LAPORAN AKHIR -...

137
LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2015

Transcript of LAPORAN AKHIR -...

Page 1: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

LAPORAN AKHIR KAJIAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN

KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN

2015

Page 2: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan i

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang

telah melimpahkan berkat, kasih dan rahmat-Nya sehingga Tim Peneliti

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri dapat menyelesaikan

Laporan “Kajian Kebijakan Harga Pangan” tepat pada waktunya.

Kajian ini dilatarbelakangi bahwa isu stabilitas harga tidak hanya

menjadi perhatian pemerintah saat ini, tetapi juga di era pemerintahan

sebelumnya, terutama sejak berawalnya krisis pada tahun 2008.

Pelaksanaan kebijakan harga pangan telah lama dilaksanakan di

Indonesia. Sejauh ini pelaksanaannya seolah-olah hanya terlihat dalam

jangka pendek yang selanjutnya harga-harga komoditi di dalam negeri

terus naik. Sehingga muncul pertanyaan bagaimana pelaksanan kebijakan

harga pangan selama ini dan kemungkinan penerapan pelaksanaan

kebijakan harga pangan di Indonesia. Selama ini banyak pendekatan-

pendekatan secara struktural telah dilakukan namun implikasinya belum

mengalami perubahan sehingga perlu pendekatan yang sifatnya

kelembagaan. Oleh karena itu kajian kebijakan harga pangan khususnya

pada komoditi kebutuhan pangan pokok masyarakat penting dilakukan.

Demikian, semoga hasil kajian ini dapat dimanfaatkan sebaiknya

dan dapat menjadi informasi yang berguna bagi pengambil kebijakan.

Hasil kajian ini tentunya belum sempurna, maka dari itu sumbang dan

saran dari pembaca kami harapkan dan untuk semua itu disampaikan

terima kasih.

Jakarta, September 2015

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Page 3: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan ii

ABSTRAK

KAJIAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN Salah satu isu dalam kebijakan pemerintah adalah kebijakan

stabilisasi harga pangan. Karakteristik produk pangan yaitu harga yang fluktuatif dan produksi yang bersifat musiman. Berbagai peraturan muncul yang esensinya adalah untuk menjaga agar kenaikan harga dapat dikendalikan dan stabil serta mempunyai dampak yang minimal terhadap inflasi. Kebijakan harga pangan dalam pelaksanaannya belum terlihat efektif sehingga perlu penelaahan dari sisi kebijakan, mekanisme pelaksanaan dan kelembagaan. Oleh karena itu, kajian ini bertujuan untuk (a) menganalisis kemungkinan penerapan kebijakan harga pada bahan kebutuhan pokok di Indonesia dan (b) merumuskan usulan kebijakan harga bahan kebutuhan pokok. Kajian ini menggunakan pendekatan statistik dan deskriptif-kualitatif yaitu profitabilitas usaha tani, koefisien variasi, moving koefisien variasi dan trend. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua komoditi bahan kebutuhan pokok mendapat penetapan kebijakan harga yang sama dan perlu melihat aspek strategis dari komoditi tersebut seperti perannya terhadap inflasi, besarnya pangsa pengeluaran pangan terhadap masyarakat serta fluktuasi harga. Mengacu pada karakteristik produksi dan struktur pasar komoditas pangan pokok di dalam negeri, serta kebijakan pada masing-masing komoditas, maka (a) penetapan kebijakan harga pembelian pemerintah telah diterapkan pada komoditi gula dan beras; (b) penetapan harga eceran tertinggi dapat diterapkan pada komoditi beras, gula dan minyak goreng. Dalam pelaksanaannya, kebijakan HET dilakukan untuk mengantisipasi gejolak harga yang lebih tinggi di tingkat konsumen sehingga perlu ada intervensi operasi pasar; (c) kebijakan harga acuan telah diterapkan pada komoditi cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen serta (d) kebijakan harga khusus. Kebijakan harga khusus hanya diterapkan pada menjelang, saat dan setelah hari besar keagamaan sehingga penetapan harganya tidak perlu dilakukan pada semua komoditi. Implikasinya adalah perlu institusi yang berperan dalam hal monitoring dan evaluasi, perlu ada mekanisme controling dan monitoring serta penegakan sanksi hukum dalam bentuk pidana atau denda/sanksi yang secara eksplisit tertulis dalam suatu peraturan teknis untuk mengurangi tindakan spekulasi pasar terhadap kenaikan harga. Kata kunci: kebijakan harga pangan, koefisien keragaman, dan kelembagaan

Page 4: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iii

ABSTRACT

STUDY OF FOOD PRICE POLICY

One of the main issues on government policy is the policy of stabilization of food prices. The Characteristics of food product are fluctuated on price and seasonal on production. Many regulation are produced with its essence is to keep price increases under control, stable and have minimal impact on inflation. Food pricing policy in practice still ineffective so that review of the policies, mechanisms and institutional implementation is necessary. Therefore, the aims of this study are to (a) analyze the possible application of pricing policies on staple food commodities in Indonesia and (b) to formulate policy of staple food commodities. This study uses a statistical approach and qualitative descriptive on farm profitability, coefficient of variation, the moving coefficient of variation and trends. The analysis showed that not all staple food commodities have the same pricing policy. Aspect of strategic role of the commodities on inflation, the share on food expenditure to the community, and price fluctuations are needed to look at. Referring to the characteristics of production and the market structure of essential food commodities in domestic market, as well as policies on each commodity, it can be conclude that (a) determining the purchase price of government policy has been applied to sugar and rice; (b) the determination of the highest retail price (HET) can be applied to rice, sugar and cooking oil. In practice, HET policy is to anticipate volatility of prices at the consumer level that needs to be intervene by market operations; (c) the reference pricing policy has been applied to chili and onions an also improving production management and post-harvest period, (d) special price policy. Special pricing policy only applied before, during and after religious holidays so pricing is not necessary in all commodities. The implication of this policy is the need of institution that plays a role in terms of monitoring and evaluation. The implementations of these policies need a mechanism on controlling, monitoring and law enforcement in the form of criminal sanctions or penalties. The sanctions should explicitly write in a technical regulation to reduce the action of market speculation on prices. Key words: food price policy, coefficient variation, and institutional

Page 5: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

ABSTRAK ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1

1.1. Latar belakang ................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 4

1.3. Tujuan ................................................................................................ 5

1.4. Keluaran ............................................................................................. 5

1.5. Manfaat .............................................................................................. 5

1.6. Ruang Lingkup ................................................................................... 5

1.7. Sistematika Laporan .......................................................................... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI.............................. 8

2.1. Stabilitas Harga .................................................................................. 8

2.2. Pendekatan Pengelolaan Instabilitas Harga ...................................... 9

2.3. Teori Penentuan Harga Dasar dan Harga Eceran Tertinggi ............ 11

2.4. Pengendalian Harga di Beberapa Negara ....................................... 16

2.5. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 21

BAB III METODE PENGKAJIAN ................................................................. 25

3.1. Metode Analisis ................................................................................ 25

3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data ............................... 32

BAB IV PELAKSANAAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI

BEBERAPA NEGARA .................................................................... 36

4.1. Malaysia ........................................................................................... 36

4.2. Filipina .............................................................................................. 39

4.3. Brunei Darusalam ............................................................................ 41

4.4. Thailand ........................................................................................... 44

4.5. India ................................................................................................. 46

Page 6: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan v

4.6. Tiongkok .......................................................................................... 49

4.7. Indonesia ......................................................................................... 51

BAB V KEBIJAKAN PENGENDALIAN HARGA KOMODITAS

PANGAN........................................................................................ .. 55

5.1. Karakteristik Komoditi Pangan ......................................................... 55

5.2. Kebijakan Harga Komoditi Pangan ................................................. 68

5.3. Penentuan Komoditi Pangan Yang Perlu Diprioritaskan .................. 70

5.4. Pengendalian Harga Pada Komoditi Pangan ................................... 81

5.5. Tinjauan Kristis Dari Aspek Kelembagaan & Regulasi ..................... 92

BAB VI EVALUASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI INDONESIA ......... 98

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN .................... 111

6.1. Kesimpulan .................................................................................... 111

6.2. Rekomendasi Kebijakan ................................................................ 112

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Page 7: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan vi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Stabilisasi Harga ........................................... 9

Tabel 2.2. Pengaturan Harga di Malaysia .................................................... 18

Tabel 2.3. Kategori Instrumen Pengelolaan Instabilitas Harga ..................... 24

Tabel 3.1. Matriks Indentifikasi Komoditi ....................................................... 28

Tabel 3.2. Jenis dan Sumber Data Sekunder ............................................... 33

Tabel 3.3. Jadwal Kegiatan ........................................................................... 35

Tabel 4.1. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Malaysia .................... 38

Tabel 4.2. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Filipina....................... 40

Tabel 4.3. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Brunei Darusalam ..... 43

Tabel 4.4. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Thailand .................... 45

Tabel 4.5. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di India .......................... 47

Tabel 4.6. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Tiongkok ................... 50

Tabel 4.7. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Indonesia .................. 52

Tabel 5.1. Rata-rata Pangsa Pengeluaran Masyarakat Terhadap Pangan

Berdasarkan Kelompok Pendapatan ............................................ 67

Tabel 5.2. Andil Inflasi Komoditi Selama Tahun 2009-2014.......................... 71

Tabel 5.3. Andil Inflasi, Koefisien Variasi Harga Tingkat Konsumen,

Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga .......................................... 73

Tabel 6.1. Lembaga/Institusi Yang Terkait Dalam Kebijakan Harga Pangan

di Indonesia ................................................................................ 109

Page 8: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Ceillings ................ 12

Gambar 2.2. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Floors ................... 14

Gambar 2.3. Kerangka Kerja Undang-Undang 723 .................................... 19

Gambar 2.4. Mekanisme Intervensi Pemerintah di Komoditi Beras ............. 20

Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran ............................................................... 24

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis kelembagaan ............................ 30

Gambar 3.2. Tahapan Analisis dalam Penelitian ......................................... 32

Gambar 5.1. Perkembangan Harga Komoditi Pangan ................................. 67

Gambar 5.2. Pergerakan Fluktuasi Harga Komoditi Pangan ....................... 68

Page 9: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu isu dalam kebijakan pemerintah adalah kebijakan

stabilisasi harga pangan serta meminimalkan dampaknya terhadap

inflasi. Isu stabilitas harga tidak hanya menjadi perhatian pemerintah

saat ini, tetapi juga di era pemerintahan sebelumnya, terutama sejak

berawalnya krisis pada tahun 2008. Saat ini, sistem perdagangan

pangan dunia yang semakin terbuka atau pasar bebas menyebabkan

produk pangan di dalam negeri sulit terkendalikan sebagai akibat

tranmisi dari situasi dan kondisi harga internasional. Kondisi ini serta

berbagai permasalahan di dalam negeri seperti produksi dan distribusi

menyebabkan harga pangan terutama bahan kebutuhan pangan pokok

seperti beras, kedelai, daging ayam, cabai dan bawang merah menjadi

berfluktuasi. Selain itu, secara tahunan momen hari besar keagamaan

nasional (HBKN) memunculkan adanya spekulasi harga yang

menyebabkan harga bahan kebutuhan pangan pokok setiap tahun

cenderung naik. Secara teori, harga produk pertanian khususnya produk

pangan ditentukan oleh pasokan (lokal atau impor), permintaan, situasi

harga pangan di pasar internasional serta ekspektasi masyarakat

(Tomek dan Robinson, 1990).

Undang-undang Perdagangan No 7 tahun 2014 pasal 26 ayat 3

mengamanatkan bahwa “dalam menjamin pasokan dan stabilisasi

harga barang kebutuhan pokok dan barang penting, Menteri

menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik serta

pengelolaan ekspor dan impor”. Dalam UU tersebut tersirat bahwa

pemerintah mempunyai pedoman dalam menetapkan kebijakan harga

dengan tujuan untuk stabilisasi harga. Pemerintah dalam hal ini

Page 10: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2

Kementerian Perdagangan mempunyai indikator besaran stabilisasi

harga pangan, yaitu pada kisaran 5-9% (Renstra Kementerian

Perdagangan 2010-2014). Kisaran nilai tersebut mempunyai pengertian

bahwa jika harga komoditi pangan secara nasional mengalami fluktuasi

harga pada kisaran tersebut maka masih dianggap wajar dan jika lebih

dari kisaran yang ditargetkan perlu dilakukan intervensi. Demikian

halnya untuk menjaga stabilitas harga antar wilayah (disparitas harga)

kisaran harga yang menjadi patokan ditetapkan pada kisaran 1,5-2,5%.

Dengan pengertian bahwa perbedaan harga antar wilayah di Indonesia

tidak boleh lebih dari 2,5%.

Stabilitas harga pangan adalah kepentingan bersama antara

produsen pangan dan konsumen. Kepentingan produsen pangan

adalah menginginkan adanya kepastian usaha karena harga yang stabil

dapat meningkatkan perencanaan produksi dan tentu saja adalah output

yang lebih baik. Dari sisi konsumen, instabilitas harga pangan

berpotensi menganggu program ketahanan pangan (ketersediaan,

aksesibilitas, keterjangkauan, dan gizi pangan). Sudah barang tentu

selain masalah instabilitas, persoalan yang sangat penting adalah

tingkat harga. Bagi produsen, tingkat harga yang menguntungkan

adalah sangat penting untuk kesinambungan usaha, sedangkan bagi

konsumen harga yang terjangkau sangat penting untuk memastikan

hak-hak dasarnya terpenuhi.

Isu stabilisasi harga tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di

beberapa negara dengan respon kebijakan yang berbeda-beda1. Untuk

menjaga stabilitas harga dan tingkat harga yang wajar beberapa negara

melakukan kebijakan harga, baik secara langsung maupun tidak

1 Bagi Indonesia, masalah stabilitas harga masih sangat strategis mengingat pangsa

pengeluaran untuk pangan sebagian besar penduduk Indonesia masih sekitar separoh dari total pengeluaran. Sebagai contoh, pada periode 2009-2013 rata-rata pangsanya sekitar 49% (Susenas, 2013). Antar daerah (desa vs kota) maupun antar kelompok pendapatan bervariasi dengan kisaran antara 30-80%

Page 11: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3

langsung. Kebijakan harga langsung misalnya melalui pemberlakuan

harga eceran tertinggi dan harga dasar serta kebijakan harga tidak

langsung meliputi penetapan pajak dan pemberian subsidi. Beberapa

negara yang telah menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi adalah

Filipina dan Malaysia. Bagi Malaysia, price control digunakan untuk

memperbaiki pasar yang sedang terdistorsi serta merealokasi distribusi

pendapatan yang sebelumnya tidak sempurna (Shariff dan Yusoff,

2013).

Pemberlakuan harga eceran tertinggi oleh banyak negara

sebetulnya mengabaikan konsensus dari para ekonom yang tidak

sependapat mengenai pemberlakuan intervensi harga tersebut dalam

jangka panjang. Intervensi harga melalui penetapan harga eceran

tertinggi dapat memicu adanya kelangkaan pasokan yang terjadi akibat

harga eceran tertinggi ditetapkan lebih rendah dari harga keseimbangan

pasar dan kemudian menjadi disinsentif bagi produsen, sementara

permintaan semakin tinggi. Pada akhirnya, secara keseluruhan

kesejahteraan sosial akibat penetapan harga eceran tertinggi menjadi

menurun (Hammond, Maret 20142). Di samping kelemahan di atas,

penetapan harga eceran tertinggi juga memiliki kelebihan yaitu menjaga

terjadinya tingkat harga yang tidak wajar (melebihi nilai barangnya).

Selain itu, harga eceran tertinggi juga dapat menjaga biaya hidup lebih

terjangkau selama periode inflasi yang sedang tinggi.

Sasaran kebijakan harga dasar adalah melindungi produsen.

Dalam hal ini aspek-aspek penting yang dipertimbangkan adalah: (i)

jenis komoditasnya (strategis/tidak strategis), (ii) jumlah produsen yang

terlibat (hulu/hilir), (iii) kontribusi komoditas/sektor yang bersangkutan

dalam penyerapan tenaga kerja dan nilai tambah, serta (iv) untuk

menghemat devisa. Pemberlakuan harga dasar, umumnya terjadi

2http://smallbusiness.chron.com/advantages-disadvantages-price-ceiling-25210.html

Page 12: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4

ketika adanya peningkatan produksi yang signifikan, melebihi

peningkatan permintaan dan kemudian menyebabkan harga dan

keuntungannya menjadi turun. Hal ini seolah-olah memberi sinyal

kepada produsen untuk mengurangi produksi atau bahkan

meninggalkan produksi (www2.palomar.edu/users/llee/ChapC08.pdf).

Kondisi lain yang mendorong pemberlakuan harga dasar adalah kondisi

struktur pasar yang tidak menguntungkan produsen. Oleh karena itu,

harga dasar digunakan untuk menjaga insentif bagi produsen untuk

tetap berproduksi.

1.2. Rumusan Masalah

Harga pangan yang stabil adalah kepentingan bersama yaitu bagi

produsen, konsumen dan juga pemerintah. Agar produksi pangan dapat

berkelanjutan, dan kebutuhan pangan masyarakat dapat terpenuhi

pemerintah harus melindungi masyarakat dan petani dari gejolak harga

seperti harga jatuh pada saat panen raya dan harga melambung pada

saat diluar panen. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah yaitu

kebijakan stabilisasi harga. Harga yang tidak stabil mempunyai dampak

ke produsen (disinsentif), konsumen serta ekspektasi inflasi.

Kebijakan harga pangan telah lama dilaksanakan di Indonesia.

Sejauh ini pelaksanaannya seolah-olah hanya terlihat dalam jangka

pendek yang selanjutnya harga-harga komoditi di dalam negeri terus

naik. Sehingga muncul pertanyaan bagaimana pelaksanan kebijakan

harga pangan selama ini dan kemungkinan penerapan pelaksanaan

kebijakan harga pangan di Indonesia. Oleh karena itu kajian kebijakan

harga pangan khususnya pada komoditi kebutuhan pangan pokok

masyarakat penting dilakukan. Kebijakan harga dalam konteks

stabilisasi harga pangan. Substansi utama yang akan dikaji adalah

jenis-jenis komoditas pangan yang memerlukan, konsep besarannya,

instrumen dan kelembagaannya, strategi implementasinya serta law

Page 13: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5

enforcementnya. Dalam konteks ini pembelajaran dari studi banding

dengan pengalaman beberapa negara sangat diperlukan.

1.3. Tujuan

Tujuan dari kajian ini adalah untuk:

a. Menganalisis kemungkinan penerapan kebijakan harga pada bahan

kebutuhan pokok di Indonesia.

b. Merumuskan usulan kebijakan harga bahan kebutuhan pokok.

1.4. Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah:

a. Keragaan stabilitas harga komoditas pangan dan kebijakan harga

yang berlaku saat ini.

b. Kemungkinan penerapan kebijakan harga pada komoditi bahan

pangan pokok di Indonesia.

c. Rekomendasi pelaksanaan kebijakan harga bahan pangan pokok.

1.5. Manfaat

a. Kajian ini menjadi rujukan bahan masukan dalam upaya mendukung

kebijakan harga barang kebutuhan pokok yang stabil dan terkendali

bagi unit teknis di Kementerian Perdagangan.

b. Dapat dijadikan bahan referensi bagi akademisi serta Kementerian

terkait lainnya.

1.6. Ruang Lingkup

Analisis dalam kajian ini mencakup 3 aspek/ substansi, yaitu:

a. Cakupan Komoditas mengacu pada SK Menko No. Kep-

28/M.EKON/05/2010 tentang tim koordinasi stabilisasi pangan pokok

serta Renstra Kementerian Perdagangan 2010-2014, komoditi bahan

pangan pokok dalam pelaksanaan kebijakan harga pangan

Page 14: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6

mencakup 10 jenis yaitu beras, gula, minyak goreng, tepung terigu,

kedelai, jagung, daging sapi, daging ayam, telur ayam, cabai merah,

dan bawang merah). Namun demikian, dengan mempertimbangkan

tingkat urgensi pengendalian harga maka komoditi yang menjadi

fokus penelitian yaitu beras, gula, daging ayam, cabai merah,

bawang merah serta minyak goreng .

b. Penentuan Kebijakan harga komoditi. Tidak semua komoditi tersebut

di atas relevan memperoleh kebijakan harga yang sama dan

diimplementasikan sekaligus atau sangat mungkin ada komoditas

yang tidak memperoleh perlakukan keduanya.

Aspek Regulasi dan Kelembagaan. Aspek regulasi penting dikaji

untuk memperkaya analisis terutama dalam hal perangkat-perangkat

regulasi yang diperlukan dan agar kebijakan harga pangan dapat

diimplementasikan secara efektif. Selain itu, aspek ini juga

menganalisis perangkat-perangkat regulasi yang menyebabkan

penerapan kebijakan harga pangan tidak efektif. Aspek kelembagaan

yang dimaksud adalah aturan main dan penegakan hukum (law

emforcement).

1.7. Sistematika Laporan

Laporan kajian rencananya akan disusun dalam enam Bab, yaitu:

Bab I. Pendahuluan

Pada Bab ini dibahas mengenai latar belakang penelitian, tujuan

penelitian, keluaran penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup

penelitian dan sistematika penelitian.

Bab II. Tinjauan Pustaka

Pada Bab ini dibahas tinjauan literatur mengenai stabilitas harga,

pengelolaan instabilitas harga, kebijakan harga pangan, penerapan

kebijakan harga pangan di negara lain, urgensi dari kelembagaan dalam

Page 15: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7

kebijakan, hasil penelitian terdahulu serta kerangka pemikiran

penelitian.

Bab III.Metode Pengkajian

Pada Bab ini akan dibahas mengenai metode analisis, data dan sumber

data, metode pengumpulan data.

Bab IV. Pelaksanaan Kebijakan Harga Pangan di Beberapa Negara

Pada bab ini akan menyajikan pelaksanaan kebijakan harga pangan

(harga dasar dan harga eceran tertinggi) di beberapa negara yang

meliputi kelebihan, kelemahan, mekanisme implementasi serta evaluasi

dari kebijakan itu sendiri.

Bab V. Kebijakan Pengendalian Harga Komoditas Pangan

Pada bab ini akan dianalisis mengenai karakteristik komoditi bahan

pangan pokok, kebijakan harga komoditi bahan pangan pokok,

penentuan komoditi pangan yang diprioritaskan, pengendalian harga

pada komoditi pangan serta tinjauan kristis dari aspek kelembagaan dan

regulasi. Analisis didasarkan pada dua hal yaitu teori dan empiris dari

pengalaman penerapan kebijakan harga pangan di negara lain.

Bab VI. Evaluasi Kebijakan Harga Pangan di Indonesia

Bab VII.Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan

Bab ini menyajikan kesimpulan mengenai hasil analisis penerapan

kebijakan harga di negera lain serta kemungkinan implementasi

kebijakan harga di Indonesia dan evaluasi kebijakan harga pangan di

Indonesia. Selanjutnya berdasarkan hasil kesimpulan, akan

disampaikan rekomendasi terkait implementasi kebijakan harga pangan

pokok di Indonesia dan aspek pendukungnya.

Page 16: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

2.1. Stabilisasi Harga

Pada penelitian yang dilakukan oleh Galtier (2009), krisis harga

pangan pada tahun 2007-2008 yang menyebabkan pergolakan di

beberapa negara berkembang yang menimbulkan pertanyaan akan

pentingnya stabilitas harga. Konsep stabilitas harga didasarkan pada

situasi dimana harga selalu berfluktuasi sepanjang waktu. Istilah

instabilitas berasal dari variabilitas dan volatilitas yang secara langsung

terkait dengan konsep keseimbangan/equilibrium. Instabilitas harga

merupakan refleksi dari ketidak seimbangan antara permintaan dan

penawaran. Ketidakseimbangan tersebut dapat disebabkan karena

memang terjadi ketidak seimbangan atau disebabkan oleh adanya

harapan ketidak seimbangan yang salah atau benar dari pelaku

ekonomi. Apa pun yang menyebabkannya, instabilitas harga selalu

berarti adanya ketidak seimbangan dalam jangka pendek. Pergerakan

harga dalam jangka panjang yang biasanya terjadi karena disebabkan

perubahan teknologi atau perubahan permintaan tidak dapat diartikan

sebagai instabilitas harga.

Banyak indikator yang digunakan untuk mengukur instabilitas

harga, namun yang paling sering digunakan adalah koefisien

keragaman (coefficient of variation) yang dihitung dari rasio stantard

deviation dan mean (Rata-rata). Indikator ini dianggap tepat karena

dipercaya bahwa tingkat fluktuasi yang rendah di sekitar harga rata-rata

dianggap tidak penting. Hanya tingkat peningkatan atau penurunan

harga yang ekstrim yang diperhitungkan. Instabilitas harga pangan di

negara berkembang pada level yang tinggi menimbulkan konsekuensi

yang serius terhadap ketahanan pangan baik dalam jangka pendek

Page 17: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9

(akses konsumen terhadap pangan) dan jangka panjang (insentif bagi

produsen untuk berinvestasi dan meningkatkan produksi).

2.2. Pendekatan Pengelolaan Instabilitas Harga

Galtier, F (2009)3 dalam studinya mengenai pengelolaan instabilitas

harga bahan pangan di negara berkembang, menjelaskan bahwa upaya

stabilisasi harga dapat ditempuh melalui beberapa pendekatan

(instrument). Dalam studinya, dijelaskan bahwa bentuk pendekatan

yang dapat digunakan adalah sebagaimana tertuang dalam matrik

berikut:

Tabel 2.1. Klasifikasi Kebijakan Stabilisasi Harga

Tujuan Pemerintah Menstabilkan Harga Mengurangi Dampak

Instabilitas Harga

Berbasis Pasar Kategori A Kategori B

Publik/Konsumen Kategori C Kategori D

Sumber: Galtier, F (2009)

Kebijakan yang menggunakan instrumen pada kategori A bertujuan

untuk memfasilitasi arbitrase4 yang bersifat spasial dan temporal yang

dilakukan oleh pelaku pasar (produsen, konsumen dan pedagang).

Kebijakan ini pada dasarnya mengacu pada pasar cereal serta fokus

pada infrastruktur (transportasi, komunikasi, dan gudang/penyimpanan)

dan institusi pasar (seperti keberadaan standar, sistem resi gudang, dan

bursa yang memfasilitasi permintaan dan penawaran). Ide utama

kebijakan ini adalah bahwa secara teori, arbitrase para pelaku pasar

menyebabkan harga menjadi homogen sepanjang waktu dan tempat,

dan hal ini akan mengurangi tingkat instabilitas harga.

3 How to manage food price instability in developing countries?, Working Paper MOISA, 2009 4 Dalam konteks investasi, arbitrase merupakan transaksi yang mencoba mengambil kesempatan (keuntungan) dari perbedaan harga untuk suatu aset yang diperdagangkan di dua pasar yang berbeda.atau dapat juga didefinisikan sebagai tindakan spekulasi tanpa resiko (sumber: http://hedisasrawan.blogspot.com/)

Page 18: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10

Kebijakan yang digunakan pada instrumen kategori B bertujuan

untuk mencegah instabilitas harga yang menyebabkan instabilitas

pendapatan (yang pada akhirnya akan mempengaruhi konsumsi dan

produksi). Secara praktis, ini berarti memungkinkan pelaku ekonomi

untuk menutupi/melindungi diri terhadap risiko yang terkait dengan

variasi harga (misalnya melalui kontrak berjangka) dan variasi panen

(melalui asuransi tanaman atau asuransi indeks cuaca).

Pada instrumen kategori C, kebijakan bertujuan untuk memastikan

bahwa harga tidak melebihi batas tertentu. Dalam pemilihan kebijakan

yang akan digunakan apakah dalam bentuk floor price, ceiling price atau

price band tergantung dari kasus tiap komoditi. Pada kategori C,

kebijakan berfokus pada pengendalian produksi dan pengelolaan stok.

Kebijakan lainnya yang masuk dalam kategori ini adalah kebijakan

subsidi input, pajak dan subsidi ekspor/impor (tetap atau variabel), kuota

impor, larangan ekspor dan stok penyangga publik. Kebijakan kategori

ini merupakan kebijakan yang banyak diterapkan di Indonesia untuk

mengatasi fluktuasi harga bahan pangan pokok. Dalam kasus komoditi

pangan, kebijakan ini pernah dan masih diterapkan untuk beberapa

komoditi seperti beras, gula, dan kedelai. Pada komoditi beras,

kebijakan yang diterapkan adalah penetapan harga pembelian

pemerintah untuk padi oleh BULOG, sedangkan gula adalah penetapan

harga patokan di tingkat petani. Sementara untuk kedelai, penetapan

harga yang diterapkan adalah harga beli di tingkat petani.

Pada kategori D, instrumen kebijakan yang diterapkan merupakan

alat intervensi pemerintah terhadap publik yang bertujuan untuk

membantu pendapatan rumah tangga (household) ketika terjadi

kenaikan harga. Kebijakan ini termasuk bantuan langsung (transfer)

untuk kategori masyarakat miskin yang menjadi target kebijakan ini.

Page 19: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11

Bentuk bantuan langsung ini bervariasi dalam bentuk uang, voucher,

makanan atau input (bahan baku).

2.3. Teori Penentuan Harga Dasar dan Harga Eceran Tertinggi

Kegagalan pasar adalah ketidakmampuan dari suatu

perekonomian pasar untuk berfungsi secara efisien dan menimbulkan

keteguhan dalam kegiatan dan pertumbuhan ekonomi. Kegagalan atau

kepincangan dalam mekanisme pasar memerlukan campur tangan

Pemerintah dalam perekonomian. Tujuan dari campur tangan

pemerintah adalah untuk (Sukirno, 2008):

a. Menjamin agar kesamaan hak untuk setiap individu tetap terwujud

dan menghindari penindasan;

b. Menjaga agar perekonomian dapat tumbuh dan mengalami

perkembangan yang teratur dan stabil;

c. Mengawasi kegiatan-kegiatan perusahaan, terutama perusahaan-

perusahaan besar yang dapat mempengaruhi pasar agar mereka

tidak menjalankan praktek-praktek monopoli yang merugikan;

d. Menyediakan “barang bersama” (public goods) yang penggunaannya

dilakukan secara kolektif oleh masyarakat mempertinggi

kesejahteraan sosial masyarakat;

e. Mengawasi agar eksternalitas kegiatan ekonomi yang merugikan

masyarakat dapat dihindari atau dikurangi.

Pemerintah menyadari adanya beberapa kelemahan dalam pasar

bebas, oleh karena itu Pemerintah di berbagai negara melakukan

intervensi dalam kegiatan perekonomian. Beberapa bentuk kebijakan

Pemerintah pada pasar persaingan sempurna adalah melalui

pengenaan pajak, subsidi kepada produser, harga atap, harga dasar,

kuota produksi, tariff impor, dan kuota impor.

Page 20: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12

Harga suatu komoditi merupakan hasil dari keseimbangan

permintaan dan penawaran. Tingkat harga yang dicapai pada

keseimbangan untuk komoditi-komoditi tertentu terutama pangan pokok

terkadang menimbulkan ketidakpuasan. Pada beberapa kasus,

ketidakpuasan menimbulkan tekanan politik dari publik kepada

Pemerintah yang kemudian diharapkan dapat menjaga harga pada

tingkat tertentu agar tidak meningkat terlalu tinggi atau jatuh terlalu

rendah melalui kebijakan harga (price control) berupa penetapan harga

eceran tertinggi dan harga eceran terendah.

Harga eceran tertinggi (price ceilings) dan harga eceran terendah

(price floors) merupakan praktek dari intervensi Pemerintah kepada

pasar terbuka yang merubah keseimbangan pasar. Kebijakan tersebut

akan memberikan dampak kepada masyarakat dan produsen yang

diharapkan akan memberikan insentif serta meminimalkan biaya dan

tradeoff.

Harga Eceran Tertinggi (Ceiling Price)

Ceiling Price adalah harga maksimal yang ditetapkan oleh

Pemerintah pada komoditi dan jasa tertentu yang diyakini telah dijual

pada tingkat harga yang lebih tinggi dari wajar yang merugikan

konsumen. Namun akan ada konsekuensi jika price ceilings ditetapkan

pada tingkat harga di bawah harga keseimbangan pasar.

Gambar 2.1. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Ceilings

Page 21: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13

Ketika Price Ceilings ditetapkan pada tingkat harga di bawah harga

pasar, maka akan terdapat kelebihan permintaan (excess demand) atau

kekurangan supply. Jumlah produksi akan lebih sedikit ketika harga

rendah, sedangkan permintaan akan semakin banyak karena harga

yang lebih murah. Permintaan akan lebih besar dari pada supply dimana

akan lebih banyak orang yang ingin membeli pada harga yang lebih

murah namun supply terbatas.

Jika kurva permintaan elastis maka total dampak kepada surplus

konsumen akan positif. Di sisi produsen, surplusnya akan mengalami

penurunan dimana akan ada produsen yang keluar dari pasar karena

tidak bisa berproduksi pada tingkat harga yang ditentukan dan produsen

yang tinggal di pasar harus menerima tingkat harga yang rendah.

Price Ceilings ditujukan untuk melindungi konsumen dari gejolak

kenaikan harga tak terhingga. Kebijakan Price Ceilings akan efektif jika

diiringi dengan kebijakan operasional pendukung seperti Operasi Pasar

pada waktu tertentu dimana pemerintah menambah jumlah barang yang

ditawarkan ke pasar.

Penerapan Price Ceilings di bawah harga keseimbangan

(equilibrium price) pasar pada kurva permintaan dan supply yang elastis

akan berdampak sebagai berikut (Besanko dan Braeutigam, 2011):

a. Terjadi kelebihan permintaan (excess demand)

b. Produksi yang di supply di pasar lebih rendah relatif terhadap tingkat

yang efisien yaitu jumlah yang di supply saat tidak ada intervensi

Pemerintah

c. Surplus produsen lebih rendah dibandingkan sebelum penerapan

Price Ceilings

d. Sebagian dari surplus produsen yang hilang ditransfer ke konsumen

e. Karena adanya excess demand, besar surplus konsumen tergantung

pada aksesibilitas konsumen terhadap produk. Oleh karena itu

Page 22: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14

surplus konsumen dapat meningkat atau bahkan turun jika barang

tidak tersedia karena penerapan Price Ceilings.

f. Akan terjadi deadweight loss yaitu berkurangnya surplus total

(surplus konsumen dan surplus produsen) yang terjadi karena pasar

tidak beroperasi secara optimal. Dalam hal ini karena output yang

tersedia terbatas.

Harga Dasar (Floor Price)

Floor Price adalah harga minimum yang ditetapkan Pemerintah

untuk komoditi dan jasa tertentu yang diyakini dijual pada tingkat harga

yang lebih rendah dari yang layak diterima oleh produser. Harga dasar

akan menimbulkan dampak jika ditetapkan pada tingkat harga di atas

tingkat harga keseimbangan. Jika harga dasar ditetapkan di bawah

tingkat harga keseimbangan maka kebijakan intervensi ini tidak akan

memberikan dampak kepada pasar.

Ketika Price Floors ditetapkan di atas tingkat harga ekuilibrium

maka akan terjadi surplus supply (excess supply). Hal ini terjadi ketika

produsen akan berproduksi lebih banyak namun permintaan justru akan

menurun karena harga barang yang lebih tinggi.

Gambar 2.2. Partial Equilibrium Dalam Kebijakan Price Floors

Page 23: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15

Terdapat deadweight loss yang direfleksikan oleh kerugian di sisi

konsumen dan surplus produsen pada tingkat produksi yang lebih

rendah. Produsen dapat memperoleh keuntungan dari kebijakan ini

hanya jika kurva supply relatif elastis sehingga tidak terjadi net loss.

Konsumen dirugikan dalam kebijakan ini karena harus membayar

dengan harga yang lebih tinggi. Kebijakan harga eceran terendah

ditujukan untuk melindungi produsen dari penurunan harga barang

sampai tak terhingga. Mekanisme kebijakan ini akan efektif jika

pemerintah berperan dalam membeli surplus produksi.

Berbagai strategi dapat dilakukan oleh pemerintah dalam

menetapkan harga dasar dan menghadapi dampaknya. Pilihan

kebijakan lain mendukung kebijakan harga dasar antara lain kebijakan

price support, atau menetapkan kuota produksi. Price support dilakukan

dengan menetapkan harga minimum namun tidak hanya itu. Pemerintah

dalam hal ini membeli berapapun kelebihan supply (excess supply).

Metode ini tidak efisien, mahal dan merugikan tidak hanya bagi

pemerintah tetapi juga secara sosial dari pada jika pemerintah

memberikan subsidi langsung kepada perusahaan atau produsen yang

terkena dampak penetapan harga dasar.

Kuota produksi meningkatkan harga secara artificial melalui

restriksi produksi menggunakan aturan kuota atau memberikan insentif

usaha agar produsen mengurangi produksi. Cara ini dilakukan di

Amerika terutama di sektor pertanian. Pemerintah membayar petani

untuk mengatur jumlah produksinya agar harga terjaga. Sama halnya

dengan price support, kebijakan ini akan efisien dan murah jika

pemerintah memberikan subsidi langsung kepada petani dari pada

melakukan restriksi produksi.

Page 24: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16

Saat pemerintah menetapkan Price Floors lebih tinggi dari pada

harga keseimbangan pasar, maka dampak yang terjadi adalah sebagai

berikut:

a. Akan terjadi kelebihan produksi (excess supply) di pasar

b. Konsumen akan membeli lebih sedikit dari pada di pasar sempurna

c. Surplus konsumen lebih rendah dari pada jika tidak ada harga dasar

d. Sebagian surplus konsumen akan ditransfer kepada produsen

e. Karena harga dasar menyebabkan kelebihan supply, besarnya

surplus produsen akan tergantung pada produsen mana yang benar-

benar memasok produk. Surplus produsen dapat meningkat atau

menurun karena penetapan harga dasar.

2.4. Pengendalian Harga di Beberapa Negara

Pengendalian harga (Price control) oleh pemerintah biasanya

diterapkan pada barang dan jasa untuk menjaga ketersediaan pangan

penting dan mencegah gejolak harga saat kekurangan (Thuraisingham,

2010). Negara-negara maju dan berkembang mempunyai Undang-

Undang dan regulasi terkait pengaturan harga. Malaysia mempunyai

Price Control Act 1946 dan the Control of Supplies Act 1961; Filipina

mempunyai The Price Act (Republic Act 7851); Singapura dengan the

Price Control Act, Chap 244; Thailand the Price Fixing dan Anti

Monopoly Act 1979 serta the ‘Price Lists’ of the Ministry of Commerce

and Internal Trade Departments; Bangladesh dengan The Essential

Articles Act 1953.

Venezuela

Pemerintah Venezuela pada tahun 2003 menetapkan price ceiling

untuk beberapa pangan pokok sebagai reaksi terhadap tingkat inflasi.

Pada akhir tahun 2009 terdapat sekitar 400 komoditi pangan yang

dikenakan price ceiling (Besanko dan Braeutigam, 2011). Praktek price

Page 25: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17

ceiling untuk komoditi beras di Venezuela diperlihatkan oleh gambar di

bawah ini.

Pada tingkat harga price ceiling, kuantitas yang di supply menjadi

lebih rendah dari permintaan sehingga menciptakan kelangkaan beras.

Venezuela mengalami beberapa kali gangguan karena kurangnya

pasokan pangan sejak penerapan price control pertama kali diterapkan.

Konsumen mengalami kesulitan mendapatkan pangan pada tingkat

harga yang ditetapkan pemerintah sehingga sering terjadi antrian ketika

membeli. Produsen pangan mengajukan keluhan karena tingkat harga

yang ditetapkan pemerintah berada dibawah biaya rata-rata sehingga

produsen terancam bangkrut. Sebagai contoh, harga beras pada tahun

2009 ditetapkan sebesar 2.15 bolivares per kilogram, sementara biaya

yang dikeluarkan produsen per kilogram sebesar 4.41 bolivares.

Untuk menghindari price ceiling, produsen pangan berupaya

mengalihkan bentuk produknya ke jenis yang tidak terkena regulasi.

Produsen mengalihkan produknya dari beras putih menjadi beras

beraroma sehingga dapat meningkatkan harga jual. Pemerintah

kemudian menetapkan kuota produksi kepada banyak produsen pangan

untuk memaksa produsen menghasilkan produk pangan dengan ceiling

price. Produsen beras dikenakan kewajiban 80% dari produksinya dijual

dalam bentuk beras putih. Pada tahun 2009 pemerintah memperluas

kontrol pada produsen pangan lain selain beras untuk memaksa

peningkatan produksi. Pemerintah juga menghadapi banyak

penyelundupan pangan di perbatasan yang membawa produk pangan

dengan harga murah ke Colombia.

Malaysia

Salah satu faktor yang mempengaruhi inflasi di Malaysia adalah

mekanisme administered price. Harga beberapa komoditi penting di

Page 26: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18

Malaysia diatur oleh pemerintah karena perubahan harga komoditi-

komoditi tersebut mempunyai dampak yang signifikan terhadap biaya

hidup masyarakat pada kelompok berpendapatan rendah dan

menengah.

Secara umum ada dua jenis pengaturan harga di Malaysia.

Kelompok pertama terdiri dari produk yang disebutkan dalam Control

Act (1946) dimana pemerintah menentukan harga eceran dari komoditi-

komoditi tersebut. Contoh komoditi dalam kelompok ini adalah bahan

bakar dan gula. Kelompok kedua terdiri dari komoditi-komoditi yang

membutuhkan persetujuan pemerintah jika ingin merubah tingkat harga

contohnya tariff listrik dan ongkos transportasi publik. Penetapan

mekanisme administered price menyebabkan dampak dari supply

shocks dan perkembangan harga eksternal berkurang secara dan tidak

segera.

Tabel 2.2. Pengaturan Harga di Malaysia

Page 27: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 19

Kebijakan Price Control Act 1946 (Act 121) adalah salah satu

peraturan perlindungan konsumen pertama yang dikeluarkan oleh

pemerintahan colonial Malaya untuk mengontrol harga dan inflasi.

Kebijakan tersebut kemudian direvisi pada tahun 1973 dan efektif pada

17 September 1973. Namun dalam pelaksanaanya, harga-harga tetap

mengalami peningkatan di atas harga yang ditetapkan. Selanjutnya

kebijakan tersebut diperbaiki dan diganti dengan Price Control and Anti

Profiteering Act 2011 (Act 723). Kebijakan baru ini mereformasi

kebijakan kontrol harga dan menetapkan ketentuan mengenai

pelarangan profiteering. Tujuan kebijakan ini adalah memberikan

mandate kepada pemerintah untuk menentukan harga suatu komoditi

atau biaya jasa dan pada saat yang sama mencegah tindakan mencari

untung berlebihan.

Gambar 2.3 Kerangka Kerja Undang-Undang 723

Berdasarkan kerangka kerja UU 723, Menteri Domestic Trade &

Consumerism yang akan menentukan harga dan mekanisme untuk

penentuan besarnya tingkat profit yang dianggap tingginya tidak wajar.

Price Advisory Council dapat dibentuk oleh Menteri untuk memberikan

masukan dan pertimbangan mengenai isu terkait profiteering dan

masalah lain terkait harga.

Page 28: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 20

Filipina

Terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi supply beras di

Filipina (Cororaton, 2006) yaitu produksi local, buffer stok, dan impor. Di

sisi permintaan tiga faktor utama yang mempengaruhi adalah pasar

domestik, buffer stock, dan ekspor. Dua instrumen kebijakan utama

yang digunakan pemerintah untuk komoditi beras adalah tariff dan kuota

untuk impor. Gambar 2.4. berikut menunjukkan bagaimana intervensi

pemerintah mempengaruhi sektor beras.

Gambar 2.4 Mekanisme Intervensi Pemerintah di Komoditi Beras Sumber: Cororaton (2006)

Kebijakan harga yang dilakukan pemerintah Filipina meliputi harga

dasar dan harga atap. Selain itu juga meminimalisasi variasi harga di

beberapa wilayah. Pemerintah memonopoli ekspor dan impor beras

melalui pengaturan operasi pengadaan dan penjualan untuk

mempengaruhi tingkat harga domestik. Intervensi pemerintah dilakukan

Page 29: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 21

melalui the National Food Authority (NFA) yang merupakan institusi di

bawah Departemen Pertanian.

Kebijakan pemerintah lebih berhasil mempertahankan harga atap

(harga eceran tertinggi) di tingkat konsumen dari pada kebijakan harga

dasar. Sebagai akibatnya, harga di tingkat petani tetap lebih rendah dari

pada harga dasar yang sudah ditetapkan. Hal ini terjadi karena

terbatasnya anggaran NFA dan keterlambatan pembelian. Margin yang

mengalami penurunan di tingkat produsen menyebabkan menurunnya

investasi pada fasilitas pasca panen dan rendahnya keinginan

menanam karena harga yang tidak menarik. Dalam jangka panjang,

kebijakan harga dengan orientasi konsumen gagal untuk memberikan

keuntungan bagi konsumen karena menyebabkan berkurangnya

ketersediaan atau supply beras.

2.5. Kerangka Pemikiran

Parameter utama kinerja pasar adalah harga, karena perilaku

harga mencerminkan dinamika permintaan dan penawaran. Harga

terbentuk pada keseimbangan permintaan dan penawaran. Harga akan

meningkat jika terjadi kelebihan permintaan dan sebaliknya harga akan

turun jika terjadi kelebihan pasokan. Dengan demikian variasi harga

antar waktu (fluktuasi) maupun antar lokasi (variasi spatial) adalah hal

yang normal. Persoalannya adalah bahwa fluktuasi harga yang terlalu

tajam dapat mengganggu proses pengambilan keputusan konsumen

maupun produsen dan secara makro mengganggu pertumbuhan

ekonomi; sementara itu kecenderungannya yang tajam apabila hal itu

terjadi pada komoditas strategis maka akan mendorong inflasi. Di sisi

lain, variasi spatial yang ekstrim mencerminkan sistem logistik tidak

optimal, integrasi ekonomi antar wilayah yang lemah, dan

mengindikasikan adanya ketimpangan kinerja ekonomi antar wilayah.

Page 30: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 22

Suatu kebijakan akan efektif jika rancangannya tepat,

instrumennya tepat, dan strategi penerapannya tepat. Untuk itu, langkah

pertama yang perlu diketahui adalah akar penyebab instabilitas harga

komoditas yang bersangkutan.

Secara garis besar akar penyebab instabilitas harga dapat

dibedakan menjadi 3 tipe sebagai berikut:

a. Instabilitas bawaan/alami atau “natural instability”. Dalam kasus ini,

instabilitas harga disebabkan oleh variabilitas pasokan antar musim

atau antar waktu sebagai akibat dari variasi musiman dan atau

gangguan alam (hama penyakit, kekeringan, dan sebagainya.

Contoh paling nyata adalah instabilitas harga beras, cabai, bawang

merah, dan sebagainya.

b. Instabilitas yang diimpor (imported) yakni instabilitas harga

komoditas tertentu di dalam negeri akibat harga di pasar

internasional volatil, sementara itu sebagian besar pasokan di

dalam negeri berasal dari impor (Byerlee et al, 2005).

c. Instabilitas endogen (endogenous instability), yakni instabilitas

yang tercipta dari perilaku pasar itu sendiri (Boussard, 1996;

Boussard et al, 2006). Instabilitas tipe ini terkait dengan ekspektasi

yang berlebihan pada pelaku pasar atas fenomena “Cob Web”

dalam pasar komoditas yang bersangkutan.

Adalah fakta bahwa kelembagaan ekonomi yang berperan

dominan dalam distribusi barang dan jasa adalah pasar sehingga

rancangan kebijakan harga juga harus berbasis pada ekonomi pasar.

Implikasinya, kebijakan pemerintah dalam stabilisasi harga adalah

melakukan intervensi pasar tanpa menihilkan peran pasar. Pada aspek

tertentu, fluktuasi harga adalah “engine” dari mekanisme pasar dan

keseimbangan tidaklah statis. Oleh karena itu kebijakan pemerintah

Page 31: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 23

dalam menghadapi instabilitas harga lazimnya diorientasikan untuk: (i)

mengurangi instabilitas, dan (ii) mengurangi dampak instabilitas harga.

Dengan orientasi seperti itu, secara teoritis pengelolaan instabilitas

harga dapat diklasifikasikan menjadi 4 kategori sebagaimana yang telah

dijelaskan sebelumnya yaitu kategori A menggunakan instrumen pasar

untuk stabilisasi harga dengan mengacu pada infrastruktur dan

kelembagaan pasar, kategori B menggunakan instrumen pasar dengan

tujuan untuk mengurangi stabilisasi harga. Kategori C adalah alat

intervensi publik yang bertujuan untuk memastikan bahwa harga tidak

melebihi batas-batas tertentu. Tergantung pada kasus ini alat mungkin

termasuk harga dasar, harga eceran tertinggi atau price band.

Instrumen C focus pada control produksi, kontrol perbatasan atau

kontrol stok. Intervensi ini termasuk instrument yang beragam seperti

subsidi input, impor dan pajak ekspor dan subsidi (Fixed atau variable),

kuota, larangan atau stok penyangga publik. Instrumen D adalah alat

intervensi publik yang bertujuan untuk mendukung pendapatan rumah

tangga ketika harga tinggi.

Dalam penelitian ini, fokusnya adalah pada instrumen kategori C.

Argumennya: (i) secara empiris selama ini yang pernah diterapkan di

Indonesia adalah instrumen ini, terutama pada beras dengan

pengelolaan stok oleh pemerintah (BULOG), (ii) lebih sesuai dengan

struktur pertanian Indonesia, (iii) dengan sejumlah modifikasi dan

perbaikan kelembagaan peluang penerapan untuk beberapa komoditas

pangan lainnya cukup terbuka, dan (iv) terkait dengan upaya

pengendalian harga.

Page 32: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 24

Nyak Ilham, 2006 Besanko & Braeutigam, 2011

Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran

Stabilitas Harga

Pangan

Kebijakan Harga Kebijakan Produksi

Supply-

Demand Spekulasi Kurs

Rupiah

Thdp

Dollar

Kebijakan

Pemerintah

h

Dasar Hukum: UU No 18/2012 tentang Pangan:

Pasal 55 (1)

Dasar Hukum: UU No 7/2014 tentang

Perdagangan: Pasal 26 (3)

Komoditi Prioritas

Kelembagaan: SDM,

Regulasi (aturan main),

Sistim Adm

Kebijakan Pendukung (Supporting Policies): Buffer stock, OP, ekspor/impor

1. Peningkatan Produksi

2. Peningkatan

Produktivitas

Kebijakan Harga Komoditi Pangan

Page 33: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 25

BAB III

METODE PENGKAJIAN

3.1. Metode Analisis

Sejalan dengan tujuan dari penelitian, pendekatan yang digunakan

dalam kajian ini yaitu analisis deskriptif kualitatif dan analisis deskriptif

kuantitatif. Analisis deskriptif merupakan analisis yang paling mendasar

untuk menggambarkan keadaan data secara umum atau sebagai cara

merumuskan dan menapsirkan data yang ada sehingga memberikan

gambaran yang jelas mengenai hal yang diteliti. Sejalan dengan hal

tersebut, Sugiyono (2008) juga menjelaskan bahwa analisis deskriptif

bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis fakta-fakta yang ada

serta menjelaskan tentang hubungan variabel yang diteliti dengan cara

mengumpulkan data, mengolah data, menganalisis dan

menginterpretasikan data.

Analisis deskriptif kualitatif dilakukan dengan cara melakukan studi

pustaka dan verifikasi empiris serta mengkombinasikan data kuantitatif

dan data kualitatif yang diperoleh berdasarkan hasil diskusi di lapangan.

Untuk menjawab tujuan pada bab I, analisis deskriptif dengan

melakukan studi pustaka dan verifikasi empiris dilakukan untuk

mengidentifikasi pelaksanaan kebijakan harga pangan di negara lain.

Metode deskriptif dengan mengkombinasikan data kuantitatif dan data

kualitatif yang diperoleh berdasarkan hasil diskusi di lapangan

digunakan untuk melihat kemungkinan penerapan kebijakan harga

pangan dengan pendekatan kelembagaan serta merumuskan usulan

kebijakan harga pangan. Metode analisis deskriptif kuantitatif juga

digunakan untuk mengidentifikasi komoditi-komoditi secara preliminary

memenuhi syarat (eligible) menerapkan kebijakan harga.

Page 34: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 26

Kedua metode analisis di atas dipilih secara bersamaan karena

penelitian ini erat terkait dengan dinamika yang bersifat sosial seperti

kebijakan dan sekaligus dinamika variabel-variabel yang sifatnya

numerik seperti perkembangan harga, pangsa pengeluaran masyarakat

untuk pangan, andil inflasi pangan, fluktuasi harga dan lain-lain.

Parameter ini juga digunakan untuk melihat keragaan komoditi pangan.

Menurut Musianto (2002), di era ini suasana yang semakin majemuk

menuntut penelitian/analisis bersifat komprehensif, misalnya, kata-kata

“kebijakan” mengandung nilai-nilai kuantitatif dan kualitatif.

3.1.1. Analisis Kemungkinan Penerapan Kebijakan Harga Pangan di

Indonesia

Informasi yang diharapkan dapat dihasilkan pada tahapan analisis

ini, yaitu: (i) kebijakan harga akan diterapkan pada komoditas pangan

apa, (ii) Kemungkinan jenis penerapan kebijakan harga, (iii) konsep

penentuannya (iv) bagaimana strategi implementasinya, dan (v)

bagaimana pelembagaan dan pengorganisasiannya agar penerapannya

efektif.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa analisis deskriftif

kuantitatif digunakan untuk pemilihan komoditi yang memungkinkan

untuk diterapkan kebijakan harga. Metode deskriftif kuantitatif yang

digunakan adalah sisi produsen: profitabilitas usaha tani serta

pertumbuhan produksi. Sisi konsumen: peran komoditi tersebut dalam

pengeluaran masyarakat, andil terhadap inflasi serta variasi harga di

tingkat konsumen. Jawaban atas pertanyaan (i) dilandasi filosifi bahwa

semestinya kebijakan harga (kontrol pemerintah) tidak diberlakukan

untuk semua komoditas pangan karena tidak kondusif untuk

mendukung efiensi ekonomi. Oleh karena itu langkah pertama yang

harus dilakukan adalah melakukan identifikasi komoditas pangan

strategis yang dari sudut pandang kemaslahatan memang memerlukan

Page 35: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 27

intervensi pemerintah. Indikator yang digunakan untuk mengkaji hal ini

adalah: (a) peranan komoditas tersebut dalam pengeluaran masyarakat,

(b) kontribusi komoditas tersebut dalam penciptaan nilai tambah dan

penciptaan lapangan kerja, (c) kontribusinya terhadap inflasi, dan (d)

menghitung volatilitas harga masing-masing komoditas yang

bersangkutan.

Volatilitas/Fluktuasi adalah variasi temporal. Salah satu ukuran

kuantitatif yang paling sederhana tetapi lazim dipakai adalah standard

deviasi dan koefisien variasi. Formula standard deviasi adalah:

Dimana standard deviasi adalah:

1 1

2

2

1

n n

t t

t tn P P

STDEVn n

, …………………………………………….. (1)

n = jumlah observasi

sedangkan koefisien variasi (CV) adalah: STDEV

CVMean

…………. (2)

Volatilitas harga ( )

…………………………………. (3)

Dimana:

: Rata-rata tingkat volatilitas harga dalam tahun

satuan (%)

: jumlah tahun dari sampai dengan

: koefisien variasi = (standar deviasi/rataan)

Page 36: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 28

Untuk menjawab pertanyaan (i) dan untuk lebih mempermudah

pemilihan, semua variabel tersebut kemudian dipetakan dalam sebuah

matriks sebagaimana disajikan pada Tabel 3.1. Tabel ini digunakan

untuk memetakan komoditi dan kemudian membuat rangking untuk

menentukan prioritas komoditi yang kemungkinan akan diterapkan

kebijakan harga.

Tabel 3.1. Matriks Identifikasi Komoditi

No. Komoditi Skor Ranking

1 A

......

(ranking: ...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking: ...)

2 B ......

(ranking: ...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking: ...)

... ... ......

(ranking: ...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking: ...)

N N

......

(ranking: ...) ......

(ranking:

...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking:

...)

......

(ranking: ...)

menjawab pertanyaan (ii) dan (iii), analisis akan dibedakan dalam

penentuan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi.

a. Penentuan kebijakan harga dasar, yang menjadi pertimbangan

perhitungan:

(1) Rata-rata dan kisaran harga serta kaitannya dengan

keuntungan usaha tani. Variabel yang menjadi indikator adalah

struktur ongkos usaha tani, volatilitas harga produsen,

profitabilitas usaha tani, dan produktivitas usaha tani. Yang

menjadi pertimbangan dalam perhitungan ini adalah besaran

keuntungan normal yang diterima petani.

Profitabilitas usaha tani ( )

……………………………………………. (4)

Masing-masing cell di-rangking berdasarkan variabel di kolom

Page 37: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 29

Dimana:

: Keuntungan petani dari usaha tani

: Penerimaan = Harga jual*volume produksi

: Total biaya usaha tani

Data ini diperoleh dari beberapa hasil penelitian mengenai

analisa usaha tani, seperti publikasi Kementerian Pertanian dan

BPS.

Pertumbuhan produksi komoditi pangan per tahun dalam

periode tertentu.

…………………………………. (5)

Dimana:

: pertumbuhan produksi per tahun

: volume produksi

: tahun terakhir periode

: tahun awal periode

(2) Produktivitas kerja pada usaha tani komoditi yang bersangkutan

vs produktivitas kerja dengan usaha tani komoditi lainnya.

Variabel yang digunakan adalah perkembangan luas panen,

produksi dan produktivitas.

b. Penentuan Harga Eceran Tertinggi, indikator yang menjadi

pertimbangan dalam penentuan harga eceran tertinggi yaitu

peranan komoditas tersebut dalam pengeluaran masyarakat,

besarnya andil terhadap inflasi, dan volatilitas harga di tingkat

konsumen

Jawaban atas pertanyaan (iv) dan (v) membutuhkan

pengkajian atas data dari diskusi terbatas dengan pakar di bidang

ekonomi pertanian dan kebijakan pangan baik yang berkerimpung

Page 38: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 30

dalam pemerintahan maupun akademisi, serta stakeholder yang

lazimnya dijadikan sumber informasi utama dalam kajian ini.

c. Analisis Kelembagaan

Kajian atas pertanyaan mengenai kemungkinan penerapan suatu

kebijakan membutuhkan analisis kelembagaan. Untuk itu,

pendekatan yang akan diterapkan mengacu pada kerangka

pemikiran IAD (Institutional Analysis and Development) yang

dikembangkan oleh Ostrom (2005; 2010; 2011) yang secara

ringkas dapat dipresentasikan pada Gambar 3.1. Penerapan IAD

dalam kajian ini didasarkan atas kondisi empiris bahwa pada

dasarnya implementasi kebijakan harga melibatkan berbagai pihak

dan bentuk kelembagaan yang beragam yang saling berinteraksi

sehingga outcomes dari kebijakan tersebut dipengaruhi oleh faktor

eksternal dan internal dari aksi atau berbagai kegiatan dalam

kelembagaan tersebut secara dinamis. Sudah barang tentu dalam

kajian ini yang akan diaplikasikan adalah prinsip-prinsip dasarnya

karena prosedur aplikasi kerangka pemikiran ini sesungguhnya

sangat kompleks dan melibatkan berbagai variabel yang

pengukurannya membutuhkan survey yang mendalam.

Gambar Kerangka Pemikiran untuk Analisis Kelembagaan Sumber : Ostrom (2010)

Variabel Eksternal

Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran untuk Analisis Kelembagaan Sumber : diadaptasi dari Ostrom (2005; 2010; 2011).

Page 39: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 31

Jawaban atas tujuan no (2) merupakan sintesis atas jawaban

tujuan no (1) dengan memanfaatkan expertise dalam bidang

perumusan kebijakan. Dalam konteks ini prinsip dasar yang perlu

dijadikan pedoman adalah sebagai berikut:

(1) Pemerintah adalah fasilitor, stimulator, dan pembuat regulasi

sehingga kehadirannya di lapangan disarankan tidak eksesif,

(2) Kebijakan harga yang baik adalah yang memperbaiki kinerja

pasar, bukan menihilkan peran pasar,

(3) Efektivitas kebijakan memerlukan rancangan, instrumen,

strategi penerapan, dan penegakan aturan yang konsisten

dan nuansanya adalah merupakan insentif, bukan

punishment,

(4) Pelembagaan dan pengorganisasian dari implementasi

kebijakan harus efisien, dan untuk itu yang perlu diprioritaskan

adalah meningkatkan kinerja kelembagaan yang telah ada

atau jika belum ada maka pembentukannya harus sinergis

dengan kelembagaan yang telah ada.

(5) Koordinasi antar pihak yang terkait adalah kunci utama

keberhasilan implementasi kebijakan; dan untuk itu perlu

menjaga terwujudnya konsistensi dan harmoni antar kebijakan

yang terkait.

Secara keseluruhan tahapan analisis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Page 40: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 32

Gambar 3.2. Tahapan Analisis dalam Penelitian

3.2. Jenis, Sumber dan Metode Pengumpulan Data

3.2.1 Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah:

a. Data sekunder meliputi harga, pangsa pengeluaran komoditi,

profitabilitas usaha tani, andil inflasi komoditi dan produksi. Data-data

tersebut diperoleh dari publikasi instansi tertentu, khususnya

Kementerian Pertanian, Bappenas dan BPS;

b. Data primer terdiri dari pandangan pakar dan dokumen yang terkait

dengan kebijakan harga dasar dan atau harga eceran tertinggi di

negara lain. Data tersebut diperoleh dari diskusi dengan akademisi

serta para pakar/praktisi dan hasil diskusi di negara lain.

Tahap 1: Identifikasi Komoditi

Tahap 2:

Menganalisis kemungkinan penerapan kebijakan harga

pangan di Indonesia

Mengambarkan implementasi penerapan kebijakan harga

pangan di negara lain

Pengumpulan data sekunder:

a. Volatilitas harga dalam kurun waktu tertentu, misalnya dalam 10 tahun terakhir.

b. Profitabilitas usaha tani. c. Pangsa pengeluran komoditi dalam

total pengeluaran rumah tangga/masyarakat.

d. Andil inflasi komoditi dalam inflasi umum.

e. Pertumbuhan produksi komoditi pangan.

Pengumpulan data primer:

a. Pandangan pakar b. Inventarisasi

ketersediaan/kapasitas/kapabilitas faktor-faktor utama untuk implementasi kebijakan harga dasar dan/atau harga eceran tertinggi.

c. Bencmarking dari negara lain

Tahap 3: Perumusan Kebijakan

Menganalisis keragaan komoditi pangan di Indonesia dan

Kebijakan Harganya

Page 41: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 33

Tabel 3.2. Jenis dan Sumber Data Sekunder

No. Jenis Data Penjelasan Sumber Data

1 Harga eceran ditingkat konsumen (nasional) dan harga eceran di tingkat produsen. Periode 2005 – 2014 (bulanan)

Data ini digunakan untuk menghitung tingkat volatilitas harga ( )

BPS dan Ditjen Perdagangan Dalam Negeri

2 Analisa Biaya Usaha Tani

Data ini digunakan untuk menghitung tingkat profitabilitas usaha tani

Kementerian Pertanian, BPS dan sumber informasi lainnya

3 Produksi nasional Periode 2005 – 2014 (tahunan)

Data ini digunakan untuk menghitung pertumbuhan produksi

BPS dan Kementerian Pertanian

4 Pangsa pengeluran komoditi dalam total pengeluaran rumah tangga/masyarakat.

Data ini digunakan untuk salah satu persyaratan identifikasi komoditi terpilih

SUSENAS, Table I-O dan Indikator Ekonomi-BPS

5 Andil inflasi komoditi dalam inflasi nasional.

Data ini digunakan untuk salah satu persyaratan identifikasi komoditi terpilih

BPS

6 Pandangan pakar Pandangan pakar ini digunakan untuk memperoleh informasi mengenai pemilihan komoditi yang memungkinkan diterpakan kebijakan harga, pandangan tenteng kebijakan harga pangan serta menggali informasi usulan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi komoditi pangan di Indonesia.

Hasil dari forum diskusi baik di daerah maupun Jakarta

7 Kebijakan harga pangan di negara lain

Yang akan dianalisis implementasi penerapan kebijakan harga pangan (tujuan, mekanisme, anggaran, eksekusi serta evaluasinya)

Studi literature, verifikasi ilmiah serta melakukan Benchmarking di Thailand

3.2.2 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui dua cara, yaitu pengumpulan

data sekunder yang diperoleh dari berbagai lembaga dan pengumpulan

Page 42: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 34

data primer yang diperoleh dari diskusi dengan para pakar (akademisi)

maupun expert/praktisi baik di daerah maupun di pusat serta

benchmarking di negara lain, yaitu Thailand. Diskusi terbatas dilakukan

dalam dua bagian yang terpisah, yaitu di DKI Jakarta dan Daerah.

Diskusi terbatas di daerah dilakukan di Yogyakarta, Jawa Timur dan

Sumatera Barat. Pemilihan ketiga daerah ini didasarkan atas

pertimbangan: (i) bobot komoditi pangan terhadap inflasi di wilayah

tersebut serta (ii) sentra produksi/konsumsi.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode diskusi

terbatas. Diskusi terbatas I dilaksanakan setelah pembahasan ROP

yang dilaksanakan di Jakarta melalui panduan diksusi. Adapun

informasi yang akan dikumpulkan meliputi:

a. Mengidentifikasi komoditi pangan pokok yang akan menjadi fokus

pelaksanaan kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi;

b. Mengidentifikasi kelembagaan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan

kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi;

c. Mengidentifikasi perangkat-perangkat regulasi apa yang dapat

mendukung implementasi kebijakan harga dasar dan harga eceran

tertinggi berjalan efektif efektif; dan

d. Mengidentifikasi perangkat-perangkat regulasi apa yang diperlukan

agar kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi dapat

diimplementasikan secara efektif.

Diskusi terbatas 2 dilaksanakan sebelum diskusi terbatas di

daerah. Diskusi terbatas 2 menggunakan panduan diskusi II. Pada

diskusi ini yang lebih difokuskan pada menyusun rumusan usulan

kebijakan harga dasar dan harga eceran tertinggi komoditi pangan di

Indonesia. Kemudian diskusi ke 3 dilakukan setelah diskusi terbatas di

daerah selesai dilaksanakan dengan menggunakan panduan diskusi 2

Page 43: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 35

1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4

1 Penyusunan Rencana Operasional Penelitian (ROP)

2 Pembahasan ROP

3 Pengumpulan Data Sekunder

4 Diskusi I

5 Penyusunan Panduan Diksusi

6 Finalisasi Panduan Diskusi

7 Diskusi II

8 Diskusi Terbatas di Daerah

9 Tabulasi Data

10 Pengolahan dan analisis data

11 Diskusi III

12 Penyusunan Laporan Sementara

13 Diskusi IV

14 Penyusunan Laporan Akhir

15 Penulisan Memo Kebijakan

16 Pendistribusian Laporan Akhir

No Kegiatan Agus SepFeb Mar Apr Mei Jun Jul

2015

1 Penyusunan Rencana Operasional Penelitan (ROP)

2 Pembahasan ROP

3 Pengumpulan Data Sekunder

4 Diskusi Terbatas I

5 Penyusunan Panduan Diksusi

6 Finalisasi Panduan Diskusi

7 Diskusi Terbatas II

8 Pelaksanaan Diskusi di daerah

9 Pengolahan dan analisis data

10 Diskusi Terbatas III

11 Penyusunan Draft Laporan Pendahuluan

12 Diskusi Terbatas IV

13 Penyusunan Laporan Akhir/Final

14 Penulisan Memo Kebijakan

15 Pendistribusian Laporan Akhir

Mei Jun JulNo

Agus

2015Kegiatan

Feb Mar Apr

K E G IA TA NF e b M a r A p r M e i Ju n Ju l A g s S e p O k t N o p

I I I I I I IV I I I I I I IV I I I I I I IV I I I I I I IV I I I I I I IV I I I I I I IV I I I I I I IV I I I I I I IV I I I I I I IV I I I I I I IV

P e n g u m p u la n D a t a P e d a g a n g

S t u d i L it e r a t u r

F in a l isa s i r u t e

P e n y u su n a n K u e s io n e r

P r e - t e st

F in a lisa s i K u e s io n e r

P e r s ia p a n S u r v e y ( l is t t a r g e t r e sp o n d e n , t r a in in g e n u m e r a to r, d l l)

S u r v e y k e P e d a ga n g A sa l

S u r v e y k e F r e ig h t F o r w a r d e r d i k o t a a sa l

S u r v e y k e S h ip p in g L in ed i k o t a a sa l

S u r v e y k e F r e ig h t F o r w a r d e r d i k o t a t u ju a n

S u r v e y k e P e m b e li

V a l id a s i

C o d in g , e n t r y , t a b u la s i

A n a lis is d a t a

P e n u lisa n la p o r a n a k h ir

untuk mensingkronkan para pendapat pakar di daerah dalam menyusun

rumusan usulan kebijakan harga pangan di Indonesia.

Pelaksanaan diskusi terbatas ke 4 dilaksanakan setelah

Benchmarking di Thailand. Pada tahapan ini diharapkan semua

informasi sudah diperoleh termasuk pelaksanaan kebijakan harga

pangan di beberapa negara lain melalui studi literatur. Pada diskusi

terbatas ke 4 ini menggunakan panduan diskusi III dengan tujuan untuk

membandingkan kebijakan harga pada komoditi bahan pangan pokok di

negara-negara lain dengan usulan kebijakan yang sudah dirumuskan

serta memantapkan rumusan usulan kebijakan harga pada komoditi

pangan pokok di Indonesia. Kajian akan dilaksanakan dalam waktu 8

bulan, yaitu mulai dari Bulan Februari 2015 hingga September 2015.

Tabel 3.3. Jadwal Kegiatan

Page 44: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 36

BAB IV

PELAKSANAAN KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI BEBERAPA NEGARA

Pangan merupakan komoditi penting bagi semua Negara. Oleh karena

itu pemerintahan di hampir semua negara memiliki regulasi untuk melakukan

intervensi pada harga komoditi pangan yang dianggap mempengaruhi

kesejahteraan ekonomi maupun sosial masyarakat di negara tersebut.

Kebijakan tersebut dilakukan dalam rangka stabilisasi harga baik di tingkat

produsen atau di tingkat konsumen. Kebijakan harga di beberapa negara

yang dibahas dalam Bab ini dilihat dari lima hal yaitu (i) jenis kebijakan, (ii)

lembaga pelaksana, (iii) mekanisme pelaksanaan, (iv) komoditi yang diatur,

dan (v) pelanggaran dan sanksi.

4.1. Malaysia

Pengaturan harga di Malaysia diatur dalam kebijakan setara

Undang-Undang yaitu Price Control Act nomor 121 tahun 1946 yang

kemudian diganti oleh Price Control and Anti-Profiteering Act (PCPA)

nomor 723 tahun 2011 yang mulai berlaku 1 April tahun 2011. Beberapa

perbaikan pada regulasi yang baru diantaranya memberikan ewenang

kepada pemerintah untuk menentukan harga barang dan jasa;

pelarangan pencatutan; memastikan masyarakat tidak terbebani oleh

shock peningkatan harga; dan melindungi kepentingan konsumen.

Substansi utama yang diatur dalam PCPA adalah kontrol harga

(price control) dan anti-pencatutan (anti-profiteering). Pengaturan harga

terdiri dari dua skema yaitu skema price control dan skema festive price

control. Gula dan masker kesehatan merupakan dua produk yang diatur

dalam skema price control. Dalam skema ini, harga maksimal di tingkat

pengecer untuk gula dan masker ditetapkan oleh pemerintah dan

Page 45: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 37

berlaku sepanjang tahun. Pelaksanaan ketentuan ini diawasi oleh

pemerintah dan pelanggarnya akan dikenakan sanksi.

Skema festive price control adala skema kontrol harga yang

dilakukan dalam jangka waktu tertentu pada perayaan hari besar

agama. Tujuannya adalah untuk mengendalikan peningkatan harga

selama periode hari raya untuk barang-barang penting pada hari raya

tersebut dan mengendalikan potensi kenaikan harga karena

peningkatan permintaan. Pemerintah Malaysia menetapkan hari raya

keagamaan dalam skema ini yaitu hari raya Puasa, tahun baru China,

Deepavali, Natal, Kaamatan (Sabah), dan Gawai (Sarawak). Komoditi

yang diawasi antara lain ayam, daging lokal (sapi/ kambing/ babi), telur

ayam, kubis bulat import, tomat, cabai merah, kelapa bijji/ parut, bawang

merah, bawang putih, kentang, kacang, ikan kembung, ikan bawal putih,

udang putih besar.

Mekanisme skema festive price control diawali dengan penentuan

komoditi yang akan diatur dan besaran harga yang akan ditetapkan

berdasarkan masukan dari pemerintah daerah, produsen, pedagang

dan stakeholder lain. Tiap wilayah dapat mengajukan tingkat harga yang

berbeda disesuaikan dengan kondisi setempat. Setelah ditetapkan oleh

Menteri Perdagangan, daftar komoditi yang diawasi akan

disebarluaskan melalui media masa, minimal satu bulan sebelum

pelaksanaan. Skema ini umumnya berlaku selama 9 sampai 12 hari

sebelum dan sesudah hari raya.

Page 46: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 38

Tabel 4.1. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Malaysia

No. Elemen Pengendalian

Malaysia

1. Aturan Price Control and Anti-profiteering Act 2011 (Act 723)

2. Institusi Menteri Perdagangan menunjuk seorang Price Controller, beberapa Deputy Price Controllers, dan beberapa Assistant Price Controllers dalam rangka pelaksanaan regulasi ini.

Price Controller berada dibawah pengawasan dan bertanggung jawab pada Menteri Perdagangan.

Deputy Price Controllers, Assistant Price Controllers berada dibawah pengawasan dan bertanggung jawab pada Price Controller.

3. Mekanisme Price Controller menentukan harga maksimum, minimum atau tingkat harga tertentu produk pada tingkat produsen, grosir, dan eceran. Penentuan harga dapat berbeda berdasarkan wilayah.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri, daftar harga yang dikontrol akan diumumkan di media masa.

Komoditi dalam skema price control ditentukan diawal tahun dan berlaku sepanjang tahun tersebut. Komoditi dalam skema festive price control ditentukan satu bulan sebelum pelaksanaan dan berlaku 9-12 hari sebelum dan sesudah hari raya.

Menteri Perdagangan mengatur mekanisme untuk mencegah pengambilan untung atau profit yang tidak wajar dengan memperhitungkan pajak, biaya supplier, kondisi supply dan demand, kondisi dan situasi geografi atau pasar dari produk tersebut.

4. Komoditi Skema price control: gula, bensin, diesel, LPG, tepung gandum, minyak goreng sawit, dan masker

Skema festive price control (berbeda berdasarkan hari keagamaan tertentu): ayam, daging lokal (sapi/ kambing/ babi), telur ayam, kubis bulat import, tomat, cabai merah, kelapa bijji/ parut, bawang merah, bawang putih, kentang, kacang, ikan kembung, ikan bawal putih, udang putih besar.

5. Pelanggaran dan Sanksi

Melanggar jika menjual atau menawarkan menjual dengan harga di atas atau di bawah harga yang ditetapkan; membeli atau menawarkan membeli di atas atau di bawah harga yang ditetapkan dianggap melanggar.

Pelanggar institusi atau corporat dikenakan denda maksimal dari 500 ribu RM, dan jika berulang dikenakan denda maksimal 1 juta RM.

Pelanggar individu dikenakan denda maksimal 100 ribu RM atau kurungan maksimal 3 tahun atau berlaku keduanya. Untuk pelanggaran berulang dikenakan denda maksimal 250 ribu RM atau kurungan maksimal 5 tahun atau berlaku keduanya.

Page 47: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 39

4.2. Filipina

Pengaturan harga di Filipina didasarkan pada regulasi setara

Undang-Undang yaitu Price Act Nomor. 7581 tahun 1992. Harga

Kebutuhan Pokok di Filipina diatur dalam bentuk Undang – Undang,

Republic Act No. 7581 atau lebih kenal sebagai The Price Act tahun

1992. Instansi yang bertanggung jawab dalam menerapkan kebijakan

tersebut adalah Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan,

Departemen Lingkungan dan Sumberdaya, Kepolisian dan Departemen

Perindustrian dan Perdagangan yang selanjutnya disebut lembaga

pelaksana (Implementing Agencies). Untuk mendukung Implementing

Agencies, kepala negara membentuk Price Coordinating Council yang

terdiri dari Departemen Perdagangan dan Industri serta instansi teknis

terkait.

Pemerintah Filipina menetapkan komoditas pokok yang perlu diatur

meliputi komoditi: beras, jagung, roti, ikan dan produk laut lainnya,

daging babi, sapi, unggas baik segar, kering, atau kaleng, telur, susu

segar dan susu hasil proses, sayuran segar, roots crops, kopi, gula,

minyak goreng, garam, sabun cuci, deterjen, kayu bakar; batubara, lilin,

obat-obatan yang diklasifikasikan penting oleh Departemen Kesehatan.

Pada saat terjadi gejolak harga akibat gangguan bencana,

ancaman yang menimbulkan bahaya, tindakan manipulasi harga, dan

kejadian yang menyebabkan harga kebutuhan pokok naik dalam

batasan yang tidak wajar, pemerintah melakukan penetapan harga atap

(ceiling price). Dalam kondisi khusus, yaitu daerah mengalami bencana,

keadaan darurat, daerah sengketa hukum, daerah wilayah

pemberontak/perlawanan, daerah dalam kondisi perang pemerintah

akan memberlakukan harga secara sepihak (automatic price control).

Pada bagian lain dari Act ini, pemerintah melarang segala tindakan

yang dapat memanipulasi harga seperti penimbunan (jumlah persediaan

Page 48: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 40

50% lebih tinggi dari biasanya dalam tiga bulan terakhir); pemburu rente

dan kartel. Segala bentuk pelanggaran yang dilakukan baik oleh pelaku

usaha maupun pemerintah dijabarkan dengan jelas dalam Act.

Tabel 4.2. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Filipina

No. Elemen

Pengendalian

Filipina

1. Aturan Republic Act No. 7581 The Price Act Tahun 1992

2. Institusi Kepala negara membentuk Price Coordinating Council terdiri dari

Departemen Perdagangan dan Industri serta instansi tekhnis

terkait

3. Mekanisme Menetapkan komoditas pokok;

Melakukan penetapan harga atap (ceiling price) jika terjadi gejolak harga akibat gangguan bencana, ancaman yang menimbulkan bahaya, tindakan manipulasi harga, dan kejadian yang menyebabkan harga kebutuhan pokok naik dalam batasan yang tidak wajar;

Melarang segala tindakan yang dapat memanipulasi harga seperti penimbunan (jumlah persediaan 50% lebih tinggi dari biasanya dalam tiga bulan terakhir); pemburu rente, penjualan barang tanpa label harga, kualitas yang tidak sesuai, barang palsu, dan menjual bahan pokok dengan marjin diatas 10%; dan kartel;

Dalam kondisi khusus, yaitu daerah mengalami bencana, keadaan darurat, daerah sengketa hukum, daerah wilayah pemberontak/ perlawanan, daerah dalam kondisi perang pemerintah akan memberlakukan harga secara sepihak (automatic price control).

4. Komoditi Kebutuhan dasar termasuk: beras, jagung, roti, ikan segar, kering,

atau kaleng dan produk laut, daging babi, daging sapi dan unggas,

telur, susu segar dan susu hasil proses, sayuran segar, umbi-

umbian (roots crops), kopi, gula, minyak goreng, garam, sabun

cuci, deterjen, kayu bakar, batubara, lilin, obat-obatan yang

diklasifikasikan penting oleh Departemen Kesehatan.

5. Pelanggaran dan

Sanksi

Tindakan manipulasi harga, dikenakan hukuman penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun serta denda minimal 5 ribu Peso maksimal 2 juta Peso.

Pelanggaran harga atap (price ceiling), dikenakan hukuman penjara minimal 1 tahun maksimal 10 tahun dan denda minimal 5 ribu Peso maksimal 1 juta peso.

Pelanggaran dilakukan oleh pihak asing izin usaha dicabut dan dideportasi.

Pelanggaran dilakukan oleh pegawai pemerintah dikenakan hukuman sesuai peraturan yang berlaku dan dikenakan hukuman tambahan berupa pencopotan jabatan secara permanen.

Page 49: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 41

4.3. Brunei Darusalam

Brunei memiliki beberapa kebijakan terkait pangan, antara lain

kebijakan tentang hambatan non-tarif seperti Kesehatan pangan

Masyarakat/Public Health (Food) Act dan Halal Food/Halal Meat Act )

untuk melindungi petani lokal dan menjaga kualitas makanan impor

serta Kebijakan harga (Price Control Act) yang berisi (i) pengaturan

terhadap pemasaran dan pergerakan barang dan atau jasa serta (ii)

bahan pangan/price labeling.

Brunei memiliki tarif yang sangat rendah untuk barang, yaitu rata-

rata sekitar 2%. Sedangkan Bahan makanan pokok dan barang industri

manufaktur bebas dari bea masuk. Produk pangan, Brunei masih

tergantung impor kecuali beras dan telur lokal. Oleh karena itu,

mekanisme kontrol/pengendalian harga penting terutama untuk bahan

makanan pokok.

Kebijakan stabilisasi harga di Brunei Darussalam tertuang dalam

Lows of Brunei - Price Control Act (Chapter 142). Price control Act

S50/74, 184 Ed. Chapter.142, yang diubah dengan S48 /99, S6/00

mengalami perubahan pada tahun 2002. Peraturan ini bertujuan untuk

mengontrol harga gula dan produk-produk terkait seperti tebu, gula pasir

(disebut butir halus) dan gula putih, beras, minyak goreng, susu dan

tepung terigu. Selain itu , tujuan dari peraturan ini adalah untuk

memastikan bahwa harga makanan pokok stabil dan terjangkau

konsumen.

The Price Control Act (Chapter 142) diberlakukan sejak tanggal 13

Maret 1974 dan terakhir diubah pada tanggal 26 Desember 2012.

Perubahan pada Price of Control termasuk daftar item pengendalian

harga dan kontrol harga (harga jual murah/promosi). Tujuannya adalah

untuk mengontrol harga barang-barang kebutuhan yang dipilih dalam

membantu konsumen terutama masyarakat yang berpenghasilan

Page 50: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 42

rendah serta memastikan bahwa setiap kegiatan promosi dan harga jual

yang murah dilakukan dengan cara yang sehat dan setiap kenaikan

harga dilakukan pada tingkat yang wajar.

Kebijakan mekanisme harga juga termasuk pada saat menjelang

puasa dan lebaran dengan cara melakukan pengawasan pasokan. Hal

ini dikarenakan permintaan meningkat lebih dari biasanya untuk

menambah stok makanan. Kebijakan mekanisme kontrol harga ini

menghasilkan inflasi pada tingkat yang rendah di Brunei, yaitu kisaran

1-2% setiap tahun.

Lembaga yang berperan dalam mekanisme kontrol harga ini ada

yang disebut Price Inspector. Price Inspector berada di bawah

Departement of Economic Planning and development (atau Bappenas)

atau di bawah Jabatan Perancangan dan Kemajuan Ekonomi (JPKE).

JPKE menetapkan harga untuk semua produk kecuali barang

bersubsidi; harga untuk gula dan beras diatur oleh The Supply and State

Store Departement (SSSD), sedangkan harga bahan bakar minyak

(bensin) ditetapkan oleh Departemen Energi.

Price Inspector ini ditunjuk oleh Menteri terkait setelah mendapat

persetujuan dari Sultan Brunei Darussalam. Atau bisa menunjuk

langsung Controller Harga atau Controller Deputi harga dan sejenis

asisten Controller Harga yang dianggap memiliki kemampuan dalam

mengontrol harga. Selain itu, Menteri atas persetujuan Sultan Brunei

Darussalam dapat membentuk Advisory Council Nasional untuk

Perlindungan Konsumen. Lembaga ini terdiri dari seorang Ketua dan 8

orang perwakilan dari Pemerintah, sektor publik dan organisasi lainnya

yang dianggap relevan untuk melakukan pengawasan harga.

Bentuk Penalties/hukuman jika terdapat pelanggaran terhadap

Price Control Act. dikenakan denda sebanyak $ 5.000 dan penjara

selama 2 tahun. Kemudian jika melakukan pelanggaran untuk kedua

Page 51: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 43

kalinya maka dikenakan denda sebesar $ 20.000 dan penjara selama 5

tahun.

Tabel 4.3. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Brunei

No. Elemen

Pengendalian

Brunei Darusalam

1. Aturan Price Control Act (Chapter 142) yang diberlakukan sejak tanggal 13

Maret 1974 dan terakhir diubah pada tanggal 26 Desember 2012

2. Institusi Price Inspector berada di bawah Departement of Economic Planning and development (atau Bappenas) atau dibawah Jabatan Perancangan dan Kemajuan Ekonomi. Price Inspector ini ditunjuk oleh Menteri terkait setelah mendapat persetujuan dari sultan Brunei Darussalam. Atau bisa menunjuk langsung Controller Harga atau Controller Deputi harga dan sejenis Asisten Controller Harga yang dianggap memiliki kemampuan dalam mengontrol harga.

Menteri atas persetujuan Sultan Brunei Darussalam dapat membentuk Advisory Council Nasional untuk Perlindungan Konsumen terdiri dari seorang Ketua dan 8 orang perwakilan dari Pemerintah, sektor publik dan organisasi lainnya yang dianggap relevan untuk melakukan pengawasan harga

3. Mekanisme Tujuannya adalah untuk mengontrol harga barang-barang kebutuhan yang dipilih dalam membantu konsumen terutama masyarakat yang berpenghasilan rendah serta memastikan bahwa setiap kegiatan promosi dan harga jual yang murah dilakukan dengan cara yang sehat dan setiap kenaikan harga dilakukan pada tingkat yang wajar.

Kebijakan mekanisme harga juga termasuk pada saat menjelang puasa dan lebaran dengan cara melakukan pengawasan pasokan karena permintaan masyarakat meningkat lebih dari biasanya untuk menambah stok makanan. Kebijakan mekanisme kontrol harga ini menghasilkan inflasi pada tingkat yang rendah di Brunei.

4. Komoditi Peraturan ini bertujuan untuk mengontrol harga gula dan produk-

produk terkait seperti tebu, gula pasir (disebut butir halus) dan gula

putih, beras, minyak goreng, susu dan tepung terigu.

5. Pelanggaran

dan Sanksi

Bentuk Penalties/hukuman jika terdapat pelanggaran terhadap

Price Control Act. dikenakan denda sebanyak $ 5.000 dan penjara

selama 2 tahun. Kemudian jika melakukan pelanggaran untuk

kedua kalinya maka dikenakan denda sebesar $ 20.000 dan

penjara selama 5 tahun.

Page 52: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 44

4.4. Thailand

Thailand merupakan salah satu negara yang menerapkan

kebijakan dan mekanisme dalam rangka stabilisasi harga domestik.

Kebijakan tersebut didukung oleh Undang-Undang Price of Goods and

Services Act B.E. 2542 tahun 1999. Lembaga pelaksana dalam

mekanisme pemantauan harga adalah Central Commission on Prices of

Goods and Services (CCP) untuk tingkat nasional dan Provincial

Commission on Prices of Goods and Services (PCP) untuk tingkat

propinsi.

CCP diketuai oleh Menteri Perdagangan sedangkan anggota

komisi terdiri dari 4 sampai 8 orang yang ditunjuk dimana setengahnya

merupakan pihak swasta. Komisi inilah yang menentukan barang atau

jasa apa saja yang dikontrol dan diawasi serta menentukan harga

eceran untuk komoditi-komoditi tertentu. Sedangkan PCP diketuai oleh

Gubernur setempat dimana terdapat komisi yang terdiri dari 5 sampai 9

orang pakar yang ditunjuk dimana sepertiganya berasal dari pihak

swasta. Komisi ini mengusulkan barang atau jasa yang dianggap perlu

untuk dikontrol dan diawasi serta menetapkan harga eceran regional

untuk komoditi tertentu. Pada tahun 2015 ditetapkan sebanyak 40

barang dan 3 jasa yang dikontrol.

Selain 40 jenis barang yang dikontrol, terdapat 205 barang lain

yang diawasi. Barang yang masuk dalam daftar yang dikontrol dan

diawasi dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu sensitive list adalah barang

yang dipantau setiap hari; priority watch list adalah barang yang

dipantau dua kali dalam satu minggu; dan watch list adalah barang yang

dipantau dua kali setiap bulannya. Dari kesemua jenis barang tersebut

hanya dua komoditi yang ditentukan harga ecerannya yaitu gula dan

daging babi. Sedangkan untuk barang yang lain yang dilakukan adalah

pengawasan harga dan pasokan.

Page 53: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 45

Tabel 4.4. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Thailand

No. Elemen

Pengendalian

Thailand

1. Aturan Prices of Goods and Services Act, B.E. 2542 Tahun 1999

2. Institusi Central Commission on Prices of Goods and Services (CCP) untuk

tingkat pusat yang diketuai oleh Menteri Perdagangan dan

Provincial Commission on Prices of Goods and Services (PCP)

untuk tingkat daerah.

3. Mekanisme Dengan persetujuan Council of Ministers, menentukan barang/ jasa yang harganya dikontrol.

Daftar barang/ jasa yang dikontrol dipublikasikan dalam surat kabar nasional.

Menetapkan harga pembelian atau biaya distribusi dari barang/ jasa dalam pengendalian.

Menetapkan tingkat laba maksimum per unit dari barang/ jasa yang dikontrol yang diterima distributor.

Mengatur dan mengawasi produksi, impor, ekspor, pembelian, distribusi dan penyimpanan barang/ jasa yang dikontrol.

Menginformasikan kepada Instansi terkait jumlah, tempat penyimpanan, biaya produksi, rencana produksi, rencana pembelian, rencana distribusi, rencana variasi harga, potongan distribusi, proses produksi dan metode distribusi dari barang/ jasa yang dkontrol.

Mengeluarkan ijin dan pelarangan penyaluran barang/ jasa yang dikontrol untuk keluar atau masuk wilayah tertentu.

4. Komoditi Kabinet menyetujui 43 komoditi dalam Controlled Goods and

Services List untuk tahun 2015 berdasarkan usulan Central

Council For Price of Goods and Services. Daftar tersebut

mencakup 40 barang penting dan 3 jasa (services) sebagai

berikut:

1. Kategori pangan (food category): terdapat 14 komoditi yaitu (1) bawang putih (2) padi dan beras (3) jagung (4) singkong dan produk turunannya (5) telur ayam (6) babi dan daging babi (7) gula (8) minyak dan lemak nabati dan hewani (9) susu kental manis (10) susu bubuk, susu segar (11) tepung terigu (12) paket makanan dalam kemasan kedap (13) paket makanan siap makan dalam kemasan kedap (14) TBS sawit.

2. Kategori barang konsumsi harian (daily consumables category): terdapat 5 produk (15) deteren bubuk (16) sanitary napkin (17) toilet paper and facial tissue (18) shampoo (19) soap

3. Kategori input pertnian (agricultural inputs category): terddapat 6 produk (20) pupuk (21) obat-obatan dan pestisida (22) pakan konsentrat (23) pompa air (24) traktor padi (25) alat panen padi.

4. Kategori bahan bangunan (construction materials category): terdapat 3 produk (26) semen (27) steel bar, structural steel, steel plate (28) electric wire (29) pipa PVC.

5. Kategori kertas dan produk kertas (paper and paper products category): terdapat 3 produk (30) paper for corrugated board

Page 54: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 46

production and Kraft paper (31) printing dan writing paper (32) pulp

6. Kategori peralatan transportasi (transport equipment category): terdapat 3 produk (33) car batteries (34) ban motor dan mobil (35) motor, mobil penumpang, dan truk.

7. Kategori bahan bakar (petroleum products category): terdapat 3 produk (36) liquefied petroleum gas (37) fuel oil (38) plastic resin

8. Kategori obat-obatan (drugs category): (39) obat-obatan 9. Lainnya: (40) seragam sekolah 10. Kategori jasa (services category): (41) authorizing

dissemination of copyright songs for commercial use (42) jasa pergudangan (43) jasa pertanian.

5. Pelanggaran

dan Sanksi

Penolakan memberikan informasi dan dokumen terkait biaya produksi, komposisi dari barang atau jasa dalam pengawasan dikenai hukuman penjara maksimal 3 bulan atau denda maksimal 5 ribu Baht.

Pelanggaran terhadap aturan yang ditetapkan CCP dikenai hukuman penjara maksimal 1 tahun atau denda maksimal 100 ribu Baht.

Pelanggaran terhadap ketentuan jumlah, tempat penyimpanan, biaya produksi, rencana produksi, rencana pembelian, rencana distribusi, rencana variasi harga, potongan distribusi, proses produksi dan metode distribusi dari barang atau jasa dalam pengendalian dikenai hukuman penjara maksimal 1 tahun dan/atau denda 20 ribu Baht dan denda harian maksimal 2 ribu Baht per hari selama pelanggaran masih dilakukan.

Jika tidak mencantumkan harga dikenai denda maksimal 10 ribu Bhat.

Jika pelaku usaha menyebabkan fluktuasi harga atau melakukan penimbunan dikenai hukuman penjara maksimal 7 tahun dan/atau denda maksimal 140 ribu Baht.

4.5. India

Kebijakan stabilisasi harga di India adalah Essential Commodities

Act 1955. Dalam kebijakan ini yang diatur adalah produksi, supply,

distribusi serta perdagangan komoditas tertentu. Kebijakan

pengendalian harga dilakukan dengan mekanisme penentuan harga

yang didasarkan pada hasil kesepakatan antara pemerintah dengan

pelaku usaha, referensi controlled price, atau didasarkan dengan harga

pasar.

Komoditi khusus seperti padi-padian, minyak nabati dan minyak

makan, diatur berbeda dimana periode harga yang berlaku disesuaikan

Page 55: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 47

dengan masa panen. Harga yang ditetapkan dapat berbeda antar

wilayah.

Tabel 4.5. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di India

No. Elemen

Pengendalian

India

1. Aturan Essential Commodities Act, Tahun

1955

Public Distribution System

(Control) Order Tahun 2001

2. Institusi Pemerintah Daerah bertanggung

jawab dalam penerapan kebijakan

dan Pemerintah Pusat memonitor

kinerja Pemerintah Daerah secara

rutin

Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah

3. Mekanisme Menentukan harga berdasarkan hasil kesepakatan;

Jika tidak tercapai maka harga ditentukan berdasarkan referensi dari controlled price;

Jika kedua cara tidak tercapai, maka harga akan ditetapkan sesuai dengan harga pasar di daerah tertentu pada saat transaksi jual beli terjadi;

Jika dianggap perlu untuk mengendalikan kenaikan harga atau mencegah penimbunan, Pemerintah Pusat mengumumkan harga melalui Koran Nasional dan berlaku maksimal 3 bulan;

Khusus untuk padi-padian, minyak nabati dan minyak makan, periode pengaturan harga disesuaikan dengan masa panen;

Harga gula ditetapkan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan harga minimum tebu, biaya produksi gula, pajak, dan tingkat laba yang wajar bagi produsen gula.

Pemerintah Daerah mengidentifikasi rumah tangga BPL dan rumah tangga Anthodaya;

Pemerintah Daerah menerbitkan ration card untuk rumah tangga BPL dan Anthodaya;

Berdasarkan jumlah ration card Pemerintah Pusat menetapkan jumlah pasokan dan tingkat harga komoditas yang diatur dalam Public Distribution System (PDS);

Pemerintah Pusat menunjuk Food Coorporation of India (FCI) untuk melakukan pendistribusian ke agen pemerintah daerah;

Agen pemerintah daerah kemudian mendistribusikan komoditas yang diatur dalam PDS ke Fair Price Shop;

Fair Price Shop bertindak sebagai retailer yang melayani pembelian dengan ration cards oleh rumah tangga BPL dan Anthodaya;

Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap pasokan dan kualitas komoditas yang diatur dalam PDS.

4. Komoditi Komoditas penting adalah

komoditas sebagai berikut: produk

peternakan, batu bara, komponen

dan aksesoris mobil, produk tekstil

Komoditas yang diatur adalah

beras, gandum, gula dan

minyak tanah

Page 56: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 48

(katun, rami dan wool), obat-

obatan, gula, makanan (termasuk

minyak nabati), besi dan baja,

kertas, petroleum dan produk

petroleum, kapas mentah, rami

mentah, pupuk, biji-bijian bahan

pokok, buah dan sayuran.

5. Pelanggaran

dan Sanksi

Penolakan memberikan informasi produksi, pasokan, atau distribusi essential commodity, 1 tahun penjara serta hukuman denda.

Pelanggaran lain terkait pengendalian produksi, pasokan, dan distribusi essential commodity dikenakan hukuman penjara minimal 3 bulan dan dapat diperpanjang sampai 7 tahun serta hukuman denda.

Barang bukti pelanggaran disita oleh Pemerintah.

Pelanggaran kedua dikenakan hukuman penjara minimal 6 bulan dan dapat diperpanjang sampai dengan 7 tahun serta hukuman denda.

Pemberian pernyataan palsu (laporan, pembukuan, deklarasi, dan lain-lain), dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan/atau hukuman denda.

Pelanggaran perusahaan, penanggung jawab perusahaan dan perusahaan dinyatakan bersalah dan keduanya diproses dan dihukum.

Pengadilan memiliki wewenang untuk mempublikasikan nama dan alamat usaha perusahaan yang terbukti melanggar.

Penolakan memberikan informasi produksi, pasokan, atau distribusi essential commodity, 1 tahun penjara serta hukuman denda.

Pelanggaran lain terkait pengendalian produksi, pasokan, dan distribusi essential commodity dikenakan hukuman penjara minimal 3 bulan dan dapat diperpanjang sampai 7 tahun serta hukuman denda.

Barang bukti pelanggaran disita oleh Pemerintah.

Pelanggaran kedua dikenakan hukuman penjara minimal 6 bulan dan dapat diperpanjang sampai dengan 7 tahun serta hukuman denda.

Pemberian pernyataan palsu (laporan, pembukuan, deklarasi, dan lain-lain), dikenakan hukuman penjara 5 tahun dan/atau hukuman denda.

Pelanggaran perusahaan, penanggung jawab perusahaan dan perusahaan dinyatakan bersalah dan keduanya diproses dan dihukum.

Pengadilan memiliki wewenang untuk mempublikasikan nama dan alamat usaha perusahaan yang terbukti melanggar undang-undang.

Page 57: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 49

4.6. Tiongkok

Pengendalian harga di China diatur dalam President’s Decree of

PRC Nomor 92 tahun 1997. Pengaturan harga barang dan jasa pada

President’s decree dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu

Government-Set Prices yaitu pengaturan harga yang ditetapkan oleh

departemen terkait dan Government-Guided Prices yang didasarkan

pada harga yang ditetapkan oleh pelaku usaha sebagai harga acuan

sedangkan kisaran harga ditetapkan oleh instansi teknis terkait.

Dalam pelaksanaannya, mekanisme kebijakan pengendalian harga

dilakukan dengan menetapkan Government-Set Prices atau

Government-Guided Prices untuk barang dan jasa dengan karakteristik

sebagai berikut:

a. Barang yang memiliki peran penting dalam pembangunan dan

kehidupan masyarakat.

b. Barang yang sumber dayanya terbatas.

c. Barang yang mempunyai kegunaan publik.

d. Barang yang memiliki potensi monopoli alamiah.

e. Jasa yang secara alamiah penting bagi kesejahteraan masyarakat.

Harga yang ditetapkan dalam Government-Set atau Government-

Guide Prices untuk suatu barang dapat berbeda antara harga beli dan

jual, antara harga grosir dan eceran, mupun antar daerah atau antar

musim. State Council dan pemerintah daerah dapat menetapkan

disparitas harga atau tingkat keuntungan, menetapkan harga tertinggi

atau bentuk intervensi lainnya jika terjadi kenaikan harga.

Page 58: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 50

Tabel 4.6. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Tiongkok

No. Elemen

Pengendalian

Tiongkok

1. Aturan Presiden Decree of PRC No. 92 Tahun 1997

2. Institusi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

3. Mekanisme Pemerintah mengeluarkan Government-Set Prices atau Government-Guided Prices untuk barang dan jasa yang memiliki karakteristik sebagai berikut: a. Barang yang memiliki peran penting dalam pembangunan

dan kehidupan masyarakat. b. Barang yang sumber dayanya terbatas. c. Barang yang mempunyai kegunaan publik. d. Barang yang memiliki potensi monopoli alamiah. e. Jasa yang secara alamiah penting bagi kesejahteraan

masyarakat.

Penetapkan Government-Set atau Government-Guide Prices, dimungkinkan adanya perbedaan harga yang rasional antara harga beli dan harga jual, antara grosir dan eceran antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, dan antara musim yang satu dengan musim yang lain.

Penetapan Government-Set atau Government-Guide Prices, Price Department melakukan investigasi terhadap biaya dan harga, mendengar pandangan dari konsumen, pelaku usaha dan lain-lain.

Ketika harga jual padi-padian dan produk pertanian lainnya terlalu rendah, pemerintah melakukan proteksi, ketika harga barang/ jasa mengalami kenaikan tinggi, State Council dan pemerintah daerah, dan pemerintah daerah otonomi menetapkan tingkat keuntungan, harga tertinggi atau bentuk intervensi lainnya sebagai sistem untuk mencatat kenaikan harga.

Ketika fluktuasi harga terjadi State Council menetapkan harga yang berlaku bagi seluruh daerah atau daerah-daerah tertentu untuk jangka waktu tertentu.

Pelaku usaha dilarang melakukan tindakan-tindakan yang dapat menyebabkan perilaku harga menjadi tidak normal seperti: a. Berkolaborasi dengan pihak lain untuk mengontrol harga

pasar. b. Melakukan dumping. c. Membuat dan menyebarkan informasi kenaikan harga

untuk mendorong harga pada tingkat yang tinggi. d. Menyebarkan informasi yang misleading. e. Melakukan diskriminasi harga terhadap barang dan

kondisi yang sama. f. Menyembunyikan kenaikan atau penurunan harga pada

kisaran yang tidak rasional melalui peningkatan atau penurunan kualitas barang atau jasa.

g. Mengambil keuntungan berlebihan dengan melanggar hukum dan regulasi.

h. Tindakan-tindakan lain yang melanggar hukum.

Page 59: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 51

4. Komoditi

5. Pelanggaran dan

Sanksi

Pelanggaran kebijakan ini mendapat peringatan, sedangkan pendapatan dari hasil tindakan ilegalnya disita, dan dikenakan denda maksimal 5 kali nilai pendapatan dari tindakan ilegalnya.

Jika tidak ada pendapatan dari hasil tindakan ilegal, tetap dikenakan denda. Untuk kasus yang serius, pelaku usaha diperintahkan untuk menutup usahanya.

Mekamisme pelanggran oleh Pelaku usaha: a. peringatan; b. penyitaan; c. denda 5 (lima) kali nilai pendapatan hasil tindakannya

melanggar hukum; dan d. mencabut dan menutup izin usah

Penolakan menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk monitoring harga atau dikenakan denda.

Sanksi untuk pemerintah a. Pemerintah daerah atau instansi terkait yang menolak

pelaksanaan kebijakan intervensi harga dikenakan hukuman administratif sesuai dengan hukum yang berlaku.

b. Pegawai pemerintah yang membocorkan rahasia negara, rahasia bisnis atau memanfaatkan kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau menerima suap dan kasusnya sangat serius sehingga dianggap kejahatan, maka dikenakan sanksi hukum. Jika kasusnya tidak dianggap serius sebagai kejahatan, maka dikenakan hukuman administratif.

4.7. Indonesia

Kebijakan terkait upaya stabilisasi harga komoditi di Indonesia

tertuang dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dan

Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan. UU Nomor 8

menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban mengelola stabilisasi

pasokan dan harga Pangan Pokok, mengelola cadangan Pangan Pokok

Pemerintah, dan distribusi Pangan Pokok untuk mewujudkan kecukupan

Pangan Pokok yang aman dan bergizi bagi masyarakat. Sedangkan UU

Nomor 7 menyatakan Pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan

stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting yang

dilakukan untuk menjaga keterjangkauan harga di tingkat konsumen dan

melindungi pendapatan produsen.

Pelaksana kebijakan harga adalah Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah dimana pada Pasal 51 dalam UU Pangan

Page 60: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 52

menyatakan bahwa Pemerintah berkewajiban mengatur Perdagangan

Pangan yang bertujuan untuk: a. stabilisasi pasokan dan harga Pangan,

terutama Pangan Pokok; b. manajemen Cadangan Pangan; dan c.

penciptaan iklim usaha Pangan yang sehat. Dalam menjamin pasokan

dan stabilisasi harga Barang kebutuhan pokok dan Barang penting,

Menteri menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik,

serta pengelolaan Ekspor dan Impor.

Pengaturan lebih lanjut mengenai kebijakan harga serta jenis

komoditi atau barang yang diatur akan ditetapkan dalam Peraturan

Presiden. Draf terakhir dari Rancangan Peraturan Presiden mengenai

Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting menetapkan jenis barang

kebutuhan pokok yaitu beras, kedelai, cabe, bawang merah, gula,

minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam

ras, dan ikan segar (tongkol/ tuna/ cakalang). Jenis barang penting

terdiri dari: benih (padi, jagung, dan kedelai), pupuk, gas elpiji 3

kilogram, triplek, semen, besi baja konstruksi, dan baja ringan.

Perbedaan dengan kebijakan pengendalian harga di negara lain

terletak pada peran pemerintah yang terwujud pada instansi teknis yang

bertanggung jawab langsung dalam law enforcement dan pemberian

sanksi hukum bagi pelaku usaha dan aparat pemerintah yang

melakukan perbuatan melanggar hukum.

Tabel 4.7. Elemen Pengendalian Kebijakan Harga di Indonesia

No. Elemen

Pengendalian

Indonesia

1. Aturan Undang-Undang No. 18 tahun

2012 tentang Pangan

Undang-Undang No. 7 tahun

2014 tentang Perdagangan

2. Institusi Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah

Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah, BUMN

3. Mekanisme Dalam hal Perdagangan Pangan, Pemerintah menetapkan mekanisme, tata cara, dan jumlah maksimal.

Pelaku Usaha Pangan

Barang kebutuhan pokok dan barang penting ditetapkan dengan Peraturan Presiden.

Dalam menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang

Page 61: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 53

dilarang menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal.

penyimpanan Pangan Pokok oleh Pelaku Usaha Pangan.

Stabilisasi pasokan dan harga Pangan Pokok dilakukan melalui: a. penetapan harga pada

tingkat produsen sebagai pedoman pembelian Pemerintah;

b. penetapan harga pada tingkat konsumen sebagai pedoman bagi penjualan Pemerintah;

c. pengelolaan dan pemeliharaan Cadangan Pangan Pemerintah;

d. pengaturan dan pengelolaan pasokan Pangan;

e. penetapan kebijakan pajak dan/atau tarif yang berpihak pada kepentingan nasional;

f. pengaturan kelancaran distribusi antarwilayah; dan/atau

g. pengaturan Ekspor Pangan dan Impor Pangan.

Pemerintah Daerah dapat menentukan harga minimum daerah untuk Pangan Lokal yang tidak ditetapkan oleh Pemerintah.

kebutuhan pokok dan Barang penting, Menteri menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan Ekspor dan Impor.

Dalam rangka pengendalian ketersediaan, stabilisasi harga, dan Distribusi Barang kebutuhan pokok dan Barang penting, Pemerintah dapat menunjuk Badan Usaha Milik Negara.

4. Komoditi Bahan kebutuhan pokok dan

barang penting

5. Pelanggaran

dan Sanksi

Pelanggaran terhadap aturan

penimbunan akan dikenakan

sanksi administratif berupa:

a. denda; b. penghentian sementara dari

kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; dan/atau

c. pencabutan izin.

Pelaku Usaha yang menyimpan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan Barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas Perdagangan Barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima

Page 62: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 54

puluh miliar rupiah).

Pelaku Usaha yang melakukan manipulasi data dan/atau informasi mengenai persediaan Barang kebutuhan pokok dan/atau Barang penting dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

Pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia sudah didukung oleh

peraturan perundangan yang jelas yaitu UU pangan dan UU

Perdagangan serta dukungan institusi/lembaga. Bahkan di tahun 2015

muncul peraturan baru terkait dengan ketersediaan pasokan dan

stabilisasi harga yaitu Peraturan Presiden No 17/2015 tentang

ketahanan pangan dan gizi serta Peraturan Presiden No 71/2015

tentang penentapan dan penyimpanan barang kebutuhan pokok dan

barang penting. Namun, pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia

masih memiliki kelemahan baik dalam hal koordinasi maupun

aransemen kelembagaan. Salah satunya pelanggaran/sanksi dalam

pelaksanaan kebijakan harga di Indonesia masih lemah sehingga perlu

adanya law enforcement. Kondisi empiris menunjukkan bahwa selama

ini masih ada kelemahan dalam hal instrumen kebijakan, infrastruktur

serta kelembagaan pendukung. Contohnya infrastruktur pendukung

sistem logistik belum memadai, kelembagaan pendukung produksi

belum terbentuk dengan baik akibat struktur pertanian yang tidak

terkonsolidasi dan biaya penegakan aturan di Indonesia cukup mahal

sangat mahal dari pada manfaat yang diperoleh.

Page 63: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 55

BAB V

KEBIJAKAN PENGENDALIAN HARGA KOMODITAS PANGAN

5.1. Karakteristik Komoditas Pangan

Karakteristik Petani

Sebagian besar petani pangan Indonesia adalah petani kecil.

Lazimnya definisi petani kecil yang selama ini banyak diacu terkait

dengan "smallness" dari "size" lahan usahatani dan atau jumlah ternak

yang dimiliki atau dikelolanya (von Braun, 2004). Dari sudut pandang

tenaga kerja, petani kecil adalah rumah tangga yang mata pencaharian

utamanya berusahatani dan dalam usahataninya itu mayoritas tenaga

kerjanya adalah tenaga kerja dalam keluarga (Narayana and Gulati,

2002). Dari sudut pandang pendapatan, petani kecil lazimnya

diasosiasikan dengan tingkat pendapatannya yang rendah. Terdapat

konvergensi antara skala usaha – penggunaan tenaga kerja upahan –

penerapan teknologi - akses pasar – pendapatan, namun sampai saat ini

data yang diperlukan untuk itu belum tersedia sehingga dengan segala

keterbatasannya, yang lazim dipergunakan masih mengacu pada skala

usaha.

Pengertian mengenai skala usaha mengacu pada konsep "retuns to

scale". Selama ini konsep tersebut telah banyak diterapkan sebagai

pendekatan teoritis mengenai skala optimal usahatani (Chavas, 2001).

Penerapannya dalam studi empiris menghasilkan beragam kesimpulan.

Di negara maju terdapat kecenderungan "increasing returns to scale".

Sebagai contoh, studi Kumbhakar (1993) tentang profitabilitas usahatani

sapi perah di Utah ataupun analisis Hall and Leveen (1978) mengenai

hubungan antara skala usaha dan efisiensi usahatani di California

diperoleh kesimpulan bahwa secara rata-rata profitabilitas usahatani skala

kecil relatif lebih rendah daripada usahatani skala menengah – besar.

Page 64: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 56

Menurut Hall and Leveen (1978), sumber keunggulan skala besar

tersebut terletak pada penghematan biaya pengadaan input.

Untuk kasus di negara berkembang kondisinya berbeda. Sebagai

contoh, studi Sen (1962) di India menemukan adanya hubungan terbalik

antara luas garapan dengan produktivitas pada usahatani di India.

Kemudian, pada dekade 70-an, studi Yotopoulos and Lau (1973) dan

Berry and Cline (1979) memperoleh kesimpulan bahwa pada usahatani di

India ternyata skala kecil relatif lebih efisien daripada skala besar; dan

tidak disarankan untuk mengkondisikan konsolidasi usahatani karena

secara umum ternyata berada pada kondisi "constant returns to scale".

Menurut Binswanger and Rozensweig (1986) hal itu disebabkan karena

tenaga kerja keluarga lebih murah dan efisien daripada tenaga kerja luar

keluarga (buruh) karena: (i) tenaga kerja keluarga memperoleh bagian

dari keuntungan sehingga curahan perhatian dan kualitas pekerjaannya

lebih baik, (ii) dengan tenaga kerja keluarga tidak diperlukan adanya biaya

pencarian tenaga kerja, (iii) setiap individu tenaga kerja dalam keluarga

menganggap bahwa apa yang dikerjakan dalam usahataninya

berimplikasi pada risiko yang akan dihadapi dalam usahataninya. Senada

dengan berbagai temuan tersebut, Hayami (1998) juga menyatakan

bahwa dalam banyak kasus ternyata usahatani skala rumah tangga

adalah optimal. Namun "outcomes" yang terjadi tidaklah paralel dengan

berbagai keunggulan tersebut. Meskipun usahatani rumah tangga

mempunyai "labor cost advantage" tidak demikian halnya dengan

masalah pendanaan usahatani dan berbagai implikasinya terhadap akses

pasar dan lobi politik. Usahatani skala besar memiliki "credit cost

advantage" yang jauh lebih besar daripada usahatani rumah tangga.

Demikian pula dengan pemanfaatan peluang-peluang pengembangan

dalam interaksinya dengan sektor non pertanian (Binswanger and

Rozensweig, 1986).

Page 65: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 57

Kesimpulan umum berbagai hasil analisis tersebut menunjukkan

bahwa berbekal keunggulannya masing-masing, pertanian skala kecil

maupun skala besar akan terus eksis. Baik yang besar maupun yang

kecil akan mengalami pasang surut dan dinamika lingkungan strategis

global akan mempengaruhi eksistensinya masing-masing. Namun

demikian satu hal penting yang harus digaris bawahi adalah bahwa

pasang surut pertanian skala kecil di negara-negara berkembang

berimplikasi lebih serius terhadap perekonomian sebagian besar negara-

negara berkembang karena berkaitan erat dengan masalah kemiskinan,

ketahanan pangan, dan kesempatan kerja sebagian besar penduduknya.

Di Indonesia studi tentang hubungan antara skala usaha dengan

efisiensi juga telah banyak dilakukan (paruh kedua dekade 70-an – paruh

awal dekade 90-an), baik melalui pendekatan ekonometrik maupun

akunting sederhana5. Secara umum, hasil-hasil penelitian tersebut

memperoleh kesimpulan bahwa usahatani tanaman pangan di Indonesia

berada dalam kondisi "constant returns to scale"; dan mungkin terkait

dengan itu pula maka sampai saat ini konsolidasi usahatani secara

mandiri oleh petani belum menjadi "trend".

Struktur Penguasaan Lahan Petani Pangan di Indonesia

Meskipun ada data Sensus Pertanian Tahun 2013 namun yang

digunakan dalam penelitian ini adalah data Pendataan Usahatani Tahun

2009 (PUT09). Alasannya adalah: (i) data ini lebih fokus ke petani

pangan, (ii) definisi tentang petani pada Sensus Pertanian 2013 berbeda

dari 2003 sehingga jika diperbandingkan secara langsung dapat

menghasilkan kesimpulan yang kurang tepat. Kegiatan PUT09 dilakukan

oleh BPS dan mencakup petani penghasil komoditas pangan utama (padi,

jagung, kedele, dan tebu). Rumah tangga pertanian tersebut proporsinya

5 Pembaca dapat melacaknya pada berbagai hasil penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Agroekonomi periode 1985 – 1994, proseding hasil penelitian PAE 1985 – 1990, maupun berbagai disertasi pada periode tersebut.

Page 66: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 58

mencapai sekitar 70 % dari seluruh populasi rumah tangga pertanian

Indonesia sehingga dapat dianggap cukup memadai untuk

menggambarkan kondisi seluruh rumah tangga petani Indonesia.

Menurut data tersebut, pada tahun 2009 ini jumlah rumah tangga

usahatani penghasil komoditas pertanian utama adalah sekitar 17.8 juta

(jika petani mengusahakan lebih dari satu jenis komoditas maka tetap

dihitung satu, mengacu pada komoditas utamanya). Rincian jumlah unit

usahatani menurut jenis komoditas yang diusahakan adalah sebagai

berikut. Untuk komoditas padi, jagung, kedele masing-masing adalah

sekitar 14.99, 6.71, 1.16 juta unit usahatani; sedangkan tebu adalah

sekitar 195 ribu unit usahatani. Sebarannya menurut (kelompok) pulau

adalah menunjukkan bahwa sebagian besar (58.6%) berada di Pulau

Jawa. Di Luar Pulau Jawa, yang terbanyak adalah di Sumatera (18.6%),

sedangkan yang terkecil adalah di Maluku dan Papua (1.3%).

Sebaran petani menurut luas penguasaan menunjukkan bahwa

bagian terbesar adalah petani dengan luas penguasaan antara 0.1 – 0.49

hektar. Khusus untuk di P. Jawa, dengan batas atas 1 hektar saja sekitar

90% diantaranya sudah termasuk dalam kategori petani kecil, dan

selanjutnya jika batas atas yang digunakan adalah 0.5 hektar maka

persentase petani yang tercakup dalam kelompok tersebut juga masih

lebih dari dua pertiga (69%).

Produktivitas usahatani tanaman pangan, khususnya padi dan

jagung di Indonesia sebenarnya termasuk tinggi. Rata-rata produktivitas

petani padi Indonesia memang masih lebih rendah daripada petani China

ataupun Jepang, setara dengan petani India, namun lebih tinggi daripada

petani Thailand ataupun Vietnam. Bahwa sampai saat ini untuk Indonesia

seringkali masih harus mengimpor beras terutama karena sangat kecilnya

garapan usahatani. Sekedar ilustrasi, rata-rata luas lahan usahatani padi

per kapita (total luas lahan usahatani padi dibagi total jumlah penduduk)

Page 67: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 59

Indonesia hanya sekitar 646 M2/kapita. Bandingkan dengan Vietnam (986

M2/kapita), China (1120 M2/kapita), ataupun India (1590 M2/kapita);

apalagi Thailand (5 230 M2/kapita) (Pasaribu, 2009).

Dalam rangka melindungi produsen (petani kecil) maupun

konsumen (yang sebagian besar juga miskin), pemerintah meluncurkan

kebijakan harga terutama untuk komoditas pangan strategis. Sebagai

contoh, untuk mengkondisikan agar harga gabah pada saat panen tidak

merosot tajam maka Pemerintah menetapkan kebijakan Harga Pembelian

Pemerintah (HPP) gabah (dahulu Harga Dasar gabah) dan untuk

menstabilkan harga beras agar pada saat paceklik tidak melonjak tajam

maka pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi Beras.

Bekerjasama dengan Departemen Pertanian serta Departemen terkait

lainnya, lembaga yang secara khusus ditugaskan untuk mengeksekusinya

adalah Badan Urusan Logistik (BULOG).

Gambaran tentang distribusi pemilikan lahan dapat disimak dari

sebaran rumah tangga menurut kelompok pemilikan. Tampak bahwa

jumlah petani dengan penguasaan lahan kurang 0.5 hektar ke bawah

adalah sekitar 44%. Pada kelompok ini, jumlah terbanyak adalah pada

luasan seperempat hektar ke bawah (27%), sedangkan petani tunakisma

(tidak memiliki lahan sendiri sehingga menggarap milik orang lain adalah

sekitar 9%). Di Pulau Jawa, jumlah petani yang luas pemilikannya 0.5

hektar ke bawah mencapai 57%, sedangkan di Luar Pulau Jawa adalah

sekitar 37%. Demikianpun halnya dengan petani penggarap murni, di

Pulau Jawa mencapai 12% sedangkan di Luar Pulau Jawa sekitar 7%.

Secara umum distribusi pemilikan lahan usahatani di Indonesia berada

pada tingkat ketimpangan sedang (indek gini berkisar 0.42 – 0.64) dan

dalam sepuluh tahun terakhir ini cenderung semakin timpang (Sudaryanto

et al, 2009).

Page 68: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 60

Secara garis besar penyebab utama makin mengecilnya skala

usahatani terkait dengan pertambahan jumlah rumah tangga pertanian

yang jauh lebih tinggi dari pertambahan luas areal pertanian baru,

konversi lahan pertanian ke non pertanian, dan pewarisan. Itu adalah

gambaran rata-rata, sedangkan yang terjadi di lapangan beragam.

Sejumlah besar petani luas pemilikannya bertambah kecil karena dibagi-

bagikan kepada keturunannya (warisan) atau sebagian dijual, sebagian

lainnya tak lagi memiliki lahan pertanian dan beralih profesi (tidak lagi

menjadi petani), dan sebagian lainnya (sebagian kecil) lahan pertaniannya

bertambah luas karena membeli dari petani lainnya baik di dalam desa

maupun di luar desa.

Peningkatan jumlah petani kecil menyebabkan: (1) posisi tawar

petani petani di pasar input maupun pasar output pertanian menjadi

semakin lemah, (2) kemampuan untuk melakukan investasi dalam

usahatani menurun, (3) adopsi teknologi melambat, (4) kontribusi

usahatani dalam pendapatan rumah tangga semakin kecil, dan (5)

meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke sektor non

pertanian dan migrasi tenaga kerja kerja ke kota. Secara keseluruhan hal

tersebut menyebabkan berimplikasi pada suksesi usahatani maupun

terjadinya involusi pertanian.

Melemahnya posisi tawar petani di pasar input maupun output

pertanian tidaklah mudah diatasi. Meskipun secara teoritis dapat diatasi

melalui pengembangan asosiasi petani namun secara empiris tidak

mudah diwujudkan karena: (1) kepentingan petani sangat heterogen, (2)

secara agregat, net benefit dari pengembangan kelambagaan asosiasi

petani sangat kecil (bahkan di beberapa kasus negatif), sementara itu

campur tangan pemerintah untuk menekan social cost dari

pengembangan kelembagaan seperti itu sangat tidak memadai.

Page 69: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 61

Semakin melambatnya adopsi teknologi petani antara lain tercermin

dari levelling off pertumbuhan produksi padi di Indonesia. Sejak awal

dasawarsa 90-an berbagai terobosan di bidang teknologi usahatani padi

sebenarnya cukup banyak dihasilkan oleh lembaga-lembaga penelitian

terkait di Indonesia. Cukup banyak varietas-varietas padi yang baru

dengan produktivitas yang lebih tinggi telah berhasil diciptakan, namun

adopsinya di kalangan petani relatif rendah. Saat ini diperkirakan lebih

dari 70% pertanaman padi di Indonesia didominasi oleh varietas IR 64

dan Ciherang; dan hal itu telah berlangsung kurang lebih dalam periode

10 tahun terakhir ini.

Semakin rendahnya kontribusi usahatani dalam struktur pendapatan

rumah tangga dapat dilihat dari fenomena berikut. Di perdesaan Pulau

Jawa kontribusi pendapatan dari pertanian terhadap total pendapatan

rumah tangga turun dari 50% menjadi 25% dalam periode 1995 – 2007

(Sudaryanto and Sumaryanto, 2008). Khusus untuk rumah tangga petani,

kontribusi pendapatan dari usahatani terhadap pendapatan rumah

tangganya adalah sebagai berikut. Di agroekosistem pesawahan di Pulau

Jawa dan Luar Jawa masing-masing adalah 58 dan 46 %. Dengan urutan

yang sama, pada agroekosistem lahan kering berbasis usahatani

tanaman pangan dan hortikultura adalah 52 dan 48%. Sedangkan di

lahan kering barbasis tanaman perkebunan, di Luar P. Jawa adalah 67%

(PSEKP, 2008).

Meningkatnya alokasi tenaga kerja rumah tangga petani ke

pekerjaan non pertanian berimplikasi menguatnya sifat "part time" dalam

aktivitas usahatani. Hasil penelitian (PSEKP, 2008) menunjukkan bahwa

partisipasi rumah tangga petani pada kegiatan berburuh tani, usaha non

pertanian, dan berburuh di sektor non pertanian masing-masing adalah

6%, 36%, dan 22%. Jika unit analisisnya adalah individu maka terdapat

tiga kelompok kegiatan yang partisipasinya sangat menonjol yaitu: (i) di

Page 70: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 62

usahatani sendiri saja (37%), (ii) di usahatani sendiri + berburuh tani

(20%), dan (iii) di usahatani + usaha rumah tangga sektor non pertanian

(12%).

Implikasi Globalisasi Terhadap Pertanian Skala Kecil

Berpangkal pada asimetri penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi,

modal, kemampuan lobi politik, dan mungkin juga jejak kolonialisme masa

lalu; sistem perdagangan komoditas pertanian di pasar internasional

kurang adil terhadap negara berkembang. Upaya untuk menciptakan

sistem perdagangan bebas yang adil (fair trade) telah banyak dilakukan

melalui serangakaian perundingan namun belum membawa hasil yang

sesuai dengan harapan. Putaran Doha 2001 berlangsung sangat alot dan

belum berhasil mencapai kesepakatan untuk menciptakan sistem

perdagangan yang lebih adil6.

Sampai saat ini pangsa pasar internasional komoditas pangan

didominasi negara maju dan cenderung mengerucut ke sejumlah kecil

yakni Amerika Serikat (jagung, minyak kedele, gandum, daging unggas,

beras, kedele, buah dan sayuran, daging sapi, susu bubuk skim, dan

keju), Uni Eropa (buah dan sayuran, jagung, gula, gandum, daging sapi,

daging unggas, susu bubuk skim, mentega, dan keju), Australia (jagung,

gula, gandum, daging sapi, susu bubuk skim, dan keju), Selandia Baru

(daging sapi, susu bubuk skim, mentega, dan keju), dan Kanada

(mentega, daging sapi, buah dan sayuran, minyak kedele, gandum, dan

jagung) (Sawit, 2007; Sawit, 2008).

6 Deklarasi Doha (WTO, 2001) menyebutkan: (i) substancial reduction in trade-distorting domestic support, (ii) the reduction of, with a view to phasing out, all forms of export subsidies, (iii) substantial improvements in market acces, (iv) special and differential treatment for developing members in all elements of the negotiations. Kerangka kerja persetujuan disepakati anggota WTO pada Bulan Juli 2004 dengan menyisakan agenda menyangkut aspek negosiasi pertanian (WTO, 2004).

Page 71: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 63

Selain keunggulannya dalam akses pasar, dominasi negara-negara

tersebut sebenarnya juga karena ditopang subsidi yang ternyata jauh

lebih besar daripada subsidi yang diterapkan oleh negara-negara

berkembang. Pendapatan petani produsen beras, petani produsen gula,

dan petani produsen daging sapi yang berasal dari subsidi pemerintah

mencapai masing-masing 78%, 51%, dan 33% (Sawit, 2007).

Belum lagi sistem perdagangan internasional yang "fair" terbentuk,

ekspansi perusahaan agribisnis skala raksasa dari negara-negara maju

semakin dalam menancapkan dominasinya di berbagai negara

berkembang. Melalui integrasi vertikal dari hulu – hilir, dominasinya

sangatlah kokoh sehingga ruang persaingan yang terbuka untuk negara-

negara berkembang menjadi sempit. Di hulu, mereka menguasai pasar

peralatan pertanian, agrokimia, dan benih; di tengah mendominasi

industri pengolahan (agro-processing dan agro-manufacturing); dan di hilir

membanjiri pasar eceran (supermarket) dengan beragam produk

pertanian segar maupun olahannya di seluruh dunia baik di negara maju

maupun negara-negara berkembang. Dua dekade yang lalu, "Top Ten"

MNC penghasil benih mengendalikan sekitar 30% dari nilai perdagangan

benih internasional (US 24.4 milyar) dan "Top Ten" perusahaan agrokimia

mengendalikan sekitar 84% pangsa pasar agrokimia (US$ 30 milyar) di

pasar global. Kini (setelah proses akuisisi dan merger dari sejumlah

perusahaan agribisnis raksasa) lima teratas perusahaan raksasa yang

bergerak di bidang bioteknologi pertanian mendominasi pasar: Pharmacia

(Monsanto), DuPont, Syngenta, Aventis, dan Dow.

Implikasi Terhadap Eksistensi Pertanian Skala Kecil

Interaksi agribisnis skala besar dari negara-negara maju dengan

pertanian skala kecil dari negara-negara berkembang bersifat asimetris.

Terkendala oleh isolasi geografis, terbatasnya penguasaan informasi,

Page 72: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 64

penguasaan modal yang terbatas, penguasaan teknologi yang kurang

berkembang, dan dukungan infrastruktur yang kurang memadai maka

sebagian besar pertanian skala kecil di negara-negara berkembang tetap

berkutat pada persoalan internalnya yakni rendahnya pendapatan

usahatani. Di sisi lain, berbekal penguasaan informasi dan teknologi

maju, modal yang besar, sistem manajemen usaha yang canggih, dan lobi

politik yang kuat maka perusahaan-perusahaan agribisnis skala raksasa

dari negara maju mengembangkan eksistensinya secara ekspansif.

Bagaikan dua makhluk dari alam yang berbeda, sebagian besar petani

kecil di negara-negara berkembang tidak menyadari bahwa di

hadapannya telah berdiri sosok pesaing yang siap mengancam

eksistensinya.

Secara agregat liberalisasi perdagangan memang berdampak positif

terhadap surplus konsumen maupun surplus produsen. Namun efeknya

terhadap distribusi pendapatan dan pengentasan kemiskinan belum jelas

karena penelitian bidang ini masih sangat langka. Namun satu hal yang

pasti adalah bahwa pada saat ini petani kecil berada pada situasi yang

kritis. Kondisi yang dihadapinya dilematis. Sementara sebagian besar

petani masih tetap berkutat dengan pendapatan usahataninya yang

rendah, tenaga kerja muda semakin tidak tertarik untuk menekuni

pertanian. Stagnasi ekonomi dan terbatasnya kesempatan kerja di

pedesaan mendorong tenaga kerja pedesaan usia muda bermigrasi di

kota meskipun tanpa jaminan bahwa di lokasinya yang baru itu akan

dapat hidup lebih baik (Huvio et al, 2004).

Keragaman adalah warna dasar eksistensi. Implikasi liberalisasi

perdagangan terhadap eksistensi petani kecil tidaklah homogen. Dari

sudut pandang akses petani terhadap pasar (Torero and Gulati, 2004),

eksistensi petani kecil dapat dipilah menjadi tiga tipe: (1) petani kecil

subsisten dengan akses pasar lokal, (2) petani kecil dengan akses pasar

Page 73: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 65

domestik, dan (3) petani kecil dengan akses pasar internasional.

Fenomena tersebut perlu dipertimbangkan secara seksama dalam

perumusan kebijakan dan program pemberdayaan petani kecil yang

antara lain mencakup trade financing, perbaikan infrastruktur, inovasi

kelembagaan, serta penguatan koperasi dan contract farming (Huvio et al,

2004).

Pengaruh liberalisasi perdagangan terhadap eksistensi pertanian

skala kecil dalam ekonomi domestik tergantung pada kondisi keterkaitan

pasar domestik – pasar internasional sebelum liberalisasi dan kapasitas

aktor utama (pertanian skala kecil) untuk meresponnya. Efeknya muncul

dari: (i) perubahan tingkat harga input dan output, (ii) perubahan volatilitas

harga, (iii) efek tak langsung melalui proteksi relatif di pertanian versus

sektor lain dalam keseluruhan sektor perekonomian, dan (iii) nilai tukar

dan pengaruh makro ekonomi lainnya (von Braun, 2004).

Secara teoritis, pengaruh jangka pendek diakibatkan oleh terjadinya

perubahan harga relatif (produksi dan pola konsumsi tetap). Dalam

konteks ini, karakteristik "household economy" yang melekat pada

sebagian besar petani kecil beserta implikasinya dalam perilaku produksi

dan konsumsi harus dielaborasikan dengan baik dalam pemodelan.

Dalam jangka menengah dan jangka panjang, pola usahatani akan

bergerser ke arah komoditas yang menghasilkan keuntungan yang lebih

besar, atau setidaknya yang tidak menyebabkan pendapatan riilnya turun.

Respon jangka panjang akan mencakup pula investasi dan migrasi.

Sejumlah pertanian skala kecil yang dapat memanfaatkan peluang yang

terbuka dari liberalisasi perdagangan akan melakukan investasi untuk

mengembangkan eksistensinya. Di sisi lain, sejumlah petani tidak mampu

bertahan dan karena itu beralih profesi ke sektor lainnya. Di tengah

(mungkin bagian terbesar) akan berada pada situasi yang dilematis: tetap

berusahatani dengan pendapatan yang rendah dan prospeknya kurang

Page 74: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 66

jelas atau beralih profesi ke bidang lain tetapi tak pula ada jaminan

kehidupannya akan membaik.

Terkait dengan itu, strategi yang dapat ditempuh adalah sebagai

berikut (von Braun, 2004): (i) mengembangkan usahatani bernilai ekonomi

tinggi (spesialisasi, diversifikasi, dan komersialisasi), (ii) mencari

tambahan pendapatan dari luar usahatani dan menjadi "part-time farmer",

dan (iii) beralih profesi ke sektor non pertanian (termasuk migrasi). Jalur

(i) dapat ditempuh oleh petani yang dapat mengakses pasar modern yang

terintegrasi dengan pasar internasional misalnya melalui pola kemitraan

dengan perusahaan agribisnis, agro-processing, agro-manufacturing,

ataupun supermarket. Kelembagaannya dapat berupa contract farming

ataupun melalui suatu sistem koordinasi vertikal. Jalur (ii) adalah strategi

yang mungkin paling populer karena secara historis – empiris telah

merupakan pola dominan dalam strategi rumah tangga petani

mempertahankan eksistensinya. Namun berbeda dengan pola yang

selama ini ditempuh, upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas kerja

di usahataninya maupun pada kegiatan luar pertanian harus terus

dilakukan karena jika berada dalam status quo maka dalam jangka

menengah peranan usahataninya dalam ekonomi rumah tangga akan

terus menyusut. Jalur (iii) merupakan strategi yang paling layak ditempuh

oleh rumah tangga petani yang skala usahanya sangat kecil dan selama

ini kontribusinya untuk menopang ekonomi rumah tangga sangat minor.

Karakteristik Konsumsi Pangan Terhadap Pengeluaran

Dalam waktu 10 tahun, terdapat perubahan karakteristik konsumsi

pangan terhadap pengeluaran yang tercermin dari angka pangsa

pengeluaran masyarakat terhadap pangan. Ada kenaikan persentase

pengeluaran masyarakat terhadap pangan baik desa maupun kota pada

tahun 2002 dari 66,06% menjadi 68,04% tahun 2012. Masyarakat yang

Page 75: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 67

5

6

7

8

9

10

11

12

13

2009 2010 2011 2012 2013 2014

HGULA HMINYAKGORENG HBERAS

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2009 2010 2011 2012 2013 2014

HCABAIMERAH

HDAGINGAYAM

HBAWANGMERAH

memiliki penghasilan dalam kelompok pendapatan 1-4 memiliki pangsa

pengeluaran terhadap pangan yang meningkat dari tahun 2002 ke 2012.

Sementara, pengeluaran masyarakat pada kelompok 5-10 pangsa

pengeluaran terhadap pangan menurun dan cenderung meningkat untuk

non pangan. Hal ini berimplikasi bahwa kenaikan harga pada komoditi

pangan akan memberikan dampak pada makin meningkatkan

pengeluaran masyarakat pada kelompok 1-4.

Tabel 5.1 Rata-rata Pangsa Pengeluaran Masyarakat Terhadap Pangan Berdasarkan Kelompok Pendapatan

Kota Desa Desa+Kota Kota Desa Desa+Kota

1 61,31 67,40 66,06 62,18 68,73 68,04

2 60,31 67,33 65,48 62,69 69,67 67,75

3 59,41 66,97 64,70 61,08 70,11 66,08

4 58,42 66,47 63,59 59,09 67,06 63,76

5 57,19 65,69 62,40 57,13 64,93 61,80

6 55,68 64,67 60,92 54,58 63,10 60,04

7 53,74 63,27 58,96 52,32 61,53 57,89

8 50,88 61,37 56,52 49,61 59,90 55,40

9 46,78 58,69 52,25 45,22 57,55 50,84

10 30,79 43,94 35,31 30,69 43,29 34,95

2002 2012Kelompok

Pendapatan

Sumber: Susenas, 2002 dan 2012, diolah

Perkembangan Harga dan Stabilitasnya (MA-Average)

Perkembangan Harga komoditi pangan ditingkat eceran

menunjukkan tren positif dengan cenderung naik. Data selama tahun

2009-2014 periode mingguan menunjukkan harga tingkat eceran komoditi

beras, gula dan minyak goreng cenderung naik. Faktor-faktor yang

mempengaruhi kecenderungan harga naik yaitu musim, harga komoditi di

pasar internasional serta kebijakan pemerintah.

Ribu Ribu

Gambar 5.1 Perkembangan Harga Komoditi Pangan Sumber: BPS, diolah

Page 76: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 68

0

1

2

3

4

5

6

7

8

2009 2010 2011 2012 2013 2014

GULAPASIRMINYAKGORENGBERAS

0

10

20

30

40

50

2009 2010 2011 2012 2013 2014

BAWANGMERAHCABAIMERAHDAGINGAYAM

Stabilitas harga dapat diukur dengan melihat fluktuasinya.

Pergerakan fluktuasi harga komoditi pangan pokok antar waktu selama

tahun 2009-2014 terlihat makin mengecil. Pada periode tertentu

pergerakan fluktuasi harga komoditi (beras, gula pasir dan minyak

goremg) cukup tinggi yaitu selama tahun 2009 dan selama tahun 2013

dan awal 2014. Demikian halnya dengan komoditi daging ayam, cabai

merah dan bawang merah. Pergerakan fluktuasi harga daging ayam

relative rendah namun harga nominal cenderung meningkat tajam.

Fluktuasi harga yang tinggi menimbulkan banyak resiko dari harga

nominal yang terjadi dibandingkan dengan fluktuasi harga yang relative

rendah. Implikasinya, stabilisasi harga dapat meminimalkan tingginya

fluktuasi harga dan menjaga stabilitas harga secara nominal sehingga

dapat memperkecil dampaknya terhadap inflasi.

% %

Gambar 5.2 Pergerakan Fluktuasi Harga Komoditi Pangan Sumber: BPS, diolah

5.2. Kebijakan Harga komoditas Pangan

Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan dan Undang-

Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan merupakan kebijakan

terkait upaya stabilisasi harga komoditi di Indonesia tertuang dalam.

Secara ringkas, regulasi harga beberapa pangan pokok seperti beras,

gula, daging ayam, cabai, bawang merah, dan minyak goreng pada

Lampiran 1.

Page 77: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 69

Secara umum dapat dikatakan bahwa harga komoditi pangan di

Indonesia cenderung fluktuatif dan terus mengalami peningkatan.

Pengaruh musim dan siklus produksi sangat mempengaruhi

perkembangan harga komoditi pangan di tingkat eceran. Kebijakan harga

yang ditetapkan pada komoditi pangan berlaku sepanjang tahun, padahal

karakteristik produksi pangan memiliki pola dalam setiap tahun terutama

untuk beras, gula, cabai merah, dan bawang merah.

Permasalahan dalam penerapan kebijakan harga di Indonesia

diantaranya adalah masih rendahnya komitmen politik dan ekonomi dalam

mendukung kebijakan yang sudah ditetapkan sehingga pelaksanannya

menjadi kurang komprehensif, sistematis dan konsisten. Banyaknya

kebijakan-kebijakan yang dikeluaran oleh Kementerian/ Lembaga terkait

terkadang menjadi masalah sebab ada yang saling tidak sejalan dan tidak

harmonis sehinga menghambat implementasi kebijakan. Misalnya

kebijakan peningkatan produksi dengan kebijakan alih fungsi lahan,

contoh kasus pada padi, jagung, kedelai dan gula. Masalah lain yang juga

menghambat pelaksanaan kebijakan harga adalah masalah infrastruktur

yang dalam hal ini adalah sistem logistik yang belum baik yang

menyebabkan masih terdapat disparitas harga antar wilayah dan belum

adanya kelembagaan pangan sebagai leading agency dalam

implementasi regulasi harga dan pangan di Indonesia sehingga

kelembagaan sistem pangan yang ada terlihat masih kurang solid, tidak

fokus dan cenderung Parsial.

Baru-baru ini Pemerintah mengeluarkan peraturan presiden No 71

tahun 2015 tentang penetapan dan penyimpanan barang kebutuhan

pokok dan barang penting yang diterbitkan pada bulan Juni 2015.

Peraturan ini menitikberatkan pada peran pemerintah dalam melakukan

penetapan harga. Adapun penetapan harga yang dimaksud yaitu harga

acuan, harga pembelian pemerintah pusat, harga khusus (harga

Page 78: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 70

menjelang, saat dan setelah hari besar keagamaan nasional dan/atau

pada saat terjadi gejolak harga, harga eceran tertinggi (dalam rangka

operasi pasar). Penetapan harga ini tercantum dalam pasar 4 dan pasal

5 ayat (4) butir (a) dan (b) pada peraturan tersebut. Penetapan harga

dilakukan pada barang kebutuhan pokok yang mana cakupan kebutuhan

bahan pokok di dalam peraturan tersebut meliputi beras, kedelai, cabai,

bawang merah, gula, minyak goreng, tepung terigu, daging sapi, daging

ayam ras, telur ayam ras dan ikan segar.

5.3. Penentuan Komoditas Pangan Yang Perlu Diprioritaskan

Kebijakan harga pangan dapat dirumuskan dengan

mempertimbangkan kepentingan konsumen dan kepentingan produsen.

Pertimbangan kepentingan konsumen pada prinsipnya untuk menjaga

menjaga daya beli konsumen, sedangkan pertimbangan kepentingan

produsen terkait dengan menjaga profitabilitas usaha tani/ternak sehingga

tetap bertani/berternak. Dua kepentingan ini menurut banyak pengamat

ekonomi pertanian tidak dapat dicapai bersama-sama (trade-off),

sehingga dalam pembahasan penentuan komoditi yang menjadi fokus

dalam kebijakan harga akan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap

pertama menentukan komoditi berdasarkan kepentingan konsumen dan

tahap kedua menentukan komoditi berdasarkan kepentingan produsen.

Dalam menentukan komoditi berdasarkan kepentingan konsumen

ada tiga hal yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu andil inflasi, koefisien

variasi harga di tingkat konsumen, pangsa pengeluaran rumah tangga.

Andil inflasi dan pangsa pengeluaran rumah tangga sebagai kombinasi

yang sangat eksplisit sebagai faktor untuk menggambarkan tingkat daya

beli masyarakat. Semakin tinggi hasil perkalian nilai kedua variabel

tersebut, maka urgensi komoditi tersebut bagi kepentingan masyarakat

juga semakin besar. Sedangkan koefisien variasi harga di tingkat

Page 79: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 71

2009 2010 2011 2012 2013 2014

1 Beras 0.27 1.28 2.27 0.33 0.20 0.38 0.79

2 Gula Pasir 0.32 0.06 -0.03 0.14 -0.03 -0.03 0.07

3 Kedelai -0.02 0.02 0.15 0.08 0.07 0.00 0.05

4 Tepung terigu 0.00 0.00 0.02 0.00 0.07 0.00 0.01

5 Daging ayam ras 0.06 0.14 0.21 0.03 0.11 0.07 0.10

6 Daging sapi 0.02 0.03 0.10 0.16 0.11 0.03 0.08

7 Telur ayam ras -0.01 0.07 0.02 0.04 0.03 0.07 0.04

8 Cabe merah -0.03 0.28 0.43 -0.25 0.31 0.43 0.20

9 Bawang merah 0.03 0.24 0.03 0.09 0.38 0.01 0.13

10 Jagung manis 0.00 0.02 0.01 0.00 0.30 0.00 0.06

11 Minyak Goreng -0.04 0.12 0.14 -0.01 0.03 0.07 0.05

NoAndil Inflasi (%)

KomoditiRata2'

09-14

konsumen sebagai indikator untuk menunjukan apakah pemerintah perlu

intervensi dalam menstabilkan harga komoditi tertentu.

Andil inflasi komoditi menunjukkan bahwa seberapa besar komoditi

tersebut memberikan sumbangan terhadap inflasi nasional. Besar atau

kecilnya suatu komoditi memberikan andil inflasi tergantung pada bobot

komoditi tersebut terhadap inflasi dan besarnya perubahan harga.

Semakin tinggi andil inflasi maka kontribusi komoditi tersebut terhadap

inflasi juga semakin besar dan sebaliknya. Komoditi yang mempunyai

kenaikan harga (inflasi) dan bobot terhadap inflasi tinggi, maka komoditi

tersebut akan memberikan andil yang tinggi terhadap inflasi.

Saat ini terjadi dimana komoditi yang mempunyai andil terhadap

inflasi rendah justru menjadi sumber terjadinya inflasi. Hal ini dikarenakan

komoditi tersebut memiliki kenaikan harga yang cukup signifikan seperti

aneka cabe dan aneka bawang, meski bobot komoditi ini terhadap inflasi

relatif kecil yaitu kurang dari 0,5%. Komoditi beras, mempunyai andil

inflasi yang tinggi, karena bobot beras terhadap inflasi cukup tinggi sekitar

3-4%. Implikasinya kenaikan harga yang kecilpun akan memberikan

dampak terhadap andil inflasi yang cukup besar, upaya stabilisasi harga

pada komoditi ini penting mengingat beras menjadi produk pangan utama

masyarakat Indonesia.

Tabel 5.2 Andil Inflasi Komoditi selama Tahun 2009-2014

Sumber: BPS, diolah

Page 80: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 72

Selama tahun 2009-2014, komoditi pangan yang memberikan andil

cukup besar terhadap inflasi yaitu beras, cabe merah, bawang merah, dan

daging ayam ras dengan andil lebih dari 0,5%. Komoditi ini merupakan

bagian dari volatile food dalam pengelompokkan inflasi nasional. Dengan

andil yang cukup besar tersebut mempunyai arti bahwa fluktuasi harga

dari komoditi tersebut perlu dijaga supaya tidak terlalu tinggi sehingga

kebijakan pengendalian harga penting dalam upaya memperkecil

dampaknya terhadap inflasi nasional. Salah satu peran kebijakan

stabilisasi harga adalah pengendalian harga komoditi, memperlancar

pasokan dan jalur distribusi.

Pengendalian harga komoditi mempunyai arti bahwa untuk

meminimalkan besarnya fluktuasi harga yang terjadi pada batas toleransi

tertentu yang tidak merugikan konsumen ataupun produsen. Langkah ini

merupakan salah satu upaya di dalam pengendalian inflasi khususnya

inflasi bahan makanan yang merupakan bagian dari volatile food di dalam

pengelompokkan komoditi inflasi nasional. Fluktuasi harga dapat terjaga

bilamana pengaturan pasokan serta distribusi berjalan dengan dengan

baik sehingga pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat tercukupi dengan

harga yang terjangkau.

Harga komoditi yang terkendali akan berdampak pada perubahan

harga tertinggi antar waktu menjadi minimal dan memberikan andil inflasi

yang relatif kecil. Fluktuasi harga komoditi dapat diminimalkan melalui

pengaturan produksi dan waktu impor dalam memenuhi permintaan yang

angkanya cenderung meningkat, dalam jangka menengah dan panjang

dapat menurunkan peran komoditi tersebut dalam inflasi.

Koefisien variasi (CV) harga komoditi dihitung berdasarkan data

harga komoditi bulanan dari BPS mulai tahun 2008 sampai dengan 2014,

kecuali komoditi bawang merah yang di hitung menggunakan data mulai

Page 81: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 73

tahun 2010. Berdasarkan hasil perhitungan, koefisien variasi harga

tertinggi terdapat pada komoditi cabe merah sebesar 31,68%, disusul oleh

bawang merah 20,88%, daging ayam 8,00%, minyak goreng 7,16% dan

telur ayam 5,77%. Adapun koefisien variasi harga terendah terdapat pada

komoditi terigu sebesar 1,24 % disusul oleh kedelai 2,33%, beras 2,96%,

gula 3,73%, jagung 4,03% dan daging sapi 4,14%.

Koefisien keragaman harga komoditi masih berkisar antara 5-9%

yang menunjukkan bahwa fluktuasi harga komoditi tersebut relatif stabil

kecuali untuk komoditi cabe merah dan bawang merah. Secara umum

fluktuasi semua harga komoditi pangan dipengaruhi oleh pola konsumsi

atau permintaan meningkat pada hari raya perayaan keagamaan dan

adat. Pengaruh peningkatan permintaan pada hari raya keagamaan dan

adat lebih dominan pada harga komoditi daging ayam dan telur. Fluktuasi

harga cabe dan bawang merah yang tinggi lebih cenderung disebabkan

oleh tekanan dari sisi suplai yaitu pola tanam tanaman cabe yang bersifat

musiman dan jenis komoditasnya yang bersifat perishabel. Untuk harga

komoditi terigu dan kedelai relatif lebih stabil karena sebagian besar

suplainya berasal dari impor.

Tabel 5.3. Andil Inflasi, Koefisien Variasi Harga Tingkat Konsumen, Pangsa Pengeluaran Rumah Tangga

No Komoditi Andil Inflasi (%) Rank Koefisien Variasi Tk. Kons (%) Rank Pangsa Pengeluaran RT Rank Total Rank

1 Beras 0.79 *** 4.43 ** 16.88 *** ********1

2 Gula 0.07 * 3.73 * 2.30 ** ****

3 Kedelai 0.05 * 2.33 * 2.62 ** ****

4 Terigu 0.01 * 1.24 * 5.63 *** *****

5 Daging Ayam 0.10 ** 8.00 ** 2.23 ** ******2

6 Daging Sapi 0.08 * 4.14 ** 0.76 * ****

7 Telur Ayam 0.04 * 5.77 ** 2.35 ** *****

8 Cabe Merah 0.20 ** 31.68 *** 0.86 * ******2

9 Bawang Merah 0.13 ** 20.88 *** 1.05 * ******2

10 Jagung 0.06 * 4.03 * * ***

11 Minyak Goreng 0.05 * 7.16 ** 3.19 *** ******2 Sumber: BPS (2014), SUSENAS (2011), diolah

Page 82: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 74

Tabel 5.2 menunjukkan bahwa untuk komoditi beras, walaupun

tingkat fluktuasi harganya relatif moderat (dilihat dari nilai koefisien variasi

harga tingkat konsumen), pangsa pengeluaran dan andil inflasi untuk

beras paling tinggi dibanding komoditi lainnya yang ada di Tabel 1. Hal ini

menunjukkan bahwa komoditi beras sangat penting bagi masyarakat. Jika

asumsinya alokasi budget pengeluaran rumah tangga untuk beras adalah

konstan, maka pengendalian inflasi beras menjadi penting. Dan

pengendalian beras ini sangat erat terkait dengan stabilisasi harga beras

di tingkat konsumen.

Untuk gula, ketiga faktor yang dipertimbangkan menunjukkan

tingkat yang moderat. Dari faktor koefisien variasi harga, sebagaimana

karakteristik produk industri, dimana pengelolaan distribusinya (baik

proses maupun kelembagaannya) sudah berjalan dengan baik, maka

harganya cukup stabil. Dari faktor pangsa pengeluaran rumah tangga,

jauh lebih rendah daripada pangsa pengeluaran untuk beras. Dengan

kondisi harga yang stabil dan pangsa pengeluran yang kecil maka andil

inflasi dari gula juga rendah. Seperti halnya gula, untuk kedelai dan

jagung ketiga faktor yang dipertimbangkan menunjukkan tingkat yang

moderat, bahkan berada pada tingkat rendah untuk andil inflasi. Konsumsi

kedelai oleh rumah tangga porsinya cukup kecil, sehingga dalam hal ini

pangsa pengeluaran rumah tangga menggunakan pangsa pengeluaran

untuk tempe dan tahu.

Untuk terigu, dari sisi pangsa pengeluaran rumah tangga cukup

tinggi, tetapi dari sisi andil inflasi dan koefisien variasi harga tingkat

konsumen kinerjanya cukup baik. Pangsa pengeluaran rumah tangga

untuk terigu merupakan terbesar setelah beras. Hal ini menunjukkan

bahwa komoditi terigu perannya sangat penting bagi masyarakat.

Untuk sumber protein hewani, komoditi yang penting bagi

konsumen adalah daging ayam. Dari sisi andil inflasi, nilainya paling besar

Page 83: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 75

setelah beras, bahkan untuk tingkat fluktuasi harganya justru lebih tinggi

dari pada beras. Sedangkan dari sisi pangsa pengeluaran rumah tangga,

tingkatnya relatif moderat. Jika dibandingkan dengan pangsa pengeluaran

untuk telur ayam ras tidak berbeda jauh dan dengan daging sapi lebih

tinggi. Kondisi tersebut menunjukkan komoditi daging ayam memiliki

urgensi untuk mendapatkan perhatian dalam stabilitas harga.

Pada produk hortikultura, yaitu cabai merah dan bawang merah,

walaupun pangsa pengeluarannya rendah, tetapi fluktuasi harganya

sangat tinggi. Hal ini kemudian mendorong andil inflasi dari cabai merah

dan bawang merah menjadi tinggi, tertinggi setelah beras. Kondisi di atas

menunjukkan bahwa cabai merah dan bawang merah memiliki urgensi

untuk mendapat perhatian dalam stabilisasi harga.

Fluktuasi harga yang cukup tinggi juga tidak hanya terjadi untuk

produk hortikultura dan daging ayam, tetapi juga untuk minyak goreng

curah. Koefisien variasi minyak goreng curah mencapai 7,16%. Selain itu,

minyak goreng juga berperan besar dalam pangsa pengeluaran rumah

tangga, paling besar setelah terigu dan beras.

Pertimbangan historis kebijakan, komoditi gula juga merupakan

salah satu komoditas pokok dan strategis di Indonesia. Pemerintah telah

menerapkan berbagai kebijakan yang mempunyai efek langsung dan

tidak langsung terhadap pasang-surutnya industri gula nasional.

Kebijakan pergulaan nasional diterapkan secara intensif, identik dengan

intensitas kebijakan yang berkaitan dengan industri beras. Di samping

intensitasnya tinggi, kebijakan pemerintah tersebut juga mempunyai

dimensi yang cukup luas, mulai dari kebijakan lahan, input, produksi,

distribusi, kelembagaan, hingga kebijakan harga. Secara garis besar

kebijakan tersebut dapat dibagi ke dalam tiga regim yang dilandasi oleh

aspek esensi dan periode waktu. Ketiga regim kebijakan tersebut adalah:

(i) Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi (1971-1997); (ii) Regim

Page 84: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 76

Kebijakan Liberalisasi (1997-2002); dan (iii) Regim Kebijakan Proteksi dan

Promosi (2002-sekarang).

Untuk melindungi produsen, pemerintah mengeluarkan Keputusan

Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali

menetapkan harga provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg. Kebijakan

harga provenue tersebut ternyata tidak efektif karena tidak didukung oleh

rencana tindak lanjut yang memadai. Untuk mengatasi masalah tersebut,

pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan

mengeluarkan Keputusan Menperindag No. 364/MPP/Kep/8/1999.

Instrumen utama dari kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah

importir dengan hanya mengijinkan importir produsen. Dengan kebijakan

ini, pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor di

samping memiliki data yang lebih valid mengenai volume impor dan stok.

Dengan demikian, harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat

petani dapat ditingkatkan.

Dari penjelasan di atas dengan mempertimbangkan andil inflasi,

koefisien variasi harga di tingkat konsumen, pangsa pengeluaran rumah

tangga serta historis kebijakan dapat disimpulkan 5 (lima) komoditi yang

perlu menjadi perhatian pemerintah dalam kebijakan harga adalah beras,

daging ayam, cabai merah, bawang merah dan minyak goreng. Dengan

mempertimbangkan historis kebijakan komoditas gula, maka Gula masuk

di komoditi prioritas.

Selanjutnya menentukan komoditi berdasarkan kepentingan

produsen ada dua hal yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu

pertumbuhan produksi dan fluktuasi harga di tingkat produsen. Fluktuasi

produksi merupakan faktor fundamental yang perlu diperhatikan dalam hal

peningkatan produksi, distribusi dan logistik. Produksi padi pada tahun

2007 tercatat sebesar 57,15 juta ton sedangkan tahun 2014 tercatat

sebesar 70,83 juta ton atau mengalami pertumbuhan rata-rata pertahun

Page 85: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 77

sebesar 3,11%. Selama rentang tahun 2007 hingga 2014, pertumbuhan

produksi tahunan terbesar terjadi pada tahun 2009 yakni tumbuh sebesar

6,75%. Meski produksi tahunan padi hampir selalu mengalami

pertumbuhan yang positif, namun produksi padi sempat mengalami

penurunan pada tahun 2011 dan 2014 yakni masing-masing turun

sebesar 1,07% dan 0,63%.

Pada tahun 2007 produksi gula tercatat sebesar 2,6 ribu ton,

sedangkan pada tahun 2013 produksi gula turun menjadi 2,55 ribu ton

atau tumbuh negatif sebesar 0,44%. Pertumbuhan produksi tahunan gula

tidaklah konsisten dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat pada data tahun

2009 yang menunjukkan penurunan produksi gula secara signifikan jika

dibandingkan tahun 2008 yakni turun sebesar 12,54%. Produksi gula

tahun 2011 kembali naik jika dibandingkan produksi gula tahun 2012

yakni tumbuh sebesar 15,53%. Rata-rata produksi gula nasional pada

tahun 2007 hingga 2013 adalah sebesar 2,47 ribu ton.

Untuk komoditi kedelai, produksi di tahun 2007 tercatat sebesar 592

ribu ton sedangkan tahun 2014 tercatat 953 ribu ton, atau mengalami

pertumbuhan rata-rata tahunan adalah sebesar 7,04%. Pertumbuhan

produksi tahunan kedelai cukup tinggi pada tahun 2008 dan 2009 dengan

pertumbuhan masing-masing 30,91% dan 25,63%. Pada tahun berikutnya

yakni tahun 2010 hingga 2013 produksi kedelai mengalami penurunan.

Namun di tahun 2014 produksi kedelai kembali mengalami pertumbuhan

positif yakni sebesar 22,30%.

Produksi jagung mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan positif

selama periode 2007-2014 yakni tumbuh sebesar 5,27%. Jika produksi

jagun pada tahun 2007 tercatat sebesar 13,28 juta ton, maka di tahun

2014 produksi jagung tercatat sebesar 19,03 juta ton. Pertumbuhan

produksi tahunan jagung terbesar terjadi pada tahun 2008 dengan

pertumbuhan mencapai 22,80%. Sementara pertumbuhan pada tahun

Page 86: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 78

2011 dan 2013 menunjukkan pertumbuhan negatif yakni masing-masing

sebesar 3,73% dan 4,51%.

Untuk komoditi daging ayam, pertumbuhan produksi tahunan positif

pada kisaran 1,81% hingga 10,17%. Produksi daging ayam tahun 2007

adalah sebesar 0,94 juta ton sedangkan tahun 2014 tercatat sebesar 1,52

juta ton. Pertumbuhan rata-rata tahunan daging ayam tahun 2007-2014

adalah sebesar 7,11%. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2010

dan 2011 yakni masing-masing sebesar 10,22% dan 10,18%, sementara

pertumbuhan terendah terjadi pada tahun 2014 yakni tumbuh hanya

sekitar 1,80%.

Produksi telur ayam mengalami pertumbuhan rata-rata tahunan

sebesar 4,67% selama tahun 2007-2014. Jika dilihat pada data produksi,

pertumbuhan produksi telur ayam cenderung positif dan meningkat dari

tahun ke tahun. Produksi telur ayam tahun 2007 tercatat 0,94 juta ton

sedangkan tahun 2014 tercacat hampir 1,3 juta ton. Meski pertumbuhan

produksi tahunan telur ayam pada tahun 2008 hanya sebesar 1,26%

namun pada tahun 2010 hingga 2014 pertumbuhan produksi tahunan

telur ayam naik pada kisaran 3,97% hingga 10,9%. Produksi telur ayam

juga pernah mengalami penurunan pada tahun 2009 yakni turun sebesar

4,86%.

Produksi daging sapi cenderung tumbuh positif kecuali pada tahun

2013. Produksi daging sapi tahun 2007 adalah sebesar 339 ribu ton

sedangkan produksi tahun 2014 mencapai 539 ribu ton. Pertumbuhan

rata-rata tahunan daging sapi selama tahun 2007-2014 adalah sebesar

6,85%. Pertumbuhan produksi tahunan daging sapi tertinggi pada tahun

2008 yakni sebesar 15,62%, sementara pertumbuhan terendah terjadi

tahun 2013 dengan pertumbuhan negatif sebesar 0,8%.

Produksi tahunan cabe merah mengalami pertumbuhan positif dan

berfluktuatif dengan kisaran 2,5% hingga 13,2%. Jika pada tahun 2007

Page 87: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 79

produksi cabe merah tercatat 676 ribu ton, di tahun 2014 produksi cabe

merah tercatat hampir 1,1 juta ton. Pertumbuhan rata-rata tahunan cabe

merah besar selama tahun 2007-2014 adalah sebesar 6,64%.

Pertumbuhan produksi tertinggi cabe merah terjadi pada tahun 2009

dengan pertumbuhan sebesar 13,2% sementara pertumbuhan terendah

cabe merah terjadi pada 2010 dengan pertumbuhan sebesar 2,5%.

Bawang merah mengalami pertumbuhan produksi rata-rata tahunan

sebesar 6,26% selama tahun 2007-2014. Produksi bawang merah tahun

2007 adalah sebesar 0,8 juta ton sedangkan tahun 2014 produksi bawang

merah mencapai 1,2 juta ton. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun

2014 dengan pertumbuhan mencapai 21,48% Sementara pada tahun

2011 justru terjadi penurunan produksi sebesar 14,85%.

Untuk produksi minyak goreng, karena data produksi sulit diperoleh,

maka digunakan pendekatan produksi minyak sawit. Produksi minyak

sawit terus meningkat dari tahun ke tahun dengan pertumbuhan produksi

tahunan berkisar antara 1,2% hingga 11,18%. Pertumbuhan produksi

rata-rata tahunan minyak sawit tahun 2007-2013 sebesar 7,23%. Jumlah

produksi minyak sawit tahun 2007 sebesar 11,4 ribu ton sedangkan tahun

2013 sebesar 17,4 ribu ton. Pertumbuhan produksi terendah terjadi tahun

2010 dengan pertumbuhan hanya 1,2%. Dengan melihat fluktuasi

produksi dan fluktuasi harga di tingkat produsen, komoditi dari sisi

kepentingan produsen yaitu padi, kedelai dan jagung. Namun, dalam

kajian ini komoditi tersebut tidak menjadi prioritas dalam penetapan

kebijakan harga dikarenakan (i) ketergantungan impor masih cukup tinggi

dan (ii) peruntukkannya. Kedelai dan jagung lebih banyak digunakan

untuk kebutuhan industri dibandingkan untuk kebutuhan konsumsi

langsung masyarakat.

Kebijakan harga untuk stabilisasi harga pangan dapat dilakukan

dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan fundamental yang pada

Page 88: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 80

dasarnya bekerja dalam ruang/kurva supply-demand dan biasanya

dampaknya dapat terlihat dalam jangka panjang. Kedua adalah

pendekatan kebijakan harga itu sendiri yang bekerja untuk meng-adjust

harga dan biasanya dampaknya dapat dilihat dalam jangka pendek.

Seperti sudah disampaikan di atas, bahwa antara kepentingan

konsumen dan produsen tidak dapat dicapai bersamaan oleh karena itu

maka dalam pendekatan stabilisasi harga juga perlu memilih salah satu

pendekatan yang dapat memberikan dampak pada stabilitas harga.

Dalam memilih pendekatan tersebut, salah satu yang dapat dilakukan

adalah melakukan perbandingan antara fluktuasi produksi dan fluktuasi

harga di tingkat konsumen.

Tingkat fluktuasi produksi yang lebih besar dari pada fluktuasi

harganya menunjukkan bahwa profitabilitas di pasar komoditi pangan

tergantung pada resiko produksi artinya pendekatan fundamental dalam

stabilisasi harga perlu dilakukan. Sementara itu, jika fluktuasi harga di

tingkat eceran lebih tinggi daripada fluktuasi produksi, maka pendekatan

kebijakan harga perlu dilakukan. Kebijakan harga yang dimaksud dalam

hal ini adalah harga acuan atau harga dasar atau harga eceran tertinggi.

Untuk hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian setelah sub bab ini.

Fluktuasi produksi dan fluktuasi harga untuk produk hortikultura

berada pada tingkat yang tinggi. Sementara untuk produk industri seperti

terigu dan minyak goreng fluktuasi produksi relatif stabil. Namun untuk

gula, walaupun dihasilkan dari industri tetapi karena tergantung pada

bahan baku tebu dalam negeri yang bersifat musiman, maka fluktuasi

produksinya justru lebih tinggi dibanding fluktuasi harganya.

Sama halnya dengan gula, fluktuasi produksi beras juga relatif tinggi

dibanding dengan fluktuasi harga beras di tingkat eceran. Fluktuasi

produksi beras terjadi karena ada tiga musim panen dalam produksi beras

yaitu musim panen raya, musim panen gadu dan musim paceklik. Untuk

Page 89: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 81

daging ayam, kondisinya mirip dengan pasar produk hortikultura.

Fluktuasi produksi daging ayam dan harga di tingkat eceran berada pada

tingkat yang relatif tinggi. Dengan mempertimbangkan kondisi di atas,

maka walaupun pada dasarnya kepentingan konsumen dan produsen

tidak dapat dicapai bersamaan secara optimal, maka dalam rangka

stabilisasi harga untuk beberapa komoditi perlu mengkombinasikan antara

pendekatan fundamental dan pendekatan kebijakan harga itu sendiri.

Kombinasi pendekatan fundamental dan kebijakan harga perlu

diterapkan pada stabilisasi harga daging ayam, beras, cabai merah dan

bawang merah, gula. Dasar pertimbangannya adalah sebagai berikut: (a)

bagian terbesar dari penawaran berasal dari produk domestik; (b)

konvergensinya dengan kebijakan Kementerian Pertanian; (c) kebijakan

harga saja tidak cukup karena melibatkan jumlah produsen yang sangat

besar dan secara geografis tersebar di lokasi-lokasi yang jumlahnya

sangat banyak. Untuk minyak goreng pendekatan melalui kebijakan

harga sudah cukup efektif karena (a) struktur produksi mudah

terkonsolidasi; (b) jumlah produsen pada umumnya berskala besar dan

jumlah banyak ; (c) bahan baku cukup; (d) secara hostoris kebijakan yang

sudah dilakukan cukup efektif.

5.4 Pengendalian Harga Pada Komoditi Pangan

Beras

Beras merupakan makanan pokok terpenting bagi negeri ini.

Kontribusinya sebagai sumber karbohidrat lebih dari 95%. Demikian

strategisnya peranan komoditas ini dalam perekonomian nasional

sehingga dalam aspek-aspek tertentu telah menjadi komoditas politik.

Secara historis, berbagai peristiwa penting yang berkaitan dengan

instabilitas politik terkait pula dengan kelangkaan komoditas ini di pasar

dalam negeri. Dari kelompok pangan, kontribusi komoditas ini dalam

inflasi adalah yang terbesar. Data dari BPS menunjukkan bahwa

Page 90: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 82

kontribusi harga beras terhadap inflasi mencapai sekitar 4%. Oleh karena

itu stabilitas harga beras berpengaruh besar terhadap pengendalian

inflasi.

Sebagai komoditas strategis maka kebijakan pemerintah dalam

perberasan sangat intensif. Upaya-upaya untuk memperbaiki kinerja

produksi, ketersediaan, dan harga terus dilakukan dari waktu ke waktu.

Sejumlah keberhasilan telah dicapai akan tetapi sampai saat ini hasilnya

belum memuaskan. Beras dihasilkan dari usahatani padi. Sebagian

besar usahatani padi dilakukan di lahan sawah beririgasi karena sebagian

besar varietas padi akan berproduksi lebih tinggi jika dalam masa

pertumbuhan vegetatif dan sebagian dari fase pertumbuhan generatifnya

memperoleh penggenangan. Oleh karena itu pertumbuhan produksi padi

suatu negara (termasuk Indonesia) sangat dipengaruhi oleh ketersediaan

lahan sawah beririgasi.

Terkait dengan karakteristikanya itu, penanaman padi yang terluas

adalah pada musim hujan; yang untuk sebagian besar wilayah di

Indonesia berlangsung antara Bulan Oktober/November – April/Mei. Pada

MT II, yang suntuk sebagian besar wilayah Indonesia berlangsung

Maret/April – Juni/Juli sekitar 50 – 60 % petani nasional kembali

menanam padi. persentase petani yang pada MT III kembali menanam

padi sangat kecil, terbatas pada wilayah pesawahan yang kondisi

irigasinya sangat prima.

Sebenarnya secara teoritis jika air tersedia sepanjang tahun maka

penanaman padi dapat dilakukan sampai tiga kali per tahun kalender

pertanian. Akan tetapi secara empiris kondisi seperti itu hanya dapat

dilakukan pada daerah irigasi yang sangat baik (sekitar 4,2% dari total

luas lahan baku sawah). Secara agregat, indeks pertanaman padi di

Indonesia adalah sekitar 1,5 – 1,6. Artinya pada MT I hampir 100% petani

yang menguasai garapan lahan sawah menanam padi dan pada MT II

Page 91: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 83

ada sekitar 50 – 60% dari petani tersebut menanam padi. Dengan luas

baku lahan sawah yang diperkirakan sekitar 8,27 juta hektar maka luas

panen padi per tahun adalah sekitar 13,1 juta hektar.

Dengan kondisi seperti itu maka fluktuasi produksi padi antar musim

adalah sebagai berikut. Perbandingan produksi padi antara MT I: MT II:

MT III adalah sekitar 100:58:2. Fluktuasi produksi tersebut berimplikasi

pada fluktuasi pasokan beras di pasar. Oleh karena itu setiap tahun terjadi

musim paceklik, yaitu musim di mana pasokan beras dari hasil panen

sangat kecil dan sedang menunggu musim panen raya MT I tahun

berikutnya. Itu terjadi antara Bulan Oktober/November – Januari/Februari.

Rata-rata produktivitas usahatani padi pada saat ini adalah sekitar 5,2 ton

Gabah Kering Panen (GKP) per hektar. Dengan angka konversi sekitar

0,57 maka produksi beras per tahun diperkirakan sekitar 38,8 juta ton per

tahun. Angka ini jika dibandingkan dengan konsumsi yang diperkirakan

mencapai sekitar 28,5 juta ton per tahun maka secara teoritis Indonesia

swasembada bahkan mengalami surplus beras. Namun jika dikaitkan

dengan fenomena harga beras yang dalam bebrapa tahun terakhir ini

mengalami peningkatan yang cukup significant maka angka-angka

tersebut sulit dipahami. Secara teoritis, data tentang harga adalah paling

mudah diverifikasi. Demikianpun dengan angka produktivitas karena

mudah di cek di lapangan melalui survey. Akan tetapi sangatlah sulit

untuk memverifikasi data tentang luas baku lahan sawah maupun luas

tanam. Tampaknya, ke depan diperlukan pengecekan kembali angka-

angka luas baku lahan sawah dan indeks pertanamannya.

Untuk mencegah jatuhnya harga gabah yang diproduksi petani pada

saat panen dan mencegah membubungnya harga beras di tingkat

konsumen pada musim paceklik maka Indonesia membentuk Badan

Urusan Logistik. Fungsi utamanya adalah menyerap surplus produksi saat

panen raya untuk kemudian disimpan dan disalurkan ke pasar (operasi

Page 92: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 84

pasar) pada saat musim paceklik. Terkait dengan perubahan iklim dan

banyaknya lahan sawah produktif yang terkonversi ke penggunaan lain

maka terjadi degradasi kapasitas lahan untuk memproduksi lahan sawah

dan berubahnya pola panen. Berbeda dengan seperampat abad yang lalu

di mana pola panen cenderung teratur dan mudah diprediksi, sejak

dasawarsa terakhir pola panen makin kurang teratur. Sebaran spatial dan

temporal panen padi makin sulit dipetakan secara tepat dan kondisi

tersebut berpengaruh pada risiko yang dihadapi dalam sistem rantai

pasok. Ditambah lagi dengan kondisi infrastruktur transportasi yang

kurang lancar (banyak kemacetan) dan harga BBM yang sampai dengan

dua tahun lalu cenderung makin mahal maka biaya transportasi barang

(termasuk gabah/beras) menjadi makin mahal. Akibatnya kinerja

pemasaran gabah/beras justru makin kurang efisien.

Kesulitan untuk memperbaiki efisiensi pemasaran gabah/beras juga

terkait struktur usahatani padi yang didominasi skala kecil dan tidak

terkonsolidasi sebagaimana dijalaskan di atas. Struktur pasar gabah

cenderung oligopsonistik. Oleh karena produktivitas juga tidak mudah

untuk ditingkatkan secara significant maka secara riil keuntungan yang

diterima petani tidak pernah mengalami peningkatan yang berarti. Hal ini

seringkali menjadi alasan paling mendasar untuk selalu menaikkan Harga

Pembelian Pemerintah (HPP).

Kesimpulan yang diperoleh dari FGD yang dilakukan secara

berantai dalam pelaksanaan penelitian ini menunjukkan bahwa untuk

menjaga stabilitas harga beras maka dibutuhkan kebijakan harga yang

dikombinasikan dengan kebijakan non harga yang kondusif untuk

memperbaiki kinerja produksi. Pada kebijakan harga, yang diperlukan

adalah penetapan HPP multi kualitas (medium dan premium) perlu

dilakukan. Selain itu, penetapan HPP juga perlu dilakukan untuk setiap

awal musim tanam, terutama musim tanam MT I dan MT II (untuk MT III

Page 93: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 85

tidak perlu). Konsep perhitungannya didasarkan atas kombinasi dari tiga

komponen: (a) biaya pokok gabah, (ii) ekspektasi keuntungan usahatani

padi, dan (iii) implikasinya terhadap harga beras. Dalam konteks ini,

mengingat bahwa dalam beberapa tahun terakhir HPP gabah cenderung

lebih rendah dari harga pasar maka BULOG kesulitan untuk memenuhi

target pengadaan beras dari pasar domestik. Tampaknya perhitungan

ulang mengenai angka-angka dari setiap komponen tersebut perlu

disesuaikan.

Untuk memperbaiki kinerja produksi, perluasan lahan sawah sangat

diperlukan. Selain untuk mengganti lahan sawah yang terkonversi ke

penggunaan lain juga untuk menambah kapasitas produksi karena secara

empiris kontribusi pertumbuhan luas panen dalam pertumbuhan produksi

masih lebih tinggi daripada pertumbuhan produktivitas. Mengacu pada

ketersediaan sumberdaya lahan yang ada maka yang paling layak adalah

melakukan perluasan lahan sawah di Luar Pulau Jawa. Kesimpulan dari

FGD juga menyebutkan bahwa mekanisme operasi pasar perlu

disempurnakan. Operasi pasar perlu lebih antisipatif atas kemungkinan

kenaikan harga beras dan ditindak lanjuti lebih cepat dan lebih dini. Dalam

arti tidak perlu menunggu sampai kenaikan harga telah terjadi secara

significant karena ketika harga telah naik lazimnya sulit untuk turun ke

level semula.

Gula

Gula yang dikonsumsi sebagian besar penduduk Indonesia adalah

Gula Pasir yang dihasilkan dari usahatani tebu (sugar cane). Usahatani

tebu dapat dilakukan di lahan sawah maupun di lahan tegalan. Secara

empiris, produktivitas usahatani tebu maupun rendemennya lebih tinggi

pada usahatani tebut di lahan sawah. Secara geografis, produsen utama

tebu dan gula masih terdapat di Pulau Jawa. Di Luar Pulau Jawa,

kontributor terbesar adalah dari Provinsi Lampung dan Sulawesi Selatan.

Page 94: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 86

Indonesia belum berswasembada Gula. Oleh karena itu, untuk

pemenuhan kebutuhan konsumsi maka dilakukan impor. Dalam konteks

ini, agar tidak berdampak negatif terhadap insentif petani tebu maka impor

dikhususkan untuk pemenuhan kebutuhan Industri; dalam arti tidak

dikendalikan agar tidak masuk ke pasar umum sehingga bersaing dengan

Gula Pasir produksi domestik.

Jika dibandingkan dengan produsen gula pasir negara lain (Kuba,

India, Brasil), produktivitas gula Indonesia lebih rendah. Hal ini

disebabkan produktivitas usahatani tebu di tingkat usahatani yang relatif,

rata-rata rendemen gula juga rendah, dan efisiensi pabrik gula juga relatif

rendah. Upaya untuk mendorong peningkatan produksi ditempuh melalui

ekstensifikasi usahatani tebu di lahan kering di Luar Pulau Jawa dan

peremajaan beberapa pabrik tebu di Pulau Jawa. Sejumlah perbaikan

dicapai namun masih jauh dari sasarannya.

Masalah di bidang pergulaan lebih banyak terkait dengan sangat

terbatasnya lahan yang tersedia dan efisiensi industri pergulaan yang

berkelinpung dan dengan masalah kelembagaan yang tidak mudah

dipecahkan. Sejumlah upaya untuk memangkas “rent seeking behaviour”

telah ditempuh namun perubahan ke arah perbaikan tidak dapat dicapai

dalam waktu yang pendek.

Di tingkat konsumen, persoalan yang terkait dengan harga gula

pasir tidaklah semenonjol instabilitas harga beras. Yang sering terjadi

adalah harga gula pasir mengalami kenaikan ketika menjelang hari-hari

besar keagamaan, terutama pada Bulan Ramadhan dan akhir tahun.

Hasil dari serangkaian FGD memperoleh kesimpulan bahwa untuk

memelihara/meningkatkan stabilitas harga gula di tingkat konsumen

adalah yang berkenaan dengan penetapan tingkat harga yang digunakan

sebagai acuan untuk membuka keran impor bagi industri gula rafinasi

seperti yang dilakukan selama ini. Kebijakan fundamental yang relevan

Page 95: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 87

dan dirasakan urgensinya adalah untuk memperbaiki produktivitas dan

kapasitas produksi tebu dan gula hablur domestik.

Cabai Merah dan Bawang Merah

Cabai merah dan bawang merah diproduksi petani dari usahatani di

lahan sawah maupun di lahan tegalan. Berbeda dengan petani yang

mengusahakan komoditas tanaman pangan lainnya risiko yang dihadapi

petani cabai merah dan bawang merah lebih besar. Sumber risiko ada

dua yaitu risiko produksi dan risiko harga. Risiko produksi bersumber dari

faktor iklim dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yaitu

serangga, jamur, ataupun bakteri yang merusak pertumbuhan vegetatif

dan atau pertumbuhan generatif tanaman. Risiko harga terkait dengan

jatuhnya harga jual hasil panen karena produksi yang melimpah atau

tersendatnya transportasi sehingga hasil panen di sentra produksi

menumpuk. Hal ini disebabkan bawang merah (terlebih-lebih cabai

merah) dalam bentuk sangat cepat rusak (membusuk) sehingga daya

simpannya rendah; sedangkan konsumsi terbesar konsumen adalah

dalam bentuk segar.

Teknologi budidaya cabai merah dan bawang merah lebih rumit

daripada teknologi budidaya tanaman pangan dari kelompok serealia dan

biji-bijian atau umbi-umbian. Selain itu, modal dan tenaga kerja yang

dibutuhkan juga jauh lebih banyak, terutama pada usahatani bawang

merah. Terkait dengan itu maka perluasan usahatani cabai merah dan

bawang merah biasanya cenderung terbatas pada wilayah sentra-sentra

produksi yang selama ini secara turun temurun telah berkembang.

Produksi cabai merah dan bawang merah di sentra-sentra produksi

biasanya melimpah pada menjelang akhir musim hujan. Di sawah, petani

menanam cabai merah dan bawang merah biasanya pada MT II yaitu

sesudah tanam padi. Untuk petani cabai merah dan bawang merah di

lahan kering (tegalan) petani mengusahakannya pada musim penghujan.

Page 96: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 88

Sebaran sentra produksi cabai merah dan bawang merah cenderung

terkonsentrasi di wilayah yang curah hujannya termasuk kategori sedang

karena risikonya sangat tinggi jika diusahakan di wilayah yang curah

hujannya sangat tinggi atau yang beriklim kering.

Selama ini sentra-sentra produksi cabai merah adalah di Jawa

Timur, Jawa Tengah dan sebagian Jawa Barat, Sumatera Utara, dan

Sumatera Barat. Untuk Cabai Merah, sentra produksi utama adalah di

Jawa Tengah khususnya di Brebes, di Jawa Barat di Majalengka, dan di

Jawa Timur di kabupaten-kabupaten yang tercakup di Daerah Aliran

Sungai Brantas seperti Nganjuk, Kediri, Jombang, dan Mojokerto.

Terkait dengan karakteristik produknya yang cepat rusak, fluktuasi

produksi dan pasokan antar musim yang tajam, sentra-sentra produksi

yang kurang tersebar merata di berbagai wilayah, dan konsumsinya yang

didominasi dalam bentuk segar maka secara historis instabilitas harga

cabai merah dan bawang merah termasuk kategori sangat tinggi; dalam

arti lebih tinggi jika dibandingkan dengan komoditas pangan lainnya.

Upaya-upaya untuk menstabilkan harga sesungguhnya telah

ditempuh akan tetapi kendala yang dihadapi dalam pemecahan masalah

tersebut di atas belum efektif. Dari serangkaian hasil FGD diperoleh

kesimpulan bahwa untuk komoditas ini kebijakan yang harus ditempuh

adalah: (1) adanya penetapan tingkat harga yang tepat sebagai acuan

dalam menentukan impor, (2) adanya kebijakan harga yang dapat

mencegah jatuhnya harga pada saat panen raya, (3) adanya kebijakan

yang kondusif untuk mendorong ekspor ketika produksi mengalami

surplus, dan (4) adanya kebijakan insentif untuk mendorong

berkembangnya produksi cabai olahan dan bawang merah olahan yang

dibarengi dengan pengembangan pola konsumsi cabai merah dan

bawang merah olahan.

Page 97: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 89

Daging Ayam

Daging ayam dihasilkan dari usaha ternak ayam yang untuk di

Indonesia terbagi dalam dua kategori: (i) ayam ras, dan (ii) ayam

kampung/ayam buras (bukan ras). Secara agregat, produksi dan

konsumsi daging ayam dihasilkan dari produksi ayam ras; baik yang

dihasilkan dari peternakan ayam broiler maupun ayam jantan dan ayam

afkir dari industri ternak ayam petelur. Struktur industri ayam ras terbagi

menjadi tiga kategori: (i) peternakan ayam skala besar, (ii) peternakan

ayam kemitraan, dan (iii) peternak skala kecil mandiri. Secara umum yang

terbanyak kontribusinya adalah kategori (ii) yang sistem pengelolaannya

adalah kemitraan antara peternak besar (yang merangkap penyedia

sarana produksi dan pemasaran hasil) dengan peternak plasma

(penyedia kandang, tenaga kerja budidaya ternak ayam).

Persoalan harga daging ayam mengemuka pada setahun terakhir,

dimana harga pada periode menjelang hari besar keagamaan mengalami

peningkatan yang jauh lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya.

Diduga, sesungguhnya kenaikan harga tersebut juga terkait dengan

melambungnya harga daging sapi pada periode yang sama.

Persoalan yang lebih mendasar sesungguhnya justru terletak di sisi

produksi, terutama yang berkenaan dengan insentif yang sangat rendah

yang dialami oleh peternak kecil mandiri. Hal ini terkait dengan harga

pakan yang peningkatannya significant, sementara itu harga jual hasil

produksinya tidak mengalami kenaikan yang berarti karena kenaikan

harga daging ayam di tingkat eceran ternyata tidak tertransmisikan

dengan baik ke harga ayam di tingkat peternak ayam skala kecil (farm

gate price).

Hasil FGD menyimpulkan bahwa cara pemecahan masalah atas

industri perunggasan tersebut membutuhkan penataan kelembagaan

yang intinya adalah bagaimana mendorong agar peternak skala besar

Page 98: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 90

dapat bermain lebih banyak di pasar ekspor. Untuk peternak skala kecil

mandiri diperlukan adanya kebijakan yang memungkinkan

berkembangnya terobosan-terobosan yang dapat menekan biaya

pengadaan pakan melalui pemanfaatan sumberdaya lokal.

Minyak Goreng

Bagian terbesar dari produksi dan konsumsi domestik minyak

goreng adalah minyak goreng yang dihasilkan dari industri minyak goreng

berbahan baku Crude Palm Oil (CPO). Seiring dengan peningkatan

produksi CPO, ekspor CPO Indonesia ke pasar internasional maupun

pasokan CPO untuk industri minyak gorang domestik semakin tinggi dan

sebaliknya proporsi minyak goreng dari industri minyak goreng berbahan

baku kelapa makin kecil. Secara empiris, masalah yang dihadapi dalam

hal harga eceran minyak goreng tidaklah sebesar masalah yang dihadapi

pada harga komoditas pangan lainnya. Kenaikan harga minyak goreng

hanya terjadi pada periode-periode tertentu yang terkait dengan hari-hari

besar keagamaan dan periode ketika harga CPO di pasar internasional

mengalami kenaikan yang tajam.

Hasil FGD menyimpulkan bahwa kebijakan yang diperlukan untuk

memelihara agar kinerja harga minyak goreng di dalam negeri tetap stabil

adalah kebijakan tataniaga yang intinya adalah mengatur agar pasokan

CPO untuk industri minyak goreng domestik terjamin kecukupannya.

Untuk itu instrumen yang dapat dimainkan adalah pajak ekspor CPO dan

atau kuota.

Penetapan Kebijakan Harga Khusus

Kebijakan harga khusus yaitu kebijakan pengendalian harga yang

dilakukan pada waktu tertentu yaitu menjelang, saat dan setelah hari

besar keagamaan. Penetapan kebijakan harga ini dilakukan tidak

sepanjang tahun sehingga penetapan harga ini harus dapat diumumkan

Page 99: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 91

secara luas agar masyarakat (konsumen) dapat menerima informasi

harga secara baik.

Hasil FGD menunjukkan bahwa pelaksanaan kebijakan harga

khusus perlu memperhatikan:

a. Masing-masing daerah memiliki karakteristik khusus baik dari sisi

produksi, konsumsi, maupun harga.

b. Biaya distribusi mempengaruhi harga komoditi di suatu daerah

sehingga harga komoditi di setiap daerah relatif berbeda.

c. Beberapa Pemerintah Daerah telah mengeluarkan kebijakan yang

mengatur perdagangan komoditi tertentu, contoh pada komoditi

Sapi di Provinsi Jawa Timur.

d. Penetapan kebijakan harga tidak dapat berjalan tunggal, tetapi

memerlukan kombinasi dengan kebijakan lain, atau setidaknya

perlu didukung dengan instrumen kebijakan non harga.

e. Selama ini konsumen belum sepenuhnya mendapatkan informasi

tingkat harga yang wajar. Informasi harga hanya dimiliki oleh

pedagang, sehingga harga yang terjadi tidak tertransmisikan

kepada konsumen maupun produsen.

Jika kebijakan harga khusus akan diimplementasikan maka

mekanisme implementasinya dapat dilakukan di tingkat pasar ritel

modern. Hal ini dikarenakan (i) harga di ritel modern lebih stabil, (ii)

memiliki ijin usaha yang sudah pasti sehingga memudahkan untuk

pengawasan dan (ii) lebih memudahkan dalam hal monitoring harga.

Jika kebijakan harga khusus ditetapkan di tingkat pasar tradisional,

ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu (i) harga di pasar

tradisional tercipta karena adanya tawar menawar antara pedagang dan

pembeli, (ii) pengawasan di pasar tradisional, khususnya untuk bahan

Page 100: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 92

kebutuhan pokok akan terkendala karena pedagang di pasar tradisional

umumnya belum berijin sehingga sulit untuk menentukan sanksi jika

terjadi pelanggaran dalam hal menimbun stok atau memanfaatkan margin

serta (iii) harga di pasar tradisional cenderung lebih fluktuasi dibandingkan

harga di tingkat pasar ritel.

5.5. Tinjauan Kritis dari Aspek Kelembagaan dan Regulasi

Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan harga, peran

institusi/kelembagaan sangat penting dalam rangka tercapai tujuan dari

kebijakan tersebut. Efektivitas suatu kebijakan ditentukan oleh

terpenuhinya persyaratan yang berkenaan dengan sasaran dan tujuan,

rancangan dan instrumen, serta infrastruktur pendukung

implementasinya. Dalam konteks stabilisasi harga pangan maka langkah

awal yang harus ditempuh adalah dengan memahami akar permasalahan

yang menyebabkan terjadinya instabilitas harga pangan.

Instabilitas harga merupakan outcomes dari interaksi pasokan dan

permintaan yang dinamis. Dinamika pasokan ditentukan oleh variasi

produksi dan pengadaan dari luar negeri (impor) serta kinerja sistem

logistik, sedangkan dinamika permintaan dipengaruhi oleh daya beli dan

pola konsumsi.

Variasi produksi mencakup variasi antar waktu maupun antar lokasi.

Variasi antar waktu disebabkan oleh variasi musiman produksi pertanian

(termasuk pangan) karena proses produksi sebagian besar produksi

pertanian (usahatani) sangat dipengaruhi oleh ketersediaan air yang

sifatnya musiman. Variasi antar lokasi merupakan implikasi dari

keragaman potensi sumberaya pertanian (lahan, air, sumberdaya

manusia), aplikasi teknologi, dan sosial budaya.

Pada sisi permintaan, perubahan volume yang diminta ditentukan

oleh respon konsumen atas perubahan harga, baik atas harga komoditas

Page 101: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 93

itu sendiri (own price elasticity) ataupun harga komoditas substitusi serta

harga komoditas komplemennya. Dalam praktek, dinamika permintaan

juga ditentukan oleh pola konsumsi yang dipengaruhi oleh “selera”, daya

beli, dan nilai-nilai sosial budaya yang dianut. Hal ini tercermin dari

perilaku permintaan masyarakat pada momen-momen khusus di bidang

keagamaan seperti Ramadhan, hari-hari sekitar Natal dan Tahun Baru,

dan sebagainya.

Sasaran dan Tujuan

Sasaran kebijakan harga adalah terwujudnya tingkat harga yang

besarannya, variasinya, dan kecenderungan perubahannya sesuai

dengan harapan stakeholder yakni konsumen, pedagang, produsen, dan

pemerintah.

Oleh karena itu kebijakan stabilisasi harga dimaksudkan setidaknya

untuk tiga tujuan. Pertama, adalah untuk mengkondisikan agar variasi

harga berada dalam kisaran yang masih tetap kondusif bagi kepentingan

konsumen maupun tujuan produsen. Kedua, adalah untuk meminimalkan

dampak negatif instabilitas harga bagi produsen maupun konsumen,

terutama yang terkategorikan sebagai konsumen (rakyat) berpendapatan

rendah maupun produsen skala kecil yang dominan dalam perekonomian

suatu negara. Ketiga, agar tetap kondusif untuk pertumbuhan ekonomi.

Beberapa komoditas pangan adalah komoditas strategis. Meskipun

demikian, levelnya berbeda satu dengan yang lainnya. Syarat agar

kebijakan harga tepat sasaran dan tujuan maka harus disesuaikan

dengan posisi strategis komoditas yang bersangkutan. Posisi strategis

komoditas ditentukan oleh peranan komoditas tersebut dalam

perekonomian, dalam arti dari sudut pandang konsumen, produsen, dan

negara. Semakin tinggi posisi strategis suatu komoditas pangan maka

cakupan sasaran dan tujuan kebijakan harga akan semakin luas sehingga

Page 102: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 94

lazimnya merupakan salah satu agenda kebijakan dengan skala prioritas

yang tinggi.

Bagi Indonesia urutan dari posisi strategis, beras adalah komoditas

pangan paling strategis, kemudian diikuti dengan jagung, kedele, daging

sapi, daging ayam, cabai merah, bawang merah, gula, minyak goreng,

dan terigu. Secara empiris sebenarnya yang paling strategis adalah beras

karena merupakan makanan makanan pokok sumber utama karbohidrat

untuk lebih dari 95% penduduk negeri ini.

Rancangan dan Instrumen Kebijakan

Secara empiris, kelembagaan ekonomi yang paling dominan dan

efisien dalam pendistribusian barang dan jasa adalah pasar. Dominan

karena pada saat ini hampir semua mekanisme pertukaran dan

pendistribusian hampir semua barang dan jasa yang dibutuhkan

konsumen terjadi melalui mekanisme jual beli. Sebagai lembaga untuk

mewujudkan pertukaran dan pendistribusian, pasar juga lebih efisien

karena biaya sosial yang ditanggung masyarakat pada umumnya lebih

rendah daripada kelembagaan lainnya.

Rancangan dan instrumen kebijakan stabilisasi harga pangan akan

efektif jika berbasis pada pemahaman komprehensif atas karakteristik

pasar untuk setiap jenis komoditas yang bersangkutan. Variasi temporal

dan variasi spatial harga komoditas pangan harus dapat digali penyebab

utamanya. Harus pula diingat pula bahwa makin terintegrasinya pasar

domestik dengan pasar global berimplikasi bahwa sumber instabilitas

tidak hanya berasal dari situasi dan kondisi di dalam negeri tetapi juga

dari pasar internasional. Dalam konteks ini, instabilitas harga minyak bumi

di pasar internasional seringkali menjadi salah satu pemicu instabilitas

harga pangan. Selebihnya, perlu pula disadari bahwa sebagai bagian

integral dari sistem perekonomian maka instabilitas harga pangan

dipengaruhi dan mempengaruhi inflasi.

Page 103: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 95

Dalam pasar komoditas pangan, variasi temporal volume pasokan

biasanya lebih tajam daripada variasi temporal volume permintaan. Pola

pasokan pangan dipengaruhi pola produksi pangan yang sifatnya

musiman, sedangkan pola permintaan cenderung ajeg, meskipun pada

saat-saat tertentu (biasanya terkait dengan keagamaan/adat) mengalami

peningkatan. Oleh karena itu pada saat-saat tertentu terjadi kelebihan

penawaran yang menyebabkan harga turun atau sebaliknya kelebihan

permintaan sehingga harga naik.

Mengacu pada argumen di atas dapat disimpulkan bahwa secara

teoritis upaya untuk menstabilkan harga dapat ditempuh melalui

pemulusan (smoothing) pasokan agar fluktuasi volume permintaan dapat

diiukuti oleh fluktuasi pasokan. Ini dapat dilakukan dengan

mengembangkan sistem logistik (pengadaan, penyimpanan, pengeluaran

barang) yang tepat. Pengembangan sistem logistik yang tepat adalah

yang sinergis dengan kebijakan sistem pemasaran yang efisien dan adil.

Dalam konteks ini, upaya yang harus ditempuh adalah mengkondisikan

agar structure – conduct – performance pasar kondusif untuk

meningkatkan kesejahteraan konsumen maupun produsen.

Dalam praktek, pengembangan sistem logistik komoditas pangan

lebih rumit daripada komoditas lainnya. Hal ini disebabkan komoditas

pangan bersifat musiman, daya simpannya relatif rendah, dan cenderung

meruah (bulky) sehingga biaya pengangkutan dari produsen ke konsumen

menjadi lebih mahal. Untuk komoditas pangan yang sama, daya simpan

komoditas pangan di wilayah tropis juga cenderung lebih singkat daripada

di wilayah sub tropis karena iklim tropis lebih hangat dan lebih lembab

sehingga serangga maupun mikroba lebih banyak dan lebih cepat

berkembang. Kesemuanya itu menyebabkan biaya logistik per unit produk

pangan di negara yang terletak di wilayah tropika seperti halnya Indonesia

menjadi lebih mahal.

Page 104: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 96

Infrastruktur Pendukung

Berdasarkan pengalaman selama ini, salah satu kelemahan yang

paling umum di Indonesia dalam sistem kebijakan dan implementasinya

terletak pada kelemahan infrastruktur pendukung. Lemahnya atau

terbatasnya infrastruktur pendukung menyebabkan implementasi

kebijakan cenderung dilaksanakan secara parsial dan kurang

terkoordinasi, penegakan aturan tidak berjalan optimal, dan insentif tidak

efektif untuk mendorong motivasi pelaku (stakeholder) dalam

menjalankan fungsinya.

Infrastruktur pendukung mencakup infrastruktur fisik maupun non

fisik. Infrastruktur fisik mencakup infrastruktur yang mendukung

kelancaran sistem transportasi dan komunikasi, infrastruktur

pergudangan/penyimpanan, infrastruktur fisik yang dibutuhkan untuk

mendukung penciptaan sistem keamanan pangan, dan lain sebagainya.

Infrastruktur fisik mencakup petunjuk teknis pelaksanaan (eksekusi)

kebijakan di lapangan, kelembagaan/ organisasi untuk mendukung sistem

produksi, pemasaran, dan sebagainya.

Mengacu pada kondisi empiris, permasalahan mendasar yang

dihadapi dalam mengembangan infrastruktur pendukung yang baik tidak

terlepas dari beberapa faktor. Pertama, struktur produksi pangan yang

didominasi oleh ratusan ribu bahkan jutaan pelaku produksi dengan skala

yang umumnya sangat kecil, beragam, dan terpencar-pencar. Kedua,

persebaran kantong-kantong konsumen yang tidak merata. Lebih dari

60% penduduk di Indonesia berlokasi di Pulau Jawa, sedangkan sisanya

terpencar-pencar di berbagai pulau di Luar Pulau Jawa. Selain itu, pada

saat ini lebih dari 50% penduduk Indonesia adalah penduduk perkotaan

yang notabene bukan merupakan wilayah pertanian pangan sehingga

infrastruktur pendukung untuk menyalurkan produksi pangan dari

pedesaan ke perkotaan merupakan masalah tersendiri yang makin berat

Page 105: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 97

karena transportasi kurang lancar. Ketiga, struktur wilayah yang berupa

kepulauan yang mengakibatkan pembangunan sistem transportasi antar

wilayah menjadi lebih mahal.

Jika diringkaskan, masalah yang dihadapi dalam infrastruktur

pendukung implementasi kebijakan terletak pada kinerja konektivitas

antar wilayah yang masih rendah dan perkembangan antar sektor

perekonomian yang kurang terintegrasi. Hal tersebut menyebabkan aliran

barang dan jasa dari produsen ke konsumen menjadi tidak lancar dan

pada akhirnya menyebabkan margin pemasaran menjadi sangat tinggi

terutama untuk produk pangan yang dikonsumsi segar.

Page 106: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 98

BAB VI

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA PANGAN DI INDONESIA

Mengingat bahwa dampak negatif dari instabilitas harga pangan

terhadap perekonomian nasional sangat luas maka kebijakan stabilisasi

harga pangan telah dilakukan sejak Republik ini berdiri, bahkan sejak jaman

kolonial. Meskipun demikian, strategi dan instrumen kebijakannya mengalami

perubahan sesuai dengan sistem politik ekonomi yang diterapkan, sumber

utama instabilitas, dan dinamika lngkungan strategis. Secara umum, stabilitas

harga pangan di Indonesia masih berada dalam kisaran yang tidak merusak

sistem perekonomian makro, kecuali pada segmen-segmen waktu tertentu

yang terkait dengan instabilitas politik. Pembelajaran atas kebijakan harga

pangan pada periode-periode sebelumnya dapat memperkaya pemahaman

atas kebijakan harga pangan yang efektif. Meskipun demikian yang relevan

dengan situasi dan kondisi terkini tentu saja terbatas pada aspek-aspek

fundamental dan simpul-simpul kritis yang menyangkut sistem produksi,

pemasaran, dan pengaruh dinamika lingkungan strategis. Aspek-aspek teknis

dan kelembagaan yang sifatnya ad hoc kurang relevan karena situasi dan

kondisi serta masalah dan tantangan yang dihadapi berbeda. Oleh karena itu

evaluasi kebijakan harga pangan dalam kajian ini hanya akan

difokuskan pada simpul-simpul kritis yang dipandang relevan dengan situasi

dan kondisi saat ini dan jangka menengah ke depan. Kebijakan dan

implementasi kebijakan selalu melibatkan kelembagaan. Bahkan, kebijakan

itu sendiri pada dasarnya adalah bagian dari kelembagaan, karena dari sudut

pandang kelembagaan maka kebijakan itu sendiri adalah suatu “aturan

permainan” yang rancangannya dilakukan oleh lembaga yang mempunyai

legitimiasi untuk melakukannya (pemerintah).

Memperbandingkan kebijakan stabilisasi harga pangan antar periode

menunjukkan bahwa secara empiris kebijakan yang ditempuh pada periode

Page 107: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 99

sebelum reformasi lebih efektif daripada pasca reformasi. Penyebabnya

terkait dengan aspek produksi, konsumsi per kapita, regim perdagangan dan

nilai tukar mata uang, dan peran lembaga penyangga stok pangan nasional.

Pada sisi produksi, data menunjukkan bahwa stabilitas pertumbuhan

produksi pangan sebelum reformasi relatif lebih stabil. Hal ini terkait dengan:

(a) pertumbuhan luas panen masih selalu positif dan alih fungsi lahan

pertanian ke non pertanian relatif kecil, (b) pertumbuhan produktivitas stabil

karena infrastruktur fisik terutama irigasi sangat baik dan secara empiris

tingkat produktivitas masih berada pada fase awal – tengah, (c) kebijakan

harga pupuk dan harga dasar gabah kondusif, (d) dukungan kelembagaan

produksi seperti kelompok tani, perkumpulan petani pemakai air (P3A), dan

kinerja koperasi (Koperasi Unit Desa – KUD) cukup baik, dan (e) peranan

sektor pertanian dalam struktur kesempatan kerja dan pendapatan

masyarakat pedesaan masih dominan (di atas 40%).

Pada saat itu konsumsi beras per kapita juga masih berada pada

kisaran antara 101 – 120 Kg per tahun. Hal ini terkait dengan: (a) masih

rendahnya rata-rata pendapatan per kapita golongan menengah ke bawah

(yang sampai saat ini elastisitas permintaannya untuk komoditas pangan

pokok terhadap pendapatan masih positif), (b) diversifikasi konsumsi pangan

ke sumber karbohidrat berbahan baku pangan lokal cukup berkembang.

Terkait dengan pendapatan per kapita tersebut, konsumsi komoditas pangan

non beras seperti gula, minyak goreng, daging sapi, daging ayam dan telur

juga masih berada pada level yang tercukupi oleh produksi dalam negeri.

Bahkan konsumsi terigu per kapita juga masih rendah karena berbagai

makanan jadi substitusi beras masih banyak yang berbahan baku komoditas

pangan lokal.

Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada stabilitas harga

pangan adalah bahwa pasca reformasi integrasi pasar domestik dengan

pasar internasional makin kuat. Sebelum reformasi, rezim perdagangan

Page 108: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 100

Indonesia tidak seliberal sesudah reformasi. Rezim nilai tukar juga menganut

sistem peg, bukan sistem mengambang. Dengan didukung sistem politik

yang sentralistik dan tegas, rezim tersebut dapat dipertahankan sampai

seperempat abad. Kebijakan tersebut cukup ampuh untuk mendukung

stabilitas harga pangan namun tidak dapat dipertahankan karena

fundamental makro ekonomi nasional pada dasawarsa 90-an rapuh akibat

besarnya rasio hutang (debt ratio) dan surplus perdagangan yang makin

menurun seiring meningkatnya impor berbagai komoditas manufaktur

maupun barang modal.

Kemudian terjadilah perubahan yang dramatis. Dipicu oleh krisis

finansial, nilai tukar Rupiah terhadap US$ turun drastis sehingga beban

hutang menjadi makin berat. Bersamaan dengan itu, terjadi instabilitas politik

dan keamanan yang kemudian memicu timbulnya reformasi politik dan

ekonomi nasional. Berbagai perubahan yang cukup mendasar terjadi. Secara

umum, sejak reformasi rezim perdagangan yang dianut Indonesia cenderung

lebih liberal. Kontrol harga, terutama harga pangan pokok (beras, gula pasir,

minyak goreng, terigu) menjadi lebih longgar, terutama pada periode 1999 –

2004. Meskipun pada tahun-tahun berikutnya telah dilakukan koreksi atas

dampak negatif yang timbul akibat perubahan tersebut namun perilaku pasar

tidak sepenuhnya dapat dikendalikan pemerintah. Situasi dan kondisi

tersebut diperparah pula oleh kondisi harga energi di pasar internasional (dan

Indonesia telah menjadi net importir Bahan Bakar Minyak – BBM) yang

kurang stabil dan rezim nilai tukar yang diubah ke sistem mengambang.

Perubahan mendasar dalam regim perdagangan dan nilai tukar mata uang

tersebut secara teoritis lebih kondusif untuk mendukung sistem makro

ekonomi yang lebih sehat, namun secara empiris masih belum dapat

disimpulkan karena kinerja pasar domestik masih belum sepenuhnya dapat

memenuhi persyaratan untuk masuk ke pasar global.

Page 109: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 101

Sebelum reformasi, peran lembaga penyangga kebijakan pangan yaitu

Badan Urusan Logistik (BULOG) sangat efektif. Pengadaan gabah dan beras

(dari impor maupun dari pengadaan dalam negeri) sesuai dengan target.

Operasi pasar efektif karena adanya dukungan sistem informasi sentralistik

yang efektif. Di sisi lain, perilaku pasar pangan di dalam negeri dapat

dikontrol dengan baik karena kebijakan dan strategi pemerintah dalam

menjaga stabilitas politik dan keamanan efektif.

Bersamaan dengan reformasi, tuntutan untuk mengubah peran BULOG

cukup deras. Ada dua faktor yang mendasarinya. Pertama, faktor politik.

Persepsi umum pada saat itu adalah bahwa BULOG ditengarai sebagai salah

satu Badan Usaha Milik Pemerintah yang dijadikan tempat untuk memupuk

dana politik partai penguasa (bukti atas dugaan tersebut sampai saat ini

kabur). Dengan latar belakang seperti itu timbul tuntutan agar manajemen

BULOG lebih terbuka. Kedua, faktor finansial/ekonomi. Terkait pula dengan

rekomendasi IMF, peran Badan Usaha Milik Negara (termasuk BULOG)

dituntut untuk menjadi Perum sehingga fungsinya sebagai “agent of

development” dikurangi dan fungsinya sebagai “Firm” ditingkatkan. Argumen

untuk mengubah menjadi Perum memperoleh legitimasi yang cukup kuat

karena: (i) secara de facto anggaran pemerintah sangat terbatas, dan (ii)

adanya tuntutan untuk memberikan peran swasta yang lebih besar dalam

ruang bisnis di bidang pangan.

Seiring dengan perubahan mendasar tersebut, peran BULOG sebagai

penyangga stok pangan nasional untuk menjaga stabilitas harga pangan

justru turun. Selain jumlah komoditas yang ditangani makin terbatas,

kemampuannya untuk melakukan pengadaan stok pangan juga relatif

menurun.

Page 110: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 102

Simpul-simpul Kritis Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan: Analisis

Kelembagaan

Berbagai hasil kajian menunjukkan bahwa kendatipun stabilitas harga

pangan pokok pada saat ini relatif stabil namun masih cukup rawan. Fluktuasi

harga yang cukup tajam masih sering terjadi dan kini cenderung makin sulit

dipastikan polanya. Lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012

Tentang Pangan memang merupakan payung hukum untuk mengkondisikan

sistem pangan yang sesuai dengan visi dan misi bangsa ini. Sudah barang

tentu, pewujudannya merupakan perjalanan panjang yang memerlukan

komitmen politik dan ekonomi secara komprehensif, sistematis, dan konsisten

karena beberapa hal berikut.

Pertama, masalah yang dihadapi dalam sistem produksi makin

kompleks. Penyebabnya terkait dengan hal-hal berikut:

(a) Mengacu perkembangan yang terjadi hingga saat ini, selama

reformasi agraria tidak mengalami perubahan mendasar maka

struktur pertanian pangan Indonesia masih akan berada dalam

status quo yakni dominasi skala kecil dengan jumlah pelaku puluhan

juta, pengelolaannya tidak terkonsolidasi, dan lokasinya terpencar-

pencar. Seiring dengan meningkatnya kontribusi sektor non

pertanian dalam struktur kesempatan kerja dan pendapatan

nasional, peran relatif sub sektor pangan yang makin mengecil

berkelindan pula dengan fenomena terjadinya “aging farmer”.

(b) Meningkatnya risiko produksi pada usahatani tanaman pangan

akibat perubahan iklim. Berbagai studi telah menunjukkan bahwa

perubahan iklim nyata-nyata telah terjadi dan dampaknya terhadap

pertanian termasuk tanaman pangan adalah negatif dan sangat

nyata. Perubahan iklim menyebabkan risiko banjir maupun

kekeringan makin sering terjadi, lebih tajam, dan cenderung meluas.

Terkait dengan perubahan iklim, intensitas dan frekuensi El Nino

Page 111: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 103

akan makin sering terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa El

Nino menyebabkan pertumbuhan produksi padi turun sekitar 2.99%

dari rata-rata trend pertumbuhan normal (Sumaryanto et al, 2011).

(c) Kelembagaan sistem produksi yang lemah. Terkait dengan

penguasaan aset pertanian (lahan, ternak) sebagian besar petani

Indonesia yang skalanya sangat kecil, maka untuk mencukupi

kebutuhan hidupnya lebih dari 80% petani tanaman pangan

Indonesia tidak hanya menggantungkan nafkahnya dari usahatani.

Bahkan, lebih dari 30% rumah tangga petani tanaman pangan

gantungan nafkahnya tidak lagi dari usahataninya, tetapi dari

kegiatan sebagai buruh tani, buruh serabutan, pedagang kecil,

tukang ojek, dan berbagai jasa non pertanian lainnya.

(d) Integrasi cabang usahatani dengan industri pengolahan hasil

pertanian (agroindustri) yang lemah. Sampai saat ini, perkembangan

industri hasil pertanian belum mampu menjawab tantangan yang

dihadapi. Secara empiris, rantai pasok komoditas pangan masih

didominasi produk yang belum terolah, mutunya sangat beragam,

dan aliran pasokannya sangat fluktuatif. Upaya untuk meningkatkan

kinerja industri pengolahan dan sistem distribusinya tidak mudah

dilakukan karena kelembagaan yang kondusif untuk mendukung

integrasi produksi pertanian – industri pengolahan – distribusi

terkendala oleh biaya transaksi yang tinggi.

(e) Kebijakan yang tidak harmonis. Salah satu contoh paling konkrit

adalah kebijakan yang terkait dengan pengendalian alih fungsi lahan

pertanian. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, pertumbuhan

sektor non pertanian, dan urbanisasi (proses transformasi desa –

kota) kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan pemukiman,

prasarana transportasi, pengembangan kawasan industri, dan

sebagainya meningkat pesat. Dalam kondisi demikian itu karena

implementasi kebijakan tata ruang tidak efektif dan implementasi

Page 112: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 104

kebijakan ekonomi cenderung parsial maka kebijakan pengendalian

alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan lain menjadi tidak efektif.

Kedua, masalah yang dihadapi dalam sistem logistik. Sistem

logistik di Indonesia pada umumnya lemah karena unit-unit produksi

tidak terkonsolidasi. Pada sub sektor pangan upaya untuk

mengkonsolidasikan sistem pengelolaan terkendala oleh entitas

usahatani yang beragam, skalanya kecil-kecil, jumlah petaninya sangat

banyak, dan latar belakang sosial yang beragam.

Ketiga, masalah yang terkait dengan pengembangan kelembagaan

sistem pangan yang kurang solid, tidak fokus, dan cenderung parsial.

Pada saat ini Indonesia tengah menggodog kelembagaan pangan yang

diharapkan solid, fokus, dan komprehensif dalam rangka mendukung

terwujudnya ketahanan pangan sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Mengacu pada

Undang-undang tersebut, Pemerintah diberi amanat untuk membentuk

suatu Badan Pangan Nasional. Secara hierarkhis, lembaga tersebut

berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Namun sampai saat ini lembaga tersebut belum terbentuk.

Secara garis besar terdapat lima fungsi yang dimiliki lembaga

tersebut: (1) fungsi perumusan kebijakan, (2) pelaksanaan dan

supervisi, (3) pemantauan dan evaluasi, (4) pengelolaan data dan

informasi pangan, (5) pembinaan dan pengawasan. Badan ini akan

mengkoordinasikan aktivitas Badan Usaha Milik Negara dari produksi,

pengadaan, penyimpanan, distribusi, dan stabilisasi harga pangan

pokok. Luasnya cakupan aspek permasalahan yang akan ditangani oleh

lembaga ini berimplikasi bahwa untuk membentuknya agar dapat

melaksanakan fungsinya dengan optimal maka perlu dirancang dengan

seksama, komprehensif, dan melibatkan pemangku kepentingan

Page 113: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 105

(stakeholder) secara intensif. Berikut ini sejumlah analisis kritis yang

terkait dengan fungsi-fungsi tersebut di atas.

Fungsi Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan pangan harus bersifat holistik karena sistem

pangan terdiri dari unsur-unsur pada sub sistem produksi, distribusi, dan

konsumsi secara terintegrasi dan saling mempengaruhi (interdependent).

Dalam tataran teori, rancang bangun kebijakan yang holistik tersebut tidaklah

sulit; namun dalam tataran empiris sangat rumit. Hal ini merupakan

konsekuensi logis dari fakta bahwa pada tataran empiris kepentingan dari

setiap stakeholder tidaklah selalu dapat dipertemukan dalam arena yang

sinergis. Di sisi lain, jika fakta tersebut diabaikan (diasumsikan dapat

diabaikan) maka efeknya akan muncul pada tataran implementasi. Sebagai

contoh, masalah yang muncul pada implementasi kebijakan subsidi harga

pupuk. Kebijaka pemerinta menyebutkan bahwa pupuk bersubsidi hanya

diarahkan untuk usahatani tanaman pangan (terutama padi), sedangkan

untuk usahatani tanaman perkebunan tidak disubsidi. Untuk itu, sistem

distribusi pupuk bersubsidi harus dilakukan dengan sistem tertutup melalui

Kelompok Tani dengan dukungan dokumen RDKK (Rencana Definitif

Kebutuhan Kelompok). Secara umum kebijakan ini dapat dieksekusi, namun

bukanlah berita baru bahwa sebagian dari pupuk bersubsidi tersebut

mengalir pula ke sektor non sasaran karena dperbedaan harga yang sangat

significant telah menciptakan insentif tersendiri bagi perdagangan gelap.

Contoh lain adalah yang terkait dengan distribusi beras untuk rakyat miskin

(RASKIN). Secara teori, rumah tangga kelompok miskin dapat dibedakan

dengan yang tidak miskin. Metode delineasi juga dapat dirumuskan dengan

memanfaatkan sejumlah indikator yang relevan dan terukur. Namun apa

yang terjadi? Dalam tataran empiris tidaklah mudah untuk membedakan

rumah tangga “miskin” dengan “hampir miskin”. Terdapat cukup banyak kritik

atas keterbatasan indikator yang relevan untuk melakukan delineasi. Selain

Page 114: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 106

terkait dengan “time lag”, persoalan yang kadang-kadang muncul juga terkait

dengan kesesuaian sejumlah indikator dengan situasi masyarakat yang

kadang-kadang bersifat local specific. Selebihnya, implikasi dari paradigma

pemberian bantuan kepada penduduk miskin seperti yang dirancang awal itu

di banyak tempat justru menggerogoti kohesi sosial dari jaring pengaman

sosial yang semula telah terbentuk dalam masyarakat lokal. Secara tidak

disengaja, di beberapa tempat pemberian bantuan yang terfokus pada

kelompok tertentu (rumah tangga yang terkategorikan sebagai rumah tangga

miskin) menyebabkan terbelahnya rasa setia kawan antara penerima

bantuan dengan rumah tangga non penerima bantuan yang dalam ukuran

setempat mereka persepsikan layak menerima bantuan. Salah satu solusi

yang kemudian dilakukan oleh sebagian desa penerima bantuan adalah

“dibagi rata” ke semua rumah tangga yang menurut ukuran setempat

dipandang tidak benar-benar kaya.

Pembelajaran dari kasus-kasus di atas adalah bahwa dalam perumusan

kebijakan, eksistensi kelembagaan yang berlaku dalam masyarakat yang

seringkali beragam itu hendaknya diperhitungkan dengan seksama dalam

perumusan kebijakan Ostrom (2005). Pengabaian substansi permasalahan

tersebut bukan hanya mengakibatkan kebijakan tidak efektif, tetapi dapat

mendorong terbentuknya sikap masyarakat yang apatis atau bahkan

melecehkan aturan main yang dibentuk jika pengabaian tersebut dilakukan

berulang kali.

Mengingat pangan pokok merupakan komoditas strategis maka

kecermatan dalam perumusan kebijakan merupakan kewajiban yang tak

dapat ditawar-tawar. Perumusan kebijakan pangan harus didasarkan atas

pemahaman pada fenomena empiris secara akurat yang meliputi aspek-

aspek produksi, distribusi, konsumsi yang dimensinya tidak hanya yang dapat

diukur secara kuantitatif dari sudut pandang ekonomi semata, tetapi juga

Page 115: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 107

berdasarkan kajian mendalam aspek kualitatif pada dimensi sosial

budaya/kelembagaan.

Prinsip berikutnya yang harus dipegang adalah bahwa kebijakan yang

terlampau banyak dan sering berubah menyebabkan biaya sosial

eksekusinya mahal dan tidak efektif. Untuk itu, harus dilakukan pembedaan

yang jelas antara diskresi dan kebijakan. Suatu kebijakan hendaknya

mempunyai time frame yang jelas dan rasional untuk diberlakukan di

lapangan. Model-model kebijakan yang dihasilkan dari pendekatan deduktif

teoritis tanpa dilandasi analisis atas data dan informasi yang dapat

menggambarkan kondisi obyektif di lapangan seyogyanya ditunda

peluncurannya sampai ada konfirmasi empiris berbasis data dan informasi

lapangan yang representatif.

Fungsi Pelaksanaan dan Supervisi

Perlu digaris bawahi bahwa fungsi ini sangat sensitif. Selama ini fungsi

pelaksanaan dan supervisi dalam kebijakan pangan pokok nasional telah

dilakukan oleh sejumlah lembaga di Kementerian Koordinator Perekonomian,

Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan,

dan Badan Urusan Logistik. Bahkan berbagai kementerian lain juga dilibatkan

(Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian

Kelautan dan Perikanan, dan sebagainya).

Pelaksanaan dan supervisi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga

tersebut terkait dengan tugas fungsi kementerian yang bersangkutan yang

cakupannya lebih luas. Sebagai contoh, fungsi pelaksanaan dan supervisi

dalam kebijakan dan program peningkatan produksi pangan; di Kementerian

Pertanian merupakan tugas dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangan yang

didukung oleh Direktorat-Direktorat Jenderal terkait lainnya. Untuk

kepentingan itu berbagai lembaga formal di lingkungan Direktorat Jenderal

telah dibentuk dan pengorganisasiannya juga telah disahkan berdasarkan

Page 116: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 108

Undang-undang dan berkoordinasi dengan Kementerian Aparatur Negara.

Oleh karena itu, fungsi pelaksanaan dan supervisi yang akan dibebankan

kepada Badan Pangan Nasional ini harus dapat didefinisikan secara jelas

dengan semangat menghindari adanya tumpang tindih dengan lembaga-

lembaga formal yang telah ada. Hal ini terutama pada konteks “fungsi

pelaksanaan”. Batas yurisdiksi, aturan representasi, dan aspek-aspek yang

berkenaan dengan “property right” harus dapat didefinisikan secara jelas dan

operasional.

Fungsi Pemantauan dan Evaluasi

Seperti halnya pada fungsi Pelaksanaan dan Supervisi, fungsi

Pemantauan dan Evaluasi juga harus jelas cakupannya dan levelnya.

Penghindaran tumpang tindih perlu dilakukan semaksimal mungkin agar

koordinasi dengan pihak-pihak terkait efektif.

Fungsi Pengelolaan Data dan Informasi Pangan

Diantara lima fungsi pokok Badan Pangan Nasional, fungsi pengelolaan

data dan informasi pangan mungkin merupakan fungsi yang paling mudah

dirumuskan dan dirasakan urgensinya. Hal ini terkait dengan fakta bahwa

sampai saat ini pengelolaan data dan informasi pangan di negeri ini

cenderung dilakukan secara sektoral oleh lembaga-lembaga yang

bersangkutan. Koordinasi lazimnya dilakukan pada saat akan merumuskan

kebijakan, dan “kesepakatan” merupakan istilah yang seringkali harus

dipergunakan dalam memutuskan data yang akan diumumkan ke publik

karena hasil pendataan yang dilakukan oleh lembaga yang berbeda

menghasilkan data yang juga berbeda.

Salah satu fungsi penting dari lembaga ini dalam fungsi pengelolaan

data dan informasi pangan adalah dalam rangka menjembatani kesenjangan

data antara produksi dan konsumsi yang selama ini menjadi topik perdebatan

di kalangan akademisi yang tidak berujung. Sebagian pakar berpendapat

Page 117: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 109

bahwa data produksi “over estimate” sedangkan pakar lainnya berpendapat

data tersebut “akurat”. Pada akhirnya yang dipergunakan untuk menalar

adalah “make sense” ataukah tidak; karena keduanya tidaklah mempunyai

data yang lengkap untuk membuktikan klaimnya.

Fungsi Pembinaan dan Pengawasan.

Fungsi ini tidak mudah diterjemahkan. Secara umum, fugsi pembinaan

dan pengawasan dalam pelaksanaan program-program pembangunan telah

dilaksanakan oleh Inspektorat Jenderal dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Oleh karena itu definisi mengenai fungsi Pembinaan dan Pengawasan ini

harus diperjelas: internal Badan Pangan Nasional ataukah mencakup pula

lembaga-lembaga formal terkait lainnya?

Tabel 6.1. Lembaga/Institusi Yang Terkait Dalam Kebijakan Harga

Pangan di Indonesia

No Substansi/Aspek Lembaga yang terlibat Usulan

1 Fungsi perumusan kebijakan

Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan & Perikanan

Dalam satu kementerian antar fungsi pelaksana dan pemantauan harus terpisah supaya hasil pemantauan dan evaluasi lebih accountable.

2 Fungsi pelaksanaan dan supervisi

Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan & Perikanan, Bulog

3 Fungsi pemantauan dan evaluasi

Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan & Perikanan Kemenko-Perekonomian

4 Fungsi pengelolaan data dan informasi pangan

Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan & Perikanan,Bulog, BPS

5 Fungsi pembinaan dan pengawasan

KPPU, Inspektorat Jenderal & Badan Pemeriksa Keuangan

Page 118: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 110

Kelembagaan yang dimaksud dalam kajian ini adalah dari aspek aturan

main. Aturan main yang sebaiknya dilakukan dalam pelaksanaan kebijaan

harga pangan. Sebelum melihat pada fokusnya yaitu aturan main maka

sebelumnya dilakukan pemetaan terlebih dahulu terhadap lembaga/institusi

yang saat ini berperan dalam kebijakan harga pangan, sebagaimana

disajikan pada Tabel 6.1

Pembelajaran dari literature review di beberapa Negara dan melakukan

banckmarking di Thailand mempunyai peran di dalam membuat pemetaan

institusi yang ada di Indonesia yang mempunyai peran dalam menjaga

kestabilan pasokan dan harga pangan. Berdasarkan pemetaan Tabel diatas,

maka dapat diusulkan lembag yang mendukung pangan yaitu lembaga yang

mempunyai fungsi yaitu (i) perumusan kebijakan, (ii) pelaksanaan dan

supervisi, (iii) pemantauan dan evaluasi, (iv) pengelolaan data dan informasi

pangan serta (v) pembinaan dan pengawasan.

Page 119: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 111

BAB VII

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

6.1. Kesimpulan

a. Dari 10 komoditas bahan kebutuhan pokok, kajian ini difokuskan

pada 6 komoditas yaitu beras, gula, daging ayam, cabai merah,

cabai rawit, dan minyak goreng.

b. Dalam sepuluh tahun terakhir harga eceran keenam komoditas

tersebut menunjukkan trend meningkat dan kurang stabil. Kebijakan

dan implementasi stabilisasi yang dilakukan selama ini belum efektif

mencapai sasarannya. Dari 6 komoditas yang dikaji, permasalahan

stabilitas harga ditingkat ecerannya relatif kecil adalah gula dan

minyak goreng

c. Mengacu pada karakteristik produksi dan struktur pasar komoditas

pangan pokok di dalam negeri, serta kebijakan pada masing-masing

komoditas, disimpulkan sebagai berikut:

1) Penetapan kebijakan harga pembelian pemerintah

Kebijakan harga ini dapat dilakukan pada komoditi yang strategis,

baik dilihat dari andil inflasi, pangsa pengelauran masyarakat

serta fluktuasi harga. Atas dasar tersebut komoditi yang tetap

menerapkan kebijakan pembelian pemerintah yaitu Beras dan

gula.

2) Penetapan kebijakan harga eceran tertinggi

Untuk menjaga stabilitas harga di tingkat konsumen maka perlu

dilakukan penetapan harga eceran tertinggi. Kebijakan ini perlu

disertai dengan operasi pasar. Komoditi yang mungkin dapat

diterapkan kebijakan harga ini yaitu beras, gula, dan minyak

goreng.

3) Harga acuan

Page 120: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 112

Komoditi yang tetap diterapkan harga acuan yaitu bawang

merah, cabai merah sebagai acuan impor. Untuk komoditi

daging ayam dan telur ayam harga acuan dapat diterapkan

dengan tujuan untuk menjaga harga di tingkat peternak.

4) Kebijakan harga khusus dapat dilakukan pada semua komoditi

bahan kebutuhan pokok, namun penetapan tidak sepanjang

tahun tetapi hanya pada hari besar keagamaan nasional (HKBN).

d. Pembelajaran dari implementasi kebijakan harga yang selama ini

terjadi menunjukkan bahwa kurangefektifnya kebijakan tersebut

disebabkan oleh penegakan aturan (Law enforcement) yang rendah.

Hal ini terkait dengan belum efektifnya monitoring fenomena spekulasi

di bidang perdagangan pangan, kurangnya pendataan badan-badan

usaha yang bergerak di bidang perdagangan serta sistem

pengadministrasian yang belum efektif.

6.2. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan kesimpulan kebijakan harga pada komoditi yang

menjadi fokus kajian, beberapa hal yang dapat dijadikan rekomendasi

kebijakan harga yaitu:

a. Kemungkinan implementasi kebijakan harga pada komoditi pangan

adalah sebagai berikut:

1) Kebijakan harga pembelian pemerintah

Pelaksanakan kebijakan ini perlu diikuti dengan adanya perbaikan

kinerja produksi, melalui:

(i) peningkatan luas panen & produktivitas

(ii) pengembangan sentra-sentra produksi di luar Jawa

(iii) minimalisasi resiko usaha tani padi

(iv) mengefektifkan kebijakan HPP & subsidi sarana produksi

dengan cara:

Page 121: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 113

- Penetapan HPP dilakukan setiap awal musim tanam I dan

musim tanam II

- Besaran harga dikaji kemungkinan rayonisasi yang didasarkan

atas perbedaan varietas

- Melakukan penetapan HPP multikualitas (HPP gabah)

- Lembaga yang terlibat dalam penentuan HPP: Kemenko

perekonomian, Keuangan, Kemendag, Kementan dan Bulog

serta (jika sudah dibentuk) Badan Pangan Nasional

- Lembaga yang mengeksekusi yaitu kementerian teknis

(Kementan, Kemendag dan Bulog)

2) Kebijakan Harga Eceran Tertinggi

Kebijakan ini akan berjalan efektif, apabila:

(i) Memperbaiki Supply Chain Management (SCM), contoh pada

komoditi beras, dengan cara mengefektifkan peran gabungan

kelompok tani

(ii) Meningkatkan kemampuan Bulog dalam memupuk stok

pemerintah melalui pengadaan dalam negeri. Dalam kondisi

produksi dalam negeri tidak mencapai target dan efektivitas

HPP rendah maka kemungkinan untuk impor perlu dibuka.

(iii) Meningkatkan efektivitas operasi pasar dengan cara :

- Mekanisme penentuan waktu operasi pasar agar lebih

adaptif dan antisipatif terhadap situasi gejolak harga di pasar.

- Unsur pendukung yang diperlukan perbaikan kinerja sistem

monitoring harga.

- Penyempurnaan tepat jumlah dan tepat tempat

3) Kebijakan Harga Acuan

Pelaksanaan kebijakan harga acuan menjadi efektif bilamana:

(i) Penetapan harga telah mempertimbangkan harga ditingkat

produsen (struktur biaya produksi) dan harga ditingkat

konsumen.

Page 122: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 114

(ii) Untuk melindungi konsumen, dalam kondisi khusus dimana

terjadi kekurangan pasokan yang ekstrim dimungkinkan

melakukan impor dengan mempertimbangkan tingkat harga

acuan sebagai indikatornya.

(iii) Perbaikan sistem monitoring harga dan pendayagunaannya

untuk pengawasan pelaksanaan kebijakan penetapan harga

tersebut.

4) Kebijakan Harga Khusus

Pelaksanaan kebijakan harga khusus dapat dilakukan melalui:

(i) Penetapan harga dilakukan pada tingkat pasar ritel modern

(ii) Penetapan harga dilakukan per wilayah berdasarkan masukan

dari Pemerintah Daerah sehingga lebih tepat sasaran.

(iii) Komoditi yang diatur maupun kebijakan harga yang diterapkan

perlu diumumkan kepada masyarakat luas. Hal ini dilakukan

agar kebijakan yang ditetapkan lebih transparan dan

mengurangi tindakan spekulasi dari pelaku pasar. Bentuk

sosialisasi tersebut dapat dilakukan melalui media seperti buku,

leaflet, televisi, radio atau internet

(iv) Kebijakan harga perlu didukung oleh mekanisme Controlling

dan Monitoring:

- Mekanisme controlling dapat dilakukan oleh (i) masyarakat

luas sehingga jika terjadi pelanggaran, masyarakat dapat

melakukan aduan melalui lembaga yang sudah ada, seperti

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), (ii) Dinas

pemerintah terkait dengan melakukan kontrol ke pasar secara

berkala serta (iii) mengefektifkan peran Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) yang mana selama ini perannya belum

pada barang kebutuhan pokok.

Page 123: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 115

- Mekanisme monitoring dapat dilakukan oleh pemerintah pusat

dan pemerintah daerah. Monitoring tidakhanya dilakukan

pada harga tetapi juga stok. Monitoring dapat dilakukan

terhadap harga dan stok. Pelaksanaan monitoring di daerah

dapat dilakukan melalui dinas pemerintah setempat dan

berkoordinasi dengan tim pengendalian inflasi daerah (TPID).

b. Pembelajaran dari implementasi kebijakan harga yang selama ini

terjadi dimana masih lemahnya dalam hal penegakan aturan, maka

upaya yang dapat ditempuh adalah:

1) Monitoring kondisi spekulasi di bidang perdagangan pangan

2) Memperbaiki pendataan badan-badan usaha yang bergerak di

bidang perdagangan pangan, melalui:

- Merumuskan konsep tentang cakupan badan usaha yang perlu

didata

- Menyempurnakan mekanisme pendataan

- Meningkatkan kapasitas sumberdaya pendataan

3) Meningkatkan pendayagunaan hasil pendataan dan monitoring

tersebut diatas dalam mekanisme pengawasan pelaksanaan

aturan

Page 124: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 116

DAFTAR PUSTAKA

Besanko, D dan Ronald. RBraeutigam. (2011). Macroeconomics. 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc.

Berry, A. and W. Cline. (1979). Agrarian Structure and Productivity in Developing Countries. Baltimore and London: John Hopkins University Press.

Binswanger, H. P. and M. R. Rosenzweig. (1986). Behavioral and Material Determinants of Production Relations in Agriculture. The Journal of Development Studies 22(3): 503 - 539.

Boussard. (1996). When risk generates chaos. Journal of Economic Behavior and Organization 29, 433-446

Boussard J.M., Gerard F., Piketty M.G., Ayouz M. and Voituriez T. (2006). Endogenous risk and long run effects of liberalization in a global analysis framework. Economic Modelling, 23(3), 457-475.

Brahmbhatt, Milan & Christiaensen, Luc. (2008). “Rising Food Price in East Asia: Challenges and Policy Options.

Byerlee, D., Jayne, T. S. and Myers, R. (2005). Managing Food Price Risks and Instability in an Environment of Market Liberalization. World Bank, Washington, DC.

Central Bank of Malaysia. (2011). Economic Development in 2010. Annual Report 2010

Chavas, J. P. (2001). Structural Change in Agricultural Produstion: Economics, Technology and Policy. In Gardner, B. L. and G. C. Rausser (Eds), Handbook in Agricultural Economics. Amsterdam: Elsevier.

Cororaton, Caesar B. (2006). Philippine Rice and Rural Poverty: An Impact Analysis of Market Reform Using CGE. International Food Policy Research Institute (IFRI)

Galtier, F. (2009). How to Manage Food Price Instability in Developing Countries. CIRAD, UMR MOISA, Montpellier F-34000. France

Galtier,F and Vindel, B. (2013). Managing Food Price Instability In Developing Countries. A Critical Analysis of Strategies and Instruments . Cirad. France.

Fan. S.. C. Chan-Kang. (2003). Is Small Beautiful? Farm Size. Productivity and Poverty in Asian Agriculture. Paper to be presented at the 2003 International Association of Agricultural Economists. Durban.

Page 125: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 117

Hall, B. F. and P. Le Veen. (1978). Farm Size and Economic Efficiency: The Case of California. American Journal of Agricultural Economics 60(4): 589 - 600.

Hayami, Y. (1998). The Peasant in Economic Modernization. In Eicher, C. K. and J.M. Staatz (Eds). International Agricultural Development. Baltimore and London: John Hopkins University Press.

Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström. (2004). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki.

Ilham, Nyak. (2006). Efektivitas Kebijakan Harga Pangan Terhadap Ketahanan Pangan dan Dampaknya Pada Stabilitas Ekonomi Makro. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Islam, Nurul & Thomas, Saji. (1996). “Foodgrain Price Stabilization in Developing Countries, “Food Policy Review 3, International Food Policy Research Institute (IFRI).

Kumbhakar, S. C. (1993). Short run Returns to Scale, Farm-Size and Economic Efficiency. The Review of Economics and Statistics 75 (2): 336 - 341.

Narayanan, S. and A. Gulati. (2002). Globalization and the smallholders: a review of issues, approaches and implications. Markets and Structural Studies Division 50, International Food Policy Research Institute (IFPRI). Washinton, D.C: IFPRI.

Ngare, L. , F. Simtowe and J. Massingue. (2014). Analysis o Price Volatility and Implications for Price Stabilization Policies in Mozambique. European Journal of Business and Management Vol.6 No 22, 2014. Page 160-173

Pasaribu, B. (2009). Peran Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Menunjang Tata Ruang dan Kedaulatan Pangan. Bahan Presentasi yang disampaikan pada Lokakarya Pembaruan Agraria Pertanian Nasional pada 3 September 2009 di Jakarta.

PSEKP. (2008). Konsorsium Penelitian Karakteristik Sosial Ekonomi Petani pada Berbagai tipe Agroekosistem. Laporan Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.

Ostrom, Elinor. (2005). Understanding Institutional Diversity. Princeton, NJ; Princeton University Press.

Page 126: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 118

Ostrom, Elinor. (2010). Beyond Markets and States: Polycentric Government of Complex Economic Systems. American Economic Review 100 (June 2010): 1 – 33.

Ostrom, Elinor. (2011). Background on the Institutional Analysis and Development Framework. The Policy Studies Journal, Vol. 39, No. 1, 2011: 7 – 27.

Sawit, M. H. (2007). Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi Dalam Putaran Doha WTO. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sawit, M. H. (2008). Perubahan Perdagangan Pangan Global dan Putaran Doha WTO: Implikasi Buat Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 3, No. 6, September 2008: 199 - 221.

Sen, A. (1962). An Aspect of Indian Agriculture. Economic Weekly February: 243 - 246.

Shariff, N., Ahmad dan Rosnelim Yusoff. (2013). Enhancing Consumer Protection Via Price Control in Malaysia. 4th International Conference on Business and Economic Research. Proceeding

Sudaryanto, T., and Sumaryanto. (2008). Changing Household Income in Rural Indonesia: 1995 - 2007. Paper presented at the 6th Asian Association of Agricultural Economist International Conference: Asian Economy Renaissance: What is in It for Agriculture?. Manila, Philipinnes, 28 - 20 August, 2008.

Sudaryanto, T., S.H. Susilowati, and Sumaryanto. (2009). Increasing Trend of Small Farms in Indonesia: Causes and Consequences. Paper presented at the 111th EAAE - IAAE Seminar " Small Farms: Persistence or Declined?". University of Kent, Canterbury, UK, 25 - 26 June, 2009.

Sugiyono. (2008). Memahami Penelitian Kualitatif. CV ALFABETA. Bandung: hlm. 30

Sukirno, S. 2008. Mikro Ekonomi Teori Pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Thuraisingham, Indrani. (2010). Price Control and Monitoring in Developing Countries. Consumers International Regional Officer for Asia Pacific and the Middle East.

Tomek and Robinson. (1990). Agricultural Product Prices. Second Edition Ithaca. Cornell University Press.

Torero, M. and A. Gulati. (2004). Conecting Small Holder to Markets: Role of Infrastrucure and Institutions. Policy Brief, International Food Policy Reserach Institute (IFPR). Washington, DC.

Page 127: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 119

von Braun, J. (2004). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. In Huvio, T., J. Kola, and T. Lundström (Eds.). Small-Scale Farmers in Liberalised Trade Environment. Proceeding of the Seminar on October 2004 in Haiko Finland. Publication No. 38 Agricultural Policy, Department of Economics and Management, University of Helsinki, Helsinki.

Yotopoulos, P. A. and L. J. Lau. (1973). A test for relatif economic efficisncy: Some Further Results. The American Economic Review 63(1): 214 - 223

Page 128: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 120

LAMPIRAN

Page 129: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 121

Lampiran 1. Kebijakan Harga Komoditi Pangan (Beras, Gula, Minyak

Goreng, Daging Ayam, Cabai Merah dan Bawang Merah)

Berasa. Inpres No 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan

Gabah/Beras dan Penyaluran beras oleh Pemerintah

Kebijakan harga yaitu penentuan harga pembelian

pemerintah ( HPP)

b. Permendag No 04/M-DAG/PER/1/2012 - untuk pengendalian gejolak harga melalui operasi

tentang penggunaan cadangan beras pemerintah pasar, jika harga masih bergejolak menteri

(CBP) untuk stabilisasi harga menetapkan kebijakan lain

- Kementerian Perdagangan dan Bulog

Komoditi Peraturan Keterangan

Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No

527/2004 tentang ketentuan impor gula - Penentuan harga gula kristal

putih (GKP) di tingkat petani

didasarkan hasil rapat

koordinasi antar

instansi/lembaga & asosiasi

terkait.

'- impor GKP hanya dapat

dillakukan oleh impor gula yang

terdaftar memiliki IT

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18/M-

DAG/PER/4/2007 (Perubahan IV)

Penetapan HPP berdasarkan

Regulasi Rp 4.900/kg

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19/M-

DAG/PER/5/2008 (Perubahan V)

Penetapan HPP berdasarkan

Regulasi Rp 5.000/kg

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11/M-

DAG/PER/5/2011

Penetapan HPP berdasarkan

Regulasi Rp 7.000/kg

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 28/M-

DAG/PER/5/2012

Penetapan HPP berdasarkan

Regulasi Rp 8.100/kg

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-

DAG/PER/6/2013

Penetapan HPP berdasarkan

Regulasi Rp 8.100/kg

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 25/M-

DAG/PER/5/2014

Penetapan HPP berdasarkan

Regulasi Rp 8.250/kg

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-

DAG/PER/8/2014

Penetapan HPP berdasarkan

Regulasi Rp 8.500/kg

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 35/M-

DAG/PER/5/2015

Penetapan HPP berdasarkan

Regulasi Rp 8.900/kg

Gula

Komoditi Peraturan Keterangan

Minyak Goreng Belum ada

- Relatif fluktuatif dan cenderung

naik, terutama minyak goreng

curah

Page 130: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 122

Lampiran 1. Lanjutan

Komoditi Peraturan Keterangan

Daging Ayam Belum ada - Harga berfluktuasi terutama menjelang

puasa dan lebaran

- Harga ditingkat peternak relatif kecil

dibandingkan biaya produksinya

Bawang Merah - Permendag No 47/M-DAG/PER/8/2013 jo - Penetapan harga referensi (berlaku sejak

Permendag No 16/M-DAG/PER/4/2013 3 Oktober 2013) sebagai acuan pengelolaan

Cabai Merah - Keputusan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri (PDN) impor

Kep Dirjen PDN No 118/PDN/KEP 10/2013 - Harga ditingkat eceran cukup fluktuatif dan

cenderung naik menjelang dan selama hari

besar keagamaan nasional (Terutama

Ramadhan & Idul Fitri)

Page 131: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 123

Lampiran 2. Matrik Hasil Diskusi Di Daerah

Surabaya

No Indikator BI Akademisi Pemerintah Daerah

1 Pandangan tentang Pelaksanaan Kebijakan Harga Pangan

a. Kebijakan harga Dasar menyebabkan harga menjadi lebih tinggi (contoh penetapan HPP).

b. Perlu lembaga pengawas setelah kebijakan harga di tetapkan.

Kontrak harga dapat dilakukan selama ada intervensi dari pemerintah

Kontrol harga dapat dilakukan jika ada pengawasan serta aturan yang jelas

2 Syarat Penetapan Kebijakan harga Pangan

Dapat dilihat dari: a. Komoditi

(dpt/tidak disimpan)

b. Institusi/lembaga pengawas

Penetapan kebijakan harga disertai dengan intervensi pemerintah

Perlu ada lembaga intervensi semacam Bulog yang dapat mengontrol dan mengawasi dilapangan, termasuk di daerah

3 Mekanisme Pelaksanaan yang diusulkan

Memperkuat koordinasi antar instansi dan wilayah yang surplus dengan wilayah defisit

a. Control harga sebaiknya dilaksana secara sentralisasi

b. Butuh dukungan dana yang memadai

Perlu digalakkan kembali semacam sistem informasi perdagangan antar pulau untuk mengetahui informasi komoditi (pasokan, stock dan harga) dalam mendukung kebijakan harga pangan

3 Komoditi yang diusulkan

Beras, gula, kedelai dan daging ayam

Beras, gula, kedelai dan jagung

Beras, gula, kedelai dan daging ayam, cabai

4 Kelembagaan a. Koordinasi harus a. Ada institusi dan a. Sanksi hukum

Page 132: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 124

Pendukung kuat b. Pendataan yang

akurat c. Institusi yang

berwenang

aturan b. Aturan harus

melekat pada satu institusi

c. Sanksi hukum

dan aturan yang melekat pada satu institusi

5 Perangkat Regulasi yang diperlukan dalam implementasi kebijakan harga pangan (HD & HET)

Perlu ada aturan yang lebih implementatif dari UU pangan dan UU perdagangan. Meski sudah ada Perpres No 71/2015 tentang penetapan bahan kebutuhan pokok dan barang penting namun pelaksanaannya masih belum implementatif.

a. Institusi b. Aturan main

sehingga ada sanksi hukum

Perlu suatu aturan seperti sistem informasi perdagangan antar pulau sehingga dapat informasi mengenai komoditi

Sumber: Hasil Diskusi di Daerah

Page 133: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 125

Lampiran 2. Lanjutan.

Yogyakarta

No Indikator BI Akademisi Pemerintah Daerah

1 Pandangan tentang Pelaksanaan Kebijakan Harga Pangan(HD & HET)

Diperlukan kebijakan pemerintah berupa instrumen. Kebijakan tidak hanya menetapkan besaran harga namun perlu juga diatur dengan jelas bagaimana implementasi serta pengawasannya di daerah

Kebijakan pangan di Indonesia perlu fokus pada peningkatan produksi dan menjaga stabilitas harga.

Perlu diketahui profil komoditinya terlebih dahulu. Pemerintah pusat menyusun aturan atau pedoman yang dijadikan sebagai panduan bagi pemerintah daerah untuk menetukan harga eceran tertinggi dan terendah

2 Syarat Penetapan Kebijakan harga Pangan (HET dan HD)

a. Perlu ada koordinasi pemerintah pusat dan daerah.

b. Perlu koordinasi antara wilayah sentra produksi dan konsumsi.

Dapat terlaksana jika ada kebijakan pendukung lain seperti buffer stock dan resi gudang

Perlu penentuan yang berbeda tergantung pada wilayah serta perlu cukup dana untuk menjaga stabilitas harga

3 Mekanisme Pelaksanaan yang diusulkan

Perlu adanya kontrol sehingga kebijakan berjalan lebih efektif

Perlu dukungan

kuat dari asosiasi

seperti pada produk

farmasi dan rokok.

3 Komoditi yang diusulkan

cabe merah, beras, bawang, daging ayam, dan telur ayam

cabe merah, beras, bawang, daging ayam, dan telur ayam

beras, gula, minyak goreng

4 Kelembagaan Pendukung

Membangun kelembagaan pangan yang dapat berperan menjaga stabiitas harga

5 Perangkat Regulasi Road Map Operasi Pasar,

Page 134: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 126

yang diperlukan dalam implementasi kebijakan harga pangan (HD & HET)

Pengendalian harga

dengan Bulog

sebagai buffer

stock, kebijakan

fiskal melalui

penyesuaian tariff

secara selektif,

kebijakan

pengaturan waktu

impor bahan

pangan pokok,

kebijakan efisiensi

biaya distribusi dan

logistic, dan

kebijakan insentif

bagi produsen

bahan pangan

pokok.

Page 135: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 127

Lampiran 2. Lanjutan.

Sumatera Barat

No Indikator BI Akademisi Pemerintah Daerah

1 Pandangan tentang Pelaksanaan Kebijakan Harga Pangan(HD & HET)

Diperlukan instrument kebijakan yang aplikatif. Kebijakan tidak hanya mengenai besaran harga yang ditetapkan namun perlu juga diatur dengan jelas bagaimana implementasi serta pengawasannya di daerah

Kebijakan pangan di Indonesia perlu fokus pada peningkatan produksi dan menjaga stabilitas harga.

Pemerintah daerah sangat mendukung rencana pemerintah pusat dalam menerapkan kebijakan harga bahan pokok mengingat tingkat inflasi di provinsi Sumbar cukup tinggi

2 Syarat Penetapan Kebijakan harga Pangan (HET dan HD)

Informasi dan data produksi dan konsumsi harus jelas. Data ekspor-impor antar provinsi juga penting .

Dapat terlaksana jika ada kebijakan pendukung lain seperti buffer stock dan resi gudang

Perlu penentuan yang berbeda tergantung pada wilayah.

3 Mekanisme Pelaksanaan yang diusulkan

Perlu adanya kontrol sehingga kebijakan berjalan lebih efektif

Perlu koordinasi dan pembagian peran yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerapan HET dan HD. Pemerintah harus memiliki peran yang lebih besar karena bersinggungan langsung

3 Komoditi yang diusulkan

Beras, cabe merah, bawang merah, daging ayam, telur ayam, tongkol

Beras, cabe merah, daging ayam, telur ayam

Beras, cabe, daging ayam, telur ayam

Page 136: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 128

4 Kelembagaan Pendukung

a. Gudang Inflasi memiliki peran yang serupa dengan pasar inpres

b. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis yang berfungsi

a. Perlu adanya pusat informasi yang berfungsi meng-asimetri-kan informasi antara produsen dan konsumen.

b. Perlu dikaji tentang peran buffer stock dan resi gudang sebagai sarana pendukung kebijakan

5 Perangkat Regulasi yang diperlukan dalam implementasi kebijakan harga pangan (HD & HET)

Road Map Pengendalian harga

Perlu kejelasan peran Pemda dan dalam pelaksanaannya didukung oleh Perda.

Page 137: LAPORAN AKHIR - bppp.kemendag.go.idbppp.kemendag.go.id/media_content/2017/08/Kajian_Kebijakan_Harga... · cabe dan bawang dengan memperbaiki manajemen produksi dan masa pasca panen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 129