kumpulan cerpen 2.doc

download kumpulan cerpen 2.doc

of 40

Transcript of kumpulan cerpen 2.doc

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    1/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    2/40

    deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih

    saja utak-atik menyiapkan bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh

    sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuksekolah sudah kami siapkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!"

    "Sudah saya pikir masak-masak."Saya terkejut.

    "Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!"Taksu menggeleng.

    "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."

    "Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!"Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan. Yang

    dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didik, sehingga

    Taksu jadi cupet pikirannya.

    "Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Masak

    mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!"Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua

    dianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bisa

    galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur.

    Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi

    mengunjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan

    kosong. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawasebuah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan.

    Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tanyakanbagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama.

    "Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama sekalitanpa rasa berdosa.

    Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukanya. Ia

    tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis.

    "Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang-orang

    pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, guru pahlawan,

    guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! Itu bahasapemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter?

    Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan bejat sekarang?

    Ah?"

    Taksu tidak menjawab.

    "Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara tidak pernah

    memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang seperti kamu, sudah

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    3/40

    puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu, Taksu. Dipuji

    sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli tidak dibayar. Kamu tertipu

    Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masihtetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat itu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar

    negeri biar sekolah setinggi langit, supaya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak

    begitu saja kamu tidak nyahok?"

    Taksu tetap tidak menjawab.

    "Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunanyapuji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adalah duit,

    Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialistik itu jelek. Itu

    kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu

    memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yang bener saja. Kitahidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu

    menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?"

    Taksu mengangguk."Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"

    Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur.

    "Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga

    bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soal hidupmatimu sendiri, Taksu!"

    Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin

    membantah. Di jalan istri saya berbisik.

    "Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu dalam.

    Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yangmenyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus!

    Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beliin dia mobil,

    supaya mau mengikuti apa nasehat kita!"

    Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami.

    Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mungkin akan

    diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya usulkan mestidicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri memang selalu mengukur

    suami, dari perasaannya sendiri.

    Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami.

    Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua yang

    selalu minta diperhatikan anak.

    Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya datang dengan

    kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit sebuah mobil.

    Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli murah. Tapi sejelek-

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    4/40

    jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau mengubah cita-citanya,

    jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti.

    "Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah untuk

    kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak."

    Taksu melihat kunci itu dengan dingin.

    "Hadiah apa, Pak?"

    Saya tersenyum.

    "Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singkat

    kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

    Taksu memandang saya.

    "Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?"

    Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali."Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekarang juga,

    kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu memalukan orangtua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami

    sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga

    ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya duit untuk merawat kamiorang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah yang bener. Mbok mau jadi

    presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru, paling banter setelah menikah

    kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua

    warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tidak! Aku tidak mau anakku terpurukseperti itu!"

    Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudian sayabersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi.

    "Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya,saya hormat atas perhatian Bapak."

    Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan saya

    ditaruhnya kembali kunci mobil itu.

    "Saya ingin jadi guru. Maaf."

    Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu

    amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cukupbaik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan ke

    kantung celana.

    "Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan

    kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsung

    bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan

    slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar.

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    5/40

    Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah!

    Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa."

    Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu

    pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa melakukan itu,

    kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah kurang ajarmenjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru. Sialan!

    Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobilmewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama.

    "Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?"

    "Mau jadi guru."Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas meja

    meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya.

    "Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata danpikiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu

    mau jadi guru, Taksu?!!!"

    "Karena saya ingin jadi guru."

    "Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!"

    "Saya mau jadi guru."

    "Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru."

    Taksu menatap saya.

    "Apa?"

    "Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak saya kalap.

    Taksu balas memandang saya tajam.

    "Bapak tidak akan bisa membunuh saya."

    "Tidak? Kenapa tidak?"

    "Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. Tapi apayang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang dan memberi

    inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak."

    Saya tercengang.

    "O jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"

    "Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati."

    Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup.

    "Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    6/40

    semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?"

    Taksu memandang kepada saya tajam."Siapa Taksu?!"

    Taksu menunjuk."Bapak sendiri, kan?"

    Saya terkejut.

    "Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kamu

    tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu itu kamu

    malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan bandel dan

    kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu tidak sadarmeskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah orang-orang yang

    akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai

    kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, sebab dengan

    menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tidak akan bisabersaing di zaman global ini. Tahu?"

    Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang hidup.

    Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang-mentang

    cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap.

    "Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gunanya ada

    bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. "Kalau kamu menjadi

    buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkecoh, Taksu. Meskipunkeluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidolakan guru sebagai profesi

    kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluarga guru itu dengan tidak perlu

    menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hancur berantakan gara-gara banggamenjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai

    dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa,

    mengapa harus dilihat sebagai dosa. Sebab itu semuanya hanya alat untuk bisa hiduplebih beradab. Kita bukan menyembahnya, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu

    menyembah materi. Kita hanya memanfaatkan materi itu untuk menambah hidup kita

    lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai

    guru, baru manusia itu menjadi beradab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu,sekarang juga! Ini!"

    Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah."Ini satu milyar tahu?!"

    Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil

    siap-siap hendak pergi.

    "Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina

    kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali

    perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    7/40

    menukar nalar kamu!"

    Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa yangsudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri saya bengong.

    Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadarannya turun kembali,

    matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan.

    "Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap.

    Saya bingung.

    "Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak

    mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama anak

    dagang. Dasar mata duitan!"

    Saya tambah bingung.

    "Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!"

    Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu

    anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat kesana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya sempat dua

    kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah tetapi tidak

    menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak yang sangat mahal,bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur?

    "Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap.

    Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu sepertisudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu sudah

    kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas

    kecil dan pesan kecil:

    "Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru."

    Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kertasyang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yang

    harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam kamar

    itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah sudah

    takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memaki-makiMina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru yang

    sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyataannya

    banyak sekali guru yang brengsek.

    Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi ketika menoleh,

    itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu iamengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya

    lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. Kalau tidak, istri saya

    akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya jawab semua tuduhan istri saya. Dia

    tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah. Akhirnya di bekas kamar anak

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    8/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    9/40

    Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tanpa

    ditanya lantas ngomong.

    "Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskanmenelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop.

    "Kenapa, Dok?"

    "Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya sebulansekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren

    merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, sebab ada kawannya yang

    ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, tetapi harus pulang dulu!Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Akibat iklan-iklan tv, anak-anak

    sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. Sudah. Anda sudah tokcer. Anda

    sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan

    seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!"Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali

    menggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S.

    Effendie.

    "Mari menyusun, bunga Seroja......"Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.

    "Moksa nelpon ya?"Dokter menarik napas panjang.

    "Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih penting. Kita

    memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang sakunya harusdikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang."

    Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran.

    "Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke

    Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisamembatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!"

    Istri dokter Subianto duduk di kursi.

    "Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukupsenang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi."

    "O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang

    semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya.""Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Nah

    sekarang aku menceritakan kepada kamu."

    "Apa lagi apologinya kali ini?"

    "Bukan apologi.""Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 ribu

    besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada

    pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang memang sulitdilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh

    televisi dan majalah-majalah wanita!"

    Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suaminya. Iamenunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia bercerita.

    "Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wanita

    itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk

    beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pasti akan

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    10/40

    terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang."

    Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan sedih.

    Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar."Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?"

    Nyonya dokter berhenti menangis.

    "Masak mencuri!""Habis apa? Kamu kok menangis?"

    "Aku menangis karena terharu."

    "Kenapa terharu?""Sebab anakmu ngamen di dalam bus!"

    "Apa?"

    "Ngamen!"

    Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tambah takpercaya lagi ketika istrinya menambahkan.

    "Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya.

    Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak

    tersangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinyadengan senang hati."

    Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selaludikhawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih

    lempeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan

    keberanian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Ituharus dibanggakan.

    Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu

    pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-diam masuk ke

    dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matanya. Ia cepatberpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu.

    Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya

    sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amatkesakitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya.

    Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep.

    "Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkinmemerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya

    sampai habis. Ini ada 4 macam."

    Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter

    seperti bimbang."Kok banyak sekali Dokter?"

    "Bisa diambil separuhnya saja dulu."

    "Ini kira-kira berapa Dokter?""Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali."

    Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran.

    "Kenapa?""Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bayar

    Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda.

    Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa sebabnya.

    Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baiknya. Saya

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    11/40

    katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan

    tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung mendengar apa yang

    saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar, karena saya lihat diabegitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia mencium tangan saya dan

    mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi

    dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suaranya, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf, Dokter punya anak yang

    tinggal di daerah Depok, bukan?"

    Dokter Subianto terkejut."Ya, anak saya Moksa, indekos di situ."

    "Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?"

    "Ya betul."

    "Maaf, kalau tidak salah, kidal?""Betul."

    Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong.

    "Kenapa? Bapak kesakitan?"

    Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita."Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uang

    saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan main,saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain

    kali saja?"

    Dokter Subianto tercengang."Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?"

    "Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?"

    "Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?"

    "Saya tidak tahu. Mungkin tidak.""Berapa isi dompet Bapak?"

    "Seratus ribu."

    Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka lacimejanya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu.

    "Ini. Tebuslah resep itu."

    Orang itu tercengang. Nampak agak malu."Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya.

    Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu.

    "Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus resep.

    Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akanmemberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu,

    datang saja jangan ragu-ragu."

    Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan."Selamat malam."

    Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto

    cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja."Bangsat!"

    Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek,

    ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Tanpa mendengarkan

    komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    12/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    13/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    14/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    15/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    16/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    17/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    18/40

    panas dingin.

    Telepon selularnya yang tergeletak di atas meja mendadak mengeluarkan bunyi

    mengeong.

    "Siapa?" aku bertanya tanpa mampu menahan tawa. Jarang sekali aku mendengar ring

    tone mengeong seekor kucing.

    Ia bergerak menekan tombol view lalu memperlihatkan message di layar kepadaku: elu

    di mna, honey? Gw lagi di Palem caf Plaza Senayan. Kpn mo ke jkt? Gw yg atursemuanya deh. Kgen mo refreshing ma elu :)

    "Seekor kucing yang kesepian," sahutnya dengan nada sumbang.

    "Seekor kucing?"

    "Seorang laki-laki yang kesepian," ia mengulangi kata-katanya."Tadi kamu bilang seekor kucing yang kesepian."

    "Laki-laki sama seperti seekor kucing. Licik," sahutnya enteng. "Seekor kucing yang

    mengeong-ngeong minta dipangku dan dielus-elus tengkuknya. Lalu ia merem melektidur di pangkuan. Tetapi ketika tetangga sebelah menawarkan seekor pindang, dengan

    mudahnya ia mengeong, mengendus, dan menjilat kepada tetangga sebelah," sahutnyasejurus setelah menghirup float avocado lagi.

    Aku tertawa tanpa bisa kucegah. "Masa sampai seperti itu?"Ia mengangguk-angguk. Lidahnya yang merah terlihat seksi ketika ia menjilati bibirnya

    yang indah. "Ya, semua kucing seperti itu. Entah itu kucing Persia, kucing Siam, kucing

    angora, atau bahkan hanya kucing kampung. Kucing mudah tergoda dengan pindang,

    empal, hati, atau apa saja. Bahkan kalau tidak ada yang menawari, maka sang kucingakan mencari-cari kesempatan untuk mencuri di atas meja makan, di lemari dapur, atau

    bahkan mengais-ngais tempat sampah!" ujarnya pelan tetapi terasa ketus.

    Aku ikut mengangguk-angguk. Ketika fruit punch-ku datang, kuhirup dulu. Rasa asam

    dan kecut terasa menyegarkan lidah dan tenggorokanku. Walaupun ujung hidungku juga

    membias dingin seperti embun yang mengkristal di badan gelas. Lalu aku menyalakansebatang rokok kretek. Menghisapnya dalam-dalam. Menghembuskannya kuat-kuat.

    Rokok selalu membuatku merasa lebih tenang. Terlebih lagi jika aku berhadapan dengan

    perempuan ini.

    "Hmitu laki-laki ya. Laki-laki seperti kucing. Bagaimana kalau perempuan?" tanyaku

    sejurus kemudian.

    "Perempuan seperti anjing""Anjing?!" aku terpana.

    "Ya, setia seperti anjing. Apa pun anjing itu. Anjing herder, anjing peking, anjing cow-cow, atau anjing kampung sekalipun, ia akan tetap duduk setia menunggu pintu sampai

    tuannya pulang ke rumah. Ia tidak akan makan pemberian tetangga sebelah. Anjing hanya

    memakan yang disodorkan tuannya. Ia tidak akan mencuri-curi kesempatan. Bahkan

    terkadang, tuannya sudah bosan dan mengusirnya sambil melemparnya dengan sepatu,

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    19/40

    sang anjing masih kembali menjaga pintu rumah tuannya," ia bicara panjang sambil

    tertawa.

    "Ada sebuah cerita yang kudengar ketika aku masih kanak-kanak. Seekor anjing setiap

    pagi mengantarkan tuannya ke stasiun kereta dan setiap sore menjemput tuannya di

    stasiun kereta. Suatu hari, tuannya meninggal di jalan dan tidak pulang kembali. Sanganjing tetap menunggu tuannya di stasiun kereta itu sampai mati pula di dalam

    penantiannya di stasiun itu."

    "Hei, menurutmu itu setia atau tolol, sayang?" ia terkikik.

    "Hm, menurutku ironis!" sahutku.

    Kali ini tawanya meledak. Ia tertawa sampai bahunya yang indah terguncang-guncang.

    Tawa panjangnya memenuhi ruangan caf, sampai ke jalan-jalan, memantul di selokan-selokan, menembus tirai gerimis, mengalahkan suara merdu Julio Iglisias, mengaung di

    sepanjang lorong hatiku.

    "Ya memang harus seperti itu. Ironis. Anjing dan kucing. Perempuan dan laki-laki. Kau

    dan aku.""Kita?"

    "Ya. Kita. Kau dan aku.""Kau dan aku?" aku masih tidak mengerti.

    "Ya. Kau adalah aku. Aku adalah kau."

    "Hah?"

    "Ya. Kau dan aku itu adalah satu kesadaran yang sama. Aku di dalam kau, dan kau di

    dalam aku. Kita adalah laki-laki. Dan kita adalah perempuan. Kita sekarang ada di caf.

    Kita juga sekarang ada di rumah. Kau selalu membawaku pergi di dalam angan-anganmu.Aku juga selalu mengikuti kau pergi di dalam bayang-bayangmu."

    "Mana mungkin?!" desisku terperanjat. "Kau adalah kau. Aku adalah aku. Ini cumahalusinasi. Ini cuma imajinasi. Ini cuma ilusi."

    "Tidak. Kita adalah sama. Ini adalah deja-vu."

    "Deja-vu?!" seruku tidak percaya."Kau siapa?" aku masih bertanya.

    "Maya," sahutnya. "Aku Maya. Masa lalu, khayal, mimpi, semu, ada dan tiada."

    "Aku siapa?" tanyaku lagi.

    "Asa," sahutnya. "Kau Asa. Masa depan, harapan, dan cita-cita.""Begitukah?" aku bergumam. "Kau Maya, masa laluku. Aku Asa, masa depanmu.

    Sekarang kita ber-deja-vu?"

    "Ya," suaranya seakan-akan datang dari labirin ruang jarak dan waktu di belahan dunialain.

    "Kalau begitu, bagaimana kalau kita pulang bersama?""Bagaimana dengan perempuanmu?"

    "Persetan dengan dia! Perempuan itu lebih suka memeluk gulingnya daripada

    memelukku. Sedangkan kau, selalu berada di dalam diriku."

    Dia tertawa manis. "Dasar kucing."

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    20/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    21/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    22/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    23/40

    Lalu, seorang lelaki berusia empat puluhan, mengenakan berlapis-lapis baju baru dan

    sebuah jaket kulit hitam, memundak buntalan besar dengan wajah berkeringatmenghampiri persembunyian Tio dan si anak di belakang kios itu. Lelaki itu terkejut

    menemukan Tio, dan tampak kurang senang karena anak itu membiarkan seorang asing

    berada di dekat barang-barang mereka. Lelaki itu menaruh buntalan di sampingbungkusan lainnya. "Siapa kamu? Mau apa di sini?" tanyanya mengancam ke arah Tio.

    Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok luar negeri dari saku jaket kulitnya yang tebaldan baru, mengeluarkan mancis keemasan dari saku celana jinsnya yang baru, dan seperti

    sengaja memamerkan arlojinya, kalung emasnya, sepatu kulitnya, berdiri tegak

    menyalakan rokok, mengisapnya, menghembuskan asapnya ke arah Tio.

    "Saya...saya..."

    "Takut terkena peluru nyasar, ya?"

    "Saya mau pulang, kalau sudah aman.""Tapi kenapa berhenti di sini?"

    "Sepedanya mana, Yah?" anak itu menyela.

    "Sepedanya mudah-mudahan ayah kebagian!" kata lelaki itu seraya matanya tetap ke arah

    Tio.

    "Om dapat mempercayai saya. Saya akan menjaga barang-barang Om. Tadi saya mau ke

    kampus ketika bus yang saya tumpangi membatalkan perjalanan. Seandainya tadi malam

    saya tidak pulang ke rumah, tidur di kampus seperti yang lain, pasti sekarang saya tidakdi sini, mungkin berdemonstrasi bersama teman-teman ke istana!"

    "Oh, begitu?" Lelaki itu kembali menghembuskan asap rokok ke wajah Tio. Lalu sepertiteringat sesuatu, ia mengeluarkan selampe baru dari saku celananya, kemudian melap

    keringat di keningnya, dan kembali memandang Tio yang mengenakan kaus, jins, dan

    sepatu kets yang sudah kucel.

    "Percayalah, saya akan menjaga barang-barang Om bersama anak Om," ulang Tio

    "Ya sudah. Kalian tunggu di sini!" Lelaki empat puluhan itu lagi-lagi menatap tajam ke

    arah Tio, mengantungi selampe, segera mengambil beberapa arloji mahal dari sebuahbuntalan, beberapa bungkus rokok luar negeri dari sebuah kardus besar, menjejalkan

    semuanya ke saku celana, baju dan jaketnya dengan terburu-buru, lalu mengisyaratkan

    kedipan mata "hati-hati" ke arah anaknya, baru kemudian menghilang di antara orangramai.

    Sepeninggal lelaki itu, Tio sesaat tersinggung oleh kedipan mata itu, dan sempatdihinggapi keinginan culas untuk mengambil beberapa walkman dan arloji, lalu berlari

    meninggalkan tempat itu, menerobos keramaian, mencari-cari kendaraan umum yang

    rutenya ke arah rumahnya di pinggir kota. Tapi lamat-lamat telinganya masih mendengar

    suara tembakan demi tembakan di antara hiruk-pikuk itu. Membuatnya kembali

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    24/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    25/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    26/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    27/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    28/40

    "Tapi bukumu sudah merayap ke mana-mana, Pak. Ke ruang makan, ke kamar tidur, ke

    ruang keluarga."

    "Ya, tak apa toh Bu? Nanti juga pasti ada gunanya."

    Kalau banyak orang bingung menghadapi pensiun, tidaklah demikian dengan Kolbuher.

    "Aku sudah merencanakan banyak hal untuk mengisi pensiunku," katanya.

    Satu hal yang pasti ingin dilakukan Kolbuher adalah membaca semua buku koleksinya

    yang tak sempat dibaca selama ini.

    Setelah membacai buku itu, rencana lain Kolbuher ialah menulis. Dari membaca buku

    itu, pasti timbul ide menulis artikel. Kalau dimuat, honornya lumayan untuk menambah

    uang pensiun. Di samping itu, Kolbuher juga bisa menulis resensi buku. Bukan hanya itu.

    Kolbuher pun bisa menulis pengalamannya selama menjadi direktur sebuah perusahaan.Misalnya, menulis sekitar manajemen, pengelolaan SDM, dan macam-macam.

    Jadi, Kolbuher merasa, ia pasti tidak akan kesepian menjalani masa pensiun. Pasti banyak

    kegiatan bermanfaat yang bisa dilakukannya. Apalagi ia masih sering diundang

    berceramah ke berbagai kampus dan perusahaan untuk 'berbagi pengalaman'.

    Kalau bosan membaca, menulis, dan berceramah, Kolbuher pun bisa berkebun. Cukup

    banyak tanaman di halaman rumahnya. Memotong batang, ranting, dan daun tanaman,

    serta mengganti tanahnya dan memupuknya, tentulah kegiatan yang juga banyakmemakan waktu. Untungnya, Kolbuher senang berkebun dan memelihara tanaman.

    "Jadi, mana mungkin aku kesepian," katanya kepada seorang temannya yang pernahmengatakan bahwa orang pensiun itu sering kesepian.

    ***

    SEBELUM pensiun, Kolbuher memang tergolong rajin ke toko buku. Kalau ia menemani

    istrinya berbelanja ke pasar swalayan di plaza atau mal, Kolbuher selalu menyempatkan

    diri ke toko buku.

    Menurut Kolbuher, kalau sudah ke toko buku, "Rasanya ada yang kurang kalau tidak beli

    buku. Ibarat ke Yogya tapi tidak ke Malioboro, atau ibarat ke Roma tapi tidak keKoloseum".

    Itu pula yang menjengkelkan istri Kolbuher. Setiap ke toko buku, Kolbuher pasti belibuku (minimal satu buku), padahal istrinya tahu persis buku itu hanya ditumpuk di rumah

    alias tak pernah dibaca. Bagaimana mau dibaca? Pukul 5.30 pagi Kolbuher sudah

    meninggalkan rumah dan berangkat ke kantor. Tiba kembali di rumah pukul 18.00,

    kadang-kadang pukul 19.00, atau bahkan pukul 20.00 (kalau ada rapat mendadak). Sudah

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    29/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    30/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    31/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    32/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    33/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    34/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    35/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    36/40

    mematung, meskipun sudah sangat lama jadi patung.

    "Kenapa kalian hanya diam? Berita itu mesti kita rayakan!" ujar Wibagso.

    "Untuk apa? Aku sendiri tak terlalu bangga jadi pahlawan. Ternyata negeri yang

    kumerdekakan ini, akhirnya hanya menjadi meja prasmanan besar bagi beberapa gelintirorang. Sedang jutaan mulut yang lain, hanya menjadi tong sampah yang mengunyah sisa-

    sisa pesta," ujar Sidik.

    "Itu bukan urusan kita, Bung. Tugas kita sudah selesai. Kita tinggal bersyukur melihat

    anak cucu hidup bahagia," sergah Wibagso.

    "Tapi jutaan orang-orang bernasib gelap itu terus menjerit. Jeritan mereka memukul-mukul rongga batinku."

    "Ah, sudah jadi arwah kok masih perasa."

    "Tapi perasaanku masih hidup!"

    "Untuk apa memikirkan semua itu. Kalau masih ada yang kurang beruntung, itu biasa.

    Hidup ini perlombaan. Ada pemenang, ada juga pecundang!"

    "Jangan-jangan kamu ini kurang ikhlas berjuang, Bung Sidik," timpal Ratri.

    "Kurang ikhlas bagaimana? Kakiku yang pengkor ini telah kuberikan kepada hidup.

    Bahkan jantungku telah menjadi sarang peluru-peluru musuh. Mereka memberondongkutanpa ampun hingga tubuhku luluh latak bagai dendeng."

    "Ooo kalau soal itu, penderitaanku lebih dahsyat. Kalian tahu, ketika aku merebut kotayang dikuasai musuh, puluhan peluru merajamku. Tapi aku puas, karena berkat

    keberanianku, nyali kawan-kawan kita terpompa dan akhirnya berhasil memenangkan

    pertempuran. Ini semua berkat aku!"

    "Enak saja kau bilang aku," sergah Durmo. "Dalam pertempuran merebut Kota Baru itu,

    aku dan Sidik yang berdiri paling depan. Menghadapi musuh satu lawan satu. Kamu

    sendiri, lari terbirit-birit ke hutan dan ke gunung. Dan kamu, tanpa malu, menyebutsedang bergerilya!"

    "Tapi akulah yang punya ide untuk menyerang. Aku juga yang memimpin serangan fajaritu!"

    "Siapa yang mengangkatmu jadi pemimpin, Wibagso? Siapa? Waktu itu, kita tak lebihdari pemuda yang hanya bermodal nyali. Tak ada jabatan. Tak ada hierarki. Apalagi

    pimpinan produksi perang!" hardik Durmo.

    "Tapi perang tidak hanya pakai otot, Bung! Perang juga pakai otak. Pakai strategi!"

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    37/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    38/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    39/40

  • 7/22/2019 kumpulan cerpen 2.doc

    40/40