KULIAH HUKUM DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA - Beranda · Dan seusai pertandingan sepak bola, bagi pemain...
Transcript of KULIAH HUKUM DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA - Beranda · Dan seusai pertandingan sepak bola, bagi pemain...
1 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
KULIAH HUKUM DAN HAK-HAK ASASI MANUSIA
2017- STFK LEDALERO
Otto Gusti Madung
Bab I: Pendahuluan
Salah satu tujuan fundamental hukum adalah memanusiakan penyelenggaraan
kekuasaan. Tanpa hukum, kehidupan bersama akan diatur berdasarkan prinsip
hukum rimba di mana “yang kuat” adalah pemilik kebenaran satu-satunya dan
penentu keadilan. Sedangkan yang lemah hanya memiliki kewajiban dan tidak
pernah mengenal “hak”.
Hal ini dirumuskan secara tepat oleh J.J. Rousseau: “Der Stärkste ist nie stark genug,
um immerdar Herr zu bleiben, wenn er seine Staerke nicht in Recht und den
Gehorsam nicht in Pflicht verwandelt” – “Yang paling kuat sekalipun tidak pernah
cukup kuat untuk tetap menjadi tuan jika ia tidak berhasil menerjemahkan kekuatan
itu ke dalam hukum dan ketaatan menjadi kewajiban.“1
Penyelenggaraan kekuasaan yang manusiawi dan beradab tampak dalam ketaatan
pada prinsip-prinsip moral kehidupan bersama yakni keadilan, kesetaraan,
kebebasan dan martabat manusia. Maka hukum yang baik harus berpijak pada
prinsip-prinsip moral yakni keadilan, kebebasan, solidaritas sosial dan martabat
manusia. Prinsip-prinsip ini bahkan merupakan hakikat dari hukum itu sendiri.
Namun prinsip-prinsip moral tersebut tidak termasuk dalam hukum positif.
Tuntutan bahwa hukum itu harus adil dan sesuai dengan martabat manusia bersifat
prapositif atau mendahului hukum positif. Di sini muncul sebuah persoalan:
tuntutan bahwa hukum positif harus sesuai dengan hukum prapositif jelas dapat
memberikan ketidakpastian hukum. Sebab di sini hukum positif yang tertulis
berpijak pada sesuatu yang tidak tertulis dan karena itu rentan untuk
disalahgunakan.
Ketegangan antara hukum positif dan syarat-syarat prapositif tersebut diatasi oleh
faham hak-hak asasi manusia.2 Hak asasi manusia mengandung kedua-duanya
yakni hukum positif dan tuntutan moral prapositif. Karena itu hak asasi manusia
1 J.J. Rousseau, Der Gesellschaftsvertrag, Stuttgart: Reclam Verlag, 2000, I,3, hlm. 8 2 Bdk. F. Magnis-Suseno, Etika Politik. Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Moderen, Jakarta:
Kompas Gramedia, 2016, hal. 157
2 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
adalah hukum positif dan moral politik sekaligus. Faham hak-hak asasi manusia
merincikan atau mengoperasionalisasikan prinsip hormat terhadap martabat
manusia ke dalam hak-hak konkret yang merumuskan apa yang boleh dan apa yang
tidak boleh dilakukan agar kita menghormati martabat manusia-manusia yang
bersangkutan. Dengan jalan ini, kewajiban menghorati martabat manusia sebagai
tuntutan prapositif dimasukkan ke dalam hukum positif. Maka untuk mengetahui
apakah hukum positif menghormati martabat manusia, dapat diukur sejauh mana
unsur-unsur hak asasi manusia sudah dimasukkan ke dalam hukum positif.
Melalui hak asasi manusi, tuntutan moral yang prapositif masuk ke dalam hukum
positif. Jadi hak asasi manusia adalah titik simpul antara moral politik dan hukum
positif yang bertujuan untuk memanusiakan penyelenggaraan kekuasaan demi
terwujudnya kesejahteraan sosial.
Bab II: Pengertian Hukum3
1. Pengantar
Jika hidup berjalan normal, kita jarang berpikir tentang hukum. Hukum menjadi
penting ketika misalnya pada satu pagi buta pagar rumah kita mulai dibongkar oleh
buldoser milik sebuah perusahan real estate; atau kita dikeluarkan dari tempat kita
sudah bekerja selama10 tahun, tanpa peringatan sebelumnya dan tanpa diberi
pesangon satu sen pun; atau kita di tengah malam dijemput ke kantor polisi dan
terus diinterogasi, tetapi tidak diberi tahu penyebab kita ditahan.
Ketika kita mengahadapi persoalan-persoalan di atas, mendadak hukum menjadi
jangkar pengharapan kita. Kalau kita hidup di negara hukum, pengemudi buldoser
langsung akan menghentikan pembongkarannya begitu kita mengancam akan
mengadukan dia ke pengadilan; majikan akan dapat saya paksa untuk memberi
pesangon sesuai dengan peraturan yang berlaku, barangkali bahkan untuk
mempekerjakan saya kembali dan dalam waktu 24 jam saya akan harus dibebaskan
oleh polisi, kecuali mereka dapat meyakinkan hakim yang berwenang bahwa
mereka mempunyai alasan yang sah untuk menahan saya, dan saya akan
menikmati bantuan hukum yang sepenuhnya. Namun tanpa hukum, saya tak dapat
berbuat apa-apa.
2. Kekhasan Norma-Norma Hukum 2.1. Norma-Norma Hukum dan Norma-Norma Lain
3 Seluruh bahan ini diambil dari F. Magnis-Suseno: Etika Politik, Jakarta: Gramedia, 2017
3 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
a) Norma Khusus
Hukum adalah satu sistem norma-norma yang mengatur kehidupan dalam
masyarakat. Bersama dengan norma-norma sopan-santun dan moral, norma-norma
hukum termasuk dalam kelompok norma umum kelakuan manusia. Di samping
norma-norma umum itu terdapat juga pelabagai macam norma khusus, seperti
aturan-aturan permainan atau segala macam norma teknis.
Norma-norma yang terakhir disebut khusus, karena hanya berlaku dalam wilayah
aau pada waktu yang tertentu saja. Misalnya, peraturan kampus sebuah universitas
dapat saya lupakan sesudah saya meninggalkannya. Dan seusai pertandingan sepak
bola, bagi pemain sepak bola pun tak ada alasan sedikit pun untuk tidak memegang
bola dengan tangan.
b) Norma Umum
Tapi dari aturan sopan-santun, kewajiban moral, dan ketentuan hukum, saya tidak
dapat lari. Walaupun norma-norma itu berbeda dari masyarakat ke masyarakat,
namun di mana-mana tidak sistem norma itu ada dan kalau kita bosan dengan
negara kita dan lari ke negara lain, peraturan-peraturan sopan-santun, moral dan
hukum lain sudah menanti kita. Itulah sebabnya ketiga norma itu disebut umum.
c) Hukum dan Norma Umum Lainnya
Apa kekhasan norma hukum dibandingkan dengan norma-norma umum lainnya?
Kalau kita berlaku kurang sopan, kita barangkali akan dipukul orang. Kalau kita
berlaku tidak bermoral, misalnya selalu mengejek orang yang cacat fisiknya, kita
akan ditegur atau dijauhi orang.
Tetapi kalau kita melanggar hukum, kita akan ditangkap, dihadapkan ke
pengadilan, dan dijatuhi hukuman. Jadi perbedaan antara norma hukum dengan
norma-norma umum lainnya tidak terletak dalam isinya, melainkan dalam sanksi
yang akan dikenakan atas pelanggarannya.
Tindakan yang sama dapat melanggar baik norma hukum maupun norma sopan-
santun dan moral. Misalnya kalau di sebuah resepsi saya mencopot bros dari dada
Ibu Menteri Negara yang merupakan tamu terhorm, saya tidak hanya bertindak
dengan kurang sopan, melainkan juga melanggar norma moral (jangan mencuri).
Dan bahwa perbuatan saya juga melanggar hukum akan paling lambat saya ketahui
pada saat saya ditangkap polisi.
2.2. Kekhasan Norma-Norma Hukum
4 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
Berdasarkan uraian di atas, norma-norma hukum dapat diartikan sebagai himpunan
norma-norma kelakuan manusia dalam masyarakat yang dapat dituntut pelaksanaannya dan
yang pelanggarannya ditindak dengan pasti oleh penguasa yang sah. Dari definisi ini, kita
dapat melihat beberapa kekhasan norma hukum.
a) Norma hukum berhubungan dengan kelakuan manusia.
Ini mau menggarisbawahi bahwa di dunia ini hanya manusia yang mempunyai
hukum. Binatang tidak dapat mempunyai hukum karena hukum sebagai salah satu
sistem normatif, mengandaikan pengertian, dan binatang tidak mempunyai
pengertian. Bahwa hukum mengenai kelakuan dalam masyarakat mengungkapkan
bahwa hukum mengandaikan adanya orang lain. Hukum hanya dapat menjadi
operatif dalam komunikasi dengan manusia-manusia lain.
b) Pelaksanaan norma-norma hukum dapat dituntut dan pelanggarannya pasti
ditindak.
Saya tidak dapat menuntut agar orang yang berlaku kurang sopan terhadap saya
ditindak, kecuali ia juga melanggar hukum. Tetapi, kalau saya merasa bahwa hak
yang saya miliki berdasarkan hukum dilanggar, saya dapat menuntut agar
pelanggaran itu dihentikan dan negara wajib menghentikannya.
Istilah “dapat dituntut” terutama menyangkut hukum perdata yang tidak mengenai
kejahatan, melainkan menetapkan hak pihak-pihak yang terlibat dalam pelbagai
bentuk komunikasi dan transaksi. Kalau saya mengadu karena merasa hak saya
terlanggar, negara tidak dapat menolak penanganannya; negara wajib untuk
memeriksa pengaduan saya dan kalau saya memang berhak, hak saya harus
terpenuhi sepenuhnya.
Begitu pula masyarakat tidak membiarkan norma-norma hukum dilanggar atau
dianggap sepi. Pelanggaran norma hukum dikenakan sanksi atau hukuman. Sanksi
yang dijatuhkan oleh hakim tidak hanya berupa perintah untuk memulihkan
keadaan semula dan mengganti segala rugi yang disebabkan oleh pelanggaran
hukum itu, melainkan ditambah hukuman. Pelanggaran norma hukum ditindak
dengan pasti oleh penguasa yang sah. Penguasa yang sah adalah negara. Negara
yang wajib untuk menjamin keberlakuan hukum. Untuk tujuan itu, negara
mempunyai hak untuk seperlunya memakai paksaan fisik.
c) Dalam negara modern norma-norma hukum berasal dari tindakan perundangan
eksplisit badan legislatif negara yang berwenang.
5 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
Jadi selalu dapat diketahui dengan persis sejak hari mana suatu norma hukum
mulai berlaku. Begitu sebuah undang-undang diumumkan maka suatu tindakan
yang sebelumnya tidak apa-apa dapat dikenakan hukumannya.
d) Yang menjadi obyek atau isi norma hukum bukan suatu sikap batin, melainkan
selalu suatu tindakan lahiriah.
Misalnya kalau hukum mewajibkan saya untuk membayar kembali utang saya,
maka yang dituntut bukanlah suatu motivasi tertentu melainkan hanyalah agar
utang saya dibayar kembali. Hukum tidak mampu menuntut suatu sikap batin,
melainkan secara hakiki mengenai tindakan lahiriah. Segi maksud subjektif atau
motivasi seorang pelaku pelanggaran hanya menjadi pertimbangan dalam
menetapkan berat-ringannya sanksi.
Begitu pula termasuk paham hukum bahwa cara penjaminannya, termasuk
penetapan sansi atas pelanggarannya, ditetapkan secara hukum juga. Tindakan
yang diambil oleh alat negara terhadap pelanggaran hukum tidak boleh sewenang-
wenang, melainkan harus menurut hukum yang berlaku.
Dari situ kelihatan bahwa norma-norma hukum tidak berdiri sendiri, melainkan
bersama-sama merupakan satu tata tertib hukum dan hanya dapat dimengerti dari
kesatuannya dengan tata tertib itu. Karena tata tertib hukum juga memuat norma-
norma tentang pelaksanaan hukum itu sendiri, tata tertib itu ternyata terdiri atas
norma-norma tingkat satu dan tingkat dua. Yang pertama dapat berupa kewajiban,
misalnya untuk membayar pajak, larangan, misalnya terhadap penyalahgunaan
kekuasaan jabatan demi keuntungan pribadi, dan dapat juga berupa aturan
prosedural bagi pergaulan, misalnya tentang bagaimana membagi warisan. Norma-
norma tingkat dua menyangkut hukum sendiri, seperti bagaimana suatu
perselisihan hukum harus ditangani, bagaiamana pelanggaran hukum harus
ditindak, dan bagaimana norma-norma hukum dapat diubah, dihapus, atau
diciptakan baru.
2.3. “Hak”
Sesuatu menjadi hak saya, apabila saya dapat menuntut agar sesuatu itu diberikan
kepada saya dan apabila orang lain wajib untuk memberi apa yang saya tuntut itu.
Paham hak mengimplikasikan kewajiban keras pada pihak alamat tuntutan hak
untuk menghormatinya. Walaupun tidak semua kewajiban menimbulkan suatu hak
yang sebanding (karena manusia juga mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap
dirinya sendiri), namun sebaliknya setiap hak dengan sendirinya merupakan
kewajiban bagi pihak lawan.
6 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
Paham hak dikembangkan sebagai sarana perlindungan manusia dalam
keutuhannya. Sebagai makhluk jasmani, manusia terancam oleh paksaan kekuatan
jasmani dan gangguan terhadap prasyarat-prasyarat material kehidupannya.
Dengan mengakui hak kita atas tindakan-tindakan dan benda-benda tertentu,
masyarakat mengakui kedaulatan kita atas benda dan tindakan kita sehingga
mengakui keutuhan kita sendiri, karena hanya dengan berdaulat atas benda dan
tindakan yang vital bagi kita, keutuhan kita dapat terjamin.
Atas nama maksud baik, sesuatu yang sudah merupakan hak saya, tidak boleh
diambil atau diganggu. Misalnya, apabila saya berhak atas warisan orangtua saya
yang amat kaya, maka penyerahan warisan itu tidak boleh ditunda dengan alasan
bahwa kekayaan yang mendadak itu akan merusak akhlak saya. Bahwa saya berhak
untuk memperoleh sesuatu justru berarti bahwa sesuatu itu bagaimanapun juga
merupakan hak saya dan oleh karena itu bagaimanapun juga wajib diberikan kepada
saya. Hormat terhadap martabat manusia menjadi nyata dan konkret dalam hormat
terhadap hak-haknya.
Kita bicara tentang hak tidak hanya dalam konteks hukum, melainkan juga dalam
konteks moral. Sifat hak tergantung dari sifat hukum yang mendasarinya. Apabila
suatu hak berdasarkan hukum negara, seperti hak atas sebidang tanah, kita bicara
tentang hak hukum. Hak itu diberikan kepada saya oleh masyarakat dengan
mengesahkan hukum yang mendasarinya.
Tetapi saya juga memiliki hak-hak moral, misalnya untuk dipercayai. Hak-hak yang
dimiliki manusia berdasarkan martabatnya sebagai manusia dan bukan karena
pemberian masyarakat atau negara disebut hak asasi manusia.
3. Faktisitas Hukum
Ciri khas hukum tidak terletak dalam isinya – isinya dapat cukup berbeda dari
negara ke negara – melainkan dalam kepastian pelaksanaannya. Ciri khas norma
hukum adalah bahwa suatu pelanggaran tidak akan dibiarkan. Jadi, norma hukum
bukan norma yang hanya diharapkan berlaku atau sekadar dianjurkan oleh
pemerintah, melainkan yang sungguh-sungguh berlaku, yang secara nyata
menentukan kelakuan masyarakat.
Ciri khas hukum ini menunjukkan bahwa bagi hukum faktisitasnya, kenyataan yang
terdapat, adalah unsur yang menentukan. Itu sangat berbeda dengan norma-norma
moral. Apakah pengguguran isi kandungan secara moral dapat dibenarkan, tidak
tergantung dari apakah pengguguran itu dipraktikkan atau tidak dalam masyarakat,
atau dari apakah mayoritas masyarakat menolaknya atau malah menyetujuinya.
7 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
Tetapi, kenyataan-kenyataan faktual ini sangat penting bagi status hukum norma
tentang pengguguran itu. Meskipun ada undang-undang yang melarang
pengguguran isi kandungan, apabila dalam kenyataan undang-undang itu dianggap
sepi, jadi orang yang melakukan tidak diambil tindakan walaupun diketahui, maka
norma yang melarang pengguguran itu harus dikatakan secara hukum tidak
berlaku.
Jadi, suatu norma hukum belum dapat dikatakan berlaku asal sudah
diperundangkan dengan resmi, melainkan hanya kalau norma itu dalam kenyataan
memang dilaksanakan. Rambu lalu lintas yang membatasi kecepatan kedaraan pada
50 kilometer per jam tetapi tidak digubris, tidak merupakan norma hukum.
Faktisitas termasuk paham eksistensi hukum sendiri. Jadi, hukum merupakan suatu
realitas yang faktual. Maka, apakah suatu negara merupakan negara hukum atau
tidak, tidak hanya tergantung dari kitab undang-undang yang pernah diresmikan
dan belum ditarik kembali, melainkan juga dari apakah semua anggota masyarakat
negara itu secara nyata diperlakukan menurut hukum yang resmi berlaku, artinya
yang telah diperundangkan itu.
4. Pengakuan Masyarakat
Salah satu pertanyaan penting dalam menerapkan sebuah produk hukum ialah
apakahl sudah cukup untuk menyebut sebuah sistem peraturan tertentu sebagai
hukum asal seorang penguasa memaksakannya kepada masyarakat? Ataukah suatu
sistem peraturan baru boleh disebut hukum apabila juga diakui sebagai sah oleh
masyarakat sendiri?
Perbedaan antara dua sistem aturan itu besar. Yang satu hanya ditaati masyarakat
karena takut ditindak. Yang kedua, karena dibenarkan oleh masyarakat sendiri.
Tatanan pertama hanya diterima karena terpaksa; begitu ancaman penguasa
dikendorkan, masyarakat tidak akan menaatinya lagi. Sedangkan tatanan kedua
ditaati karena masyarakat menyetujuinya; di sini ancaman sanksi hanya berfungsi
sebagai penunjang: kesediaan masyarakat untuk tidak melanggar tatanan
diamankan terhadap rongrongan nafsu atau kepentingan egois. Masyarakat sudah
menyetujui tatanan ini dan memahami ancaman hukuman sebagai pengimbang
terhadap kekuatan asosial gelap yang diketahui selalu mengancam ketekatannya
yang sebenarnya baik.
Kita dapat bertolak dari pertimbangan bahwa masyarakat tidak menghendaki
hukum karena ingin kebebasannya dibatasi dengan segala macam aturan, melainkan
karena tatanan hukum itu menjamin nilai-nilai bersama yang dianggap vital. Jadi,
hukum berkembang dari kesadaran masyarakat bahwa hukum dibutuhkannya demi
8 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
suatu kehidupan yang dinilai baik dan bermutu. Dengan demikian, dasar adanya
hukum adalah penilaian masyarakat bahwa hukum itu diperlukan.
Walaupun hukum membawa pelbagai pembatasan dan pengorbanan, namun tetap
dinilai baik kalau dibandingkan dengan keadaan tanpa hukum. Karena itu,
masyarakat bersedia untuk menerima hukum. Dan karena masyarakat juga sadar
bahwa kadang-kadang kepentingan individu lebih kuat daripada penilaian itu,
tatanan normatif itu dikokohkan dengan sistem sanksi yang, kalau perlu,
memaksakan ketaatan anggota masyarakat yang tidak mau. Karena tatanan itu
hanya berguna kalau semua terikat olehnya.
Jelas bahwa bukan sembarang tatanan normatif yang dipaksakan boleh disebut
hukum. Adanya akseptasi dan legitimasi (sosiologis) masyarakat termasuk hakikat
hukum. Hukum adalah tatanan norma-norma yang dipastikan pelaksanaannya oleh
negara, seperlunya dengan paksaan fisik, dan diakui sah oleh masyarakat. Jadi nilai
hukum tidak terletak dalam pembatasan terhadap kebebasan masyarakat sendiri,
melainkan dalam nilai positif yang dicapai melalui pembatasan itu. Secara
tradisional, hal itu diungkapkan dalam tuntutan bahwa hukum secara hakiki harus
adil.
Pengakuan masyarakat adalah hakiki bagi hukum sebagai keseluruhan, tetapi tidak
bagi masing-masing norma hukum sendiri. Ini karena pengakuan terhadap hukum
sebagai lembaga normatif menyeluruh memuat kesediaan untuk juga menerima
ketetapan-ketetapan hukum yang pada dirinya sendiri tidak disetujui.
5. Fungsi Hukum dalam Kehidupan Masyarakat
Pengakuan masyarakat terhadap pembatasan kebebasannya yang termuat dalam
hukum berdasarkan kesadaran bahwa hukum mempunyai fungsi dalam usaha
mewujudkan suatu kehidupan bersama yang baik. Apa fungsi hukum itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu, kita bertolak dari tiga ciri dasar manusia. Manusia
itu makhluk yang berakal budi, jasmani dan sosial. Sebagai makhluk berakal budi,
kelakuan manusia diatur secara normatif dan bukan secara instingtual. Kejasmanian
manusia membawa akibat dalam dua arah: manusia membutuhkan benda-benda
material agar ia dapat hidup, dan manusia dapat ditindas, ditaklukkan, atau
diperkosa melalui medium kejasmanian. Sebagai makhluk sosial, manusia hanya
dapat mewujudkan kehidupannya, bahkan menjadi diri, dalam kebersamaan
dengan orang lain.
Kombinasi antara sifat jasmani dan sosial menciptakan suatu situasi yang
memerlukan penataan normatif melalui hukum. Manusia membutuhkan benda-
9 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
benda material hasil bumi ini, padahal benda-benda itu berada di bawah hukum
kelangkaan. Sekaligus untuk mengolah hasil bumi sampai menjadi barang
kebutuhannya manusia, sebagai makhluk sosial, harus bekerja sama. Kombinasi
keharusan-keharusan antropologis ini membuka kemungkinan konflik: konflik
persaingan dalam usaha untuk menjamin kebutuhan dalam situasi kelangkaan dan
konflik tentang pembagian kerja yang wajar: konflik keadilan.
Fungsi hukum yang paling dasar adalah mencegah bahwa konflik kepentingan itu
dipecahkan dalam konflik terbuka, artinya semata-mata atas dasar kekuatan dan
kelemahan pihak-pihak yang terlibat. Hukum menjalankan fungsi ini dengan
menyediakan suatu cara pemecahan konflik kepentingan yang berdasarkan suatu
garis kebijakan atau norma yang rasional dan berlaku umum. Dengan adanya
hukum, konflik kepentingan tidak lagi dipecahkan menurut siapa yang paling kuat,
melainkan berdasarkan aturan yang berorientasi pada kepentingan-kepentingan dan
dengan tidak membedakan antara yang kuat dan lemah. Orientasi itu disebut
keadilan. Maka termasuk fungsi hukum untuk memapankan krieteria keadilan. Jadi
hukum merupakan sarana pemecahan konflik yang rasional karena tidak
berdasarkan fakta kekuatan-kelemahan alamiah belaka, melainkan menurut kriteria
objektif yang berlaku umum.
Hal itu kelihatan kalau kita meninjau sistem-sistem hukum yang ada. Sistem-sistem
itu sangat berbeda satu sama yang lain. Tetapi, di mana pun – apa itu hukum adat
atau hukum modern yang seluruhnya ditentukan oleh negara dalam kedaulatannya,
apakah bersifat religius atau sekuler – hukum melindungi kepentingan dan cita-cita
dasar manusia yang sama seperti keamanan jiwa, kebebasan untuk mengurus diri
sendiri, bentuk-bentuk hak milik tertentu, struktur-struktur kerja sama dan tukar-
menukar yang adil.
Kelihatan bahwa bukan hanya pihak yang lemah mempunyai motivasi yang kuat
untuk mendukung adanya hukum. Pihak yang lemah memang langsung beruntung
dari adanya hukum karena dalam hal-hal yang diatur oleh hukum kelemahannya
tidak lagi memainkan peranan dalam kedudukannya dalam masyarakat. Hukum
berlaku bagi orang lemah dan kuat. Hal itu berarti orang lemah tidak akan kalah
hanya karena ia lemah. Tetapi juga mereka yang merasa dirinya kuat dan secara
lagnsung mengalami hukum sebagai kendala terhadap keinginan mereka untuk
memaksakan suatu pemecahan konflik kepentingan demi keuntungan mereka
sendiri, secara tidak langsung dan dalam jangka panjang berkepentingan akan
adanya hukum. Karena secara minimal bagi mereka pun adanya hukum menjamin
suatu pemecahan konflik yang wajar dan dengan demikian dapat diterima.
Kecuali itu, walaupun ia merasa kuat, namun ia tidak mempunyai jaminan bahwa ia
tidak pernah akan berada dalam situasi di mana ia kalah kuat. Dengan adanya
10 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
hukum, apa yang dimilikinya sekarang terjamin juga bagi situasi di mana ia relatif
lemah. Dengan demikian, adanya tata tertib hukum sebenaranya merupakan
kepentingan objektif dan sebenaranya dari semua pihak masyarakat. Maka, ubi
societas ibi ius.
Jadi hukum berfungsi untuk memanusiakan penggunaan kekuasaan dalam
masyarakat. Adanya tatanan hukum menjamin bahwa orang atau golongan yang
berkuasa tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Di luar batas-batas hukum
peggunaan kekuasaan tidak sah dan di lain pihak hukum merupakan satu-satunya
saluran penggunaan kekuasaan yang sah. Hidup bersama antarmanusia tidak
ditentukan oleh insting-insting otomatis dan juga tidak menurut peringkat kuat-
lemah, melainkan menurut norma-norma yang masuk akal, yang berlaku bagi setiap
orng dan dengan demikian menghormati manusia menurut martabatnya, sebagai
makhluk yang berakal budi.
6. Ciri-Ciri Hukum
Dari pertimbangan tentang fungsi hukum, kita langsung dapat menarik suatu
kesimpulan: hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman
kelakuan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan
yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti,
hukum dapat menjalankan fungsinya. Maka, kepastian dan keadilan bukanlah
sekadar tuntutan moral, melainkan secara faktual mencirikan hukum. Suatu hukum
yang tidak pasti dan tidak mau adil bukan sekadar hukum yang buruk, melainkan
bukan hukum sama sekali. Kita dapat mengatakan bahwa dua sifat itu termasuk
paham hukum sendiri (Begriff des Rechts).
6.1. Kepastian Hukum
Kepastian hukum pertama-tama berarti kepastian dalam pelaksanaannya. Yang
dimaksud ialah bahwa hukum yang resmi diperundangkan dilaksanakan dengan
pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut
agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu pasti dipenuhi, dan bahwa setiap
pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi menurut hukum juga. Di
sini termasuk bahwa alat-alat negara dalam menjamin pelaksanaan hukum
bertindak sesuai dengan norma-norma hukum sendiri. Juga termasuk bahwa
pengadilan mengambil keputusan melulu berdasarkan penilaian terhadap status
hukum masalah yang diperkarakan dan tidak menurut kepentingan-kepentingan
pihak-pihak tertentu. Maka, keputusan pengadilan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan. Kepastian pelaksanaan hukum dengan demikian menuntut agar dalam
perkara hukum kekuasaan eksekutif negara, pemerintah, berada di bawah
kekuasaan yudikatif dan dapat dipaksa untuk bertindak sesuai dengan hukum.
11 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
Akan tetapi agar hukup dapat dilaksanakan dengan pasti, hukum harus jelas. Para
ahli bicara tentang kepastian orientasi. Jadi kepastian pelaksanaan mengandaikan
kepastian orientasi. Hukum harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan hakim
dapat berpedoman padanya. Itu berarti bahwa setiap istilah dalam hukum harus
dirumuskan dengan terang dan tegas sehingga tak ada keragu-raguan tentang
tindakan apa yang dimaksud. Suatu aturan hukum yang kabur atau terlalu umum
adalah buruk. Apabila misalnya tindak subversi dijadikan tindak kriminal, tetapi
tidak dirumuskan tindakan yang macam apa yang disebut tindak subversi itu, maka
orang tidak tahu apa yang tidak boleh dilakukan itu. Norma macam itu tidak
mendidik karena orang tidak tahu kelakuan apa yang harus dijauhi. Sekaligus
iktikad baik penguasa akan dicurigai karena kekaburan perumusan menyediakan
kemungkinan baginya untuk seenaknya mencap sebagai kriminal suatu sikap yang
tidak disenangi. Begitu pula aturan-aturan hukum harus dirumuskan dengan ketat
dan sempit agar keputusan dalam perkara pengadilan tidak dapat menurut tafsiran
subjektif dan selera pribadi hakim.
Kepastian orientasi menuntut agar ada prosedur pembuatan dan peresmian hukum
yang jelas dan dapat diketahui umum. Masyarakat selalu harus dapat mengetahui
apa yang dilarang atau diwajibkan oleh hukum dan apa yang tidak. Kepastian
orientasi juga menuntut agar hukum dikembangkan secara kontinu dan taat asas.
Undang-undang harus saling terkait, harus menunjuk ke satu arah agar masyarakat
dapat membuat rencana ke masa depan. Jangan sampai apa yang dipersiapkan
sekarang sesuai dengan hukum, dua tahun kemudia dinyatakan terlarang dan orang
mendapat rugi besar. Begitu juga jangan dibuat undang-undang yang saling
bertentangan.
Di sini termasuk juga tuntutan bahwa undang-undang pdana tak boleh dibuat
berlaku surut. Menghukum seseorang karena ia melakukan sesuatu yang tidak
terlarang pada waktu ia melakukannya, tetapi kemudian dinyatakan terlarang
bertentangan dengan keadilan dan kepastian hukum. Pada umumnya berlaku
bahwa suatu hukum yang akan membawa perubahan besar harus diadakan
sedemikian rupa sehingga dapat diperhitungkan sebelumnya. Kalau pemerintah
misalnya melarang impor mobil yang telah jadi, aturan itu seharusnya tidak
diberlakukan pada mobil yang pada saat peraturan itu diumumkan sudah
dikapalkan sesuai dengan peraturan yang berlaku pada waktu pengapalan itu.
6.2. Keadilan
Sifat hakiki hukum yang kedua adalah keadilan. Tuntutan keadilan itu pun
mempunyai dua arti. Dalam arti formal, keadilan menuntut bahwa hukum berlaku
umum. Dalam arti material dituntut agar hukum sesesuai mungkin dengan cita-cita
keadilan dalam masyarakat.
12 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
Keadilan menuntut agar semua orang dalam situasi yang sama diperlakukan
dengan sama. Dalam bidang hukum itu berarti bahwa hukum berlaku untuk umum.
Yang dimaksud bukan bahwa hukum di seluruh dunia sama saja, atau bahwa
hukum tidak mengenal pengecualian. Melainkan bahwa setiap orang, entah siapa
pun dia, selalu diperlakukan menurut hukum yang berlaku. Setiap orang yang
karena kedudukan, fungsi atau norma hukum akan diperlakukan menurut norma
hukum itu. Jadi kalau saya memakai jalan umum, peraturan-peraturan lalu lintas
akan diberlakukan kepada saya, karena peraturan itu berlaku bagi siapa saja yang
dapat disebut pemakai jalan. Apabila saya ditangkap dalam suatu pelanggaran, saya
tidak dapat membela diri dengan argumen bahwa saya seorang pastor dan bukan
rakyat biasa.
Kalau ada pengecualian, maka pengecualian itu sendiri harus termuat dalam aturan
hukum yang bersangkutan, sehingga berlaku umum bagi yang dimaksud. Begitu
misalnya dapat dibuat peraturan bahwa polisi bersepeda motor, apabila sedang
bertugas, boleh memakai jalan yang ditutup bagi kendaraan beroda tiga atau
kurang.
Jadi, di hadapan hukum, semua orang sama derajadnya. Semua orang berhak atas
perlindungan hukum dan tidak ada yang kebal terhadap hukum. Inilah yang
dimaksud dengan asas, kesamaan hukum (Rechtsgleichheit) atau kesamaan
kedudukan di hadapan undang-undang (Gleichheit vor dem Gesetz). Namun, biasanya
kalau kita bicara tentang keadilan hukum, maksud kita adalah keadilan dalam arti
material: isi hukum harus adil. Maksud untuk mewujudkan tatanan kehidupan
bersama yang adil termasuk hakikat hukum sendiri. Suatu hukum yang tidak mau
adil bukan hukum namanya. Yang diperlukan dan diakui masyarakat bukan
sembarang tatanan normatif, melainkan suatu tatanan yang menunjang kehidupan
bersama berdasarkan apa yang dinilai baik dan wajar. Maka, arah ke pelaksanaan
keadilan adalah konstitutif, atau merupakan prasyarat hakiki, bagi hukum.
Sebagaimana ditulis Gustav Radbruch: “Hukum bisa saja tidak adil..., tetapi hukum
hanyalah hukum karena maunya adil”.
Bagaimana menentukan apakah hukum itu adil atau tidak? Perlu kita perhatikan
bahwa kita bergerak di tingkat faktual. Jadi, yang kita persoalkan bukanlah
pertanyaan etis tentang apa kriteria objektif keadilan, melainkan apa yang oleh
masyarakat dianggap adil. Kita bicara di sini tentang legitimasi sosiologis hukum
dan bukan tentang legitimasi hukum. Oleh karena itu, tuntutan keadilan dapat
diterjemahkan ke dalam tuntutan bahwa hukum harus sesesuai munngkin dengan
cita-cita keadilan dalam masyarakat yang bersangkutan.
6.3. Kepastian dan Keadilan Hukum
13 | P a g e / k u l i a h H A M 2 0 1 7 / o t t o g u s t i
Akan tetapi, tuntutan agar hukum sesuai dengan apa yang dianggap adil dalam
masyarakat menuntut agar dalam setiap kasus di depan pengadilan situasi konkret
dan sosial sepenuhnya diperhatikan. Masyarakat tidak menilai menurut prinsip-
prinsip abstrak, melainkan menurut apa yang dalam situasi konkret terasa adil.
Begitu misalnya masyarakat dapat saja menganggap suatu hukuman atas tindakan
pembunuhan tidak adil karena yang dihukum hanya para pelaksana fisik,
sedangkan “auctor intelectualis” dibiarkan bebas karena keterlibatannya tidak dapat
dibuktikan secara pasti. Jadi tuntutan keadilan memuat agar hukum dirumuskan
secara luwes agar hakim mempunyai kebebasan untuk memperhatikan semua
unsur konkret dalam kasus yang dihadapinya.
Sedangkan kepastian orientasi menuntut agar hukum dirumuskan dengan sempit
dan ketat agar tidak ada kekaburan sedikit pun. Tetapi, makin sempit, ketat dan
terinci perumusan hukum, makin kaku hukum itu dan makin sempit ruang gerak
kebebasan hakim untuk memperhatikan pelbagai faktor subjektif. Dengan
demikian, mungkin saja bahwa suatu keputusan sesuai dengan norma-norma
hukum, tapi tidak sesuai dengan keadilan menurut pandangan masyarakat. “Summa
iustitia summa injuria” kata orang Romawi (keadilan tertinggi adalah ketidakadilan
tertinggi).
Di lain pihak, apabila hakim diberi terlalu banyak kebebasan, pintu terbuka bagi
segala macam penyelewengan; penyelesaian satu kasus hukum akan tergantung
dari mutu profesional dan integritas moral hakim dan tidak lagi dari peraturan
hukum. Begitu pula agar hukum sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat,
hukum seharusnya terus-menerus disesuaikan dengan perubahan-perubahan dalam
masyarakat. Tetapi, tuntutan ini bertentangan dengan tuntutan kontinuitas hukum,
jadi agar jangan cepat-cepat diubah.
Ternyata antara tuntutan kepastian hukum dan tuntutan agar hukum sesuai
mungkin dengan perasaan keadilan masyarakat terdapat ketegangan. Ketegangan
itu termasuk hakikat hukum sendiri dan akan muncul kembali dalam pertentangan
antara Teori Hukum Kodrat dan Positivisme Hukum. Namun, ketegangan itu tidak
perlu menggagalkan cita-cita hukum. Hukum memang harus pasti. Kepastian
hukum adalah dasar hukum. Tanpa kepastian, keadilan pun tidak dapat terlaksana,
tetapi kepastian tidak boleh dimutlakkan. Agar hukum tetap adil, perlu ada
keluwesan.