23
4. Menyusun standar pedoman penyelenggaraan dan pelaksanaan pendidikan,
pelatihan teknis fungsional dan penjenjangan tertentu, serta pemberian
akreditasi dan sertifikasi di bidangnya dengan melibatkan Kementerian dan
Lembaga terkait;
5. Memberikan sertifikasi kelulusan peserta pendidikan dan pelatihan
penjenjangan;
6. Membina dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan analis kebijakan
publik; dan
7. Membina jabatan fungsional di bidang pendidikan dan pelatihan.
Sebagai instansi pembina dan sekaligus penyelenggara Diklat, Lembaga
Administrasi Negara mempunyai tugas dan fungsi menyelenggarakan Diklat
Kepemimpinan, Diklat Prajabatan dan Diklat Teknis Fungsional.
Untuk mendukung pencapaian kebijakan nasional World Class Bureaucracy
(World Class Civil Servant) Lembaga Administrasi Negara sebagai Instansi
Pembina Pendidikan dan Pelatihan Aparatur Sipil Negara telah melakukan
Reformasi Diklat Kepemimpinan Tingkat I, II, III, dan IV pada tahun 2013 dan diikuti
oleh seluruh penyelenggara Diklat. Dalam reformasi tersebut, selain perubahan
terhadap kurikulum dan penyelenggaraan diklat, juga diharuskan adanya
keterlibatan instansi asal peserta, dimana hal tersebut adalah bagian dari proses
pembelajaran diklat. Pada akhirnya dapat bermunculannya Pemimpin Perubahan
yang bisa memperbesar arus perubahan di sektor publik.
Lahirnya Peraturan Kepala LAN Nomor 10 Tahun 2013, Peraturan Kepala
LAN Nomor 11 Tahun 2013, Peraturan Kepala LAN Nomor 12 Tahun 2013, dan
Peraturan Kepala LAN Nomor 13 Tahun 2013, yang telah diperbaharui dengan
Peraturan Kepala LAN Nomor 17 Tahun 2015, Peraturan Kepala LAN Nomor 18
Tahun 2015, dan Peraturan Kepala LAN Nomor 19 Tahun 2015 merupakan
gebrakan baru dalam penyelenggaraan Diklat PIM. Pola diklat yang sebelumnya
hanya bersifat on campus (dalam kampus) menjadi pola diklat yang bersifat on
campus dan off campus (kembali ke instansi untuk merancang dan
mengimplementasikan Proyek Perubahan).
Sebagai gambaran awal, perbandingan Diklat PIM Pola Lama dan Pola Baru
diuraikan dalam tabel berikut:
25
Tabel 1 Perbedaan Diklat PIM Pola Lama dan Pola Baru
NO KETERANGAN
PEMBEDA
DIKLAT PIM POLA LAMA DIKLAT PIM POLA BARU
Diklat PIM Tk.I Diklat PIM Tk.II Diklat PIM Tk.III Diklat PIM Tk.IV Diklat PIM Tk.I Diklat PIM Tk.II Diklat PIM Tk.III Diklat PIM Tk.IV
1 Dasar Hukum Keputusan Kepala
Lembaga
Administrasi Negara
Nomor
542/XIII/10/6/2001
tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan dan
Pelatihan
Kepemimpinan Tk. I
Peraturan Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara Nomor 6
Tahun 2005
tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan dan
Pelatihan
Kepemimpinan Tk.
II
Keputusan Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara Nomor
540/XIII/10/6/2001
tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan dan
Pelatihan
Kepemimpinan Tk.
III
Keputusan Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara Nomor
541/XIII/10/6/2001
tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan dan
Pelatihan
Kepemimpinan Tk.
IV
Peraturan Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara Nomor 10
Tahun 2013
tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan dan
Pelatihan
Kepemimpinan Tk. I
Peraturan Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara Nomor 11
Tahun 2013
tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan dan
Pelatihan
Kepemimpinan Tk.
II
Peraturan Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara Nomor 12
Tahun 2013
tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan dan
Pelatihan
Kepemimpinan Tk.
III
Peraturan Kepala
Lembaga
Administrasi
Negara Nomor 13
Tahun 2013
tentang Pedoman
Penyelenggaraan
Pendidikan dan
Pelatihan
Kepemimpinan Tk.
IV
2 Agenda
Pembelajaran
a. Kajian Falsafah
Bangsa,
Paradigma
Pembangunan,
dan
Kepemimpinan
Nasional
b. Kajian Sistem
Manajemen
Pemerintahan dan
Pembangunan
c. Kajian Strategi
dan Kebijakan
Pembangunan
d. Aktualisasi
a. Kajian
Paradigma
b. Kajian Kebijakan
Publik
c. Kajian
Manajemen
Stratejik
d. Aktualisasi
a. Kajian Sikap
dan Perilaku
b. Kajian
Manajemen
Publik
c. Kajian
Pembangunan
d. Aktualisasi
a. Kajian Sikap
dan Perilaku
b. Kajian
Manajemen
Publik
c. Kajian
Pembangunan
d. Aktualisasi
a. Diagnosa
Kebutuhan
Perubahan
Organisasi
b. Taking
Ownership
(Breakthrough I)
c. Merancang
Perubahan dan
Membangun Tim
d. Laboratorium
Kepemimpinan
(Breakthrough II)
e. Evaluasi
a. Diagnosa
Kebutuhan
Perubahan
Organisasi
b. Taking
Ownership
(Breakthrough I)
c. Merancang
Perubahan dan
Membangun Tim
d. Laboratorium
Kepemimpinan
(Breakthrough II)
e. Evaluasi
a. Diagnosa
Kebutuhan
Perubahan
Organisasi
b. Taking
Ownership
(Breakthrough I)
c. Merancang
Perubahan dan
Membangun Tim
d. Laboratorium
Kepemimpinan
(Breakthrough II)
e. Evaluasi
a. Diagnosa
Kebutuhan
Perubahan
Organisasi
b. Taking
Ownership
(Breakthrough I)
c. Merancang
Perubahan dan
Membangun Tim
d. Laboratorium
Kepemimpinan
(Breakthrough II)
e. Evaluasi
26
3 Produk
Pembelajaran
Karya Tulis Prestasi
Perseorangan
(KTP2): individu
Kertas Kerja
Angkatan (KKA):
kelompok
Laporan Observasi
Lapangan:
kelompok
Karya Tulis
Prestasi
Perseorangan
(KTP2): individu
Kertas Kerja Tema
(KKT): kelompok
Laporan Studi
Lapangan:
kelompok
Karya Tulis
Prestasi
Perseorangan
(KTP2): individu
Kertas Kerja
Angkatan (KKA):
kelompok
Laporan Observasi
Lapangan:
kelompok
Karya Tulis
Prestasi
Perseorangan
(KTP2): individu
Kertas Kerja
Angkatan (KKA):
kelompok
Laporan Observasi
Lapangan:
kelompok
Proyek Perubahan:
Individu
Policy Brief:
Kelompok
Laporan
Benchmarking:
kelompok
Proyek Perubahan:
Individu
Laporan
Benchmarking:
kelompok
Proyek Perubahan:
Individu
Laporan
Benchmarking:
kelompok
Proyek Perubahan:
Individu
Laporan
Benchmarking:
kelompok
4 Kompetensi
Kepemimpinan
Kepemimpinan
Visioner
Kepemimpinan
Strategis
Kepemimpinan
Taktikal
Kepemimpinan
Operasional
Pemimpin
Perubahan Visioner
Pemimpin
Perubahan
Strategis
Pemimpin
Perubahan Taktikal
Pemimpin
Perubahan
Operasional
Sumber: diolah dari berbagai sumber
27
Hal yang sangat mendasar dari pelaksanaan Diklat PIM Pola Baru adalah
tujuan yang ingin dicapai yaitu terbentuknya Pemimpin Perubahan. Pemimpin
Perubahan diindikasikan dengan pemimpin yang mampu mempengaruhi
stakeholders, membangun tim efektif, menginisiasi dan melaksanakan perubahan
dengan ketaatan kepada etika birokrasi. Dalam Diklat PIM Pola Baru ini, salah satu
evidence dalam implementasi adanya Pemimpin Perubahan adalah dengan
membuat/mendesain Proyek Perubahan di instansi asal peserta.
Tantangan bagi peserta Diklat PIM saat berada dalam masa Diklat PIM adalah
harus mampu merancang Proyek Perubahan pada tahap taking ownership dan
mengimplementasikan Proyek Perubahan jangka pendek pada tahap Laboratorium
Kepemimpinan. Dengan bimbingan dan persetujuan mentor serta arahan dari
coach, Proyek Perubahan diarahkan agar mempunyai 3 (tiga) tahapan atau
milestones yaitu jangka pendek (dua bulan selama Laboratorium Kepemimpinan),
jangka menengah (3 bulan sampai dengan 1 tahun) dan jangka panjang (lebih dari
1 tahun).
Nilai tambah utama dari Proyek Perubahan ini adalah orisinalitas Proyek
Perubahan, kebaruan/inovasi apa yang dilakukan, kemampuan memobilisir
stakeholders, serta pernyataan dukungan yang dinyatakan secara jelas. Semua
unsur tersebut harus dilampirkan dalam dokumen Laporan Proyek Perubahan pada
saat seminar laboratorium kepemimpinan.
Kedeputian Inovasi Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara
melalui Pusat Inovasi Pelayanan Publik mempunyai inisiasi untuk melakukan tracer
study bagi alumni peringkat 5 (lima) terbaik Diklat PIM Tk. I dan II Pola Baru tahun
2013-2014 dari penyelenggara Diklat seluruh Indonesia untuk dimasukkan ke
dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara. Langkah ini diambil sebagai upaya
untuk mempublikasikan inovasi yang sudah dibuat dan diimplementasikan oleh
para alumni serta sebagai akuntabilitas penggunaan anggaran. Pembuatan
direktori dilakukan melalui proses validasi/mencari jejak sejauh mana Proyek
Perubahan ini terlaksana atau tidak di milestone jangka menengah dan panjang
serta hambatan yang dialami.
28
D. INSTRUMEN DESAIN DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA 2015
alam rangka mendorong tumbuh dan berkembangnya inovasi di
bidang administrasi negara, pada tahun 2014 Lembaga Administrasi
Negara memandang perlu untuk menyusun Direktori Inovasi
Administrasi Negara. Pada awal penyusunannya, direktori ini memuat beragam
inovasi yang dilakukan oleh Kementerian, LPNK, LNS, Pemda, Lembaga-Lembaga
Negara, atau BUMN/ BUMD.
Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara 2014 memiliki beberapa kriteria
dalam menentukan sah atau tidaknya kegiatan dan program untuk digolongkan
sebagai sebuah inovasi. Setelah melewati kriteria tersebut barulah data inovasi
yang telah didapatkan melalui data sekunder maupun primer disusun kedalam
instrumen Direktori Inovasi Administrasi Negara. Selain itu Direktori Inovasi
Administrasi Negara disusun pula dalam bentuk database elektronik yang dikenal
sebagai e-Direktori Inovasi Administrasi Negara. e-Direktori Inovasi Administrasi
Negara telah banyak diakses oleh pengunjung dunia maya yang mencari inspirasi
inovasi apa yang bisa dilakukan oleh instansi pemerintah baik pusat maupun
daerah.
Penetapan kriteria ditujukan untuk memastikan apakah suatu inisiatif
memenuhi sebagian atau seluruh kriteria yang ditetapkan untuk tiap kategori. Dalam
direktori inovasi ini telah ditetapkan kriteria dari sebuah inovasi administrasi negara.
Kriteria tersebut dibagi menjadi subkriteria sehingga lebih mudah lagi dalam
penentuan inovasi administrasi negara. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan/Ide/Terobosan terdiri dari inisiatif baru, dan inisiatif modifikasi.
2. Manfaat terdiri dari hasil yang dicapai, perbaikan kondisi setelah inovasi dan
dapat dinilai keberhasilannya.
3. Keberlanjutan terdiri dari kejelasan bahwa inovasi masuk dalam keputusan
formal, masuk dalam perencanaan, dilakukan evaluasi berkala, adanya alokasi
sumber daya dan anggaran serta tidak bertentangan dengan regulasi.
4. Replikasi terdiri dari kepastian bahwa inovasi tersebut dapat dikembangkan lebih
lanjut dan juga dapat terlihat potensi untuk diimplementasikan di tempat lain.
Direktori Inovasi Administrasi Negara (Direktori IAN) berisi gambaran untuk
menjelaskan inovasi yang telah dilakukan. Desain instrumen direktori tentu saja
D
29
telah disusun dengan memikirkan bahwa inovasi tersebut dapat menjadi pelajaran
berharga bagi masyarakat (best practice).
1. Pelaksana Inovasi; Pengisian kolom pelaksana inovasi dilakukan dengan
memilih salah satu dari lima kelompok yaitu: Kementerian/Lembaga,
Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota), BUMN/BUMD, LSM/NGO,
atau masyarakat.
2. Nama Instansi; Pengisian kolom Nama Instansi dilakukan dengan mengisi
nama instansi induk dimana perubahan/inovasi itu dijalankan.
3. Unit Pelaksana; Pengisian kolom Unit Pelaksana dilakukan dengan mengisi
unit yang melaksanakan kegiatan perubahan/inovasi dimana perubahan/
inovasi itu dijalankan.
4. Nama Inovasi; Pengisian kolom Nama Inovasi dilakukan dengan mengisi
sesuai nama (kegiatan/program) inovasi.
5. Produk Inovasi; Pengisian kolom produk inovasi dilakukan dengan mengisi
hasil (kegiatan/program) inovasi.
6. Jenis Inovasi; Pengisian kolom jenis inovasi diisi dengan memilih salah satu
dari jenis inovasi yang terdiri dari Proses, Metode, Produk, Konseptual,
Teknologi, Struktur Organisasi, Hubungan, Sumber Daya Manusia.
7. Penggagas; Pengisian kolom penggagas diisi dengan nama instansi/
kelompok/orang yang menggagas munculnya inovasi.
8. Tahun Inisiasi; Pengisian kolom tahun inisiasi diisi dengan tahun inovasi
tersebut mulai digagas/diinisiasi.
9. Tahun Implementasi; Pengisian kolom tahun implementasi diisi dengan tahun
inovasi tersebut mulai dijalankan/diimplementasikan.
10. Deskripsi; Pengisian kolom deskripsi diisi dengan permasalahan yang
melatarbelakangi inovasi, tujuan inovasi, serta strategi inovasi.
11. Faktor Pendorong Inovasi; Pengisian kolom faktor pendorong inovasi diisi
dengan hal hal spesifik yang menjadi pendorong keberhasilan inovasi tersebut.
12. Faktor Penghambat Inovasi; Pengisian kolom faktor penghambat inovasi diisi
dengan hal-hal spesifik yang menjadi penghambat keberhasilan inovasi
tersebut.
30
13. Tahapan Proses Inovasi; Pengisian kolom tahapan proses inovasi diisi mulai
dari proses inisiasi (perancangan) sampai dengan implementasi (penerapan)
inovasi.
14. Prasyarat Replikasi; Pengisian kolom prasyarat replikasi diisi dengan
kemungkinan inovasi tersebut dapat direplikasi dan diimplementasikan di
tempat lain dengan memperhatikan karakteristik dan kondisi setempat.
15. Kontak Implementator; Pengisian kolom kontak implementator diisi dengan
nama orang atau unit/kelompok yang dapat memberikan informasi terkait
inovasi tersebut.
16. Teknik Validasi; Pengisian kolom teknik validasi ini, diisi dengan memilih salah
satu dari teknik validasi/teknik pengambilan data inovasi yang disediakan, yaitu:
a. Observasi merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui visitasi ke
pelaku inovasi/perubahan.
b. Publikasi/Presentasi merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui
publikasi yang diungkapkan dan/atau bahan paparan inovasi/perubahan
yang disajikan oleh pelaku inovasi/perubahan atau yang mewakili.
c. Data Sekunder merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui
dokumen inovasi yang dipublikasikan melalui buku, koran, artikel, maupun
yang bersumber dari media online seperti portal instansi pemerintah, website
berita.
17. Sumber; Pengisian kolom sumber ini, diisi dengan asal dokumen inovasi itu
diperoleh baik secara observasi, publikasi/presentasi, maupun dari data
sekunder.
E. INSTRUMEN DESAIN PENYARINGAN/VALIDASI DATA DIKLAT
KEPEMIMPINAN
endidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Pola Baru memiliki unsur
berupa orisinalitas Proyek Perubahan, kebaruan/inovasi apa yang
dilakukan, kemampuan memobilisir stakeholders, serta pernyataan
dukungan yang dinyatakan secara jelas. Semua unsur tersebut harus dilampirkan
dalam dokumen Proyek Perubahan pada saat seminar laboratorium kepemimpinan.
P
31
Diklat Kepemimpinan Pola Baru ini menghasilkan dokumen yang dapat
merepresentasikan perubahan yang dilakukan masing-masing peserta di
instansinya. Akan tetapi, jika hasil sementara yang diungkapkan dalam sebuah
dokumen perubahan itu tidak dilanjutkan oleh instansi yang bersangkutan, maka itu
merupakan sebuah kerugian besar bagi instansi dan capaian yang dihasilkan akan
menjadi sia-sia. Oleh karena itu dengan merangkum kembali dokumen Proyek
Perubahan kedalam Direktori Inovasi Administrasi Negara, maka akan terlihat
kelanjutan dari hasil Proyek Perubahan para Pemimpin Perubahan dan tidak hanya
sekedar prasyarat kelulusan.
Sejak tahun 2013 – 2014 telah banyak bermunculan Pemimpin Perubahan
yang berasal dari program Diklat Kepemimpinan Pola Baru. Tentu saja masing-
masing Pemimpin Perubahan pada tiap angkatan Diklat memiliki satu Proyek
Perubahan yang merupakan cikal bakal inovasi. Dalam penyaringan awal
ditentukan bahwa Proyek Perubahan yang dikonversikan ke dalam Direktori Inovasi
Administrasi Negara ditetapkan bahwa Proyek Perubahan yang digagas oleh
peserta Diklat PIM tingkat I dan II yang diselenggarakan tahun 2014 serta Diklat
PIM tingkat I tahun 2013. Selain itu ditetapkan pula hanya berasal dari peringkat 5
(lima) terbaik pada setiap angkatannya. Penyaringan ini menghasilkan 30 (tiga
puluh) Proyek Perubahan yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi
Negara Jakarta tahun 2014 dan juga beberapa Proyek Perubahan yang berasal dari
badan diklat lain. Tentu saja dengan ketentuan tambahan bahwa dokumen Proyek
Perubahan dapat diperoleh untuk selanjutnya divalidasi. Dalam penyaringan data
Proyek Perubahan ditentukan desain pengelompokkan dan syarat sebagai berikut:
1. Proyek Perubahan tersebut berasal dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I
dan II;
2. Proyek Perubahan yang melalui proses validasi adalah yang mendapatkan
peringkat pertama sampai kelima terbaik pada masing-masing angkatan;
3. Proyek Perubahan memenuhi pengelompokan instansi asal yakni terdiri dari
Kementerian, LPNK dan Pemerintah Daerah;
4. Dokumen Proyek Perubahan akan terus dikumpulkan sampai batas waktu dua
minggu sebelum agenda validasi dimulai;
32
5. Dokumen Proyek Perubahan dapat divalidasi kepada Pemimpin Perubahan yang
mengusulkan proyek tersebut dan pelaksanaannya juga masih berlanjut;
6. Tahapan yang diperhitungkan adalah sekurang-kurangnya tahap awal dari
tahapan jangka menengah Proyek Perubahan.
Dokumen Proyek Perubahan yang telah diperoleh dimasukkan kedalam
desain instrumen matriks validasi Proyek Perubahan. Desain instrumen ini
dikonversikan kembali ke dalam instrumen Direktori Inovasi Administrasi Negara
yang pada akhirnya akan menghasilkan desain Direktori Inovasi Administrasi
Negara tahun 2015 seri Proyek Perubahan. Komponen yang menjadi instrumen
matriks validasi Proyek Perubahan adalah sebagai berikut.
1. Nama dari Pemimpin Perubahan yang selanjutnya akan menjadi sumber utama
dalam memvalidasi Proyek Perubahan;
2. Asal instansi untuk mempermudah akses validasi dan kontak lanjutan;
3. Judul Proyek Perubahan yang disusun oleh para Pemimpin Perubahan;
4. Deskripsi singkat dari Proyek Perubahan untuk mengetahui penjelasan dari
proyek perubahan yang telah dibuat;
5. Milestone atau tahapan Proyek Perubahan menurut jangka waktu yaitu jangka
pendek, jangka menengah, dan jangka panjang;
6. Prasyarat yang diprediksi untuk keberhasilan Proyek Perubahan yang nantinya
dapat menjadi sebuah inovasi dari instansi Pemimpin Perubahan;
7. Output/hasil yang dicapai dari Proyek Perubahan.
Ringkasan Proyek Perubahan harus memenuhi aspek penilaian inovasi dari
para Pemimpin Perubahan. Aspek tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan
Roger (1995) yakni personality (kepribadian), relative advantage (keuntungan
relatif), kompatibilitas (keserasian), kompleksitas (kerumitan), trilabilitas (dapat diuji
coba), observability (dapat diobservasi). Beberapa Pemimpin Perubahan ini pun
memenuhi syarat sebagai pemimpin yang melakukan penciptaan, pengarahan dan
akselerasi perubahan-perubahan yang signifikan bagi perbaikan kinerja instansi
mereka sehingga pada akhirnya layak disebut sang inovator. Perubahan yang
dilakukan dalam Proyek Perubahan tersebut akan dilihat juga alasan perubahan,
tahapan perubahan, perencanaan perubahan dan keterlibatan lingkungan. Hal ini
33
sesuai dengan alasan seorang pemimpin melakukan perubahan seperti yang
dikemukakan oleh Kurt Lewin (1951) seperti yang dikutip Irmawati (2012).
Berdasarkan pertimbangan aspek yang dikemukakan penilaian inovasi dan
syarat seseorang disebut inovator, maka dalam mendeskripsikan perlu
mempertimbangkan beberapa hal lain agar dapat melengkapi sebagai data awal.
Alasan Pemimpin Perubahan untuk melakukan perubahan terhadap instansinya
juga harus menjadi pertimbangan dalam mendeskripsikan data Proyek Perubahan.
Selain itu komponen deskripsi yang ada dalam Direktori Inovasi Administrasi
Negara menjadi pertimbangan utama dalam menyusun deskripsi awal data proyek
perubahan. Perbandingan beberapa pertimbangan tersebut dapat terlihat pada
gambar berikut.
Gambar 1. Perbandingan komponen teori dalam penyusunan deskripsi awal
Setelah dilakukan perbandingan maka disusunlah instrumen deskripsi awal
Direktori Inovasi Proyek Perubahan Diklat PIM menjadi 5 (lima) komponen utama
yang dapat terlihat pada gambar dibawah. Komponen–komponen ini dapat
menjelaskan secara singkat isi dari data Proyek Perubahan yang selanjutnya
dilakukan validasi kepada peserta Diklat PIM.
Aspek Penilaian
Inovasi (Roger)
Personality (Kepribadian),
Relative Advantage (keuntungan relatif),
Kompatibilitas (keserasian),
Kompleksitas (kerumitan),
Trilabilitas (dapat diuji coba),
Observability (dapat diobservasi).
Alasan Berubah (Lewin)
Alasan kebaikan
Perubahan akan dilakukan bertahap
Perubahan terencana
Pelibatan lingkungan
Tugas Pemimpin
Melakukan penciptaan
Melakukan pengarahan
Melakukan akselerasi
Komponen Deskripsi DIAN
2014
Permasalahan yang melatarbelakangi
Adanya tujuan inovasi
Adanya strategi inovasi
34
Gambar 2. Komponen Deskripsi awal Direktori inovasi Proyek Perubahan
F. INSTRUMEN DESAIN DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA
danya perubahan pola diklat yang sebelumnya hanya bersifat on
campus (dalam kampus) menjadi pola diklat yang bersifat on campus
dan off campus (kembali ke instansi untuk merancang dan
mengimplementasikan Proyek Perubahan) yang dituangkan ke dalam Peraturan
Kepala Lembaga Administrasi Negara telah memunculkan ide dan gagasan kreatif
yang berasal dari para pimpinan instansi pemerintah. Pemimpin Perubahan
merupakan sosok penentu yang mempengaruhi keberhasilan perubahan pelayanan
publik sekaligus dapat menjadi sosok inspiratif jika mampu melaksanakan apa yang
telah digagas sampai pada tahap tertinggi (paradigma/jangka panjang). Dilihat dari
sisi inovasi pada tingkatan perubahan paradigma itulah perubahan yang dilakukan
dapat terasa kemanfaatannya dan layak disebut inovasi. Tetapi jika tidak terjadi
keberlanjutan dari gagasan perubahan atau hanya baru pada tahap manajemen
strategis (jangka pendek), maka itu merupakan kerugian besar bagi instansi
pemimpin perubahan itu sendiri.
Direktori inovasi kali ini melalui analisa dengan merujuk pada kriteria yang
ditetapkan. Pada akhirnya, dokumentasi inovasi terhadap capaian milestones
(tahapan) yang diharapkan dalam Proyek Perubahan para Pemimpin Perubahan
Profil Pemimpin Proyek Perubahan (dalam profil)
Permasalahan yang melatarbelakangi digagasnya proyek perubahan/alasanmelakukan gagasan perubahan
Tujuan dan manfaat gagasan perubahan
Strategi dan rencana gagasan perubahan (teknik akselerasi, kerumitandalam implementasi , keserasian terhadap aturan, milestone singkat)
Pihak yang terlibat dalam mengimplementasikan gagasan perubahan
A
35
(inovator) akan mudah ditentukan, apakah kegiatan dan program itu sah disebut
sebagai inovasi atau bukan.
Penetapan kriteria inovasi berdasarkan dokumen Proyek Perubahan Diklat
PIM ditujukan untuk memastikan apakah suatu Proyek Perubahan memenuhi
sebagian atau seluruh kriteria yang ditetapkan untuk tiap kategori. Dalam direktori
inovasi Proyek Perubahan ini telah ditetapkan kriteria dari sebuah Inovasi
Administrasi Negara. Kriteria tersebut dibagi menjadi subkriteria sehingga lebih
mudah lagi dalam penentuan inovasi administrasi negara. Penyusunan kriteria ini
merupakan pengembangan dari kriteria inovator yang dapat dilihat dari personality
(kepribadian), relative advantage (keuntungan relatif), kompatibilitas (keserasian),
kompleksitas (kerumitan), trilabilitas (dapat diuji coba), observability (dapat
diobservasi). Kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebaruan, dimaksudkan untuk melihat Proyek Perubahan tersebut terkait
dengan seluruh atau sebagian dari program atau kegiatan yang akan
dilaksanakan;
2. Manfaat, dimaksudkan untuk melihat Proyek Perubahan mempunyai kegunaan
yang berdampak positif dalam suatu perubahan yang sedang diusung;
3. Keberlanjutan, dimaksudkan untuk melihat Proyek Perubahan dapat berjalan
terus menerus dan mendapat dukungan dari semua pihak walaupun terjadi
mutasi atau pergantian pimpinan;
4. Replikasi, dimaksudkan untuk melihat Proyek perubahan dapat dilakukan di
tempat lain dengan penyesuaian yang diperlukan.
Keterangan lebih rinci terhadap kriteria penentuan Proyek Perubahan yang
akan divalidasi dan disusun kedalam Direktori Inovasi Administrasi Negara dapat
terlihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 2. Kriteria untuk Memvalidasi Inovasi
NO KRITERIA DESKRIPSI
1 Kebaruan Proyek Perubahan yang ada terkait dengan seluruh atau sebagian dari program atau kegiatan yang akan dilaksanakan
Baru Kegiatan Proyek Perubahan tersebut belum pernah ada sebelumnya
36
Modifikasi Implementatif Kegiatan yang ada di dalam Proyek Perubahan sudah pernah ada tetapi telah dilakukan sesuai dengan kebutuhan atau keinginan
Bukan Rutinitas Kegiatan yang dilakukan dalam Proyek Perubahan bukan suatu rutinitas/dilakukan secara spontan
2 Manfaat Proyek Perubahan mempunyai kegunaan yang berdampak positif dalam suatu perubahan yang sedang diusung
Output Proyek Perubahan mempunyai hasil yang dapat terlihat dalam tercapainya suatu perubahan
Perbaikan kondisi Proyek Perubahan telah memberikan perubahan kondisi menjadi lebih baik setelah dilakukan
Terukur Perubahan yang ada dapat ditentukan tingkat atau nilai keberhasilan berdasarkan suatu standar tertentu
3 Keberlanjutan Proyek Perubahan dapat berjalan terus-menerus dan mendapat dukungan dari semua pihak walaupun terjadi mutasi atau pergantian pimpinan
Masuk dalam keputusan formal
Proyek Perubahan telah dilakukan pengesahan dalam surat keputusan, peraturan, dan/atau perundang-undangan
Masuk dalam perencanaan
Proyek Perubahan yang dilakukan telah menjadi sebuah rencana suatu program maupun kegiatan
Evaluasi berkala Proyek Perubahan dilakukan penilaian berulang-ulang pada waktu tertentu dan secara beraturan
Alokasi sumber daya dan anggaran
Proyek Perubahan telah ditentukan sumber daya untuk mewujudkannya serta dapat ditentukan biaya untuk mewujudkannya
Tidak Bertentangan dengan Regulasi
Proyek Perubahan yang dilakukan tidak menyalahi atau melanggar peraturan yang berlaku
4 Replikasi Proyek Perubahan dapat dilakukan di tempat lain dengan penyesuaian yang diperlukan
Dapat diobservasi Proyek Perubahan dapat dilihat oleh orang lain
Dapat dikembangkan lebih lanjut
Kegiatan dalam Proyek Perubahan dapat diimplementasikan lebih lanjut dengan modifikasi sesuai kebutuhan
Aplikatif Proyek Perubahan dapat mudah untuk diimplementasikan pada instansi yang ditunjuk
Potensi untuk diimple-mentasikan di tempat lain
Implementasi suatu Proyek Perubahan dapat dilakukan oleh stakeholders lain di tempat lain
Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara berdasarkan dokumen Proyek
Perubahan Diklat PIM disusun untuk mendeskripsikan inovasi yang dilakukan oleh
para alumni Diklat PIM Tingkat I dan Tingkat II Pola Baru peringkat 5 (lima) terbaik
tahun 2014. Keterangan awal yang berisi data awal pelaku inovasi dan data inovasi
yang berisi gambaran singkat inovasi. Data inovasi didesain sedemikian rupa untuk
memudahkan pengguna inovasi lain memahami inovasi yang telah dilakukan
37
selama ini. Direktori Inovasi Administrasi Negara berisi gambaran untuk
menjelaskan inovasi yang telah dilakukan para Pemimpin Perubahan dalam
tahapan jangka menengah. Berikut ini adalah desain Direktori Inovasi Administrasi
Negara Proyek Perubahan yang akan digunakan untuk menjelaskan dan
menggambarkan inovasi tersebut.
Tabel 3. Desain Direktori Inovasi Administrasi Negara Proyek Perubahan
Judul Proyek Perubahan:
Produk Proyek Perubahan (produk akhir yang akan dicapai):
Nama Instansi:
Profil Pemimpin Perubahan (Peserta Diklat):
Jenis Inovasi:
Proses Produk Metode Konseptual Struktur Org Hubungan SDM Teknologi
Waktu Inisiasi:
Waktu Implementasi (minimal Milestone Jangka Menengah):
Ringkasan Proyek Perubahan (Deskripsi):
Capaian dan Tahapan Proyek Perubahan:
Faktor Kunci Keberhasilan (Faktor Pendorong) Proyek Perubahan:
Faktor Penghambat Proyek Perubahan:
Manfaat Proyek Perubahan:
Prasyarat Replikasi:
Contact Implementator:
Teknik Validasi:
Observasi Publikasi Data Sekunder Telepon/Email/Fax
Sumber:
Setiap data yang disajikan berisi keterangan tentang inovasi yang dijelaskan.
Untuk lebih jelas, berikut ini adalah keterangan dari data yang akan menjelaskan isi
inovasi yang ada di dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara Proyek Perubahan
38
bagi Peserta Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II Tahun 2014 peringkat 5 (lima)
terbaik beserta pengisiannya:
1. Judul Proyek Perubahan
Pengisian kolom Judul Proyek Perubahan dilakukan dengan mengisi judul
proyek perubahan/inovasi.
Misalnya “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” yang dilakukan oleh
Dr. Suprajaka, MT.
2. Produk Proyek Perubahan
Pengisian kolom Produk Proyek Perubahan dilakukan dengan mengisi produk
yang dihasilkan dari proyek perubahan.
Misalnya “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Melalui
Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik
di Badan Informasi Geospasial” yang dilakukan oleh Dr. Suprajaka, MT, produk
nyata yang dihasilkan adalah One Map and One Data Informasi Geospasial
Tematik.
3. Nama Instansi
Pengisian kolom Nama Instansi dilakukan dengan mengisi Nama Instansi yang
melaksanakan proyek perubahan/inovasi dimana perubahan/inovasi
dijalankan.
Misalnya pada proyek perubahan “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi
Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” nama instansi
induknya adalah Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik – Badan Informasi
Geospasial.
4. Profil Pemimpin Perubahan
Pengisian kolom Profil Pemimpin Perubahan dilakukan dengan mengisi nama
peserta Diklat PIM sebagai pemimpin perubahan yang melakukan inovasi atau
pejabat lain yang menggantikan (jika terjadi mutasi atau rotasi). Selain itu
sebagai keterangan tambahan diisi juga jabatan, alamat instansi serta nomor
telepon dan email dari Pemimpin Perubahan tersebut.
39
Misalnya pada Proyek Perubahan “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi
Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” nama pemimpin
perubahannya adalah Dr. Suprajaka, MT.
Kepala Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial
(Jabatan Sekarang); Kepala Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik
(Jabatan Saat Diklat); Badan Informasi Geospasial; Jl. Raya Jakarta Bogor
Km 46 Cibinong; Telp: 021-87569481; Email: [email protected].
5. Jenis Inovasi
Pengisian kolom jenis inovasi diisi dengan memilih salah satu dari jenis inovasi
yang disediakan, yaitu:
a. Proses: SOP, tata laksana, sistem, dan prosedur
b. Metode: strategi, cara, teknik baru
c. Produk: barang dan jasa
d. Konseptual: paradigma, ide, gagasan, pemikiran, terobosan baru
e. Teknologi: e-government, tools (pembaruan peralatan/ perangkat)
f. Struktur Organisasi: struktur baru, penggabungan, penghapusan,
pengembangan)
g. Hubungan: partnership, partisipasi masyarakat, relationship, networking
h. Sumber Daya Manusia meliputi tata nilai (culture, mindset, etika),
kepemimpinan, kompetensi, profesionalisme, pemberdayaan.
Untuk jenis inovasi akan disajikan dengan simbol sesuai dengan yang telah
dibuat pada Direktori Inovasi Administrasi Negara tahun 2014.
Misalnya produk inovasi proyek “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam
Pesisir dan Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi
Informasi Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” karena
merupakan perubahan proses pengerjaan dan perubahan pada tata
laksananya, maka digolongkan pada jenis inovasi proses.
6. Waktu Inisiasi
Pengisian kolom waktu inisiasi diisi dengan waktu pelaksanaan Proyek
Perubahan tersebut mulai digagas/diinisiasi.
40
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” mulai diinisiasi pada
Oktober 2014.
7. Waktu Implementasi (minimal Milestone jangka menengah)
Pengisian kolom Waktu Implementasi (minimal milestone jangka menengah
telah berjalan) diisi dengan waktu implementasi proyek perubahan pada jangka
menengah (3 bulan sampai dengan ± 1 tahun).
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” mulai diimplementasikan
pada November 2014 sesuai dengan data yang ada di dalam Proyek
Perubahan.
8. Ringkasan Proyek Perubahan/Deskripsi
Pengisian kolom Ringkasan Proyek Perubahan diisi dengan permasalahan
yang melatarbelakangi digagasnya proyek perubahan/alasan melakukan
gagasan perubahan; Tujuan, manfaat gagasan perubahan; Strategi gagasan
perubahan yang menyangkut terkait teknis akselerasi, kerumitan dalam
implementasi, keserasian terhadap aturan, milestone singkat; Pihak yang
terlibat dalam mengimplementasikan gagasan perubahan, serta peranannya
bagi keberhasilan.
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut:
Program Pembangunan Satu Peta Sumber Daya Alam Pesisir dan Laut yang diusulkan ini dilandasi oleh adanya sebuah Kebijakan Satu Peta “One Map Policy” yang telah dicanangkan oleh Presiden RI ketika Sidang Kabinet RI tanggal 23 Desember 2010, namun sampai saat itu masih belum berjalan sebagaimana yang harapan oleh semua pihak. Kebijakan satu peta ini tentunya segaris dengan telah berlakunya UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial sejak tanggal 11 April 2011, yang memberikan konsekuensi bahwa Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) berubah menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG), sehingga tugas dan fungsi BIG di bidang survei dan pemetaan semakin luas. Program ini sangat sulit di realisasi saat itu karena permasalahan utama terkait dengan penyelenggaraan informasi geospasial tematik seperti masih banyaknya UU, PP, Kepmen, Perka atau peraturan perundangan lainnya yang saling tumpang tindih. Sampai saat ini minimal terdapat 171 undang-undang atau peraturan harus menyediakan 94 empat jenis data geospasial. Banyaknya
41
peraturan terkait dengan informasi geospasoal ini mengindikasi bahwa betapa penting informasi untuk pembangunan nasional, namun dari tataran teknis, ternyata sering menimbulkan ketidak sinkronan, tumpang tindih kegiatan, dan masih banyak data serta informasi yang tidak dapat diintegrasikan dalam rangka berbagi pakai informasi antar kementrian dan lembaga penyelenggara informasi geospasial. Upaya dan langkah strategi untuk mewujudkan tugas dan kewenangan yang diamanahkan oleh Badan Informasi Geospasial, sebenarnya telah dilaksanakan yaitu membentuk kelompok kerja (Pojka) Informasi Geospasial Tematik (IGT) bagi para “stakeholders” penyelenggara dan pengguna Informasi Geospasial Tematik antar kementrian dan lembaga (12 Pokja IGT). Berdasarkan Rapat Koordinasi Nasional bidang IG tahun 2013, pembentukan Pokja IGT bertujuan untuk merumuskan kebijakan, strategi dan program dalam penyelenggaraan IGT antar K/ L. Kelompok kerja ini diharapkan dapat membangun sinergi dan kolaborasi antar kementerian dan lembaga dalam bidang pengumpulan, pengelolaan, penyimpanan dan penyebarluasan informasi geospasial tematik, yang sampai saat ini belum berjalan secara efektif. Tujuan Pembangunan Satu Peta adalah Memperbaiki proses integrasi data dan informasi geospasial tematik wilayah pesisir dan laut di Indonesia dapat diselenggarakan oleh para pemangku kepentingan melalui penyediaan Tatalaksana Integrasi Informasi Geospasial Tematik. Untuk mewujukannya maka tatalaksana integrasi harus memiliki landasan hukum yang jelas. Penyelenggaraan IGT sumberdaya pesisir dan laut mulai sejak pengumpulan, pengolahan, pengelolaan dan penyebarlauasan informasi geospasial dalam hal ini untuk tema sumberdaya: 1) terumbu karang, 2) padang lamun dan 3) mangrove yang dapat dipertangungjawabkan dan diintegrasikan dalam kerangka kerja “one map policy”. Dengan menyelesaikan satu dokumen tatalaksana integrasi tersebut, diharapkan dapat menjadi faktor pengungkit dalam menyelesaikan proses integrasi data dan informasi geospasial dari 11 kelompok kerja (Pokja) IGT yang lainnya sesuai dengan rekemendasi Rapat Koordinasi Nasional IG tahun 2013 dan tahun 2014, yaitu: 1) Pemetaan Sumberdaya Air, 2) Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Gambut, 3) Pemetaan Monitoring Perijinan Sektoral, Penutup Lahan dan Status Lahan, 4) Pemetaan Ekoregion, 5) Neraca Sumberdaya Alam, 6) Transportasi, 7) Tata Ruang, 8) Transportasi, 9) Sosail Budaya dan Atlas, 10) Kebencanaan dan Perubahan Iklim, dan 11) Inteligen Geospasial. Untuk melancarkan proses perubahan tersebut, dilakukan strategi yang tepat seperti 1) Mendorong penyelenggaraan Informasi Geospasial (IG) Tematik dengan menggunakan standar metoda dan prosedur pengumpulan SDA Pesisir dan Laut (mangrove, terumbu karang dan padang lamun); 2) Mendorong penyediaan IG yang mengacu pada satu referensi, satu standar, satu basis data, dan satu geoportal (one map policy) agar dapat dipertanggungjawabkan dan diintegrasikan; 3) Memastikan ketersediaan IG terintegrasi yang merepresentasikan inventarisasi, kondisi/ cadangan, alokasi, dan informasi lainnya terkait SDA oleh K/ L/ Pemda yang berwenang (walidata); 4) Mensosialisasikan tata laksana ini agar dapat direplikasikan ke kelompok kerja yang lain yang dalam IGT; 5) Agar mempunyai kekuatan hukum yang lebih mengikat Perka Tatalaksana Integrasi Tematik ini didorong untuk diangkat menjadi perarturan yang lebih tinggi.Stakeholder yang mendukung Program ini terdiri dari internal BIG yaitu Pusat Pemetaan dan Itegrasi Tematik; Bidang Pemetaan dan Intengrasi Tematik Laut; Sekretariat Kelompok Kerja Pemetaan Sumberdaya Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil; Pusat Pemetaan Rupabumi dan Topoinimi; Pusat Pemetaan dan Lingkungan Pantai; Pusat Standardisasi dan Kelembagaan; Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas; Biro Perencanaan dan Hukum. Sedangkan eksternal terdiri dari Bappenas; Direktorat Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Kemetrian Kelautan dan Perikanan (KKP); Direktorat Tata Ruang Pesisir dan Laut, Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP); Badan Litbang Kementrian Kelautan dan Perikanan; Direktorat Inventarisasi dan Pemetaan Sumberdaya Hutan, Kementrian Kehutanan; Asdep III Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Lingkungan, Kementrian Lingkungan Hidup; Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia; Wetland International, CI, WWF, DNPI, REDD+.
42
9. Faktor Kunci Keberhasilan Proyek Perubahan
Pengisian kolom Faktor Kunci Keberhasilan Proyek Perubahan diisi dengan hal-
hal spesifik yang mendorong keberhasilan Proyek Perubahan dimaksud.
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut:
10. Faktor Penghambat Proyek Perubahan
Pengisian kolom Faktor Penghambat Proyek Perubahan diisi dengan hal-hal
spesifik yang menjadi penghambat keberhasilan proyek perubahan dimaksud.
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut:
Faktor penghambat dari pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi adalah a. Penyamaan persepsi atas konsep Integrasi tematik sumberdaya alam pesisir
dan laut antar K/L b. Adanya ego sektoral untuk mempertahankan walidata (mangrove dan
terumbu karang) yang telah disusun oleh masing-masing sektor baik dari sisi nomenklatur maupun metode pemetaannya
c. Tingkat kehadiran stakeholder pada FGD atau rapat teknis yang akan diselenggarakan untuk mendukung proyek perubahan, hal ini mengingat alokasi waktu untuk melakukan kegiatan ini, yang sering berbenturan dengan kegiatan lain di instansi masing-masing
a. Dukungan yang kuat dari pimpinan dan Tim Efektif; b. Adanya keinginan pemenuhan publik terkait dengan 17 jenis data maupun
informasi geospasial yang diperlukan oleh Kementrian dan Lembaga untuk keperluan perencanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan dan terintegrasi,
c. Keinginan untuk pemenuhan kebutuhan layanan publik, dimana terdapat 5 (lima) jenis layanan publik yang harus dipenuhi sesuai dengan standar dan mudah diitegrasikan,
d. Keinginan untuk pemenuhan kebutuhan regulasi data dan informasi geospasial, dimana terdapat 2 (dua) regulasi yang harus dipenuhi, meliputi Peraturan perundang-undangan terkait dengan pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penyebarluasan (distribusi), dan penggunaan IG serta Spesifikasi teknis berupa norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).
e. Semua keinginan ini tentu saja berlandaskan atas tugas pokok dari Badan Informasi Geospasial sebagai integrator dari data dan peta geospasial.
43
d. Walidata/ Terkait Penanggungjawab Tema (Mangrove, Terumbu Karang dan Padang Lamun) – Telah terjadi perubahan nomenklatur nama Kementrian/ Lembaga
Alternatif Solusi yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah a. Harmonisasi antar pemangku kepentingan untuk mengatasi faktor
penghambat point (1) dan point (2) agar terjadi kesepahaman terkait setiap Kementrian dan Lembaga bersedia menggunakan Standar metoda dan prosedur pengumpulan SDA Pesisir dan Laut (mangrove, terumbu karang dan padang lamun) sesuai dengan tatalaksana yang telah disepakati bersama.
b. Sosialisasi tentang pentingnya program satu data dan satu peta untuk perencanaan dan pembangunan nasional yang dapat dipertanggung-jawabkan.
c. Menyusun Peraturan yang lebih tinggi sebagai payung hukum agar implementasi tatalaksana ini dapat berjalan dengan baik, salah satunya berusaha diangkat yang lebih tinggi berita perpres.
11. Capaian dan Tahapan Proyek Perubahan
Pengisian kolom tahapan proses inovasi diisi mulai dari tahap jangka pendek,
menengah sampai dengan jangka panjang. Untuk Direktori Proyek Perubahan
ini akan divalidasi dalam tahapan jangka menengah. Selain itu juga disajikan
jaminan keberlanjutan dari proyek perubahan, tentu saja dengan
memperhatikan capaian masing masing jangka waktu yang telah ditetapkan.
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut:
Capaian pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi adalah tersusunnya Dokumen Draf Final tentang Tatakalaksana Integrasi Data SDA Pesisir dan Laut yang menjelaskan proses pelaksanaan integrasi data antar lembaga. Selain itu dihasilkan pula One map dan one data hasil integrasi informasi geospasial tematik SDA pesisir dan laut antar K/L. Peta tersebut merupakan dokumen/ berita acara kesepakatan antar K/L atas hasil Integrasi Informasi Geospasial SDA pesisir dan laut, yang menjelaskan tentang informasi mangrove, terumbu karang dan pandang lamun nasional. Tidak hanya sampai disana, program ini juga menghasilkan One map dan one data hasil integrasi informasi geospasial tematik SDA pesisir dan laut dalam versi online yang beralamat di http:// ppit.big.go.id. Berdasarkan kesepakatan antar kementrian dan lembaga didorong untuk mempercepat terbetuknya tatalaksana yang lebih luas serta payung hukum yang lebih kuat yaitu: a. Peraturan Kepala Badan Informasi Geospasial tentang Tatalaksana Integrasi
Tematik (tinggal pengesahan)
44
b. Draf Rancangan Peraturan Presiden tentang One Map Policy tentang Percepatan Pelaksanaan One Map Policy Informasi Geospasial Tematik Pembangunan Seluruh Indonesia Pada Tingkat Ketelitian Peta Minimal Skala 1: 50.000 – per 10 Juni 2015 (tinggal pengesahan)
c. Lampiran Ran Perpers OMP tentang Walidata (tinggal pengesahan) Semua capaian ini dapat diperoleh meskipun penggagas sudah berpindah unit kerja sebanyak dua kali. Akan tetapi proyek perubahan masih terus berjalan dan sudah direplikasikan di kedua unit kerja di mana beliau dipindahkan yaitu di Pusat Tata Ruang dan atlas juga Pusat Standardisasi dan Kelembagaan Informasi Geospasial. Pelaksanaan pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi dilakukan dengan beberapa tahap sebagai berikut: a. Menjalin kesepakatan antar stakeholder dalam menyusun One map integrasi
termasuk SDA pesisir dari laut b. Membuat model ujicoba integrasi data SDA pesisir dan laut (mangrove,
terumbu karang, padang lamun) c. Mendokumentasikan tatalaksana integrasi tematik SDA pesisir dan laut d. Penyusun Peraturan Kepala Badan Informasi Geosparsial tentang tatalaksana
integrasi IGT Pesisir dan laut (RAPERKA, dan PERKA) e. Menjadikan program One map dan One data informasi geospasial tematik SDA
pesisir laut sebagai acuan nasional untuk perencanaan dan pembangunan nasional
f. Menyusun sistem informasi data dan peta goespasial tematik yang dapat diisi secara bersama dengan para stakeholder.
g. Menyusun Rancangan Peraturan Presiden tentang One Map Policy tentang Percepatan Pelaksanaan One Map Policy Informasi Geospasial Tematik Pembangunan Seluruh Indonesia Pada Tingkat Ketelitian Peta Minimal Skala 1: 50.000. Sebagai kelanjutan dari proses integrasi.
12. Manfaat Proyek Perubahan
Pengisian kolom Manfaat Proyek Perubahan diisi dengan manfaat dari
implementasi proyek perubahan dimaksud setelah berjalan serta data dukung
atas kemanfaatannya.
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut:
Kemanfaatan dari pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi ternyata melebihi dari apa yang diharapkan ketika gagasan ini diusulkan. Kemanfaatan implementasi program tersebut adalah
a. Munculnya semangat untuk bekerjasama antar lembaga pemilik data dan peta untuk mengintegrasikan data sehingga terjadi persamaan peta;
45
b. Munculnya keinginan untuk mengintegrasikan data dan peta tematik lain yang nanti dapat dipergunakan untuk kepentingan pemberian informasi pada masyarakat, penelitian, dan investasi.
c. Munculnya keinginan untuk memperkuat proses integrasi ini dengan semua peraturan presiden terkait peta tematik yang mewadahi seluruh peta tematik yang telah dikelompokkan
d. Sistem informasi peta tematik yang merupakan produk sampingan dari proses integrasi data dan peta tematik sangat bermanfaat bagi kepentingan masyarakat terutama untuk pendidikan mengenai mangrove.
e. Adanya kepastian hukum terkait tatalaksana penyusunan data dan informasi peta tematik yang pada akhirnya menghasilkan sebuah peta yang valid.
13. Prasyarat Replikasi
Pengisian kolom prasyarat replikasi diisi dengan kemungkinan apakah Proyek
Perubahan tersebut dapat direplikasi dan diimplementasi di tempat lain dengan
memperhatikan karakteristik dan kondisi setempat.
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial” adalah sebagai berikut:
Pembangunan satu peta melalui percepatan penyusunan tatalaksana integrasi informasi dapat direplikasi di wilayah lain dengan cara sebagai berikut
a. Adanya dukungan yang kuat dari pimpinan dan Tim Efektif; b. Komitmen yang kuat dari pimpinan dan tim pelaksana untuk menyusun
tatalaksana dan produk peta tematik; c. Dukungan anggaran yang memadahi terkait dengan penyelenggaraan di
walidata yang menggunakan Tatalaksana yang telah disepakati; d. Komitmen kuat dari masing-masing walidata di kementrian dan lembaga
yang telah diberi mandat; e. Proses integrasi dapat dilaksanakan pada 11 kelompok kerja (POKJA) yang
telah ada yaitu : 1) Pemetaan Sumberdaya Air dan DAS; 2) Pemetaan Sumberdaya Lahan Pertanian dan Gambut; 3) Pemetaan Neraca SUmberdaya Alam; 4) Pemetaan Perubahan Iklim; 5) Pemetaan EKoregion; 6) Pemetaan Monitoring Perizinan Sektoral, Penutup Lahan dan Status Lahan; 7) Pemetaan Pemetaan Transportasi; 8) Pemetaan Kebencanaan; 9) Pemetaan Tata Ruang; 10) Pemetaan Sosial Budaya dan Atlas; 11) Pemetaan Inteligen.
46
14. Kontak Implementator
Pengisian kolom Kontak Implementator diisi dengan nama orang atau unit/
kelompok yang dapat memberikan informasi atau mengimplementasikan
Proyek Perubahan.
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial”, pihak yang dapat
dihubungi adalah Pusat Pemetaan dan Integrasi Tematik-Badan Informasi
Geospasial; Jl. Raya Jakarta Bogor Km 46 Cibinong; Telp: 021-87569481.
15. Teknik Validasi
Pengisian kolom Teknik Validasi diisi dengan memilih salah satu dari teknik
validasi/teknik pengambilan data Proyek Perubahan yang disediakan, yaitu:
a. Observasi merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui visitasi ke
pelaku inovasi/perubahan.
b. Publikasi/Presentasi merupakan pengambilan data yang dilakukan
melalui publikasi yang diungkapkan dan/atau juga bahan paparan inovasi/
perubahan yang disajikan oleh pelaku inovasi/perubahan atau yang
mewakili.
c. Data Sekunder merupakan pengambilan data yang dilakukan melalui
dokumen Proyek Perubahan yang dipublikasikan melalui buku, koran,
artikel, maupun yang bersumber dari media online seperti portal instansi
pemerintah, website, berita.
d. Telepon/Email/Fax merupakan pengambilan data dengan bertanya
langsung kepada Pemimpin Perubahan atau atasan dan bawahan
Pemimpin Perubahan atas Proyek Perubahan yang dijalankan.
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial”, teknik validasi yang
dilakukan adalah dengan melakukan Observasi Langsung pelaksanaan di
Badan Informasi Geospasial dan dokumentasi Proyek Berubahan, artinya
teknik yang dipakai adalah observasi, publikasi/presentasi.
47
16. Sumber
Pengisian kolom Sumber ini diisi dengan asal dokumen proyek perubahan itu
diperoleh baik secara observasi, publikasi/presentasi, data sekunder, maupun
dari telepon/email/fax.
Misalnya pada inovasi “Pembangunan Satu Peta Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut Melalui Percepatan Penyusunan Tatalaksana Integrasi Informasi
Geospasial Tematik di Badan Informasi Geospasial”, sumber yang digunakan
untuk menyusun direktori proyek perubahan ini adalah Dokumen Proyek
Perubahan Diklatpim Dr. Suprajaka, MT & observasi.
Setelah semua kolom terisi, maka selesai sudah pengisian data Direktori
Inovasi Administrasi Negara Proyek Perubahan Peserta Diklat Kepemimpinan
Tingkat I dan II. Yang perlu diperhatikan adalah pengisian data yang sesuai dan
dapat dipahami oleh masyarakat. Setelah itu, data direktori ini akan dilakukan
penyaringan oleh tim mulai dari memperbaiki penyampaian isi data sampai
melakukan validasi terhadap kelayakan dari inovasi proyek perubahan tersebut.
48
BAB III
ANALISA PENGELOLAAN DATA
A. PENGUMPULAN DATA PROYEK PERUBAHAN
royek perubahan merupakan inovasi yang dicanangkan oleh
Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam rangka peningkatan
mutu pendidikan bagi para pemimpin Aparatur Sipil Negara (ASN).
Selain dilaksanakan untuk Diklat Kepemimpinan Tingkat I dan II, Proyek Perubahan
juga diimplementasikan pada Diklat Kepemimpinan Tingkat III dan IV. Bukan hanya
itu Diklat Prajabatan juga mengadopsi Proyek Perubahan yang ada pada Diklat
Kepemimpinan yang dikenal dengan proyek aktualisasi.
Pengumpulan data Proyek Perubahan dalam rangka mendokumentasikan-
nya ke dalam Direktori Inovasi Administrasi Negara dilakukan dengan memper-
timbangkan kualitas dari Proyek Perubahan. Dengan menambahkan data Diklat
Kepemimpinan Tingkat I yang diselenggarakan oleh Pusdiklat Kepemimpinan
Aparatur Nasional (Pusdiklat KAN) yang dilakukan pada tahun 2013. Diklat tersebut
merupakan uji coba modul Proyek Perubahan yang dilakukan LAN untuk
memperbaiki kualitas lulusan Diklat Kepemimpinan dan menghasilkan pemimpin
yang berkualitas dan berkinerja tinggi. Dengan menambahkan diklat yang dilakukan
pada tahun 2013 diharapkan dapat terlihat juga perbandingan kualitas produk
Proyek Perubahan yang dikemas dalam suatu inovasi administrasi negara.
Data Proyek Perubahan yang dikumpulkan tidak hanya yang berasal dari
Pusdiklat KAN – LAN saja. Penyelenggara Diklat Kepemimpinan yang lain juga
menjadi sumber data yang akan disajikan dala Direktori Inovasi Administrasi
Negara. Penyelenggara Diklat Kepemimpinan lain yang dimaksud berasal dari
kantor perwakilan LAN dan Badan Diklat Provinsi. Dari kantor perwakilan LAN yang
dijadikan sumber data Proyek Perubahan Diklat Kepemimpinan adalah data dari
PKP2A I Jatinangor dan PKP2A II Makassar. Sedangkan dari badan diklat lain yang
menjadi sumber data Diklat Kepemimpinan adalah Badan Diklat Kementerian
Dalam Negeri, Badan Diklat Provinsi Jawa Barat, Badan Diklat Provinsi Jawa
Tengah dan Badan Diklat Provinsi Jawa Timur.
P
49
Pengumpulan data dilakukan sesuai dengan fokus Proyek Perubahan yang
telah ditetapkan sebelumnya. Pengumpulan data tersebut tentu saja menghadapi
rintangan yang cukup signifikan. Data yang telah terkumpul tersebut, selanjutnya
dimasukkan ke dalam instrumen matriks yang telah disusun untuk mempermudah
proses identifikasi inovasi yang dilakukan. Selanjutnya dilakukan uji coba ke dalam
instrumen Direktori Inovasi Administrasi Negara khusus Proyek Perubahan. Berikut
ini adalah data identifikasi awal proyek perubahan dan data yang terkumpul sampai
pada jangka waktu yang telah ditentukan.
Tabel 4. Data Proyek Perubahan Berdasarkan Target dan Data Akhir
Pengumpulan
Nama Penyelenggara Tingkat I Tingkat II
Target Data Data akhir Target Data Data akhir
Pusdiklat KAN-LAN 15 12 25 25
PKP2A I Jatinangor 10 7
PKP2A II Makassar 10 8
Badiklat Jateng 10 10
Badiklat Jatim 15 10
Badiklat Jabar 5 5
Badiklat Kemendagri 5 5
Total 15 12 80 70
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa target data awal yang akan diperoleh
tidak sesuai dengan data akhir yang dicapai. Kekurangan data yang tidak mencapai
target ini disebabkan oleh beberapa kendala dari pihak penyelenggara. Kendala
pengumpulan data tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Belum ada aturan peyimpanan dokumen secara digital untuk mempermudah
proses evaluasi keberlanjutan proyek perubahan peserta diklat;
2. Penyelenggara belum melakukan manajemen dokumen proyek perubahan
secara digital sehingga sulit mendapatkan dokumen digital;
3. Dokumen cetak yang dimiliki beberapa penyelenggara kurang tersimpan secara
baik sehingga sulit dicari bahkan tidak ditemukan;
4. Penyelenggara yang tidak mendokumentasikan profil peserta diklat;
5. Belum ada proses evaluasi terhadap proyek perubahan yang sudah
dilaksanakan untuk mempermudah proses identifikasi.
50
Selain dari permasalahan diatas ada juga kendala administrasi yang dihadapi.
Kedala administrasi tersebut adalah anggaran yang kurang memadai untuk datang
langsung ke instansi penyelenggara, tidak ada dokumen digital, serta informasi
peserta 5 (lima) terbaik tiap angkatan yang kurang valid. Dalam proses
pengumpulan data telah dilakukan koordinasi kepada setiap penyelenggara Diklat
Kepemimpinan Tingkat I dan II untuk memperoleh data yang selanjutnya akan
dikelola menjadi Direktori Inovasi Administrasi Negara seri Proyek Perubahan Diklat
Kepemimpinan.
B. PENGELOLAAN DATA PROYEK PERUBAHAN
engumpulan data yang telah dilakukan merupakan tahapan awal
sebelum dilakukan validasi. Tahapan selanjutnya setelah dilakukan
pengumpulan data adalah pengelolaan data Proyek Perubahan.
Pengelolaan Proyek Perubahan dilakukan dengan cara mengidentifikasi data
Proyek Perubahan sesuai dengan instrumen yang telah ditetapkan dan validasi data
kepada penyelenggara dan peserta diklat.
1. Identifikasi Data Proyek Perubahan
Proses identifikasi dilakukan dimaksudkan untuk mengumpulkan data sekunder
(dokumen proyek perubahan) sebelum dilakukan validasi kepada alumni Diklat
PIM. Pada proses ini dilakukan penyisiran terhadap kelengkapan 95 (sembilan
puluh lima) data Laporan Proyek Perubahan serta kesesuaian dengan
instrumen Direktori Inovasi Administrasi Negara. Identifikasi data diperlukan
untuk mengetahui apakah berdasarkan dokumen yang ada, Proyek Perubahan
alumni Diklat PIM termasuk dalam kriteria inovasi administrasi negara seperti
sisi kebaruannya, kemanfaatannya bagi instansi pemerintah maupun
masyarakat, keberlanjutan dari Proyek Perubahan agar menjadi program kerja
instansi serta peluang replikasi di instansi lain.
Data sekunder yang telah diidentifikasi disusun kedalam kelompok berdasarkan
wilayah sehingga mudah dilakukan validasi. Sebelumnya dikelompokkan juga
berdasarkan teknik validasi. Berdasarkan teknik validasi, data sekunder
disusun menjadi 1) validasi lapangan; 2) validasi online/ telepon; 3) validasi
melalui video. Berdasarkan wilayahnya, data sekunder dikelompokkan menjadi
P
51
1) wilayah Jawa Barat; 2) wilayah Yogyakarta; 3) wilayah Jawa Tengah; 4)
wilayah Jawa Timur; 5) wilayah Jabodetabek; 6) wilayah luar Jawa.
Berdasarkan pembagian ini, maka proses validasi terhadap data sekunder yang
diperoleh dapat berjalan lebih optimal.
2. Validasi Data Proyek Perubahan
Proses validasi data dilakukan untuk memastikan data sekunder yang telah
dianalisis awal lebih tepat. Proses ini memiliki beberapa teknik seperti
mengirimkan data awal via email untuk divalidasi alumni, konfirmasi via telepon
dan video serta mendatangi alumni Diklat PIM secara langsung. Dari 95
(sembilan puluh lima) dokumen yang ada, didapatkan 84 (delapan puluh empat)
dokumen yang masuk dalam kriteria awal direktori inovasi. Sedangkan sisanya
tidak dapat disusun karena data sekunder tidak lengkap.
a. Konfirmasi data via email
Melalui proses konfirmasi data kepada alumni Diklat PIM diperoleh data
tambahan yang sebelumnya tidak diperoleh dalam data sekunder. Proses
ini juga bertujuan menyeleksi dokumen Proyek Perubahan yang akan
dimasukkan kedalam direktori inovasi. Dari 84 (delapan puluh empat)
dokumen yang telah dilakukan identifikasi awal, dilakukan konfirmasi lewat
email kepada para alumni berdasarkan data pribadi peserta yang diperoleh
sebelumnya. Dari proses ini didapatkan 42 (empat puluh dua) data yang
diperoleh validasi dari pihak alumni Diklat PIM. Hal ini mempermudah
proses penyusunan direktori inovasi selanjutnya.
b. Konfirmasi data via tinjauan lapangan
Proses konfirmasi data via lapangan dilakukan untuk melihat langsung
program yang telah digagas dan diimplementasikan oleh para alumni diklat
(Pemimpin Perubahan). Berdasarkan 84 (delapan puluh empat) data yang
telah teridentifikasi dan 42 (empat puluh dua) data yang telah tervalidasi via
email maka dilakukan pemantauan dan wawancara langsung untuk melihat
hasil implementasi program yang digagas.
Tinjauan lapangan dilakukan dengan membagi terlebih dahulu wilayah
validasi menjadi 6 (enam) wilayah yaitu 1) wilayah Jawa Barat; 2) wilayah
Yogyakarta; 3) wilayah Jawa Tengah; 4) wilayah Jawa Timur; 5) wilayah
52
Jabodetabek; 6) wilayah luar Jawa. Wilayah yang dilakukan tinjauan adalah
wilayah yang ada di Pulau Jawa. Ini dilakukan mengingat tersebarnya
instansi Pemimpin Perubahan sehingga diprioritaskan untuk wilayah Jawa.
Tentu saja program perubahan yang divalidasi adalah program yang telah
sesuai dengan kriteria inovasi administrasi negara dan juga telah dilakukan
validasi via email terlebih dahulu. Dari proses ini didapatkan data validasi
sebanyak 6 (enam) data di wilayah Jawa Barat, 5 (lima) data wilayah
Yogyakarta, 5 (lima) data wilayah Jawa Tengah, 4 (empat) data wilayah
Jawa Timur, dan 5 (lima) data di wilayah Jabodetabek.
c. Konfirmasi data via telepon dan video
Proses konfirmasi melalui telepon dilakukan untuk memastikan dokumen
yang telah dianalisa mendapat respon untuk diperbaiki dan untuk
pemutakhiran data, dengan begitu capaian dari program yang dilakukan
Pemimpin Perubahan lebih valid dan mutakhir. Proses konfirmasi data via
video dilakukan untuk mengakomodasi validasi dokumen data sekunder
yang tidak bisa dilakukan kunjungan lapangan dan dokumen data sekunder
luar Pulau Jawa. Hal ini penting dilakukan mengingat keterbatasan dalam
proses validasi.
53
BAB IV
INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DALAM PROYEK PERUBAHAN
novasi-inovasi yang bersumber dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I
dan II pada dasarnya adalah Proyek Perubahan yang dilakukan oleh para
Pemimpin Perubahan dalam Diklat PIM. Hal ini merupakan langkah inovatif
yang dilakukan untuk meningkatkan kinerja instansi masing-masing. Inovasi yang
dilakukan meraka pun dapat digolongkan menjadi delapan jenis inovasi dalam konsep
Direktori Inovasi Administrasi Negara. Oleh karena itu, keberadaan direktori inovasi
dari Proyek Perubahan Diklat PIM Tingkat I dan II ini dapat dijadikan rujukan bagi
Kementerian/ Lembaga/Pemda sebelum melakukan benchmark ke suatu daerah yang
telah berhasil melakukan inovasi.
Dalam rangka memvalidasi dokumen Proyek Perubahan yang telah dilakukan
oleh alumni Diklat PIM Tingkat I dan II tersebut, Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Lembaga Administrasi Negara melakukan observasi ke beberapa instansi alumni
diklat yang dalam hal ini difokuskan pada wilayah Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
A. PROYEK PERUBAHAN WILAYAH JAWA BARAT
bservasi lapangan terhadap Proyek Perubahan wilayah Jawa Barat
terdapat beberapa penguatan dari dokumen yang ada. Berdasarkan
data sekunder, dilakukan validasi dan updating serta penggalian
informasi penting lain di wilayah validasi Jawa Barat, dengan tujuan untuk memastikan
bahwa gagasan perubahan yang disusun adalah benar adanya, telah dan masih
dilaksanakan serta telah memiliki manfaat bagi lingkungan. Disamping itu, juga dalam
rangka pembaruan data (updating) data terkait dengan pelaksanaan lanjutan (tahapan
menengah/panjang) tersebut baik menyangkut data manfaat bagi masyarakat maupun
outcome yang telah dicapai dalam pelaksanaan Proyek Perubahan tersebut. Gagasan
perubahan yang dikemas dalam proyek perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan Tata Kelola Taman Kota Dengan Melibatkan Peran Serta Swasta
dan Masyarakat Setempat Dalam Rangka Akselerasi Gapura Serasi
Kabupaten Subang oleh Sumasna, ST, MUM
I
O
54
Peningkatan tata kelola taman kota didasari dari kebijakan Bupati Kabupaten
Subang tentang corong gapura yang diantaranya Gapura Intan dan Gapura
Serasi. Hal ini juga terkait dengan tugas pokok dari Dinas Tata Ruang Permukiman
Kebersihan Kabupaten Subang terkait dengan penanganan tata ruang daerah,
cipta karya, dan kebersihan termasuk pertamanan. Program gapura ini lebih
kearah pembangunan infrastruktur taman kota sehingga tercipta ruang terbuka
hijau yang serasi (sehat, rapi, bersih). Produk yang dihasilkan dari program ini
adalah model revitalisasi taman kota melalui peran aktif swasta dan masyarakat.
Kondisi sebelum program ini dicanangkan adalah taman kota Subang yang ada di
16 lokasi masih belum tertata rapi bahkan beberapa dalam kondisi
memprihatinkan. Hal ini terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat untuk
mau menjaga dan merawat taman kota. Permasalahan taman kota juga
memperburuk kondisi taman saat itu seperti kondisi taman memprihatinkan karena
dijadikan tempat pembuangan sampah warga sekitar, luas taman kota masih di
bawah 20% luas kota, taman terbatas pada ruang milik jalan (pulau jalan, teluk
jalan, sempadan jalan).
Dalam rangka mengatasi permasalahan itu, digagaslah program peningkatan
fungsi taman kota yang tujuannya meningkatkan kualitas taman melalui peran
serta swasta dan masyarakat. Selain itu diharapkan terjadi pemeliharaan taman
kota yang terkelola dengan baik. Dalam jangka pendek diharapkan juga dapat
tersedia anggaran revitalisasi taman, dilakukan pelibatan masyarakat dalam
memperbaiki dan pengelola taman, dokumen perencanaan tersedia lengkap,
konstruksi berjalan setidaknya untuk tiga taman percontohan. Taman yang
dijadikan percontohan adalah taman Pujasera, taman Rangga Wulung, dan taman
Pulau. Pada program percontohan ini pemerintah daerah mengambil peran
sebagai fasilitator saja. Sehingga dalam pelaksanaannya peran CSR, LSM dan
masyarakat lebih kental. Manfaat yang diharapkan adalah terciptanya ruang
terbuka hijau yang serasi (sehat, rapi, bersih) sehingga akan muncul minat
masyarakat untuk berkumpul. Selain itu dapat menambah kadar oksigen yang ada
di sekitar taman kota. Strategi yang dilakukan untuk mengimplementasikan
program ini adalah 1) menggalang dukungan dari bupati dan SKPD terkait dalam
pemanfaatan rupiah non subsidi APBD dengan melakukan penawaran kerjasama
55
dengan CSR dan; 2) mengubah mind set masyarakat agar mau bersama sama
memperbaiki dan merawat taman kota yang ada; 3) melakukan pengarahan
kepada masyarakat untuk pengelolaan taman dimulai dari perencanaan sampai
perawatan taman; 4) Pelibatan SKPD terkait dan LSM (Badan Keswadayaan
Masyarakat) dalam memimpin masyarakat untuk pengelolaan taman; 5) Memilih
tiga taman untuk proyek percontohan yang didanai oleh CSR (Bank Jabar, PT
Aqua); 6) MOU dengan CSR dimana CSR dibebaskan memilih untuk dapat
berperan di sisi yang mana. Langkah administrasi dilakukan seperti dokumen
kegiatan fasilitasi dan pengarsipan. Selain itu dilakukan monitoring terkait cara
komunikasi dengan lembaga donor serta memanfaatkan media lokal dalam
mensosialisasikan program pemerintah daerah.
Faktor pendukung keberhasilan program ini adalah 1) Adanya dukungan penuh
untuk mewujudkan rencana aksi perubahan (kepala daerah dan Dinas pemerintah
daerah); 2) koordinasi dengan stakeholder yang komunikatif dan konstruktif; 3)
Pembiayaan swasta yang tersedia memadai dan tepat waktu; 4) Efektivitas
keterlibatan masyarakat dalam kegiatan persiapan, pelaksanaan, dan monitoring
dan evaluasi; 5) Komunikasi dan koordinasi di internal tim efektif; 6) Pelaksanaan
implementasi rencana tiap tahapan sesuai jadwal; 7) Adanya komitmen untuk
melanjutkan ke taman yang lain serta pemeliharaan taman dari pihak LSM (Badan
Keswadayaan Masyarakat) dan CSR (Bank Jabar, PT Aqua) ; 8) Adanya shopping
list kebutuhan revitalisasi taman kota yang memudahkan pelibatan stakeholder
(CSR); 9) Adanya pedoman tata kelola pelaksanaan program yang masih bisa
disesuaikan dengan kebutuhan CSR. Sedangkan faktor penghambatnya adalah:
1) Waktu yang relatif pendek dalam persiapan perubahan tata kelola taman; 2)
Perbedaan persepsi stakeholder terhadap perubahan tata kelola taman; 3)
Ketersediaan anggaran dan sumber daya yang tidak memadai dan tidak
memenuhi kebutuhan pengelolaan taman; 4) Profesionalisme pengelolaan taman
yang masih rendah. Permasalahan ini dapat diatasi dengan cara: 1) Melakukan
koordinasi dengan stakeholder terkait; 2) Sosialisasi yang berkesinambungan; 3)
Pelibatan LSM dan masyarakat serta CSR (Bank Jabar dan PT Aqua).
Hasil yang dicapai saat ini adalah terselesaikannya tiga taman (Pujasera, Taman
Rangga Wulung, dan Taman Pulau) yang dikerjakan sesuai dengan pedoman tata
56
kelola. Selain itu dilakukan revitalisasi terhadap miniatur lumbung padi serta tugu
nanas yang menjadi icon kota Subang. Selain itu terasa juga manfaatnya bagi
masyarakat seperti: 1) Pemahaman kepada organisasi masyarakat mengenai
penentuan lokasi dan pemeliharaan taman yang baik; 2) Menginformasikan lokasi
taman yang efektif sehingga dapat terlihat indah. Program ini dapat direplikasikan
ke daerah lain dengan cara meniru seluruh atau sebagian dari strategi yang
dilakukan oleh pemerintah kabupaten Subang. Hal yang dilakukan untuk
mereplikasi program ini adalah: 1) Mempersiapkan dokumen perencanaan
revitalisasi taman kota; 2) Melakukan fasilitasi untuk menjaring dukungan dan
perubahan mindset terkait pengelolaan taman kota; 3) Melakukan penawaran
program pendanaan revitalisasi sesuai dengan kesanggupan stakeholder; 4)
Melakukan pendampingan terhadap proses revitalisasi taman; 5) Mempersiapkan
anggaran untuk memfasilitasi SKPD terkait, stakeholder dan masyarakat; 6)
Mempersiapkan kebutuhan pelengkap saat melakukan monitori proses
revitalisasi; 7) Pertanggungjawaban substansi dan administrasi yang jelas; 8)
mendapat dukungan dari pimpinan daerah dan unit lain (BAPPEDA).
2. Optimalisasi Kinerja RBM (Resort Based Management) Dalam Rangka
Mewujudkan Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi oleh Dr. Ir.
Sylvana Ratina, M.Si
Optimalisasi Kinerja RBM (Resort Based Management) merupakan gagasan yang
dilatarbelakangi oleh perkembangan dan permasalahan yang timbul dari isu
ekonomi, isu sosial dan isu lingkungan, sehingga pengelolaan kawasan konservasi
di tingkat tapak belum efektif dan belum optimal ditambah kurangnya tenaga
pengawas kawasan konservasi yang lebih dari 50 kawasan konservasi.
Pengelolaan konservasi berbasis resort yang dimaksudkan untuk meletakkan
pondasi yang kuat bagi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi.
Terobosan secara menyeluruh terkait dengan optimalisasi kinerja RBM untuk
mewujudkan efektivitas pengelolaan kawasan konservasi dilakukan melalui
pemberdayaan dan peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi yang
juga merupakan unsur penting dalam peningkatan ekonomi masyarakat
sekitar kawasan hutan. Pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort penting
karena merupakan isu strategis yang merupakan leverage mewujudkan efektivitas
57
pengelolaan kawasan konservasi. Resort yang dimaksud disini adalah struktur
organisasi terkecil dalam sebuah organisasi. Kelompok pengawas hutan
konservasi bersama masyarakat membentuk struktur untuk mengawasi,
memanfaatkan, mengelola dan melindungi hutan koservasi. Hal ini sesuai dengan
tugas fungsi Dirjen Konservasi dan SDA Kementerian Kehutanan untuk
melakukan pengawasan, memanfaat kelola, melindungi kawasan konservasi.
Selain itu sebagai tugas fungsi lain seperti pemberdayaan, maka dirangkul
masyarakat untuk terlibat.
Program optimalisasi kinerja ini bertujuan agar 1) Terpantaunya kawasan
konservasi melalui sinergi dengan masyarakat; 2) Munculnya kesadaran untuk
melakukan pencegahan dini terhadap kerusakan kawasan konservasi. Manfaat
yang diharapkan dari program optimalisasi ini adalah: 1) menumbuhkan
kepedulian masyarakat (nilai penting kawasan konservasi dan Sumber Daya
Hutan (SDAH) dan Ekosistemnya); 2) tersusunnya kesepakatan antara
masyarakat MDK (mewujudkan Efektivitas pengelolaan konservasi); 3) sinergitas
optimalisasi implementasi RBM dan MDK (Efektivitas pengelolaan kawasan
konservasi); 4) optimalisasi penyelenggaraan kawasan konservasi (keutuhan
kawasan konservasi dan kelestarian SDAH dan Ekosistemnya). Optimalisasi
kinerja RBM dalam rangka mewujudkan Efektivitas pengelolaan kawasan
konservasi melalui pemberdayaan dan peran serta masyarakat sekitar kawasan
konservasi, dilaksanakan dengan menggunakan strategi 1) membangun Pondasi
RBM; 2) membangun pondasi Pemberdayaan Masyarakat; 3) membangun
Pondasi Pengaturan Pemanfaatan Kawasan Konservasi.
Tahapan pelaksanaan program ini dilakukan melalui tahapan sebagai berikut 1)
Membangun pondasi RBM dengan pemberdayaan dan peran serta masyarakat
MDK; 2) Membangun pondasi pengaturan (SOP) pemanfaatan berdasarkan
potensi kawasan konservasi untuk menjembatani proses pemberdayaan dan
peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi; 3) Membangun pondasi
pemberdayaan dan peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi dimana
masyarakat dapat melakukan budidaya di kawasan konservasi; 4) Implementasi
sinergi pelaksanaan RBM berpadu dengan pemberdayaan dan peran serta
masyarakat sekitar kawasan konservasi (MDK); 5) Penyusunan draf peraturan
58
Dirjen PHKA tentang Pedoman Pelaksanaan RBM melalui pemberdayaan dan
peran serta masyarakat sekitar kawasan konservasi; 6) Monitoring dan evaluasi
pelaksanaan strategi optimalisasi kinerja RBM; 7) melaksanakan monitoring
evaluasi dan validitas efektivitas pengelolaan kawasan konservasi; 8)
Diterapkannya strategi optimalisasi kinerja RBM melalui pemberdayaan MDK di
luar lokus contoh kawasan konservasi lainnya lingkup BBKSDA Jabar.
Faktor keberhasilan pelaksanaan program ini adalah: 1) adanya dukungan
keinginan dari pimpinan (Dirjen Kementerian Kehutanan), Lembaga Swadaya
Masyarakat serta masyarakat untuk bersinergi dalam memanfaatkan kawasan
konservasi; 2) Adanya klausal dalam peraturan tentang kawasan konservasi (PP
48 tahun 2010) bahwa masyarakat dapat mengekstrak/memanfaatkan hutan dan
klausal penyelenggaraan dengan pemberdayaan mayarakat (mengembangkan
kemandirian); 3) Adanya petunjuk teknis pelaksanaan program tingkat balai yang
memudahkan sinergi pelaksanaan; 4) adanya partisipasi dan peran serta
masyarakat yang sangat menonjol menjadikan masyarakat menyadari pentingnya
fungsi dan manfaat kawasan konservasi, sehingga ikut merasa memiliki (sense of
belonging); 5) adanya pemberdayaan peningkatan kapasitas masyakarat sekitar
kawasan konservasi; 6) adanya pelatihan untuk meningkatkan kompetisi antar
masyarakat sekitar kawasan konservasi MDK agar masyarakat dapat menjadi
teladan masyarakat lainnya; 7) Adanya monitoring dan evaluasi secara triwulan
terhadap budidaya yang dilakukan masyarakat di kawasan konservasi. Faktor
perhambat pelaksanaan program ini adalah 1) Pengawasan terhadap kawasan
konservasi berada di level eselon 4, hal ini sangat sulit dari segi anggaran dan
koordinasi; 2) Dukungan anggaran yang kurang signifikan; 3) Sebagian
masyarakat masih kurang peduli terhadap program ini karena dirasa kurang
menjanjikan; 4) Adanya target/crash program lain yang harus segera dicapai oleh
BBKSDA; 5) Adanya ketakutan program ini tidak dilanjutkan karena ada
pergantian pimpinan Kepala Balai yang tidak mendukung. Alternatif solusi ada
didokumen yang telah disampaikan.
Program optimalisasi ini ternyata membawa manfaat nyata/ dampak dari sisi
masyarakat seperti: 1) Masyarakat menjadi paham apa itu konservasi; 2)
Masyarakat dapat mengaplikasikan penanggulangan kebakaran; 3) Masyarakat
59
menjadi pemberi informasi yang aktif terhadap keadaan hutan konservasi; 4)
Adanya peningkatan ekonomi karena adanya bantuan ternak domba, bibit jahe,
lebah madu yang terus bertambah nilai ekonomisnya; 5) Adanya penambahan
kontribusi kedalam kas keuangan kelompok; 6) Masyarakat berperan dalam
menjaga kawasan konservasi sehingga menumbuhkan kepercayaan dari kedua
belah pihak; 6) Munculnya koordinasi tingkat sektor seperti adanya bantuan dari
BPLHD, dinas pernakan dan pertanian.
Hal yang dilakukan untuk mereplikasi program ini adalah: 1) perlu adanya
dukungan dan kepedulian pimpinan, lembaga swadaya masyarakat dan
masyarakat; 2) perlu adanya kejelasan aturan serta petunjuk teknis dalam
pelaksanaan program; 3) perlu dukungan anggaran untuk pelaksanaan budidaya
dan pelatihan masyarakat; 4) mengalokasikan kegiatan dan anggaran untuk
berbagai modul, SOP dan TOR operasional, draf peraturan tentang peningkatan
kinerja RBM yang bersinergi dengan MDK
3. Pengembangan Tugas Pokok dan Fungsi Dalam Rangka Peningkatan
Kinerja Pada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat oleh Arief Santosa, SE.,
M.Sc
Peningkatan kinerja pada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat dilakukan
dengan cara menelaah Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) khususnya tentang
fungsi pelayanan berupa pelatihan teknis perkebunan. Selama ini kegiatan
pelatihan teknis perkebunan yang terdapat pada Kegiatan Dinas Perkebunan
Provinsi Jawa Barat dilaksanakan bekerjasama dengan instansi vertikal atau Unit
Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Pertanian yang lokasinya tersebar di
seluruh Indonesia. Kurun waktu lima tahun yang lalu (2008-2013), upaya
peningkatan kualitas SDM perkebunan dipandang sebagai salah satu faktor
terlemah dari upaya pencapaian keberhasilan pembangunan perkebunan di Jawa
Barat secara keseluruhan. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya
pembenahan peningkatan kinerja pembangunan perkebunan perlu difokuskan
pada upaya peningkatan kualitas SDM perkebunan. Upaya peningkatan kualitas
SDM perkebunan diantaranya dengan menerapkan GAP (Good Agriculture
Practices) dan GMP (Good Manufacturing Product), yang dapat dilakukan melalui
pembinaan, pelatihan dan bimbingan teknis secara intensif sesuai kebutuhan
60
lapangan. Namun demikian, ternyata sejauh ini upaya penerapan pembinaan SDM
pelaku usaha perkebunan tersebut masih memiliki banyak kendala, antara lain
adalah: a). Keterbatasan kewenangan dalam penanganan kegiatan pelatihan/
bimbingan teknis yang tercermin dalam uraian tugas pokok dan fungsi dari unit
kerja yang menangani urusan pembinaan SDM Perkebunan; b) Keterbatasan
Sarana-prasarana pelatihan/ bimbingan teknis yang memadai,
Akibatnya pelaksanaan kegiatan pelatihan/ bimbingan teknis menjadi kurang
optimal dan kurang intensif. Pengembangan Tugas Pokok dan Fungsi Dalam
Rangka Peningkatan Kinerja Pada Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat
bertujuan untuk meningkatkan kinerja organisasi melalui peningkatan layanan
dalam bidang pelatihan perkebunan bagi petani perkebunan. Secara umum
manfaat yang diharapkan atas perubahan Tupoksi adalah meningkatnya kinerja
Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat, sedangkan secara khusus, antara lain 1)
meningkatnya kinerja Dinas Perkebunan melalui optimalisasi fungsi fungsi
pelayanan pelatihan teknis perkebunan; 2) Meningkatnya kualitas SDM
perkebunan khususnya kompetensi dalam mengajar teknis perkebunan; 3)
Meningkatnya pengetahuan dan wawasan petani perkebunan baik teknis (on farm)
maupun non-teknis (off farm) di bidang perkebunan; 4) Meningkatnya mutu hasil
produk perkebunan yang berdaya saing. Strategi yang dilakukan agar proses
pengembangan tugas pokok dan fungsi dapat berjalan adalah 1) mendapatkan
dukungan dari pimpinan derah dan DPRD terkait dengan perubahan nomenklatur
organisasi; 2) perubahan orientasi tugas dari pejabat yang ditambahkan tugas
fungsi yang baru; 3) perbaikan peraturan tentang uraian tugas pokok dan fungsi
(Pergub No. 38 Tahun 2009 dan Pergub No. 54 Tahun 2010) untuk beberapa unit
kerja terkait dalam penanganan SDM pelaku usaha perkebunan dengan merubah
fungsi penyelenggaraan pelatihan teknis perkebunan dari Bidang SDM,
Kelembagaan dan Permodalan ke UPTD BPTP; 4) mengevaluasi dan melakukan
pemanfaatan sarana-prasarana pada unit kerja lingkup Dinas Perkebunan Jawa
Barat yang dapat digunakan untuk pelaksanaan pelatihan/ bimbingan teknis
secara mandiri (oleh Dinas Perkebunan Jawa Barat sendiri).
Tahapan yang dilalui untuk perubahan tusi ini adalah 1) persiapan dan perumusan
masalah tentang tupoksi bidang dan balai di Dinas Perkebunan; 2) menjalin
61
dukungan pimpinan dan dewan serta staff dengan cara melakukan sosialisasi
pada Gubernur Jawa Barat, Sekretaris Daerah, Sekretaris Badan Pengembangan
SDM Pertanian Kementan, Forum OPD Rumpun Pertanian Provinsi Jawa Barat,
Kepala Pusat Pelatihan Pertanian Kementan, Kepala Balai Besar Diklat Pertanian
Kementan di Lembang; 3) Konsultasi ke Biro Organisasi dan Biro Hukum & HAM,
Badan Diklat Daerah Prov. Jabar, Badan SDM Pertanian Kementan; 4)
Benchmarking ke Best Practice Bapeltan Distan Jabar; 5) Observasi lapangan ke
Kelompok Tani dan Gapoktan; 6) Penyusunan rancangan perubahan Tupoksi
Dinas Perkebunan melalui pra-rancangan, diskusi, dan sosialisasi; 7) Melakukan
ujicoba pelaksanaan penyelenggaraan pelatihan dengan peserta 30 orang petani.
Capaian dan kemanfaatan yang dihasilkan melalui pengembangan tugas pokok
dan fungsi dinas perkebunan Provinsi Jawa Barat adalah 1) dihasilkannya
peraturan gubernur terkait pengembangan tugas pokok dan fungsi pengganti
Peraturan Gubernur 38/2009 (Tusi Dinas) dan Peraturan Gubernur 54/2010 (Tusi
Balai); 2) Balai pelatihan pelatihan teknis perkebunan sudah difungsikan sehingga
tidak perlu lagi dikerjasamakan pelaksanaannya kepada berbagai pihak
(dilaksanakan secara mandiri oleh Dinas Perkebunan melalui UPTD BPTP); 3)
pelatihan teknis dan non-teknis perkebunan lebih optimal dan berguna bagi petani
perkebunan rakyat; 4) Ujicoba pelatihan sudah dilaksanakan dan sarana
prasarana balai pelatihan sudah tersedia. Faktor penghambat proses perubahan
tugas dan fungsi ini adalah 1) ada sedikit penolakan (resisten) Instansi vertikal
(Unit Pelaksana Teknis) Pusat karena merasakan zona nyaman (comfort zone)
yaitu sebagai penyedia layanan pelatihan teknis bidang perkebunan. 2) Dukungan
dari anggota dewan yang sering berubah terkait sebelum dan sesudah
penyetujuan usulan perubahan tugas dan fungsi dinas; 3) Sarana prasarana yang
masih kurang termasuk jalan dan gedung pelatihan. Namun setelah dilakukan
komunikasi intensif akhirnya terdapat suatu pemahaman untuk menjalin
kerjasama. Selain itu dilakukan pula penataan sarana dan prasarana pelatihan
yang meliputi 1) Renovasi mess; 2) Renovasi ruang kelas; 3) Renovasi
laboratorium; 4) Penyusunan detail engineering design (DED) untuk
pembangunan guest house. Faktor pendorong keberhasilan terwujudnya
perubahan tugas fungsi organisasi Dinas Perkebunan Provinsi Jawa Barat adalah
62
1) Komitmen dari seluruh pegawai untuk perubahan dinas perkebunan provinsi
Jawa Barat; 2) Terjalinnya komunikasi yang baik dalam inetrnal Tim Efektif serta
konsultasi dan koordinasi yang efektif dengan instansi terkait lainnya; 3) Keluaran
(hasil) pada setiap tahapan kegiatan sesuai dengan target waktu yang ditetapkan;
4) Tersusunnya rancangan usulan perubahan Tupoksi Disbun yang telah ditelaah
oleh Tim Efektif; 5) Terlaksananya simulasi pelatihan teknis perkebunan dengan
peserta petani perkebunan rakyat di Jawa Barat.
Sangat memungkinkan untuk dilakukan replikasi dan implementasi di tempat lain
dengan cara 1) komitmen dari seluruh pegawai untuk perubahan organisasi; 2)
mempersiapkan perubahan struktur / SOTK (menambah/ mengurangi); 3)
melakukan perubahan pada SOP dan SP organisasi; 4) melakukan perubahan
pada Renstra; 5) melakukan penambahan pada sarana fisik.
4. Optimalisasi Penyuluhan Melalui Peningkatan Kapasitas SDM Penyuluh
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan oleh Ir. H. Kusmayadi Rostaman, MM
Optimalisasi Penyuluhan Melalui Peningkatan Kapasitas SDM Penyuluh
merupakan gagasan yang dilatarbelakangi keinginan untuk mensejahterakan
petani. Selama ini petani sangat handal dalam melakukan kegiatan pertanian,
budidaya, sampai pada akhirnya panen. Kegiatan pertanian sampai masa panen
(onfarm) tentu saja telah banyak didampingi oleh penyuluh yang ada. Akan tetapi
hasil panen yang berlimpah ternyata dinilai tidak berbanding lurus dengan
kesejahteraan petani. Ini disebabkan kegiatan pasca panen (off farm) yakni
pemasaran produk pertanian tidak melibatkan petani. Petani hanya dianggap
sebagai penyuplai kebutuhan pertanian sehingga perubahan harga selama masa
pendistribusian tidak dirasakan oleh mereka. Hal ini tentu disebabkan kurangnya
wawasan entrepreneur dikalangan petani. Berbanding lurus dengan wawasan
entrepreneur petani, ternyata di kalangan penyuluh pernanian juga kurang
disinggung permasalahan jiwa enterplener untuk meningkatkan kesejahteraan.
Untuk itu disusunlah kurikulum bagi penyuluh terkait dengan wawasan
entrepreneur dan semangat wirausaha untuk dapat melakukan kelanjutan proses
distribusi dari produk yang telah dihasilkan petani.
Program Optimalisasi Penyuluhan Melalui Peningkatan Kapasitas SDM Penyuluh
dilakukan dengan menambahkan muatan kurikulum pendidikan dan pelatihan bagi
63
penyuluh terkait dengan proses off farm pada pertanian. Tujuan program ini
dilakukan adalah 1) meningkatkan potensi penyuluh untuk membantu petani; 2)
Peningkatan ekonomi melalui pelatihan yang konprehensif. Manfaat yang didapat
bagi penyuluh adalah meningkatnya pengetahuan dan kompetensi penyuluh
pertanian dalam memberikan ilmu tentang pertanian dan budidaya yang
komprehensif. Seangkan manfaatnya bagi kelompok tani adalah adanya
peningkatan kesejahteraan karena dapat terhubung langsung dengan konsumen.
Strategi yang dilakukan untuk optimalisasi penyuluhan ini adalah sebagai berikut
1) Merubah kurikulum dengan penambahan materi menyuluhan komprehensif
budidaya onfarm dan off farm; 2) Menerapkan sistem ajar on / off (kelas/lapangan)
yang merupakan adopsi dari Diklat PIM; 3) Melakukan kerjasama dengan Balai
pelatihan melalui MOU untuk penyusunan materi ajar bagi penyuluh; 4)
Bekerjasama dengan balai pelatihan pertanian (pusat pelatihan kayu ambon dan
ciheau dan lainnya) untuk pelatihan penyuluh pertanian; 5) Menjaring stakeholder
agar dapat terhubung langsung dengan hasil pertanian kelompok tani binaan.
Program ini dinilai berhasil karena mampu meningkatkan kemampuan kelompok
tani dalam enterplenership. Secara singkat tahapan yang dilakukan untuk
menjalankan program ini adalah sebagai berikut 1) Melakukan sosialisasi kepada
kabupaten/ kota terkait penerapan metode ajar baru bagi penyuluh pertanian; 2)
Meyakinkan pimpinan (Gubernur, OPD) tentang perlunya kompetensi tambahan
bagi penyuluh; 3) Memasukkan perubahan kedalam renstra /evaluasi renstra 2014
dan menyusun renstra 2015; 4) Membuat tim penyusun untuk merubah kurikulum
dan menyusunnya sesuai model diklat PIM pola baru; 5) Pendataan penyuluh
yang akan mengikuti pelatihan penyuluh dengan kurikulum baru. 6)
Mempersiapkan kerja sama dengan stakeholder terkait distribusi hasil pertanian
kelompok tani binaan. Faktor keberhasilan dari program ini adalah 1) Adanya
dukungan dari pimpinan terutama gubernur; 2) Adanya dukungan anggaran
dengan melakukan perubahan anggaran untuk kepentingan positif; 3) Koordinasi
yang solid dan hangat dengan dinas terkait terutama dinas pertanian, perikanan,
peternakan, kehutanan; 4) Adanya stimulus berupa lomba penyuluh berprestasi
dengan hadiah berupa umroh dan juga uang 15 juta bagi kelompok binaan yang
dianggarkan dari APBD; 5) Adanya kebijakan untuk memberikan kemudahan DP
64
motor bagi fasilitator; 6) Pelibatan Babinsa, peneliti, dosen dan mahasiswa. Faktor
penghambat yang terjadi lebih terjadi pada masalah 1) koordinasi kota dan
kabupaten, keterbatasan daya tampung, dan tidak adanya balai pelatihan sendiri
pada Bakorluh, semua ini dapat diatasi dengan melakukan koordinasi; 2) belum
adanya jejaring kerja, informasi dan pasar, dan belum terbangunnya jiwa
enterplenership dapat diatasi dengan pelatihan secara komprehensif selain itu
dapat memperkuat peran dari Bakorluh; 3) Waktu penyelenggaraan pelatihan
yang sangat bergantung pada dinas lain yang punya balai pelatihan.
Hasil yang muncul sampai saat ini terkait dengan pelaksanaan program ini adalah
1) Telah sesuainya kurikulum pelatihan penyuluh dengan Peraturan menteri
pertanian nomor 82 tahun 2014 terkait kurikulum pelatihan penyuluh yang memuat
materi on farm dan off farm untuk peningkatan kemampuan petani; 2) Munculnya
peran aktif penyuluh untuk meningkatkan kesejahteraan petani binaan; 3) dari
target penyuluh yang dilakukan pelatihan telah tercapai 700 penyuluh target
selanjutnya 2000 penyuluh (2015 telah dilatih 300 penyuluh) dan diyakini bahwa
kompetensi meningkat dan pengkaderan penyuluh terlaksana; 4) Pengawalan
penyuluh lebih komprehensif sehingga monev pasca pertanian menuai hasil yang
baik; 5) Kepuasan petani sangat baik terhadap pengetahuan/wawasan penyuluh
pertanian.
Harapan tambahan dari Bakorluh adalah adanya balai pelatihan sendiri yang
dapat memudahkan proses pengembangan kompetensi penyuluh.
Program ini dapat direplikasikan di dinas provinsi lain dengan cara 1) Menjaring
dukungan dari pimpinan daerah dan pimpinan OPD terkait; 2) Menyediakan
anggaran yang memadai untuk proses koordinasi sampai ke proses implementasi
dan monitoring evaluasi; 3) Menjaring kerjasama dengan stakeholder baik yang
berhubungan dengan unit instansi maupun yang berhubungan dengan
masyarakat; 4) Melakukan koordinasi dengan dinas terkait; 5) Menggalang
dukungan yang simultan dengan Bapeda dan dewan; 6) Pendataan penyuluh yang
akan mendapatkan pelatihan peningkatan kapasitas.
5. Strategi Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Daerah oleh Drs.
Muhamad Yani
65
Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Daerah dilakukan karena
Dinas Pendapatan Kota Cimahi masih menghadapi berbagai kendala, khususnya
sejak menerima pelimpahan
Pajak PBB-P2 dari Kantor
Pelayanan Pajak Pratama pada
20 Maret 2012. Kendala tersebut
antara lain terbatasnya sumber
daya manusia, terbatasnya
sarana dan prasarana, data base
yang belum akurat, kesisteman
yang belum sesuai harapan,
regulasi yang masih harus
disempurnakan, serta realisasi
pendapatan yang belum optimal.
Kurangnya kesadaran atau kepatuhan wajib pajak terhadap kewajiban membayar
pajak, kekurang akuratan data wajib pajak dapat terlihat dari realisasi pada
penerimaan jenis pajak PBB-P2 Tahun 2013 dimana dari nilai DHKP (Daftar
Himpunan Ketetapan Pajak) yang ditetapkan Rp. 35.397.423.905,- hanya
terealisasi sebesar Rp. 26.769.896.711 atau 75,63 % dari DHKP. Penyebabnya
adalah kurangnya media pelayanan yang tersedia bagi wajib pajak yang
mempunyai kesulitan dalam membayar pajak. Pembayaran pajak saat itu
difasilitasi oleh satu bank persepsi saja. Bank persepsi yang memfasilitasi
pembayaran pajak itu pun sangat sulit dijangkau oleh wajib pajak serta menambah
biaya dari segi transportasi ke bank persepsi. Untuk inilah strategi optimalisasi
dibutuhkan.
Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Daerah bertujuan untuk
mempermudah masyarakat untuk membayar pajak sehingga pada akhirnya dapat
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Cimahi meningkat. Manfaat yang
diharapkan adalah 1) agar dalam proses penghitungan pajak tidak perlu dilakukan
tiap hari; 2) Mengurangi biaya perjalanan dan waktu wajib pajak dalam membajar
kewajibannya; 3) Terwujudnya pelayananan terbaik bagi masyarakat. Strategi
yang digunakan untuk optimalisasi ini adalah 1) menambah titik pembayaran pajak
66
dengan melakukan kerjasama dengan bank persepsi lain; 2) menambah
kemampuan sistem informasi pajak daerah menjadi sistem pendapatan daerah
dengan cara mengintegrasikan dengan Sistem informasi lainnya (Sistem Informasi
Keuangan Pendapatan daerah, elektronik pendapatan daerah (non PBB), Sistem
informasi manajemen objek pajak; 3) sosialisasi dan kerjasama untuk pembayaran
pajak; 4) Penyediaan link dari bank persepsi lain ke bank persepsi utama dan e
sistem informasi pendapatan daerah.
Pelaksanaan strategi optimalisasi ini dilakukan dengan beberapa tahap seperti 1)
Identifikasi fenomena dan permasalahan serta perumusan strategi optimalisasi;
2) Melakukan benchmarking (studi banding) dengan Pemerintah Kab/ Kota
lainnya; 3) Assesment terhadap eksisting kesisteman, sarpras, SDM dan regulasi
yang saat ini tersedia; 4) Melakukan konsultasi dan koordinasi baik itu dengan
berbagai pihak terkait sistem pembayaran pajak Online; 5) Mempersiapkan aspek
regulasi pendukung (Perwal, SOP, MoU dan lainnya); 6) Melakukan perikatan
kerjasama dengan pihak perbankan atau lembaga keuangan lainnya; 7)
Melaksanakan uji coba sistem (Trial and error), launching dan sosialisasi kepada
masyarakat; 8) Pengembangan secara berkelanjutan (continues improvement)
atas sistem pembayaran pajak berbasis Online dengan melakukan penambahan
fasilitas pelayanan bagi para Wajib Pajak berdasarkan hasil proses evaluasi; 9)
Meningkatkan kapasitas SDM yang mampu mendukung pelayanan pembayaran
pajak daerah secara online sistem; 10) Menyusun regulasi (Peraturan Walikota)
yang menjadi dasar pelaksanaan pelayanan pembayaran pajak daerah secara
online sistem. 11) Pengadaan gerai pembayaran di post giro serta menjajaki
kerjasama dengan BPR-KS agar ditiap wilayah ada akses. Faktor pendorong
berhasilnya strategi optimalisasi ini adalah 1) adanya keinginan kuat pimpinan
untuk meningkatkan potensi pendapatan asli daerah; 2) adanya semangat
kebersamaan untuk melakukan pencapaian tujuan; 3) Pemeliharaan sistem yang
mendukung perubahan sistem dan beserta anggaran pemeliharaanya; 4) Tawaran
kepada bank persepsi bahwa ini merupakan peluang untuk promosi pelayanan
perbankan; 5) Adanya perluasan jaringan pembayaran di bank persepsi ; 6)
Adanya model trial-error yang signifikan (pemantauan); 7) Adanya sistem
peringatan saat pembayaran listrik untuk wajib pajak dapat melakukan
67
pembayaran pajak; 8) Perjanjian kerjasama yang selalu direvisi (biaya admin).
Faktor penghambat dari strategi ini adalah 1) sistem informasi yang masih ada
yang belum terhubung; 2) sosialisasi aturan pembayaran pajak daerah yang belum
merata; 3) Kesadaran masyarakat yang masih belum signifikan. Solusi untuk
menghadapi kendala ini dengan melakukan perawatan dan perbaikan sistem
informasi secara berkala serta melakukan sosialisasi terhadap strategi
optimalisasi yang tengah dijalankan.
Capaian dan kemanfaatan yang dapat dirasakan adalah 1) tersedianya 1 (satu)
perangkat sistem pelayanan pajak berbasis Online yang terintegrasi dan
komprehensif, yang telah dikembangkan sesuai dengan hasil evaluasi serta
identifikasi terhadap kebutuhan konsumen (dalam hal ini Wajib Pajak) dalam
jangka waktu hingga akhir tahun 2014; 2) tersedianya regulasi (Peraturan Walikota
Cimahi) yang menjadi dasar hukum dan pedoman dalam pelayanan pembayaran
pajak daerah secara online;3) tersampaikannya informasi pelayanan pembayaran
pajak daerah secara online secara luas ke seluruh masyarakat; 4) Terjadinya
peningkatan pendapatan asli daerah dan target perdapatan kota Cimahi; 5) indeks
kepuasan masyarakat terhadap pelayanan meningkat karena pemahaman
masyarakat soal pajak yang membaik.
Optimalisasi Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Daerah dapat direplikasi di
wilayah lain dengan cara sebagai berikut 1) adanya keinginan kuat pimpinan untuk
meningkatkan potensi pendapatan asli daerah; 2) adanya semangat kebersamaan
untuk melakukan pencapaian tujuan; 3) pemeliharaan sistem yang mendukung
perubahan sistem dan beserta anggaran pemeliharaannya; 4) melakukan
identifikasi fenomena dan permasalahan yang terjadi di masyarakat; 5)
mempersiapkan aspek regulasi pendukung (Perwal, SOP, MoU dan lainnya); 6)
melakukan perikatan kerjasama dengan pihak perbankan atau lembaga keuangan
lainnya; 7) pengembangan secara berkelanjutan (continues improvement); 8)
meningkatkan kapasitas SDM yang mampu mendukung pelayanan.
6. Strategi Pembinaan Perpustakaan dan Pembudayaan Kegemaran Membaca
Masyarakat di Jawa Barat oleh DR. Hj. Oom Nurrohmah, M.SI.
68
Pengembangan strategi pembinaan perpustakaan dan pembudayaan kegemaran
membaca dilakukan dengan pertimbangan bahwa tugas pokok dari Badan
Perpustakaan dan Kearsipan Daerah (BAPUSIPDA) adalah melakukan
pembinaan. Pembinaan ini meliputi pembinaan teknis semua jenis perpustakaan
dan lembaga kearsipan;
pembinaan kompetensi tenaga
perpustakaan dan kearsipan,
pembinaan budaya baca
masyarakat dan budaya sadar
arsip; serta penyelenggaraan
layanan publik bidang
perpustakaan dan kearsipan di Jawa Barat. Kenyataannya, sebelum program ini
dilaksanakan, BAPUSIPDA belum melakukan tugas pokok pembinaan ini secara
maksimal, dikarenakan tidak adanya panduan yang jelas terhadap
pelaksanaannya. Selain itu karena IKU BAPUSIPDA pada saat program ini
diusulkan tidak mencerminkan tugas pokoknya maka, melalui program ini
BAPUSIPDA memiliki alasan kuat untuk menambahkan IKU pada tahun berjalan.
Tugas BAPUSIPDA sebagai Pembina sudah mengikuti aturan perundangan yakni
Undang-Undang No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan; Peraturan Pemerintah
No 24 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang 32 Tahun 2013;
Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2008 tentang Urusan Kewenangan Provinsi;
Peraturan Daerah No 17 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Perpustakaan;
Peraturan Gubernur No 81 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Perda No 17 Tahun
2011.
Program Pembinaan Perpustakaan dan Pembudayaan Kegemaran Membaca
Masyarakat dirasa tepat untuk mengefektifkan tugas dari BAPUSIPDA. Pada
akhirnya program ini bertujuan untuk 1) menjadikan lembaga perpustakaan yang
ada di provinsi Jawa Barat sesuai dengan standar perpustakaan; 2)
mengembalikan dan meningkatkan minat baca masyarakat dengan melibatkan
peran serta stakeholder seperti sekolah, akademisi, tokoh masyarakat, serta
keluarga. Manfaat yang diharapkan dari program ini adalah 1) Penyelenggara
perpustakaan memiliki acuan yang jelas terhadap penyelenggaraan dan teknis
69
operasional perpustakaan; 2) Masyarakat memperoleh akses informasi yang
mudah, murah, cepat dan akuntabel karena bahan baca yang ada melalui seleksi
ketat dari penyelenggara pustaka. Strategi yang dilakukan untuk kemudahan
implementasi program ini adalah 1) Melakukan identifikasi target audience dan
siapa yang menaunginya (sekolah, pakar, dan lainnya); 2) Melibatkan stakeholder
terkait (sekolah, universitas, lembaga pendidikan, masyarakat); 3) Memanfaatkan
media komunikasi yang ada diberbagai kesempatan, termasuk media masa dan
media sosial; 4) Melibatkan praktisi dan akademisi untuk menyusun pedoman
penyelenggaraan pustaka sesuai dengan lembaga yang menaunginya; 5)
Melakukan cultural struktural yakni melakukan roadshow “gerakan membaca” se-
provinsi Jawa Barat; 6) Tidak melanggar aturan yang berlaku. Keunggulan yang
ditawarkan dari program ini adalah 1) perda pertama terkait dengan perpustakaan;
2) indikator pendukung (koleksi yang variatif); 3) Komunitas budaya baca yang
banyak; 4) Masyarakat penggiat budaya baca yang aktif.
Produk yang dihasilkan dari program ini adalah Pedoman penyelenggaraan
perpustakaan komprehensif dan budaya gemar membaca yang ditetapkan melalui
keputusan kepala BAPUSIPDA provinsi Jawa Barat Nomor 902/Kep.
140/PPPBB/2014, tanggal 25 Juli 2014, tentang Pedoman Pembudayaan
Kegemaran Membaca.
Kemanfaatan dari program ini ternyata melebihi dari apa yang diharapkan ketika
gagasan ini diusulkan. Kemanfaatan implementasi program tersebut adalah 1)
Perpustakaan representatif menjadi syarat dalam MOU penyelenggaraan untuk
lembaga pendidikan; 2) Menunjang pendidikan nasional yang ingin peserta didik
untuk lebih mandiri; 3) Munculnya budaya baca di rumah yang kemudian menjadi
model dalam perpustakaan keluarga. 4) Model perpustakaan representative ini
menjadi bahan masukan bagi penetapan budaya baca di provinsi Jawa Barat.
Kemanfaatan berikutnya yang diharapkan akan muncul adalah 1) Diberikannya
regulasi komunitas dan lembaga tak terstruktur (bukan lembaga pendidikan)
terkait penyelenggaraan pustaka representative; 2) Tersusunnya sebuah kajian
budaya baca di negara maju dengan metode distance riset (penilitian jarak jauh).
Distance riset yang dimaksud ini adalah penelitian yang dilakukan dengan
70
melibatkan masyarakat yang berada di luar negeri. Bentuk pelibatannya adalah
pemberian informasi tentang budaya baca dari Negara yang ditinggali.
Rencana kedepan yang akan dilakukan adalah tersusunnya pedoman induk yang
akan direalisasikan pada tahun 2016 seperti 1) Pedoman operasional dan spesifik
bagi penyelenggaraan perpustakaan di perguruan tinggi, sekolah menengah,
sekolah dasar, masjid, dan lainnya; 2) Pedoman budaya baca lingkup provinsi
Jawa Barat.
Faktor keberhasilan yang dapat mensukseskan implementasi program ini adalah
1) Political will dari Gubernur Jawa Barat untuk gerakan “Jawa Barat Membaca”;
2) Dukungan dari pihak horizontal terkait (dinas yang terkait); 3) Munculnya
tuntutan dan gerakan masyarakat untuk mensukseskan budaya baca; 4)
Dukungan dari stakeholders (Kepala pemerintahan, masyarakat, lembaga
pemerintahan, dunia usaha, media sebagai publikasi); 5) Dikeluarkannya aturan
dari Kepala BAPUSIPDA untuk melancarkan implementasi program tersebut; 6)
Munculnya inisiatif tambahan untuk menyusun pedoman turunan dari pembinaan
perpustakaan.
Faktor yang menghambat kelancaran implementasi dibagi menjadi internal dan
eksternal. Faktor internalnya adalah 1) Penyelenggara perpustakaan yang belum
mengetahui tentang tujuan perpustakaan komprehensif; Pikiran yang masih
segmentif terkait penyelenggaraan perpustakaan. Faktor eksternalnya adalah 1)
Pengembangan budaya baca tidak dapat dilakukan secara langsung dan perlu
kesinambungan; 2) Mindset yang belum sepaham. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut perlu dilakukan 1) komunikasi yang persuasife; 2)
Membuat media yang efektif dalam penyampaian untuk membangun komitmen;
3) koordinasi secara terus menerus; 4) melakukan evaluasi tiap tahap program.
Program Pembinaan Perpustakaan dan Pembudayaan Kegemaran Membaca
Masyarakat dapat direplikasi di wilayah lain dengan cara 1) Menemukan produk
hukum yang dapat menentukan keberlangsugan program seperti Peraturan
daerah, keputusan kepala satuan kerja/ instansi; 2) Renstra yang dapat
mendukung program; 3) Dukungan dari political maker; 4) Komitmen/
kesungguhan yang diwujudkan dengan perencanaan yang “smart” 5)
71
Mengembangkan potensi lokal yang dapat menjadi unggulan; 6) Mendukung
tujuan pembangunan daerah.
B. PROYEK PERUBAHAN WILAYAH YOGYAKARTA
Observasi lapangan terhadap proyek perubahan wilayah Yogyakarta terdapat
beberapa penguatan dari dokumen yang ada. Berdasarkan data sekunder,
dilakukanlah validasi dan updating serta penggalian informasi penting lain di wilayah
validasi Yogyakarta, dengan tujuan untuk memastikan bahwa gagasan perubahan
yang disusun adalah benar adanya, telah dan masih dilaksanakan serta telah memiliki
manfaat bagi lingkungan. Disamping itu, juga dalam rangka pembaruan data
(updating) data terkait dengan pelaksanaan lanjutan (tahapan menengah/ panjang)
tersebut baik menyangkut data manfaat bagi masyarakat muapun outcome yang telah
dicapai dalam pelaksanaan proyek perubahan tersebut. Gagasan perubahan yang
dikemas dalam proyek perubahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan Efektivitas Penyelenggaraan Family Gathering Terpadu dalam
Rangka Mewujudkan Pelayanan Kesehatan Jiwa Berkelanjutan di Rumah
Sakit Jiwa Grhasia – Daerah Istimewa Yogyakarta oleh drg. Pembayun
Setyaningastutie, M.Kes (Direktur RSJ Grhasia)
Upaya peningkatan efektivitas penyelenggaraan Family Gathering terpadu dalam
rangka mewujudkan pelayanan kesehatan jiwa berkelanjutan di Rumah Sakit Jiwa
(RSJ) Grhasia – Daerah Istimewa Yogyakarta yang digagas oleh drg. Pembajun
Setyaningastutie, M.Kes merupakan usaha untuk menjaring kepedulian keluarga
pasien yang dirawat di RSJ Grhasia. Sesungguhnya Upaya Kesehatan Jiwa
adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan jiwa yang optimal
bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh,
terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah.
72
Hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 yang
dilakukan oleh Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan
Kemenkes RI memperlihatkan
bahwa rata-rata nasional
gangguan jiwa berat di Indonesia
adalah 1,7 % dan untuk
gangguan mental emosional
(cemas dan depresi) di atas usia
15 tahun sebesar 6,0%. Sedangkan prevalensi untuk gangguan jiwa berat di
Provinsi DIY sebesar 2,7 % dan untuk angka prevalensi gangguan mental
emosional (umur 15+ tahun) juga berada di atas angka nasional. Dampak sosial
akibat masalah kesehatan jiwa tersebut antara lain adalah tingginya angka
kekerasan baik di rumah tangga tangga maupun di masyarakat, meningkatnya
kejadian bunuh diri, penyalahgunaan napza pada remaja, kenakalan remaja,
masalah pendidikan, perceraian, pengangguran, kemiskinan, pemasungan, dan
lain sebagainya. Upaya rehabilitatif kesehatan jiwa merupakan kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan jiwa yang ditujukan untuk mencegah
atau mengendalikan disabilitas, memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi
okupansional, dan mempersiapkan dan memberi kemampuan orang dengan
gangguan jiwa (ODGJ) agar mandiri di masyarakat.
Upaya meningkatkan keterlibatan dan dukungan keluarga pasien gangguan jiwa
perlu diberdayakan dengan cara pemberian informasi dan edukasi yang benar
mengenai masalah kesehatan jiwa. Dukungan keluarga dalam bentuk kegiatan
secara bersama (family gathering) untuk konseling, latihan perilaku, asuhan
keperawatan mutlak diperlukan demi kesembuhan anggota keluarga yang
mengalami gangguan kejiwaan. Kondisi ini akan memberi dampak menurunkan
tingginya angka relaps (kekambuhan) penderita gangguan jiwa yang sekitar 25%
- 50%. Dalam mewujudkan misi Rumah Sakit untuk memberi pelayanan yang
berkualitas dan menjamin keselamatan pasien serta pelayanan yang beretika dan
mencerminkan budaya masyarakat DIY, maka diperlukan sebuah pedoman atau
73
prosedur yang menjamin program Family Gathering Terpadu dapat berjalan
secara berkesinambungan.
Tujuan dari program yang digagas ini adalah untuk meningkatkan penyeleng-
garaan Family Gathering terpadu dalam rangka pelayanan kesehatan berkelan-
jutan di RSJ Grhasia-DIY. Penyelenggaraan Family Gathering pada dasarnya
untuk melakukan pendekatan pelayanan jiwa berbasis komunitas (masyarakat) di
mana seluruh potensi yang ada di masyarakat dilibatkan secara aktif. Manfaat
yang ingin dicapai oleh drg. Pembajun Setyaningastutie sebagai penggagas
adalah 1) Didapatkannya kesepakatan bersama antara RSJ Grhasia dengan
stakeholders dalam penyelenggaraan pelayanan berkelanjutan pasca perawatan
pasien di Rumah Sakit; 2) Terwujudnya keluarga sadar jiwa secara mandiri dalam
mengelola pasien atau orang dengan gangguan kesehatan jiwa; 3) Terbentuknya
pelayanan kesehatan jiwa paripurna, mulai dari sistem rujukan pasien di tingkat
Puskesmas, RSU tingkat Kabupaten/Kota, sampai RSJ Grhasia DIY.
Strategi yang dilakukan untuk menjalankan program tersebut adalah 1) Menyusun
kebijakan dan pedoman penyelenggaraan family gathering; 2) Menyelenggarakan
pertemuan dalam rangka meningkatkan kerja sama dalam penyelenggaraan
Family Gathering terpadu untuk menyusun kesepakatan bersama; 3) Menyusun
draf Peraturan Gubernur tentang Tim Pembina/ Pengarah/Pelaksana Kesehatan
Jiwa Terpadu Pemda DIY (TP-KJM) dalam rangka meningkatkan pelayanan
kesehatan jiwa masyarakat yang terpadu dan terintegrasi; 4) Memperbaiki
pelayanan kesehatan jiwa paripurna, mulai dari sistem rujukan pasien di tingkat
Puskesmas, RSU tingkat kabupaten/kota sampai RSJ Grhasia DIY; 5)
Pembentukan jejaring pelayanan kesehatan jiwa dalam Self Help Group yang
merupakan pemberdayaan masyarakat secara mandiri dalam penanganan
masalah kesehatan jiwa; 6) Mensosialisasikan serta melaksanakan Peraturan
Gubernur tentang Tim Pembina/ Pengarah/ Pelaksana Kesehatan Jiwa Terpadu
Pemda DIY (TP-KJM) secara berjenjang.
RSJ Grhasia memberikan perhatian lebih kepada pasien ODGJ melalui Program
Family Gathering. Pengelolaan pasien ini membutuhkan dukungan dan
keterlibatan keluarga. Program Family Gathering Terpadu yang telah dijalankan di
74
RSJ Grhasia berkembang menjadi Program Edukasi Keluarga. Program Family
Gathering yang sudah dilakukan di RSJ Grhasia sejak tahun 2014.
Sampai saat ini, kebijakan, pedoman, dan SOP penyelenggaraan Family
Gathering secara terpadu telah berhasil disusun dan disahkan. Implementasinya
sebagai berikut:
a. Dalam pelaksanaan Family Gathering Terpadu sampai saat ini masih dilakukan
dengan menggunakan/berdasar perangkat aturan yang telah ada tersebut.
Guna memenuhi kebutuhan keluarga dan masyarakat, maka dilakukan
penyempurnaan dan pengembangan dalam pelaksanaannya;
b. Sistem rujukan balik telah dilakukan oleh RSJ Grhasia secara manual (dengan
surat rujukan balik yang dikirimkan kepada sarana pelayanan kesehatan
jejaring melalui keluarga) dan saat ini sedang dikembangkan surat rujukan balik
tersebut dikirim melalui email agar lebih cepat mendapatkan tindak lanjut dari
jejaring kerja RSJ Grhasia
c. Pembentukan TP-KJM (Tim Pembina Kesehatan Jiwa Masyarakat) yang
dikuatkan oleh Peraturan Gubernur sampai saat ini masih berproses dan
merupakan kewenangan Dinas Kesehatan DIY sebagai pengampu kebijakan
bidang kesehatan di wilayah DIY (RSJ Grhasia sudah mengusulkan kembali
kepada Dinas Kesehatan DIY untuk kepentingan pembentukan TP-KJM)
Program ini dapat berjalan dengan baik disebabkan oleh a) Adanya komitmen dari
pihak eksekutif dan legislatif dalam pelayanan kesehatan Jiwa dan NAPZA di DIY;
b) Adanya kebijaksanaan Kemenkes tentang Pemberdayaan Keluarga dalam
pelayanan kesehatan jiwa; c) RSJ Grhasia memiliki instalasi Keswa dan instalasi
rehab mental yang akan mendukung pelaksanaan kegiatan ini; d) SDM RSJ
Grhasia yang terlatih dalam kegiatan family gathering; e) menjadi salah satu faktor
dalam penilaian akreditasi RS versi terbaru dari KARS; f) Readmission patient
sebagai indikator keberhasilan pelayanan kesehatan jiwa paripurna RSJ Grhasia.
Kemanfaatan yang dirasakan melalui program tersebut adalah a) bertumbuhnya
minat dan semangat bagi sarana pelayanan kesehatan dasar dan terdepan
(puskesmas) sebagai lini terdepan untuk memberi pelayanan tahap awal bagi
penderita gangguan jiwa dan keluarganya; b) bertumbuhnya minat Lembaga
Swadaya Masyarakat (contoh LSM Karinakas) untuk mendukung program
75
kesehatan jiwa di masyarakat dengan membentuk Desa Siaga Sehat Jiwa yang
juga telah diinisiasi oleh RSJ Grhasia pada tahun sebelumnya; c) pelaksanaan
program Family Gathering Terpadu dinilai lebih efektif menggunakan model
program edukasi keluarga, karena pertemuan tidak hanya 1 kali dan ada muatan
transfer of knowledge yang lebih detail tentang bagaimana mendampingi ODGJ
untuk meningkatkan kapasitas mental, pengetahuan, dan keterampilan keluarga
ODGJ; d) Penyembuhan kesehatan jiwa terbukti lebih cepat dengan
pendampingan keluarga yang didapatkan dari program Family Gathering.
Permasalahan yang dihadapi selama implementasi program ini adalah a) Masih
perlu disosialisasikannya kebijakan dan pedoman di tingkat RS secara spesifik
tentang kegiatan family gathering; b) Penyelenggaraan Family Gathering masih
bersifat parsial; c) Kurangnya promosi pelayanan RSJ Grhasia kepada
masyarakat dan stakeholder; d) Tingginya angka kekambuhan pasien (rellaps); e)
Peran serta aktif keluarga dalam perawatan pasien di RS masih rendah; f) Belum
optimalnya sistem rujukan pasien gangguan jiwa; g) Kurangnya komitmen
stakeholders karena bukan menjadi indikator kinerja utama, sehingga anggaran
sedikit; h) Keluarga pasien tidak bisa baca tulis
Alternatif Solusi untuk mengatasi permasalahan saat implementasi adalah a)
Menjalin MoU antar SKPD teknis; b) Pelibatan keluarga secara lebih aktif dalam
penanganan gangguan jiwa karena keluarga adalah stakeholders utama penentu
kesembuhan pasien.
Program ini dapat berjalan dengan prasyarat replikasi sebagai berikut:
a. Program ini dapat direkomendasi untuk diterapkan pada daerah yang langka,
memiliki tenaga perawat dan tenaga medis kedokteran jiwa ataupun yang jauh
jaraknya dengan RSJ
b. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat dalam penanganan kesehatan jiwa
sangat dibutuhkan agar kondisi akut dan berat kelainan jiwa seseorang dapat
diminimalisir
c. Pemahaman dan keterlibatan keluarga dan masyarakat diawali dengan deteksi
dini kesehatan jiwa seseorang, sehingga pengenalan dan penanganan kasus
gangguan jiwa ringan bisa disosialisasikan dan dilatih dalam masyarakat
dibantu oleh pemangku bidang kesehatan dan lintas sektor terkait
76
2. Membangun Produk Pertanian yang Berdaya Saing dan Berwawasan
Lingkungan Guna Mendukung Kedaulatan Pangan Berkelanjutan di
Kabupaten Magelang oleh Ir. Wijayanti, M.Si. (Kepala Dinas Pertanian
Tanaman Pangan, Perkebunan dan Kehutanan Kab. Magelang)
Pembangunan pertanian konvensional yang berorientasi pada percepatan
pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi di Kabupaten Magelang telah
mengakibatkan dampak negatif pada ketersediaan sumberdaya alam dan kualitas
lingkungan. Meskipun saat ini Kabupaten Magelang masih surplus beras, tetapi
gejala-gejala tersebut dapat dilihat dari penurunan produksi dari tahun ke tahun.
Kurun waktu 2009 – 2011 Kabupaten Magelang memiliki surplus beras sebesar
23.232 ton, namun pada tahun 2013 terjadi penurunan menjadi 3.272 ton.
Penurunan produksi tersebut diikuti dengan penurunan kualitas sebagai akibat
dari penggunaan bahan-bahan kimia yang kurang bijaksana. Kecenderungan
global yang telah mulai bergeser kepada produk yang ramah lingkungan dan aman
dikonsumsi merupakan fakta yang harus disikapi secara arif dan bijaksana.
Diagnosis yang dilakukan
oleh Dinas Pertanian
Tanaman Pangan
Perkebunan dan Kehutanan
Kabupaten Magelang
ternyata dijumpai adanya
kesenjangan antara kondisi
saat ini dengan kondisi yang
diharapkan. Area
permasalahan dalam mencapai tujuan organisasi antara lain : (1) Produksi
pertanian di Kabupaten Magelang masih belum optimal; (2) tuntutan pasar
terhadap produk pertanian yang berkualitas belum sepenuhnya dapat dipenuhi;
(3) Masih luasnya lahan kritis di kabupaten Magelang; dan (4) Masih banyaknya
alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian.Berdasarkan beberapa
permasalahan tersebut diperlukan program kinerja untuk membangun produk
pertanian yang aman dikonsumsi bermutu, berdaya saing dan berwawasan
lingkungan guna mendukung kedaulatan pangan berkelanjutan. Perubahan
77
tersebut berupa arah dan kebijakan yang tepat dari Pemerintah Kabupaten
Magelang di bidang pertanian yaitu: (1) Pengembangan agribisnis yang berdaya
saing; (2) Peningkatan peran sumberdaya pertanian tanaman pangan,
perkebunan dan kehutanan dalam menerapkan teknologi tepat guna yang
berwawasan lingkungan; (3) Peningkatan mutu, produksi dan nilai tambah
komersil; dan (4) peningkatan sarana prasarana pertanian.
Dalam program ini diambil 8 (delapan) komoditas prioritas yaitu: Sayuran (Baby
Buncis, Brokoli dan Wartel), Florikultura (Sedap Malam), Tanaman Buah (Salak),
Tanaman Pangan (Padi), Tanaman obat (jahe), dan Tanaman Perkebunan
(Kopi).Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai dalam program ini adalah : a)
Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani b)Terbukanya peluang
usaha dan kerja khususnya bidang industrialisasi pengelolaan pasca penen c)
Meningkatkan sinergitas program lintas sektoral, dan d) Mewujudkan kedaulatan
pangan yang berkelanjutan di Kabupaten Magelang.
Program ini sampai tanggal 1 Agustus 2015 dalam proses penyusunan dasar
pijakan formal serta penyusunan draf kerangka program secara komprehensif
dengan memperhatikan kecenderungan global.
Sampai saat ini program yang digagas ini sudah telah menghasilkan capaian
sebagai berikut:
a. Dokumen Penggunaan Anggaran untuk melaksanakan Penyusunan Raperda
tentang Membangun Produk Pertanian Berdaya Saing dan Berwawasan
Lingkungan di Kabupaten Magelang
b. Draf Kawasan Pengembangan Agribisnis Pertanian dan Perkebunan
berdasarkan kesesuaian agroekosistem (Zona Agroekosistem/ZAE).
c. Adanya sertifikasi organik ke Lembaga Sertifikasi Pangan Organik dalam
Kawasan Pengembangan Tanaman Padi (Sawangan seluas 419 ha) dan
hortikultura (Kecamatan Pakis seluas 5 ha), Kopi seluas 40 ha Kecamatan
Grabag dan Jahe seluas 30 ha di Kecamatan Tempuran.
d. Adanya registrasi kebun/lahan usaha ke Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan
Hortikultura Provinsi Jawa Tengah.
e. Adanya sertifikasi prima ke Otoritas Kompetensi Keamanan Daerah/OKKPD
terhadap komoditas yang telah memiliki registrasi registrasi kebun/lahan usaha.
78
f. Adanya Indikasi Geografis Beras Mentik Wangi di dalam Kawasan
Pengembangan Padi.
g. Membangun packing house dan collecting house di Gapoktan Ngudi Luhur desa
Kaliurang yang memenuhi persyaratan untuk dapat diajukan registrasi ke
OKKPD.
h. Membangun collecting house sedap malam dan collecting house cabe di
borobudur cabe.
i. Menyusun dokumen Standar Sanitasi Operasional prosedur/SSOP untuk
persyaratan registrasi packing house/rumah kemas Salak Nglumut di desa
Kaliurang Kecamatan Srumbung.
j. Menyusun Detail Engineering Design/DED Agrimart dilengkapi dengan Out Let
berpendingin dalam rangka memperkenalkan produk pertanian Kabupaten
Magelang, sekaligus sebagai pusat informasi agribisnis Kabupaten Magelang.
k. Perbaikan sarana prasarana irigasi untuk menjamin ketersediaan air yang
berkualitas usaha tani Padi.
l. Melengkapi pusat-pusat pengelolaan industri hilir dengan peralatan yang
memadai dan berstandar organik.
Faktor Kunci Keberhasilan implementasi program ini adalah karena adanya
komitmen dari pimpinan (Bupati, Sekretaris Daerah dan DPRD). Selain itu ada
juga komitmen para pihak/stakeholder baik dari internal maupun eksternal dalam
mendukung program tersebut. Program ini telah terasa kemanfaatannya sampai
kontribusi terhadap kemajuan kota. Kemanfaatan yang dapat dirasakan dari
implementasi program ini adalah a) Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
petani; b) Mewujudkan kawasan pengembangan agribisnis pertanian dan
perkebunan; c) Tersusunnya pedoman membangun produk pertanian yang
berdaya saing dan berwawasan lingkungan guna mendukung kedaulatan pangan
berkelanjutan; d) Sinergitas antara rencana strategis (RENSTRA) Dinas Pertanian
Tanaman Pangan Perkebunan dan Kehutanan dengan Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) Kabupaten Magelang; e) Menekan pencemaran
lingkungan yang diakibatkan penggunaan pupuk dan pestisida anorganik serta
menjaga kesuburan tanah; f) Menumbuhkan kepariwisataan sektor pertanian
tanaman pangan dan perkebunan; g) Memberikan kepastian hukum bagi
79
konsumen dengan adanya jaminan mutu produk pertanian tanaman pangan dan
perkebunan; h) Memberikan kontribusi nyata bagi pencapaian Magelang Sehat
2015.
Faktor penghambat keberhasilan program ini adalah a) adanya kesulitan dalam
melakukan koordinasi karena melibatkan SKPD di luar Distanbunhut yang cukup
besar; b) Jumlah SDM yang dirasa terbatas; c) adanya UU no. 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah sehingga anggaran belum dapat segera
dipergunakan. Untuk mengatasi itu perlu dilakukan a) Koordinasi lebih intens
dengan kepala SKPD lain yang terlibat dalam kegiatan ini; b) Menambah jumlah
SDM pengelola; c) Percepatan pelaksanaan program dan penyelesaian
administratif payung hukum yang belum ada.
Program dapat berpeluang untuk di replikasi ke daerah lain dengan syarat adanya
pangsa pasar untuk sistem perdagangan yang lebih besar, adanya koordinasi dari
SKPD terkait beserta masyarakat Contohnya komoditas Salak di Kecamatan
Srumbung. Pada kesempatan ini, Dinas Pertanian Tanaman Pangan Perkebunan
dan Kehutanan juga memberikan kesempatan kepada Tim dari LAN untuk
melakukan kunjungan ke kawasan Salak di daerah Srumbung, Kecamatan
Srumbung, Kabupaten Magelang. Disini kita melihat kompleks perkebunan salak
nglumut, packaging house untuk salak Nglumut yang akan diekspor ke luar negeri.
3. Percepatan Pencapaian Cakupan Peserta Diklat Melalui Penyelenggaraan
Diklat Model Mobile Training Di Pusdiklat Kementerian Dalam Negeri
Regional Yogyakarta oleh Dr. Ir. H. Suroyo, M.Si. (Kepala Pusdiklat
Kemendagri Regional Yogyakarta)
Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menjadi bagian Aparatur Sipil Negara
(ASN) sampai dengan Januari 2013 tercatat mencapai 4.467.982 orang. Aparat
pemerintah desa bisa dilihat dari jumlah KepalaDesa atau nama lain saat ini
sebanyak 79.075, sedangkan
jumlah aparat pemerintah desa
kurang lebih 632.600 orang. Kondisi
ini tentu menjadi tantangan setiap
lembaga diklat baik di tingkat pusat,
regional, provinsi maupun
80
kabupaten dan kota. Ketersediaan sarana dan prasarana diklat (kelas, asrama dan
lainnya) belum sebanding dengan kebutuhan untuk memenuhi hak setiap aparat
dalam meningkatkan kompetensi. Demikian juga terkait dengan faktor jarak antara
lokasi lembaga diklat dengan tempat tugas setiap aparat pemerintah yang
berimplikasi pada besarnya biaya perjalanan dan lamanya waktu meninggalkan
tugas.
Diklat dengan model pelaksanaan selama ini, dimana peserta didatangkan ke
lembaga diklat dan bersifat klasikal, atau konvensional akan segera dianggap
kadaluwarsa karena tidak akan mampu menjawab besarnya cakupan target
jumlah aparat sebagai peserta diklat. Biaya yang harus disediakan oleh negara
baik dari APBN maupun APBD tentu menjadi sangat besar dan bisa mengganggu
struktur pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Di
samping itu, diklat manual tidak mampu memenuhi kebutuhan diklat ASN seluruh
Indonesia karena terbatasnya tenaga pengajar (widyaiswara), biaya operasional
dan kesediaan sarana prasarana yang memadai.
Besarnya cakupan target dan bervariasinya kebutuhan kompetensi aparat, maka
berdasar analisis pemilihan prioritas, diklat bagi aparat pemerintah desa
merupakan prioritas pertama untuk dicarikan model pelaksanaan diklat yang lebih
efisien dan efektif. Diklat model mobile training diyakini dapat menyelesaikan
permasalahan tersebut. Diklat model mobile training pada prinsipnya adalah
model jemput bola dimana penyelenggara diklat dan widyaiswara mendatangi
target group, tempat penyelenggaraan diupayakan sedekat mungkin dengan
tempat tugas peserta diklat, sarana prasarana memaksimalkan potensi yang ada
di lokasi penyelenggaraan diklat, sedang sarana prasarana pembelajaran yang
tidak tersedia dibawa dari instansi penyelenggara diklat. Diklat mobile training
diselenggarakan menurut kebutuhan daerah yang diawali dengan proses MoU.
Tujuan program ini adalah 1) Mempercepat terpenuhinya target cakupan diklat
Aparat Sipil Negara yang sangat besar; 2) Meningkatnya efisiensi dan efektivitas
penyelenggaraan diklat. Dengan diklat model mobile training akan dicapai efisiensi
biaya dalam jangka pendek tahun 2014 sebesar 200%, jangka menengah tahun
2015 sebesar 400% dan jangka panjang efisiensi 800%. Penyelenggaraan diklat
model mobile training ini diharapkan dapat bermanfaat untuk 1) meningkatkan
81
kompetensi aparat sipil negara sebagaimana amanat undang-undang 2)
mengatasi keterbatasan sumber daya diklat (biaya, waktu, sarana prasarana
diklat).
Stakeholders yang terlibat meliputi unsur widyaiswara, penyelenggara dan
peserta. Secara lebih rinci, stakeholders internal yang terlibat terdiri dari Kabid
Diklat Teknis Fungsional, Kabag Tata Usaha, Kasubag Administrasi dan Umum,
Kasubag Keuangan, Kasubag Program, Kassubag Perpustakaan, Kasi Analisis
Kurikulum dan Silabi Diklat Teknis Fungsional, Kasi Pelaksanaan Diklat Teknis
Fungsional, Kasi Evaluasi Data dan Alumni Diklat Teknis Fungsional, Kasi Analisis
Kurikulum dan Silabi Diklat Struktural, Kasi Pelaksanaan Diklat Struktural, Kasi
Evaluasi Data dan Alumni Diklat Struktural, Staf Bidang Diklat Teknis Fungsional,
Staf Bidang Diklat Struktural, Staf Bagian Tata Usaha. Sedangkan stakeholders
eksternal terdiri dari Kepala Badan Diklat Kemendagri, Pengelola Aparatur Sipil
Negara di daerah, Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa tingkat
Kabupaten, Asisten Sekda Bidang Pemerintahan Kabupaten, Kabag
Pemerintahan Desa, Kapus Diklat Struktural dan Teknis Badan Diklat Kemendagri,
Sekban Diklat Kemendagri, Direktur Pemerintahan Desa dan kelurahan, Camat,
Aparat Pemerintahan Desa, Pengelola Diklat Tingkat Kabupaten, Perguruan
Tinggi-UGM, Balai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Yogyakarta.
Diklat kepada aparatur desa sangat penting dan mendesak karena munculnya UU
nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dan UU Nomor 6 tahun 2014 tentang desa.
Banyak aparatur desa yang tidak tahu cara melakukan pertanggungjawaban
keuangan desa dan imbasnya mereka dapat dipidanakan karena ketidaktahuan
mereka terkait penggunaan dana desa. Diklat mobile training pada dasarnya
bertujuan untuk percepatan pencapaian target peserta diklat dan memperluas
cakupan peserta diklat di beberapa daerah dengan adanya gugus kelompok.
Metode diklat ini mengalami hambatan berupa belum terselesaikannya draf
Peraturan terkait terselenggaranya diklat mobile training. Hambatan tersebut
diakibatkan adanya perubahan nomenklatur di instansi Kemendagri. Perubahan
nomenklatur yang terjadi yaitu pergantian dari Pusat diklat menjadi Badan
Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM). Pengembangan dari diklat
mobile training adalah program warung diklat. Warung diklat adalah sebuah wadah
82
untuk menjaring kebutuhan diklat di setiap daerah dan menangani diklat khusus.
Diklat khusus yang pernah dilakukan adalah diklat ajudan bupati dan penanganan
lingkungan hidup.
Capaian yang diperoleh dari implementasi program ini adalah a) Target peserta
diklat mobile training tercapai yaitu aparat desa yang berfokus pada pengelolaan
dana desa dan perencanaan desa; b) Lokus diklat mobile training yang sudah
terlaksana adalah daerah Klaten, Pacitan, Kutai Kertanegara, Blora dan Timor
Tengah Selatan; c) Tenaga pengajar yang menangani diklat masih berasal dari
Pusdiklat Kemendagri dan rencana ke depan akan diadakan kelas khusus untuk
para fasilitator yang akan mengajar pada daerah tujuan diklat.
Faktor Kunci Keberhasilan implementasi program ini adalah a) adanya dukungan
stakeholder internal dan eksternal; b) adanya komitmen pimpinan dan
pemerintahan desa untuk terus maju; c) adanya kurikulum yang tepat guna dan
tepat sasaran.
Program ini telah dirasakan manfaatnya bagi peserta pelatihan seperti a)
Meningkatnya kompetensi aparat sipil negara hal ini terlihat dari hasil post tes
peserta maupun hasil evaluasi terkait dengan perubahan pengaturan Desa, baik
UU 6/2014, PP 43/2014, PP 60/2014 maupun Permendagri dan Permendes; b)
Mengatasi keterbatasan sumberdaya diklat (dengan menghemat konsumsi, biaya
akomodasi, transportasi dan lainnya, penyelenggaraan diklat disesuaikan dengan
domisili peserta, mempergunakan ruang kelas berbeda-beda, antara lain: kantor
desa, gedung KUD, kecamatan dan gedung sekolah, waktu, sarana prasarana
diklat).
Faktor penghambat keberhasilan terlihat selama proses implementasi yaitu a)
kurang kesiapan widyaiswara dan staf pelaksana untuk tinggal di desa; b) kurang
adanya keterpaduan kerja internal; c) padatnya kegiatan di pusdiklat; d)
keterbatasan informasi sebagai bahan penyempurnaan kurikulum silabi diklat; e)
aturan perundangan desa dalam masa transisi; f) keterpaduan waktu dengan
stakeholders; g) belum optimalnya sinergitas internal pusdiklat; h) koordinasi
dengan pemerintah daerah dalam proses pelaksanaan mobile training; i) kesulitan
memadukan kesepahaman antara pusdiklat dengan stakeholders daerah.
Penghambat keberhasilan ini dapat diatasi dengan cara a) melakukan pembinaan
83
spiritualitas; b) melakukan penyadaran tupoksi aparat; c) meningkatkan motivasi
untuk berprestasi; d) melakukan pengarahan pada setiap rapat; e) melakukan
rescheduling jadwal penugasan pada widyaiswara dan staf pelaksana; f)
mengembangkan alternatif-alternatif wawasan dalam materi pembelajaran; g)
melakukan sinkronisasi rencana kegiatan melalui komunikasi personal secara
intensif; h) melaksanakan pengawasan dan pengendalian secara intensif pada
setiap tahap kerja melalui waskat dan sistemik;i) mendistribusikan tugas secara
jelas; j) meningkatkan komunikasi; k) melakukan kajian bersama dengan
stakeholders daerah tentang peran strategis diklat bagi aparat pemerintahan desa.
Program ini pun dapat di lakukan replikasi ke penyelenggara diklat lain dengan
prasyarat sebagai berikut a) adanya komitmen pemimpin lembaga diklat yang
berorientasi pada tujuan diklat; b) komitmen user (pemerintah daerah) mendukung
penuh proses penyelenggaraan diklat; c) penunjukan peserta diklat yang benar-
benar membutuhkan peningkatan kompetensi.
4. Pengelolaan RSUD Wates dengan Konsep Tata Kelola Hijau Berdasarkan
Kearifan Lokal Menuju Green Hospital oleh dr. Lies Indriyati, Sp.A (Direktur
RSUD Wates)
Adanya masyarakat bergaya hidup serba instan, emosional, suka keindahan dan
kenyamanan serta mendambakan sentuhan perasaan, sehingga layanan Rumah
Sakit harus dapat menjawab kebutuhan tersebut menjadi latar belakanng
munculnya gagasan program ini. Kondisi ideal tersebut belum sepenuhnya dapat
diwujudkan oleh RSUD Wates dimana masih terdapat beberapa masalah seperti
jumlah kematian meningkat, indeks kepuasan mayarakat masih dibawah standard
nasional, kedisiplinan dan kinerja pegawai belum merata dan pengembangan
pelayanan spesialis / subspesialis terhambat. Solusi atas tuntutan kebutuhan
pelayanan dari pelanggan rumah sakit dan permasalahan yang ada yaitu
pergeseran ke arah pelayanan paripurna serta berbasis kenyamanan dan
keamanan lingkungan rumah sakit. Cara yang dilakukan adalah dengan tata kelola
hijau berbasis kearifan lokal, yakni konsep yang berwawasan lingkungan yang
memadu serasikan secara komprehensif antara pernyataan pengelolaan sanitasi
rumah sakit berdasarkan Permenkes 1204 tahun 2004 dengan konsep Green
Hospital yang diharapkan akan meningkatkan mutu pelayan kesehatan rumah
84
sakit dari 3 (tiga) dimensi mutu secara komprehensif. Konsep Green Hospital
dengan tata kelola hijau berbasis kearifan lokal dapat diwujudkn dengan kondisi :
1. Outdoor (Program Tamanisasi), 2. Indoor (Backdrop Pemandangan alam Objek
Wisata yang ada di Kulon progo, Backsound Suara Alam, Instrumen Musik
Tradisional dan Musik Klasik serta Aroma Terapi, Backdrop Budaya sadar
kesehatan sebagai wahana untuk pendidikan masyarakat). 3. Budaya
(Membudayakan hand Higiene pada seluruh pegawai, pengunjung maupun
pasien, Kawasan Tanpa Rokok, Hemat Energi dan Air, Peduli sampah), dan 4.
Fisik bangunan (Bangunan berbasis Tata Kelola Hijau atau Green Hospital),
Pengelolaan Limbah, Daur Ulang, Higiena dan Sanitasi, CSSD dan Loundry).
Adapun milestone/tahapannya adalah meliputi tahap I (bulan April 2014) adalah
instalasi sanitasi aktif, tahap 2 (bulan Juni 2014) adalah keluarnya Peraturan
Bupati tentang Tata Kelola Hijau RSUD Wates, tahap 3 (bulan Juni 2014) adalah
Pelaksanaan tata kelola Hijau Berbasis Kearifan lokal, tahap 4 (Akhir tahun 2014)
adalah Masterplan RSUD Wates dengan Konsep TKH, tahap 5 (Tahun 2015)
sudah dimulai pembangunan Gedung Medik Center dan bangsal dengan konsep
Tata Kelola Hijau (TKH), dan tahap 6 (Tahun 2020) terwujudnya Green Hospital.
Faktor keberhasilan untuk terwujudnya Green Hospital adalah beroperasional-nya
instalasi sanitasi fokus dan mandiri, tersedianya Perbub tentang Tata Kelola Hijau
RS berbasis kearifan lokal, sistem/Pedoman/Program Kerja Tata Kelola Hijau lokal
Indoor, Sistem/Pedoman/Program Kerja Tata Kelola Hijau Indoor, dan
Pelaksanaan masterplan melalui pembangunan pengembangan RSUD.
Faktor penghambat yang dihadapi adalah kurangnya biaya dan kesadaran
masyarakat terkait budaya. Hal ini dapat diatasi dengan menggalang dana dan
perubahan anggaran.
Capaian saat ini (dengan memperhatikan milestones jangka menengah dan
jangka panjang, di bidang budaya, terkait dengan budaya hand hiegene, data
pendukung berupa: (a) video lomba hand hiegene bagi seluruh hospitalia
termasuk tukang parkir dan pedagang di lingkungan RSUD Wates, (b) Terkait
Kawasan Tanpa Rokok sudah keluar peraturan Direktur, contoh komitmen berupa
surat pernyataan, sudah terpasang poster, suara alam (c) terkait dengan
bangunan fisik sudah mulai dibangun gedung medik center (pelaksanaan Master
85
Plan), pengelolaan limbah, hiegene dan sanitasi dengan MoU pengelolaan dengan
pihak ketiga, dan SK pembentukan Kepala Instalasi CSSD dan Pembangunan
gedung terpadu antara pelayanan gawat darurat, ruang operasi, ruang bersalin,
ruang ICU, ruang intensive, dan juga ruang poliklinik. Sehingga master-plan
direview kembali.
Adapun manfaat program ini adalah 1) meningkatkan kepuasan pelanggan, 2)
meningkatkan mutu pelayanan, 3) Manfaat bagi publik adalah memberikan rasa
segar, nyaman dan keindahan bagi pelanggan, serta membantu kesembuhan
pasien, 4) mendukung program pariwisata dengan promosi dalam backdrop ruang
pelayanan, 5) mendukung slogan WHO : Healthy Hospital, Healthy Planet dan
Healthy people.
Persyaratan bagi pihak yang ingin mereplikasi adalah 1) Komitmen para
pemangku kepentingan diantaranya : Pemerintah Daerah, DPRD, Direksi RSUD,
civitas hospitalia RSUD Wates dan masyarakat/pelanggan, 2) Ketersediaan
anggaran yang cukup, 3) Koordinasi dan komunikasi yang efektif.
5. Kebijakan Pendidikan dan Pelatihan Satu Pintu di Badan Pendidikan dan
Pelatihan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh Drs. Umar Priyono, M.Pd (Kepala
Dinas Kebudayaan Provinsi DIY)
Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
sebagai institusi publik yang berada di bawah Pemerintah Daerah DIY pada
tataran teoritis dan praktis berkewajiban untuk mengoperasionalkan nilai-nilai
yang terkandung dalam keistimewaan Yogyakarta. Sejalan dengan hal itu, maka
upaya untuk mewujudkan good governance yang mengarah pada world-class
government yang dilandasi dengan semangat “Yogyakarta-Incorporated”,
hakekatnya sama dengan semangat bersama membangun Yogyakarta sebagai
revitalisasi etos kerja “saiyeg saeka kapti”. Memberikan pemahaman terhadap
nilai-nilai tersebut bukan merupakan satu hal yang mudah dan sederhana.
Menjadikan nilai-nilai kehidupan yang luhur tersebut dapat terpatri dan menjadi
budaya dalam kehidupan sehari-hari setiap anggota masyarakat atau Pegawai
Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta memerlukan pendekatan-pendekatan
berbasis budaya.
86
Menyadari pentingnya upaya internalisasi nilai-nilai tersebut di kalangan pegawai
di lingkungan Pemerintah Daerah DIY, maka Badan Diklat DIY memandang perlu
menyelenggarakan kediklatan terutama yang teknis dan fungsional secara
terintegrasi dalam standar yang lebih terstruktur melalui kebijakan satu pintu. Di
sisi lain, pendekatan budaya dalam metode pembelajaran ini akan mendorong
berkembangnya sikap dan perilaku yang berlandaskan budaya di kalangan
aparatur pemerintah daerah.
Sampai saat ini belum ada kebijakan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan
secara terintegrasi sehingga penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan masih
tersebar di beberapa SKPD. Dimana setiap SKPD dapat menyelenggarakan
kegiatan diklat aparatur tanpa koordinasi dengan Bandiklat DIY sebagai lembaga
yang memiliki tupoksi sebagai penyusun dan penyelenggara program diklat
aparatur, akibatnya seringkali terjadi duplikasi program Diklat sehingga dapat
berpengaruh pada inefesiensi program Diklat. Disamping itu karena SKPD
pelaksana bukan institusi khusus yang melaksanakan kediklatan maka ada
kekhawatiran output dan outcome kediklatan yang dilakukan tidak tepat sasaran.
Tujuan gagasan perubahan dalam jangka panjang yang ingin dicapai: 1)
penyelenggaraan diklat aparatur satu pintu; 2) pembangunan/pengadaan
kebijakan database informasi kediklatan aparatur yang terintegrasi; dan 3)
optimalisasi pemanfaatan/penggunaan database lulusan diklat aparatur DIY yang
terintegrasi (dalam SIMPEG).Stakeholder yang terlibat dalam program ini baik
secara langsung maupun tidak langsung dibagi menjadi : 1) Internal : Seluruh
bidang dan sekretariat di Bandiklat DIY; dan 2) Eksternal : SKPD se Pemda DIY,
Biro Hukum, Biro Organisasi, Bappeda, DPPKA, BKD dan tenaga ahli.
Sampai saat ini kebijakan satu pintu sudah berjalan. Itu berarti program ini sudah
mencapai target yang diharapkan. Bahkan APBD sudah menunjang dalam
pelaksanaan diklat satu pintu, kecuali yang dianggarkan melalui APBN. Bimtek
yang bersifat teknis masih bisa dilaksanakan oleh SKPD, tetapi begitu bentuknya
diklat maka akan dilaksanakan oleh Badan Diklat. Selama ini memang Yogyakarta
belum mempunyai Pergub atau SE mengenai diklat satu pintu ini, sebelum adanya
perubahan ini memang belum diatur mengenai hal ini. Awalnya ketika diskusi
dengan Sekda ada semacam keraguan, dimana diklat yang bermacam-macam
87
telah dilaksanakan sendiri oleh SKPD akan disatukan. Hal tersebut bisa dilakukan
jika ada regulasinya. Februari 2015 Pergub terkait program ini selesai dan
ditandatangani Gubernur saat seminar terakhir disertai berbagai pembuktian
komitmen. Yang menarik sejak itu, TAPD melakukan follow up karena kalau tidak
akan menjadi suatu temuan.
Saat itu ada persoalan terkait capacity building aparaturnya, sehingga perlu
disampaikan adanya model on off . Dukungan Pergub satu pintu dapat
memungkinkan penggunaan anggaran secara akuntabel dengan peserta dari
kab/kota, itu yang dinamakan diklat intrapreneur spirit, dimana sekarang sudah
berjalan 3 angkatan. Diklat ini tidak hanya sekedar on off tetapi produknya bisa
langsung dimanfaatkan Pemda dan difollow up dengan anggaran. Diklat ini tidak
hanya sekedar mereplikasi model on off tetapi mencoba mengambil celah inisiatif
baru. Diklat ini bisa dianggap suatu perubahan karena memang baru dan belum
ada sebelumnya, intrapreneur yang dimaksud semacam entrepreneur tapi di
sektor publik, karena tantangannya berbeda di company dan sektor publik.
Komitmen pimpinan menjadi utama, ketika Gubernur mengeluarkan Pergub maka
muncullah diklat baru yang mengadopsi kebijakan yang terdapat dalam Pergub
tersebut. Peserta diklat intrapreneur ini merupakan pejabat eselon II dan III. Jenis
inovasi menyangkut perubahan di proses dan metode, prosesnya adalah ketika
menjadi one gate policy, sedangkan metodenya mencakup replikasi on off dengan
spirit intrapreneur yang dilakukan.
Faktor keberhasilan berjalannya gagasan pelatihan ini tidak terlepas dari peran
pimpinan dan seluruh jajaran pemerintah daerah. Secara rinci keberhasilan ini
didukung oleh a) adanya komitmen pimpinan untuk mensinergikan pembangunan
termasuk pelaksanaan diklat; b) adanya SE Mendagri tentang Diklat Satu Pintu; c)
adanya PerKaLAN tentang Pola Baru Diklatpim yang menjadi inspirasi; d)
Dukungan TAPD terhadap Renstra Bandiklat Yang Tinggi; e) adanya perolehan
ISO 9001; f) Terakreditasi Diklat dari LAN. Faktor Penghambat implementasi
program ini adalah a) diklat masih ada yang dilaksanakan secara parsial di SKPD;
b) belum ada kebijakan yang mengatur pelaksanaan diklat secara terintegrasi; c)
masih terdapat ego sektoral; d) jumlah Widyaiswara relatif terbatas; d) sarana dan
prasarana belum update dengan pola baru; e) pemahaman terhadap isu strategis
88
pengembangan SDM masih bervariasi. Manfaat yang diperoleh dari pelaksanaan
program ini adalah a) meningkatnya jaminan kualitas lulusan diklat; b)
mengembangkan kebijakan informasi penyelenggaraan diklat yang terintegrasi; c)
optimalisasi pengembangan SDM Aparatur dengan tersedianya lulusan diklat
secara terintegrasi; d) kontribusi bagi pengembangan SDM Aparatur di seluruh
Indonesia
C. PROYEK PERUBAHAN WILAYAH JAWA TENGAH
bservasi lapangan terhadap proyek perubahan wilayah Jawa Tengah
terdapat beberapa penguatan dari dokumen yang ada. Berdasarkan
data sekunder, dilakukanlah validasi dan updating serta penggalian
informasi penting lain di wilayah validasi Jawa Tengah, dengan tujuan untuk
memastikan bahwa gagasan perubahan yang disusun adalah benar adanya, telah dan
masih dilaksanakan serta telah memiliki manfaat bagi lingkungan. Disamping itu, juga
dalam rangka pembaruan data (updating) data terkait dengan pelaksanaan lanjutan
(tahapan menengah/ panjang) tersebut baik menyangkut data manfaat bagi
masyarakat muapun outcome yang telah dicapai dalam pelaksanaan proyek
perubahan tersebut. Gagasan perubahan yang dikemas dalam proyek perubahan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan Pengembangan Kelembagaan Jasa Keuangan Badan Kredit
Kecamatan (BKK) menjadi Badan Perkreditan Rakyat (BPR) oleh Dadang
Somantri, ATD. MT.
Badan Kredit Kecamatan (BKK) merupakan lembaga yang bertujuan untuk
mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah melalui
penyediaan pembiayaan bagi pengembangan Usaha Mikro dan Kecil (UMK),
dengan harapan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Gagasan
perubahan ini dilatarbelakangi oleh kurang berkembangnya BKK karena status
kelembagaannya yang masih berupa Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dimana
LKM belum diakui oleh Bank Indonesia dan belum diawasi oleh OJK karena bukan
merupakan bank maupun koperasi, sehingga berdampak pada terbatasnya skala
usaha yang dibiayai. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah reformasi
baik dari aspek kelembagaan maupun SDM-nya, sehingga BKK dapat
O
89
berkembang lebih baik dan mampu berkontribusi dalam mewujudkan Visi dan Misi
pemerintahan di bidang perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Inovasi perubahan status kelembagaan Bank Perkriditan Kecamatan (BKK) dari
bentuk LKM menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dilakukan melalui strategi
konsolidasi/merger terhadap 29 BKK yang ada di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah untuk dibentuk menjadi Perusahaan Daerah (PD). Bank Perkriditan
Rakyat (BPR) Bank Perkriditan Kecamatan (BKK). Proses awal yang dilakukan
adalah dengan mendapatkan kesepakatan dari berbagai pihak terutama para
pemangku kebijakan dan para pengurus BKK untuk pembentukan PD. BPR BKK
ini. Kesepakatan awal tidak serta merta diperoleh, karena adanya resistensi dari
pemegang saham di Kabupaten/Kota yang lembaga BKK-nya sudah sehat,
merasa khawatir deviden yang diterimanya akan menurun setelah konsolidasi.
Namun hal ini dapat teratasi melalui sosialisasi yang intensif dengan mengundang
para pakar dari dewan direksi, pemegang saham, dan dewan pengawas sehingga
didapatkan keyakinan bahwa setelah konsolidasi, dengan total aset yang akan
dimerger sekitar 1,7 – 1,8 triliun, lembaga keuangan ini akan menjadi lebih kuat
serta dapat memberikan supply bagi BKK yang kekurangan likuiditas untuk
memberikan bantuan usaha mikro.
Setelah kesepakatan dan dukungan penuh telah diperoleh, langkah selanjutnya
adalah dibentuknya kepengurusan/dewan direksi melalui proses seleksi dari para
pengurus BKK yang berkinerja baik. Dewan direksi ini bertugas mempersiapkan
kelengkapan persyaratan perizinan usaha PD. BPR BKK ke Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Sejalan dengan proses tersebut, dewan direksi juga mulai
menyusun secara mandiri SOP mengenai pelayanan, SDM, dan produk demi
mewujudkan lembaga keuangan yang profesional.
Program ini sudah masuk menjadi bagian dari program revitalisasi BUMD di Jawa
Tengah. Namun sebagai lembaga keuangan yang baru berdiri, hal pertama yang
harus dibenahi adalah mengenai rasio kesehatan lembaga yang harus dijaga
stabilitasnya. Pemerintah pun tidak menjadikan deviden yang tinggi sebagai tujuan
utama, melainkan PD. BPR BKK dituntut untuk menaikkan persentase kredit
produktif dibandingkan dengan kredit nonproduktif. Hal ini menunjukkan bahwa
90
pemerintah sangat concern terhadap pemberdayaan dan pengembangan UKM
sebagai penopang perekonomian rakyat.
Manfaat dari program ini dapat dirasakan langsung oleh masyarakat dengan
beragamnya produk yang ditawarkan, dapat disesuaikan dengan kebutuhan serta
dengan adanya rasa nyaman mempercayakan keuangannya dikelola PD. BPR
BKK karena dijamin oleh LPS. Bagi manajemen PD. BPR BKK, program ini
mendorong inovasi dan kreativitas untuk menyediakan produk yang lebih
bervariasi sesuai selera pasar sehingga dapat meningkatkan jumlah transaksi.
Selain itu juga dapat meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kinerja karena
diawasi oleh lembaga independen yang kompeten yakni OJK sehingga
masyarakat akan mendapatkan pelayanan yang prima (efektif dan efisien).
Adapun bagi pemerintah, dengan semakin banyaknya kredit produktif yang
diberikan, maka dapat meningkatkan hasil usaha yang pada akhirnya akan
dikembalikan lagi kepada masyarakat dalam bentuk pembangunan daerah.
Faktor kunci yang mendukung keberhasilan program ini adalah: a) adanya
dukungan dari para pemangku kebijakan, yang dalam hal ini adalah para
Bupati/Walikota beserta para dewan direksi, pemegang saham serta dewan
pengawas BKK, b) lahirnya aturan-aturan baru dari OJK yang mendukung
percepatan proses penguatan kelembagaan PD. BPR BKK, c) adanya kesiapan
dari para dewan direksi untuk tetap mendukung kemajuan PD. BPR BKK
walaupun tidak terpilih menjadi dewan direksi setelah konsolidasi.
Program ini sangat memungkinkan untuk direplikasi oleh pemerintah daerah
lainnya, dengan prasyarat: a) adanya komitmen dari Kepala Daerah untuk
memajukan perekonomian daerah melalui pemberdayaan usaha kecil dan
menengah; b) lembaga keuangan yang akan dikonsolidasikan haruslah sejenis; c)
adanya kesadaran dan pemahaman bahwa tantangan ekonomi ke depan harus
disikapi sama, yakni dengan membentuk lembaga keuangan yang lebih kuat,
dengan aset lebih besar, sehingga dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat
akan persediaan pembiayaan untuk mencukupi modal pengembangan usahanya.
2. Relokasi Rumah Deret Kampung Keprabon dalam Rangka Penataan
Bantaran Kali Pepe sebagai River Tourism Kota Surakarta oleh Ir. Ahyani,
MA
91
Perkembangan dan kemajuan pembangunan perkotaan di Indonesia tidak bisa
terlepas dari tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh, dimana perkembangan
kawasan tersebut seiring dengan keberhasilan penataan kawasan protokol di
pusat kota. Kawasan kumuh di Kota Surakarta juga menampilkan gambaran
serupa, seakan-akan menjadi halaman belakang dari wajah suatu kota, biasanya
menempati lahan-lahan pinggiran menempel pusat-pusat jasa/perdagangan,
seperti bantaran sungai, tanah-tanah negara dan diatas saluran/pedestarian.
Keberadaaannya sangat mengganggu
lingkungan kapasitas infrastruktur kota.
Dampak ikutannya adalah semakin
melebarnya kesenjangan sosial antara
masyarakat mapan dengan masyarakat
pinggiran di kawasan tersebut. Hal ini
akan mengakibatkan tumbuhnya kota yang terbelah dan rawan krisis sosial.
Salah satu slum area di kota Surakarta
adalah di bantaran Kali Pepe yang
melewati kawasan tengah kota sebelum
mengalir ke Bengawan Solo. Kondisi
Kali Pepe yang merupakan salah satu
fasilitas infrastruktur pengendali banjir
kota sangat memprihatinkan karena tidak berfungsi secara optimal. Sungai dan
bantaran Kali Pepe belum mampu mendukung perannya sebagai salah satu
penyangga kualitas lingkungan dan penyediaan ruang publik. Kompleksitas
permasalahan dalam penataan bantaran Kali Pepe ini menuntut adanya langkah-
langkah strategis, tidak hanya mengedepankan prosedur yang normatif. Oleh
karena itu, untuk mengatasi permasalahan kawasan kumuh di bantaran Kali Pepe,
maka digagaslah program relokasi warga dan penataan bantaran Kali Pepe.
Program ini diawali dengan proses pendekatan dan sosialisasi yang dilakukan
secara langsung dan intensif kepada warga yang akan direlokasi sehingga mereka
memiliki pemahaman yang sama mengenai maksud dan tujuan pelaksanaan
program ini. Dalam sosialisasi ini, dilakukan pemetaan terhadap tingkat prioritas
permasalahan yang terjadi di permukiman bantaran Kali Pepe baik dari aspek fisik,
92
sosial, dan ekonomi, serta pembahasan langkah-langkah yang dilakukan bersama
warga untuk mempercepat proses penataan. Dari proses ini dihasilkan alternatif
yang diharapkan warga yakni dengan dibangunnya Rusunawa sebagai tempat
relokasi.
Proses selanjutnya adalah dilakukannya pemetaan data penduduk secara faktual
dan akurat oleh warga sendiri serta penggalian usulan warga mengenai konsep
Rusunawa yang akan dibangun. Antusiasme warga dalam memberikan aspirasi
menghasilkan konsep Rusunawa dengan penataan yang komprehensif,
mengintegrasikan aspek tempat tinggal (rumah deret), lahan usaha, penataan
ruang publik dan infrastruktur lingkungan. Dengan demikian, pemenuhan
kebutuhan sosial dapat diakomodasi dan diberdayakan potensinya untuk
memperkuat kepentingan pengembalian fungsi (revitalisasi) bantaran Kali Pepe
sebagai infrastruktur pengendali banjir, selain dapat pula dimanfaatkan untuk
memperkuat peran yang lainnya, seperti peningkatan kualitas lingkungan.
Rusunawa sebagai tempat relokasi yang diberi nama Griya 3WMP Keprabon ini
sudah diresmikan pada tanggal 26 Juli 2015 oleh Walikota Surakarta. Warga yang
sebelumnya tinggal di permukiman kumuh bantaran Kali Pepe juga sudah
menempati rumah deret dan lahan usaha yang tersedia disana. Dengan demikian,
tujuan dari tahapan awal program ini sudah tercapai. Untuk selanjutnya, lahan
yang sudah ditinggalkan oleh warga akan dibenahi dan diberdayakan sebagai
ruang publik yang berbasis sungai. Pemanfaatan ruang publik berbasis sungai ini
diharapkan bisa menjadi pembangkit tumbuhnya ekonomi kreatif sebagai bagian
dari upaya pemberdayaan masyarakat bantaran dimana pemerintah akan terus
mengawal dan melakukan pendampingan pemberdayaan masyarakat ini agar
berjalan berkesinambungan sesuai bussiness plan yang dirancang sendiri oleh
masyarakat.
Keberhasilan program ini tidak terlepas dari beberapa faktor kunci yang dilakukan,
yakni sebagai berikut; a) adanya komunikasi yang terbangun secara intensif
dengan warga, dimulai dari sosialisasi sampai dengan kegiatan pemberdayaan
masyarakat setelah penataan fisik selesai dilaksanakan; b) adanya persetujuan/
penetapan lahan hak pakai pemerintah dan tanah negara sebagai bahan relokasi;
c) proses-proses koordinasi dan sosialisasi yang melibatkan stakeholders berjalan
93
dengan baik; d) tersedianya dukungan anggaran yang memadai untuk kegiatan
pembangunan Rusunawa dalam rangka penataan bantaran Kali Pepe.
3. Rumah Pintar Petani mendukung Kedaulatan Pangan oleh Ir. Suryo
Banendro, MP.
Produktivitas tanaman pangan di
Jawa Tengah menunjukkan adanya
pelandaian bahkan
berkecenderungan menurun.
Petani sebagai pelaku utama usaha
tani dalam kondisi yang lemah baik
penguasaan teknologi budidaya
dan posisi tawarnya. Adanya permasalahan manajemen pertanian dari hulu kehilir
menjadi penyebabnya, seperti (1) Menurunnya produktivitas tanaman pangan di
Jawa Tengah, (2) Kurang terintegrasinya pelaksanaan program kegiatan antara
Bidang-Bidang dan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), dan (3) Kurang
memadainya dukungan sarana prasarana dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
kompeten. Rumah Pintar Petani adalah suatu wadah yang berfungsi sebagai one
stop service bagi petani dalam memenuhi semua kebutuhan petani terkait
kegiatan budidaya, diantaranya permodalan, sarana produksi, informasi teknologi,
kebutuhan akan pengairan, jasa alat mesin, prosesing dan pemasaran, disamping
itu rumah pintar juga sebagai tempat musyawarah bagi petani dan stake holder
nya. Penggagasan Rumah Pintar Petani ini bertujuan untuk meningkatkan
produksi tanaman pangan yang berkualitas melalui penanganan yang
komprehensif dalam satu wadah pengelolaan yang terpadu, sehingga
memberikan efisiensi dan manfaat bagi banyak pihak. Rumah Pintar Petani ini
telah dilandasi dengan diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur tentang Rumah
Pintar Petani. Manfaat yang diharapkan saat gagasan ini akan dilaksanakan
adalah 1) Meningkatnya produksi tanaman pangan; 2) Terjaminnya pasokan dan
ketersediaan pangan bagi BKP dan BULOG; 3) Meningkatnya sumber pendapatan
usahatani bagi petani. Strategi pelaksanaan program rumah pintar dilaksanakan
dengan cara 1) Mencari dukungan pimpinan daerah dengan cara meyakinkan
bahwa program ini akan sangat bermanfaat; 2) menjalin kerja sama dengan dinas
94
peternakan, ketahanan pangan (limbah ternak), Bakorluh, serta kolaborasi dengan
swasta untuk penyuluhan serta mensubsidi benih, pupuk dan peralatan pertanian;
3) Menerapkan konsep pertanian modern yakni menggunakan mesin panen dan
tanam; 4) Menyediakan lahan 100 hektar untuk ujicoba penanaman.
Capaian awal pelaksanaan Rumah Pintar Petani (RPP) di dua lokasi, yaitu
Kelompok tani (KT) Sejahtera, Desa Kesuben, Kecamatan Lebaksiu, Kabupaten
Tegal dan KT Amanah Desa Kluwan, Kecamatan Penawangan, Kabupaten
Grobogan. Saat ini kegiatan RPP telah direplikasi ke 6 (enam) kabupaten pada 2
komoditas, yaitu 1) Komoditas Padi (KT Tani Manunggal, Desa Babadan, Kec.
Karangdowo, Klaten; KT Dewi Sri, Desa Cimanggu, Kec. Cimanggu, Cilacap; KT
Sari Rejeki, Desa Pulosari, Kec. Kebakkramat, Karanganyar; KT Margo Mulyo,
Desa Blimbing, Kec. Sambirejo, Sragen); 2) Komoditas Kedelai (KT Tani
Makmur, Desa Dadirejo, Kec. Margorejo, Pati; KT Mekar Tani, Desa Megulung lor,
Kec. Pituruh, Purworejo). Capaian lainnya adalah 1) meningkatnya produktivitas
antara 0,3 s/d 0,9 ton/ha sedangkan untuk komoditas Kedelai meningkat antara
0,1 s/d 0,15 ton/ha; 2) pemasaran hasil khususnya padi telah dilakukan MoU
penjualan gabah (GKP) antara KT Margo Mulyo Sragen dengan PT Tiga Pilar; 3)
mulai hidupnya kelembagaan petani yang ada, seperti: Koperasi Tani, Usaha
Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA), Paguyuban Petani Pemakai Air (P3A); 4)
bertumbuh dan menguatnya usaha peternakan, Pengembangan Agensia hayati
oleh wanita Tani (KT Sari Rejeki), Penangkaran benih padi (KT Sari Rejeki),
Penangkaran benih Kedelai ( KT Tani Makmur, Pati dan KT Mekartani, Purworijo.
Manfaat program rumah pintar petani yang dapat dirasakan adalah 1)
Meningkatnya produksi tanaman pangan (beras dari target 5,3 ton menjadi 10,6
ton, kedelai dari target 100 ribu ton menjadi 131 ton, Jagung dari target 3 juta ton
menjadi 3,3 juta ton); 2) Meningkatnya sinergitas bagi kelembagaan petani
(dikoordinasikan dengan dinas peternakan, dinas pertanian dengan badan
koordinasi penyuluhan); 3) Meningkatnya sumber pendapatan usaha tani bagi
petani (hasil lebih cepat mutu panen membaik, menggunakan pupuk limbah
ternak); 4) Meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan bagi petani (melalui
penyuluhan dan penggunaan mesin tanam dan panen); 5) Terjaminnya pasokan
dan ketersediaan pangan bagi BKP dan BULOG; 6) Termanfaatnya limbah
95
biomassa pertanian untuk pakan ternak bagi Dinakkeswan (sebagai bagan pupuk
organik); 7) Efisiensi penggunaan air untuk budidaya bagi pengelolaan di Dinas
PSDA; 8) Terjaganya lingkungan pertanian yang sehat, utamanya yang terkait
dengan emisi gas rumah kaca (GRK) bagi Badan Lingkungan Hidup; 9)
Penyuluhan semakin efektif bagi Sekretariat Bakorluh; 10) Meningkatnya
penyerapan dana untuk modal usaha di lembaga keuangan.
Tahapan pelaksanaan Program Rumah Pintar Petani adalah 1) membangun Tim
Efektif untuk pengelolaan rumah pintar petani dengan kelompok tani; 2)
penyusunan draf SK Gubernur tentang Rumah Pintar Petani; 3) sosialisasi
Gerakan Rumah Pintar Petani; 4) penerapan RPP di Kabupaten Grobogan dan
Kabupaten Tegal; 5) sosialisasi SK Gubernur tentang Rumah Pintar Petani; 6)
mereplikasikan kegiatan jangka pendek ke kabupaten lain, sehingga tiga tahun ke
depan RPP sudah dilaksanakan di semua Kabupaten se Jawa Tengah; 7)
menjadikan model Rumah Pintar Petani di Jawa Tengah sebagai model RPP di
Indonesia dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan Nasional. Faktor kunci
keberhasilan program Rumah Pintar Petani ini adalah 1) adanya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; 2)
diterbitkannya Surat Keputusan Gubernur tentang Rumah Pintar Petani (RPP); 3)
adanya komitmen pimpinan dan dukungan stakeholder untuk meningkatkan
produksi dan kesejahteraan petani; 4) Adanya dukungan dari organisasi kelompok
tani; Adanya bantuan benih dan mesin panen/tanam (traktor/combine machine);
5) Adanya pengelolaan sistem sewa terhadap mesin panen/tanam
(traktor/combine machine) sehingga kelompok tani lebih peduli dan kreatif
terhadap bantuan yang telah diberikan. sedangkan faktor penghambatnya adalah
1) Belum tersedianya anggaran secara khusus, sehingga pelaksanaan kegiatan
kurang begitu lancar; 2) Proses pelaksanaan ujicoba Rumah Pintar Petani (RPP)
kurang lancar ada yang terkendala Musim Tanam/ Ketersediaan air irigasi.
Untuk mereplikasi program ini instansi pemerintah daerah dapat melakukan
sebagai berikut 1) adanya dukungan pembiayaan dari pemerintah Pusat maupun
Daerah mengingat telah diterbitkanya SK Gubernur Jateng Nomor 520/74 Tahun
2014, tentang Gerakan Rumah Pintar Petani dalam rangka mendukung
96
Kedaulatan Pangan; 2) Adanya komitmen pimpinan dan stakeholder dalam
meningkatkan produksi dan kesejahteraan petani; 3) Adanya dukungan dari
organisasi Kelompok Tani; 4) pemerintah menempatkan diri sebagai fasilitator
sehingga kelompok tani dapat kebih kreatif dalam mengelola RPP.
4. Optimalisasi Kuantitas dan Kualitas Pelayanan Keluarga Berencana Melalui
Pengaturan Akses Serta Penyelenggaraan Pelayanan dan Pembiayaan
Keluarga Berencana Metode Operasi Pria (MOP) dan Metode Operasi Wanita
(MOW) Era Jaminan Kesehatan Nasional oleh Dra. Gati Setiti, M.Hum.
Program KB Indonesia di era Jaminan Kesehatan Nasional mempunyai sasaran
untuk melaksanakan BPJS Kesehatan dengan
indikator peningkatan persentase penduduk
yang memiliki jaminan kesehatan mengikuti
layanan KB. Harapan akan meningkatnya
jumlah penduduk yang mengikuti layanan KB
belum berkorelasi positif dengan pelayanan
yang diberikan di daerah. Di Kota Salatiga
sampai Tahun 2013 kondisi pelayanan KB
menunjukkan hasil yang belum maksimal, hal ini terlihat dari: 1) belum optimalnya
dampak pembinaan akseptor dan advokasi KIE (Komunikasi Informasi dan
Edukasi) terhadap capaian program KB, dan 2) capaian angka peserta KB aktif
(angka Contraceptive Prevalence Rate (CPR)) dan jumlah Pasangan Usia Subur
(PUS) belum terlayani KB (Unmet Need) yang belum memuaskan. Dari kondisi
tersebut, penyebab masalah utama adalah CPR yang tidak optimal serta Total
Fertility Rate (TFR) dan Unmet Need yang masih tinggi, hal ini dikarenakan: a)
belum adanya pengaturan akses pelayanan dan pembiayaan KB MOP dan MOW,
b) kurangnya dukungan pendanaan di lapangan, c) terbatasnya penyuluh KB, dan
d) pemakaian metode kontrasepsi jangka panjang masih rendah.
Untuk mewujudkan sasaran yang akan dicapai dalam rangka mewujudkan
Penduduk Tumbuh Seimbang Tahun 2015 yang ditandai dengan Angka Fertilitas
Total/Total Fertility Rate (TFR) sebanyak 2,1 dan Net Reproduction Rate (NRR)
yaitu banyaknya anak perempuan yang dilahirkan oleh setiap perempuan dalam
97
masa reproduksinya sebanyak 1 di era JKN, maka diperlukan strategi dalam
pelaksanaan program KB di Kota Salatiga.
Strategi yang dapat ditempuh melalui pengaturan akses serta penyelenggaraan
pelayanan dan pembiayaan Keluarga Berencana MOP dan MOW, yaitu dengan
penerbitan Petunjuk Teknis Pengaturan Akses Pelayanan KB MOP dan MOW,
terwujudnya Perjanjian Kerjasama Pelayanan KB MOP dan MOW dengan
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (RSUD Kota Salatiga dan RST dr. Asmir Kota
Salatiga) serta penetapan Peraturan Walikota tentang Pelayanan KB di Kota
Salatiga. Dengan berbagai langkah tersebut diharapkan dapat tercapai
optimalisasi kuantitas dan kualitas pelayanan KB di Kota Salatiga seperti :
meningkatnya capaian akseptor baru 10%, menurunnya Unmet Need menjadi 6%,
menurunnya drop out akseptor KB sebanyak 10% dan menurunnya angka
komplikasi dan kegagalan KB 10%.
Tahapan jangka pendek yang dilalui dalam program ini adalah membentuk
Petunjuk Teknis akses pelayanan dan pembiayaan KB MOP dan MOW, membuat
Perjanjian Kerja Sama pelayanan KB dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan,
serta melaksanakan sosialisasi pengaturan akses dan pembiayaan pelayanan KB
di Kota Salatiga. Capaian program saat ini adalah sedang dilakukan penyusunan
Peraturan Walikota Salatiga tentang Penyelenggaraan Pelayanan KB. Setelah
Peraturan Walikota Salatiga tentang Penyelenggaraan Pelayanan KB selesai dan
disahkan, langkah selanjutnya adalah melakukan sosialisasi peraturan tersebut
kepada seluruh stakeholder terkait. Dalam jangka panjang diharapkan dapat
terwujud optimalisasi kuantitas dan kualitas pelayanan KB di Kota Salatiga.
Dalam pelaksanaannya, ditemui beberapa hambatan yakni: a) keterbatasan
tenaga yang menguasai masalah teknis pembiayaan dan pelayanan; b) kurangnya
perhatian dan konsistensi penentu kebijakan; c) tumpang tindihnya kewenangan
dengan Dinas Kesehatan dan BPJS. Dalam menghadapi hambatan ini, alternatif
solusi yang dipilih adalah koordinasi secara intensif dengan para stakeholder yang
terlibat dalam program serta percepatan penyusunan Peraturan Walikota Salatiga
tentang Penyelenggaraan Pelayanan KB agar penyelenggaraan program memiliki
status hukum yang kuat.
98
Adapun yang menjadi faktor kunci dalam keberhasilan program ini adalah adanya
komitmen dan konsistensi dukungan dari para penentu kebijakan serta kerja sama
yang baik antar tim yang terlibat dalam pelaksanaan program. Program ini sangat
mungkin untuk direplikasi dengan prasyarat sebagai berikut: a) adanya dukungan
dan komitmen dari para penentu kebijakan; b) adanya komitmen pimpinan dan
stakeholder dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas penyelenggaraan KB.
5. Inovasi e-Government untuk Peningkatan Kinerja Penyelenggaraan
Pemerintahan oleh Dr. Sri Budi Santoso, M.Si.
Perkembangan dan pemanfaatan e-government di lingkungan pemerintah saat ini
dapat dapat dikatakan belum optimal dan tertinggal dari sektor bisnis, walaupun
beberapa inisiasi sudah mulai
bermunculan di beberapa instansi
pemerintahan baik di pusat maupun
daerah. Tetapi inisiatif tersebut masih
bersifat sektoral serta belum
terintegrasi, sehingga belum dirasakan
kemanfaatan yang optimal bagi
peningkatan kinerja, peningkatan
kapasitas lembaga dan pelayanan
publik. Di Kota Pekalongan juga
mengalami kondisi serupa,
permasalahan strategis yang dihadapi terkait pengembangan e-government yang
belum terintegrasi dalam rangka penguatan good governance dan percepatan
pembangunan daerah. Pilar-pilar pokok pengembangan e-government di Kota
Pekalongan sebenarnya sudah memadai tetapi masih bersifat parsial, oleh karena
itu sudah saatnya mengagendakan inovasi e-government pada tahapan yang lebih
maju yaitu e-government untuk integrasi dan transformasi pemerintahan.
Konteks inovasi yang dilakukan lebih mengarah pada pengembangan dan
implementasi inovasi e-Government pada tahapan mewujudkan transform and
integrated government, yaitu dalam bentuk aplikasi layanan internal (e-office/surat
online) dan aplikasi layanan eksternal, dimana dalam satu sisi, untuk mewujudkan
peningkatan kualitas pelayanan publik dan kinerja administrasi internal SKPD, dan
99
di sisi lain mewujudkan integrasi data dan proses bisnis manajemen
penyelenggaraan Pemda. Perubahan yang dilakukan antara lain : 1)
Pengembangan dan implementasi layanan aplikasi (SIM) internal (Digital-Mobile-
Online Office),” berupa implementasi administrasi perkantoran digital-online-
mobile melalui aplikasi “surat online” atau inovasi “paperless-digital-mobile office.
Perubahan yang dilakukan melalui aplikasi ini lebih mengarah agar administrasi
pemerintahan berada dalam “genggaman” dan dapat diakses kapan dan dari
mana saja, sehingga menjadi lebih efektif dan efisien; 2) Pengembangan dan
implementasi layanan eksternal, yang dilakukan melalui: a) Aplikasi/SIM Layanan
Informasi Kegiatan SKPD, untuk memberikan layanan informasi kepada
masyarakat dan antar SKPD tentang agenda kegiatan organisasi; b) Aplikasi/SIM
Layanan Informasi Eksekutif, yaitu aplikasi yang baru diciptakan sebagai layanan
informasi strategis kepada masyarakat berbasis digital; c) Aplikasi/SIM
Administrasi Kelurahan untuk pembuatan Surat Keterangan Kelurahan yang
terintegrasi dengan database SIAK/e-KTP, dimana pelayanan permintaan surat
keterangan warga tidak secara manual lagi karena menggunakan database
SIAK/e-KTP di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Inovasi e-Government
yang mengarah pada transform and integrated government juga mencakup 3 (tiga)
level sasaran manajemen perubahan yaitu : perubahan dalam level strategi dan
kebijakan, perubahan pada level manajemen dan operasional, dan perubahan
pada budaya dan perilaku kerja aparatur pemerintah dan masyarakat.
Secara garis besar, milestone dari program ini terbagi dalam 6 pentahapan utama,
yakni: a) Perencanaan (Pematangan Rencana Aksi/ Agenda Inovasi); b)
Pengembangan Komitmen dan Dukungan Implementasi; c) Assesment dan
Penyiapan (instalasi) teknologi pendukung (network, hardware, aplikasi); d)
Capacity Building; e) Implementasi dan pendampingan; f) Manajemen program.
Adapun faktor-faktor yang menjadi kunci keberhasilan program ini adalah a)
komitmen dan dukungan level strategis kebijakan pada level eksekutif dan
legislatif, termasuk stakeholder yang terkait; b) Dukungan regulasi dan kebijakan
sebagai perwujudan dari komitmen dan dukungan level strategik politik; c)
Dukungan aspek manajerial-operasional dari pemimpin level menengah dan
100
pelaksana teknis, termasuk program capacity building; dan d) Dukungan sarana
dan prasarana dalam penerapan teknologi e-government.
Dalam pelaksanaan program ini juga terdapat beberapa hambatan yang terjadi,
yakni : a) Kesulitan implementasi (operasional pemanfaatan aplikasi e-gov) pada
level top manajemen atau manajemen puncak Pemerintah Kota Pekalongan; b)
Kesulitan dalam operasional aplikasi oleh Kepala SKPD, terutama yang belum
familiar dengan ICT; c) Kurangnya daya dukung teknologi yang digunakan,
terutama dari aspek infrastruktur jaringan dan data center; d) Tingginya tuntutan
layanan helpdesk, terutama pada masa-masa awal implementasi, baik dalam
aspek aplikasi, infrastruktur maupun teknis operasional. Dalam menghadapi
hambatan ini, beberapa alternatif solusi yang dilakukan antara lain : a) menjalin
koordinasi secara intensif dengan para pemangku jabatan di lingkungan
Pemerintah Kota Pekalongan; d) perbaikan yang berkesinambungan terhadap
aspek sarana dan prasarana terutama yang berkaitan dengan infrastruktur
teknologi; e) peningkatan kapasitas SDM IT dari seluruh stakeholder terkait
melalui bimbingan teknis.
Adapun manfaat yang diharapkan dari program ini adalah : a) Mendorong
reformasi birokrasi dimana penerapan aplikasi Layanan Administrasi Kelurahan
yang terintegrasi dengan database SIAK/e-KTP merupakan perbaikan area tata
laksana, penerapan SIM Layanan Informasi Kegiatan SKPD maupun Sistem
Informasi Eksekutif merupakan penguatan akuntabilitas kinerja, serta penerapan
SIM Digital-Mobile-Online Government mendorong penataan tata laksana; b)
Mendorong perbaikan kinerja SKPD dimana penerapan SIM Digital-Mobile-Online
Government mempermudah akses dan komunikasi setiap pegawai, penerapan
aplikasi paperless-mobile dan digital office mempermudah pencarian dokumen
administrasi secara sistematis, serta penerapan aplikasi Layanan Administrasi
Kelurahan yang terintegrasi dengan database SIAK/E-KTP meningkatkan kinerja
kelurahan dalam melayani masyarakat; c) Layanan Informasi Kegiatan SKPD
maupun Sistem Informasi Eksekutif dan Layanan Administrasi Kelurahan
merupakan bentuk peningkatan kualitas pelayanan publik terutama menyangkut
kecepatan, kemudahan akses dan keterbukaan informasi publik, dan d)
Memberikan manfaat bagi stakeholder/masyarakat dimana SIM Layanan
101
Informasi Kegiatan mempermudah akses bagi publik untuk mengetahui dan
memudahkan interaksi dengan SKPD serta Sistem Informasi Eksekutif
memberikan manfaat bagi stakeholder untuk memantau dan mencari informasi
strategis mengenai kondisi dan kinerja Pemerintah Kota Pekalongan.
D. PROYEK PERUBAHAN WILAYAH JAWA TIMUR
bservasi lapangan terhadap proyek perubahan wilayah Jawa Timur
terdapat beberapa penguatan dari dokumen yang ada. Berdasarkan
data sekunder, dilakukanlah validasi dan updating serta penggalian
informasi penting lain di wilayah validasi Jawa Timur, dengan tujuan untuk memastikan
bahwa gagasan perubahan yang disusun adalah benar adanya, telah dan masih
dilaksanakan serta telah memiliki manfaat bagi lingkungan. Disamping itu, juga dalam
rangka pembaruan data (updating) data terkait dengan pelaksanaan lanjutan (tahapan
menengah/ panjang) tersebut baik menyangkut data manfaat bagi masyarakat
maupun outcome yang telah dicapai dalam pelaksanaan proyek perubahan tersebut.
Gagasan perubahan yang dikemas dalam proyek perubahan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Peningkatan Fungsi Dan Peran Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat
(FKDM) Dalam Mencegah Munculnya Gangguan Keamanan oleh Hardi Utoyo
(Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kota Pasuruan)
Keberadaan FKDM pada kenyataannya masih belum berjalan dengan
semestinya. Di lain sisi, FKDM merupakan merupakan salah satu sarana yang
berfungsi untuk dapat menjaring, menampung, mengkoordinasikan dan
mengkomunikasikan data dan informasi dari masyarakat mengenai potensi
ancaman/gangguan stabilitas wilayah. Sebagai upaya untuk mengoptimalisasi
peranan FKDM, maka diperlukan realisasi kantor sekretariat FKDM sebaqai pusat
pengaduan masyarakat untuk lebih mengenalkan dan mendekatkan diri kepada
masyarakat setempat, revisi
Peraturan Walikota Pasuruan
Nomor 188/292/423.012/2007
tentang FKDM, penyusunan
prosedur dan mekanisme
pelaporan dan sosialisasi tentang
O
102
FKDM. Fungsi FKDM sendiri adalah sebagai pendukung kinerja kepolisian dalam
menjaga stabilitas keamanan di Kota Pasuruan.
Tujuan program optimalisasi FKDM adalah untuk 1) Merevisi Peraturan Walikota
tentang Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM); 2) Menyusun mekanisme
dan prosedur pelaporan bagi masyarakat; 3) Meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia Anggota Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat melalui pembinaan
secara berkelanjutan; 4) Menyiapkan rencana ruang Sekretariat Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM). Strategi yang ditempuh untuk
melaksanakan program optimalisasi fungsi FKDM adalah 1) Pemberian reward
bagi anggota FKDM yang berprestasi dalam melaksanakan tugasnya; 2) Menjalin
komunikasi yang efektif bagi stakeholder internal dan eksternal; 3) Menyediakan
dana yang memadai untuk kegiatan operasional FKDM.
Keberlanjutan Program sudah dapat dijamin karena program FKDM sampai saat
ini sudah terbentuk tim hingga tingkat kelurahan, yang pada rencana awal hanya
sampai pada tingkat kecamatan. Penanganan informasi dalam forum FKDM dapat
diselesaikan dalam 1 hari dan diteruskan pada instansi berwenang. Upaya
sosialisasi juga terus dilakukan dengan mengadakan Forum Senin. Forum Senin
adalah Forum sosialisasi kepada masyarakat yang diadakan di kantor kecamatan
setempat pada hari Senin. Tim dukungan dari FKDM itu sendiri adalah
Masyarakat, Bakesbangpol, Kepolisian, Kodim, Kejaksaan, dan Yonsipur. FKDM
pada tahun depan menyediakan kotak pengaduan di kantor Bakesbangpol yang
sekaligus sebagai kantor sekretariat Bakesbangol. Kotak pengaduan adalah
sebagai salah satu instrumen pendukung untuk menampung keluhan stakeholder.
Melalui program ini telah tercapai beberapa target yang ditentukan seperti a)
sudah terbentuknya tim teknis sampai tingkat kelurahan; b) draf revisi pereaturan
walikota Pasuruan; c) SOP praktis tentang pelaksanaan teknis forum; d)
Peningkatan laporan dari masyarakat terkait gangguan keamanan di daerah Kota
Pasuruan; e) adanya reward bagi anggota sebesar 150 ribu rupiah; f)
pengembangan isu sampai pada isu terkait ISIS, Islam Nusantara dan budaya
laten PKI.
Faktor kunci keberhasilan program ini adalah a) adanya Peraturan yang
mendukung pelaksanaan Optimalisasi peran FKDM; b) adanya mekanisme dan
103
prosedur yang jelas mengenai tata laksana FKDM; c) adanya sosialisasi tentang
peranan FKDM kepada stakeholder terkait; d) adanya anggaran memadai untuk
operasionalisasi program.
Kemanfaatan program selama pengimplementasian sudah terasa manfaatnya
bagi masyarakat. Kemanfaatan yang dirasakan itu seperti a) adanya peningkatan
peran stakeholder dalam peningkatan fungsi dan peran FKDM; b) adanya
peningkatan kerjasama anggota FKDM dalam melaksanakan pengadministrasian
kegiatan dan pencapaian hasil secara efektif dan efisien; c) mengangkat citra
Bakesbangpol sebagai salah satu institusi yang mampu mendukung terciptanya
stabilitas keamanan; d) masyarakat dapat lebih mengenal Bakesbangpol melalui
forum FKDM.
Program ini tidak luput dari hambatan yang dapat mengurangi kemanfaatannya
seperti a) besarnya kebutuhan dana operasional program peningkatan peran
FKDM; b) rendahnya respon masyarakat terhadap keberadaan FKDM; c) adanya
anggapan dari Pemkot Pasuruan bahwa stablitas merupakan urusan yang
dinomorduakan; d) tidak terjalinnya komunikasi dua arah antara Bakesbangpol
Kota Pasuruan dan masyarakat setempat; f) masyarakat masih takut dan malu
untuk melaporkan tindakan mencurigakan yang terjadi di sekitar mereka. Untuk
menyelesaikan permasalahan itu dilakukan solusi seperti a) sosialisasi secara
berkelanjutan kepada stakeholder terkait bahwa keberadaan FKDM sangat
penting di masyarakat; b) mengajukan tambahan dana kepada pemerintah dan
DPRD terkait operasionalisasi FKDM; d) menanamkan keyakinan bahwa
masyarakat juga bagian penting dari upaya stabilitas keamanan kota Pasuruan
Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) dapat direplikasi dengan prasyarat
sebagai berikut a) adanya ketersediaan dana yang memadai untuk
keberlangsungan FKDM; b) dukungan dari masyarakat bahwa masyarakat harus
berpartisipasi aktif dalam forum FKDM; c) sosialisasi tentang peranan FKDM
kepada stakeholder.
2. Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi dengan Metode
Kolaborasi Program Contra War (Contraceptive For Women At Risk) dan
Sutera Emas (Surveilans Epidemiologi Terpadu Berbasis Masyarakat) di
104
Kabupaten Malang oleh Hadi Puspita (Badan Keluarga Berencana
Kabupaten Malang)
Penerapan Sutera Emas untuk KB berawal dari tingginya angka kematian ibu pada
2013 yang mencapai 39 kasus. Kolaborasi program contra war dan sutera emas
dilatar-belakangi oleh tingginya Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi
(AKI dan AKB) di Kabupaten Malang. Di samping itu, program-program reguler di
bidang keluarga berencana belum berdaya ungkit secara maksimal terhadap AKI
dan AKB. Selama ini, kematian ibu di Kabupaten Malang sebanyak 80 persen
disebabkan penyakit bawaan sebelum hamil yang harus dicegah seperti TBC dan
jantung. Untuk itu, masyarakat harus mau mendeteksi kasus di sekitarnya dan
melaporkan secepat mungkin kepada tenaga kesehatan.
Kunci keberhasilan sistem adalah sukses menggerakkan kader. Perhatian
terhadap kader berbentuk nonmateri merupakan kunci utama. Perhatian
nonmateri penting karena perhatian berbentuk materi hanya berupa insentif Rp
10.000 per bulan untuk kader KB. Uang itu akan diputar untuk arisan kader.
Setiap bulan, ada acara temu
kader sebagai ajang berbagi
pengalaman dan penyegaran
kemampuan kader. Saat itulah
Hadi hadir untuk mendekatkan diri
dengan kader dan membagi ilmu
kesehatan. Menurut Hadi, kader
ingin disapa, diperhatikan, dan mendapatkan penyegaran pengetahuan.
Ambulans desa disiapkan dengan menggilir kendaraan milik warga, yang bisa siap
setiap hari selama seminggu. Tenaga kesehatan desa pun diwajibkan berkunjung
ke rumah pasien yang tidak mampu menjangkau layanan kesehatan. Semua
puskesmas beroperasi 24 jam.
Strategi untuk pelaksanaan program tersebut adalah a) Pengoptimalan tenaga
program keluarga berencana, b) Perencanaan Program Keluarga Berencana, c)
Menentukan metode pelaksanaan yang tepat untuk pelaksanaan Program
Keluarga Berencana, dan d) Memperbaiki sarana dan prasarana program
keluarga berencana. Adapun manfaat yang ingin dicapai pada saat program
105
tersebut digagas adalah a) Meningkatkan kinerja Badan Keluarga Berencana
sesuai visi dan misi Pemerintah Kabupaten Malang, b) Memudahkan petugas
untuk dapat mengetahui sasaran Unmet Need by name, by address dan by case,
c) Meningkatkan pemahaman petugas bahwa peningkatan cakupan akseptor KB
baru seharusnya berbanding lurus dengan penurunan AKI dan AKB, d)
Mengurangi mindset ego sektoral dan ego program, e) Merangsang semangat
petugas untuk bekerja lebih inovatif dan lebih bertanggung jawab, f) Memudahkan
petugas dalam melakukan pendampingan terhadap akseptor KB dari kelompok
Unmet Need dalam melaksanakan kehamilan terencana, g) Meningkatkan
kerjasama lintas program dan lintas sektoral, h) Meningkatkan kualitas pelayanan
keluarga berencana bagi masyarakat, i) Data wanita usia subur dari pasangan usia
subur yang butuh ber KB tetapi belum terlayani yang sedang menderita penyakit
menular, penyakit tidak menular, penyakit bawaan serta mempunyai riwayat faktor
risiko tinggi kebidanan pada kehamilan sebelumnya, dapat diperoleh secara
otomatis dari server Sutera Emas Dinas Kesehatan, j) Data diperoleh dari kegiatan
surveilans yang berlangsung secara terus menerus 24 jam non stop serta
pelaporannya berlangsung realtime (setiap saat), k) Sasaran baru program
kesehatan by name, by address bermanfaat untuk update data akseptor aktif dan
unmetneed, l) Adanya guidance yang mempermudah penemuan dan
penatalaksanaan Wanita Usia Subur yang berisiko tinggi, m) Meminimalisir
kemungkinan terjadinya under dan double recording dalam pelaporan data Wanita
Usia Subur berisiko tinggi, n) Update data peserta KB Aktif dan unmetneed sangat
mudah dan cepat dilakukan karena sudah tersedia guidance (pedoman) yang
merupakan output data dari program Sutera Emas, o) Jumlah calon akseptor baru
dari kelompok WUS Risti (Unmetneed) yang menjalani penapisan reproduksi tidak
terbatas karena data-data tersebut diekspor secara otomatis oleh server Sutera
Emas ke server Contra War, p) Data by name by address WUS Risti dari server
Contra War akan terkirim secara otomatis ke nomor-nomor HP PPLKB, q)
Terjadinya peningkatan cakupan Akseptor KB baru dari kelompok Wanita Usia
Subur (Unmet Need) berisiko tinggi melalui proses penapisan reproduksi terhadap
Wanita Usia Subur yang sedang menderita suatu penykit (menular, tidak menular
atau bawaan) dan mempunyai faktor-faktor risiko terhadap kehamilan, serta
106
pernah mempunyai riwayat kehamilan berisiko tinggi sebelumnya, yang dapat
membahayakan proses kehamilan dan persalinan selanjutnya, dengan
penggunaan kontrasepsi yang tepat selama masa penyembuhan penyakitnya
sesuai rekomendasi dokter puskesmas dan dokter spesialis, r) Terjadinya
peningkatan pelayanan kesehatan bagi akseptor KB baru dari kelompok Wanita
Usia Subur berisiko tinggi (Unmet Need), s) Mempercepat rencana aksi
Pemerintah Kabupaten Malang dalam pencapaian tujuan MDG’s
Milestone/tahapannya meliputi tahap I, a) Terbitnya SK Bupati tentang Tim Contra
War Badan Keluarga Berencana Kabupaten Malang, b) Tersusunnya Buku
Panduan Program Contra War, c) Tersusunnya Buku Panduan Kolaborasi
Program Contra War dan Sutera Emas, d) Tersusunnya Buku Pedoman Teknis
Kolaborasi Program Contra War dan Sutera Emas Bagi Tim Medis Rumah Sakit
dan Dokter, e) Tersusunnya Buku Pedoman Teknis Kolaborasi Program Contra
War dan Sutera Emas Bagi Bidan, PPLKB, PKB dan PLKB, f) Tersusunnya Buku
Pedoman Teknis Kolaborasi Program Contra War dan Sutera Emas Bagi Kader
Keluarga Berencana, g) Terlaksananya sosialisasi bagi anggota Tim Kolaborasi
Program Contra War – Sutera Emas dan Pengurus PKK Kabupaten, h)
Terlaksananya sosialisasi bagi Kepala Puskesmas, Paramedis RSUD
Kanjuruhan, PKB, PPLKB / PLB, Bidan Desa dan kader KB, i) Terlaksananya
bimbingan teknis bagi Kepala Puskesmas, Paramedis RSUD Kanjuruhan, PPLKB,
PLKB, Bidan Desa dan Kader KB, j) Terbangunnya sistem aplikasi Contra War, k)
Pelaksanaan uji coba kolaborasi program Contra War dan Sutera Emas di
Kecamatan Kepanjen, l) Penurunan Angka Kematian Ibu menjadi <70 / 100.000
Kelahiran Hidup pada akhir 2014, m) Penurunan kasus kematian ibu menjadi 75%
pada akhir tahun 2014, n) Angka Kematian bayi baru lahir dapat dipertahankan
sebesar 4/1.000 kelahiran hidup pada akhir tahun 2014, o) Penurunan angka
kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet Need) menjadi 9% pada akhir
2014.
Tahap 2 meliputi, a) Terlaksananya kesiapan sumber daya kolaborasi program
Contra War – Sutera Emas di Badan Keluarga Berencana, RSUD Kanjuruhan,
RSUD Lawang dan Dinas Kesehatan Kabupaten Malang, b) Diusulkannya
anggaran pengembangan Kolaborasi Program Contra War – Sutera Emas, c)
107
Terlaksananya monitoring, evaluasi dan penyempurnaan Kolaborasi Program
Contra war – Sutera Emas pada periode jangka menengah secara periodik, d)
Terlaksananya pelaporan perkembangan Kolaborasi Program Contra War –
Sutera Emas kepada sponsor program (Sekretaris Daerah) dan Bupati secara
periodik, e) Penurunan angka kebutuhan ber KB yang tidak terpenuhi menjadi 6,5
%, f) Peningkatan cakupan Akseptor KB baru dari kelompok Wanita Usia Subur
berisiko tinggi sesuai rekomendasi dokter spesialis, g) Peningkatan pelayanan
kesehatan bagi akseptor KB baru dari kelompok Wanita Usia Subur berisiko tinggi.
Tahap ke 3 meliputi, a) Terlaksananya Monitoring, evaluasi dan penyempurnaan
Kolaborasi Program Contra War – Sutera Emas secara periodik, b) Terlaksananya
pelaporan perkembangan Kolaborasi Program Contra War – Sutera Emas progam
(Sekretaris Daerah) dan Bupati secara periodik, c) Terjadinya penurunan angka
kematian ibu (AKI) menjadi <50 / 100.000 kelahiran hidup, d) Terjadinya
penurunan angka kematian bayi (AKB) sebesar <4 /1.000 kelahiran hidup.
Faktor Kunci Keberhasilan (Faktor Pendorong) Program; a) Adanya keinginan
untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi; b) Adanya kemauan dari
stakeholder terkait untuk melaksanakan kegiatan, c) Adanya partisipasi dari
akseptor KB dari kelompok Wanita Usia Subur; d) Adanya pelayanan kesehatan
yang memadai dari fasilitas kesehatan.
Faktor Penghambat dari sisi Internal, antara lain a) Kekurangan Jumlah petugas
lapangan KB; b) Anggaran yang digunakan untuk pengembangan program
Percepatan Penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi Dengan Metoda Kolaborasi
Program Contra War di Kabupaten Malang; c) Peningkatan cakupan peserta KB
aktif belum berhasil menurunkan Angka Kebutuhan ber KB yang belum terlayani
khususnya bagi WUS berisiko tinggi; d) Pemanfaatan sistem informasi berupa
pendistribusian laptop dan modem di setiap kecamatan belum dimanfaatkan
secara optimal.
Faktor penghambat dai sisi Eksternal, antara lain meliputi a) SDM di Rumah Sakit,
Puskesmas, Klinik dan Rumah Sakit Bersalin, Bappeda dan KP3A terbatas; b)
Belum adanya keterpaduan anggaran untuk kolaborasi Program Contra War –
Sutera Emas di masing-masing SKPD; c) Sarana dan Prasarana di masing-
108
masing SKPD belum dimanfaatkan untuk strategi percepatan pencapaian tujuan
MDGs secara terpadu.
Sampai saat ini keberlanjutan Program masih tetap berjalan, dan capaian saat ini,
sedang dilaksanakan Bimbingan Teknis Kolaborasi Program Contra War. Manfaat
program, a) Meningkatkan dukungan stakeholder terhadap keberlangsungan
program; b) Memberi pemahaman kepada stakeholder mengenai manfaat
Kolaborasi Program Contra-War.
Prasyarat bagi pihak lain yang ingin mereplikasi, adanya komitmen dari pimpinan,
mau bekerja keras, adanya anggaran (untuk pelaksanaan bimtek dan lainnya).
3. Optimalisasi manajemen sumber daya dan potensi program pengendalian
penyakit tuberkulosa melalui revitalisasi jejaring kerja guna mewujudkan
efektivitas dan efisiensi organisasi oleh Tries Anggraeni (UPT RS Paru Batu)
Penanggulangan Tuberkulosis merupakan program nasional yang harus
dilaksanakan di seluruh Unit Pelayanan Kesehatan termasuk rumah sakit. Khusus
bagi pelayanan pasisen tuberkulosis di rumah sakit dilaksanakan dengan strategi
Directly Observed Treatment Short Course (DOTS). Hal tersebut memerlukan
pengelolaan yang lebih spesifik, karena dibutuhkan kedisiplinan dalam penerapan
semua kebijakan/standar prosedur operasional ditetapkan. Di samping, perlu
adanya koordinasi antar unit pelayanan dalam bentuk jejaring serta penerapan
standar diagnosa dan terapi yang benar. Dukungan yang kuat dari jajaran direksi
rumah sakit berupa komitmen dalam pengelolaan sangat penting. Sukses dalam
pelayanan TB bukan saja akan meningkatkan angka kesembuhan pasien, tetapi
juga mencegah terjadinya akibat lebih lanjut berupa Multi Drug Resistant (MDR)
atau Extreme Drug Resistant (XDR) TB.
Survei yang telah dilakukan oleh
Direktorat Jenderal Bina
Pelayanan Medik pada bulan
Juli 2009 menunjukkan bahwa
tingkat pencapaian pelayanan
pasien TB dengan strategi
DOTS di rumah sakit masih rendah. Salah satu penyebabnya adalah tingkat
komitmen jajaran direksi di rumah sakit yang belum terwujud dan belum
109
dipenuhinya berbagai faktor yang dibutuhkan lagi bagi keberhasilan penerapan
pelayanan TB di rumah sakit.
Jenis pelayanan di RS Paru Batu dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok
besar yaitu Pelayanan Paru dan Pelayanan Non Paru, dengan masing-masing
pelayanan meliputi rawat jalan dan rawat inap. Tetapi tenaga spesialis paru masih
belum memenuhi standar karena spesialis paru yang tersedia baru 1 (satu) orang
dan dokter sub spesialis bedah TKV belum tersedia. Beberapa permasalahan
dalam kinerja RS Paru Batu dalam program pencegahan dan pemberantasan TB,
antara lain : belum optimalnya dukungan RS dalam program P2TB di wilayah
binaan RS Paru Batu sesuai SK Kadinkes Provinsi, kebijakan direktur atau Kepala
RS terkait pelayanan pasien TB dan operasionalisasi tim TB-HIV belum ada,
kedudukan program P2TB dalam struktur organisasi tidak jelas, koordinasi dan
jejaring dengan Dinas Kesehatan Kab/Kota dan RS lainnya belum berjalan
optimal, koordinasi antar unit terkait internal RS (jejaring internal) belum optimal,
pelaksanaan pelayanan pemeriksanaan sputum SPS untuk penderita suspect TB
belum sesuai standar dan masih belum tersedianya tempat/prasarana/fasilitas
mengeluarkan dahak bagi pasien suspect TB.
Faktor kunci keberhasilan berjalannya program ini adalah a) Adanya kebijakan
yang mendukung penderita suspect TB; b) Adanya dukungan anggaran untuk
pembiayaan pelayanan one day pasien suspect TB; c) Adanya sosialisasi terkait
standar pelayanan penderita suspect TB; d) Adanya advokasi dari dinas terkait
Faktor Penghambat keberlangsungan program ini secara internal adalah sebagai
berikut a) Pengaturan jadwal untuk menghadiri kegiatan-kegiatan pertemuan atau
pelatihan tersebut yang kerap berbenturan dengan kegiatan pelayanan, kegiatan
rapat di tingkat Provinsi, maupun juga karena volume pekerjaan di bagian
administrasi sedang meningkat untuk menyelesaikan target-target kegiatan akhir
tahun; b) Keterbatasan jumlah tenaga administrasi dalam pendokumentasian dan
penyusunan laporan kegiatan; c) Belum jelasnya status Wasor RS selama
beberapa tahun ini sehingga menyebabkan pengelolaan kegiatan di RS menjadi
mengambang, terkesan tarik ulur kepentingan antara wasor lama dengan petugas
RR yang sudah aktif mengelola selama ini; d) Keterbatasan jumlah dokter spesialis
Paru di RS hanya 1 orang menyebabkan pelaksanaan program belum bisa
110
optimal; e) Kesibukan di pelayanan karena tindakan-tindakan di OK Paru yang
meningkat, menyebabkan terjadi gangguan pada saat dilaksanakan proses
pembelajaran (pada saat pelatihan), pertemuan dan rapat; f) Ketiadaan tempat
mengeluarkan dahak bagi pasien suspek yang berasal dari Instalasi Rawat Jalan.
Sedangkan secara eksternal yang menjadi penghambatnya adalah kesibukan
yang cukup padat dari stakeholder di Provinsi, sehingga menyebabkan
pelaksanaan kegiatan terkesan dipaksakan.
111
BAB V
DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA
A. PEDOMAN DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA
1. Tujuan
Tujuan diadakan diseminasi inovasi administrasi negara ini adalah
a. Mensosialisasi praktik-praktik inovasi instansi pemerintah melalui diseminasi
dokumen inovasi administrasi negara dalam rangka pelayanan publik;
b. Memotivasi aparatur sipil negara dan instansi pemerintah untuk melakukan
berbagai inovasi di masing-masing instansinya.
2. Metode
Penyelenggaraan diseminasi administrasi negara lebih mengedepankan dokumen
inovasi administrasi negara yang telah dikumpulkan dan didokumentasikan.
Metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Mengungkapkan persepsi terhadap tema inovasi administrasi negara.
b. Menyatakan pendapat tentang tema inovasi administrasi negara atau
menanggapipendapat sebelumnya.
3. Waktu
Waktu penyelenggaraan diseminasi mulai dari pembukaan, pemaparan materi,
memotivasi dan bertanyajawab adalah 120-240 menit
4. Alat dan bahan
a. Alat perekam (kaset, tape perekam atau perekam suara digital, batere
secukupnya; jika ada).
b. Kertas dan alat tulis (untuk catatan proses/transkrip diskusi).
c. Dokumen contoh inovasi administrasi negara
d. Video Inagara
112
B. DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DI PROVINSI
ACEH
Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara yang diselenggarakan di
Provinsi Aceh dirasa sangat berhasil dalam mensosialisasikan praktik praktik inovasi
yang ada serta memotivasi aparatur sipil negara dan instansi pemerintah untuk
melakukan berbagai inovasi. Penyelenggaraan Diseminasi di Provinsi Aceh dapat
berlangsung berkat kerjasama dengan PKP2A IV LAN Aceh. Kontribusi Perwakilan
Lembaga Administrasi Negara di Sumatra ini sangat proaktif dalam membantu
penyelenggaraan. Diseminasi Direktori Inovasi Administrasi Negara diselenggarakan
di Mini Teater Iskandar Muda PKP2A IV LAN pada hari Rabu tanggal 25 November
2015. Penyelenggaraannya berlangsung selama empat jam yakni 8.30 – 12.30 WIB
dengan dimoderatori oleh Kepala Bidang Kajian dan Inovasi PKP2A IV LAN ibu Nurul
Hidayah, SH, M.Si. Tim Kedeputian Inovasi Administrasi Negara yang datang sebagai
pembicara dalam acara tersebut adalah Agung Nugroho, Marsono, dan Witra Apdhi
Yohanitas. Tentu saja untuk kelancarannya diperlukan notulensi yang dilakukan oleh
saudara Muhammad Ikhsan S.Pd.I. Acara ini turut dihadiri oleh Sekda Sabang, Pemko
Banda Aceh, Ombudsman Aceh, dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Sumatera. Acara
yang dibuka langsung oleh Kepala pusat PKP2A IV LAN Ir. Faizal Adriansyah, M.Si.
1. Sambutan (Pembukaan) oleh Kepala pusat PKP2A IV LAN Ir. Faizal
Adriansyah, M.Si
Dalam sambutannya Kepala pusat PKP2A IV LAN Ir. Faizal Adriansyah, M.Si yang
mewakili Kedeputian Inovasi administrasi Negara- Lembaga Administrasi Negara
menjelaskan bahwa Upaya penerapan inovasi di Pemerintahan Daerah
113
didukung oleh DIAN (Kedeputian Inovasi Administrasi-LAN). Hal tersebut telah
diperjelas pada salah satu Tugas Lembaga
administrasi Negara yakni mendorong
kegiatan Inovasi dari level pemerintahan
pusat/Kementrian sampai dengan tingkat
Pemerintahan Daerah. Untuk itu diperlukan
adanya sinergi antar instansi di Aceh dalam
mendukung penerapan Inovasi.
LAN telah menyusun Direktori Inovasi
Administrasi Negara yang pada tahun ini
terkait dengan Proyek Perubahan Diklatpim
(Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan)
Pola Baru. Selain Diseminasi Produk Inovasi, DIAN juga telah melaksanakan
Kegiatan Workshop Inovasi dan Laboratorium INAGARA di Yogyakarta. Kota
Yogyakarta dipilih dan dibina oleh LAN sebagai kota model bagi penerapan
Inovasi bagi daerah lain di Indonesia. Daerah-daerah lain yang sedang dalam
progress pembinaan oleh Lab. Inovasi antara lain Kota Pontianak, Kab. Muara
Enim, Kab. Majalengka, dan Kab, Tanjung Jabung Barat. Pada prinsipnya
diseminasi INAGARA ini merupakan upaya LAN untuk menumbuh kembangkan
Inovasi Administrasi Negara di Kementerian/ lembaga khususnya Pemerintah
Daerah karena sebagian besar layanan publik dilakukan oleh pemerintah daerah.
2. Paparan Materi Diseminasi
Pemaparan diseminasi direktori inovasi tidak serta merta hanya menyajikan isi
direktori inovasi 2014 – 2015 saja. Untuk
menggugah dan memotivasi peserta untuk
mau melakukan inovasi administrasi negara
dilakukan pemanasan dengan menggugah
inisiasi inovasi melalui drum up inovasi.
Selanjutnya dilakukan pula pengenalan
pelaksanaan inovasi administrasi negara melalui konsep 5D yang telah
dikembangkan LAN: Konsep 5 D. Setelah itu dilanjutkan dengan pengenalan
direktori inovasi administrasi negara yang berfungsi untuk bahan referensi
114
pemerintah daerah dalam menginisiasi inovasi untuk perbaikan kinerja instansi
masing masing.
Sebagai pembuka Paparan, diputarlah Video “Temu INAGARA 2015” yang
dimaksudkan agar peserta mengetahui bahwa inovasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah mendapat perhatian dari Lembaga Administrasi Negara selaku
Pembina diklat dan pengkajian serta inovasi administrasi negara. Tujuan dari
video untuk mendorong dan menginisiasi pengembangan inovasi
penyelenggaraan pemerintahan. Selanjutnya dijelaskan oleh Agung Nugroho
bahwa urgensi perlunya inovasi administrasi Negara karena adanya perubahan
konteks administrasi negara: political, managerial, legal dan occupational.
Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang
menjelaskan adanya ruang untuk dilakukan Inovasi. Lembaga Administrasi
Negara telah mengidentifikasi delapan jenis inovasi administrasi negara, antara
lain mencakup inovasi produk, inovasi konsep, inovasi hubungan, inovasi
teknologi, inovasi SDM, inovasi struktur organisasi, inovasi Metode, inovasi
proses. Inovasi inovasi tersebut dapat dikembangkan melalui rumus inovasi yaitu
ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Inovasi menurut Pak Tri Widodo (Deputi Inovasi
Administrasi Negara-LAN) adalah ada tidaknya kebaruan, kemanfaatan,
berkesinambungan dan dapat direplikasi. untuk melakukannya maka inovasi
harus menjadi keharusan karena inovasi adalah tanggungjawab, kebutuhan dan
harga mati.
Pemaparan kedua oleh Saudara Marsono lebih menekankan pada konsep
pengembangan inovasi melalui konsep 5 D yaitu Drum-up, Diagnose, Desain,
Deliver dan Display. Dalam pemaparannya disajikan pula inovasi yang telah
dilakukan pemerintah daerah dengan menggunakan konsep 5 D ini. Fungsi utama
konsep 5 D tersebut adalah menggagas inovasi, mengujicoba inovasi,
memvalidasi inovasi. Untuk saat ini konsep ini cukup ideal untuk diterapkan pada
instansi pemerintah.
Pemaparan ke tiga oleh saudara Witra Apdhi Yohanitas yang menekankan pada
dokumen penginspirasi inovasi yaitu Direktori Inovasi Administrasi Negara
(Direktori Inagara). Direktori INAGARA adalah kumpulan rujukan, kebijakan,
model praktik-praktik inovasi yang sudah terbukti kemanfaatannya dalam bidang
115
tata pemerintahan, pelayanan publik dan kelembagaan serta sumber daya
aparatur. Direktori Inagara dapat menjadi sebagai referensi dan untuk
mempermudah dalam pencarian/ perolehan informasi inovasi apa saja yang telah
dilakukan di bidang tata pemerintahan, pelayanan publik serta kelembagaan dan
sumber daya aparatur. selain itu berfungsi sebagai pemicu kementerian/lembaga,
pemda, BUMN/BUMD, swasta, NGO (LSM) dan masyarakat untuk melakukan
replikasi inovasi di bidang tata pemerintahan, pelayanan publik serta kelembagaan
dan sumber daya aparatur. Pada kesempatan tersebut dijelaskan pula penentuan
penyusunan direktori inovasi administrasi negara melalui kriteria tertentu.
Pemaparan diakhiri dengan menyajikan contoh inovasi yang ada dalam direktori
inovasi administrasi negara 2014/2015, handbook inovasi, dan laboratorium
inovasi.
3. Forum Tanya Jawab
Sesi Tanya jawab dilakukan dalam dua
periode. Hal ini dilakukan untuk
mengakomodasi antusiasme peserta
diseminasi terhadap konsep dan produk
yang dipaparkan LAN. Tentu saja sesi
Tanya jawab dipandu oleh moderator
yang kredibel sehingga dapat
melakukan penyimpulan terhadap hasil dari sesi tanya jawab ini.
a. Sesi Pertama
1) Bpk Arfah Salwa (PKP2A IV LAN) : 1) Saran saya selain inovasi dikemas
dalam bentuk berbagai perlombaan ditingkat kementrian atau pusat,
diharapkan juga kementrian
pusat datang ke daerah untuk
melakukan sosialisasi lebih
lanjut tentang Inovasi. 2)
Apakah LAN sudah
mengevaluasi proyek
perubahan diklatpim agar tidak
ada produk hasil plagiat?
116
2) Bpk Nurdin (Pemko Banda Aceh) : Pemko Banda Aceh sudah memulai
penerapan Inovasi tapi sudah dilaksanakan konkret, belum dalam bentuk
pelaporan tertulis. Keinginan Pemko ingin dibimbing oleh LAN terutama
pendampingan oleh DIAN karena kelemahan dalam hal penulisan proposal
inovasi.
b. Sesi kedua
1) Bpk Taqwaddin Hussein (Ombudsman Aceh) : Inovasi tidak hanya
membuat sekedar perubahan tapi juga produktivitas yang berdampak pada
masyarakat bukan hanya pada aparatur. Bagaimana Inovasi lebih
ditekankan pada sektor pelayanan publik. Sebaiknya seluruh perwakilan
dari Pemko dan Pemda di Aceh diundang agar pemahaman tentang Inovasi
dapat merata dan menyeluruh.
2) Bpk Sofyan Adam (Sekda Sabang) : Pemko Sabang telah mengubah arah
kebijakan pembangunan daerah dari orientasi perdagangan ke pariwisata.
Di Sabang, setiap stakeholder diwajibkan mendorong dan membawa
wisatawan ke Sabang, apakah itu termasuk Inovasi? Apakah inovasi harus
dimulai dari tingkat atas(hal besar) ke bawah(hal kecil) atau sebaliknya?
c. Tanggapan pertanyaan
1) Bagaimana mengawali inovasi untuk diikutkan dalam laporan? Untuk itu
DIAN siap memfasilitasi.
2) Harus adanya perubahan mindset dari Orientasi Inovasi Administrasi ke
Inovasi sektor pelayanan publik, hal tersebut dapat difasiitasi oleh
Ombudsman dalam menampung keluhan terhadap pelayanan publik.
3) Mencegah suatu karya Inovasi merupakan hasil plagiat? DIAN telah
membuat Datebase masterplan inovasi berisi kumpulan proyek perubahan
peserta. Meniru dapat dilakukan karena sesuai konsep Modifikasi dimana
kebutuhan tiap daerah berbeda.
4) Inovasi tidak harus dilakukan dari hal besar dengan biaya besar bisa juga
dilakukan sebaliknya. Keduanya dapat saling bersinergi. Kewajiban
mendorong pariwisata termasuk Inovasi.
d. Kesimpulan oleh Moderator
117
1) Inovasi mengandung 2 hal, Kebaharuan dan kemanfaatan yang pada
akhirnya harus mampu mendorong kinerja pemerintah untuk memberikan
pelayanan publik yang terbaik bagi masyarakat.
2) Rumus Inovasi ATM: Amati, Tiru dan Modifikasi. Tidak masalah dari mana
ide awal inovasi tersebut, selama dilakukan penyesuaian dengan instansi
penyelenggara, maka inovasi dapat menjadi bagian dari instansi tersebut.
3) Inovasi dapat dimulai dari yang besar maupun dari yang kecil, hal yang
terpenting inovasi dapat memberi dampak bagi masyarakat, terutama di
bidang pelayanan publik.
4) Dari agenda kegiatan ini diharapkan ada tindak lanjut untuk kerjasama dan
pembimbingan Pemda oleh DIAN yang dapat difasilitasi oleh PKP2A IV
LAN.
C. DISEMINASI DIREKTORI INOVASI ADMINISTRASI NEGARA DI MAKASSAR
Diseminasi Direktori Inovasi
Administrasi Negara di Kota
Makassar dilaksanakan di
PKP2A II LAN Makassar pada
tanggal 24 November 2015.
Kegiatan ini bertujuan untuk
menyebarluaskan berbagai hasil
kegiatan di Kedeputian Bidang
Inovasi Administrasi Negara dan
meningkatkan innovation awareness di kalangan aparatur sipil negara. Produk
Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara yang didiseminasikan adalah
berbagai produk kegiatan pengembangan inovasi administrasi negara di bidang tata
pemerintahan, pelayanan publik, kelembagaan dan sumber daya aparatur. Peserta
yang hadir berjumlah 40 (empat puluh) orang dari lembaga Litbang Pemerintah
Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Sulawesi serta unit kerja lainnya antara lain dari :
Pemda Kota Palu, Setda Mamuju, Setda Kota Gorontalo, Badan Diklat Poso, BKDD
Kota BauBau, Badan Diklat Sultra, Setda Kabupaten Sorong, Bappeda Prov. Sulut,
118
UNHAS, STIA LAN Makassar dan PKP2A II LAN Makassar. Kegiatan diseminasi ini
dapat berlangsung berkat kerjasama antara Pusat Inovasi Pelayanan Publik dengan
PKP2A II LAN Makassar yang mempunyai komitmen yang sama dalam
mengembangkan inovasi administrasi negara. Narasumber yang hadir dalam kegiatan
ini berasal dari internal LAN yaitu : Erfi Muthmainah, SS, MA (Kepala Pusat Inovasi
Pelayanan Publik), Abdul Muis, S.Sos., MM (Peneliti Madya Pusat Inovasi Tata
Pemerintahan) dan Harditya Bayu Kusuma, S.Sos., M.Si. (Peneliti Pertama Pusat
Inovasi Pelayanan Publik). Materi secara umum yang disampaikan mengenai hasil
kegiatan Kedeputian Bidang Inovasi Administrasi Negara, pengenalan inovasi
administrasi negara, pengelolaan laboratorium inovasi dan direktori inovasi
administrasi negara tahun 2014 dan 2015.
1. Sambutan dan Pembukaan oleh Kepala Pusat Inovasi Pelayanan Publik
Erfi Muthmainah selaku Kepala Pusat Inovasi
Pelayanan Publik secara resmi memberikan sambutan
dan membuka kegiatan Diseminasi Direktori Inovasi
Administrasi Negara. Dalam sambutan tersebut juga
disampaikan mengenai secara ringkas kegiatan
diseminasi dimaksud. Latar belakang kegiatan ini
adalah fenomena reformasi birokrasi dan
perkembangan inovasi administrasi negara yang akan diarahkan menuju world
class civil service. Sedangkan dasar hukum mengenai inovasi tertuang dalam UU
No.23 Tahun 2014 tentang Pemda, UU No.5 Tahun 2014 tentang ASN dan SE
MenPAN-RB No.9 Tahun 2014.
Kemudian disampaikan arah pengembangan inovasi administrasi negara
yang dilakukan oleh LAN berupa : panduan laboratorium inovasi, handbook IAN,
lomba pemimpin perubahan, workshop champion of innovation dan direktori IAN.
Selama tahun 2015 juga telah dikembangkan kegiatan laboratorium inovasi yang
mendampingi pelaksanaan inovasi di daerah yaitu di Kota Yogyakarta, Kabupaten
Muara Enim dan Kabupaten Majalengka. Sedangkan laboratorium in process
antara lain Kota Pontianak, Pemprov Kalimantan Utara dan Kabupaten Kutai
Kartanegara. Secara umum kegiatan ini diharapkan sebagai upaya untuk
menumbuhkembangkan IAN di K/L/D khususnya Pemda. Tujuan yang ingin dicapai
119
dalam kegiatan ini adalah : 1) Mensosialisasi praktek-praktek inovasi pelayanan
publik di instansi pemerintah sebagai bahan benchmarking IAN; dan 2) Memotivasi
aparatur sipil negara dan instansi pemerintah untuk melakukan berbagai inovasi di
instansinya masing-masing.
2. Paparan Materi
Materi awal yang
disampaikan oleh Peneliti Madya
LAN, Abdul Muis yakni mengenai
pengelolaan laboratorium inovasi.
Tahap awal diberikan pengertian
mengenai inovasi administrasi
negara yaitu proses memikirkan
dan mengimplementasikan suatu
kebijakan oleh penyelenggara
kepentingan publik untuk memenuhi kepentingan publik yang memiliki unsur
kebaruan serta kemanfaatan. Melakukan inovasi dapat melalui berbagai media
antara lain mencari inspirasi melalui kasus inovasi (Direktori Inovasi, Top 99 Inovasi,
Apeksi, Apkasi) dan mengelola lab. Inovasi melalui 5 D. Kemudian pengelolaan lab.
Inovasi lebih difokuskan pada tahapan 5 D yaitu drum-up (kemauan berinovasi),
diagnose (gagasan inovasi), desain (rencana aksi inovasi), deliver (hasil dan bukti
inovasi) dan diplay (promosi inovasi). Tahapan drum-up lebih difokuskan untuk
meningkatkan kesadaran berinovasi dan membangun komitmen untuk berinovasi.
Diagnose lebih mengarah pada analisis kebutuhan berinovasi yang memunculkan
gagasan berinovasi. Sedangkan tahap desain ke perancangan inovasi fokus pada
action plan. Dan Deliver merupakan pelaksanaan rencana aksi atau proses
pelaksaaan berinovasi. Kemudian tahap display mengarah pada innovation
exibition (pameran karya inovasi –poster, video, leaflet, buku, dll-- yang dihasilkan
SKPD). Fungsi 5 D secara umum untuk menggagas inovasi, mengujicoba inovasi
dan memvalidasi inovasi. Disampaikan pula oleh Abdul Muis bahwa pada tahun
2015 ini telah terdapat 5 (lima) kerjasama LAN dengan daerah terkait lab. Inovasi
antara lain : Kota Yogyakarta, Kabupaten Muara Enim, Kabupaten Majalengka,
Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kota Pontianak. Sedangkan pada tahun
120
2016 rencana kerjasama lab inovasi dengan : Kabupaten Pakpak Bharat,
Kabupaten Kebumen, Kabupaten Cilacap dan mengarah pada street level
innovation.
Paparan selanjutnya mengenai direktori inovasi adminitrasi negara
disampaikan oleh Harditya Bayu Kusuma peneliti pertama LAN. Direktori inovasi
adminitrasi negara adalah kumpulan rujukan, kebijakan, model praktik-praktik
inovasi yang sudah terbukti kemanfaatannya dalam bidang tata pemerintahan,
pelayanan publik dan kelembagaan serta sumber daya aparatur.Direktori IAN
digunakan sebagai referensi dan untuk mempermudah dalam pencarian/ perolehan
informasi inovasi apa saja yang telah dilakukan di bidang tata pemerintahan,
pelayanan publik serta kelembagaan dan sumber daya aparatur. Tujuannya untuk
memicu Kementerian/Lembaga, pemda, BUMN/BUMD, swasta, NGO (LSM) dan
masyarakat untuk melakukan replikasi inovasi di bidang tata pemerintahan,
pelayanan publik serta kelembagaan dan sumber daya aparatur. Disampaikan pula
8 (delapan) jenis inovasi menurut LAN yaitu : produk, konseptual, metode, proses,
hubungan, teknologi, SDM dan struktural. Direktori IAN yang dilaksanakan oleh
Pusat Inovasi Pelayanan Publik
telah berlangsung pada tahun 2014
dan 2015. Pada tahun 2014, fokus
direktori pada inovasi yang
dilakukan K/L/D. Sedangkan pada
tahun 2015 fokus pada 5 (lima)
besar alumni diklatpim I dan II pola
baru. Pada direktori IAN tahun 2015
ada pengembangan desain untuk
menyesuaikan content direktori terutama untuk proyek perubahan. Pada sesi ini
juga disampaikan beberapa inovasi yang telah berjalan di beberapa daerah dan
sudah masuk dalam direktori, misalnya : media centre Kota Surabaya, akta
kelahiran jemput bola Kota Surakarta, one map and one data informasi,
penyelenggaraan UN CBT dan berbagai contoh model inovasi lainnya.
Dr. Sulaiman dari PKP2A II LAN Makassar melanjutkan paparan berikutnya,
pertama-tama menyampaikan proyek perubahan sederhana yang masih berjalan di
121
PKP2A II LAN Makassar. Ide ini digagas oleh M.Firdaus selaku Kepala PKP2A II
LAN Makassar yang ingin memberikan pelayanan, kewenangan dan tanggung
jawab. Gagasan ini berusaha mengerucutkan semua potensi masalah dalam
berbagai ide bisa disampaikan langsung, bisa tertulis bahkan dapat menggunakan
media sosial (whatsup). Setiap orang bertanggung jawab terhadap respon
permasalahan itu, dan harus segera dijawab oleh pemberi respon. Modelnya
sederhana, dan bagi yang ditegur harus menerimanya dengan baik dan tidak perlu
harus disikapi dengan negatif. Di tahun 2015 ini PKP2A II LAN Makassar mencoba
menggagas bagaimana inovasi dapat tumbuh di semua instansi pemerintah dengan
membuat gugus inovasi instansi pemerintah. Perlu juga digunakan ilmu level
marketing, misal orang LAN kalau ke daerah bisa menceritakan dan mendorong
dari tingkat pimpinan, kemudian SKPD sehingga sampai ke tingkat yang paling
bawah. Diharapkan juga di daerah ada gugus inovasi yang bentuknya formal
maupun informal sehingga terbentuk komite yang bisa menjalin kerjasama.
Kemudian PKP2A II LAN Makassar mengadakan perjanjian layanan yang disebut
sebagai proses bisnis, itulah yang disebut dengan perjanjian pelayanan (pro
services). Di Tahun 2016, PKP2A II LAN Makassar mengumpulkan ide-ide inovasi
dalam bentuk laboratorium inovasi di Kota Palu. Hal itu menunjukkan bahwa inovasi
tidak harus muncul pada produk, tapi pada proses inovasi tersebut juga bisa
muncul.
3. Forum Tanya Jawab
Pertanyaan
a. Bp. Berly (Kabupaten Poso)
Kabupaten Poso sekarang sudah aman karena sudah terdapat inovasi yang riil,
hal ini dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian Bp.
122
Berly menyampaikan bahwa Diklat Poso saat ini berdiri sendiri karena masih
muda dari yang lain sehingga masih banyak kekurangan, oleh karena itu perlu
penguatan dan komitmen dalam inovasi di seluruh Kabupaten di Indonesia.
Sebuah kekeliruan kalau setiap daerah itu harus bisa maju, namun tidak ada
tindak lanjut. Kendalanya adalah akibat otonomi daerah berupa kebijakan
Pemda. Bahwa aparatur kita ini banyak aktivitas untuk berinovasi, namun
karena otonomi daerah menjadi terkendala apalagi dikaitkan dengan masalah
politik, misalnya ketika membuat proyek perubahan, tiba-tiba yang
bersangkutan di mutasi. Tentang regulasi baik di daerah maupun pusat, UU no
5 tahun 2014 seperti tidak disesuai dengan kebijakan Perka LAN. masih ada
peraturan Diklatpim Tk. III dan IV, pada hal di ASN jabatan eselon tersebut
sudah berubah.
b. Bp. Alam (STIA LAN Makassar)
Saat ini ada euforia tetapi bukan pada substansi inovasi dan hal itu sangat
menggangu. Ada kompetisi inovasi Pelayanan Publik dari KemenPAN-RB,
sistem inovasi daerah, ada Deputi Inovasi Administrasi Negara, dalam UU
no.5/2014 juga terdapat inovasi daerah. Tetapi di level daerah bertanya apa itu
inovasi? Maka perlu disusun program inovasi harus didesain di tingkat nasional
dengan dasar KISS (Koordinasi, Informasi, Sinkronisasi dan Simplifikasi).
Kadang juga menimbulkan kebingungan terutama adanya Undang-Undang
mengenai inovasi di daerah. Hal ini merupakan masalah substansi karena
menyangkut program dan sistem itu diciptakan.
Tanggapan
Ibu Erfi Muthmainah
Inovasi yang dilakukan oleh seluruh kabupaten/kota merupakan kerinduan
bagi semua pihak, tetapi harus diakui masih terkendala unsur politik. Kalau politik
secara logika seperti matematika yang tidak bisa dihindari. LAN membuat innovator,
menciptakan innovator yang dimanapun berada akan terus menciptakan inovasi-
inovasi. Dari LAN tuntutannya adalah komitmen dari daerah. Kemudian mengenai
peraturan di daerah dan pusat yang tidak jelas, terutama UU ASN yang belum
keluar PP nya. Hal ini juga berkaitan dengan tataran politik yang tidak dapat ditekan.
RPP terutama Manajemen ASN masih belum ditandatatangani.
123
Kemudian LAN memang belum menyesuaikan dengan nama Diklatpim yang
disesuaikan sesuai UU ASN, begitu juga nomenklaturnya. Tentu saja ini menjadi
agenda LAN ke depan, karena regulasi tidak bisa secepat itu untuk launching nama
baru. Mengenai nomenklatur Diklatpim, LAN tidak dapat mengubah secepat itu
karena berkaitan dengan Keputusan Presiden, tapi dalam proses untuk mengubah
secara nasional.
Kalau inovasi harus terintegrasi dan apabila dijadikan dalam satu pattern
tentunya akan ada kendala-kendala. Sehingga kadang koordinasi ini menjadi hal
yang mahal di Indonesia. Di LAN dituntut melakukan inovasi dari berbagai tingkat
Kedeputian sampai dengan individual, misal : Data base Widyaiswara yang sudah
masuk secara nasional, Akreditasi secara online, Melaksanakan elektronik survey,
dll.
4. Penutupan oleh Kepala PKP2A II LAN Makassar
Kepala PKP2A II LAN Makassar, M. Firdaus
dalam penutupan kegiatan Diseminasi Direktori IAN
menyatakan bahwa Inovasi di LAN baik di Kedeputian
Inovasi Administrasi Negara ataupun di PKP2A
adalah hal yang baru. Apalagi sudah diwadahi dalam
satu Kedeputian, maka LAN dapat menjadi motor
inovasi bagi sektor publik. Sekaligus menanamkan
kepada sektor publik, kalau mereka juga mampu
melakukan inovasi. Salah satu penggeraknya adalah
diklat yang dirancang sebagaimana rupa yang
berorientasi pada penciptaan inovasi-inovasi dan solusi dari pemecahan masalah
yang ada. Di PKP2A II LAN Makassar inovasi yang dilakukan diantaranya adalah :
1) Inovasi yang dilakukan WI yaitu membuat proyek inovasi WI agar dapat
membimbing peserta dalam melakukan inovasi secara maksimal; 2) Membantu
instansi pemerintah dalam mengembangkan inovasi melalui laboratorium inovasi;
3) Di wilayah bagian timur, baru akan dimulai tahun 2016 mengenai inovasi. LAN
siap membantu apabila pemda ingin mengembangkan inovasi; dan 4) Lomba
inovasi secara regular.
124
BAB VI
PENUTUP
irektori Inovasi Administrasi Negara seri proyek perubahan yang
disusun pada tahun 2015 merupakan langkah yang baik dalam
pengembangan database proyek perubahan diklat kepemimpinan
tingkat I dan II. Pengembangan database direktori inovasi ini diharapkan dapat
dimanfaatkan sebagai bahan monitoring dan evaluasi lembaga diklat dan bahan
replikasi peserta diklatpim yang tengah menyusun proyek perubahan.
Penyusunan direktori tentunya menemukan berbagai perkembangan yang
ditunjukkan oleh peserta diklatpim dalam mengimplementasikan proyek perubahan.
Keberhasilan pelaksanaan proyek perubahan harus didukung oleh komitmen yang
kuat dari pimpinan daerah dan stakeholder.Proyek perubahan sebaiknya dinaungi oleh
aturan hukum agar proyek perubahan tetap berjalan walaupun sewaktu-waktu ada
pergantian kebijakan yang mengancam eksistensi proyek perubahan.
Harapan dengan penerbitan buku direktori seri proyek perubahan adalah peserta
diklatpim, pimpinan daerah dan stakeholder dapat mengambil lesson learn yang
tersurat dalam buku direktori ini. Lesson learn yang telah diambil dapat dijadikan
bagian penyempurnaan dari penyelenggaraan diklatpim pada tahun-tahun berikutnya,
bahkan dapat mempercepat inisiasi ide inovasi yang relevan dengan kondisi
lingkungan.
D
125
DAFTAR PUSTAKA
Harigopal, K. 2006. Management of Organizational Change: Leveraging
Transformation, 2nd edition. New Delhi: Respons Books.
Fauzi, Masfi. 2013, Pengertian Perubahan Dan Perkembangan Organisasi. Tersedia
Online (http://masfiifauzii02.blogspot.com/2013/05/pengertian-perubahan-dan-
perkembangan_3.html , diakses 12 Mei 2015)
Ginting, Eka DantaJaya. Meiyanto, IJK Sito. 2010. Postpurchase Dissonance
Observed from Consumer’s Intention as an Innovator, Ability as an Opinion
Leaders and Level of Creativity: Jurnal Psikologi:Volume 37, No. 2, Desember
2010: 189 – 202
Irmawati. 2012. Teori Perubahan Menurut Para Ahli. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Nani Hasanuddin: Makasar
Kasali, Rhenald. 2009. Change Management. paparan yang disampaikan di
Mahkamah Agung, 2009.
Lembaga Administrasi Negara. 2014. Direktori Inovasi Administrasi Negara 2014.
LAN:Jakarta
Maner, J. K., Richey, J. A., Cromer, K., Mallott, M., Lejuez, C. W., Joiner, T. E., &
Schmidt, N. B. (2007). Dispositional Anxiety and Risk Avoidant Decision‐ Making.
Journal Personality and Individual Differences, 42, (2), 665-675.
Robbins,Stephen P. Coulter, Mary . 2012. Management 11th ed. Prentice Hall
Publishing, New Jersey
Suryanto, 2015. Identifikasi Data Dan Informasi Direktori Inovasi Administrasi Negara.
Paparan yang disampaikan di FGD pengembangan dan Diseminasi Direktori
Inovasi di Lembaga Administrasi Negara, 2015.
Undang Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Peraturan Kepala LAN No. 19 Tahun 2014 jo Peraturan Kepala LAN Nomor 10 Tahun
2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
Kememimpinan Tk. I
126
Peraturan Kepala LAN No. 20 Tahun 2014 jo Peraturan Kepala LAN Nomor 11 Tahun
2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
Kememimpinan Tk. II
Peraturan Kepala LAN No. 21 Tahun 2014 jo Peraturan Kepala LAN Nomor 12 Tahun
2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
Kememimpinan Tk. III
Peraturan Kepala LAN No. 22 Tahun 2014 jo Peraturan Kepala LAN Nomor 13 Tahun
2013 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan
Kememimpinan Tk. IV
127