Kulit Kering

55
Kulit Kering Kulit kering, yang juga dikenal sebagai xerosis, dapat merupakan sebuah kondisi kongenital atau didapat. Kondisi ini dapat bersifat sangat ringan sehingga sulit untuk diamati atau sangat berat sehingga mengarah pada pecahnya kulit, rasa gatal yang parah, dan infeksi. Kulit kering ringan merupakan sebuah kondisi yang mengenai banyak pasien dan sering menjadi keluhan bagi pasien kosmetik. Milyaran dollar dihabiskan setiap tahun di seluruh dunia untuk membeli produk-produk perawatan kulit yang melembabkan. Karenanya, penting untuk dermatologis kosmetik dan ilmuwan kosmetik untuk memahami penyebab dari kulit kering dan bagaimana terapi saat ini untuk menangani kondisi ini. Terdapat banyak produk dalam pasaran untuk menangani kekeringan pada kulit sehingga dapat membingungkan konsumen. Bab ini akan membahas apa yang telah diketahui sebagai penyebab kulit kering dengan fokus pada hal-hal yang mulai bermunculan yang harus dipahami dengan tujuan mengidentifikasi produk yang paling efektif atau produk yang paling sesuai untuk tipe kulit spesifik. Apakah Kulit Kering Itu? Kulit kering ditandai dengan kurangnya kelembaban dalam stratum korneum (SC). Air merupakan bahan utama dalam kelenturan kulit,

description

kulit kering

Transcript of Kulit Kering

Page 1: Kulit Kering

Kulit Kering

 

Kulit kering, yang juga dikenal sebagai xerosis, dapat merupakan sebuah kondisi kongenital

atau didapat. Kondisi ini dapat bersifat sangat ringan sehingga sulit untuk diamati atau sangat

berat sehingga mengarah pada pecahnya kulit, rasa gatal yang parah, dan infeksi. Kulit kering

ringan merupakan sebuah kondisi yang mengenai banyak pasien dan sering menjadi keluhan bagi

pasien kosmetik. Milyaran dollar dihabiskan setiap tahun di seluruh dunia untuk membeli

produk-produk perawatan kulit yang melembabkan. Karenanya, penting untuk dermatologis

kosmetik dan ilmuwan kosmetik untuk memahami penyebab dari kulit kering dan bagaimana

terapi saat ini untuk menangani kondisi ini.

                Terdapat banyak produk dalam pasaran untuk menangani kekeringan pada kulit

sehingga dapat membingungkan konsumen. Bab ini akan membahas apa yang telah diketahui

sebagai penyebab kulit kering dengan fokus pada hal-hal yang mulai bermunculan yang harus

dipahami dengan tujuan mengidentifikasi produk yang paling efektif atau produk yang paling

sesuai untuk tipe kulit spesifik.

 

   Apakah Kulit Kering Itu?

Kulit kering ditandai dengan kurangnya kelembaban dalam stratum korneum (SC). Air

merupakan bahan utama dalam kelenturan kulit, dan jika kadarnya rendah, akan terjadi pecahan

dan fisura pada kulit. Agar kulit dapat terlihat dan terasa normal, kandungan air dalam SC harus

lebih besar dari 10%. Peningkatan kehilangan air transepidermal (transepidermal water loss-

TEWL) yang mengarah pada terjadinya kulit kering terjadi sebagai akibat adanya defek

permeabilitas barier yang menyebabkan lebih banyak air hilang ke atmosfer. Gangguan pada

barier ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor berbeda seperti detergen keras, aseton dan

kontaktan lainnya, dan kebiasaan mandi yang sering. Saat kulit menjadi terlalu kering,

lapisan kulit terluar menjadi kaku dan dapat pecah. Pecahnya kulit ini dapat menjadi fisura ke

dalam kulit yang dapat teriritasi, mengalami inflamasi, dan terasa gatal. Kondisi ini parah pada

Page 2: Kulit Kering

area tubuh dengan kelenjar minyak yang relatif sedikit seperti lengan, tungkai, dan batang tubuh

(kotak 1).

              Perubahan pada komponen lipid epidermal kulit juga dapat menjadi penyebab xerosis.

Sebagian dermatologis percaya bahwa insidens kulit kering telah meningkat dalam beberapa

tahun terakhir karena orang-orang secara teratur mandi dengan menggunakan air panas,

pembersih berbusa, fragranced bubble bath, dan garam mandi, yang dapat mengganggu barier

kulit dengan menghilangkan lipid-lipid yang penting. Sabun, detergen, dan air yang keras dapat

menghilangkan barier kulit yang sehat dan normal.

 

Kotak 1. Transepidermal Water Loss

Kligman membahas observasinya mengenai efisiensi barier air epidermal sebagai sebuah

struktur untuk mencegah TEWL pada sebuah tulisan pada tahun 1964. Kligman

mendeskripsikan dia menutupi bukaan sebuah vial air yang dibalikkan dengan menggunakan

lembaran SC. Lembaran jaringan SC ini mencegah evaporasi air. TEWL saat ini digunakan

sebagai pengukuran integritas SC. TEWL didefinisikan sebagai hilangnya air yang tidak

dirasakan (insensible water loss) melalui kulit. Hal ini tidak sama dengan perspirasi aktif.

TEWL diukur dengan dua cara. Pertama menggunakan alat yang disebut dengan

evaporimeter, yang menghitung gradien kelembaban permukaan kulit. Cara kedua adalah

dengan menggunakan alat yang yang mengukur kapasitas elektrik kulit yang berubah dengan

hidrasi kulit. Hal ini sebenarnya mengukur hidrasi SC ketimbang TEWL; namun, laju

hilangnya air dapat diekstrapolasikan dengan memakai pengukuran kapasitas. Untuk

meningkatkan validitas hasil, sangatlah penting untuk melakukan kedua jenis pengukuran ini

dalam kondisi iklim terkontrol dengan aliran udara minimal. Hidrasi kulit paling akurat

diukur dengan menggunakan beberapa metode termasuk korelasi klinis.

 

              Sebagian besar orang yang mengeluhkan memiliki kulit kering tidak memiliki penyakit

yang mendasari, namun mereka memiliki kemampuan yang kurang untuk beradaptasi dengan

elemen lingkungan yang mempengaruhi kapasitas pengikatan air SC. Tabel 1 memperlihatkan

bahan-bahan dalam lingkungan yang dapat menyebabkan kulit kering.

 

Page 3: Kulit Kering

Tabel 1. Bahan Lingkungan yang Dapat Menyebabkan Kulit

Kering

Air panas

Deterjen

Gesekan dari pakaian

Perjalanan udara yang sering

Polusi

Bahan kimia lain

Pendingin ruangan (air conditioning)

 

Secara umum, seiring dengan pertambahan usia, kulit cenderung untuk menjadi lebih kering dan

kurang berminyak. Kulit kering terjadi lebih sering selama bulan-bulan musim gugur dan

musim dingin karena rendahnya kelembaban dan mandi berlebihan dengan menggunakan air

panas. Xerosis sering disebut sebagai “winter itch” karena kondisi ini terjadi paling parah

selama musim dingin.

 

Tanda-Tanda Klinis

Tanda klinis pertama dari kulit kering adalah warna kusam, putih keabuan dan

meningkatnya pertanda topografi kulit (gambar 1). Seiring dengan semakin memburuknya

kondisi kering, hilangnya air menyebabkan hilangnya kohesivitas antara korneosit dan retensi

abnormal desmosom. Bagian tepi korneosit akan melengkung seperti bagian atap yang

melengkung saat kondisi gersang secara ekstrim. Melonggarnya seluruh lapis korneosit

menyebabkan kulit bersisik dan retak. Seluruh permukaan kulit terasa kasar.

Penampilannya menjadi kusam karena permukaan yang kasar lebih tidak mampu memantulkan

cahaya dibandingkan dengan permukaan yang halus. Kulit mungkin terasa lebih tidak lentur

dengan peregangan; kulit yang pecah dan fisura dapat terjadi sebagai akibat dari berkurangnya

elastisitas ini. Xerosis dan barier epidermal yang terganggu juga dapat merupakan bagian dari

kelainan genetik atau kondisi dengan predisposisi genetik, termasuk iktiosis dan dermatitis

atopik (kotak 2).

 

Page 4: Kulit Kering

Gambar 1. Kulit kering menunjukkan tanda adanya sisik putih di permukaan.

 

Kotak 2. Dermatitis Atopik

 

Dermatitis atopik adalah sebuah kelainan multifaktorial yang ditandai dengan kulit kering.

Berbagai studi telah memberi kesan bahwa sebuah insufisiensi ceramid pada kulit merupakan

sebuah faktor patofisiologik penting dalam kondisi ini. Meski demikian, dalam sebuah studi

yang mengobservasi pasien dengan “xerosis”, defisiensi pada kemampuan menahan air tidak

ditemani dengan insufisiensi ceramid. Peneliti juga menemukan bahwa kadar sebum tidak

memegang peranan signifikan dalam etiologi xerosis saat mempelajari pasien atopik. Peneliti

menghipotesiskan bahwa xerosis dapat disebabkan oleh aberasi dari struktur lamelar lipid

intraseluler dalam SC.

Menariknya, mutasi pada gen filagrin telah ditemukan pada pasien dengan dermatitis

atopik. Bahkan, mutasi filagrin merupakan faktor genetik kuat pertama yang diidentifikasi

pada dermatitis atopik. Sebuah defek pada filagrin akan menghasilkan defek struktural kutan

Page 5: Kulit Kering

karena bahan ini normalnya mengagregasi filamen keratin dalam stratum granulosum untuk

membentuk makrofilamen yang memberikan kekuatan untuk lapisan ini. Selain itu, defek

pada filagrin akan mengarah pada penurunan NMF, sebuah produk sampingan filagrin yang

memiliki sifat higroskopik. Sebuah penurunan dalam sekresi badan lamelar, yang akan

mengarah pada penurunan asam lemak dan ceramid, telah dilaporkan pada pasien-pasien

dermatitis atopik.

 

Kulit Kering atau Berminyak?

Banyak pasien mendeskripsikan dirinya memiliki kulit kering dan berminyak. Meski demikian,

dalam realitas, kedua proses ini tidak dapat terjadi secara bersamaan pada tempat yang sama.

Kulit kering disebabkan oleh kurangnya kelembaban dalam SC. Kulit berminyak disebabkan

oleh meningkatnya sekresi kelenjar sebasea. Merupakan suatu hal yang mungkin untuk

memiliki kulit kering pada bagian-bagian wajah dan kulit berminyak pada area zona T. Hal ini

biasanya disebut sebagai kulit kombinasi. Selain itu, seseorang dapat memiliki kulit berminyak

pada wajah dan kulit kering pada tubuh karena kurangnya kelenjar sebasea pada lengan dan

tungkai.

 

   Etiologi Kulit Kering

Kulit kering merupakan hasil dari berkurangnya kandungan air dalam SC, yang mengarah pada

deskuamasi abnormal korneosit. Hidrasi SC terutama merupakan fungsi dari korneosit pada

bagian luar SC (stratum disjunctum), karena korneosit pada SC bagian lebih bawah (stratum

compactum) secara relatif dehidrasi dan tidak mampu menyerap air saat terpapar dengan stress

hipotonik. Rawlings et al mendemonstrasikan bahwa desmosom tetap utuh pada tingkat SC

yang lebih tinggi dan kadar desmoglein I tetap meningkat pada SC superfisial pada individu

dengan kulit kering dibandingkan dengan kontrol. Hal ini terjadi karena enzim yang diperlukan

untuk digesti desmosom terganggu saat kadar air tidak mencukupi, yang mengarah pada

deskuamasi abnormal yang menyebabkan timbulnya gumpalan korneosit yang menyebabkan

kulit tampak kasar dan kering (gambar 2A dan B). Gumpalan korneosit ini mengarah pada

penampilan klinis (fenotipe) yang dikenal dengan kulit kering atau bersisik. Pada jenis kulit

yang lebih gelap, gangguan pada deskuamasi dihubungkan dengan warna kulit keabuan dan

Page 6: Kulit Kering

dikenal dengan “ashy skin”. Dengan demikian, ashy skin merupakan kulit kering pada individu

berkulit gelap.

 

 Gambar 2. (A) Deskuamasi normal kornesoit mengarah pada permukaan kulit halus dan

bersinar karena adanya pemantulan cahaya yang baik. (B) Korneosit pada kulit kering

tersusun membentuk bukit dan lembah yang memberikan tampilan kulit kusam dan

tekstur kasar.

 

              Barier kulit menyerupai struktur batu bata (brick) dan semen (mortar) dengan batu bata

mewakili keratinosit dan semen mewakili lipid yang mengelilingi keratinosit dalam sebuah

pembungkus protektif. Lipid tersusun dalam susunan dua lapis seperti yang ditunjukkan pada

gambar 3. Barier kulit menunjukkan beberapa fungsi penting seperti mencegah penguapan air,

yang dikenal sebagai TEWL. Barier kulit juga membantu agar komponen-komponen yang tidak

diinginkan seperti alergen dan iritan tidak masuk ke dalam. Barier yang mengalami cedera

menyebabkan seseorang lebih rentan mengalami dermatitis kontak dan dermatitis iritan. Selain

itu, barier kulit juga memperlihatkan peranan defensif atau mekanisme defensif tergantung pada

fungsi korneosit dan matriks ekstraseluler di sekelilingnya.

 

Page 7: Kulit Kering

Gambar 3. Keratinosit terbenam dalam matriks lipid yang menyerupai susunan batu bata

dan semen (bricks and mortar). Natural moisturizing factor (NMF) ada di antara

keratinosit. NMF dan lapisan ganda lipid (lipid bilayer) mencegah dehidrasi epidermis.

   Barier Kulit

Selubung Sel Keratin

Selubung sel keratin (SK) yang membungkus korneosit adalah sebuah lapisan tidak larut

berukuran 10-nm yang terdiri atas beberapa protein bersilangan tinggi. Lorikrin, komponen

utama dari selubung ini, dan protein lain seperti involukrin, sebuah protein kecil kaya prolin,

desmoplakin, dan periplakin disilangkan (cross-linked) oleh enzim calcium (Ca2+)-dependent

transglutaminase 1 (TG-1) untuk membentuk struktur tersebut. Defek pada protein selubung SK

atau enzim TG-1 menyebabkan kelainan genetik dengan keratinisasi yang terganggu,

menghasilkan tampilan klinis (fenotipe) kulit yang sangat kering. Iktiosis lamelar dan sindrom

Vohwinkel’s merupakan contoh defek pada TG-1 dan lorikrin, dimana terlihat jelas barier kulit

yang terganggu.

 

Matriks Ekstraseluler dan Lipid SC

Matriks ekstraseluler yang mengelilingi korneosit adalah komponen kaya lemak yang penting

untuk mempertahankan barier epidermal. Badan lamelar yang merupakan organel sekretori pada

stratum granulosum memegang peranan kunci dalam membentuk barier dua lapis lipid (lipid

bilayer) dengan melepaskan kandungannya dalam sambungan stratum granulosum dan SC.

Page 8: Kulit Kering

Badan lamelar mengandung sebuah campuran lipid (ceramid, kolesterol, asam lemak), enzim

pengolah lipid, protease (bertanggung jawab untuk deskuamasi epidermal), dan inhibitor-

inhibitornya.

              Lipid ekstraseluler SC ini diketahui bertanggung jawab untuk fungsi barier air SC.

Campuran lipid yang dihantarkan oleh badan lamelar terdiri atas 50% ceramid, sekitar 15%

asam lemak, dan sekitar 25% kolesterol. Telah disebutkan bahwa perubahan pada salah satu dari

ketiga komponen ini dapat menyebabkan gangguan pada fungsi barier. Terdapat tiga enzim

pembatas laju yang terkait dengan pembentukan lipid-lipid utama kulit epidermal (gambar 4).

Enzim-enzim tersebut meliputi 3-hydroxy-3-methylglutaryl coenzyme A (HMG-Co A) reductase

(enzim pembatas laju dalam sintesis kolesterol), actyl Co-A carboxylase (ACC), dan fatty acid

synthase yang terkait dengan sintesis asam lemak, dan palmitoyl transferase (SPT), yang

merupakan enzim pengatur untuk sintesis ceramid. Seperti telah diduga, saat terjadi gangguan

barier kulit, aktivitas-aktivitas enzim ini meningkat dengan tujuan untuk mengkompensasi

disfungsi barier. Selain itu, sekelompok faktor transkripsi yang dikenal sebagai sterol

regulatory element binding proteins (SREBPs) mengatur pembentukan kolesterol dan asam

lemak. Saat sterol epidermal berkurang, SREBPs diaktivasi melalui proses proteolitik,

memasuki inti sel, dan mengaktifkan gen yang mengarah pada peningkatan sintesis kolesterol

dan enzim sintesis asam lemak. Terdapat tiga jenis SREBPs yang diketahui: SREBP-1 a, -1 c,

dan SREBP-2. Pada keratinosit manusia, SREBP-2 merupakan jenis yang dominan dan terlibat

dalam mengatur pembentukan kolesterol dan asam lemak. Menariknya, jalur ceramid tidak

dipengaruhi oleh SREBPs.

 

 

Page 9: Kulit Kering

Gambar 4. (A) Enzim-enzim pembatas laju yang terlibat dalam pembentukan lipid utama

kulit epidermal. (B) Sintesis asam lemak, ceramid, dan kolesterol.

 

Kolesterol Sel-sel basal mampu menyerap kolesterol dari sirkulasi; namun, sebagian besar

kolesterol dibentuk dari asetat dalam sel-sel seperti keratinosit. Pembentukan kolesterol

ditingkatkan saat terjadi gangguan pada barier epidermal. Peroxisome proliferator-activated

receptors (PPARs) dan reseptor retinoid X telah ditemukan memiliki peran dalam perpindahan

kolesterol di sepanjang membran sel keratinosit melalui ekspresi ABCA1, sebuah transporter

membran yang mengatur efluks kolesterol.

 

Ceramid Ceramid meliputi 40% dari lipid SC pada manusia; meski demikian, ceramid tidak

ditemukan dalam jumlah signifikan pada tingkat epidermis yang lebih bawah seperti stratum

granulosum atau lapis basal. Hal ini memberi kesan bahwa diferensiasi akhir merupakan faktor

kunci dalam produksi ceramid. Setidaknya terdapat 9 kelas ceramid dalam SC yang

diklasifikasikan sebagai ceramid 1-9. Selain itu, terdapat dua ceramid terikat protein yang

diklasifikasikan sebagai Ceramid A dan B, yang secara kovalen terikat pada protein selubung

keratin seperti involukrin (gambar 5). Pada tahun 1982, Ceramid 1 merupakan ceramid pertama

yang diidentifikasi. Selanjutnya, tipe-tipe tambahan ceramid ditemukan dan diberi nama sesuai

Page 10: Kulit Kering

polaritas dan komposisi molekul. Struktur dasar ceramid adalah sebuah asam lemak yang secara

kovalen terikat pada dasar sfingoid. Kelas-kelas yang berbeda didasarkan pada susunan

sfingosin (S) versus fitosfingosin (P) versus 6-hidroksisfingosin (H), dimana melekat sebuah

asam lemak α-hidroksi (A) atau non-hidroksi (N), serta disertai atau tanpa adanya residu asam

linoleik ω-esterifikasi. Ceramid 1 unik karena bahan ini non-polar dan mengandung asam

linoleik (sebuah asam lemak). Dipercaya bahwa struktur yang unik dari Ceramid 1

memberikannya fungsi spesial dalam SC. Banyak yang telah mengajukan bahwa struktur unik

ini mengujikan Ceramid 1 untuk berfungsi sebagai penghubung molekuler untuk melekatkan

lapisan bilayer SC yang multipel. Interaksi semacam ini dapat berpengaruh pada tumpukan lipid

bilayer yang diamati. Ceramid 1, 4, dan 7 memegang peranan vital dalam integritas epidermal

dengan berfungsi sebagai area penyimpanan utama untuk asam linoleik, sebuah asam lemak

esensial dengan fungsi penting dalam barier lipid epidermal. Meski tidak semua ceramid

epidermal dihasilkan dari prekursor glukosilceramid dari badan lamelar, ceramid yang berasal

dari sfingomielin (Ceramid 2, 5) juga diperlukan untuk integritas barier epidermal. pH basa

menghambat aktivitas β-glukoserebrosidase dan asam sfingomielinase. Karenanya, sabun basa

dapat berkontribusi pada pembentukan barier yang buruk.

Page 11: Kulit Kering

Gambar 5. Struktur kimia asam lemak bebas, kolesterol, kesembilan ceramid yang tidak

terikat, yang ditemukan pada SC serta kedua ceramid terikat protein, Ceramid A dan B.

 

              Enzim pengatur untuk sintesis ceramid (SPT) meningkat dengan paparan terhadap

radiasi UVB dan sitokin. Sebuah studi oleh peneliti L’Oréal menunjukkan bahwa kadar ceramid

total (terutama Ceramid 2) menurun pada kulit xerosis. Peneliti tidak melihat adanya perbedaan

dalam jumlah lipid total antara pasien-pasien xerosis dan kontrol.

Page 12: Kulit Kering

              Sebuah studi oleh Unilever menunjukkan bahwa prekursor sfingoid yang diaplikasikan

dari luar (terutama tetraasetil fitosfingosin atau TAPS) meningkatkan jumlah ceramid dalam

keratinosit. Sebuah studi lain oleh Unilever menunjukkan bahwa TAPS dikombinasikan dengan

asam lemak 1% asam linoleik dan 1% asam juniperik dapat meningkatkan kadar ceramid. Pada

studi kedua, integritas barier juga dinilai dan ditunjukkan mengalami perbaikan pada pasien

yang ditangani TAPS, dan lebih jauh lagi mengalami perbaikan pada pasien yang ditangani

dengan TAPS, asam linoleik, dan asam juniperik. Hasil ini memberi kesan bahwa prekursor

lipid yang diaplikasikan topikal diinkorporasikan dalam jalur biosintesis ceramid dalam

epidermis, meningkatkan kadar ceramid SC dan karenanya memperbaiki integritas barier.

 

Asam lemak Kulit mengandung asam lemak bebas dan asam lemak yang terikat pada

trigliserid, glikosilceramid, ceramid, dan fosfolipid. Asam lemak bebas dalam SC sebagian

besar merupakan rantai lurus, dengan jumlah paling banyak adalah yang memilliki panjang

rantai karbon 24. Acetyl Co-A carboxylase (ACC) dan fatty acid synthase merupakan enzim

pembatas laju dalam sintesis asam lemak. Gangguan pada barier meningkatkan mRNA dan

tingkat aktivitas kedua enzim ini menghasilkan pembentukan asam lemak de novo.

(Peningkatan aktivitas kedua enzim ini disebabkan oleh peningkatan SREBPs). Asam lemak

esensial seperti asam linoleik hanya dapat diperoleh melalui makanan atau dengan aplikasi

topikal.

 

Perubahan pada salah satu dari ketiga komponen lipid (ceramid, kolesterol, dan asam lemak)

atau enzim pengaturnya dapat menyebabkan gangguan pada barier epidermal. Sebagai contoh,

lovastatin, sebuah penghambat sintesis kolesterol (inhibitor HMG-Co A reductase),

memperlambat penyembuhan barier, dan menginduksi sebuah defek pada fungsi barier saat

diaplikasikan secara topikal. Selain itu, memberi makan tikus dengan diet rendah asam lemak

esensial, sebuah diet yang rendah asam linoleik, mengarah pada terganggunya barier,

tampaknya dengan cara menurunkan kadar ceramid. Karenanya, merupakan hal yang jelas

bahwa asam lemak esensial dan kolesterol memegang peran integral dalam kondisi kulit kering.

Saat ini dipercaya bahwa tidak ada satupun lipid tunggal yang memediasi fungsi barier, dan

bahwa kadar normal dari ceramid, kolesterol, dan asam lemak, dalam perbandingan yang tepat,

diperlukan untuk mencapai barier yang utuh. Beberapa studi mendukung hal ini. Man et al

Page 13: Kulit Kering

menunjukkan bahwa setelah perubahan barier dengan aseton, reaplikasi ceramid saja, atau asam

lemak saja, atau kombinasi ceramid dan asam lemak, lebih lanjut memperlambat penyembuhan

barier. Hanya aplikasi kombinasi ketiga komponen (ceramid, asam lemak, dan kolesterol), yang

menghasilkan penyembuhan barier normal.

 

   Komponen-Komponen Lain yang Berperan dalam Kulit Kering

Faktor Pelembab Alami (Natural Moisturizing Factor)

Hidrasi SC sangat diatur oleh faktor pelembab alami (natural moisturizing factor-NMF), sebuah

campuran produk sampingan filagrin dengan berat molekul rendah dan larut air. Korneosit tidak

memiliki inti sel tanpa adanya kandungan lipid. Korneosit terdiri atas filamen-filamen keratin

dan filagrin dan dibungkus oleh selubung sel keratin. Filagrin, yang juga dikenal sebagai protein

agregasi, memegang peranan menarik dalam fungsi barier epidermal dan hidrasi. Pada tingkat

yang lebih rendah pada kulit, filagrin memegang peranan struktural meski demikian, pada

lapisan yang lebih tinggi pada kulit, filagrin dipecah menjadi asam amino yang higroskopik dan

dengan kuat mengikat air. Histidin, glutamin, dan arginin merupakan metabolit filagrin dalam

SC. Mengikuti deaminasi dari histidin, glutamin, dan arginin menjadi asam trans-urokanik,

asam pirolidon karboksilik, dan sitrulin, dihasilkanlah sebuah komponen yang aktif secara

osmotik yang mengatur hidrasi kulit, yang dikenal sebagai NMF (gambar 6A dan B).

 

Page 14: Kulit Kering

Gambar 6. (A) Filagrin memiliki fungsi multipel tergantung pada di bagian mana

ditemukannya di epidermis. Filagrin memiliki peran struktural pada lapisan yang lebih

rendah dan peran hidrasi pada lapisan yang lebih atas. (B) Trans-UCA, asam pirolidon

karboksilik, dan sitrulin menyediakan osmolaritas untuk pengaturan hidrasi kulit.

 

              Seperti telah disebutkan sebelumnya, asam trans-urokanik, asam pirolidon karboksilik,

dan sitrulin, semuanya berasal dari filagrin, menghasilkan gradien air ke dalam SC. Komponen-

komponen lain dari NMF adalah asam laktik dan urea, berfungsi sebagai humektan, dan ion-ion

inorganik seperti sodium, potasium, kalsium, dan klorida, yang berkontribusi pada hidrasi

epidermal. Sifat NMF yang aktif secara osmotik dan bersifat sebagai humektan mengijinkan

epidermis untuk menahan hidrasi meski pada lingkungan kering. Ekstraksi komponen NMF

menghasilkan penurunan laju akumulasi kelembaban (moisture accumulation rate-MAT)

epidermis, menekankan pentingnya NMF dalam hidrasi kulit. Menariknya, komponen NMF

Page 15: Kulit Kering

mengalami perubahan musiman. Komponen asam amino NMF meningkat selama musim

dingin, sementara asam laktik, potasium, sodium, dan klorida secara signifikan lebih rendah

pada musim dingin dibandingkan musim panas. Meski terdapat banyak produk di pasaran yang

berusaha menyerupai NMF, memformulasikan sebuah produk yang identik dengan NMF telah

menjadi sebuah tantangan bagi para peneliti. Hal ini mungkin dikarenakan adanya adaptasi

alami dari NMF terhadap lingkungan yang berbeda, pada setiap orang.

 

   Aquaporin dan Epidermis

Air telah diketahui dengan baik dapat masuk melalui lipid bilayer kulit epidermal. Hingga baru-

baru ini, difusi sederhana merupakan satu-satunya mekanisme yang dianggap terjadi pada

konduksi air di epidermis. Aquaporin (AQPs), yang merupakan sebuah bentuk kanal air,

merupakan protein membran integral yang memfasilitasi transpor air pada berbagai organ

seperti kulit, tubulus renal, mata, saluran cerna, dan bahkan otak. Pada tahun 2003, Peter Agra

menerima Nobel Prize dalam kimia untuk penemuan aquaporin dan Roderick MacKinnon

untuk studi struktural tentang kanal ion. Terdapat 13 isoform aquaporin yang ditemukan pada

mamalia, diklasifikasikan sebagai AQP 0-12. Pada sel membran, aquaporin tersusun sebagai

homotetramer. Setiap subunit tetramer terdiri atas enam domain heliks α dan mengandung

sebuah pori akuos (gambar 7). Secara fungsional, aquaporin dapat diklasifikasikan menjadi dua

subtipe: AQPs 1, 2, 4, 5, dan 8, yang hanya mentransportasikan air, dan AQPs 3, 7, 9, dan 10

yang mampu menghantarkan bahan lain seperti gliserol atau urea di samping air. AQP-3

merupakan kanal air utama yang ditemukan pada epidermis manusia, dan permeabel terhadap

air dan gliserin. Gliserin telah diimplikasikan sebagai humektan endogen yang berkontribusi

terhadap hidrasi SC. Studi telah menunjukkan bahwa defek pada AQP-3 pada model tikus

menyebabkan kekeringan epidermal, serta penurunan hidrasi SC dan kandungan gliserol pada

epidermis, diikuti dengan penurunan elastisitas dan penyembuhan barier kulit yang terganggu.

Studi-studi ini mengedepankan pentingnya gliserol pada hidrasi kulit. Aquaporin dianggap

dapat memfasilitasi transpor air dan gliserol, dan bahan terlarut antara keratinosit.

 

Page 16: Kulit Kering

Gambar 7. Ilustrasi untuk topologi membran aquaporin-1. Setiap subunit aquaporin

mengandung 6 domain lapisan ganda yang terdiri atas dua struktur simetris (TMI-3,

hemipore 1; dan TM4-6, hemipore 2). Saat NPA (dibentuk oleh asam amino asparagin-N,

prolin-P, dan alanin-A) tersusun bersebelahan pada loop B dan E, NPA membentuk

sebuah kanal akuos tunggal yang terbentang pada lapis ganda bersebelahan dengan

residu yang sensitif merkuri.

   Sebum

Lipid yang berasal dari sebum juga mungkin berperan dalam patofisiologi kulit kering dengan

mencegah kehilangan air melalui pembentukan film lipid pada permukaan kulit yang berfungsi

sebagai emolien. Namun, tingkat aktivitas kelenjar sebasea yang rendah tidak berhubungan

secara konsisten dengan terjadinya kulit kering dan dampak sebum pada kondisi kulit kering

belum dipahami dengan baik. Choi et al membandingkan produksi sebum dan hidrasi SC dan

menemukan bahwa meski pria memililki tingkat sekresi sebum 30%-40% lebih tinggi

dibandingkan wanita, pria tidak menunjukkan hidrasi SC yang lebih besar pada lokasi dahi yang

kaya akan kelenjar sebasea dibandingkan wanita. Mereka juga menunjukkan bahwa anak-anak

pre-pubertas yang kelenjar sebaseanya belum mencapai fungsi maksimal menunjukkan tingkat

hidrasi SC yang normal. Namun, mereka menemukan adanya hubungan antara kadar gliserol

dan hidrasi SC yang dapat membantu menjelaskan peranan kelenjar sebasea pada kulit kering.

Kelenjar sebasea menggunakan sejumlah besar trigliserid, mengarah pada produksi dari gliserol.

Page 17: Kulit Kering

Menyediakan gliserol untuk hidrasi kulit mungkin merupakan peran penting dari kelenjar

sebasea. Teori ini didukung oleh fakta bahwa tikus dengan kelenjar sebasea hipoplastik

memiliki hidrasi SC yang buruk dan kadar gliserol SC yang rendah. Namun, gliserol dapat

berasal dari sumber lain selain kelenjar sebasea, yang dapat menjelaskan hidrasi SC normal

pada anak-anak pre-pubertal. Gliserol dapat ditransportasikan ke sel-sel basal melalui kanal

AQP-3. Pentingnya gliserol ditandai dengan fakta bahwa gliserol topikal menyimpan hidrasi

pada tikus asepia sementara lipid sebasea topikal tidak demikian.

 

   Variasi Anatomis dalam Hilangnya Air

Berbagai bagian tubuh diketahui mengatur hilangnya air secara berbeda. Sebagai contoh,

telapak tangan dan telapak kaki mengatur hilangnya air dengan buruk, sementara kulit wajah

secara relatif tidak permeabel terhadap air. Kendati fungsi dari lipid SC belum sepenuhnya

dipahami, bukti mendukung bahwa lipid memegang peranan penting dalam permeabilitas kulit.

Sebuah studi menemukan tidak ada hubungan antara fungsi barier dan ketebalan atau jumlah

lapisan sel dalam SC. Meski demikian, ditemukan adanya hubungan terbalik antara persen berat

lipid dan permeabilitas. Peneliti menemukan bahwa persen berat lipid lebih tinggi pada wajah

(lebih tidak permeabel) dan lebih rendah pada SC telapak kaki (lebih permeabel). Sebuah studi

lain dilakukan untuk mengidentifikasi komponen persen berat lipid ini dan bagaimana mereka

bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Peneliti membandingkan karakteristik dari perut,

kaki, wajah, dan telapak kaki, dan menemukan bahwa area dengan barier yang baik

mengandung persentase lipid netral yang lebih tinggi dan jumlah sfingolipid yang lebih rendah.

Dengan kata lain, perbandingan lipid netral dan sfingolipid sebanding dengan permeabilitas

untuk tiap lokasi. Menariknya, permukaan telapak kaki, yang diketahui sebagai area yang paling

permeabel, mengandung jumlah sfingolipid paling tinggi.

 

   Peptida Antimikrobial dan Barier Epidermal 

Peptida antimikrobial (AMP) merupakan sebuah komponen dari sistem imun kulit. AMP

menunjukkan sebuah aktivitas antimikrobial berspektrum luas terhadap bakteri, virus, dan

jamur. Defensin dan katelesidin merupakan dua kelompok utama AMP. Defensin merupakan

AMP sistein kaya katioin yang ada pada mamalia dan dikategorikan ke dalam dua subgrup: α-

Page 18: Kulit Kering

defensin dan β-defensin. α-defensin paling banyak ditemukan pada neutrofil dan sel-sel panteh

usus halus. Di sisi lain, β-defensin ada pada epidermis, dan memiliki aktivitas antimikrobial

terhadap bakteri gram positif, bakteri gram negatif, Candida albicans, dan jamur.

              Katelesidin merupakan keluarga lain dari AMP yang mengandung segmen kationik C-

terminal dengan aktivitas antibakterial. Hanya ada satu anggota keluarga katelesidin yang

diidentifikasi pada manusia, dikenal dengan LL-37, yang telah ditunjukkan terutama penting

dalam melawan infeksi virus pada kulit. LL-37 telah ditunjukkan meningkat pada keratinos

Filaggrin–Atopy Update

Page 19: Kulit Kering

Dalam sebuah metaanalisis, orang-orang dengan mutasi filagrin secara signifikan lebih mungkin mengalami dermatitis atopik (dan rinitis alergika).

Filaggrin,  filament-associated protein yang berikatan dengan serabut-serabut keratin

pada sel-sel epitel, membangun matriks padat fibril-fibril sitoskeleton di stratum

korneum, yangmana dengan struktur lain akan membentuk barrier fungsional di

permukaan kulit. Fungsi barrier ini adalah cenderung menjaga apa yang seharusnya di

luar ya di luar, dan apa yang seharusnya di dalam ya di dalam, membatasi air yang

hilang dari tubuh serta mencegah masuknya zat-zat kimia dan agen infeksius dari

epidermis viabel yang ada di bawahnya. Mutasi pada gen yang mengatur

produksi filaggrin jelas dapat mempengaruhi fungsinya. Pada kenyataannya banyak

pasien dengan dermatitis atopik mengalami mutasi gen filaggrin dan  "leaky skin"

dengan peningkatan water loss dan kerawanan iritasi. 

Metaanalisis tersebut akan me-review apah barrier yang leaky (bocor) tersebut juga

merupakan predisposisi carrier alergi, mungkin bisa dengan makin meningkatnya resiko

alergen yang masuk.

Review dari 24 studi mengenai hubungan antara  mutasi fillagrin dengan sensitisasi

alergi atau gangguan alergi, baik dari studi famili maupun case control. Dalam

metaanalisis, kemungkinan orang dengan mutasi filaggrin akan mengalami DA secara

signifikan meningkat (odds ratio dalam studi case-control, 4.78;dalam studi famili, 1.99).

Resiko mengalami rinitis alergika secara signifikan juga lebih tinggi dengan mutasi

filaggrin, baik dengan atau tanpa disertai DA (ORs, 2.84 and 1.78, berturut-turut).

Resiko asma bagaimanapun juga tidak lebih besar secara signifikan kecuali jika disertai

DA.

Comment: sensitisasi alergen terhadap aeroalergen bisa terjadi melalui kulit dan lebih

mungkin lagi saat terdapat defek barrier stratum korneum  — sebagai hasil dari mutasi

filaggrin, dermatitis atopik, atau keduanya. Belum mungkin untuk mengoreksi defek gen

supaya terbentuk formasi natural barrier normal. Namun bagaimanapun juga sangatlah

penting menormalkan fungsi barrier untuk mencegah dan memperlambat progresivitas

penyakit alergi, yang dapat dilakukan dengan kontrol agresif dermatitis dan

penggunaan bjak produk topikal yang mendukung keratinisasi dan fungsi barrier yang

sehat.

Filaggrin, protein penghubung serabut keratin

Page 20: Kulit Kering

Fig. 1.

Epidermal differentiation. The epidermis is the outermost layer of the skin and is separated from the underlying dermis by the basement membrane. Keratinocytes, which compose the epidermis, proliferate within the basal cell layer. As differentiation proceeds, keratinocytes progress upwards through the different epidermal layers (the spinous layer, granular layer and cornified layer or stratum corneum), becoming anucleated and increasingly compacted in size, before being eventually lost from the skin surface by desquamation (shedding of the outer layers of skin). Each stage of epidermal differentiation is characterised by the expression of specific proteins, and examples of these are listed on the figure. The smaller black dots in the cells of the granular layer represent keratohyalin granules.

Page 21: Kulit Kering

KULIT KERING

Fig. 4.

Profilaggrin processing during terminal differentiation of the epidermis. Within the granular layer, profilaggrin is stored in an inactive and insoluble form within keratohyalin granules. In response to an increase in Ca2+ levels, the keratohyalin granules degranulate and profilaggrin is dephosphorylated and proteolysed in a multistep process into free filaggrin monomers by a variety of proteases including matriptase, prostasin and probably kallikrein 5 (see text for details). Following cleavage from the filaggrin monomers the N-terminal head domain undergoes nuclear translocation and further degradation into the A and B domains. In the cornified layer (stratum corneum), the released filaggrin monomers bind directly to keratin filaments, causing their collapse into thickened and aggregated keratin filaments, which has the effect of condensing the keratinocyte cytoskeleton. Condensation of the cytoskeleton is followed by crosslinking with transglutaminases (TGMs) and modification by peptidylarginine deiminases (PADs) to form an insoluble keratin matrix. Together with lipids and other cornified-layer proteins, this ultimately forms the so-called `skin barrier', which prevents water loss through the skin as well as the unwanted entry of molecules such as allergens. Filaggrin undergoes subsequent degradation by a variety of proteases, including caspase 14, into free amino acids and derivatives such as urocanic acid (UCA) and pyrrolidone carboxylic acid (PCA) - these are collectively referred to as natural moisturising factor (NMF), which contributes to skin hydration and possibly to UV protection.

Page 22: Kulit Kering

Dr. Donna Partogi, SpKK NIP. 132 308 883 DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FK.USU/RSUP H.ADAM MALIK/RS.Dr.PIRNGADI MEDAN 2008 Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 KULIT KERING PENDAHULUAN Kulit merupakan lapisan terluar penutup tubuh yang mempunyai fungsi sebagai barier terhadap segala bentuk/macam trauma dari luar baik fisik, mekanik maupun kimiawi. Di samping itu pula sebagai penutup tubuh yang bernilai estetika dengan tampilan yang nampak halus, lembut dan berkilat. Pada keadaan tertentu kulit tampak kasar kering bersisik sehingga tampak kusam , tidak lagi menarik.(1,2) Kulit kering (Dry skin) atau xerosis didefinisikan untuk menggambarkan hilangnya atau berkurangnya kadar kelembaban stratum corneum (SC). Kulit tampak dan terasa sehat apabila lapisan luarnya mengandung 10% air. Peningkatan tran epidermal water loss (TEWL) yang menyebabkan kulit kering dikarenakan adanya gangguan pada kulit yang menyebabkan banyaknya air yang menguap ke atmosfer.(2) Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti deterjen, acetone dan bahan kimia yang

Page 23: Kulit Kering

lain dan mandi berendam terlalu sering.Pada orang tua kulit kering disebabkan oleh perubahan struktur lapisan kulit ( perubahan komposisi lipid SC dan perubahan differensiasi epidermal.(3-7) Proses kulit kering yang penting adalah keseimbangan antara penguapan air dengan kemampuan kulit menahan air, fungsi barier kulit juga berperan.Oleh karena itu penting untuk mempertahankan kulit yang sehat dan memperbaiki kulit kering untuk menjaga agar kulit kelihatan cantik. Mekanisme dasar untuk mengembalikan kulit kering yaitu dengan meningkatkan pengikatan dan penyimpanan air dengan cara aplikasi bahan pengikat air atau moisturizers, bahan pelumas atau emolients dan penutup kulit atau conditioners. (2) MEKANISME PENGATURAN HIDRASI KULIT Terdapat keseimbangan antara keluar dan masuknyacairan di stratum corneum. Masuknya cairan endogen berasal dari proses difusi dari dermis ke permukaan kulit dan juga sekresi kelenjar keringat. Pemasukan secara eksogen meningkat ketika kelembaban Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 relatif tinggi. Keseimbangan terjadi bila kelembaban relatif lingkungan ialah 85%, dibawah konsentrasi tersebut terjadi kehilangan air transepidermal (transepidermal waterloss/TEWL) dan diatas konsentrasi tersebut terjadi sebaliknya.(8)

Page 24: Kulit Kering

Kehilangan cairan juga dihubungkan dengan berbagai keadaan misalnya cuaca berangin, suhu lingkungan yang tinggi maupun rendah, udara yang kering, penggunaan bahan yang mengandung surfaktan, bahan alkali (sabun), pelarut organik (contohnya eter, aseton, alokohol), enzim proteolitik dan lipolitik, proses penuaan, serta berbagai kelainan kulit.(8) Jacobi menyatakan bahwa kemampuan kulit untuk menyimpan kelembaban berhubungan dengan adanya bahan yang larut dalam air, dinamakan faktor X atau faktor pelembab alami (natural moisturizing factor/NMF). Kelembaban bergantung pada 3 faktor yaitu: 1. Kecepatan cairan mencapai stratum korneum dari lapisan bawah (kelenjar ekrin, transfer transepidermal) 2. Kecepatan penguapan cairan 3. Kemampuan stratum korneum untuk menahan cairan bergantung kepada integritas lapisan hidrolipid, adanya NMF, cukup tersedianya air interseluler, integritas membran sel dan semen interseluler yang berasal dari lipid penunjang. Komposisi lapisan hidrolipid terdiri atas air, ion, asam amino, urea, squalen, trigliserida, kolesterol bebas dan esternya, asam lemak dan lemak lilin. Lapisan hidrolipid berasal dari sebum dan sekresi keringat.(8) Spiet dan Pasher (1956) menemukan bahwa SC terdiri dari 58% keratin, 30% NMF dan 11% lipid. NMF terdiri dari asam amino bebas, asam urokanant, asam pirilidon

Page 25: Kulit Kering

karbosiklat, urea, elektrolit, garam dan fraksi gula yang indeterminant. Komposisi semen interseluler terdiri atas sfingolipid 49%, asam lemak 26% (asam linoleat) dan kolesterol 20%. Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 PATOFISIOLOGI Pada keadaan normal, air mengalir secara difusi dari dermis menuju ke epidermis melalui dua cara yaitu melalui stratum corneum (sc) dan ruang interseluler. Oleh sebab itu normal air akan keluar dari tubuh melalui epidermis, keadaan tersebut dikenal dengan istilah transepidermal water loss ( TEWL ). Normal TEWL berkisar 0.1 ? 0.4 mg/cm2 per jam. Proses difusi pasif terjadi karena terdapatnya perbedaan kandungan air dari stratum basalis ( 60 ? 70%) , stratum granulosum ( 40 -60%) dan stratum corneum kurang dari 15% sehingga air mengalir dari stratum basalis ke stratum corneum. Dengan demikian maka SC merupakan barier hidrasi yang sangat penting dalam memepertahankan kelembaban kulit. Pada kulit yang sakit seperti pada psoriasis dan eczemal (terdapat kelainan epidermis ), barier kulit melemah sehingga kec TEWL meningkat 10 kali lebih besar dari normal. Di lain pihak SC terdiri dari sel- sel tak berinti yang banyak mengandung protein ( profilaggrin, filaggrin dan garnul keratohyalin) dan ruang interseluler yang banyak mengandung lipid dan membran SC ( ceramide, FFA dan cholesterol ) dan bahan pelembab alami ( natural moistuerizing factor = NMF )

Page 26: Kulit Kering

yang mempunyai kemampuan mengikat air sangat kuat. Di samping itu enzym ?enzym yang ada di ruang interseluler juga dapat menyebabkan perubahan komposisi lipid interseluler sehingga dapat mempengaruhi TEWL. Ceramide merupakan komponen utama lipid interseluler SC dan banyak mengandung asam linoleat. Ikatan antara ceramide dan air akan membentuk emulsi yang halus sehingga nampak halus dan lembut. Pada keadaan tertentu, cuaca bersuhu rendah dengan kelembaban relatif rendah, ikatan antara ceramide dan air tersebut akan mengkristal sehingga kulit menjadi kering kasar dan kusam. Pada proses penuaan SC masih intak akan tetapi fungsi barier mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena jumlah faktor pelembab alami yang rendah sehingga menyebabkan penurunan kapasitas mengikat air lebih kurang 75% dari normal, akibatnya TEWL meningkat. Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 GAMBARAN KLINIS Kulit kering memberikan beberapa gambaran karakterisitik. Karakteristik yang dapat dilihat dan diraba baik oleh dermatologist maupun pasien , dan karakteristik sensori hanya dapat dirasakan oleh pasien sendiri. (5) 1. Karakteristik yang terlihat : kemerahan, permukaan yang kusam, kering, bercak putih, gambaran berlapis ? lapis, pecah pecah dan juga fisura 2. Karakteristik yang dapat diraba : kusam dan tidak rata .

Page 27: Kulit Kering

3. Karaketristik sensori : terasa kering tak nyaman, nyeri, gatal, rasa kesemutan Pasien dengan kulit kering biasanya gatal dan akan menggaruk. Pada pemeriksaan fisik, pasien ini akan menunjukkan perubahan sekunder berupa penebalan atau likenifikasi, erosi dan superinfeksi dengan keadaan lembab, lesi yang meleleh dan krusta. (5) Pada proses penuaan akan terjadi kekeringan akibat kemampuan stratum corneum mengikat air berkurang, sehingga kulit tampak mengkilat, mengkerut dan keras. (2) KLASIFIKASI Kulit kering dapat dibagi atas 2 tipe yaitu : (7) 1. Kulit kering yang didapat ( acquired dry skin ) Ini dapat timbul pada kulit normal atau kulit berminyak yang menjadi kering sementara dan bersifat lokal yang disebabkan oleh faktor faktor luar , diantaranya : ? Radiasi matahari ( UV ) ? Pemaparan pada iklim yang ekstrim : panas, dingin, angin, dan kekeringan ? Pemaparan pada bahan kimia : detergen, solvent ? Terapi obat misalnya: retinoid 2. Constitutional Dry Skin Tipe ini meliputi banyak jenis kulit kering , di mana bentuk yang parah adalah bentuk patologik Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 Non Pathological skin

Page 28: Kulit Kering

Tipe kulit kering konstitutional ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang telah disebutkan . a. Fragile Skin : adalah bentuk antara kulit kering dengan kulit normal dan kebanyakan dijumpai pada wanita atau pada orang ?orang dengan kulit lembut, struktur baik. Sering dijumpai eritema, rosasea dan lebih sensitif terhadap bahan bahan dari luar. b. Senile Skin : kekeringan terjadi pada kulit menua, dimana terjadi perubahan pada semua level c. Minor dry skin ( xerosis vulgaris ) : hal ini mungkin berasal dari genetik, umumnya dijumpai pada wanita dengan tampilan pucat. Xerosis terjadi khsususnya pada wajah, punggung, tangan dan badan Pathological skin a. Ichtyosis : pada kulit ini terjadi kerusakan keratinisasi secara genetik, dimana bermanifestasi berupa deskuamasi abnormal, perubahan fungsi barier. Bentuk lanjut penyakit ini mirip ichtyosis vulgaris b. Kulit kering pada dermatitis atopik : pada penyakit ini terjadi defek secara genetik pada metabolisme dari asam lemak esensial (d-6 desaturase ), terlihat xerosis yang luas disertai inflamasi, plaque like, dan rasa gatal. DIAGNOSIS Diagnosis kulit kering berdasarkan gambaran klinis, kulit tampak kering dan kusam, dengan penebalan kulit atau likenifikasi dan adanya skuama. Ekskorisasi tampak sebagai sebagai erosi linear sering terlihat. Sebelum menghubungkan pruritus dengan kulit kering, kemungkinan penyebab lain dari pruritus seperi scabies, dermatofitosis,

Page 29: Kulit Kering

candidisiasi cutis harus disingkirkan dengan kerokan kulit dan KOH. (5) Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 Cara pemeriksaan kulit kering ? Pengukuran TEWL dengan alat evaporimeter ? Surface microscopy ? Skin surface photography ? Scanning electron microscopy (SEM) ? Skin Surface Biopsy ? Profilometri KOMPLIKASI (7) 1. Eczema xerotic Dapat terjadi jika kulit menjadi sangat kering dan pecah ?pecah dan menjadi inflamasi 2. Dermatitis numularis atau eczema discoid umumnya/cenderung pada kulit yang xerosis. 3. Superinfeksi dengan bakteri akibat garukan . PENATALAKSANAAN Untuk memperbaiki kulit kering, harus mengurangi hilangnya air lewat epidermis ( TEWL ) dengan jalan memberikan bahan yang bersifat hidrasi (moisturizer ) yang larut dalam air atau pelumas ( lumbricating) dan penutup (oclution) yang tidak larut dalam air.(2) Istilah pelembab dan emolien sering dikacaukan sehingga timbul bermacam

Page 30: Kulit Kering

definisi. Istilah pelembab menggambarkan terjadinya penambahan air ke kulit, sehingga menurunkan kekasaran kulit atau peningkatan kadar air secara aktif ke kulit. Pengertian emolien adalah bahan oklusif yang membantu hidrasi kulit dengan cara mengoklusi permukaan kulit dan menahan air di stratum corneum. (8) JENIS ? JENIS PELEMBAB (8) Penggolongan pelembab berdasarkan atas mekanisme hidrasi langsung dan tidak langsung . Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 1. Tidak langsung a. Bahan Oklusi ? sebagai pelembab ? anti inflamasi ? anti mitotik ? anti pruritus b. Bahan pembentuk lipofilik ? asam lemak esensial ? seramid 2. Langsung a. Bahan pembentuk lapisan hidrofilik ? glikosaminoglikan ( asam hyaluronat, kondroitin sulfat ) ? kolagen ? khitin dan khitosan ? polimer hidrofilik b. Humektan : bahan higroskopis yang menyebabkan lapisan epidermis mampu menyerap dan menyimpan air. ? gliserin ? sorbitol

Page 31: Kulit Kering

? propilen glikol ? ester poligliseril ? asam laktat c. Natural moisturizing factor ( NMF ) ? natrium pirolidon karbosiklat ? urea ? asam amino ? asam alfa hidroksi Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 ISI DAN KLASIFIKASI EMOLIEN Emolien berfungsi sebagai oklusif atau membentuk lapisan yang mempunyai kemampuan untuk mengganti lapisan hidrofilik alamiah, sehingga mengurangi TEWL. Emolien dapat bekerja pada kulit normal maupun dengan kelainan, sehingga dapat digunakan untuk pengobatan kelainan kulit pada umumnya. Efek emolien adalah melembabkan kulit , anti inflamasi, antimitotik dan antipruritus. Komponen terpenting pada emolien adalah lipid. Lipid bisa berasal dari tumbuhan dan hewan, minyak mineral atau sintetik. Asam lemak yang digunakan berantai karbon 8-18 dan dapat jenuh maupun tidak jenuh. Lemak hewani : lemak sapi, lemak domba Lanolin ( lemak domba penghasil wool) dahulu banyak digunakan tetapi dapat menyebabkan sensitifitas, saat ini dipakai bermacam lanolin yang telah diubah susunan kimianya. Penelitian Clark dkk (1981) mneyebutkan komponen utama penyebab iritasi dalam lanolin adalah alkohol. Lemak tumbuhan

Page 32: Kulit Kering

Minyak tumbuhan / biji-bijian asli yang belum dimodifikasi dimasukkan dalam formulasi emolien ( contohnya minyak kacang, bunga matahari, zaitun ). Minyak tumbuhan asli tersebut ternyata lebih disenangi pasien tetapi sangat berminyak, kebanyakan dipakai untuk minyak mandi rendam. Minyak mineral Minyak yang digunakan untuk emolien merupakan hasil destilasi vaselin dan mengandung komponen organik dalam jumlah besar, terutama hidrokarbon alifatik rantai panjang dan bercabang. Proses pembuatan termasuk destilasi , ekstraksi pelarut, kristalisasi dan netralisasi alkali dan bleaching menghasilkan petroleum jelly dan light liquid parafin ( white oil ). Untuk pelembab medis digunakan parafin oil. Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 Minyak sintesis Yang sering digunakan dan tampaknya cukup ideal ialah minyak silikon sintesis. Lilin Lemak Yaitu campuran lipid semi solid kompleks yang juga merupakan turunan dari minyak hewan, tumbuhan atau mineral. Yang paling banyak dipakai lilin lebah dari sarang lebah, lilin carnauba dan pohon palem carnauba dan lilin parafin. Kulit kering yang disertai inflamasi memerlukan aplikasi kortikosteroid. Pemberiannya dilakukan sebelum aplikasi moisterizer atau emolien. PROGNOSIS (6)

Page 33: Kulit Kering

Prognosis kulit kering sangat bervariasi dan tergantung pada penyebabnya. Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 DAFTAR PUSTAKA 1. Baumann L. Dry skin. In: Cosmetic Dermatology. Principles and Practise. Mc Graw Hill: New York. 2002: 29-32. 2. Van Scott E.J, Dieullangard . Xerosis ( dry skin, xeroderma ) in: practical management of dermatologic patient, Athur Rook, Philadelphia, J.B Lippincott co, 1986 : 224 3. Hidayat T. Kulit kering. Dalam: Berkala LP kulit & kelamin Airlangga periodical of dermato-venerology vol 7 no 1 Suplemen semiloka kosmetik medik 2, Lab I.P kulit kelamin FK Unair /RSUD Dr. Sutomo, Surabaya 1995 : 27 ? 31 4. Cholis M. Patogenesis & penatalaksanaan kulit kering pada DA. Dalam: MDVI vol 28 no 3 Juli 2001 : 142 ? 145 5. Marie L.. Moisterizers. In: Peter Elsner, Howart I Maibach eds. Cosmeceuticals

Page 34: Kulit Kering

drugs vs cosmetic , New York, Mercel Dekker, Inc, 2000 : 73 -75 . 6. The merck manual of geriatrics Xerosis in common skin disorders Available at http://www.merck.com/pubs/mm-geriatrics/sec_15/ch_123.htm 7. Black David et all. Skin care products for normal, dry and greasy skin. In: Robert Baran, Howart I Maibach, eds. Textbook of cosmetic dermatology 2nd ed, London, Martin Dunitz, 1998 : 125 -128 8. Purwandhani E, Effendi EHF. Pelembab & emolien untuk kelainan kulit pada bayi dan anak dalam MDVI vol 27 no 4 September 2000 : 20s ? 26s. 9. Schaefer H, Redemieier T.E ; Composition and structur of the stratum corneum in: Skin barrier. Basel ( Switzerland ) Karger AG, 1996 : 61-76 10. Marks R. Methods to evaluate effects skin surface tecture modifier. In: Frost P, Horwitz.ed. Principle of cosmetics for dermatologist, London, the CV. Mosby co 1982: 50 -58 . 11. Vande Velde Mk. Xerosis and xerotic dermatitis. In: Spach DH, Hutton MT eds.. The HIV manual guide to diagnosis and treatment, New York, Oxford University Press, 1996 : 323-325. 12. Podiatry channel. Available at http://www.podiatry channel.com/xerosis/ Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008 Donna Partogi : Kulit Kering, 2008 USU e-Repository ? 2008

Page 35: Kulit Kering

PERAN ION KALSIUM DALAM MEREGULASI HOMEOSTASIS SAWAR KULIT

6.1 PENDAHULUAN Gejala-gejala kulit kering sering dikaitkan dengan fungsi skin barrier yang terganggu, seperti yang terjadi pada psoriasis, ichtyosis, kulit hipersensitif (atopic skin), dan ekzema kontak. Lebih khusus, fungsi skin barrier (pertahanan kulit) ini terkait dengan kondisi kimiawi dan fisik dari stratum korneum, lapisan teratas dari epidermis. Stratum korneum memberikan perlindungan dari terhadap dehidrasi dan gangguan lingkungan dengan meregulasi aliran dan penyimpanan air. Kadar air optimal yang dipertahankan pada stratum korneum sangat tergantung pada tiga komponen, yang secara terus menerus diregenerasi dalam lapisan kulit ini, yaitu (1) lipid lamela interseluler, sebagai sebuah barrier efektif untuk aliran air; (2) korneosit (sel stratum korneum), yang menyediakan jalur difusi yang kompleks, yang dibentuk oleh lapisan-lapisan stratum korneum dan sampul korneosit (corneocyte envelope), yang menghambat pengeluaran air, dan (3) faktor pelembab alami (NMF), sebuah campuran

Page 36: Kulit Kering

kompleks antara senyawa-senyawa larut-air berberat molekul rendah yang pertama kali terbentuk dalam korneosit melalui degradasi protein kaya-histidin yang dikenal sebagai filaggrin. Gangguan pada proses regenerasi komponen-komponen ini menghasilkan kondisi kulit kering dan terkelupas. Peranan kalsium dalam regulasi homeostasis skin barrier cukup jelas karena kalsium terlibat dalam proses regenerasi komponen-komponen skin barrier. Dengan demikian, keseimbangan kadar kalsium dalam kulit sangat terkait dengan hidrasi kulit. Selain pada kulit, ion ini memegang peranan penting dalam berbagai proses dalam tubuh, termasuk pertumbuhan, kematian, diferensiasi, dan fungsi sel-sel imun. Peranan kalsium dalam kulit lebih kompleks dibanding yang diduga sebelumnya. Penelusuran mekanisme regulasi kalsium pada kulit bisa bermanfaat untuk memahami dan memecahkan masalah-masalah kulit.

6.2 MEKANISME KOMUNIKASI SEL KALSIUM Dalam tubuh, kalsium, dalam bentuk ion Ca2+, merupakan ion logam yang paling melimpah dan merupakan unsur ke-lima yang paling melimpah dalam tubuh (setelah H, O, C, dan N), baik berdasarkan atom maupun berdasarkan bobotnya. Lebih dari 90% kalsium terdapat dalam tulang dan email gigi. Sisanya, yang disebut sebagai Ca2+ mobile, ditemukan dalam cairan tubuh dan turut andil dalam berbagai proses, termasuk kontraksi otot, pembekuan darah, komunikasi interseluler, transport molekul dalam membran, eksositosis respons hormonal, penggabungan, adhesi dan pertumbuhan sel. Kalsium mobile merupakan sebuah duta umum untuk makhluk hidup, bahkan pada organisme dan tanaman yang sederhana sekalipun. Kombinasi unik antara radius ionik dan muatan gandanya memungkinkana Ca2+ untuk dikenali secara spesifik dan untuk menghasilkan pengikatan yang lebih kuat ke reseptor-reseptor untuk menyingkirkan ion-ion lain, sehingga mengarah pada pengikatan yang spesifik struktur. Spesifitas ini memungkinkan sel membentuk reseptor-reseptor khusus untuk menilai sinyal-sinyal dari kalsium. Untuk berbagai bagian tubuh, Ca2+ sering bertindak sebagai duta kedua dengan cara yang serupa dengan cAMP. Peningkatan sementara konsentrasi Ca2+ sistolik memicu berbagai respons seluler termasuk kontraksi otot, pelepasan neurotransmitter, dan penguraian glikogen (glikogenolisis), juga bertindak sebagai sebuah pengaktivasi penting untuk metabolisme oksidatif. Ca2+ tidak perlu disintesis dan didegradasi dengan masing-masing transmisi pesan, sehingga merupakan komunikasi yang efisien energi dalam sel. Pada kulit, kalsium bisa memberikan sinyal untuk sel-sel, baik ekstraseluler maupun intraseluler (dalam sitosol). Komunikasi ekstraseluler dan intraseluler bisa dihubungkan satu sama lain, tetapi juga bisa beraksi secara terpisah. Pada keratinosit-keratinosit yang dikulturkan, kadar kalsium ekstraseluler mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel. Kadar kalsium ekstraseluler yang rendah (< 0,1 mM) menginduksi pertumbuhan keratinosit sebagai sebuah ekalapis (monolayer) dengan laju proliferasi tinggi, cepat menjadi berhimpit. Pada kondisi ini keratinosit memiliki banyak karakteristik seperti yang dimiliki oleh sel-sel basal: mensintesis protein keratin dan dihubungkan oleh gap junction tetapi tidak oleh desmosom. Kadar kalsium ekstraseluler yang tinggi (> 1 mM) menginduksi diferensiasi keratinosit. Keratinosit dengan cepat menjadi rata, membentuk desmosom dan berdiferensiasi dengan stratifikasi.

Page 37: Kulit Kering

Disamping itu, cornified envelopes terbentuk pada lapisan-lapisan teratas. Respons terhadap sinyal juga ditunjukkan terjadi secara progresif. Keratinosit yang ditumbuhkan dalam medium kalsium berproliferasi. Ca2+ ekstraseluler yang meningkat menghambat proliferasi, disamping menginduksi diferensiasi. Disisi lain, diferensiasi keratinosit menyebabkan menurunnnya daya-respons terhadap kalsium ekstraseluler, yang bisa mempermudah penjagaan kadar kalsium intraseluler tinggi yang diperlukan untuk diferensiasi. Ca2+ intraseluler meningkat seiring dengan meningkatnya Ca2+ ekstraseluler. Ini menunjukkan bahwa Ca2+ intraseluler yang meningkat merupakan sinyal aktual untuk memicu diferensiasi keratinosit. Sinyal Ca2+ intraseluler dinilai melalui protein-protein pengikatan kalsium untuk menginduksi respons. Protein pengikat kalsium utama dalam kulit adalah calmodulin. Calmodulin meregulasi banyak enzim, sebagai contoh, adenin dan guanil siklase, fosfodiesterase, ornitin dekarboksilase, kinase protein yang dependen kalsium-calmodulin, transglutaminase, dan fosfolipase, yang juga ditemukan dalam kulit. Pelepasan intraseluler dan aliran transmembran keduanya berkontirbusi terhadap peningkatan kadar Ca2+ intraseluler. Peningkatan kadar Ca2+ intraseluler keratinosit sebagai respon terhadap kadar Ca2+ ekstraseluler yang meningkat memiliki dua tahapan: (a) puncak awal, tidak tergantung pada kadar Ca2+ ekstraseluler dan (b) fase akhir yang memerlukan Ca2+ ekstraseluler. Sebuah respons awal dari keratinosit manusia terhadap peningkatan Ca2+ ekstraseluler. Respons awal keratinosit manusia terhadap peningkatan Ca2+ ekstraseluler diikuti dengan peningkatan Ca2+ intraseluler. Penambahan Ca2+ ekstraseluler secara bertahap ke dalam keratinosit manusia diikuti dengan peningkatan progresi Ca2+ intraseluler, dimana tahap awal peningkatan Ca2+ intraseluler diikuti dengan puncak Ca2+ intraseluler yang lebih tinggi. Respons Ca2+ intraseluler terhadap Ca2+ ekstraseluler yang meningkat dalam keratinosit dihilangkan oleh Ca2+ ekstraseluler 2,0 mM. Respons Ca2+ intraseluler terhadap Ca2+ ekstraseluler yang meningkat dalam keratinosit menyerupai respons pada sel-sel paratiroid, dimana peningkatan Ca2+ yang cepat dan sementara diikuti dengan peningkatan Ca2+ yang lama di atas tingkat dasar. Respons multitahap ini dikaitkan dengan pelepasan awal Ca2+ dari bagian-bagian intraseluler diikuti dengan influks Ca2+ yang meningkat melalui saluran kation yang independen voltase. Keratinosit sel paratiroid mengandung sebuah reseptor kalsium membran sel serupa yang dianggap memperantarai respons ini terhadap Ca2+ ekstraseluler. Reseptor ini bisa mengaktivasi jalur C-fosfolipase, yang mengarah pada peningkatan kadar inositol 1,4,5-trifospat (IP3) dan sn-1,2-diasilgliserol (DAG) – keduanya merupakan duta yang penting – serta menstimulasi influks Ca2+ dan arus klorida. IP3 menyebabkan pelepasan Ca2+ dari bidang-bidang internal, seperti retikulum endoplasmik, yang lebih lanjut meningkatkan kadar intraseluler mendahului beberapa kejadian seluler yang terstimulasi kalsium. DAG membentuk sebuah kompleks kuartener dengan fosfatidilserin, kalsium, dan protein kinase C untuk mengaktivasi kinase. Ini akan mempercepat diferensiasi terminal (Hennings dkk., 1983). Transduksi sinyal yang diperantarai melalui calmodulin menginduksi protein-protein lain, misalnya, desmoclamin, yang terkait dengan pembentukan desmosom. Keratinosit-keratinosit yang tumbuh dalam medium berkalsium rendah (0,02 mM) menjaga kadar kalsium intraseluler yang memadai untuk metabolisme asam arachidonat dan menunjukkan produksi

Page 38: Kulit Kering

prostaglandin yang meningkat (utamanya PGE2 dan PGF2) hingga sampai 4,5 kali dibanding dengan sel-sel yang tumbuh pada kadar kalsium normal (1,2 mM). Jika ini benar untuk kondisi in vivo, maka kadar kalsium ekstraseluler yang rendah – misalnya, akibat skin barrier yang cacat – bisa menyebabkan peningkatan sintesis prostaglandin, menyebabkan gangguan-gangguan epidermal hiperproliferatif, seperti psoriasis, yang sering terkait dengan abnormalitas-abnormalitas pada produksi prostaglandin.

6.3 REGULASI KALSIUM Regulasi kalsium dalam kulit menunjukkan adaptasi makhluk hidup yang cermat terhadap keberadaan ion-ion. Karena Ca2+ tidak dimetabolisasi seperti molekul-molekul duta-kedua lainnya, sel-sel dengan ketat mengatur kadar-kadar intraseluler melalui berbagai protein dan protein pengikatan dan protein ekstrusi khusus. Konsentrasi kalsium dalam ruang-ruang ekstraseluler (umumnya ~1,5 mM) memiliki jumlah yang empat kali lebih tinggi dibanding dalam sitosol (~0,1 µM). Pada sel-sel yang bisa dieksitasi, misalnya sel-sel otot, konsentrasi ekstraseluler dari kalsium harus diregulasi dengan ketat untuk menjaganya agar tetap pada kadar normal yakni ~1,5 mM, sehingga tidak bisa secara tidak sengaja memicu kontraksi otot, transmisi impuls-impuls saraf, dan pembekuan darah. Pada sel-sel lain, termasuk keratinosit, kadar ekstraseluler dipertahankan dalam kesetimbangan yang spesifik dengan konsentrasi intraseluler. Apa fungsi menjaga kadar kalsium intraseluler agar tetap rendah? Konsentrasi kalsium yang rendah menjadikan penggunaan ion sebagai duta intraseluler tidak menggunakan banyak energi. Perpindahan ion kalsium melintasi membran memerlukan energi, biasanya disuplai oleh ATP. Jika kadar istirahat dari kalsium dalam sel cukup tinggi, banyak ion yang perlu ditransport ke dalam sitoplasma untuk meningkatkan konsentrasi dengan faktor 10 yang biasanya diperlukan untuk mengaktivasi sebuah enzim; setelah itu kalsium yang berlebih harus dikeluarkan dari sel. Normalnya kadar kalsium rendah berarti bahwa relatif sedikit pengeluaran energi, untuk meregulasi sebuah enzim. Berbeda dengan itu, pemakaian energi dari regulasi oleh duta intraseluler penting lainnya, yakni AMP siklik, cukup tinggi; ini harus disintesis dan diuraikan setiap waktu dia membawa sebuah pesan, dan kedua tahapan ini memerlukan investasi energi yang signifikan. Lebih lanjut, kalsium intraseluler yang rendah, merupakan sebuah kondisi yang diperlukan untuk karakteristik metabolisme yang dikendalikan fosfat pada organisme tingkat tinggi. Bahan bakar kaya energi untuk kebanyakan proses seluler adalah adenosin trifosfat (ATP). Penguraiannya melepaskan fosfat anorganik. Jika konsentrasi kalsium dalam sel cukup tinggi, fosfat dan kalsium akan bergabung membentuk sebuah endapan kristal hidroksipatit – zat sama yang ditemukan dalam tulang. Terakhir kalsifikasi akan mematikan sel. Ini kemungkinan terjadi dengan keterpaparak kerja jangka panjang terhadap kadar kalsium terlarut yang tinggi, misalnya, pada penambang, pekerja pertanian, dan pekerja lahan tanah, yang bisa menghasilkan kalsinosis cutis, sebuah pengerasan ringan dan reversibel pada kulit yang terpapar. Gradien konsentasi yang luas antara ruang-ruang ekstraseluler dan sitosol dipertahankan oleh transport aktif Ca2+ melintasi membran plasma, retikulum endoplasma (atau retikulum sarkoplasmik pada otot), dan membran dalam mitokondria. Secara umum, membran plasma dan retikulum endoplasmik masing-masing mengandung Ca2+-ATPase yang secara aktif memompa Ca2+ keluar dari sitosol dengan disertai

Page 39: Kulit Kering

hidrolisis ATP. Mitokondria bertindak sebagai sebuah “buffer” untuk Ca2+ sitosolik: Jika konsentrasi sitosolik dari kalsium meningkat, maka laju influks Ca2= mitokondrial meningkat sedangkan efluks Ca2+ tetap konstan, sehingga menyebabkan konsentrasi kalsium dalam mitokondria meningkat meskipun konsentrasi kalsium dalam sitosol berkurang seperti semula. Sebaliknya, pengurangan konsentrasi kalsium dalam sitosol mengurangi laju influks mitokondria, sehingga menyebabkan efluks kalsium dari mitokondria dan peningkatan konsentrasi kalsium dalam sitosol kembali ke titik semula. Disamping Ca2+-ATPase yang disebutkan sebelumnya, transport Ca2+ diregulasi oleh serangkaian pompa kalsium, sistem transport, dan saluran ion. Ketersediaan sistem-sistem regulatory tertentu tergantung pada aktivitas sel. Pada sel-sel yang bisa dieksitasi seperti oto kardiak, influks Ca2+ ke dalam sitosol diregulasi oleh saluran-saluran yang tergantung voltase (atau potensial) sedangkan efluks (keluar dari sitosol) diregulasi oleh penukar kation, seperti penukar Na+-Ca2+. Keratinosit-keratinosit yang tidak berdiferensiasi dalam lapisan basal memiliki kumpulan sistem transport Ca2+ yang berbeda dibanding sel-sel diferensial dalam lapisan teratas. Pada lapisan basal, sistem ini terdiri dari saluran kation non-spesifik 14-pS (NSCC) dan tidak memiliki saluran Ca2+ sensitif voltase fungsional. Keratinosit-keratinosit yang berdiferensiasi kemungkinan memiliki sekurang-kurangnya dua dan kemungkinan tiga jalur influks Ca2+: (a) saluran nikotinat, (b) saluran Ca2+ sensitif voltase (VSCC, yang bias diblokir oleh nifedipin atau verapamil); dan (c) NSCC, yang tidak diaktivasi oleh nikotin. Permeabilitas kulit terhadap ion-ion Ca2+ telah diketahui dari beberapa dermatosa, seperti kalsinosis cutis dan kolagenoma verrucifomis yang berperforasi. Dalam jangka pendek, kalsinosis cutis terjadi setelah 24 jam (sekurang-kurangnya) pengapliaksian topikal sebuah pasta elektroda yang mengandung larutan kalsium klorida jenuh, bentonit, dan gliserin, yang digunakan untuk pemeriksaan dengan elektrosefalografi atau elektromiografi. Permeabilitas kulit manusia terhadap ion-ion Ca2+ secara in vitro menunjukkan sbuah ketergantungan besar terhadap anatomik. Sesuai dengan data yang ditemukan untuk nonelektrolit, permeasi berkurang sesuai dengan urutan berikut: foreskin > mammary > kulit kepala > paha. Mencit dan babi guinea akan menunjukkan permeabilitas yang sebanding dengan kulit kepala manusia. Trasport Ca2+ dari dermis melintasi epidermis lebih tinggi dibanding dari epidermis ke dermis. Sebuah teknik dikembangkan untuk secara terus menerus memantau kadar fluks Ca2+ pada manusia secara in vitro. Penelitian menunjukkan bahwa fluks melalui stratum korneum manusia yang tidak diperlakukan adalah berbentuk sigmoidal. Fluks tetap memiliki rata-rata 7 x 10-12 mol/cm2/detik. Setelah stratum korneum diperlakukan dengan aseton dan sodium lauril sulfat, bentuk kurva cukup mirip tetapi fluks Ca2+ secara signifikan lebih tinggi.

6.4 GRADIEN KALSIUM Seperti yang disebutkan sebelumnya, terdapat gradien kalsium yang tinggi antara domain ekstraseluler dan intraseluler dari keratinosit, yang memerlukan regulasi ketat. Disamping itu, sebuah gradien kalsium terdapat dalam epidermis, dengan kuantitas Ca2+ yang lebih besar pada bagian atas di banding pada bagian bawah epidermis. Konsentrasi Ca2+ meningkat secara tetap dari daerah basal ke stratum

Page 40: Kulit Kering

korneum, meskipun ini tidak terjadi dengan ion-ion lain. Gambar 6.1 mengilustrasikan gradien kalsium pada kulit manusia yang dibandingkan dengan data literatur aktual. Gradien seperti ini tidak diamati pada abnormalitas-abnormalitas kulit yang terkait dengan pembentukan fungsi barier abnormal, seperti pada psoriasis. Penelitian-penelitian pada mencit menunjukkan bahwa gradien ini terdapat pada saat yang sama dengan pembentukan barier kulit yang sedang matang pada akhir kehamilan. Gradien ini kemudian dipertahankan mulai dari lahir sampai dewasa. Masih belum jelas apakah gradien kalsium mengarah pada pembentukan barier matang atau barier menyebabkan gradien. Bahkan bisa keduanya, jika regulasi menggunakan sebuah mekanisme umpan-balik, karena diferensiasi pada akhirnya membentuk sebuah barier yang engarah pada akumulasi kalsium dalam epidermis atas. Kadar kalsium yang tinggi ini pada gilirannya akan menjamin proses diferensiasi yang terus menerus sampai pembentukan korneosit (horny cells dalam SC). Mekanisme ini hampir sepenuhnya otonom, terus menerus, dan jika berjalan mulus, memerukan sedikit koreksi dari tubuh.

6.5 KALSIUM DAN MEKANISME REPARASI BARIER Gangguan barier dengan perlakuan aseton atau tape stripping mengurangi Ca2+ dari epidermis atas, yang menghasilkan kehilangan gradien Ca2+. Ini disebabkan oleh transit air yang mengarah pada meningkatnya kehilangan Ca2+ secara pasif ke dalam dan di sepanjang stratum korneum. Salah satu penelitian in vivo menunjukkan bahwa permeabilitas SC manusia terhadap Ca2+ meningkat drastis setelah stratum korneum diperlakukan dengan aseton atau larutan sodium lauril sulfat. Penurunan kadar Ca2+dalam epidermis luar terkait dengan sekresi badan lamellar yang meningkat dan sintesis lipid (komponen-komponen penting dalam respons reparasi). Akan tetapi, jika gradien Ca2+ dilindungi dengan penambahan Ca2+ ke dalam medium, sekresi badan lamellar, sintesis lipid, dan recovery barier terhambat. Inhibisi yang ditimbulkan oleh konsentrasi kalsium ekstraseluler yang tinggi dipotensiasi oleh kadar K+ ekstraseluler yang tinggi. Penelitian lain menguatkan bahwa recovery barier dipercepat oleh konsentrasi kalsium yang rendah dan juga kalium selama kehilangan air yang meningkat, karena kehilangan kehilangan air bisa menyebabkan penurunan konsentrasi Ca2+ pada epidermis atas, yang selanjutnya bisa menstimulasi sekresi badan lamelar dan reparasi barier. Lebih lanjut, inhibisi yang ditimbulkan oleh konsentasi kalsium ekstraseluler yang tinggi dibaikkan oleh nifedpipin atau verapamil, yang merupakan pemblokir asluran kalsium. Pada penelitian lain, pemberian larutan bebas Ca2+ dengan sonoforesis menghasilkan penurunan kandungan Ca2+ pada epidermis atas, dan selanjutnya kehilangan gradien Ca2+ disertai dengan sekresi badan lamellar yang terpicu (sebuah tanda reparasi barier kulit). Proses reparasi barier dalam kaitannya dengan kehilangan air transepidermal dan gradien kalsium diilustrasikan pada Gambar 6.2. Eksperimen pada mencit menunjukkan bahwa gradien kalsium hilang setelah gangguan barier permeabilitas akut, dan kembali setela 6 jam seiring dengan recovery barier, fungsi barier (melalui restriksi pergerakan air transkutaneous) bisa meregulasi pembentukan gradien kalsium epidermal. Perlu diperhatikan bahwa reparasi barier sebagai respons terhadap gangguan barier kulit tidak sama

Page 41: Kulit Kering

dengan proses regenerasi barier normal. Respons ini merupakan sebuah tahapan darurat untuk mengurangi kehilangan air transepidermal secara cepat ke titik awal dan sehingga mengembalikan gradien kalsium ke kondisi alaminya. Ketika gradien kalsium ternomalkan, pembentukan barier kulit normal terjadi. Ditemukan bahwa penambahan konsentrasi kalsium tinggi selama proses penggangguan barier akan menginduksi influks kalsium yang lebih tinggi kedalam keratinosit epidermal yang menunda proses reparasi barier darurat. Akan tetapi, selama penundaan ini dan jika konsentrasi kalsium yang diaplikasikan berada dalam rentang fisiologis yang tepat, maka proses regenerasi kulit normal bisa terjadi dan fungsi batas nirmal direstorasi tanpa pembentukan barier emergensi intermediet. Ini diindikasikan dalam sebuah penelitian tentang keratinosit-keratinosit kultur bahwa kalsium ekstraseluler dalam rentang konsentrasi fisiologis tidak merupakan sinyal yang cukup untuk penghambatan pertumbuhan ketika kondisi-kondisi pertumbuhan lain dioptimalkan. Restorasi fungsi barier normal selama pengaplikasian konsentrasi kalsium yang tinggi terbukti dari efek ketika mandi di perairan Laut Mati yang kaya kalsium untuk menyembuhkan penyakit kulit yang terkait dengan gangguan barier kulit serta untuk meningkatkan hidrasi kulit dan mengurangi inflamasi pada kulit kering sensitif.

6.6 KESIMPULAN Ion-ion kalsium memegang sebuah peranan penting dalam homeostasis barier kulit. Perubahan barier akan merubah gradien ion kalsium dalam kulit dan mengarah pada proses regenerasi barier kulit. Perubahan parah bisa mengarah pada tingkat pensinyalan kalsium yang tinggi, yang bisa menginduksi aktivasi berbagai proses, mulai sintesis komponen kulit yang meningkat sampai reaksi-reaksi inflamasi. Semua ini merupakan faktor penting yang mengarah pada kondisi kulit kering. Regulasi kalsium dalam kulit dengan demikian diperlukan untuk mempertahankan fungsi barier kulit dan menghindari gejala-gejala kulit kering.