Kumpulan Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim
-
Upload
aisyah-assegaf -
Category
Documents
-
view
149 -
download
8
Embed Size (px)
Transcript of Kumpulan Cerpen Ratna Indraswari Ibrahim

KUMPULAN CERPEN (KOMPAS)
RATNA INDRASWARI IBRAHIM
Delayed
Sebagai seorang perempuan, sekalipun berprofesi dokter, Nana menganggap minggu‐minggu ini
buat dia dan keluarga besarnya sangat menyedihkan! Tiga hari yang lampau, adik bungsunya sambil
menangis mengatakan, anaknya, Tantiana, positif hamil. Padahal, dia baru berusia 17 tahun, kelas
dua SMA dan hamilnya dengan teman sekelasnya, Alvin. Adiknya berkata, “Datanglah bersama Dara,
kalian berdua kan dokter. Aku lebih suka menggugurkan anak Tantiana daripada menikahkannya!”
Nana mengembuskan nafasnya. Dua minggu yang lampau anak bungsunya, Aditya (25 tahun),
menikah! Mendahului anak sulungnya, Dara, yang minggu kemarin merayakan ulang tahun ke‐30.
Mereka bertemu di bandara ini dan seorang perempuan mengumumkan dengan suaranya yang seksi
bahwa pesawat yang akan mereka tumpangi delayed selama sejam. Seperti dua sahabat, Nana dan
Dara keluar dari kerumunan orang yang mengamuk. Mereka mencari sebuah restoran, memesan jus
jeruk dan beberapa makanan kecil.
“Ma, saya sedang berpikir untuk mengadopsi anak Tantiana setelah dia melahirkan. Setelah itu,
Tantiana bisa balik sekolah dan meneruskan kehidupan remajanya.”
Nana mengatupkan bibirnya, “Apakah kau sudah merundingkan hal itu dengan Rizal?”
“Ma, Rizal kan cuma teman. Jadi, setiap keputusan hanya ada pada saya.”
Nana terenyak. Sesungguhnya, dia menyayangi Rizal dan berharap suatu kali dia bisa berkata kepada
adik almarhum suaminya, “Dik, mudah‐mudahan volume pekerjaan panjenengan bulan ini tidak
padat sehingga panjenengan bisa menikahkan anak kita dengan Rizal!”
Kedua perempuan ini bersitatap.
“Ma, saya sepertinya sudah dapat firasat. Beberapa hari yang lampau, waktu ke toko buku, saya
membeli buku nama‐nama calon bayi.”
Nana merasa terkunci. Sebelum terjawab, adik bungsunya menelepon HP‐nya, “Mbak, sampeyan
kok belum datang, jam berapa datangnya? Dari tadi, Tantiana menangis terus. Sudah beberapa hari
ini dia tidak mau makan.”
Nana melihat Dara. “Tante dan Om‐mu, sekarang ada di rumah sakit. Tantiana mencoba bunuh diri
dengan menyilet pergelangan nadinya. Mungkin anak itu harus kita konsultasikan ke psikiater.”
Dara yang sedang belajar menjadi psikiater mengangguk‐anggukkan kepala. Nana meneruskan
omongannya, “Kalau tahu begini, lebih baik kita naik kereta saja. Aku bosan menunggu!”

Dara tersenyum, tapi kemudian Nana berpikir, barangkali ini karunia yang tersembunyi (blessing in
disguise). Kendati mereka masih tinggal serumah, jarang bisa ngobrol. Apalagi, Nana pada usianya ini
tidur lebih cepat, sedangkan Dara mungkin sedang sibuk di rumah sakit atau sedang makan‐makan
bersama temannya. Rasanya mereka memang dua perempuan yang beda dalam menjalani
kehidupan sosialnya. Sekalipun Nana merasa, berapa pun umur Dara, dia tetap mamanya! Atau
apakah Dara menjadi miliknya hanya kala dia gadis kecil yang belum pandai memasang pita
rambutnya dan merengek‐rengek untuk meminta sesuatu. Apakah yang dihadapannya ini cuma
teman seprofesi yang kebetulan serumah? Dan, sebetulnya mereka dua jagat yang berbeda dan
tidak pernah bisa bertemu.
Sesungguhnya, sekarang mereka sama‐sama punya waktu luang dan duduk semeja. Nana
seharusnya berkata begini, “Waktu kau beranjak remaja, aku dan ayahmu sudah sering bersitegang
karena banyaknya tamu laki‐laki yang datang ke rumah kita. Tapi, kemudian kami heran juga, kau
tidak peduli pada mereka. Padahal, banyak temanmu yang sudah mulai pacaran. Kami tidak
merisaukan hal itu, kau lagi ingin serius dan sendiri saja. Itu berlanjut sampai kau menjadi
mahasiswa. Mulai sejak itu, aku diliputi perasaan gelisah. Apalagi, kau kelihatannya hanya serius
dengan pelajaranmu. Teman‐temanmu di Fakultas Kedokteran juga serius. Tapi, mereka sekurang‐
kurangnya pernah membicarakan lelaki atau jalan bareng. Kau kelihatannya cuma akrab dengan
Didit (sahabat sejak SMA). Padahal, sejak lulus SMA, Didit tidak meneruskan sekolahnya. Dia
menikah dan memiliki dua anak yang kau cintai.”
Dara memutuskan lamunannya, “Ma, beri aku dukungan untuk meyakinkan Tante agar anak
Tantiana bisa saya adopsi.”
“Aku berharap cucu darimu dan anak Tantiana menjadi anak sulung dari anak‐anakmu.”
Dara tidak menjawab dan Nana merasa harus mengatakan hal ini.
“Setelah Aditya menikah, aku berharap di tahun baru menurut kalender Jawa kau menikah dengan
siapa yang kau suka. Dokter Rizal juga lelaki yang baik. Sekalipun, dia lebih muda dua tahun darimu.
Siapa pun tahu, dia menyukaimu. Aku dan ayahmu pernah membayangkan kau akan menikah pada
usia 25 tahun. Yang terjadi di luar mimpi kami, adikmu yang menikah pada usia itu!”
“Maaf, saya waktu itu cuma berpura‐pura tidak tahu kalau Mama dan keluarga besar kita sedih
sekali. Bisik‐bisik di luar tentang saya memang buruk. Pastinya mereka menganggap saya perempuan
yang berat jodoh. Padahal, di cermin saya tahu tidak jelek‐jelek amat. Mereka juga menuduh saya
punya kelainan psikologis.”
“Dara, aku kepingin jujur kepadamu, apa pun pendapat masyarakat, kata kuncinya cuma satu, kau
menikah.”
Dara, memegang tangan mamanya.
“Ma, saya tidak bisa janjikan itu.” Mereka saling melihat. Dara tahu dia tidak bisa mengatakan ini,
tetangga sebelah rumah (15 tahun) mengajaknya bersibadan ketika dia baru saja berusia 13 tahun.
Dia merasa jijik! Namun, pada persekian menit, dia menikmati apa yang awalnya dipaksakan
kepadanya. Tapi setelah dewasa, ketika mencoba bercinta dengan Rizal, dia merasa tidak lebih
seperti boneka seks.

Sampai hari ini, dia tak berhasil, Rizal sudah membantunya dan barangkali Rizal sudah mulai jenuh.
Padahal, mereka sepakat menerapi problem trauma dari Dara. Jadi, ini bukan sekadar erotis! Di
antara dua kekasih. Sesungguhnya untuk melakukan hal ini, banyak hal yang dipikirkan, dibicarakan
oleh mereka berdua. Karena, hubungan Rizal dan Dara bukan sekadar dokter dengan pasien, tapi
dua orang yang sangat dekat. Dara tidak mau terapi ini jatuh pada erotisme saja, tapi betul‐betul
sebuah empirisme yang harus dia lakukan. Rizal, seperti semua dokter, harus berempati saja.
Sesungguhnya, mereka merasa menggampangkan jika mencari solusinya dengan kawin siri. Lantas,
terapi ini tidak berkelanjutan.
Sehingga Rizal berkata, “Sebagai seorang dokter, kau harusnya sudah tahu bahwa butuh kemauan
keras darimu untuk sembuh.”
Dara merasa tak berdaya. Semuanya memang harus diselesaikan. Semuanya berpulang pada dirinya
sendiri. Dia tidak pernah ingin membicarakan ini dengan mama, sekalipun mamanya juga dokter.
Pastinya, akan sulit bagi mama untuk menerima berita ini karena dia bukan hanya seorang pasien
saja di mata mama. Sebagai seorang dokter, memang yang harus dilakukan oleh mamanya adalah
berempati, bukan bersimpati. Itu yang sering diucapkan Rizal ketika dia merasa tidak bisa
melanjutkan terapi ini.
Kali ini mama yang memotong pikirannya, “Dara, kok dari tadi diam saja? Tanyakan ke bagian
informasi.”
“Mama kan tahu, kalau sudah begini, karyawan penerbangan itu pasti tidak ada di tempat.”
Kemudian ada dering telepon lagi, adik bungsunya menangis di telepon dan mengatakan begini,
“Tantiana menangis terus dan menjerit‐jerit.”
“Dik panggillah dokter, pesawatku delayed. Jadi tidak bisa ditunggu jam berapa kami sampai. Tapi,
kami pasti datang dan langsung ke rumah sakit.”
Dara berbicara lagi, “Ma, saya sebetulnya ingin bercerita banyak sekali, tapi tidak tahu saya harus
mulai dari mana?” Kedua perempuan itu saling melihat, mata mereka seperti sebuah lorong yang
gelap dan jauh sekali.
Nana memegang tangan anak perempuannya. “Saya kira kau bisa menyimpannya untuk dirimu
sendiri. Sekalipun, aku sudah siap untuk semua yang terburuk, kalau kau mau cerita.”
“Ma, saya kira saya tidak usah bercerita panjang karena tetangga sebelah rumah sudah
merusaknya.” Kedua perempuan itu saling berpegangan erat dan mencoba tersenyum, untuk
menguatkan satu dengan lainnya.
“Sayang, aku tak akan pernah bertanya lagi. Percayalah, aku sudah mencurigai hal itu sejak lama.
Aku cuma ingin cerita itu bukan sebenar‐benarnya, jadi di mataku kau tetap seorang gadis… Nduk,
apakah kau sudah melakukan terapinya dan belum berhasil?”
Kali ini, Dara yang menyandarkan diri di bahu mamanya. Tidak ada air mata, tetapi terasa ada
pengertian yang lebih baik di antara kedua perempuan itu.

Di luar dugaan, Tantiana sedikit tenang, ketika Nana berkata, “Kamu boleh ikut Budhe Nana atau
Mbak Dara. Setelah anakmu lahir, kau harus sekolah lagi dan pulang ke Malang. Sedangkan anakmu,
biarlah jadi anaknya Mbak Dara. Kami tidak menganggap itu dosa yang tidak bisa diperbaiki.”
Tantiana menangis.
Beberapa bulan kemudian, lahir anak Tantiana. Enam bulan setelah kelahiran anak Tantiana, dia
pulang ke Malang untuk meneruskan sekolah.
Dan, ketika anak Tantiana berusia satu tahun, Dara merayakan bersama anak teman‐temannya,
dihadiri Rizal dan mamanya, “Zal, aku kepingin anakku ini punya dua adik. Lantas siapa ya yang mau
jadi bapaknya?”
Rizal menggandeng Dara ke ruangan lain.
“Apakah sudah siap memulai lagi dengan pernikahan?”
“Zal, saya kira ada kalimat Jawa tentang suami‐istri. Yaitu garwo (sigare nyawa). Bahasa simbol itu
artinya, belahan hati suami dan istri. Jadi, aku memaknainya lebih jauh, bersibadan itu artinya dua
jiwa lebur jadi satu. Kalau tidak, yang ada cuma luka dan kesakitan. Aku yakin kau bisa memahami
itu, jadi kita bisa membagi, kapan menjadi dokter dan pasien dan kapan menjadi suami‐istri.”
Tiba‐tiba ada perasaan lelah ketika Dara selesai membicarakan itu dengan Rizal.
Rizal tersenyum dan memeluknya, “Aku akan belajar kapan aku jadi suamimu dan kapan aku jadi
doktermu. Karena untuk kesembuhan ini, butuh proses yang panjang. Bantulah aku!”
Rizal dan Dara bersitatap.
Ketika memasuki ruangan ini, Nana memeluk Dara.
“Aku akan menjadi nenek dari lima cucu, tiga darimu dan dua dari Aditya.”
Lantas, senyum ada di antara Dara, Rizal, Nana, dan melebar di ruangan ini.
Teman‐teman anaknya berteriak‐teriak, “Dik, cepat tiup lilinnya dan potong kuenya!”
Malang, 10 Juni 2008

Bersama Kupu‐kupu, Nuke Terbang
Apa pun jenis kupu‐kupu, siklus kehidupannya seperti ini: telur, ulat, kepompong dan akhirnya
bermetamorfosa, menjadi kupu‐kupu! Meski banyak orang jijik melihat ulat, tapi mereka menyukai
kupu‐kupu.
Nuke ingin mendirikan home stay, setelah merasa jenuh bekerja selama hampir 15 tahun di
perusahaan asing. Di meja makan ini, Nuke bilang kepada suami, anak‐anak dan semua handai
taulan, “Rumah peninggalan Mami ini akan kubuat home stay saja. Dengan begitu, aku bisa tetap
bekerja dan sekaligus mengawasi anak‐anak.”
Semua mengangguk‐angguk. Memang rumah tua ini cocok untuk home stay, karena halamannya
luas dan asri (rumah semodel ini sudah jarang ada di kota Malang). Dari studi banding yang
dilakukannya di beberapa home stay yang semodel dengan rumahnya, sekarang punya daya tarik
tersendiri bagi wisatawan mancanegara dari negeri Belanda yang ingin melihat bangunan di zaman
Hindia–Belanda yang digarap oleh Thomas Krasen pada tahun 1914.
Namun, setelah berminggu‐minggu, dibukanya home stay ini tak ada seorang pun tamu yang
menginap di home stay itu.
Padahal, dia sudah mengiklankan di koran lokal, internet, dan radio‐radio swasta. Apa yang menjadi
keistimewaan dari home stay ini, yaitu suasana Hindia‐Belanda tampak terpancar di setiap sudut
rumah ini.
Suatu malam, ketika duduk sendirian di teras, dengan perasaan senyap, tiba‐tiba Nuke teringat
ucapan almarhum Mami, “Hari ini ada banyak sekali kupu‐kupu di halaman kita. Pertanda akan
banyak tamu ke rumah. Bisa jadi saudaraku atau saudara Papimu akan datang.”
Kemudian secara bergegas, Mami menanak nasi lebih banyak dari biasanya dan menyuruhnya (pada
waktu itu dia sudah berusia 12 tahun dan duduk di kelas satu SMP), ke warung sebelah untuk
membeli telor, tempe, minyak, lombok. Dan Mami selalu bilang, “Kalau saudara‐saudara kita datang,
mereka kan dari luar kota, kita harus menjamu mereka dengan makanan. Namun, hari ini aku malas
ke pasar, lauknya ditambahi telor yang dilomboki saja.”
Waktu itu, dia merasa Mami bahagia sekali…. Konon, ketika dia berusia delapan tahun, Papi pergi,
tak pernah kembali! Menurut Mami, Papi‐nya menderita amnesia. Bisa jadi tidak tahu jalan pulang
ke rumah atau Papi sudah meninggal! Masih menurut Mami, Papi kadang‐kadang datang dalam
bentuk lain, menjadi kupu‐kupu dan mengisyaratkan cintanya pada dia dan Mami. Mami juga
bercerita, kalau ada sepasang kupu‐kupu, mereka dahulunya adalah sepasang kekasih. Ketika Nuke
menanyakan, “Apakah Mami dan Papi akan menjadi sepasang kupu‐kupu?”
“Nduk, sekalipun pada waktu itu, kami sudah menikah selama 10 tahun, tetap seperti sepasang
kekasih. Bisa jadi, aku dan Papimu akan menjadi sepasang kupu‐kupu, atau mungkin juga tidak. Yang
penting hari ini, aku harus bekerja keras, agar kau bisa sekolah dengan nyaman.”
Waktu itu, dia merasa kecewa, terpikirkan olehnya, Mami tidak pernah memiliki cinta itu lagi. Dia
selalu ingat ucapan Mami itu. Namun, dia berpikir apakah dengan isyarat kupu‐kupu itu, para tamu

akan berdatangan ke home stay‐nya, seperti ketika dia masih kecil. Yah di halaman rumahnya
hampir tidak ada kupu‐kupu lagi yang beterbangan seperti di masa kecilnya! Banyak orang bilang, itu
karena polusi udara atau mungkin Mami dan Papi‐nya merasa tidak perlu datang lagi untuk
mengirim cintanya, karena dia sangat mencintai suami dan anak‐anaknya.
Dia menceritakan itu di meja makan kepada anak‐anak dan suaminya. “Ma, kalau begitu kita harus
mendatangkan kupu‐kupu di kebun kita, agar kupu‐kupu itu berdatangan lagi bersama cinta Kakek
dan Nenek dan para tamu home stay. Coba saya carikan di internet, bagaimana mendatangkan
kupu‐kupu di kebun kita.”
Kemudian, Nuke membaca dari internet, bagaimana caranya membudidayakan kupu‐kupu. Kamu
dapat mendatangkan kupu‐kupu di kebunmu dengan umpan, makanan, tumbuhan (tumbuhan dan
bunga), air, perlindungan dan tempat untuk meletakkan telur. Kupu‐kupu itu akan mengisap sari pati
madu dari bunga, kemudian setelah bertelur akan menjadi ulat yang sangat rakus memakan daun‐
daunan. Dan ulat‐ulat itu menjadi kepompong, kemudian menjadi kupu‐kupu. Yang betina akan
betah bertelur di kebunmu.
Nuke mencoba mengikuti apa yang tertera dalam tulisan itu, melakukan hal‐hal yang disarankan.
Tiba‐tiba Nuke ingat masa kecilnya, kala bermain‐main di halaman rumahnya ini, sendirian saja.
Karena merasa harus pergi jauh. Ketika Mami memarahinya atas kesalahan yang sampai sekarang
tidak pernah dimengertinya. Ada kupu‐kupu bagus hinggap di pundaknya, Nuke merasa yang datang
itu Papi‐nya yang sedang menghibur dirinya. Melihat kupu‐kupu itu, sering sekali dia memimpikan
terbang dan bersayap seperti kupu‐kupu. Di kerajaan kupu‐kupu, dia bertemu lagi dengan Papi yang
dirasanya waktu itu bisa melindunginya dari kemarahan Mami. Papi mengajarkan kepadanya
bagaimana memberi dan menerima isyarat cinta itu. “Kalau kau sudah dewasa, jadilah orang yang
bisa mencintai. Yah, seperti sepasang kupu‐kupu yang berputar‐putar di halaman ini.”
Sesungguhnya, baru sekarang dia tahu bahwa kupu‐kupu itu berimigrasi jauh sekali. Dari satu benua
ke benua yang lain. Jenis luar biasa ini (kupu‐kupu raja) hidup di Kanada bagian selatan. Mereka bisa
berimigrasi ke California atau lebih ke selatan lagi yaitu Meksiko. Semua kupu‐kupu jenis raja ini
bertemu satu sama lain di sepanjang perjalanan. Mereka tidak memulai perjalanan dalam
sembarang hari. Tapi pada satu hari tertentu di musim gugur, yaitu ketika siang dan malam memiliki
panjang waktu yang sama.
Setelah membaca artikel ini, keinginannya agar kupu‐kupu berdatangan semakin lebar. Karena
setiap kali dia bermimpi dia bisa pergi terbang jauh, bersama kedua orangtuanya.
Nuke kemudian menanam bunga‐bunga yang di rasanya penuh madu, agar kupu‐kupu itu segera
berdatangan dan betah di kebunnya.
Hari‐hari selanjutnya, home stay Nuke tidak juga didatangi oleh seorang tamu pun dan bahkan tidak
juga oleh kupu‐kupu. Padahal, kalau dibanding dengan home stay lain, tempatnya tidak kalah
menarik. Rumah tuanya, menjadi sangat artistik dengan ditata sana‐sini, persis seperti zaman
kolonial Belanda.
Suaminya mengusulkan untuk membuat iklan di mana‐mana lagi. Dan Nuke punya ide untuk
menangkar kupu‐kupu saja di halaman rumahnya. Dia mendapat sepasang kupu‐kupu yang menurut
penjualnya, adalah jantan dan betina. Dia ingin mengawinkan kupu‐kupu itu. Ketika itu juga

dibacanya dengan penuh semangat pendapat ahli biologi di universitas Buffalo (AS). Kupu‐kupu
betina lebih memilih pasangan kawinnya yang memiliki pupil atau titik putih pada sayapnya.
Sebaliknya, bentuk ornamen sayap, warna dan ukurannya tidak terlalu dipedulikan oleh kupu‐kupu
betina.
Nuke, menaruh kedua kupu‐kupu itu di sangkar, tapi kelihatan kedua kupu‐kupu itu tidak melakukan
apa pun. Sehingga, Nuke memutuskan untuk membuka sangkar itu dan membiarkan mereka secara
alamiah saja, meletakkan kedua kupu‐kupu itu pada bunga yang di rasanya penuh sari pati madu.
Berhari‐hari kedua kupu‐kupu itu masih berada di sana, pada hari ketiga pagi ini, dia melihat kedua
ekor kupu‐kupu itu tiba‐tiba sudah terbang tinggi di atas kepala Nuke, terbangnya jauh sekali
meninggalkan Nuke, rumah dan kebun ini. Untuk sesaat, Nuke merasa sedih dan suaminya bilang
begini, “Kau tahu yang memberi rezeki itu Tuhan, bukan kupu‐kupu. Jika kau suka pada kupu‐kupu
terserahlah, untuk menghilangkan stres agar kau tidak memarahi aku dan anak‐anak.”
“Apakah, aku harus balik kerja? Perusahaan itu masih memberikan peluang padaku, karena mereka
tidak cocok dengan penggantiku yang baru.”
“Kau kan sudah setengah jalan mengapa harus mundur, itu bukan watak seorang Nuke. Kau sendiri
bilang, Mamimu mulai dengan sebuah toko kecil di rumah, sebelum ada toko lain di pusat kota. Dan
kamu kan sudah berniat menjadikan kebun ini menjadi rumah bagi kupu‐kupu.”
Nuke kembali membaca beberapa artikel yang didapatnya dari browsing. Sekali lagi, dibacanya
bagaimana beternak kupu‐kupu di kebunnya. Dia merasa sudah melakukan petunjuk‐petunjuk yang
ada dalam artikel tersebut. Namun, belum juga tampak hasilnya.
Kemudian Nuke merasa memiliki ide yang cemerlang lagi. Kalau belum juga kupu‐kupu datang di
kebunnya, dia ingin menghiasi kebunnya dengan kupu‐kupu buatan. Oleh karena itu, dia meminta
tolong temannya yang perajin kayu, untuk membuatkan kupu‐kupu dari kayu. Nuke memberi contoh
dari 150.000 jenis kupu‐kupu, hanya yang pernah dilihatnya, di kebun waktu masa kecilnya, itu saja
yang ingin dibuat tiruannya. Di mana kupu‐kupu itu, pasti Papi dan Maminya yang mencintainya dan
datang hanya untuk mengucapkan perasaan cintanya.
Perajin itu membuat beraneka spesies kupu‐kupu dengan sangat memuaskan Nuke. Pagi itu juga dia
memasang seluruh kupu‐kupu dari kayu di halaman home stay‐nya. Suami dan anak‐anaknya
menganggap kupu‐kupu buatan itu, kalau dari jauh sangat mirip dengan yang asli.
Besoknya ada tamu pertama yang datang. Tamu itu sekeluarga dengan dua anak laki‐laki yang
mungkin masih duduk di sekolah dasar. Kegembiraan Nuke menjadi lenyap, ketika dia tahu setelah
tamu itu pulang. Kupu‐kupu buatan itu hampir semuanya rusak karena ulah kedua anak tamu itu.
Nuke kemudian meminta kepada perajin kayu untuk membuatkan lagi kupu‐kupu kayu yang sudah
dirusak oleh anak‐anak tamu itu. Menurut perajin itu, bahan baku kayu semakin sulit, sehingga tidak
bisa memenuhi permintaan Nuke secepatnya.
Dengan kesal, Nuke mencoba mencari kupu‐kupu yang masih utuh. Dari sekian puluh kupu‐kupu itu,
Nuke hanya menemukan sepuluh kupu‐kupu yang masih utuh. Dengan sedih ia menaruh kupu‐kupu
itu di setiap sudut rumahnya. Namun setelah itu, ia melupakan ide‐idenya tentang kupu‐kupu itu.

Karena, tiba‐tiba tamunya begitu banyak. Dan suaminya bilang, “Nuk, ini bukan karena kupu‐kupu,
rezeki ini dari Tuhan.”
Nuke, mengangguk‐anggukkan kepala, dia merasa menjadi sesuatu lagi, ketika kamar‐kamar home
stay‐nya dipenuhi banyak tamu. Kali ini, dia merasa harus memeriksa kebun‐kebunnya yang sudah
dipenuhi lagi oleh kupu‐kupu buatan perajin itu.
Nuke tercengang, pagi ini dia merasa orang yang paling bahagia. Di seputar pohonnya, banyak sekali
kepompong yang bergantungan dengan sebuah tali.
Kupu‐kupu yang berwarna‐warni itu, beterbangan di kebunnya dan ketika isyarat cinta itu datang
lewat kupu‐kupu, Nuke sedang sibuk melayani tamu‐tamunya!
Malang, 25 Juli 2007

Tina Diam Saja
Perempuan remaja ini sedang berdiri di muka Dita (sang psikiater). Keterangan yang dibaca oleh
Dita, ”Gadis ini tidak bisa ngomong. Padahal, menurut dokter neurolog, tidak ada yang salah dalam
diri gadis ini.”
Perempuan remaja ini, tidak berbicara, tidak ingin bicara!
Dita yang mulai berbicara, ”Tina, aku mendengar dari Mamamu, kau tidak bisa bicara atau tidak
mampu berbicara. Kalau kau mau, bisa curhat kepadaku. Apa yang jadi masalahmu sayang?”
Perempuan muda itu, sekali lagi cuma diam, diam saja.
Ini pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Dita merasa lega, Tina tidak mencanangkan
permusuhan terhadap dirinya. Hal ini akan memudahkan Dita untuk menganalisa dan membuat
diagnosis.
Dita menghela nafasnya. Dia capek sekali, pekerjaannya tidak semudah yang dia pikirkan. Ada
banyak kasus yang sangat pelik, sehingga penyelesaiannya tidak selalu bisa tuntas. Untungnya, Bram
selalu bisa memberinya semangat saat dia merasa capek dan tidak paham, apakah analisanya benar
atau tidak?
Dita kemudian memencet nomor HP suaminya dan mengirim SMS sangat singkat!
”Sori, siang ini aku tidak bisa makan siang bersamamu, ada banyak kasus yang harus aku tuntaskan
hari ini juga.”
Pada jam ini, Bram, yang adik suaminya itu, meneleponnya. ”Kasus Tina membuat kamu
bersemangat menggali ilmumu lebih dalam, mengapa gadis remaja itu ingin mengundurkan diri dari
dunia ini, dengan membisu?”
”Aku menelepon wali kelasnya, yang menyatakan selama ini Tina perempuan yang baik, punya
kemampuan berbahasa yang baik. Wali muridnya menyangka, Tina akan bisa menyelesaikan S1
bahasa dengan baik, sekalipun Tina bukan seorang gadis yang pandai bergaul. Masih menurut wali
muridnya kedua orangtua Tina kelihatan cukup memerhatikan anaknya itu!”
”Sudah kuduga, sebuah kasus yang menarik bukan?” kata Bram menutup teleponnya.
Setelah bertemu beberapa kali, Dita berhasil membujuk Tina menceritakan sesuatu lewat tulisan.
Tulisan itu terbaca demikian, ”Waktu umurku baru menginjak tujuh tahun, aku melihat Mama
dicium oleh Om (Adik Papa) dan Mama berkata kepadaku, ’Ini bukan kejahatan, hanyalah rasa kasih
antara kakak dan adik, kau harus percaya itu! Sekarang katakan terima kasih kepada Om, dia tadi
membelikan boneka, yang sudah lama kau inginkan.’ Aku mengangguk dengan cepat, bukan karena
apa‐apa, aku kepingin pipis, takut melihat kemarahan di mata Mama.”
Dita berkata sungguh‐sungguh, ”Sayang, ini sangat menyakitkan perasaanmu kan? Tapi solusi yang
terbaik, keluar dari masalah ini. Menjadi ahli bahasa yang sangat hebat di masa depan, seperti yang
kau pernah ceritakan kepada gurumu bahwa bahasa Indonesia bisa kehilangan akarnya. Sebuah

analisis yang sangat luar biasa dari seorang pelajar SMA, padahal aku sendiri setiap hari baca koran
tidak pernah kulihat yang akan punah dari bahasa kita.”
Tina, meneruskan tulisannya.
Tiga bulan yang lampau, orangtuaku merayakan ulang tahunku yang ke tujuh belas dengan sangat
istimewa, aku seperti Cinderella yang tanpa kehilangan sepatu kaca (sekalipun kadang‐kadang
kubayangkan enak juga kalau sepatuku ketinggalan dan ditemukan oleh seorang Pangeran). Setelah
pesta yang luar biasa itu, aku tertidur dengan nyenyak! Aku terbangun dari tidur nyenyakku dan
kulihat Mama mencium Om!
Kukatakan kepadanya, ”Mama, apakah ini kasih sayang antara kakak dan adik?”
Mama melihatku dengan tatapan kebencian di matanya, aku merasa dia memang tidak pernah
menyayangiku. Bisa jadi karena aku dianggap lancang. Aku pastikan, kakakku, Windy, tahu hal itu,
tapi diam saja.
Dita memegang tangan Tina dan berkata, ”Ini masalah mereka, karena tidak mungkin bisa diperbaiki
lagi, yang penting belajarlah dari masalah ini. Dengarlah, sayang, di zaman ini akan sangat sulit
mencari ibu yang seperti malaikat, apalagi Mamamu punya pergaulan yang luas dan kita tidak tahu
pasti apakah dia bahagia dalam perkawinannya, sekalipun Papa menurut kamu orang yang baik
sekali? Seharusnya yang kamu lakukan terapi agar bisa ngomong lagi dan jadilah perempuan muda
yang bahagia dan penuh cita‐cita.”
Seandainya kau Mamaku, tulis Tina. Dita tersenyum gelisah, ”Anak perempuanku memang tidak
akan pernah sepaham denganku, tapi kami saling menyayangi.”
”Tina, tetaplah melakukan terapi bicara, dokter neurolog menganggap kau bisa melakukan hal itu
sebaik dulu.”
Tina menuliskan di atas kertas yang dibaca oleh Dita.
”Dokter Dita, saya sejak lama ingin sekali bisa bicara lagi, dan saya kepingin menyanyi atau membaca
puisi untuk anak‐anak yang ditelantarkan oleh orangtuanya, di seantero dunia ini.”
”Kamu pasti bisa, karena saya yakin kamu tidak akan menghancurkan dirimu sendiri. O ya, kalau
pusingmu semakin bertambah, katakan kepadaku ya….” Kemudian setelah Tina pergi dari ruangan
ini, Dita menelepon, Bram‐nya.
”Kau tahu kasus yang sangat klasik, perselingkuhan di antara orangtuanya.”
Bram menyambar cepat, ”Kita saling membutuhkan, aku tidak tahu, apakah itu cinta, suamimu yang
kakakku itu, pasti tidak akan bisa mendefinisikan arti cinta itu.”
Dita tertawa dan sebetulnya banyak kasus yang sedang ditanganinya. Buat Dita, kasus Tina sangat
istimewa, dia sepertinya menemukan kembali keingintahuannya yang lebar tentang manusia.
Sehingga ketika orangtuanya menganjurkan memilih fakultas teknik, dia lebih merasa pas di fakultas
kedokteran, hal ini pernah diceritakan kepada Bram berulang‐ulang. ”Aku merasa, dengan menjadi
psikiater, memasuki laboratorium yang besar, yaitu manusia! Sekalipun orangtuaku menganggap aku

lebih cocok meneruskan cita‐citaku di masa kecil, menjadi ahli kimia yang terkenal itu, yang aku tidak
bisa dengan tepat menyebut namanya.”
Bram mendengarkan ceritanya, yang sudah diulang‐ulang beberapa kali, tanpa mengedipkan
matanya. Sungguh, ia tidak ingin membandingkan Bram dengan, ”Papa dari anaknya”.
Barangkali perasaan sayang mereka muncul dari sini. Pada suatu senja, setelah sekian kali bertemu
dengan adik iparnya itu, Dita merasa nyaman ngobrol dengan Bram. Kemudian, apakah dia tidak
menyukai suaminya? Rasanya tidak! Dia tetap menghormati suami sebagai kepala keluarga, yang
menyayanginya.
Hari ini, Tina datang lagi, ”Sayang, aku akan bahagia kalau kamu mau terapi bicara. Mas Ledret
telaten sekali lo kalau terapi orang, ha‐ha‐ha‐ha, siapa bilang bujangan muda itu tidak cakep!”
Tina melihatnya.
”Jadi, ini diary‐mu yang boleh aku baca? Tentu saja aku akan merasa menjadi orang yang paling
pinter sejagat kalau kamu mau percaya kepadaku dan mau ngomong lagi.”
Dear, dokter Dita yang baik.
Ketika dokter menganjurkan aku untuk menulis pengalamanku ini, setiap selesai tulisan, kurobek‐
robek, terus aku ingin sekali bunuh diri. Aku merasa jijik kepada Mama dan Papa yang telah
melahirkan aku dan terkutuklah mereka karena tak bisa aku ceritakan ini kepada Eyang, Bude,
sahabat‐sahabatku, juga pada pacarku. Aku merasa kalau bercerita hal itu lebih memalukan daripada
aku kepergok dalam keadaan telanjang di mukanya. Sebab, aku tahu di dalam tubuhku ada sebuah
keindahan. Tapi kalau aku menceritakan hal yang sebenar‐benarnya dari aib keluargaku, aku seperti
sudah menebarkan bau busuk, sehingga mereka harus menutup hidungnya. Yaa Tuhan, aku seperti
anak pelacur di jalanan! Aku sudah merencanakan bunuh diri, namun Eyang bilang, malam itu ingin
tidur di kamarku. Aku dulu senang, kalau Eyang tidur di kamarku. Ini berarti sangat spesial, ada
dongeng, kue kesukaanku, dan uang jajan yang diselipkan agar kakak tidak tahu. Kecurangan ini kami
nikmati dengan tertawa bersama.
Kemudian surat ini tidak dilanjutkan dan Dita berkata, ”Ayolah, hari ini kau pasienku yang terakhir,
anakku sedang bersama neneknya. Aku kepingin mengajakmu makan. Kau suka makan di mana?”
Tina tersenyum dan Dita tahu ajakannya disambut dengan riang sekali. Di restoran ini Tina tidak
begitu lahap, namun dia menulis untuk Dita (dia menulis di atas kertas tisu restoran ini).
Dokter Dita yang baik.
Aku senang sekali Dokter mengajakku makan di sini, aku tiba‐tiba merasa iri terhadap anakmu, pasti
sangat bahagiaaaaaaa sekali. Tolong, tolonglah aku.
Dita memeluk Tina.
Sore ini mereka merasa sangat bahagia, kebahagiaan itu membuat suaminya tercengang.
”Kau habis dapat undian kah?”

Dita masuk ke kamarnya dan merasa tidak perlu untuk menceritakan hal ini kepada suaminya.
Menyimpan kebahagiaannya itu untuk diceritakan kepada Bram kalau besok mereka makan siang
bersama.
Sesungguhnya, seperti semua dokter, dia seharusnya cuma berempati kepada pasien. Tapi entahlah,
untuk Tina? Dia sudah tidak bisa membatasi dirinya lagi, sepertinya larut. Padahal, pada kasus‐kasus
lainnya, bahkan kasus seorang laki‐laki yang berkali‐kali ingin bunuh diri, dia menanganinya seperti
kebanyakan dokter yang lain, ilmiah, netral, dan bisa jadi sangat dingin.
Hal ini dibicarakannya dengan Bram, dan Bram berkata, ”Rasa sayang itu, tanpa rencana dan pagar,
seperti rasa sayang di antara kita.”
Dita menganggap omongan Bram benar sekali. Oleh karena itu, Dita mencari orang‐orang yang
mencintai Tina. Orangtuanya, Eyang, sahabat‐sahabatnya, bahkan pacar Tina. Wawancara
dilakukannya secara maraton, hampir seharian penuh! Karena, dia merasa harus menuntaskan
tugasnya sebelum seminar yang akan datang. Hasil wawancaranya menunjukkan bahwa Tina adalah
perempuan pendiam, sulit bergaul, bisa jadi benar‐benar tidak punya sahabat karib.
Tina menulis lagi.
Dokter Dita yang baik.
Apa yang saya pikirkan tentang masa kecil saya, rasanya sangat menyakitkan. Ketika saya main ke
rumah seorang teman, sampai senja hari, sebagai hukuman Mama memasukkan saya ke gudang.
Tidak seorang pun yang menolong, sampai Om membukakan pintu gudang itu, dan aku benci!
Sampai hari ini aku tidak akan pernah membayangkan diriku yang terkurung di menara dan ditolong
oleh seorang lelaki (kak Windy selalu membayangkan hal itu). Sebab, kalau kukhayalkan hal itu, tiba‐
tiba laki‐laki itu berubah seperti wajah Omku! Aku jijik! Aku pikir kalau aku boleh memilih ibu, aku
kepingin memilih seorang perempuan sederhana yang selalu menjaga kesuciannya agar aku bangga
menjadi anaknya. Tapi terasa tidak adil, orangtuaku bekerja keras karena ingin menyekolahkan aku
dan Kak Windy ke mancanegara. Mama bilang, ”Dengan sekolah ke mancanegara, kalian akan
terseleksi dari ribuan penganggur muda di negeri ini.”
Aku tidak merasa lagi cita‐cita Mama mulia, karena aku benci perselingkuhan itu. Sebetulnya,
ketidakinginanku ngomong hanya untuk menyakiti Mama. Tapi, keterusan hingga lidahku jadi kelu
dan telingaku tidak mendengar apa‐apa lagi. Padahal, aku suka sekali pada musik, kalau kulihat
koleksi kaset, DVD dan CD‐ku yang berhamburan di kamar, aku merasa sangat tersakiti. Dulu aku
sangat rajin mengoleksi musik apa pun dan mencampurkan musik yang satu dengan musik yang lain,
sehingga menjadi musik yang baru.
Dokter, tolong, tolonglah aku. Apakah tidak sebaiknya aku bunuh diri saja? Karena setiap melihatku,
Eyang kini menangis! Dia pasti lebih suka melihatku mati daripada tidak bisa ngobrol dengannya. Aku
sudah mulai terapi bicara dengan mas Ledret. Tapi, aku tidak mempunyai kemampuan untuk bisa
lebih baik dari kemarin. Padahal setiap aku latihan, Eyang mengantarku. Eyang berharap banyak
untuk kesembuhanku.

Di sudut sebuah restoran, satu senja yang bagus, sambil menikmati makanan ini, Dita berkata,
”Kamu tidak boleh terus‐menerus begini sayang. Keluarlah dari lingkaran kesedihanmu, mulailah
dengan hidup yang paling baru. Itu yang selalu aku impikan untukmu. Dari hasil wawancaraku
dengan orang terdekatmu, mereka semua prihatin dengan kondisimu. Sekarang, jangan menghukum
dirimu sendiri! Itu tidak adil bagimu, barangkali kamu bisa pindah dari kota ini ke rumah salah satu
Budemu, dan menganggap masa lampaumu sudah mati. Yang ada hanyalah kekinianmu.
Kau tanyakan, apakah aku tidak punya problem?
Tentu saja aku punya. ”Sungguh, aku tidak pernah mencintai suamiku!” kata Dita telak.
Tina melihat, tetap dalam diamnya.
Malang, 22 Januari 2006

Peniup Seruling
Aku sudah merasa seperti peniup seruling, yang akan membawa anak‐anak keluar dari tempat yang
paling jahanam itu. Sekalipun Papa bilang begini, “Kami tetap berdiri di semua keputusanmu. Jika
kau ingin jadi pendamping petani, buruh, perempuan dan anak, korban kekerasan. Kau tahu, saya
seorang psikiater, para pelacur adalah orang‐orang penyandang patologi sosial. Bisa kau bayangkan,
para kiwir (pelindung pelacur) akan melecehkanmu, sekalipun kamu di tempat itu sebagai
pendamping anak‐anak pelacur.”
Apa pun kata Papa tak membuatku ingin mundur dari pekerjaan yang ditawarkan Mas Obet itu.
Sejak kecil aku sudah terobsesi dengan cerita seorang peniup seruling, yang bisa membawa anak‐
anak seluruh kota, dari orangtuanya yang arogan. Oleh karena itu, aku menerima tawaran Mas Obet
(aku lulusan FIA UB Oktober 2004), untuk bekerja sebagai pendamping anak‐anak pelacur di
kompleks pelacuran yang terbesar di negeri ini (Dolly, Surabaya). Mas Obet bilang, “Tujuan
pendampingan kita sebatas jangan sampai mereka jadi pelacur anak‐anak.”
“Mas, anak‐anak dari pelacur‐pelacur itu apakah tidak bisa keluar dari lingkaran setan, ibu‐ibu
mereka, menjadi anak baik‐baik! Seharusnya, itu kerja maksimal kita.”
Mas Obet cuma tertawa dan bilang, “Mbak Gita, sebaiknya segera observasi, dengan dua orang
teman lain, untuk menjaga hal‐hal yang tidak diinginkan.”
Aku merasa hari itu juga harus menjadi orang yang bisa menyelamatkan sekian puluh anak dari
kehidupan yang sangat jahanam ini. Aku mulai dengan observasiku, yang diterima oleh ibu‐ibu
pelacur ini dengan tanpa semangat. Tetapi, aku bertemu juga dengan seorang perempuan, Tini,
namanya, yang sedikit mau bicara denganku. “Mbak tahu, hidup ini harus jalan terus. Siapa sih yang
tidak ingin membesarkan anak, bukan di tempat ini. Tapi, aku tidak bisa keluar dari tempat ini. Ketika
baru sehari di sini, orang‐orang di sini sudah bilang, ’Para pelacur berutang transportasi sampai ke
sini, baju, make up dan lain‐lainnya’. Aku betul‐betul perawan ketika laki‐laki yang tidak kukenal itu
meniduriku.”
“Mengapa Mbak tidak lari dan kemudian lapor ke polisi. Mereka kan bohong, bilang kepada Mbak,
akan dipekerjakan sebagai pelayan restoran.”
Tini tertawa lebar. “Mbak, itu seperti cerita sinetron, nyatanya saya di sini, sudah hampir sepuluh
tahun, dengan dua anak. Mbak tahu, anak perempuanku yang terkecil pincang, dia tidak bisa jadi
pelacur karena cacat. Apa ada tempat yatim piatu yang bisa saya titipi, agar anak ini bisa sekolah,
dan tidak membebani kami.”
“Lantas, bagaimana dengan anakmu yang nomor satu, dia anak yang cantik, apa kamu tidak berpikir
untuk masa depannya? Tadi, Sini bilang kepadaku, ingin menjadi guru SD seperti gurunya.”
Tini tersenyum, “Ah, anak‐anak tidak mengerti susahnya orangtua, terlampau jauh kalau jadi guru,
paling‐paling tujuh tahun lagi, dia akan jadi pelacur di tempatku ini. Sekarang saja dia sudah genit,
mencuri make up dan lipstikku.”
Aku terkejut, sangat terkejut mendengar ucapan Tini, yang ibu itu. Aku tidak pernah membayangkan
hal seperti ini. Papaku seorang psikiater dan Mama seorang akuntan yang hebat. Namun, aku dan

adikku hidup dengan norma yang diberikan oleh eyang. (Eyang putri serumah dengan kami sampai
beliau meninggal tiga bulan yang lampau). Yah, sepanjang waktu, aku hidup bersama eyang,
berkasih sayang, bertengkar, sebel, cinta pada eyang. Di sisi lain, kedua orangtuaku adalah bayang‐
bayang di senja hari. Sepulang dari pekerjaan, mereka kelihatan lelah, tidak sempat berbicara
panjang lebar denganku. Kalau saja aku tidak ketemu Mas Obet di kampus, aku tidak pernah
bayangkan kehidupan pelacur lebih dari yang diceritakan eyang. “Pelacur adalah perempuan yang
menjual diri karena malas, kejalangannya, nasib sial, atau tekanan ekonomi.”
Aku tidak bisa mendefinisikan observasiku dengan hanya seorang Tini yang punya kiwir (yaitu
pelindungnya, suami, makelar) yang mengantarnya ke tempat orang‐orang yang membeli, kemudian
mengambil bagian dari transaksi tersebut. Di sisi lain, pelacur atau tempatnya ibu‐ibu dari anak‐anak
pelacur itu, tidak semuanya suka aku ajak bicara. Ada beberapa orang yang bilang begini, “Saya mau
bicara dengan Mbak, asal dibayar seperti ketika saya meladeni tamu‐tamu yang lain. Atau saya bisa
meladeni sesama perempuan kok, ha‐ha‐ha….”
Aku merasa terkejut, tapi aku harus belajar banyak di sini. Yang penting bagaimana anak‐anak
pelacur itu bisa dekat denganku. Mas Obet bilang, “Jadilah pendengar yang baik.”
Dan aku membekali diriku dengan permen, buku gambar, buku cerita yang pada awalnya tidak
diminati oleh anak‐anak. Kebanyakan mereka lebih suka main game dengan PC yang disewa di
seputar kompleks ini.
Rasanya memang aneh sekali, ketika ibunya bertransaksi dan masuk kamar dengan seseorang yang
bukan bapaknya, mereka biasa‐biasa saja. Bahkan anak‐anak itu sudah bisa bicara dengan kata‐kata
tentang seks. Tetapi selebihnya, menurut guru SD di kompleks ini, mereka anak‐anak biasa, ada yang
lucu, malas, pintar, jahat, dan baik hati. Yah, seperti pada umumnya anak SD. Ketika aku tanyakan
apakah tidak ada tambahan pelajaran budi pekerti, agar mereka tidak menjadi pelacur seperti
orangtuanya. Pak guru Hadi yang sudah bekerja dua puluh tahun di daerah ini, menggeleng‐
gelengkan kepalanya. “Pihak sekolah sudah mengupayakan, agar mereka tidak menjadi pelacur,
setidak‐tidaknya pada usia muda. Kita tidak bisa melihatnya secara romantis. Misalnya para pelacur
di sini diberi keterampilan menjahit, dan akhirnya menjadi penjahit profesional. Tentu saja ada satu,
dua, dari sekian ratus pelacur yang berhasil keluar dari tempat ini, tapi hampir sebagian besar
terpaksa meninggalkan tempat ini karena tua, sakit, dan kematian. Aku melihat, ada tiga generasi
yang sudah menjadi pelacur di tempat ini. Mulai dari mbahnya, ibunya, dan Mbak pasti kenal,
generasi ketiga adalah Tiwi yang bekas murid saya, yang mungkin akan digantikan oleh anaknya.”
Kala pulang, di tempat kosku ini aku merasa resah, tapi toh aku si peniup seruling, yang akan
membawa anak‐anak keluar dari kompleks ini. Padahal, Mama barusan meneleponku dan bilang,
“Gita, maaf aku tadi membuka surat lamaran kerjamu. Profisiat, kamu diterima di perusahaan
multinasional itu. Segeralah pulang dan kalau perlu secepatnya ke Jakarta. Mulai hari ini, Mama akan
booking‐kan tiket pesawat buatmu. Akhirnya, putri sulungku mendapat sesuatu yang pernah kita
impikan bersama. Aku, Papa, dan adikmu sangat bahagia. Sebaiknya, kau bilang pada Mas Obet
untuk memutuskan hubungan kerja ini. Kami akan membantumu dengan seorang pengacara. Yah,
Papamu sudah ingin membelikan kamu sepatu yang bagus, baju, karena kau akan berkantor di
sebuah apartemen yang megah, di mana ada banyak perempuan cantik berseliweran. Di antara
mereka, ada engkau putri kami.”

Mama yang pendiam tidak pernah bicara sepanjang itu. Aku merasa rikuh. Lantas, sampai siang ini,
aku tidak menata koper untuk pulang ke Malang, atau menelepon Mas Obet, untuk menceritakan
aku akan menghentikan kegiatanku di sini, terima kasih atas kesempatannya. Entahlah, berat buatku
untuk meninggalkan Diti, Sini, dan ibunya, Tini. Walaupun baru seminggu di sini, aku menyukai anak‐
anak Tini, aku sangat menyukai Diti yang pincang jalannya itu. (Diti, anak perempuan yang baru
berusia tujuh tahun, seorang anak yang lucu, bagaimanapun keadaannya). Aku berharap tetap bisa
keluar dari tempat ini dengan sekian anak, walaupun menurut beberapa orang, impianku tidak
masuk akal. Mengapa tidak? Apakah aku dan anak‐anak di tempat pelacuran ini dilarang bermimpi,
menjadi orang baik‐baik! Kalau mereka besar, menjadi orangtua baik‐baik, tanpa dicemoohkan,
kalau mereka berada di pasar, di kampungnya, di tempat‐tempat ibadah. Sebab, aku tahu
perempuan‐perempuan yang datang untuk menawarkan daganganya suka mengambil hati Tini,
dengan memuji kecantikannya yang masih awet, tapi selepas dari mata Tini, penjaja itu akan berkata
dan bergurau jorok dengan temannya, tentang Tini. “Semalam, Tini mendapat kakap mungkin, kok
belanjanya boros. Semalam, baru dapat teri mungkin kok belanjanya pelit. Sehingga uang lima ratus
dimintanya kembali.”
Aku tidak senang dengan omongan itu. Sekalipun ucapan‐ucapan seperti itu sejak awal
kedatanganku ke kompleks ini sering aku dengar. Mereka sering mengucapkan kata‐kata jorok, yang
berbau seks. Bahkan pelacur‐pelacur itu maupun orang yang di kompleks ini terbiasa bergurau
dengan kalimat jorok berbau seks, setidaknya di depanku. Tini tidak pernah mengucapkan kata‐kata
jorok itu, yah sekalipun penampilannya sama dengan pelacur‐pelacur lain. Semakin jauh aku kenal
Tini, aku lupa siapa dia. Apalagi kalau Diti sakit, dia seperti kebanyakan ibu yang ada di seluruh
negeri ini. Tini akan membelikan makanan yang sekiranya bisa membangkitkan selera makan
anaknya di saat sakit.
Aku semakin akrab dengan anak sekitar sini, mengajaknya bermain teater, menggambar, bernyanyi.
Dan mas Obet bilang, “Itu sudah keberhasilan kita, melihat anak‐anak di kompleks ini masih bisa
menikmati masa anak‐anaknya.”
Aku tidak paham, mengapa itu dianggap sebuah sukses. Aku sering bercerita kepada akan‐anak di
kompleks ini, tentang sebuah tempat yang indah, lebih indah dari tempat ini. Sering aku bilang
kepada mereka, kehidupan tidak harus di tempat ini. “Kita seharusnya berada di tempat lain, kalau
sudah besar.”
Ada satu hal yang mengejutkan, beberapa ibu mengeluh pada Mas Obet, bahwa aku mengajari anak‐
anak mereka melawan ibunya. Ini suatu hal yang sangat tidak disukai oleh mereka, seolah aku sudah
melempar pengaruh yang paling buruk. Aku tercengang mendengar ucapan mereka, aku cuma
kepingin anak‐anak bermain dan tidak berperilaku seperti orangtua mereka sekarang, kalau mereka
sudah besar. Mas Obet sekali lagi bilang kepadaku, “Mbak Gita, jangan romantis, target kita bukan
memberi bimbingan moral, agar mereka menjadi orang yang baik. Tapi mencegah mereka agar tidak
menjadi pelacur anak‐anak. Kata ibu‐ibu, sejak kehadiran Mbak Gita, anak‐anak suka tidak percaya
pada omongan orangtuanya. Mereka mulai bermimpi untuk tidak menjadi seperti orangtuanya.
Beberapa orang bilang, mereka akan menjadi orang baik‐baik seperti sampeyan. Rupanya Mbak Gita
sudah terlampau jauh dari target kita. Kalau mereka tidak suka dengan pendampingan ini, kita akan
diusir, program kita semakin macet pendanaannya. Ini tidak akan mengenakkan kita semua kan.”

Aku merasa tidak paham lagi dengan Obet dan kawan‐kawannya. Aku tidak paham, bagaimana dia
menggarisbawahi pekerjaannya, hanya sampai di sini. Dan rasanya, dia tidak mencegah ketika ada
satu, dua, anak remaja sudah buka praktik sebagai pelacur. Obet berkata, “Kita cuma bisa mencegah,
kalau, mereka sudah jadi pelacur, ada banyak masalah. Kiwirnya, germo, pelanggannya dan kita
harus siap dipukul kalau terlampau dekat dengan ikatan itu.”
Diam‐diam aku tidak sepakat, dan diam‐diam aku cuma menganggap suatu hari kelak, aku akan
membawa anak‐anak keluar dari tempat ini. Namun, satu per satu mereka tidak muncul untuk
bermain, menggambar, dan bernyanyi kepadaku. Diti yang bilang, ibu‐ibu mereka melarang untuk
belajar denganku. Karena aku cuma gadis kota yang kaya, tidak akan paham bagaimana seharusnya
mencari uang.
“Kalau Ibu masih membiarkan saya bersama Mbak, karena saya pincang dan akan sulit laku sebagai
pelacur.”
Aku merasa ada kemarahan yang luar biasa dalam diriku. Tapi memang, anak‐anak bimbinganku,
semakin lama semakin sedikit. Akhirnya, aku mengerti ketika Obet berkata, “Mbak Gita harus
menghentikan proyek itu sampai di sini. Saya bisa bantu Mbak Gita kalau ingin bekerja di tempat
bimbingan lain, misalnya bimbingan petani.”
Malam itu, aku merasa diusir. Ketika aku harus betul‐betul keluar dari pekerjaan ini, aku mencoba
membicarakan hal itu pada Tini. “Yah, hidup kami memang sudah terbelit oleh utang, sampai hari ini
utang saya terhadap orang‐orang itu semakin banyak. Tak mungkin semudah itu keluar dari tempat
ini, seandainya saya mau. Mereka akan menghalang‐halangi saya, dengan cara apa pun. Kalau tidak
bisa dengan kekerasan, mereka akan mengguna‐gunai saya, sampai saya sakit dan mati. Kalau utang
saya belum juga terbayar sampai saya tua, dan tidak laku lagi, Sini mungkin yang akan menggantikan
saya,” katanya sambil menyedot rokoknya.
“Diti memang merepotkan kami, karena dia pincang dan sulit jadi pelacur. Oleh karena itu, apakah
Mbak bisa menolong mencarikan penitipan anak cacat yang tidak membayar.”
Aku mungkin cuma orang yang tidak paham apa pun tentang hidup ini! Ketika aku keluar dari
kompleks ini, bersama Diti yang pincang, anak‐anak binaanku ikut menangis, kala melihatku,
menangis!
Di Jakarta, aku mendaftar sebagai orang kantoran. Di apartemen yang megah itu (di daerah
Kuningan) aku diterima! Mama mungkin benar, aku sebaiknya berada di sini saja, di antara
perempuan yang terhormat, berbau wangi, berbaju seragam cantik!
Malang, 2005

Tamu
Januari 1965.
Tahun itu, aku berusia delapan tahun, dan namaku Dara. Aku punya dua adik laki‐laki, yang menurut
Mama harus lebih diperhatikan karena mereka masih kecil (sepulang sekolah aku harus ikut
menjaganya). Sementara Mama merawat anggrek, yang bergelantungan di pohon belakang rumah.
(Mama berharap anggrek ini, kelak bisa menambah biaya sekolah kami. Menurut Mama, Papa cuma
pegawai negeri sipil yang gajinya hanya cukup untuk sebulan).
Ada sisi lain sepulang dari kerja, Papa cuma mengganti‐ganti gelombang radio dan berkata dengan
sangat kesal, “Brengsek siaran radio apa ini, mendengar musik Elvis dan The Beatles dilarang.
Padahal, aku tidak suka dengan siaran di radio itu, yang isinya cuma propaganda.”
Senja itu, aku sedang mencabuti uban Papa dengan bayaran 50 sen untuk setiap uban. Tiba‐tiba
telepon berdering. Papa menjawabnya dengan berteriak‐teriak (waktu itu hubungan jarak jauh
memang tidak begitu jelas). Kemudian, secara bergegas Papa ke halaman belakang menemui Mama
yang sedang belepotan dengan anggrek‐anggreknya. “Daryo sudah berada di Surabaya. Minggu
depan, dia akan mengunjungi kita. Bapaknya kan sakit, dia akan mengajukan cuti besar. Dan kabar
lainnya, dia membawakan pesananmu, parfum yang bermerek Maya.”
Kemudian Mama berbicara kepadaku, “Om Daryo, sepupu papamu. Dia Simbat, si pelaut. Kita sudah
tidak bertemu selama lima tahun. Teddy Bear yang kau terima lima tahun yang lampau adalah
kirimannya. Dia bisa keliling Eropa tidak seperti papamu yang cuma pegawai negeri. Seandainya dia
di sana terus kala kau sudah tamat SMA, belajar saja di negeri Belanda atau Eropa.”
“Aku tidak suka sekolah di negeri Belanda. Kalau aku besar aku akan pergi jauh dan jauh sekali.”
Mama tidak menanggapi omonganku. Kembali aku harus mengawasi kedua adikku yang sore ini
bukan main rewelnya.
Pesiapan menyambut Om Daryo seperti kala menyambut Lebaran saja. Ada ketupat lengkap dan
Mama memakai gaun merah muda yang cantik sekali (dia kelihatan cantik sore ini) ketika Simbat si
pelaut datang. Kami sekeluarga mendapat oleh‐oleh, Mama mendapat parfum, Papa mendapat
arloji yang bagus, dan saya terlonjak, Om Daryo memberi saya boneka Barbie bersama pacarnya,
Ken.
Malam‐malam sesudah itu, pada satu kesempatan Mama berkata kepada Papa, “Papa, sudah
ketemu teman yang asyik kan? Buktinya Papa betah meladeni omongan Daryo sampai malam.”
“Entahlah, yang diomongkan buku‐buku politik. Padahal, aku tidak suka. Dengar di radio saja aku
sudah muak. Tetapi, asyik juga mendengar obrolannya.”
Hampir tertelan olehku roti ini dan kutanyakan agak bergegas, “Pa, buku politik itu apa? Saya tidak
suka karena tidak ada gambarnya.”
Mama menyela, “Aku juga tidak suka buku‐buku seperti itu, yang aku suka duit.”

Papa tertawa dan di teras muka sudah terlihat Om Daryo melambai‐lambaikan tangannya sambil
membawa beberapa buku lagi.
Papa sedang di kamar mandi, saya tanyakan kepada Om Daryo, “Mengapa Om dan Papa suka buku
itu, apa sih isinya? Padahal tidak ada gambarnya.”
“Kalau aku kembali ke Eropa, buku‐buku ini akan kutinggal di sini agar kelak kalau kamu dewasa
kamu biasa membacanya. Zaman itu, kau sudah tidak lagi menyukai boneka.”
“Aku selalu akan suka boneka sampai dewasa. Kalau aku pergi dari rumah ini, Barbie dan Ken akan
bersamaku.”
Om Daryo tertawa dan malam itu aku merasa gembira karena aku tidak diusir oleh Mama kala
mendengarkan percakapan kedua orang lelaki itu. Tanpa terasa, aku kemudian tertidur.
Besoknya, Mama ngomel karena hari itu aku tertidur di muka tamu.
“Makanya, jangan suka nguping obrolan orang dewasa. Kan lebih baik kamu belajar agar kelak naik
kelas dengan peringkat yang bagus.”
Tapi Papa berpendapat lain, “Biarkan Dara menguping ia akan mendapat pelajaran dari buku‐buku
yang kami diskusikan.”
“Diskusi apa? Buatku Dara dan adik‐adiknya harus belajar pelajaran di sekolah.”
Memang, suasana rumah rasanya lain kalau Om Daryo hadir di tengah kami. Sekalipun Mama jarang
ikut nimbrung sampai malam, kentara sekali Mama tidak pernah membenci percakapan dari tamu
kita yaitu, Om Daryo.
Kami memang jarang menerima tamu dan dari yang jarang itu kadang‐kadang Mama tidak suka
kepada tamu Papa. Papa juga tidak terlalu suka kepada tamu atau teman Mama. Tetapi, kelihatan
sekali mereka berdua suka dengan Om Daryo, sekalipun kadang‐kadang Papa sering mengatakan
kepada Mama, “Daryo itu aneh menyukai buku‐buku seperti itu.”
“Dari dulu kan Daryo eksentrik,” kata Mama telak.
Papa tidak berkometar dan seandainya Om Daryo tidak datang sehari saja suasana rumah seperti
semula. Papa akan mengotak‐atik radio sedangkan Mama belepotan dengan anggreknya dan saya
akan disuruh mama menjaga adik‐adik.
Suatu kali, ketika Om Daryo datang lagi dan sedang asyik ngobrol dengan Papa di ruang tamu, saya
ingin Papa mengajariku matematik. Kali ini yang mengajari Om Daryo. Sedang Papa asyik membaca
buku‐buku itu kemudian selesailah PR matematik.
Ketika saya lihat Mama sudah tertidur bersama adik‐adik, saya keluar lagi ke ruang tamu ini, melihat
keasyikan mereka ngobrol kadang‐kadang berdebat dan menunjuk‐nunjuk alinea dalam buku.
Mereka kadang‐kadang tertawa bersama. Saya cuma mendengarkan tanpa mengerti, tetapi asyik
sekali rasanya. Memang sejak kehadiran Om Daryo rumah kami seperti anggrek yang kena siram,
terus‐menerus segar dan tegar. Kalau kami sekeluarga kumpul, Om Daryo akan bercerita tentang

laut, bajak laut, dan Eropa. Saya seperti terpesona kalau mendengar ceritanya tentang bajak laut
yang menghadang kapalnya.
Mama sering bertanya tentang Eropa dan matanya seperti bermimpi kalau mendengar cerita
tentang Eropa. Pada saat seperti itu Papa bilang, “Aku selalu bermimpi anak‐anak bisa sekolah di
sana, suhu politik semakin tidak menentu banyak orang bilang bahwa negeri kita akan dikuasai
komunis. Dari siaran luar negeri beritanya terbalik‐balik, bahwa ada kekuatan lain yang ingin
menumbangkan Presiden Soekarno.”
Kalau sudah berbiacara hal itu suasana jadi hening. Mama berkata pelan‐pelan, “Sebagai pegawai
negeri Papa akan mendapat jaminan di masa tua. Kalau Papa ingin imigran ke sana apakah harus
mulai dari nol, sedangkan usia Papa sudah 37 tahun. Bagimana menurut Mas Daryo?”
“Aku sebetulnya sepakat dengan pendapat Masmu, kehidupan di negeri ini semakin tidak menentu.
Asal mau jadi tukang cuci piring di restoran, aku bisa mengusahakan. Aku punya teman pemilik
restoran yang butuh tukang cuci piring.”
Mama terdiam agak lama kemudian berkata, “Kalau begitu, biarlah kita lihat‐lihat dulu suasana di
sini. Saya lebih suka di Kota Malang, kalau tidak terpaksa pindah buat apa kita pindah.”
Kemudian Om Daryo menyela, “Aku mungkin tidak bisa kembali ke Indonesia. Istriku, Margareta,
pasti tidak bisa hidup di Indonesia. Dia sudah bahagia menjadi karyawan di radio dan bukankah saya
harus membantu kebahagiannya? Apalagi dua anak laki‐laki kami tidak mau serumah lagi.”
“Maksudmu tidak tinggal serumah dengan kalian lagi, bukankah Ricard dan Bangun masih berusia 17
dan 20 tahun,” kata Mama.
Om Daryo bilang, “Anak‐anak di negeri Belanda tidak bisa ditahan di rumah kalau sudah usia segitu.
Karena mereka bisa mandiri dalam artian bisa mencari uang sendiri.”
“Aku kalau begitu mau di negeri Belanda, biar bisa cari uang sendiri.”
Om Daryo tertawa. Tentu saja aku tidak meneruskan ucapanku yang seperti ini, aku lebih suka hidup
bersama Barbie dan Ken karena kalau aku hidup sendiri, Mama tidak akan menyuruhku menjaga
adik‐adikku yang rewel.
Kemudian Papa memotong pikiranku, “Walaupun aku di sini sudah menjadi Kabag, aku rela menjadi
tukang cuci piring di negeri orang, asal anak‐anak bisa sekolah dengan teratur. Saya dengar di radio‐
radio luar negeri, negeri ini sudah seperti api di dalam sekam, aku khawatirkan pendidikan anak‐
anak.”
“Ya, aku bisa merasakan keprihatinanmu. Kalau Bapak sudah sembuh, kau bisa pikirkan ikut
bersamaku.”
Begitulah Om Daryo, mungkin kegembiraan kami kalau dia datang karena bisa memberi atensi
kepada kami bahkan sampai ke adik bayiku. Rasanya semakin lama aku semakin betah untuk duduk
mendengarkan omongan mereka, tanpa aku mengerti mereka bicara apa.

Jadi, kami merasa sore hari tidak lengkap jika Om Daryo tidak datang. Kami memastikan kalau dia
datang akan bisa menghabiskan malam‐malam yang rasanya pekat. Suatu ketika Om Daryo bercerita
kepada kami, dia mendapat bagian merawat bapaknya dari pagi sampai magrib. Kalau adik‐adiknya
pulang kerja, baru adik‐adiknya yang menggantikan untuk merawat bapaknya dan Mama sering
memuji sikap Om Daryo, “Lihatlah Dara, Om Daryo mau berhenti bekerja hanya untuk merawat
bapaknya yang sudah tua. Semoga kau dan adik‐adikmu bisa melakukan hal yang sama kalau kami
sudah tua.”
“Tentu saja aku akan mencarikan Mama suster.”
“Om Daryo bisa melakukan hal itu kalau dia mau, tetapi dia memutuskan untuk merawatnya sendiri,
Dara.”
Bulan‐bulan berikutnya Om Daryo jarang datang ke rumah. Menurut Mama, bapak Om Daryo
semakin sakit keras. Dengan wajah muram, Papa sering berkata, “Apakah kau bisa menghubungi
sepupumu yang di Malaysia itu? Saya ingin kau dan anak‐anak pergi ke sana terlebih dahulu.”
“Papa itu omong apa? Kan Papa Kabag, tidak mempunyai partai politik atau aktif di partai mana pun.
Selama ini yang Papa lakukan dengan Mas Daryo cuma sebatas wacana saja kan? Tidak pernah
dengan orang lain.”
“Entahlah, kedudukanku sebagai Kabag membuat banyak orang iri, lebih‐lebih mereka yang merasa
orang partai.”
September 1965.
Beberapa hari yang lampau kami sekeluarga takziah ke rumah Om Daryo dan Om Daryo berkata,
“Setelah tujuh hari meninggalnya Bapak, saya akan kembali ke Eropa. Mulai sekarang Mas harus
mengurus paspor dan saya usahakan untuk mendapat visa kerja. Temanku mau memberi surat
untuk bertanggung jawab kepada sampeyan selama berada di negeri itu.”
Mama kelihatan mengiyakan dengan cepat.
Perpisahan dengan Om Daryo sungguh mengharukan. Sambil memelukku, dia bilang kepada Papa,
“Aku tidak tahu kapan bisa kembali ke Indonesia. Mudah‐mudahan urusan Mas cepat selesai dan
kemudian istri dan anak‐anakmu lekas bisa menyusul.”
7 Oktober 1965.
Malam itu saya terbangun, orangtua saya membakar buku‐buku itu. Ketika melihat saya Mama
berkata, “Jangan bilang pada orang lain Nduk kita pernah membakar buku‐buku ini agar Papamu
tidak dianggap PKI.”
Waktu itu saya baru saja berusia delapan tahun. Tetapi, mendengar omongan Mama saya bayangkan
sebuah kesedihan akan datang kepada kami.
Ketika saya tercenung begitu, Papa memelukku, “Dara, semuanya akan beres. Kau harus ingat kata‐
kataku ini.”
Amsterdam April 2004.

Dalam suatu seminar di negeri ini, saya sempatkan bertemu dengan Om Daryo dan Tante Margareta.
Mereka sudah berusia sekitar 76 (seusia Papa), namun mereka berdua kelihatan masih sehat dan
bahagia! Ketika mereka berdua memelukku, saya menangis. Dan malamnya saya bermimpi bertemu
Papa yang berkata demikian, “Dara semuanya akan beres. Kau harus ingat kata‐kata ini.”
Saya terbangun dari mimpi tadi, masih di Amsterdam. Dan saya ingat 7 November 1967 beberapa
orang membawa pergi Papa. Sejak itu, Papa tidak ada kabarnya, sampai hari ini!
Malang, 2004

Warna Ungu
Siang yang paling berkeringat. Semua keluarga besar Hendrawan tertidur. Semalam, sampai larut
malam, mereka menemani calon pengantin untuk melewati malam widhodharenan. Nanti tepat
pukul 14.30 WIB, pengantin akan melaksanakan ijab kabulnya. Setelah itu mereka akan pergi ke
tempat resepsi di sebuah gedung dengan dominasi warna ungu. (Tempat resepsi pernikahan yang
paling bergengsi di Kota Malang). Mereka akan memakai adat Malangan secara lengkap. (pengantin
perempuan yang sangat menyukai warna ungu) akan menikah dengan Indra teman kuliahnya di
Fakultas Teknik UB. Perjodohan mereka dianggap sangat wajar, Indra dan Luke punya status sosial
yang sangat sejajar. Indra adalah anak usahawan yang berada di Jakarta. Konon, bapak Indra seperti
dongengnya Cinderella, melihat Indra yang belum juga pacaran, mengadakan pesta ulang tahun
anaknya dan mengundang beberapa gadis pilihan untuk menjadi pacar Indra.
Luke menjadi calon mantu yang paling favorit bagi keluarga Indra.
Penduduk kota ini menganggap mereka akan menjadi pasangan yang serasi! Umur mereka sudahlah
pantas untuk menjadi pasangan muda yang bahagia. Teman‐teman dekat Luke maupun Indra tidak
melihat cela yang akan terjadi di antara hubungan mereka. Menurut teman dekat Indra maupun
Luke, Luke dan Indra pasangan yang sangat senang anak‐anak. Luke mengisi waktu luangnya dengan
menjadi guru play group. Oleh karena itu, sering mereka melihat Indra dan Luke bersama anak
didiknya bermain‐main dengan gembira.
Mereka jarang bertengkar, terlampau banyak kesamaan antara Indra dan Luke, mulai dari selera
makan sampai mengisi waktu luang. Kalau toh ada pertengkaran rasanya tidak akan pernah saling
melukai. Sesungguhnya, sebelum acara pernikahannya, pada teman‐temannya Luke berkata, “Aku
tidak menikahi seorang pangeran. Aku menikahi Indra dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Pada usiaku yang kedua puluh satu nanti, aku kepingin menjadi ibu dari anak‐ anakku. Kurasa umur
yang pantas untukku. Aku tidak terlampau ingin sibuk dengan karier sehingga lupa punya anak.
Anak‐anak bagiku adalah masa depanku juga masa depan bangsa ini. Aku bersyukur dokter
mengatakan aku cukup sehat untuk punya anak. Aku sebetulnya sudah menanti seorang anak sejak
usiaku yang kedelapan belas. Indralah yang dengan serius menanggapi cita‐citaku. Banyak pasangan
muda takut kalau mereka segera punya anak, mereka tidak punya kesempatan lagi untuk bersenang‐
senang berdua. Tapi aku tidak! Sejak usiaku yang kedelapan belas, aku sudah menyiapkan diri untuk
tidak terlampau larut dengan dunia anak muda. Sering aku membeli buku bagaimana mendidik anak‐
anak. Dan walaupun aku tidak menyukai lagu klasik, ketika ketemu simfoni Mozart, aku langsung
membelinya! Karena, aku membaca di satu artikel bahwa lagu klasik bisa merangsang kepandaian
anak. Harusnya digarisbawahi, aku tidak kepingin mendidik anak‐anakku seperti Mama mendidikku.
Papa dan Mama sangat sibuk dengan usahanya sehingga waktu kecil ketika seorang pembantu
sering mencubiti diriku, aku tidak berani mengatakan pada orangtuaku. Kalau aku menceritakan
penyiksaan itu, Mama pasti tidak mempercayaiku. Di muka orangtuaku, dia bisa bersikap sangat
manis. Mamaku merasa bebannya dengan anak‐anaknya bisa terkurangi, apalagi pembantuku itu
tidak mencubiti adikku. Mama selalu menganggap aku terlampau nakal, lain dari adikku yang masih
bayi itu.

Aku tidak tahu sampai hari ini mengapa kebencian terhadap pembantuku itu selalu berada di ruang
hati dan seluruh sudut rumah ini. Tadi siang, dia datang dengan cucunya, (aku tidak menyukai anak
itu). Aku menjadi cemas karena setiap orang bilang aku adalah kekasih anak‐anak. Rupanya, aku bisa
tidak menyukai anak kecil ini. Di matanya, aku melihat mata pembantu yang mencubitiku dulu. Anak
itu mengerti perasaanku, dia meminta segera keluar dari kamarku. Aku mengiyakan dengan cepat
dan mendorong keduanya keluar dari kamar ini.
Mestinya aku bisa memilah‐milah persoalan. Aku hari ini sedikit depresi, aku sering sekali pusing dan
mimpi buruk yang terputus‐putus sejak seminggu ini. Seharusnya aku kelewat bahagia karena akan
menikah dengan calon bapak dari anak‐anak. Sungguh, aku merasa pusing lagi, aku tertidur.
Mimpiku, anak kecil itu memukul‐mukul kendang persis di sebelah telingaku. Aku terbangun dan
kepingin muntah, padahal hari ini aku harus kelihatan bugar dan cantik.
Sungguh, sebelum aku menjadi pengantinnya Indra aku sudah membicarakan hal ini berulang‐ulang
kepadanya. Kalau kita punya anak, sebaiknya ada orang yang bisa kita percayai untuk mengurus
anak‐anak. Oleh karena itu, pernikahan bagiku adalah sebuah langkah yang sangat serius. Aku tidak
lagi mengulang kesalahan‐kesalahan Mamaku, yang lebih menikmati dunianya sendiri. Tentu saja,
aku tidak berani bilang, “Mamaku seorang egois.” Kehidupanku dengan dua adik laki‐lakiku sangat
tercukupi. Aku masih ingat ketika usiaku yang ketujuh, aku meminta sepatu roda yang pada waktu
itu jarang dijual di Kota Malang. Dengan mudah Mama mendapatkan sepatu itu. Aku masih ingat
bagaimana teman‐teman SD‐ku (yang menurutku orangtuanya lebih kaya) membelalakkan matanya
ketika aku meluncur dengan sepatu roda itu.
Mama sering bilang, “Dia adalah perempuan yang bahagia.” Papa tidak pernah memukul seperti
suami adiknya atau pelit seperti suami kakaknya. Masih menurut Mama, tidak ada yang bisa
disalahkan dari saudara‐saudara perempuannya. Seorang laki‐laki baru ketahuan jeleknya kalau
sudah jadi suami. Jadi, pernikahan dengan suami yang baik, seperti mendapat undian. Aku merasa
sudah melihat kekurangan Indra, rasanya aku masih bisa mentolerir kekurangannya. Aku percaya
tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena aku sendiri bukan perempuan yang sempurna. Tetapi
kadang‐kadang omongan Mama tentang perempuan yang mendapat suami yang salah, menghantui
diriku. Sahabat Rita, akhir‐akhir ini mengeluhkan suaminya yang sering memukul. Aku khawatir, dia
tidak bisa keluar dari lingkaran setan itu. Aku takut sekali melihat memar‐memar bekas pukulan
suaminya. Tentu saja aku akan bertindak tegas jika Indra memperlakukan diriku seperti Rita. Tapi
Mama bilang, “Kalau kita sudah menikah, masalahnya tidak sesederhana itu.” Rita mungkin sudah
lama ingin keluar dari pernikahannya, tapi tidak bisa! Aku bilang, “Kalau aku jadi Rita, aku sudah
lama menceraikan suamiku.”
Mama mengangkat bahu, seolah‐olah tidak yakin aku bisa setegas itu.
Sesungguhnya perayaan pernikahan ini sudah dibicarakan oleh penduduk Kota Malang, karena yang
bakal mantu adalah usahawan sukses di mana akan banyak sekali memakai adat Malangan, yang
sudah lama tidak lagi dipakai oleh masyarakat Malang. Ini merupakan tontonan yang menarik. Pak
Hendrawan sudah membeli dokar untuk kirab kedua pengantin dari rumah sampai ke gedung
resepsi. Penduduk Kota Malang sudah sering melihat dokar berwarna ungu, yang sekarang begitu
cantik, berada di halaman rumah Pak Hendrawan.

Mereka akan memakai seragam ungu, pada resepsi pernikahan dan gedung resepsi pernikahan akan
ditata dengan serba warna ungu, mulai dari tempat duduk pengantin, karpet, dan bunga‐bunga
hiasan. (Pak Hendrawan sudah mengorder berpuluh‐puluh bunga anggrek bulan ungu untuk hiasan
di gedung pengantin). Mereka memilih warna ungu, warna favorit dari keluarga Pak Hendrawan.
Sebagian ruangan rumah Pak Hendrawan, khususnya kamar pengantin, sudah dicat dengan warna
ungu. Seprei pengantin dan semua hiasan berwarna ungu di kamar itu. Hanya pada saat ijab kabul,
kedua pengantin memakai baju brokat putih, tapi kerudung untuk mereka berdua tetap dengan
warna ungu. Konon baju tidur mereka berdua juga berwarna ungu.
Tak pernah seorang pun di Kota Malang melihat persiapan yang begitu ribet dengan biaya yang
rasanya sulit dilaksanakan oleh sebagian besar penduduk di Kota Malang.
Adalah Mbok Pah, yang ingin memberikan jamu, yang pertama kali merasa kehilangan Luke.
Sementara yang lainnya masih tidur dengan kelelapan yang luar biasa. Mbok Pah mencari di setiap
sudut rumah ini. Akhirnya dengan cemas membangunkan ibu Luke.
“Saya tidak menemukan Jeng Luke, Bu.”
Mama Luke yang kelihatan mengantuk tiba‐tiba terbangun. “Cari dia sampai dapat, sebentar lagi
acara akad nikah segera dimulai.”
Akhirnya, setelah sekian lama Mbok Pah mencari, seluruh keluarga besar terbangun dan menjadi
gagap, “Luke memang tidak ada di tempat!”
Sekarang setiap kerabat, sahabat, mencari Luke ke seluruh penjuru Kota Malang. Tidak diketemukan
calon pengantin perempuan.
Kepanikan semakin lama semakin lebar ketika pengantin pria dan seluruh keluarga besarnya sudah
datang untuk menikahkan putra‐putrinya. Semua keluarga besar Hendrawan hampir tidak bisa
berbuat apa pun ketika yang satu mulai menangis dan yang lainnya ikut‐ ikutan.
Pakde dari Luke, atas desakan keluarga besar calon mantu melapor ke polisi atas kehilangan
keponakannya.
Polisi mencatat semua data‐data Luke dan berulang‐ulang bertanya, “Apakah mereka akan
dinikahkan secara paksa?”
“Tidak, mereka pacaran. Tolong kami, karena acara resepsi di gedung tinggal beberapa jam lagi dan
kalau si pengantin tidak diketemukan, besok semua koran lokal dan nasional akan memuat berita ini.
Indra anak pengusaha sukses di Jakarta. Ini akan memalukan seluruh keluarga besar kami,” kata
Pakde Luke, telak.
Polisi cuma bisa menggeleng‐gelengkan kepala. Ini kasus yang pertama ditemui oleh pihak
kepolisian. Padahal bapak polisi sangat akrab dengan pengusaha yang sangat sukses itu. Polisi
mengerahkan anak buahnya untuk mencari Luke.
Luke tidak diketemukan sampai waktu resepsi. Para undangan saling berbisik dan sebagian orang
ikut prihatin atas hilangnya pengantin perempuan. Padahal, menurut Indra, sejam sebelum
hilangnya Luke mereka masih SMS‐an. Luke cuma bilang, dia lebih sering berkeringat dan pusing

sehingga perias pengantinnya sering membubuhi bedak (satu hal yang tidak disukai Luke). Sebelum
rencana pernikahan ini dikukuhkan oleh para orangtua mereka, Indra bercerita di depan polisi,
“Kami berdua sangat sepakat untuk segera menikah, agar lebih cepat memiliki anak di masa muda.”
Mereka berdua sepakat tidak akan pernah meniru tante Luke yang masih hidup sendiri di usianya
yang hampir 35 tahun. Masih menurut Indra, Luke sering bercerita tentang tantenya itu, “Tanteku
kariernya bagus, tapi dia tidak sempat menikah! Saya tidak ingin seperti dia, tanteku tidak bisa
memahami bagaimana mencari susu bayi, mengantarkan ke taman kanak‐kanak atau ke dokter.”
Namun, dua bulan sebelum pernikahan Luke, tantenya dengan bangga mengatakan, “Aku baru saja
melahirkan seorang anak.” Tante tidak pernah menyebut‐nyebut siapa bapak dari bayi itu. Luke
melihat hal itu sangat luar biasa dan ini sering diceritakan pada Indra. Tetapi Luke dan Indra tetap
sepakat akan menikah secara normatif dan kemudian punya anak.
Jadi, tidak mungkin Luke pergi tanpa alasan yang jelas. Indra takut ini ada tangan‐tangan kotor dari
pesaing bisnis papanya atau Pak Hendrawan dalam pernikahan mereka. Lantas, dia mendesak polisi
dan seluruh kerabat Hendrawan untuk mencari Luke agar tidak mempermalukan dirinya dan
mencari akar masalah dari musibah ini. Apakah ini ada hubungannya dengan pesaing bisnis papanya
dan pesaing bisnis papa Luke?
Di depan polisi Indra berulang‐ulang berkata, “Pak, di antara pelaku bisnis itu selalu muncul iri hati
satu sama lain dan mungkin kedengkian inilah yang menjudi akar masalahnya. Oleh karena itu,
berapa pun akan saya bayar untuk mencari Luke hari ini juga! Saya tidak yakin Luke pergi dari rumah,
tidak dengan alasan yang jelas. Yang saya banggakan darinya sikapnya yang rasional dan kemauan
yang keras. Kalau tidak pacaran dengannya, saya mungkin belum berani menikah.”
Luke memang tidak ditemui di penjuru kota ini.
Luke setelah tiga hari pulang ke rumah dan Luke bercerita, “Waktu itu saya merasa gerah, seorang
anak kecil membimbing saya untuk keluar dari rumah ini. Saya berpikir untuk menghibur anak ini.
Saya kira dia salah satu anak dari keluarga besar kami. Untuk menghiburnya, kami menaiki becak
yang parkir di depan rumah, dengan harapan saya akan kembali pukul 14.00 WIB sebelum menikah.
Ini sensasi yang luar biasa, saya dan anak kecil itu merasa bahagia. Kami ke sebuah taman anak‐ anak
minum es krim dan saling memakai ayunan. Kemudian setelah hampir pukul 16.00 WIB saya sadar
sudah terlambat untuk pulang ke rumah dan anak itu sudah pergi entah ke mana, sehingga saya
panik mencarinya.”
“Jadi, saya tidak bermaksud mempermalukan siapa pun, saya mencari anak itu yang tadinya cuma
pamit sebentar. Saya pikir orangtuanya pasti akan kehilangan anak itu, kalau tidak saya temukan
dirinya. Saya tentu bersalah! Walaupun saya tahu saya harus pulang untuk menikah dengan Indra.
Ya, seharusnya anak itu tidak pergi dari sisi saya, sehingga saya dengan dia bisa pulang ke rumah dan
kemudian jadi pengantinnya Indra, dengan kebahagiaan yang bisa dirasakan oleh seluruh keluarga
besar saya.”
“Anak itu tetap tidak diketemukan, saya menangis. Saya cemaskan anak itu. Kalau tidak bisa
diketemukan malam ini, saya sangat berdosa. Pasti orangtuanya sedang panik mencarinya.
Seharusnya, saya melaporkan kehilangan anak ini pada keluarga dan polisi. Tapi, saya merasa

ketakutan dan berharap setiap saat anak itu akan muncul lagi dan kita bersama akan melewati hari‐
hari yang lebih bahagia.”
Semua orang tidak mempercayai omongannya. Kedua orangtuanya merasa dipermalukan.
Sementara itu, pacar Luke menyatakan mereka sekeluarga merasa dipermalukan dan tidak bisa lagi
meneruskan hubungan ini.
Luke berulang‐ulang bilang, “Kalau pernikahan itu tidak jadi, saya tidak bisa disalahkan. Waktu itu
saya dan anak kecil tersebut begitu bahagia dan saya begitu panik karena tiba‐tiba anak itu tidak
berada di sisi saya. Seharusnya, Indra menganalisa masalah ini dahulu, dengan lebih tenang, sebelum
memutuskan hubungan kita. Kami masih saling mencintai.”
Penduduk kota kami membicarakan gagalnya pernikahan itu berhari‐hari. Sebagian orang
menganggap keluarga Hendrawan kurang melengkapi sesajennya, ketika akan menikahkan dengan
adat Malangan, sehingga penghuni halus jadi marah‐marah. Seharusnya keluarga Hendrawan bikin
selamatan untuk menyucikan tempat pernikahan itu terlebih dahulu. Penduduk kota kami percaya
untuk memakai adat Malangan yang lengkap harus memakai sesajen, untuk melewati proses demi
proses dari mulai widhodharen, temu, sampai selesainya pernikahan tersebut.
Sementara itu, beberapa teman Luke maupun Indra merasa heran, mengapa pengantin minggat,
padahal mereka saling mencintai? Dan mereka berdua begitu mantap untuk menikah, sekalipun
kuliah mereka berdua belum selesai.
Kita membicarakan itu selama berhari‐hari sehingga tak tahu lagi bagaimana kabar Luke sebenarnya,
yang menurut beberapa orang, tidak ketahuan ke mana perginya.
Kemudian, kalau kita melewati rumah Luke, tampak pagar dan dokar yang berwarna ungu. *
Malang, 2004

Kabar dari Bambang
Dini (wartawati di kota ini) masuk ke sembarang tempat praktik dokter (sudah hampir jam sepuluh
malam). Dini tidak bisa menanahan gatal, yang sudah menjadi bengkak di seluruh tubuhnya (dokter
itu sebetulnya sudah menutup pintu ruang praktiknya).
“Tadi makan udang? Di pernikahan sahabat Anda, berarti alergi udang hindari makan itu, ini
resepnya.”
“Saya tidak pernah alergi apa pun termasuk udang. O ya, saya harus mengejar deadline, dokter apa
bisa hilang dalam berapa jam lagi?”
“Proses obat biasanya bekerja enam jam setelah diminum, sebaiknya Anda tidur dulu, besok saja
mengetiknya.”
“Dokter, sebaiknya Anda memberi saya obat yang mahal, bukan generik, agar cepat sembuh! Saya
mengejar deadline untuk berita besok!”
Dokter Bambang tersenyum.
Peristiwa ini diingat Dini pada saat ini, karena pada waktu itulah, dia pertama kali bertemu dengan
Bambang (dia sudah menganggap lelaki yang lembut ini cocok menjadi jodohnya). Pertemuan
berikutnya, begitu dicari‐cari olehnya (waktu itu umurnya sudah 28 tahun). Mama mendesaknya
berulang kali, agar secepatnya menikah! Hal itu, akhir‐akhir ini memang sering dibicarakan, bukan
saja oleh mama, juga oleh papanya yang bisanya tidak pernah membicarakan, “Saya kira ada banyak
lelaki yang cukup akrab denganmu, mengapa tidak kamu pilih salah satu dari mereka?”
“Mengapa Papa serius, apakah Mama yang menyuruh Papa berkata begitu?”
“Tidak, saya kira sudah waktunya kamu memilih jodohmu. Kami suka sekali kepada Kemal, apakah
tidak ingin serius dengannya?”
Dini membelalakkan mata, “Bagaimana mungkin, masih ada cerita Siti Nurbaya.”
Mama dari tadi diam, menyela pembicaraan mereka, “Kau tahu, adikmu Adit, sudah lama pacaran
dan tadi orangtua pacarnya menelepon kami, menanyakan keseriusan adikmu. Kami tidak suka
kamu didahului oleh adikmu. Sekarang pilih untuk dirimu sendiri atau kami yang memilihkan. Kau
tahu, kami menyukai Kemal! Kami percaya di antara sekian teman laki‐lakimu, dia bakal menjadi
suami yang baik untukmu. Karena kau begitu keras kepala, sedang Kemal kelihatan bisa sabar
kepadamu.”
Dini tercengang dan papanya bicara dari ujung meja sana, “Ini masalah pelik bagi kami. Hal itu tidak
pernah kubayangkan sebelumnya. Buat kami perempuan pada usia 28 tahun, belum menikah dan
masih meniti karier bukan masalah. Tapi, ketika adik laki‐lakimu akan menikah persoalannya tidak
jadi sesederhana itu. Ini memang problem sosial. Kami tidak rela jika orang melihatmu dengan mata
penuh kasihan, karena adik laki‐lakimu menikah lebih dahulu.”
“Kalau adik mau menikah lebih dahulu, itu bukan masalah bagiku,” kata Dini hampir berteriak.

Mama memeluknya dan malam itu papa, mama, Dini berjalan ke sembaramg arah sampai larut
malam!
Waktu itu, kenapa dia memilih Bambang. Dia tahu Bambang tidak memiliki teman dekat dan lelaki
itu kelihatannya begitu lembut sekali meskipun kelewat sensitive (Dini tidak akan pernah suka lelaki
yang dominan terhadap perempuan mana pun).
Setelah tiga bulan berteman dan jalan bersama, mereka menikah. Lantas, semuanya berjalan baik‐
baik saja. Mereka baru saja memiliki seorang bayi perempuan, yang matanya sebagus bapaknya.
MEREKA sudah menikah tiga tahun yang kadang‐kadang mengherankan Dini, dia sering melihat
suaminya sendirian di teras. Dini tidak pernah tahu apa yang membuat suaminya gelisah. Pernah
ditanyakannya hal itu, tapi Bambang bilang dia cuma kepingin sendiri sesaat. Dini menghormati
privasi suaminya, sepaham dengan pendapat mamanya bahwa suami‐istri, masih butuh ruang
pribadi yang tidak bisa dimasuki oleh pasangannya masing‐masing.
Mereka masih suka ngobrol dengan topik yang melompat‐lompat, tetapi tetap dengan interes yang
sama. Bambang seorang pembaca koran yang sangat teliti pada bahasa, di sisi lain sebagai
wartawati, Dini bisa keliru menuliskan atau mengeksplorasi sebuah bahasa dalam wacana.
Yang lainnya, seminggu dua kali Bambang memang praktik di luar kota, jaraknya 80 km dari kotanya.
Bambang selalu bilang, “Bukankah kita bertemu pertama kali di kota itu dan rasanya, aku punya
ikatan emosional dengan pasienku.”
Buat Dini itu bukan masalah, Bambang juga tidak pernah melarangnya bekerja, tugasnya sebagai
wartawati juga sering berada di luar kota.
Hari ini, dia merasa ingin berbuat sesuatu untuk Bambang (hal yang tidak pernah dilakukan sejak
mereka menikah). Dia ingin menata koper kecil, yang selalu dibawa Bambang untuk praktik di luar
kota.
Dini merasa bermimpi yang sangat buruk! Dia menemukan di sela‐sela jas‐lab: baju perempuan
berikut alat‐alat make up. Seharusnya pada waktu itu, dia mengamuk. Namun, yang dilakukan Dini
ingin menyelidiki dulu sebelum memutuskan perceraiannya dengan Bambang. Yang pasti, Bambang
sudah berselingkuh dengan perempuan lain! Dia ingin tahu semodel apa perempuan yang bisa
merebut hati Bambang (Dini merasa ada ledakan di hatinya). Dia akan bersaing dengan saingannya!
Setelah Bambang menutup praktiknya. Dini mengikuti mobil Bambang yang kini di parkir di sebuh
kafe (pasti perempuan laknat itu sudah berada di sana). Apakah, Dini sedang bermimpi? Yang
memakai baju perempuan dan wig itu adalah suaminya yang dengan kemayunya, tertawa bahagia
bersama beberapa teman se‐gengnya!
Dia tidak tahu bagaimana caranya, bisa pulang ke rumah. Cuma keasingan yang menyerbu dirinya
dan matanya basah sendiri. Kalau saingannya perempuan, dia sudah menyusun strategi untuk
mengalahkan saingannya. Jika, perempuan itu lebih cantik dari dirinya, dia akan mencari potensi
yang ada dalam dirinya, dia tahu Bambang melihat kecerdasan adalah bagian yang indah dalam
dirinya. Namun, saingannya bukan perempuan! Masalahnya lebih dahsyat dari itu. Bisa jadi,

Bambang seorang biseks yang mencintai laki‐laki lain. Bambang menangkap kesedihan itu dan
berkata pelan, “Apakah, saya sudah menyakiti kamu? Saya tidak pernah ingin menyakiti istriku.”
Semalaman, Dini menangis tanpa bisa menjawab omongan Bambang. Tapi, apakah ini naluri
kewartawanan? Dini mengikuti lagi Bambang keluar kota dan berharap itu cuma mimpi! Sebab yang
terjadi, dengan bahagia Bambang duduk di pojok kafe memakai baju perempuannya, dia kelihatan
begitu cantik! Lebih dari itu, di matanya yang indah terlihat binar‐binar kebahagiaan.
Dini merasa limbung, dia ingin menampar Bambang dan memakinya habis‐habisan. Dini kepingin
segera bercerai. Tapi, ketika pulang ke rumahnya bayangan Bambang yang begitu bahagia tersebar
di mana‐mana dan tiba‐tiba, dia ingat sebuah buku yang sering dianjurkan Bambang untuk
membacanya, “Alangkah sulitnya kalau terjebak di tubuh laki‐laki, sedang kita adalah perempuan.”
Dini mencoba untuk menghilangkan perasaan jijiknya kepada Bambang. Sebetulnya selama ini,
sepanjang pernikahannya dengan Bambang, dia merasa punya sahabat dan seperti layaknya setiap
persahabatan, jauh dari pamrih. Selama ini, dia menafsirkan hubungan mereka berdua sebagai
simbol dari sebuah keluarga bahagia! Nyatanya ada sesuatu yang begitu salah dan dahsyat di balik
itu. Kemarahan semakin tebal setiap hari sehingga sulit baginya untuk berbicara kepada siapa pun,
juga pada mamanya (Padahal, dia selalu menceritakan tentang apa pun pada mamanya, juga
keanehan‐keanehan Bambang). Bodohnya, mereka tidak menganalisa lebih jauh kelakuan Bambang,
padahal masalah ini tidak sesederhana itu.
Beberapa minggu berjalan dengan begitu meyedihkan. Dini merasa Bambang tidak bisa lagi jujur
lagi! Sekalipun berulang‐ulang Bambang berkata, “Saya juga bertemu dengan banyak manusia dan
pengetahuan itu membuatku tahu kalau kau sekarang tidak bahagia.”
“Aku selalu ingat waktu pertama kali ketemu kau di ruang praktikku, aku merasa seperti ketemu adik
perempuanku yang keras kepala, sensitive dan begitu cantik. Aku segera menyukai kamu.”
“Sebagai adik perempuanmu?”
Bambang menganggukkan kepalanya.
Dini merasa tertekan dan sulit bernapas, dia menampar Bambang berulang‐ulang, “Kamu penipu
kalau aku tahu kau seorang…, saya tidak pernah mau menikah dengan kau, ini sungguh menjijikkan
dan Adnan sebagai pengacara yang akan mengurus perceraianku denganmu.”
Bambang menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bermaksud menipumu. Aku sebetulnya kepingin
menjadi perempuan seperti kau, tapi keluargaku begitu mencintaimu! Berharap aku segera
menikahimu sebagai laki‐laki. Aku memang tidak pernah berani mengatakan siapa sebenarnya diriku
sejak akte kelahiran, KTP, dan STTB bahkan namaku adalah laki‐laki.”
Bambang menangis.
Lama mereka terdiam dan malam itu mereka memutuskan bercerai dengan baik‐baik. Sebelum
Bambang keluar dari kamar ini, dia berkata pelan, “Kau tahu temanmu yang suka mengantarmu
kesini, menyukaimu! Aku selalu takut jika kau akan mendapat suami yang suka kasar kepadamu.”

Dini melihat, “Saya ingin tetap kau menjadi kakakku bukan saja demi anak kita tapi juga demi aku,
kau tahu aku tidak pernah bisa care pada orang lain.”
Bambang tersenyum dan menciumnya sekilas.
Beberapa hari kemudian, dia mendapat surat dari Bambang.
Dini, yang saya sayangi,
Saya memutuskan untuk pindah Negara dan saya sangat bahagia sekali karena kau bisa menerima
aku seutuhnya dan kau berjanji untuk tidak menceritakan hal ini pada anak kita sampai dia dewasa.
O ya, pada sahabatku dokter Kemal (aku tahu dia menyukaimu) aku perlu menceritakan semua
tentang kita….
Dini yang baik,
Maaf, aku sudah mengatakan pada Kemal, aku akan merasa bahagia jika dia mau menikahi kau.
Mudah‐mudahan sebagai kakakmu keinginan ini wajar dan didengar oleh Tuhan. Beberapa tahun
yang lampau, bukankah kau dijodohkan dengan Kemal, tapi kau merasa harga dirimu terbanting dan
kau juga merasa dirimu Siti Nurbaya yang harus kawin paksa.
My dearest, Dini.
Aku sendiri akan pergi dari satu negeri ke negeri yang lain dan mencoba mengerti tentang diriku
sendiri. Berharap di tempat lain akan kutemukan sebuah tempat dimana aku bisa diterima seutuh‐
utuhnya. Aku selalu ingat kau sebagai perempuan yang aku sayangi dan tentu saja aku akan tetap
menyayangi anak perempuanku.
Salamku.
Kadang‐kadang Bambang masih mengirim e‐mail kepadanya dan setiap menerima surat Bambang
dia merasa seperti menerima surat dari orang yang menyayanginya. Dia bayangkan Bambang (yang
disayanginya) mengembara dari negeri satu ke negeri yang lain mencari jati dirinya. Dan mencari
tempat yang lebih baik, bukan saja bagi dirinya, bisa jadi juga untuk Dini dan anaknya (Dini selalu
sedih membaca e‐mail‐nya).
Akhirnya, Dini menelepon Kemal dan semuanya seperti sudah direncanakan, Dini menikah dengan
Kemal!
Sore itu, anak kedua dari hasil pernikahannya dengan dokter Kemal, lahir!
Dini ingin sekali Bambang tahu hal ini!
Malang, Januari‐Mei 2003