CRP nycocard

23
PENDAHULUAN Sepsis merupakan salah satu penyakit kritis pada masa neonatus. Insidensi sepsis pada neonatus di Negara maju seperti Amerika dan Eropa berkisar antara 1 hingga 8 per 1000 kelahiran hidup. 1 Sedangkan di Negara berkembang seperti di India dan Indonesia, angka kejadiannya 34-37 per 1000 kelahiran hidup, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2009 insidensi sepsis adalah 98 per 1000 kelahiran hidup, angka kejadian yang tinggi ini karena RSCM merupakan senter pelayanan tersier dan pusat rujukan, seperti halnya di RSUP Dr Sardjito. 7 Angka Kematian pada sepsis neonatorum cukup tinggi, yaitu pada beberapa literature dilaporkan bisa mencapai 30% hingga 69%, angka tertinggi dilaporkan terjadi di negara berkembang . 1,20,21 Terminologi infeksi neonatus adalah semua infeksi pada neonatus kecuali diare dan tetanus. Sepsis dan pneumonia merupakan infeksi neonatus yang paling sering terjadi. Sepsis neonatus merupakan suatu infeksi dalam darah yang disebabkan oleh sejumlah bakteri. Escherichia coli (E. coli), Listeria, dan beberapa golongan Streptococcus merupakan penyebab terbanyak sepsis neonatus pada beberapa negara, termasuk di negara berpendapatan rendah seperti Indonesia. 8 Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis pada neonatus dibagi menjadi dua yaitu early-onset neonatal sepsis 1

description

CRP nycocard vs LAtex aglutination

Transcript of CRP nycocard

PENDAHULUAN

Sepsis merupakan salah satu penyakit kritis pada masa neonatus.

Insidensi sepsis pada neonatus di Negara maju seperti Amerika dan Eropa berkisar

antara 1 hingga 8 per 1000 kelahiran hidup.1 Sedangkan di Negara berkembang

seperti di India dan Indonesia, angka kejadiannya 34-37 per 1000 kelahiran hidup,

di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2009 insidensi sepsis

adalah 98 per 1000 kelahiran hidup, angka kejadian yang tinggi ini karena RSCM

merupakan senter pelayanan tersier dan pusat rujukan, seperti halnya di RSUP Dr

Sardjito.7 Angka Kematian pada sepsis neonatorum cukup tinggi, yaitu pada

beberapa literature dilaporkan bisa mencapai 30% hingga 69%, angka tertinggi

dilaporkan terjadi di negara berkembang .1,20,21

Terminologi infeksi neonatus adalah semua infeksi pada neonatus

kecuali diare dan tetanus. Sepsis dan pneumonia merupakan infeksi neonatus

yang paling sering terjadi. Sepsis neonatus merupakan suatu infeksi dalam darah

yang disebabkan oleh sejumlah bakteri. Escherichia coli (E. coli), Listeria, dan

beberapa golongan Streptococcus merupakan penyebab terbanyak sepsis neonatus

pada beberapa negara, termasuk di negara berpendapatan rendah seperti

Indonesia. 8

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis pada neonatus dibagi menjadi

dua yaitu early-onset neonatal sepsis dan late-onset neonatal sepsis. Early-onset

neonatal sepsis terlihat dalam minggu pertama kehidupan, paling sering muncul

pada3 hari pertama kehidupan, terutama dalam 24 jam paska kelahiran, hal ini

terjadi karena bayi terinfeksi dari si ibu sebelum atau selama persalinan. Kelahiran

prematur, ketuban pecah lebih dari 24 jam sebelum persalinan, infeksi jaringan

tali pusat atau cairan amnion merupakan faktor risiko terjadinya Early-onset

neonatal sepsis . Sedangkan late-onset neonatal sepsis terjadi setelah hari ke-8

pasca persalinan. Penggunaan infus intravena dan rawat inap di rumah sakit untuk

waktu yang lama dapat meningkatkan risiko terjadinya late-onset neonatal sepsis. 8,21

Diagnosis infeksi sistemik menjadi suatu tantangan yang kerap

dihadapi pada seting neonatal intensive care, dimana membedakan gejala dan

1

tanda klinis antara penyebab infeksi atau non-infeksi pada neonatus sakit sering

menyulitkan klinisi. Neonatus kerap kali tidak menampakkan gejala dan tanda

yang khas, gejala yang membuat bayi baru lahir dirawat dengan tersangka sepsis

adalah sesak napas, letargis, hipotermia, dan gejala di saluran cerna seperti

muntah serta perdarahan saluran cerna. sedangkan diagnosa definitif yang

berbasis pada hasil kultur baik darah, cairan serebrospinal atau urin memerlukan

waktu lama, hasil biasanya didapat setelah beberapa hari, sehingga menyebabkan

tertundanya perawatan yang dapat meningkatkan morbiditas maupun mortalitas

yang cukup signifikan.2,3,4,7

Praktek saat ini dimana pemberian antibiotik empirik pada semua

neonatus dengan gejala menyerupai sepsis ternyata memberikan efek yang tidak

diinginkan seperti peningkatan biaya perawatan, komplikasi nosokomial bahkan

terbentuknya strain kuman yang resisten. Sehingga diagnosis dini pada sepsis

neonatorum menjadi krusial untuk mencegah kondisi neonatus jatuh pada

keluaran yang buruk, terutama pada early-onset neonatal sepsis.

Beberapa tahun terakhir ini para peneliti mulai mencari parameter

diagnostik yang dapat secara cepat membedakan antara neonatus yang memiliki

gejala dan tanda karena sepsis mikroba ataupun yang memiliki gejala dan tanda

yang serupa namun dengan penyebab non-bakterial. 5,6,7

Peran uji laboratoris dapat membantu dalam menegakkan diagnosa

sepsis neonatus serta mengidentifikasi jenis bakteri yang menyebabkannya

sebetulnya cukup penting, diantaranya yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan

bikan kuman baik darah maupun urin, C-reactive protein (CRP) , pemeriksaan

darah lengkap serta hitung jenis dan jika dibutuhkan pemeriksaan cairan

serebrospinal (CSS) untuk menilai adanya bakteri di CSS.8

Walaupun perkembangan teknik diagnostik semakin maju, belum ada

yang dianggap setara dengan hasil kutur yang sayangnya membutuhkan waktu

yang lama sekurangnya hingga 48 jam, sehingga bayi-bayi dengan gejala dan

tanda klinis mengarah kepada klinis sepsis, biasanya telah diberikan terapi

antibiotic spectrum luas bahkan saat hasil uji laboratorium belum diterima.8

2

Dari waktu ke waktu pemeriksaan jumlah leukosit dan CRP

merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan oleh ahli penyakit anak

untuk menegakkan diagnosa penyakit infeksi maupun menkonfirmasi atau

monitor efek dari suatu terapi.14

CRP pertama kali diperkenalkan oleh Tillet dan Francis dari

universitas Rockefeller pada tahun 1930. Mereka meneliti tentang reaksi

presipitasi antara serum dari pasien yang menderita pneumonia pneumokokus

akut dengan ekstrak fraksi C polisakarida dari dinding sel pneumokokus, reaksi

ini tidak dapat dilihat ketika menggunakan serum dari kontrol sehat ataupun

serum dari pasien yang sama setelah sembuh. Karena fraksi C polisakarida

merupakan suatu protein, maka komponen C-reaktif pada serum dinamakan C-

reactive protein. 5

CRP merupakan salah satu protein fase akut yang konsentrasinya

dalam darah dapat meningkat kurang dari 1g/mL hingga lebih dari 600-1000g/mL

selama peningkatan respon fase akut. Waktu paruh CRP adalah kurang lebih 19

jam. Kadar CRP akan mulai meningkat 4 hingga 6 jam setelah onset gejala

maupun tanda infeksi atau kerusakan jatringan, dan kadarnya mencapai puncak

pada 24 hingga 48 jam kemudian dan menghilang segera setelah proses inflamasi

atau infeksi membaik.9,21

Dengan alasan ketersediaan, kemudahan, kecepatan dan alasan

ekonomis, deteksi CRP menjadi pemeriksaan yang banyak dilakukan pada kondisi

inflamasi maupun infeksi. Selain itu CRP juga dapat membantu dalam melakukan

diferental diagnosis pada manajemen sepsis atau meningitis pada neonatus dimana

pemeriksaan rujukan seperti biakan kuman memerlukan waktu yang cukup

lama.9,21

Pemeriksaan CRP ini mulanya menggunakan teknik kualitatif maupun

semi-kuantitatif dengan metode salah satunya aglutinasi lateks, metode ini lebih

sering digunakan dalam menyingkirkan diferential diagnosis, karena seberapapun

derajat inflamasinya akan memeberikan hasil positif.

3

Saat ini digunakan pula teknik kuantitatif yang diduga lebih akurat,

diantaranya menggunakan metode laser nephlometry, turbidimetric immunoassay,

chromatographic immunoassay. 9,10

Kedua metode baik aglutinasi lateks maupun chromatographic

immunoassay dalam pemeriksaan CRP telah banyak digunakan, termasuk di

negara berkembang seperti di Indonesia dan di RSUP Dr Sardjito sendiri.

Insidensi sepsis pada neonatus di berbagai negara maju cukup tinggi,

sedangkan di negara berkembang seperti halnya di Indonesia angka ini bahkan

jauh lebih tinggi yaitu sekitar 34-37 per 1000 kelahiran hidup.7

Diagnosis sepsis maupun kejadian infeksi pada neonatus kerap

menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi, karena sering kali tidak menampakkan

gejala dan tanda yang khas, dan karena angka kematian pada sepsis neonatus ini

sangat tinggi bahkan bisa mencapai 50% pada kasus yang tidak diterapi dengan

tepat, diagnosa dini pada kasus ini menjadi sangat penting, termasuk diantaranya

pada fasilitas kesehatan tingkat pertama yang menjadi ujung tombak penentuan

diagnosa dan tatalaksana kasus ini dengan cepat dan tepat.

Peran uji laboratoris sangat besar dalam membantu dalam skrining

sepsis neonatus, salah satunya adalah pemeriksaan CRP. Peneliti ingin mencoba

membandingkan hasil pemeriksaan CRP kualitatif metode aglutinasi lateks yang

sangat sederhana, tidak memerlukan peralatan khusus dan petugas dengan

ketrampilan tertentu yang sangat dapat diaplikasikan di fasilitas kesehatan tingkat

pertama dibandingkan dengan metode kuantitatif chromatographic immunoassay

yang telah digunakan di RSUP Dr Sardjito saat ini.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilakukan di

Instalasi Laboratorium Klinik RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta. Populasi penelitian

adalah bayi yang melakukan pemeriksaan CRP di instalasi laboratorium klinik

RSUP Dr Sardjito. Kriteria inklusi adalah neonatus, yang kriterianya yaitu bayi

usia 0 hari sampai 28 hari yang melakukan pemeriksaan CRP kuantitatif di

Instalasi Laboratorium Klinik RSUP Dr Sardjito Yogyakarta. Kriteria eksklusi

4

adalah sampel neonatus yang jumlah sampelnya tidak mencukupi untuk

pemeriksaan CRP kualitatif, juga pada kondisi sampel yang menjendal dan

lipemik. serta sampel yang tidak dapat ditelusuri data pada catatan medisnya.

BAHAN DAN CARAPemeriksaan CRP kuantitatif dilakukan menggunakan metode

chromathographic immunoassay. Sedangkan pemeriksaan CRP kualitatif

dilakukan menggunakan metode aglutinasi latex.

Sampel serum yang telah dilakukan pemeriksaan CRP kuantitatif

kemudian dilakukan pengumpulan dan penyimpanan dalam pendingin suhu -20ºC

untuk menjaga stabilitas sampel. Kemudian dilakukan thawing pada saat akan

dilakukan pemeriksaan CRP kualitatif secara serentak.18

Pemeriksaan CRP dilakukan sesuai petunjuk dari pabrikan.

Pemeriksaan CRP menggunakan metode kromatografi nycocard menggunakan

metode sandwich immunoassay, pada prinsipnya pada sumuran terdapat suatu

membran yang telah terlapisi antibody monoclonal spesifik terhadap CRP,

kemudian sample yang telah diencerkan diteteskan kedalam sumuran, , ketika

sampel melewati membran yang terdapat pada sumuran, makanakan ditangkap

oleh antibody yang telah menempel pada membran tersebut., kemudian protein

CRP yang terjebak pada membran di dalam sumuran ini kemudian akan mengikat

konjugat yang akan ditambahkan kemudian, konjugat yang tidak terikat pada

protein CRP akan dihilangkan pada proses pencucian pada penambahan washing

solution, ketika terdapat protein CRP pada sampal,membran dalam sumuran akan

berubah warna menjadi coklat kemerahan dengan intensitas warna sesuai dengan

kadar CRP yang terkandung dalam sampel yang kemudian intensitas warna ini

akan dibaca menggunakan Nycocard Reader II. metode tersebut seperti tertera

pada gambar 1.18

5

Gambar 1. Prosedur pemeriksaan CRP kuantitatif nycocard. 18

Pemeriksaan CRP kualitatif menggunakan metode aglutinasi latex,

pada prinsipnya terdapat suatu latex yang telah dilapisi suatu antibody antihuman

CRP, yang kemudian akan mengalami aglutinasi ketika dicampurkan dengan

sampel yang mengandung CRP. Adanya aglutinasi mengindikasikan konsentrasi

latex ≥ 6 mg/L. sebelum memulai pemeriksaan, sampel dan reagen harus

dikondisikan ssuai suhu ruangan, karena sensitivitas metode ini akan turun pada

suhu rerndah, kemudian tempatkan 50µL sampel, kontrol positif dan kontrol

negative pada lingkaran slide yang berbeda, kemudian campurkan reagen latex

menggunakan rotator senbelum dipergunakan, kemudian tambahkan reagen lateks

tersebut sebanyak 50µL kedalam sampel, kontrol positif dan konrol negative,

kemudian campurkan menggunakan pengaduk hingga merata didalam seluruh

lingkaran, kemudian letakkan diatas rotator dan campurkan selama 2 menit,

kemudian bacalah hasilnya. Prinsip metode tersebut seperti tertera pada gambar 2.

6

gambar 2. Prinsip aglutinasi lateks

Data subyek didapatkan dari catatan medik pasien di instalasi catatan

medik, meliputi identitas subyek, gejala klinis, diagnosis, hasil biakan kuman.

Hasil pemeriksaan laboratorium hematologi didapatkan dari sub bagian

hematologi Instalasi Laboratorium Klinik, sedangkah hasil pemeriksaan CRP

kuantitatif didapatkan dari sub bagian immunologi instalasi laboratorium klinik.

Karakteristik subyek ditampilkan dalam tabel berdasarkan umur,

diagnosis, Jumlah leukosit, IT dan IM, hasil kultur, serta hasil CRP kualitatif dan

kuantitatif.

ANALISA STATISTIK

Analisa data dilakukan dengan analisa statistic chi square atau fisher

test antara berbagai parameter laboratoris terhadap diagnosa klinis untuk

mengetahui kemaknaan hubungannya, dikatakan bermakna jika p<0.05.

Kemudian dilakukan uji diagnostik untuk pemeriksaan CRP kualitatif

dibandingkan dengan CRP kuantitatif metode CRP sandwich immunoassay

sebagai metode standar.

7

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada awalnya dikumpulkan sebanyak 100 sampel penelitian, namun

selama proses pengumpulan data, didapatkan hanya enam puluh tujuh sampel

yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang kemudian dijadikan sampel

dalam penelitian ini, Usia subyek penelitian berkisar antara 0 hari hingga 26 hari,

pada penelitian ini diagnosa paling banyak adalah sepsis, kemudian untuk

mempermudah analisa, dikelompokkan menjadi diagnosa sepsis dan non sepsis.

Rerata pemeriksaan angka leukosit adalah 13.18±11.83, dari 67 subyek penelitian

16 sampel diantaranya dengan leukositosis, 36 sampel dalam rentang normal, dan

5 sampel dengan leukopenia. Sedangkan hasil biakan bakteri dari sampel darah

subyek penelitian, 38 sampel diantaranya memberikan hasil positif, 5 sampel

memberikan hasil negatif dan 27 sampel tidak dilakukan pemeriksaan biakan

darah. Hasil pemeriksaan IT pada sampel penelitian, 9 sampel memeberikan nilai

>0.2 dan 18 sampel memberikan hasil ≤ 0.2. Sedangkan untuk perhitungan IM, 9

sampel memeberikan nilai ≥0.3 dan 18 sampel memberikan hasil < 0.3, seperti

tertera pada tabel berikut ini

Tabel 1. Karakteristik subyek

Parameter jumlahMedian (Min-Max)/

mean ± SDUsia (1-26 hari)Diagnosa infeksi bakteri/sepsis 42

non infeksi bakteri 25kultur positif 38

negatif 5CRP kualitatif positif 53

negatif 14CRP kuantitatif positif 54 24 (5-150)

negatif 13Jumlah leukosit leukositosis 16 13.18±11.83

normal 36leukopeni 5

IT >0.2 9 0.09 (0.02-0.4)≤0.2 18

IM ≥0.3 9 0.09 (0.02-0.8)<0.3 18

8

Pada sampel penelitian didapatkan berdasarkan pemeriksaan CRP

kualitatif aglutinasi lateks, 53 sampel memberikan hasil positif dan 14 sampel

mmeberikan hasil negative, sedangkan menggunakan pemeriksaan CRP

kuantitatif immunoturbidimateri, 54 sampel memberikan hasil positif dan 13

sampel memberikan hasil negatif. Sehingga terdapat 1 sampel yang tidak

memberikan keseragaman hasil CRP dari kedua metode, sampel ini menggunakan

metode aglutinasi lateks didapatkan hasil yang negatif, dan pada sampel yang

sama menggunakan metode kuantitatif kromatografi immunoassay didapatkan

hasil CRP 7 mg/L.

Pada penelitian ini terdapat satu sampel yang memberikan

ketidaksesuaian hasil CRP, ketidaksesuaian ini diduga karena kadar CRP yang

belum terlalu tinggi, sehingga metode aglutinasi lateks belum mampu

memberikan reaksi positif berupa aglutinasi, dimana pada metode ini berdasarkan

panduan dari pabrikan, akan memberikan hasil positif atau terjadi aglutinasi pada

hasil CRP 6mg/L

Kemudian dilakukan analisa statistik antara berbagai parameter

laboratoris dengan diagnose klinis, analisa ststistik menggunkan analisa korelasi

fisher dan analisa perbedaan non parametrik antara rerata dua kelompok tidak

berpasangan menggunakan analisa statistic spearman, hasilnya sebagaimana

tertera pada tabel 2 dan 3 berikut ini.

9

Tabel 2. Korelasi hasil laboratorium dengan diagnosa klinis

Parameter Diagnosa klinis pSepsis Non Sepsis

CRP kuantitatif Pos 41 13 0.169Neg 7 6

CRP kualitatif Pos 40 13 0,196Neg 8 6

Kultur Pos 38 0 0.011Neg 3 2

Jumlah leukosit Leukositosis 15 1 0.142Normal 26 9

IT >0.2≤0.2

817

11

1.00

IM ≥0.3<0.3

817

11

1.00

Pada tabel 2, hasil analisa statistik korelasi diatas menunjukkan bahwa

hanya parameter biakan kuman saja yang memiliki korelasi bermakna dengan

diagnose klinis, hal ini sesuai dengan kriteria penegakkan diagnosa sepsis yang

menjadikan adanya bukti infeksi termasuk diantaranya tumbuhnya biakan kuman

sebagi salah satu kriteria sepsis.

Analisa perbedaan dengan analisa nonparametrik mann whitney

digunakan untuk menilai perbedaan rerata hasil laboratorium terhadap diagnosis

klinis, hasilnya hanya parameter jumlah leukosit saja yang terdapat perbedaan

bermakna antara kelompok sepsis dan non sepsis, serta tidak terdapat perbedaan

bermakna antara rerata pada parameter CRP, IT dan IM antara kelompok sepsis

dan non sepsis. sebagaimana tertera pada tabel 3 berikut ini,

10

Tabel.3 perbandingan rerata beberapa parameter laboratoris terhadap diagnosa klinis

Parameter Sepsis

Median (Min-Max)

Non Sepsis

Median (Min-Max)

p

CRP 24 (5-150) 77.3 (5-150) 0,82

Jumlah leukosit 9,9 (3,28-17) 5,75 (5,7-10,12) 0,04

IT 0,08 (0,02-0,28) 0,24 (0,09-0,4) 0,57

IM 0,09 (0,02-0,39) 0,45 (0,1-0,8) 0,51

Terdapat perbedaan bermakna antara jumlah leukosit pada kelompok

sepsis dan non sepsis, hal ini wajar saja karena leukositosis merupakan salah satu

kriteria diagnosa sepsis.

Pada penelitian ini CRP kuantitatif metode kromatografi

immunoassay dijadikan metode standar, karena performa metode ini dikatakan

cukup baik pada beberapa penelitian, dan berkorelasi baik dengan metode lain

seperti immunoturbidimetri dan nephelometri, seperti pada penelitian oleh petter

et al, yang menyimpulkan bahwa hasil pemeriksaan CRP kuantitatif Nycocard

berkorelasi (r: 0,96) baik dengan metode kuantitatif immunoturbidimetri dengan

Cobas Bio.13. Serta penelitian Enrico et al. yang melaporkan bahwa terdapat

korelasi yang baik antara metode kromatografi immunometri dengan metode

nephelometri pada suyek bayi baru lahir.12

Pada penelitian ini didapatkan dari pemeriksaan CRP kualitatif

aglutinasi lateks, 53 sampel memberikan hasil positif dan 14 sampel mmeberikan

hasil negatif, sedangkan menggunakan pemeriksaan CRP kuantitatif

immunoturbidimateri, 54 sampel memberikan hasil positif dan 13 sampel

memberikan hasil negatif sebagaimana tertera pada tabel 4 berikut ini

Tabel 4. Hasil pemeriksaan CRP kualitatif dan kuantitatif

CRP Kuantitatif

Positif (>6) Negatif (≤6)

CRP Kualitatif Positif 53 0

CRP Kualitatif Negatif 1 13

11

Hasil pemeriksaan CRP analisa uji diagnostik, dengan metode

kromatografi immunoassay sebagai pemeriksaan standar, dari uji diagnostik ini

didapatkan sensistivitas CRP aglutinasi lateks adalah 98,15% dan spesifisitasnya

adalah 100%, nilai ramal positif 100%, dan nilai ramal negatif 92,86%. Hal ini

sesuai dengan penelitian Nicholas et al yang membandingkan CRP lateks

aglutinasi dengan CRP metode immunoturbidimetri dengan hasil sensitivitas

untuk CRP lateks aglutinasi adalah 95%, sedangkan spesifisitasnya 100%, atau

peelitian oleh Zeaei et al yang membandingkan tiga merek pemeriksaan CRP

kualitataif lateks aglutinasi dengan CRP chromatography immunoassay seperti

halnya nycocard dengan hasil sensitivitas sekitar 85% dan spesifisitas kurang

lebih sekitar 85%, berbeda dengan penelitian Damecha et al yang

memebandingkan CRP lateks aglutinasi dengan metode immunoturbidimetri yang

menyatakan sensitivitas CRP lateks hanya 57,42% dan spesifisitasnya 100%.9,16,17

CRP kualitatif aglutinasi latex merupakan pemeriksaan CRP yang

sederhana, membutuhkan waktu pemeriksaan hanya 2-3 menit per sampel, tanpa

membutuhkan peralatan yang mahal. Karena pemeriksaan ini sangat sederhana

baik prosedur dan interpretasinya maka pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh

petugas dengan ketrampilan yang minimal. Selain itu jumlah sampel yang

digunakan juga sangat sedikit, sehingga sangat cocok untuk pasien neonatus dan

pada laboratorium dengan fasilitas minimal, namun penilaian hasil pemeriksaan

ini bersifat sangat subjektif yaitu dengan cara visual, sehingga bisa menjadikan

misinterpretasi.

Pada penelitian ini terdapat satu sampel yang memberikan

ketidaksesuaian hasil CRP, dimana saat menggunakan metode aglutinasi lateks

didapatkan hasil yang negatif, pada sampel yang sama menggunakan metode

kuantitatif kromatografi immunoassay didapatkan hasil CRP 7 mg/L atau sudah

diatas normal, sehingga terapat ketidaksesuaian, walaupun pada metode kualitatif

berdasarkan panduan dari pabrikan, akan memberikan hasil positif atau terjadi

aglutinasi pada hasil CRP > 6mg/L . ketidaksesuaian ini diduga karena kadar

antigen CRP dalam serum yang belum terlalu tinggi, sehingga metode aglutinasi

12

lateks belum mampu memberikan reaksi positif berupa aglutinasi walaupun telah

ada ikatan antigen-antibodi, hal ini dikarenakan prezone effect.

Kesimpulan

Dengan mempertimbangkan faktor kepraktisan, pemeriksaan CRP

kualitatif dapat digunakan untuk pemeriksaan CRP pada neonatus untuk skrining

deteksi dini adanya kemungkinan sepsis, namun metode ini memiliki keterbatasan

diantaranya adalah kurang sensitif pada kadar CRP yang mendekati normal atau

hanya sedikit meningkat, sehingga kurang sesuai digunkakan pada inflamasi

ringan, juga pada laboratorium dengan jumlah pemeriksaan yang besar, dimana

metode otomatik menggunakan alat immunoassay analyzer otomatik dapat

dijadikan pilihan

13

Daftar Pustaka

1. Ayazi, P., Daneshi, M.M. & Hashemi, H.J., 2007. The Role of Serial Serum C-Reactive Protein Level in the Diagnosis of Neonatal Infection. iranian journal of pediatric society, 1(1), pp.47–51.

2. Chiesa, C. et al., 2003. C-Reactive Protein, Interleukin-6 and Procalcitonin in the Immediate Postnatal Period : Influence of Illness Severity , Risk Status , Antenatal and Perinatal Complications , and Infection. clinical chemistry, 68, pp.60–68.

3. B, C.S., Viren, V. & B, C.B., 2012. C-REACTIVE PROTEIN ( CRP ) IN EARLY DIAGNOSIS OF NEONATAL SEPTICEMIA Correspondence : national journal of medical research, 2(3), pp.276–278.

4. Benitz, W.E. et al., 1998. Serial serum C-Reactive Protein Levels in the diagnostic of Neonatal Sepsis. Pediatrics, 102(4).

5. Hofer, N., Müller, W. & Resch, B., 2013. The Role of C-Reactive Protein in the Diagnosis of Neonatal Sepsis. Intech, pp.45–58.

6. Khassawneh, M. et al., 2007. Diagnostic Markers for Neonatal Sepsis : Comparing C-reactive Protein , Interleukin-6 and Immunoglobulin M. Scandinavian Journal of Immunology, 68, pp.171–175.

7. Roeslani, R.D., Amir, I. & Nasrulloh, M.H., 2013. Penelitian Awal : Faktor Risiko pada Sepsis Neonatorum Awitan Dini. Sari Pediatri, 14(6), pp.363–368.

8. Setiawan, C., 2004. Neonatal Conditions, United kingdom.9. Dhamecha, M.N., Patel, M.K. & Shah, U. V, 2013. A Comparative Study

of Semi Quantitative Latex Agglutination Test and Quantitative Turbidimetric Immunoassay Method for the Detection of C-Reactive Protein from Human Sera . , (December), pp.27–29.

10. Naik, P.R. et al., 2013. I NTERNATIONAL J OURNAL OF P HARMACY & L IFE S CIENCES Comparison of rapid Semi-Quantitative card test against Immunoturbidimetric Quantitative test for determination of C - reactive protein levels in Neonatal Sepsis. , 4(11), pp.3138–3142.

11. Chan, T. & Gu, F., 2011. Early diagnosis of sepsis using serum biomarkers. Expert review of molecular diagnostics, 11(5), pp.487–96. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21707457.

12. Vallance, H. & Lockitch, G., 1991. Rapid , Semi-Quantitative of C-Reactive Protein Evaluated. clinical chemistry, 37(11), pp.1981–1982.

13. Urdal, P., Krutnes, M.B. & Gogstad, G.O., 1992. Rapid Immunometric Measurement of C-Reactive Protein in Whole Blood. clinical chemistry, 38(4).

14

14. Article, F., 1999. Efficacy and Significance of Rapid Simultaneous CRP and WBC Testing in Pediatric Diagnostic Practice. , (19), pp.1–7.

15. Ziaei, M. et al., 2012. Evaluation of Prevalence of False Negative Results of CRP Test Using Three Different Kit in Iran. J Army Univ Med Sci, 10(4), pp.273–277.

16. Nicolas, A. et al., 2013. Study Compare of Methods of Proportioning of the Reactive Protein C : Method of Agglutination and Method Immunoturbidimetrique at the Hospital of zone of Suru – Lere , Cotonou , Republic of Benin. , 2(3), pp.85–87.

17. axis shield diagnostics, 1992. CRP Latex Test Kit. -, (May), p.1992.18. axis shield diagnostics, Nycocard CRP Single Test. -, CRP Latex Test Kit

15