lapkas anestesi

122
BAB I PENDAHULUAN Anestesi secara umum berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok obat ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Pemberian anestetikum dilakukan untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan, yang adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. 1,2 Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari: hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan, pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. 2,3 Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesia umum, lainnya dengan anestesia regional atau lokal. Operasi di sekitar kepala, leher, intrathorakal, intraabdominal paling baik dilakukan dengan anestesia umum. Pilihan cara anestesia harus 1

description

anestesi

Transcript of lapkas anestesi

Page 1: lapkas anestesi

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi secara umum berarti suatu keadaan hilangnya rasa terhadap suatu rangsangan.

Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok

obat ini dibedakan dalam anestetik umum dan anestetik lokal. Pemberian anestetikum dilakukan

untuk mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri baik disertai atau tanpa disertai hilangnya

kesadaran. Seringkali anestesi dibutuhkan pada tindakan yang berkaitan dengan pembedahan,

yang adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan

berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. 1,2

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan

hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal (trias

anestesi) terdiri dari: hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk

mengendalikan pernapasan, pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi.

Tahapannya mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. 2,3

Sebagian besar operasi (70-75 %) dilakukan dengan anestesia umum, lainnya dengan

anestesia regional atau lokal. Operasi di sekitar kepala, leher, intrathorakal, intraabdominal

paling baik dilakukan dengan anestesia umum. Pilihan cara anestesia harus selalu terlebih dahulu

mementingkan segi-segi keamanan dan kenyamanan pasien. 4

Adanya perubahan pada berbagai sistem organ tubuh berkaitan dengan bertambahnya

usia mengakibatkan perbedaan perlakuan tindakan anestesia pada pasien geriatri. Hal ini

berkaitan dengan proses penuaan yang menimbulkan perubahan sistem organ yang

mengakibatkan meningkatnya resiko anestesi berkaitan dengan meningkatnya morbiditas dan

mortalitas. Kemunduran ini mulai jelas terlihat setelah usia 40 tahun. Dalam suatu penelitian di

Amerika, diduga, setelah usia 70 tahun, mortalitas akibat tindakan bedah menjadi 3 kali lipat

(dibandingkan dengan usia 18-40 tahun) dan 2% dari mortalitas ini disebabkan oleh anestesia. Di

Indonesia, persentase orang yang berumur >50 tahun adalah 9,64% dari jumlah penduduk. Para

manula ini mempunyai kekhususan yang perlu diperhatikan dalam anestesia dan pembedahan. 5,6

Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik diseluruh dunia, terutama

di negara berkembang. Diperkirakan lebih dari 30% jumlah penduduk dunia atau 1500 juta orang

1

Page 2: lapkas anestesi

menderita anemia. Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala

dari berbagai macam penyakit dasar. Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh

haemoglobin akan berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan,

jantung harus memompa darah lebih banyak. Peran anestesi adalah memastikan bahwa organ

vital menerima oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur

bedah berlangsung.7

Karsinoma mammae merupakan salah satu tumor ganas paling sering ditemukan pada

wanita. Kebanyakan pada usia setengah baya dan lansia. Jarang terjadi pada usia kurang dari 30

tahun, sedangkan yang kurang dari 20 tahun sangat jarang. Kanker payudara sering ditemukan di

seluruh dunia dengan insidens relatif tinggi, yaitu 20% dari seluruh keganasan. Diperkirakan di

AS 175.000 wanita didiagnosis menderita kanker payudara yang mewakili 32% dari semua

kanker yang menyerang wanita. Bahkan, disebutkan dari 150.000 penderita kanker payudara

yang berobat ke rumah sakit, 44.000 orang di antaranya meninggal setiap tahunnya. Kanker

payudara merupakan kanker terbanyak kedua sesudah kanker leher rahim di Indonesia. Selain

jumlah kasus yang banyak, lebih dari 70% penderita kanker payudara ditemukan pada stadium

lanjut.8

Berikut akan dilaporkan sebuah kasus anestesi umum pada pasien karsinoma mammae

dengan co-morbid anemia dan geriatri.

BAB. II

LANDASAN TEORI

2

Page 3: lapkas anestesi

1. Anestesi Umum

A. Definisi Anestesi Umum

Anestesi umum adalah tindakan untuk menghilangkan nyeri secara sentral disertai

dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali atau reversible. Agen anestesi

umum bekerja dengan cara menekan sistem saraf pusat (SSP) secara reversibel. Anestesi

umum diperoleh melalui penggunaan obat-obatan secara injeksi dan atau inhalasi yang

ditandai dengan hilangnya respon rasa nyeri (analgesia), hilangnya ingatan (amnesia),

hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan hilangnya gerak spontan

(immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness).1,3

Anestesi umum memungkinkan pasien untuk mentolerir tindakan pembedahan yang

dapat menimbulkan rasa sakit tak tertahankan, yang berpotensi menyebabkan perubahan

fisiologis tubuh yang ekstrim, dan menghasilkan kenangan yang tidak menyenangkan.3

B. Tujuan Anestesi

Anestesi memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut 3:

1. Hipnotik atau sedasi: hilangnya kesadaran

2. Analgesik: hilangnya respon terhadap nyeri

3. Relaksasi otot

C. Pilihan Cara Anestesi 3

1. Umur

Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum.

Pada orang dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dipermudahkan dilakukan

dengan anestesi lokal atau umum.

2. Status fisik

Riwayat penyakit dan anestesi terdahulu. Untuk mengetahui apakah pernah

dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada komplikasi

anestesi dan pasca bedah.

Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari penggunaan

anestesi umum.

3

Page 4: lapkas anestesi

Pasien gelisah, tidak kooperatif, atau disorientasi dengan gangguan jiwa

sebaiknya dilakukan dengan anestesi umum.

Pasien obesitas, jika disertai leher pendek dan besar, sering timbul gangguan

sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesi. Pilihan anestesi

adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.

3. Posisi pembedahan

Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi memerlukan anestesi

umum endotrakea untuk menjamin ventilasi selama pembedahan. Demikian juga

pembedahan yang berlangsung lama.

4. Keterampilan dan kebutuhan dokter pembedah

Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan

kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi

perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah

plastik, dan lain-lain.

5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi

6. Keinginan pasien

7. Bahaya kebakaran dan ledakan

Pemakaian obat anestesi yang tidak mudah terbakar dan tidak eksplosif adalah

pilihan utama pada pembedahan dengan alat elektrokauter.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum 3,9

1. Faktor respirasi

Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesi akan masuk ke dalam paru-paru

(alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan parsial tertentu. Kemudian zat

anestesi akan berdifusi melalui membran alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat

difusi zat anestesi sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan tekanan

parsial dalam arteri pulmonaris.

Hal yang mempengaruhi hal tersebut adalah:

4

Page 5: lapkas anestesi

1) Konsentrasi zat anestesi yang dihirup atau diinhalasi: makin tinggi

konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesi dalam alveolus.

2) Ventilasi alveolus: makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat meningginya

tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada hipoventilasi.

2. Faktor sirkulasi

Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena. Faktor yang mempengaruhi:

1) Perubahan tekanan parsial zat anestesi yang jenuh dalam alveolus dan darah vena.

Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesi diserap jaringan dan sebagian kembali

melalui vena.

2) Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi dalam darah

dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan. Bila kelarutan zat

anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka obat yang berdifusi cepat

larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG koefisien rendah, maka cepat

terjadi keseimbangan antara alveoli dan sirkulasi darah, akibatnya penderita

mudah tertidur waktu induksi dan mudah bangun waktu anestesi diakhiri.

3) Aliran darah yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin banyak aliran darah

yang melalui paru makin banyak zat anestesi yang diambil dari alveolus,

konsentrasi alveolus turun sehingga induksi lambat dan makin lama waktu yang

dibutuhkan untuk mencapai tingkat anestesi yang adekuat.

3. Faktor jaringan

1) Perbedaan tekanan parsial obat anestesi antara darah arteri dan jaringan.

2) Koefisien partisi jaringan atau darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat

anestesi kecuali halotan.

3) Kecepatan metabolisme obat

4) Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:

a) Jaringan kaya pembuluh darah (otak, jantung, hepar, ginjal). Organ-organ ini

menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan parsial zat anestesi ini

meninggi dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14% curah

jantung.

5

Page 6: lapkas anestesi

b) Kelompok intermediet (otot skelet dan kulit)

c) Jaringan sedikit pembuluh darah

d) Relatif tidak ada aliran darah (ligament dan tendon).

4. Faktor zat anestesi

Bermacam-macam zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda-beda. Untuk

menentukan derajat potensi ini dikenal adanya MAC (minimal alveolar

concentration atau konsentrasi alveolar minimal) yaitu konsentrasi terendah zat

anestesi dalam udara alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)

terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi potensi zat

anestesi tersebut.

E. Stadium Anestesi Umum 2,9

Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi anestesi, agar

tidak terlalu dalam sehingga membahayakan jiwa penderita, tetapi cukup adekuat untuk

melakukan operasi. Kedalaman anestesi dinilai berdasarkan tanda klinik yang didapat.

Guedel membagi kedalaman anestesi menjadi 4 stadium, yaitu:

1) Stadium I

Disebut juga stadium analgesi atau stadium disorientasi. Dimulai sejak

diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat

mengikuti perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan

pembedahan ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan

pada stadium ini.

2) Stadium II

Disebut juga stadium delirium atau stadium exitasi. Dimulai dari hilangnya

kesadaran sampai nafas teratur. Pada stadium ini terlihat adanya eksitasi dan gerakan

yang tidak menurut kehendak, pasien tertawa, berteriak, menangis, menyanyi,

pernapasan tidak teratur, kadang-kadang apne dan hiperpnu, tonus otot rangka

meningkat, inkontinensia urin dan alvi, muntah, midriasis, hipertensi serta takikardia.

Stadium ini membahayakan penderita, karena itu harus segera diakhiri. Keadaan ini

6

Page 7: lapkas anestesi

bisa dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat, persiapan psikologi

penderita dan induksi yang halus dan tepat.

3) Stadium III

Stadium III (pembedahan) dimulai dengan teraturnya pernapasan sampai

pernapasan spontan hilang. Stadium III dibagi menjadi 4 plana yaitu:

Plana 1: Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang, terjadi gerakan

bola mata yang tidak menurut kehendak pupil miosis, refleks cahaya ada,

lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah tidak ada dan belum tercapai

relaksasi otot lurik yang sempurna (tonus otot mulai menurun).

Plana 2: Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume tidak menurun,

frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi di tengah, pupil

midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot sedang, dan refleks

laring hilang sehingga dapat dikerjakan intubasi.

Plana 3: Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai paralisis,

lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring dan peritoneum

tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempurna (tonus otot semakin menurun).

Plana 4: Pernapasan tidat teratur oleh perut karena otot interkostal paralisis total,

pupil sangat midriasis; refleks cahaya hilang, refleks sfingter ani dan kelenjar air

mata tidak ada, relaksasi otot lurik sempurna (tonus otot sangat menurun).

4) Stadium lV

Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya

pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. Pada stadium ini tekanan darah tak

dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian. Kelumpuhan

pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan buatan.

F. Tahapan Tindakan Anestesi Umum

1. Penilaian dan persiapan pra-anestesi

Persiapan pra-bedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya

kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan kunjungan

pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan

7

Page 8: lapkas anestesi

bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan

operasi, mengurangi biaya operasi, dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.10

a) Penilaian pra-bedah

1) Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi

sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang

perlu mendapat perhatian khusus misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,

gatal-gatal, atau sesak napas pasca bedah sehingga dapat dirancang anestesi

berikutnya dengan baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang dapat

menimbulkan masalah di masa lalu sebaiknya jangan digunakan ulang

misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam waktu 3 bulan atau

suksinilkolin yang menimbulkan apnea berkepanjangan juga jangan diulang.

Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya.10

2) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, atau lidah relatif besar

sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan

laringoskopi intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan

umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi, dan

auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.10

3) Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium dilakukan atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi pemeriksaan darah

(Hb, leukosit, masa perdarahan, dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada

usia pasien di atas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto

thoraks.10

4) Kebugaran untuk anestesi

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk

menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar. Sebaliknya pada operasi sito,

penundaan yang tidak perlu harus dihindari.3

8

Page 9: lapkas anestesi

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik

seseorang adalah yang berasal dari The American Society of

Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat perkiraan risiko

anestesi karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek

samping pembedahan.10

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas

rutin terbatas.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat

melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman

kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Pada bedah cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf E.

5) Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko

utama pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko

tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan

anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode

tertentu sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8

jam, anak kecil 4-6 jam, dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak

diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi. Minuman air putih, teh

manis sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih dalam

jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.10

b) Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah dilakukan

premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi diberi dengan tujuan

untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anestesi di antaranya:3,10

9

Page 10: lapkas anestesi

1) Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien

a) Menghilangkan rasa khawatir melalui:

Kunjungan pre-anestesi.

Pengertian masalah yang dihadapi.

Keyakinan akan keberhasilan operasi.

b) Memberikan ketenangan (sedatif).

c) Membuat amnesia.

d) Mengurangi rasa sakit (analgesik non-narkotik atau narkotik).

e) Mencegah mual dan muntah.

2) Memudahkan atau memperlancar induksi

Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.

3) Mengurangi jumlah obat-obat anestesi

Pemberian hipnotik sedatif atau narkotik.

4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah atau liur)

5) Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung

Pemberian antikolinergik atropin, primperan, rantin, atau H2 antagonis.

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara

intramuskuler minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang sangat

darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti obat-obat dapat

diberikan secara intravena. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Jika

pembedahan belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian

premedikasi intramuskuler, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi

jika diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali

atropin dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-

lahan dan diencerkan.3

Obat-obat yang sering digunakan3:

1) Analgesik narkotik

a) Petidin (amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b) Morfin (amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

c) Fentanyl (fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB

10

Page 11: lapkas anestesi

2) Hipnotik

a) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

b) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB

3) Sedatif

a) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB

b) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg), dosis 0,1mg/kgBB

c) Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB

d) Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

4) Antikolinergik

a) Sulfas atropin (antikolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg), dosis 0,001

mg/kgBB

5) Neuroleptik

a) Droperidol, dosis 0,1 mg/kgBB

2. Induksi anestesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar

sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat

dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuskuler, atau rektal. Setelah pasien tidur

akibat induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai

tindakan pembedahan selesai.10

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S: Scope - Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih

bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup

terang.

T: Tube - Pipa trakea pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan > 5

tahun dengan balon (cuffed).

A: Airway - Pipa mulut faring (guedel, oro-tracheal airway) atau pipa hidung-faring

(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar

untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

T: Tape - Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.

11

Page 12: lapkas anestesi

I: Introducer - Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel)yang mudah

dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.

C : Connector - Penyambung antara pipa dan peralatan anestesi.

S : Suction - penyedot lendir, ludah, dan lain-lainnya.

Macam-macam induksi pada anestesi umum yaitu:

a. Induksi intravena

Paling banyak dikerjakan. Indikasi intravena dikerjakan dengan hati-hati,

perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam

kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien,

nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen.

Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.10

Obat-obat induksi intravena 2,3,9:

Tiophental (pentothal, tiophenton)

Sediaan ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan

dilarutkan dalam akuades steril sampai kepekatan 2,5% (1 ml = 25 mg).

Hanya digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan

perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Bergantung dosis dan

kecepatan suntikan tiophental akan menyebabkan pasien berada dalam

keadaan sedasi, hipnosis, anestesi, atau depresi napas. Tiophental

menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial, dan

diduga dapat melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah

bersifat anti-analgesik.

Kontra Indikasi:

1) Anak-anak di bawah 4 tahun

2) Shock , anemia, uremia dan penderita-penderita yang lemah

3) Gangguan pernafasan: asthma, sesak nafas, infeksi mulut dan saluran

nafas

4) Penyakit jantung

12

Page 13: lapkas anestesi

5) Penyakit hati

6) Penderita yang terlalu gemuk sehingga sukar untuk menemukan vena

yang baik.

Propofol (diprivan, recofol)

Propofol ( 2,6 – diisopropylphenol ) merupakan derivat fenol

yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena. Dikemas dalam

cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan

kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan intravena sering menyebabkan

nyeri sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2

mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan

untuk anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam, dan dosis sedasi untuk

perawatan intensif 0.2 mg/kg. Pengenceran hanya boleh dengan dekstrosa

5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil.

Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui, tapi

diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A

(Gamma Amino Butired Acid).

Ketamin (ketalar)

Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin,

merupakan “rapid acting non barbiturate general anesthesia”. Kurang

digemari karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi,

nyeri kepala, serta pasca anestesi dapat timbul mual-muntah, pandangan

kabur, dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi

midazolam (dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg

intravena dan untuk mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01

mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuskuler 3-10 mg.

Ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5%

(1 ml = 50 mg), 10% (1 ml = 100 mg).

13

Page 14: lapkas anestesi

Opioid (morfin, petidin, fentanyl, sufentanyl)

Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskuler

sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan

jantung. Untuk anestesi opioid digunakan fentanyl dosis 20-50 mg/kg

dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

b. Induksi intramuskuler 10

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara

intramuskuler dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

c. Induksi inhalasi 3,9

N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida)

Berbentuk gas, tidak berwarna, bau manis, tidak iritasi, tidak terbakar,

dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.

Bersifat anastetik lemah dan analgesi kuat sehingga sering digunakan untuk

mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang

digunakan tunggal, sering dikombinasi dengan salah satu cairan anastetik lain

seperti halotan.

Halotan (fluotan)

Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya

cukup dalam, stabil, dan sebelum tindakan diberikan analgesik semprot

lidokain 4% atau 10% sekitar faring-laring. Induksi halotan memerlukan gas

pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2

> 4 ltr/mnt atau campuran N2O:O2 = 3:1. Aliran > 4 ltr/mnt. Kalau pasien

batuk konsentrasi halotan diturunkan, untuk kemudian kalau sudah tenang

dinaikan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan. Kelebihan dosis dapat

menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi,

bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan

inhibisi refleks baroreseptor. Merupakan analgesik lemah tetapi anestesi kuat.

Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula

darah.

14

Page 15: lapkas anestesi

Enfluran

Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih

iritatif disbanding halotan. Depresi sirkulasi lebih kuat dibanding halotan

tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik

lebih baik dibanding halotan.

Isofluran (foran, aeran)

Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intrakranial. Peninggian

aliran darah otak dan tekanan intrakranial dapat dikurangi dengan teknik

anestesi hiperventilasi sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah

otak. Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal sehingga

digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada pasien

dengan gangguan koroner.

Desfluran (suprane)

Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%) bersifat

simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi napas

seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas sehingga tidak

digunakan untuk induksi anestesi.

Sevofluran (ultane)

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk

walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %.

Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran. Baunya

tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas sehingga digemari untuk

induksi anestesi inhalasi di samping halotan.

d. Induksi per rektal 9,10

Obat anestesi diserap lewat mukosa rectum kedalam darah dan selanjutnya

sampai ke otak. Dipergunakan untuk tindakan diagnostic (katerisasi jantung,

roentgen foto, pemeriksaan mata, telinga, oesophagoscopi, penyinaran dsb)

terutama pada bayi-bayi dan anak kecil. Juga dipakai sebagai induksi narkose

dengan inhalasi pada bayi dan anak-anak.

15

Page 16: lapkas anestesi

Syaratnya adalah:

1.Rectum betul-betul kosong

2.Tak ada infeksi di dalam rectum. Lama narkose 20-30 menit.

Obat-obat yang digunakan:

- Pentothal 10% dosis 40 mg/kgBB

- Tribromentothal (avertin) 80 mg/kgBB

e. Induksi mencuri 10

Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa

hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien tetapi kita berikan

jarak beberapa sentimeter sampai pasien tertidur baru sungkup muka kita

tempelkan.

3. Rumatan anestesi (maintenance)

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total), dengan inhalasi,

atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi mengacu pada trias

anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesik cukup,

diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri, dan relaksasi otot

lurik yang cukup.10

Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl 10-50

μg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesik cukup

sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga

menggunakan opioid dosis biasa tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12

mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total intravena, pelumpuh otot, dan

ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau

N2O + O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 dengan

perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4

vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu,

atau dikendalikan.10

16

Page 17: lapkas anestesi

4. Tatalaksana jalan napas 9,10

Hubungan jalan napas dan dunia luar melalui 2 jalan:

Hidung menuju nasofaring

Mulut menuju orofaring

Hidung dan mulut dibagian depan dipisahkan oleh palatum durum dan palatum

molle dan dibagian belakang bersatu di hipofaring. Hipofaring menuju esofagus

dan laring dipisahkan oleh epiglotis menuju ke trakea. Laring terdiri dari tulang

rawan tiroid, krikoid, epiglottis, dan sepasang aritenoid, kornikulata, dan

kuneiform.

1. Manuver tripel jalan napas

Terdiri dari:

1) Kepala ekstensi pada sendi atlanto-oksipital

2) Mandibula didorong ke depan pada kedua angulus mandibula

3) Mulut dibuka

Dengan maneuver ini diharapkan lidah terangkat dan jalan napas bebas sehingga

gas atau udara lancer masuk ke trakea lewat hidung atau mulut.

2. Jalan napas faring

Jika maneuver tripel kurang berhasil maka dapat dipasang jalan napas mulut

faring lewat mulut (oro-pharyngeal airway) atau jalan napas lewat hidung (naso-

pharyngeal airway).

3. Sungkup muka

Mengantar udara atau gas anestesi dari alat resusitasi atau sistem anestesi ke

jalan napas pasien. Bentuknya dibuat sedemikian rupa sehingga ketika

digunakan untuk bernapas spontan atau dengan tekanan positif tidak bocor dan

gas masuk semua ke trakea lewat mulut atau hidung.

4. Sungkup laring (laryngeal mask)

Merupakan alat jalan napas berbentuk sendok terdiri dari pipa besar berlubang

dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembang-kempiskan

seperti balon pada pipa trakea. Tangkainya dapat berupa pipa keras dari polivinil

atau lembek dengan spiral untuk menjaga supaya tetap paten.

17

Page 18: lapkas anestesi

Dikenal 2 macam sungkup laring:

1) Sungkup laring standar dengan 1 pipa napas.

2) Sungkup laring dengan2 pipa yaitu 1 pipa napas standar dan lainnya pipa

tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esofagus.

5. Pipa trakea (endotracheal tube)

Mengantar gas anestesi langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan

standar polivinil-klorida. Pipa trakea dapat dimasukan melalui mulut

(orotracheal tube) atau melalui hidung (nasotracheal tube).

6. Laringoskopi

Fungsi laring ialah mencegah benda asing masuk paru. Laringoskop merupakan

alat yang digunakan untuk melihat laring secara langsung supaya kita dapat

memasukkan pipa trakea dengan baik dan benar. Secara garis besar dikenal 2

macam laringoskop:

1) Bilah, daun (blade) lurus (Macintosh) untuk bayi-anak-dewasa.

2) Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa.

Klasifikasi tampakan faring pada saat membuka mulut terbuka maksimal dan

lidah dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi 4 gradasi.

18

Page 19: lapkas anestesi

Gambar 1. Klasifikasi struktur faring Berdasarkan Mallampati3

7. Intubasi

Intubasi trakea ialah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui

rima glotis sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara

pita suara dan bifurkasio trakea. Indikasi sangat bervariasi dan umumnya

digolongkan sebagai berikut:

1) Menjaga patensi jalan napas oleh sebab apapun

Kelainan anatomi, bedah kasus, bedah posisi khusus, pembersihan sekret

jalan napas, dan lain-lainnya.

2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi

Misalnya saat resusitasi memungkinkan penggunaan relaksan dengan

efisien, dan ventilasi jangka panjang.

3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

Adapun prosedur dalam pelaksanaan intubasi meliputi:

Persiapan

1) Persiapan alat yang dibutuhkan seperti: laringoskop, ET, stilet, dan lain-

lain.

2) Masih siap pakai atau alat bantu napas.

3) Obat induksi seperti: pentotal, ketalar, diprivan, dan lain-lain.

19

Page 20: lapkas anestesi

4) Obat pelumpuh otot seperti: suksinil kolin, atrakurium, pavulon, dan

lain-lain.

5) Obat darurat seperti: adrenalin (efinefrin), SA, mielon, dan lain-lain.

Tindakan

1) Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap.

2) Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+).

3) Jika fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira-kira 1

menit.

4) Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan

mendorong kepala sedikit ekstensi → mulut membuka.

5) Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit

demi sedikit, menyelusuri kanan lidah, dan menggeser lidah ke kiri.

6) Cari epiglotis → tempatkan bilah di depan epiglotis (pada bilah

bengkok) atau angkat epiglotis (pada bilah lurus).

7) Cari rima glotis (dapat dengan bantuan asisten dengan menekan trakea

dar luar).

8) Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah.

9) Masukan ETT melalui rima glotis.

10) Hubungkan pangkal ETT dengan mesin anestesi dan atau alat bantu

napas (alat resusitasi)

Adapun kesulitan dalam intubasi yaitu:

Leher pendek berotot

Mandibula menonjol

Maksila atau gigi depan menonjol

Uvula tidak terlihat

Gerak sendi temporo-mandibular terbatas

Gerak vertebra servikal terbatas

Adapun komplikasi pada intubasi yaitu:

20

Page 21: lapkas anestesi

Selama intubasi

1) Trauma gigi geligi

2) Laserasi bibir, gusi, laring

3) Merangsang saraf simpatis

4) Intubasi bronkus

5) Intubasi esofagus

6) Aspirasi

7) Spasme bronkus

Setelah ekstubasi

1) Spasme laring

2) Aspirasi

3) Gangguan fonasi

4) Edema glotis-subglotis

5) Infeksi laring, faring, trakea

Sedangkan untuk pelaksanaan ekstubasi harus memperhatikan hal-hal berikut

ini:

1) Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar jika:

Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan

Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi

2) Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan dengan

catatan tidak akan terjadi spasme laring.

3) Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan

cairan lainnya.

5. Pasca anestesi 3

Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama

yang menggunakan anestesi umum maka perlu melakukan penilaian terlebih dahulu

untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan atau masih

perlu diobservasi di ruang recovery room (RR).

1) Aldrete score

21

Page 22: lapkas anestesi

Nilai warna

Merah muda 2

Pucat 1

Sianosis 0

Pernapasan

Dapat bernapas dalam dan batuk 2

Dangkal tetapi pertukaran udara adekuat 1

Apnea atau obstruksi 0

Sirkulasi

Tekanan darah menyimpang < 20% dari normal 2

Tekanan darah menyimpang 20-50% dari normal 1

Tekanan darah menyimpang > 50% dari normal 0

Kesadaran

Sadar, siaga, dan orientasi 2

Bangun tetapi cepat kembali tertidur 1

Tidak berespons 0

Aktivitas

Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2

Dua ekstremitas dapat digerakkan 1

Tidak bergerak 0

Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

2) Steward score (anak-anak)

Pergerakan

Gerak bertujuan 2

Gerak tak bertujuan 1

Tidak bergerak 0

Pernapasan

Batuk, menangis 2

22

Page 23: lapkas anestesi

Pertahankan jalan napas 1

Perlu bantuan 0

Kesadaran

Menangis 2

Bereaksi terhadap rangsangan 1

Tidak bereaksi 0

Jika jumlah > 5, penderita dapat dipindahkan ke ruangan.

G. Mesin dan Peralatan Anestesi

Fungsi mesin anestesia (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas

anestetik yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien

dan membuang sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesia sangat banyak

ragamnya, mulai dari yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin

yang aman dan ideal ialah mesin yang memenuhi persyaratan berikut 10:

1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat

2. Ruang rugi (dead space) minimal

3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien

4. Bertekanan rendah

5. Kelembaban terjaga dengan baik

6. Penggunaannya sangat mudah dan aman

Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari :

1. Sumber O2, N2O dan udara tekan

2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)

3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)

4. Meteran aliran gas (flow meter)

5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)

6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)

7. Lubang O2 darurat (oxygen flush control)3

Berdasarkan sistim aliran udara pernapasan dalam rangkaian alat anestesi, anestesi

dibedakan menjadi 4 sistem, yaitu : Open, semi open, closed, dan semi closed 9:

23

Page 24: lapkas anestesi

1. Sistem open adalah sistem yang paling sederhana. Di sini tidak ada hubungan fisik

secara langsung antara jalan napas penderita dengan alat anestesi. Karena itu tidak

menimbulkan peningkatan tahanan respirasi. Di sini udara ekspirasi babas keluar

menuju udara bebas. Kekurangan sistem ini adalah boros obat anestesi, menimbulkan

polusi obat anestesi di kamar operasi, bila memakai obat yang mudah terbakar maka

akan meningkatkan resiko terjadinya kebakaran di kamar operasi, hilangnya

kelembaban respirasi, kedalaman anestesi tidak stabil dan tidak dapat dilakukan

respirasi kendali.

2. Dalam sistem semi open alat anestesi dilengkapi dengan reservoir bag selain

reservoir bag, ada pula yang masih ditambah dengan klep 1 arah, yang mengarahkan

udara ekspirasi keluar, klep ini disebut non rebreating valve. Dalam sistem ini tingkat

keborosan dan polusi kamar operasi lebih rendah dibanding sistem open.

3. Dalam sistem semi closed, udara ekspirasi yang mengandung gas anestesi dan

oksigen lebih sedikit dibanding udara inspirasi, tetapi mengandung CO2 yang lebih

tinggi, dialirkan menuju tabung yang berisi sodalime, disini CO2 akan diikat oleh

sodalime. Selanjutnya udara ini digabungkan dengan campuran gas anestesi dan

oksigen dari sumber gas ( FGF /Fresh Gas Flow) untuk diinspirasi kembali.

Kelebihan aliran gas dikeluarkan melalui klep over flow. Karena udara ekspirasi

diinspirasi lagi, maka pemakaian obat anestesi dan oksigen dapat dihemat dan kurang

menimbulkan polusi kamar operasi.

4. Dalam sistem closed prinsip sama dengan semi closed, tetapi disini tidak ada udara

yang keluar dari sistem anestesi menuju udara bebas. Penambahan oksigen dan gas

anestesi harus diperhitungkan, agar tidak kurang sehingga menimbulkan hipoksia dan

anestesi kurang adekuat, tetapi juga tidak berlebihan, karena pemberian yang

berlebihan bisa berakibat tekanan makin meninggi sehingga. menimbulkan pecahnya

alveoli paru. Sistem ini adalah sistem yang paling hemat obat anestesi dan tidak

menimbulkan polusi. Pada sistem closed dan semiclosed juga disebut system

rebreathing, karena udara ekspirasi diinspirasi kembali, sistem ini juga perlu

sodalime untuk membersihkan CO2. Pada system open dan semi open juga disebut

sistem nonrebreathing karena tidak ada udara ekspirasi yang diinspirasi kembali,

sistem ini tidak perlu sodalime. Untuk menjaga agar pada sistem semi open tidak

24

Page 25: lapkas anestesi

terjadi rebreathing, aliran campuran gas anestesi dan oksigen harus cepat, biasanya

diberikan antara 2 – 3 kali menit volume respirasi penderita.

H. Kontraindikasi Anestesi Umum 3,9

Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:

b. Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat II total (tidak ada

gelombang P).

c. Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik >110 mmHg), diabetes

melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glomerulonefritis akut.

Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak boleh diberikan anestesi

umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah kematian DOT (death on the table)

meninggal di meja operasi atau selain itu. Kemudian kontraindikasi relatif ialah pada saat

itu tidak bisa dilakukan anestesi umum tetapi melihat perbaikan kondisi pasien hingga

stabil mungkin baru bisa diberikan anestesi umum.

2. Anestesi Pada Pasien Geriatri dan Anemia

A. Anestesi Pada Geriatri

1) Definisi Penuaan

Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan

kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat betahan

terhadap jejas dan memperbaiki kerusakan yang diderita.6

Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan

terhadap infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan

struktural yang disebut penyakit degeneratif (hipertensi, aterosklerosis, DM,

dan kanker).6

Perubahan fisiologis penuaan dapat mempengaruhi hasil operasi tetapi

penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko. Secara umum pada usila

terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan juga menurunnya

respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan juga

mudah terjadi hipotermia.6

25

Page 26: lapkas anestesi

Departemen Kesehatan RI mengelompokkan usia lanjut berdasarkan

undang-undang no. 4 tahun 1985 yaitu 5:

1. Usia lanjut dini, adalah kelompok dalam prasenium, yaitu kelompok yang

memasuki usia lanjut (55-64 tahun)

2. Usia lanjut, adalah kelompok dalam masa senium (65 tahun)

3. Usia lanjut dengan risiko tinggi, yaitu kelompok yang berusia di atas 70 tahun,

atau kelompok usia lanjut yang menderita penyakit berat atau cacat.

Bicara mengenai proses penuaan meliputi apa yang disebut dengan5:

1) Usia kronologis

2) Usia fisiologis/biologis

3) Usia klinis

a. Usia kronologis

Usia kronologis banyak dipakai secara luas dan global dalam penentuan

usia tua. Berbagai provider asuransi kesehatan memakai usia kronologis untuk

mengelompokkan usia berkaitan dengan resiko kesehatan. Namun usia

kronologis tidak dapat mutlak dipakai sebagai patokan bahwa usia tua lebih

tinggi resiko kesehatannya daripada usia lebih muda. Sebagai contoh, usia 85

tahun dengan kondisi fisik baik lebih rendah resiko tindakan anestesi dan bedah

dibandingkan usia 65 tahun dengan kondisi kesehatan yang buruk.5

b. Usia fisiologis/biologis

Usia ini menggambarkan perubahan sistem fisiologis berkaitan dengan

peningkatan usia selama hidup. Usia ini mengaitkan antara penurunan fungsi dan

cadangan sistem tubuh dalam mengatasi stress yang didapat. Dengan

menurunnya cadangan fisiologis pada pasien geriatri menyebabkan respon

kompensasi terhadap stress yang didapat tidak cukup sehingga menimbulkan

dekompensasi sistem organ dan penyakit.5

c. Usia klinis

Usia klinis lebih konseptual dan berguna untuk para klinisi. Usia klinis

menggabungkan faktor intrinsik yang merupakan usia fisiologis dan faktor

26

Page 27: lapkas anestesi

ekstrinsik yang merupakan proses penyakit, yang keduanya menyebabkan

terjadinya penurunan cadangan fisiologis, penurunan kapasitas fungsional dan

gangguan hemastasis pada geriatri.5

2) Perubahan Fisiologis

a) Sistem Kardiovaskular

Kemampuan cadangan kardiovaskular menurun, sejalan dengan

pertambahan usia di atas 40 tahun. Penurunan kemampuan cadangan ini sering

baru diketahui pada saat terjadi stres anestesia dan pembedahan. Akibat proses

penuaan pada sistem kardiovaskular, yang tersering adalah hipertensi. Pada

pasien manula hipertensi harus diturunkan secara perlahan-lahan sampai

tekanan darah 140/90 mmHg. Pada manula, tekanan sistolik sama pentingnya

dengan tekanan diastolik. Tahanan pembuluh darah perifēr biasanya meningkat

akibat penebalan serat elastis dan peningkatan kolagen serta kalsium di arteri-

arteri besar. Kedua hal tersebut sering menurunkan isi cairan intravaskuler.

Waktu sirkulasi memanjang dan aktivitas baroreseptor menurun. Terjadi

penurunan respon terhadap rangsangan simpatis, dan kemampuan adaptasi

serta autoregulasi menurun. Perubahan pembuluh darah seperti di atas juga

terjadi pada pembuluh koroner dengan derajat yang bervariasi, disertai

penebalan dinding ventrikel. sistem konduksi jantung juga dipengaruhi oleh

proses penuaan, sehingga sering terjadi perlambatan konduksi intraventikular,

perubahan-perubahan segmen ST dan gelombang T serta fibrilasi atrium.

Semua hal di atas mengakibatkan penurunan kemampuan respon sistem

kardiovaskuler dalam menghadapi stres. Pemulihan anestesi juga

memanjang.6,11

b) Sistem Pernafasan

Pada paru dan sistem pernafasan elastisitas jaringan paru berkurang,

sehingga menyebabkan distensi alveoli berlebihan yang berakibat mengurangi

permukaan alveolar, sehingga menurunkan efisiensi pertukaran gas.

Kontraktilitas dinding dada juga menurun, meningkatnya ketidakserasian

27

Page 28: lapkas anestesi

antara ventilasi dan perfusi, sehingga mengganggu mekanisme ventilasi,

dengan akibat menurunnya kapasitas vital dan cadangan paru,

meningkatnya pernafasan diafragma, jalan nafas menyempit dan terjadilah

hipoksemia. Menurunnya respons terhadap hiperkapnia, sehingga dapat

terjadi gagal nafas. Proteksi jalan nafas yaitu batuk, pembersihan

mucociliary berkurang, refleks laring dan faring juga menurun sehingga

berisiko terjadi infeksi dan kemungkinan aspirasi isi lambung lebih besar.

Selain itu, Arthritis sendi temporomandibular atau tulang belakang servikal

mempersulit intubasi. 6,11

c) Sistem Ginjal

Pada ginjal jumlah nefron berkurang, sehingga laju filtrasi

glomerulus (LFG) menurun, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat.

Respons terhadap kekurangan Na menurun, sehingga berisiko terjadi

dehidrasi. Kemampuan mengeluarkan garam dan air berkurang, dapat

terjadi overload cairan dan juga menyebabkan kadar hiponatremia.

Ambang rangsang glukosuria meninggi, sehingga glukosa urin tidak dapat

dipercaya. Produksi kreatinin menurun karena berkurangnya massa otot,

sehingga meskipun kreatinin serum normal, tetapi LFG telah menurun.

Perubahan-perubahan di atas menurunkan kemampuan cadangan ginjal,

sehingga manula tidak dapat mentoleransi kekurangan cairan dan kelebihan

beban zat terlarut. Pasien-pasien ini lebih mudah mengalami peningkatan kadar

kalium dalam darahnya, apalagi bila diberikan larutan garam kalium secara

intra vena. Kemampuan untuk mengekskresi obat menurun dan pasien manula

ini lebih mudah jatuh ke dalam asidosis metabolik. Aliran darah ginjal

menurun sekitar 10% per dekade setelah usia 50 tahun. Penurunan aliran darah

ginjal dikaitkan dengan kondisi medis seperti hipertensi, penyakit pembuluh

darah, diabetes, dan penyakit jantung yang dapat memperburuk efek dari

kelainan ginjal. Penurunan aliran darah ini dihubungkan dengan penurunan

respon terhadap stimulus vasodilatasi, sehingga ginjal pada usia lanjut sangat

rentan terhadap efek berbahaya dari penurunan curah jantung, hipotensi,

hipovolemia, dan perdarahan. Stres akibat tindakan anestesi dan pembedahan,

28

Page 29: lapkas anestesi

nyeri, stimulasi simpatik, dan obat-obatan vasokonstriksi ginjal dapat

berkontribusi untuk terjadinya disfungsi ginjal perioperatif. 6,11 

d) Sistem Saraf Pusat

Pada sistem saraf pusat, terjadi perubahan-perubahan fungsi kognitif,

sensoris, motoris, dan otonom. Kecepatan konduksi saraf sensoris berangsur

menurun. Perfusi otak dan konsumsi oksigen otak menurun. Massa otak

mengalami penurunan seiring pertambahan usia, kehilangan sel-sel neuron

yang paling menonjol di temukan pada korteks serebral khususnya di lobus

frontalis. Aliran darah otak juga menurun sekitar 10-20% yang sesuai dengan

penurunan sejumlah sel-sel neuron. Sel-sel neuron mengalami penurunan

dalam hal ukuran dan kehilangan beberapa kompleksitas cabang dendritik dan

sejumlah sinapsis. Terdapat juga penurunan sintesis dari beberapa

neurotransmiter, seperti dopamin, dan sejumlah reseptornya. Tempat

pengikatan serotonergik, adrenergik, dan asam γ-aminobutirat(GABA) juga

berkurang. Perubahan-perubahan tersebut mengakibatkan pasien usia lanjut

lebih mudah dipengaruhi oleh efek samping obat terhadap sistem saraf pusat

sehingga sering membutuhkan waktu lebih lama untuk sembuh sepenuhnya

dari efek anestesi umum. Dengan demikian konsentrasi alveolar minimum dari

anestetika menurun dengan bertambahnya usia.6,11

e) Sistem Hati, Lambung dan Usus

Pasien manula mungkin sekali lebih mudah mengalami cedera hati

akibat obat-obat, hipoksia dan transfusi darah. Beberapa obat anestesi dan nyeri

seperti opioid dan tranquilizer disaring dari plasma oleh hepar, sehingga durasi

efek obat tersebut dapat memanjang pada pasien geriatri. Obat yang tergantung

pada hepatosit seperti warfarin, dapat menghasilkan efek berlebihan karena

terjadi peningkatan sensitivitas. Selain itu, Biotransformasi dan produksi

albumin menurun dan kadar kolinesterase plasma berkurang.5

Akibat menurunnya fungsi persarafan sistem gastrointestinal, sfingter

gastro–esofageal tidak begitu baik lagi, disamping waktu pengosongan

lambung yang memanjang sehingga mudah terjadi regurgitasi.6

29

Page 30: lapkas anestesi

f) Sistem Endokrin dan Metabolik

Terdapat penurunan konsumsi oksigen basal dan maksimal akibat

penuaan. Penurunan produksi panas, peningkatkan kehilangan panas, dan

pengaturan suhu pada hipotalamus mungkin diatur pada tingkat yang lebih

rendah. Peningkatan resistensi insulin menyebabkan penurunan secara

progresif dalam hal kemampuan untuk menghadapi beban glukosa. Pada pasien

usia lanjut yang sehat, respon neuroendokrin terhadap stres tampaknya tidak

berubah atau sedikit menurun. Proses penuaan berhubungan dengan penurunan

respon terhadap obat-obatan adrenergik ("blok endogen").5,11

g) Sistem Muskuloskeletal

Massa otot berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini

ditandai dengan penurunan eliminasi dari farmakokinetik dari obat-obatan

pelumpuh otot. Pemberian dosis awal obat tersebut mungkin tidak harus

dikurangi, tetapi pemberian dosis total umumnya dikurangi.5

Bertambahnya lemak tubuh dan penurunan massa sel tubuh terutama

massa otot dengan meningkatnya usia akan meningkatkan cadangan deposit

obat anestetik yang larut dalam lemak. Sekuestrasi obat ini memperlambat

eliminasi obat hingga residu konsentrasi obat meningkat dan efek anestesi

memanjang, retensi obat anestesi dalam lemak ini juga menambah

kemungkinan perlambatan biotrasformasi.5,11

Kulit mengalami atrofi dan rentan terhadap trauma akibat plester

perekat, bantalan elektrokauter, dan elektroda elektrokardiografi. Dinding vena

sering menjadi rapuh dan mudah ruptur pada saat infus intravena. Atritis sendi

dapat mengganggu pengaturan posisi pasien (misalnya, litotomi) atau anestesi

regional (misalnya, blok subaraknoid). Penyakit degeneratif servikal dapat

membatasi ekstensi leher yang berpotensi membuat intubasi menjadi sulit.11

3) Evaluasi Preoperatif

Penilaian pra operasi memainkan bagian penting dalam mengurangi

komplikasi pasca operasi. Pemahaman tentang status fisik pasien akan memberikan

panduan terhadap penilaian jenis penyakit komorbid dan tingkat keparahannya,

30

Page 31: lapkas anestesi

jenis monitoring yang diperlukan, optimasi pra operasi dan prediksi akan timbulnya

komplikasi pasca operasi. Pemahaman riwayat penyakit yang mendetail,

pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penilaian risiko tindakan

pembedahan harus difokuskan selama evaluasi pra operasi.5,11

a) Informed Consent11

Pasien, anggota keluarga atau wali pasien harus diberitahu tentang

intervensi bedah dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul. Kapasitas

putusan merupakan prasyarat untuk suatu informed consent yang sesuai dengan

hukum dan moral. Pasien usia lanjut mungkin tidak sepenuhnya memahami

intervensi yang direncanakan, sehingga kerabat terdekat harus terlibat untuk

memperoleh informed consent yang terperinci. Status mental dan kognitif

pasien harus dipertimbangkan dan didokumentasikan. 

b) Riwayat Penyakit dan Status Gizi

Riwayat kondisi medis lengkap dan operasi sebelumnya harus dicatat

karena pasien usia lanjut biasanya sedang menjalani banyak terapi obat-obatan.

Defisiensi nutrisi yang sering dialami oleh pada usia lanjut harus dinilai secara

akurat. Hitung darah lengkap yang menunjukkan anemia, kadar albumin serum

yang kurang dari 3.2g/dl dan kolesterol kurang dari 160mg/dl telah terbukti

sebagai penanda risiko outcome pasca operasi yang merugikan. Indeks massa

tubuh yang kurang dari 20 kg/m2 pada pasien usia lanjut mungkin

mengarahkan peningkatan morbiditas karena penyembuhan luka yang tertunda,

sehingga suplemen gizi pra operatif harus dipertimbangkan.5

c) Pemeriksaan fisik

Meskipun pasien usia lanjut memiliki riwayat medis yang panjang,

mereka biasanya tidak memberikan rincian penyakit mereka, ini merupakan

konsekuensi yang tidak dapat dihindari akibat usia tua. Pemeriksaan fisik harus

mencakup informasi yang mendetail tentang status hidrasi, gizi, tekanan darah,

nadi dan kondisi sistemik.11

31

Page 32: lapkas anestesi

Penilaian status mental pra operasi sangat penting karena biasanya

mencerminkan status kognitif pasca operasi. Demensia pra operasi merupakan

prediktor yang penting dari outcome bedah yang buruk.6

d) Pemeriksaan Penunjang Pra operasi

Pasien usia lanjut harus menjalani berbagai tes yang akan membantu

menentukan parameter kesehatan pasien, bahkan pada mereka yang sehat dan

termasuk diantaranya11:

Hitung darah lengkap: Hb, jumlah limfosit

Urem, kreatinin dan elektrolit akan memberikan informasi tentang fungsi

ginjal karena akan mengalami perubahan secara bertahap dengan

pertambahan usia. Bersihan kreatinin merupakan indeks penting.

Gula darah dan kolesterol harus diperiksa karena tingginya insiden

diabetes mellitus dan ateroskleorsis.

Kadar albumin dan fungsi pembekuan darah

Pemeriksaa elektrokardiogram (EKG) harus dilakukan pada semua pasien

yang berusia di atas 60 tahun, terlepas dari ada riwayat penyakit jantung

atau tidak.

Rontgen dada dan tes fungsi paru pada pasien dengan penyakit paru

obstruktif kronis.

Pemeriksaan jantung.

4) Penanganan Perioperatif

a) Farmakologi Klinis 6,11

Secara umum berbagai obat-obatan dan teknik anestesi yang sesuai

digunakan untuk orang yang berusia lebih muda dan dewasa juga dapat

digunakan pada pasien usia lanjut dengan keterbatasan fisiologi mereka.

Mungkin diperlukan modifikasi teknik dan khususnya dosis obat. Tidak ada

32

Page 33: lapkas anestesi

regimen anestesi yang "ideal" untuk pasien usia lanjut. Mayoritas obat-obatan

anestesi yang lebih poten pada pasien usia lanjut dengan pengecualian atropin

(dosis harus ditingkatkan untuk menghasilkan respon heart rate yang

diinginkan). 

Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik

(hubungan antara dosis obat dan konsentrasi plasma) dan farmakodinamik

(hubungan antara konsentrasi plasma dan efek klinis). Namun perubahan yang

berhubungan dengan penyakit dan variasi antar individu yang luas bahkan pada

populasi yang sama menyebabkan perubahan ini tidak selalu konsisten.

Penurunan progresif massa otot dan peningkatan lemak tubuh (terutama

pada wanita usia lanjut) menyebabkan penurunan total jumlah cair tubuh. Hal

ini menyebabkan konsentrasi plasma obat-obatan yang larut air dapat lebih

tinggi, sebaliknya konsentrasi plasma obat-obatan larut lemak dapat lebih

renah. Perubahan dalam volume distribusi obat dapat mempengaruhi waktu

paruh eliminasi obat. Jika volume distribusi obat ditingkatkan, waktu paruhnya

akan diperpanjang kecuali tingkat klirens juga meningkat. Namun karena

fungsi ginjal dan hepar juga berkurang seiring pertambahan usia, penurunan

tingkat klirens memperpanjang durasi kerja beberapa obat. Studi menunjukkan

bahwa pasien usia lanjut yang sehat, aktif hanya mengalami sedikit atau tidak

ada perubahan dalam volume plasma.

Distribusi dan eliminasi obat juga dipengaruhi oleh perubahan binding

protein plasma. Albumin, yang cenderung untuk mengikat obat-obatan yang

bersifat asam (misalnya, barbiturat, benzodiazepin, agonis opioid), biasanya

menurun sesuai pertambahan usia. Asam-1 glikoprotein, yang mengikat obat

dasar (misalnya, anestesi lokal) mengalami peningkatan. Obat-obatan yang

terikat dengan protein tidak dapat berinteraksi dengan reseptor organ dan tidak

dapat dimetabolisme atau diekskresi.

Perubahan farmakodinamik utama yang terkait dengan penuaan adalah

penurunan kebutuhan obat-obatan anestesi, ditunjukkan oleh MAC yang lebih

rendah. Titrasi obat-obatan anestesi secara hati-hati dapat membantu untuk

menghindari efek samping dan durasi kerja yang berkepanjangan. Obat-obatan

33

Page 34: lapkas anestesi

kerja pendek seperti propofol, remifentanil, desflurane, dan suksinilkolin

mungkin sangat berguna pada pasien usia lanjut. Obat yang tidak terlalu

tergantung pada fungsi hepar, ginjal atau aliran darah seperti mivakurium,

atrakurium, dan cisatrakurium juga dapat bermanfaat.

Pasien usia lanjut memerlukan dosis obat-obatan premedikasi yang

lebih rendah. Premedikasi opioid hanya digunakan jika kondisi preoperatif

pasien disertai nyeri berat. Antikolinergik tidak diperlukan karena pada pasien

usia lanjut kelenjar saliva biasanya mengalami atrofi. Namun, antagonis H2

berguna untuk mengurangi risiko aspirasi. Metoclopramide juga dapat

digunakan untuk mempercepat pengosongan lambung, meskipun risiko efek

ekstrapiramidal lebih tinggi pada pasien usia lanjut. 

Dibutuhkan konsentrasi obat-obatan inhalasi yang lebih rendah selama

kombinasi anestesi epidural - general untuk toleransi endotrakea dan mencegah

pasien terbangun intraoperatif.

b) Farmakologi Klinis Obat-obat Anestesi Spesifik

Anestesi Inhalasi11

Konsentrasi alveolar minimum (The minimum alveolar

concentration = MAC) mengalami penurunan kurang lebih 6% per

dekade pada mayoritas anestesi inhalasi. Pola yang serupa terlihat juga

pada MAC-awake. Oleh karena itu pasien usia lanjut membutuhkan

volume anestesi inhalasi yang lebih rendah untuk mencapai efek yang

sama dengan pasien yang lebih muda. Mekanisme kerja anestesi inhalasi

berhubungan dengan gangguan pada aktivitas kanal ion neuronal

terhadap nikotinik, asetilkolin, GABAA dan reseptor glutamat. Mungkin

adanya gangguan karena penuaan pada kanal ion, aktivitas sinaptik,

atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab terhadap perubahan

farmakodinamik tersebut.

Isoflurane adalah mungkin yang paling sesuai, karena relatif stabil

dalam sistem kardiovaskuler, memiliki onset dan durasi kerja yang singkat

dan hanya 0,2% dari dosis diberikan yang dimetabolisme. Terdapat efek

depresi miokard dari anestesi volatile yang berlebihan pada pasien usia

34

Page 35: lapkas anestesi

lanjut, sedangkan isoflurane dan desflurane jarang menimbulkan efek

takikardi. Dengan demikian isoflurane dapat mengurangi curah jantung

dan denyut jantung pada pasien usia lanjut.

Obat-obatan inhalasi yang kurang larut seperti sevofluran dan

desflurane mengalami metabolisme yang minimal dan sebagian besar

diekskresikan oleh paru-paru. Halotan memiliki keuntungan dengan

kurang menimbulkan iritasi pada saluran pernapasan, meskipun obat ini

meningkatkan sensitifitas miokardium terhadap katekolamin dan mungkin

dapat memicu takiaritmia. Eter telah digunakan dengan baik selama

bertahun-tahun, dan pada pasien usia lanjut sebaiknya diberikan pada

konsentrasi rendah dengan dukungan ventilasi. Hal ini memungkinkan

pasien untuk bangun lebih cepat daripada anestesi dengan konsentrasi eter

yang lebih tinggi.

Pemulihan dari anestesi dengan obat-obatan

anestesi volatile mungkin dapat memanjang karena adanya peningkatan

volume distribusi (lemak tubuh meningkat), penurunan fungsi hepar

(penurunan metabolisme halotan), dan penurunan pertukaran gas paru.

Eliminasi cepat dari desflurane dapat menjadi alasan sebagai anestesi yang

dipilih untuk pasien usia lanjut.

Anestesi intravena dan benzodiazepine5,11

Tidak ada perubahan sensitivitas otak terhadap tiopental yang

berhubungan dengan usia. Namun, dosis tiopental yang diperlukan

untuk mencapai anestesia menurun sejalan dengan pertambahan usia.

Penurunan dosis tiopental sehubungan dengan usia disebabkan karena

penurunan volume distribusi inisial obat tersebut. Penurunan volume

distribusi inisial terjadi pada kadar obat dalam serum yang lebih tinggi

setelah pemberian tiopental dalam dosis tertentu pada pasien berusia

lanjut. Sama seperti pada kasus etomidate, perubahan farmakokinetik

sesuai usia (disebabkan karena penurunan klirens dan volume distribusi

inisial), bukan gangguan responsif otak yang terganggu, bertanggung

jawab terhadap penurunan dosis etomidate yang diperlukan pada pasien

35

Page 36: lapkas anestesi

berusia lanjut. Dosis etomidate dapat dikurangi sampai 50% pada individu

yang berusia > 80 tahun.

Meskipun propofol mungkin merupakan obat induksi yang

mendekati ideal untuk pasien usia lanjut karena eliminasi yang cepat,

namun obat ini lebih mungkin untuk menyebabkan apnea dan hipotensi

dibandingkan pada pasien yang lebih muda. Propofol juga dapat

menyebabkan penurunan tekanan darah yang berlebihan. Pemberian

midazolam, opioid, atau ketamin secara bersama-sama dapat menurunkan

kebutuhan propofol. Faktor farmakokinetik dan farmakodinamik

bertanggung jawab untuk peningkatan sensitivitas otak terhadap propofol.

Pasien usia lanjut membutuhkan kadar propofol darah untuk anestesi yang

hampir 50% lebih rendah dibandingkan pasien yang lebih muda. Selain itu

tingkat keseimbangan perifer dan klirens sistemik untuk propofol

berkurang secara signifikan pada pasien usia lanjut. Penuaan menurunkan

jumlah volume pemberian untuk semua benzodiazepin, yang dapat

memperpanjang waktu paruh eliminasi obat tersebut. Untuk diazepam,

waktu paruh eliminasi dapat berlangsung selama 36-72 jam. Peningkatan

sensitivitas farmakodinamik untuk benzodiazepin juga telah diamati.

Dosis yang diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi

mengalami penurunan sebesar 75% pada pasien berusia lanjut, waktu

paruh eliminasi memanjang dari sekitar 2,5 sampai 4 jam. Perubahan ini

berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak dan penurunan

klirens obat.

Opioid11

Usia merupakan prediktor penting perlu tidaknya penggunaan

morfin post operatif, pasien berusia lanjut hanya memerlukan sedikit

obat untuk menghilangkan rasa nyeri. Morfin dan metabolitnya

morphine-6-elucuronide mempunyai sifat analgetik. Klirens morfin

akan menurun pada pasien berusia lanjut. Morphine-6-glueuronide

36

Page 37: lapkas anestesi

tergantung pada eksresi renal. Pasien dengan insufisiensi ginjal

mungkin menderita gangguan eliminasi morfin glucuronides, dan hal

ini bertanggung jawab terhadap peningkatan analgesia dari dosis morfin

yang diberikan pada pasien berusia lanjut.

Shafer melakukan tinjauan komperehensif terhadap

farmakologi sufentanil, alfentanil, dan fentanil pada pasien berusia

lanjut. Sufentanil, alfentanil, dan fentanil kurang lebih dua kali lebih

poten pada pasien berusia lanjut. Penemuan ini berhubungan dengan

peningkatan sensitivitas otak terhadap opioid sejalan dengan usia,

bukan karena gangguan farmakokinetik.

Penambahan usia berhubungan dengan perubahan

farmakokinetik dan farmakodinamik dari remifentanil. Pada usia lanjut

terjadi peningkatan sensitivitas otak terhadap remifentanil.

Remifentanil kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien usia lanjut,

dan dosis yang diperlukan adalah satu setengah kali bolus.

Pelumpuh Otot6,11

Umumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik

pelumpuh otot. Durasi kerja mungkin akan memanjang, bila obat

tersebut tergantung pada metabolisme ginjal atau hati. Diperkirakan

terjadi penurunan pancuronium pada pasien berusia lanjut, karena

ketergantungan pancuronium terhadap eksresi ginjal. Perubahan klirens

pancuronium pada usia lanjut masih kontroversial. Atracurium

bergantung pada sebagian kecil metabolisme hati dan ekskresi, dan

waktu paruh eliminasinya akan memanjang pada pasien usia lanjut.

Tidak terjadi perubahan klirens dengan bertambahnya usia, yang

menunjukkan adanya jalur eliminasi alternatif (hidrolisis eter dan

eliminasi Hoffmann) penting pada pasien berusia lanjut. Klirens

vecuronium plasma lebih rendah pada pasien berusia lanjut. Durasi

memanjang yang berhubungan dengan usia terhadap kerja vecuronium

menggambarkan penurunan reversi ginjal atau hepar.

37

Page 38: lapkas anestesi

5) Penanganan Intraoperatif

a) Induksi Anastesi 11

Data menunjukkan bahwa penyakit penyerta preoperatif merupakan

determinan yang lebih besar terhadap komplikasi post operatif dibandingkan

dengan penatalaksanaan anestesi. Pada pasien usia lanjut, preoksigenasi

agresif yang setara untuk anestesi inhalasi menurun secara linear dengan

pertambahan usia, oleh karena itu dosis obat yang mempengaruhi SSP perlu

dikurangi untuk mengantisipasi efek sinergi obat. Penggunaan bersama

propofol, midazolam, opioid dapat meningkatkan kedalaman anestesi.

Hipotensi adalah kejadian yang umum didapatkan sehingga dosis obat-obatan

ini harus dititrasi. Dipilih obat yang bekerja singkat. Metode titrasi opioid

mungkin lebih baik menggunakan opioid dengan kerja singkat seperti

remifentanil. Dengan menambahkan dosis bolus dan infus, variabilitas

farmakokinetik remifentanil akan lebih rendah bila dibandingkan dengan

opioid intravena lainnya. Sama halnya dengan pilihan menggunakan

pelumpuh otot dengan kerja yang lebih singkat. Beberapa penelitian

menunjukkan adanya peningkatan insidens komplikasi pulmoner dan blok

residual postoperatif pada pasien yang diberikan pancuronium bila

dibandingkan dengan atracurium atau vecuronium. Bila dibandingkan

dengan anestesi inhalasi, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna pada

pemulihan profil fungsi kognitif. Desflurane berhubungan dengan

emergensi paling cepat.

Belum jelas hal apa yang mendukung penanganan fisiologis optimal

sehingga memberikan hasil pembedahan terbaik. Apakah itu tekanan darah

optimal selama pembedahan? Hal ini telah dipertanyakan selama tindakan

bypass cardiopulmoer, dimana pertanyaan dititik beratkan pada tekanan

berapakah tekanan perfusi yang paling baik. Menurut penelitian, pasien

dengan usia lanjut dapat menerima anestesia hipotensif dengan aman

(tekanan darah arteri rata-rata adalah 45-55 mmHg) selama pembedahan

ortopedik tanpa terjadi peningkatan risiko. Penggunaan kateter arteri

pulmonal pada pasien berisiko tinggi juga dipertanyakan karena banyak

38

Page 39: lapkas anestesi

penelitian randomissasi prospektif yang menganalisis mortalitas selama

perawatan dan tidak didapatkannya keuntungan dari terapi dengan

memasukkan kateter arteri pada pasien usia lanjut berisiko tinggi yang

memerlukan perawatan ICU.

b) Anestesi regional berbanding anestesi umum5,6

Tidak ada satu pun teknik anestesi atau analgesia regional yang

dianggap paling ideal untuk suatu prosedur bedah. Pilihan tergantung banyak

faktor. Analgesia regional dilakukan pada operasi tertentu seperti abdominal

bawah, bedah ortopedi dan pada pasien yang kooperatif. Ketenangan dan

kerjasama pasien dibutuhkan dalam memposisikan dan mempertahankan posisi

selama dilakukan anestesia regional.

Sorensen & Pace menunjukkan dari 13 RCT yang diteliti menunjukkan

tidak adanya perbedaan yang bermakna angka mortalitas, komplikasi

perdarahan hebat intra operatif pada pasien usia lanjut yang dilakukan

pembiusan umum atau regional. Namun terdapat perbedaan angka kejadian

deep vein trombosis pada pasien dengan pembiusan regional.

Penelitian oleh Rodgers dkk juga tidak dapat menunjukkan perbedaan

bermakna insiden gangguan kognitif pasca operasi dengan pembiusan umum

atau regional walaupun angka komplikasi gangguan kognitif dalam 3 hari

pasca operasi atau pembiusan pada pasien yang mengalami pembiusan regional

lebih kecil.

Meskipun anestesi regional mungkin memiliki beberapa keunggulan

dibandingkan anestesi umum, termasuk jarang menimbulkan tromboemboli,

gangguan kesadaran dan pernafasan pasca-bedah. Namun hipotensi lebih sering

ditemukan pada pasien usia lanjut yang menjalani anestesi spinal / epidural

karena terjadi gangguan fungsi otonom dan penurunan penyesuaian arteri. Pada

pasien dengan penyakit jantung berat yang memerlukan kontrol tekanan darah

ketat, anestesi umum mungkin lebih baik.

c) Hipotermia11

39

Page 40: lapkas anestesi

Pembedahan umumnya dapat menyebabkan hipotermia karena faktor

lingkungan dan tindakan anestesi yang menginduksi inhibisi mekanisme

termoregulator normal. Pasien usia lanjut lebih beresiko untuk mengalami

hipotermia karena anestesi yang mengubah mekanisme termoregulator dan

tingkat metabolisme basal yang rendah. Hipotermia intraoperatif dapat menjadi

faktor risiko jantung independen untuk penyakit jantung pasca operasi pada

usia lanjut. Oleh karena itu, pada pasien usia lanjut harus dilakukan upaya

untuk mencegah kehilangan panas. Langkah-langkah untuk mencegah

hipotermia adalah: pembersihan pasca operasi dengan cairan yang hangat,

menggunakan sistem pemanasan, menghangatkan cairan IV, menjaga suhu

lingkungan tetap hangat, menutupi pasien dengan selimut sebelum dan setelah

operasi. 

d) Manajemen Cairan11

Mengelola volume intravaskular yang tepat sangat penting dengan

menghindari kelebihan dan kekurangan pemberian cairan. Karena adanya

peningkatan afterload, penurunan respon inotropik atau chronotoropic serta

gangguan respon vasokonstriksi menyebabkan pasien usia lanjut sangat

tergantung pada preload yang memadai. Pasien usia lanjut juga rentan terhadap

dehidrasi karena penyakit, penggunaan diuretik, puasa pra operasi dan

penurunan respon haus. Asupan cairan oral hingga 2 - 3 jam sebelum operasi,

dan terapi pemeliharaan cairan yang cukup serta menghindari terapi diuretik

sebelum operasi dapat menghindarkan kejadian hipotensi mendadak segera

setelah induksi anestesia. Hidrasi yang berlebihan juga harus dihindari pada

usia lanjut dengan ganggaun jantung karena mereka lebih rentan untuk

terjadinya kegagalan sistolik, perfusi organ yang jelek dan penurunan GFR.

Penting pula untuk melakukan pemantauan kateter vena sentralis atau

arteri pulmonalis intraoperatif untuk mengukur volume darah sentral khusus

pada pasien usia lanjut yang cenderung memiliki penurunan volume darah

dalam jumlah besar atau pergeseran cairan. Penting untuk menjaga tekanan

vena sentral pada kisaran 8 - 10 mmHg dan tekanan arteri pulmonalis14 - 18

mm Hg untuk mempertahankan output jantung yang memadai.1

40

Page 41: lapkas anestesi

6) Penaganan postoperatif

a) Manajemen Jalan Napas11

Penanganan masalah jalan napas post operatif merupakan hal yang

penting. Pasien berusia lanjut mempunyai risiko yang lebih tinggi

mengalami aspirasi sekunder terhadap penurunan progresif pada

diskriminasi sensorik laringofaringeal yang terjadi dengan penambahan

usia. Selain itu disfungsi proses menelan juga merupakan predisposisi

aspirasi pada pasien berusia lanjut. Pembalikan efek blok neuromuskuler,

penggunaan pipa nasogastrik, mengembalikan refleks faring dan laring,

motilitas gastrointestinal dan ambulasi dini dengan konversi intake oral setelah

operasi dapat meminimalkan insiden aspirasi pasca operasi.

b) Terapi Oksigen11

Dianjurkan untuk memberikan terapi oksigen pasca-operasi untuk

semua pasien usia lanjut, terutama setelah pembedahan abdomen atau dada,

penyakit kardiovaskuler atau pernapasan, kondisi kehilangan darah yang

signifikan, atau bila telah diberikan analgetik opioid. Nasal kanul sering

ditoleransi lebih baik daripada masker. 

c) Penanganan Nyeri Akut Post Operatif6,11

Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut,

dimana nyeri pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol

nyeri yang kurang optimal dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada

usia lanjut karena komorbiditas terkait seperti penyakit jantung iskemik,

penurunan cadangan ventilasi, perubahan metabolisme.

Penuaan mengganggu fungsi organ dan farmakokinetik. Kombinasi

pemeriksaan nyeri dan dosis obat merupakan tantangan dalam penanganan

nyeri postoperatif pada pasien berusia lanjut. Beberapa prinsip umum harus

diingat saat menangani pasien usia lanjut yang rentan. Pertama, penting

untuk mencoba membandingkan berbagai jenis analgetik, seperti analgetik

yang diberikan intravena, dan blok saraf regional, untuk meningkatkan

41

Page 42: lapkas anestesi

analgesia dan menurunkan toksisitas narkotik. Prinsip ini terutama pada

pasien berusia lanjut yang rentan, dengan toleransi yang buruk terhadap

narkotik sistemik. Kedua, penggunaan analgetik dengan daerah kerja

spesifik akan sangat membantu, seperti pada ekstremitas atas untuk blok

saraf lokal. Ketiga, bila mungkin harus digunakan obat anti inflamasi untuk

memisahkan narkotik, analgetik, dan menurunkan mediator inflamasi.

Kecuali terdapat kontra indikasi, atau kecenderungan terjadi hemostasis atau

ulserasi peptikum, maka obat anti inflamasi non steroid harus diberikan.

Penanganan nyeri post operatif dengan opioid dapat digunakan setelah

dosisnya disesuaikan dengan usia.

d) Disfungsi kognitif postoperative 6

Perubahan jangka pendek dalam kinerja tes kognitif selama hari

pertama sampai beberapa minggu setelah operasi telah dicatat dengan baik dan

biasanya mencakup beberapa kognitif seperti, perhatian, memori, dan

kecepatan psikomotorik. Penurunan kognitif awal setelah pembedahan

sebagian besar akan membaik dalam waktu 3 bulan. Risiko-risiko terjadinya

penurunan kognitif postoperatif adalah usia, tingkat pendidikan yang

rendah, gangguan kognitif preoperatif, depresi, dan prosedur pembedahan.

Disfungsi kognitif jangka pendek setelah pembedahan dapat disebabkan

karena berbagai etiologi, termasuk mikroemboli (terutama pada

pembedahan jantung), hipoperfusi, respons inflamasi sistemik (bypass

kardiopulmoner), anestesia, depresi, dan faktor-faktor genetik (alel E4).

Ada tidaknya kontribusi anestesi terhadap disfungsi kognitif

postoperatif jangka panjang masih kontroversi dan memerlukan penelitian

yang intensif. Pada prosedur non-cardiac, anestesia mempunyai pengaruh

yang paling ringan terhadap terjadinya penurunan kognitif jangka panjang,

walaupun efek ini mungkin akan meningkat sejalan dengan bertambahnya

usia. Penurunan kognitif post-operatif setelah pembedahan non-cardiac akan

kembali normal pada kebanyakan kasus, tetapi bisa juga menetap pada

kurang lebih 1% pasien.

42

Page 43: lapkas anestesi

e) Hasil Perawatan Intensif 6,11

Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat tinggi atau

tersedia fasilitas perawatan intensif, hal ini dapat meningkatkan outcome

jangka panjang dari pasien usia lanjut, khususnya mereka yang menjalani

operasi darurat. 

Sejumlah penelitian telah meneliti hasil jangka panjang setelah

perawatan kritis pada pasien berusia lanjut. Pasien yang mampu bertahan

setelah keluar dari ICU tampaknya berhubungan erat dengan tingkat

keparahan penyakit saat masuk, sedangkan usia dan status fungsional

prehospital berhubungan erat dengan tingkat survival jangka panjang.

B. Anestesi Pada Pasien Anemia

Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah

merah: konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah (hemoglobin

<10 g/dl , hematokrit <30 % , dan eritrosit < 2,8juta/mm3). Secara fisiologis, anemia

terjadi apabila terdapat kekurangan jumlah hemoglobin untuk mengangkut oksigen ke

jaringan sehingga tubuh akan mengalami hipoksia. Anemia merupakan gejala dan tanda

penyakit tertentu yang harus dicari penyebabnya agar dapat diterapi dengan tepat.

Anemia dapat disebabkan oleh 1 atau lebih dari 3 mekanisme independen yaitu

berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya destruksi sel darah merah dan

kehilangan darah.12

Kriteria anemia menurut WHO adalah 13:

1. Laki-laki dewasa                     : Hb < 13 g/dl

2. Wanita dewasa tidak hamil     : Hb < 12 g/dl

3. Wanita hamil                           : Hb < 11 g/dl

4. Anak umur 6-14 tahun            : Hb < 12 g/dl

5. Anak umur 6 bulan – 6 tahun : Hb < 11 g/dl

Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin menurut WHO adalah13 :

1. Ringan sekali   : Hb 10 g/dl-batas normal

2. Ringan             : Hb 8 g/dl-9,9 g/dl

43

Page 44: lapkas anestesi

3. Sedang            : Hb 6 g/dl-7,9 g/dl

4. Berat               : Hb < 6 g/dl

Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin akan

berkurang. Hal ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan, jantung harus

memompa darah lebih banyak sehingga timbul takikardi, murmur, dan kadang timbul

gagal jantung pada pasien dengan anemia. Peran anestesi adalah memastikan bahwa

organ vital menerima oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolisme,

selama prosedur bedah berlangsung. Penentu transport oksigen termasuk di antaranya

ialah pertukaran gas di pulmo, afinitas Hb-O2, konsentrasi total Hb, dan cardiac output.

Seluruhnya bekerja dalam satu sistem dan menyediakan kapasitas oksigen yang

adekuat. Apabila ada penurunan pada satu komponen di atas, maka menyebabkan

komponen lain terpengaruh. Dari komponen tersebut, haemoglobin mempunyai

kemungkinan terbesar untuk dimanipulasi sehingga dapat meningkatkan transport

oksigen.7

Setelah mengalami proses ventilasi, perfusi dan difusi oksigen akan

ditransportasikan dari sirkulasi pulmoner ke seluruh jaringan tubuh secara fisik terlarut

dalam plasma dan secara kimia terikat dengan haemoglobin. Satu molekul hemoglobin

dapat mengikat 4 molekul oksigen dan bentuk ikatan tersebut adalah reversibel dan

berlangsung sangat cepat sekitar 0,01 detik. Kebanyakan oksigen ditransportasi secara

kimiawi.7

Oksigenasi jaringan yang adekuat tidak tergantung pada kadar haemoglobin

normal saja. Perdarahan intraoperative utamanya digantikan dengan cairan bebas

eritrosit seperti cairan kristaloid atau koloid (Ringer Laktat, Dextran, Hydroxyethyl

Starch, gelatine). Selama keadaan normovolemia tercapai, keadaan anemia dilusi dan

penurunan kadar oksigen arterial (CaO2) akan terkompensasi tanpa timbulnya risiko

hipoksia jaringan, melalui peningkatan cardiac output. Reduksi progresif dari CaO2 akan

menurunkan delivery oksigen pada jaringan (DO2). 7

Pada keadaan hemodilusi yang ekstrim (ketika sudah melewati DO2 crit),

jumlah oksigen yang sudah dihantarkan ke jaringan menjadi tidak sesuai dengan

permintaan oksigen dari jaringan, sebagai konsekuensinya, VO2 mulai turun. Penurunan

44

Page 45: lapkas anestesi

VO2 harus diinterpretasikan sebagai tanda indirek dari manifestasi hipoksia jaringan.

Tanpa penanganan, keadaan DO2 crit akan menyebabkan kematian dalam waktu kurang

dari 3 jam.7

Faktor yang mempengaruhi pengangkutan oksigen antara lain: 7

1. Volume Darah

Komponen utama untuk kompensasi efektif adalah normovolemia. Selama

hipovolemia permintaan oksigen seluruh tubuh meningkat karena release

katekolamin dan hormons stress lain dibandingakan dengan bila normovolemia.

2. Kedalaman Anestesi

Pada dosis tinggi, kebanyakan anestesi menurunkan cardiac output selama

hemodilusi dan menurunkan toleransi anemia.

3. Pelemas Otot (muscle relaxant)

Otot rangka mempunyai masa tubuh ⅓ dari total, sehingga relaksasi muscular

dapat secara efektif menurunkan permintaan oksigen dan meningkatkan toleransi

anemia.

4. Temperature Tubuh

Pada studi model didapatkan hipotermia meningkatkan toleransi anemia

karena penurunan permintaan oksigen tubuh.

5. Performa Miokard

Pasien dengan coronary artery disease, gagal jantung kongestif, konsumsi

obat-obatan cardiodepresan, akan menyebabkan penurunan toleransi anemia.

Identifikasi DO2 crit dapat dilakukan dengan7:

1. Pulmonary Artery catheter

2. Metabolic monitoring

45

Page 46: lapkas anestesi

3. ECG (perubahan segmen ST) dan Trans Esophageal Echocardiography (TEE)

(perubahan pergerakan dinding regional)

Apabila didapatkan perdarahan massif, dapat dilakukan transfusi perioperatif.

Transfusi sel darah merah perioperatif jarang diindikasikan pada pasien dengan Hb > 10

g/dl, namun hampir selalu diindikasikan pada pasien dengan Hb < 6 g/dl. Pada pasien

dengan risiko kardiovaskular, konsentrasi Hb perioperatif harus dijaga antara 8 – 10

g/dl. 7

Setiap keputusan transfusi harus berdasarkan: 7

1. Konsentrasi Hb actual

2. Adanya komorbiditas penyakit kardiopulmonar

3. Penampakan keadaan anemia secara fisik

4. Dinamika perdarahan  

Komponen darah yang dipakai adalah Packed Red Cell (PRC). Dapat

meningkatkan 1.1 g/dl per unit, pada pasien dewasa dengan BB 70 kg. Pada perdarahan

akut tanpa resusitasi cairan, akan membutuhkan waktu beberapa jam untuk

meningkatnya Hb. Pada situasi terkontrol (cairan hilang digantikan dengan kristalloid /

koloid  sehingga dicapai keadaan normovolemia), satu unit PRC dapat

menyeimbangkan Hb dalam waktu yang cepat (kurang dari 15 menit). 7

Guideline transfusi darah CBO, 20057:

1. Mempertimbangkan transfusi darah kerika Hb < 6.4 g/dl :

a. Perdarahan akut pada pasien ASA 1 dengan usia < 60 tahun

b. Individu sehat dengan anemia kronis asimptomatik

2. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 8 g/dl:

a. Perdarahan akut pada individu sehat (ASA 1) dengan usia > 60 tahun

b. Perdarahan akut pada keadaan multitrauma

c. Prediksi perdarahan perioperatif > 500 cc

d. Pasien dengan demam

e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko komplikasi

3. Mempertimbangkan transfusi darah ketika Hb < 10 g/dl

46

Page 47: lapkas anestesi

a. Pasien ASA 4

b. Pasien dengan penyakit gagal jantung, penyakit katup jantung

c. Pasien sepsis

d. Pasien dengan penyakit paru parah

e. Pasien dengan simptomatik cerebrovaskular disease

Penanganan preoperatif yang perlu diperhatikan pada pasien dengan

anemia adalah7 :

1. Dari anamnesis perlu digali adanya riwayat perdarahan atau penyakit yang

menyebabkan anemia atau yang dapat memperburuk keadaan saat operasi.

2. Penyakit yang akan di operasi apakah berkaitan dengan anemia atau dapat

memperburuk anemia sehingga perlu dipersiapkan transfusi darah pre atau post

operasi.

3. Keadaan klinis pasien.

4. Kadar Hb pasien.

5. Adanya perdarahan

Monitoring peri operatif yang perlu diperhatikan pada pasien anemia7 :

1. Monitoring kardiovaskular

2. Monitoring respirasi

3. Monitoring blokade neuromuskuler dan sistem saraf

 Stimulasi saraf dapat dilakukan untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah

cukup baik saat operasi, dan apakah tonus otot kembali normal setelah selesai

anestesia.

4. Monitoring suhu

Monitoring suhu penting dilakukan untuk operasi lama atau pada bayi dan anak

kecil

5. Monitoring ginjal

Produksi urine normal minimal 0,5 – 1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama

dan sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distensi vesica urinaria.

47

Page 48: lapkas anestesi

3. Karsinoma Mammae

A. Definisi

Kanker payudara (Carcinoma mammae) adalah suatu penyakit neoplasma yang

ganas berasal dari parenchyma. Kanker payudara adalah tumor ganas pada jaringan

payudara. Jaringan payudara terdiri dari kelenjar susu (kelenjar pembuat air susu), saluran

kelenjar (saluran air susu), dan jaringan penunjang payudara.14

Oleh Word Health Organization (WHO) penyakit ini dimasukkan ke dalam

International Classification of Disease (ICD) dengan kode 174-175.15 Kanker payudara

terjadi karena adanya kerusakan pada gen yang mengatur pertumbuhan dan diffrensiasi

sehingga sel itu tumbuh dan berkembang biak tanpa dapat dikendalikan. Penyebaran

kanker payudara terjadi melalui pembuluh getah bening dan tumbuh di kelenjar getah

bening, sehingga kelenjar getah bening aksila ataupun supraklavikula membesar.

Kemudian melalui pembuluh darah kanker menyebar ke organ lain seperti paru-paru, hati

dan otak.14

Gambar 2. Anatomi Payudara8

B. Etiologi14,15

Penyebab pasti kanker payudara sampai saat ini belum diketahui. Penyebab

kanker payudara termasuk multifaktorial yaitu banyak faktor yang terkait satu dengan

yang lainnya. Beberapa faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya kanker payudara:

48

Page 49: lapkas anestesi

1. Usia

Risiko utama kanker payudara adalah bertambahnya usia. Berdasarkan

penelitian American Cancer Society tahun 2006 diketahui usia lebih dari 40 tahun

mempunyai risiko yang lebih besar untuk mendapatkan kanker payudara yakni 1 per

68 penduduk dan risiko ini akan bertambah seiring dengan pertambahan usia yakni

menjadi 1 per 37 penduduk usia 50 tahun, 1 per 26 penduduk usia 60 tahun dan 1 per

24 penduduk usia 70 tahun. Kanker payudara juga ditemukan pada usia <40 tahun

namun jumlahnya lebih sedikit yakni 1 per 1.985 penduduk usia 20 tahun dan 1 per

225 penduduk usia 30 tahun.22 Data American Cancer Society (2007) melaporkan

70% perempuan didiagnosa menderita kanker payudara di atas usia 55 tahun.

2. Jenis Kelamin

Kanker payudara lebih banyak ditemukan pada wanita. Pada pria juga dapat

terjadi kanker payudara, namun frekuensinya jarang hanya kira-kira 1% dari kanker

payudara pada wanita.

3. Riwayat Reproduksi

Riwayat reproduksi dihubungkan dengan banyak paritas, umur melahirkan

anak pertama dan riwayat menyusui anak. Wanita yang tidak mempunyai anak atau

yang melahirkan anak pertama di usia lebih dari 30 tahun berisiko 2-4 kali lebih

tinggi daripada wanita yang melahirkan pertama di bawah usia 30 tahun. Wanita

yang tidak menyusui anaknya mempunyai risiko kanker payudara 2 kali lebih besar.

Kehamilan dan menyusui mengurangi risiko wanita untuk terpapar dengan hormon

estrogen terus. Pada wanita menyusui, kelenjar payudara dapat berfungsi secara

normal dalam proses laktasi dan menstimulir sekresi hormon progesteron yang

bersifat melindungi wanita dari kanker payudara.

4. Riwayat Kanker Individu

Penderita yang pernah mengalami infeksi atau operasi tumor jinak payudara

berisiko 3-9 kali lebih besar untuk menderita kanker payudara. Penderita tumor jinak

49

Page 50: lapkas anestesi

payudara seperti kelainan fibrokistik berisiko 11 kali dan penderita yang mengalami

operasi tumor ovarium mempunyai risiko 3-4 kali lebih besar.

5. Riwayat Kanker Keluarga

Secara genetik, sel-sel pada tubuh individu dengan riwayat keluarga

menderita kanker sudah memiliki sifat sebagai embrio terjadinya sel kanker. Menurut

sutjipto (2000) yang dikutip oleh Elisabet T, kemungkinan terkena kanker payudara

lebih besar 2 hingga 4 kali pada wanita yang ibu dan saudara perempuannya

mengidap penyakit kanker payudara.

6. Menstruasi cepat dan Menopause lambat

Wanita yang mengalami menstruasi pertama (Menarche) pada usia kurang

dari 12 tahun berisiko 1,7 hingga 3,4 kali lebih tinggi daripada wanita dengan

menstruasi yang datang pada usia normal atau lebih dari 12 tahun dan wanita yang

mengalami masa menopausenya terlambat lebih dari 55 tahun berisiko 2,5 hingga 5

kali lebih tinggi. Wanita yang menstruasi pertama di usia kurang dari 12 tahun dan

wanita yang mengalami masa menopause terlambat akan mengalami siklus

menstruasi lebih lama sepanjang hidupnya yang mengakibatkan keterpaparan lebih

lama dengan hormon estrogen.

7. Pajanan Radiasi

Wanita yang terpapar penyinaran (radiasi) dengan dosis tinggi di dinding

dada berisiko 2 hingga 3 kali lebih tinggi.

8. Obesitas dan Konsumsi makanan lemak tinggi

Wanita yang mengalami kelebihan berta badan (obesitas) dan individu

dengan konsumsi tinggi lemak berisiko 2 kali lebih tinggi dari yang tidak obesitas

dan yang tidak sering mengkonsumsi makanan tinggi lemak. Risiko ini terjadi karena

jumlah lemak yang berlebihan dapat meningkatkan kadar estrogen dalam darah

sehingga akan memicu pertumbuhan sel-sel kanker.

C. Gambaran Klinis15,16

Umumnya berupa benjolan yang tidak nyeri pada payudara. Benjolan itu mula-

mula kecil, semakin lama akan semakin besar, lalu melekat pada kulit atau menimbulkan

50

Page 51: lapkas anestesi

perubahan pada kulit payudara atau pada puting susu. Kulit atau puting susu tadi menjadi

tertarik ke dalam (retraksi), berwarna merah muda atau kecoklat-coklatan sampai

menjadi oedema hingga kulit kelihatan seperti kulit jeruk (peau d'orange), mengkerut,

atau timbul borok (ulkus) pada payudara. Borok itu semakin lama akan semakin besar

dan mendalam sehingga dapat menghancurkan seluruh payudara, sering berbau busuk,

dan mudah berdarah.

Ciri-ciri lainnya antara lain:

Pendarahan pada puting susu

Rasa sakit atau nyeri pada umumnya baru timbul apabila tumor sudah besar, sudah

timbul borok, atau bila sudah muncul metastase ke tulang-tulang.

Kemudian timbul pembesaran kelenjar getah bening di ketiak, bengkak (edema) pada

lengan, dan penyebaran kanker ke seluruh tubuh.

Kanker payudara lanjut sangat mudah dikenali dengan mengetahui kriteria

operbilitas Heagensen sebagai berikut:

Terdapat edema luas pada kulit payudara (lebih 1/3 luas kulit payudara)

Adanya nodul satelit pada kulit payudara

Kanker payudara jenis mastitis karsinimatosa

Terdapat model parasternal

Terdapat nodul supraklavikula

Adanya edema lengan

Adanya metastase jauh

Serta terdapat dua dari tanda-tanda locally advanced, yaitu ulserasi

kulit, edema kulit, kulit terfiksasi pada dinding toraks, kelenjar getah bening aksila

berdiameter lebih 2,5 cm, dan kelenjar getah bening aksila melekat satu sama lain.

D. Stadium

Stadium penyakit kanker adalah suatu keadaan dari hasil penilaian dokter saat

mendiagnosis suatu penyakit kanker yang diderita pasiennya, sudah sejauh manakah

51

Page 52: lapkas anestesi

tingkat penyebaran kanker tersebut baik ke organ atau jaringan sekitar maupun

penyebaran ketempat lain. Stadium hanya dikenal pada tumor ganas atau kanker dan

tidak ada pada tumor jinak. Untuk menentukan suatu stadium, harus dilakukan

pemeriksaan klinis dan ditunjang dengan pemeriksaan penunjang lainnya

yaitu histopatologi atau PA, rontgen, USG, dan bila memungkinkan dengan CT

scan, scintigrafi, dll. Banyak sekali cara untuk menentukan stadium, namun yang paling

banyak dianut saat ini adalah stadium kanker berdasarkan klasifikasi sistem TNM yang

direkomendasikan oleh UICC (International Union Against Cancer dari World Health

Organization)/AJCC (American Joint Committee On cancer yang disponsori

oleh American Cancer Society dan American College of Surgeons). TNM merupakan

singkatan dari "T" yaitu tumor size atau ukuran tumor, "N" yaitu node atau kelenjar getah

bening regional dan "M" yaitu metastasis atau penyebaran jauh. Ketiga faktor T, N, dan

M dinilai baik secara klinis sebelum dilakukan operasi, juga sesudah operasi dan

dilakukan pemeriksaan histopatologi (PA). 16

Pada kanker payudara, penilaian TNM sebagai berikut15:

T (tumor size), ukuran tumor:

T 0: tidak ditemukan tumor primer

T 1: ukuran tumor diameter 2 cm atau kurang

T 2: ukuran tumor diameter antara 2-5 cm

T 3: ukuran tumor diameter > 5 cm

T 4: ukuran tumor berapa saja, tetapi sudah ada penyebaran ke kulit atau dinding dada

atau pada keduanya, dapat berupa borok, edema atau bengkak, kulit payudara

kemerahan atau ada benjolan kecil di kulit di luar tumor utama.

N (node), kelenjar getah bening regional:

N 0: tidak terdapat metastasis pada kgb regional di ketiak/aksilla

N 1: ada metastasis ke kgb aksilla yang masih dapat digerakkan

N 2: ada metastasis ke kgb aksilla yang sulit digerakkan

N 3: ada metastasis ke kgb di atas tulang selangka (supraclavicula) atau pada kgb

di mammary interna di dekat tulang sternum.

M (metastasis), penyebaran jauh:

52

Page 53: lapkas anestesi

M x: metastasis jauh belum dapat dinilai

M 0: tidak terdapat metastasis jauh

M 1: terdapat metastasis jauh

Setelah masing-masing faktor T, N, dan M didapatkan, ketiga faktor tersebut

kemudian digabung dan akan diperoleh stadium kanker sebagai berikut16:

Stadium 0 : Tis N0 M0

Stadium 1 : T1 N0 M0

Stadium II A : T0 N1 M0/T1 N1 M0/T2 N0 M0

Stadium II B : T2 N1 M0 / T3 N0 M0

Stadium III A : T0 N2 M0/T1 N2 M0/T2 N2 M0/T3 N1 M0/T2 N2 M0

Stadium III B : T4 N0 M0/T4 N1 M0/T4 N2 M0

Stadium III C : Tiap T N3 M0

Stadium IV : Tiap T-Tiap N-M1

a) Stadium 0

Disebut Ductal Carsinoma In Situ atau Non-invasive Cancer, yaitu kanker

tidak menyebar keluar dari pembuluh / saluran payudara dan kelenjar-kelenjar

(lobules) susu pada payudara16.

b) Stadium I

Tumor masih sangat kecil, diameter tumor terbesar kurang dari atau sama

dengan 2 cm dan tidak ada metastasis ke kelenjar limfe regional.16

Gambar 3. Stadium 1 Ca Mammae 14

53

Page 54: lapkas anestesi

c) Stadium II A16

Tidak ada tanda-tanda tumor pada payudara, tetapi terdapat metastasis kelenjar

limfe mobil di fosa aksilar ipsilateral.

Diameter tumor lebih kecil atau sama dengan 2 cm dan telah ditemukan

metastasis kelenjar limfe mobil di fosa aksilar ipsilateral.

Diameter tumor lebih lebar dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm dan tidak ada

metastasis ke kelenjar limfe regional

Gambar 4. Stadium IIa Ca Mammae14

d) Stadium II B16

Diameter tumor lebih dari 2 cm tapi tidak lebih dari 5 cm dan terdapat metastasis

kelenjar limfe mobil di fosa aksilar ipsilateral.

Diameter tumor lebih dari 5 cm, tetapi tidak terdapat metastasis kelenjar limfe

regional.

Gambar 5. Stadium IIb Ca Mammae14

54

Page 55: lapkas anestesi

e) Stadium IIIa16

Diameter tumor lebih kecil dari 5 cm dan terdapat metastasis kelenjar limfe di

fosa aksilar ipsilateral yang terfiksasi dengan jaringan lain.

Diameter tumor lebih dari 5 cm dan terdapat metastasis kelenjar limfe di fosa

aksilar ipsilateral yang terfiksasi dengan jaringan lain.

Gambar 6. Stadium IIIa Ca Mammae14

f) Stadium IIIb

Tumor telah menyebar ke dinding dada atau menyebabkan pembengkakan

bisa juga luka bernanah di payudara. Didiagnosis sebagai Inflamatory Breast Cancer.

Bisa sudah atau bisa juga belum menyebar ke pembuluh getah bening di ketiak dan

lengan atas, tapi tidak menyebar ke bagian lain dari organ tubuh.16

Gambar 7. Stadium IIIb Ca Mammae14

g) Stadium III C

Ukuran tumor bisa berapa saja dan terdapat metastasis kelenjar limfe

infraklavikular ipsilateral, atau bukti klinis menunjukkan terdapat metastasis kelenjar

55

Page 56: lapkas anestesi

limfe mammaria interna dan metastase kelenjar limfe aksilar, atau metastasis kelenjar

limfe supraklavikular ipsilateral.16

Gambar 8. Stadium IIIc Ca Mammae14

h) Stadium IV

Ukuran tumor bisa berapa saja, tetapi telah menyebar ke lokasi yang jauh,

yaitu : tulang, paru-paru, liver atau tulang rusuk.16

Gambar 9. Stadium IV Ca Mammae14

E. Patofisiologi

Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut

transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi.16

1. Fase inisiasi.

56

Page 57: lapkas anestesi

Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang

memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan

oleh suatu agen yang disebut karsinogen, yang bisa berupa

bahan kimia, virus, radiasi (penyinaran) atau sinar matahari. Tetapi tidak semua sel

memiliki kepekaan yang sama terhadap suatu karsinogen. Kelainan genetik dalam sel

atau bahan lainnya yang disebut promotor, menyebabkan sel lebih rentan terhadap

suatu karsinogen. Bahkan gangguan fisik menahun pun bisa membuat sel menjadi

lebih peka untuk mengalami suatu keganasan.15,16

2. Fase promosi.

Pada tahap promosi, suatu sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah

menjadi ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh

promosi. Karena itu diperlukan beberapa faktor untuk terjadinya keganasan

(gabungan dari sel yang peka dan suatu karsinogen).15,16

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis harus mencakup status haid, perkawinan, partus, laktasi, dan

riwayat kelainan mammae sebelumnya, riwayat keluarga yang menderita kanker,

fungsi kelenjar tiroid, penyakit ginekologik, dan lain-lain. Dalam riwayat penyakit

sekarang terutama harus perhatikan waktu timbulnya massa, kecepatan pertumbuhan,

dan hubungan dengan haid.16

2. Pemeriksaan fisik

Mencakup pemeriksaan fisik menyeluruh (sesuai pemeriksaan rutin) dan

pemeriksaan kelenjar mammae. Dari inspeksi, amati ukuran, simetri kedua mammae,

perhatikan apakah ada benjolan tumor atau perubahan patologik kulit (misal

cekungan, kemerahan, udem,erosi, nodul satelit, dll). Perhatikan kedua papila

mammae apakah simetri, ada retraksi, distorsi, erosi, an kelainan lain. Palpasi

umumnya dalam posisi berbaring, juga dapat kombinasi duduk dan baring. Waktu

periksa rapatkan keempat jari, gunakan ujung dan perut jari berlawanan arah jarum

jam atau searah jarum jam. Kemudian dengan lembut pijat areola mammae. Papila

57

Page 58: lapkas anestesi

mamae, lihat apakah keluar sekret. Jika terdapat tumor, harus secara rinci periksa dan

catat lokasi, ukuran, konsistensi, kondisi batas, permukaan mobilitas, nyeri tekan.

Ketika memeriksa apakah tumor melekat ke dasarnya, harus meminta lengan pasien

sisi lesi bertolak pinggang, agar m. Pektoralis mayor berkerut. Jika tumor dan kulit

atau dasar melekat, mobilitas terkekang, kemungkinan kanker sangat besar. Jika

terdapat sekret papila mammae, harus buat sediaan apus untuk pemeriksaan sitologi.

Pemeriksaan kelenjar limfe regional paling baik posisi duduk. Ketika memeriksa

aksila kanan, dengan tangan kiri topang siku kanan pasien, dengan ujung jari kiri

palpasi seluruh fosa aksila secara berurutan. Waktu memeriksa fosa aksila kiri

sebaliknya, dan terakhir periksa kelenjar supraklavikular.14,16

3. Pemeriksaan penunjang14

Mammografi

USG

MRI mammae

Pemeriksaan biopsi

G. Penatalaksanaan

1. Terapi bedah

Pasien yang pada awal terapi termasuk stadium 0, I, II dan sebagian stadium

III disebut kanker mammae operabel. Pola operasi yang sering dipakai adalah16 :

a) Mastektomi radikal :

Tahun 1890 Halsted pertama kali merancang dan mempopulerkan operasi

radikal kanker mammae, lingkup reseksinya mencakup kulit berjarak minimal 3

cm dari tumor, seluruh kelenjar mammae, m. Pektoralis mayor, m. Pektoralis

minor dan jaringan limfatik dan lemak subskapular, aksilar secara kontinu

enblok direseksi. Namun sekitar 20 tahun belakangan ini, dengan pemahaman

lebih dalam atas tabiat biologis karsinoma mammae, ditambah makin banyaknya

kasus stadium sedang dan dini serta kemajuan terapi kombinasi, maka

penggunaan mastektomi radikal konvensional telah makin berkurang.16

b) Mastektomi radikal modifikasi :

58

Page 59: lapkas anestesi

Lingkup reseksi sama dengan teknik radikal, tapi mempertahankan m.

Pektoralis mayor dan minor (model Auchincloss) atau mempertahankan m.

Pektoralis mayor, mereseksi m. Pektoralis minor (model Patey). Pola operasi ini

mempunyai kelebihan antara lain memacu pemulihan fungsi pasca operasi, tapi

sulit membersihkan kelenjar limfe aksilar superior. Dewasa ini, mastektomi

radikal modifikasi disebut sebagai mastektomi radikal standar, luas digunakan

secara klinis.14,16

c) Mastektomi total :

Hanya membuang seluruh kelenjar mammae tanpa membersihkan

kelenjar limfe. Model operasi ini terutama untuk karsinoma in situ atau pasien

lanjut usia.16

2. Radioterapi

Radioterapi terutama mempunyai 3 tujuan :

a) Radioterapi murni kuratif :

Radioterapi murni terhadap kanker mammae hasilnya kurang ideal,

survival 5 tahun 10-37%. Terutama digunakan untuk pasien dengan

kontraindikasi atau menolak operasi.16

b) Radioterapi adjuvan :

Menjadi bagian integral penting dari terapi kombinasi. Menurut

pengaturan waktu radioterapi dapat dibagi menjadi radioterapi pra-operasi

terutama untuk pasien stadium lanjut lokalisasi, dapat membuat sebagian kanker

mammae non-operabel menjadi kanker mammae yang operabel. Radioterapi

pasca operasi adalah radioterapi seluruh mammae (bila perlu ditambah

radioterapi kelenjar limfe regional). Indikasi radioterapi pasca mastektomi

adalah : diameter tumor primer ≥ 5 cm, fasia pektoralis terinvasi, jumlah kelenjar

59

Page 60: lapkas anestesi

limfe aksilar metastatik lebih dari 4 buah dan tepi irisan positif. Area target

iradiasi harus mencakup dinding toraks dan regio supraklavikular. Regio

mamaria interna jarang terjadi rekurensi klinik, sehingga perlu tidaknya

radioterapi rutin masih kontroversial.15,16

c) Radioterapi paliatif :

Terutama untuk terapi paliatif kasus stadium lanjut dengan rekurensi,

metastasis. Dalam hal meredakan nyeri efeknya sangat baik.16

3. Kemoterapi

Proses pemberian obat-obatan anti kanker dalam bentuk pil cair

atau kapsul atau melalui infus yang bertujuan membunuh sel kanker. Tidak hanya sel

kanker pada payudara, tapi juga di seluruh tubuh. Efek dari kemoterapi adalah pasien

mengalami mual dan muntah serta rambut rontok karena pengaruh obat-obatan yang

diberikan pada saat kemoterapi.14,16

4. Terapi Hormonal

Terapi hormonal terutama mencakup bedah dan terapi hormon. Terapi

hormonal bedah terutama adalah ooforektomi (disebut juga kastrasi) terhadap wanita

pramenopause, sedangkan adrenalektomi dan hipofisektomi sudah ditinggalkan.

Terapi hormonal medikamentosa yang digunakan di klinis yang terutama adalah obat

antiestrogen. Tamoksifen merupakan penyekat reseptor estrogen, mekanisme

utamanya adalah berikatan dengan reseptor estrogen secara kompetitif, menyekat

transmisi informasi ke dalam sel tumor sehingga berefek terapi.  Tamoksifen juga

memiliki efek mirip estrogen, berefek samping trombosis vena dalam, karsinoma

endometrium dan lain-lain. Sehingga perlu diperhatikan dan diperiksa secara

berkala.16

H. Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih

berat dan memberikan penanganan yang tepat pada penderita kanker payudara sesuai

60

Page 61: lapkas anestesi

dengan stadiumnya untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang hidup penderita.

Upaya rehabilitasi terhadap penderita kanker payudara dilakukan dalam bentuk

rehabilitasi medik serta rehabilitasi jiwa dan sosial. Rehabilitasi medik dilakukan untuk

mempertahankan keadaan penderita pasca operasi atau pasca terapi lainnya. Rehabilitasi

jiwa dan sosial diberikan melalui dukungan moral dari orang-orang terdekat dan

konseling dari petugas kesehatan maupun tokoh agama.14

BAB III

LAPORAN KASUS

1. Pre-Operatif

A. Identitas pasien

Nama : Ny. N

Umur : 62 tahun

BB : 70 Kg

TB : 165 cm

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : IRT

Suku bangsa : Jawa

Ruangan : Bedah Wanita

B. Anamnesis

61

Page 62: lapkas anestesi

Keluhan Utama : Luka pada payudara kanan ± 3 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke IGD RSU Jayapura dengan keluhan

terdapat luka pada payudara kanan disertai rasa nyeri ± 3

bulan yang lalu. Awalnya, 8 bulan yang lalu sebelum

terjadi luka pada payudara kanan terdapat benjolan

sebesar telur ayam puyuh yang semakin lama makin

membesar. Luka yang timbul berukuran ± 5 cm

kemudian disertai adanya darah. Demam tidak dirasakan

pasien. Sebelumnya pasien belum pernah berobat. Makan

/ minum (+), BAB / BAK (+ / +).

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini.

Riwayat Penyakit

Pernapasan

: Asma } disangkal

TBC

Riwayat Penyakit

Kardiovaskular

: Tidak ada

Riwayat Penyakit Lain : Tidak ada

Riwayat Alergi Obat : Tidak ada

Riwayat Operasi : Tidak ada

Kebiasaan : Merokok (-), alkoholik (-), obat-obatan (-)

C. Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos Mentis / E4V5M6

TD : 130 / 90 mmHg, N: 84 x/mensit, R : 20 x/menit, T : 36,8 °C

Kepala : Konjugtiva anemis (+), sclera ikterik (-)

Leher : Simetris (-), pembesaran kelenjar (-), massa (-)

62

Page 63: lapkas anestesi

Thorax :

Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-)

Palpasi : Vocal fremitus (+) normal, iktus kordis teraba

sejajar linea mid klavikula ICS 4-5

Perkusi : Pulmo : sonor

Cor : pekak

Auskultasi : Cor : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-

Abdomen :

Inspeksi : Distensi (-), massa (-)

Auskultasi : Bising usus (+) normal

Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien

tidak teraba,

Perkusi : Tympani

Ekstremitas bawah : Edema -/-, akral hangat +/+

Status lokalis : Regio Mammae (D) : Tampak pada massa berbenjol, padat, immobile,

berbatas tegas, nyeri (+), ulkus (+), pus (-).

D. Pemeriksaan Penunjang

HB 8,7 gr %

WBC 2.800 mm.3

BT 3’00

CT 9’00’’

GDS 163 mg/dl

Ureum 42 mg/dl

Creatinin 1,4 mg/dl

Albumin 4,2 g/dl

Natrium 124 mmol/L

Kalium 3, 1 mmol/L

63

Page 64: lapkas anestesi

2. Durante Operasi

A. Status Anestesi

PS. ASA : III (Co Morbid Geriatri dan Anemia)

Hari/Tanggal : Senin, 20 / 01 / 2014

Ahli Anestesiologi : dr. Diah W, Sp.An KIC

Ahli Bedah : dr. William, Sp. B (K) Onk

Diagnosa Pra Bedah : Ca.Mammae (Dextra) T4bN2M1 + Anemia

Diagnosa Pasca

Bedah

: Post Mastektomi Radikal Ca.Mammae (Dextra) T4bN2M1

+ Anemia

Keadaan Pra Bedah

KU

Makan terakhir

BB

TTV

SpO2

:

:

:

:

:

:

Tampak sakit sedang

12 jam lalu

70 kg

TD :140 / 90 mmHg, N: 90 x/m, SB: 36, 8 oC

100 %

B1 : Bebas, gerak leher bebas, simetris +/+, suara napas

vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-, RR: 24 x/m.

B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill Time < 2

detik, BJ: I-II murni regular. TD :140/90 mmHg, N: 90

x/m, SB: 36, 8 oC

B3 : Allert, GCS: E4V5M6 compos mentis, pupil isokor,

refleks cahaya (+/+), refleks fisiologis (+ ), refleks

64

Page 65: lapkas anestesi

patologis ( -), riwayat pingsan (-), riwayat kejang (-).

B4 : Terpasang DC, produksi urin 300 cc, warna kuning

jernih, keruh (-).

B5 : Abdomen supel, cembung, nyeri tekan (-), hepar – lien

(tidak teraba), timpani, BU (+) normal

B6 : Akral hangat (+), edema (-), Fraktur (-), motorik normal

Metabolik : Tidak ada

Hati : Riwayat ikterus (-)

Medikasi Pra Bedah : RL 500 cc

Jenis Pembedahan : Mastectomy radikal dextra

Lama Operasi : 125 menit (12.05 – 14.10 WIT)

Jenis Anestesi : General Anestesi

Lama Anestesi : 150 menit (11.40 – 14.10 WIT)

Anestesi Dengan : Sevofluran

Relaksasi Dengan : Artrakium

Teknik Anestesi : Pasien tidur terlentang, induksi i.v, ekstensikan kepala,

intubasi apnoe dengan ETT G 7, mengembangkan cuff,

fiksasi, anesthesia (+)

Teknik Khusus : -

Pernafasan : Ventilator

Posisi : Terlentang,

Infus : Tangan Kiri, abocath 18 G, cairan RL

65

Page 66: lapkas anestesi

Penyulit

pembedahan

: -

Akhir pembedahan : TD: 135/65 mmHg, N: 70 x/m, SB: 36,7oC, RR: 24 x/m

Terapi Khusus

Pasca Bedah

: -

Penyulit Pasca

Bedah

: -

Hipersensitivitas : -

Premedikasi : Midazolam 5 mg (iv)

Petidin 30 mg (iv)

Medikasi : Propofol 50 mg.

Atracurium 30 mg.

Dexametason 10 mg.

Ranitidin 50 mg.

Ondancentron 4 mg.

Asam Traneksamat 1000mg

Propofol 30 mg

Midazolam 5 mg.

Propofol 50 mg.

Fentanil 50 mg.

Midazolam 5 mg.

Na Metamizole 1 gr.

Nalokson 1 ampul

B. Diagram Observasi

66

Page 67: lapkas anestesi

11.40

11.50

12.00

12.10

12.20

12.30

12.40

12.50

13.00

13.10

13.20

13.30

13.40

13.50

14.00

14.10

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

200

NadiSistoleDiastole

3. Post Operatif

S : Pasien tidur terlentang dengan sadar dan bernapas menggunakan O2 nasal 1-2 lpm, RR

: 24 x/m, SpO2 : 95 %, minum (+) sedikit-sedikit, mual (-), muntah (-), drain (+) 325

cc, demam (-), terpasang DC 1590 cc warna kuning jernih. Sesak (-), Pagi ini pasien

boleh makan.

O :

B1 : Bebas, gerak leher bebas, terpasang O2 nasal 1-2

lpm, RR : 24 x/m, Thorax : simetris, ikut gerak

napas, suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing

-/-.

B2 : Perfusi: hangat, kering, merah. Capilari Refill

Time < 2 detik, Conjugtiva Anemis +/+, SPO2 : 95

%, BJ : I-II murni regular. TD : 108/66 mmHg, N :

90 x/m, SB : 36,6 °c. terpasang darah 325 cc.

B3 : Allert, GCS: E4V5M6, riwayat pingsan (-), riwayat

kejang (-). Pupil isokor Ø 3 mm, Refleks Cahaya

67

Page 68: lapkas anestesi

+/+. Refleks patologis (-), refleks fisiologis (+)

B4 : Terpasang DC produksi urin 1590 cc, warna

kuning jernih, keruh (-).

B5 : Abdomen supel, cembung, nyeri tekan (-), hepar –

lien (tidal teraba), timpani, BU (+) normal, makan

(-), minum (+) sedikit-sedikit.

B6 : Akral hangat (+), edema (-), Fraktur (-), motorik

normal

A : Post Mastectomy dextra e.c Ca.Mammae dextra T4bN2M1 + Anemia

P : O2 nasal 1-2 lpm

IVFD Tutofusin + 1 ampul tramadol / 8 jam

Injeksi : Meropenem 3x1 gr

Ranitidin 2x50 mg

Paracetamol 4x500mg

Asam Traneksamat 3x1000 mg

4. Terapi Cairan

Kebutuhan Cairan Intake

Pre Operatif

Puasa

Durante Operatif

Penguapan

Maintanance

Perdarahan

:

:

:

:

117 x 12 = 1404 –

146 x 12 = 1752

8 x 70 = 560 cc

234-292

500 cc

EBV : 65 x 70 = 4550

EBL : 500/4550 X 100% =

11 %

Pre Operatif

RL 500 cc

Durante Operasi

RL 500 cc + Widahes 500 cc

PRC 400 cc + NaCl 500 cc + RL

500cc

68

Page 69: lapkas anestesi

Defisit Cairan

Post Operatif

Maintanance

Drain

Balance

:

:

:

:

3104 – 2900 = 204 cc

117 x 17 = 1989 –

146 x 17= 2482

325 cc

2950-(2807+204) = - 61 cc

Post Operatif

NaCl : 500 cc

RL : 300 cc

Tutofusin : 1500cc

Tranfusi PRC 500 cc

Paracetamol 150cc

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada kasus di atas, akan dilakukan tindakan mastektomi radikal dengan general anestesi.

Pada persiapan pra anestesi diketahui bahwa pasien berumur 62 tahun, tidak mempunyai riwayat

penyakit asma, alergi, dan upper respiratory infection maupun gangguan metabolik, tidak ada

riwayat operasi sebelumya dan pasien berpuasa sekitar 12 jam sebelum pembedahan.

Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan farmakokinetik (hubungan antara dosis

obat dan konsentrasi plasma) dan farmakodinamik (hubungan antara konsentrasi plasma dan efek

klinis). Namun perubahan yang berhubungan dengan penyakit dan variasi antar individu yang

luas bahkan pada populasi yang sama menyebabkan perubahan ini tidak selalu konsisten.6

69

Page 70: lapkas anestesi

Penurunan progresif massa otot dan peningkatan lemak tubuh (terutama pada wanita usia

lanjut) menyebabkan penurunan total jumlah cair tubuh. Hal ini menyebabkan konsentrasi

plasma obat-obatan yang larut air dapat lebih tinggi, sebaliknya konsentrasi plasma obat-obatan

larut lemak dapat lebih rendah. Perubahan dalam volume distribusi obat dapat mempengaruhi

waktu paruh eliminasi obat. Jika volume distribusi obat ditingkatkan, waktu paruhnya akan

diperpanjang kecuali tingkat klirens juga meningkat. Namun karena fungsi ginjal dan hepar juga

berkurang seiring pertambahan usia, penurunan tingkat klirens memperpanjang durasi kerja

beberapa obat. Studi menunjukkan bahwa pasien usia lanjut yang sehat, aktif hanya mengalami

sedikit atau tidak ada perubahan dalam volume plasma. Perubahan fisiologis penuaan dapat

mempengaruhi hasil operasi tetapi penyakit penyerta lebih berperan sebagai faktor risiko.

Secara umum pada usia lanjut terjadi penurunan cairan tubuh total dan lean body mass dan

juga menurunnya respons regulasi termal, dengan akibat mudah terjadi intoksikasi obat dan

juga mudah terjadi hipotermia.6,11

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi lambung dan

kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien yang menjalani

anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi

elektif dengan anestesi harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu

sebelum induksi anestesi. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam, dan

pada bayi 3-4 jam. Makanan tidak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.

Minuman air putih, teh manis sampai 3 jam, dan untuk keperluan minum obat air putih dalam

jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesi.10

Pada pemeriksaan fisik, pada umumnya kondisi pasien dalam keadaan baik. Namun,

tekanan darah pasien pra bedah meningkat, yaitu 140/90 mmHg. Pada anamnesis, diketahui

bahwa pasien tidak memiliki riwayat hipertensi. Peningkatan tekanan darah pada pasien dicurigai

karena faktor stress (kecemasan). Pada respon stres akan dilepaskan hormon-hormon yang

dikenal sebagai neuroendokrin hormon yaitu: ADH, aldosteron, angiotensin II, cortisol,

epinephrin dan norepinephrin. Hormon-hormon ini akan berpengaruh terhadap beberapa fungsi

fisiologik tubuh yang penting dan merupakan suatu mekanisme kompensasi untuk melindungi

fungsi fisiologik tubuh.17 Selain itu, pasien juga tampak anemis. Hal ini sesuai dengan hasil

pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan kadar hemoglobin 8,7 gr/dl.

70

Page 71: lapkas anestesi

Anemia dapat mengakibatkan transport oksigen oleh haemoglobin akan berkurang. Hal

ini berarti untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan, jantung harus memompa darah lebih

banyak sehingga timbul takikardi, murmur, dan kadang timbul gagal jantung pada pasien dengan

anemia. Peran anestesi adalah memastikan bahwa organ vital menerima oksigen yang cukup

untuk memenuhi kebutuhan metabolisme, selama prosedur bedah berlangsung. Penentu transport

oksigen termasuk di antaranya ialah pertukaran gas di pulmo, afinitas Hb-O2, konsentrasi total

Hb, dan cardiac output. Seluruhnya bekerja dalam satu sistem dan menyediakan kapasitas

oksigen yang adekuat. Apabila ada penurunan pada satu komponen di atas, maka menyebabkan

komponen lain terpengaruh. Dari komponen tersebut, haemoglobin mempunyai kemungkinan

terbesar untuk dimanipulasi sehingga dapat meningkatkan transport oksigen.7

Pada kasus ini, klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA 3. Pasien

digolongkan dalam PS ASA 3 karena faktor usia yaitu 62 tahun (Co Morbid Geriatri dan

Anemia).

Pada kasus ini akan dilakukan operasi mastektomi radikal dengan pilihan anestesi umum.

Mastektomy radikal dipilih sebagai terapi pada kasus ini karena tidak terdapatnya fasilitas

radioterapi yang merupakan terapi pilihan kuratif pada tumor yang tak mampu diangkat bila

mencapai tingkat T4. Namun pada pasien ini dilakukan mastektomi radikal dan dilanjutkan

dengan kemoterapi adjuvant dengan tujuan mengatasi metastase sistemik dan menghancurkan

mikro metastasis yang terdapat pada pasien yang kelenjar axillanya sudah mengandung

metastasis. Anestesi umum dipilih pada kasus ini dengan pertimbangan lokasi pembedahan

berada pada daerah thorax. Operasi di sekitar kepala, leher, intrathorakal, intraabdominal paling

baik dilakukan dengan anestesia umum. Selain itu indikasi anestesi umum lainnya ialah infant &

anak usia muda, dewasa yang memilih anestesi umum, pembedahannya luas / eskstensif,

penderita sakit mental, pembedahan lama, pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau

tidak memuaskan, riwayat penderita alergi obat anestesi lokal, penderita dengan pengobatan

antikoagulantia. Mastektomi radikal merupakan operasi yang luas karena lingkup reseksinya

mencakup kulit berjarak minimal 3 cm dari tumor, seluruh kelenjar mammae, m. Pektoralis

mayor, m. Pektoralis minor dan jaringan limfatik dan lemak subskapular, aksilar secara kontinu

enblok direseksi, sehingga dibutuhkan waktu yang lama dalam operasi ini. Disamping itu juga

tidak adanya perbedaan yang bermakna angka mortalitas, komplikasi perdarahan hebat intra

operatif pada pasien usia lanjut yang dilakukan pembiusan umum atau regional, serta tidak

71

Page 72: lapkas anestesi

terdapat perbedaan bermakna insiden gangguan kognitif pasca operasi dengan pembiusan umum

atau regional walaupun angka komplikasi gangguan kognitif dalam 3 hari pasca operasi atau

pembiusan pada pasien yang mengalami pembiusan regional lebih kecil. Sehingga pada kasus ini

lebih dipilih menggunakan anestesi umum.5,9,15,16

Pada kasus di atas, saat premedikasi digunakan Midazolam 5 mg. Midazolam

merupakan obat golongan benzodiazepine, merupakan obat penenang (transquilaizer) yang

memiliki sifat antiansietas, sedatif, amnesik, antikonvulsan dan relaksan otot skelet. Dosis

midazolam yaitu 0,025-0,1 mg/kgBB (5mg/5cc). Dengan awitan aksi iv 30 detik, efek puncak 3-

5 menit dan lama aksi 15-80 menit. Penuaan menurunkan jumlah volume pemberian untuk

semua benzodiazepin, yang dapat memperpanjang waktu paruh eliminasi obat tersebut.

Peningkatan sensitivitas farmakodinamik untuk benzodiazepin juga telah diamati. Dosis yang

diperlukan midazolam untuk menghasilkan efek sedasi mengalami penurunan sebesar 75%

pada pasien berusia lanjut, waktu paruh eliminasi memanjang dari sekitar 2,5 sampai 4 jam.

Perubahan ini berhubungan dengan peningkatan sensitivitas otak dan penurunan klirens

obat.2,11

Selain itu saat premedikasi juga digunakan petidin 30 mg. Petidin merupakan analgetik

narkotik yang digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan pasien menghadapi

pembedahan, mengurangi nyeri, menghindari takipnea pada anestesia dengan trikloretilen, dan

membantu agar anestesia berlangsung baik. Dosis petidin intramuskular 1-2 mg/kgBB (morfin

10 x lebih kuat) dapat diulang tiap 3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan

tidak dianjurkan karena menyebabkan iritasi. Pasien usia lanjut memerlukan dosis obat-obatan

premedikasi yang lebih rendah. Premedikasi opioid hanya digunakan jika kondisi preoperatif

pasien disertai nyeri berat. Antikolinergik tidak diperlukan karena pada pasien usia lanjut

kelenjar saliva biasanya mengalami atrofi.2,11

Pada kasus ini, induksi anestesia dilakukan dengan menggunakan propofol. Dosis bolus

untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anesthesia intravena total 4 – 12 mg/kg/jam dan

dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pada manula harus dikurangi, pada anak <3

tahun dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.2,10

Propofol merupakan anestetik intravena golongan nonbarbiturat yang efektif dengan

onset cepat dan durasi yang singkat sangat berguna pada pasien usia lanjut. Pemulihan kesadaran

yang lebih cepat dengan efek minimal terhadap susunan saraf pusat merupakan salah satu

72

Page 73: lapkas anestesi

keuntungan penggunaan propofol dibandingkan obat anestesi intravena lainnya. Propofol

menurunkan tekanan arteri sistemik kira – kira 30 % tetapi efek ini lebih disebabkan oleh

vasodilatasi perifer ketimbang penurunan curah jantung. Tekanan darah sistemik kembali normal

dengan intubasi trakea. Propofol tidak menimbulkan aritmia atau iskemia otot jantung, tetapi

terjadi sensitisasi jantung terhadap katekolamin. Efek propofol terhadap pernapasan mirip

dengan efek thiopental sesudah pemberian IV yakni terjadi depresi napas sampai apneu selama

30 detik. Hal ini diperkuat bila digunakan opioid sebagai medikasi pra-anestetik.1 Pada usia

lanjut, faktor farmakokinetik dan farmakodinamik bertanggung jawab untuk peningkatan

sensitivitas otak terhadap propofol. Pasien usia lanjut membutuhkan kadar propofol darah untuk

anestesi yang hampir 50% lebih rendah dibandingkan pasien yang lebih muda. Selain itu tingkat

keseimbangan perifer dan klirens sistemik untuk propofol berkurang secara signifikan pada

pasien usia lanjut.2,10,11

Pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Tramus (Atrakurium) 30 mg.

Atrakurium merupakan pelumpuh otot nondepolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik-

kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi. Hanya menghalangi asetil-kolin menempatinya,

sehingga asetilkolin tak dapat bekerja. Dosis awal atrakurium 0,5-0,6 mg/kg, sedangkan dosis

rumatan 0,1 mg/kg. Umumnya, usia tidak mempengaruhi farmakodinamik pelumpuh otot.

Atracurium menjadi pilihan untuk usia lanjut karena atracurium bergantung pada sebagian

kecil metabolisme hati dan ekskresi, tidak terjadi perubahan klirens dengan bertambahnya

usia, yang menunjukkan adanya jalur eliminasi alternatif.2,6

Setelah dosis sedasi telah tercapai, maka pada pasien dilakukan pemasangan

endotracheal tube dengan nomor 7. Pada kasus ini, manajemen airway dan breathing pasien

dikontrol dengan baik menggunakan ventilator. Tidak ditemukan terjadi hiperkapnia, hal ini

dapat dilihat pada diagram observasi pasien yang menunjukkan tidak ada tanda-tanda

hiperkapnia. Setelah pemasangan endotracheal tube tersebut pasien diberikan dexamethasone 10

mg. Deksamethasone adalah glukokortikoid sintetik dengan aktivitas imunosupresan dan anti-

inflamasi. Sebagai imunosupresan deksamethasone bekerja dengan menurunkan respon imun

tubuh terhadap stimulasi rangsang. Aktivitas anti-inflamasi deksamethasone dengan jalan

mengurangi inflamasi dengan menekan migrasi neutrofil, mengurangi produksi mediator

inflamasi, dan menurunkan permeabilitas kapiler yang semula tinggi dan menekan respon

imun.18

73

Page 74: lapkas anestesi

Pemeliharaan anestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi berupa Sevofluran

merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan dengan

isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk

induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang

menyebabkan aritmia. Setelah pemberian dihentikan, sevofluran cepat dikeluarkan oleh tubuh.

Pada pasien usia lanjut konsentrasi alveolar minimum (The minimum alveolar concentration =

MAC) mengalami penurunan kurang lebih 6% per dekade pada mayoritas anestesi inhalasi.

Oleh karena itu pasien usia lanjut membutuhkan volume anestesi inhalasi yang lebih rendah

untuk mencapai efek yang sama dengan pasien yang lebih muda. Mekanisme kerja anestesi

inhalasi berhubungan dengan gangguan pada aktivitas kanal ion neuronal terhadap nikotinik,

asetilkolin, GABAA dan reseptor glutamat. Mungkin adanya gangguan karena penuaan pada

kanal ion, aktivitas sinaptik, atau sensitivitas reseptor ikut bertanggung jawab terhadap

perubahan farmakodinamik tersebut.10,11

Selain menggunakan propofol sebagai induksi dan rumatan, pada kasus ini juga

digunakan fentanil. Propofol sebagai agen anestesi dikatakan lack of analgesia. Karena itu

apabila digunakan sendiri akan menjadi inefektif karena masih akan timbul pergerakan atau

menarik diri pada saat prosedur berlangsung. Sehingga dalam penggunaanya, propofol sering

dikombinasikan dengan analgesik, seperti golongan opioid, maupun ketamin dosis rendah.9

Fentanil digunakan secara luas untuk anestesi total intravena saat ini. Fentanil merupakan

opioid sintetik dengan seratus kali lebih poten dari morfin sebagai analgesik, dan sebagai bagian

dari anestesi berimbang, obat ini menghilangkan nyeri, mengurangi respon somatik dan

autonomik terhadap manipulasi airway, dengan hemodinamik yang lebih stabil dengan mula

kerja yang cepat dan durasi kerja yang singkat. Tetapi disamping itu kelemahannya adalah

mempengaruh ventilasi pernafasan dan mual muntah pasca operasi. Untuk anestesi opioid

digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit. Fentanil

kurang lebih dua kali lebih poten pada pasien berusia lanjut. Hal ini berhubungan dengan

peningkatan sensitivitas otak terhadap opioid sejalan dengan usia, bukan karena gangguan

farmakokinetik.2,10,11

Selama tindakan anestesi berlangsung, tekanan darah, denyut nadi serta pernapasan selalu

dimonitor. Pada diagram observasi dapat dilihat tekanan darah pasien meningkat pada jam 12.20

(172/101 mmHg), 12.50 (183/100 mmHg), 13.10 (161/92 mmHg), 14.00 (186/75 mmHg).

74

Page 75: lapkas anestesi

Peningkatan tekanan darah ini terjadi karena respon nyeri (stres). Respon saraf utama terhadap

rangsangan stress adalah pengaktifan menyeluruh sistem saraf simpatis. Hal ini menyebabkan

peningkatan curah jantung dan ventilasi serta pengalihan darah dari daerah-daerah vasokonstriksi

yang aktifitasnya ditekan. Hal ini menandakan pasien terbangun, maka secara berturut-turut

pasien diberikan propofol 30 mg, midazolam 5 mg, propofol 50 mg dan midazolam 5 mg.17

Selain itu juga pasien diberikan ranitidin dan ondansentron. Ranitidin merupakan

golongan obat antihistamin reseptor 2 (AH2). Mekanisme kerja ranitidin adalah menghambat

reseptor histamin 2 secara selektif dan reversibel sehingga dapat menghambat sekresi cairan

lambung. Ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen dai sel parietal akan menurun

sejalan dengan penurunan volume cairan lambung. Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3

yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan

muntah. Pada pasien ini juga diberikan Asam traneksamat secara intravena. Asam traneksamat

adalah obat antifibrinolitik yang menghambat pemutusan benang fibrin. Asam traneksamat

bekerja dengan cara memblok ikatan plasminogen dan plasmin terhadap fibrin ; inhibisi terhadap

plasmin ini sangat terbatas pada tingkat tertentu. Asam traneksamat digunakan untuk profilaksis

dan pengobatan pendarahan yang disebabkan fibrinolisis yang berlebihan.19,20,21

Pada tahap akhir pembedahan, pasien diberikan Na Metamizole. Na Metamizole 

merupakan derivat  metansulfonat  dari  aminopirin  yang mempunyai khasiat analgesik.

Mekanisme kerjanya adalah menghambat transmisi rasa sakit ke susunan saraf pusat dan

perifer.22

Ekstubasi dilakukan pada posisi lateral ketika pasien masih dibawah pengaruh anestesi,

lalu diberikan oksigen tambahan menggunakan sungkup. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya

pada anestesi sudah ringan dengan catatan tidak akan terjadi spasme laring. Sebelum ekstubasi

bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan cairan lainnya.10

Sebelum pasien dipindahkan ke Recovery Room, pasien mengalami depresi napas yang

ditandai dengan penurunan saturasi oksigen menjadi 86% dan miosis pada pupil yang

menandakan pasien mengalami kelebihan dosis fentanil (opioid). Tanda dan gejala yang sering

ditemukan pada kelebihan dosis opioid adalah koma, depresi napas, miosis, hipotensi, bradikardi,

hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, kejang (pada kasus berat). Sehingga

pada pasien diberikan Nalokson secara intravena. Nalokson mengatasi depresi napas yang dipicu

oleh opioid. Mekanisme yang pasti dari aktivitas antagonis opiat dari nalokson tidak diketahui

75

Page 76: lapkas anestesi

dengan pasti. Nalokson kemungkinan berperan dalam antagonis kompetitif pada reseptor opiat

µ, K, dan S pada sistem saraf pusat; diperkirakan nalokson mempunyai afinitas tertinggi

terhadap reseptor µ.23,24

Pasien diobservasi di Recovery Room terlebih dahulu hingga sadar, dan kemudian

pasien dipindahkan ke ICU. Jika pasien sangat tergantung pada perawatan tingkat tinggi atau

tersedia fasilitas perawatan intensif, hal ini dapat meningkatkan outcome jangka panjang dari

pasien usia lanjut.6

Terapi post operatif di ICU diberikan: O2 nasal 1-2 lpm, IVFD Tutofusin + 1 ampul

tramadol / 8 jam, Injeksi : Meropenem 3x1 gr, Ranitidin 2x50 mg, Paracetamol 4x500mg, Asam

Traneksamat 3x1000 mg. Pada semua pasien usia lanjut dianjurkan untuk memberikan terapi

oksigen pasca-operasi, terutama setelah pembedahan abdomen atau dada. Nasal kanul sering

ditoleransi lebih baik daripada masker.11

Tutofusin merupakan cairan elektrolit lengkap yang dapat memenuhi kebutuhan air dan

elektrolit selama masa pra operasi, intra operasi dan pasca operasi. Memenuhi kebutuhan air dan

elektrolit pada keadaan dehidrasi isotonik dan kehilangan cairan intraselular, serta dapat

memenuhi kebutuhan karbohidrat secara parsial. Selain itu pada cairan Tutofusin tersebut

ditambahkan injeksi tramadol. Tramadol adalah analgesik kuat yang bekerja pada reseptor opiat.

Tramadol mengikat secara stereospesifik pada reseptor di sistem syaraf pusat sehingga memblok

sensasi rasa nyeri dan respon terhadap nyeri. Disamping itu tramadol menghambat pelepasan

neurotransmitter dari syaraf aferen yang sensitif terhadap rangsang, akibatnya impuls nyeri

terhambat. Manajemen nyeri akut sangat penting pada pasien bedah berusia lanjut, dimana nyeri

pasca operasi dapat menghasilkan efek yang berbahaya. Kontrol nyeri yang kurang optimal dapat

meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada usia lanjut.11,25,26

Injeksi Meropenem diberikan untuk mencegah infeksi post operasi pada pasien ini.

Meropenem merupakan suatu antibiotika turunan  karbapenem yang digunakan secara parenteral.

Meropenem menunjukan aktivitas bakterisidal dengan cara mengganggu pembentukan dinding

sel bakteri. Meropenem memiliki efek bakterisidal yang poten dan spektrum luas terhadap

bakteri aerob dan anaerob, karena  Meropenem mudah menembus dinding sel bakteri, memiliki

stabilitas yang tinggi  terhadap semua jenis beta-laktamase dan juga afinitasnya sangat baik

terhadap Penicilin Binding Proteins (PBPs). Meropenem dan imipenem memiliki profil dan

pengunaan yang sama terhadap bakteri multi resisten, akan tetapi Meropenem secara intrinsik

76

Page 77: lapkas anestesi

lebih poten terhadap Pseudomonas aeruginosa dan aktif juga secara invitro terhadap strain yang

resisten terhadap imipenem.27

Selain itu pasien juga mendapatkan injeksi Paracetamol, Ranitidin dan Asam

Traneksamat. Paracetamol adalah derivat p-aminofenol yang mempunyai sifat

antipiretik/analgesik. Sifat antipiretik disebabkan oleh gugus aminobenzen dan mekanismenya

diduga berdasarkan efek sentral. Sifat analgesik parasetamol dapat menghilangkan rasa nyeri

ringan sampai sedang.28

Terapi cairan pada pasien ini adalah sebagai berikut :

Kebutuhan cairan harian : 40 – 50 cc/kgBB/hari

(40 x 70 = 2800 cc/hari) – (50 x 70 = 3500 cc/hari)

Kebutuhan cairan per jam : (2800 : 24 = 117 cc/jam) – (3500 : 24 = 146 cc/jam)

Pre Operatif :

Pasien puasa selama 12 jam sehingga kebutuhan rumatan pasien tidak terpenuhi sehingga

kebutuhan cairan pasien sebelum operasi ialah :

- Kebutuhan cairan per jam x waktu puasa

- (117 x 12 = 1404) – (146 x 12 = 1752)

Sebelum operasi pasien diberikan cairan RL 500 cc. Sehingga kebutuhan cairan pasien

sebelum operasi mengalami defisit sebanyak 904 – 1252 cc

Durante Operatif :

- Penguapan :

Mastektomi radikal tergolong dalam operasi besar, sehingga penguapan yang terjadi

pada saat operasi adalah :

8 x kgBB = 8 x 70 = 560 cc

- Perdarahan :

Estimate Blood Volume (EBV) dari pasien ini ialah : 65 x kgBB = 65 x 70 = 4550.

Perdarahan yang terjadi selama operasi sebanyak 500 cc sehingga Estimate Blood Loss

(EBL) dari pasien ini ialah : 500 : 4550 x 100 % = 11 %.

77

Page 78: lapkas anestesi

Pada pasien ini perkiraan darah yang hilang sebanyak 11 %. Perdarahan pada

pembedahan di bawah 20% dari volume darah total pada dewasa cukup diganti dengan

cairan kristaloid dengan kebutuhan 2-4 kali dari perdarahan.29 Namun, pada pasien ini

Hb awal operasi 8,7 gr/dl, dengan kehilangan darah 11 % maka perkiraan Hb setelah

operasi menjadi 7,7 gr/dl maka perdarahan pada kasus ini perlu diganti dengan transfusi

darah sesuai dengan volume perdarahan. Indikasi transfusi darah ketika Hb < 8 g/dl 7 :

a. Perdarahan akut pada individu sehat (ASA 1) dengan usia > 60 tahun

b. Perdarahan akut pada keadaan multitrauma

c. Prediksi perdarahan perioperatif > 500 cc

d. Pasien dengan demam

e. Pasien ASA 2 dan ASA 3 dengan operasi tanpa resiko komplikasi

Komponen darah yang dipakai adalah Packed Red Cell (PRC). Dapat meningkatkan

1.1 g/dl per unit, pada pasien dewasa dengan BB 70 kg. Pada situasi terkontrol (cairan

hilang digantikan dengan kristalloid / koloid  sehingga dicapai keadaan

normovolemia), satu unit PRC dapat menyeimbangkan Hb dalam waktu yang cepat

(kurang dari 15 menit)7.

- Kebutuhan cairan replacement pada durante operasi adalah :

Penguapan + Kebutuhan cairan akibat perdarahan = 560 + 500 = 1060

- Kebutuhan cairan maintanace pada durante operasi ialah :

Kebutuhan cairan per jam x durasi operasi (jam) =

(117 x 2 = 234 cc – 146 x 2 = 292 cc)

Jadi, total kebutuhan cairan durante operasi ialah kebutuhan cairan replacement

dijumlahkan dengan kebutuhan cairan maintenance = 1060 + 292 = 1352 cc. Pada saat

operasi cairan yang masuk ialah RL 500 cc + Widahes 500 cc + PRC 400 cc + NaCl

500 cc + RL 500cc, kebutuhan cairan menjadi 2400 – 1352 = 1048 cc, namun

kebutuhan cairan pasien sebelum operasi mengalami defisit sebanyak 904 – 1252 cc.

Sehingga kebutuhan cairan menjadi 1048 – 1252 = 204 cc

Post Operatif

Kebutuhan cairan post operasi ialah defisit cairan pada saat operasi dijumlahkan dengan

kebutuhan cairan rumatan pasien selama 17 jam, yaitu waktu operasi selesai hingga pukul

07.00 pagi serta dijumlahkan produksi drain = 204 + (17 x 146) + 325 = 3011 cc. Kebutuhan

78

Page 79: lapkas anestesi

cairan post operasi tersebut di ICU dicoba dipenuhi dengan memberikan cairan NaCl 500 cc

+ RL 300 cc + Tutofusin 1500cc + Tranfusi PRC 500 cc + Paracetamol 150cc. Sehingga

balance cairan post operatif hingga jam 7 pagi ialah: 2950 – 3011 = - 61 cc.

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Pada kasus di atas dilakukan tindakan Mastectomy Radical dengan menggunakan

anestesi umum. Klasifikasi status penderita digolongkan dalam PS ASA III. Pasien

digolongkan dalam PS ASA III karena faktor usia (usia pasien 62 tahun). Selain itu juga

pada pasien disertai anemia.

79

Page 80: lapkas anestesi

Pada kasus di atas, untuk premedikasi digunakan Midazolam 5 mg, juga digunakan

petidin 30 mg. Antikolinergik tidak diperlukan karena pada pasien usia lanjut kelenjar saliva

biasanya mengalami atrofi. Pada kasus ini, induksi anestesia dilakukan dengan

menggunakan propofol, pelumpuh otot yang digunakan pada kasus ini berupa Tramus

(Atrakurium) 30 mg. Pemeliharaan anestesi dengan menggunakan anestesi inhalasi berupa

Sevofluran. Selain itu juga pasien diberikan ranitidin dan ondansentron untuk mencegah

mual dan muntah saat operasi sehingga dapat menimbulkan aspirasi. Pada pasien ini juga

diberikan Asam traneksamat secara intravena, untuk membantu mengobati dan mencegah

perdarahan yang berlebihan. Pada tahap akhir pembedahan, pasien diberikan Na Metamizole

untuk mengatasi nyeri post operatif dengan menghambat transmisi rasa sakit ke susunan

saraf pusat dan perifer.

2. Saran

Pada pasien geriatri lebih diperhatikan keadaan preoperatifnya melalui pemeriksaan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pemberian obat-obat anestesi lebih diperhatikan dosisnya untuk keamanan pasien.

80