Kumpulan Pembahasan Fito
-
Upload
patricia-virginia-basuki -
Category
Documents
-
view
342 -
download
4
Transcript of Kumpulan Pembahasan Fito
KUMPULAN EMBAHASAN
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kita akan membahas tentang skrining fitokimia, dimana nantinya
akan diidentifikasi beberapa golongan senyawa dari suatu ekstrak tumbuhan yang tidak diketahui
identitasnya. Dalam praktikum ini kita akan mengidentifikasi senyawa golongan alkaloid,
flavonoid, glikosida saponin, triterpenoid dan steroid, polifenol dan tannin serta golongan
antrakinon.
Identifikasi Senyawa Golongan Alkaloid
Alkaloid sekitar tahun 5500 telah diketahui, merupakan golongan zat tumbuhan sekunder
yang terbesar. Tidak ada satupun istilah alkaloid yang memuaskan, tetapi pada umumnya
alkaloid mencakup senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya dalam gabungan, sebagai dari system siklik. Alkaloid sering beracun bagi manusia dan
banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas dalam
bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tidak berwarna, seringkali bersifat optic aktif.
Kabanyakan berbentuk Kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada
suhu kamar.
Menurut Hegnauer bahwa “alkaloid adalah zat yang sedikit atau lebih toksik yang
memiliki aktivitas utama terhadap system saraf pusat, memiliki karakter dasar, mengandung
nitrogen heterosiklik dan disintregasi dalam tanaman dari asam amino atau turunannya.
Keberadaannya terdistribusi dalam kingdom tumbuhan.” Fungsi alkaloid dalam tumbuhan masih
sangat kabur, meskipun masing-masing senyawa telah dinyatakan sebagai pengatur tumbuh, atau
penghalau atau penarik serangga. Teori yang menyatakan bahwa alkaloid merupakan bentuk
penyimpan nitrogen dalam tumbuhan, sekarang ini tidak lagi diterima.
Alkaloid biasanya diperoleh dengan cara mengekstraksi bahan tumbuhan memakai air
yang diasamkan dan melarutkan alkaloid sebagai garam atau bahan tumbuhan dapat dibasakan
dengan natrium karbonat dan sebagainya dan basa bebas diekstraksi dengan pelarut organic
seperti kloroform, eter dan sebagainya. Beberapa alkaloid yang dapat menguap seperti nikotina
dapat dimurnikan dengan cara penyulingan uap dari larutan yang dibasakan. Larutkan dalam air
yang bersifat asam dan mengandung alkaloid dapat dibasakan dan alkaloid diekstraksi dengan
pelarut organic sehingga senyawa netral dan asam yang mudah larut dalam air tertinggal dalam
air.
Bukti kualitatif untuk menunjukkan adanya alkaloid dan pencirian kasar dapat diperoleh
dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid. Beberapa pereaksi yang digunakan adalah
pereaksi Mayer, pereaksi Wagner, pereaksi Asam Silikotungsat 5%, pereaksi Asam Tanat 5%,
pereaksi Dragendorff, perekasi iodoplatinat dan larutan asam pikrat jenuh.
Dalam praktikum yqang kami lakukan dalam pengidentifikasian golongan senyawa
alkaloid dengan menggunakan 2 cara yaitu reaksi pengendapan dan kromatografi Lapis Tipis.
a. Reaksi Pengendapan
Ekstrak sebanyak 0.32 gram ditambah 5 mL HCl 2 N, dipanaskan di atas penangas air selama 2 –
3 menit, sambil diaduk. Setelah dingin ditambah 0.3 gram NaCl, diaduk rata kemudian disaring.
Filtrate yang diperoleh ditambah 5 mL HCl 2 N dan dibagi menjadi 3 bagian yang sama yaitu
larutan A, B dan C. Penambahan NaCl ini bertujuan untuk mengendapkan protein yang dapat
menyebabkan terjadinya positif palsu. Dalam penambahan NaCl ini terjadi salting out dari
protein. Dalam reaksi pengendapan alkaloid ini digunakan 2 macam peraksi, yaitu :
1) Pereaksi Mayer
Pereaksi Mayer ini mengandung Kalium Tetraiodomerkurat dan paling banyak digunakan untuk
mengidentifikasi alkaloid karena pereaksi ini memberikan endapan dengan hamper semua
alkaloid. Larutan A yang ditambah dengan +8 tetes pereaksi Mayer ternyata tidak menimbulkan
endapan (negatif). Hal ini berarti bahwa dalam sampel tidak mengandung alkaloid.
2) Pereaksi Wagner
Peraksi wagner ini mengandung iodium dalam Kalium Iodida. Pereaksi ini juga paling sering
digunakan untuk mengidentifikasi senyawa golongan alkaloid. Larutan B yang ditambah
dengan + 3 tetes pereaksi wagner menghasilkan larutan yang tidak mengandung endapan. Hal ini
menandakan bahwa dalam sampel tidak terdapat endapan.
b. Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis merupakan suatu metode pemisahan suatu senyawa berdasarkan pada
sifat polar dan nonpolar. Dalam KLT ada yang bertindak sebagai fase diam dan fase gerak. Fase
diam pada identifikasi ini adalah lempeng Kiesel gel GF 254 yang bersifat polar, sedangkan fase
gerak terdiri dari campuran Etil aseta – Metanol – Air dengan perbandingan ( 9 : 2 : 2 ) yang
bersifat non polar.
Awalnya larutan IC dari hasil pembagian pada preparasi sampel ditambah dengan NH4OH 28%
sampai larutan menjadi basa, kemudian diekstraksi dengan 5 mL kloroform bebas air lalu
disaring. Tujuan penambahan NH4OH pada sampel IC adalah untuk memberikan suasana basa
pada sampel. Kebanyakan alkaloid bersifat basa yang tergantung pada pasangan electron pada
nitrogen. Jika gugus fungsional yang berdekatan dengan nitrogen bersifat melepaskan electron,
maka ketersediaan electron pada nitrogen naik dan senyawa bersifat basa. Sebaliknya jika gugus
fungsional yang berdekatan bersifat menarik electron maka ketersediaan pasangan electron
berkurang dan pengaruh yang ditimbulkan alkaloid dapat bersifat netral atau bahkan bersifat
sedikit asam.
Tujuan eksitasi koroform adalah agar senyawa golongan alkaloid dapat larut dalam kloroform
dan terpisah atau terhindar dari zat-zat lain yang dapat mengganggu proses identifikasi dan tidak
larut dalam kloroform. Filtrate dari proses penyaringan yang berada pada fase kloroform
diuapkan sampai kering. Selanjutnya hasil penguapan dilarutkan dalam methanol dan siap untuk
pemeriksaan dengan KLT. Sampel ditotolkan pada lempeng KLT (+ 2 kali penotolan) dengan
menggunakan pipa kapiler. Setelah itu dieluasi dengan eluen yang sudah dipersiapkan
sebelumnya. Setelah proses eluasi selesai maka dilakukan penyemprotan larutan penampak noda
pada lempeng. Pereaksi penampak noda yang menunjukkan adanya alkaloid adalah
menggunakan pereaksi Dragendorft.
Ketika pereaksi warna disemprotkan pada lempeng KLT pada awal penotolan dan daerah
pergerakan eluen dari sampel yang dianalisis tidak terlihat adanya warna jingga yang
menunjukkan adanya alkaloid dalam ekstrak. Dari hasil penampakan spesifik yang menunjukkan
tidak adanya warna jingga pada lempeng KLT maka dapat diketahui bahwa sampel ekstrak
tumbuhan yang diberikan tidak mengandung senyawa golongan alkaloid.
Identifikasi Senyawa Golongan Terpenoid, Triterpenoid, Sapogenin Steroid dan Steroid
Bebas
Senyawa terpenoid berasal dari molekul isoprene CH2=C(CH3)-CH=CH2 dan kerangka
karbonnya dibangun oleh penggabungan dua atau lebih satuan C5 ini. Lalu senyawa terpenoid
dipilah-pilah menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah satuan yang terdapat dalam
senyawa tersebut. Terpenoid terdiri dari beberapa macam senyawa, mulai dari komponen minyak
atsiri yaitu monoterpen dan seskuiterpen yang mudah menguap (C10 dan C15). Diterpen yang lebih
sukar menguap (C20). Senyawa tidak menguap yaitu triterpenoid dan sterol (C30) serta pigmen
karotenoid (C40).
Secara kimia terpenoid umumnya larut dalam lemak dan terdapat pada sitoplasma sel
tumbuhan. Kadang minyak atsiri terdapat di sel kelenjar khusus pada permukaan daun dan
kromoplast di dalam bunga. Biasanya terpenoid diekstraksi dari jaringan tumbuhan dangan eter,
eter minyak bumi atau kloroform dan dapat dipisahkan secara KLT pada silica gel. Tapi
seringkali ada kesulitan waktu mendeteksi dalam skala mikro karena kebanyakan senyawanya
tidak berwarna dan tidak ada pereaksi kromogenik yang peka. Untuk itu, dilakukan
penyemprotan dengan anisaldehid asam sulfat lalu dipanaskan untuk menampakkan noda.
Senyawa triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan
isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik yaitu skualena.
Triterpenoid dapat dipilih menjadi 4 golongan senyawa triterpena sebenarnya, steroid, saponin
dan glikosida jantung. Saponin dan glikosida jantung merupakan triterpena atau steroid yang
terdapat sebagai glikosida. Pada pemeriksaan triterpen harus dilakukan hidrolisis untuk
membebaskan aglikon bila ada glikosida. KLT dilakukan pada silica gel memakai pengembang
n-heksana : etilasetat (4:1) dengan pendeteksi antimony klorida dalam CHCl3 atau anisaldehid
asam sulfat yang dipanaskan. Beberapa campuran triterpena tidak mudah dipisahkan dengan cara
trersebut, misalnya amirin dan amirin hanya dapat dipisahkan dengan baik bila
dikromatografi memakai n-butanol dan NH4OH 2M (1:1).
Banyak terpenoid dan steroid alcohol terdapat di alam bukan sebagai alcohol bebas tapi
sebagai glikosida. Namun senyawa tersebut telah digolongkan menjadi glikosida tertentu yaitu
steroid, saponin, glikosida jantung dan lain-lain. Di alam dikenal dua jenis saponin yaitu
glikosida triterpenoid alcohol dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai
samping spiroketal. Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol, namun tidak dalam eter.
Aglikonnya disebut sapogenin yang diperoleh dari hidrolisis dalam suasana asam atau
menggunakan enzim dan tanpa bagian gula. Untuk uji sapogenin ekstrak dihidrolisis dengan HCl
selama 2-6 jam, dinetralkan dan lakukan ekstraksi dengan n-heksana larutan dipekatkan lalu di
KLT pada silica gel memakai pengembang etil asetat dan n-hekasana (1:4). Selanjutnya
sapogenin dideteksi berupa bercak merah jambu setelah plat KLT disemprot dengan antimony
klorida dalam HCl pekat atau dengan anisaldehid asam sulfat dan dipanaskan. Sapogenin yang
berlaman tidak mudah dipisahkan dengan KLT. Missal, memisahkan diosgenin dari yamogenin
diperlukan metode pengembangan sinambung memakai metil diklorida dan eter (4:1) selama 8
jam.
Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya system cincin sklopentana
perhidrofenantrena. Steroid umumnya berada dalam bentuk bebas sebagai glikosida sederehana.
Untuk pendeteksian steroid dengan metode KLT cukup dengan melarutkannya dengan etanol
lalu bercak nodanya disemprot dengan anisaldehid asam sulfat dan dipanaskan. Jika ekstrak
positif mengandung steroid, maka akan timbul noda merah uingu atau ungu.
Pada praktikum kali ini, kami menggunakan beberapa uji antara lain :
a. Reaksi Uji Buih
Pada metode identifikasi menggunakan uji buih yaitu dengan cara memasukkan +0.3 gram dalam
tabung reaksi kemudian ditambahakan air suling 10 mL, kocok selama 30 detik. Jika terjadi buih
yang stabil selama lebih dari 30 menit dengan tinggi 3 cm diatas permukaan larutan pada tabung
reaksi maka ekstrak yang kita uji mengandung saponin. Pada sampel yang diidentifikasikan
positif mengandung buih stabil lebih dari 30 menit dengan tinggi + 3,5 cm di atas permukaan
cairan. Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang diujikan mengandung saponin.
b. Reaksi Uji Salkwoski
Pada uji Salkoswki, memasukkan 0.3 gram ekstrak dalam tabung reaksi yang dilarutakan dalam
15 mL etanol. Tujuannya adalah untuk memisahkan gugus steroid dengan gugus senyawa lain.
Digunakan etanol dikarenakan etanol merupaka pelarut yang universal karena dapat memisahkan
senyawa dari yang bersifat polar sampai non polar. Selain itu, etanol dapat memisahkan
komponen steroid secara optimal, aman dalam pemakaian, tidak merusak komponen senyawa,
tidak berbahaya bagi lingkungan, oekonomis serta mudah didapatkan. Setelah larutan ekstrak
homogeny, campuran dibagi menjadi 3 bagian yaitu IIA, IIB dan IIC. Larutan IIA digunakan
sebagai blanko, IIC ditambahakan 1-2 mL H2SO4 pekat melalui dinding tabung reaksi. Tujuan
penambahan ini untuk memutuskan ikatan gula pada senyawa. Jika ikatan gula terlepas maka
adanya steroid bebas pada sampel akan ditandai dengan adanya cincin yang berwarna merah.
Apabila hal ini tidak muncul maka tidak mengandung steroid bebas. Pada ekstrak yang
didiujikan positif mengandung steroid. Hal in i ditandai adanya cincin berwarna merah.
c. Reaksi Uji KLT Sapogenin/triterpenoid
Dalam proses skrining sapogenin steroid dengan menggunakan KLT, pertama-tama kami
menambahkan ektrak yang telah dimasukkan dalam tabung reaksi dengan HCl pekat kemudian
dipanaskan dengan heater diluar ruangan karena HCl pekat bersifat korosif, selama 2 jam.
Penambahan ini bertujuan untuk membebaskan aglikonnya (sapogenin) dari suatu ikatan
glikosida. Sapogenin merupakan salah satu bentuk dari saponin yang terikat atau membentuk
ikatan glikosida dengan senyawa lainnya. Sedangkan fungsi dari pemanasan selama 2 jam adalah
untuk membantu dan mempercepat putusnya (hidrolisis) sapogenin dari ikatan glikosidanya.
Setelah dilakukan pemanasan selama 2 jam, maka hasil hidrolisis ekstrak tersebut didinginkan
kemudian ditambahkan dengan ammonium. Sapogenin bersifat asam, penambnahan ini
mempunyai sifat basa yang akan menetralkan larutan. Setelah dinetralkan, dilakukan ekstraksi
dengan menggunakan n-heksana sebanyak 3 kali. Tujuan dari pengekstrakan ini adalah untuk
memisahkan sapogenin dan senyawa lainnya. Dalam pengekstrakan tersebut akan terbentuk 2
lapisan. Lapiasan yang diambil adalah lapisan n-heksana, karena sapogenin cenderung larut
dalam n-heksana. Kemudian dilakukan penguapan untuk menghilangkan n-heksana tadi.
Kemudian dilakukan penotolan sampel ke lempeng KLT. Dengan fase gerak n-heksana dan etil
asetat. Melihat bahan yang digunakan dalam fase diam dan fase geraknya, proses KLT yang kita
gunakan ini adalah normal fase, karena fase diam yang kita gunakan bersifat polar sedangkan
fase geraknya bersifat nonpolar.
Setelah proses eluasi selesai maka lempeng dikeringkan kemudia disemprot dengan penampak
noda anisaldehid asam sulfat. Jika terdapat penamapakan noda berwarna ungu mengidentifikasi
bahwa sampel mengandung sapogenin dan dapatr diukur besarnya Rf. Pada sampel ekstrak
mengandung sapogenin steroid/triterpenoid. Hal ini ditunjukkan dengan adanya noda warna
ungu dengan tinggi noda 7,7 cm dan Rf 0,96.
d. Identifikasi Terpenoid atau Steroid Bebas secara KLT
Uji kandungan steroid atau terpenoid bebas dalam ekstrak simplisia dilakukan dengan
menggunakan kromatograrfi lapis tipis. KLT merupakan metode kromatografi yang paling
sederhana. Fase diam yang digunakan berupa lapisan tipis dan fase gerak berupa cairan. Bercak
atau noda yang dihasilkan ditandai, jika tidak tampak dapat dialkukan penyemprotan dengan
pereaksi penampak noda tertentu. Metode termudah adalah dengan menggunakan nilai Rf yaitu
perbandingan jarak tepuh noda dengan jarak tempuh eluen dalam sistem kromatografi.
Pertama – tama ekstrak ditambah dengan beberapa tetes etanol, sehingga didapat fase organik.
Etanol dipilih katrena secara umum etanol merupakan pelarut yang dianggap dapat melarutkan
seluruh golongan metabolit sekunder, termasuk terpenoid dan steroid bebas. Dalam identifikasi
ini, tidak dilakukan proses hidrolisis karena bentuk terpenoid dan steroidnya adalah bentuk
bebas, tidak memiliki ikatan glikosida seperti pada sapogenin steroid atau triterpenoid yang
sebelum diidentifikasi harus diputus terlebih dahulu ikatannya.
Langkah selanjutnya, fase organik ditotolkan ± 4 μl pada lempeng KLT, dalam praktikum kali
ini digunakan Kiesel Gel GF 254 sebagai fase diamnya. Kemudian lempeng KLT diproses dalam
chamber yang berisi eluen yaitu n-heksana – etil asetat ( 4 : 1 ) sebagai fase gerak. Pemilihan
eluen dengan komposisi tersebut berdasarkan kemampuannya untuk meminimumkan pengotor
dan menghasilkan noda yang terpisah dengan baik. Setelah eluen mencapai batas elusi, lempeng
KLT kemudian dikeringkan. Lempeng disemprot dengan pewarna noda anisaldehid asam sulfat
dan kemudian dipanaskan. Adanya terpenoid atau steroid bebas ditunjukkan dengan terjadinya
warna merah ungu, atau ungu. Noda pada lempeng KLT berwarna ungu, hal tersebut
menunjukkan bahwa ekstrak simplisia mengandung terpenoid atau steroid bebas.
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan didapatkan bahwa pada lempeng KLT tidak
didapatkan hasil berwarna merah ungu. Hal tersebut menunjukkan bahwa ekstrak yang
diidentifikasi tidak mengandung terpenoid atau steroid bebas.Identifikasi Senyawa Golongan
Flavonoid
Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air, dapat diekstraksi dengan etanol
70% dan tetap ada lapisan air setelah ekstrak ini di kocok dengan eter. Flavonoid berupa
senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila ditambahkan basa atau amoniak. Jadi senyawa
ini mudah dideteksi pada kromatogram atau dalam larutan.
Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula – mula didasarkan kepada
telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Kemudian diikuti dengan pemeriksaan ekstrak tumbuhan
yang telah dihidrolisis, secara kromatografi satu arah, dan pemeriksaaan ekstrak etanol secara
dua arah. Akhirnya flavonoid dapat dipisahkan dengan cara kromatografi. Komponen masing –
masing diidentifikasi dengan membandingkan kromatografi dan spektrum, dengan memakai
senyawa pembanding yang sudah dikenal.
Pada uji flavonoid, yang pertama dilakukan adalah uji reaksi warna. Reaksi warna diawali
dengan mengekstraksi ekstrak dengan n-heksana berkali – kali sampai ekstrak n-heksana tidak
berwarna. Hal ini untuk memisahkan senyawa – senyawa lain yang mengganggu
pengidentifikasian flavonoid. Kemudian residu dilarutkan dalam etanol yang merupakan pelarut
universal yang juga dapat melarutkan flavonoid. Larutan ini dibagi menjadi 4 bagian yang
digunakan untuk blanko, uji bate-smith dan metclaft, uji wilstaterdan uji kromatografi lapis tipis
(KLT), yaitu IIIA, IIIB, IIIC, dan IIID.
Pada uji bate-smith dan metclaft larutan IIIB ditambahkan dengan 0,5 mL HCl pekat untuk
menghidrolisis dan memutus ikatan glikosoda. Hidrolisis ini untuk menghidrolisis
antosianin menjadi aglikon antosianin, yaitu antosianidin. Tetapi tidak ada perubahan warna
yang terjadi. Kemudian larutan tersebut dipanaskan diatas penangas air untuk mempercepat
terjadinya hidrolisis. Setelah itu, diamati perubahan warna yang terjadi.
Dari hasil praktikum ini didapatkan warna merah. Hal itu menunjukkan bahwa ekstrak D
mengandung leukoantosianin, dimana adanya leukoantosianin ditunjukkan dengan adanya warna
merah terang atau ungu.
Selanjutnya pada uji wilstater, larutan IIIC ditamabah 0,5 mL HCl pekat dan 4 potong
magnesium. Penambahan ini untuk reaksi reduksi menjadikan suatu flavonol, flavanon, flavonon
dan xanton. Penambahan asam akan menyebabkan perubahan warna ketika reduksi berlangsung.
Kemudian larutan tersebut diencerkan dengan air suling dan ditambah dengan butanol sehingga
terbentuk 2 lapisan antara larutan fase butanol yang ada pada bagian bawah. Diamati warna yang
terjadi diantara kedua cairan (pada tiap lapisan). Tetapi tidak terjadi perubahan warna dan dapat
dikatakan bahwa ekstrak D tidak mengandung flavonol, flavon atau flavonon.
Selanjutnya dilakukan uji KLT, dengan fase diam kiesel gel GF 254, fase gerak butanol-
asam asetat glasial-air ( 4 : 1 : 5 ) dengan penampak noda uap amoniak. Larutan IIID ditotolkan
pada lempeng sebanyak 4 μl atau sampai totolan berwarna, tetapi tidak sepekat warna ekstrak.
Kemudian lempeng dieluasi dalam chamber, ditunggu hingga garis batas pada lempeng.
Kemudian diangin – anginkan dan diuapkan diatas uap amoniak sampai terbentuk warna kuning
yang segera hilang (reversible).Tetapi pada percobaan yang telah dilakukan, tidak terdapat warna
kuning pada lempeng KLT. Sehingga didapatkan bahwa ekstrak D tidak mengandung flavonoid.
Keganjilan pada beberapa uji ini adalah uji reaksi warna bate-smith dan metclaf
menunjukkan hasil positif dan pada uji wilstater dan uji KLT menunjukkan hasil yang negatif.
Hal ini dimungkinkan terjadi reaksi yang menyebabkan terjadinya positif palsu. Adanya
positif palsu ini mungkin disebabkan karena hidrolisis yang kurang sempurna atau reduksi
magnesium yang kurang, serta kurangnya pembentukan pigmen warna. Sehingga tidak dapat
memberikan warna yang sesuai pada uji wilstater. Dan pada uji KLT dimungkinkan masih ada
pengganggu sehingga tidak memunculkan hasil yang positif.
Identifikasi Senyawa Golongan Polifenol dan Tanin
Senyawa polifenol adalah suatu senyawa yang berasal dari tumbuhan, dimana salah satu
cirinya adalah mengandung cincin aromatik yang tersubstitusi oleh dua atau lebih gugus fenol.
Dua gugus fenol, hidrolisis dan terkondensasi terdiri dari tanin yang merupakan suatu zat yang
penting secara ekonomi sebagai agen untuk menghaluskan kulit dan juga penting untuk tujuan
kesehatan. Baru – baru ini ditemukan adanya fakta – fakta yang mendukung nilai potensialnya
sebagai sitotoksik dan atau sebagai agen antineoplastic.
Tanin dapat berfungsi sebagai astringent dan memiliki kemampuan untuk menyamak kulit.
Secara kimia, tanin adalah ester yang dapat dihidrolisis oleh pemanasan dengan larutan asam
sampai menghasilkan senyawa fenol, biasanya merupakan derivate atau turunan dari asam garlic
dan gula.
Untuk identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin dapat dilakukan dengan 2 cara
yaitu dengan cara reaksi warna dan juga melalui kromatografi lapis tipis.
Pada identifikasi senyawa golongan polifenol dan tanin yang pertama dilakukan adalah
dengan mencampurkan ekstrak sebanyak 0,3 gram dengan 10 ml aquadest panas. Proses ini
dilakukan untuk mempercepat reaksi dengan adanya pemanasan. Kemudian larutan tersebut
diaduk dan dibiarkan sampai suhu kamar. Kemudian ditambahkan 4 tetes 10% NaCl, kemudian
diaduk dan disaring. Penambahan NaCl bertujuan untuk menghilangkan pengotor dan protein,
sehingga mencegah terjadinya negatif palsu pada uji warna. Filtrat kemudian dibagi menjadi tiga
bagian masing – masing ± 4 ml dan disebut sebagai larutan IVA, IVB, dan IVC.
Kemudian dilakukan uji ferriklorida, yaitu larutan IIIA digunakan sebagai blanko dan
larutan IIIC yang ditambahkan dengan beberapa tetes ferriklorida (FeCl3) ± 2-3 tetes maka akan
terjadi perubahan warna menjadi warna hijau kehitaman. Warna hijau kehitaman tersebut
merupakan endapan tanin yang dihasilkan oleh penambahan ferriklorida sehingga terjadi reaksi
kimia antara ferriklorida dan gugus fenol dari tanin. Oleh karena itu pada uji ferriklorida ini
menunjukkan hasil yang positif. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam ekstrak D mengandung
tanin.
Untuk mengetahui lebih jelas apakah ekstrak D mengandung tanin atau polifenol maka
dilanjutkan dengan uji gelatin. Larutan IVA digunakan sebagai blanko, kemudian larutan IVB
ditambahkan dengan sedikit larutan gelatin dan 5 ml larutan NaCl 10%. Jika terjadi endapan
putih menunjukkan adanya tanin. Hal tersebut terjadi karena gelatin maupun dengan reagen
garam-gelatin merupakan indikasi adanya tanin. Dasar untuk reaksi ini adalah terbentuknya
endapan antara protein / gelatin dan tanin, dimana reaksi menjadi lebih sensitif dengan
penambahan NaCl untuk meningkatkan “salting out” dari kompleks protein-tanin. Tapi pada
praktikum yang telah dilakukan, dengan uji gelatin ini tidak menunjukkan adanya endapan
berwarna putih. Sehingga dapat dinyatakan bahwa ekstrak D tidak mengandung polifenol.
Ekstrak D positif mengandung polifenol karena pada uji ferriklorida menunjukkan hasil
yang positif dan uji gelatin menunjukkan hasil yang negatif.
Uji selanjutnya adalah kromatografi lapis tipis. Sebagian larutan IVA digunakan untuk
pemeriksaan KLT. Larutan IVA ditotolkan pada lempeng KLT ± 4 μl. Pada uji dengan KLT ini
digunakan fase diam kiesel gel GF 254. Dan fase gerak berupa larutan kloroform-etil asetat ( 1 :
9 ) dan pereaksi penampak noda dengan pereaksi FeCl3.Melihat fase diam dan fase gerak yang
digunakan dalam identifikasi ini, fase KLT yang digunakan adalah normal phase, karena sifat
silika gel adalah polar, sedangkan fase geraknya bersifat non polar. Lempeng yang telah
ditotolkan larutan IVA dan standar dieluasi dengan fase gerak. Setelah eluasi selesai, lempeng
KLT dikeringkan dan diberi pereaksi FeCl. Pemberian penampak noda FeCl menimbulkan warna
hitam. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak D mengandung polifenol. Data ini juga diperkuat dari
uji ferriklorida yang menunjukkan hasil yang positif.
Identifikasi Senyawa Golongan Antrakinon
Golongan kuinon alam terbesar terdiri atas antrakuinon. Beberapa antarkuinon merupakan
zat warna penting dan yang lainnya sebagai pencahar. Keluarga tumbuhan yang kaya akan
senyawa jenis ini adalah Rubiaceae, Rhamnaceae, Polygonaceae.
Untuk mengidentifikasi senyawa antrakuinon dilakukan uji borntrager. Awalnya ekstrak
ditambah air suling untuk melarutkan senyawa yang terkandung didalamnya lalu disaring untuk
memisahkan senyawa pengotornya. Filtrat yang diperoleh di ekstrak dengan toluena dan dikocok
kuat sehingga senyawa antrakinon akan terlarut dalam fase toluennya. Hasil ekstraksi dibagi
menjadi dua yaitu larutan VA dan VB. Larutan VA digunakan sebagai blanko. Dan larutan VB
ditambah amoniak dan dikocok. Warna merah menunjukkan adanya senyawa antrakinon. Tapi
dari hasil percobaan yang dilakukan pada uji borntrager ini tidak didapatkan larutan menjadi
berwarna merah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak D tidak mengandung antrakinon.
Selanjutnya dilakukan uji modifikasi borntrager. Ekstrak sebanyak 0,3 gram ditambahkan
dengan 1 ml KOH 5N dan 1 ml H2SO4 encer. KOH berfungsi sebagai pemberi suasana basa
dan berfungsi untuk menghidrolisis glikosida dan mengoksidasi antron atau antranol menjadi
antrakinon. Sedangkan H2SO4 berfungsi sebagai pemberi suasana asam. Sehingga didapatka
senyawa dengan suasana netral dengan adanya penmbahan H2SO4. Kemudian larutan tersebut
dipanaskan dan disaring. Filtrat kemudian ditambahkan asam asetat glasial 1 – 2 tetes, kemudian
di ekstraksi dengan 3 mL toluena. Ekstraksi bertujuan untuk menghidrolisis antrakuinon, yaitu
memisahkan antara glikon dan aglikonnya. Fase toluen diambil dan dibagi menjadi dua bagian,
yaitu larutan VIA dan VIB. Larutan VIA digunakan sebagai blanko. Larutan VIB ditambahkan
ammoniak. Ammoniak berfungsi untuk memberikan suasana basa. Warna merah atau merah
muda pada lapisan alkalis menunjukkan adanaya antrakinon. Tetapi pada hasil praktikum ini
tidak terjadi perubahan warna menjadi warna merah. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak d tidak
mengandung senyawa antrakinon.
Selanjutnya dilakukan uji KLT. Fase diam yang digunakan adalah kiesel gel GF 254,
dengan fase gerak toluena-etil asetat-asam asetat ( 75 : 24 : 1 ) dan dengan penampak noda
larutan KOH 10% dalam metanol. Sampel yang ditotolkan merupakan larutan VA yang
digunakan sebagai blanko pada uji borntrager. Larutan ditotolkan sampai tampak warna, tetapi
tidak terlalu pekat, yang dalam hal ini ditotolkan ± 2 μl. Kemudian lempeng dieluasi dalam
chamber yang berisi eluen. Setelah selesai eluasi, lempeng diambil dan dikeringkan. Setelah
kering diberi penampak noda dengan disemprotkan larutan KOH 10% dalam metanol untuk
menampakkan noda, dan noda yang timbul berwarna kuning. Hal itu menunjukkan adanya
antrakuinon. Tapi dalam praktikum yang dilakukan tidak didapatkan noda berwarna kuning. Hal
ini menunjukkan bahwa ekstrak D tidak mengandung antakuinon.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL PENGAMATAN
Hasil uji skrining fitokimia dari ekstrak daun dan batang seledri, daun jambu biji, serta buah cabe, bisa dilihat pada table 1 berikut ini:
Tabel 1. Hasil skrining fitokimia dari daun seledri, daun jambu biji, dan buah cabe.
SampelDaun Seledri Daun jambu biji Buah Cabe
Uji FitokimiaAlkaloid - - -Saponin + ++ -Tannin ++ +++ +Flavanoid (H2SO4) - - -Flavanoid(HCl+Mg)
- + -
Flavanoid (NaOH) +++ - +Triterpenoid - - -Steroid - - -
4.2 PEMBAHASAN
Skrining fitokimia merupakan cara sederhana untuk melakukan analisis kualitatif kandungan senyawa yang terdapat dalam tumbuhan. Pada praktikum ini skrining yang dilakukan terbatas pada uji alkaloid, uji flavanoid, saponin, tannin, triterpenoid dan steroid. Setiap golongan senyawa metabolit skunder yang terkandung dalam tumbuhan memiliki cirri dan karakter tersendiri. Dengan mempelajari sifat kimia dari masing-masing golongan metabolit sekunder tersebut maka muncullah suatu metode atau cara untuk mengetahui adanya senyawa tertentu dalam tumbuhan tersebut. Dalam uji fitokimia kita menggunakan pereaksi yang berbeda untuk setiap golongan yang akan di uji. Demikian halnya dengan pelarut yang digunakan pada proses isolasi semestinya menggunakan pelarut yang berbeda. Penggunaan pelarut yang berbeda ini didasarkan pada sifat kepolaran dari senyawa yang akan di isolasi dan selanjutnya di skrining. Penggunaan pelarut yang tidak sesuai akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Boleh golongan senyawa tertentu tidak akan Nampak pada skrining yang kita lakukan, atau bahkan kita tida mendapatkan senyawa yang kita inginkan.
Pada praktikum ini pelarut yang kita gunakan untuk mengisolasi senyawa yang ada dalam tumbuhan itu yaitu pelarut air. Yang mana air ini memiliki sifat yang sangat polar sehingga memungkinkan dapat mengambil semua senyawa yang terkandung dalam sampel kita meskipun ada beberapa senyawa yang tidak dapat terambil. Proses ekstraksi dari semua sampel tumbuhan dilakukan secara seragam, baik ekstrak yang akan digunakan untuk uji flavanoid, saponin, tannin, tritrpenoid, dan steroid. Yaitu dengan menggunakan pelarut air dan dipanaskan selama 25 menit. Kemudian disaring sehingga bias kita pisahkan antara ekstrak dan residunya. Perbedaan proses ekstraksi dilakukan hanya pada ekstrak yang akan digunakan untuk uji alkaloid. Dalam hal ini, pelarutnya yang digunakan yaitu methanol. Berdasarkan prosedur yang ada, waktu pemanasan juga berfariasi untuk beberapa ekstrak yang akan digunakan pada setiap ujinya. Secara teoritis lama waktu pemanasan akan berpengaruh pada kadar atau kandungan senyawa tertentu yang terdapat pada ekstrak yang kita lakukan. Boleh jadi senyawa yang kita inginkan mengalami perubahan dan modifikasi akibat pemansan yang terlalu lama, atau boleh jadi senyawa yang kita inginkan belum terekstrak karena proses pemanasa yang kurang lama. Untuk uji alkaloid, dari ketiga herbal diatas menunjukan hasil yang negative. Pada uji ini, sampel yang telah dihaluskan diekstrak dengan menggunakan methanol dan dipanaskan selama 25 menit. Kemudian ditambahkan dengan reagen meyer dan setelah didiamkan selama sepuluh menit ternyata ketiga-tiganya tidak menunjukan adanya endapan. Hal ini menunjukan hasil negative untuk uji alkaloid pada ketiga herbal tersebut. Berdasar beberapa referensi yang saya dapatkan ketiga herbal tersebut memang tidak mengandung alkaloid untuk daerah lain.
Pengujian saponin dilakukan dengan cara mengocok ekstrak air yang didapat kemudian didiamkan selama sepuluh menit jika terdapat busa menunjukan uji positif untuk saponin. Jumlah kadar busa menunjukan kadar saponin yang ada pada ekstrak tersebut. Dari ketiga ekstrak tersebut yang menunjukan positif saponin adalah daun jambu biji dan daun seledri. Untuk daun seledri menurut dedewijaya (2007) mengandung saponin. Hal ini sesuai dengan hasil yang saya dapatkan yaitu positif satu untuk uji saponin. Sedangkan pada daun jambu biji, saya tidak menemukan literature yang mengatakan bahwa daun jambu biji mengandung saponin. Hal ini mungkin saja terjadi akibat pengaruh letak geografis Papua yang berbeda dengan daerah lain. Selain dari itu, kandungan saponin ini yang juga memberikan effect anti bakteri disamping taninnya. Itulah sebabnya daun jambu biji bias digunakan sebagai obat diare.
Ketiga herbal sampel ini menunjukan hasil yang positif untuk uji tannin. Warna yang ditunjukan adalah biru kehitaman. Urutan kadar tannin dari ketiga herbal dimulai dari positif 1,2 dan 3 adalah buah cabe, seledri, dan daun jambu biji. Kandungan tannin tertinggi terdapat pada daun jambu biji. Untuk daun jambu biji dari daerah lain juga mengandung tannin. Kandungan tannin ini yang menyebabkan daun jambu biji sangat aktif dalam mengobati diare. Kandungan tannin dari cabe, tidak ditemukan pada beberapa literatur yang lain.
Untuk uji flavanoid, pada praktikum ini dilakukan tiga uji yaitu menggunakan H2SO4, NaOH, dan HCl+Mg. penggunaan H2SO4 untuk uji flavanoid, akan memberikan warna merah jika ekstrak menagndung flavonoid. Sementara untuk NaOH kita akan mendapatkan warna kuning jika ekstrak mengandung falvonoid. Sedangkan untuk penggunaan HCl+Mg maka akan memberikan warna merah.
Penggunaan H2SO4 ketiga herbal tidak memberikan warna merah, hal ini berarti bahwa ketiga herbal tersebut tidak mengandung flavanoid. Sementara untuk NaOH, daun seledri menunjukan positif 3 sedangkan buah cabe menunjukan positif 1. Ketiga pereaksi memiliki
reaksi yang spesifik untuk jenis flavonoid tertentu. Jika ekstrak tidak menunjukan hasil positif pada salah satu pereaksi flavonoid, berarti jenis dari flavonoid yang terkandung dalam ekstrak tersebut tidak memberi efek pada pereaksi tersebut.
Kandungan flavonoid pada herbal seledri asal manokwari menunjukan hasil yang sama untuk daerah asal lain. Demikian juga dengn ekstrak daun jambu biji juga sama mengandung flavonoid.
Pengujian troterpenoid dan steroid merupakan satu kesatuan uji, hanya saja efek yang diberikan berbeda untuk triterpenoid dan steroid. Triterpenoid akan memberikan warna merah atau ungu sementara untuk steroid akan memberikan warna hijau. Dari ketiga ektsrak herbal, tidak menunjukan hasil positif, baik untuk triterpenoid, maupun steroid.
Susi indriani mengatakan bahwa ekstrak daun jambu biji mengandung steroid. Tetapi hasil saya menunjukan hasil negative. Hal ini bisa terjadi karena pengaruh pelarut yang digunakan yaitu air sehingga kurang bisa melarutkan senyawa steroid yang merupakan turunan dari lipid. Demikian halnya untuk ekstrak buah cabe, seharusnya dia mengandung steroid tetapi karena pelarutnya terlalu polar sehingga tidak dapat mengambil senyawa steroid yang bersifat non polar.Untuk kandungan triterpenoid, pada ketiga herbal tidak ditemukan literature yang mangatakan bahwa cabe, daun seledri, dan daun jambu biji mengandung triterpenoid.