kromatografi kolom

34
3.3.1 Fraksinasi dengan Metode Kromatografi Kolom Lambat a.Pembuatan Fase Gerak CHCl 3 : MeOH (9 : 1 v/v) Sebanyak 5 mL Untuk Penyiapan Fraksi b.Pembuatan Fase Gerak CHCl 3 : MeOH (9 : 1 v/v) Sebanyak 50 mL Untuk Penyiapan Kolom c. Pembuatan Gradien Eluen Untuk Eluasi

description

fitokimia

Transcript of kromatografi kolom

3.3.1 Fraksinasi dengan Metode Kromatografi Kolom Lambata. Pembuatan Fase Gerak CHCl3 : MeOH (9 : 1 v/v) Sebanyak 5 mL Untuk Penyiapan Fraksi

b. Pembuatan Fase Gerak CHCl3 : MeOH (9 : 1 v/v) Sebanyak 50 mL Untuk Penyiapan Kolom

c. Pembuatan Gradien Eluen Untuk Eluasi

d. Penyiapan Fraksi

e. Penyiapan Kolom

f. Eluasi

3.3.6 KLT Hasil Fraksi dan Identifikasi dengan Pereaksia. Pembuatan Fase Gerak CHCl3 : MeOH (9 : 1 v/v) sebanyak 10 mL

b. Pembuatan Pereaksi Semprot H2SO4 10%

c. Penyiapan Plat KLT Al Silika Gel GF254

d. Penjenuhan Chamber

e. Analisis dengan KLT

4.1 Fraksinasi dengan Metode Kromatografi Kolom LambatTabel 4.5.1 Pemisahan dengan Kromatografi Kolom LambatNo.DataJumlah

1. Berat botol vial kosong9,6685 g

2.Berat botol vial + fraksi etil asetat II9,8762 g

3.Fraksi etil asetat II0,2077 g

4.Diameter kolom2 cm

5.Tinggi kolom10 cm

Tabel 4.5.2 Hasil Fraksinasi Kromatografi Kolom LambatNo.Data FraksiWarnaIntensitas

1.Fraksi 1Kuning+

2.Fraksi 2Bening-

3.Fraksi 3Bening keruh+

4.Fraksi 4Bening+

5.Fraksi 5Keruh+

6.Fraksi 6Putih Keruh++++

7.Fraksi 7Putih Keruh+++

8.Fraksi 8Bening-

9.Fraksi 9Kuning+

10.Fraksi 10Bening-

11.Fraksi 11Kuning+

12.Fraksi 12Kuning+

13.Fraksi 13Bening-

14.Fraksi 14Bening-

15.Fraksi 15Kuning+

16.Fraksi 16Kuning++

17.Fraksi 17Kuning+

18.Fraksi 18Bening+

a. Perhitungan Pembuatan fase gerak CHCl3 : Metanol (9 : 1 v/v) sebanyak 5 mL untuk penyiapan fraksiVolume CHCl3= Volume MeOH=

Pembuatan fase gerak CHCl3 : Metanol (9 : 1 v/v) sebanyak 50 mL untuk penyiapan kolomVolume CHCl3= Volume MeOH=

Pembuatan pelarut gradien campuran CHCl3 : MeOH (9 : 1 v/v 5 : 5 v/v) masing-masing sebanyak 20 mL untuk eluasi. Perbandingan yang dibuat 9 : 1 v/v; 8 : 2 v/v; 7 : 3 v/v; 6 : 4 v/v; 5 : 5 v/v. CHCl3 : MeOH (9 : 1 v/v)Volume CHCl3= Volume MeOH= CHCl3 : MeOH (8 : 2 v/v)Volume CHCl3= Volume MeOH= CHCl3 : MeOH (7 : 3 v/v)Volume CHCl3= Volume MeOH= CHCl3 : MeOH (6 : 4 v/v)Volume CHCl3= Volume MeOH= CHCl3 : MeOH (5 : 5 v/v)Volume CHCl3= Volume MeOH=

4.2 KLT Hasil Fraksi dan Identifikasi dengan PereaksiTabel 4.6.1 Harga Rf di UV 254 nm dan UV 366 nm sebelum disemprot H2SO4 10%TotolanRf(UV 254nm)WarnaRf(UV 366 nm)Warna

I(standar)Spot 1 = 0,25

BiruSpot 1 = 0,26

Biru

II(Fraksi metanol)Spot 1 = 0,21

BiruSpot 1 = 0,24Spot 2 = 0,47BiruBiru

III(Fraksi Etil Asetat II)Spot 1 = 0,26

Biru pudarSpot 1 = 0,24Spot 2 = 0,39Spot 3= 0,45BiruBiruBiru

IV(Fraksi 1)Spot 1 = 0,24Biru pudarSpot 1 = 0,26Spot 2 = 0,39Spot 3= 0,45BiruBiruBiru

V(Fraksi 2)Spot 1=0,22-Spot 1 = 0,21Biru

VI(Fraksi 8)--Spot 1 = 0,08Spot 2 = 0,26BiruBiru

VII(Fraksi 9)Spot1 = 0,11

BiruSpot1 = 0,08Spot 2 = 0,24BiruBiru

VIII(Fraksi 12)-- Spot 1 = 0,05Spot 2 = 0,26Spot 3 = 0,86BiruBiru Biru

IX(Fraksi 14)----

X(Fraksi 15)----

XI(Fraksi 17----

Tabel 4.6.2 Harga Rf di UV 254 nm dan UV 366 nm setelah disemprot H2SO4 10%TotolanRf(UV 254nm)WarnaRf(UV 366 nm)Warna

I(standar)Spot 1 = 0,24

BiruSpot 1 = 0,32

Biru

II(Fraksi metanol)BiruSpot 1 = 0,18Spot 2= 0,47

Biru

III(Fraksi Etil Asetat II)Spot 1 = 0,18

BiruSpot 1 = 0,18Spot 2= 0,45

Biru

IV(Fraksi 1)Spot 1 = 0,18BiruSpot 1 = 0,24Spot 2=0,47BiruBiru

V(Fraksi 2)Spot 1 = 0,21Biru

Spot 1 = 0,24Biru

VI(Fraksi 8)Spot 1 = 0,02Biru

Spot 1 = 0,11Spot 2 = 0,29BiruBiru

VII(Fraksi 9)Spot1 = 0,11Spot 2 = 0,25BiruBiruSpot1 = 0,11Spot 2 = 0,26BiruBiru

VIII(Fraksi 12)Spot 1 = 0,13

Biru

Spot 1 = 0,08Spot 2 = 0,26Spot 3 = 0,81BiruBiru kehijauanBiru

IX(Fraksi 14)Spot 1= 0,25Biru--

X(Fraksi 15)----

XI(Fraksi 17----

a. Pengamatan pada UV254 dan U366

Gambar 10. Plat KLT di bawah UV 254 nm sebelum disemprot H2SO4 10%.Gambar 9. Kalkir plat KLT di bawah UV 254 nm sebelum disemprot H2SO4 10%.

Gambar 12. Plat KLT di bawah UV 254 nm setelah disemprot H2SO4 10%.Gambar 11. Kalkir plat KLT di bawah UV 254 nm setelah disemprot H2SO4 10%.

Gambar 14. Plat KLT di bawah UV 366 nm sebelum disemprot H2SO4 10%.Gambar 13. Kalkir plat KLT di bawah UV 366 nm sebelum disemprot H2SO4 10%.

Gambar 16. Plat KLT di bawah UV 366 nm setelah disemprot H2SO4 10%.Gambar 15. Kalkir plat KLT di bawah UV 366 nm setelah disemprot H2SO4 10%.

b. Perhitungan Pembuatan fase gerak CHCl3 Metanol (9 : 1 v/v ) sebanyak 10 mLDiketahui:Perbandingan CHCl3-Metanol= 9 : 1 v/vVolume fase gerak yang dibuat= 10 mLDitanya:Volume CHCl3 = ?Volume MeOH = ?Jawab:Volume CHCl3= Volume MeOH=

Pembuatan Pereaksi Semprot H2SO4 10%Diketahui :Konsentrasi larutan H2SO4 stok (C1) = 96 %Konsentrasi larutan H2SO4 yang dibuat (C2) = 10 %Volume pereaksi semprot yang dibuat (V2) = 10 mLBM H2SO4 = 98,08 g / molBJ= 1,84 g / ml pada suhu 200CDitanya : Volume yang diambil dari larutan stock (V1) ? Jawab : Konsentrasi larutan stock H2SO4 96 % :Massa = % ( v x BJ ) = 96% ( 100 ml x 1,84 g / mol ) = 176,64 gram

= 1,801 mol

Konsentrasi pereaksi semprot H2SO4 10 % :Massa = % ( v x BJ ) = 10% ( 10 mL x 1,84 g / mol ) = 1,84 gram

= 0,01876 mol

Pembuatan H2SO4 10 % dan H2SO4 96 % :M1 x V1 = M2 x V218,01 M x V1 = 1,876 M x 10 mL

V1 = V1 = 1,042 mL

Perhitungan Harga Rf di UV 254 nm dan UV 366 nm sebelum disemprot H2SO4 10%. Perhitungan Rf UV 254 nm1. Fraksi kinin standar (penotolan I)Spot 1 = = 0,252. Fraksi metanol (penotolan II)Spot 1 = 3. Fraksi etil asetat II (penotolan III)Spot 1 = 64. Fraksi 1 (penotolan IV)Spot 1 = 5. Fraksi 2 (penotolan VI)Spot 1 = 6. Fraksi 9 (penotolan VIII)Spot 1 = Perhitungan Rf UV 366 nm1. Fraksi kinin standar (penotolan I)Spot 1 = = 0,262. Fraksi metanol (penotolan II)Spot 1 = Spot 2 = 3. Fraksi etil asetat II (penotolan III)Spot 1 = Spot 2 = Spot 3 = 4. Fraksi 1 (penotolan IV)Spot 1 = Spot 2 = Spot 3 = 5. Fraksi 2 (penotolan V)Spot 1 = 6. Fraksi 8 (penotolan VI)Spot 1 = Spot 2 = 7. Fraksi 9 (penotolan VII)Spot 1 = Spot 2 = 8. Fraksi 12 (penotolan VIII)Spot 1 = Spot 2 =

Perhitungan Harga Rf di UV 254 nm dan UV 366 nm setelah disemprot H2SO4 10%. Perhitungan Rf UV 254 nm1. Fraksi kinin standar (penotolan I)Spot 1 = = 0,242. Fraksi etil asetat II (penotolan III)Spot 1 = 3. Fraksi 1 (penotolan IV)Spot 1 = 4. Fraksi 2 (penotolan V)Spot 1 = 5. Fraksi 8 (penotolan VI)Spot 1 = 6. Fraksi 9 (penotolan VII)Spot 1 = Spot 2 = 7. Fraksi 12 (penotolan VIII)Spot 1 = 8. Fraksi 14 (penotolan IX)Spot 1=

Perhitungan Rf UV 366 nm1. Fraksi kinin standar (penotolan I)Spot 1 = = 0,322. Fraksi metanol (penotolan II)Spot 1 = Spot 2 = 3. Fraksi etil asetat II (penotolan III)Spot 1 = Spot 2 = 4. Fraksi 1 (penotolan IV)Spot 1 = Spot 3 = 5. Fraksi 2 (penotolan V)Spot 1 = 6. Fraksi 8 (penotolan VI)Spot 1 = Spot 2 = 7. Fraksi 9 (penotolan VII)Spot 1 = Spot 2 = 8. Fraksi 12 (penotolan VIII)Spot 1 = Spot 2 =

5.1 Fraksinasi dengan Metode Kromatografi Kolom LambatPada praktikum ini dilakukan pemisahan ekstrak etil asetat II yang dengan kromatografi kolom lambat. Kromatografi kolom lambat merupakan metode pemisahan preparatif. Metode kromatografi ini memungkinkan untuk melakukan pemisahan satu sampel yang berupa campuran dengan berat beberapa gram (Kristanti dkk., 2008). Prinsip kromatografi kolom adalah suatu teknik pemisahan yang didasarkan pada peristiwa adsorpsi. Sampel yang biasanya berupa larutan pekat diletakkan pada ujung atas kolom. Eluen atau pelarut dialirkan secara kontinu ke dalam kolom. Dengan adanya gravitasi atau karena bantuan tekanan, maka eluen atau pelarut akan melewati kolom dan proses pemisahan akan terjadi (Kristanti dkk., 2008). Pada kromatografi kolom lambat, aliran eluen hanya disebabkan oleh gravitasi. Fraksi etil asetat II yang dipisahkan diuapkan terlebih dahulu hingga diperoleh ekstrak kental. Ekstrak kental ini kemudian direkonstitusi dengan beberapa tetes fase gerak kloroform : metanol (9 : 1 v/v) sampai larut dan diusahakan dibuat sepekat mungkin. Fase diam yang digunakan dalam kromatografi kolom lambat ini adalah silika gel. Kolom yang digunakan memiliki tinggi 10 cm dan diameter 1 cm. Pembuatan kolom dilakukan dengan cara basah karena pada umumnya cara basah lebih sering digunakan untuk pembuatan kolom silika gel, sedangkan cara kering digunakan untuk pembuatan kolom alumina (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Selain itu, pembuatan dengan cara basah juga bertujuan agar kolom yang terbentuk lebih kompak karena adsorben telah dibuat dalam bentuk bubur sehingga diharapkan terjadi pemisahan yang optimal. Bagian bawah kolom diisi dengan glass wool untuk menahan adsorben (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Glass wool ini berfungsi mencegah fase diam melewati kran yang dapat menyumbat kran saat dilakukan pengelusian. Silika gel yang digunakan sebagai adsorben sebanyak 4,21 gram. Pembuatan dengan cara basah juga bertujuan supaya kolom yang terbentuk lebih kompak karena adsorben telah dibuat menjadi bubur terlebih dahulu sehingga diharapkan terjadi pemisahan yang optimal. Bagian bawah kolom diisi dengan glass wool untuk menahan adsorben (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Glass wool ini berfungsi mencegah fase diam melewati kran yang dapat menyumbat kran saat dilakukan pengelusian. Silika gel ini dibuat bubur dengan cara dilarutkan dengan kloroform. Digunakan pelarut kloroform untuk memberikan pelarut yang cenderung non-polar. Dengan adanya pelarut non-polar, pengotor-pengotor non-polar yang melekat pada silika gel akan dialirkan bersama aliran eluen. Bubur yang telah terbentuk dimasukkan sedikit demi sedikit secara kontinyu ke dalam kolom yang telah diisi kloroform setinggi 10 cm melalui dinding kolom dan diusahakan tidak terbentuk gelembung udara. Apabila terbentuk gelembung udara, kolom yang dihasilkan tidak kompak dan dapat menyebabkan kolom menjadi pecah sehingga proses pemisahan tidak optimum. Gelembung yang terbentuk dapat diatasi dengan mengetuk dinding kolom secara perlahan. Setiap memasukan bubur silika ke dalam kolom, dinding kolom diketuk-ketukkan agar lapisan adsorben yang terbentuk benar-benar mampat (tidak ada gelembung udara). Selain itu, pada saat penuangan bubur silika, bubur silika diaduk dan ditambahkan kloroform secara kontinyu untuk menghindari keringnya silika. Silika yang menempel pada dinding kolom harus segera dibilas dengan eluen untuk menghindari mengerasnya silika pada dinding kolom.Kolom yang baik adalah kolom yang adsorbennya kompak dan tidak terdapat gelembung udara didalamnya karena gelembung udara dan celah pada adsorben mengakibatkan kolom akan pecah dan dapat mengganggu proses pemisahan. Saat pengisian bubur silika gel ke dalam kolom, kran dibuka untuk mengalirkan eluen dengan kecepatan tertentu dan dijaga supaya silika tidak kering dan terbasahi oleh eluen. Setelah semua bubur dimasukkan ke dalam kolom, pada bagian atas silika diberi eluen kira-kira setinggi 5 cm kemudian ditutup dengan plastik ikan dan aluminium foil untuk mencegah keringnya silika selama penyimpanan. Kolom yang telah dibuat didiamkan selama satu malam bertujuan agar kolom yang terbentuk lebih kompak dan proses pemampatan fase diam menjadi lebih sempurna dan selama didiamkan harus terdapat sejumlah tertentu fase gerak di bagian atas kolom untuk mencegah kering dan rusaknya kolom. Pecahnya kolom atau fase diam yang mengering dapat mengganggu proses pemisahan, sehingga pemisahannya tidak maksimal. Selain itu, kolom harus dalam keadaan tertutup rapat agar tidak memungkinkan udara untuk masuk (Kristanti dkk., 2008).Kolom yang telah didiamkan selama semalam diekuilibrasi dengan 50 mL fase gerak kloroform : metanol (9 : 1 v/v) sebelum diisi sampel yang akan dipisahkan. Hal ini dilakukan agar kolom lebih kompak dan menghilangkan kloroform yang ada di dalam kolom yang sebelumnya digunakan sebagai eluen pembuatan kolom. Pemisahan dengan kromatografi kolom dilakukan dengan meletakkan campuran yang akan dipisahkan pada bagian atas kolom adsorben yang berada dalam suatu tabung. Pelarut karena gaya berat dibiarkan mengalir melalui kolom membawa serta pita linarut yang bergerak dengan kecepatan berbeda. Linarut yang telah terpisah dikumpulkan berupa fraksi yang keluar dari bagian bawah kolom (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Pengisian cuplikan dilakukan dengan memasukkan cuplikan ke dalam kolom dengan bantuan pipet secara hati-hati melalui dinding kolom agar tidak merusak kolom yang telah dibuat. Sampel yang menempel pada dinding kolom dibilas dengan menggunakan eluen kloroform : metanol (9 : 1 v/v). Elusi dilakukan dengan mengalirkan pelarut gradien kloroform : methanol berturut- turut dengan perbandingan 9 : 1 v/v; 8 : 2 v/v; 7 : 3 v/v; 6 : 4 v/v; dan 5 : 5 v/v masing masing sebanyak 20 mL. Alasan digunakannya pelarut gradien adalah dengan pengelusian dengan pelarut gradien dapat mengelusi semua komponen yang ada dalam sampel. Eluat yang keluar dari kolom diatur kecepatannya agar konstan. Eluat yang keluar ditampung setiap 5 mL pada botol vial yang telah ditera. Kecepatan elusi tidak boleh terlalu cepat sehingga senyawa berada dalam keseimbangan antara fase diam dan fase gerak, sebaliknya jika kecepatan elusi ini terlalu kecil, maka senyawa-senyawa akan terdifusi ke dalam eluen dan akan menyebabkan pita makin lama makin lebar yang akibatnya pemisahan tidak dapat berlangsung dengan baik kecepatan elusi yang besar dapat dilakukan jika yang akan dipisahkan adalah campuran senyawa yang memiliki kepolaran yang sangat berbeda (Kristanti dkk., 2008). Pemisahan dengan kolom kromatografi ini menghasilkan 18 fraksi yang memiliki warna yang berbeda beda pada setiap fraksinya. Fraksi bening adalah pada fraksi 2,4,8,10,13,14, dan 20. Sedangkan fraksi 5 sampai 7 warnanya keruh dengan intensitas yang berbeda. Warna kuning dihasilkan oleh fraksi 1,9,11,12,15,16, dan 17 intensitas yang berbeda-beda. Fraksi yang memiliki profil (warna) sama digabung untuk dilakukan analisis lebih lanjut dengan kromatografi lapis tipis.

5.2 KLT Hasil Fraksi dan Identifikasi dengan PereaksiSetelah dilakukan pemurnian dengan kromatografi kolom, maka fraksi-fraksi yang dihasilkan diidentifikasi lebih lanjut dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT). Identifikasi pada KLT dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya alkaloid kinin pada fraksi hasil pemisahan pada kromatografi kolom. Prinsip dari Kromatografi Lapis Tipis berdasarkan perbedaan afinitas senyawa-senyawa yang sedang dianalisis terhadap dua fase yaitu fase diam dan fase gerak (Kristanti dkk., 2008). Metode ini digunakan karena dapat mengidentifikasi lebih cepat dan prosesnya sederhana. Pada praktikum ini, fase diam yang digunakan yaitu silika gel yang bersifat polar. Hal ini mengakibatkan senyawa-senyawa yang bersifat polar akan cepat tertambat sehingga harga Rf yang diperoleh kecil. Sebaliknya senyawa yang bersifat non polar akan tertambat jauh dari tempat penotolan dan mempunyai harga Rf besar.Fraksi yang memiliki profil yang sama hasil kromatografi kolom diuapkan hingga menjadi ekstrak kentalnya. Selain fraksi tersebut, ditotolkan pula standar kinin sulfat dan fraksi metanol. Fraksi yang telah diuapkan, direkonstitusi dengan menambahkan beberapa tetes metanol dan larutan dibuat sepekat mungkin. Penambahan metanol bertujuan untuk menarik kembali alkaloid kinin yang akan diidentifikasi pada fraksi. Selanjutnya dilakukan analisis dengan KLT menggunakan fase diam (Aluminium silika gel GF254) dengan tinggi 5 cm serta lebar 9,4 cm dan fase gerak (campuran CHCl3 : MeOH dengan perbandingan 9 : 1 v/v). Pemisahan fraksi dengan kromatografi lapis tipis pada praktikum ini menerapkan sistem TC yakni mengunakan fase diam polar berupa silika dengan fase gerak berupa kloroform : metanol dengan perbandingan 9 : 1 v/v (Moffat et al., 2005). Penggunaan kombinasi dua pelarut ini akan memberikan hasil pemisahan yang lebih baik dibandingkan dengan pelarut tunggal (Gandjar dan Rahman, 2007).Chamber dijenuhkan dengan 5 ml fase gerak kloroform : metanol (9 : 1 v/v) untuk mengoptimalkan proses pengembangan fase gerak dan membuat tekanan di dalam chamber merata sehingga proses eluasi dapat berjalan serempak dan kompak. Penambahan kertas saring pada saat penjenuhan chamber dilakukan agar penguapan yang terjadi dalam chamber merata sehingga udara di dalam chamber tetap jenuh oleh pelarut (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Selama proses penjenuhan, chamber ditutup dengan baik, dan dijaga pelarut. Kondisi jenuh dalam chamber dengan uap pelarut mencegah penguapan pelarut (Moffat et al, 2005). Pada saat menunggu chamber jenuh dilakukan penotlan fraksi pada fase diam. Pada plat silika gel GF254 ditotolkan standar kinin, fraksi etil asetat II dan fraksi methanol, fraksi 1,2,8,9,12,14,15, dan 17. Proses penotolan harus dilakukan dengan hati-hati agar diperoleh ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin karena jika bercak yang digunakan terlalu besar maka dapat menurunkan resolusi. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih besar dari 2-10 l maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan pengeringan antar totolan (Sudjadi, 2007). Penotolan fraksi metanol bertujuan sebagai pembanding setelah dilakukannya pemurnian. Plat yang telah ditotolkan selanjutnya dielusi pada chamber yang telah dijenuhkan. Plat kemudian diangkat dan dikeringkan kemudian diamati dibawah sinar UV 254 nm dan 366 nm. Plat KLT selanjutnya disemprot dengan pereaksi semprot yaitu H2SO4 10%. Kemudian dideteksi lagi dibawah sinar UV 366 nm. Penyemprotan ini bertujuan untuk mengintensifkan warna fluoresensi biru muda dari alkaloid kinin saat diamati kembali pada sinar UV 366 nm. Setelah dikeringkan plat diamati kembali dan diperoleh hasil dengan pendaran warna yang lebih intensif. Hasil positif adanya kinin adalah timbulnya fluoresensi biru di bawah sinar UV (Moffat et al, 2005).Setelah diamati di bawah UV 254 nm, pada spot 2 fraksi 11 dan fraksi 2 terjadi pemadapan fluoresensi, sedangkan spot pada fraksi yang lain tidak terjadi fluoresensi dimana warna spot adalah biru pudar. Untuk fraksi metanol menunjukkan spot 1 dengan warna spot biru pudar. Sedangkan pada fraksi etil asetat II spot 1 menunjukkan warna biru. Pada UV 366 nm, spot 3 pada fraksi etil asetat II dan spot 2 dan 3 pada fraksi 2 menunjukkan warna biru kehijauan. Sedangkan spot pada fraksi yang lain tampak berwarna biru. Sedangkan pada fraksi ekstrak metanol muncul 2 spot dengan urutan warna biru. Berdasarkan pustaka, alkaloid kinin yang dideteksi dibawah sinar UV 366 nm akan menghasilkan fluoresensi berwarna biru (Sherma et al., 2008; Wagner and Bladt, 2009). Pada hasil pengamatan ini, dimana sebelum dan sesudah penyemprotan terjadi pemunculan spot dengan fluoresensi biru pada setiap fraksi dengan rentang Rf antara 0,05-0,5. Nilai Rf yang baik pada suatu kromatografi lapis tipis adalah Rf yang memasuki rentang antara 0,2 - 0,8, dimana dalam praktikum ini diperoleh 12 spot dengan nilai Rf yang tidak memenuhi rentang 0,2 - 0,8 (Kusmardiyani dan Nawawi, 1992). Selanjutnya dilakukan penggabungan sampel dengan profil yang sama, dimana hasil penggabungan ini diperoleh 2 fraksi yakni yang terdiri dari fraksi 11 dan fraksi 12. Selain itu, berdasarkan acuan pada pustaka kedua fraksi ini dapat diduga mengandung alkaloid kinin didalamnya karena menghasilkan fluoresensi biru saat diamati dibawah sinar UV 366 nm dan semakin intensif dengan adanya penyemprotan pereaksi asam sulfat 10% b/v. Fraksi ini kemudian akan digabung kembali untuk selanjutnya diisolasi dengan KLT preparatif.

PRIMA KARNA AKU GATAU GAMBAR PLATNYA JADI PEMBAHASANNYA AGAK