KUSTA

download KUSTA

of 5

description

tugas

Transcript of KUSTA

Tipe

TTBTBBBLLL

TTTiBTBBBLLiLL

Reaksi Lepromin3+2+1+----

Stabilitas imunologik+++-+++

Reaksi borderline-++++-

ENL----+++

Kuman dalam hidung ----+++++

Kuman dalam granuloma00-1+1-3+3-4+4-5+5-6+5-6+

Sel epiteloid+++---

Sel datia Langhans +++++++---

Globi-----++

Sel busa (sel Virchow)----++++++

Limfosit +++++++++++/

Infiltrasi zona sub epidermal+++/-----

Kerusakan saraf+++++++++-

Reaksi KustaReaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologi nya belum jelas betul, terminology dan klisifikasinya masih bermacam-macam. Mengenai patofisiologinya yang belum jelas itu akan diterangkan secara imunologik.

Reaksi imun dapat menguntungkan, tetapi dapat pula merugikan yang disebut reaksi imun patologik, dan reaksi kusta ini tergolong didalamnya. Dalam klasifikasi yang bermacam-macam itu, yang tampaknya paling banyak dianut pada akhir-akhir ini, yaitu:

ENL (eritema nodusum leprosum) Reaksi reversal atau rekasi upgradingENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dapat pula pada BL, berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbulnya ENL

Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa fenoma kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.leprae + antibody (IgM, IgG) + komplemen ( kompleks imun. Tampaknya reaksi ini analog dengan reaksi fenomena unik, tidak dapat disamakan begitu saja dengan penyakit lain. Dengan terbentuknya kompleks imun ini, maka ENL termasuk didalam golongan penyakit kompleks imun, oleh karena salah satu protein M.leprae bersifat antigenic, maka antibody dapat terbentuk. Ternyata bahwa kadar immunoglobulin penderita lepramatosa lebih tinggi daripada tipe tuberkuloid. Hal ini terjadi oleh karena pada tipe lepramatosa jumlah kuman jauh lebih banyak daripada tipe tuberkuloid. ENL lebih banyak terjadi pada saat pengobatan. Hal ini dapat terjadi karena banyak kuman kusta yang mati dan hancur, berarti banyak antigen yang dilepaskan dan bereaksi dengan antibody, serta mengaktifkan komplemen. Kompleks imun tersebut terus beredar dalam sirkulasi darah yang akhirnya dapat melibatkan berbagai organ.Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema, dan nyeri dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, arthritis, orkitis, dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat yang dapat diterangkan secara imuno-logik pula. Perlu ditegaskan bahwa pada ENL tidak terjadi perubahan tipe. Lain halnya dengan reaksi reversalI yang hanya dapat terjadi dapat terjadi pada tiper borderline (Li, BL, BB, BT, Ti), sehingga dapat disebut reaksi borderline. Yang memegang peranan utama dalam hal ini adalah SIS. Meskipun factor pencetusnya belum diketahui pasti, diperkirakan ada hubungannya dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi peradangan terjadi pada tempat-tempat kuman M.leprae berada, yaitu pada saraf dan kulit, umumnya terjadi pada pengobatan 6 bulan pertama. Neuritis akut dapat menyebabkan kerusakan saraf secara mendadak, oleh karena itu memerlukan pengobatan segera yang memadai. Seperti pernah diterangkan terdahulu bahwa yang menentukan tipe penyakit adalah SIS. Tipe kusta yang termasuk borderline ini dapat bergerak bebas kea rah TT dan LL dengan mengikuti naik-turunnya SIS pula. Begitu pula reaksi reversal, terjadi perpindahan tip eke arah TT dengan disertai peningkatan SIS, hanya bedanya dengan cara mendadak dan cepat.

Penggunaan istilah downgrading untuk reaksi kusta, akhir-akhir ini sudah hamper tidak terdengar lagi, tetapi pemakaiannya hanya untuk menunjukkan pergeseran kea rah lepromatosa masih tetap berlaku, berarti bergerak secara lambat, tidak secepat reaksi.Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relative singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin eritematosa, lesi macula menjadi infiltrate dan lesi lama menjadi bertambah luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. Adanya gejala neuritis akut penting diperhatikan, karena sangat menentukan pemberian pengobatan kortikostroid. Sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortokosteroid, sebab tanpa gejala neuritis akut pemberian kortikosteroid adalah fakultatif. Kalau diperhatikan kembali reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodosum sedangkan reversal tanpa nodus, sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangka reaksi reversal adalah reaksi non-nodular. Hal ini penting membantu menegakkan diagnosis reaksi atas dasar lesi, ada atau tidak adanya nodus. Kalau ada berarti reaksi nodular atau ENL. Jika tidak ada berarti reaksi non-nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.

Fenomena Lucio

Fenomena Lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta lepramatosa non-nodular difus. Kusta tipe ini terutama ditemukan di Meksiko dan Amerika Tengah, namun dapat juga di jumpai di negeri laim dengan prevalensi rendah. Gambaran klinis dapat berupa plak atau infiltrate difus, berwarna merah muda, bentuk tak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematosa, disertai purpura, dan bula, kemudian dengan cepat terjadi nekrosis sering ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut. Gambaran histopatologik menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superficial, edema, dan proliferasi endothelial pembuluh darah lebih dalam. Di dapatkan banyak basil M.leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrate polimorfonuklear seperti pada E.N.L., namun dengan imunofluoresensi tampak deposit immunoglobulin dan komplemen di dinding pembuluh darah. Titer kompleks imun yang beredar dan krioglobulin sangat tinggi pada semua penderita.

PENGOBATANObat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin, dan rifampisin. DDS mulai dipakai sejak 1948 dan di Indonesia digunakan pada tahun1952. Klofazimin dipakai sejak 1962 oleh BROWN dan HOGERZEIL, dan rifampisin sejak tahun 1970. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative, yaitu ofloksasin, minosiklin dan klaritromisin. Untuk mencegah resistensi, pengobatan tuberculosis telah menggunakan multi drug treatment (MDT) sejak 1951, sedangkan untuk kusta baru dimulai pada tahun1971.

Pada saat ini ada berbagai macam cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternative sejalan dengan kebutuhan dan kemampuan. Yang paling dirisaukan ialah resistensi terhadap DDS, karena DDS adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah. Obat ini sesuai dengan para penderita yang ada di Negara berkembang dengan social ekonomi rendah. Adanya MDT ini adalah sebagai usaha untuk:

Mencegah dan mengobati resistensi

Memperpendek masa pengobatan

Mempercepat pemutusan mata rantai penularan

Untuk menyusun kombinasi obat perlu diperhatikan antara lain:

Efek terapeutik obat

Efek samping obat

Ketersediaan obat

Harga obat

Kemungkinan penerapannya

DDSTentang sejarah pemakaian DDS, pada 20 tahun pertama digunakan sebagai mono-terapi. Pada tahun 1960 SHEPARD berhasil melakukan inokulasi M.leprae kedalam telapak kaki mencit. Pada tahun 1964, pembuktian pertama kali dengan inokulasi adanya resistensi terhadap DDS oleh PETTIT dan REES, disusul secara beruntun pembuktian adanya resistensi yang meningkat di berbagai Negara. Dengan adanya pembuktian resistensi tersebut berubahlah pola berpikir dan tindakan kemoterapi kusta dari monoterapi ke MDT.Pengertian relaps atau kambuh pada kusta ada 2 kemungkinan, yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps resisten. Pada relaps sensitive penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Secara klnis, bakterios-kopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakteriokopik positif kembali. Tetapi setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi mencit, ternyata M.leprae masih sensitive terhadap DDS. M.leprae yang semula dorman, sleeping, atau persisten, bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan sebelumnya, kuman dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun. Pada relaps resisten penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama. Dengan gejala klinis, bakterioskopik, dan histopatologik yang khas, dapat dibuktikan dengan percobaan pengobatan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.leprae resisten terhadap DDS. Cara pembuktian ialah dengan percobaan pengobatan dengan DDS 100mg sehari selama 3 bulan sampai 6 bulan disertai pengamatan secara klinis, bakterioskopik, dan histopatologik. Apabila fasilitas mengizinkan, dapat ditentukan gradasi resistensinya dari yang rendah, sedang, sampai yang tinggi. Inokulasi mencit pernah dilaksanakan dibagian Mikro-biologi FKUI Jakarta. Resistensi hanya pada kusta multi-basilar, tetapi tidak pada pausibasilar oleh karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat.Resistensi terhadap DDS dapat primer maupun sekunder. Resistensi primer, terjadi bila orang ditulari oleh M.leprae yang terjadi bila orang ditulari oleh M.leprae yang telah resisten, dan manifestasinya dapat dalam berbagai tipe (TT,BT,BB,BL,LL), bergantung pada SIS penderita. Derajat resistensi yang rendah masih dapat diobati dengan dosis DDS yang lebih tinggi, sedangkan pada derajat resistensi yang tinggi DDS tidak dapat dipakai lagi.

Resistensi sekunder tejadi oleh karena :

- monoterapi

- dosis terlalu rendah

- minum obat tidak teratur

- minum obat tidak adekuat, baik dosis maupun lama pemberiannya.

- pengobatan terlalu lama, setelah 4-24tahun.

Efek samping DDS antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropatia perifer, sindrom DDS, nekrolisis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbu-minemia, dan methemoglonemia.

Giyani L Suebu, S.Ked

Page 3