kti agama

39
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak awal abad ke-2 H ( 8M ). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan islam berinteraksi dengan peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara islam dengan pemikiran asing. Terkikisnya pemahaman islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-13 H. Saat itu umat islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami syariat islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi sebagaimana firman Allah SWT: (Q.S. Ar-Ra’d 13:11) Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini sebagai kebenaran tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-ubah, akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus

description

kti

Transcript of kti agama

Page 1: kti agama

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sejak awal abad ke-2 H ( 8M ). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang

makin meluas mengharuskan islam berinteraksi dengan peradaban dan agama

lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara islam dengan pemikiran asing.

Terkikisnya pemahaman islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-

13 H. Saat itu umat islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami

syariat islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Hal ini mendorong para

pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi sebagaimana

firman Allah SWT:

(Q.S. Ar-Ra’d 13:11)

Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini

sebagai kebenaran tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-

ubah, akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Dari

perbedaan penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan teologi yang

berbeda. Salah satu bidang kajian Islam yang secara intens dilakukan pengkajian

oleh kalangan akademisi, ilmuwan, dan pemerhati Islam adalah tentang

pembaruan dalam Islam. Hal ini terlihat dari banyaknya kajian yang

membicarakan tema tersebut, baik mengenai sejarahnya, maupun tokoh, serta

pemikiran pembaruannya.

Page 2: kti agama

2

Adanya intensitas perbincangan dan pengkajian tersebut, menunjukkan bahwa

di kalangan umat Islam, khususnya di kalangan para ilmuwan Islam, telah

terbangun suatu pandangan bahwa pembaruan Islam merupakan suatu

keniscayaan sekaligus sebagai konsekuensi logis dari pengalaman ajaran Islam.

Meskipun demikian, terdapat saling tarik-menarik yang menjadikan isu

pembaruan Islam aktual sekaligus kontroversial sepanjang sejarah pemikiran

Islam. Dengan ungkapan lain bahwa terdapat kelompok pro dan kontra terhadap

pembaruan Islam, yaitu antara yang menganggap bahwa pembaruan Islam sebagai

suatu keharusan untuk aktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dengan yang

melakukan penolakan dan penentangan terhadap pembaruan Islam karena

dipandang bahwa Islam adalah agama pembawa kebenaran mutlak sehingga

upaya pembaruan dipandang bertentangan dengan watak kemutlakan Islam

tersebut. Melihat perbedaan di atas, pro dan kontra pembaruan Islam

sesungguhnya terletak pada kerangka metodologis dalam memahami Islam

sehingga perbedaan antara keduanya berada dalam wilayah pemahaman atau

penafsiran, bukan dalam wilayah yang sangat prinsip. Oleh karenanya, pembaruan

Islam pada dataran ini dapat dipandang sebagai suatu keharusan.

Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa

kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu

sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem

kehidupan sosial,1 antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models

for reality,2sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama

yaitu antara folk variant dan scholarly veriant,3

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis dapatkan ialah:

1 Andrew Rippin, Muslim, 35.2 Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.3 Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 5.

Page 3: kti agama

3

1. Bagaimana konsep pembaharuan dalam islam?

2. Apakah perbedaan dari kaum modernis dan tradisionalis dalam Islam?

3. Bagaimana perspekstif modernisasi dan werternisasi dalam islam?

BAB 2. ISI

2.1 Konsep Pembaharuan Islam

Pembaharuan islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau

konsep asalnya dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi

masyarakat pada masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan

dengan aslinya

2.1.1 Makna Pembaharuan Islam

Dalam kosakata “Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, kemudian

muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna yaitu

modernisme, reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan fundamentalisme. Secara

bahasa, kata tajdid berarti pembaharuan ia merupakan proses menjadikan sesuatu

yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Dalam hal ini tajdid pada

hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian yang sifatnya kembali pada ajaran

asal dan bukan adopsi pemikiran asing yang dalam pelaksanaannya diperlukan

pemahaman yang dalam akan paradigma dan pandangan hidup islam yang

bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, serta pendapat para ulama yang terdahulu

yang secara ijma dianggap shohih. Selain itu diperlukan pemahaman terhadap

kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun pemahaman yang

dimaksud bukanlah mengambil konsep asing tersebut Di samping kata tajdid, ada

istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata

islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan islah sebagai

“perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu

tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam

beserta praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.4

Page 4: kti agama

4

4 Lihat, John O. Voll, “Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Islah”,

dalam John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, terj.

Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hal. 21-23.

Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang

menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa

pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun

merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera jaman ,5

melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-

ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta semangat jaman.6

2.1.2 Fungsi Pembaharuan Dalam Islam

Upaya tajdid tidak sama sekali membenarkan segala upaya mengoreksi

nash-nash syar’i yang shohih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode

yang menyelisihi ijma’ulama islam. Adapun secara spesifik fungsi tajdid

diantaranya:

1. Merupakan upaya untuk menghadirkan kembali sesuatu yang sebelumnya

telah ada untuk diperbaiki dan disempurnakan.

2. Sebagai upaya pemurnian yang sifatnya kembali keajaran asal

3. Upaya yang sama sekali bukan dari adopsi pemikiran asing.

4. Upaya yang sama sekali bukan pembenaran kepada segala upaya

mengkoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks

syar’i dengan metode yang menyelesihi ulama.

5. Upaya memodernsaikan islam dari ketinggalan ( yang bersifat tidak

mutlak yang dapat dirobah-robah ) dengan tidak menghilangkan “ciri

khasnya” ( Al-Quran dan Hadist ).

5 Lihat Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam (Jakarta: Pustaka Ilmu Jaya, 1988),

hal. 7.

Page 5: kti agama

5

6 M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam

(Jakarta: Rajawali, 1998), hal. 3.

2.1.3 Faktor-Faktor Pendorong Pembaharuan Islam

Adapun faktor-faktor pendorong pembaharuan dalam Islam diantaranya:

1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh

generasi baru muslim.

2. Gagalnya system social yang bertumpu pada kapitalisme dan

sosialisme

3. Gaya hidup elit sekuler di negara-negara Islam.

4. Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara segmen kelas menengah

yang semakin berkembang yang tidak dapat diakomodasi secara

politik.

5. pencarian keamanan psikologis diantara kaum pendatang baru di

daerah perkotaan.

6. Lingkungan kota

7. Ketahanan ekonomi negara-negara Islam tertentu akibat melonjaknya

harga minyak.

8. Rasa percaya diri akan masa depan akibat kemenangan Mesir atas

Israel tahun 1973, Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan kembali

peradaban Islam abad ke 15 Hijriah

2.1.4 Landasan Pembaruan Islam

Pembaruan Islam merupakan suatu keharusan bagi upaya aktualisasi dan

kontekstualisasi Islam. Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi

upaya pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan

historis.

a. Landasan Teologis

Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan

pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis

yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam).7

Page 6: kti agama

6

7Achmad Jainuri, “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,

No. 3 Vol. VI. Tahun 1995, hal. 38.

Landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:

Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme

Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin,

memberikan rahmat bagi seluruh alam.

Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua

aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik

berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang khalik), habl min al-

nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan

dengan alam lingkungan).Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah

hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di

akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan

duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)

negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)

duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah

berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.

Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S.

Al-Qashash 28 : 77)

Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku

pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, dengan tidak membatasi diri

pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu.8

8 Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), hal. 360-

362; Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution

(Bandung: Mizan, 1996), hal. 32-33.

Page 7: kti agama

7

Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan

Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul

Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah

agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti pasca

Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula

bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling

sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama

yang diturunkan sebelumnya.9

b. Landasan Normatif

Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang

diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis.

Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan

tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan

melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dhuha:

Sungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. (Q.S. Adh-dhuhaa 93:4)

Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari

situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif

dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya.

Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam masyarakat harus

selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat melakukan mekanisme

penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.10

9 Lihat Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (Cairo: The Arab Writer Publisher &

Printers, t.t.), hal. 3.10 Lihat Hamzah Yaa’qub, Pemurnian, hal. 5.

Page 8: kti agama

8

Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang

menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad

seseorang yang akan memperbarui (pema-haman) agamanya”.

Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya

hanya menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan

dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena sebagian mereka yang

disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam telah meninggal dunia pada awal

abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini,

maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar dan

menyatakan bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad

yang dimaksud

Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai

awal abad), yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif

dalam teks hadis Nabi.

c. Landasan Historis

Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan

pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan

Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya

berkata: “sami’na wa atha’na”.

Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari

Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada

Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka

mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan

yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan

Page 9: kti agama

9

kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada

Engkaulah tempat kembali". (Q.S. Al-Baqarah 2:285)

Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis

menyebar luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu

mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu

kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama

dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan Umat Islam dalam

periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi

peradaban. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana

dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke

abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendungnya (melakukan

pembaruan).11

Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga

sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi

asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik.

Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam

memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali

kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya.12

Dalam perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu

Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami

beberapa variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks

waktu, tempat, dan problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu

sendiri dapat diklasifi-kasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-

modern dan gerakan pembaharuan pada masa modern.11 Taqi al-Din Ahmad Ibn Taimiyah (1263-1326), adalah pemikir dan penulis terbesar di masanya. Ia menjadi guru besar mazhab Hanbali di Universitas Damaskus. Lihat H.A.R. Gibb, Mohammedanism, hal. 162; S. F. Mahmud, The Story of Islam (London & Decca: Oxford University Press, 1960), hal. 148-149.

12 M. Amin Rais, “Kata Pengantar”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito (eds.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. ix.

Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil

bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan

Page 10: kti agama

10

modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte

(1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang rendahnya

kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan kesadaran akan

kelemahan dan keterbelakanganGerakan pembaruan pra-modern dengan dasar

“kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas, juga

me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai

misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad

Abduh, yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam

dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan

khufarat); kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan

kembali doktrin Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat,

pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.

Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik

yang sama dengan era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa

yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan

juga dalam gerakan dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh lainnya.

Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik

pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang atau

tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan

ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga,

penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang berbeda

dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.13

Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan

teologis dan normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua

landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid

(pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi

kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.

13 John O. Voll, “Pembaharuan”, hal. 26.

2.2 Perbedaan Kaum Tradisionalis dan Kaum Modernis dalam Islam

Page 11: kti agama

11

Adapun perbedaan kaum modernis dan tradisionalis dalam Islam yang dapat

penulis jabarkan dalam uraian berikut.

2.2.1 Tradisionalis Islam

Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang

adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat

Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti

progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka

adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-

Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan

Islam.14

Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational,

pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.

Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen

Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.15

Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan

sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau

sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.16 Menurut Achamad

Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan

dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik

dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.17

Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi.

Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.18

Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme

adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa

lampau dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.19

414 Ibid., 2.515 Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.616Andrew Rippin, Muslim, 6.717Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi, 68.818Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.91? Ibid.20 Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.

Page 12: kti agama

12

Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang

berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara

keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.20

Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam

berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’

terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan

mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.21

Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang

dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal

dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih

cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’

terdahulu.22 Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan

prinsip-prinsip hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.23

Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam

dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-

Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18,

seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.24

Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia sebagai

paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat Islam

penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad ke-20

sebagai perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara

terma modernis menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang

kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul

pada abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan

Islam sebagai senjata dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat

muslim.

21 Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.22Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.23 Ibid.24 Ibid.

Page 13: kti agama

13

Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam

tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian

kyai yang sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis

semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam

tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan

bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.

Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual

sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.

Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan

yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di

tingkat lokal.

2.2.2 Modernisme Islam

Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang

diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang

mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan

dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan

lagi di masa sekarang.

Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah

yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena

perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki

makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna

baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian,

apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan

budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau

dalam konteks yang lain.

Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya

menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa meletakkan pada

persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena

penilaian tentang apa yang disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang

yang melihat, fenomena yang kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda

Page 14: kti agama

14

tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh karena itu, contoh karya arsitektur

modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang sudah terlihat kuno.

Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan

perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20

tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri

dari penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat

dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah

bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan

keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta

mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.25

Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek

kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang

dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi

kaum modernis tugas setiap muslim adalah mengimplementasikan semua aspek

ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu

keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal. Universalitas

ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi mencakup semua dasar norma bagi semua

aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari

aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk,

Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik

maupun geografis.

Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa kesempatan

untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini

mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu

melakukan interpretasi sepanjang masa.

25 Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004), 94.Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah

Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami

perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini

disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia.

Page 15: kti agama

15

Di antara ciri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas

dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat

kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan

ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.

Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas

menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para

professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini

adalah "melek huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan.

Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.

Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam

semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung

menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai

pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir

rasional, memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan,

teknologi, dan industri atau telah terbawa oleh arus modernisasi.26 Pemikiran

kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun industri,

akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang bertujuan

untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.

Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai

oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran

yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus

diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya

terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek

kehidupan sosial kemasyarakatan.

26 Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.

2.2.3 Klasifikasi Kaum Modernis Dan Tradisionalis

Munculnya gerakan modernisme menyebabkan para pengamat keislaman

membagi umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu kaum modernis dan

kaum tradisionalis.

Page 16: kti agama

16

Kaum tradisionalis pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama.

Pertama, menganut mazhab Muhammad ibn Idris asy-Syafi`i (767-820) dalam

masalah hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah

(700–767), mazhab Malik ibn Anas (711–795), dan mazhab Ahmad ibn Hanbal

(780–855). Kedua, menganut skolastisisme Abu Hasan al-Asy`ari (873–935) dan

Abu Mansur al-Maturidi (896–944) dalam masalah ketuhanan. Ketiga, menganut

ajaran Abul-Qasim al-Junaidi (828–910) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111)

dalam masalah tasawuf.

Kaum modernis pada umumnya tidak merasa terikat pada ajaran pertama

dan ketiga, sedangkan faham Asy`ariyyah diterima dalam bentuk seperlunya saja.

Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk membentuk

organisasi. Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di Majalengka mendirikan

Persyarikatan Ulama (sejak 1952 bernama Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu

pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU)

yang didirikan K.H. Hasyim Asy`ari (1871–1947). Kemudian menyusul dua

organisasi di Sumatera, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di

Minangkabau pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah 1346), serta Jam`iyyah al-

Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9 Rajab 1349). Semua

organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan mazhab Syafi`i.

Kaum modernis di Indonesia diawali oleh Muhammadiyah yang didirikan

oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868–1923). Semasa kecil bernama Muhammad

Darwis, Ahmad Dahlan menjabat khatib mesjid kesultanan Yogyakarta dengan

julukan “Ketib Amin”. Sejak remaja Ahmad Dahlan sudah membaca majalah Al-

`Urwah al-Wutsqa yang diselundupkan ke Jawa. Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan

menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib di Makkah, dan tahun 1903 dia sengaja ke

Makkah lagi untuk bermukim selama dua tahun. Ahmad Dahlan makin akrab

dengan gagasan modernisasi Islam, bahkan sempat berkenalan dengan

Muhammad Rasyid Ridha. Setelah pulang ke Yogyakarta, Ahmad Dahlan

membina hubungan yang baik dengan para tokoh pembaharu di Minangkabau,

terutama dengan Abdulkarim Amrullah yang terkenal dengan sebutan “Haji

Rasul”. Anak Haji Rasul, Abdul Malik, dan menantu Haji Rasul, Ahmad Rasyid,

Page 17: kti agama

17

kelak menjadi tokoh-tokoh Muhammadiyah, masing-masing populer dengan nama

Hamka dan A.R.Sutan Mansur.

Pembicaraan mengenai gerakan modernisme Islam tidaklah lengkap apabila

kita mengabaikan sebuah organisasi pembaharuan yang bersifat “cabe rawit”:

kecil tetapi pedas! Itulah organisasi Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di

Bandung tanggal 17 September 1923 (5 Safar 1342) oleh ulama asal Palembang,

Kyai Haji Zamzam (1894–1952), yang juga pernah bertahun-tahun menuntut ilmu

keagamaan di Makkah. Seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad, Persatuan Islam

juga menyatakan sebagai penerus gerakan pembaharuan Muhammad Abduh dan

Rasyid Ridha. Kelahiran organisasi ini dilandasi firman Allah “berpegang-

teguhlah kepada tali Allah bersama-sama dan janganlah bercerai-berai”

(wa`tashimuu bi hablil-laahi jamii`an wa laa tafarraquu) serta sabda Nabi

“tangan Allah bersama orang-orang yang mengelompok” (yadu l-laahi ma`a l-

jama`ah).

2.3 Perspekstif Modernisasi dan Werternisasi dalam Islam

Modernisasi dan westernisasi adalah hal yang terlihat mirip namun pada

dasarnya terjadi suatu perbedaan, sehingga perlu dipahami makna dari masing-

masing kata tersebut, sehingga dapat mengurangi kekaburan dalam pemahaman.

2.3.1 Modernisasi dalam Islam

Istilah “modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin

modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan

hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba,

zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu

kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri

utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara

bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh

berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan.

Istilah modernisasi atau ashriyah (Arab) diberikan oleh kaum Orientalis

terhadap gerakan Islam tersebut di atas tanpa membedakan isi gerakan itu sendiri.

Modernisasi, dalam masyarakat Barat, mengandung arti fikiran, aliran, gerakan

Page 18: kti agama

18

dan usaha-usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi

lama, dan sebagai-nya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan

oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tatkala umat Islam

kontak dengan Barat, maka modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru

ke dunia Islam.

Di bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen,

serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir

berbagai industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang

sosial budaya timbul institusi dan cara hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem

administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara

berpakaian. Semua ini ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui

buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang

canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan.

Dengan segala keunggulan peradaban modern, terutama di bidang

persenjataan militer, bangsa-bangsa Eropa Barat melakukan ekspansi ke seluruh

penjuru bumi, termasuk Dunia Islam. Setelah selama satu alaf (millennium) umat

Islam berada di peringkat atas dalam peradaban dunia dan tidak tergoyahkan oleh

peradaban manapun, tiba-tiba pada abad ke-19 arus sejarah berubah arah. Daerah-

daerah Muslim, dari Maroko sampai Merauke, satu demi satu jatuh ke dalam

cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Eropa. Indonesia dikuasai Belanda,

India dan Malaysia dijajah Inggris, Asia Tengah jatuh ke tangan Rusia, Austria

merebut Bosnia-Herzegovina, Italia mencaplok Libia dan Ethiopia, sedangkan

sebagian besar Afrika dan Timur Tengah terbagi-bagi ke dalam kekuasaan Inggris

dan Perancis. Pada akhir Perang Dunia I tahun 1918, daerah-daerah Muslim yang

masih merdeka hanyalah Afghanistan, Iran, Turki, dan Arabia. Untunglah bangsa-

bangsa Eropa tidak tertarik kepada daerah Hijaz yang gersang, sehingga

terhindarlah kota-kota suci Makkah dan Madinah dari sentuhan hegemoni Eropa.

Dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat mengakibatkan tersebarnya peradaban

modern di seluruh dunia. Ketika berkenalan dengan peradaban modern, umat

Islam sudah terbelenggu dengan pemahaman agama yang merupakan konsensus

dan pembakuan para ulama abad pertengahan, sehingga banyak aspek modernitas

Page 19: kti agama

19

yang dianggap “haram” dan ditolak mentah-mentah. Sikap ini sangat berbeda

dengan sikap kreatif para ulama pada abad-abad permulaan Islam, ketika

penafsiran tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi belum disekat oleh rambu-rambu

mazhab. Berdasarkan perintah kitab suci agar para hamba Allah “gemar

menginventarisasi ide-ide, lalu mengikuti yang terbaik” (yastami`uuna l-qaula fa

yattabi`uuna ahsanah), umat Islam pada masa-masa awal dengan sikap tanpa

keraguan dan penuh percaya diri (sebab hegemoni politik di tangan mereka)

mengambil dan menyerap nilai-nilai yang dipandang baik dari peradaban-

peradaban purba di sekitar Mesopotamia dan Mediterrania, lalu menciptakan

Peradaban Islam (Islamic Civilization) selama berabad-abad yang penuh dengan

inovasi intelektual, eksperimen ilmiah, monumen yang artistik, dan karya literer

yang bermutu tinggi. Sikap broad-minded yang diperintahkan Al-Qur’an itu tidak

lagi dimiliki kaum Muslimin tatkala berhadapan dengan peradaban modern.

Maka pada akhir abad ke-19 bermunculan tokoh-tokoh pembaharu (mujaddid)

yang menyeru umat Islam agar mengambil peradaban modern yang menunjang

kemajuan, sebab modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari

rasionalisasi dan teknikalisasi, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam bahkan

justru diperintahkan oleh Al-Qur’an! Oleh karena para mujaddid ini bersikap

positif terhadap modernitas, mereka oleh para ahli sejarah dijuluki kelompok

modernis dan gerakan mereka disebut gerakan Modernisme Islam.

Pengalaman sejarah tersebut memperkuat keyakinan umat Islam bahwa

kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka

berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau

kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa

kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-

naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam

selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada

ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”.

Gerakan modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid

Jamaluddin al-Afghani (1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya

dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia

Page 20: kti agama

20

mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana

pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa

mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam.

Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir,

Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le

Lien Indissoluble), yang berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi pemimpin

redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret

1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab,

Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-

artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Qur’an

dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari

belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan

Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya,

majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada

bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang

majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir

akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga

melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqa

kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar,

majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih

modernisasi di kalangan umat Islam.

Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di

seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad

Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor

pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun

1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide

Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung

kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.

Kemajuan sains dan teknologi mengantarkan umat manusia memasuki abad

ke-21 dengan segala persoalan yang multikompleks, seperti pencemaran

lingkungan, menipisnya sumber daya alam, ledakan jumlah penduduk,

Page 21: kti agama

21

kesenjangan sosial, serta pembauran kultural akibat canggihnya informasi dan

komunikasi. Semua ini memiliki dampak terhadap pemahaman agama oleh umat

manusia, termasuk umat Islam. Tidaklah dapat dihindari kemungkinan untuk

melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap pemahaman ajaran agama

yang selama ini dianggap baku.

Gerakan-gerakan modernisme Islam oleh beberapa pengamat dinilai telah

kehilangan semangat pembaharuannya, karena terlalu sibuk mengelola amal usaha

dan kegiatan rutin lainnya, sehingga kurang tanggap terhadap masalah-masalah

baru yang dihadapi umat Islam. Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan

tersebut, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan gerakan sejenisnya

yang terlanjur dijuluki “kaum pembaharu” hendaknya lebih meningkatkan ijtihad

dalam merespons tantangan abad ke-21 yang makin rumit dan tidak terduga

arahnya.

2.3.2 Westernisasi dalam Islam

Lain halnya dengan pemikiran Westernisasi yaitu sebuah arus besar yang

mempunyai jangkauan politik sosial kultural dan teknologi. Arus ini bertujuan

mewarnai kehidupan bangsa-bangsa terutama kaum muslimin dengan gaya Barat.

Dengan cara menggusur kepribadian Muslim yang merdeka dan karakteristiknya

yang unik. Kemudian kaum muslimin dijadikan tawanan budaya yang meniru

secara total peradaban Barat. Sekarang kebudayaan bangsa Indonesia sudah

meniru kebarat-baratan. Usaha mereka telah berhasil. Apalagi ditunjang dengan

tampilnya acara-acara TV yang terlalu berkiblat pada peradaban Barat. Kini jati

diri kepribadian Muslim hanya tampak pada sebagian kecil ummat. Bangga

dengan kebiasaan dan adat orang-orang kafir sementara dengan adatnya sendiri

merasa risih dan malu sudah nampak jelas di sebagian kalangan ummat Islam.

a. Indikasi adanya Westernisasi

Rasulullah SAW bersabda “Kamu pasti akan mengikuti tradisi orang sebelum

kamu sejengkal demi sejengkal atau sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka

masuk ke lubang biawak sekalipun kamu akan ikut masuk pula.”

Page 22: kti agama

22

Ibnu Khaldun berkata “Orang kalah selalu erkeinginan mengikuti yang

menang dalam segala hal; dalam berpakaian berperilaku dan adat kebiasaannya.”

Seorang orientalis Inggris H.A.R.Gibb dalam bukunya Wither Islam berkata

“Di antara fenomena penting politik westernisasi di dunia Islam ialah tumbuhnya

perhatian membangkitkan kembali peradaban-peradaban klasik.”

Konferensi Baltimore tahun 1942. Dalam konferensi ini direkomendasikan

supaya digalakkan pengkajian Islam dan mengintodusir gerakan-gerakan rahasia

ke dalam tubuh ummat.

Tahun 1947 di Universitas Princeton Amerika Serikat diadakan konferensi

yang bertujuan melakukan pengkajian terhadap masalah-masalah kultural dan

sosial di Timur Dekat. Hasil konferensi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Terjemahan ini menduduki urutan ke 116 dari proyek pengadaan 1000 buah buku

di Mesir. Dalam konferensi ini hadir antara lain T. Cuyler Young Habib Kurani

Abdul Haq Edward dan Louis Thomas.

Konferensi tentang kebudayaan Islam dan kehidupan modern di universitas

Princeton pada musim panas tahun 1953 M. hadir dalam konferensi ini para

pemikir seperti Mill Broze Harold Smith Raphael Patai Harrold Allen John

Croswell Syaikh Mushthafa Zarqa Kenneth Cragg Isytiyaq Hussein dan Fazlur

Rahman dari India.

Konferensi ke III direncanakan di Lahore Pakistan tahun 1955 tetapi gagal.

Rencananya akan mengikutsertakan pakar-pakar dan peneliti Muslim serta para

orientalis dalam mengarahkan kajian-kajian tentang Islam.

Tahun 1953 diselenggarakan konferensi gabungan Islam - Kristen di Beirut

Lebanon. Kemudian di Iskandariyah lalu berturut-turut diselenggarakan di Roma

dan negara-negara lain berupa pertemuan dan seminar-seminar dengan maksud

yang sama.

b. Buku-Buku tentang Westernisasi yang Berbahaya

Islam Modern History karangan W.C. Smith derektur Institute of Islamic

Studies dan guru besar ilmu perbandingan agama pada Mc. Gill Unversity

Kanada. Ia meraih gelar doktor dari Princeton University tahun 1948 di bawah

Page 23: kti agama

23

bimbingan orientalis terkenal H.A.R. Gibb. Ia pernah menjadi mahasiswanya

ketika Smith belajar di Cambridge University. Buku ini menyerukan liberalisme

sekulerisme dan pemisahan antara agama dan negara.

Wither Islam karangan H.A.R. Gibb yang diterbitkan di Libanon pada tahun

1932. Buku ini disusun bersama sejumlah orang-orang orientalis. Isinya berupa

kajian penting tentang sebab-sebab terhambatnya proses westernisasi cara

mengembangkan dan mamajukannya.

Protokolat hakim-hakim zionisme yang muncul di seluruh dunia tahun 1902 M.

buku ini pernah dilarang masuk ke Timur Tengah dan dunia Islam sampai kira-

kira tahun 1952 M yakni beberapa tahun setelah berdirinya negara Israel di

jantung dunia Arab dan Islam. Dapat dipastikan pelarangannya itu berkaitan erat

dengan pengkhidmatan Yahudi terhadap gerakan westernisasi secara umum.

Buku-buku yang berisi gambaran tentang figur-figur sebagai tokoh Islam

dalam bentuk usang cabul dan palsu seperti gambaran dalam buku Seribu Satu

Malam Harun al-Rasyid kisah yang ditulis Jurji Zaidan. Demikian pula buku-buku

yang bersandar pada mithologi klasik yang diramu ke dalam sejarah Islam seperti

buku ‘Ala Hamisi al-Sirah oleh Thaha Husein dan buku buku yang mengingkari

kenabian dan wahyu seperti buku Muhammad Rasulu al-Hurriyah oleh Syarqawi.

c. Penyebaran dan Kawasan Pengaruhnya

Gerakan westernisasi telah mampu merembes hampir di tiap negara di dunia

Islam dan negara-negara Timur. Dengan diam-diam masyarakatnya terseret ke

dalam peradaban Barat yang materialistik dan modern. Akibatnya mereka terikat

oleh roda peradaban Barat. Pengaruh westernisasi ini berbeda-beda antara satu

negara dengan negara lain. Hal itu tampak jelas di Mesir Iraq Palestina Suriah

Yordania Turki Indonesia dan Marokko. Gerakan ini merembes ke seluruh dunia

Islam. Akibatnya tidak ada satu negeri muslim atau negeri Timur yang tidak

dirembesi oleh gerakan ini. Al-Islam Pusat Komunikasi dan Informasi Islam

Indonesia

d. Sikap Berkaitan Dengan Westernisasi Dan Modernisasi

Page 24: kti agama

24

Dalam mempelajari mengenai modernisasi dan westernisasi perlu di pahami

ayat yang terdapat dalam al-qur’an, dimana terkandung penegasan bahwa kaum

Muslimin merupakan “kelompok terbaik di antara manusia” (khaira ummatin

ukhrijat li n-naas), dan agama Islam diturunkan Allah “untuk diunggulkan-Nya di

atas semua agama” (li yuzh-hirahuu `ala d-diini kullih).

Intinya adalah tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist namun

dapat mengintegrasikannya dengan perkembangan zaman, sehingga tercipta insan

yang beriman dan berilmu sebagaimana firma Allah dalam Al-Mujaadilah yaitu:

Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-

lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi

kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah,

niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan

orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujaadilah 58:11)

BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

Pembaruan Islam merupakan suatu yang sebaiknya dilakukan karena ajaran

Islam yang rahmah li al’alamin serta sebagai agama “pamungkas” menuntut

Page 25: kti agama

25

adanya upaya rasionalisasi dan konteks-tualisasi sesuai dengan semangat jaman.

Hal itu karena pada hakikatnya pembaruan Islam merupakan ikhtiar melakukan

rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam segala ranah kehidupan.

Kemajuan sains dan teknologi mengantarkan umat manusia memasuki abad

ke-21 dengan segala persoalan yang multikompleks, Semua ini memiliki

dampak terhadap pemahaman agama oleh umat manusia, termasuk umat Islam.

Sehingga di perlukan pengintegrasian antar ilmu dan teknologi yang

berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist

3.2 Saran

Adapun saran yang dapat penulis berikan ialah

1. Sebaiknya masyarakat muslim lebih memperhatikan mengenai

pembaharuan dalam Islam secara baik dan benar

2. Masalah pembaharuan dalam Islam hendaknya dikaji lebih mendalam

dan up to date agar tidak terjadi mis-consept

3. Hendaknya kaum muslim memasang filter-filter dalam mengkaji

konsep pembaharuan Islam agar tidak terhanyut sehingga dapat dapat

menjadi insan yang beriman dan bertakwa

DAFTAR PUSTAKA

Dasuki Hafizh. 1989. Al-Qur’an terjemahan. Jakarta: TB. Lubuk Agung

Shabir Muslich. 1981. Riyadhlus Shalihin. Jakarta: CV. Toha Putra

Semarang

Page 26: kti agama

26

Ernest Gellner. 1984.Muslim Society Cambridge: Cambridge University

Press

John O. Voll, “Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid

dan Islah”, dalam John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak,

Proses, dan Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali Press, 1987

Achmad Jainuri, “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam

Jurnal

Taqi al-Din Ahmad Ibn Taimiyah (1263-1326), adalah pemikir dan penulis

terbesar di masanya. Ia menjadi guru besar mazhab Hanbali di Universitas

Damaskus. Lihat H.A.R. Gibb, Mohammedanism, hal. 162; S. F. Mahmud, The

Story of Islam (London & Decca: Oxford University Press, 1960)

M. Amin Rais, “Kata Pengantar”, dalam John J. Donohue dan John L.

Esposito (eds.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj.

Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. ix.

Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (Cairo: The Arab Writer

Publisher & Printers, t.t.), hal. 3.

Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan

dalam Dunia Islam. Jakarta: Rajawali, 1998.

Mahmud, S.F. The Story of Islam. London & Decca: Oxford University

Press, 1960.