LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI...

29
14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan digunakan sebagai pendukung dalam menganalisa data. Teori-teori yang ada akan dikonseptualkan untuk membantu mendeskripsikan dan menganalisa data penelitian. A. Konseling Multikultural Dalam dunia konseling ada dua cara merespon multikulturalisme yakni pendekatan konseling yang bersifat monokultural. Pendekatan konseling yang didesain dan digunakan dalam konteks masyarakat Barat. Kemudian tahun 1960 dan 1970-an, konseling hadir dan bereaksi terhadap tekanan politik, legislatif, dan personal yang bersumber dari gerakan persamaan kesempatan dan seputar rasisme serta membangun kesadaran terhadap isu kultur dalam pendidikan dan praksis konseling. Fase ini kemudian melahirkan banyak literatur dalam bidang konseling dan psikoterapi terhadap isu budaya, silang budaya, transkultural, interkultural. Merupakan usaha memasukan dimensi budaya dalam ruang konseling. Respon kedua ini muncul dari kesadaran akan perbedaan kultur dalam konseling yang menempatkan konsep kultur sebagai citra person-nya. 1 Konseling berasal dari Bahasa Inggris to counsel yang berarti memberi arahan dan memberi nasehat. Tokoh yang melakukan proses konseling disebut konselor. 1 John Mcleod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus, (Jakarta: Kencana, 2010), 273- 290.

Transcript of LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI...

Page 1: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

14

BAB II

LANDASAN TEORI

Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan

dikemukan dan digunakan sebagai pendukung dalam menganalisa data. Teori-teori

yang ada akan dikonseptualkan untuk membantu mendeskripsikan dan menganalisa

data penelitian.

A. Konseling Multikultural

Dalam dunia konseling ada dua cara merespon multikulturalisme yakni

pendekatan konseling yang bersifat monokultural. Pendekatan konseling yang

didesain dan digunakan dalam konteks masyarakat Barat. Kemudian tahun 1960 dan

1970-an, konseling hadir dan bereaksi terhadap tekanan politik, legislatif, dan

personal yang bersumber dari gerakan persamaan kesempatan dan seputar rasisme

serta membangun kesadaran terhadap isu kultur dalam pendidikan dan praksis

konseling. Fase ini kemudian melahirkan banyak literatur dalam bidang konseling

dan psikoterapi terhadap isu budaya, silang budaya, transkultural, interkultural.

Merupakan usaha memasukan dimensi budaya dalam ruang konseling. Respon kedua

ini muncul dari kesadaran akan perbedaan kultur dalam konseling yang menempatkan

konsep kultur sebagai citra person-nya.1

Konseling berasal dari Bahasa Inggris to counsel yang berarti memberi arahan

dan memberi nasehat. Tokoh yang melakukan proses konseling disebut konselor.

1 John Mcleod, Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus, (Jakarta: Kencana, 2010), 273-

290.

Page 2: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

15

Dalam pemahaman ini maka dalam proses konseling menempatkan konselor ke

dalam relasi bersama dengan konseli. Selanjutnya proses konseling hanya dapat

dibangun jika konselor menganggap konseli itu sangat berharga bukan sekedar

dikasihani tetapi dicintai. Sehingga dalam proses konseling dimana terciptanya relasi

atau hubungan yang harmonis orang dimungkinkan dapat mengalami kedamaian dan

kebahagaiaan.2 Kedamaian dan kebahagiaan yang tercipta, akan menumbuhkan rasa

saling menghargai terhadap diri sendiri tetapi juga kepada orang lain. Dengan

demikian akan terbuka hubungan atau relasi yang luas dan mendalam dengan orang

lain yakni dengan menempatkan diri kita pada perasaan orang lain kita dapat

mengetahui apa yang sedang digumuli. Dalam proses konseling yang dibangun oleh

konselor dan konseli harus berdasarkan kasih agar dapat tercipta komunikasi yang

baik dan juga menumbuhkan nilai spiritual.3 Dalam membangun suatu hubungan

konseling membutuhkan empati dasar. Kata empati berasal dari bahasa Yunani yakni

em dan pathos yang berarti perasaan yang mendalam untuk memahami dunia orang

lain. Seseorang harus memasuki dunia perasaan orang lain tanpa harus meninggalkan

perasaannya. Dalam hal ini seseorang harus masuk ke dalam perasaan orang lain

untuk memberikan penilaian dan memahaminya dalam persepsi orang tersebut.

Empati memungkinkan orang bukan hanya dapat mengenal, memahami, dan

merasakan orang lain dalam masalahnya, serta seperasaan dengan mereka.4

2 J. D. Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral, (Salatiga: Tisara Grafika, 2007), 1. 3 J. D. Engel, Konseling suatu Fungsi Pastoral,2 4 J. D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia,

2016), 49-60

Page 3: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

16

Pengertian yang lain diungkapkan oleh McLeod mengenai konseling.

Konseling merupakan bentuk pertolongan yang terfokus pada kebutuhan dan tujuan

seseorang. Defenisi konseling yang dikemukakan oleh Mcleod berorientasi pada

pengguna. Mcleod berpendapat bahwa defenisi konseling dapat dipahami dari

orientasi sosial dan perspektif yang berpusat pada pengguna. Maksudnya adalah

bahwa proses konseling hanya dapat terjadi jika orang yang mencari pertolongan

(klien) menginginkannya. Dengan demikian proses konseling akan terjadi oleh karena

klien mengundang dan memberikan kebebasan kepada orang lain memasuki

hubungan tertentu dengan mereka.5

Mcleod menampilkan beberapa poin penting berkaitan dengan konseling yang

berorientasi pada pengguna; pertama, konseling adalah suatu aktivitas yang muncul

ketika seseorang yang bermasalah mengundang dan mengizinkan orang lain untuk

masuk kedalam hubungan tertentu. Kedua, seseorang mencari hubungan jenis ini jika

menemukan masalah atau problem dalm kehidupan yang tidak dapat mereka

pecahkan dengan sumber daya keseharian mereka, serta hal tersebut membuat mereka

terasing dari aspek kehidupan sosial. Ketiga, seseorang yang membutuhkan konseling

mengundang orang lain untuk menyediakan ruang dan waktu untuknya. Proses ini

ditandai dengan izin untuk berbicara, menghargai perbedaan, kerahasiaan, dan

afirmasi. Keempat, izin untuk berbicara yang dimaksudkan adalah memberikan

tempat bagi klien untuk dapat menceritakan kisah mereka, tempat dimana mereka

disemangati untuk menyuarakan pengalaman mereka yang dipendam, dalam jangka

5 John Mcleod, Pengantar Konseling, 8, 16.

Page 4: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

17

waktu dan cara yang mereka tentukan, termasuk pengeksplorasian perasaan dan

emosi.6

Kelima, penghargaan terhadap perbedaan yakni konselor harus menempatkan

diri mereka sejauh mungkin dari isu klien, dan juga keinginan mereka agar konselor

dapat memfokuskan pemikiran untuk menolong klien sehingga klien dapat

mengartikulasikan dan bertindak sesuai dengan nilai yang ada dalam dunia klien.

Keenam, kerahasiaan merupakan tugas konselor agar tidak menyampaikan segala

yang dibicarakan oleh klien kepada orang lain yang ada dalam dunia klien. Ketujuh,

afirmasi yakni konselor melaksanakan hubungan yang mengekspresikan nilai inti

seperti kejujuran, integitas, perhatian, keyakinan akan nilai-nilai individual,

komitmen untuk berdialog dan kolaborasi, refleksivitas, pribadi yang interdependen,

dan perasaan sehat.7

Berdasarkan pemikiran beberapa para ahli mengenai konseling maka dapat

disimpulkan bahwa konseling merupakan proses percakapan yang mendalam yang

terjadi diantara konselor dan kliennya. Percakapan ini dilakukan berdasarkan kasih

agar klien dapat mengalami kedamaian dalam berelasi dengan orang lain maupun

dalam memahami dirinya sendiri. Percakapan konseling yang dilakukan terfukus

pada kebutuhan, tujuan, dan orientasi sosial klien. Percakapan ini akan berlangsung

jika klien memberikan kebebasan kepada konselor agar dapat melakukan proses

konseling. Penjelasan ini mengarah kepada proses konseling yang berfokus pada

klien. Oleh karena konseling yang berfokus pada klien maka beberapa poin yang

6 John Mcleod, Pengantar Konseling, 16, 17.

7 John Mcleod, Pengantar Konselin, 17.

Page 5: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

18

disebutkan di atas mengenai konseling yang berpusat pada klien dapat

mempresentasikan dukungan, refleksi, dan pembaharuan dalam masyarakat. Dalam

area ini, konselor dan klien bersama-sama menggunakan sumber kultur yang didapat

(percakapan, ide, teori, ritual, langkah-langkah yang logis dalam pemecahan masalah,

wacana, dan teknologi) untuk mendapatkan pemecahan masalah kehidupan yang

mencetuskan keputusan untuk melakukan konseling. Proses konseling yang dapat

menolong klien dengan memperhatikan serta memahami klien dari sudut pandang

klien tanpa harus meninggalkan sudut pandang konselor agar dapat menemukan

langkah pemecahan masalah maka konselor sedang melakukan proses empati dalam

proses konseling. Sebab dengan berempati seorang konselor dapat menggunakan

unsur kultur yang dalam ada di dunia klien agar dapat menemukan langkah-langkah

yang logis dalam pemecahan masalah serta klien dapat dipulihkan dari kondisi yang

sebelumnya.

Praktik konseling sangat beragam. Konseling dapat dilakukan dengan bertatap

muka, dalam grup, dengan pasangan dan keluarga, lewat telepon, serta melalui materi

tertulis seperti buku dan panduan mandiri. Konseling harus memiliki korelasi dengan

bidang-bidang yang lain. Menurut Mcleod, konseling bukan hanya proses

pembelajaran individual tetapi juga merupakan aktivitas sosial yang memiliki makna

sosial. Konseling juga merupakan persetujuan kultur maksudnya adalah cara untuk

menumbuhkan kemampuan untuk beradaptasi dengan institusi sosial.8 Mcleod

menjelaskan beberapa tujuan konseling. Semua tujuan ini dalam praktiknya tidak

dapat melengkapi semua tujuan konseling akan tetapi melengkapi beberapa tujuan

8 John Mcleod, Pengantar Konseling, 8,11,13.

Page 6: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

19

sesuai dengan tujuan masing-masing konselor. Tujuan konseling yang dijelaskan

Mcleod antara lain:9

a. Pemahaman. Mengarah kepada peningkatan kapasitas untuk memilih kontrol

rasional dari pada perasaan dan tindakan.

b. Berhubungan dengan orang lain. Menjadi lebih mampu membentuk dan

mempertahankan hubungan yang bermakna dan memuaskan dengan orang lain.

c. Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang

selama ini ditahan dan ditolak, atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat

berkenan dengan bagaimana penerimaan orang lain terhadap diri.

d. Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri yang ditandai dengan

kemapuan menjelaskan pengalaman yang menjadi kritik diri dan penolakan.

e. Aktualisasi diri atau individuasi. Pergerakan kearah pemenuhan potensi diri atau

penerimaan integrasi diri yang sebelumnya saling bertentangan.

f. Pencerahan. Membantu klien mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

g. Pemecahan masalah. Menemukan pemecahan masalah tertentu yang tak bisa

dipecahkan oleh klien seorang diri.

h. Pendidikan psikologi. Membuat klien mampu menangkap ide dan teknik untuk

memahami dan mengontrol tingkah laku.

i. Memiliki ketrampilan sosial. Mempelajari dan menguasai ketrampilan sosial dan

interpersonal. Seperti mempertahankan kontak mata, tidak menyela pembicaraan,

asertif atau pengendalian kemarahan.

9 John Mcleod, Pengantar Konseling, 13,14.

Page 7: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

20

j. Perubahan kognitif. Modifikasi atau mengganti kepercayaan yang tak rasional

atau pemikiran yang tidak dapat diadaptasi.

k. Perubahan tingkah laku. Meodifikasi atau mengganti pola tingkah laku yang

merusak.

l. Perubahan sistem. Memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem

sosial.

m. Penguatan. Berkaitan dengan keterampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang

akan membuat klien mengontrol kehidupannya.

n. Restitusi. Membantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang

merusak.

o. Reproduksi dan aksi sosial. Menginspirasi dalam diri seseorang hasrat dan

kapasitas untuk peduli terhadap orang lain, membagi pengetahuan, dan

mengkontribusi kebaikan bersama melalui kesepakatan politik dan kerja

komunitas.

Beberapa tujuan yang dikemukan diatas mengarah kepada proses konseling

yang berfokus pada klien sebagai individu yakni individu yang memahami dirinya,

memiliki kesadaran diri, penerimaan diri, aktualisasi diri, individu yang dapat

memecahkan masalahnya, serta individu yang mengontrol tingkah lakunya. Selain itu

individu yang merupakan bagian dari kehidupan sosial yakni individu yang memiliki

ketrampilan sosial, individu yang memiliki perubahan berpikir serta tindakan,

individu yang peduli terhadap orang lain, serta individu yang dapat bekerjasama

dengan orang lain atau komunitasnya.

Page 8: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

21

Konseling merupakan suatu rangkaian proses yang memiliki hasil akhir.

Mcleod menjelaskan ada tiga kategori hasil akhir konseling yakni resolusi, belajar,

dan inklusi sosial. Pertama, Resolusi terhadap masalah sumber dalam hidup. Resolusi

mencakup pencapaian pemahaman atau perspektif terhadap masalah tersebut,

mencapai penerimaan pribadi terhadap permasalahan, dan mengambil tindakan untuk

mengubah situasi yang merupakan sumber permasalahan. Kedua, belajar mengikuti

konseling agar mendapat pemahaman, keterampilan, dan strategi baru yang membuat

diri mereka dapat menangani masalah serupa dimasa yang akan datang. Ketiga,

inklusi sosial konseling memberikan energi dan kapasitas personal sebagai seorang

yang dapat memberikan kontribusi terhadap makhluk lain dan kepentingan sosial.10

Pendekatan konseling yang ditawarkan oleh Mcleod merupakan konseling

yang dipahami dalam konteks sosial dan kultur. Maksudnya adalah klien dan

konselor merupakan peran sosial dan metode yang digunakan dalam proses konseling

menjelaskan tujuan serta kerja konseling yang dibentuk oleh kultur di mana mereka

hidup.11 Masyarakat pada hakekatnya memiliki identitas kultur yang sangat berperan

penting dalam pembentukan pribadi maupun kelompok. Pendekatan multikultural

menurut Pedersen, berawal dari posisi yang menyatakan bahwa keanggotaan dari

kultur atau beberapa kultur merupakan salah satu pengaruh paling penting terhadap

perkembangan identitas seseorang, sehingga masalah emosional dan perilaku yang

dibawah oleh seseorang dalam ruang konseling bisa jadi merupakan cerminan

bagaimana hubungan, moral, dan pemahaman terhadap “hidup yang nyaman”

10

John Mcleod, Pengantar Konseling, 17,18. 11

John Mcleod, Pengantar Konseling, 16.

Page 9: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

22

dipahami dan didefenisikan dalam kultur (atau beberapa kultur) tempat di mana

seseorang hidup.12

Pemahaman ini sejajar dengan defenisi multikultural menurut Parekh yang

menjelaskan masyarakat multikultural merupakan sebuah masyarakat yang meliputi

dua kultur atau lebih komuninat kulturnya. Istilah multikultural mengacu pada

kenyataan akan keanekaragaman kultur.13 Multikulturalisme dilihat sebagai sebuah

perspektif tentang kehidupan manusia. Pemahaman ini didasarkan pada tiga wawasan

yakni pertama, manusia secara kultur diletakan dalam posisi bahwa mereka tumbuh

dan hidup dalam dunia yang terstruktur secara kultur, mengorganisasikan kehidupan

dan hubungan-hubungan sosial menurut sistem makna, memposisikan nilai yang

besar tentang identitas kultur mereka. Kedua, kebudayaan-kebudayaan yang berbeda

mencerminkan sistem makna dan pandangan tentang jalan hidup yang baik. Ketiga,

semua kebudayaan kecuali yang paling primitif secara internal bersifat majemuk dan

mencerminkan sebuah percakapan berkelanjutan antara tradisi dan rangkaian gagasan

mereka yang berbeda-beda.14

Pemahaman tentang apa yang dimaksudkan dengan kultur menjadi bagian

awal sebelum memahami lebih dalam mengenai konseling multikultural. Kultur

dipahami sebagai cara hidup seseorang atau sekelompok orang. Dalam riset

antropologi sosial, bersikap adil terhadap kompleksifitas kultur hanya dimungkinkan

jika hidup di dalamnya selama waktu tertentu, dan melaksanakan observasi yang

12 Pederson dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, 274 13 Bhikhu Parekh, Rethinking Multicuturalism; Keberagaman Budaya dan Teori Politik, (

Yogyakarta: Kanisius, 2008), 17,18. 14 Parekh, Rethinking Multiculturalism, 440-442.

Page 10: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

23

sistematis terhadap masyarakat yang hidup di dalam kultur yakni dengan mengenal

dunia mereka melalui cara hubungan darah, ritual, mitologi, dan bahasa. Kultur

menurut Clifford Geertz, dapat dipahami sebagai:

Pola makna yang tertanam dalam simbol dan ditransmisikan secara historis, sebuah sistem konsepsi turunan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik yang digunakan (orang-orang) untuk berkomunikasi, bertahan hidup, dan mengembangakan pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadapnya.15

Menurutnya, memahami kultur atau cara hidup sekelompok orang hanya dapat

dilakukan dengan mencoba memahami apa yang ada dalam kultur tersebut, makna,

konsep turunan yang disimbolkan dalam dan diekspresikan dalam perilaku yang

bergerak dari dalam ke luar. Kultur merupakan tempat eksistensi seseorang sehingga

sulit dipahami oleh konselor sebab kultur seseorang sangat kompleks. Konseling

terjadi dalam dunia konselor. dengan demikian seorang konselor harus peka, dan

rendah diri berkenan tingkat kemungkinan memasuki realitas kultur yang dipendam

oleh klien. Falicov mengatakan, Inti dari konseling multikultural adalah sensitivitas

terhadap berbagai cara yang memungkinkan berbagai fungsi kultur dan interaksi

terlebur mejadi kepedulian tentang pengalaman kultur orang lain.16

Pemahaman tentang kultur yang dimasukan dalam ruang konseling

memberikan penjelasan bahwa kultur dari seseorang atau kelompok sangat berperan

penting dalam menjelaskan relasi seseorang dengan lingkungannya. Dalam hal ini

emosi dan perilaku individu dapat dipahami dalam kultur yang membentuknya.

Sehingga dalam proses konseling, konselor harus memahami kultur klien yakni

15 Clifford Geertz dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, 274 16 Falicov dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, 275.

Page 11: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

24

memahami cara hidup, makna, dan nilai-nilai yang terkandung didalam kultur klien.

Agar dapat memahami kultur klien, konselor harus hidup di dalam kultur klien, peka

terhadap kultur klien, serta mengamati kultur klien sebab didalam kultur klien

terdapat ekspresi emosi, tindakan, cara berkomunikasi, cara bertahan hidup, serta

mengetahui nilai-nilai yang terdapat didalam kultur klien.

Karakteristik identitas kultur dalam konseling multikultural yang menjadi

asumsi dasar meliputi bagaimana realitas dipahami, konsep diri, konstruksi moral,

konsep waktu, dan juga perasaan akan tanah air. Kelima asumsi ini akan menjadi

dasar agar dapat memahi klien yang memiliki identitas kultur. Selain itu klien juga

dapat diamati secara eksternal dengan memperhatikan dimensi interpersonal dan

kehidupan sosial. Dimensi interpersonal itu meliputi prilaku nonverbal, kontak mata,

jarak, gerakan tubuh, sentuhan, penggunaan bahasa, pola hubungan darah dan

hubungan antar sesama, hubungan gender, ekspresi emosi, serta peran teori

penyembuhan. Dalam konseling multikultural, karakteristik identitas kultur dan

dimensi interpersonal mempresentasikan dunia klien yang dapat dieksplorasi agar

dapat terbangun sebuah dunia klien dan konselor yang bersifat mutual dan saling

membantu.

1. Aspek Kultur Dasar dalam Konseling Multikultural

1.1 Konsep Realitas

Memahami orang-orang dari kultur yang berbeda tentu memiliki ide yang

berbeda tentang realitas. Realitas yang dipahami misalnya dualistik atau holistik.

Dalam kultur Barat, yang memahami realitas bersifat dualistik yang membagi dunia

dalam dua tipe entitas: jiwa dan tubuh. Jiwa terdiri dari ide, konsep, dan pikiran.

Page 12: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

25

Sedangkan tubuh bersifat nyata, dapat diamati, dan berkembang dalam ruang.

Realitas dualisme berdampak pada peningkatan pemisahan antara diri dan objek, atau

diri dan yang lain. Diri dikaitkan dengan jiwa dan dirancang di luar serta jauh dari

dunia luar. Dunia luar yang dimaksud adalah dunia segala sesuatu atau orang lain.

orang-orang selain dunia Barat menganggap dunia sebagai sebuah kesatuan.misalnya

Buddhisme, Hinduisme, dan agama dunia lain yang memahami bentuk fisik, mental,

dan spiritual sebagai aspek atau sisi dari satu realitas tunggal, bukan sebagai domain

yang terpisah.17

Pemahaman seseorang terhadap realitas dapat ditemukan dalam ruang

konseling. Berbagai elemen kunci dalam konseling, kata yang digunakan oleh

seseorang dalam mengekspresikan dan mendeskripsikan masalah memberikan sudut

pandang mendasar, implisit, dan filosofis dari sebuah kultur terhadap apa yang

dimilikmi individu. Konsep penyembuhan dengan menggunakan kultur tergantung

pada realitas yang dualistik atau holistik. Kultur dualis masyarakat Barat,

membicarakan masalah yang ada saja akan memasukkannya ke penanganan mental.

Kultur yang terdiri dari kesatuan jiwa, raga, dan roh, praktek penyembuhannya akan

menghadapkan seseorang kepada ketiga hal itu misalnya meditasi, latihan, dan diet.18

1.2. Memahami Diri

Memahami diri menjadi seseorang sangat bervariasi dari satu kultur dengan

kultur yang lain berbeda. Diri menurut Landrine (1992),19 self adalah inner thing (sisi

dalam diri sesuatu) atau daerah pengalaman diri yang berdiri sendiri dan lengkap dari

17

John Mcleod, Pengantar Konseling, 277. 18 John Mcleod, Pengantar Konselin, 277. 19

Landrine dalam John Mcleod, Pengantar Konseling, 277,278.

Page 13: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

26

kultur Barat, diyakini sebagai peletak dasar, pembuat, dan pengontrol perilaku.

Landrine menabrakan konsep diri kultur Barat dengan pengalaman diri indexical

dalm kultur non-Barat:

Diri dalam kultur ini bukanlah entitas yang eksis secara indenpenden dari hubungan dan konteks tempatnya diinterpretasikan. Sang diri diciptakan kembali dalam interaksi dan konteks, dan hanya eksis di dalam dan melalui hal tersebut.

Selain itu dalam konsep memahami diri terdapat pendekatan individualis dan

pendekatan kolektif. Kedua pendekatan ini tentunya memiliki perbedaan. Pendekatan

individualis yang mendominasi kultur Barat dan juga pendekatan kolektif merupakan

bagian dari kultur tradisional. Orang dengan pendekatan kolektif senang menganggap

dirinya sebagai anggota dari keluarga, suku, atau kelompok sosial lain dan membuat

keputusan berdasarkan kebutuhan, nilai, dan prioritas jaringan sosial ini. kultur

individualis menekankan pada perasaan bersalah, merujuk pada pengalaman batin,

dan penyalahan diri. Orang dengan kultur kolektif lebih senang berbicara mengenai

rasa malu, merujuk pada situasi dimana mereka tertangkap basa oleh orang yang

berkuasa. Akan sangat sulit untuk memahami orang lain yang ada dalam dua

pendekatan yang berbeda.

1.3 Konstruksi moral

Membuat pilihan moral, memutuskan yang benar dan salah adalah inti

kehidupan. Akan tetapi membuat pilihan moral ada dan dipengaruhi oleh kultur.

Moralitas Barat yakin dengan pilihan dan tanggung jawab individu dan kemauan

untuk dibimbing oleh prinsip moral yang abstrak seperti keadilan atau kejujuran.

Sedangkan kultur tradisional isu moral sangat ditentukan oleh takdir misalnya karma.

Page 14: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

27

Ajaran dan prinsip moral tertanam dalam cerita bukan diartikulasi dalam konsep

abstrak. Perbedaan antara memilih (kultur Barat) dan takdir (kultur tradisional) sangat

berpengaruh dalam konseling. Nilai moral dalam kultur individual cendrung

menghadirkan nilai seperti pencapaian, otonomi, indenpenden, dan rasionalitas.

Sedangkan kultur kolektivis lebih menekankan pada nilai sosiabilitas, pengorbanan,

dan kesesuaian.20

1.4 Konsep waktu

Dari perspektif person dan kelompok sosial, waktu adalah salah satu elemen

tempat cara hidup dan hubungan terbentuk. Salah satu ciri masyarakat industrial

modern adalah berorientasi pada masa depan. Masa lalu dilupakan dan dihancurkan.

Cerita yang diterima oleh keluarga atau komunitas di masa lalu, bertahan ditingkat

yang paling rendah. Masa lalu diartikan sebagai warisan. Sebaliknya, masyarakat

tradisional dan kolektif didominasi oleh orientasi masa lalu. Terdapat kesinambungan

antara cerita di masa lalu dan sekarang dengan mengkhayalkan para nenek moyang

hadir dan berkomunikasi dengan yang masih hidup. Konsep maju dalam masyarakat

modern sangat berperan penting sehingga sesuatu yang berhubungan dengan praktek,

gaya hidup oleh generasi sebelum dianggap ketinggalan jaman dan using. Sedangkan

kultur tradisional, konsep maju dapat dianggap sebagai satu ancaman. Bentuk

komunikasi dan penyimpangan informasi dalam berbagai pengaturan kultur juga

berpengaruh terhadap pengalaman menjalani waktu. Konstruksi waktu dalam

pengaturan kultur yang berbeda dapat menimbulkan konsekuensi praksis yang

dominan maksudnya dalam masyarakat dengan kultur ketepatan waktu, memberikan

20 John Mcleod, Pengantar Konseling, 279.

Page 15: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

28

perjanjian dengan menggunakan ketepatan waktu dan durasi adalah hal yang rasional

sedangkan bagi kultur yang lain, hal ini tampak tidak rasional klien akan menemui

konselor apabila mereka sudah siap untuk tujuan konseling.

1.5 Nilai penting tempat

Dimensi kultur yang paling akhir adalah hubungan antara kultur dengan

lingkungan fisik. Dalam masyarakat modern sebagian besar ikatan antara orang

dengan tempat telah putus. Mobilisasi sosial dan geografis adalah hal yang umum.

Masih ada penghargaan terhadap tempat dalam kultur modern akan tetapi

penghargaan itu terpisah dari individu. Konselor akan menghadapi berbagai kultur

dengan pemahaman yang berbeda juga tentang makna tempat.21

2. Aspek Kultur Diamati Secara Eksternal22

Salah satu aspek perbedaan kultur yang dapat diamati adalah perilaku non-

verbal. Kultur dapat diamati dari sinyal non-verbal seseorang seperti sentuhan, kontak

mata, gerak tubuh, dan kedekatan. Misalnya, dalam kultur Barat tatap mata secara

langsung dianggap sebagai tanda kejujuran dan keterbukaan. Dalam kultur yang lain,

tindakan itu dianggap kasar dan intrusif.

Pola perilaku verbal merupakan perbedaan kultur yang dapat diamati. Orang

dari kultur Barat cenderung menyampaikan cerita yang berurutan, logis, dan linear.

Sedangkan orang dengan klutur yang lain cenderung menyampaikan cerita yang

berputar dan tampak tidak akan sampai pada titik tertentu. Kuncinya adalah cara

21 Mcleod, Pengantar Konseling, 279. 22 Mcleod, Pengantar Konseling, 280-285.

Page 16: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

29

seseorang menyampaikannya, berbicara, bahasa yang digunakan mengkomunikasikan

kultur dan identitas mereka.

Karakteristik yang lain yang dapat diamati adalah pola hubungan darah. Cara

yang paling penting untuk menggambarkan perbedaan dalam ikatan darah adalah

dengan bertanya, hubungan mana yang paling penting bagi anda? Dalam kultur Barat,

jawabannya sering kali berhubungan dengan pasangan atau partner hidup. Sedangkan

budaya yang lain hubungan yang paling dekat adalah antara orang tua dan anak.

Pengaruh gender dalam pembentukan identitas sangat kuat. Identitas dan peran

gender dibentuk dengan cara yang berbeda dalam kultur yang berbeda.

Ekspresi emosi adalah salah satu sisi enkulturasi yang sangat penting dalam

konseling. Kultur yang berbeda menghasilkan beragam pemahaman terhadap emosi

yang diterima dan ekspresi mana yang diizinkan dilakukan dalam depan publik.

Caranya adalah dengan mengamati dan memahami bahasa (verbal dan non-verbal)

yang digunakan dalam menyampaikan emosi dan perasaan.

Perbedaan kultur yang dapat diamati juga dalam kultur adalah mengenai sikap

dan praktik penyembuhan. Setiap kultur memiliki pemahamannya sendiri terhadap

keberadaan, sakit, dan penyembuhan. Prilaku penyembuhan yang didasarkan pada

pengetahuan ilmiah dan juga prilaku penyembuhan yang didasari oleh keyakinan

supranatural.

Nilai dan model identitas kultur yang dimiliki muncul dari fakta kemustahilan

seorang konselor untuk mengetahui segala sesuatu yang ada dalam kultur. Ketika

seorang konselor berhadapan dengan klien dengan latar belakang kultur yang

berbeda, informasinya dapat diperoleh dari klien, membaca, dari anggota kultur, atau

Page 17: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

30

dengan tinggal di dalam kultur itu. Dalam memahami kultur tidak hal yang benar atau

salah. Semua kultur dapat dipahami sejauh adanya panduan dan kerangka kerja untuk

menawarkan cara dalam memahami kompleksitas identitas kultur. Konseling

multikultural bukan saja menuntut kemampuan untuk melihat seseorang dalam

kerangka kultur akan tetapi mengaplikasikan pemahaman dalam tugas membantu

orang dengan permasalahan mereka. Pemahaman terhadap kultur klien dalam proses

konseling mengarahkan konselor kepada kepekaan terhadap klien dengan memahami

kulturnya. Konselor dapat mengetahui cara memahami realitas klien yang dualistik

maupun holistik, cara memahami diri yang bersifat individual atau kolektif, dan cara

mengambil keputusan yang dipengaruhi oleh kultur klien. Selain itu konselor

memiliki kepekaan terhadap pola perilaku verbal, ekspresi emosi, pola hubungan

darah, serta nilai-nilai kultur yang dapat menyembuhkan klien. Kepekaan konselor

dalam memahami kultur klien mengarahkan proses konseling kedalam pemahaman

bahwa kultur memiliki nilai-nilai kehidupan yang diberlakukan dalam hidup individu

dan kelompok. Kultur akan terus diwariskan agar dapat mengontrol kehidupan

manusia sehingga manusia dapat menemukan makna dan nilai-nilai yang dapat

menolong manusia menjalani hidup. Konseling berlangsung dalam dunia klien untuk

itu klien dapat ditolong dengan cara memahami kulturnya yakni cara berpikir dan

bertindak klien, sebab cara berpikir dan bertindak individu atau kelompok sangat

dipengaruhi oleh kultur.

Page 18: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

31

B. Konseling Perdamaian

Konseling perdamaian merupakan konseling yang bekerja untuk

mempromosikan penyembuhan dan membangun perdamaian di wilayah yang

terganggu oleh perang. Konseling perdamaian hadir untuk mengatasi konsekuensi

dari perang yang terjadi yakni hilangnya nyawa, kurangnya kebutuhan dasar,

kehilangan dukungan, gangguan sosial, gangguan edukasi, kekerasan fisik, trauma,

tekanan emosional, dll. Penekananan penyembuhannya pada individu dan dukungan

komunitas. Konseling perdamaian merupakan upaya untuk mengatasi dan sebagai

cara untuk membangun kembali dukungan sosial. Pendekatan ini didasarkan pada

asumsi bahwa di dalam kondisi yang paling buruk, seseorang dapat bertahan, pulih,

dan berkembang. Konseling perdamaian memberikan keterampilan hidup yang

diperlukan yaitu keterampilan untuk menghasilkan pendapat dan kemampuan

komunikasi, memulihkan hubungan, mendorong tanggung jawab, dan menghadirkan

toleransi diantara anggota masyarakat. Konseling perdamaian dapat membawa

individu maupun kelompok ke dalam proses pengampunan dan rekonsiliasi sebab

perdamaian dimulai dalam kehidupan sehari-hari melalui pikiran, perkataan, dan

tindakan. Konseling perdamaian menolong individu atau kelompok agar dapat

menghadapi masa lalu dan menemukan pemahaman baru untuk membangun

perdamaian. individu atau kelompok yang berkonflik diberdayakan secara sadar

untuk mengambil keputusan, bukan untuk bereaksi dan melanjutkan siklus kekerasan

yang mereka lakukan. Selain itu tugas konseling perdamaian juga adalah membangun

Page 19: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

32

kerja sama dalam bidang ekonomi maupun politik sebab untuk membangun

perdamaian konseling saja tidak cukup.23

Teori konseling perdamaian yang dipakai dalam landasan teori sangat terbatas

karena itu agar dapat meletakan kerangka berpikir mengenai konseling perdamaian

penulis menggunakan teori yang dikemukan oleh Jeannie R. Annan, dkk.

Penjelasan mengenai konseling perdamaian di atas, didasari atas pandangan bahwa

konflik antar individu atau antar kelompok pada dasarnya berhubungan dengan

masalah psikologis yang ada pada masing-masing pihak yang berkonflik.

Penyelesaian terhadap masalah konflik dapat dibantu dengan proses konseling,

sehingga mereka mencapai perdamaian seperti yang diinginkan oleh mereka yang

terlibat dalam konflik. Konsep konseling perdamaian dikembangkan untuk

mengembangkan sebuah prosedur konseling yang memungkinkan orang berkonflik

dapat menyelesaikan masalah-masalah psikologis yang dialami dan masalah-

masalah yang menjadi sumber penyebab konflik.

C. Perdamaian dan Rekonsiliasi

Perdamaian berasal dari kata damai yang diartikan sebagai suasana tidak adanya

permusuhan dan hubungan yang serasi atau harmonis di antara kedua belah pihak.

Oleh karena damai yang menunjuk pada sebuah suasana atau keadaan maka

perdamaian merupakan proses atau usaha menuju suasana damai itu.24 Perdamaian

23 Jeannie R. Annan, dkk, “ Counseling For Peace In The Midst Of War:

Counselors From Northern Uganda Share Their Views”, International Journal for the Advancement of Counselling, Vol. 25, No. 4, December 2003, 235-244.

24 N. A. Weny, Tang Pi’u-Wang Solang, Menyambung yang Terputus, Menambal yang

Tersobek: Sebuah Kristologi Pendamaian dari Perspektif Orang Pantar Barat. Sosiologi Agama

Page 20: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

33

dalam pengertian sesungguhnya merupakan ketiadaan kekerasan dalam bentuk

langsung atau tidak langsung. 25

Galtung mengartikan perdamaian dalam dua defenisi yakni pertama, perdamaian

adalah tidak adanya atau pengurangan kekerasan dalam bentuk apapun. Kedua,

perdamaian merupakan tanpa kekerasan dan kreatif mentransformasi konflik. Kedua

definisi ini berlaku kerja perdamaian yakni bekerja untuk mengurangi kekerasan

dengan cara damai serta studi perdamaian untuk kondisi kerja perdamaian. Definisi

pertama berorientasi pada kekerasan dimana perdamaian menjadi negasinya.

Sedangkan definisi kedua berorientasi pada konflik dimana perdamaian merupakan

konteks konflik yang terungkap tanpa kekerasan dan kreatif. Untuk mengetahui

tentang perdamaian kita harus tahu tentang konflik dan bagaimana konflik bisa

diubah, baik tanpa kekerasan dan kreatif.26 Konflik menurut Galtung merupakan

perselisihan yang terjadi antara dua orang atau aktor yang mengejar tujuan yang sama

atau konflik merupakan dilema seseorang atau actor yang mengejar dua tujuan yang

tidak sesuai. Perselisihan tersebut dengan mudah mengarah pada upaya untuk

menyakiti atau menyakiti actor atau orang yang menghalangi. Dilema tersebut dapat

menyebabkan usaha untuk menyangkal sesuatu dalam diri sendiri, dengan kata lain

Pilihan Berteologi Di Indonesia (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana, 2016), 229.

25 Izak Lattu, Planting the seed of peace. Agama dan pendidikan perdamaian dalam

masyarakat multikultural. Buku Ajar Agama (Salatiga: satya wacana university Press, 2015), 190. 26

Johan Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development, and Civilization (London and New Dehli: Sage Publication,1996), 9.

Page 21: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

34

untuk menghancurkan diri sendiri. Mungkin juga ada Selfdestruction dalam

perselisihan (menolak usaha sendiri untuk mencapai tujuan mengelak.27

Berdasarkan beberapa pendapat di atas maka perdamaian dapat didefenisikan

sebagai proses menghadirkan damai tanpa melakukan kekerasan langsung maupun

tidak langsung. Proses menghadirkan damai menunjuk pada tindakan kreatif individu

agar dapat mentransformasi konflik atau perselisihan yakni dengan cara mengetahui

konflik, bagaimana konflik dapat diatasi, diubah secara kreatif tanpa menggunkan

kekerasan. Dengan demikian perdamaian berarti tidak adanya kekerasan dalam segala

bentuk maupun konflik yang berlangsung dengan cara yang konstruktif. Perdamaian

ada di dalam interaksi masyarakat tanpa kekerasan serta dapat mengelola konflik

mereka secara positif.

Galtung membagi perdamaian dalam dua tipologi yakni perdamaian negatif dan

perdamaian positif. Perdamaian negatif diartikan sebagai tidak adanya kekerasan atau

tidak adanya perang.28 Perdamaian negatif memerlukan kontrol pemerintah terhadap

konflik yang terjadi yakni dengan melakukan pengamanan dan perlindungan oleh

aparat keamanan di wilayah-wilayah perbatasan konflik. Strategi yang dipakai untuk

menghadirkan damai negatif adalah dengan memisahkan pihak yang berkonflik,

sehingga pihak-pihak yang berkonflik tidak saling bertemu satu dengan yang lain.

Dengan menghadirkan damai negatif maka pihak yang sedang berkonflik tidak akan

27

Galtung, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development, and Civilization , 70.

28 Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept of Positive and Negative Peace in the Contemporary Ethiopia: an Appraisal,” International Journal of Political Sciences and Development. Vol 3 No 6, ISSN: 2360-784X (2015): 251.

Page 22: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

35

saling bertemu dan tidak akan tercipta ruang bersama untuk menghasilkan

perdamaian yang diinginkan. Integrasi yang diinginkan semua pihak tidak terwujud

oleh karena pemisahan yang dilakukan pemerintah dengan menempatkan

perlindungan sekuritas.29 Klasifikasi perdamaian negatif adalah pesimistis, kuratif,

dan perdamaian tidak selalu dengan cara damai.30 Gagasan perdamaian sebagai tidak

adanya kekerasan kolektif terorganisir antara kelompok manusia khususnya negara-

negara, antar kelas, antar ras, dan kelompok etnis merujuk pada jenis perdamaian

negatif.31

Perdamaian positif menunjuk pada suasana damai di mana terdapat

kesejahteraan, keadilan, dan kebebasan. Damai positif menganjurkan interaksi

mendalam warga masyarakat demi menghadirkan integrasi sosial. Menghadirkan

perdamaian positif diperlukan kerja sama dengan tujuan memperbaiki masa lalu dan

membangun kembali masa depan. Kerja sama ini dapat dilakukan dengan

memperhatikan masalah-masalah kemanusiaan yang dihadapi serta menjadi tanggung

jawab bersama.32

Menurut Galtung Perdamaian positif menghadirkan hal-hal baik dalam

masyarakat, khususnya kerja sama dan integrasi antara kelompok yang ada dalam

masyarakat. Klasifikasi perdamaian positif adalah integrasi struktural, optimis,

preventif, perdamaian dengan cara damai. Perdamaian positif menunjuk pada kondisi

sosial di mana kegiatan mengeksploitasi dapat diminimalkan atau dihilangkan dan di

29 Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace, 190-191. 30 Galtung dalam Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept,” 252. 31 Galtung dalam Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept,” 252 32 Galtung dalam Izak Lattu, Planting the Seed of Peace, 191.

Page 23: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

36

mana tak ada kekerasan dalam bentuk apa pun. Kehadiran damai positif untuk

memberikan situasi yang merangkul, adil, serta menjaga harmoni ekosistem. Oleh

karena itu, terkait dengan perdamaian positif, ada sepuluh nilai-nilai hubungan positif

yakni kehadiran kerjasama, kebebasan dari rasa takut, bebas dari keinginan,

pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, tidak adanya eksploitasi, kesetaraan,

keadilan, kebebasan bertindak, pluralisme, dinamisme. Dalam pemaknaannya,

individu yang satu tidak mengeksploitasi satu sama lain, tentang individu yang tidak

hidup dalam ketakutan dan kecemasan, tentang individu yang memiliki berbagai

tindakan terbuka untuk diri mereka sendiri sehingga mereka dapat hidup. Perdamaian

positif diisi dengan konten positif seperti pemulihan hubungan, penciptaan sistem

sosial yang melayani kebutuhan seluruh penduduk dan resolusi konstruktif konflik.33

Damai yang positif dimaknai dalam pemahaman Galtung mengenai

rekonsiliasi. Menurut Galtung, rekonsiliasi adalah bentuk akomodasi dari pihak-pikah

yang terlibat dalam koflik destruktif untuk saling menghargai satu sama lain,

menyingkirkan rasa sakit, dendam, takut, benci, dan bahaya terhadap pihak lawan.

Dari pengertian ini maka dapat dikatakan bahwa rekonsiliasi merupakan bentuk

akomodasi dari pihak yang bertikai untuk saling menghargai dan tidak saling

membenci terhadap pihak lawan.34 pemahaman ini menyatakan bahwa rekonsiliasi

sebagai bagian dari resolusi konflik merupakan tahapan perdamaian yang akan

memakan waktu yang cukup panjang untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.

Sebab rekonsiliasi merupakan proses mengejar suatu perdamaian dengan

33 Galtung dalam Temesgen Tilahun, “Johan Galtung’s Concept,” 252-253. 34 Johan Galtung, Rekonsiliasi Konflik, ( Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), 67.

Page 24: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

37

menyelesaikan akar permasalahan dan mengampuni, serta dapat memperoleh kondisi

yang rukun (kembali rukun).

Mengacu pada makna perdamaian yakni proses menghadirkan damai tanpa

kekerasan langsung maupun tidak langsung maka ada dua tipe yang dikemukan yakni

perdamaian negatif dan perdamaian positif. Perdamaian negatif yakni situasi di mana

tidak ada perang oleh karena intervensi pemerintah melalui pengamanan dan

perlindungan aparat keamanan. Sedangkan perdamaian positif merupakan situasi

tidak adanya kekerasan baik kekerasan langsung maupun tidak langsung. Perdamaian

positif dapat terwujud dalam kerja sama antara masyarakat agar dapat menghadirkan

integrasi sosial yakni pemulihan hubungan dalam masyarakat. Perdamaian positif

berorientasi pada masa lalu dan masa yang akan datang. Dengan demikian

perdamaian positif dapat dipertahankan oleh karena kerja sama setiap anggota

masyarakat untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.

Berkaitan dengan pemikiran mengenai perdamaian positif dan perdamaian

negatif maka Galtung menjelaskan tiga pendekatan untuk memperoleh perdamaian

yakni peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding. Ketiga pendekatan ini saling

berkesinambungan dalam usaha untuk memperoleh perdamaian.

Pertama, peacekeeping merupakan pendekatan klasik yang dipakai oleh pihak

yang berkuasa atau pemerintah. Pendekatan ini pada dasarnya disosiatif yakni pihak

yang berkonflik dijauhkan satu sama lain di bawah ancaman hukuman yang cukup

jika mereka melanggar, terutama jika mereka melanggar ke wilayah masing-masing.

Kekuatan yang diusahakan oleh pemerintah disertai dengan langkah-langkah sosial

disosiatif lainnya, seperti pemisahan pihak yang berkonflik dan juga pendekatan

Page 25: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

38

klasik seperti penggunaan jarak geografi. Jika dua kekuatan sosial disebutkan - tidak

cukup untuk menjaga mereka terpisah atau masih ada ancaman perilaku destruktif

dan sikap kebencian dan atau penghinaan, maka pihak ketiga yakni pihak militer

dapat dipanggil untuk melakukan operasi peackeeping, misalnya berpatroli

perbatasan dan penggunaan peralatan teknologi misalnya pagar elektromagnetik, dll.

Jadi peacekeeping merupakan proses menghentikan atau mengurangi aksi kekerasan

melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang

netral.35

Kedua, peacemaking adalah proses yang tujuannya mempertemukan atau

merekonsiliasi dan strategi dari pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi,

arbitrasi terutama terutama pada level elit atau pimpinan. Pihak-pihak yang bertikai

dipertemukan guna mendapat penyelesaian dengan cara damai. Hal ini dilakukan

dengan menghadirkan pihak ketiga sebagai penengah. Akan tetapi pihak ketiga

tersebut tidak mempunyai hak untuk menentukan keputusan yang diambil. Pihak

ketiga hanya menengahi apabila terjadi suasana yang memanas antara pihak bertikai

yang sedang berunding.36

Ketiga, Konsep membangun perdamaian atau peacebuilding didefenisikan

sebagai aktifitas yang memiliki ruang gerak luas terutama mencakup rekonsiliasi,

transformasi sosial dan peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan.

35 Johan Galtung, Peace, war and defense: essays in peace research; Vol. 2, (Ejlers:

Copenhagen, 1976), 282. Bisa dilihat juga dalam Yulius Hermawan, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 93.

36 Johan Galtung, Peace, war and defense: essays in peace research; Vol. 2, (Ejlers: Copenhagen, 1976), 282. Bisa dilihat juga dalam Yulius Hermawan, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 93.

Page 26: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

39

Peacebuilding berjalan setelah aktivitas peacekeeping dan peacemaking dilakukan.

Peacebuilding dilakukan dalam waktu yang relatif panjang. Hal ini tidak terlepas dari

beberapa dimensi yang melingkupi peacebuilding yakni personal, relasional, kultur

dan stuktural. Struktur berkaitan dengan bagaimana membangun perdamaian melalui

transformasi nilai sekaligus peningkatan kapasitas institusi eksekutif, legislatif,

yudikatif, serta militer dan kepolisian. Dua institusi terakhir ini memegang peranan

penting dalam mengendalikan masyarakat pasca konflik. Sebab kenyataannya pihak

yang berkonflik rentan terhadap provokasi dan sangat mendambakan penegakan

hukum, struktur juga mengacu pada sistem dan struktur sosial yaitu bagaimana

hubungan diorganisasikan, siapa yang mempunyai pawernya, bisa pada tingkat

keluarga dan pada tingkat masyarakat yang lebih luas.

Peacebuilding juga merupakan strategi atau upaya yang mencoba

mengembalikan keadaan destruktif akibat kekerasan yang terjadi dalam konflik

dengan cara membangun jembatan komunikasi antar pihak yang terlibat konflik.

Tujuan peacebuilding sejatinya tidak hanya terbatas pada perhentian konflik dan

penjagaan kesepakatan damai. Namun konsep ini mencakup kerja-kerja yang luas dan

komprehensif baik pada saat konflik maupun pasca konflik. Selama konflik

berlangsung kerja-kerja perdamaian biasanya difokuskan pada intervensi

konflikmelalui mediasi atau fasilitas dan rekonsiliasi. Tujuannya untuk mengelola

melokalisir konflik sehingga tidak meluas kemana-mana, dan sedapat mungkin

diredakan. Jadi peacebuilding merupakan proses implementasi perubahan atau

rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi demi terciptanya perdamaian yang

Page 27: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

40

langgeng. Melalui proses peacebuilding diharapkan perdamaian negatif berubah

menjadi damai positif dimana masyarakat merasakan adanya keadilan sosial dan

kesejahteraan yang efektif.37

Dari penjelasan mengenai tiga pendekatan untuk memperoleh perdamaian

maka dapat rangkai alurnya seperti berikut: peacekeeping untuk menciptakan keadaan

damai negatif terdahulu. Setelah pertikaian bisa dihentikan, namun potensi masih

tetap mengancam maka program selanjutnya adalah Peacemaking untuk mencegah

pertikaian atau kekerasan pecah kembali. Pada periode tertentu peacekeeping telah

dianggap mampu menjaga perdamaian negatif, maka selanjutnya adalah program

management konflik, yaitu mengelola konflik tanpa kekerasan melalui proses-proses

politik seperti negosiasi dan mediasi untuk memecahkan masalah. Ketika pemecahan

masalah telah terbentuk maka kesepakatan harus diimplikasikan dalam bentuk

program-program peacebuilding masyarakat pasca konflik.38

Ketiga pendekatan yang digunakan untuk menghadirkan perdamaian

dikerjakan secara berkesinambungan. Peacekeeping terjadi karena ada intervensi

pemerintah melalui perlindungan aparat keamanan yang bekerja untuk memisahkan

pihak yang berkonflik dari tindakan kekerasan antara pihak yang berkonflik.

Peacemaking akan dikerjakan jika peacekeeping tidak dapat menghadirkan

perdamaian. Peacemaking merupakan tindakan mempertemukan pihak yang

berkonflik terutama pada level elit yang melakukan mediasi yakni proses intervensi

37 Alekius Jemadu, Analisis konflik Internal dari Perspektif Hubungan Internasional, dalam

buku Transformasi dalam studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu, dan Metodologi, Yulius Hermawan, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), 93

38 Novri Susan, Sosiologi Konflik Isu-Isu Konflik Kontemporer ( Jakarta: Kencana, 2009), 98.

Page 28: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

41

pihak ketiga dalam menyelesaikan konflik, negosiasi yakni proses tawar menawar

dengan cara berunding agar menemukan kesepakatan bersama, dan arbitrasi yakni

pengambilkan keputusan yang berfungsi untuk mengikat pihak yang berkonflik.

Peacebuilding merupakan proses strategi atau pun upaya agar dapat mengubah

perdamaian negative menjadi perdamaian positif dimana keadilan dan kesejahteraan

dapat dirasakan semua orang. Peacebuilding tidak hanya terbatas pada kesepatakan

untuk menajga kedamaian akan tetapi mencakup kerja yang luas baik pada saat

konflik terjadi maupun pasca konflik. Sebab perdamaian bukan hanya terjalin pada

saat konflik sudah berakhir akan tetapi perdamaian dipahami sebagai kondisi damai

yang terus bertahan.

Rangkuman

1. Konseling merupakan proses percakapan yang mendalam antara konselor

dengan kliennya. Proses konseling yang dilakukan terfokus pada kebutuhan,

tujuan, dan orientasi sosial klien. Proses konseling seorang konselor

membutuhkan rasa empati agar dapat menolong klien menemukan langkah-

langkah logis pemecahan masalah serta klien dapat dipulihkkan dari kondisi

sebelumnya.

2. Konseling multikultural merupakan salah satu pendekatan konseling berbasis

budaya sebab kepekaan terhadap budaya merupakan dasar dalam konseling

multikultural.

Page 29: LANDASAN TEORI A.repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13347/2/T2...14 BAB II LANDASAN TEORI Bagian kedua dalam penelitian ini merupakan ladasan teoritik yang akan dikemukan dan

42

3. Konseling perdamaian merupakan konseling yang bekerja untuk

mempromosikan penyembuhan dan membangun perdamaian diwilayah yang

terganggu oleh konflik.

4. Konflik merupakan perselisihan yang terjadi antara dua orang atau aktor atau

aktor yang mengejar tujuan yang sama. Perselisihan tersebut dengan mudah

mengarah pada upaya untuk menyakiti atau menyakiti aktor atau orang yang

menghalangi.

5. Perdamaian dapat dipahami dalam dua wajah yakni perdamaian positif dan

perdamaian negatif yang dapat dibedakan dalam tiga pendekatan yakni

peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding.