Kumpulan Cerpen Kehidupan Remaja
-
Upload
nandya-guvita -
Category
Documents
-
view
508 -
download
33
Embed Size (px)
Transcript of Kumpulan Cerpen Kehidupan Remaja

Bukan Bronis Oleh Novalina Gresy
“Hai!!” sapa Feby begitu masuk kelas pagi itu.
“Eh! Pagi Feb!” sambut Tia kepada sahabatnya.
“Tia dapat salam lagi tuh dari Aris,” ujar Feby.
Tia langsung manyun,”Uh, aku sebel deh lihat tuh anak. Nyebelin banget tahu
nggak?”
Feby tertawa terpingkal-pingkal, ”Masa sih? Tapi sebenarnya kamu suka kan sama
dia?” ledek Feby sehingga membuat Tia semakin manyun.
“Aku heran deh sama Aris, kok bisa-bisanya ya dia tuh suka ma cewek kayak
kamu?” Feby mengamati dandanan sahabatnya yang nyaris seperti anak laki-laki.
“Ti, kamu itu sebenarnya cantik. Tapi coba deh kamu lebih feminine dikit,pasti…”
“Pasti banyak cowok yang naksir sama aku. Kamu mau ngomong gitu kan? Itu
untuk yang ke-seribu satu kalinya, Feb!” tandas Tia.
“Aku kayak gini aja udah banyak yang naksir, gimana ya kalau ntar aku jadi
feminin?”
“Yee…narsis banget sih lo,” celetuk Feby.
“Tapi, apa si Aris ga malu ya udah aku tolak beberapa kali tapi masih aja terus
kirimin salam. Kayak nggak ada cewek lain aja. Lagian nggak mungkinkan seorang Tia
jadian sama adik kelas?” ujar Tia.
Feby hanya mengangkat bahunya saja tanda tak tahu.
* * *
Tiiiin……..Tiiin….. Aris menghidupkan klakson motornya beberapa kali.
“Eh, berisik banget sih! Kalau mau lewat, ya lewat aja!” bentak Tia geram.
“Pagi Tia…,” sapa Aris merasa tidak bersalah.
“Eh, kamu kan adik kelas aku! Kalau manggil pake kakak dong! Nggak sopan
banget tahu!”
“Iya deh kak Tia! Kak Tia lagi nungguin angkot ya? Bareng aku aja, ntar lagi udah
mau bel nih,” Aris menawarkan jasa ojek gratisnya.
30

“Maaf banget ya, aku nggak biasa nebeng sama orang,”ujar Tia ketus.
“Yakin? Aku hitung sampai tiga ya, kalau kamu nggak naik aku tinggalin sendirian.
Aku nggak peduli entar kamu telat ke sekolah. Satu…Dua …Ti…ga! Ya udah aku pergi,” Aris
menyalakan mesin motirnya. Namun…
“Eh, tunggu! Iya deh aku ikut,” Tia langsung duduk dan kereta Aris melaju dengan
kencang.
“Tia?? Kamu… barengan sama Aris?” Feby terkejut melihat kejadian aneh bin ajaib
yang barusan ia lihat.
“Iya,” jawab Tia ketus.
“Udah ah, kita ke kelas aja..!”
“Eh, kamu nggak naksir kan sama Aris?” tanya Feby dengan nada curiga.
“Bodoh amat!” Tia cuek aja sambil menarik tangan Feby menuju kelas.
Hari itu, acara HUT SMA Harapan bangsa sudah dimulai beberapa hari yang lalu
dan mengundang partisipasi sekolah lain. Ada event pertandingan antar sekolah. Hari ini
adalah final futsal, dan yang membuat murid-murid heboh, sekolah ini maju menuju final.
SMA Imanuel akan menjadi lawan yang tanguh. Setelah pertandingan berlangsung
selama 20 menit, Riko keeper andalan SMA Harapan Bangsa mengalami cedera. Semua
pendukung tidak setuju kalau Riko harus digantikan oleh Aris, anak kelas X.
“Aris? Dia kan masih kelas X, mana bisa ngalahin SMA Imanuel.”
“Anak ingusan kayak dia jadi keeper? Bisa kebobolan deh kita.”
“Mampus deh SMA kita kalau gini…”
Tia dan Feby ikutan nimbrung,”Nggak salah,Pak Ivan mengganti Kak Riko dengan
memilih Aris?”
“Tahu nih Pak Ivan,”Feby ikutan menyalahkan Pak Ivan.
“Tapi aku rasa Pak Ivan nggak salah pilih deh!’ ujar sebuah suara.
“Sasa?” Feby kaget. “Maksudmu apa?”
“Asal kalian tahu ya, Aris itu keeper terbaik tingkat SMP se-ibukota. Jadi, nggak
perlu diragukan lagi.”
“Iya, tapi yang bisa jadi pemain inti kan hanya kelas XI dan kelas XII. Nah, si Aris?”
Feby masih bingung.
“Kalian nggak tahu sih, sebenarnya Aris itu sebaya kita. Dia juga seharusnya kelas
XI juga seperti kita. Tapi, waktu SD dia pernah nggak naik kelas setahun karena sakit.”
30

“Yang bener? Kamu tahu darimana?” Tia benar-benar surprised waktu itu.
“Aku pernah sekelas dan dekat sama dia ketika SD dulu.”
Tia nyaris pingsan ketika mendengar cerita Sasa. Jadi, selama ini Aris bukanlah
bronis yang selalu Tia benci, yang selalu ia tolak cintanya karena statusnya sabagai adik
kelas. Tia bingung. Ia hanya bisa menatap Aris yang sedang konsentrasi dengan gerakan
bola.
Pertandingan pun usai. Dan ternyata Aris dapat menggagalkan semua bola yang
masuk ke gawangnya. Dan mereka memenangkan final futsal hari itu. Aris menghampiri
Tia yang sedang berdiri manis di pinggir lapangan. Dan kali ini, bukan wajah cemberut
yang ia tunjukkan kepada Aris, namun wajah yang penuh senyum.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Novalina Gresy Astika Sitorus, adalah seorang siswi Kelas XII yang saat ini sedang menuntut
ilmu di salah satu sekolah di sebuah kabupaten, yang bernama Kabupaten Dairi, Sumatra
Utara. Ini adalah cerpen pertama yang ia buat untuk ikut diterbitkan menjadi buku kumpulan
cerpen karya Kelas XII IPA Unggulan, TP 2008/2009. Penulis kelahiran 28 Januari 1991 ini,
memiliki motto hidup, “No Gain without Pain”.
TENTANG PENGARANG
Novalina Gresy Astika Sitorus, adalah seorang siswi Kelas XII yang saat ini sedang menuntut
ilmu di salah satu sekolah di sebuah kabupaten, yang bernama Kabupaten Dairi, Sumatra
Utara. Ini adalah cerpen pertama yang ia buat untuk ikut diterbitkan menjadi buku kumpulan
cerpen karya Kelas XII IPA Unggulan, TP 2008/2009. Penulis kelahiran 28 Januari 1991 ini,
memiliki motto hidup, “No Gain without Pain”.

RIVAL ???Oleh Lisayana Sembiring
Diaryku cayank….
Aku sebel banget nih..!! Bayangin aja masa ortu nggak ngizinin aku kuliah di Jerman…
Padahal Om Vino kan udah bilang ama Mama dan Papa untuk menjaga aku di sana.
Tambah lagi kehidupan Om Vino disana kan juga sama menyenangkannya dengan disini.
Om Vino disana sebagai manager di salah satu perhotelan. So, kurang apa lagi coba?
Udah jelas kan disana aku nggak bakalan terlantar ! Dasar…… Mama rese…….!!!
S E B E L….!!!!!!
Ecy…
Yup, inilah aku. Anak semata wayang dari keluarga konglomerat WIJAYA, yang
hidupnya selalu diatur.
“ Tuhan……. Bantu aku dong buat ngeyakinin Mama dan Papa. Bantu aku biar bisa
kuliah di Jerman. Tuhan tahu kan kalau itu udah lama aku idam-idamkan. Tuhan ……..
malam ini kasih aku mimpi kuliah di Jerman ya….. please…! Amin,” doaku sebelum tidur
malam itu.
***
Hari ini adalah hari Senin. Awal dari kegiatan-kegiatanku yang regular itu sampai
hari Sabtunya. Pagi hari aku akan sekolah dan setelah itu akan les ini dan les itu. Tapi
biasanya hal-hal itu aku jalani dengan enjoy. Nggak pernah mengeluh sedikit pun. Kontras
banget dengan hari ini. Hari ini aku nggak mood banget. Maunya sih, sekalian aja nggak
usah masuk sekolah. Aku malas banget!!
“Non, bangun!! Udah siang. Nanti terlambat lho Non!” suara Bik Ayu dari luar
kamar.
Waduh……..gimana nih? Di satu sisi aku nggak ingin ngecewain Mama dan Papa.
Akhirnya dengan malas aku beranjak dari tempat tidur. Kali ini hanya butuh waktu 15
30

menit untuk persiapan ke sekolah. Cukup mandi dan sisiran. Udah itu pergi ke meja
makan. Sarapan buk……..!!
“Selamat pagi Pa.. Ma..!” sapaku ketika tiba di meja makan. Ternyata mereka udah
nunggu aku untuk sarapan bersama.
“Yuk…cepetan sayang..biar jangan terlambat lagi kayak kemarin,” ujar Mama
tersenyum kepadaku.
Aku selalu diantar sama Papa kalau berangkat ke sekolah. Dan pagi ini aku ada
peningkatan dari hari-hari kemarin, aku tiba di sekolah tepat 10 menit menjelang bel.
“Hei….tumben-tumbennya loe nggak telat Cy…! Udah tobat loe?” goda Viona,
sahabatku. Aku Cuma membalasnya dengan senyum.
“Dan tumben-tumbennya juga loe nggak ceria. Ada apa sih? Kalau loe ada
masalah, loe cerita dong ke gue. Kita kan udah lama sahabatan. Segala suka-duka harus
kita tanggung bersama,” tambahnya lagi.
“Ih…..bawel! kayak sesepuh aja ngomong loe! Ini juga gue udah mau cerita
Vi….”kataku. Aku mulai menceritakan masalahku sama dia, semuanya. I believe in her, dia
gak bakalan bocor.
“ Yah…. Cy… loe tuh sadar dong. Cuma loe satu-satunya anak ortu loe . kasih
sayang mereka adanya cuma sama loe doang. Ga ada yang lain lagi. Nah, kalo loe pergi
mereka bakalan kesepian. Loe mestinya ngerti dong perasaan mereka,“ nasihatnya
setelah mendengar ceritaku.
“ Mereka juga seharusnya ngerti perasaanku . Tapi yang barusan loe bilang itu ada
benernya juga sih. Ah… ga tau deh….” ujarku.
Bertepatan bel juga udah bunyi. Hari ini kami kedatangan murid baru pindahan
dari Bandung. Namanya Jose. Orangnya….. lumayan kerenlah. Tapi terang aja, aku nggak
bisa menikmati kekerenan sang cowok Bandung itu. Pikiranku masih seputar cara-cara
buat ngeyakinin Mama dan Papa agar aku bisa ke Jerman. Dia duduk tepat dibelakang
bangkuku.
“Baiklah anak-anak, sekarang letakkan PR kalian diatas meja,“ kata Pak Bromo,
sang guru matematika.
Aku mengambil buku di tas yang aku buat di sandaran bangkuku. Aku melihat
anak baru itu. Dia tersenyum manis. Senyumannya manis. Aku juga hanya bisa membalas
dengan senyum. Pulang sekolah aku udah disambut dengan les Bahasa Prancis dan les
30

matematika. Bawaannya tetap sama kayak tadi pagi. Tetap nggak mood. Jam enam sore
aku udah nyampe dirumah. Ada tamu pikirku saat melihat ada mobil Mercy merah di
depan rumah. Aku memutuskan untuk lewat dari belakang aja. Dan langsung ke kamar.
Udah setengah jam aku mengurung diri di kamar . Tiba-tiba HP ku berbunyi.
Mom calling……
“Ya…….. ada apa Ma ?“ tanyaku.
“Sayang ……….. kamu dimana nih sekarang? Udah jam setengah 7 kok belum
nyampe juga? Kamu nggak apa-apa kan sayang ?“ tanya Mama cemas.
“Oh, sorry Ma. Sebenarnya Ecy udah nyampe di rumah sejak jam 6 tadi. Tapi Ecy
lewat pintu belakang soalnya Ecy nggak mau mengganggu tamu yang datang Ma. Jadi
sekarang Ecy dikamar,“ jelasku.
“Ya…ampun … sayang! Ya udah, sekarang kamu datang ke ruang tamu ya ! Tante
kamu datang nih. Cepet ya sayang!“ ujar Mama lega dan langsung menutup telepon.
Saat tiba di ruang tamu, aku terkejut saat melihat sosok Jose ada di depanku.
“Lho…Ini Ecy ? Udah gede ya ! Terakhir Tante ketemu kamu, waktu kamu masih
imut-imut lho, Cy! Masih senang main boneka. Dan sering lompat-lompat di atas boneka
beruang coklat, “ ujar tante yang berdiri di samping Jose.
“Eits…… sayang kok berdiri aja. Kasih salam gih sama Om dan Tante.“ kata Papa.
Aku segera menurut sesuai perintah Papa. Setelah itu langsung duduk diantara Papa dan
Mama. Ternyata Jose itu teman masa kecilku. Mamaku dan Mamanya Jose adalah
sahabat karib. Kami banyak bercerita tentang masa lalu, khususnya saat–saat aku dan
Jose yang katanya dulu sering berkelahi. Kami juga take dinner bersama. Sekitar jam 10
malam mereka pulang. Sepeninggalan mereka, aku memberanikan diri membujuk Papa
dan Mama tentang visiku itu.
“Pa , Ma, jadi papa dan mama tetap nggak ngizinin ya kalo Ecy studinya di
Jerman?“ tanyaku.
“Ecy sayang, Papa lihat dari tadi pagi kamu kok kayaknya kurang semangat. Kamu
tetap kepikiran ya ? Jadi gini, Papa dan Mama udah mutusin kamu boleh study di Jerman,
asalkan kamu bisa bersaing dengan Jojo..” jelas Papa
“Jojo ?“ tanyaku bingung.
“Itu lho sayang, si Jose. Dulu kan kamu yang mulai manggil dia dengan ‘Jojo’,“ kata
mama.
30

“Ooooo……… Jose = Jojo!!! Oke deh, tantangannya Ecy terima, makaci banyak ya
Pa, Ma!“ aku memeluk dua insan yang sangat aku cintai ini.
Sejak saat itu semangatku kembali lagi. Aku udah mulai ngatur waktu dengan baik.
Aku nggak pernah terlambat lagi, aku bahkan udah berani belajar sampai lembur. Soalnya
dari beberapa test yang udah diujikan, Jose selalu mendapat nilai yang lebih tinggi dari
aku. Entah kenapa setiap ngerjain soal, pasti ada– ada aja yang keliru. Nggak pernah
sempurna. Sehingga untuk semester 1 kelas 3 ini, dia berhasil menggeser posisiku dari
peringkat pertama. Harapanku tinggal 50% lagi. Tapi ‘putus asa’ belum ada di dalam
kamus besar pribadiku.
So untuk perbaikan semester kedua ini, aku merombak schedule yang sudah aku
buat. Aku memperbaikinya. Hingga akhirnya aku udah merasa maksimal banget.
Terkadang aku heran, aku melihat dia nyantai-nyantai aja tuh. Tak ada jiwa kutu buku
yang terpancar dari wajahnya. Saat aku berkujung kerumahnya dia juga bukannya sedang
belajar. Jadi kenapa dia bisa sepintar itu ya?
“Cy…..loe nyantai aja lage!” itulah kata-kata yang sering diucapkannya padaku.
Aku bingung. Tapi nggak pernah bertanya apa maksudnya. Biarin aja. UN udah kami lalui.
Saat membandingkan nilai UN, ternyata nilai kami sama. Trus saat membuka raportku,
lagi-lagi aku mendapat peringkat kedua.
“Hai…Cy…!” sapa Jose mengagetkanku dari kebingungan yang tak terpecahkan.
“Loe pasti dapat juara I lagi ya ?” tebakku. Dia malah hanya tersenyum.
“Sial!“ kataku sambil menendang batu yang ada didepanku.
“Kenapa sih loe nggak mau ngalah dikit ma gue? Loe pasti udah tau kan tentang
perjanjian gue sama Papa dan Mama tentang study ke Jerman itu? Katanya teman…!
Kenapa loe nggak mau ngebantu gue? Kenapa? Loe nggak pengen ya ngeliat temen loe
senang?“ tanyaku. Tak terasa air mataku udah mengalir deras. Aku menutup mukaku. Dan
kurasakan ada seseorang memegang pundakku, aku yakin itu pasti dia ………..Jose!
“Puas loe sekarang? Puas?“ isakku melepaskan genggamannya dari pundakku.
Namun tak lama kemudian dengan gerakan refleks dia memelukku.
“Loe tenang dulu ya Cy…..!!” cuma itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tapi
ntah kenapa, aku bisa merasakan kenyamanan yang luar biasa. Aku bisa tenang dalam
pelukannya. Namun jantungku berdegup kencang, sehingga aku terpaksa melepaskan
pelukannya itu.
30

“ Yuk, gue antar !“ ajaknya. Aku hanya bisa menganguk. Waktu berjalan bareng
menuju parkiran, dia merangkul pundakku. Ntah kenapa aku nggak memiliki kekuatan
untuk melepaskannya.
Sesampainya di rumah. Mama langsung heran melihat kondisiku.
“Ecy kenapa Jo?“ tanya Mama kepada Jose yang berdiri di belakangku. Belum
sempat dia menjawab, aku langsung menyerahkan raportku. Begitu melihat raportku
Mama malah tersenyum. Sebaliknya aku jadi bengong.
“Sayang jadi gara-gara ini? Sebenarnya Papa dan Mama selalu mendukung cita-
cita kamu kok. Selama itu masih baik. Selama ini Mama udah melihat gimana kerasnya
perjuangan Ecy. Jadi walaupun Ecy nggak bisa ngalahin Jojo, Mama dan Papa tetap
ngizinin Ecy kok ngelanjutin study ke Jerman,“ jelas Mama sambil tersenyum. Terang aja
aku masih bingung mendengarnya.
“Jadi gini, dulu Mama nggak ngizinin karena Mama tahu Om Vino tuh sibuk
banget. Jadi nggak bisa maksimal menjaga kamu. Setelah mama tahu, ternyata Jojo juga
mau kesana, jadi nggak ada salahnya kan kalau akhirnya Mama setuju. Toh mama juga
lihat Jojo bisa menjaga kamu dengan baik. Ya kan Jo….?” tambah Mama lagi. Refleks aku
menabrak Mama, memeluknya.
“Makaci ya Ma……. Makasi banyak! Ecy sayang Mama juga Papa,“ ujarku sambil
memberi dua kecupan dipipi lembutnya Mama. Aku melirik kearah Jose. Dia tersenyum.
“Tante bisa nggak aku ngajak Ecy jalan-jalan hari ini?“ tanya Jose. Aku melihat
Mama. Hanya anggukan dan senyuman yang diberikan untuk menjawabnya.
***
Aku masih penasaran deh sama rahasianya Jose. Sampai-sampai aku tetap nggak
bisa mengalahkannya walaupun udah berjuang mati-matian. Makanya waktu take lunch
bareng di Mc D`, aku berani bertanya, “Jo, loe kok bisa hebat banget sih? Rahasianya
apa?”
“Cinta!“ jawabnya singkat.
“Maksud loe apaan? Gue nggak ngerti deh,“ ujarku. Kemudian dia menatap
mataku lekat. Lekat sekali.
“Gue cinta sama loe, Cy…!” katanya sambil menggenggam tanganku.
“Trus hubungannya?” tanyaku lagi.
30

“Gue ini cowok Cy. Gengsi donk cowok peringkatnya lebih rendah daripada cewek
yang dicintainya. Makanya aku jadi ekstra belajarnya.Belajar lembur udah kayak makan
aja. Suatu kewajiban! Jadi Cy…. Loe mau kan ngebalas cinta gue? “ tanyanya.
Aku terdiam. Aku menatap matanya. Kemudian aku tersenyum, menganggukkan
kepala tandanya aku setuju ngebalas cinta Jose.
Dear diary……..
Hari ini aku mendapat kebahagiaan yang luar biasa dalam hidupku. Pertama aku
udah diizinin ortu untuk kuliah ke Jerman, dan yang kedua aku menemukan
cintaku. I love u, Jose …!!
Tapi ……..
Aku masih punya tekad untuk mengalahkan Jose di Jerman nanti. Ga zamannya
lagi kalee, cewek selalu lebih rendah daripada cowok. Emansipasi wanita
buk…….!!! Walaupun sebenarnya aku nggak nganggap dia sebagai rivalku.
Soalnya dia kan cinta quuwh…!! He..he..he…
ECY..!!!!!!!
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Lisayana Suci Listari Sembiring lahir di Kedeberek pada tanggal 30 Juli 1991. Beliau
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Gunung Sayang pada tahun 2003 dan
Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta St. Paulus Sidikalang pada tahun 2006. Saat ini
beliau duduk di kelas XII Unggulan SMA Negeri 1 Sidikalang.
Motto “hadapi tantangan tanpa rasa takut.”
TENTANG PENGARANG
Lisayana Suci Listari Sembiring lahir di Kedeberek pada tanggal 30 Juli 1991. Beliau
menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri Gunung Sayang pada tahun 2003 dan
Sekolah Menengah Pertama di SMP Swasta St. Paulus Sidikalang pada tahun 2006. Saat ini
beliau duduk di kelas XII Unggulan SMA Negeri 1 Sidikalang.
Motto “hadapi tantangan tanpa rasa takut.”

Pacar Apa Teman Sich…!!!Oleh Ida Hotmauli H. Tambun
Zia memasukkan bukunya ke dalam tas ketika jam meja berbentuk mickey mouse
menunjukkan pukul 05.45. Dengan tergesa-gesa Zia meninggalkan kamarnya.
Papa dan Mamanya duduk di meja makan, menikmati sarapan.
“Pagi Ma, Pa,” sapa Zia, duduk di samping Mamanya dan mengambil sarapan.
“Ma, Zia pulang telat ya. Zia mau jalan bareng Cindy ama Adis pulang sekolah.”
“Tapi nyampe di rumah harus sebelum jam 5!”
“Oke deh, Ma,” Zia tersenyum.
Terdengar mobil berhenti di depan rumah. Cindy dan Adis datang menjemput.
“Zia berangkat ya.”
* * *
“Zi, kita jadi pergi kan?” tanya Adis setelah sampai kelas.
“Ya…!”Zia mengangguk.
“Pagi,” sapa Reno. Sepertinya dia baru nyampe.
Reno adalah ketua kelas mereka. Salah satu cowok yang paling keren di sekolah
mereka. Cowok yang baik dan perhatian. Selain ketua kelas, dia juga menjabat sebagai
ketua OSIS. Peringkatnya di kelas dan umum lumayan bagus.
“Zi, maaf ya. Gue lupa ngasi tau lo kemarin, kalau hari ini ada rapat OSIS,” kata
Reno tiba-tiba.
“Tapi…kita mau pergi,” kata Zia.
“ Ren…,”Cindy memanggil Reno,“ Masa minta maaf ama Zia aja. Lo juga lupa ngasi
tau kita. Padahal kami berdua anggota OSIS sama seperti Zia.”
“Bukan begitu Cin, semua anggota OSIS ikut rapat kok,” jawab Reno dengan wajah
memerah.
“Emang mau bahas apa sih?” tanya Adis.
“Oh itu, rapat mengenai Prom Night. Waktunya kan tinggal tiga minggu lagi. Jadi
kita harus banyak melakukan persiapan supaya acara ini berhasil.”
30

“Apa boleh buat, kita undur aja jalan-jalannya,” Cindy menghela nafas,“ Kadang
aku pikir yang dikatakan Andre itu ada benernya, jadi anggota OSIS itu repot.”
“Pagi semua!”
Deg, jantung Zia berdebar cepat.
“Baru diomongin, eh udah nongol,” ucap Cindy.
Andre datang bersama Roby. Sekarang telah berkumpul 3 cowok keren.
Andre itu orangnya cuek, urakan, kalau ngomong suka ceplas-ceplos, suka jahilin
orang. Walaupun begitu tetap saja banyak cewek yang suka. Termasuk Zia sendiri. Tapi
satu kelebihan Andre, dia hebat dalam bermain sepak bola dibandingkan Reno dan Roby.
Sedangkan Roby, sifatnya bisa dibilang hampir sama dengan Andre, bedanya dia
masih mau belajar dan aktif juga di OSIS.
“Rob, lo tau hari ini ada rapat?” tanya Cindy.
“Tau!” Roby mengangguk.
“Heran deh, kok kalian betah dalam rapat ga penting gitu,” kata Andre,“Pulang
sekolah kan bisa main atau nyampe rumah langsung tidur.”
“Yee…itu sih elo, jangan samain ama yang lain,” Reno memukul kepala Andre.
Bel pertanda masuk berbunyi.
* * *
Zia tidur-tiduran di kamarnya, memikirkan rapat tadi.
Dalam Prom Night dibuat acara nembak orang yang kita sukai. Saat itu Zia
mendengar ucapan Dian dan Desy untuk ikut acara itu buat nembak Andre. Jelas aja Zia
ga bisa konsentrasi dalam rapat.
Zia termenung mengingat ucapan mereka. Menyatakan cinta pada Andre,
pikirnya. Hal itu sama sekali belum pernah terpikirkan olehnya.
Zia memandang sekeliling kamarnya, memikirkan Andre. Yah, dia memang urakan
tapi dibalik sikapnya itu Zia tau kalau Andre orangnya baik. Zia ingat pertama kali mereka
bertemu.
Kejadian ini terjadi waktu Zia masih kelas satu. Pulang sekolah, Zia sendiri, soalnya
temen-temennya pengen jalan-jalan dulu. Zia ga ikut karena belum minta ijin, bisa-bisa
dia kena marah. Ketika menunggu bis di halte, cowok-cowok SMA lain menggodanya.
Pada saat yang bersamaan Andre lewat, dia menolong Zia dan mengantarnya pulang.
Lamunan Zia terhenti, dia mendengar ketukan di pintu kamarnya.
30

“Zi, Mama masuk ya?”
“Masuk aja, Ma.”
Mamanya memandang Zia sebentar. “Ada apa sih ama anak Mama yang cantik
ini?”
“Ga ada apa-apa, Ma.”
“Bener?”
“Bener, Ma!”
“Ya udah, kita turun yuk, makan malam dulu.”
“Zia belum laper, Ma. Banyakan ngemil dalam rapat tadi,” ucap Zia bohong.
Padahal perutnya keroncongan, tapi dia malas makan.
“Sayang, kalau ada masalah kamu bole cerita ama Mama,” kata Mamanya
sebelum meninggalkan Zia.
Zia hanya mengangguk.
“Zia mana, Ma?” tanya Papa.
“Di kamar. Katanya belum laper.”
“Ada apa, Ma? Keliatan lagi mikir sesuatu.”
“Mama mikirin Zia, Pa. Ga biasanya dia gitu. Pasti Zia punya masalah. Setidaknya
dia bisa cerita ke Mama.”
“Mungkin Zia belum cerita sekarang, Ma.”
* * *
Sabtu pagi, Zia membaca novel di teras depan.
“Zi, ada telpon dari Adis,” panggil Mamanya dari dalam rumah.
Zia segera berlari ke dalam.
“Makasih, Ma.” ucap Zia sambil meletakkan horn di telinganya.
“Ada apa, Dis?.”
“Zi, kita bisa ketemuan?.”
“Kapan?.”
“Jam 1 di Café D’Grez!.”
“Oke!.”
“Sampai ketemu nanti. Gue mau nelpon Cindy dulu.”
“Bye.”
30

“Adis kenapa ya? Tumben ngajak ketemuan mendadak gini. Tau ah,” kata Zia,
melanjutkan baca novelnya.
* * *
Zia baru membuka pintu Café, ketika dia meliat Adis dan Cindy melambaikan
tangan ke arahnya.
“Lo tuh lama banget sih,” omel Cindy.
“Maaf, jalanan macet. Kayak ga tau Jakarta aja.”
“Iya Cin, kok lo yang marah-marah. Yang ngajak ketemuan kan gue.”
“Sori, habis kalau disuruh ngumpul, Zia telat trus.”
Zia cuma bisa tersenyum. Mau bilang apa lagi, bukan rahasia umum kalau Zia
ratunya telat.
“Dis, ada apa sebenarnya lo ngajak ketemuan?” tanya Cindy.
“Kita ga pesan minum, malu kan nongkrong aja. Gue yang traktir deh,” Adis
ngindarin pertanyaan Cindy dan sepertinya berhasil.
“Gue pesen Capuccino,” ujar Cindy.
“Sama,” ucap Zia.
“Kita pesen Cappucino aja semua.”
Adis memanggil seorang pelayan dan mengatakan pesanan mereka.
“Mmm…se…sebenernya gue ngajak ketemuan …ka…karena gue pengen ngomong
sesuatu.”
“Lo kenapa, Dis. Gugup gitu,” kata Zia heran.
Adis tidak segera menjawab, pelayan tadi nganterin pesanan mereka.
“G…g…gue mau jujur tentang satu hal, terutama ama Zia.”
“Soal?” tanya Cindy.
“Gue su…suka seseorang, dan sepertinya Zia juga suka ama dia.”
Zia terbatuk-batuk mendengar ucapan Adis.
“Dis, lo…”
“Ya Zi. Gue tau lo suka dia karena gue sering perhatiin elo. Ditambah lagi kalian
dekat.”
Zia ga pecaya kalau mereka berdua menyukai orang yang sama.
Cindy terdiam.
“Dis…sejak kapan lo suka ama Andre?” tanya Zia.
30

Adis bengong.
”Hah…Andre…maksudnya…?”
“Tadi kan lo yang bilang suka ma dia.”
“A…apa!!!” Adis terkejut,“Jadi cowok yang lo suka Andre bukan Reno?”
“Reno!!! Gue cuma nganggep dia temen.”
“Itu artinya lo salah paham, Dis. Lo ngira Zia suka ama Reno,” komentar Cindy.
“Gue pikir lo suka ama Reno,” ucap Adis.
“Kita cuma sahabatan, Dis.”
“Udah…udah…yang penting sekarang kita tau kalian menyukai orang yang
berbeda,” kata Cindy,“ Dan gue ga pengen gara-gara cowok persahabatan kita bubar.”
Zia, Adis mengangguk setuju.
“Cin, lo suka ma siapa?” tanya Adis tiba-tiba.
Cindy gelagapan, mukanya merah.
“Siapa Cin?” kejar Zia,“ Masa kita ga bole tau.”
“Kalian ini apa-apaan sih?.”
“Ayo Cin, kasi tau kita,” paksa Adis.
Mendengar itu Cindy ngalah,“Iya, iya…gue su…suka ama Roby.”
Mendadak Zia dan Adis tertawa. Semua orang di Café meliat ke arah mereka.
“Bete ah!!!” Cindy ngambek.
“Sori, sori,” kata Zia setelah berhasil menahan tawanya,“ Kita ga nyangka lo suka
ma Roby. Kalau ketemu kalian berdua sering berantem.”
“Gue ga tau sejak kapan gue suka ama dia, yang jelas gue selalu ngerasa nyaman
dekat dia.”
“Aneh ya, kita bisa suka ama mereka. Tiga sahabat seperti kita,” ucap Zia.
“Tapi Zi, lo kok bisa suka ama Andre, bukannya lo pernah bilang dia itu nyebelin?”
tanya Cindy.”
“Rahasia.”
* * *
“Zi, Dis…gimana sekarang aja kita jalannya?”
“Setuju.” Ucap Adis semangat.
“Gue ga bisa, gue….”
“Tenang aja, Zi.” Potong Cindy Cepat. “Gue ama Adis bakal bantuin elo minta ijin.”
30

“Hai, nona-nona manis. Pagi-pagi ngegosip. Pada ngomongin apa, sih?” sapa
Andre, di sampingnya ada Reno dan Roby.
“Yee…siapa yang ngegosip. Mulut tuh kalau ngomong jangan suka asal,” balas
Cindy.
“Dre, ni surat dari Marisa. Gue ketemu dia di depan perpus,” kata Boby, teman
sekelas mereka,“ Marisa orangnya manis, walaupun Zia lebih manis.”
“Gula kali manis,” ucap Roby.
Boby, namanya sih bagus tapi orangnya nyebelin.
“Sori, Bob. Ga punya recehan,” ujar Zia.
“Ga mesti pake uangnya bayarnya, Zi. Jalan-jalan ama lo aja gue senang,” kata
Boby PD.
“Dasar gablek, sana duduk,” Andre mengusir Boby,“ Thanks buat suratnya.”
“Duh senangnya, dapet surat lagi. Ini yang keberapa, Dre,” goda Roby.
Zia merasakan cemburu dalam hatinya.
“Tau. Gue ga pernah ngitung. Lagian males banget baca surat ginian. Kalau lo mau,
nih ambil.” Andre memberikan surat itu tanpa membaca isi suratnya.
“Dasar orang aneh, dapet surat dicuekin. Kalau ga suka jadiin pacar sementara
aja,” kata Roby.
Duk.., buku yang dipegang Cindy melayang ke kepala Roby,“Lo pikir cewek mau
digituin.”
“Aduh, Cin. Gue cuma becanda,” bela Roby.
* * *
“Zi, lo ngapain disini. Belum pulang?” Reno meliat Zia di taman belakang. Sekolah
mulai sepi.
“Reno?!” Zia terkejut,“Buat kaget aja. Gue pikir siapa.”
“Sori, keliatannya lo lagi asyik ama dunia lo sendiri. Cindy ama Adis mana?.”
“Oh, mereka dipanggil ibu penjaga perpus. Lo sendiri ngapain di sini, Andre ama
Robi mana?.”
“Gue lagi nungguin mereka. Tadi sih katanya pergi ke ruang klub sepak bola
ngambil daftar pertandingan dan susunan pemain.”
Zia manggut-manggut.
30

Mereka terdiam beberapa saat, terbawa suasana yang sepi. Hingga akhirnya Reno
memulai percakapan.
“Zi, menurut lo jika suka pada seseorang, apakah kita harus mengatakannya?”
tanya Reno.
“Kalau menurut aku sih, iya. Soalnya dengan itu kita tau apakah dia suka atau
sebaliknya. Diterima kita bersyukur, ditolak kita berpikir positifnya aja. Mungkin dia bukan
jodoh kita. Dari pada dipendam buat sakit hati. Kenapa sih Ren, lo nanyain gituan?”
“Ga apa-apa, pengen nanya aja.”
Kembali mereka terdiam. Tapi tiba-tiba Reno menggenggam kedua tangan Zia.
“Apa sih, Ren?” Zia merasa risi.
“Zi, gue…gue…gue suka ama lo.”
Zia tersentak. Refleks Zia menarik tangannya.
“Ren, lo…lo becanda kan?”
“Zi, coba liat apa gue keliatan becanda. Gue serius, gue bener-bener sayang ama
lo.”
“Ta…tapi…,” Zia bingung menjawab apa,“Ren, gue…gue senang dekat lo, tapi,
gu…” Reno meletakkan jari telunjuknya di bibir Zia,“Gue ga minta lo jawab sekarang. Gue
akan nunggu lo sampe kapan pun.”
“Zia, Reno…ap…apa yang kalian lakukan,” entah sejak kapan Adis berdiri di situ.
Dia tidak sendiri, ada Andre di sampingnya.
Zia segera bereaksi,“Dis, ini…ini…gue bisa jelasin!”
“Gue benci ama lo!!!” teriak Adis, berlari meninggalkan mereka.
“Adis…tunggu dulu!”
Adis tidak mempedulikan panggilan Zia. Dia terus berlari.
“Eh, kalian berdua, pacaran jangan di sini, kayak ga ada tempat lain aja,” kata
Andre tenang seperti biasa, tidak ada masalah terhadap apa yang diliatnya.
Kenapa Andre bisa setenang itu. Dia sama sekali ga cemburu, pikir Zia sedih.
* * *
Zia dan Cindy berada di Taman Kota Jakarta.
“Ada apa sebenernya antara lo ama Adis?”
“Kemarin di taman belakang sekolah, Reno nembak aku. Dia bilang dia suka ama
gue, Cin.”
30

“Apa? Reno nembak elo.”
Zia mengangguk, “Saat itu, Adis dan Andre datang, gue gat au kenapa bisa bisa
begini.”
“Mungkin Adis belum bisa nerima hal ini, nanti-nanti dia juga akan sadar sendiri,
Lo yang sabar ya,” ucap Cindy,“Kita balik, yuk,”
“Makasih Cin.”
* * *
“Mau sampai kapan lo diamin Zia, Dis?” tanya Cindy ketika mengunjungi Adis,“Lo
sendiri tau perasaan Zia. Dia cuma nganggep Reno temennya.”
“Cin, kalau lo datang cuma pengen ngomong tentang Zia ama Reno. Mending lo
pulang aja deh. Gue malas ngomongin mereka.”
“Dis, lo kenapa sih. Lo tau kan cowok yang disukai Zia itu Andre, bukan …”
“Gue gak mau tau,” Potong Adis,“Please, Cin. Kalau elo nganggep gue temen.
Tolong jangan ngomongin mereka.”
“Dis, gue kira lo bisa bersikap dewasa. Orang yang ga bisa nerima apa yang terjadi,
itu namanya pengecut.”
* * *
“Zi, maaf ya gara-gara gue, lo sama Adis bertengkar,” Reno mengajak Zia ke
perpustakaan.
“Ini semua bukan salah elo, Ren.”
“Thanks Zi.”
“Wah, wah istirahat pertama udah pacaran,” Ga tau darimana Andre datang dan
sekarang duduk di depan mereka.
“Dre, please kalau ngomong itu jangan sembarangan. Siapa yang pacaran,” bela
Reno.
“Trus kalian ngapain bisik-bisik gitu.”
“Ya, iyalah. Bagi orang seperti kamu yang baru pertama kali masuk perpus, pasti
ga tau peraturan. Di perpus diwajibkan punya ilmu tahan suara,” kata Reno,“Tumben lo
masuk perpus, roh apaan yang bawa lo ke sini.”
“Roh nenek moyang lo. Gue cuma pengen nyoba suasana perpus, siapa tau
nemuin sesuatu yang menarik untuk dibaca. Tapi kayaknya ga ada. Jadi gue balik ke kelas
dulu.”
30

“Ren, lo ama Andre berteman sejak kapan?” tanya Zia sepeninggal Andre.
Reno memandang Zia heran,“Gue, Andre ama Roby berteman sejak kita masih
kecil. Emang kenapa?”
Zia tersenyum tanpa menjawab,“Balik ke kelas, yuk!”
* * *
“Sayang, temenin Mama ke supermarket dong!”
“Zia ganti baju dulu, Ma.”
“Ya, Mama tunggu di bawah.”
Lima belas menit kemudian, Zia turun.
“Ma, habis belanja kita makan di Café, ya.”
“Dasar kamu ini. Nemenin Mama, ada aja permintaannya.”
* * *
“Ada yang mau dibeli lagi, Ma?” tanya Zia.
“Ya ampun,” Mama menepuk keningnya,“Kamu duluan aja. Mama pergi sendiri.
Nih, tolong pegangin belanjaannya.”
“Emangnya apalagi Ma yang ketinggalan?”
“Nanti kamu liat sendiri.”
Sepeninggal Mamanya, Zia menuju Café dan memesan makanan.
Menunggu pesanannya, Zia meliat ke sekeliling Café, sampai akhirnya dia meliat
Adis bersama Andre.
“Adis, Andre. Ngapain mereka di sini,” pikirnya,“Mereka ngomongin apa ya,
keliatan serius gitu.”
Zia makin terkejut meliat Andre menggenggam tangan Adis.
“Mesra banget. Apa yang terjadi? Ada apa antara Andre dan Adis. Tunggu
dulu…,jadi ini alasannya kenapa Andre bisa bersikap setenang ini ketika meliat gue ama
Reno. Jadi…jadi cewek yang disukai Andre itu Adis. Dia pasti mengkhawatirkan Adis.
Makanya sekarang dia menghibur Adis.”
Zia ga tahan melihat adegan itu. Dia berlari meninggalkan Café, pelayan yang
mengantar pesanannya bengong.
Zia mencari-cari mamanya dan menemukan mamanya di toko perhiasan.
“Ma, kita balik yuk.”
“Loh, kamu ga jadi makan.”
30

“Zia masih kenyang,” jawab Zia asal.
“Maaf Mbak, tolong simpan kalungnya. Besok saya ambil.”
Selama dalam perjalan pulang, Zia diam trus. Tiba di rumah, Zia langsung ke kamar
dan menangis sepuasnya. Mamanya heran meliat sikap Zia. Ada apa sebenarnya dengan
anak itu.
“Zi, mama masuk ya.”
Ga da jawaban. Mamanya membuka pintu dan masuk. Dia meliat Zia menangis.
“Zi, ada apa?” Tanya Mamanya, mengelus kepala Zia.
Zia menghambur kepelukan mamanya.
“Sayang kalau punya masalah, kamu boleh cerita sama mama,” Zia masih terus
menangis dipelukan mamanya.
“Ma…,” Zia memulai cerita,“Waktu itu Reno bilang sayang ama Zia, tapi Adis suka
ama Reno.”
Mamanya mengangguk.
“Adis meliat kejadian itu dan sampai sekarang dia ga mau ngomong ama Zia.”
“Perasaan kamu sendiri gimana sayang?” tanya mamanya.
“Zia cuma nganggep Reno teman,” kata Zia,“Dan Adis ga mau ngerti, dia selalu
menghindar dari Zia.”
“Trus kamu kenapa nangis?”
“Ma, Zia menyukai Andre tapi aku liat dia sama Adis di Café tadi.
Mamanya mulai memahami cerita Zia,“Ternyata anak mama bener-bener udah
dewasa. Menurut mama, kamu bilang sama Reno kalau kamu hanya menganggap dia
teman. Dan Andre, kalau dia benar-benar menyukai Adis, kamu harus bisa nerima.”
“Makasih Ma. Sekarang Zia tau apa yang harus Zia lakukan.”
* * *
“Ren, gue seneng elo punya perasaan kayak gitu ama gue. Gue juga sayang ama
elo tapi perasaan sayang itu cuma perasaan sayang kepada sahabat. Gue senang punya
teman seperti lo. Dan gue ga mau keilangan sahabat hanya karena perasaan sesaat,” kata
Zia akhirnya.
“Walaupun kecewa, gue bisa nerima jawaban lo.”
“Tapi kita masih teman kan?”
“Tentu aja, lo adalah teman baik gue,” ucap Reno,“Btw, gue bisa nanya satu hal.”
30

Zia mengangguk.
“Apa ada yang lo suka?”
“Ada…tapi mungkin bertepuk sebelah tangan.”
“Tapi kan ga tau sebelum mencoba.”
“Tanpa dicoba gue juga udah tau. Gue liat…,” Zia ga melanjutkan ucapannya,“Sori
Ren, gue ga bisa cerita.”
Reno paham,“It’s Oke. Gue balik ya.”
Sepeninggal Reno, Zia ga beranjak. Dia mendengar langkah kaki mendekat ke
arahnya. Dan ga percaya terhadap apa yang diliatnya.
“Adis?!!”
“Hai, Zi…gue mau ngomong sesuatu.”
“Ya udah ngomong aja!”
“Maaf ya, Zi soal kemaren. Gue ga bisa terima Reno sayang ama elo, gue cemburu.
Padahal gue tau perasaan lo gimana.”
“Dis..,” Zia senang mendengar ucapan Adis.
“Kita masih teman kan?”
“Tentu,” Zia tersenyum. Adis memeluk Zia.
* * *
“Gue pengen cepat-cepat nyampe di Prom Night,” ujar Cindy di kamar Zia. Mereka
sibuk berhias diri.
“Bilang aja pengen ketemu Roby. Mentang-mentang udah jadian,” goda Adis.
“Lo apa-apaan sih!” sungut Cindy.
“Ceileee, yang udah jadian…” tambah Zia.
“Kalian nyebelin tau.”
“Udah ah, kita berangkat sekarang ntar telat,” kata Adis.
Mereka keluar kamar, turun ke bawah. Ada Mama dan Papa Zia.
“Ma, Pa kita berangkat ya.”
“Iya Om, Tante, kita berangkat.”
“Hati-hati, trus pulangnya jangan sampai larut malam,” kata Mamanya
menasehati.
* * *
30

17.40, sebentar lagi acara akan dimulai. Lima menit sebelum acara dimulai Andre,
Reno, dan Roby datang. Wah, tumben Andre rapi, biasanya pakaian dia acak-acakan.
Andre keren sekali, pikir Zia. Dia berpakaian rapi pasti untuk menarik perhatian Adis.
Sebel…! Pikir Zia cemburu.
Sudah banyak anak yang berdansa. Robi mengajak Cindy berdansa. Tinggal Zia,
Adis, Andre dan Reno. Musik yang lembut membuat mereka terbuai.
“Dis, dansa yuk,” ajak Andre.
Adis mengangguk.
Mereka ikut bergabung dengan anak-anak yang lain. Zia merasa sakit melihat hal
itu. Bagaimana Andre memeluk mesra pinggang Adis. Bagaimana pandangan mereka
berdua. Zia rasanya ingin menangis dan pergi dari sini. Dia tidak tahan lebih lama lagi
meliat kejadian itu. Hatinya benar-benar sakit.
Walaupun begitu Zia tidak ingin menyalahkan Adis. Dia tau bagaimana perasaan
Adis. Pasti Andre yang mendekati dia. Menghibur Adis dan membantunya melupakan
Reno. Ya, pasti itu tujuan Andre.
“Zi, lo lagi mikirin apa?” tanya Reno tiba-tiba mengagetkan Zia.
“Ga…gue ga mikirin apa-apa.”
“Lo cemburu ya meliat Adis ama Reno.”
“A..a..apa. lo ngomong apa sih Ren. Siapa yang cemburu?” Zia mengelak.
“Zi, Zi sejak pertama kali bertemu ama lo sampai sekarang, gue tau kalau lo itu
orang yang paling ga bisa bo’ong.”
“Ren, lo…lo apa-apaan sih!”
“Udah, ngaku aja. Lo cemburu kan?” tanya Reno sekali lagi.
Zia menghela nafas,“Lo bener Ren, gue emang cemburu,” akhirnya ZIa mengaku.
“Jadi Andre orangnya.”
“Ya, tapi kalau dia emang suka ama Adis, ga pa-pa. Asal, mereka berdua bahagia.
Kalau mereka bahagia, gue juga bahagia.”
“Lo tau ga Zi. Apa yang buat gue sayang ama lo.”
Zia menggeleng.
“Selain lo cantik dan pintar,yang buat gue suka ama lo adalah sifat lo yang
pengertian,tidak memaksakan kehendak,bisa memaafkan, dan mengalah demi kebaikan
30

orang lain. Karena itu, biar pun lo udah nolak gue,gue ga bisa benci ama lo. Karena lo
bukan orang yang pantas buat dibenci.
“Ren,maafin gue ya.”
“Zi, lo ga perlu minta maaf.Gue hanya ingin mengungkapkan perasaan gue aja.Kita
kan temen,dan persahabatan kita tak akan pernah putus sampai kapan pun.Benar kan?”
“Ya, kita temen.”
“Kalian berdua kok ga ikut dansa sih,dari tadi gue liat kalian berdua ngobrol aja.
Kalian ngomongin apa sih?”tanya Roby.Dan sepertinya karena keasyikan bicara,mereka
tidak menyadari bahwa dansanya sudah selesai.Adis,Andre,Cindy, dan Roby udah balik ke
tempat mereka.
“Want to know aja,” jawab Reno cuek.
“Sejak kapan lo bisa ngomong kayak gitu, Ren,” tanya Roby lagi.
“Sejak berumur tiga tahun,gue udah bisa ngomong.”
Kami semua tertawa mendengar perkataan Reno. Roby memandang sebel kearah
Reno.
“Oke, teman-teman,udah siap udah siap buat ngelanjutin acaranya?”
“Udaaaaaaaah…”jawab anak-anak serempak.
“Kita bakal bacain nama-nama anak yang menyatakan perasaannya malam ini.Dan
ngajak orang yang disukai buat naik keatas panggung.”
Semua orang langsung heboh dan suit-suitan. Acaranya benar-benar
menghebohkan. Ada anak yang senang cintanya diterima, ada juga yang sedih karena
cintanya ditolak. Seperti Dian dan Desy yang cintanya ditolak Andre. Tiba-tiba Andre naik
ke panggung. Semua orang kaget.
“Maaf kepada semua temen yang ada di sini kalau gue mengganggu. Tapi malam
ini, gue ingin menyampaikan perasaan gue pada seseorang.”
Semua terdiam.
“Sebelum gue menyebutkan namanya. Gue pengen ngasi tau kalau gue suka ama
dia sejak pertama kali bertemu. Kalian mungkin ga percaya yang namanya cinta
pandangan pertama. Tapi gue percaya.Dia gadis yang cantik, pintar, baik dan banyak hal
lagi yang gue suka dari dia.”
30

Zia ga tahan lagi mendengar apa yang diucapkan Andre. Walaupun Zia tau Andre
bakal nembak Adis. Dan tanpa disadarinya, Zia mulai menangis,”Gue benar-benar suka
Andre.”
“Cewek itu adalah cewek yang pertama kali gue temuin di halte bus. Waktu itu dia
diganggu cowok SMA lain, dan gue nolongin dia juga mengantarnya pulang.”
Zia terkejut mendengarnya. Ga mungkin,gue pasti salah dengar.
“Zia, gue sayang lo,mau ga jadi pacar gue?”Tanya Andre dengan suara lembut.
“Tapi…tapi…bukannya cewek yang Andre suka itu Adis.Waktu itu gue liat kalian
berdua di café.”
“Zi, gue emang ketemu dengan Andre di café.Tapi, dia nasehatin gue, bahwa lo ga
salah. Dia bilang gue egois kalau menentang hubungan lo dengan Reno.Dia bilang gue
bukan sahabat yang baik, karena gue ga bisa lihat sahabatnya bahagial. Dan hal itu buat
gue sadar kalau persahatan itu lebih penting dari apapun. Selain itu, Andre juga cerita
kalau sebenarnya dia suka sama lo. Tapi Andre melarang gue untuk cerita sama lo. Dia
bilang biar dia yang ngungkapin perasaannya sama lo.Lagipula kita semua sudah tau
perasaan kalian berdua,” Adis menjelaskan.
“Trus, tadi Andre ngajak gue dance karena dia gugup dekat sama lo. Dia bilang
kalau dia dekat-dekat lo terus,bisa gagal dia ngungkapin cintanya karena keburu gugup.”
“Dan Andre punya harapan setelah gue ngasih tau dia bahwa gue ditolak sama lo.
Dia pikir lo akan nerima gue,karena kita dekat, sama-sama aktif di OSIS.”
“Nah, Zi. Ayo naik,jangan biarkan Andre menunggumu lebih lama lagi,” Cindy
mendorong Zia.
Zia naik ke panggung. Semua orang terdiam.
“Gue kira kalau cewek yang lo suka itu Adis, gue pernah liat kalian berdua di
café.Apalagi waktu lo liat Reno nembak gue, lo cuek aja.”
“Gue bersikap seperti itu untuk menyembunyikan perasaan gue.Sebenarnya gue
cemburu dan takut kalau lo menerima Reno.”
“Bodoh. Lo benar-benar buat gue tersiksa, tau ga.”
“Maaf…”
“Gue juga sayang lo, Dre.”
30

Andre memeluk Zia.Perasaan mereka menjadi satu dan ga akan terpisahkan lagi,
dengan disaksikan oleh seluruh teman-temannya.Dan kebahagian ini terus berlanjut
sampai acara prom night selesai dan sampai kapan pun.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Ida Hotmauli Tambun, adalah seorang siswi Kelas XII yang saat ini sedang menuntut ilmu di salah satu sekolah di sebuah kabupaten,yang bernama Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Ini adalah cerpen pertama yang ia buat untuk ikut diterbitkan menjadi buku kumpulan cerpen
karya Kelas XII IPA Unggulan, TP 2008/2009. Beliau lahir 4 September 1991.Dia bercita-cita menjadi seorang Direktur Rumah Sakit.
Motto “Thanks untuk semua yang sudah pernah terjadi dalam hidup dan untuk semua hal yang tidak pernah terduga. Hidup tidak selamanya indah, but just be your self. Do your best.”
TENTANG PENGARANG
Ida Hotmauli Tambun, adalah seorang siswi Kelas XII yang saat ini sedang menuntut ilmu di salah satu sekolah di sebuah kabupaten,yang bernama Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Ini adalah cerpen pertama yang ia buat untuk ikut diterbitkan menjadi buku kumpulan cerpen
karya Kelas XII IPA Unggulan, TP 2008/2009. Beliau lahir 4 September 1991.Dia bercita-cita menjadi seorang Direktur Rumah Sakit.
Motto “Thanks untuk semua yang sudah pernah terjadi dalam hidup dan untuk semua hal yang tidak pernah terduga. Hidup tidak selamanya indah, but just be your self. Do your best.”

Diantara Dua PilihanOleh Evi Erwinton Simbolon
Sore itu langit agak mendung. Cuaca agak dingin. Jam menunjukkan pukul 16.45.
Di sebuah depan kelas, tampak beberapa anak cewek berkerukun sambil menggenggam
sebungkus pilus di tangan mereka masing-masing. Kelihatan asik sekali bertukar pikiran
untuk menggunakan waktu istirahat. Tetapi, ada dua cewek sedang asik berbincang-
bincang menceritakan pengalaman masing-masing. Sebut saja nama mereka Aulia dan
Aura.
“Ra, aku bingung dech sama pikiran aku sekarang?” tanya Aulia dengan wajah
bingung.
“Emang kenapa dengan pikiran kamu? Mengenai apa?” kata Aura dengan rasa
perasaan.
Dengan penuh perasaan bingung yang tidak tahan memikirkan semua yang dia
pikirkan, Aulia berkata jujur kepada Aura.
“Aku bingung mau milih siapa, antara bang Jacky dan bang Sony. Kawan-kawan
kita bilang, bang Jacky suka sama aku, tapi kakak kelas kita bilang, bang Sony juga suka
sama aku. Menurut kamu yang benar mana yach?” tanya Aulia dengan wajah yang
mengharapkan jawaban pasti.
“Ya, kalaukamu nanya aku, aku belum bisa memastikan antara mereka berdua.
Sekarang terserah kamu memilih yang mana.”jawab Aura dengan santai sambil merasa
lucu.”Tapi, emang benar antara mereka berdua ada yang suka ama kamu?”
“Itu dia yang aku bingungkan. Aku belum tahu pasti, apakah itu hanya perkataan
teman-teman dan kakak kelas kita aja atau emang kenyataan.” Jawab Aulia dengan wajah
sedih.
Sambil berfikir-fikir, Aura bertanya pada Aulia.”Li, emangnya kamu suka sama
siapa?.”
30

”Aku nggak tahu, Ra. Aku nggak ngerti ama perasaan aku sekarang,” jawab Aulia
dengan muka serius.
Sambil mengunyah pilus yang ada di tangan mereka dan minum aquq, tiba-tiba
mereka dipanggil, bahwa jam sudah menunjukkan pukul 17.00, waktunya untuk belajar
kembali.
Dengan hati yang penuh kebingungan, Aulia melangkah menuju kelasnya, diikuti
oleh Aura. Karena rasa bingung itu, Aulia kurang semangat dalam belajar. Hatinya selalu
melayang kepada dua orang abang kelasnya, yang satu kelihatan cool dan satu langi
kelihatan baik.
“Yang satu cool, keren, gagah tapi yang satu lagi ganteng dan ramah.” pikirnya
dalam hati.
“Apa aku tanya langsung ama mereka?” tanyanya dalam benaknya.
“Tapi,..... nggak ah, ntar aku dibing kegeeran, lebih baik aku pendam aja, sekalipun
itu menyiksa diriku.” gumamnya dengan wajah cemberut.
Tidak terasa matahari semakin turun dan gelap sudah mulai menutupi bumi.
Merekapun pulang ke rumah masing-masing. Begitu juga dengan Aulia dengan wajah
sedikit lesu dan kebingungan.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Evi Erwinton Simbolon, dengan kelahiran tanggal 29 November 1990 di Medan. Evi Erwinton
yang sering disapa Erwin bercita-cita menjadi seorang presiden dan sebagai motivasi untuk
mecapai cita-cita tersebut Erwin mempunyai motto “Hidup adalah perjuangan.”
TENTANG PENGARANG
Evi Erwinton Simbolon, dengan kelahiran tanggal 29 November 1990 di Medan. Evi Erwinton
yang sering disapa Erwin bercita-cita menjadi seorang presiden dan sebagai motivasi untuk
mecapai cita-cita tersebut Erwin mempunyai motto “Hidup adalah perjuangan.”

Terbit Untuk KembaliOleh Indra Eko Simarmata
“Ca, tunggu Ca!” teriakku dengan nafas terengah, setelah turun dari panggung.
Tak ada respon, Aku berjalan setengah berlari.
“Ca, berhenti dong…” pintaku saat berhasil menghadang langkah seorang
perempuan berambut panjang terurai sebahu di hadapanku. Ia berhenti, sesaat menatap
mataku, kemudian tertawa.
“Ah kamu Din, pasti salah lagi deh. Ini Aku Ida, kalo kak Ica tuh lagi duduk di situ!”
tunjuk Alida yang biasa dipanggil Ida ke salah satu kursi dekat pintu keluar.
Fokus mataku mengikuti arah telunjuk Alida. Di sana Ica duduk sambil
melambaikan tangan ke arahku. Aku menggaruk kepala yang tak gatal, tertawa garing
atas kebodohanku untuk kesekian kalinya.
Ida adalah adik kembar dari Ica. Kesalahan ini semakin sering kulakukan setelah Ica
berubah lebih cantik seperti adiknya. Aku mengangguk kecil, lalu melewati dua orang
teman Alida yang ada di sebelahnya ke tempat Ica. Langkahku agak tertahan oleh
keramaian di dalam gedung pertemuan. Acara pelepasan siswa kelas tiga baru saja
selesai.
Aku melewati siswa yang foto bersama keluarganya. Tapi ada juga siswa-siswi yang
bergerombol untuk foto dalam satu gank mereka. Keluargaku sudah pulang sedari tadi.
Setelah berfoto denganku dan keluarga Ica, mereka pulang cepat karena ada hal yang
harus dibereskan.
Keringat sedari tadi membasahi pakaianku. Air Conditioner yang terpasang di
gedung ini seakan tak mampu mengalahkan hawa panas tubuh manusia yang terjejal
berbagai rasa di dalamnya. Mereka termasuk pula aku, pasti pada dasarnya merasa
senang dengan kelulusan dari SMA ini. Tapi ada juga terselip rasa sedih akan kehilangan
teman atau seseorang yang kita cintai saat sekolah. Atau mungkin ada perasaan belum
siap menghadapi persaingan dunia kuliah dan kerja selepas dari sini.
30

“Kamu lelah ya?” Ica, yang bernama lengkap Alicia Wardhani berdiri
menghampiriku ketika Aku sudah berada di dekatnya.
Ia mengeluarkan sapu tangan dari saku dan mengelap keringat dari dahiku. Tinggi
tubuh kami yang hampir sama, membuat mataku dapat menatap lurus ke arahnya. Aku
memandang mata bulat yang selalu berbinar jika tersenyum itu tanpa berkedip. Rasanya,
tak sanggup jika harus kehilangan pemiliknya.
“Lumayan,” jawabku singkat.
Aku menurunkan tangan Ica setelah lama kunikmati perhatian darinya.
Sebenarnya bukan apa-apa, tapi gengsi aja kalau anak band sepertiku terlihat terlalu
manja. Acara perpisahan ini salah satu hiburannya diisi oleh performance band dari tiap
kelas tiga. Aku menjadi salah satu personell dari band kelas. Band kami pula ditunjuk
menjadi penutup. Jadi aku memainkannya sepenuh hati sebelum melepas indahnya masa
SMA.
“Kita pulang yuk,” pinta Ica, memasukan sapu tangan ke dalam saku tanpa
ekspresi tersinggung dari sikapku tadi.
“Tunggu Ca, Aku mau bicara sama kamu sebentar ya?” ucapku tanpa meminta
persetujuannya, langsung menarik tangan Ica menuju ke luar gedung ini.
Berjalan di antara kerumunan, Ica tidak memprotes dan terus mengikuti
langkahku. Sesampai di luar, angin semilir membelai rambutku yang lurus, panjang
sebahu, tapi tak berketombe. Aku melihat sekeliling dan menemukan jalan ke tempat
tujuan yang agak terhalang oleh gerombolan siswa. Kami terus berjalan ke bagian
belakang gedung dan Ica tetap tak bicara. Kuberanikan menoleh ke wajahnya, terbersit
rasa kecemasan yang Aku tahu dia pasti sudah mempunyai firasat tentang ini.
Beberapa langkah di depan kami, terdapatlah sebuah taman kecil yang bersih dan
tertata rapi. Ada pohon rimbun yang aku tak tahu namanya meneduhi seperempat bagian
dari taman. Suara air mancur bergemericik terirama dari kolam kecil di salah satu
pojoknya. Semerbak wangi bermacam bunga di sekeliling taman memanjakan syaraf
hidungku. Tak ada yang terlalu istimewa di taman itu, kecuali kenangan yang tersimpan di
dalamnya. Tempat ini menjadi saksi ketika aku meminta Ica jadi kekasihku. Tidak seperti
skenario dari banyak penembakanku sebelumnya, kali itu dilakukan dengan tak terencana
sama sekali. Semua terjadi saat kami sama-sama menjadi panitia bagi acara perpisahan
kakak kelas tiga di angkatan sebelumnya.
30

Aku berdiri di atas lantai berbatu yang memisahkan antara padang rumput taman
dengan bangunan gedung. Pemandangan ini membiusku sesaat seiring dengan
berputarnya piringan hitam memori di kepala. Semua itu terasa indah seperti baru saja
terjadi dan hari kejadian itu tak pernah ada senja yang beranjak menutupnya. Di taman ini
tak ada kursi yang tersedia. Aku hendak duduk di atas lantai batu. Saat tanganku
menyentuh permukaan batu yang kasar, terasa banyak debu yang melapisi. Kulepas
sepatu kets hitam yang sudah tiga tahun setia menemani, digeser sekarang fungsinya dari
alas kaki menjadi alas duduk di atas lantai. Ica mengikuti apa yang kulakukan dan duduk
dengan menarik kedua lutut ke dalam pelukannya.
Jarum detik di arloji berputar melewati angka 12 berulang kali seakan enggan tuk
berhenti sejenak. Tak ada suara di antara kami. Hanya terdengar sayup-sayup panitia
anak kelas dua yang sedang sibuk merapikan panggung. Aku menghela nafas panjang
mencoba menghimpun kekuatan. Ica menunduk dan menumpahkan semua fokus
penglihatannya ke arah daun kering yang jatuh di depan kami. Ia seperti menunggu dan
bersiap akan konsekuensi yang akan terjadi.
“Aku harus pergi,” ucapku akhirnya memecah keheningan, “Ke Jakarta.”
Aku bicara tetap tak memandang Ica. Berusaha menjadi makhluk tak berperasaan
yang dengan ringan mengatakan kata perpisahan. Tapi tetap tak bisa. Lisanku bergetar
saat mengucapkannya. Diam kembali menyerbu. Tak ada reaksi dari Ica. Tatapanku tak
bergeser sedari tadi dari arloji yang terikat pasrah di tangan. Tali pengikatnya melekat di
kulit lengan yang bagian atas terlihat lebih gelap daripada bagian bawah.
“Ini semua sudah Aku rencanakan,” kuhela nafas tuk kemudian melanjutkan,“Dan
kamu mungkin juga sudah tahu dari keluargamu tentang hal ini.”
Sunyi kembali. Aku diam menunggu reaksi dari Ica.
“Aku tak mau kehilangan kamu,” kalimat pertama Ica sejak kami duduk di sini.
Ia mulai menegakkan kepala. Ada bulir halus air mata mulai membasahi pipi yang
putih tanpa sedikitpun bercak noda. Angin berhembus lagi mengibaskan rambut panjang
hitam Ica yang diikat ekor kuda.
“Aku pergi untuk menggapai cita-citaku Ca. Aku ingin membuat keluarga kita
bangga dengan apa yang akan aku jadikan modal untuk melanjutkan hubungan ini nanti.
Tak bisa terus seperti ini. Apa yang bisa diharapkan dari hobiku sekarang,” jelasku panjang
lebar,“dan kuliah di Jakarta adalah pilihanku.”
30

“Tapi kau benar tak akan melupakanku?” mata Ica sekarang menatapku dalam-
dalam, mencari sebuah jawaban.
Ku balas pandangan itu setulus mungkin. Banyak perubahan yang sudah terjadi
pada Ica. Kacamata tebal yang menandakan bahwa ada kutu buku di sini, sekarang diganti
sepasang contact lens cantik. Poni yang menutupi sebagian dahinya tak ada lagi. Style
rambut dikepang dua digantinya pula. Tapi ada satu yang tak berubah. Tatapan mata
tajam yang serasa bisa membaca isi hatiku. Tatapan mencari jawaban yang sama seperti
waktu aku memintanya jadi kekasihku. Di dalamnya seperti berkata ‘Apa benar yang kau
katakan?’
Tanpa berkata apa-apa, Kuajak Ia berdiri dan memeluknya. Sepasang lengan
kekarku memeluknya erat sebagai jawaban atas pertanyaannya. Air mata Ica membasahi
bahuku. Aku menunggunya sampai agak tenang dan melepaskan pelukan. Tanganku
mencengkram kedua lengannya dan memandang wajah yang sudah basah air mata itu.
Sinar jingga matahari senja membasuh wajah cantik Ica. Sisa-sisa air mata seakan
berkilau. Bibir merah yang mungil itu tercekat tak ingin berucap.
“Coba kamu lihat matahari yang memerah itu,” kini suaraku mantap untuk lebih
meyakinkan,“Matahari itu sebentar lagi akan hilang dan meninggalkan bulan seorang diri
dengan sinarnya yang memukau. Tapi waktu itu tak akan lama, Ia akan datang kembali
dengan hari baru, mengejar bulan pujaannya, hingga bulan itu bersedia meredupkan
sinarnya dan menyandarkan dirinya di pelukan matahari.”
Ica tersenyum memandangi matahari senja. Senyumku ikut mengembang. Kutahu,
Ia telah mengerti dan merelakan kepergianku. Aku merengkuhnya lagi kedalam pelukan
dan berbisik,“Aku akan menjadi mataharimu...”
***
Sedan BMW merah 320I meluncur tenang di jalan kota Yogyakarta. Aku duduk di
dalamnya sambil terus tersenyum melihat sekitar. Sudah hampir satu dasawarsa
meninggalkan kota ini, tapi tak banyak perubahan berarti. Setelah berhasil lulus dari Ilmu
Komputer Universitas Indonesia, aku ditawari kerja di salah satu perusahaan software
international. Kini aku sudah memiliki sebuah rumah kecil di Jakarta, janjiku pada Alicia
telah dapat ditepati. Rinduku pada Ica tak tertahan lagi. Tak ada foto, telepon, atau email
yang bisa mengobati. Kami memang sudah berkomitmen untuk tidak saling
berkomunikasi selama di Jakarta. Karena itu pula, rasa sayang itu terasa lebih dalam.
30

Mobil berhenti di depan sebuah rumah berukuran tak terlalu besar. Rumah
dengan gaya tradisional Jawa yang kental, terlihat sangat akrab. Tempat ini sangat sering
ku kunjungi terutama pada malam minggu. Orang tua Alicia pun sudah sangat
mengenalku dan menyetujui hubungan kami.
Mesin mobil dimatikan dan aku memandang keluar. Tak seperti biasanya,
keramaian terlihat jelas di dalam dan luar rumah. Berusaha menyingkirkan perasaan tidak
enak, aku turun dari mobil. Kemeja putih lengan pendek dan celana bahan berwarna
hitam yang kukenakan masih terlihat bersih. Pakaian ini tidak diganti sejak berangkat dari
Jakarta kemarin. Aku menoleh ke spion mobil untuk membenarkan letak kacamata.
Rambut dengan potongan pendek ikut kurapikan walaupun sebetulnya tak perlu.
Langkahku terhenti di halaman depan. Perasaan tidak enak kembali menyergap
ketika kulihat ada janur kuning yang terpasang. Di dalam ruangan juga terdapat banyak
kursi dan meja resepsi. Dengan perasaan yang tak menentu, kuberanikan melangkah lebih
dalam. Ada pelaminan yang para undangan sedang memberikan selamat pada kedua
mempelai. Lebih dekat aku melangkah, terlihat jelas siapa kedua mempelai itu terutama
pada mempelai perempuan.
Menahan gejolak rasa kecewa di dada, Aku berbalik dan melangkah cepat ke
mobil. Pedal gas kuinjak untuk kemudian meluncur cepat meninggalkan rumah keluarga
Alicia. Aku masih tidak dan tak ingin percaya dengan apa yang kulihat. Semua berjalan
begitu cepat setelah sepuluh tahun menunggu. Tak ada yang bisa dipikirkan sekarang,
kecuali mobil yang melaju cepat ke satu tujuan.
Sampai di suatu gedung tua yang masih terawat, pintu gerbang sudah tertutup.
Tanpa pikir panjang, kulompati gerbang yang tidak terlalu tinggi itu. Untung saja tak ada
kawat duri di atasnya. Ternyata kebiasaan bolos kelas dengan lompat pagar sekolah masih
tersisa. Langkah cepat membawaku ke bagian belakang gedung. Kaki seakan tak mampu
melangkah lagi saat aku tiba di tempat yang sudah familiar sekali. Taman ini masih tidak
banyak berubah, kecuali pohon yang sampai sekarang aku masih tidak mengetahui
namanya, menjadi lebih rimbun meneduhi setengah dari luas taman. Kolam kecil dengan
air mancur yang bergemericik tenang, serta bunga yang bermekaran di pinggiran taman,
masih terawat dengan baik.
Kedua kakiku lemas dan seketika jatuh berlutut di lantai. Seperti dulu, ku lepas
alas kaki, lalu digeser kebelakang sebagai alas duduk. Matahari yang kemerahan terlihat
30

lelah dan ingin pulang untuk beristirahat. Kembali bangun di pagi hari, memulai hari bagi
umat manusia. Tercium udara segar aroma rumput dan bunga yang mulai menenangkan
pikiran. Kenangan-kenangan manis semakin cepat berkelebat di depan mataku. Tak
terasa, air mata sudah tak tertahan lagi. Sesuatu yang tidak keluar saat perpisahan,
akhirnya terjadi pada saat yang kuharap semuanya sempurna. Kacamata kulepas dan
memasukannya ke dalam saku. Sisa tetesannya kubersihkan dengan sapu tangan. Di salah
satu sudutnya, terdapat inisial A (Alicia, nama yang tak mungkin bisa Aku lupakan).
Apapun yang terjadi, aku pasrah. Janjiku untuk menjadi lebih baik telah kupenuhi pada
Alicia. Kini mungkin aku bisa menerima jika harus ...
Tanpa disadari, seseorang berjalan dari arah belakang dan menyentuh bahuku
dengan lembut. Aku mengenakan kembali kacamata dan mendongak untuk melihatnya.
“Aku tahu, kamu akan datang ke tempat ini,” ucap perempuan yang sekarang
duduk di sebelahku.
Ia melakukan hal yang sama. Melepas alas kakinya, menggesernya ke belakang,
dan dijadikan alas duduk.
“Terima kasih telah datang ke resepsi pernikahaan adikku.”
Tatapan kami bertemu. Dari balik kacamata, Aku melihat wajah yang sepuluh
tahun terakhir ini selalu kuingat. Ica masih sama, selain pembawaannya yang tambah
dewasa. Sedangkan aku, masih mengulangi kecerobohan dengan tak bisa membedakan
antara Alicia dengan Alida. Mata Ica terus menatapku dalam-dalam. Aku merasa kikuk
dan menggaruk kepala yang tak terasa gatal. Tatapannya kini seperti berkata ‘Apa benar
kamu matahariku yang kembali datang?’
Aku tersenyum bahagia dan mengajak Ica untuk bangkit. Melihat sekilas pada
matahari yang sudah mulai beranjak ke peraduannya, memegang tangan Ica, dan
menggandengnya meninggalkan taman. Kini aku telah menjadi mataharimu, Akan
kuberikan sinar sepenuh hati padamu, agar kamu bercahaya, selalu bercahaya mengiringi
hari-hariku.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Indra Eko Christian Simarmata lahir di Sidikalang pada tanggal 29 Juli 1991. Lulus dari TK Santa
Maria Sidikalang pada tahun 1997. Mengikuti SD selama enam tahun di SD Santo Yosef
Sidikalang. Lulus pada tahun 2003. Mengikuti SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang, lulus pada
tahun 2006. Indra Eko yang sering disapa Eko atau Jahud bermimpi menjadi mahasiswa di UI.
Motto : “Always can do the imposible thing.”
TENTANG PENGARANG
Indra Eko Christian Simarmata lahir di Sidikalang pada tanggal 29 Juli 1991. Lulus dari TK Santa
Maria Sidikalang pada tahun 1997. Mengikuti SD selama enam tahun di SD Santo Yosef
Sidikalang. Lulus pada tahun 2003. Mengikuti SMP di SMP Santo Paulus Sidikalang, lulus pada
tahun 2006. Indra Eko yang sering disapa Eko atau Jahud bermimpi menjadi mahasiswa di UI.
Motto : “Always can do the imposible thing.”

Cerita Seorang Lelaki tentang
Kejujuran
Oleh Boris Turnip
Ia terkenang sepuluh tahun yang lalu. Pertama kalinya ia harus berjanji dengan
dirinya untuk tidak pernah jujur. Betapa ia ringis mengenangnya. Tapi ia sadar harus
melakukannya. Sejak itu ia tidak pernah berkata jujur kepada siapapun.
Ia masih anak-anak 7 tahun dari keluarga tidak berada. Anak-anak sebesarnya
sedang sibuk mendaftar sekolah pertengahan bulan Juli, ia masih ingat betul tanggal 10.
Teman-temannya pada sibuk pergi ke pasar membeli buku, baju sekolah, dan pensil.
Hanya ia yang tidak peduli dengan kesibukan itu karena ia tahu tidak akan sekolah.
Tetangganya, Anto bertanya,”Kamu tidak daftar Di?”
Ia menggeleng.
Tepat hari pertama sekolah, Anto terkejut melihat Budi hadir di sekolah lengkap
dengan pakaian seragam.
”Kamu bohong, Di. Katanya kamu tidak sekolah.”
Itu pertama kalinya ia kenal dengan kata bohong. Ia tidak mampu menjelaskan
kepada Anto kenapa ia bisa hadir di sekolah itu dan mengenakan seragam pula. Ia masih
ingat, ketika itu dikatakannya kepada Anto, Mamaknya mengirimkan uang untuk biaya
sekolahnya. Tapi Anto tetap mengatakan bahwa ia telah berbohong awalnya.
Di musim layangan, teman-temannya sibuk membuat layangan dari bambu
dengan berbagai macam bentuk. Berbeda dengan yang lainnya, hanya ia tidak datang ke
lapangan sekolah karena ia tidak suka bermain layangan. Namun, pada suatu siang, ia
datang membawa layang-layang berbentuk kupu-kupu ke lapangan sekolah. Teman-
temannya bilang,”Katanya tidak mau main layangan.”
Sejak itu tidak ada orang yang percaya dengan omongannya. Di sekolah, ia lebih
dikenal dengan nama Panduto. Lebih akrab dengan nama Pandu.
30

”Oh, Pandu,” begitu kata teman-temannya.
Bila teman-temannya bermain dadu atau gambar, Budi tidak pernah diajak.
Berenang ke sungai juga tidak. Tapi Budi selalu datang sendiri.
Ia tidak pernah senang dengan panggilan Pandu yang diberikan teman-teman
kepadanya. Ingin dijelaskannya kenapa ia tidak senang bermain layangan. Ia harus
membantu ibunya ke sawah untuk menanam padi. Daripada teman-temannya kecewa, ia
bilang saja tidak suka main layangan. Tapi, pada hari kedatangannya ke lapangan sekolah,
ibunya menyuruh bahkan memaksa.
”Hari ini kamu tidak usah bantu ibu ke sawah. Main layanganlah dengan teman-
temanmu,” begitu kata ibu.
”Tapi saya sudah mengatakan kepada mereka bahwa saya tidak suka main
layangan. Saya bantu ibu saja di sawah.”
Ibu terus memaksa dan memberikannya sedikit uang untuk membeli layangan
yang dijual di kedai Pak Amin. Ia terpaksa melakukannya.
Ada yang tidak bisa diterima teman-temannya, pada hari Jumat, sebelum mengaji
di Surau. Mereka bersama telah sepakat untuk tidak datang mengaji. Tos-tosan tanda
kesepakatan. Hari itu, mereka akan main kelereng. Dari rumah masing-masing, semuanya
tetap membawa kain sarung dan Al-Quran. Di suatu lapangan yang jauh dari rumah,
rencananya mereka akan berkumpul. Tidak lupa, dalam kesepakatan, semuanya harus
membawa kelereng yang banyak. Siapa yang kalah mesti memberikan kelerengnya
kepada temannya yang menang.
Pertama yang datang ke lapangan adalah Soni. Ia duduk di rumput sambil
menunggu kedatangan temannya yang lain. kemudian Anto, Pardi, Ilham, Aldo, dan
Gilang datang. Sebelum memulai permainan, mereka bercakap-cakap tentang hukuman
yang akan diterima dari guru mengaji yang terkenal dengan hukuman berdiri dengan kaki
sebelah itu.
”Kalau bersama tidak terasa hukuman itu,” kata Anto membuka suara.
”Biasa saja.”
”Atau, karena kita ramai-ramai, kita dikeluarkan mengaji,” Ilham sedikit takut.
”Mana mungkin Guru Bidin akan mengeluarkan kita mengaji. Dengan apa ia akan
makan? Bukankah hanya ini pekerjaannya?” Gilang mematahkan pernyataan Ilham.
Lama mereka berbincang, mereka ingat seorang temannya lagi, Budi.
30

”Pandu kemana? Kenapa ia belum datang?”
”Tunggu saja. Barangkali sebentar lagi ia akan datang.”
Setengah jam mereka menunggu, Budi tidak juga datang.
”Dasar Pandu. Ia pasti berbohong lagi. Kita mulai saja permainan,” ajak Aldo yang
dari tadi hanya diam mendengarkan teman-temannya berbicara.
Keesokan harinya, ketika istirahat siang, Budi dikerumuni teman-temannya dan
dibawa ke suatu tempat yang lengang.
”Kamu berbohong lagi.”
”Maaf,” kata Budi singkat.
Ia lalu bercerita tentang ibunya. Tidak ada niat untuk melanggar kesepakatan itu.
Saya pun suka bermain kelereng. Tapi entah mengapa, ketika akan pergi mengaji, saya iba
melihat ibu yang baru saja pulang dari sawah. Ia berkeringat dan jelas kelelahan seharian
membanting tulang di sawah. ”Kamu tidak ke Surau, Nak?” kata ibu. Saya tidak akan
membohongi ibu, makanya saya pergi mengaji.
Teman-temannya melongo mendengar Budi bercerita. Tapi mereka tetap tidak
terima karena nanti sore mereka semua akan dihukum berdiri dengan kaki sebelah di tepi
sawah dekat Surau sebelum bisa mengaji lagi. Yang paling ditakutkan, andai Guru Bidin
melaporkan kepada orangtua masing-masing.
***
Ia pergi dari kampungnya setamat sekolah dasar. Membantu ibunya yang sudah
semakin tua. Terlebih, ia tidak ingin dipanggil Pandu. Di tempatnya yang baru, ia berjanji
pada diri sendiri untuk tidak pernah lagi berbohong, dalam keadaan apapun. Ia tidak akan
banyak berbicara karena semakin banyak berkata-kata semakin banyak pula omongan itu
yang tidak bisa dipertangungjawabkan.
Garis nasib membawanya kepada keberuntungan. Sifatnya yang luwes dalam
bergaul mengantarkan ia berkenalan dengan Kusniadi, kepala instasi di bidang
pendidikan. Ia dibawanya berkeja di kantornya sebagai tenaga honorer. Kusniadi bahkan
menjanjikan suatu hari nanti ia akan menjadi pegawai tetap dan di SK-kan.
Sampai pada suatu hari ia mendengar kabar dari kampung, ibunya sakit keras.
Ketika itu ia baru bekerja selama dua bulan. Ia lalu minta libur dan mengatakan alasannya
kepada Kusniadi. Kusniadi mengizinkannya pulang dan memberikan waktu libur selama
seminggu.
30

Belum sampai sebulan setelah ia kembali bekerja, ibunya kembali sakit. Kali ini
lebih parah dari dua bulan yang lalu. Ditemuinya Kusniadi dengan alasan yang sama. Tapi
jawaban Kusniadi tidak bisa diterimanya.
”Kamu berbohong. Dua bulan lalu kamu katakan ibu kamu sakit. Sekarang sakit
lagi. Saya tidak percaya.”
”Benar, Pak. Kalau Bapak tidak percaya, silahkan ikut saya ke kampung.”
”Alasan kamu saja. Kalau kamu pulang, kamu tidak akan saya perbolehkan lagi
masuk kantor.”
Ia tidak mendengarkan Kusniadi. Ia pulang ke kampung melihat ibunya yang sakit,
walau tidak tahu lagi harus bekerja apa sekembali dari kampung.
Ibunya harus dirawat di rumah sakit, ia terserang tumor ganas dan harus
dioperasi. Tapi ia tidak cukup punya uang untuk merawat ibunya di rumah sakit, apalagi
untuk biaya operasi. Askes yang diurusnya di kantor Wali Nagari tidak dapat menanggung
biaya operasi. Hanya cukup penyediaan tempat saja, itu pun di kamar yang tidak layak
huni. Untunglah, seorang rentenir mau meminjamkannya uang sebesar sepuluh juta dan
dibayar 20% bunganya. Ia tidak peduli asalkan ibunya sembuh.
Dokter berhasil mengangkat tumor ganas yang bersarang di kepala ibunya.
Alangkah senangnya Budi, tapi ia harus berpikir lagi untuk menulasi hutangnya kepada
rentenir yang dijanjikannya lima tahun dengan bunga hampir sama dengan yang dipinjam.
Ia pergi ke Pekanbaru. Di sana, banyak orang kampungnya yang bekerja. Kota itu
begitu terbuka bagi siapa saja yang mau berusaha. Kebanyakan orang-orang kampungnya
yang merantau ke Pekanbaru menjadi kaya ketika pulang kampung waktu lebaran.
Ia diterima Soni di Pekanbaru. Soni berkerja sebagai pedagang mainan anak-anak.
Memasuki pasar-pasar yang dihuni oleh orang-orang transmigrasi. Soni menggajinya
cukup besar, untuk ukurannya. Lagi pula, laba yang diperoleh dari berdagang cukup besar.
Di daerah transmigrasi, harga bisa dilambungkan daripada dijual di pasar Pekanbaru. Satu
jenis pistol anak-anak yang dibeli dengan harga 15.000, bisa dijual di daerah transmigrasi
tersebut 25.000. Mereka tidak protes karena memang tidak tahu harga dan jarang pergi
ke kota. Lagi-lagi, ia bernasib mujur. Setelah uangnya banyak terkumpul, ia bisa
berdagang sendiri.
Dagangannya tetap mainan anak-anak. Tapi, ia berdagang tidak seperti Soni. Soni
menjual satu pistol anak-anak seharga 25.000 dengan modal 15.000, ia menjual 50.000.
30

Entah berapa kali lipat dari modal yang ia beli. Bukan tanpa perkiraan, tapi ia percaya, ada
orang-orang yang tetap akan membeli karena ia punya cara lain yaitu berdagang dengan
mulut.
”Pistol-pistolan ini saya dapatkan dari seorang anak pejabat di Pekanbaru. Tentu
ibu tahu, mana ada pistol-pistolan anak orang kaya yang jelek? Ini tahan lama. Lebih
penting, anak ibu punya mainan anak orang kaya.”
”Berapa harganya?”
”Lima puluh ribu saja, Bu.”
Ibu itu kaget dan sepertinya hendak beranjak dari situ.
”Tidak akan ibu temui di manapun pistol semacam ini. Lihat mereknya, Bu. Made
in Amerika. Saya yakin, ini pistol dibeli di sana.”
Anaknya merengek dan menunjuk-nunjuk ke arah pistol-pistolan yang ditawarkan
Budi.
Ia mampu meyakinkan ibu itu, dan ibu-ibu yang lain dengan caranya masing-
masing. Berkat caranya berdagang, dalam waktu tiga tahun, ia mampu membayar
hutangnya kepada rentenir di kampungnya. Bunganya, rencananya dalam tenggang
waktu setahun lagi ia janjikan akan dibayar.
***
Budi mampu membayar hutangnya kepada rentenir tepat pada waktu yang ia
janjikan. Ia kini telah mengirimkan uang belanja tiap bulan kepada ibunya di kampung.
Membuatkan ibunya tempat tinggal yang layak dan mengembalikan sawahnya yang
tergadai dulu.
”Pandu telah kaya sekarang,” kata orang-orang kampung.
”Saya yakin kerjanya menipu orang. Ia kan paling lihai dalam hal itu,” timpal warga
yang sepertinya tidak senang dengan keberhasilan Budi.
Ia pulang ke kampungnya tiga hari menjelang lebaran. Warga kampungnya
terkejut, Budi pulang tidak naik bus, tapi mobil sedan, untuk ukuran kampung sudah
dianggap mewah.
Di hari lebaran, ia menyumbang untuk pembangunan masjid sebanyak satu juta
rupiah. Dari mikrofon masjid diumumkan keras-keras. ”Bagi saudara-saudara yang balik
dari Rantau, silahkan sumbangkan jerih payah itu untuk pembangunan masjid kita yang
masih terbengkalai. Bidin satu juta rupiah. Ayo, siapa lagi?”
30

Anto, temannya waktu SD datang ke rumahnya bersilaturrahmi. Ketika datang ke
rumah Budi, ia telah lupa dengan Pandu. Yang ada di depannya sekarang adalah Budi,
sahabatnya sewaktu SD dulu.
”Sudah kaya kau sekarang, Di. Apa pekerjaanmu?”
Ditatapnya sahabat lamanya itu. Dengan pasti dijawabnya,”Berbohong.”
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Penulis bernama lengkap Boris Mikhael Aloysius Turnip adalah seorang siswa kelas XII
Unggulan SMA N 1 Sidikalang.Penulis kelahiran Sumbul,17 April 1991 ini merupakan titisan
dari David Beckham sehingga kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari figur seorang
Beckham. Boris Mikhael atau sering disapa Boris Becks memiliki mimpi menjadi seorang
mahasiswa tekhnik perminyakan ITB.Penulis yang satu ini memiliki motto “Boris Becks,making
it real.”
TENTANG PENGARANG
Penulis bernama lengkap Boris Mikhael Aloysius Turnip adalah seorang siswa kelas XII
Unggulan SMA N 1 Sidikalang.Penulis kelahiran Sumbul,17 April 1991 ini merupakan titisan
dari David Beckham sehingga kehidupannya tidak dapat dipisahkan dari figur seorang
Beckham. Boris Mikhael atau sering disapa Boris Becks memiliki mimpi menjadi seorang
mahasiswa tekhnik perminyakan ITB.Penulis yang satu ini memiliki motto “Boris Becks,making
it real.”

Thank’s GodOleh Samuel Sihombing
Hari itu tepat pada tanggal 8 agustus, kami tiba di Makassar untuk melakukan
pertandingan Olimpiade Sains Nasional(OSN). Sejak SMP aku sudah memimpikan hal yang
seperti ini, karena aku sangat berambisi menjadi salah satu anggota dream team
Indonesia. Bagiku, mengikuti hal ini merupakan sesuatu yang sangat berharga melebihi
aku mendapatkan harta jutaan rupiah. Tekatku sudah bulat aku harus lulus dalam
pertandingan yang diikuti oleh siswa-siswi terbaik se-Indonesia ini. Ditambah dengan
dukungan dari keluarga, guru-guru serta teman-temanku yang senantiasa berharap aku
pulang ke kampungku dengan mengalungkan medali.
Waktunya tiba untuk melakukan test. Pada hari minggu 10 Agustus kami
melaksanakan test pertama yaitu test kemampuan teori dan hari kedua kami
melaksanakan test penentuan kemampuan psikomotor yaitu eksperimen. Kami
melaksanakan test tersebut dengan lancar tanpa ada halangan dari luar yang
mengganggu proses ujian tersebut.
Sebelumnya kami berangkat dalam suatu kontingen yaitu kontingen Sumatra
Utara. Teman-teman yang lain dapat mengerjakan semua permasalahan dengan baik,
begitu juga aku. Tetapi yang menjadi permasalahan apakah solusi yang kami berikan
secara individu tersebut benar adanya.
Keesokan harinya kami pergi berwisata, dengan wajah yang memudar AKU tidak
bisa lepas dari sebuah pertanyaan yang selalu bergema di telingaku,“apa hasilnya?” Untuk
hal tersebut tidak seorang pun yang dapat menjawab pada saat itu. aku berusaha
merenggangkan pikiranku yang terus bergejolak. Oleh karena itu, aku dikenalkan oleh
sang dewa waktu yang mengerti akan dilema ini dengan seseorang yang juga berpikiran
sama dengan aku. Dialah Tiffany, salah satu peserta Olimpiade bidang Komputer. Kami
satu sama lain merasakan dilema yang sama, maka kami dapat saling mengerti. Sedikit
cekungan di bibirnya mendamaikan dunia yang dulunya entah dimana menjadi dunia yang
tak terlukiskan baik dengan gambaran atau pun perkataan orang pembual.
Di sore itu aku merasa tenang karena ternyata ada orang yang mengerti aku yang
tidak dapat aku tuliskan dalam kata-kata. Aku pun merasa damai ketika melihat cekungan
30

itu. Dengan wajah yang lebih hidup, aku pergi berjalan-jalan di sekitar pantai Losari yang
kebetulan berdampingan dengan Hotel kami. Seketika aku memandang matahari di ufuk
barat, aku merasakan kedamaian yang luar biasa seraya kembali mengingat wajah karya
Maha Pencipta. Ketenangan mungkin solusi dari dilema ini. Aku melihat sekelilingku anak
kecil yang meminta-minta pada setiap orang yang lewat di depannya. Tersentak hatiku
akan kejadian yang seperti ini. Ternyata, aku merupakan salah satu orang yang paling
beruntung di dunia. Aku dapat bersekolah, belajar dengan baik hingga ikut dalam
kompetisi yang besar ini merupakan hal yang luar biasa jika dibandingkan dengan mereka.
Kepalaku kembali tertunduk, Aku merasa menjadi orang yang bodoh karena lupa
mengucap kata “syukur” kepada yang Maha Kuasa. Dengan modal ini, aku melangkahkan
kakiku dengan ringan tanpa beban, mungkin aku sedang berjalan di udara.
Arti hidup memang sulit diketahui semua orang, tetapi aku harus mencarinya
sendiri. Tersentak aku, ketika tiba-tiba Tiffany datang dengan wajah itu lagi. Beban yang
berkurang meringankam bibir ku untuk bicara dengan dia.
“Gimana, kamu masih memikirkan hal itu lagi ?” ujar dia dengan nada sopan.
Jawab Ku,“Sedikit. Teman-teman yang lain dimana? Apa mereka tidak ikut dengan
mu ke sini!“
“Mereka ada di belakang. Oh iya, kamu mau ngak ikut jalan-jalan dengan kami?”
sahut Tiffany.
“Bukannya aku tidak mau ikut bersama dengan kalian. Tapi, aku merasa tidak enak
badan. Aku tidur aja di kamar mungkin besok bisa ikut dengan kalian, jika hal yang sama
tidak terjadi lagi,” jawab aku dengan nada dan perasaan yang sangat menyesal.
Kemudian, tibalah esoknya, hari pengumuman waktu penentuan. Pada waktu
penentuan dengan wajah dan jantung yang tidak seperti biasa aku duduk di kursi dengan
memegang tas berharap aku bisa mengalungkan medali itu. Tibalah nama terakhir dan
ternyata namaku tidak disebutkan, seketika itu hidungku terasa perih dan kepalaku terasa
terbentur. Tanpa pikir panjang lagi aku bergegas menggandeng tas pergi ke bus yang
telah siap menungguku bercerita kepada orang yang ada di kampung. Dengan cepat aku
mengirim pesan kepada mereka dengan pernyataan aku telah gagal dan memohon
meminta maaf tidak bisa mengabulkan doa mereka dan langsung mematikan telepon
selularku.
30

Aku duduk di kursi dekat supir dimana matahari menyinari wajahku saat itu
dengan teriknya. Mata yang masih berkaca-kaca, hidung yang perih dan tangan yang
mengepal baju dapat menandakan keadaanku sat itu. Karena tidak tahan lagi, aku
kembali menghidupkan telepon selular ku. Seketika itu, orangtuaku menelepon aku, tak
kurang dari sepuluh detik aku mencucurkan air mata dengan deras tanda kegagalanku
dan pembicaraan kami lebih dari sepuluh menit. Kembali aku tertunduk atas semua
anugerah Tuhan ternyata, semua orang masih sayang padaku dengan apresiasi secara
tidak langsung ataupun secara langsung dari mereka mengirim pesan padaku. Pesan dari
orangtua, guru-guru, teman-teman, adik-adikku serta seseorang yang kusayangi pada saat
aku menuliskan semua ini di kampung menjadi hidrolik berkekuatan besar bagi aku.
Mereka selalu mengerti keadaanku. Lalu aku berdoa pada Tuhan karena Dia Maha
Pencipta memberikanku orang-orang yang sangat spesial buat aku dan kembali tak dapat
kutuliskan dengan kata.
Di sore itu, aku pergi ke pantai melihat kembali matahari yang menyentuh
permukaan lautan biru. Hatiku tenang perasaanku dihidupkan kembali. Sesaat itu dia
datang, aku yang menoleh ke belakang tak canggung lagi mempersilahkannya melihat ini
semua. Dia memang temanku yang baik, dan akan tetap menjadi suatu keseimbangan.
Kami yang menatap ini semua diam termenung. Tidak tau kanapa kali ini aku diam dan
merenung. Mengenai semua ini, suatu tekat yang masih berlanjut dengan metode yang
berbeda. Mungkin aku terlihat puitis tapi lautan yang luas ini seperti telah menjawab
pertanyaan itu. Tanpa mengetahui arti kalimat yang terlintas itu, aku senyum pada dia
yang ada di dekatku dan pada orang yang ada di kampung,sesudah aku mengingat arti
hidup dari Bapaku yang ada di Surga Maha Pencipta.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Dilahirkan pada tanggal 28 Desember 1989 di Sidikalang. Penulis memperoleh pendidikan di SD Inpres 030306
Sidikalang, SMPN 1 Sidikalang, dan SMAN 1 Sidikalang. Pada tahun 2006 penulis meraih beasiswa Sampoerna
Foundation bersama dengan ketiga peraih beasiswa SF lain di SMAN 1 Sidikalang. Pada Maret 2008 penulis
mendapat peringkat pertama di SMAN 1 Sidikalang dalam Try out Matematika dari Lembaga Pendidikan Olimpiade
Indonesia, dan peringkat ke-17 dalam Pertandingan Olimpiade Methodist EXPO yang dilaksanakan di Medan. Pada
bulan April 2008 penulis meraih peringkat 1 dalam Seleksi Olimpiade Sains Nasional( OSN ) tingkat Kabupaten Dairi
bidang Fisika mencakup permasalahan teori. Pada bulan Juni 2008 penulis meraih peringkat ke-7 dalam Seleksi
Olimpiade Sains Nasional ( OSN ) yang dilaksanakan di Medan dan peringkat umum ke-64 seleksi Nasional yang
dinyatakan lulus dari 94 peserta OSN bidang Fisika mencakup permasalahan teori. Pada tanggal 08 - 14 Agustus
2008 penulis meraih peringkat ke-50 dari 94 peserta OSN bidang Fisika dalam Olimpiade Sains Nasional ( OSN ) yang
dilaksanakan di Makassar, Sulawesi Selatan mencakup permasalahan Teori dan permasalahan Eksperimen.
Motto “make a balance in your mind and your body”
TENTANG PENGARANG
Dilahirkan pada tanggal 28 Desember 1989 di Sidikalang. Penulis memperoleh pendidikan di SD Inpres 030306
Sidikalang, SMPN 1 Sidikalang, dan SMAN 1 Sidikalang. Pada tahun 2006 penulis meraih beasiswa Sampoerna
Foundation bersama dengan ketiga peraih beasiswa SF lain di SMAN 1 Sidikalang. Pada Maret 2008 penulis
mendapat peringkat pertama di SMAN 1 Sidikalang dalam Try out Matematika dari Lembaga Pendidikan Olimpiade
Indonesia, dan peringkat ke-17 dalam Pertandingan Olimpiade Methodist EXPO yang dilaksanakan di Medan. Pada
bulan April 2008 penulis meraih peringkat 1 dalam Seleksi Olimpiade Sains Nasional( OSN ) tingkat Kabupaten Dairi
bidang Fisika mencakup permasalahan teori. Pada bulan Juni 2008 penulis meraih peringkat ke-7 dalam Seleksi
Olimpiade Sains Nasional ( OSN ) yang dilaksanakan di Medan dan peringkat umum ke-64 seleksi Nasional yang
dinyatakan lulus dari 94 peserta OSN bidang Fisika mencakup permasalahan teori. Pada tanggal 08 - 14 Agustus
2008 penulis meraih peringkat ke-50 dari 94 peserta OSN bidang Fisika dalam Olimpiade Sains Nasional ( OSN ) yang
dilaksanakan di Makassar, Sulawesi Selatan mencakup permasalahan Teori dan permasalahan Eksperimen.
Motto “make a balance in your mind and your body”

Ujung Dari PenantianOleh Rominta Bakara
Pagi ini lagi-lagi hujan datang dengan derasnya, mengguyur kota Cilacap yang
ramai dan penuh dengan kesibukan tersendiri. Ntah kenapa aku sangat malas beranjak
dari kasurku yang empuk itu, ditambah lagi selimut dan bantalku yang masih setia
menemaniku ke alam mimpi, padahal dari tadi wekerku sudah bernyanyi
membangunkanku.
“Ve… ayo bangun! Udah jam setengah tujuh nih, ntar kamu telat lagi ke skul!” ujar
Mama dari lantai bawah.
“Iya Ma…” ujarku seraya beranjak dari kasurku dan bergegas mandi.
Seperti biasanya aku hanya butuh waktu 15 menit untuk mempersiapkan
semuanya. Hari ini kupakai seragam kebanggaanku, baju putih dan rok kotak-kotak warna
merah, yang menunjukkan aku adalah salah satu siswa internasional di kota Cilacap ini.
Rambutku yang panjang ini kukuncir sedemikian rupa lalu kububuhi dengan pita
kesayanganku berwarna biru. Tak lupa kupasang kacamataku yang bergagang coklat itu.
Dan… Semuanya tampak sempurna. Aku puas dengan penampilanku.
“Ma… Mama, aku berangkat dulu. Udah mo bel nih…” ujarku setengah berteriak.
Lalu kuambil tas pink kesayanganku dan kunci mobil dari meja makan.
“Tunggu sayang, ni kroket kentang kesayangan kamu sekaligus minumnya!”ujar
Mama dengan tersenyum dan memberikan rantang itu ketanganku.
“Thanks Mom….! Mom emang paling the best,” kupeluk Mama dan kuambil
rantangnya.
“Hati-hati di jalan! Dan ingat jangan ngebut!” pesan Mama setelah aku masuk
mobil dan mulai mengemudi.
Tepat lima menit lagi bel berbunyi, aku sudah sampai di sekolah. Aku parkirkan
mobil metalikku dengan bergegas kulangkahkan kakiku menuju ruangan kelasku. Baru
saja aku meletakkan tasku, temanku Mocca sudah berteriak memanggil namaku.
“Ve, cepat donk! Tugas math kamu maksudku,” pintanya dengan suara memelas.
30

“Iya,iya! Sabar dikit napa?” ujarku dengan napas terburu-buru. Lalu kukeluarkan
buku tugas matematika itu dan aku beri pada Mocca.
Akhirnya bel berbunyi juga. Pelajaran pertama pun segera dimulai namun tiba-tiba
pintu kelas dibuka dan wali kelas kami beserta seorang murid baru masuk. Aku
terperanjat melihat wajah itu dan keringat dingin mulai mengucur membasahi badanku.
Jantungku berdetak kencang dan wajahku pucat hingga akhirnya aku pingsan dan
tidak sadarkan diri.
“Ve…. Bangun Ve! Kamu harus bangun!” kudengar suara indahnya Mocca di
telingaku.
Aku bingung kenapa aku ada di ruang UKS, yang kuingat kejadian di kelas tadi
sudah membuat aku shock. Dengan ijin wali kelas akhirnya aku pulang ke rumah diantar
Mocca.
“Ve, ada apa sebenernya? Kenapa tiba-tiba kamu pingsan saat anak baru itu
datang?”
“Mocca, aku ga sanggup certain ini semua. Aku ga kuat Mocca!” tidak terasa air
mataku sudah jatuh membasahi wajahku.
“Ve, mungkin dengan cerita ma aku, kamu bisa lebih tenang. Kita ini sahabat Ve,
kesusahanmu juga kesusahanku kita tanggung sama-sama,” tambahnya lagi.
Dengan susah payah kuceritakan semuanya ma Mocca. Aku percaya, dia bisa jaga
rahasiaku.
“Mocca kamu tau ga? Anak baru itu mirip, bahkan persis tak ada bedanya dengan
cowok yang pernah singgah di hati aku. Aku ga mau lihat wajah dia karena itu hanya akan
membuat aku terluka lebih dalam lagi,” ujarku dengan terbata-bata.
“Ve, kamu itu salah besar! Dia bukan Andre. Wong, tadi namanya Daren pindahan
dari Australia, dan papanya tugas di kedutaan Australia dulunya, sekarang balik lagi ke
Jakarta,” ujarnya panjang lebar.
“Oh….. Gitu ya? Tapi feelingku bilang dia itu Andre. Ah… ga tau deh…” ujarku
seraya turun dari mobil dan masuk ke rumah.
Sudah 3 hari aku ga masuk sekolah. Aku masih trauma dengan kejadian itu hingga
aku meminta untuk pindah sekolah. Tetapi Mama tidak mengijinkanku pindah karena
alasanku yang muluk-muluk dan tidak masuk di akal.
30

Selama 3 hari ini juga aku sering mendapat surat kaleng yang tidak jelas
pengirimnya. Semua kata-kata dalam surat itu persis seperti yang diberikan Andre untuk
aku 2 tahun yang silam. Keyakinanku semakin besar kalo Daren itu pasti Andre dan dia
sudah mengirim surat dan bunga melati kesayanganku tanpa mencantumkan nama dan
alamat pengirim.
“Ya, Tuhan… Kalau Daren itu Andre tolong kasih aku petunjukmu biar aku bisa
ngebuktiin itu semua. Dan aku juga minta pertemukan aku dengan Andre orang yang
sangat aku nantikan kehadirannya dalam hidupku. Please…… amin,” doaku sebelum
membuka surat kaleng yang ke-3. Lalu perlahan-lahan kubuka surat itu dan kubaca isinya.
Dear Ve…….
Ve, aku sangat menantikan kedatanganmu di taman kota, semanggi hall
Kita ketemu pukul 16.00 wib di sana. Don’t be late…..!
See you……..
Aku bingung dan bingung tidak tahu harus bagaimana. Akhirnya kuputuskan untuk
pergi ke taman kota, pukul 15.31 aku berangkat dari rumah dengan mobil metalikku. Ku
setir dengan kecepatan tinggi agar aku tidak telat di sana. Setibanya di Semanggi Hall
segera kuarahkan mobilku menuju taman di belakang.
Kulihat, Daren sudah menunggu aku disana. Dengan memberanikan diri
kulangkahkan kakiku menuju dia. Aku berdiri disampingnya tanpa sepatah kata.
“Ve, maaf kalo cara aku untuk ketemu dengan kanu sangat tidak gentle!” ujarnya
memecah keheningan diantara kami.
Aku masih terdiam, kerongkonganku kering dan mulutku tidak mampu berkata-
kata. Hanya air mataku yang jatuh satu persatu dari pelupuk mataku. Dan aku berharap
dia akan bilang bahwa dia bukan Daren tetapi Andre.
“Kamu harus tau bahwa aku Daren bukan Andre yang selalu kamu impikan!”
ujarnya.
“Tidak… itu ga mungkin. Kamu pasti Andre, kamu bukan Daren! Coba liat photo
ini. Ini kamu Andre!” ujarku, lalu memberikan photo itu kepadanya. Air mataku semakin
deras mengalir. Aku tersungkur di tanah dan kututup mukaku. Dan tiba-tiba kurasakan
tangannya memegang pundakku.
30

“Sekarang bilang kalo kamu Andre. Please….!” isakku memohon padanya.
Dengan gelengan kepalanya ku tau kalo dia bukan Andre. Kulepaskan genggamannya.
Namun dengan refleks dia memelukku.
“Kamu tenang dulu Ve biar aku jelasin semuanya,” ujarnya seraya mengajakku
duduk di bangku taman.
“Apa yang perlu kamu jelasin?” tanyaku.
“Aku tau, kamu sangat merindukan kehadiran Andre selama 2 tahun ini. Tapi itu
sudah ga mungkin Ve! Andre sudah pergi jauh.jauh sekali dan takkan kembali!”
“Maksud kamu apa Ren dan kamu siapanya Andre?” tanyaku dengan kebingungan
“Ve, Andre sudah meninggal 3 bulan yang lalu karena serangan kanker hati.
Selama ini dia menghilang karena dia ga mau kamu tau penyakitnya dan dia ga mau itu
menjadi beban buat kamu, dan untuk menghindari kamu dia meminta Papanya agar dia
dirawat di Australia. Selama di sana dia bercerita banyak tentang kamu ke aku.
“Dia bilang kamu itu adalah cewek yang pertama dan terakhir dalam hidup dia. Dia
nyuruh aku pindah sekolah ke Jakarta untuk ngejagain kamu. Ini semua dia lakuin untuk
kamu,” ujarnya antusias.
“Kenapa Andre tega ngelakuin ini ma aku Ren? Kenapa dia ga hargai perasaan aku
ke dia? Kalo aku tau kaya gitu aku pasti akan ada disampingnya untuk jagain dia.”
“Sudahlah, ga ada yang perlu disesali! Nih, ada titipan terakhir titipan Andre buat
kamu!” ujarnya dengan memberi kotak mungil bersampul biru itu kepadaku.
“Ren, antarkan aku ke makamnya Andre. Aku ingin mastiin kata-kata kamu,”
pintaku.
“Baiklah Ve, sekarang kita ke sana! Yuk aku antar!”ajaknya.
Sesampainya di makam Andre, aku langsung nangis. Kuucapkan kata-kata
terakhirku dengan dia walau kutahu dia takkan mendengarku. Kutaburi makam itu
dengan bunga yang aku beli di pinggir jalan menuju pemakaman sebelum aku
meninggalkan makam itu. Andre, kamu adalah bagian terindah yang pernah hadir dalam
hidup aku. Selamat jalan….!
Sepulang dari makam aku ke taman mengambil mobilku lalu pulang ke rumah
tanpa pamit pada Daren. Selama menyetir aku masih tidak percaya dengan semua itu.
Aku tidak percaya Andre meninggalkanku. Kuambil kotak mungil titipan Andre. Tanpa
30

sadar air mataku jatuh lagi saat aku melihat isi kotak itu. Sebuah syal yang kami rajut
bersama yang bertuliskan “VE ANDRE” kupeluk erat syal itu dan aku janji akan
menjaganya selamanya.
Akhirnya penantianku berakhir juga. Selama dua tahun aku menanti kedatangan
Andre, aku hanya mendapatkan kenangan yang menyakitkan. Dan pastinya aku kecewa
dengan semua itu. Namun di satu sisi aku bahagia karena aku bisa menjadi orang yang
paling berharga di saat-saat terakhir Andre.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Rominta Satriana Bakara lahir di Sidikalang pada tanggal 18 Agustus 1991. Harapan pengarang
tersebut yaitu meminta dukungan berupa doa agar pengarang dapat menjadi seorang
akuntan.
TENTANG PENGARANG
Rominta Satriana Bakara lahir di Sidikalang pada tanggal 18 Agustus 1991. Harapan pengarang
tersebut yaitu meminta dukungan berupa doa agar pengarang dapat menjadi seorang
akuntan.

Cita dan CintaOleh Novelly Sionita Simanjuntak
Entah mengapa sedari tadi Disti murung terus, semua orang rumah jadi bingung di
buatnya. Diajak ngomong, dia diam aja. Diajak makan, dia ogah. mank da pa seh???
Ditanya, eh dia malah cuek. bikin semua orang rumah BT, itutuh lagunya Dewiq feat
Ipank, yang syairnya BT..BT…ah…basi…basi loh. Eh kok malah ngelantur seh?? Daripada
ikut-ikutan BT, orang rumah jadi ikut-ikutan cuek, azas balas dendam gitu…
Sifat Disti yang aneh ga hanya terasa di rumah, di sekolah teman-teman Disti juga
dibuat bingung. Gmana ga??? Orang Disti uring-uringan, gelisah dan yang paling parah dia
ga konsen belajar, hal yang selama ini paling mustahil buatnya sebagai salah seorang
siswa teladan di sekolahnya.
“Dis, kamu kenapa seh? Sifat kamu akhir-akhir ini ga banget deh. Ni bukan Disti
yang aku kenal. Cerita deh ma aku, kalo bisa aku bantuin,” kata Oca teman semeja Disti
prihatin ketika mereka jalan kaki menuju rumah.
“Aku ga kenapa-napa Ca, aku rasa semua seperti biasa kok,” sahut Disti mengelak.
“Biasa kata kamu?? Apa kamu biasa uring-uringan ga jelas, gelisah ga nentu, dan
yang paling parah ga konsen belajar?? Itu bukan kebiasaan kamu Dis. Kita udah temenan
sejak SD dan kamu ga bisa bo’ong ma aku,” jelas Oca panjang lebar.
“Ca, aku ngomong apa coba?” tanya Disti putus asa.
“Ya kamu ngomong aja, ngomong kamu punya masalah apa sampai kamu jadi ga
karu-karuan gini,” jawab Oca.
“Ok, aku kan cerita.”
Disti menghela napas seperti hendak membuang semua beban yang ada, Disti
memang selalu cerita pada Oca apapun masalah yang dia hadapi. Namun, kali ini entah
mengapa Disti enggan sekali cerita.
“Kamu kenal ma Dino?” tanya Disti.
30

“Dino? Dino yang mana? Di sekolah kita kan ada dua Dino, Dino Wahyu kelas XI
dan Dino Adri yang sebaya sama kita, ya sama-sama kelas XII,” tanya Oca balik.
“Adri”.
“Dis, serius dong. Ngapain lagi kita ngomongin dia? Kita lagi ngebahas masalah
kamu bukan ngomongin orang, jangan ngalihin pembicaraan,” Oca nyerocos aja.
“Denger dulu dong Ca, kamu nyerocos aja. Tadi nyuruh orang cerita,” kata Disti
sebal.
“Sorry bos,” Oca cengengesan.
“Aku… sebenernya aku suka ma dia,” kata Disti lirih.
“Apa?” seru Oca terbelalak tidak percaya.
“Oca, jangan teriak gitu dong. kita dilihatin orang tuh,” bisik Disti .
“Aku mimpi ya Dis, aku ga percaya kamu bisa juga suka ma cowo.”
“Maksud kamu aku lesbian gitu?” tanya Disti tersinggung.
“Bukan gitu Dis, cuma seumur hidup aku baru kali ini aku dengar kamu suka ma
cowo. siapa yang ga kaget?” kata Oca,“Tapi apa masalahnya sampai kamu gila gini?”
“Ternyata Rosi juga suka ma dia,” sahut Disti.
“Apa?” lagi-lagi Oca kaget ma kenyataan yang ada di sekekililingnya.
“Iya, kemarin aku ngeliat Rosi bilang suka ma Dino pas istirahat di buritan
belakang sekolah.”
“Trus Dino jawab apa?” tanya Oca penasaran.
“Dia bilang dia butuh waktu buat mikir.”
“Baguslah, berarti kamu masih punya kesempatan buat jadi someone specialnya
dia,” kata Oca blak-blakan.
“Tapi Ca, aku kan ga tau Dino bakal jawab apa.”
“Itu urusan belakangan, tapi kamu harus ngungkapin perasaan kamu ma Dino
sebelum dia jawab pertanyaan Rosi,” saran Oca.
“Aku mana berani ngungkapin perasaan ma dia, mau taro dimana muka aku?
Sukur kalo diterima, kalo ditolak gimana?”
“Disti… Disti…, kamu itu ada-ada aja deh. kalo kamu berani suka ma seseorang
berarti kamu sudah berani ambil resiko diterima atau ditolak.”
“Ok, deh,” sahut Disti semangat.
30

Tiba-tiba Disti berhenti berjalan, dia terdiam. Oca jelas bingung dibuatnya, Disti
masih terpaku seperti sangat tertarik dengan hal yang sedang dilihatnya, Oca menyusuri
pandangan Disti hendak melihat apa gerangan yang membuat sahabatnya itu terdiam.
Tiba-tiba mata Oca menangkap suatu gambar, gambar yang pasti menyakitkan hati
sahabatnya. Dino yang sedang bergandengan dengan Rosi. Disti sudah mengerti arti
semua itu, Dino sudah pacaran dengan Rosi dan itu artinya Disti tak punya harapan untuk
meraih cintanya. Disti memang tidak terlalu jelas menunjukkan sakit hatinya, namun Oca
sudah paham karena wajah Disti telah menjelaskan semuanya.
Disti telah sampai dirumah, namun hatinya masih diselimuti kabut duka. Orang-
orang di rumahnya tidak ingin menambah buruk suasana hati Disti sehingga mereka
membiarkan Disti sendiri. Sore harinya Oca berkunjung ke rumah Disti, Oca memang tahu
persis masalah Disti dan dia tak mau sahabatnya itu terus dirundung duka.
“Dis..., kamu masih kepikiran ma kejadian tadi?”tanya Oca ketika mereka di kamar
Disti.
“Iya, gimana ga kepikiran coba? orang yang kamu sukai jalan ma orang lain di
depan mata kamu sendiri,” jawab Disti.
“Iya sih,” Oca menghela napas,“Tapi aku heran Dis, kenapa sih kamu bisa suka ma
dia?”
“Sebenarnya aku suka ma dia karena kami mempunyai cita-cita yang sama,” jelas
Disti.
“Cita-cita yang sama? kog bisa sih?” tanya Oca.
“Iya…, kamu tau kan kalo aku pengen jadi arsitek?”
“Trus?”
“Kemarin aku ke toko buku dan aku liat dia, dia lagi baca buku arsitek serius
banget. Trus ada mbak-mbak yang negor aku, mbak itu kayanya kenal ma dia dan mbak
itu bilang dia bercita-cita jadi arsitek. Gitu…,” jawab Disti.
“Aneh….”
“Aneh kenapa Ca?”
“Setau aku, Dino pengen jadi dokter deh bukan arsitek, soalnya dari SD dia sudah
jadi dokter kecil, dan dia juga pernah bilang kok kalau dia pengen jadi dokter spesialis
saraf,” kata Oca.
Disti dan Oca sama-sama terdiam bingung.
30

“Jangan-jangan itu bukan Dino, Dis.”
“Ga mungkin Ca, mukanya mirip banget dan posturnya juga persis, cuma
rambutnya agak panjang,” kata Disti.
“Setau aku Dino punya abang, namanya Rico dia memang ambil jurusan arsitek di
UI. Iya sih mereka mirip banget,” kata Oca.
“Kamu yakin Ca?” tanya Disti.
Tulit…tulit… HP Disti bunyi. Disti segera mengangkatnya.
“Halo…,” terdengar sura lembut seorang wanita.
“Ya, halo…,” balas Disti.
“Ini Disti ya?” tanya wanitaitu.
“Iya, saya Disti mbak siapa ya?”
“Saya Morina, yang kemarin ketemu di toko buku.”
“Oh mbak. Ada apa mbak?” tanya Disti.
“Ga ada apa-apa. Mbak Cuma pengen nyampaiin salam seseorang buat kamu.”
“Salam? Dari siapa mbak?.”
“Rico,” kata cewe itu.
“Rico?”
“Iya Rico, Kamu masih ingat kan cowo yang kamu perhatiin waktu di toko buku?
Dia lagi baca buku arsitek,” jelas wanita itu.
“Jadi itu Rico mbak, bukan Dino teman sekolah aku?”
“Iya itu Rico, kalo Dino itu adik Rico.”
“Makasih ya Mbak.” kata Disti girang.
“Iya, sama-sama. kelihatannya dia tertarik ma kamu.”
“Ah mbak, ada-ada aja, dia kan ga kenal sama aku.”
“Siapa bilang? waktu di toko buku dia juga merhatiin kamu.”
Disti masih senyam-senyum, padahal pembicaraan via HP telah usai. Oca ga
ngebiarin sobatnya itu gila tebar senyum setiap waktu.
“Oi Dis, sadar.. eling,,,” seru Oca, Disti tersentak.
“Benar Ca, dia Rico bukan Dion. Mbak yang kemarin ketemu aku di toko buku tadi
nyampaiin salam Rico buat aku,” kata Disti lagi.
“Angin bagus neh..” goda Oca “kamu bisa meraih cinta kamu, sekalian belajar
untuk mencapai cita kanu. Rico kan bisa ngajarin kamu banyak hal tentang arsitek.
30

“Oca….”
Disti sudah kembali ceria, malah lebih ceria dari sebelumnya. Hal ini sangat
menyenangkan orang di rumahnya dan sepertinya lagu BT dari Dewiq feat Ipank harus
menyingkir dari rumah itu.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Novelly Sionita Simanjuntak lahir di Panei Tengah pada tanggal 13 November 1991. Ia bercita-
cita menjadi seorang ahli manajemen industri.
Ia memiliki motto “hari ini harus lebih baik dari kemarin” sebab baginya hidup ini penuh
perjuangan dan perjuangan itu semakin besar seiring waktu, meningat persaingan dan
tantangan hidup yang makin besar.
Ia sangat berharap agar karya pertamanya ini dapat menjadi penyemangat dan motivator bagi
semua orang.
TENTANG PENGARANG
Novelly Sionita Simanjuntak lahir di Panei Tengah pada tanggal 13 November 1991. Ia bercita-
cita menjadi seorang ahli manajemen industri.
Ia memiliki motto “hari ini harus lebih baik dari kemarin” sebab baginya hidup ini penuh
perjuangan dan perjuangan itu semakin besar seiring waktu, meningat persaingan dan
tantangan hidup yang makin besar.
Ia sangat berharap agar karya pertamanya ini dapat menjadi penyemangat dan motivator bagi
semua orang.

Terima Kasih RioOleh Nova Lumbangaol
“Ya ampun, telat lagi deh, huh! Mama sih ga bangunin Sitha.”
Ku ambil handuk dan mandi, seragam abu-abuku udah aku pakai. Cepat-cepat ku
ambil sepatu putihku. Seakan dia mengejekku, ku pakai dengan secepat mungkin.
“Nona telat lagi neh!”
Aku berlari ke depan rumah, di sana Rio pacarku menunggu di samping Ninja-nya.
Rambutku yang dikucir bergerak seperti ekor kuda.
“Gimana mau maju loe! Katanya mau jadi dokter loe!. Gimana bisa kalau ga
disiplin?”
“Huh!”
“Gini deh kalau Rio udah marah. Pasti ngomelin aku. Aku nya juga sih, ga bisa
cepatan bangun,” sesalku dalam hati.
Ku pasang muka kasihan di depan Rio berharap dia segera mengucapkan sesuatu
yang bisa membuat aku tenang dan tida semakin membuat aku menyesali diri sendiri.
setidaknya dia bisa tersenyum padaku, tapi hasil nya nihil, nol besar.
“Mau berdiri berapa lama lagi? ayo naik!”
Ucap RIo kasar. Segera ku pakai helm putihku dan ambil posisi di belakang Rio.
Selama di jalan, Rio berubah jadi manusia bisu untuk saat ini. Hanya Suara motor yang
berteriak diantara kami. Aku coba angkat suara.
“Jangan ngebut dong!”
“Mau cepat atau telat?”
Aku hanya bisa diam. Aku memang punya seorang pacar yang on time, sifatnya
tegas, kalau sudah marah lebih baik diam kalau tidak mau dicuekin. Tapi itu yang aku suka
dari dia, ditambah lagi Rio mendukung aku menjadi dokter. Itu memang cita-citaku dari
dulu, menjadi seorang Ibu Dokter.
“Ayo turun!”
30

Aku langsung turun dan bilang,“Makasih.”
“Air minum nya mana? Bukannya selasa ada pelajaran olahraga?”
“Duh! Aku lupa ambil dari meja, habis tadi buru-buru. Gimana dong? Ga mungkin
pulang lagi kan?” ucapku dengan nada menyesal.
“Ya udah nanti aku antarin air minum nya ke tempat olahraga. Jam terakhir kan?“
Rio berkata sambil parkikan motor-nya. Aku senang dia ngomong kaya gitu.
“Makasih ya Ri.”
“Sitha ga boleh telat lagi. Apa mau aku cuekin buat selamanya?”
“Aku ga mau. Ia mulai besok Sitha janji bangun jam 5 biar ga telat lagi. Ga bakalan
lupa bawa air minium lagi. Sitha janji.”
“Key. Buruan masuk gih!”
Aku langsumg menuju ruang kelasku. Rio itu kakak kelas aku, satu tahun diatasku,
kelas nya cukup jauh, ketemu dia saja susah. Rio termasuk siswa cerdas di sekolah aku.
Nilai-nilai LHBS nya tiap tahun cukup memuaskan.
Saat pelajaran Bahasa Inggris hari ini aku ingat lagi kejadian tadi pagi.
“Gimana mau maju loe kalo ga disiplin,, kata nya mau jadi dokter loe, gimana
bisa?”
Kata-kata Rio selalu aku ingat. Aku memang kurang disiplin dan suka teledor, suka
menunda-nunda untuk mengerjakan PR-ku.
Benar juga yang Rio bilang. Aku bertekad dari sekarang aku harus bisa lebih
disiplin dan harus lebih baik lagi, biar nanti aku bisa jadi dokter, seperti cita-cita aku
selama ini.
“Makasih Ri buat kalimat yang tadi,” ucapku dalam hati.
Aku lihat jam ku. Jam 11.25, berarti bentar lagi jam olahraga. Nanti aku mesti
ketemu Rio dan janji buat jadi Sitha yang lebih baik lagi dan bisa dibanggakan.
Bunyi bel tanda berakhirnya pelajaran Bahasa Inggris membuat aku semangat,
terbayang aku melihat senyum Rio yang sebentar lagi akan menyapaku. Segera aku
menuju kamar mandi untuk mengganti seragam abu-abuku dengan baju olahraga.
“Semangat nya…!” Rani teman sebangku-ku menyoraki aku.
“Iya lah, anak muda itu mesti semangat. Kalau sekarang aja ga semangat, gimana
nanti waktu udah jadi nenek kakek,” ujar ku menimpali.
“Yang benar, pasti ada apa-apa nya, hayo!”
30

Aku hanya tersenyum pada Rani, aku yakin dia pasti tahu aku akan ketemu Rio
sebentar lagi. Jam olaharaga kelasku dipisahkan dengan jam istirahat, setelah olahraga
selama 45 menit, waktunya istirahat, ku coba cari dia, tapi tidak ada dimana-mana, apa
mungkin dia lupa ya, tapi dia selalu ingat kalau dia ada janji.
“Ah, mungkin lagi di toilet,” ucap ku dalam hati.
Ternyata dugaanku benar, ga lama kemudian dia datang dengan botol minuman di
tangannya.
“Capek ya, ini minumannya, langsung dihabisin biar segar,” dia berkata sambil
kasih botol di tangan nya.
Cepat-cepat ku ambil dan segera ku minum. Kemudian aku mulai bicara.
“Sitha janji mulai besok ga ada kata telat lagi, ga ada kata buru-buru., akan jadi
Sitha yang disiplin, baik, ga sombong dan rajin menabung,” ucapku dengan sungguh.
“Hehehehe, muka nya segitu amat, biasa aja Nona Rio.”
Itu sebutan Rio buat aku, dia senang memanggil ku dengan Nona Rio. Aku senang
melihat senyumnya dengan deretan gigi ratanya.
“Aku janji, aku serius,” balas ku.
“Iya, Sitha harus jadi Sitha yang bisa suskses dengan kerja keras sendiri. Mulai
besok tunjukin ke aku ya!”
“Siap Bos, aku ga bakalan ngecewain,” ucap ku.
Aku ga tahu kenapa aku begitu senang bisa melihat senyum dia, bisa lihat dia.
Rasanya ada sesuatu, tapi aku tidak tahu sesuatu itu apa. apakah buat aku sedih, atau
sebaliknya.Tetapi mungkin itu hanya perasaan aku aja.
Siang ini mendung, mungkin sebentar lagi hujan turun, saat aku jalan menuju
gerbang sekolah, aku melihat dia nunggu aku. Seakan mau berlari aku menghampirinya.
“Cantik…, mau langsung pulang?” Rio menyapaku.
“Iya ne, udah mendung.”
“Tenang aja, 20 menit lagi kamu bakalan nyampe rumah. Tunggu bentar ya.”
Dia langsung ambil motornya, dan kami langsung pulang. Selama perjalanan
pulang, aku merasa ada sesuatu yang aneh, aku ingin katakana tetapi tidak tahu mau
bilang apa. Aku aneh ya. Tapi sekali lagi aku berkata sama diri sendiri. Itu hanya perasaan
aku.
30

Dua puluh menit kemudian. Kami udah nyampe di depan rumah. Seperti janjinya,
bakalan nyampe 20 menit lagi. Dia memang selalu gitu. Kalau antar aku kemana aja, pasti
pasang waktu. Kalau dia terlambat mau ketemu aku atau jemput aku, dia pasti aku
hukum, yaitu besok pagi nya dia mesti jemput aku mau ke sekolah.
“Sith, aku pulang ya, kamu jangan nakal dan jaga diri,” ucap Rio setelah aku turun
dari motornya.
“Kamu hati-hati. Besok aku dijemput ya, ingat ga ada kata telat. Boleh kan?”
“Pasti. Aku pergi..”
Setelah dia pergi, aku langsung cari mama, aku pengen langsung cerita hari ini
pada mama. Aku certain semuanya, tentang janji aku tadi siang. Mama senyum aja dan
dia nampak dukung aku.
Pagi ini ga gitu cerah, sama kayak hari-hari sebelumnya, pukul enam lewat tiga
puluh menit, aku udah siap. Saat sarapan, aku dengar suara motor, aku senang, dan
langsung keluar untuk bilang aku udah siap berangkat. Aku segera keluar, Tapi Rio ga ada,
yang ada hanya tukang keliling makanan.
Aku coba sabar. Sebentar lagi dia pasti datang.
Sekarang udah hampir pukul tujuh, tapi kok dia belum datang juga, ga biasanya
jam segini dia belum datang. Aku mulai ga sabar, aku langsung hubungi nomornya, hasilya
ngecewain, hanya pesan veronica. Aku jadi semakin takut. Aku ga mau berpikir yang
buruk dulu. Ga ada jalan lain, aku harus berangkat sendiri, aku segera pamit pada Mama
dan Papa.
Setiba di sekolah, aku langsung ke tempat parkir, tapi motornya ga ada, padahal
tinggal beberapa menit lagi sekolah bakalan dimulai. Aku langsung ke kelasnya, tanya
teman nya, tapi dia ga tahu Rio dimana. Aku mesti masuk kelas sekarang. Bel sudah
berbunyi.
Selama pelajaran hari ini aku yakinin diri sendiri, Rio pasti baik-baik aja. Setelah
pelajaran hari ini selesai, aku coba tanya teman nya lagi
“Tadi Bu Endang bilang kalau Rio udah pindah ke luar kota.” Ucap Dani teman
sekelas Rio.
“Pindah kemana?” tanyaku dengan cepat.
“Bu Endang juga ga tahu. Tadi Bu Endang cuman kasih tahu kalau mulai hari ini Rio
ga sekolah di sini lagi.
30

Aku ga percaya dia pindah. Aku putusin untuk ke rumahnya. Tapi rumahnya
kosong, ga ada siapa-siapa.
“Kenapa dia ninggalin aku saat aku ingin buktiin janji aku, kenapa dia ga kasih tahu
apa-apa, kenapa jadi gini, kenapa?” Aku hanya bisa bertanya, pada diri sendiri, tidak ada
tempat aku bertanya dimana Rio sekarang, tidak teman juga Mamaku.
Aku ga tahu mau berbuat apa, aku marah tapi marah pada siapa, aku ingin nangis
tapi aku ga ada kekuatan buat nangis.
“Aku ga kuat Tuhan, tolong kembalikan Rio padaku, seengganya aku tahu dia
dimana.”
Aku berdoa berharap Tuhan langsung kasih tahu Rio dimana. Hari ini seminggu
setelah Rio pergi. Aku masih berharap dengar dia panggil aku Nona Rio, sapa akau dengan
kata Cantik. Tapi aku ga akan mendengarnya lagi.
“Gimana mau maju loe! Katanya mau jadi dokter loe!. Gimana bisa kalau ga
disiplin?”
Aku ingat lagi kata-kata nya pagi itu, pagi terakhir aku bersamanya. Aku ga boleh
sedih, aku Sitha yang kuat, aku akan jadi Dokter seperti cita-cita ku.
“Kamu pasti bisa Nona Rio,” ucap ku dalam hati penuh keyakinan.
Dimana pun kamu sekarang, suatu saat aku akan ketemu kamu dan buktiin kalau
aku Sitha yang hebat.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Nova Lumbangaol, lahir di Sidikalang pada tahun 1991. Pada tahun 2006 lulus dari SMP Negeri 1 Sidikalang.
Hobbynya membaca. Dia bercita-cita menjadi seorang dokter. Berdoa dan bekerja, itulah motto hidunya.
Tahun 2006 hingga sekarang menjadi seorang siswi SMA Negeri 1 Sidikalang.
TENTANG PENGARANG
Nova Lumbangaol, lahir di Sidikalang pada tahun 1991. Pada tahun 2006 lulus dari SMP Negeri 1 Sidikalang.
Hobbynya membaca. Dia bercita-cita menjadi seorang dokter. Berdoa dan bekerja, itulah motto hidunya.
Tahun 2006 hingga sekarang menjadi seorang siswi SMA Negeri 1 Sidikalang.

Sahabat KecilkuOleh Sandra Samosir
Kupandangi lembaran majalah yang ada di hadapanku, mataku seakan tidak
percaya akan apa yang baru saja kubaca. Tidak kusangka namaku berada di sana, majalah
remaja yang selalu kubeli setiap dwiminggu itu. Aku selalu menyisihkan uang sakuku
untuk membeli majalah ini, karena ada kenangan indah yang pernah kualami bersama
majalah ini. Dengan penuh semangat kubaca artikel itu hingga berulang-ulang. Orang
yang melihatku saat ini pasti menyangka aku ini tidak waras. Aku maklum terhadap
mereka, karena saat membaca artikel ini, kadang aku menangis terharu dan kadang
senyum-senyum sendiri. Tetapi aku tidak peduli.
“Pagi, Ra!” sapaku seperti biasanya, walaupun hanya untuk sekedar basa-basi.
“Pagi juga, Fan!” balasnya sembari tersenyum kecil.
Tara, teman sekelas sekaligus sahabat baikku, anaknya sangat pemurung dan
pendiam. Tetapi bagiku, itu hanya anggapan orang yang tidak mengenal pribadinya
dengan baik. Memang, aku juga tidak terlalu mengenal dia. Tetapi, pernah suatu kali aku
coba mendekatinya, ternyata anggapan semua orang tentangnya selama ini salah besar.
Tara anak yang sangat menyenangkan, baik, ramah, sederhana serta cerdas.
Namun karena sifatnya yang pendiam, tidak banyak orang yang mencoba untuk berteman
dengannya.
“Gimana PR Fisikamu? Sudah beres?” tanyaku.
Dia tidak menjawab, hanya seulas senyum yang tersungging di bibirnya. Tara anak
yang sangat rajin dan giat belajar dan itulah yang sangat ku kagumi dari sosoknya.
“Tara rajin, ya!” kataku,”Aku pinjam yah, iya ya, iya dong, mau dong!”
“Ini,” katanya tanpa berkomentar panjang lebar.
Di antara teman yang lain, hanya aku saja yang berani meminjam PR atau barang
kepunyaannya yang lain, dan menurutku, sikap teman-teman yang terlalu menjaga jarak
dengannya, itulah yang membuatnya semakin pendiam.
30

Suatu pagi, saat tiba di kelas, kulihat dia sedang duduk sambil menangis di
kursinya. Aku mencoba menghampirinya.
“Ada apa, Tar? Kok nangis? Udah, jangan nangis lagi dong. Ntar lagi Bu Winda
masuk loh, pelajaran akan dimulai,” bujukku sambil menepuk-nepuk pundaknya. Tetapi...,
dia seperti bukan Tara yang aku kenal lagi.
“Jangan ganggu aku! Kamu ga tahu apa-apa!” bentaknya.
Kulihat teman sekelas memandang kami berdua yang sedang ribut.
“Tara, calm down please! Oh, my God, what’s up? Teman-teman ngliatin kita!”
bisikku.
“So what!? Kamu pikir aku peduli! Semua orang sama aja! Egois! Ga pernah
mikirin perasaan orang lain!”
Aku memilih untuk mengalah dan menghindar, aku lagi tidak ingin berdebat
dengan siapapun. Hari itu, kami tidak banyak bicara dan jujur saja, aku kesal sekali
melihat sikapnya yang emosi tadi.
“Teeett! Teeett!! Teeett!!” Bel tanda pelajaran usai dibunyikan. Bergegas aku
meninggalkan ruangan kelas dan bergabung dengan teman lain yang lagi sibuk ngegosip.
“Stefani!” seseorang memanggil namaku. Aku menoleh,”Ugh, Tara!
“Fan, aku ada perlu sama kamu. Tapi sebelumnya, kamu mau kan memaafkan
sikapku tadi pagi? Maaf, ya! Tadi aku terbawa emosi, jadi kalap deh,” katanya,“Tapi kalau
kamu gak mau, gak papa kok.”
Aku menyodorkan tanganku, dan dengan segera dia menyambut tanganku dan
kami bersalaman.
“Aku mau cerita sesuatu sama kamu. Kamu ada waktu kan?”
“Hmm, kebetulan aku lagi ga sibuk hari ini.”
“Kalo gitu, kita ngomongnya di rumahku aja, ya!”
Rumah Tara ternyata sangat besar dan megah.
“Yuk,” ajaknya sambil menarik tanganku memasuki kamarnya di lantai atas.
Ruangan itu dicat berwarna indigo. Gelap tampaknya. Tapi saat itu juga Tara menyalakan
lampu sehingga ruangan itu menjadi terang. Di tengah ruangan terdapat sebuah ranjang
dengan seprai berwarna lime dan bermotif cartoon Conan.
“Sini Tiff,” ajaknya agar aku duduk disebelahnya. Aku menghampirinya. Lalu dia
mulai bercerita banyak kepadaku. Mulai tentang dirinya, keluarganya sampai bagaimana
30

dia menjalani kehidupannya sehari-hari. Aku hanya bisa diam dan menjadi pendengar
yang baik saat itu. Aku jadi mendapat banyak pelajaran tentang arti dan liku-liku
kehidupan darinya. Dari ceritanya, aku tahu bahwa dia adalah anak dari keluarga yang
broken home. Papa dan mamanya ternyata lebih mementingkan urusan bisnis dan urusan
pribadinya dibandingkan mengurus Tara, anak semata wayang mereka.
Aku jadi merasa bersalah pada Tara, karena aku sempat kesal melihat dia tadi
pagi. Walaupun aku lahir dari keluarga sederhana, namun aku merasa jauh lebih
beruntung karena mendapatkan kasih sayang yang besar, seluas jagat raya dan sedalam
lautan dari kedua orang tuaku.
“Hiks, jadi rindu deh sama mereka. Eeh,tunggu dulu, bodohnya! Apa-apaan sih aku
ini, kok jadi ngelantur, batinku sambil senyum-senyum sendiri. Ups, aku terjaga dari
pikiran bodohku saat mendengar suara isak tangisnya Tara.
“Why Tara?” tanyaku dalam hati.
“Kamu tau ga Fan, sejak kecil aku dirawat dan dibesarkan oleh Bik Ina!”
Sejenak Tara terdiam, sesenggukan.
“Emang, aku selalu dapetin semua yang aku mau, tapi, buatku itu bukan hal yang
paling penting. Kamu jauh lebih beruntung dan lebih bahagia dibandingkan aku,
Fan!”suara tangis Tara meledak.
Aku terkejut, tetapi tidak mampu berkata apa-apa. Mulutku bagai dikunci rapat-
rapat dan sepertinya aku memang telah lulus menjadi pendengar yang baik.
“Trus, tadi pagi Papa dan Mama bertengkar hebat. Mereka sibuk dengan masalah
perceraian mereka. Mereka ingin bercerai,” Tara berusaha menahan tangisnya sehingga
yang kedengaran hanya isak tangis yang memilukan,“Mereka sangat egois, mereka sama
sekali tidak memikirkan perasaanku. Sewaktu aku kecil, mereka tidak memperhatikanku.
Saat aku besar, mereka sibuk memperebutkan hak asuhku. Entah untuk apa! Untuk apa
mereka memperebutkan hak asuhku kalau memang aku hanya untuk ditelantarkan lagi!
Mereka egois, Stefani! Egois!,” teriaknya sambil menutup wajahnya yang penuh dengan
air mata dengan kedua telapak tangannya.
Aku tidak tahan lagi melihatnya. Ternyata keinginan mulutku untuk tidak berkata
apa-apa kalah dengan mataku yang melihat dengan hati mengenai keadaan Tara
sekarang,“Eh, ternyata aku orangnya puitis juga ya. Tapi… ah sudahlah Stef, bukan
waktunya bercanda!” tegasku dalam hati.
30

Perlahan tetapi pasti aku mencoba menenangkan Tara.
“Sudahlah, Tara. Ev’rything will be alright. Orangtuamu hanya butuh waktu untuk
lebih mendekatkan diri satu sama lain. Kalau aku boleh ngasih saran, coba kamu ajak
kedua orangtuamu berbicara baik-baik. Kamu ceritakan segala keluh-kesah dan beban
yang selama ini kamu rasakan kepada mereka. I’m sure. Whatever keadaan orangtuamu,
they still loving u. Mana ada sih orangtua yang nggak sayang sama anaknya. Dan jangan
sampe lupa berdoa, agar Tuhan membuka hati mereka buat ngurungin niat mereka tadi,”
hiburku panjang lebar.
Kudengar tangis Tara sudah mulai reda.
”Makasih banyak, ya Fan. Ternyata aku ga salah milih kamu jadi sahabatku. Kamu
mau kan jadi sahabatku selamanya?”
“Ah, loe ni, biasa aja lagi,of course, my friendship!” jawabku senang walaupun
sedikit belagu kedengarannya.
“Tapi, kamu akan merahasiakan semua ini, bukan?” tanyanya berharap.
Kedengarannya harap-harap cemas gitu.
“Never mind, tenang aja lagi! Semuanya akan aman di sini,” jawabku sambil
berlagak mengunci mulutku dan membuang kuncinya jauh-jauh dan tentunya berharap
jangan sampai ada yang memungut kunci itu kembali. Ada-ada aja deh! Kami tertawa
serempak.”
Itulah awal persahabatan kami. Sejak itu, kami bagaikan tidak terpisahkan. Saat
pelulusan, orangtua Tara menyuruhnya untuk melanjut kuliah di luar negeri. Walaupun
begitu, kami memutuskan untuk tetap berhubungan satu sama lain. Namun, semuanya
itu tidak berlangsung lama, hanya sekitar tiga bulan. Kalau tidak salah, terakhir sekali aku
mengirim surat padanya lima tahun yang lalu dan pada saat itu suratku tidak berbalas.
“Mbak, geser dikit, dong! Yang lain juga mau duduk,” seorang anak remaja
menyadarkan lamunanku.
“Oh, God! What time is it now?” kulirik jam tanganku. Bodohnya diriku, pikirku.
Aku sudah duduk berkhayal mengenang masa laluku di halte ini hampir dua jam.
Dengan segera aku menyetop sebuah mobil angkutan dan berlalu dari halte. Aku sudah
tidak sabar untuk tiba di rumah dan menyelesaikan pembacaan artikel tersebut.
Di artikel tersebut, dikatakan bahwa Tara sangat menyesali kebodohannya pada
masa lalu. Saat akan pindah rumah, saat di luar negeri dulu, kertas alamat rumahku
30

tercecer saat mereka beres-beres rumah. Dari situlah aku tahu, bahwa hal itulah yang
menyebabkan hubungan kami terputus.
Saat ini aku telah kembali ke Indonesia. Aku sangat mengharapkan kamu
membaca tulisanku ini, di majalah kesayangan kita ini. Sahabatku, bila kamu membaca
tulisan ini, aku harap kamu datang pada hari ulangtahunku ke tempat kita biasa bermain
bersama., aku harap kamu tidak melupakan segala kenangan dan kebersamaan kita dulu.
Kamu akan selalu ada di hatiku, sahabat kecilku, kini dan selamanya. Karena kamu
hidupku lebih bermakna dan berarti.
Sahabat kecilmu,
Tara Vadis
Hatiku sangat gembira membaca tulisannya. Mungkin hatiku saat ini lebih bahagia
dibandingkan orang lain yang memperoleh hadiah undian satu milyar. Aku ingat dengan
jelas tanggal ulang tahunnya, pada 1 Oktober 2008 usianya akan genap 20 tahun dan kami
akan bertemu di taman belakang sekolah pada hari itu. Hatiku tidak sabar menanti
datangnya hari itu. Akhirnya, kami dapat bertemu lagi setelah hampir lima tahun
berpisah.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Sandra Cecilia Samosir lahir di Sidikalang pada 1 Agustus 1991. Penulis saat ini sedang
menuntut ilmu di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sidikalang dan duduk di kelas XII program
IPA pada TA 2008/2009.
Sebelum menduduki bangku SMA, penulis telah menekuni beberapa hobinya di bidang sastra
seperti menulis cerpen dan puisi serta dalam bidang seni menggambar.
Penulis memiliki motto hidup ‘Do your best’ dengan memiliki sudut pandang bahwa setiap
individu memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang di masa
depannya.
TENTANG PENGARANG
Sandra Cecilia Samosir lahir di Sidikalang pada 1 Agustus 1991. Penulis saat ini sedang
menuntut ilmu di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sidikalang dan duduk di kelas XII program
IPA pada TA 2008/2009.
Sebelum menduduki bangku SMA, penulis telah menekuni beberapa hobinya di bidang sastra
seperti menulis cerpen dan puisi serta dalam bidang seni menggambar.
Penulis memiliki motto hidup ‘Do your best’ dengan memiliki sudut pandang bahwa setiap
individu memiliki potensi unggul yang akan tumbuh menjadi prestasi cemerlang di masa
depannya.

November KelabuOleh Andri Prima Sitepu
11 November 2007, hari Selasa, pukul 07:30 WIB. Bagiku hari ini sama seperti hari-
hari sebelumnya. Hari yang sangat membosankan. Tidak sengaja pandanganku tertuju
pada Luna yang tampak murung. Tetesan cairan bening mengalir dari matanya. Tiba-tiba,
seseorang menepuk pundakku dari belakang dengan keras.
“Hei, lagi melihat siapa kau ?” tanya Rey dengan logat Bataknya yang aneh.
“Aku lagi ngeliat Luna. Kelihatannya ia menangis,” jawabku.
“Apa kau belum dengar kalo orangtua Luna kecelakaan dan meninggal malam
Minggu kemarin,” balas Rey.
Aku terkejut tanpa bisa berkata apa pun. Semalam aku masih berada di Berastagi
sehingga aku belum tahu peristiwa itu. Tetapi, mengapa Luna tidak memberitahuku?
Atau mungkin Rey berbohong. Pasti. Rey pasti bohong.
Toet…toet…toet
Pukul 13:15.
Bel telah berbunyi. Luna terlihat membereskan peralatan belajarnya. Ia berdiri dan
berjalan dari hadapanku tanpa berkata sepatah katapun. Aku tertegun tanpa berani
menyapanya. Kejadian itu mengubah Luna yang periang menjadi pemurung. Luna
melangkah dengan pasti meninggalkan kelas tanpa mempedulikan terik matahari. Hari
yang cerah untuk jiwa yang sepi, pikirku. Segera aku beranjak dari tempatku melihat,
menuju rumahku. Sesampainya di rumah, aku berganti pakaian dan makan siang. Sore ini
aku ingin membeli buku kimia dari Gramedia di Sidikalang Hyper Mall yang baru
diresmikan. Gramedia berada di lantai duapuluh satu. Saat berada di lantai tujuh belas,
tanpa sengaja mataku tertuju pada seorang gadis cantik yang duduk melamun di sebuah
kafe yang sepi. Ternyata gadis cantik itu Luna. Kucoba untuk menghampirinya, namun
seorang pria lebih dahulu menyapanya. Tetapi kehadiran pria itu tidak mengurungkan
niatku untuk mendekat. Aku duduk di meja di belakang mereka sembari menguping
pembicaraan mereka.
“Hai, Luna. Kabar kamu baik kan ?” tanya pria itu.
30

“Eh, Robert. Kabarku lebih baik dari semalam,” balas Luna dingin.
“Aku turut berduka cita atas musibah yang menimpa orangtuamu,” kata Robert
mencoba mengambil perhatian Luna.
“Makasih ya atas perhatian kamu,” balas Luna tidak bersemangat.
Aku menahan tawa di belakang mereka, tetapi aku maklum saja. Melihat Robert
dengan badan yang besar, kaki yang pendek, kulit hitam yang ditumbuhi bulu lebat
memberi rangsangan ke otakku bahwa aku sedang melihat gorilla. Tiba-tiba ponsel Robert
“menyanyikan” lagu Knight of Cydonia yang diciptakan oleh Muse. Ia mengangkat
ponselnya dan berbicara dengan bahasa yang sulit kumengerti karena mungkin itu bahasa
gorilla. Suara Robert yang berat membuyarkan anganku tentangnya.
“Maaf Lun, aku harus ke UNIVCEN sekarang karena aku harus mengurus meja
hijau ,” kata Robert.
Luna hanya mengangguk tanpa ekspresi. Setelah Robert jauh, aku segera duduk di
kursi di hadapan Luna.
“Hai, Lun ,” sapaku dengan ramah.
“Hai ,” balas Luna dengan singkat, padat dan jelas.
“Muka kamu kok murung ?” tanyaku.
“Nggak apa-apa. Mungkin kecapean ,” kata Luna.
“Kamu ada masalah ?” tanyaku dengan tatapan hangat.
Tiba-tiba, Luna menangis terisak-isak. Saat itu aku tidak tahu ingin berbuat apa.
Aku merasa bingung dan bersalah bertanya padanya dan juga merasa kasihan melihat
keadaannya yang kelihatan tertekan.
“Lun, saat air matamu membasahi bumi, takkan pernah bisa menutup luka
hatimu,” kataku mencoba menghiburnya.
“Jadi aku harus bagaimana sekarang. Orangtuaku udah meninggal. Sekarang aku
yatim piatu,” katanya pelan.
Aku sangat terkejut. Aku tidak menyangka kalau yang dikatakan Rey benar.
Orangtua Luna telah meninggal.
“Aku pun tak mungkin bisa saat kau memintaku untuk bangkitkan mereka yang
telah pergi. Biarlah semua berlalu seperti waktu. Dan kini hadapi semua kenyataan itu
walaupun itu perih,” kataku mencoba menutup keterkejutanku.
“Tetapi aku nggak mampu,” katanya setengah berteriak.
30

“Ini bukan akhir dunia dan bukan segalanya. Janganlah berhenti sampai akhir,
karena aku yakin orangtuamu juga ingin kamu berhasil. Tak usah kau sesali dan tak usah
kau tangisi semua yang telah terjadi walaupun itu sangat menyakitkan. Kamu pasti bisa
menjadi wanita yang tegar,” kataku mencoba mengerti perasannya.
Luna merenung sesaat dan menghapus airmata di pipinya. Ia mencoba tersenyum.
Senyuman yang indah. Keindahannya membuatku terpaku. Walaupun matanya kelihatan
bengkak, ia tampak cantik, sangat cantik. Secantik cahaya mentari yang perlahan turun ke
peraduannya.
Pukul 21:00 WIB.
Mataku sulit dipejamkan. Entah mengapa hatiku terus gelisah. Di pikiranku terus
terlintas kejadian siang tadi. Dalam benakku tertanam sejuta bayangan Luna. Redup
terasa cahaya hatiku mengingat semua yang terjadi siang tadi. Waktu berjalan mengiringi
setiap waktuku bersama Luna. Cukup sudah aku tertahan dalam pengungkapan rasa
hatiku kepadanya. Aku terkejut. Aku mencoba untuk melawan perasaan itu, namun telah
mengisi laju darahku. Mencoba untuk singkirkan bayangan wajah Luna, namun telah
meresap ke dalam relung sukmaku. Aku tak bisa, sungguh tak bisa. Sampai kapankah aku
mampu begini? Pertanyaan ini membawaku terbang ke dalam mimpi.
Hari Selasa pukul 07:15.
Aku menunggu Luna di kelas. Aku sudah tidak sabar melihat keadaan Luna
sekarang. Aku sudah menunggunya selama lima belas menit tetapi batang hidungnya
belum tampak juga.
“Rey Nababan,” si ketua kelas menyapaku,“Selamat pagi. Lagi menunggu siapanya
kau ini ?”
“Si Luna udah datang?” balas tanyaku.
“Dari semalam si Luna terus yang kau cari. Sial Awak ,” jawabnya dengan logat
Bataknya.
“Kau cari sambil lari-lari 12 km/jam pun tak akan kau dapat dia,” sambungnya.
“Emangnya kenapa, Rey ?” tanyaku penasaran.
“Si Luna sudah pindah ke…,” katanya sambil mengingat-ingat.
“Ke mana?” tanyaku tidak sabar.
30

“Sepertinya ke Ujung Kulon,” jawabnya.
“Ujung Kulon-kan suaka margasatwa pelestarian badak bercula satu. Emangnya
Luna itu badak. Atau Luna pindah ke Ujung Pandang,’’ kataku mencoba menyembuhkan
lupa ingatannya.
“Ya, betul sekali. Ujung Pandang,” jawabnya singkat.
Ternyata Luna telah pergi meninggalkanku. Kami berdua telah kehilangan orang
yang paling berarti dalam hidup kami di bulan November. Luna kehilangan kedua
orangtuanya dan aku kehilangan Luna.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Andri Prima Sitepu, lahir di Medan, 11 April 1991. Saat ini beliau menuntut ilmu di SMA
Negeri 1 Sidikalang kelas XII-Unggulan. Tanpa beliau, cerpen berjudul November Kelabu tidak
akan pernah ada (jadi sudah selayaknya pemerintah memberikan penghargaaan atas jerih
payahnya, betulkan!!).
Sebagai pria yang tidak mempunyai cita-cita tinggi. Ia sangat rajin belajar. Ia hanya ingin
masuk ke Tekhnik Pertambangan ITB yang passing grade-nya seh hanya 52%. Tidak seberapa
bila dibandingkan dengan passing grade ke surga. Walau demikian, beliau tidak selalu
berusaha masuk surga. Alasannya seh sepele. Di surga gak ada Chimphaea.
Sekian dulu profil pengarang.
Kalau ada umur yang panjang
Boleh kita bersama mandi
Kalau ada sumur di ladang
Kita pasti berjumpa lagi.
He..he....!!
TENTANG PENGARANG
Andri Prima Sitepu, lahir di Medan, 11 April 1991. Saat ini beliau menuntut ilmu di SMA
Negeri 1 Sidikalang kelas XII-Unggulan. Tanpa beliau, cerpen berjudul November Kelabu tidak
akan pernah ada (jadi sudah selayaknya pemerintah memberikan penghargaaan atas jerih
payahnya, betulkan!!).
Sebagai pria yang tidak mempunyai cita-cita tinggi. Ia sangat rajin belajar. Ia hanya ingin
masuk ke Tekhnik Pertambangan ITB yang passing grade-nya seh hanya 52%. Tidak seberapa
bila dibandingkan dengan passing grade ke surga. Walau demikian, beliau tidak selalu
berusaha masuk surga. Alasannya seh sepele. Di surga gak ada Chimphaea.
Sekian dulu profil pengarang.
Kalau ada umur yang panjang
Boleh kita bersama mandi
Kalau ada sumur di ladang
Kita pasti berjumpa lagi.
He..he....!!

Kegelisahan HatiOleh Algris Hopiar Berutu
“Ku akui ku sangat…klek,” Kembali terdengar suara alaram yang selalu
membangunkan pagiku. Lagu asik by D’MASIV yang menurutku bagus.
“Ahh… pagi lagi, pagi lagi. Cepat banget ini surya berputarnya, lama dikit napa ?”
rengekku dengan wajah penuh kantuk, tapi kemudian aku tersenyum melihat foto
senyuman orang yang istimewa seorang teman dan disampingnya foto sang pacar, yang
kemudian membangkitkan kembali semangatku. Segeraku bergegas dan menyiapkan
peralatan yang aku butuhkan.
“Sarapan dulu Den,” ajak Bi Ani yang imut dan selalu membuat makanan enak
untuk kami semua yang ada di rumah yang cukup besar ini.
“Iya Bi, nanti aja di sekolah makannya. Makanan itu dibuang saja. Aku lagi tidak
selera,” kataku menolak.
“Tapi Den kan sayang jika makanan ini dibuang.”
“Kasi saja sama dek Asep, tarik dua itu pasti habis Bi,” aku tersenyum sambil
menunjuk Asep adikku yang tiba-tiba muncul dengan berat kira-kira 900 N.
“A a a…,” asep marah dan mengepakkan tangannya.
“Son dimakan sarapannya,” tiba-tiba suara Ibu yang sangat menyayangiku
terdengar dan terlihat Bapak yang sudah siap berangkat ke kantor (Son adalah nama
singkatanku nama panjangku adalah Michael Sonny Pepry).
“Iya Bu pasti.”
“Ayo cepat dimakan Son! nanti kau telat!” Bapak mengingatkan dengan nada
keras.
“Haa… Mampus kena loe,” balas Asep tertawa.
“Aku pergi Bu, aku Pergi pak, da ndut,” meledek Asep.
Aku pergi dengan kendaraan khusus yang dipercaya Bapak kepadaku, mobil
Chaetah buatan Amerika. Aku pergi meninggalkan kediamanku di jalan Gatot Subroto 123
menuju SMA Negeri 44 Jakarta.
30

“Hi, Sop loe udah datang ya. Udah makan belum? ni perut udah lapar ni,” kata
kepala geng soker (sosok keramahan), emang sih kami setiap jalan dulu selalu menyapa
orang, tapi kini aku sudah keluar dari mereka karena geng soker bukannya jadi geng
ramah malah jadi geng yang sok keren karena hanya sekedar menyapa bergaya-gaya gitu.
Dulu anggotanya ada empat, setelah aku keluar menjadi tiga orang dan tolol lagi.
“Iya Sop, pasti makanan di kantin dari tadi udah nungguin kita,” lanjut Repan.
“Eh, loe loe pada ini ya udah minta bilang sop lagi. Nyapa bagus ditambah sedikit
Bang napa.”
“Bang? Enak aja, sop itu julukan eloe. Kan Loe sendiri yang buat nama-nama
julukan kita waktu SMP. Nama gua Freddy loe bilang Kampret, Iwan loe bilang Bakwan
dan ni Repan loe bilang Repak, nah Eloe M. Sonny P jadi Misop kan nga ada yang salah.
Iya kan.”
“Itu dulu Fren. Sekarang kita ini udah SMA kelas tiga, so julukan SMP harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan usia, ok!” sambil memberi jempol kanan.
“Jadi nama julukan kita saat ini apaan?” Iwan membalas.
“Ya tidak ada. Untuk memanggil sesama kita lebih baik nama singkat saja.
Misalnya gua Sonny, Loe Efan dan loe I….”
“Jadi gua dipanggil siapa?” tanya Freddy nga sabaran.
“Ya Freddy kampret!” balasku kesal.
“Nga bisa nga bisa nga bisa. Masa gua diembel-embeli kampret loe pada tidak ada.
Enak!” tambahnya.
“Terserah deh,” jawabku bete dan meninggalkan mereka.
Sepertinya perasaanku hari ini sedikit aneh. Rasa seperti ada kebutuhan yang
tertunda. Aku jadi linglung dan seperti mencari-cari sesuatu yang aku tidak tahu apa yang
kucari. Aku berjalan dan mencari kebutuhan itu. Banyak cewek-cewek yang aku kenal
maupun tak aku kenal menyapaku, begitu juga kaum Adam menyapaku. Bagaimana
mereka tidak menyapaku karena aku terpopuler di sekolah selain aku orang terkaya di
sekolah, Aku, Putri temanku sejak SMP dan dua teman kacamata super tebal dan yang
satu gima (gigi mancung) serta keduanya rambut belah samping menjadi satu team-ku
merebut banyak tropi dan hadiah dalam bidang sains antar sekolah se-Jakarta bahkan se-
Indonesia.
“Hi Son,” tiba-tiba Via menyapaku.
30

Via adalah teman sekelas yang nampaknya juga suka padaku. Dia sih cantik, tapi
dia terlalu pilih-pilih. Jika seandainya aku tidak jadian dengan Cika saat ini, aku pasti ambil
dia.
“Hi Vi, ada apa?”
“Tidak ada. Gue hanya heran aja lihat loe linglung gitu kayak cari sesuatu. Loe cari
Cika ya?”
“Nga, gua nga cariin dia kok. Gua lupa apa ya yang kurang saat ini. Oh ya kamu
lihat Putri nga? aku teringat dengan tugas yang diberi Ibu Anna guru bidang studi bahasa
kepada kami satu kelas.”
“Tadi nga cari apa-apa, sekarang kok cari Putri. Tadi dia di kantin tuh.”
“Kantin,” seolah aku teringat akan kebutuhan yang tertunda yaitu belum melihat
kantin saat ini.
“Thanks,” tambahku sambil berlari mendapatkan kebutuhan itu.
“Pagi Putri,” sapaku ramah dan langsung duduk disampingnya.
“Pagi juga Son,” balasnya.
“Nanti malam kita belajar bareng ya. Mengerjai tugas bahasa.”
“Okey.”
“Tapi gua ngak janji ya.”
“Kenapa? kan loe yang bilang belajar bareng.”
“Gua belum jumpa Cika. Cika tuh banyak maunya.”
“Tolak aja maunya.”
“Aku ngak bisa.”
“Ya udah terserah kamu aja. Kelas yuk.”
Malam ini aku merasa sangat bingung menyelesaikan tugas bahasa karena Cika
malam itu mengajakku nonton. Bahasa merupakan study yang menjebakku. Aku mencoba
menyelesaikan sesuai pemahaman ku, tapi sepertinya masih sulit. Ku lihat jam di HP-ku
pukul 10.59 sangat tidak mungkin ke rumah Putri, kemungkinan dia sudah tidur dan tidak
enak mengganggunya. Sebenarnya Putri belum tidur dia mengerjakan tugas lain dan tugas
bahasa sudah selesai dari tadi dan memikirkanku apakah aku mampu menyelesaikan
tugas bahasa yang rumit itu. Pada akhirnya aku menyelesaikannya dengan sepenuh
30

kemampuan dan pengalaman yang pernah diberitahu Putri, masalah benar salah itu
ditangan Ibu Anna. Selesai itu, aku tidur begitu juga dengan Putri.
Hari ini sepulang sekolah aku jalan bersama Putri karena aku tidak lihat Cika saat
itu dan memang saat itu mobil tidak ku bawa agar dapat jalan dengan Cika, tapi karena
dia tak terlihat aku jadi jalan dengan Putri. HP-ku tempatkan di tas dan hanya aktif getar
saja. Aku tidak tau Cika hubungi aku berkali-kali. Ini pertama kalinya kami kembali makan
siang bersama di restoran semenjak aku bersama Cika.
“Son, gue. gue suka sama kamu. Tapi gua.…”
“Sama Put gua juga suka sama loe melebihi rasa suka gua sama Cika. Mungkin itu
karena kita sering sama, kali ya. Dan kita sudah lama berteman, jadi gua menyebutnya
cinta teman. Ya kan,” potongku.
“Ya mungkin,” jawabnya lemas.
“Kenapa kok lemas. Mau pulang.”
“Ngak. Kita lanjut jalan yuk,” lanjutnya semangat.
Di depan pintu kami jumpa dengan Cika. Kami menghampirinya dan berencana
mengakhiri jalanku dengan Putri dan jalan dengannya. Namun,…“plak,” tamparannya
mendarat di pipi kiriku.
“Loe kenapa? Baru ketemu kok nampar,” tanyaku penasaran.
“Loe yang kenapa? HP loe di mana kenapa tidak diangkat? Gue berkali-kali
hubungi loe,” balasnya bertanya.
“Ah masa, ada di tas,” jawabku sambil memeriksa dan memang terdapat duapuluh
lima panggilan tidak terjawab.
“Heee…, benar ada panggilan,” balasku sambil sedikit senyum.
“Hahehahe, loe kirain gue nga capek apa nungguin kamu di gerbang, trus gue
datang ke parkiran mobil loe nga ada. Ternyata loe udah jalan sama si Putri ni!” sambil
membentak Putri.
Ku lihat Putri takut padanya dan aku balik membentaknya.
“Emang kenapa kalau gua jalan sama Putri? Dia my best friend dan loe hanya
pacar dan kapan-kapan bisa putus. Masih cinta monyet tau.”
“Plak plak plak ….” Lanjut tamparan tak terhitung mendarat di kedua pipiku. Trus
dia pergi sambil menangis. Seperti yang pernah menjadi rencanaku setelah putus dari
Cika aku jadian dengan Via. Karena aku popular di sekolah jadi mudah ku dapat. Di kamar
30

ku letakkan photo Via di samping photo Putri dan photo Cika masuk daftar cinta kasih ke-
99. Aku punya dua daftar cinta yaitu cinta kasih dan cinta sayang. Cinta kasih merupakan
daftar pacar dulu maupun sekarang dan cinta sayang meliputi cinta orangtua, famili,
geng, team dan nama Putri masuk di dalamnya.
Suatu hari aku sama sekali tidak lihat Putri, aku jadi cemas memikirkanya. Aku
selalu hubungi dia tetapi tidak ada jawaban. Ku coba datang ke tempat kediamannya
tetapi dia tidak ada. Kata tetangga mereka pindah sebab usaha bapaknya tiba-tiba
bangkrut. Aku jadi lemas dan pulang dengan tubuh lesu. Aku menjadi tidak punya
semangat untuk belajar malah aku hampir stres karena ibu Anna semakin menggila.
Beliau memberi tugas bahasa segudang saat Putri tidak ada. Barulah saat itu aku sadar
tanpanya aku hampa. Ku ambil gitar dan mencoba bernyanyi berharap dia kembali.
“Tak pernah ku lihat dia, yang mencintai ku seperti mu, ternyata hanya diri mu
yang mengerti aku, bukan dirinya. Ku ingin hentikan waktu untuk mengulang semua
aaaaa oh……. Aku merasa hilang aku merasa hampa disaat diri ku telah engkau tingalkan,
aku merasa nyaman aku merasa tenang bila diri mu pergi,” (by Bintang) sambil
meneteskan air mata.
“Nyanyi ni ye,” Via menghampiri ku. Aku menghapus air mata yang membasahi
wajahku.
“loe nangis ya? Aduh seorang Sony kok nangis.”
“Gua kangen Putri.”
“Ya udah lah Son. gue tau memang berat ditinggali seorang sahabat, namun ya
beginilah takdir dia harus ninggalin Jakarta saat ini.”
“Iya iya,” pergi dan meninggalkan Via sendiri.
“Gimana sih maksud nemanin juga, malah pergi. Karena Putri ni jadi ngak pernah
barengan lagi deh ama Sony. Ah ahh,” tambah Via sesaat sesudah aku pergi.
Saat Putri tidak ada aku jadi sering bernyanyi-nyanyi dan menangis sendiri.
Mengenang setiap perjalanan kami yang pernah sama-sama kami jalani. Aku sama sekali
tidak dapat melupakannya setiap perjalanan hidupku selalu ku habiskan bersamanya.
Hingga pada suatu malam panjang, aku ingin menyelesaikan semua PR-ku. Aku kembali
mengingatnya. Untuk menenangkan diri kembali ku bawa gitar dan keluar dari rumah dan
kembali bernyanyi.
30

“Di malam yang sesunyi ini, aku sendiri, tiada yang menemani. Akhirnya kini
kusadari, dia telah pergii.., tinggalkan diri ku. Adakah semuakan terulang kisah, cintaku
yang seperti dulu. Hanya dirimu yang ku cinta dan ku kenang di dalam hati ku, tak kan
pernah hilang, bayangan diri mu untuk selamanya. Mengapa terjadi kepada diri mu aku
tak percaya kau pergi dari ku. Haruskah ku pergi tinggalkan Jakarta agar aku dapat
berjumpa denganmu.”
“Emang loe tau dia dimana?” suara aneh menghampiri telingaku.
Ku toleh kebelakang dan ku lihat dengan heran gadis cantik berambut panjang
berpakaian cukup menarik dan pada saat itu banyak rambut-rambut berdiri.
“Siapa loe? Loe manusia apa bukan sih?” tak berkedip.
“Ya manusialah. Emangnya gua apaan.”
“Gua kira kuntilanak.”
“Emamnya gua mirip!”
“Dikit karena rambut panjang loe. Kalau lihat wajah loe sih kayak bidadari. Yang
mungkin bisa mengabulkan permintaan gua,” kataku merayu.
“Mungkin, tapi aku tidak janji. Gue Susan,” lanjutnya sambil memberi salam
perkenalan.
“Susan,” Teringat akan mantan ke-22 yang memiliki nama yang sama.
“Tadi sebelumnya aku ke rumah loe kata adek loe. Loe di halaman, maka gue
kesini,” lanjutnya.
“Oo.. Asep. Emangnya ada apaan sih?” lanjut ku.
“Sebelumnya gue mau minta maaf dulu.”
“Kenapa?”
“Ini masalah Putri seharusnya gua katakan sejak awal supaya tidak terjadi hal yang
loe lakuin barusan ini,” mengolok ku.
“Kamu bisa aja, gua kan hanya nyanyi.”
“iya nyanyi, tapi lihat diri mu begitu sengsara.”
“Loe bisa aja. Emang Putri kemana?”
“Sebenarnya sebelum mereka pergi dia ingin pamitan pada loe tetapi bokapnya
tidak mengijinkan bokapnya terlalu malu akan semua utangnya yang betumpuk, jadi dia
berpesan padaku untuk memberi tahu mu. Blablabla…..”
“Terima kasih sudah memberi tahuku. Besok gua akan kesana.”
30

Keesokan harinya aku berangkat ke sekolah, tapi aku menikung di sampang
menuju Desa Panji. Di mana menurut informasi yang ku dengar dari Susan bahwa target
pencarianku berada di lokasi itu.
“Puut” Aduh nampaknya aku mulai masuk angin. Gas-gas beracun mulaiku
keluarkan saat itu. Setelah beberapa jam berkendaraan.
“Put,” Kali ini suara ku memanggil Putri yang sedang berjalan di pinggir jalan yang
sepertinya menuju suatu rumah yang cukup kecil.
“Sonny?” Tak menyangka. Aku kemudian turun dan memeluknya.
“Gua temukan loe. Gua nga bakalan ninggalin loe. Gua sungguh sayang dan suka
sama loe,” kataku menangis.
“Cinta sahabat.”
“Bukan melebihi cinta sahabat dan pasti bukan juga cinta monyet. Kamu akan
masuk daftar baru karena kamu masuk di kedua daftar ku saat ini,” tambahku
meyakinkan.
“Daftar apaan Son?”
“Daftar cinta. Aku punya dua daftar dan loe masuk di kedua daftar itu. Pada daftar
cinta kasih loe berada di no 101 dan cinta sayang 52, jadi aku mau buat sebagai irisan dari
kedua daftar itu menjadi daftar kasih saying,” jawabku menjelaskan.
“Gue nga ngerti, tapi gue tetap suka sama loe.”
“Put,” tiba-tiba kami menjadi diam. Aku sebenarnya merasa biasa-biasa saja tetapi
terlihat dia yang tidak seperti biasa seperti mencari-cari sesuatu.
“Kok bau? Loe kentut ya son gua kirain ada yang manggil,” menepukku dengan
sedikit kecewa.
“Sorry,sorry gua lagi masuk angin semalaman mikirin loe,” jelasku.
“Yang bener,” lanjutnya tidak terlalu ragu.
“Suer,” menunjukkan jari telunjuk dan jari tengah,“Dan rencananya gua mau bawa
loe pulang ke Jakarta,” lanjutku memberi keyakinan.
“Tapi Son bokap gue,” katanya ragu.
“Tenang, dimana Paman?” kataku sok berani.
“Ada disana.”
Aku mencoba permisi membawa Putri, tapi bokapnya tidak mengijinkan. Aku terus
berusaha dan dengan penjelasan yang menarik hati, Pamanpun mengijinkan.
30

Di Jakarta aku ingin mencari tempat penginapan untuknya. Hanya saja aku
membutuhkan uang untuk itu, jadi aku pulang untuk mengambil uang tabunganku di
rumah. Aku meninggalkannya di mobil dan aku masuk. Ternyata bokap sudah menunggu
aku.
“Siang Pa,” menyapa.
“Dari mana aja kamu?” tanya Papa bringas.
“Dari sekolah Pa,” jawab ku cepat.
“Kau kira Papa tidak tau kamu bolos. Tadi kepala sekolah nelpon,” lanjut Papa.
“Mampus,” pikirku dalam hati,“Maaf Pa aku dari Panji,” kataku pelan.
“Ngapain,” Papa melanjutkan wawancaranya.
“Anu Pa, jemput Putri.”
“Dimana Putri?”
“Ada Pa di mobil.”
“Bawa kemari.”
“Iya Om ada apa?” sahut Putri.
“Bagaimana kabar Papa kamu?”
“Baik Om.”
“Aku sangat prihatin akan perusahaan kalian. Aku ingin menawarkan pekerjaan
untuknya.”
“Baik Om nanti ku sampaikan.”
“Kamu mau tinggal di Jakarta lagi kan? Sudah punya tempat tinggal belum.”
“Belum Om baru mau dicariin.”
“Ya sudah tempati aja rumah kami yang di jalan Ahmad Yani,” kata Papa
menawarkan.
“Terima kasih banyak Om,” kata Putri menerima.
“Dan kau Sonny!” membentak.
“Iya Pa,” kataku tegas.
“Karena kamu telah membawa Putri kembali. Papa tambahi uang jajan kamu.”
“Yes,” mengangkat tangan dan mengepaknya.
“Tapi, karena kamu bolos dan berbohong, maka uang jajan kamu dikurangi dan
dikurangi.”
“Yah Papa sama aja tetep,” jawabku lemah.
30

“Tidak tetap karena bapak hanya bilang tambah sekali dan kurang dua kali. Seperti
perjanjian kita dulu jika kamu berbuat yang menaikkan martabat keluarga maka akan naik
10% dan jika berbuat yang merusak nama baik keluarga berkurang 10%. maka persentase
kenaikan 10% ditambah dan 20% dikurangi. Paham!”
“Paham,” jawabku kuat dan terlihat Putri tersenyum dengan manis.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Algris Hopiar Mor S, lahir di Sidikalang pada tanggal 17 Oktober 1990. Pendidikan dasar diselesaikan di SD NO 030289 Panji dan tahun 2006 beliau lulus dari SMP Negeri 3 Sidikalang. Karena kesungguhannya akan sukses sangatlah besar, beliau tetap melanjutkan pendidikan di
SMA Negeri 1 SidikalangBermodalkan doa dan dukungan teman-teman juga pendidikan yang sudah dilaluinya, beliau
bercita-cita menjadi seorang Insinyur Tekhnik Pertambangan lulusan ITB.
Motto “Hidup untuk mencari ilmu, oleh karena itu jangan sia-siakan waktumu.”
TENTANG PENGARANG
Algris Hopiar Mor S, lahir di Sidikalang pada tanggal 17 Oktober 1990. Pendidikan dasar diselesaikan di SD NO 030289 Panji dan tahun 2006 beliau lulus dari SMP Negeri 3 Sidikalang. Karena kesungguhannya akan sukses sangatlah besar, beliau tetap melanjutkan pendidikan di
SMA Negeri 1 SidikalangBermodalkan doa dan dukungan teman-teman juga pendidikan yang sudah dilaluinya, beliau
bercita-cita menjadi seorang Insinyur Tekhnik Pertambangan lulusan ITB.
Motto “Hidup untuk mencari ilmu, oleh karena itu jangan sia-siakan waktumu.”

Durhaka Siapa?Oleh Desry Mae Tambunan
“Kamu sih ga bisa ngurus anak-anak. Kerja kamu cuma menghabiskan uang saja.”
“Oh, jadi kamu mau menyalahkanku?”
“Jadi maksud kamu ini semua salahku?”
“Mas. Sudahlah. Apa lagi sih yang kamu elakkan? Sudah jelas-jelas kamu pergi
sama perempuan itu berdua. Katanya urusan kantor. Tapi ternyata kencan sama wanita
lain,” kata mamaku.
Papa hanya bisa terdiam. Tidak tahu mau berkata apalagi. Dia masuk ke mobilnya
dan pergi.
Itu hanya segelintir perkelahian Mama dan Papa yang kami, aku dan adikku dengar
setiap hari.
* * *
Aku mempunyai seorang adik, yang menurutku anugrah terindah yang diberikan
Tuhan padaku. Masih balita, namun tingkah lakunya sangat menggemaskan. Apapun
kulakukan untuk membahagiakan adikku yang semata wayang ini. Mungkin karena usia
kami yang terpaut jauh, jadi aku sangat memanjakannya.
Berbeda dengan adikku, aku sangat membenci orangtuaku. Mungkin aku pantas
disebut sebagai anak durhaka. Tetapi, ya whatever lah. Aku tetap membenci mereka.
Aku menjadi seseorang yang berbeda sejak hobi orangtuaku yaitu berkelahi
muncul. Sesungguhnya aku sangat tertekan. Namun untuk menutupi ketertekananku itu,
Aku mengubah pribadiku karena aku takut orang lain akan mengetahui kebobrokan
keluargaku.
Aku berubah dari yang sebelumnya sangat malas, urakan, teledor, nilai sekolah
yang selalu hancur, pelawan, pemarah dan segudang sikap yang buruk itu aku tinggalkan,
demi menunjukkan kalau keluargaku baik-baik saja.
Mungkin karena rasa benci yang sudah berakar kepada kedua orangtuaku, maka
aku berhasil mengubah diriku. Sekarang aku menjadi pribadi yang menyenangkan, ayu,
30

sopan, ramah, dan aku juga menjadi seorang yang sangat rajin namun hidupku dipenuhi
kebohongan. Awalnya aku sangat tertekan, karena aku merasa tidak menjadi diriku
sendiri. Namun setelah menjalani kebohongan ini, selama beberapa bulan, aku jadi
merasa nyaman. Kenyamanan ini disebabkan bukan karena aku sudah mendapatkan jati
diriku lagi, namun kenyamanan ini berasal dari kepuasan saat aku dipuji oleh orang lain.
Tetapi meskipun nyaman, aku tetap penuh dengan kebohongan.
Hari berganti hari, aku tumbuh menjadi pribadi yang penuh kebohongan dan
kesendirian. Semua kulakukan hanya untuk sebuah pujian.
* * *
Hari ini hari puncak kebencianku pada orangtuaku. Hari ini Aku berada di
pengadilan agama bersama Mama, Papa, dan adikku.
“Kenapa sih Ma, kalian ga bisa ngerti kami,” kataku sambil menangis.
“Maaf sayang. Kali ini memang harus begitu. Mama sama Papa ga bisa bersama
lagi. Kami harus berpisah,” kata mama menenangkanku.
“Apa Mama sama Papa ga memikirkan perasaan kami.”
“Iya, iya Mama ngerti. Tapi ini sudah keputusan Mama, Papa,dan pengadilan.”
“Tapi, Papa sama Mama kan bisa damai.”
“Maaf sayang tapi Mama ga bisa. Mama yakin ini keputusan yang terbaik.”
“Oke. Semua terserah kalian,” kataku putus asa.
Aku takkan bisa lagi mengubah keputusan mereka, sekalipun aku menangis darah.
Aku semakin tidak sanggup lagi berada disana, saat aku mendengar suara tangisan adikku
saat dipisahkan dari Mama. Hak asuhku dan adikku diberikan kepada Papa, karena Mama
hanya seorang ibu rumah tangga yang tidak memilliki penghasilan tetap.
Dengan cepat aku berlari ke arah jalan, berharap ini semua hanya mimpi.
Sekencang aku berlari, sekuat itu pula Mama berteriak memperingatkan aku.
Hanya itulah yang kuingat. Selebihnya aku merasa semuanya gelap.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Desri Mae Tambunan, lahir di Sidikalang tanggal 4 Maret 1992. Sekarang duduk di kelas XII-
Unggulan SMA Negeri 1 Sidikalang. Pengarang yang bertempat tinggal di jalan Ahmad Yani
gang GPDI Sidikalang ini bercita-cita menjadi seorang analis farmasi.
Penulis yang memiliki motto “lakukan yang terbaik”, adalah anak dari Bapak W. Tambunan &
Ibu D. Pasaribu.
TENTANG PENGARANG
Desri Mae Tambunan, lahir di Sidikalang tanggal 4 Maret 1992. Sekarang duduk di kelas XII-
Unggulan SMA Negeri 1 Sidikalang. Pengarang yang bertempat tinggal di jalan Ahmad Yani
gang GPDI Sidikalang ini bercita-cita menjadi seorang analis farmasi.
Penulis yang memiliki motto “lakukan yang terbaik”, adalah anak dari Bapak W. Tambunan &
Ibu D. Pasaribu.

30

SuratOleh Karsa Rajaguguk
“Da?” Himai mendatarkan kaca nako yang ada di depannya,“Are you there?”
dengan gerakan sekilas, diputar kepalanya mengelilingi ruangan 3x3 di balik kaca nako itu.
“Nyari Wida, Mai?” sebuah suara menyentak Himai. Yaya, tetangga kamar kost
Wida, dilihatnya sudah ada di dekatnya,“Kayaknya lagi makan deh!”
“Sudah lama?”
“Ya, lumayan. Paling juga sebentar lagi pulang. Kamu tunggu saja dulu di dalam!
Kunci kamarnya kan gak dibawa.”
Himai pun segera memutar kunci kamar nomor enambelas yang masih tergantung
itu.
“Nggg, gimana sih itu anak? Katanya janji jam tujuh! Eh, sekarang sudah jam tujuh
lewat, malah pergi?”
Himai menjatuhkan pantatnya di atas di pan kayu. Kepalanya kembali mengelilingi
isi kamar itu lebih detail. Lalu seperti biasa, setelah itu, langsung diobrak-abriknya koleksi
kaset yang ada di laci lemari Wida. Tidak ada penambahan. Masih seperti kemarin-
kemarin. Malah sepertinya kaset Kuch Kuch Hotta Hai yang iseng dibelinya, sudah tidak
kelihatan lagi. Himai pun menutup laci itu. Sekilas, tanpa sengaja ekor matanya melirik ke
arah laci yang ada di sisi satunya. Laci yang sedikit terbuka.
”Uh, apaan tuh?” tanpa pikir panjang Himai sudah menarik sesuatu dari celah laci
itu.
“Surat? Surat buat Wida dengan amplop warna merah jambu? Hehehe, genjreng
amir warnanya! Sok romantis sekaleee!”
Sambil terus tersenyum, Himai memperhatikan tulisan amburadul yang sok dirapi-
rapiin di depan amplop itu. Ini jelas tulisan pria, tidak bisa diragukan lagi. Malah kayaknya,
saya kok rasanya sangat kenal dengan tulisan seperti ini, ya? Himai mengingat-ingat
sebentar. Ya benar, sepertinya di kelas kami memang ada pria yang punya tulisan seperti
ini!
30

Himai tersenyum tidak percaya,“Uh, diam-diam mulai berani juga itu anak
pacaran! Nggak mau kalah dari saya rupanya.”
“Tapi…siapa pengirimnya, ya?” Himai menimbang-nimbang surat itu. Apa dari
Ronday, yang dari dulu emang sudah ditaksir? Atau dari Papan, yang cute itu?
Himai melirik ke sisi ujung surat yang sudah terbuka itu.
“Nggg, baiknya dibuka enggak, ya? Ah, jangan-jangan. Walau kami sudah lama
bersahabat, kayaknya tindakan itu masih saja kelihatan kurang ajar deh! Tapi……,apa saya
mesti nanya langsung ke Wida saja , ya? Gimana kalau seumpama Wida nggak mau
ngejawab, saya bisa penasaran sepanjang waktu dong? Ah, kalau begitu mendingan saya
buka saja deh. Toh, Wida juga nggak bakalan ngamuk gara-gara masalah begini!”
Perlahan Himai pun sudah menggerakkan tangannya mengeluarkan isi surat itu.
Lalu, setelah sempat melirik ke arah pintu dua kali, mulai dibacanya surat itu.
Buat Wida sayang,
Da, besok saya mau ke Jogja, nyari buku di Shopping. Kamu mau kan nemenin saya?
Raka
Hah, Raka? Seketika Himai terpana. Ra-ka?
“Hei, lagi ngapain kamu Mai?” sebuah suara tiba-tiba menyentaknya. Refleks,
detik itu juga Himai menoleh. Dilihatnya Wida dengan sebuah bungkusan hitam di tangan,
sudah ada di belakangnya.
Perasaan Himai seketika terbakar. Tapi masih dicobanya untuk memunculkan
senyum di bibirnya.
“Sori, Da!” dipaksakan suaranya yang jelas terdengar serak, bergetar, ”Saya sudah
berani baca surat kamu ini!”
Dan hanya sepersekian detik dari itu, wajah Wida pun berubah. Pias. Begitu pias.
“Kamu….”rahang Himai terlihat mengencang.
“Ini dari pacar kamu, Da? Dari…Raka?” perlahan Himai melangkah mendekat.
Sekilas dilihatnya Wida menelan ludah.
“Nggak usah kamu sembunyiin lagi, Da! Kamu…main di belekang saya kan?” Himai
menguatkan hatinya agar tidak menangis.
“Tunggu dulu, Mai! Saya…”
“Saya bener-bener nggak nyangka kamu tega ngelakuin ini, Da?”
Kemudian sebuah tamparan pun tiba-tiba sudah meluncur ke wajah Wida.
30

PLAAAK!
Lalu Himai pun berlari meninggalkannya. Himai kembali mengusap air matanya
untuk yang kesekian kalinya. Masih benar-benar sulit dipercaya, kalau persahabatannya
dengan Wida harus berakhir karena masalah seperti ini.
Wida itu sahabat kecil Himai. Dari sejak masih memakai rok berwarna merah,
Himai sudah kenal Wida. Mulanya memang hanya teman biasa. Tetapi begitu keduanya
saling tahu kalau keduanya merupakan penggemar berat musik klasik, mereka pun
mendadak menjadi akrab. Jarang-jarangkan ada wanita yang suka musik rumit sepertiitu?
Bahkan demi ngefans-nya mereka berdua sempat juga kursus piano bersama. Keduanya
juga kerap ikut kejuaraan-kejuaraan musik klasik di seputaran Jawa Tengah ini. Memang
tidak pernah sampai juara, tapi sudah cukup untuk unjuk gigi memperlihatkan
kemampuan mereka.
Dari hal-hal seperti itulah yang kemudian membuat keduanya akrab luar dalam.
Bahkan ketika lulus SMP, keduanya membuat janji untuk masuk SMU bersama dan di
situlah keduanya kenal Raka!
Dari sejak awal Himai tahu kalau Wida, sama seperti dirinya, juga naksir berat
pada Raka. Tidak heran memang karena selama ini selera mereka ke soal pria memang
nyaris sama. Apalagi face Raka cukup cute. Maka, jadilah keduanya diam-diam
berkompetisi buat rebut hati Raka.
Gara-gara itu, persahabatan keduanya sempat renggang juga. Mereka mendadak
jadi tidak terbuka lagi seperti biasanya, bahkan saling menghindar. Itu berlangsung
hampir dua bulan, sampai saat Himai akhirnya berhasil mendapatkan Raka!
Waktu itu Wida, dengan sikap yang membuat Himai kagum sampai sekarang,
memberi selamat. Saat itu Wida benar-benar kelihatan sangat ikhlas. Karena sejak itulah,
persahabatan keduanya kemudian membaik. Sampai akhirnya menjadi seperti dulu lagi.
Himai memejamkan matanya kuat-kuat. Kali ini tidak ada lagi air mata yang keluar.
Himai merasa kantung matanya mungkin sudah kering, hingga tidak ada lagi air yang
tersisa.
Sekarang, Himai benar-benar tidak tahu harus berbuat, setelah mengetahui semua
ini. Apa ia harus terus-menerus menghindar, seperti hari-hari kemarin? Tidak hanya pada
Wida, tetapi juga Raka.Tetapi sampai kapan bisa begitu?
30

Keinginan Himai sebenarnya ingin melupakan keduanya dari hidupnya. Tetapi
bagaimana mungkin Himai bisa? Setiap saat , bila ia di rumah, telepon-telepon dari
keduanya selalu saja berdering di setiap menit? Ditambah lagi suara supra Wida atau tiger
Raka, rasanya hampir setiap jam Himai dengar memasuki halaman rumah secara
bergantian?
“Tok tok tok”, suara ketukan terdengar, mengagetkan Himai.
“Non,” suara Bi Ayang menyusul,”Dicariin Neng Wida.”
“Bilang aja Mai, nggak ada , Bi!”
“Nggg, Neng Widanya ngotot, Neng!”
“Bilang aja nggak ada!” Himai setengah berteriak.
Bi Ayang kemudian berlari cepat. Takut kalau semakin dibentak lagi karena ia
cukup bisa mengambil kesimpulan kalau diantara Neng Wida dan Nonanya sedang ada
masalah yang cukup gawat!
* * *
Tapi sampai kapan Himai bisa terus menghindar? Karena ia tidak bisa terus
menerus membolos. Papa dan Mamanya sudah mulai curiga dengan tingkahnya. Maka
itulah, pada hari yang kedelapan ini, dengan berat hati Himai memutuskan untuk kembali
sekolah.
Dalam hati ia sudah berjanji akan mengacuhkan Wida dan Raka bagaimanapun
caranya.
“Kamu benar-benar nggak apa-apa kan, Sayang?” Papa yang mendrop di depan
sekolah, masih kelihatan ragu.
Himai mengangguk lemah. Setelah keluar dibiarkannya mobil papanya berlalu dari
hadapannya. Kemudian setelah mengambil napas panjang sekali, mulai disebranginya
jalan. Namun tanpa disangka, di jalan yang biasanya sepi itu, tiba-tiba melaju sebuah
Chevrolet dengan kecepatan cepat. Himai yang baru saja melangkah beberapa langkah
tercekat. Lalu suara rem panjang terdengar, disusul teriakan pendek Himai.
* * *
Himai mulai mengedip-kediokan matanya. Seketika, langsung dirasakan rasa sakit
di seluruh tubuhnya.
Himai mengeluh pelan.
30

“Kamu sudah sadar, Mai?” sebuah suara dari samping, membuatnya menoleh.
Wida, tanpa disangkanya, sudah ada di sebelahnya.
“Untung kamu nggak apa-apa!”
Waktu detik itulah Himai baru menyadari kalau kini ia terbaring di pembaringan
sebuah rumah sakit, dengan Wida di sebelahnya. Secara refleks ia sudah menjauhkan
tubuhnya dari Wida.
“Eh, jangan banyak gerak dulu, Mai! Kamu….”
Himai menepis tangan Wida.
“Saya nggak butuh pertolongan kamu, Da!” Himai tersenyum sinis,“Salah, kalau
kamu punya pikiran hanya gara-gara ini, saya bisa maafin kamu.”
Himai bangkit dari pembaringannya, melangkah mundur dengan tertatih. Wida
menggeleng-gelengkan kepalanya,”Kamu cepat banget emosi, Mai! Padahal kamu kan
tahu emosi itu nggak akan nyelesaiin masalah.”
“Masalah kita sudah selesai Da,” mata Himai menatap dengan sinar mata penuh
kebencian.
“Selesai kata kamu?” suara Wida meninggi,”Padahal kamu sama sekali belum
mendengar penjelasan saya tentang surat yang kamu baca itu, kan?”
Wida menarik nafasnya,”Denger baik-baik, Mai! Raka yang ada di surat itu, sama
sekali bukan Raka cowok kamu! Namanya memang sama, tapi dia teman kursus saya di
IEC! Belakangan ini, saya memang lagi dekat dengan dia. Ini kartu namanya kalau kamu
nggak percaya!” Wida langsung menyodorkan sebuah kartu nama ke wajah Himai,“Kamu
bisa langsung nelpon dia buat ngebuktiinnya!” dikeluarkannya HP dari tas punggungnya.
Himai terperangah tak percaya.
“Kemarin itu, saya sama sekali nggak bisa bicara apa-apa, karena saya benar-benar
kaget. Kamu bisa bayanginkan, kalau kamu masuk ke kamar kamu, trus nemuin orang
yang langsung marah-marah, kamu bisa bayangin betapa kagetnya kamu, kan?”
Himai tidak menyahut. Dipandanginya Wida dan kartu nama ditangannya itu
bergantian, dengan sinar mata tak percaya.
“Tapi tulisan itu…,” desisnya.
“Tulisan itu?” Wida kembali mengeluarkan sesuatu dari tasnya,“Coba kamu
bandingkan keduanya dengan teliti, Mai. Kamu pasti bisa nemuin perbedaannya.”
30

Himai menerima kedua kertas itu dengan ragu, diperlihatkannya keduanya.
Sesekali diliriknya Wida yang terus menunggu.
“Kamu bisa kembali percaya ke saya kan, Mai!”
Himai tak menjawab. Bibirnya tetap tidak bergerak. Namun sinar matanya
berangsur-angsur terasa mulai melembut.
* * *
“Halo?”
“Raka? Ini saya!”
“Eh, kamu. Ada apa nih? Kok nelpon malam-malam begini?”
Sesaat, hanya suara helaan nafas yang menjawab,“Raka, saya cuma mau ngabarin
kalau masalah saya dengan Himai sudah selesai tadi. Sekarang semuanya sudah kembali
lancar seperti biasa. Ya, walau saya terpaksa bikin kartu nama palsu, meminta tolong
teman saya untuk berpura-pura jadi kamu dan juga memalsukan surat yang kamu kirim
itu.”
Hening sesaat di sebrang….
“Sungguh, Ka, itu bikin saya merasa berdosa banget. Makanya, setelah saya pikir-
pikir, mungkin ini telepon saya yang terakhir buat kamu!”
“Kamu ngomong apa, Da?”
“Maaf, Ka. Tapi saya nggak bisa ngelanjutin hubungan ini. Walau bagaimanapun
kita memang harus putus sekarang, Ka!”
“Kenapa harus putus,Da! Saya kan sudah janji akan mutusin Himai kalau waktunya
sudah tepat? Kamu tahu itu, kan?”
“Saya tahu, Ka, saya tahu. Tapi sekarang masalahnya sudah lain. Himai pasti bisa
menebak kalau…ah, sudahlah, Ka. Sungguh, saya sayang kamu, tapi saya nggak mau
persahabatan saya dengan Himai putus begitu saja. Saya harap kamu bisa mengerti.”
“Tapi, Da…saya sudah begitu sayang kamu!” suara di sebrang mulai terdengar
serak.
Wida memejamkan matanya kuat-kuat,“Maaf, Ka….”
Klik!
SELESAI
30

30

Suatu Sore di Jalan ItuOleh Septian Alexander Simamora
Matahari senja memancarkan sinarnya yang indah, menembus pepohonan di jalan
ini. Seperti biasa jalan ini masih indah setiap kali ku lalui. Daun berguguran dan kicauan
burung menyentuh hati setiap orang yang lewat.
Lembayung senja masih mau menemani sore di jalan itu, ketika aku pulang
bekerja. Aku bekerja di depan perempatan jalan itu. Rumahku ada dua blok dari seberang
ujung jalan yang satu lagi. Mau tak mau aku harus melewati jalan itu, ketika angin sepoi-
sepoi berhembus meniup daun-daun yang berguguran membawa ingatanku kembali
mengenang kejadian tiga tahun yang lalu.
Tiga tahun yang lalu aku melewati jalan ini ketika pulang bekerja. Langkahku
tertahan ketika aku melihat seorang gadis berambut kemerah-merahan. Tampaknya dia
sedang mencari sesuatu. Lalu kuberanikan diri untuk mendekatinya, lalu aku
bertanya,“Maaf ada yang bisa saya bantu ?”
Dia kemudian segera berpaling dan menatapku dengan cemas, namun jujur saja
kecemasannya tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Aku terkesiap ketika dia
berkata,“ Ya , aku kehilangan catatanku disini dan itu sangat penting.“
“Oh,” ujarku.
Kemudian kami mulai mencarinya, anehnya dalam pikiranku, kami baru saja
bertemu namun keadaannya sungguh berbeda.
Tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah cataan di balik bebatuan. Aku singkirkan
batu itu dan kuambil catatan itu.
“Ini catatannya, punya kamu kan ?“ kataku.
Mukanya yang cemas seketika berganti dengan senyuman.
“Syukurlah,“ katanya.
Aku bertanya,“ Memang kenapa catatan itu penting?“
Dia tersenyum sambil berkata,“Oh, aku seorang jurnalis, di catatan itu ada berita
yang udah deadline, jadi besok harus sampai di meja redaksi.“
30
TENTANG PENGARANG
Karsa Fattawaty Rajagukguk, lahir di Sidikalang pada tanggal 10 Februari 1992. Ia saat ini di
kelas XII-Unggulan SMA Negeri 1 Sidikalang. Ia bercita-cita menjadi seorang dokter sebab
dokter adalah pekerjaan yang sangat mulia.
Ini adalah karya pertamanya yang dipublikasikan untuk sekolah. Ia memiliki kepribadian yang
sangat luwes dan humoris. Ia memiliki motto hidup “hidup adalah perjuangan hari ini hidup
dan besok mati.”
TENTANG PENGARANG
Karsa Fattawaty Rajagukguk, lahir di Sidikalang pada tanggal 10 Februari 1992. Ia saat ini di
kelas XII-Unggulan SMA Negeri 1 Sidikalang. Ia bercita-cita menjadi seorang dokter sebab
dokter adalah pekerjaan yang sangat mulia.
Ini adalah karya pertamanya yang dipublikasikan untuk sekolah. Ia memiliki kepribadian yang
sangat luwes dan humoris. Ia memiliki motto hidup “hidup adalah perjuangan hari ini hidup
dan besok mati.”

Kemudian dia berkata,“Maaf namaku Pradmita, panggil saja Ita terima kasih ya
ehm….”
“Sev“, kataku,“Namaku Sev”.
Dia tersenyum kemudian kami berjabat tangan.
“Oh ya hari mulai gelap sebaiknya aku cepat pulang,“ katanya.
Setelah mengucapkan terima kasih dia kemudian pergi. Aku pulang sore itu
dengan tanda tanya yang besar dalam hati.
Setelah kejadian itu, aku tidak memikirkannya lagi.
Beberapa hari kemudian ketika aku pulang bekerja, tidak kusangka aku kembali
bertemu dengan Ita. Segera aku menyusulnya dan kami berbincang-bincang mengenai
banyak hal. Dari perbincangan itu aku tahu bahwa dia tinggal dua blok dari rumahku dan
dia seorang jurnalis harian terkemuka yang ditugasi sementara di kota ini. Dari
percakapan itu juga aku kemudian tahu nomor handphone-nya.
Malam itu setelah makan malam, aku kembali menyapanya lewat telepon seluler,
semakin lama aku berbicara dengannya rasanya aku semakin bingung dengan
kepribadiannya yang unik. Begitulah setiap malam kami lalui.
Tidak terasa sudah dua bulan aku mengenal Ita. Pada suatu sore yang cerah
seperti biasa, aku pulang bersama dengan Ita. Tiba – tiba aku bertanya,“Oh ya, Ita kamu
udah punya pacar?”
Ita tersenyum,“Belum, aku terkadang enggak sempat mikirin yang begituan.“
Lalu aku tanya lagi,”Kenapa?”
Mitha melirikku sambil tersenyum,“Kok kamu nanyanya gitu sih?“
Dengan cepat aku berkelit,“Ga , aku cuma mau tahu aja.“
Ita lalu menjawab,“Banyak hal yang mesti aku pikirkan, lagipula kondisi
pekerjaanku sama sekali tidak mengizinkan aku.”
Sore itu, ku antar Ita sampai ke simpang jalan menuju rumahnya. Aku terus
manatap wajahnya, tanpa berani mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya kepadanya.
Seusai mengantar Ita aku kembali ke rumahku.
Keesokan harinya seperti biasa aku menunggu Ita di perempatan jalan itu. Tapi
satu jam berlalu dia tidak muncul sama sekali. Akhirnya aku pulang dengan kekecewaan
yang menumpuk. Malam itu kucoba menghubungi dia lagi tetapi satupun dari pesan
singkatku sama sekali tidak dibalas. Tiga hari berlalu, aku mulai bertanya-tanya entah apa
30

yang terjadi dengan Ita. Keesokan harinya ketika aku selesai bekerja di kantorku, aku
mendapat pesan singkat dari Ita. Aku segera membukanya, tetapi aku langsung terduduk
lemas ketika aku membaca isi pesannya yang berujar;
Hans, sorry aku gak bisa hubungi kamu beberapa hari ini , soalnya aku punya nomor
telepon yang baru , aku dipindahkan kembali ke kantor pusat , jadi kita mungkin gak
bakalan bertemu dalam waktu dekat ini, Jadi terima kasih Hans , GBU.
Sejak saat itu kucoba melupakan Ita, walau di minggu pertama rasanya berat
tetapi selanjutnya hidupku kembali normal juga pekerjaanku. Aku akhirnya berhasil
melupakan dia .
Angin sepoi-sepoi menyadarkan aku dari anganku. Aku menarik nafas panjang
sambil menatap ke langit. Hari ini dua tahun sejak pertama kali aku kenal Ita di jalan ini.
Dua tahun berlalu dan aku tetap jalani semuanya, selama matahari masih berputar
selama bintang masih berkilau semuanya harus dijalani itulah yang ada dalam pikiranku.
Tiba – tiba aku terhenti sejenak ketika aku menginjak sebuah catatan kecil.
Kupungut catatan itu dan kubuka, anehnya catatan itu kosong. Aku terperanjat ketika
tiba-tiba seseorang datang dari belakangku sambil berkata,“Maaf aku kehilangan
catatanku, bisa minta tolong carikan?”
Aku berbalik dan aku melihat Ita, ya Ita. Dia datang sambil tersenyum dan berkata
“Kenapa terkejut?”
“Ah… ka..ka..mu I..ta?” kataku gugup.
Dia tersenyum manis sambil memegang tanganku dia berkata,“ Ayo, kita pulang.“
Kami berjalan melewati jalan itu, kali ini jalan itu lebih indah dari sebelumnya, ya,
jauh lebih indah dari sebelumnya.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Septian Alexander Simamora, lahir di Sidikalang 4 September 1991. Menyukai pemahaman
yang sederhana mengenai sesuatu. Dia juga menyukai permainan catur dan pola-pola
pemikiran unik. Anak sulung dari empat bersaudara ini sangat menyukai musik dan logika
berfikir dan itu juga sebabnya ia bercita-cita sebagai seorang ahli tekhnik (tekhnik material).
Motto : “Hidup untuk TUHAN, hidup untuk hidup, hidup untuk kehidupan.”
TENTANG PENGARANG
Septian Alexander Simamora, lahir di Sidikalang 4 September 1991. Menyukai pemahaman
yang sederhana mengenai sesuatu. Dia juga menyukai permainan catur dan pola-pola
pemikiran unik. Anak sulung dari empat bersaudara ini sangat menyukai musik dan logika
berfikir dan itu juga sebabnya ia bercita-cita sebagai seorang ahli tekhnik (tekhnik material).
Motto : “Hidup untuk TUHAN, hidup untuk hidup, hidup untuk kehidupan.”

Aku SahabatnyaOleh Maria Naibaho
“Plak!” Sebuah tamparan mendarat di wajahnya yang mungil itu, membuatnya
terjerembab ke pinggir aspal. Aku pun turut jatuh karenanya. Ia merintih kesakitan sambil
memegangi pipinya yang panas dan memerah. Bang Agus, lelaki yang menamparnya tadi,
tak henti mencaci-makinya. Sebuah kemarahan jelas terukir di wajah Bang Agus, lelaki
bringas itu. Ini adalah kesekian kalinya Bang Agus menampar anak yatim piatu itu.
Bang Agus adalah seorang kepala preman. Ia biasa dipanggil bos. Badannya besar
mirip gorilla, perutnya buncit, dan rambutnya gondrong, sesekali dikuncir satu ke
belakang. Wajahnya yang menakutkan dengan kumis yang tebal serta bekas sayatan
pisau di pipi kanannya, menjadi modal awalnya untuk diangkat menjadi bos oleh sesama
preman. Matanya yang menonjol serta hidungnya yang besar semakin menambah aura
ke-gorilla-annya. Ia mempunyai tujuh anak buah, yang selalu setia memalak anak jalanan
seperti kami. Jika kami tidak punya uang, maka tidak segan-segan tangannya melayang ke
wajah kami.
Setelah puas memarahi anak itu, yang notabene adalah sahabatku, Bang Agus dan
ketujuh anak buahnya, pergi meninggalkan kami berdua. Anak itu tidak menangis. Ia
malah mengajakku pergi dari tempat itu. Aku sungguh kasihan padanya. Ia sangat
menderita hidup di jalanan. Tak ada tempat untuknya. Tak ada yang peduli padanya.
Namun di balik semua itu, aku kagum pada ketegaran hatinya. Hampir tidak pernah aku
mendengarnya mengeluh. Ia memang selalu tegar dan kuat, meskipun usianya masih
belum genap sepuluh tahun. Aku bangga punya sahabat seperti dia. Tapi kadang aku
berpikir,
”Sampai kapan ia akan bertahan seperti ini?”
“Entahlah, aku pun tak tahu. Tapi yang pasti, sampai kapan pun, aku akan selalu
ada di sampingnya. Setidaknya, hanya itu yang bisa aku lakukan untuknya.”
30

Malam sudah mulai larut, namun kami masih tetap menyusuri jalan-jalan yang
mulai terlihat sepi. Aku tahu, dia pasti sudah mengantuk.
“Hari yang melelahkan,” pikirku. Sebab, setelah lelah seharian mengumpulkan
uang buat sesuap nasi, tidak sepeser pun dari uang itu, yang masuk ke kantong.
Semuanya diambil Bang Agus. Ah, kasihan anak itu. Dia pasti sangat lapar. Ku lihat ia
memegangi perutnya, saat melihat jajanan di pinggir jalan. Air liurnya menetes, pertanda
ia juga menginginkan makanan itu. Namun dengan sigap sang pemilik warung menghardik
dan mengusir kami. Kami segera menjauh pergi.
Malam semakin larut ketika akhirnya kami menemukan tempat yang nyaman
untuk beristirahat. Segera anak itu mengais tong sampah untuk mencari koran sebagai
alas tidur. Lalu ia membentangkannya dan mulai berbaring. Dan tentu saja aku masih
bersamanya. Lagi-lagi kami tidur di emperan toko. Aku memandang langit, ada beribu
bintang di sana, indah sekali. Mereka berkelap-kelip, seolah sedang bercanda. Apa
mereka tidak tahu bahwa saat ini bukan saatnya bercanda?
Aku sungguh iri pada bintang-bintang itu. Seandainya kami bisa seperti mereka,
pasti menyenangkan sekali. Namun bintang-bintang itu berkelip seolah berkata,”Tak
mungkin itu terjadi,” aku mendelik.
Bintang-bintang itu tersenyum dengan pongahnya seolah berkata,”Ingat, dunia
kita berbeda, Sobat!”
Kulirik anak itu, ia sudah terlelap.
“Tidurlah Sobat, lupakan semua masalahmu hari ini. Dan mulailah bermimpi.
Wujudkan semua yang kau inginkan dalam mimpi-mimpi indahmu. Selamat tidur sobat!”
Hari sudah terang ketika aku terjaga. Dan aku tahu bahwa sekarang aku pasti
sudah ada di pangkuannya. Hari ini, seperti biasa kami kembali menyusuri jalan-jalan
busuk ini, demi mencari sesuap nasi. Sambil bernyanyi dengan riang, ia memainkan alat
ngamennya dan mulai mengamen. Lumayan, jalanan pagi ini cukup ramai. Dengan penuh
semangat aku menemaninya mengamen dari satu angkot ke angkot lain.
Hari menjelang siang dan kami memutuskan untuk beristirahat. Ia mengeluarkan
uang hasil ngamennya dengan hati-hati. Ini adalah buah jerih payah kami, pikirku. Aku
bangga bisa membuatnya tersenyum. Namun, belum sempat aku tersenyum, tiba-tiba
Bang Agus, si bos preman datang dan merebut uang yang tidak seberapa itu. Aku sangat
30

marah. Ia tak menyisakan secuil pun buat kami. Anak itu hanya diam dan tertunduk. Ingin
sekali aku memberontak. Tapi aku tak bisa.
Setelah preman-preman brengsek itu pergi, kami hanya bisa mengumpat dalam
hati. Tak ada yang bisa aku lakukan untuk menolong anak itu.
“Ah, aku memang sahabat yang tak bisa diandalkan…,” desahku pelan.
Dengan langkah gontai kami kembali ke perempatan jalan, berharap menemukan
sedikit keberuntungan yang masih tersisa.
Belum jauh kami beranjak, aku mendapatkan sisa-sisa keberuntungan itu. Di
seberang sana kulihat ada selambar uang sepuluhribuan tergeletak. Pucuk dicinta, ulam
pun tiba. Kulirik anak itu, sepertinya ia juga melihat uang itu. Dengan mata berbinar, ia
berjalan menuju seberang jalan. Aku mengikuti langkahnya, dengan jantung yang
berdetak tak karuan. Perasaanku tak enak. Apalagi lalu lintas cukup padat. Sejenak ia
ragu. Lama kami mematung, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk menjemput
keberuntungan itu.
Jantungku seakan tak menentu, saat kulihat sebuah mobil sedan melaju dengan
sangat kencang ke arah kami. Aku tidak sempat berpikir, apalagi bertindak. Tiba-tiba saja
tubuhku melayang dan terjengkang ke aspal, membuat aku dan anak itu terpisah untuk
selamanya. Kulihat ia berlumuran darah. Dapat pula kusaksikan sedan itu melarikan diri.
Aku sangat marah. Aku marah pada mereka semua.
Beribu pertanyaan hinggap di hatiku.
Mengapa mereka tak menolong anak itu?
Apakah mereka tidak melihatnya?
Ataukah memang tidak ada yang peduli terhadap sahabatku itu
Tapi kenapa?
Kenapa tidak ada yang peduli pada anak itu?
Di mana letak hati nurani mereka?
Ingin aku menolong sahabat sehidup-sematiku itu dan membawanya pergi.
Tapi aku tak bisa. Sungguh aku tak bisa. Karena aku, hanyalah sebuah topi
kesayangannya.
30

SELESAI
30
TENTANG PENGARANG
Maria Lidia A. Naibaho, lahir di Sidikalang pada tanggal 30 Oktober 1991. Saat menyelesaikan
cerpen ini, beliau masih duduk di kelas XII-Unggulan SMAN 1 Sidikalang.
Hobby beliau adalah membaca dan berkat kecintaannya pada kegiatan membaca inilah,
penulis mendapat bekal yang cukup membuat karangan sendiri. “Aku Sahabatnya” ini adalah
cerpen yang pertamanya yang dibukukan bersama dengan rekan-rekan seperjuangannya.
Beliau bercita-cita menjadi seorang dokter.
Motto “kamu adalah apa yang kamu pikirkan.”
TENTANG PENGARANG
Maria Lidia A. Naibaho, lahir di Sidikalang pada tanggal 30 Oktober 1991. Saat menyelesaikan
cerpen ini, beliau masih duduk di kelas XII-Unggulan SMAN 1 Sidikalang.
Hobby beliau adalah membaca dan berkat kecintaannya pada kegiatan membaca inilah,
penulis mendapat bekal yang cukup membuat karangan sendiri. “Aku Sahabatnya” ini adalah
cerpen yang pertamanya yang dibukukan bersama dengan rekan-rekan seperjuangannya.
Beliau bercita-cita menjadi seorang dokter.
Motto “kamu adalah apa yang kamu pikirkan.”

Liburan yang GagalOleh Ferry Fadli M. Manihuruk
Dani ngambek. Sampai siang dia tidak mau makan. Ibunya sudah membujuknya
berkali-kali. Tetapi Dani tetap mengurung diri di kamar. Ia membenamkan mukanya ke
dalam bantal. Kalau ada suara memanggil namanya, ia pura-pura tidak mendengar. Saat
pintu kamarnya diketuk, dia pura-pura tidur.
“Ayo Dani! Makan dulu. Mandi. Sebentar lagi kakek dan nenek datang lho,” suara
Ibu memanggil dari luar kamar. Dani tidak menjawab. Tanganya malah menutup
telinganya rapat-rapat.
“Jangan ngambek terus donk!”
Dani tetap tidak menyahut. Rupanya Ibu pasti sibuk menyiapkan sesuatu untuk
menyambut kakek dan nenek.
“Pokoknya aku akan terus ngambek,” desis Dani.
Hampir saja Dani bangkit, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk lagi.
“Dan, buka donk pintunya. Kakak bawa pesananmu lho.”
“Hah! Itu kan suara Kak Sofi,” Dani segera bangkit dari baringnya.
Ia berfikir sejenak,“Buka pintu ngak ya? Kalau dibuka, bererti acara ngambekku
gagal. Tapi kalau tidak kubuka....”
“Ya sudah kalu tidak mau. Tamyanya, kakak kasih ke Rido aja yah.”
“Diberikan ke Ridi? Anak sebelah rumah yang bandel itu? Waduh! Iya, kak!
Sebentar,” Dani menyerah karena ia tidak ingin kehilangan Tamya barunya.
Pintu terbuka, senyuman riang muncul dari wajah kak Sofi. Sebuah bungkusan
yang dihias pita cantik yang disodorkan tepat di depan wajah Dani. Dengan cepat Dani
ingin merebut bungkusan itu. Namun, ternyata kak Sofi jauh lebih cepat menariknya.
“Kak Sofi boleh masuk gak,” tanyanya menggoda.
“Ia deh!” Dani pun membiarkan kakak satu-satunya masuk ke kamarnya yang
berantakan.
30

“Kenapa sih, Dan, kok sampai ngambek segala.”
Dani mengerucutkan bibir, menariknya ke kanan dan ke kiri. Matanya menunduk,
menatap lantai dengan malas.
“Habis aku ngak jadi ke Banyuwangi. Padahal liburan ini, ayah dan ibu sudah
berjanji akan mengajakku ke rumah Paman Andi naik kereta. Aku juga sudah janjian
dengan Roki mau bermain-main lagi ke pantai. Eh, tiba-tiba kakek dan nenek datang. Aku
kan ngak jadi liburan kalu begini. Semuanya gara-gara mereka.”
“Kakek dan nenek ke sini karena kangen sama Dani. Mereka sayang banget lo.”
“Kalau mereka sayang, seharusnya tidak datang hari ini, dong. Biar aku bisa liburan
ke Banyuwangi. Kak Sofi tahu kan, aku pengen banget naik kereta.”
Kak Sofi menarik nafas panjang. Mengekus kepala Dani dengan lembut.
“Teman-temanku di sekolah semua sudah berlibur ke tempat yang jauh di luar
kota. Mereka pasti akan bertanya tentang liburanku,” Dani menumpahkan kekesalannya
kepada kak Sofi.
“Trus, Dani mau ngambe sampai kapan?”
Dani terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Pintu terbuka. Wajah Ibu menyambut
di balik daun pintu.
“Ayo keluar. Kakek dan nenek sudah datang,” tangan Sofi menarik lengan Dani,
tetapi Dani menolaknya.
“Jangan begitu, Dan. Kasihan mereka, jauh-jauh datang kemari.”
“Salah mereka sendiri, aku kan gak minta mereka datang.”
“Kalau begitu, Tamyya ini tidak jadi kakak berikan.”
“Terserah!”
Kak Sofi meninggalkan kamar. Menemui kakek dan nenek di ruang tengah.
Terdengar suara yang ramai dari tuang tengah. Dani semakin sebel dengan semua orang
yang di rumahnya.
“Seandainya di rumah Roki, aku pasti ke pantai. Membuat gunung pasir atau
berengang di laut lepas.”
“Da…an!” suara ibu terdengar lagi. Ada telepon dari Roki.”
“Haa...? Roki telpon?” dengan cepat Dani melempar gulingnya ke lantai. Segera ia
berlari ke ruang tengah.
“Assalamu’alaikum.”
30

“Wa’alaikum salam. Eh, untung kalian tidak jadi ke Banyuwangi,” suara Roki
terdengar lega.
“Memangnya kenapa? Aku saja sebel ngak naik kereta ke rumahmu.”
“Ya, justru itu. Kereta yang seharusnya kau naiki tergelincir dari rel. Banyak lo yang
terluka.”
“Beneran?”
“Iya, kalau tidak percaya lihat saja di televisi.”
Dani merasa lututnya lemas. Dia membayangkan kereta terguling dan penumpang
terjatuh dengan banyak luka.
“Katanya kakek dan nenek di situ, ya?”
“Iya,” suara Dani melemah.
“Wah, seneng dong dikunjungi mereka. Aku juga kangen dengan mereka.”
Dani bingung ingin menjawab apa. Padahal sejak mendengar kedatangan kakek
dan nenek, Dani sudah tidak suka.
“Sudah ya, Dan. Salam buat kakek dan nenek. Assalamu’alaikum.”
“Wa’laikum salam,” tangan Dani gemetar meletakkan telepon. Sebelum badannya
berbalik, sebuah tangan memegang bahu kanan Dani. Dani takut menoleh.
“Dani mau berlibur, ya,” suara kakek terdengar lembut.
Dani tetap tidak menoleh. Mata Dani memanas, menembus kaca jendela di
depannya. Dia merasa bersalah telah memperlakukan kakek dan nenek dengan tidak baik.
“Maafkan, Dani Kek. Seharusnya Dani berterimakasih dengan kedatangan Kakek
dan Nenek. Kalau tidak, tentu Dani dan yang lainnya celaka,” Dani pun menangis terisak-
isak dalam pelukan kakek. Tangan kakek menepuk Dani berkali-kali.
“Sekarang Dani tahu, kan. Tidak semua yang kita inginkan itu baik untuk kita dan
tidak semua yang kita benci buruk untuk kita.”
Dani pun mengangguk mengerti. Ia segera menemui nenek dan meminta maaf.
“Ah..., ternyata liburan memang tidak harus pergi ke tempat yang jauh.
Dimanapun kita bisa mengisi liburan dengan menyenagkan. Termasuk di rumah.”
Dani tidak lagi sedih, apalagi Riko dan keluarganya memutuskan akan datang ke
rumahnya. Pasti liburan ini semakin menyenangkan Dani.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Ferry Fadli Marwit Manihuruk lahir di Sidikalang pada tanggal 12 Februari 1991. Anak ke-2
dari tiga bersaudara ini merupakan alumni dari TK Pertiwi Sidikalang, SD Santo Yosef
Sidikalang dan SMP Negeri 1 Sidikalang.
Cita-citanya yaitu ingin menjadi seorang Insinyur Tekhnik Industri, besar harapannya untuk
meraih itu.
Ini pertama kalinya ia pernah menjadi editor walaupun hanya sekedar saja.
Suatu pegangan hidup “Berbuatlah untuk hari ini, jika tidak, terimalah bahaya besok hari.
Semangat..!!!”
TENTANG PENGARANG
Ferry Fadli Marwit Manihuruk lahir di Sidikalang pada tanggal 12 Februari 1991. Anak ke-2
dari tiga bersaudara ini merupakan alumni dari TK Pertiwi Sidikalang, SD Santo Yosef
Sidikalang dan SMP Negeri 1 Sidikalang.
Cita-citanya yaitu ingin menjadi seorang Insinyur Tekhnik Industri, besar harapannya untuk
meraih itu.
Ini pertama kalinya ia pernah menjadi editor walaupun hanya sekedar saja.
Suatu pegangan hidup “Berbuatlah untuk hari ini, jika tidak, terimalah bahaya besok hari.
Semangat..!!!”

Kado Buat EgaOleh Ira Sagala
Matahari turun dari singgasana siang. Sesaat kemudian lenyap ditelan gedung-
gedung bertingkat. Namun semburat cahayanya masih memendar mengurai mega-mega
di balik gedung-gedung bertingkat. Menghadirkan nuansa jingga di layar cakrawala.
Sekejap kemudian melenyap di pelukan malam. Menghadirkan perasaan kehilangan.
Suara azan menggema di angkasa. Menuntun langkah-langkah kaki menuju rumah
ibadah. Ega, Uci, dan Aan memenuhi panggilan Sang Khalik untuk menunaikan shalat
magrib di mushola yang tak berapa jauh dari Plaza Depok.
Selepas menunaikan shalat Magrib, ketiga cewek manis itu pergi ke restoran siap
saji yang terletak di muka plaza. Dua potong ayam goreng, sepiring nasi hangat, dan
segelas minuman ringan menjadi pilihan hidangan buka puasa merekadi hari terakhir
bulan Ramadhan.
Ega melempar pandangan ke luar jendela. Rinai hujan menyapa dahaga aspal
jalanan. Bocah-bocah kecil berebut menawarkan payungnya kepada orang-orang yang
berteduh di teras plaza. Bola maatanya cermat meneliti bocah-bocah jalanan itu. Ia
berharap bisa menemukan Ica di antara mereka.
“Ga, makanannya kenapa nggak dimakan?” tegur Uci, membuyarkan
konsentrasinya.
“Nggak nafsu,” jawab Ega pendek.
“Buat Aan aja, ya?” Aan yang paling doyan maka langsung menyambar piring Ega.
“Aan!” bentak Uci. Aan cemberut.
“Biarin aja, Ci. Gue nggak lapar kok. Lagian sayang kalau sampai dibuang.”
Aan tersenyum. Lalu tanpa menunggu reaksi dari Uci, ia langsung menyatap
bagian Ega. Uci bingung. Biasanya Ega paling doyan sama makan, walaupun badannya
tidak gemuk.
“Elo kenapa sih, Ga…mikirin Ica, ya?” tanya Uci kemudian. Ega hanya mengangguk
lemah.
30

“Gua kangen sama anak itu…,” ia mendesah.
“Aan jadi penasaran, seperti apa sih lucunya Ica itu?”
“Anaknya manis. Rambut panjangmya serin dikepang dua. Giginya ompong.
Pipinnya agak tembem. Pokoknya bikin gemes, deh. Mirip siapa tuh…,” ia mengingat-
ingat. “O ya, mirip Tasya!”
“Ih, lucu banget!” ujar Aan sambil membayangkan wajah Ica.
“Emang nggak ada yang tau alamat Ica di Sukabumi?” tanya Uci lagi.
Ega menggelengkan kepala. Sesaat kemudian dia kembali asyik memandangi
bocah-bocah yang sibuk menawarkan jasa ojek payungnya.
Tiba-tiba ujung mata Ega menangkap sosok bocah perempuan berpayung biru,
persis dengan payung milik Ica yang biasa dipakai mengojek, berlari ke arah jalan raya,
ingin menghampiri seorang ibu yang berteduh di bawah rindang pepohonan di seberang
jalan.
“Ega, tunggu!” cegah Uci. Tak berhasil. Dia dan Aan langsung mengejar Ega.
Lalu….
Ciiit….
“Tidaaak!” Ega memekik ketakutan sambil menutupi wajahnya.
Braaak….
Tubuh bocah itu terpental dihantam sedan hitam yang melaju dari arah Pasar
Minggu. Payung birunya terlepas dari genggaman tangannya. Rinai hujan berwarna
merah. Darah!
Ega berlari menyongsong tubuh lemah bocah perempuan yang tergeletak
bersimbah darah di aspal jalanan. Ia mengangkat kepalanya, meletakkannya di
pangkuannya.
“Bukan Ica…,” desah Ega dalan hati. Orang-orang mulai datang berkerumun.
Pemilik sedan hitam yang menabrak bocah itu ke luar dari mobilnya, menghampiri
Ega,“Naikkan ke mobil saya., mbak!” katanya tergesa,“Biar saya bawa ke rumah sakit.”
Ega menaikkan bocah itu ke dalam sedan hitam. Lalu, seperti tak mau menunggu
waktu, sedan hitam melincur cepat menyisir rinai hujan, menuju rumah sakit terdekat.
Ega menarik napas lega.
Ega memungut payung biru milik bocah perempuan naas itu. Persis dengan milik
Ica tapi bukan milik Ica. Payung milik Ica ada tulisan Ica di pegangan payungnya.
30

“Bukan Ica kan, Ga?” Uci khawatir.
“Bukan, bukan Ica…”
“Syukurlah, Ga!” ujar Aan.
Ada kabut di bola mata Ega, berpendaran menjelma menjadi kristal-kristal bening,
menetes deras membasahi kedua pipi mulusnya. Ia tak mampu membayangkan apabila
tragedi barusan menimpa Ica. Ega memeluk payung biru itu. Hatinya tengah dirajam
rindu.
Malam merayap perlahan di dinding-dinding udara. Jarum jam menuju angka
duabelas. Tepat tengah malam. Mata Ega belum memejam. Ingatannya terus melayang ke
masa ketika Ica mengisi kesepiannya dengan senyum dan derai tawa. Ia memandangi foto
dirinya dengan Ica. Foto itu diambil di photo box yang ada di Mal Depok. Ah, gadis kecil
yang menggemaskan.
Hampir pukul dua dini hari, ketika mata Ega akhirnya memejam karena kelelahan.
Gadis itu tertidur sangat pulas. Sampai ketika azan subuh menyilet udara dengan seruan
yang sempurna.
Ega beranjak ke kamar mandi untuk bersuci. Setelah menyucikan diri dengan air
wudhu, ia mengenakan mukenanya, lalu menggelar sajadahnya. Sesaat kemudian ia
tampak khusyuk menunaikan panggilan Tuhan, mengembara dalam belantara sunyi jiwa,
mencari ridho Ilahi.
Subuh masih merah.
“Assalamualaikum warahmatulahi…,” Ega mengakhiri shalatnya dengan salam.
Menengadahkan kedua tangannya, mengucapkan doa kepada Zat yang maha sempurna.
Dalam doa ia memohon agar tangan-tangan Tuhan mempertemukannya kembali dengan
Ica. Amin.
Tok…tok…tok…
Pintu kamar Ega diketuk seseorang.
“Siapa?” Ega buru-buru menghapus air matanya.
“Mas Angga!” sahut kakak semata wayangnya yang sudah sejak tiga hari lalu
kembali dari Yogya.
“Masuk aja, Mas. Nggak dikunci, kok!”
Pintu kamar Ega dibuka. Wajah Angga menyembul dari balik pintu kamar.
Tersenyum. Menghampiri Ega yang masih duduk di atas sajadahnya. Meletakkan
30

tubuhnya persis di sebelah Ega. Dia memandangi wajah adiknya yang sembab oleh air
mata.
“Kamu habis menangis?” ujung jari tangan Angga menyapu air mata yang masih
menggelayut di ujung mata Ega. Ega tertunduk. Angga membelai rambut Ega yang
panjang sebahu. Ega membaringkan kepalanya di bahu Angga.
Dulu, ketika Angga masih duduk di bangku SMU, Ega sering mencurahkan isi
hatinya kepada Angga. Setiap datang persoalan, ia selalu menceritakan kepada kakaknya
itu. Angga ibarat rimbun beringin yang mampu meneduhkan hati Ega, ia merasa
terlindungi. Namun ketika Angga memutuskan melanjutkan study-nya di Yogyakarta, Ega
menjadi kehilangan tongkat penyangganya. Ia sering kali gamang bila ada masalah datang
menyapanya. Pincang. Tak ada tempat mengadu. Papa dan Mamanya terlalu sibik
mengurusi bisnisnya. Hanya pada dinding kamar ia mencurahkan keresahannya.
“Ada masalah apa?” lembut suara Angga seraya mendekap hangat tubuh Ega.
“Ah, sudah begitu lama Ega merindukan kehangatan seperti ini. Ega lagi
merindukan seseorang, Mas.”
“Siapa? Pacar?”
Ega menggelengkan kepala.
“Atau…Ica?” tebak Angga.
“Lho, Mas Angga tau dari siapa?” menatap wajah Angga heran.
“Mama yang cerita.”
“Kasihan Ica, Mas…,” air mata bening Ega leleh membasahi pipi, “Anak sekecil itu
sudah harus berpisah dengan bapak ibunya. Ia sebatang kara. Ega nggak tau gimana
nasibnya sekarang….”
“Ega…Ica itu anak jalanan. Dia sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Kamu
jangan terlalu mengkhawatirkannya. Ica nggak selemah yang kamu pikirkan. Dia bagai
kerikil cadas yang tak remuk digilas roda-roda kehidupan. Mas Angga yakin, saat ini dia
baik-baik saja di kampung halamannya.”
“Tapi Ega ingin sekali bertemu dengannya, Mas….”
“Mintalah pada Tuhan. Mudah-mudahan, tangan-tangan Tuhan akan menuntun
langkah-langkah kecil Ica sampai ke rumah ini.”
Ega tersenyum. Kakaknya itu memang paling pandai meredakan badai yang
sedang melintas di hatinya. Tidak salah kalau dia memilih jurusan psikologi di UGM.
30

“Nah, gitu dong!” Angga gembira melihat adiknya sudah bisa tersenyum.
Langit pagi mulai benderang. Ega bersiap menunaikan shalat.
Senja itu, mega menghitam arak-berarak. Langit seperti menjanjikan untuk segera
turun hujan. Rinai hujan jatuh satu persatu. Seperti benang-benang perak yang dijatuhkan
Tuhan dari ketinggian langit.
Ega berdiri membeku di teras depan Plaza Depok ditemani Mas Angganya. Tak ada
bocah-bocah kecil yang biasa menjajakan ojek payungnya pada orang-orang yang
berteduh di teras plaza.
“Masih mau menunggu, Ga?” tegur Angga.
Ega menganggukkan kepala. Angga mendekap tubuh Ega. Membaringkan kepala
Ega di bahunya.
Ega memejamkan matanya, merajut kembali kenangan-kenangan indah yang
pernah ia reguk bersama Ica. Di tempat ini, mula-mula pertama Tuhan
mempertemukannya dengan seorang bocah perempuan yang mengubah hari-hari
sepinya menjadi derai tawa.
Tiba-tiba….
“Ojek payung, Mbak?” suara kecil itu membuat Ega terkesiap. Ia membuka
matanya. Seorang gadis kecil berkepang dua berdiri di hadapannya, tersenyum
memamerkan deretan gigi ompongnya.
“I…Ica?” Ega seperti tak mempercayai penglihatannya. Ia mengucek-ucek kedua
matanya.
“Siapa, Ga? Ica?” Angga keheranan.
“Ica!” Ega merunduk memeluk tubuh gadis kepang dua itu yang tak lain adalah Ica,
gadis kecil yang begitu ia rindukan selama ini. Didekapnya erat dia. Ia tumpahkan
kerinduan yang selama ini terendap. Air mata bahagia luruh membasahi pipinya.
“Mbak Ega, kenapa menangis?” Ica menghapus air mata yang berlinang di pipi
Ega.
“Mbak kangen sekali sama kamu!” Ega membopong gadis kecil itu,
menggendongnya.
“Ica juga kangen sama Mbak Ega!”
“Ya, setiap hari ia selalu menanyakan Mbak Eganya,” lelaki paruh baya yang
bersama Ica menjelaskan.
30

“Bapak ini…?” tanya Angga.
“Saya Paman Ica yang dari Sukabumi! Adik sepupu Ibu Ica.”
“Pak, boleh Ica tinggal di rumah saya?” pinta Ega kepada lelaki itu.
Lelaki itu menatap ke arah Ica. Meminta jawaban langsung dari gadis delapan
tahunan itu. Dan…Ica menjawab dengan anggukan antusias.
“Silakan saja saya, tidak keberatan.”
“Horeee…!”
Ega dan Ica melonjak kegirangan. Mereka saling berpelukan. Ah, mungkin ini kado
dari Tuhan buat Ega.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Ira Sagala lahir di Hutaginjang pada tanggal 26 Agustus 1991. Ia saat ini duduk di kelas XII-
Unggulan SMA Negeri 1 Sidikalang. Ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Ini adalah krya
pertamanya yang dipublikasikan untuk sekoalah. Hobbynya adalah membaca dan mendengar
musik.
Motto “No Limits to Success.”
TENTANG PENGARANG
Ira Sagala lahir di Hutaginjang pada tanggal 26 Agustus 1991. Ia saat ini duduk di kelas XII-
Unggulan SMA Negeri 1 Sidikalang. Ia bercita-cita menjadi seorang dokter. Ini adalah krya
pertamanya yang dipublikasikan untuk sekoalah. Hobbynya adalah membaca dan mendengar
musik.
Motto “No Limits to Success.”

Baja dan KurcaciOleh Rut Sahanaya A. Tambunan
Hari ini hujan masih terus turun mengguyur kota Bogor, Jawa Barat meskipun
sejak pagi tidak hentinya hujan turun laksana pengganti matahari yang selalu bersinar
memuntahkan panasnya ke bumi. Pantas saja kalau kota ini dijuluki sebagai kota hujan di
Indonesia. Meskipun demikian kesibukan yang terjadi di daerah dan kawasan hujan ini
tidak kunjung lengang dari hiruk pikuk orang-orang yang sedang mencari nafkah dan
mengais rejeki untuk bertahan hidup di perkotaan ini.
Di kawasan pinggiran kota Bogor, Jawa Barat ini masih tampak beberapa anak kecil
yang masih sedang menjajakan koran, sebagian lagi sibuk dengan mengumpulkan barang-
barang rongsokan bekas kebakaran kawasan kolong jembatan kemarin malam. Para
pemilik gubuk liar yang terbakar di kawasan tersebut belum pulang mudik dari
kampungnya jadi mereka belum tahu kalau rumah mereka telah habis terbakar si jago
merah. Para pemulung sangat beruntung atas peristiwa ini setidaknya penghasilan
mereka bertambah dengan barang-barang bekas tersebut. Walaupun demikan, ada satu
anak yang perangainya sangat menarik bagiku. Aku mengawasinya saat aku melakukan
ekspansi pada penyusunan skripsi kulish S-2. Setelah ku telusuri ternyata namanya adalah
Juan.
Juan itu anak kecil berumur kira-kira enam tahun. Ia belum sekolah dikarenakan
keluarganya tidak mampu untuk menyekolahkannya. Ayahnya seorang pemulung, ibunya
sudah meninggal saat ia berumur dua bulan. Ibunya meninggal dikarenakan terkena
penyakit infeksi uterus saat melahirkan Juan. Ia hanya tinggal berdua dengan ayahnya di
gubuk tua di bawah kolong jembatan tersebut. Ia tidak pernah merasakan kasih sayang
seorang ibu sejak saat ia berumur dua bulan. Pakaiannya hanya satu pasang itu saja setiap
hari. Kadang-kadang ia harus menyemir sepatu di jalan raya atau setidaknya mengamen
dahulu biar bisa makan. Nah...kalau hujan begini maka pastinya ia tidak akan mendapat
uang untuk makan satu hari ini. Namun jangan salah sangka, ternyata ia tidak habis akal
30

untuk memenuhi kebutuhannya satu hari ini. Ia memilih untuk mengojek payung bagi
orang-orang yang pulang kerja namun tidak membawa payung, paling tidak hal itu bisa
dimanfaatkannya untuk mendapatkan uang.
Sewaktu ia berumur lima tahun ayahnya memang masih sehat dan dapat bekerja.
Namun sampai pada suatu saat karena terlalu memaksakan diri untuk bekerja memenuhi
kebutuhan dirinya sendiri maupun Juan, ia tidak memperhatikan bahwa kondisi fisiknya
semakin melemah dan akhirnya ia terserang penyakit paru-paru. Namun karena mereka
adalah keluarga yang kurang mampu maka upaya pengobatan tidak mungkin dilakukan.
Hingga pada saat ini, ayahnya harus menderita menahan rasa sakitnya tersebut dan Juan
harus berjuang mencukupi kebutuhan ayahnya dan dirinya setiap hari. Seperti saat hujan
turun Juan pulang dengan basah kuyub, kedinginan dan tidak jarang ia tidak
mendapatkan uang dari ojek payungnya. Juan tidak pernah menyerah dan murung
dengan penderitaan yang ia alami, bahkan ia malah menjadi orang yang tegar dan
tumbuh menjadi orang yang bijak dan pandai mencari uang dan hingga beberapa bulan
yang lalu ayahnya menghembuskan nafas terakhirnya karena kondisinya sangat
memprihatinkan.
Juan berusaha hidup sendiri dalam gubuk itu ditemani oleh beberapa kurcaci kecil
juga tak lain adalah temen-temannya sesama pemulung dan orang yang tinggal di
kawasan kolong jembatan tersebut. Hingga pada hari itu saat kebakaran terjadi ternyata
Juan masih bisa bertahan hidup dengan penderiaan yang dialaminya. Beberapa hari
kemudian, ternyata terdapat razia rumah atau perkampungan kumuh di wilayah mereka
dan ternyata Juan ikut salah satu diantaranya. Ia kemudian dibawa ke kantor polisi dan
akhirnya semua kalangan kurcaci seperti Juan yang terjaring dalam rajia di tempatkan di
Panti Asuhan Melati di daerah tersebut.
Aku merasa beruntung dengan terjaringnya Juan pada razia tersebut. Paling tidak
penderitaan Juan berkurang dengan tidak mencari uang seperti sebelumnya. Akhirnya
Juan diserahkan pada orangtua asuh yang ingin mengasuhnya karena mereka melihat ada
aura yang kuat di dalam diri Juan yang patut untuk diperhitungkan. Akhirnya penderitaan
yang dialami Juan berakhir di situ dan bahagia menanti dirinya di depan matanya.
Terakhir aku melihat Juan saat ia dijemput keluarga barunya. Keluarga baru Juan
adalah saudara dekatku yang tidak memiliki anak. Oleh sebab itu aku mengusulkan untuk
mengadopsi Juan. Selain karena saudara yang mengadopsi Juan adalah orang yang baik,
30

aku memastikan bahwa penderitaan berakhir dengan ikut bersama mereka. Juan
tersenyum dan senyuman itu harus tetap ada dalam diri Juan karena ia adalah anak baja.
Oleh sebab itu aku sangat menaruh harapan pada semua orang yang telah membaca
cerpen ini sayangilah generasi muda karena merekalah memegang pemerintahan kelak
dan menentukan kemana arah Indonesia. Dan bagi generasi muda tirulah anak kurcaci di
atas. Jangan pernah menyerah, putus asa dan hanyut dalam keterbatasan yang dimiliki.
SELESAI
30

30
TENTANG PENGARANG
Rut Tambunan, lahir di Kisaran pada tanggal 18 April 1992. Setelah menempuh pendidikan
selama 11 tahun, pengarang mengikuti kata hatinya untuk menekuni bidang sastra, untuk itu
Baja dan Kurcaci ini merupakan salah satu karya si penulis yang akan disumbangkan ke
sekolah sebagai salah satu perdana.
TENTANG PENGARANG
Rut Tambunan, lahir di Kisaran pada tanggal 18 April 1992. Setelah menempuh pendidikan
selama 11 tahun, pengarang mengikuti kata hatinya untuk menekuni bidang sastra, untuk itu
Baja dan Kurcaci ini merupakan salah satu karya si penulis yang akan disumbangkan ke
sekolah sebagai salah satu perdana.