kti agama
-
Upload
juzt-zhara -
Category
Documents
-
view
34 -
download
3
description
Transcript of kti agama
1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejak awal abad ke-2 H ( 8M ). Islam dalam perkembangan dakwahnya yang
makin meluas mengharuskan islam berinteraksi dengan peradaban dan agama
lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara islam dengan pemikiran asing.
Terkikisnya pemahaman islam yang hakiki terus berlanjut sampai awal abad ke-
13 H. Saat itu umat islam mulai mengupayakan pembaruan untuk memahami
syariat islam yang akan diterapkan dalam masyarakat. Hal ini mendorong para
pemikir Islam untuk membahas aqidah Islam dari berbagai segi sebagaimana
firman Allah SWT:
(Q.S. Ar-Ra’d 13:11)
Sesungguhnya, Islam yang bersumber dari al-Qur'an dan Sunnah dan diyakini
sebagai kebenaran tunggal, ditafsirkan penganutnya secara berbeda dan berubah-
ubah, akibat perbedaan kehidupan sosial penganut yang juga terus berubah. Dari
perbedaan penafsiran itu lahirlah kemudian pemikiran fiqh dan teologi yang
berbeda. Salah satu bidang kajian Islam yang secara intens dilakukan pengkajian
oleh kalangan akademisi, ilmuwan, dan pemerhati Islam adalah tentang
pembaruan dalam Islam. Hal ini terlihat dari banyaknya kajian yang
membicarakan tema tersebut, baik mengenai sejarahnya, maupun tokoh, serta
pemikiran pembaruannya.
2
Adanya intensitas perbincangan dan pengkajian tersebut, menunjukkan bahwa
di kalangan umat Islam, khususnya di kalangan para ilmuwan Islam, telah
terbangun suatu pandangan bahwa pembaruan Islam merupakan suatu
keniscayaan sekaligus sebagai konsekuensi logis dari pengalaman ajaran Islam.
Meskipun demikian, terdapat saling tarik-menarik yang menjadikan isu
pembaruan Islam aktual sekaligus kontroversial sepanjang sejarah pemikiran
Islam. Dengan ungkapan lain bahwa terdapat kelompok pro dan kontra terhadap
pembaruan Islam, yaitu antara yang menganggap bahwa pembaruan Islam sebagai
suatu keharusan untuk aktualisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dengan yang
melakukan penolakan dan penentangan terhadap pembaruan Islam karena
dipandang bahwa Islam adalah agama pembawa kebenaran mutlak sehingga
upaya pembaruan dipandang bertentangan dengan watak kemutlakan Islam
tersebut. Melihat perbedaan di atas, pro dan kontra pembaruan Islam
sesungguhnya terletak pada kerangka metodologis dalam memahami Islam
sehingga perbedaan antara keduanya berada dalam wilayah pemahaman atau
penafsiran, bukan dalam wilayah yang sangat prinsip. Oleh karenanya, pembaruan
Islam pada dataran ini dapat dipandang sebagai suatu keharusan.
Maka, jika dilihat dari masalah yang diperdebatkan di antara beberapa
kelompok di atas, mereka berdebat bukan tentang pokok-pokok ajaran Islam itu
sendiri, akan tetapi bagaimana memanifestasikan ajaran Islam itu di dalam sistem
kehidupan sosial,1 antara Islam sebagai model of reality dan Islam sebagai models
for reality,2sehingga menciptakan setidaknya dua bentuk komunitas beragama
yaitu antara folk variant dan scholarly veriant,3
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis dapatkan ialah:
1 Andrew Rippin, Muslim, 35.2 Yang pertama mengisyaratkan bahwa Islam adalah representasi dari sebuah realitas, sementara yang kedua mengisyaratkan bahwa Islam merupakan konsep bagi realitas, seperti aktivitas manusia. Dalam pemahaman yang kedua ini Agama mencakup teori-teori, dogma atau doktrin bagi sebuah realitas. Bassam Tibi, Islam and the Cultural, 8.3 Ernest Gellner, Muslim Society (Cambridge: Cambridge University Press, 1984), 5.
3
1. Bagaimana konsep pembaharuan dalam islam?
2. Apakah perbedaan dari kaum modernis dan tradisionalis dalam Islam?
3. Bagaimana perspekstif modernisasi dan werternisasi dalam islam?
BAB 2. ISI
2.1 Konsep Pembaharuan Islam
Pembaharuan islam adalah proses pemurnian dimana konsep pertama atau
konsep asalnya dipahami dan ditafsirkan sehingga menjadi lebih jelas bagi
masyarakat pada masanya dan lebih penting lagi penjelasan itu tidak bertentangan
dengan aslinya
2.1.1 Makna Pembaharuan Islam
Dalam kosakata “Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, kemudian
muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna yaitu
modernisme, reformisme, puritanis-me, revivalisme, dan fundamentalisme. Secara
bahasa, kata tajdid berarti pembaharuan ia merupakan proses menjadikan sesuatu
yang terlihat usang untuk dijadikan baru kembali. Dalam hal ini tajdid pada
hakekatnya selalu berorientasi pada pemurnian yang sifatnya kembali pada ajaran
asal dan bukan adopsi pemikiran asing yang dalam pelaksanaannya diperlukan
pemahaman yang dalam akan paradigma dan pandangan hidup islam yang
bersumber dari Al-Quran dan Sunnah, serta pendapat para ulama yang terdahulu
yang secara ijma dianggap shohih. Selain itu diperlukan pemahaman terhadap
kebudayaan asing dan pemikiran yang menjadi asasnya, namun pemahaman yang
dimaksud bukanlah mengambil konsep asing tersebut Di samping kata tajdid, ada
istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata
islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan islah sebagai
“perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu
tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam
beserta praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.4
4
4 Lihat, John O. Voll, “Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid dan Islah”,
dalam John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses, dan Tantangan, terj.
Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hal. 21-23.
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam Islam bukan dalam hal yang
menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam; artinya bahwa
pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi, ataupun
merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya sesuai dengan selera jaman ,5
melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran-
ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta semangat jaman.6
2.1.2 Fungsi Pembaharuan Dalam Islam
Upaya tajdid tidak sama sekali membenarkan segala upaya mengoreksi
nash-nash syar’i yang shohih, atau menafsirkan teks-teks syar’i dengan metode
yang menyelisihi ijma’ulama islam. Adapun secara spesifik fungsi tajdid
diantaranya:
1. Merupakan upaya untuk menghadirkan kembali sesuatu yang sebelumnya
telah ada untuk diperbaiki dan disempurnakan.
2. Sebagai upaya pemurnian yang sifatnya kembali keajaran asal
3. Upaya yang sama sekali bukan dari adopsi pemikiran asing.
4. Upaya yang sama sekali bukan pembenaran kepada segala upaya
mengkoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks
syar’i dengan metode yang menyelesihi ulama.
5. Upaya memodernsaikan islam dari ketinggalan ( yang bersifat tidak
mutlak yang dapat dirobah-robah ) dengan tidak menghilangkan “ciri
khasnya” ( Al-Quran dan Hadist ).
5 Lihat Hamzah Ya’qub, Pemurnian Aqidah dan Syari’ah Islam (Jakarta: Pustaka Ilmu Jaya, 1988),
hal. 7.
5
6 M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam
(Jakarta: Rajawali, 1998), hal. 3.
2.1.3 Faktor-Faktor Pendorong Pembaharuan Islam
Adapun faktor-faktor pendorong pembaharuan dalam Islam diantaranya:
1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh
generasi baru muslim.
2. Gagalnya system social yang bertumpu pada kapitalisme dan
sosialisme
3. Gaya hidup elit sekuler di negara-negara Islam.
4. Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara segmen kelas menengah
yang semakin berkembang yang tidak dapat diakomodasi secara
politik.
5. pencarian keamanan psikologis diantara kaum pendatang baru di
daerah perkotaan.
6. Lingkungan kota
7. Ketahanan ekonomi negara-negara Islam tertentu akibat melonjaknya
harga minyak.
8. Rasa percaya diri akan masa depan akibat kemenangan Mesir atas
Israel tahun 1973, Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan kembali
peradaban Islam abad ke 15 Hijriah
2.1.4 Landasan Pembaruan Islam
Pembaruan Islam merupakan suatu keharusan bagi upaya aktualisasi dan
kontekstualisasi Islam. Di antara landasan dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi
upaya pembaruan Islam adalah landasan teologis, landasan normatif dan landasan
historis.
a. Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide tajdid berakar pada warisan
pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut adalah landasan teologis
yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan Islam).7
6
7Achmad Jainuri, “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an,
No. 3 Vol. VI. Tahun 1995, hal. 38.
Landasan teologis itu terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama universal (univer-salisme
Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi rahmah li al-‘alamin,
memberikan rahmat bagi seluruh alam.
Universalitas Islam ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua
aspek kehidupan, mengatur seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik
berhubungan dengan habl min Allah (hubungan dengan sang khalik), habl min al-
nas (hubungan dengan sesama umat manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan
dengan alam lingkungan).Dengan terciptanya harmoni pada ketiga wilayah
hubungan tersebut, maka akan tercapai kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di
akherat, karena Islam bukan hanya berorientasi duniawi semata, melainkan
duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S.
Al-Qashash 28 : 77)
Konsep universalisme Islam itu meniscayakan bahwa ajaran Islam berlaku
pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia, dengan tidak membatasi diri
pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu.8
8 Lihat Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), hal. 360-
362; Saiful Muzani (ed.), Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. Harun Nasution
(Bandung: Mizan, 1996), hal. 32-33.
7
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang diturunkan
Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw sebagai seorang rasul
Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin bahwa Islam adalah
agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia; yang berarti pasca
Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan diyakini pula
bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu yang paling
sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup sekalian agama
yang diturunkan sebelumnya.9
b. Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini adalah landasan yang
diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun al-Hadis.
Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan
tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan
melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dhuha:
Sungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan. (Q.S. Adh-dhuhaa 93:4)
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk mengubah status umat dari
situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat Islam sendiri harus berinisiatif
dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik pola pikirnya maupun perilakunya.
Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan pembaru dalam masyarakat harus
selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat melakukan mekanisme
penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.10
9 Lihat Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (Cairo: The Arab Writer Publisher &
Printers, t.t.), hal. 3.10 Lihat Hamzah Yaa’qub, Pemurnian, hal. 5.
8
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita temukan adanya teks hadis yang
menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada umat ini pada setiap awal abad
seseorang yang akan memperbarui (pema-haman) agamanya”.
Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan biografi dalam Islam yang biasanya
hanya menunjuk tanggal kematian seseorang. Jika arti kata tersebut dikaitkan
dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami karena sebagian mereka yang
disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam telah meninggal dunia pada awal
abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan pembaruan. Atas dasar ini,
maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang lebih longgar dan
menyatakan bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan hidup dalam abad
yang dimaksud
Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di atas (dalam memaknai
awal abad), yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam memiliki landasan normatif
dalam teks hadis Nabi.
c. Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad masih ada dan
pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di Makkah dan
Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua penganutnya
berkata: “sami’na wa atha’na”.
Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan
yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
9
kami taat". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada
Engkaulah tempat kembali". (Q.S. Al-Baqarah 2:285)
Dalam perkembangannya, Islam baik secara etnografis maupun geografis
menyebar luas, dari segi intelektual pun membuahkan umat yang mampu
mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai pengetahuan, mulai dari ilmu
kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama
dalam masa empat abad semenjak ia sempurna diturunkan Umat Islam dalam
periode itu dengan segala ilmu yang dikembangkannya, berhasil mendominasi
peradaban. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa terjadi, di mana
dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad XIII M (peralihan ke
abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendungnya (melakukan
pembaruan).11
Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah, ditujukan kepada tiga
sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan rasionalisme, teologi
asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan dan totalistik.
Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran Islam sehingga di dalam
memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam agar kembali
kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya.12
Dalam perkembangan sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu
Taimiyah terus mengalami dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami
beberapa variasi corak dan penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks
waktu, tempat, dan problem yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu
sendiri dapat diklasifi-kasikan menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-
modern dan gerakan pembaharuan pada masa modern.11 Taqi al-Din Ahmad Ibn Taimiyah (1263-1326), adalah pemikir dan penulis terbesar di masanya. Ia menjadi guru besar mazhab Hanbali di Universitas Damaskus. Lihat H.A.R. Gibb, Mohammedanism, hal. 162; S. F. Mahmud, The Story of Islam (London & Decca: Oxford University Press, 1960), hal. 148-149.
12 M. Amin Rais, “Kata Pengantar”, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito (eds.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj. Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. ix.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu Taimiyah), mengambil
bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara itu, gerakan
10
modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan Napoleon Bonaparte
(1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang rendahnya
kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan kesadaran akan
kelemahan dan keterbelakanganGerakan pembaruan pra-modern dengan dasar
“kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas, juga
me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai
misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad
Abduh, yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam
dari berbagai pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan
khufarat); kedua, pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan
kembali doktrin Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat,
pembelaan Islam terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas, menunjukan adanya karakteristik
yang sama dengan era sebelumnya, yaitu adanya purifikasionis-reformis. Apa
yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu contoh, tentunya dapat ditemukan
juga dalam gerakan dan pemikiran yang dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik gerakan pem-baruan Islam baik
pra-modern dan modern, menurut Voll dapat terlihat pula pada tiga bidang atau
tema yang digelorakan, yaitu: pertama, seruan untuk kembali kepada penerapan
ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua, keharusan adanya ijtihad; ketiga,
penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman Qur’an yang berbeda
dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam lainnya.13
Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan Islam yang berlandaskan
teologis dan normatif, secara historis menunjukkan relevansi dengan kedua
landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh karenanya, gerakan tajdid
(pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat sebagai pijakan bagi
kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan datang.
13 John O. Voll, “Pembaharuan”, hal. 26.
2.2 Perbedaan Kaum Tradisionalis dan Kaum Modernis dalam Islam
11
Adapun perbedaan kaum modernis dan tradisionalis dalam Islam yang dapat
penulis jabarkan dalam uraian berikut.
2.2.1 Tradisionalis Islam
Ketika berbicara mengenai masyarakat Islam tradisional, yang terbayang
adalah sebuah gambaran mengenai masyarakat yang terbelakang, masyarakat
Islam yang kolot, masyarakat yang anti atau menolak perubahan (anti
progresivitas), konservatif (staid approach), dan diliputi oleh sikap taqlid. Mereka
adalah kelompok yang membaca dan belajar “kitab kuning”, termasuk karya al-
Ghazali dan ulama’ fiqh klasik, dan tokoh-tokoh sufi pada zaman pertengahan
Islam.14
Terma tradisional merupakan terma untuk sesuatu yang irrational,
pandangan dunia yang tidak ilmiah, lawan dari segala bentuk kemodernan.
Tradisionalisme dianggap sebagai aliran yang berpegang teguh pada fundamen
Agama melalui penafsiran terhadap kitab suci Agama secara rigid dan literalis.15
Secara etimologis, tradisional berarti kecenderungan untuk melakukan
sesuatu yang telah dilakukan oleh pendahulu, dan memandang masa lampau
sebagai otoritas dari segala bentuk yang telah mapan.16 Menurut Achamad
Jainuri, kaum tradisionalis adalah mereka yang pada umumnya diidentikkan
dengan ekspresi Islam lokal, serta kaum elit kultur tradisional yang tidak tertarik
dengan perubahan dalam pemikiran serta praktik Islam.17
Sementara itu, tradisionalisme adalah paham yang berdasar pada tradisi.
Lawannya adalah modernisme, liberalisme, radikalisme, dan fundamentalisme.18
Berdasarkan pada pemahaman terhadap tradisi di atas, maka tradisionalisme
adalah bentuk pemikiran atau keyakinan yang berpegang pada ikatan masa
lampau dan sudah diperaktekkan oleh komunitas Agama.19
414 Ibid., 2.515 Fundamentalis”, dalam The Oxford English Dictionary, 1988.616Andrew Rippin, Muslim, 6.717Achmad Jainuri, Orientasi Ideologi, 68.818Noah Webstar, Webstar new International Dictionary of the English Language Unabridged (Massachusetts, USA: G&C, 1966), 2422.91? Ibid.20 Daniel Brown, Rethinking Tradition, 2.
12
Di bidang pemikiran Islam, tradisionalisme adalah suatu ajaran yang
berpegang pada Sunnah Nabi, yang diikuti oleh para Sahabat dan secara
keyakinan telah diperaktekkan oleh komunitas Muslim.20
Kaum tradisionalis di Indonesia adalah mereka yang konsisten dalam
berpegang teguh pada mata rantai sejarah serta pemikiran ulama’-ulama’
terdahulu dalam perilaku keberagamaannya. Konkritnya, memegang dan
mengembangkan ajaran fiqh scholastik madzhab empat.21
Kaum tradisionalis meyakini Shari’ah sebagai hukum Tuhan yang
dipahami dan dipraktekkan semenjak beberapa abad silam dan sudah terkristal
dalam beberapa madhab fiqh. Dalam bahasa Fazlur Rahman, mereka lebih
cenderung memahami syari’ah sebagaimana yang telah diperaktekkan oleh ulama’
terdahulu.22 Mereka menerima prinsip ijtihad, akan tetapi harus sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum tradisional seperti qiyâs, ijmâ’ dan istihsân.23
Dalam masalah tareqah mereka menganggapnya sebagai dimensi terdalam
dari ajaran Islam. Dalam masalah tarekat ini mereka merujuk kepada Imam al-
Ghazali untuk dijadikan sebagai tokoh sentral, yang muncul pada abad ke-12/18,
seperti ajaran yang disampaikan oleh al-Ghazali.24
Howard Federspiel, mengartikan tradisionalisme di Indonesia sebagai
paham yang mempertahankan nilai-nilai yang telah mapan di kalangan umat Islam
penganut madhab Shafi’i. Kelompok ini, di Indonesia, muncul pada abad ke-20
sebagai perlawanan terhadap pandangan-pandangan kaum modernis. Sementara
terma modernis menunjukkan pada kelompok yang merasionalkan segala bidang
kehidupan, termasuk Agama, pengetahuan dan teknologi. Kelompok ini muncul
pada abad ke-20, yang menyerukan reformasi bidang Agama dan menjadikan
Islam sebagai senjata dalam melawan modernisasi di tengah-tengah masyarakat
muslim.
21 Seyyed Hossein Nasr mencatat salah atu kriteria pola keagamaan tradisional adalah digunakannya konsep silsilah; mata rantai kehidupan dan pemikiran dalam dunia kaum tradisional untuk sampai pada sumber ajaran. Lihat Seyyed Hossein Nasr, Tradisional Islam, 13.22Fazlur Rahman, “Islamic Modernism; Its Scope, Method, and Alternative”, International Journal of Middle East Studies (1970), 317-332.23 Ibid.24 Ibid.
13
Dalam konteks sosial-budaya, unsur-unsur yang terdapat pada Islam
tradisional Indonesia meliputi adanya lembaga pesantren, peranan dan kepribadian
kyai yang sangat menentukan dan kharismatik. Basis masa kaum tradisionalis
semacam ini pada umumnya berada di pedesaan. Begitu lekatnya Islam
tradisionalis di Indonesia dengan kalangan pedesaan, sampai-sampai dikatakan
bahwa Islam tradionalis adalah Islam pedesaan.
Islam tradisional secara religi bersifat kultural, secara intelektual
sederhana, secara kultural bersifat sinkretik, dan secara politis bersifat oportunis.
Meskipun untuk saat ini banyak kaum tradisionalis yang kontroversial dengan
yang konservatif, akan tetapi peran warna konservatifme sangat kuat sekali di
tingkat lokal.
2.2.2 Modernisme Islam
Lawan dari tradisional adalah modern, yaitu suatu istilah yang
diidentikkan dengan zaman teknologi. Modernitas adalah sebuah sikap yang
mempertanyakan problem masa lampau, bentuk tradisional harus dipertanyakan
dan diuji, tidak ada sikap kembali ke belakang. Ide-ide masa lampau tidak relevan
lagi di masa sekarang.
Kata modern, modernisme, modernisasi, modernitas, dan beberapa istilah
yang terkait dengannya, selalu dipakai orang dalam ungkapan sehari-hari. Karena
perubahan makna yang terdapat di dalamnya, istilah-istilah ini seringkali memiliki
makna yang kabur. Modern adalah sebuah istilah korelatif, yang mencakup makna
baru lawan dari kuno, innovative sebagai lawan tradisional. Meskipun demikian,
apa yang disebut modern pada suatu waktu dan tempat, dalam kaitannya dengan
budaya, tidak akan memiliki arti yang sama baik pada masa yang akan datang atau
dalam konteks yang lain.
Para peneliti agama, terutama, yang tertarik pada contoh-contoh budaya
menurut sebuah kerangka jangka panjang, tidak harus lupa meletakkan pada
persepsi perubahan perspektif dari apa yang disebut baru dan kuno. Karena
penilaian tentang apa yang disebut modern adalah persoalan perspektif dari orang
yang melihat, fenomena yang kelihatannya sama bisa jadi sangat berbeda
14
tergantung pada konteks yang berbeda. Oleh karena itu, contoh karya arsitektur
modern pada pertengahan abad ke-20 sekarang sudah terlihat kuno.
Dalam bidang intelektual, modernisme Islam muncul karena tantangan
perkembangan yang dihadapi oleh umat. Dalam abad ke-19 dan awal abad ke-20
tantangan politik yang dihadapi oleh umat Islam bagaimana membebaskan diri
dari penjajahan Barat, tantangan kultural adalah masuknya nilai-nilai baru akibat
dari kemajuan ilmu pengetahuan modern Barat, tantangan sosial-ekonomi adalah
bagaimana mengentaskan kebodohan dan kemiskinan umat, dan tantangan
keagamaan adalah bagaimana meningkatkan wawasan pengetahuan agama serta
mendorong umat untuk bisa memahami ajaran agama secara mandiri.25
Bagi muslim modernis, Islam memberikan dasar bagi semua aspek
kehidupan manusia di dunia, baik pribadi maupun masyarakat, dan yang
dipandang selalu sesuai dengan semangat perkembangan. Oleh karena itu, bagi
kaum modernis tugas setiap muslim adalah mengimplementasikan semua aspek
ajaran Islam dalam kehidupan nyata. Dasar pandangan ini dibentuk oleh satu
keyakinan bahwa Islam memiliki watak ajaran yang universal. Universalitas
ajaran Islam ini dilihat dari sapek isi mencakup semua dasar norma bagi semua
aspek kehidupan, baik yang berkaitan dengan persoalan ritual maupun sosial, dari
aspek waktu, Islam berlaku sepanjang masa, dilihat dari aspek pemeluk,
Islam berlaku untuk semua umat manusia tanpa memandang batasan etnik
maupun geografis.
Dalam masalah ijtihad kaum modernis menganggap bahwa kesempatan
untuk melakukan interpretasi masih tetap terbuka, sehingga kelompok ini
mengajak kepada seluruh ulama’ yang memiliki kemampuan harus selalu
melakukan interpretasi sepanjang masa.
25 Achmad Jaenuri, Orientasi Ideologi Gerakan Islam Modern (Surabaya: LPAM, 2004), 94.Rumusan modernisme Islam paling awal muncul di Mesir oleh Rifa’ah
Rafi’ al-Tahtawi, dilanjutkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan mengalami
perkembangan yang luar biasa di tangan Muhammd ‘Abduh. Tokoh terakhir ini
disebut inspirator gerakan pembaharuan dalam Islam yang sampai ke Indonesia.
15
Di antara ciri dari gerakan Islam modern adalah menghargai rasionalitas
dan nilai demokratis. Semua anggota memiliki hak yang sama dan semua tingkat
kepemimpinan dipilih tidak diangkat. Tidak ada perbedaan antara warga biasa dan
ulama menyangkut hak dan kewajiban organisasi.
Gerakan ini di Indonesia memiliki pengaruh kuat di kalangan kelas
menengah kota, mulai dari pengrajin, pedagang, seniman sampai para
professional. Sebagai sebuah fenomena kota, di antara karakteristik gerakan ini
adalah "melek huruf", yang pada akhirnya ciri ini menuntut adanya pendidikan.
Sehingga pendidikan merupakan program yang paling utama.
Kelompok ini memandang bahwa syari'ah harus diaplikasikan dalam
semua aspek kehidupan secara fleksibel dan mereka ini cenderung
menginterpretasikan ajaran Islam tertentu dengan menggunakan berbagai
pendekatan, termasuk dari Barat. Maka modernisme Islam memiliki pola pikir
rasional, memiliki sikap untuk mengikuti model Barat di bidang pendidikan,
teknologi, dan industri atau telah terbawa oleh arus modernisasi.26 Pemikiran
kaum modernis bukan hanya terbatas pada bidang teknologi ataupun industri,
akan tetapi juga merambah ke dalam bidang pemikiran Islam yang bertujuan
untuk mengharmonikan keyakinan Agama dengan pemikiran modern.
Secara umum, orientasi ideologi keagamaan modernisme Islam ditandai
oleh wawasan keagamaan yang menyatakan bahwa Islam merupakan nilai ajaran
yang memberikan dasar bagi semua aspek kehidupan dan karenanya harus
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi mereka, pengamalan ini tidak hanya
terbatas pada persoalan ritual-ubudiyah, tetapi juga meliputi semua aspek
kehidupan sosial kemasyarakatan.
26 Akbar S. Ahmed, Post Modernism and Islam (London: Routledge, 1992), 31.
2.2.3 Klasifikasi Kaum Modernis Dan Tradisionalis
Munculnya gerakan modernisme menyebabkan para pengamat keislaman
membagi umat Islam Indonesia menjadi dua kelompok, yaitu kaum modernis dan
kaum tradisionalis.
16
Kaum tradisionalis pada garis besarnya mempunyai tiga ajaran utama.
Pertama, menganut mazhab Muhammad ibn Idris asy-Syafi`i (767-820) dalam
masalah hukum agama, dengan tidak mengesampingkan mazhab Abu Hanifah
(700–767), mazhab Malik ibn Anas (711–795), dan mazhab Ahmad ibn Hanbal
(780–855). Kedua, menganut skolastisisme Abu Hasan al-Asy`ari (873–935) dan
Abu Mansur al-Maturidi (896–944) dalam masalah ketuhanan. Ketiga, menganut
ajaran Abul-Qasim al-Junaidi (828–910) dan Abu Hamid al-Ghazali (1058–1111)
dalam masalah tasawuf.
Kaum modernis pada umumnya tidak merasa terikat pada ajaran pertama
dan ketiga, sedangkan faham Asy`ariyyah diterima dalam bentuk seperlunya saja.
Kaum tradisionalis di Indonesia juga terstimulasi untuk membentuk
organisasi. Pada tahun 1917 K.H. Abdul Halim di Majalengka mendirikan
Persyarikatan Ulama (sejak 1952 bernama Persatuan Umat Islam atau PUI). Lalu
pada 31 Januari 1926 (17 Rajab 1344) di Surabaya lahir Nahdlatul-`Ulama (NU)
yang didirikan K.H. Hasyim Asy`ari (1871–1947). Kemudian menyusul dua
organisasi di Sumatera, yaitu Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) di
Minangkabau pada tanggal 5 Mei 1928 (15 Dzulqa`dah 1346), serta Jam`iyyah al-
Washliyyah di Medan pada tanggal 30 November 1930 (9 Rajab 1349). Semua
organisasi kaum tradisionalis ini mempertahankan mazhab Syafi`i.
Kaum modernis di Indonesia diawali oleh Muhammadiyah yang didirikan
oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868–1923). Semasa kecil bernama Muhammad
Darwis, Ahmad Dahlan menjabat khatib mesjid kesultanan Yogyakarta dengan
julukan “Ketib Amin”. Sejak remaja Ahmad Dahlan sudah membaca majalah Al-
`Urwah al-Wutsqa yang diselundupkan ke Jawa. Pada tahun 1890 Ahmad Dahlan
menjadi murid Syaikh Ahmad Khatib di Makkah, dan tahun 1903 dia sengaja ke
Makkah lagi untuk bermukim selama dua tahun. Ahmad Dahlan makin akrab
dengan gagasan modernisasi Islam, bahkan sempat berkenalan dengan
Muhammad Rasyid Ridha. Setelah pulang ke Yogyakarta, Ahmad Dahlan
membina hubungan yang baik dengan para tokoh pembaharu di Minangkabau,
terutama dengan Abdulkarim Amrullah yang terkenal dengan sebutan “Haji
Rasul”. Anak Haji Rasul, Abdul Malik, dan menantu Haji Rasul, Ahmad Rasyid,
17
kelak menjadi tokoh-tokoh Muhammadiyah, masing-masing populer dengan nama
Hamka dan A.R.Sutan Mansur.
Pembicaraan mengenai gerakan modernisme Islam tidaklah lengkap apabila
kita mengabaikan sebuah organisasi pembaharuan yang bersifat “cabe rawit”:
kecil tetapi pedas! Itulah organisasi Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di
Bandung tanggal 17 September 1923 (5 Safar 1342) oleh ulama asal Palembang,
Kyai Haji Zamzam (1894–1952), yang juga pernah bertahun-tahun menuntut ilmu
keagamaan di Makkah. Seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad, Persatuan Islam
juga menyatakan sebagai penerus gerakan pembaharuan Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridha. Kelahiran organisasi ini dilandasi firman Allah “berpegang-
teguhlah kepada tali Allah bersama-sama dan janganlah bercerai-berai”
(wa`tashimuu bi hablil-laahi jamii`an wa laa tafarraquu) serta sabda Nabi
“tangan Allah bersama orang-orang yang mengelompok” (yadu l-laahi ma`a l-
jama`ah).
2.3 Perspekstif Modernisasi dan Werternisasi dalam Islam
Modernisasi dan westernisasi adalah hal yang terlihat mirip namun pada
dasarnya terjadi suatu perbedaan, sehingga perlu dipahami makna dari masing-
masing kata tersebut, sehingga dapat mengurangi kekaburan dalam pemahaman.
2.3.1 Modernisasi dalam Islam
Istilah “modern” ini sangat perlu kita fahami. Berasal dari kata Latin
modernus yang artinya “baru saja; just now”, pengertian modern mengacu bukan
hanya kepada “zaman” (kita mengenal pembagian zaman menjadi zaman purba,
zaman pertengahan dan zaman modern), tetapi yang lebih penting mengacu
kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri
utama, yaitu rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara
bertindak yang teknikal). Tumbuhnya sains dan teknologi modern diikuti oleh
berbagai inovasi di segenap bidang kehidupan.
Istilah modernisasi atau ashriyah (Arab) diberikan oleh kaum Orientalis
terhadap gerakan Islam tersebut di atas tanpa membedakan isi gerakan itu sendiri.
Modernisasi, dalam masyarakat Barat, mengandung arti fikiran, aliran, gerakan
18
dan usaha-usaha untuk merubah faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi
lama, dan sebagai-nya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Tatkala umat Islam
kontak dengan Barat, maka modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru
ke dunia Islam.
Di bidang politik muncul faham nasionalisme, sistem partai dan parlemen,
serta pembagian kekuasaan dalam pemerintahan. Di bidang ekonomi lahir
berbagai industri, sistem pertukaran barang, serta korporasi bisnis. Di bidang
sosial budaya timbul institusi dan cara hidup yang lebih efisien, mulai dari sistem
administrasi dan pendidikan sampai kepada pemeliharaan kesehatan dan cara
berpakaian. Semua ini ditunjang oleh proses pertukaran ide yang efektif melalui
buku cetak dan media massa serta sarana komunikasi dan transportasi yang
canggih sebagai buah lezat dari ilmu pengetahuan.
Dengan segala keunggulan peradaban modern, terutama di bidang
persenjataan militer, bangsa-bangsa Eropa Barat melakukan ekspansi ke seluruh
penjuru bumi, termasuk Dunia Islam. Setelah selama satu alaf (millennium) umat
Islam berada di peringkat atas dalam peradaban dunia dan tidak tergoyahkan oleh
peradaban manapun, tiba-tiba pada abad ke-19 arus sejarah berubah arah. Daerah-
daerah Muslim, dari Maroko sampai Merauke, satu demi satu jatuh ke dalam
cengkeraman imperialisme dan kolonialisme Eropa. Indonesia dikuasai Belanda,
India dan Malaysia dijajah Inggris, Asia Tengah jatuh ke tangan Rusia, Austria
merebut Bosnia-Herzegovina, Italia mencaplok Libia dan Ethiopia, sedangkan
sebagian besar Afrika dan Timur Tengah terbagi-bagi ke dalam kekuasaan Inggris
dan Perancis. Pada akhir Perang Dunia I tahun 1918, daerah-daerah Muslim yang
masih merdeka hanyalah Afghanistan, Iran, Turki, dan Arabia. Untunglah bangsa-
bangsa Eropa tidak tertarik kepada daerah Hijaz yang gersang, sehingga
terhindarlah kota-kota suci Makkah dan Madinah dari sentuhan hegemoni Eropa.
Dominasi bangsa-bangsa Eropa Barat mengakibatkan tersebarnya peradaban
modern di seluruh dunia. Ketika berkenalan dengan peradaban modern, umat
Islam sudah terbelenggu dengan pemahaman agama yang merupakan konsensus
dan pembakuan para ulama abad pertengahan, sehingga banyak aspek modernitas
19
yang dianggap “haram” dan ditolak mentah-mentah. Sikap ini sangat berbeda
dengan sikap kreatif para ulama pada abad-abad permulaan Islam, ketika
penafsiran tentang Al-Qur’an dan Sunnah Nabi belum disekat oleh rambu-rambu
mazhab. Berdasarkan perintah kitab suci agar para hamba Allah “gemar
menginventarisasi ide-ide, lalu mengikuti yang terbaik” (yastami`uuna l-qaula fa
yattabi`uuna ahsanah), umat Islam pada masa-masa awal dengan sikap tanpa
keraguan dan penuh percaya diri (sebab hegemoni politik di tangan mereka)
mengambil dan menyerap nilai-nilai yang dipandang baik dari peradaban-
peradaban purba di sekitar Mesopotamia dan Mediterrania, lalu menciptakan
Peradaban Islam (Islamic Civilization) selama berabad-abad yang penuh dengan
inovasi intelektual, eksperimen ilmiah, monumen yang artistik, dan karya literer
yang bermutu tinggi. Sikap broad-minded yang diperintahkan Al-Qur’an itu tidak
lagi dimiliki kaum Muslimin tatkala berhadapan dengan peradaban modern.
Maka pada akhir abad ke-19 bermunculan tokoh-tokoh pembaharu (mujaddid)
yang menyeru umat Islam agar mengambil peradaban modern yang menunjang
kemajuan, sebab modernisasi dalam arti yang benar, yaitu yang didasari
rasionalisasi dan teknikalisasi, tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam bahkan
justru diperintahkan oleh Al-Qur’an! Oleh karena para mujaddid ini bersikap
positif terhadap modernitas, mereka oleh para ahli sejarah dijuluki kelompok
modernis dan gerakan mereka disebut gerakan Modernisme Islam.
Pengalaman sejarah tersebut memperkuat keyakinan umat Islam bahwa
kemenangan dan kesuksesan itu akan terus dijamin oleh Allah selama mereka
berpegang teguh kepada ajaran agama. Jika umat Islam mengalami kekalahan atau
kemunduran, mereka segera ingat kepada firman suci bahwa “masa-masa
kejayaan dipergilirkan di antara manusia” (tilka l-ayyaamu nudawiluhaa baina n-
naas). Ketika roda sejarah sedang berputar ke bawah, di kalangan umat Islam
selalu bermunculan tokoh-tokoh yang mengumandangkan seruan “kembali kepada
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Nabi”.
Gerakan modernisme Islam pada abad ke-19 dipelopori oleh Sayyid
Jamaluddin al-Afghani (1839–1897). Meskipun lahir di Afghanistan, usianya
dihabiskan di berbagai bagian Dunia Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia
20
mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai Paris dan London. Di mana
pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa
mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam.
Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir,
Jamaluddin pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le
Lien Indissoluble), yang berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi pemimpin
redaksi, dan Jamaluddin menjadi redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret
1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat artikel-artikel dalam bahasa Arab,
Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu penuh dengan artikel-
artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari
belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan
Timur Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya,
majalah ini hanya sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada
bulan Oktober 1884. Hal ini disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang
majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu pemerintah Turki Usmani (yang kuatir
akan gagasan jumhuriyah atau republik yang diusulkan Jamaluddin) juga
melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-`Urwah al-Wutsqa
kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan beredar,
majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih
modernisasi di kalangan umat Islam.
Gagasan pembaharuan Jamaluddin dan Abduh menjadi lebih tersebar luas di
seluruh Dunia Islam, tatkala seorang murid Abduh yang bernama Muhammad
Rasyid Ridha (1865–1935) menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir. Nomor
pertamanya terbit 17 Maret 1898 (22 Syawwal 1315), dan beredar sampai tahun
1936. Majalah Al-Manar inilah yang secara kongkrit menjabarkan ide-ide
Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh, serta berpengaruh langsung
kepada gerakan modernisme Islam di Asia Tenggara pada awal abad ke-20.
Kemajuan sains dan teknologi mengantarkan umat manusia memasuki abad
ke-21 dengan segala persoalan yang multikompleks, seperti pencemaran
lingkungan, menipisnya sumber daya alam, ledakan jumlah penduduk,
21
kesenjangan sosial, serta pembauran kultural akibat canggihnya informasi dan
komunikasi. Semua ini memiliki dampak terhadap pemahaman agama oleh umat
manusia, termasuk umat Islam. Tidaklah dapat dihindari kemungkinan untuk
melakukan reinterpretasi (penafsiran ulang) terhadap pemahaman ajaran agama
yang selama ini dianggap baku.
Gerakan-gerakan modernisme Islam oleh beberapa pengamat dinilai telah
kehilangan semangat pembaharuannya, karena terlalu sibuk mengelola amal usaha
dan kegiatan rutin lainnya, sehingga kurang tanggap terhadap masalah-masalah
baru yang dihadapi umat Islam. Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan
tersebut, Muhammadiyah, Persatuan Islam, Al-Irsyad, dan gerakan sejenisnya
yang terlanjur dijuluki “kaum pembaharu” hendaknya lebih meningkatkan ijtihad
dalam merespons tantangan abad ke-21 yang makin rumit dan tidak terduga
arahnya.
2.3.2 Westernisasi dalam Islam
Lain halnya dengan pemikiran Westernisasi yaitu sebuah arus besar yang
mempunyai jangkauan politik sosial kultural dan teknologi. Arus ini bertujuan
mewarnai kehidupan bangsa-bangsa terutama kaum muslimin dengan gaya Barat.
Dengan cara menggusur kepribadian Muslim yang merdeka dan karakteristiknya
yang unik. Kemudian kaum muslimin dijadikan tawanan budaya yang meniru
secara total peradaban Barat. Sekarang kebudayaan bangsa Indonesia sudah
meniru kebarat-baratan. Usaha mereka telah berhasil. Apalagi ditunjang dengan
tampilnya acara-acara TV yang terlalu berkiblat pada peradaban Barat. Kini jati
diri kepribadian Muslim hanya tampak pada sebagian kecil ummat. Bangga
dengan kebiasaan dan adat orang-orang kafir sementara dengan adatnya sendiri
merasa risih dan malu sudah nampak jelas di sebagian kalangan ummat Islam.
a. Indikasi adanya Westernisasi
Rasulullah SAW bersabda “Kamu pasti akan mengikuti tradisi orang sebelum
kamu sejengkal demi sejengkal atau sehasta demi sehasta. Sehingga jika mereka
masuk ke lubang biawak sekalipun kamu akan ikut masuk pula.”
22
Ibnu Khaldun berkata “Orang kalah selalu erkeinginan mengikuti yang
menang dalam segala hal; dalam berpakaian berperilaku dan adat kebiasaannya.”
Seorang orientalis Inggris H.A.R.Gibb dalam bukunya Wither Islam berkata
“Di antara fenomena penting politik westernisasi di dunia Islam ialah tumbuhnya
perhatian membangkitkan kembali peradaban-peradaban klasik.”
Konferensi Baltimore tahun 1942. Dalam konferensi ini direkomendasikan
supaya digalakkan pengkajian Islam dan mengintodusir gerakan-gerakan rahasia
ke dalam tubuh ummat.
Tahun 1947 di Universitas Princeton Amerika Serikat diadakan konferensi
yang bertujuan melakukan pengkajian terhadap masalah-masalah kultural dan
sosial di Timur Dekat. Hasil konferensi diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Terjemahan ini menduduki urutan ke 116 dari proyek pengadaan 1000 buah buku
di Mesir. Dalam konferensi ini hadir antara lain T. Cuyler Young Habib Kurani
Abdul Haq Edward dan Louis Thomas.
Konferensi tentang kebudayaan Islam dan kehidupan modern di universitas
Princeton pada musim panas tahun 1953 M. hadir dalam konferensi ini para
pemikir seperti Mill Broze Harold Smith Raphael Patai Harrold Allen John
Croswell Syaikh Mushthafa Zarqa Kenneth Cragg Isytiyaq Hussein dan Fazlur
Rahman dari India.
Konferensi ke III direncanakan di Lahore Pakistan tahun 1955 tetapi gagal.
Rencananya akan mengikutsertakan pakar-pakar dan peneliti Muslim serta para
orientalis dalam mengarahkan kajian-kajian tentang Islam.
Tahun 1953 diselenggarakan konferensi gabungan Islam - Kristen di Beirut
Lebanon. Kemudian di Iskandariyah lalu berturut-turut diselenggarakan di Roma
dan negara-negara lain berupa pertemuan dan seminar-seminar dengan maksud
yang sama.
b. Buku-Buku tentang Westernisasi yang Berbahaya
Islam Modern History karangan W.C. Smith derektur Institute of Islamic
Studies dan guru besar ilmu perbandingan agama pada Mc. Gill Unversity
Kanada. Ia meraih gelar doktor dari Princeton University tahun 1948 di bawah
23
bimbingan orientalis terkenal H.A.R. Gibb. Ia pernah menjadi mahasiswanya
ketika Smith belajar di Cambridge University. Buku ini menyerukan liberalisme
sekulerisme dan pemisahan antara agama dan negara.
Wither Islam karangan H.A.R. Gibb yang diterbitkan di Libanon pada tahun
1932. Buku ini disusun bersama sejumlah orang-orang orientalis. Isinya berupa
kajian penting tentang sebab-sebab terhambatnya proses westernisasi cara
mengembangkan dan mamajukannya.
Protokolat hakim-hakim zionisme yang muncul di seluruh dunia tahun 1902 M.
buku ini pernah dilarang masuk ke Timur Tengah dan dunia Islam sampai kira-
kira tahun 1952 M yakni beberapa tahun setelah berdirinya negara Israel di
jantung dunia Arab dan Islam. Dapat dipastikan pelarangannya itu berkaitan erat
dengan pengkhidmatan Yahudi terhadap gerakan westernisasi secara umum.
Buku-buku yang berisi gambaran tentang figur-figur sebagai tokoh Islam
dalam bentuk usang cabul dan palsu seperti gambaran dalam buku Seribu Satu
Malam Harun al-Rasyid kisah yang ditulis Jurji Zaidan. Demikian pula buku-buku
yang bersandar pada mithologi klasik yang diramu ke dalam sejarah Islam seperti
buku ‘Ala Hamisi al-Sirah oleh Thaha Husein dan buku buku yang mengingkari
kenabian dan wahyu seperti buku Muhammad Rasulu al-Hurriyah oleh Syarqawi.
c. Penyebaran dan Kawasan Pengaruhnya
Gerakan westernisasi telah mampu merembes hampir di tiap negara di dunia
Islam dan negara-negara Timur. Dengan diam-diam masyarakatnya terseret ke
dalam peradaban Barat yang materialistik dan modern. Akibatnya mereka terikat
oleh roda peradaban Barat. Pengaruh westernisasi ini berbeda-beda antara satu
negara dengan negara lain. Hal itu tampak jelas di Mesir Iraq Palestina Suriah
Yordania Turki Indonesia dan Marokko. Gerakan ini merembes ke seluruh dunia
Islam. Akibatnya tidak ada satu negeri muslim atau negeri Timur yang tidak
dirembesi oleh gerakan ini. Al-Islam Pusat Komunikasi dan Informasi Islam
Indonesia
d. Sikap Berkaitan Dengan Westernisasi Dan Modernisasi
24
Dalam mempelajari mengenai modernisasi dan westernisasi perlu di pahami
ayat yang terdapat dalam al-qur’an, dimana terkandung penegasan bahwa kaum
Muslimin merupakan “kelompok terbaik di antara manusia” (khaira ummatin
ukhrijat li n-naas), dan agama Islam diturunkan Allah “untuk diunggulkan-Nya di
atas semua agama” (li yuzh-hirahuu `ala d-diini kullih).
Intinya adalah tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadist namun
dapat mengintegrasikannya dengan perkembangan zaman, sehingga tercipta insan
yang beriman dan berilmu sebagaimana firma Allah dalam Al-Mujaadilah yaitu:
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-
lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. Al-Mujaadilah 58:11)
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
Pembaruan Islam merupakan suatu yang sebaiknya dilakukan karena ajaran
Islam yang rahmah li al’alamin serta sebagai agama “pamungkas” menuntut
25
adanya upaya rasionalisasi dan konteks-tualisasi sesuai dengan semangat jaman.
Hal itu karena pada hakikatnya pembaruan Islam merupakan ikhtiar melakukan
rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam segala ranah kehidupan.
Kemajuan sains dan teknologi mengantarkan umat manusia memasuki abad
ke-21 dengan segala persoalan yang multikompleks, Semua ini memiliki
dampak terhadap pemahaman agama oleh umat manusia, termasuk umat Islam.
Sehingga di perlukan pengintegrasian antar ilmu dan teknologi yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist
3.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan ialah
1. Sebaiknya masyarakat muslim lebih memperhatikan mengenai
pembaharuan dalam Islam secara baik dan benar
2. Masalah pembaharuan dalam Islam hendaknya dikaji lebih mendalam
dan up to date agar tidak terjadi mis-consept
3. Hendaknya kaum muslim memasang filter-filter dalam mengkaji
konsep pembaharuan Islam agar tidak terhanyut sehingga dapat dapat
menjadi insan yang beriman dan bertakwa
DAFTAR PUSTAKA
Dasuki Hafizh. 1989. Al-Qur’an terjemahan. Jakarta: TB. Lubuk Agung
Shabir Muslich. 1981. Riyadhlus Shalihin. Jakarta: CV. Toha Putra
Semarang
26
Ernest Gellner. 1984.Muslim Society Cambridge: Cambridge University
Press
John O. Voll, “Pembaharuan dan Perubahan dalam Sejarah Islam: Tajdid
dan Islah”, dalam John L. Esposito (ed.), Dinamika Kebangunan Islam: Watak,
Proses, dan Tantangan, terj. Bakri Siregar (Jakarta: Rajawali Press, 1987
Achmad Jainuri, “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam
Jurnal
Taqi al-Din Ahmad Ibn Taimiyah (1263-1326), adalah pemikir dan penulis
terbesar di masanya. Ia menjadi guru besar mazhab Hanbali di Universitas
Damaskus. Lihat H.A.R. Gibb, Mohammedanism, hal. 162; S. F. Mahmud, The
Story of Islam (London & Decca: Oxford University Press, 1960)
M. Amin Rais, “Kata Pengantar”, dalam John J. Donohue dan John L.
Esposito (eds.), Islam dan Pembaharuan: Ensiklopedi Masalah-Masalah, terj.
Machnun Husein (Jakarta: Rajawali Press, 1993), hal. ix.
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam (Cairo: The Arab Writer
Publisher & Printers, t.t.), hal. 3.
Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan
dalam Dunia Islam. Jakarta: Rajawali, 1998.
Mahmud, S.F. The Story of Islam. London & Decca: Oxford University
Press, 1960.