KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA -...

14

Transcript of KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA -...

Page 1: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,
Page 2: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA

Memotret Dunia

Membangun Peradaban

Tim Penulis Antologi

Editor:

Halid

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I i

Page 3: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Kontribusi FAH untuk Bangsa

MEMOTRET DUNIA MEMBANGUN PERADABAN

Tim Penyusun Antologi FAH

Dr. Halid, M.Ag. (Ketua)

Minatur Rokhim, M.A. (Sekretaris)

Moh. Supardi, M.Hum. (Anggota) Dr. Zakiya Darojat, MA. (Anggota)

M. Agus Suriadi, M.Hum. (Anggota)

Dr. M. Adib Misbachul Islam, M.Hum. (Anggota)

Dr. Ita Rodiah, M.Hum. (Anggota) Akhmad Zakky, M.Hum. (Anggota)

Penyunting dan Layout

Ahmadi Sahmi Sitompul

Akhmad Yusuf, S.Hum.

Desain Cover

Ucup Tepong

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang

All Rights Reserved

Cetakan 1, Juni 2018

ISBN: 978-602-790-814-7

Hak Cipta “Kontribusi FAH untuk Bangsa: Memotret Dunia Membangun Peradaban” milik Adabia Press

Diterbitkan oleh: Adabia Press

Fakultas Adab dan Humaniora (FAH)

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Jl. Tarumanegara, Pisangan, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten 15419 Telp. 021-22741771 / 021-7443329

Website: fah.uinjkt.ac.id / Email: [email protected]

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I ii

Page 4: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Kontribusi FAH untuk Bangsa

MEMOTRET DUNIA MEMBANGUN PERADABAN

DAFTAR ISI

PENGANTAR DEKAN FAH -» iii

Prof. Dr. Sukron Kamil DAFTAR ISI -» ix

BAGIAN PERTAMA

ASPIRASI DAN REFLEKSI

1. Penginterdisiplineran Studi Kebahasainggrisan -» 1 Abdurrosyid

2. Rusabesi: Geliat Intelektualisme Sastra di Luar Kampus -» 13 Akhmad Zakky

3. Program Studi Kebudayaan Islam Asia Timur Sebuah Keniscayaan -» 17 Darsita S 4. Menyoal Permenristekdikti No.20 Tahun 2017: Reward atau Punishmen…? - » 22

Frans Sayogie

5. Mengajar [Sejarah] Islam di Fakultas Adab: Refleksi Diri -» 29 Fuad Jabali

6. Kampus, Teknologi, dan Manajemen: Belajar Mengantisipasi Perubahan, Bukan Menghadapi Masalah -» 46 Halid

7. Pendaran Imajinatif via The Linguist Club: Quo Vadis Jurusan Sastra Inggris -» 56 Hilmi Akmal

8. Antara Dosen, Mahasiswa, dan Bahasa Inggris -» 61 Ida Rosida

9. Diskusi Dosen Sastra Inggris Menegangkan tapi Mengasyikkan -» 65 Inayatul Chusna

10. Hendak Ke Mana Adab…? Catatan Seorang Alumni -» 69 Jajang Jahroni

11. Kontribusi Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam dalam Penguatan Institusi FAH UIN Jakarta -» 73 M. Ma’ruf Misbah

12. Prodi Tarjamah Mengembangkan Inovasi, Menduniakan Prestasi -» 78 Moch. Syarif Hidayatullah

13. Gedung Baru Harapan Baru -» 83 Moh. Supardi

14. Dari Depok ke Depag: Romantika Belajar Ilmu Perpustakaan -» 89 Mukmin Suprayogi

15. Mengawal Teknologi: Peranan FAH UIN Jakarta dalam Memanusiakan Peradaban -» 97 Parhan Hidayat

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I iii

Page 5: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

16. Tata Krama Mahasiswa Dulu dan Kini -» 103 Pita Merdeka

17. Mewujudkan Pendidikan Ilmu Perpustakaan Bermutu di UIN Jakarta -» 108 Pungki Purnomo

18. Menata Manajemen Fakultas Yang Lebih Demokratis: Sebuah Otokritik -» 114 Saefudin

19. Urgensi Peningkatkan Kualitas Prodi di Tengah Keterbatasan -» 120 Saiful Umam

20. Integrasi Ilmu, Kontekstualisasi, dan “Mimpi” World Class University -» 126 Sukron Kamil

21. Membangun Wisdom Sebuah Perjalanan Fikri Yanmu dalam Menepis Mitos -» 138 Usep Abdul Matin

22. Kuasailah Bahasa, Dunia dalam Genggamanmu: Sebuah Refleksi Alumni Fakultas Adab dan Humaniora -» 144 Yaniah Wardani

23. ASN: Antara Profesi dan Pengabdian -» 152 Zubair

BAGIAN KEDUA

KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN

24. Beyond The Classroom: Menumbuhkan Studi Sejarah Islam di Luar Kelas -» 157 Amelia Fauzia

25. Saya, Mahasiswa, dan Sejarah -» 164 Awalia Rahma

26. Menakar Kurikulum Terintegrasi Keilmuan, Keislaman, dan Keindonesiaan Program Studi Bahasa dan Sastra Arab FAH UIN Jakarta -» 171 Cahya Buana

27. Kegagalan Pengajaran Bahasa Inggris -» 178 Duha Hadiansyah

28. Kepekaan Linguistik, Ujaran Kebencian, dan Komunikasi dalam Dakwah Islam -» 185 Irfan Abu Bakar

29. Perpustakaan Baru Harapan Baru -» 192 Lolytasari

30. Belajar Sastra Inggris: Memaksimalkan Perpustakaan sebagai Sumber Pembelajaran -» 199 Maria Ulfa

31. Bahasa dan Sastra Arab: Memperkuat Basis Keilmuan, Merespon Tantangan Dunia Kerja -» 206 Mugy Nugraha

32. Perpustakaan FAH: Perkembangan dan Kontribusinya dalam Mendukung Tridharma Perguruan Tinggi -» 213 Muhammad Azwar

33. Belajar Sambil Meneliti: Sebuah Refleksi Diri dalam Proses Pembelajaran di Program Studi Sastra Inggris -» 220

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I iv

Page 6: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I v

Muhammad Farkhan

34. Kebutuhan Bahan Ajar Bahasa Arab Berbasis Budaya Menggunakan Multimedia Bagi Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Timur Tengah -» 227 Nuruddin

35. FAH dan Ulama Betawi: Mencari Sinergi dalam Penguatan Kurikulum Lokal -» 234 Saidun Derani

36. ICT dalam Kehidupan Saya sebagai Dosen dan Penerjemah Profesional -» 241 Saifullah Kamalie

BAGIAN KETIGA

ALUMNI, KONTRIBUSI, DAN PROFESI

37. Misteri Dibalik 3 Persoalan Fakultas Adab dan Humaniora -» 248 Abdullah

38. Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Catatan Memoar Seorang Alumni -» 255 Abd. Wahid Hasyim

39. Perjumpaan Ide dan Aktivisme Memoar Seorang Alumni Fakultas Adab di Tengah Transisi IAIN Menuju UIN -» 262 Arief Rahman Hakim

40. Pergulatanku dalam Aktivitas Intra dan Ekstra Kurikuler (1974 – 1978 dan 1981 – 1982) -» 269 Budi Sulistiono

41. Perjalanan Menabur Ombak Kaligrafi -» 276 Didin Sirojuddin AR

42. Pustakawan Muslim Yang Lahir dari Rahim FAH UIN Jakarta -» 283 Fahma Rianti

43. Fakultas Adab: Mahasiswa, Alumni, dan Kontribusi -» 290 Hadiyan

44. FAH, Karier, dan Pergaulan Civitas Academica Dunia: Refleksi FAH Kekinian Menuju World Class University -» 297 Ita Rodiah

45. Jejak Langkah Dinamika Alumni dalam Pengembaraan Intelektualisme -» 304 Agus Suriadi

46. Cintaku Jatuh pada Prodi Bahasa dan Sastra Arab -» 311 Husni Tamrin

47. Program Studi Bahasa dan Sastra Arab FAH UIN Jakarta 1997-2018 -» 318 Minatur Rokhim

48. ‘Menjual’ Islam dan Humaniora: Refleksi Seorang Dosen Filologi -» 325 Oman Fathurahman

49. Masa Depan Itu Bernama Fakultas Adab -» 332 Setyadi Sulaiman

50. Adab Bertransformasi -» 339 Sudarnoto Abdul Hakim

51. Tersesat di Jalan Yang Benar: Sebuah Refleksi Diri -» 346 Zakiya Darojat

Page 7: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 157

24. BEYOND THE CLASSROOM Menumbuhkan Studi Sejarah Islam di Luar Kelas

Amelia Fauzia*

Prolog

Selepas subuh di awal Maret 2018, saya mengantar satu grup kecil terdiri dari mahasiswa dan alumni UIN Jakarta untuk berkeliling di kampus National University of Singapore (NUS), di Kent Ridge, Singapura. Kebetulan selama dua tahun setengah ini saya menjadi Visiting Senior Research Fellow di Divisi Religion and Globalisation, pada Asia Research Institute (ARI), salah satu pusat penelitian terkemuka untuk kajian mengenai Asia yang ada di bawah NUS. Cukup berat, karena selain dituntut melakukan riset, fieldwork yang serius serta menghasilkan publikasi internasional yang berkualitas tinggi, saya harus membagi waktu untuk tetap mengajar dan berkiprah di kampus UIN Jakarta. Status sebagai peneliti tamu di NUS ini saya manfaatkan untuk membantu menjadi jembatan bagi mahasiswa, dosen, serta lembaga di lingkungan UIN Jakarta untuk menambah wawasan, jaringan, serta pengalaman khususnya dari kampus yang pada tahun 2018 masuk jajaran World Class University pada posisi 15 (menurut versi QS

Global World Ranking) atau posisi 22 (menurut versi THE World University Ranking).ヱ Sambil berkeliling, saya bercerita dan memberi konteks terhadap hal-hal yg dirasa beda atau baru dibandingkan dengan kampus UIN.

Setelah sehari sebelumnya melihat perpustakaan, mengunjungi NUS Museum, menikmati hutan kampus, partisipasi di seminar; saya ajak mereka melihat University Town, sebuah komplek tambahan di kampus Kent Ridge untuk residential colleges atau asrama mahasiswa. Selain isinya gedung-gedung apartemen untuk asrama, terdapat pula fasilitas gym dan kolam renang, lapangan hijau yang bisa dipake untuk konser, olahraga dan piknik, belasan café dan resto serta foodcourt, minimarket, ruang belajar indoor serta outdoor yang ada akses wifi serta stop kontak listrik di hampir semua meja dan diberi penerangan untuk belajar malam hari. Semuanya sangat student friendly dan mendorong mahasiswa serta pengunjung merasa nyaman dan produktif. Belajar bisa dilakukan sambil ngadem di bawah pohon, di foodcourt sambil makan sesuai pilihan harga dan menu, atau di asrama. Terlebih lagi, bahan-bahan riset, buku dan artikel di perpustakaan, serta materi kuliah, semua bisa diakses online. Urusan administrasi juga online dan sangat efisien. Saya bilang ke grup kecil UIN ini, kalau kalian ke depan mau membangun fasilitas universitas, konsep arsitektur, disain dan tata kelola University Town ini sangat bisa ditiru. Efisien, "green", tidak rumit maintenance, nyaman, dan fungsional. Seorang mahasiswa SKI, Harun Al-Rasyid, yang ikut kegiatan keliling kampus NUS langsung

*Dr. Amelia Fauzia, MA. adalah Dosen Tetap Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas

Adab dan Humaniora (FAH) UIN Jakarta; juga sebagai Visiting Senior Research Fellow pada Asia Research Institute (ARI) - National University of Singapore (NUS). Korespondensi surel: [email protected].

ヱPosisi ini dinamis, tergantung banyak factor, khususnya jumlah sitasi. Pernah tahun 2015 NUS masuk pada posisi 12 menurut versi QS. Lompatan ini luar biasa, padahal tahun 2014 posisi NUS dan NTU masih di bawah top 22 dan 39 dalam daftar universitas terbaik di dunia.

https://www.timeshighereducation.com/world-university-rankings/national-university-singapore

dan https://www.topuniversities.com/universities/national-university-singapore-nus. Walau posisi ini dinamis, namun NUS (dan NTU di Singapura) pada tiga tahun terakhir merupakan dua universitas terbaik di Asia.

Page 8: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 158

komentar, "Wah kalau fasilitas seperti ini, mahasiswa akan rajin belajar...!", katanya dengan bersemangat. Beyond the Classroom: Sebuah Inspirasi dan Motivasi

Kami terus berkeliling. Di sebelah utara lapangan, di bawah kaca lantai dua yang menampakkan mahasiswa sedang nge-gym, banner besar terpampang dengan tulisan "Beyond the Classroom". Di sisi lain ada banner besar tertuliskan Beyond Textbook. Hmm… “melampaui ruang kelas” dan “melampaui buku pelajaran”? Apa maksudnya? Saya menjelaskan bahwa di NUS mahasiswa didorong bahwa kuliah itu tidak melulu di kelas dan tidak melulu terfokus pada buku text. Tapi di lingkungan kampus, mahasiswa dididik supaya memiliki skill dan dikenalkan dengan dunia luar yang beragam. Memang tatap muka dosen-mahasiswa dan buku text itu penting, tapi itu hanya sebagian saja. Memangnya, tugas membaca dan menulis itu dilakukan di mana? Ya di luar ruang kelas, dilakukan secara mandiri, di mana saja. “Ruang kelas” lebih banyak menjadi mekanisme untuk mendapat panduan, bimbingan, melakukan diskusi terstruktur, melaporkan, dan evaluasi apakah proses belajarnya sudah on the track. Kuliah itu bukanlah datang, duduk manis di kelas, dan pulang. NUS membuat academic environment bahwa belajar itu di mana saja, dan kapan saja, dengan bantuan sumber online, tapi tentu saja diberi modal metodologi dan dipandu agar bisa belajar sendiri tanpa tersesat. Selain fasilitas di kampus yang dirancang supaya bisa belajar di mana saja, mahasiswa didorong untuk melakukan pertukaran dan memiliki pengalaman di negara lain. 80 persen dari 38 ribu mahasiswa NUS pernah ke luar negeri (untuk pertukaran, seminar/summer course, magang, atau KKN dan kegiatan mahasiswa). Pertukaran budaya itu juga terjadi di kampus, di mana mahasiswa NUS itu berasal dari setidaknya 100 negara. Bahkan, dosen dan peneliti NUS adalah top akademisi di bidangnya, di mana 70 persen bukanlah warga negara Singapura. Di sini terlihat bahwa mahasiswa di arahkan untuk belajar dan tumbuh di luar kelas dan juga belajar dari keragaman orang, lembaga dan budaya lain.

Tiba-tiba saya jadi teringat kondisi kampus dan mahasiswa di UIN Jakarta, yang sebetulnya sudah memiliki konsep dan potensi ke arah yang sama (dengan NUS), tapi belum maksimal. Tidak hanya sekarang, tapi sejak dahulu, 23-28 tahun yang lalu, sejak saya berkuliah di Fakultas Adab (1990-1995). Dan ternyata saat itu saya lebih banyak belajar beyond the classroom dan beyond textbook. Saya pernah aktif di paduan suara kampus, pernah ikut latihan teater kampus sekali, aktif dan jadi ketua di Lembaga Studi Sejarah Kebudayaan Islam—LS2KI, aktif dan jadi pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di komisariat Fak Adab, bahkan aktif dan jadi pengurus di organisasi lingkungan hidup dan kemanusiaan yang bernama Kembara Insani Ibnu Batutah (RANITA). Kelihatan sepele. Tapi setelah saya berefleksi, ternyata itulah jembatan-jembatan kecil yang membantu saya bisa lulus dengan cumlaude, bisa berkuliah S2 di Universitas Leiden di Belanda, membuat pusat kajian dan lembaga kemanusiaan di kampus, dan kemudian studi S3 di Universitas Melbourne. Keduanya masuk dalam World Class University.

Masak iya sih, aktif di kegiatan-kegiatan itu bisa menunjang perkuliahan? Saya beri contoh cerita di bawah ini. Saya mendapat nilai A untuk skripsi saya mengenai Ratu Adil. Ide menulis itu lebih banyak saya dapat dari aktivitas diskusi di LS2KI yang membuat saya kesengsem dengan pendekatan sejarah sosial, familiar dengan buku-buku sejarah terbaru, dan kenal dengan beberapa sejarawan besar yang sering saya undang seminar. Ketika itu tidak ada mata kuliah sejarah sosial di jurusan SKI. Untuk riset dan memperkuat argumen skripsi itu, saya berhasil mewawancarai Prof Sartono Kartodirdjo, sejarawan Indonesia paling senior ketika itu yang merupakan guru besar sejarah di Universitas Gajah Mada (UGM). Sendirian, saya nekad pergi ke Yogya, tanpa ada

Page 9: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 159

rekomendasi dari siapapun, di era yang tidak ada internet dan email, apalagi media sosial untuk mewawancarai beliau. Untuk membuat proposal, bukan sesuatu yagn sulit, karena saya sudah sering lakukan di LS2KI dan HMI. Untuk mencari kontak telpon serta alamat Prof Sartono serta membuat janji pertemuan, saya sudah “belajar” banyak dari HMI. Bahkan saya juga “belajar” ilmu mencari dana atau fundraising dari HMI pula, sehingga dapat biaya untuk perjalanan ke Yogyakarta. Untuk perjalanan dan akomodasi gratis di Yogya, saya sudah mahir karena ilmu survival didapatkan (baik untuk di tengah hutan maupun tengah kota) dari RANITA. Kalau hanya kota Yogyakarta, tidak terlalu masalah. Apalagi saya sudah punya network, pernah camping bareng mahasiswa pencinta alam Gitapala di kali Kuning (akibat tidak boleh naik Merapi yang ketika itu sedang “batuk-batuk”), bahkan sudah pernah sampai ke puncak Semeru. Untuk membuat pertanyaan dan menyakinkan Prof Sartono, sedikit ilmu saya dari LS2KI sudah cukup lumayan sehingga beliau cukup betah lama berdialog dan menjawab pertanyaan saya, mahasiswa dari kampus luar yang tidak dikenalnya ini, dengan sabar dan penuh perhatian. Dan tentu saja, skripsi saya yang baik itu karena bimbingan Pak Uka Tjandrasasmita dan juga Pak Badri Yatim. Kalau mau dibuat prosentase, ternyata kontribusi dari “kuliah non-formal” itu cukup besar. Network, wawasan, kerja keras, serta bimbingan menjadi kunci.

Contoh lain, proses saya bisa mendapat beasiswa studi S2 di Leiden. Saya tidak tahu ada beasiswa studi ke Leiden, sehingga mendaftar beasiswa ke negara lain. Namun Dr Johan Meuleman tahu bahwa saya ingin studi sejarah di Leiden dan memberitahu mengenai beasiswa ini. Waktu yang sangat mepet, tidak menjadi penghalang, karena saya sudah memiliki semua kelengkapan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, termasuk—yang tidak dimiliki oleh kandidat lain untuk waktu singkat adalah adalah hasil TOEFL dan sertifikat ujian internasional bahasa Belanda. Dua hal ini tidak diwajibkan di UIN ketika itu, tapi konsisten saya kursus bahasa Inggris dan bahasa Belanda selama beberapa tahun sepanjang kuliah saya. Saya kenal dekat dengan Pak Meuleman melalui LS2KI bahkan beliau memberi support ketika tahu saya mengajar kursus bahasa Belanda untuk mahasiswa di LS2KI. Mungkin orang melihat bahwa ini suatu kebetulan. Tapi bagi saya tidak. Namun, kebetulan itu akan lebih sering datang dan menjangkau bagi mereka yang memiliki kapasitas dan network!

Ketika sudah menjadi dosen di Fakultas Adab, dengan sengaja saya selalu bercerita tentang dunia luar yang saya kunjungi dengan cara gratisan karena dapat beasiswa dan fellowship itu, selayaknya Ibn Batutah menuliskan di Rihlah-nya untuk menyemangati mahasiswa agar menguatkan minimal keterampilan bahasa Inggris dan mengikuti kelompok kajian. Para mahasiswa pun tak kalah bersemangat dan sepaham bahwa keterampilan bahasa itu sangat penting. Namun semangat mahasiswa ini hanya sampai pada kata-kata yang tidak masuk ke hati. Ketika saya tanya semester depannya atau satu tahun kemudian, apakah ada yang belajar bahasa baik itu kursus ataupun via belajar online yang free, mereka masih pada kondisi yang sama dan berucap 1001 alasan. Ada satu atau dua yang sudah mulai, selebihnya no action talk and dream only! Ketika ada peluang summer course dan studi S2 bahkan S3 dari kolega-kolega saya di luar negeri, sulit sekali saya mendapat kandidat yang mumpuni dari UIN untuk berkompetisi sesuai persyaratan. Jangankan score TOEFL yang tinggi dan proposal yang keren, untuk ikut test TOEFL institusional saja tidak pede, dan bingung “hmm, mau studi apa ya?”. Kesempatan pun hilang.

Sepertinya salah satu sumber kesulitan ini adalah kebanyakan mahasiswa hidup pada dua dunia yang—sepertinya—berbeda. Mahasiswa yang bergaya aktivis dan berwawasan merasa terlalu sibuk di kegiatan politik dan kajian kampus sehingga tidak

Page 10: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 160

ada waktu untuk mengasah keterampilan bahasa mereka, sedangkan masuk kelas ketemu dosen saja mereka nomer dua-kan. Classroom dianggap tidak penting. Sedangkan mahasiswa yang rajin dan tekun belajar merasa bahwa kegiatan kampus akan menguras waktu dan ketakutan kalau tidak masuk kuliah dosen bisa marah dan nanti ujian dapat nilai jelek. Sesat asumsi. Classroom dan textbook menjadi satu-satunya sumber. Mahasiswa jenis pertama punya wawasan baik tapi seringkali nilainya pas pasan, tidak bisa ujian karena absen kurang dan beberapa kasus tidak lulus kuliah. Mahasiswa jenis kedua memiliki absen yang sangat baik tapi minim wawasan dan seperti beo, fokus pada menghafal dari buku dan ujaran dosen. Bagi dua tipe mahasiswa ini, keterampilan bahasa tidak menjadi perhatian. Kalau pun pernah mencoba kursus, hanya bertahan satu atau dua semester dan berhenti dengan beragam alasan. Memang, kursus itu berat, apalagi jika tempatnya dianggap jauh, guru dan materi tidak menarik, sehingga yang muncul adalah kebosanan. Gimana melawan ini semua? Selama lebih dari dua tahun, setidaknya saya berhasil melawan kemalasan naik angkot dan bis bolak balik dari Ciputat ke Slipi (kursus bahasa Inggris) atau ke Kuningan (kursus bahasa Belanda di Erasmus Huis), melawan ketakutan kalau pulang kursus malam, melawan malu karena sering nebeng mobil teman, melawan kebosanan dengan guru dan materi kursus yang sepertinya itu itu saja. Persistence itu ada karena saya selalu ingat tujuan akhir, salah satunya untuk bisa membaca naskah bahasa Inggris dan Belanda, dan sadar bahwa proses ke sana memang berat. Kesadaran dan keyakinan inilah yang membuat seseorang bisa bertahan. Kesadaran ini sebenarnya bisa ditumbuhkan di dua jenis mahasiswa di atas, namun butuh bimbingan dari kampus, agar mahasiswa yang rajin itu juga memiliki wawasan, dan mahasiswa yang punya segudang aktivitas itu bisa punya perspektif akademik. Inti hidup itu adalah keseimbangan. Dan salah satu cara keseimbangan itu bisa dilakukan dengan menumbuhkan studi sejarah beyond the classroom.

Selain ketangguhan (persistence), saya mendapat wawasan dan network dari HMI. Pemikiran Nurcholish Madjid atau Cak Nur—baik dari mendengar ceramahnya secara langsung maupun dari membaca karya-karyanya—memberi pengaruh kuat untuk kritis, dan memahami dinamika Islam di Indonesia. HMI “membantu” saya sampai di seminar di Universitas Leiden tentang Islam pada masa Orde Baru misalnya, ketika tidak banyak yang tahu mengenai buku Ahmad Wahib dan Soe Hok Gie, saya bisa berkomentar panjang lebar, sedikit sok tahu. Tentu saja, bagi aktivis HMI, buku Pergolakan Pemikiran Islam-nya Ahmad Wahib sudah seperti buku wajib. Saya kenal dekat sosok Soe Hoek Gie awalnya pun lebih karena melihat batu peringatan di mana dia meninggal di sebuah trek pendakian sebelum puncak Gunung Semeru. Agak serem sebenarnya, apalagi suasananya agak gelap dan dengan posisi kemiringan mungkin 60 derajat, tapi batu itu membuka keingintahuan lebih tentang sosok dan pemikirannya. Jadi wawasan akademis yang men-support saya di seminar di atas itu adalah perpaduan dari aktivitas saya di HMI dan RANITA. Lagi-lagi, beyond the classroom dan beyond textbook itu sangat menunjang aspek riset, wawasan, serta kepercayaan diri saya sebagai akademisi. Jadi kuliah itu pada hakikatnya bukanlah bagaimana mahasiswa diajar di dalam kelas, tapi bagaimana mereka tumbuh di luar kelas, dalam lingkungan kampus yang transformatif.

Sumbangan dari classroom dan texbook tentu juga ada. Ya, khususnya bimbingan dari dosen-dosen yang memiliki pengalaman internasional. Banyak dosen menjadi inspirasi waktu saya kuliah dulu, misalnya Prof Azyumardi Azra, Prof Hasan Muarif Ambary, Drs. Uka Tjandrasasmita, Dr Johan Hendrik Meuleman, Dr Badri Yatim, Dr Abdul Chair, dan Prof Nabilah Lubis yang saya lihat bersentuhan dengan dunia luar kampus. Diam-diam, kualitas Fakultas Adab itu tinggi, bahkan sejak dahulu sudah punya dosen tamu--bukan sekedar berkunjung sebentar untuk riset, tapi betul-betul dosen yang

Page 11: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 161

mengajar selama beberapa tahun. Punya berapakah kita sekarang? Ke depan, pengadaan dosen tamu (kerjasama dengan universitas kelas dunia, kontrak satu-dua tahun) adalah investasi jangka panjang untuk lebih efisien mentransformasi kampus. Sumbangan dari classroom dan textbook atau dari dosen yang memiliki kapasitas transformatif menjadi sangat penting. Dosen seperti ini yang membuat saya bisa melek sejarah, bisa membedakan mana Islam sebagai norma ideal dan mana realita sejarah. Sejarah Islam: Antara Norma Ideal dan Realita Sejarah

Pendekatan sejarah dapat membantu siapapun melihat realita kehidupan masa lalu untuk dipelajari, dihayati dan digunakan untuk melihat dan menentukan masa kini dan masa mendatang. Saya teringat dalam satu kuliah sejarah Islam di fakultas Adab, mungkin pada tahun kedua perkuliahan, kami membahas sejarah Khulafaurrasyidin, pemerintahan empat khalifah awal yang dianggap ideal. Karena pembahasan detail, ending tiap khalifah jadi salah satu perhatian, dan kami tercenung bahwa tiga dari empat khalifah meninggal dengan cara tragis, dibunuh. Ada mahasiswa bertanya, bukankah ajaran Islam itu mulia dan melarang pembunuhan? Beberapa spekulasi politik, sosial, dan lainnya pun bermunculan—memang asal bicara, karena tidak ada yang punya bacaan mendalam dari sumber otoritatif. Dengan shortcut, dosen menjelaskan bahwa semua khalifah itu orang baik, orang terpilih, maka kita harus berbaik sangka, dan tidak perlu dibahas yang buruk-buruk dari mereka dan juga sejarah Islam. Akhirnya diskusi berhenti dan sepanjang semester pembahasan menjadi garing karena khawatir mengangkat keburukan seseorang, sehingga fenomena peperangan, konflik, kekerasan, dan suksesi kepemimpinan yang melingkungi kerajaan, lepas tidak bisa dipahami oleh saya dan kawan-kawan mahasiswa. Saya pun lebih banyak tertarik pada sejarah Islam di Indonesia, dan melupakan ketertarikan pada sejarah Islam awal dan Abad Pertengahan.

Ketika studi S3 di Universitas Melbourne, saya meneliti sejarah kedermawanan Islam, yaitu praktik-praktik zakat, sedekah dan wakaf. Kuliah S3 ini, sama sekali tidak ada classroom dan textbook. saya melahap buku-buku yang ditulis oleh sejarawan Muslim, misalnya Al-Maqrizi, Ibn Khaldun, dan Al-Tabari. Saya berharap banyak bisa menemukan praktik zakat, sedekah, dan wakaf yang dilakukan pada masa awal sejarah Islam. Agak kecewa karena ternyata dalam buku-buku sejarah itu, praktik tentang zakat, sedekah dan wakaf itu sangat sedikit; menemukan satu kata “zakat” seperti menemukan harta karun di tengah-tengah cerita tentang dunia kerajaan, konflik, peperangan, bahkan cerita-cerita kekerasan dan pembunuhan. Bayangkan saja, budaya Arab yang sangat kuat hafalan, bisa bercerita detail jalannya suatu pertempuran yang membuat saya bergidik—penting bagi ahli dan sejarawan militer dan peperangan, tapi tidak bagi saya yang menulis tentang sejarah kedermawanan. Saya kecewa karena awalnya ada harapan yang berlebihan tentang praktik zakat yang klaimnya mengentaskan kemiskinan dan para khalifah yang ideal—khilaf bahwa mereka adalah manusia. Akhirnya praktik mengenai zakat, sedekah dan wakaf yang saya cari lebih banyak saya dapatkan dari kitab hadith dan kitab fikih. Tentang zakat saya temukan dalam buku-buku mengenai perpajakan dan keuangan negara, di mana zakat hanya menjadi pemasukan sangat kecil ke kas negara,

jauh dari beragam pajak, dan jauh dari yang saya bayangkan.ヲ Lebih shock lagi ketika membaca laporan Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin bahwa pemungut zakat negara

2 Misalnya Kitab al-Kharaj ditulis oleh Abu ‘Ubaydillah (w 786), menteri dari khalifah Al-Mahdi.

Abu Yusuf Ya’qub Ibrahim Al-Anshari (w.798) juga menulis Kitab Kharaj—dengan judul yang sama—atas perintah khalifah Harun Al-Rasyid. Pada abad ke-sembilan Abu ‘Ubaydillah Al-Qasim bin Sallam (w.838), seorang ahli hukum pada pemerintahan Abbasiyah, menulis buku sejenis dengan judul Kitab Al-Amwal. Pada abad kesepuluh, Qudama bin Ja’far al-Katib (w.932) menulis kita Al-Kharaj wa Sana’at al-Kitabah.

Page 12: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 162

sudah jarang ditemukan di berbagai negeri Islam. Mengapa konsep zakat yang bagus itu tidak berjalan baik di kerajaan? Dan para khalifah itu kan seharusnya menjalankan norma ajaran Islam, kenapa bisa membunuh, kenapa bermewahan dan ada yang punya selir sampai ratusan? Itu pertanyaan sederhana saya. Sering berdialog dengan Ibn Khaldun via Muqaddimah, memberi saya pencerahan bahwa yang kita lihat adalah fenomena sekelumit sejarah manusia, bagian dari banyak peradaban besar dunia, yang tidak lepas dari keterpengaruhan dari atau keterhubungan dengan peradaban lain. Sebagai penganut kepercayaan yang sama, kita harus bisa meletakkan mana fakta dan mana harapan, dan tetap obyektif. Namun, tetap saja sedikit ada rasa senang ketika tahu ternyata bukanlah zakat tidak dipraktikkan, tapi praktik zakat itu dilakukan oleh masyarakat, dan jarang dikelola oleh kerajaan.

Dari pengalaman di atas, ternyata saya belajar metodologi ilmu sejarah, tidak dari classroom, tapi dari buku-buku sejarah. Selain tentang meletakkan perspektif dan harapan pribadi, saya melihat historiografi pada masa itu didominasi oleh penulisan sejarah sebagai fenomena politik yang berfokus pada raja dan elit, sehingga minim sekali cerita tentang zakat. Sejarah masyarakat biasa, atau sejarah sosial, baru menguat pada abad ke-19. Jadi wajar jika buku sejarah awal Islam itu isinya demikian, dengan Muqaddimah sebagai pengecualian. Dan realita kehidupan masyarakat masa itu yang penuh dengan dunia peperangan bukan eksklusif masyarakat Muslim saja.

Ibnu Khaldun dan sejarawan Muslim lain memberi saya pencerahan agar bersikap kritis terhadap apa yang kita kaji dan tulis, bagaimana ilmu sejarah bisa membuat kita memahami mana realita dan mana idealisme. Mungkin kita bisa merujuk pada ujaran Nabi yang mengatakan akan menegakkan hukum potong tangan bagi pencuri, sekalipun itu dilakukan oleh anaknya sendiri, Fatimah. Artinya, jika Nabi menulis sejarah, beliau akan bersikap profesional sekalipun yang dituliskan adalah peristiwa yang buruk bahkan dilakukan oleh anaknya sendiri.

Itu sepertinya prinsip yang dianut oleh ilmuwan seperti Ibn Khaldun dan Al-Tabari sehingga bisa menulis dengan profesional. Tulisan-tulisan mereka dipuji dan menjadi buku referensi berabad-abad setelah mereka tiada. Sejarawan Muslim bisa bersikap obyektif melihat sejarah komunitas nya dan bisa menempatkan idealisme dan harapan pada sisi lain. Jika pun ada realita yang dianggap tidak ideal sesuai dengan ajaran Islam khususnya oleh Muslim masa kontemporer, misalnya bagaimana tiga dari khulafaurrasyidin berakhir dengan tragis, bagaimana pengikut Ali bin Abi Thalib bisa berperang dengan pengikut Aisyah istri Nabi, mereka bisa obyektif menganalisa pada budaya dan politik sejarah manusia Abad Pertengahan itu. Sejarawan Muslim menempatkan fenomena yang dikajinya sebagai fenomena manusia (bukan malaikat yang sempurna) tanpa perlu ditutup-tutupi. Toh jika ditutupi pun kajian menjadi dipaksakan, tidak sesuai metodologi, dan hasilnya bisa missleading.

Saya beri contoh, yaitu adanya gerakan politik yang meng-idolakan sistem khilafah untuk digunakan sebagai sistem pemerintahan pada masa kontemporer. Sistem khilafah yang seperti apa yang mau diambil? Sejarah Islam sudah memiliki ratusan khalifah dan banyak ragam sistem khilafah. Peng-idola-an itu perlu basis kuat pada pengetahuan mengenai kompleksitas sejarah kekhalifahan, dan tidak saja merujuk pada narasi sejarah yang subyektif yang melihat tokoh khalifah yang dianggap ideal, tapi lupa pada ratusan khalifah yang tidak ideal, entah itu melakukan korupsi, membunuh anggota keluarga, memiliki ratusan selir, dst—selayaknya yang dilakukan oleh raja-raja yang ada di berbagai belahan dunia pada abad-abad itu. Sistem khilafah tidak monolitik, ada pemerintahan Khulafaurrasyidun yang dianggap sangat demokratis tapi hanya pada sekup wilayah yang kecil, ada khalifah di bawah dinasti (keturunan) Umayyah dan

Page 13: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,

Memotret Dunia, Membangun Peradaban I 163

Abbasiyah yang bertahan cukup lama, ada pula khilafah yang berbasis pemahaman Syiah seperti Dinasti Fatimiyah, berbasis etnis/ras, dan lainnya. Komunitas Muslim di Turki sudah meniadakan sistem khilafah berdasarkan rasionalisasi mereka untuk mentransformasi masyarakatnya menjadi modern. Dan negara yang berbasis kerajaan Islam—seperti Saudi Arabia, Kuwait, Qatar, tidak jauh dari sistem khalifah yang turun temurun selayaknya dinasti. Jadi, sistem khilafah seperti apa yang mau dirujuk? Ini sekedar contoh bahwa kurangnya pemahaman sejarah bisa membawa kita pada masa depan yang berbeda. Oleh karenanya pengembangan masyarakat Muslim perlu dibangun di atas pondasi sejarah yang obyektif. Dan Fakultas Adab, Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, memiliki kontribusi penting untuk ini. Narasi sejarah yang diajarkan di sekolah, di perkuliahan, dan organisasi, perlu merujuk pada narasi sejarah yang berpijak pada realita, yang kritis, seperti yang ditulis oleh sejarawan Muslim semisal Ibn Khaldun. Sehingga cita-cita dan upaya membangun masyarakat Muslim bisa dilakukan secara lebih rasional dan profesional.

Kegagalan mengakui realita sejarah sebagai sebuah fenomena masyarakat Muslim itulah yang kemudian memunculkan apa yang disebut-sebut para ahli sebagai fenomena ketidaksingkronan antara norma ajaran dan realitas sejarah dalam masyarakat Muslim. Kegagalan ini akan lebih kompleks lagi karena norma ajaran itu tidak monolitik namun beragam akibat interpretasi yang dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, ekonomi masyarakat. Sejarawan, memiliki lebih banyak potensi untuk bisa melihat dan memahami fenomena masyarakat, dibanding dengan ilmu-ilmu lain. Namun studi sejarah yang kuat ini tidak bisa hanya belajar dari dalam ruang kelas dan dari textbook. Ia harus berinteraksi dengan ilmu-ilmu lain, berdiskusi dengan mahasiswa dan dosen dari universitas atau budaya lain, dan mengadu analisa dengan teori-teori lain. Sejarah Islam yang seperti ini perlu “gaul”, tidak saja dari konsep kurikulum, dari pengajar (misalnya dosen tamu), dari pengajaran yang dilakukan, dan dari pembelajaran yang tumbuh di luar kelas.

Epilog

Untuk misi “gaul” inilah, saya membawa mahasiswa UIN Jakarta sedikit melangkah meniru Ibnu Batutah untuk bisa melihat dunia yang lebih luas, tidak sekedar kampus Ciputat saja. Entah melanglang ke Australia, dengan cara bertemu langsung atau via skype dengan dosen dan mahasiswa di sana, atau dengan perjalanan kecil ke kampus seperti NUS. Dr Minako Sakai, kolega riset saya di UNSW Canberra, sudah beberapa kali masuk ke kelas yang saya ampu di Ciputat, dan saya pun pernah masuk ke kelas yang diampunya di Canberra. Melalui sykpe, saya pernah menunjukkan bahwa pada jam 11 malam, perpustakaan universitas Leiden masih penuh dengan mahasiswa yang sibuk belajar, belum lagi fasilitas perpustakaan yang membuat iri sekaligus juga semangat. Kegiatan seperti ini hanya skop kecil saja dari beyond the classroom, dan akan lebih baik jika dilakukan terstruktur melalui program fakultas dan universitas untuk bisa menciptakan sarjana yang tidak kalah dengan universitas-universitas kelas dunia. Saya yakin, apabila segenap sivitas akademika UIN Jakarta, khususnya Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), mampu bergerak bersama-sama dalam idealitas dan sinergitas yang solid, citta-cita menjadi sebuah Perguruan Tinggi berkarakter dan berkelas dunia akan tercapai. Semoga…!!!

Page 14: KONTRIBUSI FAH UNTUK BANGSA - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/40327/2/A Fauzia Beyond the... · pernah ikut latihan teater kampus sekali,