Kumpulan Tulisan Baru
Transcript of Kumpulan Tulisan Baru
Strategi Menjadi Warga Indonesia Multikultural
Konflik antaretnik dan antaragama di beberapa daerah di Indonesia beberapa tahun terakhir memberikan tiga pelajaran sosial penting bagi
Indonesia. Pertama, melemahnya relasi ke-kita-an dan menguatnya relasi ke-kami-an. Kedua, menguatnya identitas kelompok, saling
menstigma, dan akhirnya komunikasi antaretnik dan antarkelompok menjadi mandeg. Ketiga, warga belum cukup kuat dan cerdas secara
sosial hidup berdampingan dalam semangat kebihnekaan yang menjadi ikon keberagamaan Indonesia. Salah satu strategi dalam mencari solusi
konflik itu adalah mendorong pendidikan multikultural bagi warga Indonesia, melalui tiga strategi: (1) pembelajaran etika berkoeksistensi, (2) pembangunan kampung majemuk, dan (3) pelatihan keterampilan
berkomunikasi. Ketiga strategi ini adalah cara pencerdasan sosial
Kata kunci: pendidikan multikultural, pelajaran sosial, etika berkoeksistensi, kampung majemuk, pencerdasan sosial.
Tanggal 5-9 Oktober 2004 lalu berlangsung Konvensi Nasional
Pendidikan Indonesia V di Hotel Sangrila Surabaya. Yang punya
gawe adalah Universitas Negeri Surabaya. Banyak topik dan
masalah yang berkelindan dengan pendidikan di Indonesia
dibicarakan di sini, oleh berbagai pakar, dan dari berbagai sudut
pandang. Salah satunya adalah topik mengenai pendidikan
multikultur. Topik ini akhir-akhir ini tidak saja menarik, tetapi telah
menjadi kebutuhan peradaban Indonesia yang berbasis
kemajemukan.
Pertanyaannya adalah, mengapa perlu pendidikan
multikultural? Sebagai bangsa yang telah lama mendengung-
dengungkan bhineka tunggal ika, belumkah kita berhasil secara
cerdas mengelola kemajemukan sebagai keniscayaan Indonesia?
Pelajaran Dan Soal Sosial
Konflik horizontal di beberapa daerah di Indonesia dalam lima
tahun terakhir telah menyeret masyarakat ke dalam permusuhan
antaretnik dan antarpemeluk agama. Sedikitnya ada tiga pelajaran
sosial penting mengenai relasi antaretnik dan antaragama yang
kita terima dari konflik itu. Pertama, melemahnya relasi ke-kita-an
dan menguatnya relasi ke-kami-an. Relasi kekitaan yang
menghargai kesadaran koeksistensi dalam keseimbangan hidup
antaretnik dan antarpemeluk agama dengan begitu cepat
digantikan dengan divergensi etnik dan klaim keagamaan yang
mengedepankan semangat kekamian. Kedua, konflik tersebut
secara cepat-dan-segera melahirkan penguatan identitas
kelompok, saling menstigma, dan akhirnya ruang-ruang komunikasi
antaretnik dan antarkelompok menjadi mandeg. Segregasi
merupakan tapal batas sosial yang menghancurkan tatanan
keragaman sebagai bagian penting dari majunya Indonesia. Ketiga,
dari konflik tersebut juga kita temukan suatu pelajaran sosial baru
bahwa ternyata kita masih belum cukup kuat dan cerdas secara
sosial dalam hidup berdampingan atau berkoeksistensi dalam
semangat kebihnekaan yang menjadi ikon keberagamaan kita.
Tiga pelajaran sosial di atas sungguh tidak saja telah
memperlihatkan, tetapi juga telah mengagetkan kita—sebagai
nation-state—mengenai betapa kita telah kehilangan orientasi
hidup berkoeksistensi dan merawat keragaman sebagai
keniscayaan historik Indonesia. Jargon keragaman yang tercetak-
biru dalam idiom bhineka tunggal ika ternyata hanya mampu
membawa kita kepada ruang-ruang interaksi sosio-kultural yang
hanya cukup melek keragaman dalam suatu ikatan “sapu lidi”
kemajemukan Indonesia, tetapi belum berhasil memberikan isian
kesadaran mengenai wajibnya kecerdasan mengelola koeksistensi
dalam ikatan yang bernama bhineka tunggal ika itu. Konstruksi
kultural atas nosi “bercerai berai tetapi tetap satu juga” ternyata
2
telah mereduksi kita ke dalam ketunggalan dan merabunkan kita
dari keharusan Indonesia untuk membentuk kerangka multikultur.
Jargon itu kemudian hanya sanggup mengantar kita kepada ke-
tunggalika-an dalam kuasa kaki tangan negara tetapi gagal
membelajarkan kita untuk melihat kenyataan keragaman Indonesia
sebagai realitas sejarah.
Pada bagian lain, kebudayaan Indonesia yang dimaknakan
sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah ternyata hanya
merupakan perjumlahan “pertumpukan” sediaan kultur pada etnik-
etnik (di) Indonesia. Bahkan, sebagai perjumlahan kebudayaan
daerah, kebudayaan Indonesia tak jarang didudukkan dalam peran-
peran sekunder dan menjadi “ fosil” kebudayaan. Taman Mini
Indonesia Indah (TMII) dan berbagai pemberian kesempatan
kepada pertumbuhan kebudayaan daerah hanya sebatas menjadi
alat kebudayaan bagi pemberian kesempatan atas semua dalam
tiap-tiap dan dalam kerangka pemonolitikan kebudayaan,
pemonokulturalan kebudayaan, bahkan penghambaan kebudayaan
daerah atas kebudayaan Indonesia.
Berikut, diaspora sejumlah etnik Indonesia ke berbagai ruang
mukim etnik lain sejak Indonesia merdeka telah membentuk
kawasan mukim baru di berbagai daerah di Indonesia dan
mengubah wajah sosial Indonesia dari mukiman monokultur ke
kawasan-kawasan mukim baru yang multikultur.
Sebut saja misalnya diaspora Jawa-Madura, Minang, dan Bugis-
Makassar ke sejumlah daerah daerah di Indonesia. Dalam jangka
waktu tertentu tampaknya daerah-daerah baru yang multikultural
ini aman dalam interaksi lintas-etniknya. Tetapi siapa nyana
kemudian terjadi bentrok sosial yang membawa etnik Madura dan
Dayak ke dalam perseteruan fisik hingga berdarah? Siapa nyana
kemudian terjadi bentrok antarpemeluk agama di Poso, Maluku,
dan Maluku Utara hingga ratusan bahkan ribuan nyawa meregang?
3
Ruang-ruang sekolah, ruang kerja, dan berbagai ruang publik
yang lain memang telah mencerminkan realitas keragaman
Indonesia. Akan tetapi ruang-ruang publik bersama itu belum
mampu mempertemukan kita sebagai ruang kemajemukan.
Sekolah hanya mampu menjadi lembaga pencerdasan bangsa pada
aras pemandaian akal, tetapi belum cukup menjadikan dirinya
sebagai lembaga pengelola dan pusat pencerahan mengenai gairah
dan semangat menerima perbedaan dan kesadaran mengenai
being together, ‘ada-bersama’. Ambil contoh: konflik-konflik
horizontal yang dipicu, baik oleh soal-soal ketimpangan ekonomi
antarkelompok masyarakat, soal-soal politik, maupun soal
pemahaman keagamaan di beberapa daerah di Indonesia (Sampit,
Poso, Maluku, dan Maluku Utara, sekadar menyebut beberapa di
antaranya), telah menceraiberaikan sekolah. Murid dan guru
terceraikan dan sekolah (baca: kegiatan pencerdasan) tak bisa
menjadi sarana yang berfungsi sebagai penghenti kekerasan
lintasetnik dan lintasagama dan tak bisa menjadi jembatan sosial
yang senantiasa menjadi penghubung bagi selalu dirawatnya
keragamnan. Pada aras ini, muncul sejumlah soalan sosial lain:
Apakah sekolah juga gagal mengelola keberbedaan? Apakah secara
individual kita belum cukup cerdas secara lintas-etnik? Apakah
menguatnya kembali identitas kelompok di pemukiman yang
multikultural karena kepentingan kelompok tak begitu terwadahi
dalam hubungan yang setara dan adil dalam berbagai hajat hidup?
Era otonomi daerah yang merupakan buah dari reformasi
kepemerintahan yang dilegitimasi oleh Undang-Undang 22 dan 25,
juga telah membuahkan semangat penguatan identitas etnik dan
wilayah kultur dalam pembentukan kabupaten, kota, dan provinsi.
Ada dua sebab. Pertama, semasa pemerintahan Orde Baru, terjadi
ketimpangan antarwilayah, antarprovinsi, dan antarkebupaten/kota
dalam provinsi. Ketimpangan itu dapat berupa ketimpangan
4
ekonomi, pelayanan publik, fasilitas, dan yang paling menarik
adalah tidak meratanya akses komunitas dalam berbagai okupasi.
Kedua, ada dominasi komunitas yang satu kepada yang lain dalam
suatu ruang sosial yang multietnik. Mobilitas vertikal etnik tertentu
dalam suatu wilayah multietnik telah menjadikan etnik tersebut
mendominasi sejumlah besar okupasi di pemerintahan, pendidikan,
industri, perdagangan, politik, dan membuat termarginalkan etnik
lain. Akhirnya ketika Undang-undang 22 dan 25 tahun 2001 sebagai
kran pembuka diluncurkan, menyeruaklah semangat pemekaran
yang secara sosio-psikologis merupakan “gerakan kembali ke
kampung” untuk mengurus dirinya sendiri. Pada saat yang sama
identifikasi kultur-etnik menjadi penentu garis-batas wilayah.
Meskipun menggunakan nama dan batas-batas geografis, tetapi
jika ditilik, pengwilayahan itu sesungguhnya adalah pengwilayahan
geokultural. Ketimpangan dan dominasi menjadi pencetus lahir
atau menguatnya identitas etnik dan UU 25 hanyalah pipa penyalur
lahirnya keinginan “memisahkan diri” dari provinsi atau
kabupaten/kota induk.
Pencerdasan Sosial
Dari sekian banyak soalan sosial di atas, dapat dirumuskan
satu hipotesis: kita memang belum cukup kuat dan cerdas secara
sosial dalam hidup berdampingan, hadir-bersama, tumbuh
bersama, dan menjadikan asal-muasal etnik dan ragam pilihan
keagamaan sebagai hukum Tuhan ( the law of God, sunnatullah)
yang harus dihargai dan dijadikan sebagai kesadaran teologis
dalam mengolah dan mengelola kemajemukan itu.
Salah satu cara yang kita tempuh dalam mendorong
pendidikan multikultural adalah melalui strategi pencerdasan sosial
lintas-etnik (social intellectualizing strategy). Siasat ini merupakan
5
bagian penting dari bagaimana mewujudkan secara nyata
pendidikan multikultur sebagai jalan pembelajaran mengenai
penghargaan atas keberadaan dan kebersediaan hidup dalam
kekuatan kebertetanggaan dalam bingkai koeksistensi. Inilah
hakikat pendidikan multikultur. Secara konsepsional, pencerdasan
sosial lintas-etnik ditempuh melalui tiga cara: pembelajaran etika
berkoeksistensi, pembangunan kampung majemuk, dan pelatihan
keterampilan berkomunikasi.
Kita mengandaikan dan atau mengidealkan bahwa masyarakat
majemuk harus dibangun melalui dasar-dasar bersosial secara
lintas-etnik yang kuat. Dasar-dasar bersosial akan menjadi kuat bila
di masyarakat selalu berlangsung cara-cara untuk memelihara dan
merawat suatu perasaan, pikiran, dan perilaku berinteraksi
mengenai anggapan bahwa manusia memiliki dan perlu
mendapatkan hak yang sama untuk hidup dan berkembang. Inilah
etika berkoeksistensi. Ada kesadaran mengenai hadir-bersama,
berdampingan, dan menghargai keberadaan dan keberbedaan.
Sumber-sumber etika berkoeksistensi dapat ditempuh melalui
dua cara: (1) menemukan kembali dan menyusun semangat
kebertetanggan yang “tersimpan” dalam kearifan lokal masing-
masing etnik, dan (2) pembacaan kembali teks-teks keagamaan
mengenai cinta sesama sebagai pengejawantahan dari sifat-sifat
Tuhan yang mencintai manusia, melalui penguatan atas watak
humanisme yang dimiliki semua agama-agama.
Penguatan kembali kearifan lokal tentang semangat
kebertetanggaan (neighborhood) dapat dilakukan melalui kodifikasi
dan revitalisasi budaya lokal. Ini dapat dilakukan jika legislatif dan
eksekutif di daerah memiliki kemauan dan kemampuan untuk
menyusun strategi pembangunan kebudayaan lokal. Semangat
kebertetanggaan, suka menolong, dan tanpa pamrih—meskipun
berlangsung hukum pertukaran sosial dalam semangat
6
kebertetanggan dan saling tolong itu—merupakan modal
berkoeksistensi yang menjadi syarat dasar dari tertatanya suatau
masyarakat multikultural. Semanagt hadir-bersama yang menjadi
modal sosial (social capital) setiap etnik harus dibangkitkan
kembali pada semua komunitas yang berada pada sebuah ruang
mukim yang bernama masyarakat majemuk. Pembangkitan
kembali semangat kebertetangaan—sebagai kearifan lokal—yang
telah terhilangkan atau terlupakan karena berbagai perbenturan
dalam interaksi masyarakat majemuk merupakan salah satu cara
mendapatkan dasar-dasar hubungan sosial masyarakat multikultur.
Kampung Majemuk
Jika mengandalkan rekonstruksi etika berekosistensi yang
“dibangkitkan” kembali melalui semangat bertetangga
sebagaimana terbangun dalam hubungan sosial masyarakat
berkultur atau beretnik tunggal—sebagai “lawan” dari masyarakat
multietnik-multikultur—di sejumlah besar desa di Indonesia, maka
itu baru pada tataran kesadaran teologis. Meski menjadi dasar,
etika berkoeksistensi baru pada tataran kesadaran batiniah. Untuk
menampilkannya pada tataran praktek dan dapat tumbuh-kembang
nyata dalam pola perilaku, perlu dibangun sebuah siasat pelatihan
multikultur melalui pembangunan kampung majemuk (pluralistic
village). Apa yang dilakukan oleh Dirjen Diklusepora Depdiknas
melalui program Kapal Nusantara dengan “mengkampungkan”
pemuda di seluruh Indonesia dalam sebuah pelayaran melintas
nusantara dengan kapal Pelni beberapa waktu lalu adalah salah
satu bentuk dari pembangunan kampung majemuk. Meski
berlangsung singkat, program kampung majemuk ini sedikitnya
telah memperjumpakan satu generasi Indonesia dalam suatu arena
sosial yang dapat membikin mereka belajar menerima, dan
7
menghargai perbedaan; dan itu telah menjadi pengalaman
berharga bagi mereka.
Ada beberapa cara lain yang dapat ditawarkan mengenai cara
pembangunan kampung majemuk. Pertama, membentuk desa-desa
di Indonesia sebagai desa atau kampung yang tidak hanya dihuni
oleh komunitas, tetapi membikin kampung yang dihuni oleh
beberapa etnik dengan jumlah yang seimbang, tidak mayoritas dan
minoritas. Di sana diciptakan sebuah kultur multikultur dengan
menciptakan program pemajuan sosial dan eknomi yang equal.
Mungkin dibuat pilot project untuk kawasan tertentu di Indonesia
yang tingkat homogenitasnya tinggi.
Dari negara ada pendampingan melalui sebuah model baru
bertransmigrasi: menciptakan satu transmigrasi baru yang
pemukimnya berasal dari berbagai etnik di Indonesia. Komposisi
penduduknya seimbang dalam hal asal etnik. Ada dua keuntungan
dari pembangunan kampung semacam ini. Dari segi persebaran
penduduk, dengan model ini, kita dapat mencapai persebaran
penduduk yang tidak saja merata, tetapi juga dapat membikin
sebuah hybrid society karena para transmigran tidak saja berasal
dari satu etnik saja, tetapi berasal dari berbagai etnik di Indonesia
satu ruang mukim bersama. Selama ini program transmigrasi
hanya dilakukan dengan menempatkan satu etnik dalam suatu
ruang baru dan “terpisah” dengan masyarakat tempatan. Ini
melahirkan stereotip ada penduduk tempatan dan ada penduduk
pendatang.
Pada pembangunan kampung majemuk dengan model baru
bertransmigrasi ini, semua orang adalah “baru” di tempat itu.
Mereka akan mendapatkan pengalaman baru, menghadapi
masalah baru secara bersama, dan oleh karena itu, jika
pendampingan dapat berlangsung baik, akan tercipta sutau
solidaritas mekanik (mechanical solidarity) baru di kampung
8
majemuk itu. Di sanalah awalnya mereka mulai menemukan
perbedaan, tetapi perbedaan dapat dijalani, oleh karena mereka
berhasil memecahkan masalah-masalah yang sama-sama mereka
temukan.
Dalam jangka panjang, masyarakat dalam kampung majemuk
dapat bergerak ke dua arah pembentukan masyarakat yang
berbeda: menjadi masyarakat yang berkarakter cultural hybrid
kemudian menuju masyarakat monokultural atau tetap menjadi
masyarakat majemuk dan menjadikan perbedaan sebagai niscaya
yang dikelola. Ke arah pembentukan masyarakat yang mana dari
dua kemungkinan ini, pertama-tama ditentukan oleh program-
program pendampingan sosial, ekonomi, dan budaya yang
dirancang kusus untuk pembangunan kampung majemuk ini.
Transmigrasi dengan model pembangunan kampung majemuk
tidak sekadar pemindahan penduduk dari wilayah ke wilayah oleh
alasan pemerataan kepadatan penduduk, tetapi yang paling
penting adalah memberikan dasar-dasar hubungan sosial warga
Inodonesia yang berorientasi multikultur.
Kampung majemuk juga dapat dilakukan di sekolah.
Pertukaran siswa lintas-kabupaten dan lintas provinsi bagi siswa
yang berbeda asal etnik dan pilihan keagamaan merupakan satu
siasat pembangunan kampung majemuk sebagai kerangka kedua
pengejewantahan dan pelatihan etika berkoeksistensi.
Pengalaman-pengalaman yang ditemukan siswa dalam satu kelas
majemuk akan menjadi pengalaman berharga. Dengan demikian,
sekolah tidak saja merupakan lembaga pemandaian akal, tetapi
juga sebagai medium pencerdasan sosial bagi satu generasi
Indonesia yang cerdas berkomunikasi dan saling menggapai dalam
suatu ruang kesadaran dan etika berkoeksistensi.
Pembelajaran etika berkoeksistensi dan pembangunan
kampung majemuk dalam jangka panjang akan menjadikan warga
9
Indonesia cerdas sosial, karena dalam kedua siasat ini akan terjadi
akumulasi keterampilan berkomunikasi dalam semangat saling
hargai dan saling paham bahwa keragaman adalah hukum alam
yang perlu dikelola demi kestabilan keindonesiaan.
Simpulan
Jadi, pendidikan multikultur setidaknya ditempuh melalui tiga
cara: (1) pembelajaran etika koeksistensi, (2) pembangunan
kampung majemuk (pluralistic village development), dan (3)
pelatihan keterampilan berkomunikasi. Ketiga siasat ini disebut
sebagai strategi pencerdasan sosial (socially intellectualizing
strategy). Strategi pencerdasan ini dilakukan untuk memberikan
bobot pada semangat kekitaan dalam konteks keindonesiaan
sebagai cara untuk membentuk keetnikan Indonesia yang cerdas
secara sosial lintas-etnik dalam kerangka pembentukan warga
Indonesia yang hidupnya berorientasi multikultural (multicultural
oriented).
DAFTAR PUSTAKA
[1] Chris Barker, Cultural Studies: Teori dan Praktek, Penerjemah Tim KUNCI Cutlural Stduies Center, Jakarta, Bentang, 2005.
10
[2] Hawasi, Aktualisasi Paradigma Multikulturalisme dalam Budaya Indonesia yang Plural, Proceeding Seminar Nasional PESAT, hlm S40-S47, Lembaga Penelitian Universitas Gunadarma, Depok, 2005.
[2] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional, Gramedia, Jakarta, 2004.
. [3] Muhammad Ali, Teologi Pluralis-Multikultural: Menghargai
Kemajemukan Menjalin Kebersamaan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003.
[4] Will Kymlicka, Multicultural Citizenship, Clarendon Press, Oxford, 1995.
[5] Samovar, Larry A., Richard E. Porter, dan Nemi C. Jain. 1981. Understanding Intercultural Communication. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.
Kohesi Sosial, Perekat yang Selalu Harus Dikelola1
1 Disampaikan pada Kegiatan Diskusi Pengayaan Hasil-hasil Internalisasi 7 Tematik Asesmen Pokja PDA Maluku Utara, yang diselenggarakan oleh UNDP, di Kantor UNDP, 5 April 2005.
11
Kohesi sosial (social cohesion) dapat didefinisikan sebagai
perekatan yang dibangun oleh suatu komunitas berdasarkan ikatan
kefamilian, klan dan genealogi dalam bingkai keetnikan. Secara
tipologis, kohesi sosial dapat dikategorikan secara kasar ke dalam
dua tipe, yaitu kohesi sosial intramasyarakat dan kohesi sosial
antarmasyarakat. Kohesi sosial intramasyarakat secara historis
terbentuk melalui suatu mekanisme perbentukan sosio-kultur
dalam suatu masyarakat tunggal (single society). Masyarakat
tunggal lazimnya menempati satu wilayah mukim atau beberapa
wilayah mukim tetapi memelihara tata adab dan tata sosial yang
sama. Tata adab dan tata tata sosial yang sama itu menjadi
panduan berinteraksi. Dalam masyarakat tunggal tertentu,
perekatan ini juga ditentukan oleh jenis pekerjaan atau mata
pencaharian yang dominan seperti petani atau nelayan.
Kohesi sosial antarmasyarakat secara historis terbentuk
melalui pertemuan sosial secara lintasmasyarakat. Pertemuan
sosial itu terbentuk oleh adanya saling butuh, kemudian
membentuk suatu mekanisme sosial saling membantu. Jika kohesi
sosial intramasyarakat terbentuk melalui mekanisme interaksi
sosial dalam satu masyarakat tunggal yang didorong oleh
kesadaran kekerabatan, kohesi sosial antarmasyarakat terbentuk
lebih pada mekanisme pragmatis-ekonomis. Secara teologis-
kutlural, kohesi sosial antarmasyarakat mungkin dibentuk oleh
semangat pertetanggaan dan saling bantu yang diolah dari
sumber-sumber tata adab mengenai etika berkoeksistensi dan
persamaan makhluk ciptaan Tuhan yang diambil dari teks-teks
keagamaan.
12
Pada tingkat ini kohesi sosial sesungguhnya dapat dilihat
dalam dua sudut pandang. Pertama, kohesi sosial adalah sebuah
perekat yang secara fungsional merupakan kondensasi atau
tepatnya kristalisasi dari adanya kesamaan famili, klan, etnik,
kesamaan nasib, jenis pekerjaan, orientasi budaya, dan tujuan
sosial. Dalam sudut pandang ini, pembentukan atau terbentuknya
sebuah masyatakat harus melalui mekanisme penyatuan berbagai
kesamaan yang disebut di atas. Dengan perkataan lain,
pembentukan sebuah masyarakat harus melalui mekanisme
perekatan yang kita sebut kohesi sosial. Secara skematis, sudut
pandang ini dapat divisualkan sebagai berikut:
Sekali lagi, dengan skema di atas kohesi sosial dipahami
sebagai perekat dalam kerangka pembentukan masyarakat.
Kedua, kohesi sosial merupakan “causa prima” bagi
pembentukan masyarakat melalui ikatan famili, klan, etnik, ikatan
kebangsaan, persepakatan politik, jenis kerja, dan kesamaan
orientasi budaya/sosial. Dalam pandangan ini, kohesi sosial
berfungsi sebagai penyuplai energi sosial bagi pembentukan
masyarakat melalui mekanisme penyamaan dan kesamaan tujuan
13
famili
klan
etnik
jenis kerja
kesamaanorientasi
KOHESISOSIAL
MASYARAKAT
sosial. Secara skematis, sudut pandang kedua ini dapat divisualkan
sebagai berikut:
Sudut pandang pertama memandang kohesi sosial sebagai
suatu yang “dalam menjadi”, sebagai jalan pembentukan
masyarakat; ada proses Being. Sebab itu, ia menjadi suatu piranti
sosial yang selalu mengalami modifikasi sepanjang sejarah
keaadaban bermasyarakat. Ia menjadi dibutuhkan karena dengan
cara ini manusia dapat mencapai cita-citanya dan memenuhi
kebutuhannya.
Sementara itu, sudut pandang kedua menganggap kohesi
sosial adalah syarat tercetusnya famili, klan, kesamaan orientasi,
dll. Ia sebuah keharusan yang secara teologis terlah terberi (given).
Dengan itu, klan, kesamaan orientasi, dll. terbentuk sebagai syarat
antara pembentukan masyarakat.
Sudut pandang pertama menganggap kohesi sosial sebagai
kebutuhan, semantara sudut pandang kedua memandang kohesi
social sebagai syarat. Tetapi jika kohesi social itu kebutuhan atau
14
famili
klan
etnik
jenis kerja
kesamaanorientasi
KOHESISOSIAL
MASYARAKAT
syarat, mengapa dalam kenyataan dalam sepanjang sejarah
keadaban manusia sering ada keguncangan sosial, lalu kohesi
sosial digantikan dengan adhesi sosial (social adhesion)? Perekat
berubah menjadi penolak? Mengapa? Tampaknya ada satu syarat
yang dibutuhkan, baik pada masyarakat tunggal, maupun
masyarakat plural. Apa itu? Keseimbangan dan atau
kesetimbangan. Kohesi sosial akan terbangun, jika ada
keseimbangan dalam berbagai ruang pemenuhan hajat sosial.
Salah satu jalan dalam membangun kohesi sosial adalah
dengan mengelolanya. Dan, salah satu cara mengelola kohesi
sosial adalah membangun keseimbangan-keseimbangan dalam
masyarakat, yaitu keseimbangan hak atas pelayanan sosial, seperti
pelayanan pendidikan, kesehatan, akses ekonomi, dan partisipasi
politik yang dkelola secara demokratis. Sembari itu juga, diperlukan
dorongan sosial bagi pemenuhan kewajiban sosial untuk
menghargai keragaman pilihan keyakinan, keberlainan etnik,
golongan, juga pilihan-pilihan hidup lainnya.[]
15
Memilih dengan Gembira: Deep Democracy
Saya ingin menawarkan sebuah gagasan yang “rada gila”
karena gagasan ini belum pernah ada dalam kamus demokrasi:
deep democracy, alias demokrasi batiniah. Dengan konsep ini saya
menata demokrasi menjadi dua lapis, lapis surface democracy
sebagai lapis luaran atau lapis lahiriah dan lapis deep democracy
sebagai lapis dalaman atau lapis batiniah. Konsep penataan
demokrasi serupa ini saya pinjam dari khasanah teori kebudayaan
yang menata atau mengkonsepsikan kebudayaan menjadi dua
lapis, lapis kebudayan lahiriah dan lapis kebudayaan batiniah.
Yang dikenal sekarang adalah demokrasi substansial, yaitu
demokrasi yang mendorong hak-hak, kebebasan, kesetaraan, dan
pembangunan masyarakat sipil yang egaliter bagi penegakan atau
kelola negara yang berbasis publik. Demokrasi substansial dapat
dicapai melalui pembentukan kelembagaan negara.
Dalam sudut pandang budaya, demokrasi itu sebuah kreasi
budaya pembentukan negara, sebagaimana juga teokrasi dan
monarki. Demokrasi lahir dilatari oleh adanya kekurangan dan
kegagalan yang dialami oleh pengelolaan negara berbasis teokrasi
dan monarki. Karena perkembangan peradaban manusia menuju ke
16
arah perjuangan atas hak-hak rakyat, demokrasi kemudian menjadi
jalan atau pilihan utama—setidaknya hingga kini—mengenai
bagaimana mengelola negara.
Dalam perspektif kebudayaan, demokrasi adalah sebuah jalan
atau metode kebudayaan kelola negara. Sebagai metode
kebudayaan kelola negara, demokrasi, sebagaimana disebut di atas
terbangun dalam dua lapis, yaitu lapis lahiriah (surface democracy)
dan lapis batiniah (deep democracy). Apa itu demokrasi lahiriah?
Dengan demokrasi kita meciptakan kepempimpinan, membentuk
lembaga-lembaga perwakilan, membangun lembaga-lembaga
kepemerintahan, menegakkan hukum, dan membentuk lembaga
yang mengelola dan mengolah suara rakyat (semisal KPU).
Lembaga-lembaga itu bekerja dari hasil pengolahan suara rakyat
untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Itulah demokrasi lahiriah.
Nyata, karena lembaganya ada, aturan main dan hubungan
antarlembaganya ada. Tumbuh dan tegaknya lembaga berkarakter
demokrasi itu menjadi pertanda nyata bahwa kebudayaan
demokrasi di lapis lahiriah ada dan terjaga. DPR yang mewakil,
eksekutif yang berkepemerintahan bersih dan baik, lembaga-
lembaga peradilan yang berhasil memberikan pelayanan keadilan
adalah entitas-entitas demokrasi lahiriah.
Itu semua di atas adalah demokrasi lahiriah. Tetapi tegaknya
lembaga-lembaga demokrasi itu tidak dengan sendirinya. Ada satu
lapis dalaman yang menjadikan lahirnya demokrasi lahiriah itu,
yaitu tuntutan atas terpenuhinya hasrat publik, hasrat rakyat, hak
rakyat sebagai pilar utama demokrasi. Agar hasrat rakyat itu, dan
bukan syahwat kekuasaan, terpenuhi, maka diproseslah, diolahlah
hasrat/suara rakyat itu melalui suatu mekanisme pengumpulan
suara yang disebut pemilihan umum. Pada tingkat ini, mekanisme
pengumpulan suara adalah masukan nyata yang disuplai oleh
17
demokrasi batiniah. Terbentuknya kepemimpinan dan tegaknya
lembaga-lembaga adalah buah dari demokrasi batiniah.
Sebab itu, pengumpulan suara yang kita kenali sebagai
pemilihan umum adalah cara demokrasi batiniah menyalurkan
dirinya untuk membentuk kepempimpinan dan lembaga-lembaga di
lapis demokrasi lahiriah. Pemilihan kepala daerah (Pilkada),
misalnya, adalah cara demokrasi batiniah menyalurkan dirinya
untuk membentuk kepemimpinan. Bila proses pembentukan
kepemimpinan itu benar dalam cara pengelolaannya, maka akan
terbentuk demokrasi lahiriah yang kuat dan sehat. Tetapi dalam
kenyataan, sepanjang sejarah pembangunan demokrasi di
Indonesia, proses pengejawantahan demokrasi batiniah menjadi
demokrasi lahiriah, tidak selalu merupakan hasrat dan suara rakyat
dalam pengertian yang sesungguhnya, tetapi kadang melalui suatu
mekanisme yang manipulatif, dengan menelikung prinsip-prinsip
demokrasi batiniah, yaitu suara dari bawah, tetapi melalui apa yang
dalam teori politik disebut sebagai politicking
Sebab itu, Pilkada, meski telah ditata di lapis demokrasi
lahiriah, melalui Undang-undang 32 tentang Pemerintahan Daerah,
belum serta serta merta menjadi alat penyalur demokrasi batiniah
yang efektif, karena dirumuskan berdasarkan kepentingan elit yang
tergiur dengan euphoria pembentukan demokrasi lahiriah, dan abai
terhadap hasrat dan suara rakyat sebagai sumber demokrasi
batniah. Meskipun dengan nalar pemberdayaan partai sebagai pilar
utama demokrasi, penataan dan mekanisme Pilkada dalam UU 32
mereduksi demokrasi batiniah, dan menjadi alat demokrasi lahiriah
yang kehilangan ruh suara dan hasrat rakyat. Bahkan, bila dengan
watak dan laku politicking menelikung dan membelokkan suara dan
hasrat rakyat, demokrasi lahiriah yang yang terbangun nanti
merupakan the stolen goods ‘barang coléngan’ yang hanya menjadi
mainan dalam syahwat kekuasaan.
18
Kini Pilkada telah ditata dalam lapis demokrasi lahiriah. Dalam
hitungan itu, kita tak punya pilihan lain kecuali tinggal
mempersiapkan kekuatan demokrasi batiniah dengan membikin
Pilkada bukan alat elit untuk membangun demokrasi lahiriah yang
abai atau dengan sengaja membelokkan—meminjam istilah
Mochtar Pabottingi—suara dan hasrat rakyat ke pemenuhan
syahwat kekuasaan. Apalagi UU 32 tentang Pemeritah Daerah yang
menata dan mengelola Pilkada sebagai sebagai jalan pembentukan
demokrasi lahiriah menyimpan kemungkinan adanya perbenturan
tafsir antara lembaga-lembaga di lapis demokrasi lahiriah, yang
bisa jadi merembes ke bawah ke tatanan demokrasi batiniah
menjadi alat sulut konflik komunal. Ini lebih berbahaya lagi, bila
terjadi di daerah-daerah yang pernah mengalami konflik komunal
seperti Maluku Utara. Sebab itu, salah satu cara yang dapat dan
harus kita tempuh adalah menjadikan Pilkada sebagai benar-benar
sebagai demokrasi batiniah yang kuat dan tak mudah ditelikung
dan dibelokkan. Jika demokrasi batiniah itu sama dengan soft
democracy, maka kita perlu mendorong suatu paradigma—meski
tidak baru—yaitu mensosialisasikan jargon melilih dengan
gembira kepada rakyat sebagai pemegang demokrasi batiniah.
Memilih dengan gembira dapat memberi efek pada dua hal.
Pertama, Pilkada tidak menjadi batu pemecah kohesi sosial, tetapi
menjadi alat peneguh kuatnya demokrasi batiniah. Kedua, melalui
memilih dengan gembira, Pilkada bukan metode pembentukan
kepemimpinan di lapis demokrasi lahiriah, tetapi jalan
pengefektifan suara dan hasrat rakyat yang tak gampang
ditelikung. Dengan begitu, Pilkada tidak dengan mudah dibelokkan
oleh elit untuk kepentingan dirinya dan menjadi alat pemecah
kohesi sosial. Dengan memilih dengan gembira, kekuatan
demokrasi batiniah tidak dibajak secara gampang oleh elit. Mari
memilih kepala daerah dengan gembira!
19
Pilkadal, Mereduksi Demokrasi?
BEM Fakultas Hukum Universitas Khairun menggelar dialog
di bawah tema Pilkadal dan Komitmen Demokrasi dalam Upaya
Melahirkan Pemimpin Masa Depan. Karena cakupannya cukup
luas, saya ingin meringkasnya—tetapi tidak dengan maksud
mensimplifikasikannya—menjadi: Pilkadal, Mereduksi
Demokrasi? Sebuah tema yang indah di tengah-tengah kita
sedang menyiapkan segala daya sosial dan daya politik untuk
Pilkadal. Sebagai satu jalan memilih pemimpin, kita menganggap
Pilkadal akan melahirkan pemimpin lokal yang sangat
legitimated sebab dipilih langsung oleh rakyat. Kita pun
20
berasumsi kita bahwa Pilkadal adalah jalan yang paling
demokratis dalam memilih pemimpin lokal. Di atas itu, kita pun
menaruh ekspektasi bahwa dengan Pilkadal, kita akan
menemukan pemimpin yang bermutu.
Setidaknya cara ini kita anggap lebih baik dari cara yang
pernah dibuat di rezim Orba dalam memilih pemimpin lokal
(baca: gubernur, bupati, walikota). Meskipun masa itu pemimpin
lokal dipilih oleh DPRD, kita, atau sebagian kita tahu bahwa
memilih pemimpin lokal di masa itu sarat pesanan bahkan
tekanan dari pemerintah pusat, dengan argumentasi stabilisasi
nasional. Tak jarang apa yang ditentukan—maksudnya
pemimpin--di dearah tidak selaras dengan keinginan pusat
(baca: Jakarta). Dan, dalam banyak kasus, pusat memaksakan
pesanannya. Bahkan, Jakarta menjadikan dirinya sebagai “pusat
firman politik” dalam menentukan pemimpin lokal.
Lalu, karena arus kesadararan sejarah mengenai perlunya
dekonstruksi atas tata dan kelola negara, lahirlah kekuatan baru
yang kita sebut reformasi. Buah yang nyata dari reformasi tata
dan kelola negara yang berkelindan dengan hubungan pusat-
daerah adalah UU 22 tentang Pembagian Keuangan Pusat dan
Daerah, UU 25 tentang Otonomi Daerah, dan UU 32 tentang
Pemerintahan Daerah. Di atas semangat UU 25 dan di atas
pesan demokrasi UU 32 dengan turunannya PP 6 Tahun 2005
[tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan
Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah] itulah,
kini kita meramu satu cara memlih pemimpin lokal yang secara
nomenklatur kita sebut Pemilihan Kepala Daerah Langsung
(PILKADA[L]).
Mereduskri Demokrasi?
21
Tapi soalnya sekarang adalah apakah dengan Pilkadal,
ekspektasi kita mengenai satu jalan demokrasi dalam memilih
pemimpin akan terpenuhi? Salah satu cara memeriksanya
adalah dengan melihat mekanisme pencalonan pemimpin lokal
yang tertuang dalam UU 32 dan PP 6 itu. Melalui debat panjang,
dan itu terkait dengan calon independen, akhirnya disepakati
bahwa pencalonan gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati,
dan walikota-wakil walikota hanya menganut asas one gate
system, ‘cara satu pintu’, yaitu melalui partai-partai. Ide
mengenai calon-calon independen yang diperjuangkan DPD yang
dimotori oleh La Ode Ida, tentu dkk., terkalahkan oleh hegemoni
partai-partai. Mengapa partai-partai begitu gigih
memperjuangkan pencalonan pemimpin lokal dengan cara satu
pintu ini? Ada beberapa nalar dan ekspektasi politik yang
melatarinya. Pertama, partai-partai punya kepentingan besar
dalam membesarkan partai-partainya hingga di tingkat lokal
sebagai akar penunjang bagi kekuasaannya di tingkat nasional.
Kedua, dengan cara ini partai-partai punya kesempatan untuk
menawarkan calon gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati,
dan walikota-wakil walikota kepada (calon) pemilih. Ketiga,
dengan cara ini pula, partai-partai ingin menjadi pemain tunggal
dalam memberhasilkan cara-cara menguasai kepemimpinan
lokal. Dengan begitu, partai-partai dengan leluasa dapat
memilih dan bersetuju dengan siapa-siapa calon pemimpin lokal
yang diusungnya. Keempat, cara satu pintu ini, sudah dianggap
cukup karena partai-partai cukup PD, alias percaya diri, bahwa
partailah pilar utama demokrasi. Dengan perkataan lain, partai
berasumsi bahwa demokrasi tak akan tegak tanpa partai.
22
Di atas nalar dan ekspektasi politik di ataslah, partai-partai
berjuang memenangkan cara pencalonan pemimpin lokal
dengan cara satu pintu. Lalu sekarang apakah dengan cara satu
pintu dalam memilih pemimpin lokal bukan justru mereduksi
hakikat demokrasi? Sebenarnya jika partai-partai cukup kuat
menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi, pemilihan
pemimpin lokal tentu saja akan demokratis. Akan tetapi secara
empirik, kini, sedang ditemukan sejumlah situasi yang justru
menunjukkan adanya proses reduksionisme terhadap demokrasi.
Pertama, deal politik antara partai dengan calon pemimpin lokal
cenderung terjebak ke dalam kemungkinan atau kepastian
permainan uang (money politics) oleh karena ada kondisi
simboisis mutualisme antara partai dan calon pemimpin: partai
ingin mempengaruhi atau ingin memberhasilkan cara-caranya
menyukseskan pemilihan pemimpin lokal dan calon pemimpin
membutuhkan kendaraan politik (dalam hal ini partai) untuk bisa
mendapatkan suara. Kedua, deal politik itu akan mendorong
kemungkinan adanya sharing platform antara partai dan calon
pemimpin sebagai tujuan bersama ketika pemimpin dipilih.
Sharing platform itu kemudian akan memberikan implikasi pada
konsekuensi pembiayaan politik (cost of politics) yang, baik
ditanggung bersama, maupun oleh calon pemimpin sendiri
dalam Pilkadal. Secara naïf, kondisi ini dapat dirumuskan sebagai
berikut: partai punya kendaraan, calon yang menyediakan biaya.
Kalau begitu, apakah penyediaan biaya politik oleh calon
pemimpin dalam “membayar” kendaraan Pilkadal dapat atau
tidak dapat dikatakan sebagai money politics, sementara pasal-
(pasal) mengenai pembiayaan politik dalam PP nomor 6
membikin tafsiran yang ambigu dan dapat ditafsir berdasar
sudut pandang sendiri?
23
Pada aras ini, memang bisa terlihat betapa batas antara
uang politik (cost of politics) dan politik uang (money politics)
menjadi semakin kabur, karena bersampur-baur atau teramu
dalam deal and sharing politics antara partai dan calon
pemimpin.
Jika proses semacam di atas tidak dikelola berdasarkan
prinsip-prinsip demokrasi, yakni mengabaikan kepentingan
publik, dalam hal ini pemilih, sebagai pemilik suara yang secara
kuantitatif dan kualitatif tertitipkan ekspektasi pemilih (baca:
rakyat) kepada pemimpin lokal, maka sistem Pilkadal dengan
“cara satu pintu” ini sungguh telah mereduksi hak, pilihan, dan
ekspektasi pemilih tentang masa depannya, dan dengan begitu
demokrasi—yang akarnya ada di rakyat/pemilih—mengalami
proses reduksionisme. Proses reduksionisme berikut dari Pilkadal
dengan “cara satu pintu” ini dalam tataran demokrasi batiniah
(deep-democracy)2, yaitu bagaimana rakyat dengan secara
leluasa membentuk dan memilih pemimpinnya, adalah
(semakin) menutup ruang pilih yang secara faktual dimilikinya.
Pula, Pilkadal dengan “cara satu pintu” ini, secara substansial,
rakyat tidak memilih tetapi disodorkan untuk memilih. Artinya,
partai-partai menyodorkan calon, dan rakyat memilih. Jika terjadi
kertidakselarasan antara calon pemimpin yang ditawarkan partai
dengan keinginan dan harapan rakyat, maka Pilkadal
sesungguhnya telah “merampas” hak otonom rakyat dan
mereduksinya ke dalam kalkulasi politik yang dikerjasamakan
oleh partai dan calon pemimpin. 2 Sebagai sandingannya, ada istilah surface democracy, demokrasi lahiriah, yaitu bagaimana kita
membentuk dan mengelola lembaga-lembaga ngara dan politik yang secara akurat menangkap dan melayani kepentingan publik sebagai sumber dari deep-democracy. Istilah deep-democracy yang saya perkenalkan di sini kurang lebih selaras dengan istilah demokrasi substansial yang sering disebut dalam perbincangan demokrasi. Meskipun belum terdefinisikan secara gamblang, istilah deep-democracy dan surface-democracy ini saya perkenalkan pertama kali dalam tulisan saya bertajuk Memilih dengan Gembira: Deep-democracy yang disampaikan pada Focus Group Discusion yang diselenggarakan oleh Forum DIAHI Maluku Utara, beberapa waktu lalu.
24
Kalau demikian, syarat yang paling utama, yang perlu
dikembangkan adalah menselaraskan secara tripartite antara
keinginan calon pemimpin, partai, dan rakyat dalam suatu
ekspektasi bersama mengenai ideal-ideal pemimpin lokal masa
depan. Cara penyelarasannya adalah, partai-partai tidak saja
menawarkan calon pemimpin berdasarkan komprominya dengan
calon pemimpin tetapi juga menyeleraskannya dengan hasrat
rakyat. Rakyat harus ditanyakan. Tapi apa lacur, sekarang calon
pemimpin lokal yang kita sebut Kepala Daerah itu sudah (siap)
ditawarkan kepada rakyat pemilih. Waktu kita tinggal kurang-
lebih dua bulan. Soalnya sekarang adalah apakah dengan cara
ini kita akan sanggup membangun demokrasi dan bisa
mendapatkan pemimpin (lokal) masa depan yang bermutu?
Masih ada satu upaya: rakyat dibelajarkan untuk memilih secara
rasional, bukan secara tradisional, apalagi primordial. Setelah
itu, Pilkadal dengan “cara satu pintu” ini perlu didekonstruksi
lagi. Berat memang membangun demokrasi, sebab demokrasi
itu bukan sekadar tujuan tetap proses yang selalu diolah dan
diperjuangkan agar benar-benar menghunjam ke akarnya
batiniahnya, yaitu keleluasaan rakyat memilih pemimpinnya.[]
25
Lima Syarat Kelola Pariwisata Halmahera Barat yang Unggul3
Pariwisata adalah produk budaya global yang
menampilkan alur dan alir pesiar manusia antardaerah
dan antarnegara, bahkan antarbelahan bumi. Secara
kultural, pariwisata adalah produk kebudayaan
pelancongan yang merupakan puncak pencarian
kesenangan dari kaum yang berkecukupan dari negara-
negara maju, dalam hal ini Barat. Jika di abad enam belas,
pencarian atas daerah-daerah baru didorong oleh
keinginan mendapatkan wilayah koloni baru dan sumber-
sumber daya alam, maka di awal abad ke-20, pencarian
daerah baru oleh komunitas negara maju secara ekonomi,
berubah menjadi pencarian daerah-daerah atau wilayah
lain dari belahan bumi yang menawarkan eksotisme, unik,
dan lain dari wilayah sang pencari daerah kesenangan.
Meski dua-duanya bertujuan mencari kesenangan,
tetapi alur dan alir manusia dalam pariwisata lebih pada
pencarian kesenangan batin, kepuasan psikologis,
sebagai ejawantah dari kesenangan tingkat tinggi,
setelah komunitas yang bersangkutan telah berhasil
3 Materi pengantar yang disampaikan pada seminar Pengembangan Pariwisata Halmahera Barat yang diselenggarakan oleh KNPI Halmahera Barat, Jailolo 9 Agustus 2004, Ruang Sidang DPRD Kabupaten Halmahera Barat
26
secara mapan memenuhi kebutuhan primer seperti
pangan dan papan.
Dalam konteks Indonesia, pariwisata sebenarnya
telah digalakkan sejak lama. Tanggal 22 Maret 1969, oleh
pemerintahan Orde Baru telah dibentuk Dewan
Pertimbangan Kepariwisataan Nasional (Deparnas).
Dewan ini beretugas membantu Presiden dalam
menetapkan kebijakan umum di bidang pariwisata.
Sekarang ini ada Kementerian Negara Kebudayaan dan
Pariwisata, dan hingga di daerah-daerah kabupaten dan
kota telah dibentuk dinas yang menangani soal
pariwisata.
Lalu sekarang kita bicara soal bagaimana
mengembangkan pariwisata di Halmahera Barat. Dan,
perbincangan pariwisata di Halmahera Barat itu kita
hubungkan dengan tantangan, peluang, dan prospeknya.
Kalau demikian, mau tak mau harus membahasnya dalam
kerangka SWOT (strength, weakness, opportunity,
thread). Apa yang menjadi kekuatan, kelemahan,
peluang, dan tantangan atau ancaman bagi
pengembangan pariwisata di Halmahera Barat?
Dari sudut kekuatan, potensi apa yang telah dimiliki
Halmahera Barat? Apakah Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (selanjutnya disebut Disbudpar) Halmahera
Barat (selanjutnya disebut Halbar) telah well-organized?
Pertanyaan semacam ini memang perlu diajukan, sebab
dinas ini memang perlu menjadi dinas tidak berkutak
27
secara birokratis saja, tetapi harus menjadikan dirinya
sebagai pusat kelola kepariwisataan yang membikin
program yang secara kutlural-ekonomik membuat alur
dan alir kepelancongan ke Halmahera Barat menjadi
exciting, menarik.
Ada empat syarat bila pariwisata di Halmahera Barat
menjadi menarik karena keunggulannya. Pertama,
sebagaimana sudah disebut di atas, Disbudpar Halbar
secara internal harus menjadikan dirinya lembaga
perencana dan regulator pengembangan pariwisata.
Disbudpar tidak sekadar (maaf) kantor urusan surat-
menyurat pariwisata. Oleh karena lembaga ini
menggabungkan dua urusan sekaligus, yaitu mengelola
dan mengolah kebudayaan lokal dan memfasilitasi alur
dan alir manusia dalam sebuah kultur pelancongan, maka
Disbudpar harus melakukan kerja-kerja konsepsional
mengenai kelola dan olah budaya, dan hasil olahan
budaya itu dapat diterjemahkan ke dalam program-
program pengembangan pariwisata yang menarik dan
menjual. Hasil olahan budaya yang eksoterik dan unik
dapat diterjemahkan ke dalam paket-paket wisata yang
bernilai ekonomi di satu sisi dan menjadi ajang diplomasi
kebudayaan bagi dunia luar. Dengan cara ini, dapat
terjadi dua hal, pertama, Kedua, Disbudpar harus mampu
membuat narasi-narasi kebudayaan dan narasi ekologis
untuk membangkitkan rasa ingin tahu (coriousity) para
pelancong. Narasi kebudayaan yang dimaksud di sini
28
adalah … Ketiga, adalah strategi pencitraan. Keempat,
keputusan politi pemerintah ndaerah. secara pengenal
objek-objek wisata yang menjadi keunikan dan
keunggulan. Di tingkat ini, Halmahera Barat. Dinas
Pariwisata harus menjadikan dirinya Kedua, infrastruktur
perhubungan dan sarana angkutan yang menyambung ke
daerah atau lokasi wisata
Kemenarikan suatu wilayah pariwitasa Tetapi kita
tidak hanya sampai pada Dinas Pariwisata yang tertata
baik. Kemauan dan keputusan pemerintah daerah
merupakan salah satu faktor penentu.
Setelah Gelisah, Perlu Data Base untuk Perencanaan
yang Berbasis Masyarakat4
Oleh Gufran Ali Ibrahim5
Ada dua pujian. Pujian pertama [bukan basa-basi] saya harus
alamatkan kepada editor buku Potret Gelisah Negeri Pinggiran:
Perspektif Kritis atas Maluku Utara, yaitu M. Rahmi “Djoenaidy”
Husen dan Herman “Heroes” Oesman. Dua lelaki muda ini cerdas,
low profile, tenang, dan bersahaja. Yang satu telah terjun ke dunia
kelola demokrasi di tingkat praxix, dengan menjadi Ketua KPU
Provinsi Maluku Utara, yang satu lagi masih tetap eksis di dunia
tulis-menulis (menjadi wartawan dan dosen). Heroes bahkan dalam
waktu dekat akan memboyong gelar [kalau saya tak salah]
Magister Sosiologi Politiknya di UI. Mungkin karena tipikal pribadi
4 Catatan perpanjangan pada acaran bedah buku Potret Gelisah Negeri Pinggiran, Perspektif Kritis atas Maluku Utara, terbitan FoSHal, 2005, Kafe Hitam Putih, 7 Mei 2005.
5 Gufran Ali Ibrahim, dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun.
29
keduanya sama, maka kerjasama, atau bahasa gaulnya kerja
bareng keduanya dapat berjalan.
Ada dua alasan mengapa kedua dapat bekerjasama. Pertama,
keduanya memang selama ini adalah kolega dan sahabat, terutama
setelah mereka kembali ke Ternate, dan sama-sama mengusung
dan memperjuangkan demokrasi, membangun kemampuan sosial
(social capacity)—bagi masyarakat Maluku Utara yang baru keluar
dari perkelahian komunal—mencari cara-cara pemecahan social
yang smart and smooth, merancang jejaring pemikiran di kalangan
muda Maluku Utara, membayangkan Maluku Utara ke depan
dengan membuat penebaran pemikiran mengenai bagaimana
Maluku Utara yang maju, tangguh masyarakatnya, gesit, ulet, dan
bersih pemerintahnya, dan elit politiknya melek demokrasi. Kedua,
keduanya dapat bekerjasama karena duanya sama-sama
menggunakan rangkap vokal oe pada namanya: Djoenaidy dan
Oesman. Haha. Ini juga termasuk human interest.
Sehubungan dengan keduanya ini, saya punya cerita menarik.
Suatu saat, ketika melintas di sebuah jalan di bilangan Jati, saya
melihat Heroes duduk di bawah pohon mangga, termenung, tetapi
bukan haga baba alias melongo. Yang jelas Heroes juga tidak
sedang menunggu wangsit jatuh dari puncak pohon mangga.
Hanya ada fakta bahwa Heroes duduk di bawah pohon mangga.
Lalu saya iseng mengirimkan pesan pendek: Her, ada bikiapa tu dia
kong dudu di bawa pohong mangga tenga hari panas bagini? Tentu
saja Heroes kaget. Pasti dia lihat kiri-kanan. Sementara saya sudah
lewat sekian ratus meter dati tempat dia duduk. Yang lebih menarik
lagi, selang beberapa puluh menit kemudian, dan saya sudah di
rumah, barulah saya terima pesan pendek dari nomor Juned yang
ditulis Heroes: Ada tunggu pa Juned, dengan ekor pesan
pendeknya: maaf, saya pe pulsa abis, kong pake Juned pe nomor.
Suatu pengakuan yang tidak saja jujur tapi juga tulus. Sebab,
30
banyak di antara kita, yang tak sanggup bilang seperti apa yang
dilakukan Heores dan Juned. Artinya, bila pulsa kita habis, kita malu
mengatakannya. Kita berbobong dengan cantiknya: maaf, baterai
saya low. Tapi lepas dari itu, Heroes mengggunakan HP Juned
untuk sms ke saya, adalah kerjasama yang sangat baik dari dua
sahabat. Dan ternyata, di kemudian hari barulah saya tahu bahwa
Heroes menunggu Juned di bawah pohon mangga itu karena
mempersiapkan buku Potret Gelisah Negeri Pinggiran.
Pujian kedua saya alamatkan kepada penyumbang tulisan
pada buku ini. Semuanya anak muda Maluku Utara. Setidaknya
mereka inilah pemegang arus-utama (mainstream) wacana Maluku
Utara. Yang laki maupun yang perempuan. Sebagai pemegang
wacana, penyumbang tulisan pada buku ini telah dengan jelimet
memotret dan memetakan masalah-masalah ketimpangan
ekonomi, lemahnya penegakan hukum, ketidakadilan dan
ketimpangan sosial, ketercerabutan, kemandegan, dan rabun
budaya, tindakan ahistoris, pemerintah yang lemah pelayanan
publiknya, dan soal kebersihan pemerintahan daerah. Semuanya
terangkum dalam berbagai sudut-pandang.
Tapi itulah masalah-masalah yang disodorkan ke hadapan
kita.Meski begitu secara tersirat kita melihat ada cara-cara
pemecahan masalah, meskipun editor dari pagi-pagi sudah
mengatakan bahwa buku ini tidak menawarkan solusi atau cara-
cara pemecahan masalah yang dihapai Maluku Utara. Tetapi kalau
disimak lebih dalam, sebenarnya, ada beberapa penyumbang telah
bergerak ke arah pemacahan masalah Darsis Hoemah dan Agus SB,
misalnya, telah membuat peta hubungan kekelompokan dan
keetnikan dengan berbagai pembentukannya berdasarkan afiliasi
politik, afiliasi ekonomi, budaya, dan keyakinan, dan dengan
perbatasan-perbatasan relatifnya dalam dinamikan masyarakat
Maluku Utara yang majemuk, sesungguhnya telah memberi kita
31
sebuah data base social-budaya. Tinggal bagaimana kita
menjadikan data base itu menjadi sebuat alat perencanaan social.
Pula, social data base itu sesungguhnya telah atau tengah berkata
kepada kita mengenai bagaimana cara-cara kita mengolahnya,
mengelolanya, dan menjadikannya sebagai social recosurces bagi,
lagi-lagi, perencanaan social yang berbasis masyarakat, bukan
disusun berdasarkan kepentingan elit. Catatan-catatan historis
yang diberikan Saiful Bachry Ruray dan Smith Alhadar
sesungguhnya telah menunjukkan kepada tentang pilihan jalan
mana yang harus kita tempuh, dari sekian persimpangan jalan
yang kita hadapi sekarang.
Sekarang ada tiga cara yang segera dilakukan:
menerjemahkan solusi tersirat dan juga tersurat yang telah
ditawarkan dalam buku ini, validasi data base social Maluku Utara,
lalu menyusun sebuah perencanaan social yang mencakupi seluruh
aspek hajat hidup Maluku Utara. Sebab di sinilah, titik lemah kita
dalam berbagai sector. Konsep pembangunan kita tak jelas, tak
terukur, dan tak berbasis masyarakat, oleh karena olah data base
social kita lemah. Data base social kita lemah mencerminkan
lemahnya daya dan kemampuan kita memangkap berbagai
masalah yang rumit dan kait-mengait. Ujung-ujungnya, semua itu
bermuara pada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang
tak terukur.[]
Bahasa Bernalar, Cermin Peradaban Cerdas
32
Setiap kita memperingati Sumpah Pemuda, dalam konvensi,
kita menyoal realitas penggunaan Bahasa Indonesia (BI) pada
berbagai kebutuhan, dari dunia pendidikan, bisnis, pers,
pemerintahan, hingga bahasa bertatanegara. Dalam berbagai
bahasan itu kita lalu menemukan satu simpul: banyak orang
Indonesia belum cermat ber-BI. Kalau benar demikian, soal yang
kita hadapi adalah apakah BI dapat bertahan hidup, hingga
setidaknya, tiga siklus (jika kita mengasumsikan satu pergantian
generasi berlangsung tiap 25 tahunan) generasi Indonesia ke
depan. Dengan kata lain, dapatkah BI hidup hingga 75 tahun ke
depan, jika penuturnya tidak terus meningkatkan penggunaan BI
secara cermat, cerdas, dan bernalar?
Dalam kaitannya dengan daya hidup bahasa-bahasa di
dunia, Michel Krauss (1997) mengelompokkan bahasa-bahasa di
dunia ke dalam tiga kategori: (1) bahasa-bahasa yang masih
sehat wal afiah (save languages), (2) bahasa-bahasa yang tidak
bugar (endangered languages), (3) dan bahasa-bahasa yang
terancam punah (moribund languages).
Bahasa-bahasa di dunia yang masuk ke dalam kategori
pertama, yaitu save language, adalah bahasa-bahasa yang
masih aktif dipakai oleh penutur aslinya (native speaker) dari
kalangan usia tua hingga anak-anak dalam berbagai ranah:
keluarga, hubungan sosial, dan dalam berbagai acara resmi
ketradisian. Kalangan tua hingga anak-anak tetap menggunakan
bahasanya dengan setia dan bangga, dalam berbagai kebutuhan
berkomunikasi. Di rumah tangga, para orang tua masih tetap
menggunakan bahasanya dan anak-anaknya memperoleh
bahasa itu sebagai bahasa ibu (mother tongue, mother
language) pada masa awal pemerolehan bahasanya (language
acquisition). Secara sosiolinguistik, masyarakat tutur (speech
33
community) seperti ini adalah masyarakat tutur yang kuat
pemertahanan bahasanya (language maintainance).
Pemertahanan bahasa adalah suatu keadaan masyarakat tutur
yang selalu menjadikan bahasa sebagai wadah komunikasi
intrakomunitasnya. Dengan pemertahanan seperti ini, secara
biolinguistik (biolinguistics), bahasa tersebut dapat
dipertahankan, setidaknya dalam tiga alih generasi ke depan,
dalam kelipatan 3 x 25 tahun. Jadi, setidaknya selama 75 tahun
ke depan, bahasa dalam kategori segar bugar ini dapat
bertahan. Bahasa-bahasa yang termasuk ke dalam kategori ini
adalah bahasa nasional di berbagai negara, bahasa-bahasa
daerah (vernacular) di berbagai negara (termasuk di Indonesia)
yang masih digunakan oleh tiga lapis generasi (usia 5-25 tahun,
25-50 tahun, dan 50-75 tahun).
Bahasa-bahasa kategori kedua, yaitu endangered language,
alias bahasa yang tidak bugar, adalah bahasa-bahasa yang
hanya digunakan oleh penutur yang berusia 25 tahun ke atas.
Penutur yang berusia 25 tahun ke bawah tidak lagi
menggunakannya secara aktif, meskipun bisa menggunakannya.
Ada dua keadaan penggunaan oleh penutur yang berusia di
bawah 25 tahun, yaitu ketika berlangsung komunikasi pada
ranah akrab dan membicarakan sesuatu yang bersifat pribadi-
rahasia (privat) kepada penutur yang lebih tua. Dalam
komunikasi dengan sesama penutur yang sebaya atau lebih
muda, kelompok usia 25 tahun ke bawah ini tidak lagi
menggunakan bahasa ibunya, dan menggunakan satu bahasa
lain yang diperolehnya, biasanya bahasa lokal atau bahasa
nasional yang digunakan dalam komunikasi lintas-komunitas.
Jadi, penggunaan bahasa ibu yang dilakukan oleh penutur yang
berusia 25 tahun ke bawah hanya kepada penutur yang lebih
34
tua, yaitu dua generasi ke atas, sementara terhadap
generasinya sendiri, penutur usia 25 tahun ke bawah ini telah
mengunakan sebuah bahasa baru atau yang telah diperolehnya.
Bahasa-bahasa ini dikategorikan sebagai bahasa yang
mengarah kepada kencederungan berkurangnya penutur dalam
satu fase generasi. Diasumsikan bahwa jika tidak lakukan
gerakan penggunaan bahasa sendiri oleh generasi 25 tahun ke
bawah, dalam jangka 25 tahun ke depan, bahasa-bahasa itu
menuju kepada semakin berkurangnya jumlah penutur, dan
dalam siklus dua generasi, atau 50 tahun ke depan, bahasa ini
akan punah (moribund languages).
Kategori bahasa ketiga adalah moribund language, yaitu
bahasa-bahasa yang tidak lagi secara aktif digunakan dan tidak
lagi dikuasai oleh penutur yang berusia di bawah 50 tahun.
Bahasa-bahasa ini hanya digunakan oleh sejumlah kecil penutur
yang berusia di atas 50 tahun. Dalam hitungan satu dekade,
bahasa ini akan punah, dalam artian tidak digunakan lagi.
Mungkin bahasa ini hanya tercatat dalam naskah-naskah
tradisional.
Dengan melihat pentipologian bahasa berdasarkan daya
hidupnya menurut Krauss ini, di mana posisi BI? Dengan kata
lain, pada kategori mana BI dikelompokkan? Dilihat dari jumlah
penuturnya—BI kini memiliki 200 juta penutur—, kebisaan dan
kebiasaan orang Indonesia—dari berbagai lapisan usia—
menggunakannya, dan dalam ranah penggunaannya, BI dapat
dikategorikan sebagai sebagai save language, bahasa yang
bugar. Kalau begitu dalam hitungan 75 tahun ke depan, BI masih
merupakan salah satu bahasa yang hidup dan dipakai di
Indonesia. Secara historik, BI yang bersumber dari BM telah
35
membuktikan dirinya sebagai bahasa yang tumbuh hidup hingga
kini.
Ada sejumlah persyaratan linguistik yang dipenuhi oleh BI
hingga bisa tumbuh dan secara luas diterima dan digunakan
oleh seluruh etnik di Indonesia. Pertama, BI berhasil menjadi
lingua-franca pada komunikasi lintasnusantara. Berhasil menjadi
bahasa pengantar lintasetnik di nusantara itu karena, kedua, BI
merupakan bahasa yang sangat demokratis, egaliter, tetapi
santun. BI tidak mengenal kelas dan kasta. Dengan
menggunakan BI, semua orang berada dalam hubungan yang
setara, sejajar, tetapi juga tetap mencirikan tata santun. Dengan
karakter inilah, BI secara politis dipilih menjadi bahasa nasional
di Indonesia. Dengan karakter inilah, BI hingga kini berperan
sebagai integrator bangsa Indonesia dari berbagai gejolak sosial-
politik yang pernah melanda Indonesia akhir-akhir ini.
Akan tetapi saya pun ingin mendiskusikan tesis Krauss
mengenai kemampuan setiap bahasa untuk bisa bertahan hidup.
Bila dilihat dari jumlah penutur, kebiasaan dan kebisaan
masyarakat Indonesia menggunakannya, BI memang dapat
dikategorikan sebagai bahasa yang bugar dan dapat bertahan
hidup hingga 75 tahun ke depan. Akan tetapi pula, sebagai
bahasa ideologis dan bahasa peradaban modern dan dalam
benturan global, BI tidak sekadar mengandalkan jumlah,
kebisaan, dan kebiasaan orang Indonesia menggunakannya. BI
harus menjadikan dirinya sebagai bahasa yang bermutu dari
sudut pandang peradaban tutur. Di tengah-tengah kepungan
berbagai peradaban, dan dalam interaksi global, BI harus
menjadi bahasa yang cerdas dan tutur yang beradab.
Untuk ini diperlukan dua syarat penting agar BI tetap bisa
bertahan sebagai bahasa nasional dalam konteks keindonesiaan
36
dan dalam kancah global. Syarat pertama adalah bagaimana
setiap penutur selalu cermat dan bernalar menggunakan BI
dalam komunikasi lisan dan tulisan. Kecermatan dan
kebernalaran ber-BI itu tentu saja ditentukan seberapa jauh
mutu kecerdasan bangsa Indonesia. Semakin cerdas bangsa
Indonesia dalam peradaban keintelektualnnya, akan melahirkan
kecermatan dan kebernalaran ber-BI. Jadi, suatu keadaan di
mana bangsa Indonesia membangun peradaban tuturnya di atas
kerangka keintelektualannya merupakan syarat nonlinguistik
bagi terbentuknya BI sebagai bahasa yang terus menjadi salah
satu bahasa dalam konteks keindonesiaan dan dalam kancah
global.
Dan, pencerdasan masyarakat dapat dilakukan dengan dua
siasat secara simultan, yaitu dengan mendorong upaya-upaya
peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan yang bermutu akan
memberikan keluaran yang bermutu pula. Salah satu tanda dari
setiap keluaran adalah bagusnya mutu kebernalaran. Dan,
dengan nalar yang bermutu, akan mencerminkan bahasa yang
bermutu pula. Sebab itu, Noam Chomsky, ahli bahasa dari
Amerika, mengatakan language is a mirror of the mind, ‘bahasa
merupakan cermin berpikir’. Ini berarti bahwa mutu bahasa
seseorang atau suatu masyarakat atau suatu bangsa merupakan
cerminan dari seberapa bermutunya kecerdasan bangsa itu.
Dengan kata lain, semakin cerdas suatu bangsa, semakin
bermutu pula perilaku bertuturnya. Dalam kultur Melayu (baca:
Indonesia kini), kita pernah mengenai adigium bahasa
menunjukkan bangsa. Tingkat keberadaban berbahasa—
masyarakat yang cerdas dan santun—ditentukan oleh
bagaimana masyarakat Indonesia mencari jalan-jalan
pembelajaran untuk mencapai kecerdasan berbahasa.
37
Kedua, kecerdasan dan kebernalaran berbahasa, dapat
dicapai bila ada suatu sikap yang kuat secara sosial untuk selalu
mengkreasi dan mengeksplorasi BI dalam tindak tutur lisan dan
tulis. Pelatihan bertutur dan pelatihan menulis merupakan salah
satu cara yang penting ditempuh dalam mengasah kecerdasan
berbahasa. Akan tetapi, pelatihan semacam ini tidak akan
terlaksana, bila atmosfir pendidikan kita tidak demokratis dan
tidak memberi ruang-ruang kepada pembelajar untuk aktif
mengiatkan diri dalam bertutur, berpendapat, menyampaikan
pikiran. Pendidikan yang memberi ruang bagi pelatihan
perdebatan sesungguhnya merupakan syarat penting bagi
terasahnya kemampuan ber-BI. Tanpa ini BI tidak akan menjadi
bahasa yang bernalar dan cerdas.
Dalam perspektif peradaban modern dan dalam kancah
global, daya hidup BI tidak hanya ditentukan oleh seberapa
jumlah masyarakat Indonesia biasa dan bisa menggunakannya,
tetapi juga seberapa bermutunya tindak bertutur warga
Indonesia. Tindak bertutur (speech act) yang bernalar, yaitu
bermutu, dapat dicapai bila pendidikan kita memang
diselenggarakan dalam cara-cara dan siasat yang akan
melahirkan keluaran yang kuat penalarannya. Dengan kuatnya
penalaran, akan melahirkan bermutunya berbahasa, sebab
ruang-ruang dan kesempatan pembelajaran begitu cukup
tersedia bagi pentradisian perdebatan sebagai cara yang penting
dari pengasahan kecerdasan berbahasa, tepatnya berbahasa
Indonesia. Kualitas berbahasa Indonesia sangat ditentukan oleh
kualitas penalaran kita. Kualitas penalaran kita ditentukan oleh
seberapa bermutunya kelola pendidikan kita.
Dalam konteks global dan dalam tekanan bahasa-bahasa
berperadaban maju, sebagaimana ditengarai dalam geo-politiko-
38
linguistik, daya tahan hidup sebuah bahasa di dunia tidak hanya
ditentukan oleh jumlah dan sikap pemertahanan bahasa
penuturnya, tetapi juga seberapa jauh penuturnya membangun
peradaban kecerdasan dan menjadikan bahasa sebagai sarana
bernalar. Bahasa Indonesia bisa tetap menjadi bahasa yang
terus bugar (save language), setidaknya hingga 75 tahun ke
depan, jika peradaban kecerdasan disiapkan dari sekarang.[]
Agama-agama dalam Penggerusan Budaya
Global6
Oleh Gufran Ali Ibrahim7
e-mail: [email protected]
6 Materi pengantar yang disampaikan Kegiatan Dialog Intern Umat Beragama pada Program Peningkatan Kerukunan Hidup Umat Beragama Departemen Agama, yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi Maluku Utara, di Mardrasah Tsanawiyah Dokiri Kota Todire Kelulauan, Sabtu 31 Desember 2005
7 Dr. Gufran Ali Ibrahim, dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun, penulis buku Mengelola Pluralisme (Grasindo, 2004), Pembantu Rektor I Universitas Khairun, dan Ketua Presidium Forum Komunikasi Antarumat Beragama Provinsi Maluku Utara.
39
Sebagai produk peradaban industri, globalisasi tampil dengan
dua muka. Di satu muka globalisasi telah “merobek” batas-batas
sosio-politik-ekonomi-budaya lintasnegara. Dunia, kata Alvin Toffler,
bagai sebuah desa global (the global village). Dalam kondisi
semacam ini, batas-batas lintasnegara dan lintasbudaya nyaris tak
ditemukan, yang dalam sebutan John Naisbitt, the borderless world
‘dunia tanpa batas’. Desa global yang tanpa batas itu adalah anak
kandung dari ibu peradaban yang bernama globalisasi. Pada muka
ini, globalisasi telah memperjumpakan komunitas lintasnegara dan
lintasbudaya dalam satu ruang sosial yang mendorong
keseragaman pola tindak dan perilaku. Apa yang menjadi
kecenderungan bertindak atau berperilaku dalam satu wilayah
peradaban akan secara cepat menjadi pola bertindak yang relatif
seragam pada berbagai belahan dunia. Secara ekstrim,
pemindahan kecenderungan bertindak dan berperilaku itu sebagian
besarnya dimulai dari wilayah-wilayah peradaban yang telah maju,
sebagai wilayah arus utama (mainstream), kemudian meluber ke
wilayah tepian (peripheral), wilayah yang mengadaptasi atau
mengadopsi kecenderungan bertindak atau berperilaku itu.
Wilayah-wilayah arus utama adalah penguasa ekonomi global,
penguasa kekuasaan global, dan pencipta kebudayaan industri
(cultural industry), sementara wilayah-wilayah tepian adalah
wilayah-wilayah pelahap ekonomi global, “pesakit” kekuasaan
global, dan penikmat kebudayaan industri. Dalam cara berpikir
dikotomis, wilayah-wilayah arus utama adalah Barat, sedangkan
wilayah-wilayah tepian adalah Timur. Meski dikotomi ini telah
terbantah oleh kemajuan-kemajuan yang dicapai Timur dengan
tumbuhnya Jepang, Cina, dan Korea dalam berbagai industri
manufaktur dalam geliat ekonomi, globalisasi masih relevan
didefinisikan sebagai peluberan dan pelebaran pengaruh dan
40
pemindahan kecenderungan dari wilayah-wilayah arus utama
sebagai yang memproduksi budaya industri ke wilayah tepian
sebagai wilayah penikmat.
Pada keadaan peluberan dan pelebaran kuasa-kuasa ekonomi,
politik, dan budaya dari wilayah arus utama ke wilayah tepian,
globalisasi menampilkan pula muka kedua yaitu hegemoni dan
penyeragaman budaya.
Penggerusan Budaya dan Sistem Sosial
Perubahan tatanan ekonomi, politik, sosial, dan penguatan
kultur demokrasi di negara-negara maju sebagai wlayah arus
utama sesunggguhnya tidak saja meluberkan kepengaruhannya
pada negara berkembang, tetapi juga sekaligus menggerus tatanan
nilai budaya, sosial, bahkan tatanan keagamaan dan
kerbergamaan.
Dengan muka kedua ini, budaya-budaya tempatan (local
cultures) tersedot ke dalam resonansi budaya global, dan akhirnya
kehilangan daya tarik karena masyarakat pemilik budaya lokal itu
telah tercerabut darinya. Dan, ketercerabutan budaya (cultural
deprivation) kini terus berlangsung karena didorong oleh dua hal.
Pertama, terputusnya proses heredesisasi kultural, pewarisan
budaya, pada komunitas atau budaya tempatan. Hereditasi kultural
tidak berjalan secara melembaga dan tidak dalam ikhtiar
pembelajaran. Kedua, adalah kuasa-kuasa pragmatik yang
ditawarkan globalisasi. Terputusnya pelembagaan dan
pembelajaran jiwa-jiwa kultur tempatan dan kuasa budaya global
sebagai entitas peradaban yang berkarakter cultural industry akan
mendorong masyarakat ke dalam penghambaan atas benda-benda,
bukan pada jiwa-jiwa, sehingga kemanusiaan menjadi terjerembab
ke dalam kubangan pragmatis, seterusnya mengantar manusia ke
41
cara hidup yang berorientasi pendek, sesaat, dan bendawi. Hidup
adalah mengumpul benda-benda, menguasainya, menyebarkannya
sebagai “malaikat-malaikat” pemuas fisik, dan kemudian
menjadikannya berhala kenikmatan.
Dalam konteks ini, upaya memilih strategi penggalian,
pemaknaan, dan penguatan budaya tempatan menjadi penting.
Menuliskan kembali atau menafsir-ulang, atau mempertegas
komitmen kultural merupakan jalan-jalan ikhtiar kebudayaan bagi
penyelamatan akar kearifan budaya tempatan dari gempuran
pragmatik budaya global. Setidaknya, dengan menulis apa-apa
yang terasa mulai hilang dari kebiasaan, kesadaran kultural kita
terhadap budaya lokal dapat menjadi alat pemandu masa depan,
merupakan cara-cara yang sederhana dan pertama-tama dalam
kerangka pelembagaan dan pembelajaran kebudayaan lokal.
Sistem sosial tempatan yang menjadi ciri khas masing-masing
negara dunia ketiga sebagai wilayah pinggiran seperti gotong
royong yang selalu mempertimbangkan kerjasama saling-bantu
dan kekerabatan luas (extended family) yang selalu
mempertimbangkan kebersamaan, tergerus oleh menguatnya
karakter individualis dan orientasi hidup kekerabatan inti (nuclear
family). Penggerusan itu sistem sosial ini lambat-laun memberi
perubahan pada tatanan sosial, budaya, dan keagamaan.
Tantangan Agama-agama
Agama-agama, termasuk atau terutama Islam, menghadapi
dua tantangan besar berkaitan dengan penggerusan budaya dan
sistem sosial sebagai akibat dari perubahan global. Pertama, pada
aras teologis, agama-agama harus menjadi sumber moralitas
mengenai kebaikan, kesalehan, kejujuran, cinta lingkungan, cinta
damai, hidup bersama. Kedua, pada aras fungsional dan mondial,
42
agama-agama harus menjadi pendorong hidup produktif, semangat
pencerdasan, penegakan masyarakat yang kuat secara sosial, kuat
tatanan hukumnya, dan selalu menjadikan masa depan sebagai
kewajiban dan kebaikan dan “pahala” dunia yang selalu harus terus
direbut.
Agama-agama akan dapat mengatasi gempuran budaya
global, adalah agama-agama yang dapat memainkan peran
sebagai sumber penyedia moralitas dan kesalehan di satu sisi dan
pada sisi yang lain, agama-agama menjadi alat pencerahan.
Agama-agama yang saya maksudkan dalam hal ini mencakupi dua
matra, yaitu matra teks agama dan matra pemeluk agama. Di
dalam itu terkandung makna keberagamaan. Jadi, keberagamaan
adalah interaksi yang menyejarah antara teks dan pemeluk yang
membentuk peradaban beragama, adab dan etos beragama.
Hubungannya dapat ditunjukkan melalui pemaknaan dan
penafsiran pemeluk atas teks agama. Hubungan tersebut tidak
bersifat searah dan juga tidak monolitik, tetapi selalu ditentukan
oleh pertumbuhan kualitas dan kemajuan kecerdasan dan
pertumbuhan spiritual, yang ditentukan oleh soal-soal sosial,
politik, dan ekonomi. Di atas itu semua, keragamaan adalah
bentukan yang terus mengalami modifikasi internal dalam hal etos
spiritual dan semangat mondial yang ditawarkan atau yang
dihadapi umat sepanjang sejarah keagamaan dan
keberagamaanya.
Di tataran batiniah, perubahan global ditandai dengan
perubahan tata nilai (baik-buruk) dan tata norma (benar-salah).
Kebaikan dan kebenaran mengalami modifikasi intrinsik, dan
lazimnya teks-teks agama selalu berurusan dengan nilai dan
norma. Perubahan nilai dan norma pada wilayah-wilayah sosial arus
utama (dunia maju) seperti yang telah disebutkan di atas akan
menentukan perubahan nilai dan norma pada wilayah-silayah sosial
43
tepian (dunia berkembang). Agama-agama atau tetaptnya
keberagamaan suatu masyarakat akan terus berhadapan dengan
modifikasi internal nilai dan norma dalam masyarakat dalam
perbuahan global.[]
Warga Kota dan Hybrid Society8
Oleh Gufran Ali Ibrahim9
Kota-kota di dunia, termasuk Ternate, dalam perkembangan
peradaban kekotaan, sesungguhnya tumbuh dari sebuah desa
kecil. Desa kecil itu mungkin hanya dihuni satu komunitas atau satu
klan. Kota New York di Amerika sekarang, sebelumnya adalah
sebuah kampung yang hanya dihuni oleh para imigran Belanda.
Sebab itu, sebelum menjadi New York, kota itu bernama New
Amsterdam. Baru setelah adanya kebijakan the melting pot yang
dicanangkan Presiden Roosevelt, New Amsterdam berubah menjadi
New York. Sebelum menjadi Batavia, Jayakarta, dan kemudian
menjadi Jakarta, wilayah ini sesungguhnya sebuah kampung
Betawi. Sebelum menjadi kota Makassar, kemudian menjadi
Ujungpandang, kemudian kembali menjadi Makassar, adalah
sebuah desa kecil yang dihuni oleh beberapa klan etnik Makassar.
Ternate, sebelum menjadi Ternate sebagai kota pemerintahan,
sebelum sebagai kota Kesultanan Ternate, yang awalnya di
Sampalo, adalah beberapa desa bertebar di sejumlah daerah
8 Makalah yang disampaikan pada Diskusi Publik yang diselenggarakan oleh Mahasiswa Kota Ternate (Mahkota) Manado, di Aula Kantor Walikota Ternate, Sabtu 30 Juli 2005.
9 DR. Gufran Ali Ibrahim, M.S., adalah dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun
44
ketinggian, yang dihuni oleh, menurut catatan sejarah, empat klan:
Tobona, Tabanga, Tubo, dan Foramadiahi (?).
Pertumbuhan dan Sifat Relasi
Menurut nalar linieritas, pertumbuhan sebuah desa menjadi
kota, setidaknya dirangkum ke dalam dua sebab perubahan: (1)
campur tangan atau keputusan politik, dan (2) pertumbuhan
ekonomi. Keputusan suatu pemerintahan, baik yang bersifat
kerajaan, kesultanan, maupun pemerintahan modern [demokratis,
sosialis, komunis, liberalis], dalam menetapkan sebuah wiyalah
atau daerah sebagai pusat kegiatan pemerintahan, dalam kurun
waktu yang relatif cepat, wilayah yang sebelumnya sebuah desa,
berubah menjadi kota. Pertumbuhan ekonomi, seperti tumbuhnya
pusat-pusat perdagangan di suatu wilayah yang sebelumnya
adalah kampung tradisional berubah menjadi kota. Soal apakah
keputusan politik menciptakan lahirnya pertumbuhan ekonomi atau
kemajuan ekonomi mendorong keputusan politik penetapan suatu
wilayah menjadi ibu kota, itu diperdebatkan.
Perdebatan tersebut diabaikan di sini, dan tulisan ini
memegang tiga tesis. (1) Kota sekarang adalah sebuah desa di
masa lalu. (2) Secara sosiologis, desa berkarakkter masyarakat
tunggal. (3) Ketika berubah menjadi kota, secara sosiokultural,
lambat-laun, warganya berubah dari masyarakat berbudaya
tunggal (mono-cultural society) menjadi warga masyarakat
berbudaya majemuk (multi-cultural society). Pertumbuhan dari
masyarakat (berbudaya) tunggal ke masyarakat (berbudaya)
majemuk menjadi ciri dan watak sosial kota-kota di dunia. Dari
sinilah, mulai terjadi sebuah proses pembentukan kebudayaan
baru, yaitu semakin menjadi kota, dan kebudayaan tumbuh
menjadi kebudayaan kota, dengan berbagai cirinya. Secara sosio-
kultural, ada sejumlah ciri masyarakat kota. Pertama, warganya
45
berasal dari berbagai komunitas, etnik, dan agama. Kedua, secara
sosioekonomi, warganya terdiri dari berbagai kelas pekerja:
pegawai, pedagang, buruh, pendidik, dokter, usahawan, elit politik,
seniman, bahkan pengangguran, tunawisma, dll. Ketiga, secara
sosiopolitik, kota dipamongi oleh sebuah pemerintahan dan
merupakan sumbu kegiatan politik. Keempat, dalam identitas
pertama dan kedua tersebut, masyarakat kota membentuk sebuah
komunitas majemuk, yang relasi-interaksinya tidak saja
berdasarkan hubungan keetnikan atau hubungan keagamaan.
Relasi-interaksinya mengambil dua pola, yaitu relasi-interaksi
internal dan relasi-interaksi ekternal. Pola relasi-interaksi internal
berlangsung berdasarkan kesamaan etnik, agama, dan sama jenis
okupasi. Pola pertama ini mengambil wadah dan kesempatan
keprimordialan dan berdasarkan pada prinsip hubungan dan
komunikasi in-group. Pola relasi-interaksi ini berlangsung sebagai
penegasan dari kesadaran kedirian (self-identity). Pola eksternal
berlangsung berdasarkan prinsip pertetanggaan, kebutuhan lintas-
komunitas, lintas-pekerja, lintas-profesi, pertemanan yang
melampaui batas-batas etnik, komunitas, dan agama. Relasi-
interaksinya merupakan kebutuhan (the needs) dalam kerangka
menjadi warga kota. Dari kedua pola relasi-interaksi inilah,
terbentuk suatu kebudayaan kota (urban culture).
Metamorfosa Sosial
Menjadi warga kota (being urban) sebenarnya adalah suatu
proses transformasi sosial, setidaknya proses meninggalkan atau
mengabaikan karakter masyarakat desa, sebagai asalnya. Pada
tahap ini sesungguhnya telah terjadi metamorfosa sosial dari
masyarakat perdesaan ke masyarakat perkotaan. Dalam
metamorfosa sosial tersebut terjadi (dalam skala individu maupun
masyarakat) proses modifikasi perilaku, seperti berubahnya
46
orientasi hidup, sikap sosial, dan gaya hidup (style). Proses semakin
menjadi warga kota melalui mekanisme dua pola relasi-interaksi
yang telah disebutkan, lambat-laun membentuk dan mendorong
berlangsungnya proses asimilisasi dan akulturasi berbagai budaya
asal. Di ujung proses asimilasi dan akulturasi—dengan berbagai
ejawantahnya seperti kawin-mawin, pengadopsian dan
pengadaptasian budaya warga lain, atau penyesuaian dengan
budaya lokal setempat sebelum wilayah tersebut menjadi kota—
terbentuk semacam hybrid society (masyarakat bastar) dalam
sebuah masyarakat multikultural. Masyarakat bastar sebagai ciri
warga kota, pada dasarnya bukan sebuah masyarakat yang benar-
benar baru, sebab sifat dan karakter budaya asal secara relatif
masih terikutkan. Masyarakat bastar bukan sesuatu label sosial
yang negatif sebab ia merupakan suatu jalan sosial bagi
terbentuknya masyarakat kota yang tanggap atas keberagaman
dalam masyarakat majemuk.
Ketercerabutan, Penyesuaian, atau Pembentukan Budaya?
Ketika terjadi proses pembentukan masyarakat bastar (dalam
pengertian genetik-biologis dan sosio-kultural), masyarakat kota
tumbuh dan berkembang menjadi tiga kemungkinan kultural, yaitu
(1) tercerabut dari akar kebudayaan aslinya (cultural deprivation),
(2) masing-masing warga membuat mekanisme penyesuaian untuk
saling-tanggap (cultural adaptation), atau (3) membentuk sebuah
entitas kebudayaan baru yang merupakan perkawinan budaya
masing-masing yang menjadi ciri warga kota (urban culture).
Kemungkinan pertama terjadi, bila masing-masing warga
meninggalkan dan mengabaikan budaya sendiri. Gejala semacam
ini disebut sebagai ketercerabutan budaya. Ada sejumlah sebab
47
mengapa terjadi gejala ketercerabutan budaya pada sebuah
masyarakat. Pertama, tidak terjadi proses hereditasi budaya dalam
masyarakat itu. Satu generasi tak lagi berusaha mewariskan nilai
dan norma (the middle layer) dan kesadaran eksistensial sebagai
inti (the core) dari kebudayaannya kepada generasi berikutnya.
Pada tingkat ini, yang tersisa dari kebudayaan suatu masyarakat
tinggal ornamen benda (sebagai the outer layer dari tataan
kebudayaan) yang telah terawetkan dan menjadi fosil kebudayaan.
Manusianya telah menjadi manusia lain dan telah menjadi asing
pada dirinya sendiri. Nilai-norma [yang memandu setiap orang
berbuat baik dan bertindak benar] dan kesadaran eksistensial
[untuk apa manusia ada dan bagaimana berinterkasi dengan yang
lain] sebagai batin dari setiap kebudayaan tak lagi dipakai sebagai
panduan. Kedua, berubahnya orientasi hidup, terutama yang
berkaitan dengan pengejaran terhadap kenikmatan benda dan
penghambaan atas segala yang menyenangkan dan
membanggakan secara fisik. Sesungguhnya perubahan orientasi
hidup pada sebuah society karena, lagi-lagi, nilai, norma, dan
kesadaran eksistensial yang terangkum dalam tataan kebudayaan
batiniah telah dihancurkan oleh palu godam pragmatisme. Orang
per seorang dalam sebuah masyarakat dinilai baik dan hebat bukan
karena dia telah berbuat baik dan bertindak benar, tetapi dinilai
baik dan hebat karena posisi sosialnya atau sedang atau telah
berhasil mengumpulkan sesuatu
kepemilikan/kesenangan/kenikmatan bendawi. Tak peduli dari
mana asal-muasal apa yang diperoleh dan bagaimana cara ia
mendapatkan posisi sosialnya.
Ketercerabutan budaya masyarakat kota juga disebabkan oleh
proses adaptasi dengan entitas budaya lain sebagai proses menjadi
warga kota. Entitas budaya lain tersebut dapat berupa budaya lokal
setempat, atau entitas bukan budaya lokal yang dianggap secara
48
pragmatis dapat mewadahi kebutuhan kehidupan kota. Lambat-
laun, proses adaptasi [juga adopsi] akan menghasilkan dua entitas
budaya: kebudayaan hasil kawin-mawin budaya atau pertumbuhan
bersama budaya-budaya. Kawin-mawin antarbudaya melahirkan
suatu budaya gabungan, sedangkan pertumbuhan bersama
budaya-budaya akan melahirkan multikulturalisme.
Catatan Akhir
Secara sosiokultural, arah pertumbuhan kebudayaan kota
bergerak ke dua karakter: (1) pembentukan budaya baru sebagai
hasil kawin-mawin berbagai entitas budaya, atau (2) pemeliharaan
budaya-budaya yang kita kenal dengan multikulturalisme. Ke arah
mana masyarakat kota membentuk kebudayaannya, bergantung
kepada karakter divergensi dan konvergensi masing-masing kultur
asal warga kota. Bila watak budaya masing-masing kultur warga
kota yang majemuk itu berkarakter konvergen, maka pilihan yang
mungkin adalah terjadinya pembentukan budaya baru. Sementara
itu, jika divergen, maka pilihan yang mungkin adalah tumbuhnya
masing-masing budaya. Jika terjadi yang kedua, maka perlu
pembangunan kebudayaan warga kota yang berwatak atau
berbasis multikulturalisme. Dari sinilah, baru kita bicara soal
budaya dan demokrasi warga kota, dan dari sini pulalah kita mulai
menyoal dan menjawab: Mau dibawa ke mana kota Ternate? Quo
vadis kota Ternate?
Menemukan Jiwa-jiwa dalam Kearifan
Lokal
Oleh Gufran Ali Ibrahim10
10 Gufran Ali Ibrahim, dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun, Ternate.
49
Sebagai produk peradaban industri, globalisasi tampil dengan
dua muka. Di satu muka globalisasi telah “merobek” batas-batas
sosio-politik-ekonomi-budaya lintasnegara. Dunia, kata Alvin Toffler,
bagai sebuah desa global (the global village). Dalam kondisi
semacam ini, batas-batas lintasnegara dan lintasbudaya nyaris tak
ditemukan, yang dalam sebutan John Naisbitt, the borderless world
‘dunia tanpa batas’. Desa global yang tanpa batas itu adalah anak
kandung dari ibu peradaban yang bernama globalisasi. Pada muka
ini, globalisasi telah memperjumpakan komunitas lintasnegara dan
lintasbudaya dalam satu ruang sosial yang mendorong
keseragaman pola tindak dan perilaku. Apa yang menjadi
kecenderungan bertindak atau berperilaku dalam satu wilayah
peradaban akan secara cepat menjadi pola bertindak yang relatif
seragam pada berbagai belahan dunia. Secara ekstrim,
pemindahan kecenderungan bertindak dan berperilaku itu sebagian
besarnya dimulai dari wilayah-wilayah peradaban yang telah maju,
sebagai wilayah arus utama (mainstream), kemudian meluber ke
wilayah tepian (peripheral), wilayah yang mengadaptasi atau
mengadopsi kecenderungan bertindak atau berperilaku itu.
Wilayah-wilayah arus utama adalah penguasa ekonomi global,
penguasa kekuasaan global, dan pencipta kebudayaan industri
(cultural industry), sementara wilayah-wilayah tepian adalah
wilayah-wilayah pelahap ekonomi global, “pesakit” kekuasaan
global, dan penikmat kebudayaan industri. Dalam cara berpikir
dikotomis, wilayah-wilayah arus utama adalah Barat, sedangkan
wilayah-wilayah tepian adalah Timur. Meski dikotomi ini telah
terbantah oleh kemajuan-kemajuan yang dicapai Timur dengan
tumbuhnya Jepang, Cina, dan Korea dalam berbagai industri
manufaktur dalam geliat ekonomi, globalisasi masih relevan
didefinisikan sebagai peluberan dan pelebaran pengaruh dan
50
pemindahan kecenderungan dari wilayah-wilayah arus utama
sebagai yang memproduksi budaya industri ke wilayah tepian
sebagai wilayah penikmat.
Pada keadaan peluberan dan pelebaran kuasa-kuasa ekonomi,
politik, dan budaya dari wilayah arus utama ke wilayah tepian
sebagai ejawantah utama globalisasi, globalisasi menampilkan
pula muka kedua yaitu hegemoni dan penyeragaman budaya.
Dengan muka kedua ini, budaya-budaya tempatan (local culture)
tersedot ke dalam resonansi budaya global, dan akhirnya
kehilangan daya tarik karena masyarakat pemilik budaya lokal itu
telah tercerabut darinya. Dan, ketercerabutan budaya (cultural
deprivation) kini terus berlangsung karena didorong oleh dua hal.
Pertama, terputusnya proses heredesisasi kultural, pewarisan
budaya, pada komunitas atau budaya tempatan. Hereditasi kultural
tidak berjalan secara melembaga dan tidak dalam ikhtiar
pembelajaran. Kedua, adalah kuasa-kuasa pragmatik yang
ditawarkan globalisasi. Terputusnya pelembagaan dan
pembelajaran jiwa-jiwa kultur tempatan dan kuasa budaya global
sebagai entitas peradaban yang berkarakter cultural industry akan
mendorong masyarakat ke dalam penghambaan atas benda-benda,
bukan pada jiwa-jiwa, sehingga kemanusiaan menjadi terjerembab
ke dalam kubangan pragmatis, seterusnya mengantar manusia ke
cara hidup yang berorientasi pendek, sesaat, dan bendawi. Hidup
adalah mengumpul benda-benda, menguasainya, menyebarkannya
sebagai “malaikat-malaikat” pemuas fisik, dan kemudian
menjadikannya berhala kenikmatan.
Dalam konteks ini, upaya memilih strategi penggalian,
pemaknaan, dan penguatan budaya tempatan menjadi penting.
Menuliskan kembali atau menafsir-ulang, atau mempertegas
komitmen kultural merupakan jalan-jalan ikhriar kebudayaan bagi
penyelamatan akar kearifan budaya tempatan dari gempuran
51
pragmatik budaya global.Setidaknya, dengan menulis apa-apa yang
terasa mulai hilang dari kebiasaan, kesadaran kultural kita
terhadap budaya lokal dapat menjadi alat pemandu masa depan,
merupakan cara-cara yang sederhana dan pertama-tama dalam
kerangka pelembagaan dan pembelajaran kebudayaan lokal.
Dalam tataannya, tiap kebudayaan setidaknya tersusun dalam
tiga lapis budaya. Pertama, adalah lapis luaran (the outer layer),
yaitu hasil karya bendawi suatu budaya. Kedua, adalah lapis
tengahan (the middle layer), yaitu berupa sediaan atau cipta nilai
(ihwal baik dan buruk) dan norma (soal benar dan salah)
berdasarkan keyakinan pemilik budaya. Ketiga, adalah lapis
dalaman (the core), yaitu keyakinan tentang eksistensi manusia.
Ketiga lapis budaya ini terangkum dalam pengertian kearifan lokal
(local wisdom). Dalam perjalanan sejarahnya, tataan pertama
dapat dengan mudah diteruskan ke generasi berikut karena ia
bersifat produk tahu-terampil (know-how), atau pengetahuan
prosedural (procedural knowledge), sedangkan tataan kedua dan
ketiga, yaitu nilai-norma, dan keyakinan mengenai eksistensi sulit
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikut karena keduanya
bersifat tahu-sesuatu (know-that) atau tahu-mengapa (know-why),
atau pengetahuan proposisional (propositional knowledge) sesuatu
Ada itu harus ada. Pewarisan nilai, norma, dan keyakinan
mengenai eksistensi ini dapat dilakukan secara berhasil, manakala
ada pelembagaan dan pembelajaran.
Catatan dan tafsir atas sejarah dan budaya Maloko Kie Raha
(MKR) dalam sejumlah tulisan yang ditulis oleh sejumlah pemerhati
sejarah dan budaya yang terangkum dalam buku ini merupakan
salah satu ikhtiar pelembagaan dan pembelajaran atas tiap tataan
kebudayaan MKR, terutama pemelirahaan nilai-norma dan
kesadaran mengenai eksistensi jagat manusia MKR. Ikhtiar ini
52
menjadi semakin penting, kini dan di sini, bila dihubungkan dengan
gempuran budaya global yang menghegemoni budaya tempatan.
Catatan atau tafsir yang terangkum dalam buku ini setidaknya
mencoba melacak dan menemukan jiwa-jiwa kearifan lokal yang
terangkum dalam jejak sejarah pendirian dan perkembangan
kerajaan-kerajaan MKR. Ada sekian banyak jejak kearifan sejarah
dan budaya. Dari bagaimana komunitas yang berbasis clan
(Tobona, Tubo, Tabanga, dan Toboleu) yang berjuang keras untuk
membentuk komunitas hingga membentuk konfederasi MKR (Moti
Verbond 1322) dalam konteks kesultanan Ternate, Tidore, Bacan
(sebelumnya Makian), dan Jailolo (sebelumnya Moti). Apa yang
dapat ditangkap dari pertumbuhan kehidupan klan ke pola-pola
interaksi antarklan dengan berbagai derajat kesadaran pengelolaan
konfliknya hingga pembentukan hubungan lintaskesultanan?
Setidaknya, ada sejumlah pengertian yang dapat diberikan.
Pertama, dalam pengertian yang paling sederhana, pertumbuhan
itu mencerminkan adanya tahap-tahap kesadaran mengenai
keberbedaan dan keinginan membentuk perjumpaan-perjumpaan
sebagai suatu kebutuhan masa depan. Meskipun melahirkan
konflik, perjumpaan itu ternyata telah memberikan suatu ruang
belajar baru bagi bagaimana menata kemajemukan. Bahkan,
kemampuan penataan kemajemukan (dari klan hingga kesultanan)
itu pada suatu era dapat mencapai titik puncak mengenai
kesadaran pluralisme, dan itu tercatat dalam teks kebersastraan
MKR: ngone doka dai loko ‘kita bagai beragam kembang di padang
rumput’, yang meski ahu yo mafara-fara, ‘tumbuh berpencar-
pencar’, tetapi sirubu-rubu yo mamoi-moi, doka saya rako moi,
‘terhimpun dalam satu genggaman, bagaikan hiasan serangkai
kembang’ (Hasan 2001:99-101).
Dalam perspektif multikultural-pluralistik, teks budaya
berestetika (baca: bersastra) di atas merupakan satu apresiasi
53
tingkat tinggi yang telah dicapai di masa itu mengenai kultur
kekitaan yang tumbuh dari kekuatan peleburan egosentrisme
kekamian.
Ada pula kesadaran kosmologis mengenai ruang dan waktu
dalam bingkai sejarah yang pernah tercatatkan: toma awal
masusira, toma ua hang moju, toma limau gapi matubu, Jou se
ngofangare. Ada kesadaran mengenai Ada (Being) dalam perspektif
eksistensial dan dalam bingkai relasi kekitaan, dengan
menghadirkan Jou se ngofangare dalam relasi ko-eksistensial. Pada
aras ini, ruang dan waktu sebagai pembingkai tanpa batas,
terangkum dalam medan semantik toma ua hang moju, dan tanpa
batas itu hanya dimengerti atau dipahami melalui proses dialog
yang terus menerus dalam relasi kekitaan yang bergerak ke depan
tanpa melupakan sumber-sumber masa lalu sebagai pelajaran.
Lepas dari keterbatasan gramatika dan watak
pengungkapannya masing-masing, tulisan-tulisan dalam buku ini
telah menyediakan sebuah pintu kebudayaan bagi kita untuk
masuk dan menemukan jiwa-jiwa kearifan lokal yang mulai
terabaikan. Selamat membaca!
54
Empat Parameter Pemetaan Etnik11
Charles F. Grimes dalam bukunya Ethnoloque: Languages of
the World (1985), mencatat ada 29 bahasa di Maluku Utara: dari
bahasa Kadai di Mangole hingga bahasa Galela di Morotai. Jika kita
sepakat dengan pandangan bahwa batas bahasa (language
boundaries) berada pada garis pisah-pembatas yang sama dengan
batas etnik (ethnic boundaries) dan batas budaya (cultural
boundaries), maka setidaknya kita dapat membuat hipotesis bahwa
ada duapuluh sembilan etnik di Maluku Utara. Hipotesis ini kita
pakai dengan pengertian bahwa komunitas pengguna bahasa yang
sama (speech community) merupakan kelompok masyarakat yang
memelihara tradisi dan nilai yang sama dengan bahasa sebagai
medium pengenalnya. Dengan begitu, masyarakat tutur yang
menggunakan bahasa Kadai atau Sawai adalah etnik Kadai atau
Sawai: nama bahasa sekaligus sebagai nama etnik. Dan ini terjadi
pada sejumlah etnik di dunia, di Indonesia, atau di Maluku Utara.
11 Bahan pengantar yang disampaikan pada Temu Kaji Ilmiah Dosen (TEKAD) Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, 3 Agustus 3004, di Kampus UMMU, Ternate.
55
Tetapi dalam antropologi budaya atau tepatnya dalam studi
etnografi, bahasa bukan satu-satunya parameter keetnikan yang
dipakai untuk membikin peta etnik. Kesatuan mukim, tipologi
ragawi, garis genaologi, dan pemeliharaan dan pelesetarian nilai
tradisi yang sama merupakan parameter lain yang lazim dipakai
sebagai parameter untuk menetapkan garis batas dan atau
identifikasi etnik. Tetapi soalnya adalah apakah semua parameter
ini harus dipakai sebagai parameter maksimal untuk
mengidentifikasi dan membikin peta etnik? Jadi ada keharusan
menggunakan seluruh parameter ini atau perlu ditambah dengan
parameter lain yang masuk akal, misalnya jenis mata pencaharian,
alat-alat produksi pertanian, atau sarana kehidupan yang lain?
Tetapi penambahan parameter ini akan menimbulkan problem
yang musykil jika kita berbadapan dengan mobilitas dan
petumbuhan peradaban pasa masing-masing etnik. Belum lagi
interaksi antaretnik yang kemudian melahirkan asimilasi dan
akulturasi antarsesamanya?
Secara sederhana memang, empat parameter (bahasa, tipologi
ragawi, garis genealogi, dan pemeliharaan nilai-nilai subtansial
yang sama) di atas dapat dijadikan parameter dasar bagi pemetaan
etnik, sebab ciri-ciri tersebut dengan mudah dapat dikenali. Dilihat
dari hierarki kekasat-mataannya, dua parameter pertama, yaitu
bahasa dan tipologi ragawi adalah parameter yang segera dan
jelas dikenali, menyusul, garis genaologi dan terakhir pemeliharaan
nilai-nilai yang sama. Jadi berdasarkan hirarki keterjangkauannya
(accessibility hierarchy) kekasatmataan, kemudahan, dan kejelasan
pengidentifikasian etnik dapat digambarkan dengan hipotesis
hirarki kemudahan mengenali pemarkah entik (ethnic marker)
sebagai berikut:
BHS > TRG > GGE > NNS
56
BHS adalah bahasa, TRG adalah tipologi ragawi, GGE garis
genealogi, sedangkan NNS adalah nilai-nilai yang sama. Hirarki di
atas dibaca sebagai berikut: ciri kebahasaan lebih segera dan
mudah dikenali sebagai pemarkah etnik dari ciri tipologi ragawi,
tetapi tipologi ragawi lebih mudah dan segera dikenali daripada
garis genaologi, dan seterusnya. Semakin ke kanan, semakin tidak
kasat-mata. Artinya diperlukan penanganan metodologis yang
semakin antropologis tetapi tetap studi interdisplin yang
“mengawinkan” teori-teori linguistik dan antropologi ragawi.
Apa perlunya?
Setidaknya ada dua manfaat yang dapat diperoleh dari kerja
pemetaan etnik, yaitu manfaat keilmuan dan manfaat pragmatis.
Dari sudut keilmuan, pemetaan akan membantu memberikan
gambaran mengenai batas-batas etnik, persentuhannya dengan
etnik lain, mobilitas setiap etnik, dan juga pertumbuhan
peradabannya.
Pemetaan etnik yang (akan) memberikan gambaran sebaran
dan keragaman etnik dalam suatu wilayah administrasi
pemerintahan akan memberikan manfaat pragmatis dalam hal
membantu memberikan informasi kepada pengambil kebijakan
dalam meluncurkan keputusan dan juga memberikan informasi
yang penting bagi strategi pembangunan masyarakat (community
development) yang tepat sesuatu dengan karakter etnik yang
berasungktan.
Di tingkat masyarakat, hasil pemetaan etnik akan menjadi
informasi penting bagi bagaimana semua etnik dalam satu wilayah
tertentu mulai membangun kembali kesadaran berdampingan,
bertetangga, dan mulai membangun sebuah masyarakat yang
57
melek kemajemukan. Pagi pengambil kebijakan di bidang
pendidikan, pemetaan etnik akan menjadi bahan kebudayaan
penting bagi bagaimana merancang pendidikan multikulur sebagai
satu cara merawat dan mengembangkan watak masyarakat yang
cerdas sosial lintas-etnik sebagai bagian dari bagaimana
membangun warga yang berkesadaran pluralistik tinggi.
Soal Cara?
Pemetaan etnik memang “urusan” antropologi. Tetapi batas-
batas etnik merupakan bagian penting dari bagaimana membuat
peta etnik, dan batas-batas etnik sendiri melibatkan soal
kepemeliharan bahasa dan ciri tipologi ragawi, maka pemetaan
etnik harus mensyaratkan kerja penelitian yang multidisiplin
(interdisciplinary) dan bahkan dengan paduan medode (mixing
method).
Oleh karena bersifat multi disiplin dan dengan paduan metode,
maka pemetaan etnik membutuhkan racikan kerangka pikir
(conceptual framework) yang telah ditata dengan menetapkan
ubahan (variable), parameter, dan indkator yang jelas dan bersifat
pemaduan dari konsep-konsep interdisiplin tersebut.
Secara metodologis, pemetaan etnik memerlukan kerja beralur
dan beralir: penyusunan parameter-parameter keetnikan, penataan
kerangka pikir, uji keasihan dan keandalan parameter sebagai alat,
survei eksplortatoris, seminasi, dan sosialisasi.
Bagi Maluku Utara,mengapa perlu pemetaan etnik? Untuk
kebutuhan keilmuan sajakah atau juga untuk kepentingan
pembangunan Maluku Utara ke depan? Saya pikir pemetaan etnik
memberikan hasil pada kedua kebutuhan ini: memberikan
informasi pada antropologi dan dapat dimanfaatkan bagi pengambil
kebijakan pembangunan masyarakat, dan juga suatu kesempatan
58
baru bagi masyarakat untuk semakin belajar mendengar dan
memahami.
Kerangka konseptual yang saya maksud adalah isian peubah
yang memberikan informasi mengenai apa saja yang dapat
dipertimbangkan sebagai masukan bagi ditetatpkannya
sekelompok manusia sebagai satu atau berbeda etnik.[]
59