KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan...
-
Upload
trinhtuyen -
Category
Documents
-
view
255 -
download
0
Transcript of KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN … · kerusakan dinding sel, dan pengamatan...
KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis
IRIANI SETYANINGSIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul Kultivasi dan
Karakterisasi Komponen Aktif dan Nutrisi dari Mikroalga Laut Chaetoceros gracilis
adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis
lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian
akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2010
Iriani Setyaningsih
NIM C 561040061
ABSTRACT IRIANI SETYANINGSIH. Cultivation and Characterization of Active Compound and Nutrients of Marine Microalgae Chaetoceros gracilis Supervised by LINAWATI HARDJITO, DANIEL R. MONINTJA, M. FEDI A. SONDITA, and MARIA BINTANG
Chaetoceros gracilis is a genera of marine microalgae that can be found in Indonesian waters. The aims of this research were: 1) to grow Chaetoceros gracilis in NPSi medium and to get the extract of Chaetoceros gracilis which contained antibacterial compound, 2) to investigate activity and stability of Chaetoceros gracilis extract, 3) to investigate the effect of Chaetoceros gracilis extract against bacteria, and 4) to determine the chemical composition of Chaetoceros gracilis biomass. The Chaetoceros gracilis was grown in nitrogen phosphate silica (NPSi) medium, continously aerated and illuminated by a 20 watt tube lamp (2500 lux). The cultivation was maintained at 25-26 oC, and harvested on the 7th day of cultivation. The biomass was separated using ceramic filter pore 0,3 μm and then freezed dried. They were extracted by methanol. Antibacterial activity of extract was tested against Gram positive and negative bacteria by agar diffusion method, compared to commercial antibiotic (chloramphenicol, tetracycline, oxytetracycline and ampicillin). The stability was tested during storage. Mechanism of inhibition was determined by analyzing cell damage. The content of Chaetoceros gracilis biomass such as amino acid, fatty acid, and minerals was determined using HPLC, GC and AAS respectively. The result showed that Chaetoceros gracilis grew well in NPSi medium. Extract of Chaetoceros gracilis showed antibacterial activity against Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC 25923, dan Bacillus cereus ATCC 13091 at the concentration of 300 µg/disc. Antibacterial activity of Chaetoceros gracilis extract at concentration of 300 µg/disc was lower than antibacterial at the same concentration of chloramphenicol, tetracycline, oxytetracycline and ampicillin. After being storaged for 6 months, the extract still showed the same antibacterial activity. The extract of C. gracilis cause damage by leakage of the cell. Chaetoceros gracilis contained essential amino acids (threonine, valine, methionine, leucine, isoleucine, lysine, phenylalanine, histidine), and non essential amino acids (aspartic acid, glutamic acid, serine, glycine, arginine, alanine, tyrosine); saturated fatty acid such as caprilic acid, (C8:0), myristic acid, (C14:0), palmitic acid (C16:0), lauric acid, (C12:0), pentadecanoic acid, (C15:0), stearic acid (C18:0), arachidic acid, (C20:0), heneicosanoic acid (C21:0), behenic (C22:0), and unsaturated fatty acid such as palmitoleic acid (C16:1), heptadecanoic acid (C17:1), myristoleic acid (C14:1), pentadecanoic acid (C15:1), oleic acid (C18:1n9), linoleic acid (C18:3n3),
arachidonic acid (C20:4n6), g-linolenic acid (C18:3n6), docosadienoic acid (C22:2), eicosapentaenoic acid (C20:5n3) and docosahexaenoic acid (C22:6n3).
Biomass of Chaetoceros gracilis contained minerals such as phosphor (P), magnesium (Mg), ferrum (Fe), zink (Zn), calcium (Ca), and silicate. The biomass also containted alcalloid, steroid, carbohydrate, amino acid, and 0,1 % nucleic acid. It need further study on toxicity.
Keyword: Marine microalgae, Chaetoceros gracilis, NPSi, antibacterial,
chemical composition
RINGKASAN
KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis. Dibimbing oleh LINAWATI HARDJITO, DANIEL R. MONINTJA, M. FEDI A. SONDITA, dan MARIA BINTANG.
Chaetoceros gracilis merupakan mikroalga laut yang ada di perairan Indonesia. Beberapa peneliti menyatakan bahwa mikroalga ini memiliki komponen aktif dan nutrisi yang baik. Namun saat ini pemanfaatan Chaetoceros masih terbatas untuk pakan alami, sehingga pemanfaatannya perlu dioptimalkan. Medium untuk pertumbuhan Chaetoceros umumnya medium Guillard, akan tetapi medium ini cukup mahal. Dengan alasan tersebut perlu dilakukan penelitian tentang Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dalam menghasilkan komponen aktif dan nutrisi. Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) memperoleh ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSI yang mempunyai aktivitas antibakteri, (2) menguji aktivitas dan stabilitas senyawa aktif dari ekstrak Chaetoceros gracilis, (3) menganalisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan sel bakteri, (4) menentukan kandungan kimia dari biomasa mikroalga Chaetoceros gracilis
Kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan dalam medium NPSi dengan aerasi terus menerus, sumber cahaya lampu 20 W (2500 lux), pada ruangan bersuhu 25-26oC. Kultur umur 7 hari dipanen untuk dipisahkan biomasanya, menggunakan filter keramik pori 0,3 mikron, dikeringkan menggunakan freeze dryer. Biomasa diekstraksi menggunakan metanol, selanjutnya dilakukan analisis aktivitas antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan negatif, analisis potensi terhadap antibiotik komersial dan analisis stabilitas senyawa antibakteri. Untuk mengetahui mekanisme hambatannya, dilakukan analisis kebocoran sel, kerusakan dinding sel, dan pengamatan morfologi sel menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM). Pada biomasa juga dianalisis kadar protein, lemak, karbohidrat, komposisi asam amino asam lemak dan mineral, serta fitokimia dan asam nukleat .
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki fase pertumbuhan eksponensial, stasioner dan fase kematian. Kultur Chaetoceros gracilis berwarna coklat. Ekstrak kasar C. gracilis memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyi, Staphylococcus aureus ATCC 25923, Escherichia coli ATCC 25922, Bacillus cereus ATCC 13091, namun aktivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik komersial pada konsentrasi 300 ug/disc. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah sampai 6 bulan masih memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan awal. Ekstrak dari Chaetoceros gracilis menyebabkan kerusakan sel bakteri yang ditunjukkan dengan terjadinya kebocoran pada sel bakteri.
Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung asam amino esensial seperti treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin, dan asam amino non esensial seperti asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, arginin, alanin, tirosin. Komposisi asam lemak dalam C. gracilis meliputi kaprilat (C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), pentadekanoat C15:0, stearat (C18:0), arakidat C20:0, heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam
lemak tidak jenuh seperti palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat
(C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat
(C20:5n3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n3). Biomasa Chaetoceros gracilis
mengandung mineral seperti fosfor (P), magnesium (Mg), besi (Fe), zink (Zn), kalsium (Ca), dan silika. Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung senyawa golongan alkaloid, steroid, asam amino, karbohidrat. Kadar asam nukleat (DNA) Chaetoceros gracilis sebesar 0,1 %. Namun perlu kajian lanjut toksisitas
Kata kunci: Mikroalga laut, Chaetoceros gracilis, senyawa antibakteri, komposisi
senyawa kimia
© Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KULTIVASI DAN KARAKTERISASI KOMPONEN AKTIF DAN NUTRISI DARI MIKROALGA LAUT Chaetoceros gracilis
IRIANI SETYANINGSIH
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, MSc
Penguji Luar Komisi pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Jana T. Anggadiredja, MS
2. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS
Judul Disertasi : Kultivasi dan Karakterisasi Komponen Aktif dan Nutrisi dari Mikroalga Laut Chaetoceros gracilis Nama : Iriani Setyaningsih NIM : C 56 1040061 Program Studi : Teknologi Kelautan (TKL) Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Linawati Hardjito, MSc Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja
Ketua Anggota
Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Kelautan Prof. Dr. Ir.John Haluan, MSc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian: 9 Agustus 2010 Tanggal Lulus : 24 Agustus 2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas rahmatNya
penulis dapat menyelesaikan penyusunan disertasi dengan judul Kultivasi dan
Karakterisasi Komponen Aktif dan Nutrisi dari Mikroalga Laut Chaetoceros gracilis,
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor di program Studi Teknologi
Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB.
Pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih yang
mendalam disertai penghargaan setinggi-tingginya kepada tim pembimbing kami
yaitu ibu Dr. Ir. Linawati Hardjito, MSc selaku Ketua Komisi Pembimbing, bapak Prof.
Dr. Ir. Daniel Monintja, bapak Dr. Ir. M. Fedi A. Sondita, MSc, dan ibu Prof. Dr. drh.
Maria Bintang, MS selaku anggota komisi pembimbing.
Terima kasih dihaturkan kepada kedua orang tua penulis ayahanda Soekemi
(alm) dan ibunda Khayatun yang selalu mendoakan kami. Kepada suami Dr. Ir.
Anang Hari Kristanto, MSc beserta anak-anak tercinta Anindita Lintangdesi Afriani
dan Nawangwulan Risqi Andriani kami mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga atas dukungan, kasih sayang dan doanya.
Terima kasih kepada pimpinan IPB, terutama pimpinan Program
Pascasarjana , khususnya ketua Program Studi Teknologi Kelautan yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada
program doktor (S3). Terima kasih kepada BPPS Dikti atas dukungan pembiayaan
selama studi dan Hibah mahasiswa program doktor Dikti atas bantuannya dalam
penyelesaian disertasi.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada Drs. Lily Panggabean, MSc yang
telah membantu dalam pengadaan C. gracilis dan Dr. Ir. Widanarni, MS yang telah
memberikan bakteri V. harveyi. Terima kasih kepada sesama staf pengajar di
Departemen Teknologi Hasil Perairan, teknisi Ema Masruroh yang banyak
membantu selama pelaksanaan penelitian serta semua pihak yang belum sempat
kami sebutkan satu persatu.
Semoga, bantuan, dukungan, dan perhatian bapak ibu senantiasa
mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Penulis menyadari akan
kekurangannya, untuk itu kami mohon saran. Akhir kata penulis ucapkan semoga
disertasi ini memberikan manfaat bagi yang membaca.
Bogor, Agustus 2010
Iriani Setyaningsih
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Semarang pada tanggal 25 September 1960.
Penulis adalah putra kelima dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Soekemi
(alm) dan Ibu Khayatun. Penulis telah menikah dengan Dr. Ir. Anang Hari Kristanto,
MSc dan dikarunai dua orang putri bernama Anindita Lintangdesi Afriani dan
Nawangwulan Rizqi Andriani.
Jenjang pendidikan penulis dimulai dari TK Budirini Semarang pada tahun
1965, dilanjutkan dengan jenjang pendidikan di SD Negeri Randusari I Semarang,
lulus tahun 1973, SMP Masehi Gergaji Semarang, lulus tahun 1976 dan SMA Negeri
Perintis Sekolah Pembangunan Semarang lulus tahun 1980. Penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor pada tahun 1980. Pada tahun 1981, penulis masuk Jurusan
Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan, dan lulus tahun 1985. Penulis
melanjutkan program Magister Sains di Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah
Pascasarjana, IPB (1987-1991) dengan dana TMPD. Pada tahun 2004, penulis
melanjutkan studi program doktor di Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah
Pascasarjana, IPB dengan dana BPPS.
Penulis mulai mengembangkan karier sebagai staf pengajar di Institut
Pertanian Bogor pada tahun 1987 pada Jurusan Pengolahan Hasil Perikanan,
Fakultas Perikanan, IPB yang kini berubah menjadi Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Publikasi yang dihasilkan penulis antara lain Antibacterial activity of the
marine diatom Chaetoceros gracilis against Staphylococcus aureus and Vibrio
harveyi, Proceeding International Seminar and Workshop, Marine Biodiversity and
their Potential for Developing Bio-Pharmaceutical Industry in Indonesia 2006;
Aktivitas antibakteri dan komponen asam lemak dari ekstrak Skeletonema costatum,
Posiding Seminar Nasional Tahunan IV Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan
2007; Ekstraksi senyawa antibakteri dari diatom Chaetoceros gracilis dengan
berbagai metode, Jurnal Biologi Indonesia 2008; Pola pertumbuhan Chaetoceros
gracilis dalam medium NPSi dan produksi antibakteri, Jurnal Kelautan Nasional 2009;
Ekstraksi dan aplikasi ekstrak Chaetoceros gracilis pada udang, Prosiding Seminar
Nasional Tahunan VI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan 2009.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………………….. xv
1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Permasalahan ………………………………………………….. 2
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................... 3
1.4 Hipotesis Penelitian ……………………………………………………….. 3
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................. 4
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ...................................................................... 4
1.7 Kerangka Pemikiran ……………………………………………………….. 4
2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 7
2.1 Deskripsi Mikroalga ............................................................................... 7
2.2 Chaetoceros sp ..................................................................................... 9
2.3 Antibakteri dari Mikroalga ...................................................................... 10
2.4 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri .................................................. 14
2.5 Bakteri Patogen ..................................................................................... 16
2.5.1 Bakteri Gram positif ...................................................................... 17 2.5.2 Bakteri Gram negatif .................................................................... 19
3 METODE PENELITIAN …………………………………………………………. 22
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ……………………………………………… 22
3.2 Bahan dan Alat ……………………………………………………………… 22
3.3 Tahapan Penelitian dan Analisis …………………………………………. 23
3.3.1 Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi ……………… 23
3.3.2 Ekstraksi, uji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis ………………………………………… 24
3.3.3 Analisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan bakteri …………………………………………………….. 25
3.3.4 Analisis kandungan senyawa kimia Chaetoceros gracilis ………… 26
4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi ……………….. 28 4.1 Pendahuluan .......................................................................................... 28
4.2 Bahan dan Metode ................................................................................ 29
` 4.3 Hasil dan Pembahasan .......................................................................... 31
4.4 Kesimpulan …………… .......................................................................... 38
5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis………………………………………………... 39
5.1 Pendahuluan .......................................................................................... 39
5.2 Bahan dan Metode ............................................................................... 40
` 5.3 Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 44
5.4 Kesimpulan .......................................................................................... 52
6 KERUSAKAN BAKTERI OLEH SENYAWA ANTIBAKTERI DARI
EKSTRAK Chaetoceros gracilis …………………………………………….. 53
6.1 Pendahuluan ......................................................................................... 53
6.2 Bahan dan Metode .............................................................................. 55
6.3 Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 57
6.4 Kesimpulan .......................................................................................... 64
7 KANDUNGAN SENYAWA KIMIA MIKROALGA Chaetoceros gracilis YANG DITUMBUHKAN DALAM MEDIUM………… 65 7.1 Pendahuluan ........................................................................................ 65
7.2 Bahan dan Metode .............................................................................. 66
7.3 Hasil dan Pembahasan ........................................................................ 73
7.4 Kesimpulan .......................................................................................... 88
8 PEMBAHASAN UMUM ............................................................................... 90
9. KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 99
LAMPIRAN ....................................................................................................... 106
DAFTAR TABEL Halaman
1 Hasil pemisahan awal komponen antimikroba dari beberapa mikroalga ............................................................................................ 13
2 Diameter zona hambat bakteri dari ekstrak C.gracilis ........................ 46
3 Komposisi asam lemak biomasa kering Chaetoceros gracilis ........... 76
4 Kandungan asam lemak dalam Chaetoceros graciis dan komoditi lain ………………………………………………………………………… 78
5 Komposisi asam amino pada biomasa kering Chaetoceros gracilis .................................................................................................. 80
6 Pola kecukupan asam amino dalam tubuh ……………………………. 81
7 Komposisi asam amino dalam biomasa kering C. gracilis dan komoditi lain ................................................................................... 82
8 Kandungan mineral dari biomasa kering C. gracilis ............................. 83
9 Hasil analisis fitokimia biomasa C. gracilis ........................................... 86
10 Hasil analisis fitokimia ekstrak metanol dan heksan dari C. gracilis .... 87
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka penelitian ………………………………………………….. 6
2 Kurva pertumbuhan mikroalga (Fogg dan Thake 1987)…………… 8
3 Morfologi sel Chaetoceros gracilis ................................................. 9
4 Kultur Chaetoceros gracilis umur 2 hari .......................................... 32
5 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi (a = fase pertumbuhan; b = fase stasioner; c = fase kematian)….. 33
6 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium Guillard (a = fase pertumbuhan b = fase stasioner; c = fase kematian) (Lailati 2007) ……………………………………………………………. 33
7 Biomasa Chaetoceros gracilis kering ……………………………. . 37
8 Ekstrak Chaetoceros gracilis …………………………………………. 45
9 Zona hambat ekstrak Chaetoceros gracilis pada bakteri uji (EH = ekstrak heksan; EM = ekstrak metanol; K = kloramfenikol; M =metanol; H = heksan) …………………………………………….. 47
10 Diameter zona hambatan dari ekstrak dan antibiotik komersial terhadap pertumbuhan bakteri ( = B. cereus; = V. harveyi) ………………………………………………………… 49
11 Potensi relatif daya hambat ekstrak C. gracilis terhadap 4 jenis
antibiotik komersial pada konsentrasi sama ( = B. cereus;
= V. harveyi ) ……………………………………………………….. 50
12 Aktivitas antibakteri ekstrak C. gracilis selama penyimpanan dalam refrigerator ( = V. harveyi; = E. coli; = S. aureus;
= B. cereus) …………………………………………………….. 52
13 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kebocoran asam nukleat dan ( = OD 260 nm) kebocoran protein sel ( = OD 280 nm) ……… 58
14 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kandungan N-asetil glukosamin ( = tanpa ekstrak, = penambahan ekstrak)……….. 60
15 Sel Bacillus cereus tanpa perlakuan (perbesaran 20.000 x)……….. 62
16 Sel Bacillus cereus yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros
gracilis (perbesaran 20.000 x)………………………………………….. 63
17 Sel Vibrio harveyi tanpa perlakuan (perbesaran 20.000 x)…………. 63
18 Sel Vibrio harveyi yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (perbesaran 20 000 x) ……… ................................................. 64
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Komposisi medium pupuk NPSi yang digunakan untuk kultivasi Chaetoceros gracilis ............................................................................... 107
2 Kepadatan sel Chaetoceros gracilis selama kultivasi ............................. 108
3 Diameter zona hambat ekstrak metanol dari Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm) ………………………………. 109
4 Diameter zona hambat ekstrak heksan dari Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm) ………………………………. 109
5 Diameter zona hambat (mm) pada Bacillus cereus dan Vibrio harveyi dari ekstrak C. gracilis dan 4 jenis antibiotik ........................................… 110
6 Potensi relatif ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik komersial (%) ………………………………………………………………… 110
7 Diameter zona hambat (mm) ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan .....................................................................................…. 111
8 Perhitungan kadar protein C. gracilis ……………………………………. 112
9 Perhitungan kadar karbohidrat C. gracilis ………………………………. 113
10 Perhitungan hasil analisis mineral dari biomasa C. gracilis …………… 114
11 Konsentrasi DNA dalam Chaetoceros gracilis …………………………. 117
DAFTAR ISTILAH
Antimikroba = zat yang mampu menghancurkan atau menghambat
pertumbuhan mikroorganisme, membunuh atau menekan
pertumbuhan mikroorganisme
ATCC = American Typing Culture Collection
Bakteri patogen = merupakan kelompok bakteri parasit yang menimbulkan
penyakit pada manusia, hewan dan tumbuhan
Ekstrak = hasil pemisahan suatu bahan yang menggunakan pelarut
Faktor intrinsik = faktor-faktor yang berasal dari dalam organisme
dengan proses ekstraksi
Farmasetika = gabungan kimia dan farmasi yang terlibat dalam desain,
sintesis, dan pengembangan obat
Glass bead = butiran-butiran dari kaca yang digunakan untuk memecah
sel mikroorganisme
Golden brown algae = alga yang di dalam perairan berwarna kecoklatan
Komponen aktif = senyawa yang mempunyai aktivitas biologis yang
bermanfaat
Mikroalga = mikroorganisme fotosintetik dengan morfologi sel yang
bervariasi
NPSi = Nitrogen-Fosfat-Silika
Nutrasetika = produk-produk pangan dan obat yang terkait dengan
kesehatan
Suplemen = pelengkap ketika tubuh kekurangan suatu unsur zat gizi.
suplemen dapat berupa vitamin, mineral, atau zat gizi
lainnya seperti asam lemak, asam amino, dan zat esensial
(misalnya serat).
TCBSA = Thiosulfate Citrate Bile Salts Sucrose
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tingginya keanekaragaman organisme laut di Indonesia merupakan aset
penting dalam pengembangan bioteknologi laut. Sejauh ini pengembangan
bioteknologi di Indonesia dilakukan antara lain pada bidang pertanian, pangan
dan kesehatan maupun lingkungan. Produk alam dari laut dapat digunakan
untuk berbagai tujuan antara lain untuk bahan farmasi (antibakteri atau
antimikroba, antioksidan), bahan nutrisi (asam amino, asam lemak, mineral) dan
berbagai bahan lainnya (Nontji 1999).
Antimikroba atau antibakteri merupakan bahan yang dapat membunuh
atau menghambat pertumbuhan mikroba, sehingga sering digunakan untuk
bahan baku obat. Beberapa jenis organisme laut yang potensial sebagai sumber
obat antara lain makroalga, mikroalga, sponge, soft coral (Kobayashi dan Satari
1999). Mikroalga merupakan organisme berukuran mikroskopis yang mempunyai
peranan penting dalam kehidupan di perairan, dan mudah dibudidayakan karena
hidupnya tidak tergantung musim, tidak memerlukan tempat yang luas, dan tidak
memerlukan waktu yang lama untuk memanennya. Mikroalga memiliki banyak
keunggulan antara lain sebagai sumber pakan dan pangan yang mengandung
protein, lipid, serta sebagai bahan dasar obat-obatan atau farmasi (Borowitzka
1988). Mikroalga telah lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti
pigmen, lemak dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang potensial untuk
produk komersial di bidang akuakultur (Rosa et al. 2005).
Salah satu jenis mikroalga laut yang memiliki komponen aktif sebagai
antibakteri adalah Chaetoceros. Metting dan Pyne (1986) melaporkan bahwa
Chaetoceros mempunyai komponen aktif antibakteri golongan asam lemak.
Penelitian serupa menyebutkan bahwa ekstrak kasar intraselular Chaetoceros
gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard mempunyai komponen aktif
antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Bacillus subtilis,
Escherichia coli dan Pseudomonas sp (Pribadi 1998). Wang (1999) dalam
laporannya juga menyatakan bahwa ekstrak Chaetoceros mempunyai aktivitas
antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri patogen Gram positif
dan negatif. Mendiola et al. (2007) melaporkan bahwa mikroalga Chaetoceros
muelleri menghasilkan komponen aktif yang mempunyai aktivitas terhadap
2
bakteri E. coli dan S. aureus, serta kapang Candida albicans. Namun belum
diketahui mekanisme hambatan antibakteri dari Chaetoceros terhadap bakteri.
Chaetoceros, selain memiliki komponen antibakteri juga mengandung
nilai gizi seperti protein, lemak, karbohidrat. Renaud et al. (2002) melaporkan
bahwa Chaetoceros sp yang ditumbuhkan dalam medium Guillard pada suhu 25
oC mempunyai kandungan karbohidrat sebesar 13,1%, protein 57,3%, lemak
16,8%, serta PUFA. 19,5 %. Hasil penelitian Araujo dan Garcia (2005)
menunjukkan bahwa kandungan lemak dan karbohidrat dalam Chaetoceros
wighamii yang dikultivasi pada suhu 20 dan 25 oC lebih tinggi dibandingkan 30 oC.
Salinitas medium pertumbuhan Chaetoceros 25 dan 30 tidak mempengaruhi
pertumbuhan, densitas sel, biomasa dan klorofil (Raghavan et al. 2008).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi
biokimia mikroalga adalah nutrien dalam medium. Medium yang digunakan
untuk pertumbuhan Chaetoceros umumnya medium Guillard, namun harga
medium ini mahal, untuk itu perlu dicari medium pertumbuhan yang lebih murah.
Larastri (2006) melaporkan bahwa Chaetoceros dapat ditumbuhkan dalam
medium NPSi. Namun belum diketahui kandungan senyawa aktif dan senyawa
kimia dari Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi tersebut.
Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian komponen aktif
dan nutrisi dari Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia dan
dikultivasi dalam medium NPSi, sehingga pemanfataannya lebih optimal.
1.2 Rumusan Permasalahan
Medium yang sering digunakan untuk menumbuhkan Chaetoceros adalah
medium Guillard, namun harganya mahal. Oleh karena itu perlu dicari medium
dengan nutrien yang murah. Salah satu medium yang dapat digunakan untuk
pertumbuhan Chaetoceros adalah NPSi, yaitu medium yang terdiri dari urea,
TSP, silika ditambah dengan vitamin dan trace element. Medium NPSi ini lebih
murah harganya dan mudah didapat. Urea dan TSP digunakan sebagai sumber
N dan P, sedangkan dalam medium Guillard sumber N dan P diperoleh dari
NaNO3 dan NaH2PO4.H2O. Namun belum pernah diketahui pengaruh
penggunaan medium NPSi terhadap komponen aktif dan nutrisi yang dikandung
Chaetoceros. Pada penelitian ini Chaetoceros gracilis yang digunakan diperoleh
dari perairan Indonesia, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan pemanfaatan
sumberdaya alam Indonesia.
3
Senyawa antibakteri alami mudah mengalami kerusakan, oleh karena itu
perlu metode penyimpanan yang tepat. Salah satu metode penyimpanan yang
dapat digunakan adalah penyimpanan pada suhu rendah. Pada penelitian ini
ekstrak Chaetoceros gracilis disimpan pada suhu rendah sampai 6 bulan, untuk
dilihat stabilitas senyawa antibakterinya. Sel bakteri dapat mengalami kerusakan
setelah kontak dengan antibakteri, oleh karena itu dianalisis pengaruh ekstrak
Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan sel bakteri.
Chaetoceros mempunyai kandungan biokimia yang lengkap dan
digunakan untuk pakan alami larva. Mikroalga ini dapat dioptimalkan
pemanfaatannya, misalnya untuk suplemen atau nutrasetika. Komposisi nutrien
medium perttumbuhan berpengaruh terhadap komposisi biokimia mikroalga,
sehingga perlu dianalisis komposisi kimia Chaetoceros gracilis yang
ditumbuhkann dalam medium NPSi.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
(1) Memperoleh ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium
NPSI yang mempunyai aktivitas antibakteri
(2) Menguji aktivitas dan stabilitas senyawa aktif dari ekstrak Chaetoceros
gracilis
(3) Menganalisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan sel
bakteri
(4) Menentukan kandungan kimia dari biomasa mikroalga Chaetoceros gracilis
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penlitian ini adalah:
(1) Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi masih
mengandung senyawa aktif antibakteri
(2) Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan lama dalam suhu rendah masih
memiliki aktivitas antibakteri
(3) Sel bakteri uji mengalami kerusakan atau gangguan setelah kontak dengan
ekstrak Chaetoceros gracilis
(4) Biomasa Chaetoceros gracilis memiliki nutrisi yang lengkap walaupun
ditumbuhkan dalam medium NPSi
4
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini bermanfaat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
(Iptek), khsusunya eksplorasi mikroalga untuk bidang kesehatan. Untuk
menghasilkan Chaetoceros gracilis yang mempunyai komponen aktif dan
komponen nutrisi yang lengkap dengan harga lebih murah, Chaetoceros gracilis
dapat dikultivasi dalam medium NPSi.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Kajian yang dilakukan pada penelitian ini adalah :
(1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi
(2) Aktivitas dan stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis
(3) Kerusakan bakteri oleh senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis
(4) Kandungan senyawa kimia dari mikroalga Chaetoceros gracilis
1.7 Kerangka Pemikiran
Chaetoceros merupakan salah satu mikroalga laut berukuran mikroskopis
yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan di perairan, mudah
dibudidayakan, tidak tergantung musim, tidak memerlukan tempat yang luas, dan
tidak memerlukan waktu yang lama untuk memanennya. Mikroalga ini
mempunyai kandungan kimia yang meliputi protein, lemak, karbohidrat, asam
amino, asam lemak yang diperlukan untuk pertumbuhan. Selain itu, Chaetoceros
juga mempunyai komponen aktif antibakteri.
Pemanfaatan mikroalga Chaetoceros masih terbatas untuk pakan larva.
Untuk itu perlu dikembangkan pemanfaatan dari mikroalga misalnya untuk
bidang kesehatan. Medium yang digunakan untuk pertumbuhan Chaetoceros ini
biasanya medium Guillard, namun harganya mahal. Oleh karena itu perlu dicari
medium alternatif yang lebih murah. Salah satu medium yang dapat digunakan
untuk menumbuhkan Chaetoceros adalah NPSi. Medium NPSi ini dapat
digunakan untuk kultivasi Chaetoceros karena mengandung unsur nitrogen dari
urea, fosfat dari TSP dan silika dari sodium metasilika, yang merupakan unsur
utama untuk mikroalga ini. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian
Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia dengan tujuan: 1)
memperoleh ekstrak Chaetoceros gracilis yang mempunyai aktivitas antibakteri,
2) menguji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros
gracilis, 3) menganalisis kerusakan sel bakteri setelah dikontakkan dengan
ekstrak Chaetoceros gracilis, 4) menentukan komposisi kimia (nutrisi) dari
Chaetoceros gracilis.
5
Kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan dalam medium NPSi pada suhu
25-26 oC. Biomasa Chaetoceros gracilis diekstraksi menggunakan metanol,
selanjutnya diuji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri terhadap bakteri
patogen, serta dianalisis kerusakan sel bakteri setelah kontak dengan ekstrak
Chaetoceros gracilis. Biomasa Chaetoceros gracilis dianalisis senyawa kimianya
untuk diketahui kandungan nutrisinya. Dari hasil penelitian ini diperoleh informasi
bahwa Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi mempunyai
komponen aktif antibakteri yang stabil pada penyimpanan suhu rendah (-18 – (-
20)oC . Ekstrak Chaetoceros gracilis yang dikontakkan pada bakteri dapat
menyebabkan kerusakan sel bakteri. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan
dalam medium NPSi mempunyai komposisi nutrisi yang lengkap. Chaetoceros
gracilis yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat dalam bidang kesehatan.
Kerangka pemikiran penelitian disajikan pada Gambar 1.
6
Komponen aktif antibakteri (Metting dan Pyne 1986; Wang 1999, Pribadi 1999; Mendiola et al. 2007)
Penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
-
????
Penelitian yang dilakukan untuk disertasi
Gambar 1 Kerangka penelitian
Chaetoceros
Chaetoceros dapat tumbuh dalam medium NPSi (Larastri 2006)
Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam NPSi (murah)
Ekstrak
Aktivitas antibakteri
Potensi dan stabilitas senyawa antibakteri
Kandungan senyawa kimia
Pengaruhnya terhadap kerusakan bakteri
Komposisi kimia lengkap (Renaud et al. 2002; Araujo dan Garcia 2005; Raghavan & Gopinathan 2008)
Biomasa sel
Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi mempunyai komponen antibakteri dan komponen nutrisi lengkap
Medium Guillard
Nutrien mahal
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi Mikroalga
Mikroalga merupakan biota perairan yang potensial untuk dikembangkan
karena dapat menghasilkan produk komersial di bidang pangan, farmasi,
kosmetika, pertanian dan sebagainya. Organisme ini termasuk eukariot yang
mempunyai klorofil dan melakukan fotosintesis (microscopic photosynthetic
organisms), berukuran mikro, uniselular, dan berperan sebagai produsen primer
di dalam perairan, dan dikenal dengan primitive form of plant. Mikroalga dapat
hidup di perairan tawar, laut, maupun tempat lembab. Hingga saat ini mikroalga
masih banyak digunakan sebagai pakan.
Nutrisi mineral alga tidak jauh berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi.
Kebutuhan absolut umum untuk alga meliputi karbon, fosfor, nitrogen, sulfur,
potasium dan magnesium. Elemen-elemen seperti besi dan mangan diperlukan
dalam jumlah sedikit. Beberapa elemen seperti kobal, seng, boron, copper dan
molybdenum merupakan essential trace element. Selain mineral ini beberapa
alga juga memerlukan substrat organik seperti vitamin, faktor tumbuh untuk
pertumbuhan (Becker 1994).
Mikroalga laut dapat dikultivasi dengan menggunakan medium Guillard.
Agar pertumbuhan mikroalga dalam medium kultur bagus, maka lingkungan
harus dikondisikan sama dengan kebutuhan intrinsik organisme tersebut.
Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan alga antara
lain faktor fisik berupa cahaya dan suhu, serta faktor kimiawi yang digunakan
untuk sintesis struktur dari sel alga (Becker 1994). Kondisi yang mempengaruhi
pertumbuhan alga meliputi 1) iluminasi cahaya, yang mana untuk kultur alga
dapat digunakan lampu 40 Watt yang memberikan intensitas cahaya 3200 lux, 2)
suhu (suhu ruang atau suhu dingin), yang mana suhu dapat mempengaruhi
metabolisme organisme, dan 3) medium kultur. Fitoplankton laut dapat
ditumbuhkan dalam media air laut yang diperkaya atau media air laut sintetis
(Kungvankij 1988).
Media kultur alga dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu 1) media sintetis
lengkap, 2) air asal (natural waters) yang diperkaya dengan suplemen, dan 3)
limbah cair dari limbah industri atau fermentasi. Untuk kultur batch (sistem
tertutup) dimana suplai nutrien terbatas dan tidak ada penambahan atau
8
pengurangan dari luar, alga tumbuh melalui fase yang berbeda (Becker 1994).
Kurva pertumbuhan mikroalga disajikan pada Gambar 2.
Penjelasan:
(1) Fase adaptasi
(2) Fase pertumbuhan
(3) Fase penurunan
pertumbuhan
(4) Fase stasioner
(5) Fase kematian
Waktu
Gambar 2 Kurva pertumbuhan mikroalga (Fogg dan Thake 1987)
Berikut adalah uraian singkat tentang kelima fase pertumbuhan mikroalga
tersebut:
Fase 1. Pada fase ini medium diinokulasikan dengan organisme. Kondisi
pada awal biasanya berbeda dengan lingkungan sebelumnya. Organisme sering
tidak mudah beradaptasi dengan lingkungan baru dan mungkin menjadi tidak
nyaman. Selama pada fase adaptasi atau fase lag ini, kultur alga menyesuaikan
diri terhadap kondisi, laju pertumbuhan lebih rendah dan akan meningkat dengan
waktu kultivasi. Sel menjadi sensitif terhadap suhu atau perubahan lingkungan
lainnya.
Fase 2. Setelah kultur alga beradaptasi terhadap kondisi kultivasi yang
diberikan, sel masuk ke fase pertumbuhan. Selama periode ini intensitas cahaya
tidak terbatas dan perubahan konsentrasi nutrien masih kecil pengaruhnya.
Dalam sebuah kultur, dimana persediaan nutrien dan cahaya tidak terbatas,
biomas alga bertambah per waktu secara proposional. Jumlah masa sel
meningkat seiring terhadap waktu. Sel-sel membelah pada laju yang konstan.
Keadaan ini sangat penting dalam menentukan keadaan kultur.
Fase 3. Pada fase ini alga tumbuh pada kultur yang padat, tidak ada
penambahan atau pengurangan dari medium setelah inokulasi, penurunan
logaritmik mulai terjadi. Mineral juga mulai terbatas, akumulasi limbah toksik
meningkat.
9
Fase 4. Pada fase ini suplai cahaya per sel alga menjadi terbatas dan
peranan respirasi mulai meningkat. Kurva pertumbuhan mendekati nilai limit,
yaitu fase stasioner.
Fase 5. Fase ini merupakan berakhirnya fase stasioner, yang mana
populasi sel berkurang, sel-sel alga mulai mengeluarkan bahan organik,
pertumbuhan terhambat. Terjadinya fase ini disebabkan oleh umur kultur yang
sudah tua, suplai cahaya dan nutrien terbatas. Pada fase ini laju kematian
menjadi tinggi, populasi alga menjadi rusak secara sempurna.
2.2 Chaetoceros sp
Salah satu diatom laut yang bisa dikembangkan adalah Chaetoceros.
Chaetoceros gracilis termasuk dalam golongan Bacillariophyceae yang juga
sering disebut dengan golden brown algae. Mikroalga ini tergolong plankton
neritik, memiliki setae dan membentuk filamen sehingga dapat melayang di
permukaan, selnya tunggal dan tidak membentuk rantai, bercangkang cembung,
spora di tengah sel induk, dan non motil. Chaetoceros juga digunakan sebagai
pakan alami (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995; Sue et al. 1997). Morfologi sel C.
gracilis disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Morfologi sel Chaetoceros gracilis
Chaetoceros merupakan salah satu diatom yang diklasifikasikan
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995; BBLL 2002) sebagai berikut:
Phylum : Bacillariophyta
Kelas : Bacillariophyceae
Ordo : Bacillariales (Centrales)
Family : Chaetoceraceae
Genus : Chaetoceros
Chaetoceros ada yang berbentuk bulat dengan diameter 4-6 mikron dan
ada yang berbentuk segi empat dengan ukuran 6-12 x 7-18 mikron. Dinding sel
fitoplankton ini dibentuk dari silika. Karotenoid dalam diatom merupakan pigmen
10
yang dominan. Pada kultur, fitoplankton ini berwarna kuning keemasan hingga
coklat (BBLL 2002). Berkaitan dengan morfologi Chaetoceros, Wang (1999)
menyatakan bahwa sel secara individu dari Chaetoceros berbentuk kotak,
mempunyai dimensi lebar 12 sampai 14 mikron, dan panjang 15 sampai 17
mikron, dengan jarum di ujungnya. Sel ini bisa membentuk rantai sekitar 10
sampai 20 sel. Ketika dikultur dengan aerasi kuat, Chaetoceros tidak
membentuk koloni. Pada skala kultur besar, alga ini berwarna coklat keemasan,
sehingga disebut dengan golden brown alga.
Umumnya alga digunakan sebagai pakan untuk organisme perairan yang
memiliki nilai komersial penting, termasuk diatom yang ukurannya bervariasi.
Diatom yang banyak digunakan dalam marinkultur komersial adalah
Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana, Chaetoceros gracilis, C.
calcitrans dan sebagainya (BBLL 2002).
Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam batch pada suhu 25, 27, 30, 33
dan 35 oC memiliki kandungan karbohidrat (13,1; 12,2; 12,5; 11,3; dan 11 %),
protein (57,3; 57,1; 64,1; 62,5 dan 47,3 %), serta lemak (16,8; 14,8; 12,2; 12,4
dan 12,1 %). Asam lemak jenuh golongan PUFA yang dihasilkan sebesar 19,5;
20,8; 19; 19,8 dan 20,4 % (Renaud et al. 2002). Suhu merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi komposisi kimia Chaetoceros wighamii. Pada suhu
20 dan 25 oC, kandungan lipid dan karbohidrat lebih tinggi dibandingkan pada
suhu 30 oC, sedangkan protein tidak dipengaruhi oleh perbedaan suhu tersebut
(Araujo dan Garcia 2005).
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium f/2 Guillard, diberi
aerasi dan penambahan karbon, menggunakan lampu 20 Watt, suhu 22±1 ºC,
setelah 8 hari memiliki kepadatan sel sebesar 8,44±7.07x106 sel./L. Kandungan
karbohidrat terlarut 0.1±0.01 mg/L, protein terlarut 0.58±0.02 mg/L (Junior et al.
2007).
2.3 Antibakteri dari Mikroalga
Mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya
yang disebut dengan metabolit intraseluler. Selain itu juga menghasilkan produk
yang disekresikan ke medium tumbuhnya yang disebut metabolit ekstraseluler.
Substansi ekstraseluler dapat dihasilkan dari proses ekskresi sel yang sehat
maupun dari sel yang lisis atau mati, baik pada fase stasioner maupun fase mati
(Stewart 1974). Mikroalga yang melimpah di kolam dapat mengakibatkan bakteri
11
patogen dan koliform mati dengan cepat, hal ini menunjukkan bahwa mikroalga
memproduksi senyawa antibakteri (Fogg dan Thake 1987).
Penelitian mikroalga tentang aktivitas antibakterial, antifungal dan antiviral
masih dalam perkembangan, tetapi mempunyai prospek untuk dipromosikan
(Richmond 1990). Beberapa aplikasi yang potensial dari alga antara lain produksi
senyawa obat-obatan untuk industri farmasi dan pertanian sebagai bahan
biocontrol maupun biofertilizer.
Naviner et al. (1999) melaporkan bahwa Skeletonema costatum
mempunyai aktivitas bakterisida yang dapat menghambat bakteri-bakteri patogen
di bidang akuakultur seperti Vibrio mytili, Vibrio sp VRP dan Listonella
anguillarum. Berkaitan dengan ini hasil penelitian Nugraheny (2001) juga
menunjukkan bahwa Skeletonema mempunyai aktivitas penghambatan terhadap
Vibrio.
Berkaitan dengan antibakteri, Wang (1999) melaporkan bahwa budidaya
kekerangan dan moluska yang menggunakan Chaetoceros sebagai pakannya
menguntungkan karena Chaetoceros memberikan efek antibiotik alami yang
mana dapat membebaskan hewan air tersebut dari bakteri patogen Vibrio
sehingga sea food ini aman untuk dikonsumsi. Selain itu ekstrak alga laut
Chaetoceros menunjukkan aktivitas antibakteri yang dapat menghambat
methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin resistant
Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio cholerae. Antibakteri ini dihasilkan
oleh alga uniselular Chaetoceros dalam merespon keberadaan bakteri dan alga
lain.
Antibiotik dari alga umumnya belum banyak yang teridentifikasi, namun
beberapa telah diketahui komponen aktifnya. Ada yang terdiri atas asam lemak,
asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tannin, terpenoid, polisakarida
ataupun alkohol (Metting dan Pyne 1986). Asam lemak jenuh dan tak jenuh dari
mikroalga juga dapat menimbulkan aktifitas bakterisidal (Naviner et al. 1999).
Senyawa yang teridentifikasi dari ekstrak alga laut Chaetoceros memiliki aktivitas
antibakteri adalah asam lemak, yang diketahui dapat menghambat pertumbuhan
bakteri patogen seperti Staphylococcos, Enterococcus, Vibrio cholerae, Vibrio
vulnivicus (Wang 1999). Beberapa peneliti telah melakukan pemisahan awal
senyawa antimikroba dari beberapa jenis mikroalga (Tabel 1). Beberapa
mikroalga (diatom) yang juga mempunyai komponen aktif antibakterial antara lain
Skeletonema costatum, Thalassiosira spp, Bacteriastrum elegans, Chaetoceros
12
socialis, C. lauderi. Komponen yang mempunyai aktivitas antibakterial tersebut
tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986). Berkaitan dengan senyawa
antimikroba, Richmond (1990) melaporkan bahwa empat jenis diatom seperti
Chaetoceros lauderi, Chaetoceros pseudocurvisteus, Chaetoceros socialis dan
Chaetoceros fragilaris pinnata mempunyai aktivitas antifungal. Asam lemak yang
bertanggung jawab sebagai antibiotik dari diatom Asterinella japanica adalah
eicosapentaenoic (20:5) (Richmond 1990).
Chaetoceros gracilis mempunyai aktivitas penghambatan terhadap
bakteri B. subtilis, E. coli dan Pseudomonas sp (Pribadi 1998). Pribadi dalam
laporannya menyatakan bahwa kultivasi Chaetoceros gracilis dilakukan pada
suhu ruang, ekstraksi dilakukan menggunakan metanol dengan metode
maserasi. Pengujian aktivitas terhadap pertumbuhan bakteri dilakukan
menggunakan difusi agar. Kultur yang dipanen pada fase stasioner, dengan
konsentrasi ekstrak biomas yang digunakan 9,2 % dan sebanyak 10 µl yang
diteteskan pada paper disk, menghasilkan daya hambat terhadap Bacillus
subtilis 30 mm (daerah hambatan tidak bening), terhadap Escherichia coli 6,5
mm, terhadap Pseudomonas sp 7,5 mm. Aktivitas antibakteri dari C. gracilis ini
perlu dilakukan terhadap jenis bakteri lain.
Lailati (2007) melaporkan bahwa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan
dalam Guillard dan diekstraksi menggunakan pelarut heksan, etil-asetat, metanol
memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyi.
Kultivasi C. gracilis dengan lama penyinaran 24 jam pada suhu 25 oC
menghasilkan rendemen biomasa lebih besar dibanding 12 jam. Pemecahan sel
untuk tahap ekstraksi dapat digunakan glass bead, selain sonikator. Masih perlu
dilakukan pengujian aktivitas antibakteri terhadap mkroorganisme lain yang
merugikan dan aplikasi senyawa antibakteri.
Penelitian senyawa antibakteri dari Chaetoceros juga dilakukan oleh
beberapa peneliti. Lipid antibiotic yang diekstraksi dari sel utuh diatom laut
Chaetoceros lauderi (Ralfs) dan telah teridentifikasi sebagai asam lemak tidak
jenuh memiliki sensitivitas terhadap beberapa bakteri terestrial Gram positif dan
bakteri laut Gram negatif berbentuk basil (Gauthier et al. 1978).
Hasil penelitian lain yang sejenis menunjukkan bahwa alga laut
Chaetoceros memiliki aktivitas antibakteri dengan komponen aktifnya golongan
asam lemak. Ekstrak aktif antibakteri yang diperoleh dari alga laut Chaetoceros
yang diekstraksi menggunakan pelarut organik metanol dapat menghambat
13
bakteri methicilline resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vancomycin
resistant Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio cholerae, Pseudomonas
aeruginosa, Listeria monocytogenes, Shigella dysenteriae, Streptococcus
faecalis, Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Micrococcus megmatis, Streptococcus
pyrogenes, Proteus vulgaris dan Salmonella typhimurium. Konsentrasi minimum
penghambatan untuk ekstrak dari Chaetoceros yang memiliki respon terhadap
methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah 10-15 µg/disk dan 20
µg/disk untuk vancomycin resistant Enterococcus (VRE). Selain itu juga
dilaporkan bahwa pada konsentrasi 100 µg/disk ekstrak dapat menghambat
Pyogenes vulgaris, Carynobacter xerosis, Shigella dysenteriae Streptococcus
mitis, Streptococcus faecalis, Bacillus subtilis, Bacillus cereus (Wang 1999).
Akan tetapi mekanisme hambatan senyawa antibakteri ini belum diketahui. Hasil
penelitian tentang pemisahan awal antimikroba dari beberapa mikroalga
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil pemisahan awal komponen antimikroba dari beberapa mikroalga
Spesies Mikroorganisme Zona hambatan (mm)
Desmococcus olivaceus (324)
Staphylococcus aureus* 6.7 ± 0.3
Desmococcus olivaceus (343)
Pseudomonas syringiae*
5.3 ± 1.1
Chlorella minutissima (357) Staphylococcus aureus* 6.3 ± 1.1
Chlorella minutissima (360) Staphylococcus aureus* 6.2 ± 0.1
Chlorella minutissima (361) Staphylococcus aureus* 8.0 ± 0.0
Chlorella sp (313) Staphylococcus aureus* 6.5 ± 0.3
Chlorella sp (381) Staphylococcus aureus* 5.7 ± 0.9
Chlorella sp (458) Staphylococcus aureus* 7.7 ± 0.8
Scenedesmus sp (469) Staphylococcus aureus* 5.0 ± 1.3
Scenedesmus sp (540) Altenaria sp* 10.0 ± 0.0
Chaetoceros gracilis
Escherichia coli ** Pseudomonas sp** Bacillus subtilis**
6.5 7.5 7.0
(hambatan tidak bening)
Sumber: * Ordogs et al. (2004) ** Pribadi (1998)
14
2.4 Mekanisme Kerja Senyawa Antibakteri
Senyawa aktif adalah suatu senyawa yang mempunyai aktivitas biologis
terhadap organisme hidup, misalnya antimikroba, antikanker, antioksidan, dan
sebagainya. Senyawa aktif ini dapat diperoleh dari bahan alam, dan sering
dikenal dengan senyawa bahan alami (natural products).
Senyawa antibakteri adalah senyawa yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Bahan kimia yang dapat membunuh
organisme disebut sidal, misalnya bakterisidal, fungisidal dan algasidal. Bahan
bakterisidal merupakan bahan kimia yang memiliki aktivitas membunuh bakteri,
sedangkan bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan organisme tetapi
tidak membunuh organisme tersebut disebut statik, misalnya bakteriostatik,
fungistatik (Madigan et al. 2003). Senyawa antimikrobial diproduksi secara alami
oleh organisme yang mempunyai sifat toksik terhadap mikroalga, bakteri, fungi,
virus ataupun protozoa (Metting dan Pyne 1986).
Senyawa antibakteri sebagai salah satu bahan antimikroba memiliki 3
macam bentuk kerja, yaitu bakteriostatik, bakterisidal dan bakterilitik.
Bakteriostatik adalah antibiotik yang menghambat pertumbuhan dan reproduksi
bakteri tanpa membunuhnya. Mekanisme kerja zat antibakteri dengan aktifitas
bakteriostatik adalah menghambat pertumbuhan bakteri tetapi tidak
menyebabkan kematian. Bahan bakteriostatik (bacteriostatic agents) seringkali
menghambat sintesa protein dan bekerja dengan cara mengikat ke ribosom,
akan tetapi ikatannya tidak kuat dan ketika konsentrasi dari bahan diturunkan,
bahan menjadi terlepas dari ribosom dan pertumbuhan mulai lagi. Bakterisidal
adalah antibiotik yang mampu membunuh bakteri. Mekanisme kerja zat
antibakteri dengan aktivitas bakterisidal adalah membunuh sel bakteri, tetapi
tidak terjadi lisis atau pecahnya sel. Bahan bakterisidal adalah kelompok bahan
kimia yang umumnya mengikat kuat pada target seluler. Mekanisme kerja zat
antibakteri dengan aktivitas bakterilitik adalah menyebabkan kematian dengan
cara sel lisis. Penghancuran sel terlihat dengan berkurangnya jumlah sel atau
dalam bentuk keruh setelah ditambahkan bahan antibakteri. Bahan bakterilitik
meliputi antibiotik yang menghambat sintesa dinding sel seperti penisilin dan juga
seperti bahan kimia yang dapat menghancurkan membran sitoplasma (Madigan
et al. 2003). Kerja senyawa antibakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain konsentrasi senyawa antibakteri yang digunakan, jumlah dan spesies bakteri,
suhu, keberadaan bahan organik lain, dan pH (Pelczar dan Chan 2005).
15
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antimikroba atau antibiotik dibagi
menjadi beberapa kelompok (Madigan et al. 2003), yaitu:
(1) Menghambat sintesis dinding sel mikroba
Antibiotik akan menghambat proses sintesis dinding sel. Tekanan osmotik
dalam sel mikroba lebih tinggi daripada di luar sel, sehingga kerusakan
dinding sel mikroba akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan
dasar dari efek bakterisidal terhadap mikroba yang peka
(2) Antimikroba yang mengganggu keutuhan (fungsi) membran sel mikroba
Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen dari
dalam sel mikroba
(3) Antimikroba menghambat sintesis protein sel mikroba
(4) Antimikroba yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba
Antimikroba yang memiliki mekanisme kerja seperti ini pada umumnya
kurang mempunyai sifat toksisitas selektif karena bersifat sitotoksis
terhadap sel tubuh manusia
Berdasarkan kekuatan membunuh bakteri, suatu antibiotik diatur oleh 3
faktor (Bintang 1993), yaitu :
(1) Kadar antibiotik
Banyaknya senyawa antibiotik yang terserap akan meningkat bila kadarnya
dinaikkan
(2) Lamanya kontak
Perubahan struktur atau metabolisme sel pada mulanya dapat bersifat
reversible, namun akan berubah menjadi irreversible bila perlakuannya dalam
jangka waktu yang lama
(3) Kepadatan suatu sel bakteri
Makin padat sel bakteri makin banyak antibiotik yang dibutuhkan, akan tetapi
tergantung pada medium penguji antibiotik tersebut
Mekanisme penghambatan antibakteri terhadap pertumbuhan bakteri
dapat berupa kerusakan dinding sel yang mengakibatkan lisis atau
penghambatan sintetis dinding sel, pengubahan permeabilitas membran
sitoplasma sehingga menyebabkan keluarnya bahan makanan melalui dinding
sel, denaturasi protein sel, dan perusakan sistem metabolisme di dalam sel
dengan cara penghambatan kerja enzim intraselular (Pelczar dan Reid 1972).
Penghambatan aktivitas mikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) gangguan pada senyawa
16
penyusun dinding sel, 2) peningkatan permeabilitas membran sel yang
menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, 3) menginaktifkan enzim
metabolik, dan 4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Parhusip
2006). Terjadinya proses tersebut karena pelekatan senyawa antimikroba pada
permukaan sel mikroba atau senyawa tersebut berdifusi ke dalam sel (Kanazawa
et al. 1995 diacu dalam Parhusip 2006).
Hal-hal yang mempengaruhi kerja zat antibakteri tersebut antara lain
konsentrasi zat antibakteri, waktu kontak antara bahan dengan zat antibakteri,
jumlah bakteri, suhu, sifat-sifat bakteri, sifat-sifat medium serta sifat-sifat zat
antibakteri (Pelczar dan Chan 2005).
Penggunaan antibiotik dibatasi baik jenis maupun jumlahnya.
Kloramfenikol merupakan antibiotik yang dapat menghambat bakteri Gram positif
dan negatif. Penggunaan kloramfenikol terbatas karena selain dapat merusak
ribosom mitokondria pada sel mamalia ( Nugraheny 2001), juga dapat merusak
eritrosit pada manusia (Baticados dan Paclibare 1992).
Pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan
kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan
komponen antibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau
mikostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Suatu komponen akan bersifat
mikrosidal atau mikostatik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur
yang digunakan (Bloomfield 1991 diacu dalam Parhusip 2006).
2.5 Bakteri Patogen
Bakteri patogen adalah mikroorganisme yang dapat menimbulkan suatu
penyakit baik pada hewan maupun manusia. Bakteri patogen tersebut ada yang
tergolong Gram positif maupun Gram negatif. Bakteri patogen yang sering
mengkontaminasi makanan dikenal dengan foodborne disease. Sumber
kontaminan bakteri patogen antara lain manusia, hewan maupun lingkungan.
Jay (2000) menyatakan bahwa patogen-patogen dapat ditularkan dari kotoran
yang terkontaminasi melalui jari-jari pengolah bahan pangan yang tidak saniter,
insekta, atau dari air. Madigan et al. (2003) menyebutkan bahwa umumnya
mikroorganisme pada bahan pangan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu
mikroorganisme pembusuk pada bahan pangan (food poisoning) dan
mikroorganisme penyebab infeksi pada bahan pangan (food infection). Mikroba
patogen bertanggung jawab terhadap penyakit yang ditularkan melalui bahan
pangan. Infeksi bahan pangan (food infection) disebabkan oleh bahan pangan
17
yang terkontaminasi patogen. Berkaitan dengan mikroorganisme patogen, Huss
et al. (2003) menyatakan bahwa bacterial foodborne pathogens dapat
digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu food intoxication dan foodborne
bacterial infection. Penyakit yang ditularkan melalui bahan pangan (foodborne
disease) terjadi di negara-negara maju seperti USA. Peristiwa ini terjadi setelah
konsumen mengkonsumsi makanan dari laut (seafood).
2.5.1 Bakteri Gram positif
Bakteri patogen Gram positif yang akan digunakan pada penelitian ini
meliputi Staphylococcus aureus dan Bacillus cereus. Bakteri patogen ini sering
mengkontaminasi bahan pangan. Struktur dinding sel bakteri Gram positif
berbeda dengan dinding sel bakteri Gram negatif. Pada bakteri Gram positif, 90%
dari dinding selnya terdiri dari lapisan peptidoglikan, sedangkan lapisan tipis
lainnya adalah asam teikoat. Asam teikoat mengandung unit-unit gliserol atau
ribitol yang terikat satu sama lain oleh ester fosfat, dan biasanya mengandung
gula lainnya serta D-alanin. Karena asam teikoat bermuatan negatif, lapisan ini
juga mempengaruhi muatan negatif pada permukaan sel (Fardiaz 1989). Selain
mengandung asam teikoat, dinding sel bakteri Gram positif juga mengandung
asam teikuronat yang bermuatan negatif. Molekul ini bersama lipoteikoat
membentuk mikrofibril yang memudahkan pelekatan (Madigan et al. 2003).
(1) Staphylococcus aureus
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang dapat menyebabkan
keracunan stapilokokus. Bakteri ini termasuk dalam famili Micrococcaceae,
umumnya membentuk pigmen berwarna kuning keemasan, memproduksi
koagulase, dapat memfermentasi glukosa dan manitol dengan memproduksi
asam dalam keadaan anaerobik. Sel bakteri ini berbentuk bulat (kokus) dan kecil
dengan ukuran 0,5-1,0 mikron, tidak membentuk spora, katalase positif, biasanya
selnya terdapat dalam kelompok seperti anggur, tetapi ada juga yang terdapat
secara terpisah (tunggal) atau dalam jumlah empat sel (tetrad). Staphylococcus
aureus hidup sebagai saprofit di dalam saluran pengeluaran lendir dari tubuh
manusia dan hewan seperti hidung, mulut, tenggorokan, dan dapat dikeluarkan
pada waktu bersin atau batuk. Bakteri ini juga sering terdapat pada pori-pori dan
permukaan kulit, kelenjar keringat dan saluran usus (Fardiaz 1983).
Kebanyakan bakteri Staphylococcus aureus bersifat patogen dan
memproduksi enterotoksin yang tahan panas, dimana ketahanan panasnya
18
melebihi sel vegetatifnya. Beberapa galur terutama yang bersifat patogenik
memproduksi koagulase (menggumpalkan plasma), bersifat proteolitik, lipolitik
dan beta hemolitik. Spesies lainnya, yaitu Staphylococcus epidermidis, biasanya
tidak bersifat pathogen dan merupakan flora normal yang terdapat pada kullit
tangan dan hidung. Staphylococcus aureus memproduksi pigmen berwarna
kuning sampai oranye. Bakteri ini membutuhkan nityrogen organic (asam amino)
untuk pertumbuhannya dan bersifat anaerobic fakultatif (Fardiaz 1989).
Bakteri Staphylococcus aureus merupakan penyebab kerusakan bahan
pangan karena bila tumbuh pada bahan pangan dapat memproduksi
enterotoksin yang tahan panas. Enterotoksin ini akan dikeluarkan ke medium
atau bahan pangan. Jika makanan yang mengandung toksin ini masuk dalam
pencernaan, maka akan terjadi muntah-muntah, mual dan diare setelah 1- 6 jam
(Madigan et al. 2003).
Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif berbentuk kokus,
namanya berasal dari warna kekuningan dari koloni yang terbentuk pada
beberapa media. Secara normal S. aureus terdapat pada hidung dan kadang-
kadang pada kulit, bahkan dapat menyebabkan infeksi kulit. Bakteri ini juga
ditemukan dalam jumlah sedikit di saluran usus. Beberapa strain S. aureus
dapat memproduksi eksotoksin yang dapat menyebabkan foodborne disease.
Pertumbuhan bakteri ini dalam makanan dapat terjadi jika makanan disimpan
pada suhu ruang dalam waktu yang lama (Salyers dan Whitt 1994).
Rahayu (1999) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus merupakan
mikroba flora normal yang terdapat pada permukaan tubuh, rambut, mulut,
tenggorokan. S. aureus banyak mencemari pangan karena tindakan kurang
higienis dalam penanganan pangan.
(2) Bacillus cereus
Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang dan
berspora, secara normal berada dalam tanah, debu dan air. Bakteri ini
memproduksi berbagai toksin ekstraselular dan enzim, termasuk lecithinase,
protease, β-lactamase, toksin yang membunuh tikus, cereolycin dan hemolysin.
Bakteri ini tumbuh cepat pada makanan yang disimpan pada suhu 30-40 oC (Jay
2000). Spora bakteri ini resisten terhadap pengeringan dan mudah menyebar
dengan debu (Huss et al. 2003).
Bacillus cereus bersifat aerob, berbentuk batang, berspora, secara
normal ada dalam tanah, debu, dan air. Bakteri ini masuk golongan mesofili,
19
pada suhu 4-5 oC pertumbuhannya tidak baik. Beberapa strain yang
memproduksi toksin dapat tumbuh pada suhu 4-6 oC. Bacillus cereus dapat
ditekan pertumbuhannya pada suhu rendah (chilling). Bakteri ini dapat
menyebabkan keracunan, toksinnya menyebabkan diare (Jay 2000).
2.5.2 Bakteri Gram negatif
Bakteri Gram negatif yang akan digunakan pada penelitian ini antara lain
Escherichia coli dan Vibrio harveyi. Escherichia coli merupakan bakteri patogen
pada manusia, sedangkan Vibrio harveyi merupakan bakteri patogen yang sering
menyebabkan kematian pada udang.
Bakteri Gram negatif memiliki lapisan luar dinding sel yang mengandung
5-10% peptidoglikan, selebihnya terdiri dari protein, lipopolisakarida dan
lipoprotein. Lipopolisakarida (LPS) tidak hanya teridiri dari fosfolipid, tetapi juga
mengandung polisakarida dan protein. Dinding sel bakteri Gram negatif
mengandung tiga polimer yang terletak di luar lapisan peptidoglikan, yaitu
lipoprotein, porin matriks dan lipopolisakarida. Lipopolisakarida dinding sel
bakteri Gram negatif terdiri atas suatu lipid kompleks yang disebut lipid A. Lipid
A terdiri atas suatu rantai satuan disakarida glukosamin yang dihubungkan
dengan ikatan pirofosfat, dimana merupakan tempat melekatnya sejumlah asam
lemak berantai panjang (Madigan et al. 2003).
(1) Vibrio harveyi
Vibrio merupakan bakteri patogen yang bisa hidup bebas di perairan laut
dan dapat menyebabkan infeksi pada manusia maupun hewan. Kontaminasi
bakteri ini bisa terjadi karena lingkungan maupun makanan yang berasal dari
perairan yang tercemar oleh bakteri tersebut. Dalsgaard (2001) menyatakan
bahwa ada lebih dari 12 Vibrio spp yang diketahui berhubungan dengan penyakit
pada manusia.
Berkaitan dengan bakteri patogen, Munn (2004) juga menyatakan bahwa
beberapa Vibrio sp menyebabkan kerugian di hatchery dan budidaya udang.
Kebanyakan yang menjadi masalah adalah Vibrio harveyi dan Vibrio penaecida.
Genus Vibrio merupakan agen penyebab vibriosis yang menyerang hewan laut
seperti ikan, udang dan kerang-kerangan (Sunaryanto dan Mariam 1986 diacu
dalam Suwanto et al. 1999). Spesies Vibrio yang berpendar pada umumnya
menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar.
Bakteri-bakteri tersebut adalah Vibrio harveyi dan Vibrio splendidus (Lavilla-
20
Pitogo 1995) serta Vibrio albensis (Suwanto et al. 1999). Luminous vibriosis
telah dilaporkan menyebabkan mortalitas udang di Philipina (Lavilla-Pitogo 1995)
dan penyakit ini disebabkan oleh bakteri yang menjadi masalah pada industri
udang tidak hanya di Philipina tetapi juga negara lain.
Hampir semua luminescent vibriosis mempunyai karakteristik fisiologi dan
morfologi yang serupa, yaitu: Gram negatif, berbentuk batang pendek,
memfermentasi glukosa, oksidase dan katalase positif, motil, memproduksi H2S
dan indole, mempunyai koloni berwarna hijau pada media TCBSA dengan suhu
28-37 oC (Naviner et al. 1999). Aktivitas dan pertumbuhan Vibrio harveyi secara
umum dipengaruhi oleh faktor abiotik. Faktor tersebut antara lain suhu, tekanan
osmose, cahaya, dan radiasi, keasaman, salinitas, kandungan bahan organik
dan zat bakteriostatik serta bakterisida (Nugraheny 2001).
(2) Escherichia coli
Escherichia coli merupakan bakteri yang umumnya menghuni
pencernaan hewan. Bentuknya pendek, batang Gram negatif dan
diklasifikasikan sebagai enteric bacteria. Bakteri patogen ini dapat menyebabkan
penyakit diare dan infeksi saluran urin. Enterohemorrhagic E. coli (EHEC)
memproduksi verotoxin, yaitu suatu enterotoksin yang juga diproduksi Shigella
dysenteriae, Shiga toksin. E. coli O157:H7, tumbuh dalam usus kecil dan
memproduksi verotoxin yang dapat menyebabkan diare berdarah dan gagal
ginjal. Pada umumnya infeksi terjadi pada orang yang mengkonsumsi daging
yang tidak dimasak atau kurang matang yang terkontaminasi bakteri ini,
biasanya daging cincang. Penyakit diare sering terjadi pada anak-anak di
negara berkembang. Metode yang bisa digunakan untuk mencegah infeksi
bakteri ini antara lain mengkonsumsi bahan pangan yang matang. Amerika
Serikat telah mengijinkan penggunaan iradiasi untuk daging cincang agar
tehindar dari infeksi bakteri ini (Madigan et al. 2003).
Tidak semua Escherichia coli bersifat patogen dan strain yang berbeda
menyebabkan perbedaan penyebab penyakit. Oleh karena itu membedakan
strain dan kelompok ini sangat penting, sehingga strain yang menyebabkan
penyakit perlu diidentifikasi. Untuk membedakan sistim klasifikasi serologi,
digunakan bentuk permukaan dari E. coli: O antigen dari LPS (O) dan flagella (H).
Antigen O identik dengan serogrup dan antigen H identik dengan serotype
(Salyers dan Whitt 1994).
21
Escherichia coli merupakan penyebab acute watery diarrhea yang sering
menimpa pendatang baru atau orang asing di negara-negara tertentu.
Terjadinya strain EHEC dalam daging, susu, hasil ternak dan hasil laut cukup
tinggi. Strain EHEC masih mampu hidup selama 18 hari pada suhu 4 oC dalam
apel cincang dengan pH 3,91 – 5,11. Bakteri ini juga termasuk tidak tahan panas,
tidak tumbuh pada pada NaCl ≥ 8,5% (Jay 2000).
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian yang terdiri dari beberapa tahap dilakukan pada tahun 2007-
2008. Tahap kultivasi Chaetoceros gracilis, pemanenan, pengeringan biomasa,
dan ekstraksi komponen aktif antibakteri, analisis aktivitas antibakteri, analisis
kerusakan sel bakteri, dan analisis kandungan kimia dlakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Hasil Perairan dan Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan,
Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB, Bogor dan Laboratorium di
lingkungan IPB. Pengamatan morfologi sel bakteri yang menggunakan Scanning
Electron Microscopy (SEM) dilakukan di Laboratorium Bidang Biologi, LIPI
Cibinong, sedangkan analisis kandungan kimia seperti komposisi asam amino
menggunakan HPLC dan asam lemak menggunakan GC dilakukan di
Laboratorium Terpadu IPB.
3.2 Bahan dan Alat
(1) Bahan
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah mikroalga laut
jenis Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian
Oseanografi, LIPI, Jakarta. Mikroalga ini terlebih dahulu disegarkan, selanjutnya
ditumbuhkan di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi
Hasil Perairan, FPIK-IPB.
Beberapa bahan lain yang digunakan pada penelitian ini meliputi bahan
untuk proses kultivasi mikroalga Chaetoceros gracilis, yaitu urea, tripple super
fosfat (TSP), silika, vitamin, trace element. Bahan untuk ekstraksi (metanol dan
heksan), bahan untuk karakterisasi komponen aktif yang meliputi Mueller Hinton
Agar (MHA), Nutrient Broth (NB), bahan untuk analisis kerusakan bakteri, serta
bahan-bahan untuk analisis komposisi kimia dan fitokimia biomasa Chaetoceros
gracilis.
Bakteri yang digunakan pada penelitian ini meliputi beberapa jenis, yaitu
bakteri Gram negatif yang meliputi Vibrio harveyi (diperoleh dari Balai Riset
Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor dan Departemen Budidaya Perikanan,
Institut Pertanian Bogor) dan Escherichia coli ATCC 25922 (diperoleh dari
Departemen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor), serta bakteri Gram positif yang meliputi
23
Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus ATCC 13091
(diperoleh dari Departemen Kesehatan Masyarakat Veteriner, Institut Pertanian
Bogor). Bakteri-bakteri ini disegarkan dalam Nutrien Agar, sedangkan Vibrio
harveyi disegarkan dalam medium sea water complete (SWC)
(4) Peralatan
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari peralatan untuk
kultivasi Chaetoceros gracilis (erlenmeyer, akuarium, pompa udara, lampu dan
sebagainya), peralatan untuk pemanenan biomasa (filter keramik, pompa, freeze
dryer dan sebagainya) serta alat untuk ekstraksi komponen aktif (vortex,
magnetic stirrer, evaporator dan sebagainya). Selain itu juga digunakan
peralatan untuk analisis aktivitas antibakteri (inkubator, clean bench, oven
sterilisasi, autoklaf, refrigeraor dan sebagainya), peralatan untuk analisis
kerusakan bakteri (sentrifus, refrigerator, freezer dan sebagainya), peralatan
untuk analisis morfologi sel bakteri (mikroskop elektron) serta beberapa
peralatan untuk analisis kandungan kimia (HPLC, GC, AAS, Gen Quant).
3.3 Tahapan Penelitian dan Analisis
Penelitian ini dibagi menjadi empat percobaan, yaitu:
(1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi
(2) Ekstraksi, uji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak
Chaetoceros gracilis
(3) Analisis kerusakan bakteri setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros
gracilis
(4) Analisis komposisi kimia dari biomasa Chaetoceros gracilis.
3.3.1 Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSia
Tahap 1 Kultivasi mikroalga C. gracilis
Mikroalga ditumbuhkan pada medium NPSi dalam flask yang dilengkapi
dengan aerasi terus menerus, lampu neon 20 Watt (2500 lux) yang dinyalakan
terus menerus dan dilakukan pada ruangan dengan suhu 25 -26 oC. Komposisi
medium NPSi disajikan pada Lampiran 1.
Tahap 2 Pemanenan Chaetoceros gracilis
Kultur Chaetoceros gracilis dipanen pada hari ke 7 untuk dipisahkan
biomasanya. Pemanenan dilakukan menggunakan filter keramik pori 0,3 µm.
Biomasa yang diperoleh selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer.
24
Produksi biomasa sel ditentukan dengan menghitung berat biomasa kering.
Analisis rendemen biomasa Chaetoceros gracilis dilakukan dengan menghitung
rendemen biomasa dengan cara membagi berat kering tersebut dengan volume
panen kultur.
Tahap 3 Penentuan kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis
Penghitungan sel dalam kultur dilakukan dengan cara melakukan
sampling setiap hari sampai kultur mencapai fase kematian. Penghitungan atau
analisis jumlah sel dilakukan dengan metode hitungan langsung menggunakan
hemasitometer dan mikroskop (Hadioetomo 1993). Kurva pertumbuhan
Chaetoceros gracilis ditentukan dengan melakukan penghitungan jumlah setiap
hari, selanjutnya dibuat kurva pertumbuhan.
3.3.2 Ekstraksi, uji aktivitas dan stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis
Tahap 1 Ekstraksi senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis
Ekstraksi senyawa antibakteri dilakukan dengan menggunakan metanol.
Metode ekstraksi mengacu pada laporan Wang (1999), Naviner et al. (1999),dan
Nugraheny (2000), yang dimodifikasi. Tahap ekstraksi dilakukan dengan metode
maserasi, yaitu sampel direndam dalam pelarut yang digunakan. Pada
penelitian ini, metode maserasi dikombinasi dengan pengadukan (stirring)
menggunakan magnetic stirrer. Sebelum tahap maserasi, biomasa Chaetoceros
gracilis dipecah selnya dengan menggunakan glass beads dan vorteks Tujuan
pemecahan sel ini antara lain agar komponen aktif yang ada di dalam sel mudah
keluar sehingga diperoleh lebih banyak.
Tahap 2 Analisis aktivitas antibakteri dari ekstrak mikroalga Chaetoceros gracilis pada bakteri uji
Ekstrak dari Chaetoceros gracilis yang diperoleh diaplikasikan pada
beberapa jenis bakteri patogen Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan
Vibrio harveyi ) serta bakteri Gram positif (Bacillus cereus ATCC 13091 dan
Staphylococcus aureus ATCC 25923)
1) Persiapan media pertumbuhan bakteri uji
Media Mueller Hinton Broth (MHB) disiapkan untuk inokulasi bakteri,
kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi masing-masing sebanyak 10 ml.
Media MHB diperlukan untuk menumbuhkan bakteri uji dalam media cair. Media
yang digunakan untuk uji aktivitas antibakteri adalah Mueller Hinton Agar (MHA)
25
yang sebelumnya disiapkan dalam tabung reaksi sebanyak 20 ml. Kedua media
ini disterilkan sebelum digunakan.
2) Pengujian senyawa antibakteri
Pengujian antibakteri dilakukan menggunakan metode difusi agar, dimana
ekstrak diteteskan ke dalam paper disc, selanjutnya diletakkan ke dalam media
MHA beku yang telah mengandung bakteri. Kemudian diinkubasi selama 18-24
jam pada suhu 37 oC, selanjutnya diukur diameter hambatan yang terbentuk.
Adanya zona bening menunjukkan adanya hambatan terhadap pertumbuhan
bakteri yang diuji.
Tahap 3 Analisis potensi daya hambat relatif antibakteri terhadap berbagai antibiotik komersial
Potensi antibakteri dilakukan dengan membandingkan diameter
hambatan yang terbentuk di sekitar paper disc yang telah diberi ekstrak dengan
paper disc lain yang mengandung antibiotik sintetis komersial (kloramfenikol,
tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan ampisilin) dengan konsentrasi sama. Masing-
masing uji dilakukan 2 kali ulangan, masing-masing duplo. Potensi dapat diukur
dengan rumus:
Diameter hambatan ekstrak
% Potensi daya hambat = x100 % Diameter hambatan antibiotik
Tahap 4 Analisis stabilitas senyawa antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis
Stabilitas ekstrak dilakukan untuk mengetahui aktivitas antibakteri dari
ekstrak C. gracilis yang disimpan sampai 6 bulan pada suhu -18 – (-20 oC).
Ekstrak C. gracilis disimpan selama 1,2 3, dan 6 bulan. Ekstrak diuji aktivitas
antibakterinya menggunakan metode difusi agar, seperti pada uji aktivitas
antibakteri.
3.3.3 Analisis pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kerusakan bakteri
Kerusakan bakteri oleh ekstrak Chaetoceros gracilis dilakukan dengan
cara mengkontakkan bakteri dengan ekstrak Chaetoceros gracilis. Selanjutnya
dianalisis kebocoran sel bakteri, kerusakan dinding sel bakteri, dan kerusakan
morfologi sel bakteri.
26
Tahap 1 Analisis kebocoran sel bakteri (Bunduki et al. 1995)
Pengamatan kebocoran sel dilakukan untuk mempelajari bagaimana
ekstrak mengganggu permeabilitas membran sel. Mekanisme perusakan
membran sel merupakan salah satu tanda tidak normalnya sel setelah ada
perlakuan ekstrak. Analisis kebocoran sel dilakukan dengan menggunakan
Spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm dan 260 nm. Panjang
gelombang 280 nm digunakan untuk mengukur protein sel yang bocor,
sedangkan panjang gelombang 260 nm untuk mengukur kadar asam nukleat
yang bocor.
Tahap 2 Analisis N-asetil-glukosamin (Reissig yang diacu oleh Bintang 1993)
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan pengaruh
antibakteri terhadap dinding sel bakteri dengan cara mengukur kadar N-asetil-
glukosamin sebagai prazat mukopeptida pembentuk dinding sel.
Tahap 3 Analisis morfologi sel bakteri
Analisis morfologi sel dilakukan untuk mempelajari morfologi sel akibat
penggunaan ekstrak antibakteri. Morfologi sel yang dikontakkan dengan ekstrak
maupun tidak dikontakkan dengan ekstrak diamati menggunakan Scanning
Electron Microscopy (SEM).
3.3.4 Analisis kandungan senyawa kimia Chaetoceros gracilis
Tahap 1 Analisis kandungan protein, lemak dan karbohidrat
Analisis kandungan protein, lemak dan karbohidrat dilakukan pada
biomasa Chaetoceros gracilis menggunakan metode Lowrey et al. (1951), Blight
dan Dryer (1959), dan Kochert (1978) yang diacu dalam Chrismada (1993)
Tahap 2 Analisis komposisi asam amino
Analisis komposisi asam amino dilakukan pada biomasa Chaetoceros
gracilis dengan menggunakan High Performance Liquid Chromatography
(Shimadzu) Kondisi alat yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kolom : Ultra techspere
Laju aliran fase mobil : 1 mL/menit
Detektor : Fluoresensi
Fase mobil : Bufer A (terdiri dari Na-asetat 0,025 M, Na-EDTA
0,05 %, metanol 9%) dan buffer B (terdiri dari metanol 95%)
27
Tahap 3 Analisis komposisi lemak
Analisis komposisi asam lemak dilakukan pada biomasa Chaetoceros
gracilis dengan menggunakan Gas Chromatography (Shimadzu). Kondisi alat
yang digunakan adalah sebagai berikut:
Kolom : Cyanopropil methyl sil (capillary column)
Laju alir N2 : 20 mL/menit
Laju alir H2 : 30 mL/menit
Laju alir udara : 200 – 250 mL/menit
Suhu injektor : 220 oC
Suhu detector : 240 oC
Suhu kolom : 125 oC
Volume injek : 1 µL
Diameter kolom : 0,25 mm
Tahap 4 Analisis kandungan mineral
Analisis komposisi kandungan mineral dilakukan pada biomasa
Chaetoceros gracilis menggunakan Atomic Absorbtion Spectrophotometer
(Hitachi Z 5000).
Tahap 5 Analisis fitokimia dan asam nukleat
Analisis fitokimia dan kandungan asam nukleat dilakukan pada biomasa
Chaetoceros gracilis. Fitokimia yang dianalisis meliputi uji alkaloid, steroid,
flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, ninhidrin, Molisch. Kandungan asam
nukleat dianalisis menggunakan Gent Quant.
4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi
4.1 Pendahuluan
4.1.1 Latar belakang
Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati perairan yang luar
biasa besarnya. Sumberdaya yang tidak dapat secara langsung dikomersialkan
seperti mikroflora dan fauna dengan kandungan senyawa metabolit primer dan
sekundernya masih relatif kurang dijamah (Effendi 2002).
Chaetoceros adalah jenis mikroalga atau diatom laut yang mudah untuk
dibudidayakan, dimana suhu optimum dan salinitas optimum untuk Chaetoceros
sp masing-masing berkisar antara 25-30 oC dan antara 17-30 ppt (Isnansetyo
dan Kurniastuty 1995). Spesies ini dapat hidup pada suhu 10-20 oC dan dapat
dikultur masal pada air laut yang diperkaya dengan pupuk anorganik atau pupuk
kandang (BBLL 2002). Genus Chaetoceros memiliki lebih dari 160 spesies dan
merupakan genus terbesar dari Kelas Bacillariophyceae yang hidup di perairan
dingin sampai perairan panas. Chaetoceros memiliki setae dan digunakan untuk
membentuk filamen yang membuatnya terus melayang di permukaan air (Lee
2008).
Chaetoceros merupakan jenis mikroalga yang paling umum dijumpai di
perairan lepas pantai Indonesia, sering disebut golden-brown algae karena
kandungan pigmen kuning lebih banyak dari pigmen hijau sehingga bila padat
populasinya, perairan akan terlihat coklat muda (Arinardi et al. 1997). Wang
(1999) menyatakan bahwa sel secara individu dari Chaetoceros berbentuk kotak,
mempunyai dimensi lebar 12 sampai 14 mikron, dan panjang 15 sampai 17
mikron, dengan jarum di ujungnya. Sel ini bisa membentuk rantai sekitar 10
sampai 20 sel, ketika dikultur dengan aerasi kuat.
Tiga faktor lingkungan yang paling menentukan dalam kultivasi mikroalga
atau diatom, yaitu nutrien, suhu dan cahaya (Nontji 2006). Pada umumnya
mikroalga jenis diatom memerlukan mineral-mineral seperti Nitrogen (N),
Pospor (P), Carbon (C), Magnesium (Mg), Sulfur (S), dan Silika untuk
pertumbuhannya, selain vitamin dan trace element lainnya seperti cobalt, zink,
borron, mangan. Unsur kimia tersebut dapat diperoleh dari lingkungannya atau
ditambahkan ke dalam medium pertumbuhannya (Borowitzka 1988).
29
Medium pertumbuhan yang biasa digunakan untuk kultivasi Chaetoceros
adalah medium Guillard. Namun harga medium ini cukup mahal, sehingga perlu
dicari alternatif medium yang lebih murah. Larastri (2006) menyatakan bahwa
Chaetoceros sp dan beberapa diatom lain dapat ditumbuhkan dalam medium
NPSi, namun belum dikembangkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia menggunakan
medium pertumbuhan NPSi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan medium yang
sesuai untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis dengan harga murah, sehingga
pemanfaatannya lebih optimal.
4.1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan pola pertumbuhan
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dan menentukan
rendemen biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi.
4.2 Bahan dan Metode
4.2.1 Bahan dan alat
(1) Bahan baku
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini meliputi mikroalga laut
jenis Chaetoceros gracilis. Mikroalga laut sebagai bahan baku pada penelitian ini
dipanen pada umur 7 hari. Medium yang digunakan untuk menumbuhkan
Chaetoceros gracilis adalah NPSi, yang terdiri dari urea, triple super fosfat (TSP)
dan natrium silika yang dibeli di toko pertanian dan toko kimia. Selain itu juga
ditambahkan vitamin B12, biotin, dan vitamin B1 yang dibeli di apotek, serta trace
element seperti CuSO4 5H2O, ZnSO4 7H2O, NaMoO4 2H2O, (NH4)6Mo7O24 4H2O,
CoCl2 6H2O, MnCl2 4H2O.
(2) Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain erlenmeyer, flask,
lampu neon 20 Watt, pompa udara untuk aerasi, selang, refrigerator, mikro pipet
dan tipnya, mikroskop, haemositometer, filter keramik, sentrifus, pengering beku
(freeze dryer), dan peralatan gelas lain yang digunakan di laboratorium.
30
4.2.2 Metode penelitian
(1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi
Chaetoceros gracilis ditumbuhkan dalam flask yang dilengkapi dengan
aerasi dan lampu 20 Watt (2500 lux) yang dilakukan terus menerus. Kultivasi
dilakukan pada ruangan yang dilengkapi dengan AC bersuhu sekitar 25-26 oC.
Hal ini mengacu pada Lailati (2007) yang melaporkan bahwa kultur Chaetoceros
gracilis pada ruangan yang dilengkapi AC dengan lama penyinaran 24 jam
menghasilkan rendemen biomasa sel lebih besar dibanding 12 jam, pada tempat
dan kondisi sama.
Komposisi medium NPSi yang digunakan mengikuti peneliti sebelumnya,
yaitu N:P:Si = 3:1:4 (Larastri 2006). Komposisi medium yang digunakan untuk
pertumbuhan Chaetoceros gracilis disajikan pada Lampiran 1. Kultur
Chaetoceros gracilis dibuat dengan cara menambahkan sebanyak 10 % stok
kultur ke dalam wadah yang telah berisi medium NPSi.
(2) Penentuan kurva pertumbuhan
Untuk mengetahui kurva pertumbuhan C. gracilis, maka dilakukan analisis
penghitungan jumlah sel dari awal kultivasi sampai akhir kultivasi (fase kematian)
dengan metode hitungan langsung menggunakan haemositometer dan
mikroskop.. Kurva pertumbuhan ini bertujuan untuk menentukan umur panen
Chaetoceros gracilis.
Pertumbuhan mikroalga juga dapat ditinjau dari rendemen biomasa, yaitu
berat biomasa kering per satuan volume atau per satuan luasan atau per satuan
berat (Becker 1994).
(3) Pemanenan Chaetoceros gracilis
Kultur yang telah masuk fase akhir logaritmik (umur 7 hari) dipanen,
selanjutnya dipisahkan biomasanya menggunakan metode filtrasi. Filter yang
digunakan adalah filter keramik yang memiliki pori 0,3 µm. Biomasa Chaetoceros
gracilis yang diperoleh kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer lalu
ditimbang untuk diketahui berat keringnya.
4.2.3 Prosedur analisis
(1) Penghitungan jumlah sel
Sel dalam kultur dihitung dengan cara melakukan sampling setiap hari
sampai kultur mencapai fase kematian. Penghitungan jumlah sel dilakukan
dengan metode hitungan langsung menggunakan haemositometer dan
31
mikroskop perbesaran 400x (Hadioetomo 1993) dengan formulasi yang dipakai
dalam menghitung kepadatan sel adalah sebagai berikut:
ml10
mm1
mm0,1mm0,2mm1
1
2
NNN
3
3
21
Keterangan: N = kepadatan sel (sel/ml)
ΣN1 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1).
ΣN2 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2).
1 mm = panjang haemositometer dalam 80 kotak kecil.
0,2 mm = lebar hemasitometer dalam 80 kotak kecil.
0,1 mm = tinggi hemasitometer.
ml
mm3
3
10
1 = faktor konversi dari satuan mm3 ke satuan ml.
Hasil penghitungan jumlah sel kemudian dibuat log dan diplotkan pada
grafik hingga diperoleh kurva pertumbuhan dengan umur kultur (hari) sebagai
sumbu x dan log kepadatan sel (sel/ml) sebagai sumbu y.
(2) Penghitungan rendemen biomasa
Berat kering dari masing-masing kultur kemudian dilakukan penghitungan
terhadap rendemen biomasa dengan cara membagi berat kering tersebut
dengan volume panen. Perhitungan rendemen biomasa (Becker 1994) adalah
sebagai berikut:
Berat biomasa kering (gram) Rendemen biomasa =
Volume panen (liter)
4.3 Hasil dan Pembahasan
4.3.1 Pertumbuhan Chaetoceros gracilis
Pada penelitian ini pertumbuhan diamati berdasarkan jumlah sel dan
warna kultur. Pertumbuhan pada organisme uniseluler adalah pertambahan
jumlah sel yang berarti juga pertambahan jumlah organisme. Kultur Chaetoceros
gracilis umur 1 hari disajikan pada Gambar 4. Pada awal kultivasi, kultur masih
terlihat jernih. Setelah beberapa hari warna kultur menjadi coklat, dan lama
kelamaan kultur terlihat coklat tua yang menandakan sudah pekat. Selama
kultivasi diberi aerasi dengan tujuan untuk menghindari sedimentasi mikroalga,
meratakan sinar untuk pencahayaan dan nutrien serta mencegah stratifikasi
32
suhu dan mempermudah pertukaran gas antara medium kultur dan udara karena
sumber karbon dalam bentuk CO2 digunakan untuk fotosintesis (Coulteau 1996).
Gambar 4 Kultur Chaetoceros gracilis umur 2 hari
Selama kultivasi terjadi perubahan warna kultur. Perubahan warna yang
terjadi dari awal sampai akhir kultivasi, yaitu dari warna coklat bening, coklat
agak keruh, coklat keruh lalu kembali lagi menjadi coklat agak keruh dan terakhir
menjadi coklat bening yang disertai dengan terbentuknya endapan berwarna
coklat di dasar flask. Perubahan warna tersebut merupakan indikator terjadinya
peningkatan kepadatan sel dari kepadatan sel rendah menjadi tinggi kemudian
turun menjadi rendah kembali secara bertahap yang akhirnya kultur mati.
Kepadatan sel Chaetoceros gracilis disajikan pada Lampiran 2. Kurva
pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan pada medium NPSi dan
Guillard dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki
beberapa fase dalam kurva pertumbuhan, yaitu fase eksponensial, fase stasioner,
dan fase kematian. Pada penelitian ini fase lag tidak terjadi, karena medium
yang digunakan pada kultur dan inokulum sama, selain itu inokulum kultur yang
digunakan berada dalam fase logaritmik juga. Sehingga inokulum tidak
mengalami masa adaptasi.
33
Gambar 5 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi (a = fase pertumbuhan; b = fase stasioner; c = fase kematian)
Gambar 6 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium Guilllard (a = fase pertumbuhan b = fase stasioner; c = fase kematian)
(Lailati 2007)
Fase pertumbuhan ditandai dengan meningkatnya jumlah sel selama
kultivasi, dilanjutkan dengan penurunan jumlah sel sampai mencapai stasioner.
Fase pertumbuhan dicapai pada kultur berumur 1 hari hingga 7 hari, dengan
kepadatan sel antara 2,1 x 105 sampai 2,4 x 106 sel/ml, lalu mengalami
penurunan. Adanya pertumbuhan, selain ditandai dengan meningkatnya jumlah
sel, juga ditandai dengan perubahan warna kultur dimana pada fase ini kultur
berwarna coklat keruh dan terlihat pekat. Pendeknya fase pada kultur diatom ini
diduga karena kultivasi dengan penyinaran 24 jam menyebabkan sel menjadi
sulit membentuk auksospora karena terjadi pembelahan terus-menerus. Sel
diatom semakin lama akan semakin kecil dari ukuran induknya. Proses
pembelahan sel menghasilkan sel anakan yang lebih kecil dari induknya.
Suksesi pembelahan aseksual menghasilkan sel yang semakin lama berukuran
lebih kecil (Nontji 2006).
5.0
5.5
6.0
6.5
0 5 10 15 20 25 30
Log
jum
lah
se
l (se
l/m
l)
Waktu (hari)
5.0
5.5
6.0
6.5
7.0
0 5 10 15 20 25 30
Log
jum
lah
se
l (se
l/m
l)
Waktu (hari)
34
Fase pertumbuhan terjadi pada umur 1 hari hingga 7 hari. Chaetoceros
gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard mengalami penurunan
pertumbuhan setelah hari ke-8. Kondisi ini juga dialami oleh Chaetoceros
gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. Hal ini menunjukkan bahwa
nutrien utama seperti N, P, dan Si untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis dapat
dipenuhi dengan menggunakan medium NPSi.
Mikroalga dalam metabolismenya menghasilkan metabolit primer dan
metabolit sekunder. Metabolit primer (intrasesuler) dihasilkan selama fase
pertumbuhan. Beberapa makromolekul yang digolongkan ke dalam metabolit
primer adalah karbohidrat, protein dan lemak.
Pada penelitian ini (Chaetoceros gracilis ditumbuhkan dalam medium
NPSi) fase stasioner dicapai setelah kultur berumur 8 hari sampai 25 hari,
dengan kepadatan tertinggi sebesar 2,3x106 sel/ml. Jumlah sel cenderung tidak
meningkat, artinya tidak ada penambahan jumlah sel. Fase stasioner merupakan
fase pertumbuhan yang konstan karena nutrien semakin berkurang dan populasi
semakin padat. Menurut Kungvankij (1988) dan Richmond (2004) populasi sel
pada akhir fase logaritimik cenderung menurun dan pada fase stasioner kurang
lebih konstan, dimana jumlah sel yang mati sama dengan yang membelah.
Pada fase ini pertambahan jumlah sel akibat pembelahan sel seimbang dengan
pengurangan jumlah sel akibat kematian (Becker 1994). Kultur pada fase ini
terlihat berwarna coklat pekat. Warna coklat pada kultur ini merupakan warna
pigmen yang dimiliki oleh Chaetoceros gracilis. Pada fase stasioner dihasilkan
metabolit sekunder (ekstraseluler) yang berupa komponen aktif antara lain
senyawa antibakteri.
Setelah kultur berumur 25 hari, jumlah sel menurun yang menandakan
terjadinya fase kematian. Jumlah sel pada kultur umur 28 hari sebesar 6,9 x105
sel/ml. Fase kematian selain ditunjukkan dengan menurunnya jumlah sel, warna
kultur mulai memudar dan terbentuk suatu endapan di dalam kultur. Sel
mikroalga yang telah mati akan mengendap di bawah, dan kultur menjadi bening.
Pada akhir kultivasi, sel Chaetoceros gracilis jumlahnya lebih sedikit. Pada fase
kematian, jumlah sel yang mati lebih besar dari jumlah sel yang hidup. Sel yang
masih hidup tidak lagi memiliki kemampuan untuk tumbuh, tetapi hanya mampu
bertahan hidup. Sel mengalami lisis karena tidak lagi mendapat suplai nutrien.
Hal ini menunjukkan bahwa nutrien pada kultur mikroalga sangat diperlukan
35
karena tanpa penambahan nutrien mengakibatkan hasil pertumbuhan menjadi
sangat rendah (Harrison dan Berges 2005).
Gambar 5 dan 6 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan Chaetoceros
gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi sama dengan yang ditumbuhkan
dalam medium Guillard (medium yang umum digunakan untuk diatom termasuk
Chaetoceros). Keduanya tidak mengalami fase adaptasi.
Kepadatan sel pada kultur yang ditumbuhkan dalam medium Guillard
lebih besar dibandingkan dalam medium NPSi (Gambar 5 dan 6). Hal ini diduga
karena nutrien dalam medium Guillard lebih lengkap dibandingkan medium NPSi.
Pada medium Guillard selain sumber N, P dan Si juga dilengkapi dengan
FeCl3.6H2O, EDTA. Unsur N diperoleh dari urea, unsur P diperoleh dari TSP
dan Si diperoleh dari Na metasilika. Unsur Si dalam kultivasi mikroalga jenis
diatom merupakan unsur utama selain N dan P. Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995) menyatakan bahwa silika sangat penting untuk proses perkembangbiakan
diatom karena silika berperan dalam pembentukan sel, pembelahan sel serta
dibutuhkan dalam proses metabolisme.
Faktor intrinsik dan ekstrinsik mempengaruhi pertumbuhan mikroalga.
Tiga faktor lingkungan yang paling menentukan dalam kultivasi mikroalga atau
diatom, yaitu nutrien, temperatur dan cahaya (Nontji 2006). Selain itu,
pertumbuhan suatu jenis fitoplankton atau mikroalga erat kaitannya dengan
ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan, antara lain cahaya, suhu, pH, kandungan CO2 bebas dan salinitas
(BBLL 2002). Pada penelitian ini unsur hara dipenuhi dengan pemberian nutrien
yang terdiri dari urea, TSP, natrium silika serta vitamin dan trace element. Suhu
lingkungan yang digunakan untuk kultur adalah 25-26 oC dan salinitas air laut
sebagai mediumnya adalah 28-30 ppt. Hal ini sesuai dengan Isnansetyo dan
Kurniastuty (1995) yang menyatakan bahwa suhu optimum dan salinitas
optimum untuk Chaetoceros sp masing-masing berkisar antara 25-30 oC dan
antara 17-30 ppt.
4.3.2 Pemanenan biomasa Chaetoceros gracilis
Pada penelitian ini diatom Chaetoceros gracilis dipanen pada umur kultur
7 hari dengan cara mengumpulkan kultur ke dalam satu wadah (flash) untuk
dilakukan filtrasi. Filtrasi dilakukan untuk memisahkan biomasa sel dari cairan
mediumnya. Pemanenen dilakukan pada umur 7 hari dimana kultur berada pada
fase akhir logaritmik. Produk yang diambil dari Chaetoceros gracilis adalah
36
komponen aktif yang bersifat antibakteri. Waktu pemanenan ini mengacu pada
hasil penelitian Trianti (1998) dan Pribadi (1998), yang menunjukkan bahwa
senyawa antibakteri dari mikroalga dihasilkan pada fase logaritmik akhir dan
stasioner.
Pada penelitian ini proses pemisahan biomasa dari kultur dilakukan
menggunakan metode filtrasi. Bila pemisahan menggunakan sentrifus, akan
memerlukan waktu lebih lama, karena kapasitas sentrifus hanya 2 liter sekali
running. Proses pemisahan biomasa dari kultur sebanyak 24 liter dengan
sentrifugasi memerlukan waktu sekitar 6 jam, sedangkan bila menggunakan
filtrasi hanya sekitar 2-3 jam. Selain itu penggunaan sentrifus lebih mahal
dibanding filtrasi. Pemanenan biomasa atau pemisahan biomas dari kultur
dengan filtrasi dapat dilakukan untuk kultur dalam jumlah berapapun. Akan
tetapi kelemahan penggunaan filtrasi adalah tidak semua jenis sel mikroalga
dapat dipisahkan dengan filter ini karena ukurannya berbeda-beda, oleh karena
itu bila akan menggunakan filter ini pori-pori keramik filternya harus disesuaikan
dengan ukuran sel yang akan dipisahkan. Ukuran Chaetoceros gracilis yang
ditumbuhkan dalam medium NPSi pada penelitian ini adalah panjang ±8,8
mikron dan lebar ± 5 mikron, sehingga dapat menggunakan filter keramik yang
mempunyai ukuran pori 0,3 mikron.
Pada umumnya mikroalga jenis diatom memerlukan mineral-mineral
seperti Nitrogen (N), Pospor (P), Carbon (C), Si, Magnesium (Mg), Sulfur (S)
untuk pertumbuhannya, selain vitamin dan trace element lainnya seperti cobalt,
zink, borron, mangan. Unsur kimia tersebut dapat diperoleh dari lingkungannya
atau ditambahkan ke dalam medium pertumbuhannya. Pada penelitian ini unsur
hara dipenuhi dengan penambahan urea sebagai sumber N , TSP sebagai
sumber P dan natrium silika sebagai sumber Si, vitamin B1, biotin dan B12, serta
trace element yang meliputi CuSO4 5H2O, ZnSO4 7H2O, NaMoO4 2H2O,
(NH4)6Mo7O24 4H2O, CoCl2 6H2O, MnCl2 4H2O.
Pengeringan Chaetoceros gracilis dilakukan menggunakan freeze dryer
dengan tujuan agar sel menjadi kering sehingga permukaan sel mikroalga
menjadi lebih besar dan mempermudah proses penetrasian pelarut, sehingga
proses penarikan komponen aktif lebih mudah terjadi. Pengeringan dengan
menggunakan freeze dryer menguntungkan karena tidak merusak komponen
aktif yang dikandung bahan. Beberapa jenis komponen aktif merupakan bahan
yang mudah rusak oleh pemanasan, sehingga proses pemisahannya tidak boleh
37
dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi. Biomasa sel kering yang dihasilkan
berwarna hijau kecoklatan, karena mengandung klorofil dan karoten. Hal ini
sesuai dengan laporan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) yang menyatakan
bahwa pigmen kuning merupakan pigmen yang mendominasi sel Chaetoceros
dan juga mengandung pigmen fukosantin (Round et al. 1996). Chaetoceros
berwarna kuning kecoklatan karena kandungan pigmen karotennya (Borowitzka
1988).
Biomasa Chaetoceros gracilis yang diperoleh disajikan pada Gambar 7.
Rendemen biomasa Chaetoceros gracilis (0,16 g/L) ini rendah. Hal ini diduga
karena selama kultivasi mikroalga tidak dilakukan penambahan CO2. Sumber
CO2 yang digunakan untuk pertumbuhan mikroalga pada penelitian ini hanya
berasal dari udara melalui aerasi. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam
medium Guillard juga menghasilkan rendemen biomasa 0,16 g/L. Artinya
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan
rendemen yang sama dengan yang ditumbuhkan dalam medium Guillard,
dimana selama kultivasi keduanya tidak ditambahkan CO2. Hal ini didukung oleh
hasil penelitian Pacheco-Vega (2009) yang menunjukkan bahwa kepadatan dari
Chaetoceros muelleri (Limmermann Grown) yang ditumbuhkan dalam medium
pupuk cair yang mengandung urea, NH4NO4, HPO4 dan silika mempunyai
kepadatan sel yang tidak berbeda nyata dengan yang ditumbuhkan dalam
medium f/2. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa untuk menumbuhkan
Chaetoceros dapat digunakan medium dengan sumber N yang berbeda-beda.
Gambar 7 Biomasa Chaetoceros gracilis kering
38
4.4 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara
lain :
(1) Chaetoceros gracilis yang diambil dari perairan Indonesia dapat ditumbuhkan
dalam medium NPSi.
(2) Pola atau fase pertumbuhan Chaetoceros gracilis pada penelitian ini
meliputi fase logaritmik, fase stasioner dan fase kematian.
(3) Rendemen biomasa dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam
medium NPSi dan dipanen pada umur 7 hari sebesar 0,16 g/L.
5 AKTIVITAS DAN STABILITAS SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis
5.1 Pendahuluan
5.1.1 Latar belakang
Produk alam dari laut dapat digunakan untuk berbagai tujuan tergantung
struktur kimia dan karakteristiknya, antara lain untuk bahan nutrasetika,
farmasetika dan berbagai bahan tambahan lainnya (Nontji 1999). Senyawa-
senyawa yang digunakan untuk farmasetika dan nutrasetika biasanya memiliki
aktifitas biologis.
Produk alam laut dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (1) sumber
biomolekul yang mudah diperoleh; (2) senyawa yang memiliki aktivitas biologis
yang meliputi : 1) senyawa antimikroba; 2) senyawa aktif fisiologikal; 3) senyawa
aktif farmasetika; 4) senyawa sitotoksik dan antitumor; (3) toksin laut. Beberapa
jenis organisme laut yang potensial sebagai sumber obat antara lain makroalga,
mikroalga, sponge, soft coral maupun ikan (Kobayashi dan Satari 1999).
Mikroalga memiliki substansi organik yang berlimpah di dalam selnya
yang disebut dengan metabolit intraseluler. Selain itu juga menghasilkan produk
yang disekresikan ke medium tumbuhnya yang disebut metabolit ekstraseluler.
Substansi ekstraseluler dapat dihasilkan dari proses sekresi sel yang sehat
maupun dari sel yang lisis atau mati (Stewart 1974).
Beberapa mikroalga (diatom) yang juga mempunyai komponen aktif
antibakterial antara lain Skeletonema costatum, Thalassiosira spp, Bacteriastrum
elegans, Chaetoceros socialis, C. lauderi. Komponen yang mempunyai aktivitas
antibakterial tersebut tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986). Ekstrak
kasar intraselular Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard
dan diekstraksi menggunakan pelarut metanol mempunyai aktivitas
penghambatan terhadap bakteri B. subtilis, E. coli dan Pseudomonas sp (Pribadi
1998). Setyaningsih et al. (2006) melaporkan bahwa Chaetoceros gracilis yang
ditumbuhkan dalam medium Guillard menghasilkan ekstrak kasar (crude extract)
yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif Staphylococcus
aureus dan bakteri Gram negatif Vibrio harveyi.
Medium pertumbuhan untuk Chaetoceros gracilis pada umumnya
Guillard, namun mikroalga ini juga dapat tumbuh dalam medium pupuk NPSi.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis yang
40
ditumbuhkan dalam medium NPSi tanpa penambahan CO2 menghasilkan berat
kering 0,16 g/L.
Ekstrak Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard
mempunyai aktivitas antibakteri, namun ekstrak Chaetoceros gracilis yang
ditumbuhkan dalam medium NPSi belum diketahui aktivitas dan stabilitas
komponen aktifnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang aktivitas
antibakteri, potensi aktivitasnya dibandingkan antibiotik komersial, pengaruh
penyimpanan terhadap aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis.
5.1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Menganalisis aktivitas senyawa
antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis dibandingkan antibiotik komersial; (2)
Menganalisis stabilitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis yang
disimpan pada suhu rendah.
5.2 Bahan dan Metode
5.2.1 Bahan dan alat
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah mikroalga laut
jenis Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian
Oseanografi, LIPI, Jakarta. Setelah Chaetoceros gracilis disegarkan,
selanjutnya dikultivasi di Laboratorium Bioteknologi Hasil Perairan, Departemen
Teknologi Hasil Perairan. Mikroalga sebagai bahan baku pada penelitian ini
dipanen pada akhir fase logaritmik. Bakteri uji yang digunakan meliputi bakteri
Gram positif (Bacillus cereus ATCC 13091, Staphylococcus aureus ATCC
25923), bakteri Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi).
Bahan kimia yang digunakan antara lain media untuk pertumbuhan Chaetoceros
gracilis, metanol, media Nutrien Agar, Mueller Hinton Agar, Nutrien Broth,
antibiotik komersial seperti kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, ampisilin.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat untuk
kultivasi Chaetoceros gracilis seperti flask atau akuarium, pompa aerator, lampu,
luxmeter, dan sebagainya. Alat untuk panen biomasa terdiri dari filter keramik,
pompa filter. Peralatan untuk ekstraksi antara lain magnetic stirrer, rotary vacuum
evaporator, kertas cakram (paper disc), glass beads, vorteks, dan lain-lain. Alat
untuk uji aktivitas antibakteri antara lain clean bench, refrigerator, cawan petri,
mikro pipet, serta alat gelas lain yang digunakan di laboratorium.
41
5.2.2 Metode penelitian
Tahap penelitian ini untuk mengetahui aktivitas dan stabilitas ekstrak
Chaetoceros gracilis meliputi: (1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium
NPSi dan pemanenan biomasanya; (2) Ekstraksi dan aktivitas antibakteri dari
ekstrak Chaetoceros gracilis; (3) Analisis potensi daya hambat antibakteri dari
ekstrak Chaetoceros gracilis dibandingkan antibiotik komersial; (4) Analisis
stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan.
(1) Kultivasi dan pemanenan Chaetoceros gracilis
Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam flask atau akuarium yang berisi
medium NPSi, yang dilengkapi dengan aerasi. Sebagai sumber cahaya
digunakan lampu neon 20 Watt (2500 lux) yang diberikan secara terus menerus.
Biomasa dipanen pada akhir fase logaritmik dengan cara filtrasi, selanjutnya
biomasa tersebut dikeringkan.
(2) Ekstraksi antibakteri dari Chaetoceros gracilis
Metode ekstraksi senyawa antibakteri dari Chaetoceros merupakan
modifikasi dari metode yang dilakukan Naviner et al. (1999) dan Wang (1999).
Biomas sel Chaetoceros gracilis yang telah dikeringkan, dipecah selnya
menggunakan glass bead dan vorteks. Tujuan pemecahan sel ini antara lain
agar komponen aktif yang ada di dalam sel mudah keluar sehingga diperoleh
ekstrak intraseluler. Kemudian diekstraksi dengan pelarut metanol menggunakan
metode maserasi yang dikombinasi dengan pengadukan, lalu dilakukan
penyaringan menggunakan kertas saring Whatman 0,42 µm untuk memperoleh
filtrat. Filtrat dievaporasi menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 35-
37 oC. Hasil ekstraksi yang diperoleh ditimbang dan dianggap sebagai ekstrak
kasar (crude extracts) yang mengandung komponen aktif. Ekstraksi
menggunakan heksan juga dilakukan dengan metode yang sama. Perhitungan
nilai rendemen ekstrak adalah sebagai berikut:
Rendemen %100B
A
Keterangan:
A = Berat ekstrak intraseluler (gram) B = Berat biomassa (gram)
42
5.2.3 Prosedur analisis
(1) Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis pada
Ekstrak yang diperoleh diaplikasikan pada beberapa jenis bakteri patogen
Gram negatif Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi, serta bakteri
Gram positif Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus cereus ATCC
13091. Metode analisis yang digunakan adalah metode difusi agar.
1) Persiapan media pertumbuhan bakteri uji
- Media Nutrien Broth (NB) yang sudah disiapkan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi sebanyak 9 ml. Media NB diperlukan untuk menumbuhkan
bakteri uji dalam media cair
- Media Mueller Hinton Agar yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam
tabung reaksi masing-masing sebanyak 15 ml. Media ini digunakan untuk
menumbuhkan bakteri pada saat uji aktivitas antibakteri
- Media Nutrien Broth dan Mueller Hinton Agar selanjutnya disterilisasi ke
dalam autoklaf selama 15 menit, pada suhu 121 oC
- Bakteri-bakteri uji terlebih dahulu disegarkan dengan cara
menginokulasikan ke dalam media NB steril dan diinkubasi pada suhu 37
oC (B. cereus, S. aureus, E. coli) dan 30 oC (V. harveyi). Setelah 24 jam
dilihat hasilnya, yaitu dengan mengamati kekeruhan pada media yang
digunakan. Adanya kekeruhan menunjukkan bahwa bakteri yang
diinokulasikan mengalami pertumbuhan. Bakteri yang memiliki OD > 0,5 ini
digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri.
- Sterilisasi juga dilakukan pada sejumlah cawan petri yang diperlukan untuk
menumbuhkan bakteri, pada tip mikro pipet, paper disc, erlenmeyer, dan
botol sampel.
3) Analisis senyawa antibakteri
- Bakteri uji sebanyak 20-50 µl dari suspensi dengan OD lebih besar dari 0.5
dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 15 ml media Mueller
Hinton Agar steril yang belum beku (suhu sekitar 45oC). Kemudian
dihomogenkan dengan menggunakan vortex, selanjutnya dituangkan ke
dalam cawan petri. Tahap ini dilakukan terhadap semua bakteri uji yang
digunakan
- Media pada cawan petri tersebut didiamkan di dalam clean bench selama
sekitar 15 menit hingga membeku.
43
- Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar, yaitu
menggunakan kertas cakram (paper disc) berukuran 6 mm. Kertas cakram
steril yang telah disiapkan ditetesi sebanyak 10 µl ekstrak mikroalga yang
mengandung senyawa antibakteri. Selanjutnya diletakkan pada cawan
petri yang berisi Mueller Hinton Agar yang telah memadat
- Cawan petri tersebut dimasukkan ke dalam refrigerator selama 30 menit
dengan maksud agar difusi ekstrak antibakteri dapat berjalan dengan baik,
kemudian diinkubasi ke dalam inkubator pada suhu 37 oC untuk E. coli, S.
aureus, B. cereus dan 30 oC untuk V. harveyi dengan posisi terbalik
selama 18 jam.
- Pengamatan dilakukan dengan mengukur zona bening di sekitar kertas
cakram (paper disc). Daya hambat ekstrak antibakteri dari mikroalga
ditentukan dengan cara mengurangi diameter zona bening yang terbentuk
di sekitar kertas cakram dengan diameter kertas cakram yang mengandung
ekstrak.
Suatu zat aktif dikatakan memiliki potensi yang tinggi sebagai antibakteri,
jika pada konsentrasi rendah mempunyai daya hambat yang besar. Ketentuan
kekuatan antibakteri sebagai berikut: daerah hambatan 20 mm atau lebih berarti
sangat kuat, daerah hambatan 10-20 mm (kuat), daerah hambatan 5-10 mm
(sedang), daerah hambatan 5 mm atau kurang (lemah) (Davis dan Stout 1971).
(2) Analisis potensi daya hambat relatif antibakteri terhadap berbagai antibiotik komersial
Sebelum dilakukan penentuan potensi daya hambat ekstrak C. gracilis,
dilakukan uji aktivitas penghambatan dari ekstrak dan beberapa antibiotik
komersial terhadap bakteri uji. Potensi antibakteri dilakukan dengan
membandingkan diameter hambatan yang terbentuk di sekitar paper disc yang
telah diberi ekstrak dengan paper disc lain yang mengandung antibiotik
komersial (kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, ampisilin dengan konsentrasi
300µg/disk). Potensi daya hambat dapat diukur dengan rumus sebagai berikut :
Diameter hambatan ekstrak % Potensi daya hambat = x 100 % Diameter hambatan antibiotik
44
(3) Analisis stabilitas ekstrak antibakteri
Stabilitas ekstrak dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan
terhadap kestabilan ekstrak Chaetoceros gracilis yang diperoleh. Ekstrak C.
gracilis disimpan selama 1, 2 3, dan 6 bulan, selanjutnya diuji aktivitas
antibakterinya menggunakan metode difusi agar, seperti pada uji aktivitas
antibakteri.
5.3 Hasil dan Pembahasan
5.3.1 Ekstrak antibakteri dari C. gracilis
Ekstraksi senyawa antibakteri dilakukan dengan cara mengekstrak
senyawa aktif yang terkandung dalam sel Chaetoceros gracilis. Ekstraksi
merupakan suatu proses yang secara selektif memisahkan beberapa zat yang
diinginkan dari campurannya dengan bantuan pelarut. Salah satu faktor penting
dan menentukan keberhasilan ekstraksi menggunakan pelarut adalah pemilihan
jenis pelarut yang digunakan. Pada penelitian ini ekstraksi dilakukan dengan
menggunakan pelarut organik, yaitu metanol dan heksan yang digunakan secara
terpisah. Metode ekstraksi menggunakan pelarut organik adalah sebagai berikut:
bahan yang akan diekstrak, kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu,
kemudian diikuti dengan melakukan pemisahan bahan yang telah diekstrak
(Danesi 1992).
Tahap awal ekstraksi untuk biomas sel Chaetoceros gracilis pada
penelitian ini adalah pemecahan sel (cell disruption). Pemecahan sel dilakukan
menggunakan glass bead dan vorteks. Glass bead mampu memecah sel seperti
cyanobacteria, yeast, spora, dan mikroalga. Efektivitas glass bead sebagai
pemecah sel tergantung dari ukuran glass bead dan lama pemecahan sel. Sel
bakteri akan pecah dengan lebih efektif menggunakan glass bead berukuran
0,1 mm, sedangkan glass bead 0,5 mm efektif untuk sel mikroalga. Jumlah glass
bead minimal 50% dari total volume larutan biomasa yang digunakan (Grima et
al. 2004). Secara umum semakin besar perbandingan glass bead dan volume
pelarut maka proses pemecahan selnya akan semakin cepat (Goldberg 2008).
Proses pemecahan sel akan mempermudah pemecahan struktur dinding sel
tersebut sehingga komponen dalam sel akan keluar dan terikat dalam pelarut
yang digunakan.
Pelarut yang digunakan pada tahap maserasi ini adalah metanol dan
heksan secara terpisah. Pada akhir tahap ekstraksi dihasilkan rata-rata
45
rendemen ekstrak kasar metanol sebesar 34,52%, dan ekstrak kasar heksan
sebesar 16,34%. Rendemen ekstrak metanol lebih besar dibandingkan ekstrak
heksan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Harborne (1987) bahwa metanol
merupakan pelarut yang baik untuk semua tujuan ekstraksi awal. Metanol
mampu mengekstraksi senyawa organik, sebagian lemak serta tanin (Heat dan
Reineccius 1986). Metanol termasuk ke dalam golongan alkohol yang
mempunyai berat molekul rendah.
Proses ekstraksi pada penelitian ini dilakukan dengan kombinasi
pemecahan sel dan pengadukan (stirring) yang menggunakan magnetic stirrer.
Proses stirring bertujuan untuk merusak dinding sel mikroalga, sehingga
komponen yang masih terdapat dalam sel dapat keluar dan memperbesar
kemungkinan tumbukan antara partikel, sehingga komponen yang telah keluar
dapat terikat serta larut dalam pelarut dan memperbesar pengikatan komponen
dengan pelarut yang digunakan. Ekstrak Chaetoceros gracilis disajikan pada
Gambar 8. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang diperoleh berwarna coklat, lengket.
Hal ini sesuai dengan kandungan kimia Chaetoceros gracilis, dimana mikroalga
ini mengandung asam lemak.
Gambar 8 Ekstrak Chaetoceros gracilis
5.3.2 Aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis
Senyawa antibakteri adalah senyawa yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri. Bahan kimia yang dapat membunuh
organisme disebut sidal, misalnya bakterisidal, fungisidal dan algasidal. Bahan
bakterisidal merupakan bahan kimia yang memiliki aktivitas membunuh bakteri,
sedangkan bahan kimia yang dapat menghambat pertumbuhan organisme tetapi
tidak membunuh organisme tersebut disebut statik, misalnya bakteriostatik,
fungistatik, algasitik (Madigan et al. 2003). Adanya aktivitas bakterisida dari
ekstrak mikroalga ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening (zona
hambatan) pada sekitar paper disc. Hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak
Chaetoceros gracilis disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 9. Diameter zona
46
hambat ekstrak metanol dan ekstrak heksan selengkapnya disajikan pada
Lampiran 3 dan 4.
Tabel 2 Diameter zona hambat bakteri dari ekstrak C. gracilis
Sampel
Vibrio harveyi
E. coli ATCC 25922
S. aureus ATCC 25923
B. cereus ATCC 13091
Diameter zona hambat (mm)
Ekstrak metanol 6±0,4 4±0,5 6±0,6 7±0,8
Ekstrak heksan 7±0,4 4±0,5 6±0,5 8±0,5
Kloramfenikol 35±0,7 35±0,7 31±0,7 35±0,7
Metanol 0 0 0 0
Heksan 0 0 0 0
Berdasarkan Tabel 2 dapat dikatakan bahwa C. gracilis yang
ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan senyawa aktif yang bersifat
antibakterial, yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap Staphylococcus
aureus ATCC 25923, Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Bacillus
cereus ATCC 13091 (Gambar 9).
Diameter zona hambat yang dihasilkan dari ekstrak-heksan relatif lebih
besar dibanding ekstrak-metanol. Hal ini sesuai dengan sifat heksan yang non
polar yang mana menarik senyawa non polar seperti asam lemak, sehingga
aktivitas ekstrak heksan (crude extracts) yang dihasilkan lebih besar. Pelarut
metanol dan heksan tidak menghambat pertumbuhan bakteri uji, hal ini
ditunjukkan dengan hasil uji aktivitas antibakteri negatif atau tidak ada zona
hambat. Diameter zona hambat dari kloramfenikol lebih besar daripada ekstrak
yang diperoleh dari ekstraksi, karena kloramfenikol memiliki tingkat kemurnian
yang lebih tinggi dibandingkan ekstrak Chaetoceros gracilis, yang mana ekstrak
Chaetoceros gracilis masih merupakan ekstrak kasar (crude extract).
47
Bacillus cereus Staphylococcus aureus
Vibrio harveyi Escherichia coli
Gambar 9 Zona hambat ekstrak Chaetoceros gracilis pada bakteri uji (EH = ekstrak heksan; EM = ekstrak metanol; K = kloramfenikol; M =metanol; H = heksan)
Pada penelitian ini adanya aktivitas antibakteri pada Chaetoceros gracilis
diduga karena kandungan asam lemaknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Wang (1999) serta Metting dan Pyne (1986) bahwa komponen aktif dari
Chaetoceros adalah asam lemak. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
aktivitas antibakteri dari ekstrak heksan lebih besar daripada ekstrak metanol.
Heksan merupakan pelarut yang baik untuk melarutkan lemak dibandingkan
metanol, diduga asam lemak yang terlarut dalam heksan lebih banyak
dibandingkan dalam metanol, sehingga aktivitasnya lebih besar.
Penelitian antibakteri dari Chaetoceros juga telah dilakukan oleh Wang
(1999), yang mana melaporkan bahwa budidaya kekerangan dan moluska yang
menggunakan Chaetoceros sebagai pakannya, memberikan efek antibiotik alami
yang dapat membebaskan hewan air tersebut dari bakteri patogen Vibrio
sehingga sea food ini aman untuk dikonsumsi. Selain itu ekstrak alga laut
Chaetoceros menunjukkan aktivitas antibakteri yang dapat menghambat
K
EH
M H
EM
K
EH
M H
EM
K
EH
M H
EM
K
EH
M H
EM
48
pertumbuhan bakteri seperti Methicilline Resistant Staphylococcus aureus
(MRSA), Vancomycin Resistant Enterococcus (VRE), Vibrio vulnificus, Vibrio
cholerae.
5.3.3 Potensi relatif antibakteri dari ekstrak C. gracilis dibandingkan dengan antibiotik komersial
Ekstrak C. gracilis yang diperoleh dibandingkan potensi daya hambatnya
terhadap beberapa jenis antibiotik komersial seperti kloramfenikol, ampisilin,
tetrasiklin dan oksitetrasiklin. Hal ini bertujuan untuk melihat sejauh mana
ekstrak Chaetoceros gracilis memiliki potensi daya hambat terhadap bakteri uji
bila dibandingkan dengan antibiotik komersial tersebut.
Hasil pengamatan aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis
dan antibiotik komersial terhadap bakteri uji dapat dilihat Gambar 10, sedangkan
diameter zona hambat dan potensi relatif selengkapnya disajikan pada Lampiran
5 dan 6. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang dikultivasi pada medium NPSi
memiliki aktivitas daya hambat terhadap pertumbuhan beberapa bakteri patogen,
namun aktivitasnya lebih kecil dibandingkan dengan antibiotik komersial seperti
kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin. Hal ini dikarenakan
ekstrak Chaetoceros gracilis yang digunakan masih merupakan ekstrak kasar
(crude extracts).
Mekanisme penghambatan setiap antibiotik tidak sama satu dengan
lainnya. Kloramfenikol merupakan antibiotik yang awalnya diisolasi dari
Streptomyces venesuelae pada tahun 1947, kini diproduksi secara sintetik,
memiliki spektrum penghambatan yang luas, bersifat bakteriostatik,
mengganggu sintesis protein bakteri, bereaksi dengan unit 50S ribosom dan
akan menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai polipeptida yang
sedang terbentuk (Naim 2003).
49
Gambar 10 Diameter zona hambatan dari ekstrak dan antibiotik komersial
terhadap pertumbuhan bakteri ( = B. cereus; = V. harveyi)
Tetrasiklin merupakan kelompok antibiotik yang dihasilkan oleh
Streptomyces. Beberapa antibiotik yang segolongan dengan tetrasiklin adalah
oksitetrasiklin, klortetrasiklin dan demetilklortetrasiklin. Antibiotik ini bersifat
bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisidal pada konsentrasi tinggi. Efek
tetrasiklin terhadap bakteri adalah menghambat transpor silang membran dan
menghambat metabolisme fosforilasi oksidatif dan glukosa. Golongan tetrasiklin
yang pertama ditemukan adalah klortetrasiklin yang dihasilkan oleh
Streptomyces aureofaciens. Kemudian ditemukan oksitetrasiklin dari
Streptomyces rimosus. Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari
klortetrasiklin, tetapi dapat juga diperoleh dari spesies Streptomyces lain.
Golongan tetrasiklin termasuk antibiotika yang bersifat bakteriostatik dan bekerja
dengan jalan menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya. Paling
sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotika tetrasiklin ke dalam ribosom
bakteri Gram negatif; pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik,
kedua ialah sistem transportasi aktif. Setelah antibiotika tetrasiklin masuk ke
dalam ribosom bakteri, maka berikatan dengan ribosom 30S dan menghalangi
masuknya komplek tRNA-asam amino pada lokasi asam amino, sehingga bakteri
tidak dapat berkembang biak. Tetrasiklin menghambat perlekatan tRNA yang
membawa asam amino ke ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai
polipeptida yang sedang dibentuk terhambat (Naim 2003).
Ampisilin merupakan salah satu dari penisilin sintetik yang diproduksi
secara kimiawi dari modifikasi sisi rantai penisilin. Antibiotik ini masuk ke dalam
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
Ekstrak Kloramfenikol Ampisilin Tetrasiklin Oksitetrasiklin
Dia
me
ter
zon
ah
amb
at(m
m)
50
membran luar bakteri Gram negatif menembus ke peptidoglikan yang kemudian
mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengganggu cross linking
peptidoglikan. Sintesis dinding sel mungkin terjadi tetapi cross linking tidak
terjadi, sehingga dinding sel menjadi lebih lemah dan terjadi autolisis, lama
kelamaan sel mengalami lisis.
Potensi relatif penghambatan ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap
antibiotik komersial disajikan pada Gambar 11. Aktivitas daya hambat masing-
masing antibiotik komersial terhadap V. harveyi dan B. cereus tidak sama.
Potensi relatif ekstrak C. gracilis dibandingkan antibiotik komersial seperti
kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin terhadap Vibrio harveyi
berturut-tutrut sebesar 21,18, 21, dan 22 % pada konsentrasi 300 µg/disc.
Artinya kemampuan ekstrak C. gracilis dalam menghambat pertumbuhan V.
harveyi masih rendah. Potensi relatif ekstrak C. gracilis dibandingkan antibiotik
komersial seperti kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin terhadap
Bacillus cereus berturut-turut sebesar 21, 18, 18, dan 18% pada konsentrasi 300
µg/disc. Artinya kemampuan ekstrak C. gracilis dalam menghambat
pertumbuhan B. cereus juga masih rendah.
Gambar 11 Potensi relatif daya hambat ekstrak C. gracilis terhadap 4 jenis
antibiotik komersial pada konsentrasi sama ( = B. cereus;
= V. harveyi )
Rendahnya kemampuan ekstrak Chaetoceros gracilis dalam
menghambat pertumbuhan bakteri ini diduga karena ekstrak Chaetoceros gracilis
yang digunakan merupakan ekstrak kasar, sedangkan antibiotik komersial
0
5
10
15
20
25
Kloramfenikol Ampisilin Tetrasiklin Oksitetrasiklin
Antibiotik
Pote
nsi
rel
atif
(%
)
51
merupakan senyawa antibiotik yang lebih murni, selain itu masing-masing
memiliki mekanisme penghambatan yang berbeda. Berdasarkan Gambar 11
juga dapat dikatakan bahwa masing-masing senyawa antimikroba memiliki
kemampuan penghambatan terhadap bakteri yang berbeda. Naim (2003)
menyatakan bahwa mode kerja dari kloramfenikol adalah mengikat ribosom 50S
dan menghambat aktivitas peptidil transferase. Tetrasiklin dan oksitratseklin
merupakan antibiotik yang mempunyai mode kerja menghambat sintesis protein,
mengikat ribosom 30 S, sedangkan ampisilin mengganggu sintesis dinding sel
bakteri dengan cara mengganggu cross linking peptidoglikan.
5.3.4 Stabilitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan
Penyimpanan dapat mempengaruhi stabilitas aktivitas suatu komponen
aktif. Metode penyimpanan bahan yang mengandung komponen aktif yang tidak
benar dapat menurunkan aktivitasnya. Pada penelitian ini ekstrak disimpan
dalam freezer pada refrigerator dengan suhu sekitar -18 - (-20)oC selama
beberapa bulan. Analisis aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak yang telah
disimpan selama 1, 2, 3 dan 6 bulan. Aktivitas antibakteri dari ekstrak C. gracilis
selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 12, sedangkan diameter zona
hambat selengkapnya disajikan pada Lampiran 7.
Ekstrak Chaetoceros gracilis termasuk bahan alami. Pada penelitian ini,
ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah sampai 6 bulan
masih memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan awal. Berdasarkan
Gambar 12 dapat dikatakan bahwa aktivitas ekstrak Chaetoceros gracilis
selama penyimpanan tidak berubah, dimana diameter hambatan pada bakteri V.
harveyi 6 mm, pada bakteri E. coli 4 mm, S. aureus 6 mm, dan B. cereus 7 mm.
Hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan suhu rendah dapat mempertahankan
aktivitas antibakteri.
52
Gambar 12 Aktivitas antibakteri ekstrak C. gracilis selama penyimpanan dalam refrigerator ( = V. harveyi; = E. coli; = S. aureus;
= B. cereus)
Hasil penelitian ini didukung oleh Akbar (2008) yang menyebutkan
bahwa ekstrak C. gracilis yang ditumbuhkan dalam mendium Guillard pada suhu
ruang, dan disimpan selama 2 bulan pada suhu rendah (-18 oC) masih memiliki
aktivitas antibakteri sama dengan awal. Ekstrak yang disimpan selama 2 bulan
memiliki aktivitas antibakteri sama dengan ekstrak yang tidak disimpan.
5.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disimpulka bahwa:
(1) Aktivitas antibakteri dari ekstrak C. gracilis lebih kecil (diameter zona hambat
7±0,8 mm untuk B. cereus dan 6 ±0,8 mm untuk V. harveyi) dibandingkan
antibiotik kloramfenikol (diameter zona hambat 34 ±1,0 mm untuk untuk B.
cereus dan 34 ±1,1 mm untuk V. harveyi), ampisilin (39 ±1,0 mm untuk untuk
B. cereus dan 29 ±1,4 mm untuk V. harveyi), tetrasiklin (32 ±1,1 mm untuk
untuk B. cereus dan 34 ±1,1 mm untuk V. harveyi), dan oksitetrasiklin (32
±1,1 mm untuk untuk B. cereus dan 33 ±1,4 mm untuk V. harveyi), sehingga
spektrum penghambatannya belum menyamai antibiotik komersial.
(2) Potensi relatif ekstrak C. gracilis terhadap antibiotik komersial masih kecil,
yaitu 21 %; 18 %; 21 %; 22 % terhadap kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin,
oksitetrasiklin untuk Bacillus cereus, serta 18 %; 21 %; 18 %; 18 % terhadap
kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin, oksitetrasiklin untuk Vibrio harveyi.
(3) Ekstrak C. gracilis yang disimpan selama 6 bulan pada suhu –18- (-20) oC
masih memiliki aktivitas antibakteri yang sama dengan yang disimpan pada 0,
1, 2 dan 3 bulan
0
1
2
3
4
5
6
7
8
0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 6 bulan
Dia
me
ter
zo
na
ha
mb
at(m
m)
6 KERUSAKAN BAKTERI OLEH SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK Chaetoceros gracilis
6.1 Pendahuluan
6.1.1 Latar belakang
Mikroalga merupakan biota perairan yang selama ini pemanfaatannya di
Indonesia masih terbatas untuk pakan larva. Sesungguhnya mikroalga
mempunyai potensi untuk dikembangkan karena dapat menghasilkan komponen
aktif dan kandungan kimia yang cukup potensial. Rosa et al. (2005) menyatakan
bahwa mikroalga telah lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti
pigmen, vitamin, lemak, sterol dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang
potensial untuk produk komersial di bidang akuakultur dan kosmetika.
Salah satu jenis mikroalga yang memiliki aktifitas biologikal adalah
Chaetoceros. Chaetoceros gracilis merupakan salah satu mikroalga laut yang
menghasilkan komponen aktif seperti antibakteri yang mana merupakan
antibakteri alami yang aman penggunaannya. Hasil penelitian Pribadi (1998)
menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Bacillus subtilis, Escherichia coli dan Pseudomonas sp.
Komponen yang mempunyai aktivitas antibakterial dalam Chaetoceros
tergolong asam lemak (Metting dan Pyne 1986; Wang 1999. Komponen aktif
pada Chaetoceros dapat menghambat bakteri Gram negatif dan positif (Wang
1999). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Chaetoceros gracilis yang
ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki aktivitas antibakteri yang dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Gram postif Staphylococcus aureus dan
Bacillus cereus serta bakteri Gram negatif Vibrio harveyi dan Escherichia coli.
Efektivitas antibakteri untuk setiap bakteri tidak sama, karena masing-
masing bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda. Struktur dinding sel
bakteri Gram positif berbeda dengan bakteri Gram negatif. Pada bakteri Gram
positif mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan
teikuronat. Bakteri Gram negatif memiliki lapisan di luar dinding sel yang
mengandung 5 -10% peptidoglikan, selain itu juga terdiri dari protein,
lipopolisakarida dan lipoprotein. Bakteri Gram negatif mempunyai dua lapisan
lipid (bilayer lipid) yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini
tersusun atas fosfolipid, polisakarida dan protein (Madigan et al. 2003).
Polisakarida dalam dinding sel biasanya mengandung asam amino N-
54
asetilglukosamin dan asam N-asetilmuramat. Pada gula amino ini terikat rantai-
rantai peptida pendek. Lapisan peptidoglikan lebih tebal (40 lapisan) pada
dinding sel bakteri Gram positif daripada dinding sel bakteri Gram negatif (1-5
lapisan) (Lewis et al. 2007). Bakteri Gram negatif memiliki dua lapisan lipid yang
dipisahkan oleh peptidoglikan. Ada juga outer membrane yang menempel pada
lapisan lipopolisakarida memperkuat sel dan melindungi dari lingkungan luar.
Pada membran ini ada porin dengan diameter 1-2 mm yang mengatur akses
larutan ke membran sitoplasma (Moat et al. 2002).
Antimikroba dapat merusak membran sitoplasma dan mempengaruhi
integritasnya. Kerusakan pada membran dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel, yang diikuti dengan
keluarnya materi intraselular. Minyak atsiri dapat bereaksi dengan fosfolipid dari
membran sel yang menyebabkan permeabilitas meningkat dan unsur pokok
penyusun sel hilang (Kim et al. 1995). Setiap zat yang mampu merusak dinding
sel atau mencegah sintetisnya akan menyebabkan sel peka terhadap tekanan
osmotik. Adanya tekanan osmotik dalam sel bakteri akan menyebabkan
terjadinya lisis (Setyabudi dan Gan 1995). Asam lemak dapat menghambat
pertumbuhan sel bakteri Gram positif Staphylococcus aureus dan S. pyogenes,
serta bakteri Gram negatif Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa.
Mekanisme penghambatan antibakteri asam lemak ini belum jelas tetapi diduga
mengganggu sintesis asam lemak (Zheng et al. 2005).
Setiap jenis bakteri memiliki sensitifitas yang berbeda terhadap
komponen aktif atau zat antimikroba. Mekanisme hambatan senyawa aktif
terhadap bakteri juga berbeda-beda. Pada penelitian ini dilakukan kajian
mekanisme kerusakan sel bakteri patogen setelah dikontakkan dengan ekstrak
C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi.
6.1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kerusakan bakteri yang
meliputi kebocoran sel (protein dan asam nukleat), gangguan dinding sel, serta
morfologi sel bakteri setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis.
55
6.2 Bahan dan Metode
6.2.1 Bahan dan alat
(1) Bahan baku
Chaetoceros gracilis yang telah diekstraksi dan beberapa bakteri uji yang
meliputi bakteri Gram positif (Bacillus cereus ATCC 13091, Staphylococcus
aureus ATCC 25923) serta bakteri Gram negatif (Escherichia coli ATCC 25922
dan Vibrio harveyi).
(2) Alat
Alat-alat yang digunakan pada tahap percobaan ini juga sama dengan
alat-alat yang digunakan pada tahap sebelumnya. Untuk analisis mekanisme
hambatan digunakan alat-alat seperti water bath shaker, spektrofotometer,
sentrifus, mikroskop, mikroskop elektron (JEOL JIM 5310nLV), dan alat gelas
yang digunakan di laboratorium.
6.2.2 Metode penelitian
Mekanisme hambatan atau kerusakan sel bakteri akibat kontak dengan
ekstrak Chaetoceros gracilis dilakukan terhadap bakteri Bacillus cereus dan
Vibrio harveyi yang memiliki aktivitas antibakteri paling besar (daerah hambatan
paling besar). Pengamatan mekanisme kerja ekstrak dilakukan dengan cara
menganalisis kerusakan dinding sel bakteri dengan cara mengukur zat
pembentuk dinding sel dan menganalisis kerusakan membran sel dengan cara
mengamati kebocoran sel, serta mengamati morfologi sel sebelum dan setelah
kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis.
6.2.3 Prosedur analisis
Metode untuk mengamati kerusakan tersebut antara lain dengan
mengukur pra zat penyusun dinding sel (N-asetil glukosamin), menganalisis
kebocoran sel bakteri dan menganalisis morfologi sel bakteri menggunakan
scanning electron microscopy (SEM).
(1) Analisis N-asetil-glukosamin (Reissig 1955 yang diacu Bintang 1993)
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan pengaruh
senyawa antibakteri (ekstrak Chaetoceros gracilis) terhadap dinding sel bakteri
dengan cara mengukur kadar N-asetil-glukosamin sebagai prazat mukopeptida
penyusun dinding sel.
56
Sebanyak 250 µg bakteri uji dicampur dengan 3 ml larutan antibakteri
(ekstrak Chaetoceros gracilis), dalam air suling steril dengan kadar 40 µg/ml dan
diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 jam, lalu disentrifugasi 7000 rpm pada 4 oC
selama 10 menit. Kemudian sel bakteri tersebut dibilas dengan air suling steril
dan disentrifugasi 7000 rpm pada 4 oC selama 10 menit. Sebagai pembanding
digunakan sel bakteri sama tanpa antibakteri (ekstrak C. gracilis) dan langsung
dibilas dengan air suling steril. Masing-masing perlakuan ditambahkan 0,5 ml
TCA (Trichloro Acid) 10 % suhu 4 oC dan diinkubasi pada suhu 4 oC selama 1
jam, lalu disentrifugasi 7000 rpm selama 10 menit.
Fase cair ditambahkan eter dengan volume yang sama untuk
mengeluarkan TCA, dengan cara mengocok campuran ini pada vorteks dan
dibiarkan supaya eter terpisah, lalu eter dibuang. Larutan bebas TCA
ditambahkan 75 µl HCl 0,25 N dan dimasukkan ke dalam penangas air mendidih
selama 5 menit. Lalu ditambah 150 µl NaOH 0,125 N dalam Na2B4O7 2% dan
dipanaskan pada penangas air mendidih selama 7 menit. Kemudian dicampur
dengan 1350 µl dimetil aminobenzaldehida 1 % dalam campuran asam asetat
dan asam klorida dengan perbandingan 95 : 5, lalu dibiarkan selama 20 menit
pada suhu 37 oC, selanjutnya dibaca serapan optiknya pada panjang gelombang
550 nm. Bila terjadi kekeruhan, artinya terjadi penimbunan N-asetil glukosamin.
(2) Analisis kebocoran sel bakteri (Bunduki et al. 1995)
Pengamatan kebocoran sel dilakukan untuk mempelajari bagaimana
ekstrak mengganggu permeabilitas membran sel. Mekanisme perusakan
membran sel merupakan salah satu tanda tidak normalnya sel setelah ada
perlakuan ekstrak. Analisa kebocoran sel dilakukan dengan menggunakan alat
Spektro UV-VIS RS Digital Spectrophotometer LaboMed, Inc. pada panjang
gelombang 280 nm dan 260 nm. Panjang gelombang 280 nm digunakan untuk
mengukur kadar nitrogen dari protein sel, sedangkan panjang gelombang 260
nm untuk mengukur kadar nitrogen dari nukleus sel.
Sebanyak 10 ml kultur murni disentrifugasi selama 10 menit. Filtrat
dibuang lalu ditambahkan 5 ml larutan garam fisiologis (0,85% NaCl) dalam
endapan sel pada tabung reaksi, kemudian diaduk menggunakan vorteks agar
sel homogen dalam larutan fisiologis. Selanjutnya ditambahkan ekstrak dan
dibiarkan selama 24 jam. Sebagai pembanding digunakan sel bakteri sama
tanpa penambahan ekstrak. Selanjutnya suspensi disentrifugasi pada 10 000
rpm selama 10 menit dan supernatan disaring dengan kertas saring untuk
57
memisahkan selnya. Analisis dilakukan dengan mengamati OD dari cairan
supernatan, menggunakan spektrofotometer (Spectro UV-Vis RS) pada panjang
gelombang 280 dan 260 nm.
(3) Analisis perubahan morfologi sel bakteri (Bozolla dan Russel 1992)
Analisis perubahan morfologi sel dilakukan untuk mempelajari perubahan
morfologi terhadap struktur sel akibat penggunaan ekstrak yang mengandung
senyawa antibakteri, yang meliputi kerusakan morfologi sel, struktur bakteri,
serta kerusakan dinding sel. Mula-mula bakteri dibuat tersuspensi dalam ekstrak,
kemudian diinkubasi pada inkubator goyang dengan kecepatan 100 rpm.
Selanjutnya cairan disentrifugasi dan dibuang supernatannya, lalu ditambahkan
glutaraldehida 2% dan direndam. Kemudian disentrifugasi lagi, dibuang larutan
fiksatif, lalu ditambahkan bufer caccodylate dan dibiarkan beberapa menit,
disentrifugasi lagi, dibuang bufernya lalu ditambahkan osmium tetra oksida.
Selanjutnya disentrifugasi lagi, dibuang larutannya, ditambahkan alkohol 50%,
lalu ditambahkan alkohol lagi, disentrifugasi lagi, ditambahkan butanol.
Kemudian dibuat ulasan suspeni pada cover slip, lalu dikeringkan. Selanjutnya
spesimen yang sudah jadi dilihat menggunakan mikroskop elektron (SEM) JEOL,
JIM-5310 LV.
6. 3 Hasil dan Pembahasan
6.3.1 Pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap kebocoran sel
Kebocoran sel bakteri pada penelitian ini dimaksudkan untuk melihat
kerusakan atau gangguan permeabilitas pada membran sel bakteri. Analisis
kebocoran akibat pemberian ekstrak dilakukan dengan mengukur kekeruhan
medium pertumbuhan bakteri yang telah diberi ekstrak dibandingkan tanpa
ekstrak dengan menggunakan spektrofotometer. Kerusakan membran diukur dari
bahan-bahan yang dilepaskan oleh sel bakteri yang dapat diserap pada panjang
gelombang 260 nm (N nitrogen dalam asam nukleat) dan 280 nm (N nitrogen
dalam protein). Mekanisme perusakan membran sel merupakan salah satu tanda
tidak normalnya sel setelah ada perlakuan ekstrak. Hasil analisis kebocoran sel
dapat dilihat pada Gambar 13.
Hasil penelitian (Gambar 13) menunjukkan bahwa nilai OD 260 nm dan OD280
nm pada semua bakteri uji dipengaruhi oleh penggunaan ekstrak C.gracilis.
Bakteri yang dikontakkan dengan ekstrak memiliki nilai OD lebih besar daripada
tanpa ekstrak. Hal ini menunjukkan terjadinya pelepasan asam nukleat dan
58
protein ke dalam medium pertumbuhannya. Berdasarkan analisis ini dapat
dikatakan bahwa sel bakteri uji mengalami kerusakan atau kebocoran akibat
adanya ekstrak Chaetoceros gracilis.
Gambar 13 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kebocoran asam nukleat ( = OD 260 nm) dan kebocoran protein sel ( = OD 280 nm)
Kebocoran sel bakteri terjadi diduga karena rusaknya ikatan hidrofobik
komponen penyusun membran. Kim et al. (1995) menyatakan bahwa kebocoran
sel terjadi karena ikatan hidrofobik yang terdiri dari komponen penyususn
membran seperti protein dan fosfolipid rusak, serta larutnya komponen-
komponen lain yang berikatan secara hidrofilik dan hidrofobik. Lin et al. (2000)
juga menyatakan bahwa kondisi ini dapat meningkatkan permeabilitas membran
sel, sehingga memudahkan masuknya komponen antibakteri ke dalam sel serta
mengakibatkan keluarnya substansi sel seperti protein dan asam nukleat yang
menyebabkan terjadinya kerusakan sel. Menurut Ultee et al. (1998) senyawa
aktif dapat menyerang membran sitoplasma dan mempengaruhi integritas
membran sitoplasma sehingga mengakibatkan kebocoran materi intraselular.
Adanya gugus hidrofobik pada senyawa antimikroba menyebabkan perubahan
komposisi dan pelarutan pada membran sel yang akhirnya membran mengalami
kerusakan.
Pada penelitian ini terjadi kebocoran sel bakteri uji, yang menunjukkan
terjadinya kerusakan membran sel bakteri. Bahan aktif dari C. gracilis yang
berperan dalam penghambatan bakteri diduga asam lemak. Karena asam lemak
dapat mengganggu membran bakteri. Zheng et al. (2005) melaporkan bahwa
asam lemak dapat menghambat pertumbuhan sel bakteri Gram positif
0.000
0.020
0.040
0.060
0.080
0.100
0.120
0.140
0.160
0.180
0.200
Nila
i ab
sorb
ansi
pro
tein
dan
as
am n
ukl
eat
59
Staphylococcus aureus dan S. pyogenes, serta bakteri Gram negatif Escherichia
coli dan Pseudomonas aeruginosa. Mekanisme penghambatan antibakteri asam
lemak belum jelas. Heat et al. (2001) menyatakan bahwa biosintesa lipid
menjadi target untuk bahan antibakteri. Lipid merupakan komponen utama untuk
pertumbuhan sel, sehingga biosintesis lipid merupakan target yang baik untuk
intervensi terapeutik dalam penyakit yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.
Komposisi lipid pada bakteri lebih sederhana dibanding manusia, oleh karena itu
sangat ideal untuk pengembangan obat baru.
Ekstrak C. gracilis pada penelitian ini mengandung asam lemak jenuh
seperti kaprilat, miristat, palmitat, laurat, miristoleat, pentadekanoat, stearat,
heneikosanoat, behenat, serta asam lemak tidak jenuh seperti palmitoleat,
heptadekanoat, elaidat, oleat, linoleat, arakhidonat, linolenat, dokosadienoat,
eikosapentaenoat dan dokosaheksaenoat. Menurut Zheng et al. (2005) asam
lemak tidak jenuh seperti asam palmitoleat, asam oleat, asam linolenat dan asam
arakhidonat, serta asam lemak jenuh stearat memiliki aktivitas antibakteri. Hal ini
sesuai dengan yang dinyatakan Metting dan Pyne (1986) serta Wang (1999)
dimana komponen aktif yang dimiliki Chaetoceros adalah golongan asam lemak.
Zheng et al. (2005) menyatakan bahwa mekanisme aktivitas antibakteri jenis
asam lemak belum jelas. Asam lemak tidak jenuh rantai panjang (C16-C20)
memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus, Streptococcus,
Mycobacterium, Helicobacter, dan Bacilli. Dilika et al. (2000) melaporkan bahwa
asam lemak linoleat dan oleat memiliki aktivitas antibakteri yang dapat melawan
Bacillus megaterium dengan MIC 0,2 dan 0,05 mM. Kedua asam lemak ini juga
menghambat pertumbuhan Pseudomonas phaseolicola. Selain itu asam lemak
linoleat juga mempunyai aktivitas penghambatan terhadap Streptococcus mutans
dan B. larvae. Kedua asam lemak ini mempunyai aktivitas sinergistik.
Chaetoceros gracilis mengandung asam lemak antara lain asam
palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat, asam arakhidonat, asam
stearat yang diduga memiliki aktivitas antibakteri. Menurut Zheng et al. (2005)
asam lemak tidak jenuh menunjukkan aktivitas penghambatan lebih besar
dibanding asam lemak jenuh. Asam linoleat menunjukkan aktivitas antibakterial
yang merupakan antimikroba pada bahan pangan tambahan dan antibakteri
dalam herbal. Asam linoleat ini juga diduga menghambat pertumbuhan dengan
cara meningkatkan permeabilitas membran bakteri, tetapi reaksi mekanisme
hambatannya belum jelas. Senyawa aktif dalam triclosan adalah asam linoleat
60
yang telah ditargetkan sebagai biocide yang memiliki spektrum luas, dimana
digunakan sebagai bahan tambahan antibakteri yang berperan sebagai biocide
non spesifik (Zheng et al. 2005). Adanya kandungan asam lemak yang memiliki
aktivitas antibakteri dalam Chaetoceros gracilis memerlukan penelitian lanjutan
untuk pengembangan bidang farmasetika dan pangan.
6.3.2 Pengaruh ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap dinding sel bakteri
Unit dasar dari dinding sel bakteri tersusun atas peptidoglikan, dimana
memberikan kekuatan pada sel bakteri, selain itu berperan juga sebagai dasar
membran sitoplasma. Peptidoglikan tersusun atas N-asetilglukosamin dan N-
asetilmuramat serta beberapa asam amino seperti L-alanin, D-alanin, D-glutamat
dan lisin. N-asetilglukosamin merupakan prazat mukopeptida pembentuk dinding
sel bakteri, yang mana dapat terganggu oleh adanya antibiotik.
Kerusakan dinding sel bakteri dapat dilihat dengan mengukur prazat
mukopeptida penyusun dinding sel yang ditandai dengan kekeruhan pada media.
Penelitian ini bertujuan menentukan pengaruh penggunaan ekstrak Chaetoceros
gracilis yang mempunyai aktivitas antibakteri terhadap kerusakan dinding sel
bakteri. Hasil analisis prazat disajikan pada Gambar 14. Bakteri yang medium
pertumbuhanya ditambah ekstrak Chaetoceros gracilis menghasilkan
absorbansi (optical density) lebih besar dibanding tanpa penambahan ekstrak,
artinya di dalam medium ada penimbunan N-asetil glukosamin sebagai prazat
mukopetida penyusun dinding sel bakteri. Hal ini menunjukkan terjadinya
gangguan atau kerusakan dalam dinding sel bakteri.
Gambar 14 Pengaruh ekstrak C. gracilis terhadap kandungan N-asetil glukosamin ( = tanpa ekstrak, = penambahan ekstrak).
0.000
0.010
0.020
0.030
0.040
0.050
0.060
S. aureus B. cereus V. harveyi E. coli
Ab
sorb
ansi
N-a
seti
lglu
kosa
min
61
Struktur dinding sel bakteri Gram positif tidak sama dengan bakteri
Gram negatif. Dinding sel bakteri Gram negatif memiliki dua lapisan lipid (bilayer
lipid), yang disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini tersusun atas
fosfolipid, polisakarida dan protein (Madigan et al. 2003). Hasil analisis prazat
mukopeptida pembentuk dinding sel bakteri yang diduga N-asetil glukosamin
menunjukkan bahwa ekstrak menyebabkan kerusakan dinding sel bakteri.
Penelitian serupa telah dilakukan Bintang (1993) yang melaporkan bahwa
senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptococcus lactis dapat menghambat
pembentukan dinding sel bakteri Eschericha coli, mekanisme penghambatannya
adalah menghambat kerja enzim fosfatase alkalis pada tahap awal pembentukan
dinding sel bakteri, sehingga terjadi penimbunan pra zat pembentuk dinding sel.
Kandungan pra zat pembentuk dinding sel bakteri seperti N-
asetilglukosamin yang ditunjukkan dengan hasil serapan optik pada bakteri S.
aureus dan B. cereus lebih besar dibanding bakteri E. coli. Hal ini terjadi karena
struktur dinding sel bakteri tersebut berbeda, sehingga efek antibakteri terhadap
bakteri juga berbeda. Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang
mempunyai dua lapisan lipid, sedangkan bakteri Gram positif seperti
Stapylococcus aureus dan Bacillus cereus hanya memiliki satu lapisan, sehingga
antibiotik lebih mudah menembus ke dalam sel bakteri Stapylococcus aureus
dan Bacillus cereus.
Pada penelitian ini kontak ekstrak dengan bakteri dapat menyebabkan
kerusakan dinding sel bakteri. Rusaknya dinding sel bakteri diduga karena
adanya reaksi antara senyawa aktif dari ekstrak dengan dinding sel bakteri .
Menurut Kabara et al. (1972) cara kerja obat antara lain merubah permeabilitas
dari dinding sel. Hal ini dapat terjadi karena keluarnya nutrien atau terjadinya
difusi metabolit esensial. Ultee et al. (1998) melaporkan bahwa mekanisme kerja
antimikroba ada yang mempunyai spektrum luas, sempit dan ada yang hanya
efektif terhadap mikroorganisme tertentu. Pengaruh antibiotik terhadap dinding
sel dapat terjadi akibat akumulasi asam lemak maupun asam organik dari bahan
(antimikroba) dalam bentuk tidak terdisosiasi akan menyebabkan perubahan
terhadap komposisi penyusun dinding sel. Senyawa aktif dapat bereaksi dengan
dinding sel bakteri dan membran sel. Selain itu kerusakan pada dinding sel
bakteri juga dapat disebabkan oleh terjadinya tekanan osmotik.
62
6.3.3 Pengaruh ekstrak C gracilis terhadap morfologi sel bakteri
(1) Bacillus cereus
Bacillus cereus adalah bakteri patogen, Gram positif berbentuk batang
berspora, banyak ditemukan air, debu maupun tanah, yang mana sporanya
tahan panas. Bakteri ini menghasilkan ekstraselular toksin dan enzim.
Eksotoksin B. cereus dapat menyebabkan diare. Bahan pangan yang sering
ditumbuhi bakteri ini antara lain nasi, susu, jagung, sayuran, daging, sosis,
puding. Bakteri ini sensitif terhadap Butylated hydoxyanisole (BHA),
pertumbuhannya dapat dihambat pada konsentrasi <500 ppm (Jay 2000).
Bacillus cereus termasuk mikroorganisme yang memiliki dinding sel.
Seperti yang disajikan pada Gambar 15, Bacillus cereus terlihat utuh. Sel
Bacillus cereus menjadi berubah setelah dilakukan kontak langsung dengan
ekstrak Chaetoceros gracilis (Gambar 16). Perubahan morfologi sel B. cereus
ditunjukkan dengan perubahan pada selnya, dimana setelah kontak dengan
ekstrak, sel Bacillus cereus mengalami kerusakan.
Gambar 15 Sel Bacillus cereus tanpa perlakuan (perbesaran 20 000 x)
Hasil analisis kebocoran sel menunjukkan bahwa sel bakteri mengalami
lisis, dimana mengalami gangguan membran sel. Gangguan tersebut
ditunjukkan dengan terjadinya kebocoran protein dan asam nukleat. Chaetoceros
gracilis hasil penelitian ini mengandung asam lemak seperti stearat, palmitoleat,
linoleat, oleat, linolenat, arakhidonat yang menurut Zheng et al. (2005) asam
lemak jenis tersebut memiliki aktivitas antibakteri. Berdasarkan hal ini komponen
yang memiliki aktivitas antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis diduga asam
lemak.
63
Gambar 16 Sel Bacillus cereus yang dikontakkan dengan ekstrak C. gracilis (perbesaran 20 000 x)
(2) Vibrio harveyi Vibrio harveyi merupakan bakteri Gram negatif yang sering menyebabkan
gangguan kesehatan pada larva udang. Tingginya mortalitas larva di panti benih
udang kebanyakan dikarenakan Luminescent vibriosis yang disebabkan oleh
Vibrio harveyi atau Vibrio splendidus.
Hasil analisis kebocoran menunjukkan bahwa Vibrio harveyi mengalami
kebocoran akibat kontak dengan ekstrak C. gracilis. Demikian juga hasil analisis
prazat yang menunjukkan bahwa bakteri ini mengalami lisis. Hasil analisis
biokimia ini didukung dengan hasil pengamatan menggunakan SEM. Sel bakteri
yang tidak dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis terlihat utuh
(Gambar 17), sedangkan yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis
terlihat mengalami kerusakan (Gambar 18).
Gambar 17 Sel Vibrio harveyi tanpa perlakuan (perbesaran 20 000 x)
Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa Chaetoceros memiliki
antibakteri yang termasuk dalam golongan asam lemak. Chaetoceros gracilis
pada penelitian ini juga mengandung asam lemak. Kabara et al. (1972)
64
menyatakan bahwa asam-asam lemak terutama asam laurat dapat menghambat
enzim yang terlibat pada produksi energi dan pembentukan komponen struktural
sehingga dapat mengganggu pembentukan dinding selnya. Mekanisme
kerusakan dinding sel dapat disebabkan oleh adanya akumulasi komponen
lipofilik yang terdapat pada dinding sel atau membran sel.
Gambar 18 Sel Vibrio harveyi yang dikontakkan dengan ekstrak Chaetoceros gracilis (perbesaran 20 000 x)
6.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan :
(1) Bakteri uji setelah kontak dengan ekstrak mengalami kebocoran sel.
(2) Kontak antara bakteri uji dengan ekstrak Chaetoceros gracilis
mengakibatkan kebocoran sel bakteri.
(3) Sel bakteri uji (B. cereus dan V. harveyi) mengalami perubahan (kerusakan)
morfologi setelah kontak dengan ekstrak Chaetoceros gracilis.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, dapat disarankan untuk
dilakukan penelitian lebih lanjut tentang reaksi mekanisme hambatan antibakteri.
7 KANDUNGAN SENYAWA KIMIA MIKROALGA Chaetoceros gracilis YANG DITUMBUHKAN DALAM MEDIUM NPSi
7.1 Pendahuluan
7.1.1 Latar belakang
Keanekaragaman organisme laut di Indonesia cukup tinggi, akan tetapi
belum dimanfaatkan secara optimal. Biodiversiti ini merupakan aset penting
dalam pengembangan bioteknologi laut. Sejauh ini pengembangan bioteknologi
di Indonesia dilakukan antara lain pada bidang pertanian, pangan dan kesehatan
maupun lingkungan. Produk alam dari laut dapat digunakan untuk berbagai
tujuan tergantung struktur kimia dan karakteristiknya, antara lain untuk
nutrasetika, farmasetika dan berbagai bahan tambahan lainnya (Nontji 1999).
Senyawa-senyawa kimia yang digunakan untuk farmasetika dan nutrasetika
biasanya memiliki aktivitas biologis.
Mikroalga merupakan biota perairan yang potensial untuk dikembangkan
karena dapat menghasilkan produk komersial di bidang pangan, farmasi,
kosmetika, pertanian, pakan dan sebagainya. Nutrisi mineral alga tidak jauh
berbeda dengan tumbuhan tingkat tinggi. Kebutuhan absolut umum untuk alga
meliputi karbon, fosfor, nitrogen, sulfur, potasium dan magnesium. Elemen-
elemen seperti besi dan mangan diperlukan dalam jumlah sedikit. Beberapa
elemen seperti kobal, seng, boron, copper dan molybdenum merupakan
essential trace element. Selain mineral ini beberapa alga juga memerlukan
substrat organik seperti vitamin, yaitu faktor tumbuh untuk pertumbuhan (Becker
1994).
Umumnya alga digunakan sebagai pakan untuk organisme perairan yang
memiliki nilai komersiel penting, termasuk diatom yang ukurannya bervariatif.
Diatom yang banyak digunakan dalam marinkultur komersiel adalah
Skeletonema costatum, Thalassiosira pseudonana, Chaetoceros gracilis, C.
calcitrans dan sebagainya (BBLL 2002).
Nutrisi dalam media pertumbuhan mikroalga akan mempengaruhi
pertumbuhan dan komposisi kimianya. Mikroalga yang ditumbuhkan dalam
medium yang berbeda akan menghasilkan metabolit yang berbeda pula. Hasil
penelitian sebelumnya menghasilkan bahwa Chaetoceros gracilis dapat
ditumbuhkan dalam medium NPSi dan memiliki aktivitas antibakteri terhadap
beberapa jenis bakteri patogen seperti bakteri Gram positif (Bacillus cereus
66
ATCC 13091 dan Staphylococcus aureus ATCC 25923 serta bakteri Gram
negatif (Escherichia coli ATCC 25922 dan Vibrio harveyi).
Chaetoceros gracilis selain mengandung komponen antibakteri, juga
mengandung komponen kimia lainnya. Akan tetapi belum diketahui kandungan
kimiawi dari biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium pupuk NPSi.
Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian komposisi kimia (nutrisi) dari C. gracilis
yang ditumbuhkan dalam medium NPSi.
7.1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini antara lain mendapatkan komposisi senyawa
kimia dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi.
Komposisi senyawa kimia yang diteliti pada penelitian ini adalah (1) Kandungan
protein, lemak, karbohidrat; (2) Komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis;
(3) Komposisi asam lemak dari biomasa C. gracilis, dan kandungan mineral dari
biomasa C. gracilis; (4) Fitokimia; (5) Kandungan asam nukleat.
7.2 Bahan dan Metode
7.2.1 Bahan dan alat
Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah diatom laut jenis
Chaetoceros gracilis yang merupakan koleksi dari Pusat Penelitian Oseanografi,
LIPI, Jakarta. Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam medium pupuk NPSi dan
dipanen pada umur 7 hari. Kultivasi dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Hasil
Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan (FPIK) IPB. Beberapa analisis dilakukan di Laboratorium Biokimia dan
Bioteknologi Hasil Perairan Departemen THP, analisis mineral dilakukan di
Laboratorium Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Kimia
Balai Penelitian Tanah, analisis asam nukleat dilakukan di Laboratorium
Genetika Ikan Departemen Budidaya Perairan, FPIK-IPB, dan analisis asam
amino dan asam lemak dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB.
Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan untuk kultivasi yaitu flask dan
akuarium yang dilengkapi dengan lampu dan aerator. Selain itu juga digunakan
pengering beku, refrigerator, spektrofotometer, Gas Chromatography (GC),
Shimadzu, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Shimadzu, Atomic
Absorbtion Spectrophotometer (AAS), Hitachi, Gen Quant, serta alat-alat gelas
lainnya yang digunakan di laboratorium.
67
7.2.2 Metode penelitian
(1) Kultivasi dan pemanenan C. gracilis
Chaetoceros gracilis dikultivasi dalam akuarium yang berisi medium NPSi.
Sebagai sumber cahaya digunakan lampu neon 20 Watt, untuk aerasi digunakan
aerator yang diberikan secara terus menerus. Setelah kultur berumur 7 hari,
biomasa dipanen menggunakan filter keramik (British PORTACEL) dengan
pompa (Deng Yuan). Biomasa dikeringkan menggunakan freeze dryer Yamato
untuk proses berikutnya.
(2) Pemanenan biomasa Chaetoceros gracilis
Kultur C. gracilis dipanen pada hari ke 7 untuk dipisahkan biomasanya.
Pemanenen dilakukan menggunakan filter keramik. Biomasa yang diperoleh
selanjutnya dikeringkan menggunakan freeze dryer.
7.2.3 Prosedur analisis
Analisis kimia pada ekstrak C. gracilis dilakukan untuk mengetahui
kandungan protein, lemak, karbohidrat, asam amino, asam lemak, mineral,
fitokimia, dan kandungan asam nukleat. Hal ini dilakukan untuk mengetahui nilai
gizi biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi, sehingga dapat
diketahui manfaat lain dari biomasa C. gracilis selain memiliki aktivitas antibakteri.
Analisis yang dilakukan meliputi kadar protein, kadar lemak, karbohidrat,
komposisi asam amino menggunakan HPLC Shimadzu, komposisi asam lemak
menggunakan GC Shimadzu, komposisi mineral menggunakan AAS Hitachi Z
5000, kandungan asam nukleat menggunakan Gen Quant.
(1) Analisis kadar protein (Lowry et al. 1951 diacu dalam Chrismadha 1993)
Pada analisa protein ini telah disiapkan beberapa larutan yang diperlukan
selama tahap analisis, yang meliputi sebagai berikut:
1) Larutan alkaline copper
Sebanyak 20 ml NaOH 4 % (w/v) dan 10 ml Na2CO3 20 % (w/v) disatukan
kemudian ditambahkan akuades sampai 100 ml ( larutan alkaline buffer).
Larutan alkaline copper kemudian dibuat dengan menambahkan 1 ml Na-
K tartrate 20 % (w/v) dan 1 ml CuSO4.4H2O 5 % (w/v) ke dalam larutan.
Bahan ini disiapkan segar sebelum digunakan.
2) Larutan standar
Protein standar yang digunakan dalam analisis ini adalah Bovine Serum
Albumin (BSA). Untuk larutan stok standar, dibuat larutan dengan
68
mencampurkan 50 mg BSA ke dalam 50 ml aquades dalam botol reagent
dan disimpan pada refrigerator. Larutan diperbaharui setiap bulannya.
3) Larutan folin-Ciocalteu-Fenol
4) Kandungan total protein ditentukan berdasarkan kurva standar hasil
pengukuran spektrofotometri
5) Prosedur analisis :
Biomasa kering ditimbang sebanyak 2 mg. Selanjutnya sampel di
dilarutkan dalam 10 ml akuades kemudian diambil sebanyak 2 ml ke dalam
tabung sentrifugasi 10 ml. Selanjutnya ditambahkan Cu-alkalin 5 ml ke dalam
tiap sampel dan pada tiap seri standar. Sampel dan standar dibiarkan selama 1
jam pada suhu ruang kemudian ditambahkan 2 kali 0,3 ml folin-cioocalteu-fenol
sambil dihomogenkan menggunakan vorteks. Sampel didiamkan selama 15
menit pada suhu ruang lalu disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 10
menit. Supernatan diambil dan diukur pada panjang gelombang 660 nm.
Kandungan protein pada sampel dapat dilihat melalui kurva grafik pada standar.
(2) Analisis kadar lemak (Bligh dan Dyer 1959 diacu dalam Chrismadha 1993)
Biomasa kering ditimbang sebanyak 10 mg, lalu diekstraksi dengan 5 ml
campuran pelarut kloroform (Cl3CH), metanol (MeOH), air (H2O) dengan
perbandingan (1 : 2: 0,8 v/v/v) kemudian dimasukkan ke dalam botol sentrifugasi
10 ml. Setelah itu sampel disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan
2500 rpm. Supernatan kemudian dipindahkan ke dalam botol sentrifugasi 10 ml
yang lain sampai total volume 5,7 dengan kloroform (Cl3CH): metanol (MeOH):
air (H2O).
Untuk mendapatkan pemisahan fase, sebanyak 1,5 ml kloroform dan 1,5
ml air non ion ditambahkan kemudian dihomogenkan dan untuk mendapatkan
pemisahan fase yang terbaik sampel disentrifugasi. Lapisan hijau kloroform
secara hati-hati dipisahkan dengan pipet pasteur. Bobot lemak ditentukan
dengan menuangkan lemak terlarut ke dalam botol kecil (vial) yang telah
ditimbang terlebih dahulu, dan dikeringkan secara evaporasi dengan gas N2
murni. Botol yang berisi lemak kering kemudian ditimbang kembali setelah
disimpan dalam desikator semalam
(3) Analisa karbohidrat (Kochert 1978 diacu dalam Chrismadha 1993).
1) Bahan : H2SO4 98 %, 5 % (w/v) larutan fenol, larutan H2SO4 2 N
69
2) Standar : sebanyak 100 mg glukosa dilarutkan dalam 100 ml larutan
H2SO4 2 N kemudian disimpan pada suhu 4 oC dan disiapkan segar
setiap bulan
3) Prosedur analisis:
Sebanyak 2 mg sampel di homogenkan dengan 2 ml H2SO4 2 N,
kemudian ekstrak (termasuk 3 ml H2SO4 2 N ditambahkan agar volume total 5
ml) dipindahkan ke botol sentrifugasi 10 ml dan diinkubasi selama 60 menit pada
suhu 100 oC. Setelah itu, sampel didinginkan pada suhu ruang kemudian
disentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 2500 rpm, kemudian 0,5 ml
supernatan dipindahkan ke botol test 10 ml yang baru.
Pada saat yang bersamaan, disiapkan satu set standar yang terdiri dari
0,10, 20, 40, 60, 80 dan 100 ppm glukosa dan ditambahkan H2SO4 2 N hingga 1
ml. Lalu larutan fenol 5 % sebanyak 1 ml ditambahkan ke dalam larutan standar
dan larutan sampel tersebut sambil dihomogenkan menggunakan vorteks diikuti
dengan penambahan 5 ml H2SO4 sampai homogen pada suhu ruang.
Selanjutnya absorban dibaca pada panjang gelombang 485 nm pada
spektrofotometer. Kandungan karbohidrat pada sampel dapat dilihat melalui
kurva grafik pada standar.
(4) Analisis komposisi asam lemak (AOAC 2005).
Sampel dalam bentuk lemak ditimbang 20-30 mg dalam tabung bertutup
teflon. Kemudian ditambahkan 1 mL NaOH 0,5 N dalam metanol dan
dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan 2
mL BF3 16 %, lalu dipanaskan selama 20 menit. Setelah dingin ditambahkan 2
mL NaCl jenuh dan 1 mL heksan dikocok dengan baik. Kemudian lapisan heksan
dipindahkan dengan bantuan pipet yang berisi 0,1 g Na2SO4 anhidrat, lalu
dibiarkan selama 15 menit. Fase cair dipisahkan, selanjutnya diinjeksikan ke
kromatografi gas.
(5) Analisis komposisi asam amino (Nur et al. 1992).
Sampel dalam tabung ulir ditambahkan 1 mL HCl 6 N, lalu dialirkan gas
nitrogen selama 0,5-1 menit dan tabung segera ditutup. Selanjutnya tabung
dimasukkan ke dalam oven suhu 110 oC selama 24 jam untuk melakukan tahap
hidrolisis. Kemudian didinginkan pada suhu kamar dan larutan dipindahkan
secara kuantitatif ke labu rotary evaporator. Tabung ulir dibilas dengan 2 mL HCl
0,01 N sebanyak 2-3 kali. Larutan bilasan digabung ke labu rotary evaporator,
sampel lalu dikeringkan dengan evaporator. Selanjutnya sampel ditambah
70
dengan 5 mL HCl 0,01 N, kemudian disaring dengan kertas milipore. Sampel
ditambahkan Buffer Kalium Borat pH 10,4 dengan perbandingan 1 : 1.
Selanjutnya sampel sebanyak 10 µl dimasukkan ke dalam vial kosong yang
bersih dan ditambahkan 25 µl pereaksi OPA, dibiarkan selama 1 menit agar
derivatisasi berlangsung sempurna. Kemudian sampel diinjeksikan ke dalam
kolom HPLC sebanyak 5 µl kemudian tunggu sampai pemisahan semua asam
amino selesai. Waktu yang diperlukan sekitar 25 menit.
(6) Analisis mineral
Analisis mineral yang dilakukan meliputi P, Mg, Ca, Fe, Zn, Mn mengacu
pada metode Reitz et al. (1960). Sebanyak 1 g sampel kering dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, lalu ditambahkan 5 ml HNO3 pekat, dibiarkan sekitar 1 jam.
Selanjutnya dipanaskan di atas hotplate selama 4 jam. Setelah dingin
ditambahkan 0,4 mL H2SO4 pekat, lalu dipanaskan. Selanjutnya sampel diangkat
dari hotplate untuk ditambahkan 0,1 mL larutan campuran HClO4:HNO3 (2:1),
sehingga terjadi perubahan warna coklat-kuning-bening. Kemudian dipanaskan
lagi selama 15 menit, lalu ditambahkan 2 mL akuades, 0,6 mL HCl pekat, dan
dipanaskan lagi hingga larut. Selanjutnya diencerkan dalam labu takar sampai
100 mL dengan akuades, lalu diukur menggunakan AAS Hitachi Z 5000.
Analisis kandungan silika (SiO2) dilakukan menggunakan metode acid
detergent fibre (ADF) yang mengacu pada metode yang dilakukan Tim
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan (2003). Sebelum dilakukan penentuan
kadar silika bahan, telah dilakukan penghilangan lignin dan selulosa. Abu hasil
penghilangan lignin dan selulosa ditimbang (a gram), ditetesi hingga basah
dengan HBr 48%. Selanjutnya dibiarkan selama 1-2 jam. Kelebihan asam
dikeluarkan dengan menggunakan vakum dan dicuci dengan aseton. Kemudian
dikeringkan dan diabukan menggunakan tanur bersuhu 400 – 600 oC, lalu
didinginkan dan ditimbang (f gram).
Perhitungan : f - b % Silika = x 100 % a
(7) Analisis fitokimia (Harborne 1987)
Uji fitokimia pada biomasa dan ekstrak C. gracilis dilakukan untuk
mengetahui golongan senyawa yang ada pada ekstrak mikroalga, antara lain
alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, biuret, dan
ninhidrin.
71
1) Uji alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 3-5 tetes asam sulfat 2 N. Kemudian
diuji dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu pereaksi Dragendorff, Meyer dan
Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer terbentuk
endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan
endapan merah sampai jingga dengan pereaksi Dragendorff.
Pereaksi Wagner dibuat dengan cara memipet 10 ml akuades ditambah
2,5 gram iodin dan 2 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan
akuades menjadi 200 ml dalam labu takar. Pereaksi ini berwarna coklat.
Pereaksi Meyer dibuat dengan cara menambahkan 1,36 g HgCl2 dengan
0,5 gram kalium iodida. Lalu dilarutkan dan diencerkan dengan akuades menjadi
100 ml dengan labu takar. Pereaksi ini tidak berwarna.
Pereaksi Dragendorff dibuat dengan cara menambahkan 0,8 gram bismut
subnitrat dengan 10 ml asam asetat dan 40 ml air. Larutan ini dicampur dengan
larutan yang dibuat dari 8 gram kalium iodida dalam 20 ml air. Sebelum
digunakan 1 volume campuran ini diencerkan dengan 2,3 volume campuran 20
ml asam asetat glasial dan 100 ml air. Pereaksi berwarna jingga.
2) Uji steroid (Liebermann-Burchard)
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi
yang kering. Tabung reaksi tersebut selanjutnya ditambah 10 tetes anhidrida
asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah
untuk pertama kali, yang kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan
adanya reaksi positif.
3) Uji flavonoid
Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,05 mg dan 0,2 ml
alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume sama)
dan 2 ml alkohol. Kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah,
kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menujukkan adanya flavonoid.
4) Uji saponin (uji busa)
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang
stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N,
menunjukkan adanya saponin
72
5) Uji fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3 )
Kedalam 1 ml ekstrak sampel (1 gram sampel diekstrak dengan 20 ml
etanol 70 % ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3 5 %. Terbentuknya warna hiaju
atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan.
6) Uji Molisch
Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu antara 2 lapisan
cairan.
7) Uji ninhidrin
Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah 5 tetes larutan ninhidrin 0,1 %.
Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terjadinya larutan
berwarna biru menunjukkan reaksi yang positif terhadap adanya asam amino.
(8) Analisis kandungan asam nukleat
1) Sebanyak 5-10 mg sampel ditimbang, ditambahkan 200 µl cell lysis
solution
2) Sampel ditambah 1,5 µl proteinase K (20 mg/ml), lalu diinkubasi pada
suhu 55 oC (overnight)
3) Sampel dikeluarkan dari alat incubator dan dibiarkan sampai mencapai
suhu ruang. Selanjutnya ditambahkan 1,5 µl RNase (4 mg/ml), lalu diaduk
dengan hati-hati sebanyak 25 kali, lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama
60 menit
4) Sampel dikeluarkan dari inkubator, lalu disimpan pada es selama 5 menit,
kemudian ditambahkan 100 µl protein precipitation solution
5) Sampel disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 15 menit
6) Supernatan dipindahkan ke tube baru yang berisi 200 µl isopropanol, lalu
diaduk dengan hati-hati
7) Sampel disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit
8) Supernatan dipindahkan atau dibuang, lalu ditambahkan 200 µl etanol 70%
dingin
9) Selanjutnya disentrifugasi pada 12 000 rpm selama 10 menit
10) Etanol dibuang dan pelet DNA dikeringudarakan sampai etanol habis
atau kering
73
11) Selanjutnya ditambahkan 50 µl steril destillated water/aquabidest, dan
disimpan pada refrigerator suhu 4 oC untuk penyimpanan jangka waktu
lama
12) Konsentrasi DNA diukur menggunakan Gen Quant pada 260 ּג nm
7.3 Hasil dan Pembahasan
7.3.1 Komposisi senyawa kimia biomasa Chaetoceros gracilis
Komposisi senyawa kimia bahan pangan adalah kandungan kimia dari
suatu bahan pangan tersebut. Analisis komposisi senyawa kimia dari
Chaetoceros gracilis dilakukan untuk mendapatkan kandungan protein, lemak,
karbohidrat, asam amino, asam lemak dan mineral. Zat nutrisi tersebut
merupakan senyawa kimia yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kehidupan
suatu makhluk hidup.
Biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi
dan dipanen pada umur 7 hari mempunyai kadar protein, lemak dan karbohidrat
sebesar 45,88 % (Lampiran 8), 16,5 %, dan 10,17 % (Lampiran 9). Kandungan
kimia C. gracilis ini berbeda dengan apa yang ada di laporan Kungvankij (1988)
yang menyatakan bahwa Chaetoceros memiliki kandungan protein 35 % (bk) dan
lemak 6,9 % (bk), sedangkan menurut Renaud et al. (2002) kandungan protein,
lemak dan karbohidrat pada Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium
Guillard pada suhu 25 oC sebesar 57,3 %,16,8 %, dan 13,1 %. Komposisi kimia
dari biomasa Chaetoceros berbeda satu dengan lainnya. Hal ini dapat terjadi
karena perbedaan faktor ekstrinsik dan instrinsik dalam kultivasinya, antara lain
spesies, umur kultur, nutrien, dan CO2. Renaud et al. (2002) menyatakan
bahwa komposisi kimia mikroalga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan termasuk
suhu dan pencahayaan. Suhu pertumbuhan berhubungan dengan penurunan
kandungan protein, peningkatan lemak dan karbohidrat. Respon komposisi
kimia terhadap tinggi dan rendahnya suhu pada pertumbuhan tergantung dari
jenisnya.
Selain suhu kultivasi, masih ada faktor lain yang juga berperan dalam
komposisi senyawa kimia mikroalga. Yap dan Chen (2001) menyatakan bahwa
komposisi asam lemak pada mikroalga Cylindrotheca fusiformis, Phaeodactylum
tricornutum, Nitzschia closterium dan Chaetoceros gracilis berubah pada
intensitas cahaya kultur yang berbeda. Faktor nutrisi yang meliputi nitrogen,
fosfor, karbon mempengaruhi kandungan lemaknya. Salinitas dalam medium
74
mempengaruhi fisiologi dari mikroorganisme dan juga mempengaruhi komposisi
asam lemak dan kandungan lemak dalam sel.
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki
kandungan kimia yang masih tinggi. Sumber nitrogen, fosfor, dan silikat dari
medium NPSi diperoleh dari urea, TSP, dan sodium metasilika. Beberapa
analisis lain yang dilakukan pada penelitian ini antara lain komposisi asam lemak
dan komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis. Kandungan lemak dan
protein C. gracilis perlu diketahui karena beberapa jenis mikroalga potensi
mengandung lemak maupun protein. Menurut Rosa et al. (2005) mikroalga telah
lama dikenal karena memiliki aktivitas biologikal seperti pigmen, vitamin, lemak,
sterol dan protein, selain itu juga menjadi sumber yang potensial untuk produk
komersial di bidang akuakultur. Komponen silika dalam mikroalga jenis diatom
berperan dalam pembentukan dinding sel, tanpa silika dalam medium
pertumbuhan, diatom tidak bisa tumbuh.
Kandungan karbohidrat dalam biomasa kering Chaetoceros gracilis
10,17 %. Parson et al. (1984) melaporkan bahwa Chaetoceros sp mengandung
serat kasar 22,8 % dari karbohidrat. Komposisi monosakarida dari sel keringnya
meliputi glukosa 3,3 %, galaktosa 1,5 %, manosa 0,79 %, ribosa 0,71 %, silosa
0,4 %, ramnosa 2,8 %.
7.3.2 Kandungan lemak biomasa Chaetoceros gracilis
Lemak adalah sumber dari asam berantai lurus dari karbon berjumlah
lebih dari 6 karbon. Sel-sel lemak tersimpan dalam tanaman dan hewan.
Fosfollipid ditemukan dalam membran sel yang merupakan elemen struktur
dasar dari kehidupan organisme (Morrison dan Boyd 1991).
Lemak merupakan komposisi kimia yang diperlukan oleh semua mahluk
hidup. Beberapa jenis mahluk hidup seperti mikroalga dapat mensistesis lemak
dalam tubuhnya. Diatom merupakan mikroalga yang mengandung lipid. Di
dalam diatom, sulfolipid adalah komponen yang paling banyak dalam membran
sel dan merupakan tipikal kelas lipid yang melimpah dalam sel mikroalga
(Dunstan et al. 1994). Lemak berfungsi sebagai sumber energi untuk
pertumbuhannya.
Kadar lemak C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi sebesar
16,5 % lebih tinggi dibandingkan Chaetoceros hasil laporan Kungvanji (1988)
yaitu sebesar 6,9 % (bk), tetapi mendekati hasil penelitian Renaud et al. (2002),
yaitu sebesar 16,8 % (bk). Perbedaan ini disebabkan antara lain oleh jenis yang
75
berbeda maupun kondisi lingkungan dan nutrisi medium yang berbeda. Pada
penelitian Renaud (2002), kultivasi dilengkapi dengan penggunaan CO2 dengan
laju aliran 10 ml/menit, sedangkan pada penelitian ini tidak menggunakan CO2.
Karbondioksida (CO2) merupakan senyawa yang diperlukan dalam proses
fotosintesis. Senyawa tersebut (CO2) sangat penting untuk pertumbuhan
mikroalga karena terkait dalam proses fotosintesis, yaitu senyawa yang akan
tereduksi menjadi senyawa organik. Proses fotosintesis menggunakan radiasi
sinar matahari atau sumber cahaya lainnya untuk membuat cadangan energi
dalam jaringan sel dalam bentuk bahan organik dari bahan anorganik (Schlegel
dan Schmidt 1994). Penelitian ini tidak menambahkan CO2, tetapi menggunakan
aerasi dengan cara memasang pompa aerator non stop. Sumber CO2, hanya
mengandalkan dari udara. Borowitzka (1988) menyatakan bahwa kandungan
nitrogen atau silika dalam nutrien dapat mempengaruhi kandungan lemak
mikroalga. Hal ini didukung oleh laporan Rosa et al. (2005) yang menyatakan
bahwa biosintesis lipid dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan seperti
kondisi pertumbuhan dan komposisi nutrien dalam media.
Kandungan lemak dalam Chaetoceros gracilis lebih kecil bila
dibandingkan kedele (17,7 %), tetapi lebih besar dibandingkan susu sapi (3,5 %)
dan telur ayam (11,5 %) (FAO 1972). Lemak sangat dibutuhkan oleh tubuh untuk
sumber energi, pelarut beberapa vitamin.
7.3.3 Komposisi asam lemak ekstrak Chaetoceros gracilis
Asam lemak merupakan komponen gizi penyusun lemak suatu bahan.
Fitoplankton seperti mikroalga diketahui sebagai produser primer rantai makanan
di dalam laut, karena dapat mensintesis asam lemak rantai panjang (PUFAs).
Mikroalga termasuk diatom (Bacillarophyceae) potensial sebagai sumber PUFAs,
sehingga dianggap sebagai sumber asam lemak (Yap dan Chen 2001).
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai
komposisi asam lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh yang meliputi kaprilat
(C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), stearat (C18:0),
heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak tidak jenuh yang
terdiri atas palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1),
pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat
(C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3)
dan dokosaheksaenoat (C22:6n3) (Tabel 3).
76
Tabel 3 Komposisi asam lemak biomasa kering Chaetoceros gracilis
Asam lemak asam lemak (%) asam lemak dalam
bahan (g/100g)
Asam lemak jenuh
Asam kaprilat, C8:0 0,06 0,0099 Asam laurat, C12:0 0,08 0,0132
Asam miristat, C14:0 7,90 1,3035
Asam pentadekanoat, C15:0 0,38 0,0627
Asam palmitat, C16:0 5,17 0,8531
Asam stearat C18:0 0,26 0,0429
Asam arakidat, C20:0 0,31 0,0512
Asam heneikosanoat, C21:0 0,30 0,0495
Asam behenoat, C22:0 0,16 0,0264
Asam lemak tidak jenuh
Asam miristoleat, C14:1 0,16 0,0264
Asam pentadekanoat C15:1 0,25 0,0413
Asam palmitoleat, C16:1 14,83 2,4470
Asam heptadekanoat, C17:1 0,69 0,1139
Asam oleat, C18:1n9 0,42 0,0693
Asam linoleat, C18:3n3 0,31 0,0512
Asam linolenat, C18:3n6 0,32 0,0528
Asam arakhidonat C20:4n6 1,49 0,2459
Asam dokosadienoat C22:2 0,03 0,0050
Asam eikosapentaenoat, C20:5n3 9,74 1,6071 Asam dokosaheksaenoat, C22:6n3
0,90 0,1485
Hasil penelitian menunjukkan bahwa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam
medium NPSi masih memproduksi beberapa jenis asam lemak. Hasil penelitian
Renaud et al. (2002) menunjukkan bahwa asam lemak jenuh Chaetoceros
meliputi C14:0 (23,6 %), C16:0 (9,2 %), C18:0 (0,7 %), sedangkan asam lemak
tidak jenuhnya meliputi C16:1n-7 (36,5 %), C18:1n-9 (1,7 %), C18:1n-7 (1,2 %),
C16:2n-7 (0,9 %), C16:3n-4 (2,6 %), C16:4n-1 (0,5 %), C18:2n-6 (0,4 %),
C18;3n-6 (0,9 %), C18;3n-3 (0,5 %), C18:4n-3 (0,6 %), C20:4n-6 (4,1 %),
C20:5n-3 (8,0 %), C22:6n-3 (1,0 %). Secara umum asam lemak yang dikandung
pada Chaetoceros yang ditumbuhkan dalam medium Guillard (Renaud et al.
2002) juga dimiliki oleh Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam NPSi
hasil penelitian, tetapi jumlahnya tidak sama. Hal ini dikarenakan perbedaan
dalam kultivasi.
77
Perbedaan hasil penelitian yang diperoleh dengan penelitian Renaud et al.
(2002) dikarenakan kondisi kultivasi yang diterapkan berbeda. Walaupun
demikian, hal ini menunjukkan bahwa medium NPSi dapat digunakan sebagai
medium pertumbuhan C. gracilis yang menghasilkan asam lemak, tetapi masih
perlu penelitian optimasi kultivasi C. gracilis supaya kandungan lemaknya lebih
besar. Menurut Araujo dan Garcia (2005), penambahan karbondioksida pada
kultivasi Chaetoceros cf. waghamii dapat memperpanjang fase logaritmik, yang
mana pada fase ini mikroalga memiliki nilai nutrisi tinggi dan baik untuk
akuakultur. Laju pertumbuhan lebih tinggi pada kultivasi yang ditambah CO2.
Kandungan lipid dan karbohidrat mikroalga tersebut yang kultivasinya pada suhu
20 dan 25 oC lebih tinggi daripada pada suhu 30 oC.
Beberapa jenis asam lemak juga berperan sebagai antibakterial. Zheng
et al. (2005) menyatakan bahwa adanya aktivitas antibakteri dari asam lemak
tidak jenuh rantai panjang telah diketahui beberapa tahun yang lalu. Asam
lemak merupakan kunci komposisi dari bahan tambahan antimikrobial yang
menghambat pertumbuhan mikroorganisme tetapi tidak diketahui reaksi
mekanisme hambatannya. Asam linoleat dan oleat adalah komponen antibakteri
di dalam tumbuhan (Helicrysum pedunculatum dan Schotia brachypetala) yang
digunakan untuk jamuan makan di Afrika Selatan (Dilika et al 2000; McGaw et al.
2002). Selain asam lemak alami, turunan asam lemak juga menunjukkan potensi
aktivitas antimikrobial. Hal ini terutama ditemukan dalam mikroorganisme, alga
atau tanaman yang merupakan mediate chemical dalam mempertahankan
serangan mikroorganisme (Preffele et al. 1996 yang diacu Zheng et al. 2005).
Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa asam lemak tidak jenuh yang
meliputi asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat, asam linolenat dan asam
arakidonat yang dikandung dalam Chaetoceros gracilis memiliki aktivitas
antibakterial. Aktivitas antibakterial dari asam lemak belum banyak ditemukan
sehingga mekanismenya masih belum jelas.
Chaetoceros gracilis mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh.
Asam lemak ada yang esensial untuk tubuh, yaitu asam linoleat (C18:2n-6) dan
asam linolenat (C18:3n-3). Asam lemak ini dikatakan esensial karena
dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi tubuh tidak dapat mensintesis sendiri. Kedua
asam lemak ini diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan fungsi normal
semua jaringan. Turunan asam lemak dari kedua asam lemak tersebut adalah
asam arakhidonat (C20:4n-6) dari asam linoleat dan eikosapentaenoat (C20: 5n-
78
3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n-3) dari asam linolenat. Kekurangan asam
lemak pada tikus percobaan dapat menimbulkan gejala seperti kulit mengalami
dermatitis dan ekzema, pertumbuhan terhambat, reproduksi terganggu,
degenerasi atau kerusakan pada organ tubuh, kerentanan terhadap infeksi
meningkat (Almatsier 2009). Bila dibandingkan dengan kandungan asam lemak
dari komodidti lain (Tabel 4), C. gracilis memiliki asam lemak lebih lengkap.
Chaetoceros gracilis memiliki asam lemak lebih lengkap dibanding kedelai, susu
sapi, telur ayam, ikan tuna dan ikan mas, tetapi jumlahnya lebih kecil.
Tabel 4 Kandungan asam lemak dalam Chaetoceros graciis dan komoditi lain
Kadar asam lemak dalam bahan (g/100g)
C. gracilis Kedele* Susu
sapi *
Telur ayam
*
Ikan tuna
*
Ikan mas
*
Asam lemak jenuh Asam kaprilat, C8:0 0,01 tad tad tad Tad Tad
Asam laurat, C12:0 0,01 tad tad tad tad tad
Asam miristat, C14:0 1,30 tad tad tad tad tad Asam pentadekanoat, C15:0 0,06 tad tad tad tad tad
Asam palmitat, C16:0 0,85 1,5 0,9 2,9 0,4 0,6
Asam stearat C18:0 0,04 0,7 0,4 0,8 0,2 0,2
Asam arakidat, C20:0 0,05 tad tad tad tad tad Asam heneikosanoat, C21:0 0,05 tad tad tad tad tad
Asam behenat, C22:0 0,03 tad tad tad tad tad
Asam lemak tidak jenuh
Asam miristoleat, C14:1 0,03 tad tad tad tad tad
Asam pentadekanoat C15:1 0,04 tad tad tad tad tad
Asam palmitoleat, C16:1 2,45 tad tad tad tad tad Asam heptadekanoat, C17:1 0,11 tad tad tad tad tad
Asam oleat, C18:1n9 0,07 5,1 1,1 5,1 0,6 1
Asam linoleat, C18:3n3 0,05 9,0 trace 0,8 0,1 0,5
asam linolenat, C18:3n6 0,05 0,3 trace 0,1 0 0,1
Asam arakhidonat C20:4n6 0,25 tad tad tad tad tad
Asam dokosadienoat C22:2 0,00 tad tad tad tad tad
Asam dokosaheksaenoat, C22:6n3
0,15
tad tad tad tad tad
Asam eikosapentaenoat, C20:5n3
1,61 tad tad tad tad tad
Sumber : * FAO (1972) Keterangan: tad = tidak ada data
79
Mikroalga Chaetoceros gracilis memiliki asam lemak tidak jenuh
arakhidonat, eikosapentaenoat dan dokosaheksaenoat, yang tidak dimiliki oleh
komoditi lain. Omega 3 (asam linolenat, EPA, DHA) dan omega 6 (asam linoleat
dan AA) merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang yang berfungsi
sebagai anti-inflamasi, anti-clotting sehingga penting bagi kelancaran aliran
darah dan fungsi sendi. Selain itu juga berfungsi penting dalam metabolisme zat
gizi, terutama penyerapan vitamin A, D, E, dan K (Hamazaki dan Okuyama 2000
yang diacu Hardinsyah dan Tambunan 2004).
7.3.4 Kandungan protein biomasa Chaetoceros gracilis
Protein merupakan unsur kimia dalam makhluk hidup yang berperan
dalam pertumbuhan. Kadar protein Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan
dalam medium NPSi sebesar 45,88 %, kadar ini lebih kecil dibandingkan dengan
Chaetoceros sp hasil laporan Renaud et al. (2002), yaitu 57,3 %. Perbedaan ini
dapat disebabkan oleh kondisi kultivasi yang berbeda. Pada penelitian ini tidak
ditambahkan CO2, sedangkan pada penelitian Renaud et al. (2002) kultivasi
dilengkapi dengan CO2 dengan laju aliran 10 ml/menit.
Protein adalah bagian dari semua sel hidup dan merupakan bagian
terbesar tubuh sesudah air. Semua enzim, berbagai hormon, pengangkut zat-zat
gizi dan darah adalah protein. Protein mempunyai fungsi yang khas yang tidak
bisa digantikan dengan zat gizi lain, yaitu membangun serta memelihara sel-sel
dan jaringan tubuh. Ada dua puluh jenis asam amino yang diketahui sampai
sekarang yang terdiri dari sembilan asam amino esensial (asam amino yang
tidak dapat dibuat oleh tubuh dan harus didatangkan dari makanan) dan sebelas
asam amino nonesensial. Asam amini terdiri atas atom karbon yang terikat pada
satu gugus karboksil (-COOH), satu gugus amino (-NH2), satu atom hidrogen (-H)
dan satu gugus radikal (-R) atau rantai cabang. Protein, selain menyediakan
asam amino esensial, juga mensuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari
karbohidrat dan lemak (Almatsier 2009). Chaetoceros gracilis merupakan
mikroalga laut yang mengandung asam amino esensial, sehingga dapat
digunakan sebagai sumber protein yang mudah diperoleh, tidak memerlukan
lahan luas, waktu panen dapat ditentukan, tidak tergantung musim.
7.3.5 Komposisi asam amino biomasa Chaetoceros gracilis
Sebuah asam amino teridiri dari gugus amino, sebuah gugus karboksil,
sebuah atom hidrogen dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang
80
dikenal sebagai karbon α, serta gugus R sebagai rantai cabang. Molekul protein
tersusun dari sejumlah asam amino sebagai bahan dasar saling berkaitan satu
sama lain (Winarno 2008). Chaetoceros gracilis merupakan diatom laut yang
memiliki kandungan zat gizi cukup tinggi. Biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan
dalam medium NPSi memiliki 15 jenis asam amino yang terdiri dari asam amino
esensial dan non esensial (Tabel 5). Chaetoceros gracilis mengandung asam
amino esensial yang teridiri atas treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin,
fenilalanin, histidin. Asam amino esensial ini berfungsi terutama sebagai
katalisator, penguat struktur, penggerak, pengatur, ekspresi genetik, penguat
imunitas dan untuk pertumbuhan. Komposisi dan jumlah asam amino esensial
ini dalam suatu protein pangan turut menentukan mutu protein dari suatu jenis
pangan (Hardinsyah dan Tambunan 2004).
Tabel 5 Komposisi asam amino pada biomasa kering Chaetoceros gracilis
Asam amino Konsentrasi dalam bahan (%)
Konsentrasi dalam bahan (mg/100g)
Non esensial
Aspartat 3,53 3530
Glutamat 3,88 3880
Serin 1,45 1450
Glisin 1,74 1740
Tirosin 1,23 1230
Arginin 1,68 1680
Alanin 1,76 1760
Esensial
Treonin 1,42 1420
Valin 1,79 1790
Metionin 0,29 290
Leusin 2,41 2410
Isoleusin 1,52 1520
Lisin 1,57 1570
Fenilalanin 1,74 1740
Histidin 0,74 740
Beberapa jenis asam amino leusin, isoleusin, valin, lisin, triptofan, treonin,
metionin dan fenilalanin dinyatakan sebagai asam amino esensial untuk manusia
dewasa, histidin dimasukkan esensial setelah itu (Gropper et al. 2005).
Berdasarkan kategori tersebut, C. gracilis memiliki kandungan asam amino
esensial yang diperlukan oleh manusia dewasa.
81
Chaetoceros gracilis mengandung asam amino yang diperlukan oleh
tubuh. Almatsier (2009) menyatakan bahwa metionin untuk sintesis kolin dan
keratin. Fenilalanin adalah prekursor tirosin dan bersama-sama membentuk
hormone tirosin dan epinefrin. Tirosin merupakan prekursor bahan yang
membentuk pigmen kulit dan rambut. Arginin terlibat dalam sintesis ureum dalam
hati. Glisin mengikat bahan-bahan toksik dan mengubahnya menjadi bahan tidak
berbahaya. Asam amino glisin ini juga digunakan dalam sintesis porfirin nukleus
hemoglobin dan merupakan bagian dari asam empedu. Kreatin yang disintesis
dari arginin, glisin dan metionin bersama fosfat membentuk kreatinin fosfat, yaitu
suatu simpanan penting fosfat berenergi tinggi di dalam sel. Glutamin yang
dibentuk dari asam glutamat dan asparagin dari asam aspartat merupakan
simpanan asam amino di dalam tubuh. Angka kecukupan asam amino yang
dianjurkan disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Pola kecukupan asam amino dalam tubuh
Pola kecukupan yang dianjurkan
2 tahun 10-12 tahun dewasa
Histidin (19) (19) 11
Isoleusin 28 28 66
Leusin 66 44 19
Lisin 58 44 16
Metionin +sistin 25 22 17
Fenilalanin+tirosin 63 22 19
Treonin 34 28 9
Valin 35 25 13
Triptofan 11 (9) 5
Sumber : National Research Council diacu dalam Almatsier (2009)
Kandungan asam amino Chaetoceros gracilis tidak sama dengan
komoditi lain (Tabel 7). Beberapa jenis asam amino pada Chaetoceros gracilis
lebih besar dibandingkan susu sapi cair, telur ayam, ikan tuna dan ikan mas.
Pacheco-Vega dan Sanchez-Saavedra (2009) melaporkan bahwa Chaetoceros
muelleri (Lemmermann Grown) yang ditumbuhkan dalam medium pupuk cair
yang terdiri dari HPO4, urea, NH4NO4 komposisi asam amino esensial yang
meliputi leusin (10,25%), fenilalanin (6,52%), arginin (5,54%), valin (5,90%),
treonin (5,66%), lisin (4,35%), metionin (4,29%), prolin (3,46%), isoleusin
(3,76%), histidin (2,92%), dan triptofan (1,98%). Komposisi asam amino
82
Chaetoceros muelleri (Lemmermann Grown) berbeda dengan Chaetoceros
gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. Perbedaan ini disebabkan oleh
spesies dan kondisi kultivasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Borowitzka
(1988) yaitu, faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi
biokimia mikroalga adalah spesies, suhu, intensitas cahaya, CO2, dan nutrien.
Tabel 7 Komposisi asam amino dalam biomasa kering C. gracilis dan komoditi lain
Asam amino
Kadar asam amino dalam bahan (mg/100 g)
C. gracilis Kedele Susu sapi cair
Telur ayam
Ikan tuna Ikan mas
Esensial
Treonin 1420 1480 151 622 862 930
Valin 1790 1743 230 900 1829 1085
Metionin 290 503 84 396 616 233
Leusin 2410 2959 330 1127 1613 1643
Isoleusin 1520 1737 179 779 1051 992
Lisin 1570 2342 269 859 2137 1922
Fenilalanin 1740 2043 157 717 812 868
Histidin 740 1006 90 330 862 620
Triptofan td 455 52 218 412 213
Non
esensial
Asam
aspartat 3530 4361 291 1174 2772 2139 Asam
glutamat 3880 7098 784 1617 3542 3038
Serin 1450 1851 190 927 1078 806
Glisin 1740 1551 67 412 812 868
Prolin td 1989 330 515 809 744
Tirosin 1230 988 196 494 1271 744
Arginin 1680 2564 101 824 1386 1209
Alanin 1760 1671 118 721 1105 1209
Sistin td 485 28 309 293 186 Sumber : * FAO (1972) Keterangan: td = tidak terdeteksi karena tidak ada standar
83
7.3.6 Kandungan mineral C. gracilis
Sebagian besar bahan pangan terdiri dari bahan organik dan air, sisanya
terdiri dari unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik
atau kadar abu. Bahan-bahan organik terbakar dalam proses pembakaran tetapi
bahan anorganiknya tidak. Beberapa jenis mineral yang diperlukan oleh manusia
untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan kesehatan antara lain kalsium,
fosfor, magnesium. Unsur-unsur ini terdapat dalam tubuh dalam jumlah besar
sehingga dikenal dengan unsur mineral makro. Beberapa unsur lain yang juga
diperlukan oleh tubuh dalam jumlah kecil dikenal dengan unsur mineral mikro.
Unsur mineral tersebut antara lain besi, iodium, mangan, zink. Unsur mineral di
dalam tubuh berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur (Winarno 2008).
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai
kandungan mineral seperti yang disajikan pada Tabel 8, hasil analisis mineral
disajikan pada Lampiran 10.
Tabel 8 Kandungan mineral dari biomasa kering C. gracilis
Mineral Konsentrasi dalam bahan
(%)
Konsentrasi dalam bahan
(mg/100g) Ca 0,6 600 P 0,44 440
Mg 0,77 770 Fe 0,03 30 Zn 0,04 40 Mn
0,01
10
Tubuh manusia mengandung kalsium dalam jumlah besar. Peranan
kalsium dalam tubuh antara lain membantu dalam pembentukan tulang dan gigi.
Tubuh membutuhkan kalsium terbesar pada saat pertumbuhan. Mineral utama di
dalam tulang adalah kalsium dan fosfor, sedangkan mineral lain dalam jumlah
kecil adalah, magnesium dan flour. Chaetoceros gracilis mengandung kalsium
dalam jumlah besar (600 mg/100 g). Kalsium (Ca) yang berada dalam sirkulasi
darah dan jaringan tubuh berperan dalam berbagai kegiatan, antara lain untuk
transmisi impuls syaraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, pengaturan
permeabilitas membran sel, serta keaktifan enzim. Penyerapan kalsium sangat
bervariasi tergantung umur dan kondisi badan. Pada waktu kanak-kanak atau
waktu pertumbuhan, sekitar 50-70 % kalsium yang dicerna diserap, tetapi waktu
dewasa hanya sekitar 10-40 % yang diserap (Winarno 2008). Kebutuhan
84
kalsium per orang per hari bagi bayi dan anak di bawah 10 tahun sebesar 200-
600 mg. Pria dan wanita berumur di atas 10 tahun sebesar 800-1000 mg
(Soekatri dan Kartono 2004). Berdasarkan kandungan kalsiumnya, Chaetoceros
gracilis dapat digunakan sebagai bahan fortifikasi kalsium dalam memenuhi
kebutuhan mineral kalsium bagi anak-anak maupun orang dewasa.
Chaetoceros gracilis mengandung fosfor (P) sebesar 440 mg/100g.
Fosfor dalam tubuh merupakan mineral dalam jumlah besar. Peranan fosfor
dalam tubuh hampir sama dengan kalsium, yaitu berperan dalam pembentukan
tulang dan gigi serta penyimpanan dan pengeluaran energi. Sebagian besar
diserap tubuh dalam bentuk anorganik, khususnya di bagian atas duodenum
yang bersifat kurang alkalis 70% yang dicerna akan diserap (Winarno 2008).
Fosfor merupakan mineral terbanyak kedua setelah kalsium dalam tubuh, juga
berperan mengatur keseimbangan asam basa, memfasilitasi penyerapan dan
transportasi zat gizi. Kebutuhan fosfor per orang per hari bagi bayi dan anak di
bawah umur 10 tahun sebesar 100-400 mg. Pria dan wanita berumur di atas 10
tahun sebesar 600-1000 mg (Soekatri dan Kartono 2004). Berdasarkan
kandungan fosfornya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber
fosfor untuk memenuhi kebutuhan mineral fosfor bagi anak-anak maupun orang
dewasa.
Chaetoceros gracilis mengandung magnesium (Mg) sebesar 770
mg/100g. Magnesium merupakan mineral makro dalam tubuh manusia. Pada
tubuh orang dewasa terkandung 20-25% magnesium. Separuh dari jumlah
tersebut terkandung dalam tulang dan selebihnya terkandung dalam jaringan
lemak seperti otot dan hati, serta cairan ekstraseluler. Magnesium merupakan
aktivator enzim peptidase dan enzim lain yang kerjanya memecah dan
memindahkan gugus fosfat. Kekurangan magnesium dapat menyebabkan
hypomagnesema dengan gejala denyut jantung tidak teratur, insomnia, lemah
otot, kejang kaki serta telapak kaki dan tangan gemetar (Winarno 2008).
Magnesium mempunyai fungsi sebagai ko faktor untuk sistem enzim dan juga
berperan dalam fungsi sel termasuk oksidatif fosforilasi. Kebutuhan magnesium
untuk anak-anak umur 1-3 tahun adalah 60 mg/hari, sedangkan untuk orang
dewasa sebesar 270 mg/hari (Soekatri dan Kartono 2004). Berdasarkan
kandungan magnesiumnya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai
sumber magnesium untuk memenuhi kebutuhan mineral magnesium bagi anak-
anak maupun orang dewasa.
85
Chaetoceros gracilis mengandung zat besi sebesar 30 mg/100g bahan.
Kandungan besi (Fe) dalam tubuh sangat kecil, yaitu 35 mg/kg berat badan
wanita atau 50 mg/kg berat badan pria (Winarno 2008). Besi dalam bentuk
senyawa dengan protein membentuk hemoglobin sebagai pembawa oksigen
dalam darah. Fungsi besi dalam senyawa besi sebagai hemoglobin, myoglobin,
enzim yang diperlukan dalam fungsi metabolisme, mengangkut dan menyimpan
oksigen. Simpanan besi ada di hati, sumsum tulang. Kecukupan besi untuk anak
berumur 1-3 tahun adalah 8 mg/hari, untuk kelompok pria di atas 18 tahun
adalah 13 mg/hari, sedangkan untuk wanita di atas 18 tahun sebesar 26 mg/hari
(Kartono dan Soekatri 2004). Besi dalam tubuh manusia sebagian terletak
dalam sel-sel darah merah sebagai heme, yaitu pigmen yang mengandung inti
sebuah atom besi. Berdasarkan kandungan zat besinya, Chaetoceros gracilis
dapat digunakan sebagai sumber zat besi untuk memenuhi kebutuhan mineral
Fe bagi anak-anak maupun orang dewasa untuk metabolisme.
Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung seng (Zn) sebesar 40 mg/100
gram bahan. Kartono dan Soekatri (2004) menyatakan bahwa angka kecukupan
seng untuk anak-anak umur 1-3 tahun adalah 8,3 mg/hari, sedangkan untuk pria
dewasa sebesar 13,4 mg/hari untuk wanita 9,8 mg/hari. Seng merupakan mineral
mikro esensial baik pada manusia, hewan maupun tanaman. Mineral ini
diperlukan dalam pembentukan jaringan mata sehingga masih dapat melihat
dalam kegelapan, pembentukan sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh,
fungsi lambung, kesehatan kulit, dan pertumbuhan. Seng esensial untuk
pertumbuhan, pematangan seks, dan imun serta reproduksi. Berdasarkan
kandungan kalsiumnya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber
seng untuk memenuhi kebutuhan mineral seng bagi anak-anak maupun orang
dewasa.
Chaetoceros gracilis mengandung mangan (Mn) 10 mg/100 g bahan.
Kartono dan Soekatri (2004) menyatakan bahwa mineral berperan sebagai
katalis berbagai enzim yang diperlukan dalam metabolism glukosa, protein dan
lemak, meningkatkan penyimpanan vitamin B1. Untuk kelompok 1-3 tahun,
asupan mangan 1,2 mg/hari. Kecukupan mangan untuk pria di atas 18 tahun
sebesar 2,3 mg/hari, sedangkan wanita di atas 18 tahun sebesar 1,8 mg/hari.
Berdasarkan kandungan mangannya, Chaetoceros gracilis dapat digunakan
sebagai sumber mangan untuk memenuhi kebutuhan mineral mangan bagi anak-
anak maupun orang dewasa.
86
Biomasa Chaetoceros gracilis mengandung 6,5 % silika (SiO2).
Kandungan silika dalam Chaetoceros gracilis cukup tinggi. Paasche (1980)
melaporkan bahwa Chaetoceros affinis yang dikultivasi dalam medium dengan
salinitas 24 ‰ yang mengandung 100 µM nitrat, 100 µM orthosilicic acid, 10 µM
fosfat, dan vitamin serta chelated trace metal pada suhu 8, 13, 18 dan 23 oC,
mempunyai kandungan silika berturut-turut sebesar 41,7; 38,8; 35,3 dan 33,3 pg
Si/sel. Hal ini menunjukkan bahwa dalam sel Chaetoceros mengandung silika.
7.3.7 Fitokimia biomasa dan ekstrak C. gracilis
Analisis fitokimia dilakukan untuk melihat golongan senyawa yang dimiliki
oleh biomasa maupun ekstrak dari C. gracilis. Hasil analisis fitokimia disajikan
pada Tabel 9 untuk biomasa C. gracilis, dan Tabel 10 untuk ekstrak metanol
dan ekstrak heksan.
Sifat fitokimia dari biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam medium
Guillard maupun NPSi tidak berbeda, sedangkan sifat fitokimia pada ekstrak
metanol dan ekstrak heksan ada sedikit perbedaan. Hal ini menunjukkan bahwa
medium NPSi dan Guillard tidak mempengaruhi sifat fitokimia C. gracilis.
Berdasarkan analisis fitokimia yang dilakukan dapat dikatakan bahwa didalam C.
gracilis mengandung alkaloid, steroid, asam amino, karbohidrat.
Tabel 9 Hasil analisis fitokimia biomasa C. gracilis
Jenis uji
Media Guillard Media NPSi
Keterangan Hasil reaksi
Alkaloid Positif/Negatif Positif/Negatif Ada alkaloid
Steroid Positif Positif Ada steroid
Flavonoid Negatif Negatif Tidak ada senyawa flavonoid
Saponin Negatif Negatif Bukan saponin
Fenol hidrokuinon
Negatif Negatif Tidak ada senyawa fenol
Ninhidrin Positif Positif Ada asam amino
Molisch Positif Positif Ada karbohidrat
Hasil analisis alkaloid biomasa C. gracilis yang ditumbuhkan dalam media
Guillard maupun NPSi adalah positif. Namun hasil uji pada ekstrak heksan
maupun metanol alkaloidnya negatif. Hal ini menunjukkan bahwa ekstraksi
87
menggunakan heksan maupun metanol dapat mempengaruhi kandungan
alkaloid suatu bahan. Harborne (1987) menyatakan bahwa alkaloid mencakup
senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen,
biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dalam sistem siklik. Alkaloid banyak
yang mempunyai aktivitas fisiologis yang menonjol, jadi digunakan secara luas
dalam bidang pengobatan. Alkaloid kebanyakan berbentuk kristal, hanya sedikit
yang berupa cairan (misalnya nikotin) pada suhu kamar. Fungsi alkaloid dalam
tumbuhan masih sangat kabur, meskipun masing-masing senyawa telah
dinyatakan terlibat sebagai pengatur tumbuh atau penghalau atau penarik
serangga.
Tabel 10 Hasil analisis fitokimia ekstrak metanol dan heksan dari C. gracilis
Jenis uji Ekstrak metanol Ekstrak heksan
Hasil reaksi Keterangan Hasil reaksi Keterangan
Alkaloid Negatif Tidak ada alkaloid
Negatif
Tidak ada alkaloid
Steroid Positif Ada steroid Positif Ada steroid
Flavonoid Negatif Bukan senyawa flavonoid
Negatif Bukan senyawa flavonoid
Saponin Negatif Tidak ada saponin
Negatif Tidak ada saponin
Fenol hidrokuinon
Negatif Bukan senyawa fenol
Negatif Bukan senyawa fenol
Ninhidrin Positif Ada asam amino
Negatif Tidak ada asam amino
Molisch Positif Ada karbohidrat Negatif Tidak ada karbohidrat
Hasil uji flavonoid, saponin dan fenol hidroquinon pada ekstrak C. gracilis
adalah negatif. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam C. gracilis tidak ada
senyawa flavonoid, saponin, dan fenol hidroquinon. Harborne (1987)
menyatakan bahwa flavonoid merupakan senyawa fenol yang larut dalam air dan
dapat diekstraksi dengan etanol 70%. Warna senyawa ini akan berubah bila
ditambahkan basa atau amoniak.
Asam amino merupakan senyawa penyusun protein. Hasil uji ninhidrin
pada ekstrak metanol adalah positif, sedangkan pada ekstrak heksan hasilnya
negatif. Hal ini menunjukkan bahwa C. gracilis mengandung asam amino. Pada
88
biomasa yang diekstraksi menggunakan metanol, masih terdeteksi adanya asam
amino, namun biomasa yang diekstraksi menggunakan heksan, asam amino
tidak terdeteksi. Hal ini dsebabkan asam amino tergolong bersifat polar,
sedangkan heksan termasuk non polar, sehingga asam amino tidak larut dalam
heksan.
Hasil analisis Molisch menunjukkan bahwa ekstrak heksan hasilnya
negatif, artinya ekstrak tersebut tidak mengandung karbohidrat, namun
biomasanya mengandung karbohidrat. Chaetoceros merupakan mikroalga yang
mengandung protein, lemak dan karbohidrat. Renaud et al. (2002) melaporkan
bahwa kadar karbohidrat dari biomasa Chaetoceros yang ditumbuhkan pada
suhu 25 oC sebesar 13,3 % dan pada suhu 30 oC sebesar 12,5 %. .
7.3.8 Kandungan asam nukleat
Kandungan asam nukleat ditentukan berdasarkan kadar DNA (Lampiran
11). Hasil analisis DNA menunjukkan bahwa C. gracilis mengandung asam
nukleat sebesar 0,1 %. Semua tipe protein sel tunggal mengandung asam
nukleat dalam jumlah tinggi. Becker (1988) menyatakan bahwa konsumsi asam
nukleat setiap hari sebaiknya tidak lebih dari 2 g, dengan asam nukleat total
pada semua sumber tidak lebih dari 4 g per hari.
7.4 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, beberapa hal dapat
disimpulkan antara lain :
(1) Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki kadar
protein, lemak yang tinggi, yaitu sebesar 45,88 %,16,5 % dan 10,17 %.
(2) Jenis-jenis asam lemak dalam ekstrak C. gracilis meliputi asam lemak jenuh
seperti kaprilat (C8:0), miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0),
stearat (C18:0), heneikosanoat (C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak
tidak jenuh seperti palmitoleat (C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat
(C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3),
arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3), dokosadienoat (C22:2),
eikosapentaenoat (C20:5n3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n3).
(3) Komposisi asam amino dari biomasa C. gracilis meliputi asam amino
esensial seperti treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin,
histidin, dan asam amino non esensial seperti asam aspartat, asam glutamat,
serin, glisin, arginin, alanin, prolin, tirosin.
89
(4) Biomasa C. gracilis mengandung mineral seperti kalsium (Ca), fosfor (P),
magnesium (Mg), besi (Fe), zink (Zn), mangan (Mn).
(5) Ekstrak C. gracilis memiliki senyawa golongan steroid, asam amino,
karbohidrat, dan gula pereduksi, sedangkan biomasa memiliki senyawa
alkaloid, steroid, asam amino, karbohidrat, dan gula pereduksi.
(6) Chaetoceros gracilis mengandung 0,1 % asam nukleat (DNA) dan 6,5 %
silika.
Berdasarkan percobaan yang diperoleh, dapat disarankan untuk
dilakukan penelitian lanjutan antara lain optimasi kultivasi C. gracilis dalam
medium pupuk. komponen aktif lain seperti antioksidan, imunostimulan sebagai
bahan nutrasetika, serta kemananan pangan secara in vivo.
8 PEMBAHASAN UMUM
Chaetoceros gracilis merupakan mikroalga laut yang mempunyai aktivitas
antibakteri dan komposisi kimia yang diperlukan untuk kesehatan. Mikroalga ini
mudah dibudidayakan dan dapat ditumbuhkan dalam medium pupuk NPSi.
Keunggulan lain dari mikroalga adalah budidayanya tidak tergantung musim,
tidak memerlukan lahan yang luas, waktu pemanenan dapat diatur.
Pada penelitian ini mikroalga laut Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan
dalam medium NPSi memiliki fase pertumbuhan seperti fase logaritmik, fase
stasioner, dan fase kematian. Pada penelitian ini fase lag tidak terjadi, karena
medium yang digunakan pada kultur dan inokulumnya sama, serta inokulum
kultur yang digunakan berada dalam fase logaritmik juga, sehingga inokulum
tidak mengalami masa adaptasi. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam
medium Guillard juga memiliki fase pertumbuhan logaritmik, stasioner dan
kematian.
Rendemen biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam NPSi
tidak berbeda dengan yang ditumbuhkan dalam medium Guillard. Karena
medium NPSi maupun Guillard dilengkapi dengan senyawa yang mengandung N,
P dan Si walaupun sumbernya berbeda. Unsur N, P, C dan Si merupakan unsur
utama untuk pertumbuhan diatom. Unsur N dalam medium NPSi diperoleh dari
urea, unsur P diperoleh dari TSP dan Si diperoleh dari Natrium silika, sedangkan
pada medium Guillard unsur N diperoleh dari NaNO3, unsur P dari NaH2PO4H2O,
dan unsur Si dari NaSiO3H2O. (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995) menyatakan
bahwa perbedaan kultivasi diatom dengan mikroalga lainnya terletak pada
penambahan silika. Silika sangat penting untuk proses perkembangbiakan
diatom karena silika berperan dalam pembentukan sel, pembelahan sel serta
dibutuhkan dalam proses metabolisme.
Pemanenan biomasa C. gracilis menggunakan filtrasi mempunyai
kelebihan antara lain lebih cepat, dapat dilakukan untuk kapasitas kultur besar,
dan relatif lebih murah dibandingkan menggunakan sentrifugasi. Kelemahannya
antara lain biomasa tidak dapat diperoleh semuanya, karena masih ada yang
menempel pada filter keramiknya. Hal ini yang diduga menyebabkan rendemen
dari biomasa C. gracilis rendah. Rendahnya biomasa yang diperoleh juga
diduga karena pada penelitian ini tidak ditambahkan CO2 pada saat kultivasi,
91
sehingga perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang optimasi kultur C. gracilis
dalam medium NPSi. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga
antara lain cahaya, suhu, pH, kandungan CO2 bebas dan salinitas (BBLL 2002).
Mikroalga laut Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan
Indonesia dan ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan senyawa aktif
yang bersifat
antibakterial, yang memiliki aktivitas penghambatan terhadap Staphylococcus
aureus ATCC 25923, Vibrio harveyi, Escherichia coli ATCC 25922, Bacillus
cereus ATCC 13091. Aktivitas antibakteri yang dihasilkan oleh ekstrak
Chaetoceros gracilis lebih rendah dibandingkan antibiotik kloramfenikol pada
konsentrasi 300 µg/disc. Hal ini diduga karena ekstrak C. gracilis masih dalam
bentuk ekstrak kasar (crude extracts). Beberapa faktor yang mempengaruhi hasil
aktivitas antibakteri antara lain kemurnian senyawa antibakteri, jenis dan jumlah
bakteri yang digunakan. Antibiotik dari alga umumnya belum banyak yang
teridentifikasi, namun beberapa telah diketahui komponen aktifnya. Ada yang
terdiri dari asam lemak, asam organik, bromofenol, penghambat fenolat, tanin,
terpenoid, polisakarida ataupun alkohol (Metting dan Pyne 1986). Asam lemak
jenuh dan tak jenuh dari mikroalga juga dapat menimbulkan aktifitas bakteristatik
(Naviner et al. 1999). Hasil penelitian lain juga menunjukkan bahwa alga laut
Chaetoceros memiliki aktivitas antibakteri yang dapat menghambat methicilline
resistant Staphylococcus aureus, vancomycin resistant enterococcus.
Komponen antibakteri yang diperoleh dari Chaetoceros merupakan golongan
asam lemak (Wang 1999).
Antibiotik komersial seperti kloramfenikol, tetrasiklin, oksitetrasiklin, dan
ampisilin memiliki aktivitas antibakteri lebih besar dibandingkan ekstrak
Chaetoceros gracilis. Potensi relatif ekstrak Chaetoceros gracilis dalam
menghambat pertumbuhan bakteri masih rendah. Hal ini disebabkan karena
antibiotik komersial memiliki kemurnian lebih tinggi dibandingkan ekstrak
Chaetoceros gracilis, selain itu mekanisme penghambatannya juga berbeda.
Mekanisme penghambatan setiap antibiotik tidak sama satu dengan lainnya.
Kloramfenikol memiliki spektrum penghambatan yang luas, bersifat
bakteriostatik, mengganggu sintesis protein bakteri, bereaksi dengan unit 50S
ribosom dan akan menghambat pembentukan ikatan peptida pada rantai
polipeptida yang sedang terbentuk. Tetrasiklin menghambat transpor silang
membran dan menghambat metabolisme fosforilasi oksidatif dan glukosa.
92
Tetrasiklin juga menghambat perlekatan tRNA yang membawa asam amino ke
ribosom sehingga penambahan asam amino ke rantai polipeptida yang sedang
dibentuk terhambat (Naim 2003). Ampisilin masuk ke dalam membran luar
bakteri Gram negatif menembus ke peptidoglikan yang kemudian mengganggu
sintesis dinding sel bakteri dengan cara mengganggu struktur peptidoglikan.
Sintesis dinding sel mungkin terjadi tetapi strukturnya tidak terjadi, sehingga
dinding sel menjadi lebih lemah dan terjadi autolisis, lama kelamaan sel
mengalami lisis.
Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah (-18oC
sampai -20 oC) sampai 6 bulan masih memiliki aktivitas antibakteri sama dengan
yang awal.. Aktivitas ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan tidak
berubah, dimana diameter hambatan pada bakteri V. harveyi 7 mm, pada bakteri
E. coli 4 mm, S. aureus 6 mm, dan B. cereus 6 mm. Akbar (2008) dalam
laporan penelitiannya menyebutkan bahwa ekstrak dari Chaetoceros gracilis
yang ditumbuhkan dalam medium Guillard pada suhu ruang, dan disimpan
selama 2 bulan pada suhu rendah (sekitar -18oC) masih memiliki aktivitas
antibakteri. Aktivitas hambatan ekstrak yang disimpan selama 2 bulan sama
dengan ekstrak yang tidak disimpan. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat
dikatakan bahwa penyimpanan pada -18- (-20oC) merupakan metode
penyimpanan yang baik untuk ekstrak Chaetoceros gracilis.
Efektivitas antibakteri untuk setiap bakteri tidak sama, karena masing-
masing bakteri memiliki struktur dinding sel yang berbeda. Struktur dinding sel
bakteri Gram positif berbeda dengan bakteri Gram negatif. Moat et al. (2002)
menyatakan bahwa sel bakteri Gram negatif lebih komplek dibanding bakteri
Gram positif. Struktur utama dalam sel bakteri Gram positif adalah dinding sel
dan membran sel. Dinding selnya memiliki lapisan peptidoglikan lebih tebal
dibanding bakteri Gram negatif. Lapisan peptidoglikan pada sel bakteri Gram
negatif umumnya adalah single monolayer. Membran luar bakteri ini terdiri dari
fosfolipid, lipopolisakarida, enzim, protein termasuk lipoprotein. Membran
sitoplasmik pada bakteri Gram positif dan Gram negatif merupakan lapisan lipid
yang teridiri dari fosfolipid, glikolipid dan protein. Lapisan membran luar bakteri
Gram negatif mengandung lipopolisakarida tinggi.
Pada penelitian ini ekstrak Chaetoceros gracilis menyebabkan
kebocoran sel bakteri uji. Kebocoran ini dapat disebabkan oleh perbedaan
tekanan osmotik di dalam dan di luar sel atau karena rusaknya ikatan hidrofobik
93
komponen penyusun membran. Kim et al. (1995) menyatakan bahwa kebocoran
sel terjadi karena ikatan hidrofobik yang terdiri dari komponen penyusun
membran seperti protein dan fosfolipid rusak, serta larutnya komponen-
komponen lain yang berikatan secara hidrofilik dan hidrofobik. Komponen
antimikroba dapat bereaksi dengan fosfolipid dari membran sel yang
menyebabkan permeabilitas meningkat dan unsur pokok penyusun sel hilang.
Lin et al. (2000) juga menyatakan bahwa kondisi ini dapat meningkatkan
permeabilitas membran sel, sehingga memudahkan masuknya komponen
antibakteri ke dalam sel serta mengakibatkan keluarnya substansi sel seperti
protein dan asam nukleat yang menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel
bakteri uji akibat kontak ekstrak Chaetoceros gracilis dengan bakteri ditunjukkan
dengan kerusakan morfologi selnya yang dilihat menggunakan mikroskop
elektron.
Dinding sel bakteri pada penlitian ini mengalami kerusakan yang diduga
disebabkan oleh perbedaan tekanan osmotik sehingga merubah permeabilitas
sel. Menurut Kabara et al. (1972) cara kerja obat antara lain merubah
permeabilitas dari dinding sel. Hal ini dapat terjadi karena keluarnya nutrien atau
terjadinya difusi metabolit esensial. Ultee et al. (1998) melaporkan bahwa
mekanisme kerja antimikroba ada yang mempunyai spektrum luas, sempit dan
ada yang hanya efektif terhadap mikroorganisme tertentu. Pengaruh antibiotik
terhadap dinding sel dapat terjadi akibat akumulasi asam lemak maupun asam
organik dari bahan (antimikroba) dalam bentuk tidak terdisosiasi akan
menyebabkan perubahan terhadap komposisi penyusun dinding sel. Senyawa
aktif dapat bereaksi dengan dinding sel bakteri dan membran sel.
Biomassa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi
dan dipanen pada umur 7 hari mempunyai kadar protein, lemak, dan karbohidrat
sebesar 45,88 % (bk), 16,5 % dan 10,17 % (bk). Hasil analisis kandungan
senyawa kimia ini berbeda dengan hasil penelitian Renaud (2002) maupun
peneliti lain. Hal ini terjadi karena metode kultivasi yang digunakan berbeda,
karena faktor-faktor seperti nutrien, suhu, pencahayaan, CO2, salinitas
mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi kimianya.
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi mempunyai
komposisi asam lemak yang terdiri dari asam lemak jenuh seperti kaprilat (C8:0),
miristat (C14:0), palmitat (C16:0), laurat (C12:0), stearat (C18:0), heneikosanoat
(C21:0), behenat (C22:0), serta asam lemak tidak jenuh seperti palmitoleat
94
(C16:1), heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1),
oleat (C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3),
dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3) dan dokosaheksaenoat
(C22:6n3). Asam lemak seperti palmitoleat, oleat, linoleat, linolenat merupakan
asam lemak yang mempunyai aktivitas antibakteri (Zheng 2005), tetapi aktivitas
antibakteri dari asam lemak belum banyak ditemukan sehingga reaksi
mekanismenya masih belum jelas.
Chaetoceros gracilis mengandung asam lemak esensial untuk tubuh,
yaitu asam linoleat (C18:2n-6) dan asam linolenat (C18:3n-3). Asam lemak ini
dikatakan esensial karena dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi tubuh tidak dapat
mensintesis sendiri. Kedua asam lemak ini diperlukan oleh tubuh untuk
pertumbuhan dan fungsi normal semua jaringan. Turunan asam lemak dari
kedua asam lemak tersebut adalah asam arakhidonat (C20:4n-6) dari asam
linoleat dan eikosapentaenoat (C20: 5n-3) dan dokosaheksaenoat (C22:6n-3)
dari asam linolenat. Ketiga asam lemak ini non esensial karena tubuh dapat
mensintesisnya. Kekurangan asam lemak dalam tubuh dapat menimbulkan
gangguan. Almatsier (2009) menyatakan bahwa kekurangan asam lemak pada
tikus percobaan dapat menimbulkan gejala seperti kulit mengalami dermatitis
dan ekzema, pertumbuhan terhambat, reproduksi terganggu, degenerasi atau
kerusakan pada organ tubuh, kerentanan terhadap infeksi meningkat. Komposisi
asam lemak dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi
masih lengkap, akan tetapi kadarnya masih rendah. Hal ini dapat diantisipasi
dengan melakukan optimasi kultivasi Chaetoceros gracilis.
Mikroalga laut Chaetoceros gracilis merupakan diatom laut yang memiliki
kandungan zat gizi cukup bagus. Chaetoceros gracilis mengandung asam amino
esensial seperti treonin, valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin.
Asam amino esensial ini berfungsi terutama sebagai katalisator, penguat struktur,
penggerak, pengatur, ekspresi genetik, penguat imunitas dan untuk pertumbuhan.
Komposisi dan jumlah asam amino esensial ini dalam suatu protein pangan turut
menentukan mutu protein dari suatu jenis pangan (Hardinsyah dan Tambunan
2004).
Chaetoceros gracilis mengandung asam amino esensial dan non
esensial. Asam amino histidin merupakan asam amino esensial untuk bayi,
namun kadang dikatakan esensial untuk orang dewasa. Histidin berperan dalam
95
pemeliharaan kesetimbangan nitrogen bagi orang dewasa. Sistein berperan
dalam pemenuhan kebutuhan asam amino sulfur. Metionin berfungsi untuk
metabolisme lemak. Katabolisme fenilalanin dan tirosin terjadi di dalam hati,
namun tirosin sebagai prekursor penting dalam sintesis beberapa senyawa
esensial dalam jaringan. Triptofan berfungsi meningkatkan penggunaan dari
vitamin B kompleks, meningkatkan kesehatan syaraf, menstabilkan emosi.
Isoleusin berfungsi dalam perkembangan kecerdasan, mempertahankan
keseimbangan nitrogen tubuh. Lisin memperkuat sistem sirkulasi, bersama
proline dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen (Stipanuk 2000).
Asam amino non esensial jenis alanin di dalam jaringan mamalia
membentuk protein dan berperan dalam transaminasi. Alanin merupakan asam
amino utama yang dikeluarkan dari otot dan usus kecil, memperkuat membran
sel, membantu metabolisme glukosa menjadi energi tubuh. Glutamat dan
aspartat dapat bekerjasam dengan dua asam sitrat dalam siklus asam sitrat,
yaitu alfa-keto glutarat dan oksaloasetat. Glutamin adalah asam amino bebas
yang terdapat dalam tubuh melimpah. Prolin berfungsi sebagai bahan dasar
asam glutamat, bersama lisin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen
yang penting untuk menjaga kecantikan kulit, memperkuat persendian, tendon,
tulang rawan dan otot jantung. Beberapa arginin digunakan untuk sintesis
guanidinoasetat yang mana dibawa ke hati untuk sintesis kreatin. Arginin juga
merupakan substrat untuk sintesis nitric oxide (NO) dan sitrulin. Dekarboksilasi
arginin menjadi agmatin, yaitu sejenis amin bioaktif berfungsi sebagai
neuromodulator. Arginin juga dapat memperbaiki jaringan yang rusak. Glisin
berperan penting dalam homeostasis nitrogen (Stipanuk 2000).
Chaetoceros gracilis mengandung kalsium dalam jumlah besar (600
mg/100 g), fosfor (P) sebesar 440 mg/100g, magnesium (Mg) sebesar 770
mg/100g, besi (Fe) 30 mg/100g, seng (Zn) sebesar 30 mg/100 g dan mangan
(Mn) sebesar 10 mg/100 g bahan. Kebutuhan manusia akan mineral berbeda-
beda. Kebutuhan kalsium, fosfor, magnesium, besi, zink, dan mangan per orang
per hari bagi bayi dan anak di bawah 10 tahun sebesar 200-600 mg,100-400 mg,
60 mg, 8 mg, 8,3 mg dan 1,2 mg. Kebutuhan kalsium, fosfor, magnesium, besi,
zink, dan mangan pada orang berumur di atas 10 tahun sebesar 800-1000 mg,
600-1000 mg, 270 mg, 13-26 mg, 9,8-13,4 mg, dan 1,8-2,3 mg. Berdasarkan
kandungan mineral ini Chaetoceros gracilis dapat digunakan sebagai sumber
mineral. Mineral-mineral ini diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan. Soekatri
96
dan Kartono (2004) menyatakan bahwa secara umum ada 3 fungsi mineral
dalam tubuh, yaitu: (1) sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi metabolik; (2)
sebagai bagian dari senyawa yang mengandung zat organik terutama enzim,
hormon, unsur tertentu dalam darah; (3) sebagai ion yang memungkinkan
pergerakan zat melintasi membran sel dan pergerakan otot.
Mineral mikro lain yang kebutuhannya belum ditetapkan tetapi dianggap
sebagai zat gizi esensial adalah Si. Silikon berperan dalam sintesis kolagen,
diabsorpsi dalam bentuk asam silikat dan diekskresi melalui urin. Zat ini banyak
terdapat dalam makanan nabati terutama biji-bijian dan serealia utuh (Almatsier
2009). Paasche (1980) menyatakan bahwa Chaetoceros dan diatom lainnya
mengandung silika yang merupakan komponen dinding sel. Biomasa
Chaetoceros gracilis yang dikultivasi dalam medium NPSi mempunyai
kandungan silika sebesar 6,5 %. Kandungan silika ini cukup tinggi, sehingga
perlu dilakukan penelitian pengurangan kandungan silika dalam biomasa
Chaetoceros gracilis.
Sifat fitokimia dari biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan
dalam medium Guillard maupun NPSi tidak berbeda, sedangkan sifat fitokimia
pada ekstrak metanol dan ekstrak heksan ada sedikit perbedaan. Beberapa sifat
kimia dapat rusak oleh tahapan ekstraksi yang menggunakan pelarut metanol
dan heksan. Pada ekstrak heksan tidak mengandung asam amino, sedangkan
pada ekstrak metanol mengandung asam amino, karena heksan bukan pelarut
yang baik untuk asam amino, tetapi baik untuk lemak, sehingga dalam ekstrak
metanol masih ditemukan adanya asam amino. Kandungan asam nukleat
(DNA) dalam Chaetoceros gracilis masih tergolong rendah, yaitu sebesar 0,1%.
9 KESIMPULAN DAN SARAN
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian
yang diperoleh antara lain :
1. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi
menghasilkan ekstrak yang mengandung senyawa antibakteri yang
memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus ATCC
25923, Bacillus cereus ATCC 13091, Vibrio harveyi, Escherichia coli
ATCC 25922.
2. Potensi antibakteri dari ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik
komersial kloramfenikol, ampisilin, tetrasiklin dan oksitetrasiklin masih
kecil. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang disimpan pada suhu rendah
selama 6 bulan masih mempunyai aktivitas antibakteri yang sama dengan
yang disimpan selama 1, 2, dan 3 bulan.
3. Ekstrak Chaetoceros gracilis yang dikontakkan pada bakteri dapat
menyebabkan kebocoran pada sel bakteri.
4. Chaetoceros gracilis memiliki kandungan asam amino esensial (treonin,
valin, metionin, leusin, isoleusin, lisin, fenilalanin, histidin). Chaetoceros
gracilis memiliki asam lemak tidak jenuh (palmitoleat (C16:1),
heptadekanoat (C17:1), miristoleat (C14:1), pentadekanoat (C15:1), oleat
(C18:1n9), linoleat (C18:3n3), arakhidonat (C20:4n6), linolenat (C18:3),
dokosadienoat (C22:2), eikosapentaenoat (C20:5n3) dan
dokosaheksaenoat (C22:6n3). Chaetoceros gracilis mengandung mineral
kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), besi (Fe), zink (Zn), mangan
(Mn). Chaetoceros gracilis mengandung fitokimia seperti steroid, alkaloid,
asam amino, karbohidrat. Kandungan asam nukleat (DNA) Chaetoceros
gracilis sebesar 0,1 % dan silika 6,5%.
Chaetoceros gracilis dapat ditumbuhkan dalam medium yang murah,
memiliki aktivitas antibakteri yang dapat berperan dalam pengembangan
farmasetika. Kandungan senyawa kimianya lengkap, kandungan asam
nukleatnya rendah, namun kandungan silika tinggi, sehingga bila digunakan
sebagai bahan suplemen sebaiknya dihilangkan terlebih dahulu. Berdasarkan
hal tersebut masih perlu dilakukan beberapa penelitian lanjutan antara lain :
98
1 Optimasi kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi yang
menggunakan intensitas cahaya berbeda, menggunakan CO2,
menggunakan NPSi dalam berbagai komposisi, sehingga diperoleh teknik
kultivasi yang selektif untuk memproduksi antibakteri maupun senyawa
biokimia. Perlu dilkukan penelitian kultivasi C. gracilis pada suhu ruang
sampai diperoleh biomasa maksimum, lalu suhu diturunkan.
2 Komponen aktif lain yang meliputi antioksidan dan imunostimulan dari
Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi yang
optimum
3 Produksi senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis dalam medium
NPSi pada fase stasioner.
4 Untuk pengembangan nutrasetika atau suplemen makanan perlu
melanjutkan penelitian tentang keamanan pangan atau uji toksisitas
Chaetoceros gracilis (in vivo).
5 Komponen asam amino lain dalam Chaetoceros gracilis yang belum
terdeteksi.
6 Kandungan serat dan gula dalam karbohidrat dari biomasa Chaetoceros
gracilis yang ditumbuhkan dalam NPSi.
7 Penghilangan silika dalam biomasa C. gracilis.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar TM. 2008. Pengaruh cahaya dan metode ekstraksi terhadap senyawa antibakteri dari Chaetoceros gracilis. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 45 hal.
Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 337 hal.
[AOAC] Association of Official Agricultural Chemists. 2005. Preparation of methyl ester BF3 method: GC-FID. Official Methods of Analysis. Washington DC. AOAC 969.33.
Araujo SC, Garcia VMT. 2005. Growth and biochemical composition of the diatom Chaetoceros cf. wighamii brightwell under different temperature, salinity, and carbon dioxide levels. Protein, carbohydrates and lipids. Aquaculture 246: 405-412.
Arinardi OH, Sutomo AB, Yusuf SA, Trimaningsih, Asnaryanti E, dan Riyono SH. 1997. Kisaran Kelimpahan dan Komposisi Plankton Predominan di Perairan Kawasan Timur Indonesia. Jakarta: Puslitbang Oseanologi LIPI. 140 hal.
Baticados MCL, Paclibare JO. 1992. The use of chemotherapeutic agents in aquaculture in the Philippines. Dalam Disease in Asian Aquaculture II. M. Shariff, R.P. Subasinghe and J.R. Arthur (eds). Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Phillipines. Hal. 531-545.
[BBLL] Balai Budidaya Laut Lampung. 2002. Budidaya fitoplankton dan zooplankton. Seri budidaya laut. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya. Departemen kelautan dan Perikanan. 77 hal.
Becker EW. 1988. Micro-algae for human and animal consumption. Di dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds.) Mikroalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge. 444 hal.
Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. Cambridge University Press. Cambridge. New York. 293 hal.
Bintang M. 1993. Studi antimikroba dari Streptococcus lactis. Bandung. [Disertasi]. Program Studi Biokimia. Institut Teknologi Bandung. 147 hal.
Bloomfield SF. 1991. Methods for assessing antimicrobial activity. In Mechanisms of Action of Chemical Biocides, Their Study and Exploitation ed. Denyer, S.P. and Hugo, W.B. p. 1–22. Oxford, UK: Blackwell Scientific Publications.
Bligh EG, Dyer WJ. 1959. A rapid method of total lipid extraction and purification. Canadian Journal of Biochemistry and Physiology. 37:911-917.
Borowitzka MA. 1988. Algal growth media and sources of algal cultures. Di dalam, Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. (Eds.) Microalgal Biotechnology. Cambridge University Press. Cambridge. 444 hal.
Bozolla JJ, Russel D. 1992. Electrom microscopi. Principles and techniques for biologists. Boston: Joens & Barlett publisher. 670 hal.
100
Bunduki MMC, Flanders KJ, Donelly CW. 1995. Metabolic and stucture sites of damage in heat and sanitizer-injured popolation of Listeria monocytogenes. J. Food Prot. 58:410-415.
Chrismadha T. 1993. Growth and lipid production of Phaeodactylum tricornutum Bohlin in a tubular-photobioreactor. [Thesis]. Perth: Murdoch University. Australia. 211 hal.
Coulteau P. 1996. Microalgae. Di dalam Laven P dan Sorgeloos P. Manual on the production and use of the life food for aquaculture. Laboratorium of Aquaculture and Artemia Reference center, University of Ghent Belgium. Hal. 7-48.
Dalsgaard I. 2001. Selection of media for antimicrobial susceptibility testing of fish pathogenic bacteria. Aquaculture 196:267-275.
Danesi PR. 1992. Solvents extraction kinetics. Di dalam: Rydberg JC, Musikas, Choppin GR. Principles and Practices of Solvent Extraction. New York: Marcel Dekker Inc. 157 -207.
Davis WW, Stout TR. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic assay. Journal of Microbiology. 22(4): 659-665.
Dilika F, Bremner PD, Meyer JJM. 2000. Antibacterial activity of linoleic and oleic acids isolated from Helichrysum pedunculatum: a plant used during circumcision rites. Fitoterapia 71:450-452.
Dunstan GA, Volkman JK, Barret SM, Leroi JM, Jeffrey SW. Essential polysaturated fatty acids from 14 species of diatom (Bacillariophyceae). Phytochemistry. 35(1):155-161.
Effendi, H. 2002. Mikrobioteknologi Laut. Tantangan Baru dalam Eksploitasi Laut Nusantara, htttp//www.kompas.com/kompas-cetak/0206/19/iptek/tent Hal 19 [01/02/2006].
[FAO] Food and Agriculture Organization. 1972. Food Composition Table For use In East Asia. Rome: US Department of Health, Education and Walfare and FAO, Food Policy and Nutrition Division. 334 hal.
Fardiaz S. 1983. Keamanan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. 308 hal.
Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan . Bogor.: PAU IPB. 268 hal.
Fogg GE, Thake B. 1987. Alga Cultures and Phytoplankton Ecology. The University of Wisconsin Press. Madison Milwaukee. London. 269 hal.
Gauthier MJ, Bernard P, Aubert M. 1978. Production of a photo-sensitive lipid antibiotic by the marine diatom Chaetoceros lauderi (Ralfs). Ann Microbiol (Paris). 1978 Jul;129B (1):63-70.
Goldberg S. 2008. Mechanical/physical methods of cell disruption and tissue homogenization. Methods in Molecular Biology, 2008, Volume 424: 3-22.
Gropper SS, Smith JL, Groff JL. 2005. Advanced Nutrition and Human Metabolism. 4th Edition. Australia: Thomson-Wadsworth. 600 hal.
Grima EM, Fernandez FGA, Medina AR. 2004. Downstream processing of cell mass and products. Di dalam: Richmond A. Editor. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology. Australia: Blackwell Science Ltd. 566 hal.
101
Hadioetomo RS. 1993. Mikrobiologi Dasar dalam Praktek Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. Bogor: IPB. 161 hal.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Padmawinata K dan Soediro I (penerjemah). Bandung: ITB. 354 hal.
Hardinsyah, Tambunan V. 2004. Angka kecukupan energi, protein, lemak dan serat makanan. Dalam Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG). 225 hal.
Harrison PJ, Berges GA. 2005. Marine Culture Media. Di dalam: Anderson RA. Editor. Algal Culturing Techniques. USA: Elsevier Academic Press. 578 hal.
Health HB, Reineccius G. 1986. Flavouring materials of Natural Origin. In: Flavour Chemistry and Technology. The AVI Pub. Co., Inc. Westpoint, Conn., 158 hal.
Heat RJ, White SW, Rock CO. 2001. Lipid biosynthesis as a target for antibacterial agents. Pergamon. Prog. in Lipid Res 40:467-497.
Huss HH, Ababouch L, Gram L. 2003. Assessment and Management of Seafood Safety and Quality. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 257 hal.
Isnansetyo A, Kurniastuty . 1995. Teknik Kultur Fitoplankton dan Zooplankton : Pakan alami untuk pembenihan organisme laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 116 hal.
Jay JM. 2000. Modern Food Microbiology. Sixth edition. An Aspen Publication. Aspen publishers, Inc. Gaithersburg, Maryland. 679 hal.
Junior AMM, Neto EB, Koening ML, Eskinazi E. 2007. Chemical compositon of three microalgae species for possible use in mariculture leça. Brazilian archives of biology and technology. Vol.50, no. 3 : pp.461-467.
Kabara JJ, Swieczkowski DM, Conley AJ, Truant JP. 1972. Fatty acids and derivatives as antimicrobial agents. Antimicrobial Agents and Chemotherapy 2(1):23-28.
Kanazawa A, Ikeda T, Endo T. 1995. A novel approach to mode of action of cationic biocide morphological effect on antibacterial activity. J. Appl. Bacteriol. 78:55-60.
Kartono D, Soekatri M. 2004. Angka kecukupan mineral :besi, seng, mangan, selenium, iodium. Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 225 hal.
Kim JM, Marshal MR, Cornell JA, Boston JF, Wei Cl. 1995. Antibacterial activity of carvacrol, citral, and geraniols against Salmonella typhimurium in culture medium and fish cubes. J. Food Sci 60 (6): 1365-1368.
Kobayashi M, Satari RR. 1999. Overview of marine natural products chemistry. . Prosiding Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998 : 23-32.
Kochert G. 1978. Carbohydrate determination by the phenol-sulphuric acid method. In: Handbook of Phycological Method : Physiological and
102
Biochemical Method. Hellebust JA dan Craigie JS (Eds). Cambrigde: Cambridge University Press. pp. 95-97.
Kungvankij P. 1988. Guide to the production of live food organisms. Food Agriculture Organization of The United Nations. Rome. 23 hal.
Lailati N. 2007. Metode ekstraksi dan uji aktivitas antibakteri dari kstrak Chaetoceros gracilis. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 52 hal.
Larastri R. 2006. Studi biomassa diatom perifitik pada substrat biocrete dengan konsentrasi p yang berbeda. [Skripsi]. Bogor : Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. 40 hal.
Lavilla-Pitogo CR. 1995. Bacterial disease of penaeid shrimp : An Asian View. Dalam Disease in Asian Aquaculture II. M. Shariff, J.R. Arthur dan R.P. Subasinghe (eds). Fish Health Section, Asian Fisheries Society, Manila, Phillipines. 107 – 121.
Lee RE. 2008. Phycology. Ed ke-4 Cambridge: Cambridge University Press. 547
hal.
Lewis K, Salyer AA, Taber HW, Wax RG. 2007. Bacterial Resistance to Antimicrobials. Marcel Dekker , Inc. 448 hal.
Lin CM, Preston JF, Wei Cl. 2000. Antibacterial mechanism of allyl isothiocyanate. J. Food Prot. Vol. 63 (6) : 727-734.
Lowry OH, Rosenbrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the folin phenol reagent. The Journal of Biological Chemistry. 1983:265-275.
Madigan TD, Martinko JM, Parker J. 2003. Brock Biology of Microorganism. Tenth edition. Pearson Education, Inc. 1019 hal.
McGaw LJ, Jager AK, van Staden J. 2002. Isolation of antibacterial fatty acids from Schotia brachypetala. Fitoterapia 73:431-433.
Mendiola JA, Torres CF, Tore A, Martin-Alvarez PJ, Santoyo S, Arredondo BO, Senorans FJ, Cifuentes A, Ibanez, E. 2007. Use of supercritical CO2 to obtain extracts with antimicrobial activity from Chaetoceros muelleri microalga. A correlation with their lipidic content. Eur Food Res. Technol. 234:505-510.
Metting B, Pyne JW. 1986. Biologycally active compounds from microalgae. Journal of Enzyme Microb. Tech. Vol. 8. Hal. 386-394.
Moat AG, Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial Physiology. Fourth ed. New York: Wiley-Liss, Inc. 715 hal.
Morrison RT, Boyd RN. 1992. Organic Chemistry. Sixth edition. New Jersey: Prentice Hall, Englewood Cliffs. 1325 hal.
Munn CB. 2004. Marine Microbiology. Ecology and Applications. BIOS Scientific Publishers. London and New York. 282 hal.
Naim R. 2003. Cara Kerja dan Mekanisme Resistensi Antibiotik. Kompas 11
Desember 2003. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0312. Hal 14.
103
Naviner M, Berge JP, Durand P, Le Bris H. 1999. Antibacterial activity of the marine diatom Skeletonema costatum against aquacultural pathogen. Aquaculture 174:15-24.
Nikaido H, Vaara M. 1985. Molecular basis of bacterial outer membrane permeability. Microb. Reviews 49(1):1-32.
Nontji A. 1999. Indonesian potential in developing marine biotechnology. Prosiding Bioteknologi Kelautan Indonesia I’98. Jakarta 14-15 Oktober 1998 : 13-22.
Nontji A. 2006. Tiada Kehidupan Di Bumi Tanpa Keberadaan Plankton. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat penelitian Oseanografi. 248 hal.
Nugraheny N. 2001. Ekstraksi bahan antibakteri dari diatom laut Skeletonema costatum dan potensi daya hambatnya terhadap Vibrio sp. Bogor. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 40 hal.
Nur MA, Adijuwana H, Kosasih. 1992. Teknik Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dirjen Pendidikan Tinggi. Bogor: PAU Ilmu Hayati IPB. Hal. 162-166
Ordogs V, Stirk WA, Lenobel R, Bancifova M, Strnad M, van Staden J, Szigeti J and Nemeth L. 2004. Screening microalgae for some potentially useful agricultural and pharmaceutical secondary metabolites. J. of Appl. Phycol. 16:309-314.
Paasche E. 1980. Silicon content of five marine plankton diatom species measured with a rapid filter method. Limnol. Oceanogr. 25(3):474-480.
Pacheco-Vega JM, Sanchez-Saavedra MDP. 2009. The biochemical composition of Chaetoceros muelleri (Lemmermann Grown) with an agricultural fertilizer. J. World Aquaculture Society 40 (4):556-559.
Parhusip AJN. 2006. Kajian mekanisme antibakteri ekstrak andaliman (Zanthozylum acanthopodium DC) terhadap bakteri pathogen pangan. Bogor. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 176 hal.
Parsons R, Masayuki T, Barry H. 1984. Biological Oceanographic Processes. 3rd Edition. Pergamon Press, Oxford. 330 hal.
Pelczar MJ, Reid RD. 1972. Microbiology. 3rd ed. McGraw Hill Book Co.New York. 948 hal.
Pelczar MJ, Chan ECS. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid II. Penterjemah Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL. Jakarta: UI Press. 997 hal.
Pribadi TDK. 1998. Ekstraksi senyawa antibakteri dari mikroalga laut jenis Chaetoceros gracilis dan uji aktivitasnya terhadap beberapa bakteri. Bogor. [Skripsi]. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 40 hal.
Raghavan G, Haridevi CK, Gopinathan CP. 2008. Growth and proximate composition of the Chaetoceros calcitrans f. Pumilus under different temperature, salinity and carbon dioxide levels. Aquaculture Research 39:1053-1058.
104
Rahayu WP. 1999. Kajian aktivitas antimikroba ekstrak dan fraksi rimpang lengkuas (Alpinia galangal L Swartz) terhadap mikroba pathogen dan perusak pangan. Bogor. [Disertasi]. Program Studi Ilmu Pangan. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 178 hal.
Reitz LL, Smith WH, Plumble MP. 1960. A simple, Wet oxidation procedure for biological material. Animal Science Department Purdue University West La Fayette, Indiana. Analytical Chemistry Vol. 32 (12) hal 1728.
Renaud SM, Thinh LV, Lambrinidis G, Parry DL. 2002. Effect of temperature on growth, chemical composition and fatty acid composition of tropical Australian microalgae grown in batch culture. Aquaculture 211:195-214.
Reissig, JL, Strominger LJ, Leboir LF. 1955. A modified colorimetric method for estimation of N-acetylamino sugar. J. Biol. Chem. 217:959-966.
Richmond A. 1990. Large scale microalgal culture and applications. Progress in Phycological Research, Vo. 7. Bioprocess Ltd. 16 hal.
Richmond A. 2004. Handbook of Microalgal Culture: Biotechnology and Applied Phycology.Blackwell Science Ltd. 566 hal.
Rosa A, Deidda D, Serra A, Deiana M, Dessi MA, Pompei R. 2005. Omega-3 fatty acid composition and biological activity of three microalgae species. J. Food, Agri & Environ. Vol. 3 (2) : 120-124.
Round FE, Crawford RM, Mann DG. 1996. The Diatom Biology and Morphology of The Genera. Great Britain: Cambridge University Press. 746 hal.
Salyers AA, Whitt DD. 1994. Bacterial Pathogenes. A Molecular Approach. ASM Press. Washington DC. 418 hal.
Schlegel HG, Schmidt K. 1994. Ed ke-6. Mikrobiologi Umum. Penterjemah Tedjo Baskoro. Yoyakarta: Gajah Mada University Press. 688 hal.
Setyaningsih I, L. Hardjito, Panggabean L, 2006. Antibacterial activity of the marine diatom Chaetoceros gracilis against Staphylococcus aureus and Vibrio harveyi. Proceeding International Seminar and Workshop Marine Bioderversity and Their Potential For Developing Bio-Pharmaceutical Industry In Indonesia. Jakarta Mei 2006. Hal. 160-165
Setyabudi R, Gan VHS. 1995. Antimikroba. Dalam: Ganiswara SG, Setyabudi R, Suyatna FD, Purwantyastuti dan Nafrialdi. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta :Gaya Baru. 755 hal.
Soekatri M, Kartono D. 2004. Angka kecukupan mineral: kalsium, fosfor, magnesium, fluor. Prosiding Angka Kecukupan Gizi dan Acuan Label Gizi. Jakarta: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII. 225 hal.
Stewart WDP. 1974. Algal Physiology and Biochemistry. Melbourne: Blackwell
Scientific Publ. London. 989 hal.
Stipanuk, MH. 2000. Biochemical and physiological aspecs of human nutrition. W.B. Saunders Company. The Curtis Center, Independence Square West. Philadelphia, PA 19106. 1007 hal.
Sue HM, Su MS, Liao IC. 1997. Collection and culture of live foods for aquaculture in Taiwan. Hydrobiologia 358: 37 – 40.
105
Sunaryanto A, Mariam A. 1986. Occurence of a pathogenic bacteria cusing luminescence in penaeid larvae in Indonesian hatcheries. Bull. Brackis Water Aqua Devl Centre 8:64-70.
Suwanto A, Yuhana M, Herawaty E, Angka SL. 1999. Genetic diversity of Luminous Vibrio isolated from shrimp larvae. In Flegel R.W. (ed). Advances in Shrimp Biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok . 217-224.
Tim Laboratorium Ilmu dan Teknologi Ternak. 2003. Penuntun Praktikum Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Jurusan Ilmu dan Nutrisi Ternak, Fakultas Peternakan, IPB. Bogor. 32 hal.
Trianti R. 1998. Ekstraksi dan uji aktivitas senyawa antibakteri dari mikroalga Chlorella sp. [Skripsi]. Bogor. Program studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 56 hal.
Ultee A, Goris LGM, Smid, EJ. 1998. Bacterial activity of carvacrol towards the food-borne pathogen Bacillus cereus. J. App. Microbiol. 85:213-218.
Wang JK. 1999. Antibacterial active extracts from the marine algae Chaetoceros and methods of use. United States Patent : 5,866,150.
Williams RAD, Lambert PA, Singleton P. 1996. Antimicrobial Drug Action. Oxford: BIOS Scientific Publishers, Ltd. 145 hal.
Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gisi. Edisi terbaru. Bogor: Embrio Press. 286 hal.
Yap CY, Chen F. 2001. Polyunsaturated fatty acids : biologycal significance, biosynthesis, and production by microalgae and microalgae- like organisms. In Chen F and Jiang Y. (2001). Algae and Their Biotechnological Potential, Netherlands:Kluwer Academic Publishers. Hal. 1-32.
Zheng CJ, Yoo JS, Lee TG, Cho HY, Kim YH, Kim WG. 2005. Fatty acid synthesis is a terget for antibacterial activity of unsaturated fatty acids. FEBS Letters 579 (2005) :5157-5162.
L A M P I R A N
107
Lampiran 1 Komposisi medium pupuk NPSi yang digunakan untuk kultivasi Chaetoceros gracilis
Medium pupuk NPSi
Bahan Kandungan Jumlah
TSP (Triple Super Phosphate)*
P2O5 32%
3.125 gr/L akuades
Urea (CO(NH2)2) * Nitrogen 46%
21.273 gr/L akuades
Sodium metasilika * Si(OH)2 34% 2.941 gr/L akuades B1 0.1% (teknis) ** Biotin (teknis) ** B12 2% (teknis) **
0.1 % 2 %
1 g/100 ml akuades 0.01 g/100 ml akuades 0.5 g/100 ml akuades
Trace metal A***
CuSO4.5H2O ZnSO4.7H2O Aquades
1,95 g 4,40 g 100 ml
Trace metal B***
NaMoO4.2H2O (NH4)6.Mo7O24.4H2O Aquades
1,26 g 6,43 g 100 ml
Trace metal C***
CoCl2.6H2O Aquades
2,00 g 100 ml
Trace metal D***
MnCl2.4H2O Aquades
3,60 g 100 ml
* 3 ml +1 ml + 4 ml / L air laut ** masing-masing 0,1 ml/100 ml aquades *** masing-masing 1 ml/ L air laut
108
Lampiran 2 Kepadatan sel Chaetoceros gracilis selama kultivasi
Hari Kepadatan sel (sel/mL) Log kepadatan sel
0 2,1x105 5,32
1 4,2x105 5,62
2 1,1x106 6,05
3 1,6x106 6,19
4 1,6x106 6,21
5 1,9x106 6,27
6 2,2x106 6,35
7 2,4x106 6,37
8 2,3x106 6,37
9 2,3x106 6,35
10 2,2x106 6,35
11 2,2x106 6,35
12 2,3x106 6,35
13 2,2x106 6,34
14 2,2x106 6,35
15 2,2x106 6,34
16 2,2x106 6,34
17 2,3x106 6,36
18 2,4x106 6,37
19 2,4x106 6,37
20 2,3x106 6,37
21 2,3x106 6,36
22 2,3x106 6,36
23 2,3x106 6,37
24 2,0x106 6,31
25 1,4x106 6,15
26 1,0x106 6,01
27 8,2x105 5,91
109
Lampiran 3 Diameter zona hambat ekstrak metanol dari Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm)
Staphylococcus aureus ATCC 25923
Bacillus cereus ATCC13091
Vibrio harveyi
Escherichia coli ATCC 25922
Ekstrak 1 6 7 6 4
2 6 7 6 4
3 7 6 5,5 3,5
4 5,5 8 6,5 3
Rataan 6 7 6 4
Kloramfenikol
1 32 35 34 35
2 30 34 36 34
Rataan 31 35 35 35
Metanol 0 0 0 0 Lampiran 4 Diameter zona hambat ekstrak heksan Chaetoceros gracilis dan kloramfenikol pada beberapa bakteri (mm)
Staphylococcus aureus ATCC 25923
Bacillus cereus ATCC 13091
Vibrio harveyi
Escherichia coli ATCC 25922
Ekstrak 1 6 8 7 4
2 7 8 6,5 3,5
3 6 7 7 3
4 6 8 7,5 4
Rataan 6 8 7 4
Kloramfenikol
1 32 35 34 35
2 30 34 36 34
Rataan 31 35 35 35
Heksan 0 0 0 0
110
Lampiran 5 Diameter zona hambat (mm) pada Bacillus cereus dan Vibrio harveyi dari ekstrak C. gracilis dan 4 jenis antibiotik
Ekstrak C. gracilis Kloramfenikol Ampisilin Tetrasiklin Oksitetrasiklin
Bacillus cereus
1 7 35 40 32 33
2 7
3 6 33 38,5 32,5 31
4 8
Rataan 7 34 39 32 32
sd 0,8 1,0 1,0 1,0 1,0
Vibrio harveyi
1 6 35 30 35 34
2 6
3 5 33,5 28 33,5 32
4 7
Rataan 6 34 29 34 33
sd 0,8 1,1 1,4 1,1 1,4
Lampiran 6 Potensi relatif ekstrak Chaetoceros gracilis terhadap antibiotik
komersial (%)
Kloramfenikol Ampisilin Tetrasiklin Oksitetrasiklin
Bacillus cereus
1 20 18 22 21
2 21 18 22 23
Rataan 21 18 22 22
sd 0,9 0,5 0,2 0,9
Vibrio harveyi
1 17 20 17 18
2 18 21 18 19
Rataan 18 21 18 18
sd 0,5 1, 0,5 0,8
111
Lampiran 7 Diameter zona hambat (mm) ekstrak Chaetoceros gracilis selama penyimpanan
Bakteri uji Diameter zona hambat selama penyimpanan (mm)
0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 6 bulan V. harveyi 6±0,5 6±0,5 6±0,3 6±0,4 6±0,4
E. coli 4±0,3 4±0,3 4±0,3 4±0,3 4±0,3
S. aureus 6±0,5 6±0,5 6±0,4 6±0,2 6±0,4
B. cereus 7±0,5 7±0,5 7±0,3 7±0,4 7±0,4
112
Lampiran 8 Perhitungan kadar protein C. gracilis
Penentuan kadar protein
Kurva standar
0 10 20 40 60 80 100
0 0,138 0,196 0,304 0,381 0,462 0,553 0 0,165 0,21 0,289 0,388 0,505 0,561 0 0,1515 0,203 0,2965 0,3845 0,4835 0,557
Bobot sampel (mg) Abs ug/ml % Protein % rataan protein
200 0,335 86,75 43,38 45,875
0,375 96,75 48,38
45,88
y = 0.004x - 0.012R² = 0.997
-0.05
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0 20 40 60 80 100 120
113
Lampiran 9 Penghitungan kadar karbohidrat C. gracilis
Kurva standar
0 10 20 40 60 80 100
0 0,088 0,2 0,407 0,609 0,682 0,9366 0 0,069 0,149 0,289 0,571 0,74 0,965 0 0,0785 0,1745 0,348 0,59 0,711 0,9508
Bobot sampel Absorbansi ug/ml % karbohidrat % rataan kadar Karbohidrat
200 0,179 21,11 10,56 10,17
0,165 19,56 9,78
y = 0.009x - 0.011R² = 0.995
-0.2
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
0 20 40 60 80 100 120
114
Lampiran 10 Perhitungan hasil analisis mineral dari biomasa C. gracilis
Hasil analisis mineral Kalsium (Ca)
ppm std Abs std
0 -0,0001
2,5 0,0380
5 0,0707
10 0,1372
15 0,2018
20 0,2656
25 0,3270
Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP ppm splXFP/(grxBK) % Ca
C. gracilis 2,0194 0,0674 4,876923 12192,30769 6037,589231 0,60
Air laut _ 0,0120 0,615385 615,3846154 615,3846154 0,06
Hasil analisis mineral Phosphor (P)
ppm std PO4 Abs std PO4
0 0
4 0,082
8 0,17
16 0,353
24 0,523
32 0,686
40 0,814
Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl
ppm splXFP
ppm splXFP/(grxBK) % PO4 % P
C. gracilis 2,0194 0,098 4,55 28437,5 14082,15311 1,40822 0,46
Air laut _ 0,007 0 0 0 0 0,00
y = 0.013x + 0.004R² = 0.999
-0.1
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0 5 10 15 20 25 30
115
Hasil analisis mineral Magnesium (Mg)
ppm std Abs std
0 -0,0006
0,1 0,0310
0,2 0,0557
0,4 0,1059
0,6 0,1547
0,8 0,1991
1 0,2430
Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP
ppm splXFP/(grxBK) % Mg
C. gracilis 2,0194 0,1559 0,626141 15653,527 7751,573225 0,78
Air laut _ 0,2580 1,049793 1049,79253 1049,792531 0,10
Hasil analisis mineral Besi(Fe)
ppm std Abs std
0 0,0004 1 0,0244 2 0,0529 4 0,0986 6 0,1460 8 0,1880
10 0,2290
Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP ppm splXFP/(grxBK) % Fe
C. gracilis 2,0194 0,0550 2,318182 579,545455 286,99 0,03
Air laut _ -0,0019 -0,26818 -0,2681818 -0,27 0,00
y = 0.022x + 0.004R² = 0.998
0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0 2 4 6 8 10 12
116
Hasil analisis mineral Mangan (Mn)
ppm std Abs std
0 0
1 0,0497
2 0,0971
4 0,1902
6 0,2644
8 0,3396
10 0,4161
Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP ppm splXFP/(grxBK) % Mn
C. gracilis 2,0194 0,2531 5,929268 148,231707 73,40 0,01
Air laut _ 0,0002 -0,23902 -0,2390244 -0,24 0,00
Hasil analisis mineral Seng (Zn)
ppm std Abs std 0 -0,0011
0,25 0,028 0,5 0,0555 1 0,1119
1,5 0,1505 2 0,1971
2,5 0,2314
Kode spl Bobot spl Absorbans ppm spl ppm splXFP ppm splXFP/(grxBK) % Zn
C. gracilis 2,0194 0,0371 0,323656 809,139785 400,68 0,04 Air laut _ 0,0079 0,009677 0,00967742 0,01 0,00
y = 0.041x + 0.010R² = 0.997
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0 2 4 6 8 10 12
117
Lampiran 11 Konsentrasi DNA dalam Chaetoceros gracilis
Sampel
Nilai [DNA] x Faktor
Pengenceran (40x)
Absorbansi [DNA] (µg/ml)
Protein (µg/ml)
Purity (%)
Bobot Sampel (mg)
(µg/ml) (%)
1 0,536 26,8 0,3 66 20,5 1072 0,1072
2 0,591 29,5 0,3 66 20,6 1180 0,118
Rataan 1126 0,1126