Lapor Crp

10
PENETAPAN KADAR CRP SECARA KUALITATIF Nama : Eko Adiguna NIM : B1J012208 Rombongan : I Kelompok : 5 Asisten : Ma’rifah LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS BIOLOGI PURWOKERTO 2015

Transcript of Lapor Crp

Page 1: Lapor Crp

PENETAPAN KADAR CRP SECARA KUALITATIF

Nama : Eko Adiguna

NIM : B1J012208

Rombongan : I

Kelompok : 5

Asisten : Ma’rifah

LAPORAN PRAKTIKUM IMUNOBIOLOGI

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS BIOLOGI

PURWOKERTO

2015

Page 2: Lapor Crp

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

CRP merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut

sebagai protein fase akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan

dalam fase inflamasi akut yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi

dan penyakit autoimun. Beberapa keadaan dimana CRP dapat dijumpai

meningkat adalah radang sendi (rheumatoid arthritis), demam rematik, kanker

payudara, radang usus, penyakit radang panggung. Penyakit Hodgkin, SLE,

dan infeksi bakterial. CRP juga meningkat pada kehamilan trimester terakhir,

pemakaian alat kontrasepsi intra uterus dan pengaruh obat kontrasepsi oral.

CRP termasuk golongan protein pentraxsin karena protein ini mempuyai

lima subunit identik yang dikode oleh suatu gen pada kromosom nomor 1,

bergabung membentuk suatu struktur pentamer berbentuk piringan yang stabil.

CRP juga merupakan protein yang berekasi dengan polisakrida C somatik dari

Streptococcus penumoniae dan ditemukan oleh Tillet dan Frances pada tahun

1930. Mc Leod dan Avery pada tahun 1941 menyebut protein tersebut sebagai

C- Reaktif Protein (CRP). Mc Carthy pada tahun 1947 telah berhasil

melakukan kristalisai CRP. Word pada tahun 1953-1954 telah berhasil

memurnikan CRP, Kristal CRP berbentuk jajaran genjang yang simetris.

Berdasarkan analisis kimia didapatkan hasil bahwa kristal CRP mengandung

14,60% nitrogen dan tidak tidak mengandung fosfat. Kristal CRP memiliki

kelarutan yang sangat rendah pada keadaan tanpa garam dan mengendap pada

suhu dingin (Suryanto, 2002).

C-reactif (C-reactive protein, CRP) dibuat oleh hati dan dikeluarkan ke

dalam aliran darah. CRP beredar dalam darah selama 6-10 jam setelah proses

inflamasi akut dan destruksi jaringan. Kadarnya memuncak dalam 48-72 jam.

Seperti halnya uji laju endap darah (erithrocyte sedimentation rate), CRP

merupakan uji non-spesifik tetapi keberadaan CRP mendahului peningkatan

LED selama inflamasi dan nekrosis lalu segera kembali ke kadar normalnya.

B. Tinjauan Pustaka

CRP adalah protein fase akut yang dikeluarkan dalam sirkulasi sebagai

respon terhadap peradangan dan kerusakan jaringan. CRP disintesis oleh

hepatosit di bawah kontrol transkripsi sitokin inflamasi, khususnya inter leukin

Page 3: Lapor Crp

6 (IL-6). Gen CRP manusia terletak pada kromosom 1. Penelitian terbaru

menunjukkan bahwa Protein C-Reaktif (CRP) memainkan peran penting dalam

perkembangan penyakit kardiovaskular aterosklerotik. CRP mungkin tidak

hanya menjadi biomarker peradangan seperti yangtelah ditemukan pada plak

aterosklerotik dan terbukti dapat menyebabkan disfungsi selendotel, stres

oksidatif dan intima hipertrofi dalam model eksperimental. Gen CRP dalam

hepatosit dikontrol oleh IL-6 dan dan pada tingkat lebih rendah dikontrol oleh

interleukin 1b (IL-1b) dan Tumor Necrosis Factor α (TNFα) (Nakou et al.,

2010).

CRP bertindak sebagai opsonin untuk bakteri, parasit, dan kompleks imun,

mengaktifkan komplemen jalur klasik. CRP juga merupakan indikator yang

sensitif dari adanya peradangan. Hasilnya sangat mendukung adanya

peradangan tetapi tidak memiliki spesifisitas diagnostik. CRP bila digunakan

dengan benar memiliki peran penting dalam identifikasi peradangan dan

infeksi dalam pengelolaan pasien medis akut (Kelly et al ., 2009). RP

merupakan salah satu dari beberapa protein yang sering disebut sebagai protein

fase akut dan digunakan untuk memantau perubahan-perubahan dalam fase

inflamasi akut yang dihubungkan dengan banyak penyakit infeksi dan penyakit

autoimun. Pada keadaan-keadaan tertentu dimana didapatkan adanya reaksi

radang atau kerusakan jaringan (nekrosis), yaitu baik yang infektif maupun

yang tidak infektif. Kadar CRP dalam serum dapat meningkat sampai 1000 kali

(Handojo, 2004).

C. Tujuan

1. Mengetahui kadar CRP dalam serum darah

2. Mendeteksi keberadaan CRP dalam serum darah

Page 4: Lapor Crp

II. MATERI DAN METODE

A. Materi

Alat yang digunakan yaitu mikropipet dan tipnya, CRP plate dan batang

pengaduk

Bahan yang digunakan pada praktikum kali ini yaitu antihuman CRP

antibodi, serum sampel, kontrol positif dan kontrol negatif.

B. Metode

Metode yang digunakan dalam acara praktikum kali ini adalah sebagai berikut:

1. .Satu tetes kontol positif 40 µl ditetesakan pada CRP plate , ditambahkan

CRP antibody 40 µl kemudian dihomogenkan.

2. Satu tetes kontrol negatif 40 µl diteteskan pada CRP dalam lingkaran yang

berbeda kemudian ditambahkan 40 µl CRP antibody lalu dihomogenkan

dengan batang pengaduk, apabila belum, apabila belum tercampur maka plate

digoyangkan.

3. Serum darah 40 µl diteteskan pada lingkaran yang lain dalam plate kemudian

ditambahkan 40 µl CRP antibody , dihomogenkan dengan batang pengaduk

kemudian plate digoyangkan.

4. Hasil pada plate dilihat dan interpretasi hasil adalah apabila terjadi

aglutinasima ka kadar CRP>6mg/L dan terbentuk butiran seperti pasir yang

berwarna putih. Apabila tidak ada aglutinasi maka CRP<6mg/L dan tidak

terbentuk butiran pasir berwana putih. Mengetahui ada atau tidaknya

aglutinasi pada serum darah maka diuji di bawah mikroskop.

Page 5: Lapor Crp

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

B. Pembahasan

CRP adalah protein fase akut yang dikeluarkan dalam sirkulasi sebagai respon

terhadap peradangan dan kerusakan jaringan. CRP disintesis oleh hepatosit di bawah

kontrol transkripsi sitokin inflamasi, khususnya interleukin 6 (IL-6). Gen CRP

manusia terletak pada kromosom 1. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa Protein

C-Reaktif (CRP) memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit

kardiovaskular aterosklerotik. CRP mungkin tidak hanya menjadi biomarker

peradangan seperti yangtelah ditemukan pada plak aterosklerotik dan terbukti dapat

menyebabkan disfungsi selendotel, stres oksidatif dan intima hipertrofi dalam model

eksperimental. Gen CRP dalam hepatosit dikontrol oleh IL-6 dan dan pada tingkat

lebih rendah dikontrol oleh interleukin 1b (IL-1b) dan Tumor Necrosis Factor α

(TNFα) (Nakou et al., 2010).

Praktikum yang dilakukan pada acara CRP adalah pertama disiapkan terlebih

dahulu bahan dan alat yang dibutuhkan seperti CRP test yang terdiri dari kontrol

positf, kontrol negatif dan antobodi CRP. Selain itu disiapkan pula CRP plate ,

batang pengaduk dan serum darah. Kemudian 40 µl kontrol positif diteteskan pada

CRP plate di lingkaran pertama, ditambahkan 40 µl antibodi CRP dan diaduk dengan

menggunkaan batang pengaduk. Kemudian plate digoyangkan agar pencampuran

merata. Setelah itu ditunggu beberapa saat hingga akhirnya terbenuntuk aglutinasi

yang ditandai dengan adanya butiran seperti pasir berwarna putih. Selanjutnya adalah

40 µl kontrol negatif ditambahkan pada lingkarang kedua di dalam plate,

ditambahkan 40 µl tetes CRP antibodi dan kemudian diaduk dengan batang

Gambar 3.1 Serum, Kontrol Positif dan Negatif

Page 6: Lapor Crp

pengaduk, kemudian plate digoyangkan. Kontrol negatif tidak menunjukkan adanya

aglutinasi. Plate pada lingkaran ketiga diisidengan 40 µl serum darah yang kemudian

dicampur dengan 40 µl antibodi CRP dan diaduk dengan menggunakan batang

pengaduk. Plate kemudian digoyangkan agar tercampur sempurna, untuk melihat ada

atau tidaknya aglutinasi, serum yang telahdicampur dengan antibodi CRP harus

diamati dibawah mikroskop.

Berdasarkan hasil praktikum bahwa pada serum darah terjadi aglutinasi setelah

diamati di bawah miksokop, sehingga hasilnya positif. Kontrol positif menunjukkan

adanya aglutinasi yang ditandai dengan terbentuknya butiran seperti pasir berwarna

putih pada plate . Hal ini dikarenakan terbentuk kompleks antigen-antibodi antara

antigen pada larutan kontrol postif dengan antibodi CRP. Sedangkan kontrol negatif

tidak terjadi aglutinasi karena tidak terbentuk ikatan antara antigen pada larutan

kontrol dengan antibodi CRP. Hal ini disebabkan tidak adanya zat asing seperti

bakteri atau virus yang dapat menyebabkan peradangan akut, sehinga kadar CRP

masih dibatas normal, yaituCRP<6 mg/L. Tidak adanya peradangan akut juga tidak

memicu interleukin untuk menghasilkan protein ini. Peningkatan kadar CRP>6 mg/L

menandai adanya infeksiatau peradangan akut karena CRP akan dihasilkan oleh

interleukin pada sel parenkim hati ketika terjadi peradangaan atau infeksi akut.

Sehingga, CRP ini dijadikan sebagai indikator terjadinya infeksi akut akibat bakteri

maupun virus. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyatakan bahwa kadar CRP

yang berlebih merupakan tanda adanya peradangan akut. Respon peradangan

berhubungan dengan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah,

pembentukan sel-sel peradangan (terutama neutrofil pada peradangan akut),

pelepasan mediator peradangan seperti amina vasoaktif, prostanoid dan intermedier

(oksigen reaktif) serta pelepasan sitokin. Sitokin Interleukin-1 (IL-1) dan Interluekin-

6 (IL-6) terutama dihasilkan sebagai respon akut, suatu perubahan produksi protein

plasma oleh sel-sel hati. Peningkatan CRP di sel-sel parenkim hati diduga dicetuskan

oleh IL-1, yang berasal dari makrofag yang testimulir (Suryanto, 2002).

Pemeriksaan CRP secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui secara kasar

ada tidaknya antigen CRP di dalam sampel serum yang diperiksa. Jika dalam

pemeriksaan CRP secara kualitatif diperoleh hasil positif, maka dilanjutkan dengan

pemeriksaan secara semi kuantitatif untuk menentukan kadar CRP di dalam sampel

serum tersebut. Pemeriksaan secara semi kuantitatif dilakukan dengan mereaksikan

serum yang telah diencerkan dengan reagen lateks. Sampel serum diencerkan

Page 7: Lapor Crp

menggunakan larutan buffer saline (NaCl 0,9 %) dengan pengenceran bertingkat

(1/2, 1/4, 1/8, 1/16 dan seterusnya). Serum yang telah diencerkan kemudian

dilakukan pemeriksaan seperti cara kuantitatif. Pemeriksaan serum ini harus

berurutan dari pengenceran terendah. Dimulai dari pemeriksaan serum dengan

pengenceran 1/2. Apabila pemeriksaan menunjukkan hasil positif, maka dilanjutkan

dengan pengujian serum dengan pengenceran ¼ apabila pemeriksaan menunjukkan

hasil positif, maka dilanjutkan dengan pengujian serum pengenceran 1/8. Demikian

seterusnya sampai hasil menunjukkan reaksi negatif, sehingga titer antibodi dapat

ditentukan. Titer antibodi merupakan pengenceran tertinggi yang masih

menghasilkan reaksi positif aglutinasi masing- masing titer antibodi berhubungan

kadar CRP tersendiri, sehingga kadar CRP dalam serum yang diperiksa dapat

diketahui (Handojo, 2004).

Interpretasi hasil pada praktikum kali ini adalah apabila hasil positif ditandai

dengan terjadinya aglutinasi yang terlihat dari terbentuknya butiran seperti pasir

berwarna putih. Hal ini berarti kadar CRP>6 mg/L, yang menandai adanya infeksi

atau peradangan akut. Sedangkan hasil negatif tdaik terjadi aglutinasi, butiran

berwarna putih tidak terbentuk. Hal ini berarti kadar CRP<6 mg/L.

CRP telah terdeteksi pada lesi aterosklerotik arteri koroner manusia serta

jaringan jantung, ginjal dan adiposa. Pasien dengan sindrom koroner akut, CRP akan

terlokalisir di dinding pembuluh darah dan tingkat yang lebih tinggi dalam sinus

koroner dari pada diaorta, menunjukkan sumber kardiak CRP. Banyak kemungkinan

mekanisme dari tindakan langsung CRP pada sel-sel vaskular. CRP menginduksi

ekspresi molekul adhesi oleh sel endotel, seperti intracellular adhesion molecule-1

(ICAM-1), vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) dan E-selectin , yang

memainkan peran penting dalam migrasi monosit dan sel T ke dinding pembuluh

dalam pengembangan aterosklerosis. CRP mampu menginduksi apoptosis pada

pembuluh darah koroner sel otot polosmanusia, sehingga mempromosikan

aterosklerosis. CRP juga dapat meningkatkan kerentanan sel endotel untuk perusakan

oleh lisis sel, mekanisme yang dapat menyebabkan erosi plak dan memicu sindrom

koroner akut (Nakou et al ., 2010). Pasien sirosis hati, telah terjadi kerusakan struktur

pada hati. Perubahan struktur hati tersebut akan menimbulkan perubahan kapasitas

fungsi sintesis hati. Gangguan hati( liver insufficiency ) akan terjadi penurunan

sintesis dari protein fase akut. Kondisi gagal hati akan terjadi gagguan produksi CRP.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar CRP pada pasien gangguan fungsi hati

Page 8: Lapor Crp

lebih rendah dibandingkan dengan pasien tanpa gangguan fungsi hati, pada keadaan

adanya infeksi bakteri. Hal ini menunjukkan padasirosis terjadi keadaan inflamasi

kronis. Kadar CRP yang lebih rendah pada pasiensirosis dibandingkan pasien yang

tidak sirosis yang mengalami infeksi kemungkinan karena pasien sirosis

memproduksi lebih sedikit CRP selama periode infeksi (Mariadi dan Wibawa.,

2008).

Page 9: Lapor Crp

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari praktikum kali ini adalah :

1. Penetapan kadar CRP secara kualitatif dapat dilakukan dengan melihat

ada tidaknya aglutinasi . aglutinasi terjadi jika kadar CRP dalam sampel

CRP lebih dari 6 mg/l.

2. Mengetahui keberadaan CRP dalam serum dapat melalui uji CRP

menggunakan CRP latex, setelah itu hasilnya dilihat di bawah mikroskop.

B. Saran

Sebaiknya dalam praktikum tahap demi tahap dilakukan dengan tertib dan

hati-hati agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.

Page 10: Lapor Crp

DAFTAR REFERENSI

Handojo, Indro. 2004. Imunoasai terapan pada beberapa penyakit infeksi. Airlangga

University Press. Surabaya

Kelly., P. M. 2009. A Retrospective Analysis of the Useof C-Reactive Protein

Assays in The Management of Acute Medical Admissions. The New Zealand

Medical Journal, 122(1293):36-40.

Mariadi I.K., d. W. 2008. Hubungan Antara Interleukin- 6 dan C-Reactive Protein

pada Sirosis Hati dengan Perdarahan Saluran Makanan BagianAtas. J Peny

Dalam, 9(3):194-202.

Nakou., E. E. 2010. High-Sensitivity C-Reactive Protein:To Measure or not to

Measure? he Open Clinical Chemistry Journal, 3:10-18.

Soeparman. 1987. Ilmu Penyakit Tropik dan Menular : Demam Tifoid. Dalam:

Rachmat Juwono,ed. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Edisi Kedua. Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Suryanto. 2002. Kesesuaian antara Kadar CRP Terhadap Jumlah Neutrofil dan

Kadar Fernitin Serum pada Banita Hamil Trimester Kedua. FKUNDIP.

Semarang