Kontrak Ijarah Muntahiyyah Bittamlikpkh.komisiyudisial.go.id/files/Karya Tulis-Jaih Mubarok... ·...
Transcript of Kontrak Ijarah Muntahiyyah Bittamlikpkh.komisiyudisial.go.id/files/Karya Tulis-Jaih Mubarok... ·...
Kontrak Ijarah Muntahiyyah Bittamlik Prof. Dr. Jaih Mubarok, S.E., M.H., M.Ag.
Peningkatan Kapasitas Hakim Komisi Yudisial Republik Indonesia
2
KONTRAK IJARAH MUNTAHIYYAH BITTAMLIK
Prof. Dr. Jaih Mubarok, SE,MH, M.Ag
A. Pengantar
Pendapat ulama mengenai bunga bank tidaklah sama. Muhammad Abu Zahrah (w.
1974), berpendapat bahwa bunga bank adalah riba nasî’ah, yang diharamkan dalam Islam.1
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Tahir Abdul Muhsin Sulaiman,2 Yusuf
Qardawi, Umer Chapra, Abdul Mannan, dan ‘Isa Abduh.3
A. Hassan, pendiri Persatuan Islam, berpendapat bahwa bunga bank boleh diambil
(halâl);
Dalam konteks pemikiran
keagamaan di Indonesia, terdapat ulama yang ikut mengomentari hukum bunga bank,
antara lain A. Hassan, Abdul Halim Hasan, dan Kaharuddin Yunus.
4 Abdul Halim Hasan (dari Medan) dan Kaharuddin Yunus berpendapat bahwa
bunga bank termasuk riba yang dilarang oleh Allah.5 Ahmad Azhar Basyir pada tahun 1975
mengusulkan kepada publik Islam agar mengubah sistem perbankan, dari perbankan yang
menggunakan bunga, dengan perbankan yang menggunakan sistem qirâdh atau
mudhârabah.6
1 Muhammad Abu Zahrah, Buhûts fî al-Ribâ (Mesir: Dar al-Buhuts al-‘Ilmiyah. 1970), cet. ke-1,
hlm. 36-48; Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang, dan Gadai (Bandung: PT al-Ma‘arif. 1983), cet. ke-2, hlm. 28; dan lihat pula Mahmud Abu al-Saud, “Islamic View of Riba: Usury and Interest,” dalam Syekh Ghazali Syaeikh Abod dkk (ed.), An Introduction to Islamic Finance (Kuala Lumpur: Quill Publishers. 1992), hlm. 70-73.
2 Tahir Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam, terj. Anshori Umar Sitanggal (Bandung: PT al-Ma‘arif. 1985), cet. ke-1, hlm. 282.
3 Yusuf Qardawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin (Jakarta: Gema Insani Press. 1997), cet. ke-1, hlm. 185-186; Umer Chapra, Alquran Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj. Lukman Hakim (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa. 1997), hlm. 35-36; Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin (Yogyakarta: Dana Bhakti wakaf. 1995), hlm. 164-167; ‘Isa Abduh, Bunuk bila Fawa’id (Mesir: Dar al-I‘tisham. t.th), hlm. 117-120; Muhammad Baqer Sadr dan Ayatullah Sayyid Mahmud Taleghani, Islamic Economics: Contemporary Ulama Perspective (Kuala Lumpur: Iqra’. 1991), hlm. 9-10; dan M. Mohsen, “A Profile of Riba-Free Banking,” dalam Mohammad Arief (ed.), Monetary and Fiscal Economics of Islam (Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics, King Abdulaziz University. 1982), hlm. 187-210.
4 A. Hassan, Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama (Bandung: CV Diponegoro. 1988), cet. ke-10, vol. II, hlm. 678; lihat juga Aswita Taizir, Muhammad Abduh and The Reformation of Islamic Law (Canada: Mc Gill University. 1994), tesis, hlm. 93-94.
5 Basyir, Hukum Islam, hlm. 31. 6 Ibid., hlm. 33.
3
Di samping pendapat pribadi, terdapat juga keputusan kolektif ulama yang terafiliasi
dalam ormas Islam. Majlis Tarjih Muhammadiyah menetapkan bahwa bunga bank
termasuk syubhat (dekat ke haram);
7 semangatnya, NU menganggap bahwa hukum bunga
bank termasuk syubhat (tidak jelas halal-haramnya) dan dengan prisnip kehati-hatian, NU
menganjurkan agar praktek bunga bank diharamkan;8 dan Majelis Fatwa Mathla‘ul Anwar
juga memiliki semangat yang sama dalam membangun ekonomi Islam, yaitu bunga bank
termasuk riba yang haram hukumnya.9 MUI Pusat pada tanggal 16 Desember 2003
memfatwakan bahwa bunga bank termasuk riba nasî’ah yang haram hukumnya;10
pengaruh fatwa tersebut--menurut hasil penelitian al-Hakim dan Faizal--termasuk
signifikan;11
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, tepatnya sosiologi hukum (sociology of
law) yang di dalamnya terkandung ajaran mengenai efektivitas hukum; yaitu perbandingan
antara realitas hukum dengan cita-cita hukum.
oleh karena itu, fatwa ini telah menjadi faktor pemicu berkembangnya sistem
ekonomi syariah yang membumi di Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan
salah satu akad yang dibuat oleh Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan badan usaha yang
menjalankan sistem syari'ah, yaitu al-Ijarah al-Muntahiyyah bi al-Tamlik (selanjutnya
IMBT).
12
7 PP Muhamadiyah, Himpunan Putusan Tarjih (Yogyakarta: Pengurus Pusat Muhammadiyah,
Majlis Tarjih. t.th.), hlm. 304-305. 8 KH Abdul Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdhatul
Ulama (Surabaya: PP Rabithah Ma‘ahidil Islamiyah dan Dinamika Press. 1977), hlm. 146-147. 9 PB Mathla‘ul Anwar, Keputusan-Keputusan Majelis Fatwa Mathla‘ul Anwar (Jakarta:
Sekretariat PB Mathla‘ul Anwar. 1985), hlm. 27. 10MUI Pusat, Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga
(Interest/Fa’idah), Terorisme, dan Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah (Jakarta, 16 Dember 2003).
11Lihat Sofyan al-Hakim dan Enceng Arif Faizal, Pengaruh Fatwa MUI tentang Bunga terhadap Perkembangan Bank Syariah (Bandung: Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati. 2004), hlm. 60-61.
12Soerjono Soekanto, dkk, Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum (Jakarta: PT Bina Aksara.1988), cet. ke-1, hlm. 19 dan 8.
4
struktur, yaitu bingkai kerja yang mencakup aparatur guna bekerja sama secara sinergis
dalam menegakan hukum.
Pendekatan ini merupakan dampak dari
pembagian hukum yang antara lain dikenalkan oleh Gillin; yakni hukum yang termasuk
dalam konsep (ide, dugaan, doktrin, dan kepentingan); dan hukum yang termasuk dalam
13
Eksistensi IMBT telah diakui di Indonesia secara filosofis, yuridis, sosiologis. Secara
filosofis, IMBT diakui sebagai hukum yang sesuai dengan cita-cita hukum yang bernilai
positif, terutama dalam konteks kesejahteraan. Secara yuridis, IMBT telah diakui sebagai
salah satu akad penyaluran dana bank syari'ah;
14 dan secara sosiologis, IMBT diakui sebagai
hukum yang telah diterima oleh masyarakat,15 terutama setelah ditetapkannya fatwa DSN
nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang IMBT. Di samping itu, karena IMBT antara lain
dipraktekan dalam bentuk perjanjian/kontrak, maka analisis data dilakukan dengan
menggunakan "ilmu" Contract Drafting. Bagi Soekanto dan Mamudji, penelitian ini
dikelompokkan sebagai penelitian normatif,16 karena obyek yang diteliti termasuk
pengaturan yang normatif mengenai pihak-pihak yang mempunyai hubungan hak dan
kewajiban dalam melakukan akad IMBT;17
B. Anatomi Kontrak Bisnis Islami
sedangkan obyek penelitian ini adalah: a) fatwa
DSN MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah; dan b) fatwa DSN MUI
nomor 27/DSN-MUI/III/2002 tentang IMBT.
Sebelum menjelaskan akad yang bersifat sosial dan komersial dalam Islam, ada
baiknya jika syarat-syarat sah suatu kontrak diketahuai terlebih dahulu. Dalam KUH
Perdata (pasal 1320) ditetapkan: "untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat
unsur, yaitu: (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat
suatu perikatan; (3) suatu hal tertentu; dan (4) suatu sebab yang halal." Syarat pertama dan
kedua disebut syarat subyektif; dan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Jika
syarat-syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum; tujuan para
13John Lewis Gillin dan John Philip Gillin, "General Features of Social Institutions," dalam Selo
Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiologi (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI. 1964), hlm. 67.
14Lihat Undang-undang Nomor: 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pasal 19, ayat (1), huruf f, ayat (2), huruf f; dan pasal 21, huruf b, 4.
15Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali Pers. 1987), cet. ke-3, hlm. 13.
16Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2003), cet. ke-7, hlm. 14-15.
17Ibid., hlm. 11.
5
pihak untuk melakukan perikatan berarti gagal, karena perjanjian--secara hukum--tidak
pernah ada, dan karena itu, perikatan juga tidak pernah ada. Sedangkan jika syarat-syarat
subyektif tidak terpenuhi, maka salah satu pihak berhak untuk meminta agar perjanjian
tersebut dibatalkan; jadi, perjanjian yang tidak terpenuhi syarat-subyektinya bersifat
mengikat selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak
meminta pembatalan kontrak, yaitu pihak yang cakap hukum.18
Dalam Islam terdapat dua akad yang dapat dibedakan dari segi tujuannya. Pertama,
akad tabarru' adalah akad yang dilakukan dengan tujuan membantu pihak lain; dan kedua,
akad gair tabarru' adalah akad yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh
keuntungan. Dalam Islam, dikenal dua institusi keuangan: a) bait al-mal; yaitu sektor
institusi keuangan yang bersifat sosial; pengumpulan dana dilakukan melalui jalur zakat,
infaq, sedekah, dan wakaf; dan penyaluran dananya antara lain menggunakan akad qardh;
dan b) bait al-tamwil; yaitu sektor institusi keuangan yang bersifat bisnis (dilakukan dalam
rangka memperoleh keuntungan) seperti akad bai' dan ijarah.
Hal ini setidaknya menjadi
dasar bahwa akad IMBT yang tidak terpenuhi syarat-obyektifnya, batal demi hukum; dan
akad IMBT yang tidak terpenuhi syarat-subyektifnya, batal jika ditetapkan (oleh hakim)
atas permintaan pihak yang cakap hukum.
19
Sekarang ini telah dibedakan antara ekonomi dengan bisnis. Ekonomi (economic)
adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan produksi dan distribusi (yang berupa barang
dan jasa) di antara orang-orang. Rahardjo melengkapi definisi tersebut dengan
menginformasikan pengertian ekonomi yang lebih lengkap yang dikutif dari buku The
Pinguin Dictionary of Economics yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi adalah kajian
tentang produksi, distribusi, dan konsumsi kekayaan dalam masyarakat. Rahardjo
menjelaskan bahwa definisi yang terdapat dalam buku tersebut lebih lengkap karena
menjelaskan obyek ekonomi (yaitu kekayaan) dan aspek konsumsi (sebagai kegiatan
18 Daeng Naja, Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti. 2006), hlm. 116 19 Jaya Nasti (ed.), Pendirian dan Pengelolaan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) di Lingkungan
Pondok Pesantren (Jakarta: Depag RI. 1999), cet. ke-1, hlm. 1. Selanjutnya lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007), hlm. 72-83. Antara lain, akad gair tabarru' disebut akad mu'awadhah.
6
ekonomi).20 Sementara Boediono menjelaskan bahwa manusia--dalam kacamata
ekonomi--melakukan tiga kegiatan pokok: produksi, konsumsi, dan pertukaran.21
Sedangkan arti bisnis adalah ”the buying and selling of goods and services.’ Skinner
menjelaskan bahwa bisnis adalah pertukaran barang, jasa, atau uang yang saling
menguntungkan atau memberikan manfaat. Dengan demikian, perusahaan bisnis adalah
suatu organisasi yang terlibat dalam pertukaran barang, jasa, atau uang untuk
menghasilkan keuntungan.
22 Perbedaan antara ”bisnis” dan ”ekonomi” terletak pada
tujuan dan penghitungan keuntungan. Tujuan ekonomi adalah untuk mencapai kondisi
kesejahteraan fisik;23 sedangkan tujuan bisnis adalah untuk mendapatkan keuntungan,
menumbuhan badan usaha, dan bertanggung jawab secara sosial.24 Husen Umar
menegaskan bahwa tujuan utama bisnis adalah laba atau keuntungan.25 Keuntungan
dalam ekonomi adalah selisih (sisa) antara pendapatan (penghasilan) dengan pengeluaran
(biaya-biaya); sedangkan keuntungan bisnis adalah pendapatan dikurangi pengeluaran
aktual dan biaya peluang.26
Anatomi kontrak terdiri atas: pertama, pembukaan yang terdiri atas: a) judul
perjanjian; b) komparisi (dua pihak atau lebih); c) recitals (alasan-alasan sosial-ekonomi
yang menyebabkan dilakukannya perjanjian); dan d) ruang lingkup. Kedua, ketentuan-
ketentuan pokok perjanjian yang terdiri atas: a) ketentuan umum yang berisi tentang
definisi-definisi; b) ketentuan-ketentuan pokok; dan c) ketentuan-ketentuan penunjang;
dan ketiga, bagian penutup yang setidaknya mengandung empat hal yang bersifat
Kiranya dapat dipahami bahwa bisnis Islami adalah kegiatan usaha yang mencakup
produksi, distribusi, dan konsumsi yang tujuannya adalah untuk mendapatkan keuntungan
secara material. Oleh karena itu, anatomi kontrak bisnis Islami pada dasarnya sama saja
dengan anatomi kontrak bisnis pada umumnya, yang membedakannya adalah sistem (isi)
yang termuat dalam klausula-klausula kontrak.
20M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta: Lembaga Studi
Agama dan Filsafat. 1999), cet. ke-1, hlm. 5-6. 21Boediono, Ekonom Mikro (Yogyakarta: BPFE. 1982), cet. ke-1, hlm. 1. 22 Pandji Anoraga, Manajemen Bisnis (Jakarta: Rineka Cipta. 2004), cet. ke-3, hlm. 3-4. 23 Ibid., hlm. 6. 24 Ibid., hlm. 14. 25 Husein Umar, Business an Introduction (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan Jakarta
Business Research Center. 2003), cet. ke-2, hlm. 4. 26Lihat Anoraga, Manajemen Bisnis, hlm. 14-15.
7
penegasan; yaitu: a) penegasan bahwa kontrak tersebut sebagai alat bukti; b) sebagai
bagian yang menyebutkan tempat pembuatan dan penandatanganan; c) sebagai ruang
untuk menyebutkan saksi-saksi dalam kontrak; dan d) sebagai ruang untuk menempatkan
tanda tangan para pihak yang berkontrak.27 Anatomi kontrak yang dikemukakan
Simatupang lebih sederhana, yaitu: a) judul, b) kepala, c) komparisi, d) sebab/dasar, e)
syarat-syarat, f) penutup, dan g) tanda tangan;28
Ijarah dimaknai dengan dua dimensi kehidupan. Ijarah dimaknai sebagai proses
perjanjian para pihak; salah satu pihak berkedudukan sebagai penyedia barang/jasa (Mu'ajir
) dan pihak lain berkedudukan sebagai pengguna/penerima manfaat barang/jasa
(musta'jir).
dan kiranya logis jika akad IMBT dianalisis
dengan menggunakan kerangka anatomi kontrak sehingga terurai berbagai unsur yang
diperlukan dalam kontrak bisnis.
C. Perluasan Cakupan Ijarah
29 Ijarah yang obyeknya berupa barang dimaknai sebagai "sewa;" sedangkan
ijarah yang obyeknya berupa jasa dimaknai sebagai "upah." Ijarah yang demikian
berdimensi duniawi; istilah teknis bagi sewa/upah yang digunakan adalah ujrah (imbalan).30
Di sisi lain umat Islam berkeyakinan bahwa dunia ini adalah mazra'at (tempat bercocok
tanam) yang berakibat pada kehidupan akhirat nanti. Dalam dimensi kebaikan, orang yang
bermualamah dengan baik--di antaranya melakukan ijarah--akan dapat pahala yang
terkadang disebut "ajrun." Jadi, ujrah berdimensi duniawi; sedangkan ajrun berdimensi
ukhrawi. Ujrah yang termasuk akad bidang jasa, sekarang telah diperluas dan dihubungkan
dengan konsep intiqal al-milkiyyah; oleh karena itu, salah satu jasa yang berkembang dalam
ekonomi syari'ah adalah produk IMBT.31
27Lihat Naja, Contract Drafting, hlm. 113, 129, dan 156-171; di samping itu, Naja juga
menganjurkan supaya kontrak dilengkapi dengan lampiran-lampiran yang diperlukan. 28Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Bisnis (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003),
cet. ke-2, hlm. 34. 29Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr. 2006), cet. ke-9,
vol. VIII, hlm. 5029. 30Ulama Malikiyah memiliki istilah tersendiri mengenai hal ini; sewa yang obyeknya adalah
tenaga/jasa manusia disebut al-ijarah; sedangkan sewa yang obyeknya manfaat benda disebut al-kara'; lihat Ahmad Hasan, Nazhariyyat al-Ujur fi al-Fiqh al-Islami:Dirasah Tahliliyyah Mubtakirah li Fiqh al-Mu'amalat al-Maliyyah (tt: Dar Iqra'. t.th), hlm. 13.
31Lihat al-Ma'ayir al-Syar'iyyah (Bahrain: Hai'at al-Muhasabah wa al-Muraja'ah li al-Mu'assasat al-Maliyah al-Islamiyyah. 2006), hlm. 131-153.
8
DSN-MUI telah menetapkan sejumlah fatwa yang berhubungan dengan ijarah; akan
tetapi, yang dianalisis pada kesempatan ini hanyalah fatwa Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002
tentang IMBT. IMBT diartikan sebagai perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi
pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa
sewa.
Secara konseptual, IMBT hampir sama dengan leasing yang dilakukan oleh institusi
keuangan di dunia, termasuk Indonesia. Dalam Surat Keputusan Bersama Menteri
Keuangan, Menteri Perdagangan, dan Menteri Perindustrian Nomor: KEP.
122/MK/IV/2/1974; Nomor: 32/M/SK/2/1974; dan Nomor: 30/Kpb/I/1974 tartanggal 7
Pebruari 1974 ditegaskan bahwa leasing adalah pembiayaan dalam bentuk penyediaan
barang-barang modal untuk digunakan oleh perusahaan tertentu, berdasarkan
pembayaran secara berkala, disertai dengan hak pilih/opsi bagi perusahaan tersebut untuk
membeli barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing
berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.32
Dalam fatwa Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang IMBT terdapat dua ketentuan:
ketentuan yang bersifat umum dan ketentuan yang bersifat khusus. Ketentuan IMBT yang
bersifat umum adalah: a) rukun dan syarat yang berlaku dalam akad ijarah berlaku pula
dalam akad IMBT; b) perjanjian untuk melakukan akad IMBT harus disepakati ketika akad
ijarah ditandatangani; dan c) hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Sedangkan ketentuan IMBT yang bersifat khusus adalah: a) pihak yang melakukan IMBT
harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik
dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai; dan b)
Dengan memperhatikan fatwa
IMBT, tersirat sebuah pernyataan bahwa ijarah pada prakteknya dapat dibedakan menjadi
dua: ijarah yang tidak terikat (muthlaqah); dan ijarah yang terikat (muqayyadah); IMBT
termasuk ijarah terikat.
D. Analisis Fatwa DSN-MUI tentang IMBT
32 Amin Widjaya Tunggal dan Arif Djohan Tunggal, Aspek Yuridis dalam Leasing (Jakarta: PT
Rineka Cipta. 2001), cet. Ke-1, hlm. 7-8. Secara umum, leasing dibedakan menjadi dua: a) operating lease; di antara kakarkternya adalah tidak disertai hak opsi bagi leasee untuk membeli barang di akhir masa leasing; dan b) financial lease; di antara kakarkternya adalah adanya hak opsi bagi leasee untuk membeli barang di akhir masa leasing. Lihat Munir Fuady, Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek (Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2002), hlm. 16-17. Dengan demikian, IMBT pada dasarnya mirip dengan financial lease.
9
janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d/janji yang
hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad
pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.
Kedudukan benda yang menjadi obyek akad IMBT adalah benda sewa. Oleh karena
itu, pembayaran berkala yang dilakukan oleh pengguna barang serta diterima oleh pemilik
barang adalah ujrah (upah/pembayaran sewa). Secara implisit menunjukkan bahwa obyek
IMBT masih tetap menjadi milik pihak yang menyewakan. Dampak hukumnya adalah: a)
obyek IMBT harus dikembalikan kepada pemilik jika secara nyata bahwa penyewa tidak
mampu membayar sewa berkala hingga waktu yang disepakati; dan b) penyewa tidak
dibenarkan memindahtangankan (menyewakan lagi atau menjual) obyek sewa kepada
pihak lain; sebab akad pemindahan kepemilikan obyek IMBT hanya boleh dilakukan setelah
pembayaran sewa berkala berakhir.
Kesinambungan akad dalam fatwa IMBT adalah: a) akad ijarah dengan jual-beli; atau
b) akad ijarah dengan akad hibah; bertujuan agar akad dalam kitab-kitab fikih dapat
dipraktekkan; oleh karena itu, ironi jika lembaga-lembaga keuangan syari'ah seolah-olah
menghindar dari akad IMBT; sejatinya, IMBT dipraktekan dalam rangka memperkaya
produk lembaga keuangan syari'ah serta memperkaya horizon umat manusia (terutama
umat Islam) dalam bermu'amalah. Dilihat dari segi proses, akad IMBT tidak termasuk akad
gabungan, tapi termasuk akad pararel. Oleh karena itu, akad ikutan (jual-beli atau hibah)
hanya boleh dilakukan jika akad utamanya (ijarah) telah selesai dilakukan.
Dalam fatwa ditetapkan opsi mengenai cara pemindahan kepemilikan obyek IMBT:
jual-beli/al-bai' atau pemberian/hibah. Akan tetapi, dalam fatwa tidak ditetapkan mengenai
teknis jual-beli atau hibah atas obyek IMBT yang pembayaran sewa berkalanya telah
berakhir. Cara yang paling mudah adalah pemindahan kepemilikan obyek IMBT dengan
cara hibah; yaitu dalam kontrak IMBT semestinya ditulis bahwa pemilik menghibahkan
obyek IMBT kepada penyewa dengan syarat pembayaran sewa berkala yang disepakati
telah berakhir/lunas. Hibah seperti ini disebut sebagai hibah terikat/muqayydah. Klausul
hibah ini mestinya bersifat mengikat sehingga potensi merugikan salah satu pihak dapat
dihindari (prinsip prepentif/sadd al-dzari'ah); sebab jika klausul ini bersifat tidak mengikat
seperti ditetapkan dalam fatwa IMBT, memberi peluang akan lahirnya ketidakpastian
hukum.
10
Opsi kedua tentang pemindahan kepemilikan obyek IMBT yang ditetapkan dalam
fatwa adalah jual-beli. Salah satu teknisnya adalah dengan cara membagi pembayaran
berjangka menjadi dua. Umpamanya, IMBT disepakati pembayarannya selama 36 (tiga
puluh enam) bulan. Pembayaran selama 33 (tiga puluh tiga) bulan ditetapkan sebagai
pembayaran sewa (ijarah), dan sisanya (3 kali pembayaran) diakui sebagai pembayaran
jual-beli. Hanya saja, jika ditaksir dari segi jumlah uang yang dibayarkan dengan harga real
obyek IMBT belum tentu relevan. Oleh karena itu, cara pemindahan kepemilikan dalam
akad IMBT adalah hibah terikat, meskipun cara pemindahan kepemilikan melalui jual-beli
juga boleh dilakukan.
Dengan demikian, bahwa ketetapan fatwa IMBT yang menyatakan bahwa "janji
pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah berkedudukan sebagai wa'd
yang hukumnya tidak mengikat" harus ditafsirkan bahwa janji pemindahan kepemilikan
obyek akad IMBT belum dapat dijadikan alat bukti pemindahan kepemilikan, sebab
kepindahan kepemilikan obyek IMBT harus disertai dengan akad baru (hibah atau jual-beli)
dalam hal ijarahnya telah berakhir. Janji mengenai pemindahan kepemilikan harus ditaati
oleh semua pihak. Jika tidak ditafsirkan demikian, bisa jadi suatu saat akan ada
pengingkaran dari pihak-pihak (terutama pihak yang menyewakan) mengenai keharusan
pemindahan kepemilikan obyek IMBT. Caranya adalah bahwa dalam kontrak IMBT harus
ditegaskan secara eksplisit mengenanai cara pemindahan kepemilikan obyek IMBT,
dengan hibah atau jual-beli; serta pihak yang menyewakan diharuskan memindahkan hak
kepemilikannya atas obyek IMBT dengan salah satu cara dari pilihan yang ada.
Dari segi proses ijtihad, terlihat bahwa ulama telah mencoba melakukan perumusan
ulang agar akad yang terdapat dalam bidang mu'amalah dapat diaplikasikan sesuai dengan
perkembangan peradaban, terutama kegiatan ekonomi. Dalam kitab fikih, ijarah
menempati posisi tersendiri, yaitu menjelaskan tentang sewa (barang) dan upah (jasa); dan
jual-beli juga menempati posisi tersendiri, yaitu salah satu cara pemindahan kepemilikan
(intiqal al-milkiyyah). Meskipun berbeda posisi, tapi keduanya berada dalam wilayah akad
yang sama, yaitu termasuk akad komersial-bisnis (bukan akad tabarru').
Dalam kitab fikih ditetapkan bahwa benda yang disewa berkedudukan sebagai milik
pihak yang menyewakan (kepemilikan benda tidak berpindah kepada penyewa). Oleh
karena itu, sangatlah relevan bahwa benda yang menjadi obyek IMBT hanya boleh
digunakan (tidak boleh dipindahtangankan dengan cara dijual atau disewakan lagi). Hal
11
inilah yang mengharuskan pihak-pihak dalam akad IMBT hati-hati dan rinci dalam
membuat kontrak, sebab tidak menutup kemungkinan, obyek IMBT dipindahtangankan
kepada pihak lain oleh penyewa tanpa izin dan/atau sepengetahuan pihak yang
menyewakan dengan cara melanjutkan sewa (baca: overcredit), atau dijadikan obyek sewa
(seperti mobil yang menjadi obyek IMBT dikerjasamakan dengan perusahaann penyewaan
mobil). Dua hal tersebut belum diatur dalam fatwa; oleh karena itu, dengan prinsip kehati-
hatian (ikhtiyath) dan prepentif (sadd al-dzari'ah), kiranya sangatlah bijak jika dalam
kontrak IMBT dimuat hal-hal tersebut agar terhindar dari sengketa di kemudian hari.
Tindakan prepentif lebih baik dari tindakan kuratif; mencegah terjadinya sengketa jauh
lebih baik daripada terjadinya sengketa karena isi kontrak yang tidak/kurang rinci dan jelas.
E. Pembukaan Kontrak IMBT
Seperti telah disinggung sebelumnya, bagian pertama sebuah kontrak adalah
pembukaan yang terdiri atas: a) judul perjanjian; b) tempat dan waktu perjajian dilakukan;
c) komparisi (dua pihak atau lebih); d) recitals (alasan-alasan sosial-ekonomi yang
menyebabkan dilakukannya perjanjian); dan e) ruang lingkup.
1. Judul Perjanjian IMBT
Judul perjanjian bukanlah syarat sahnya suatu kontrak; akan tetapi, judul kontrak
sebagai identitas sangatlah diperlukan; oleh karena itu, perancang dan/atau pembuat judul
kontrak harus memiliki kemampuan untuk megakomodir seluruh isi kontrak yang
dibuatnya, karena antara judul dengan isi kontrak harus berhubungan secara korelatif dan
relevan.33 Sementara dalam kontrak syariah, sebelum judul, terdapat simbol pernyataan
filosofis, yaitu menggunakan: a) bismillahirrahmanirrahim; sejumlah kontrak yang diteliti
menggunakan menuliskannya dengan huruf Arab lengkap dengan baris-syakalnya,
sementara sejumlah kontrak lain menuliskan "basmallah" dengan huruf latin; dan b)
menuliskan terjemahan ayat Quran yang dianggap relevan dengan isi kontrak;34
33 Naja, Contract Drafting, hlm. 114. 34 Mirip dengan landasan filosofis vertikal dalam sebuah peraturan perundang-undangan;
lihat Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan di Indonesia (Jakarta: PT Perca. 2005), hlm. 58-59.
12
sementara dalam perjanjian musyarakah dan murabahah dituliskan terjemahan QS al-
Baqarah (2): 275; dan kontrak perjanjian tersebut pada umumnya menggunakan nomor
yang dibuat oleh pihak yang berwenang.
dalam
perjanjian mudharabah dituliskan terjemahan QS al-Ma'idah (5): 1 dan al-Nisa (4): 29);
35
Naja menjelaskan bahwa sejumlah kontrak menjelaskan mengenai tempat dan
waktu
Judul kontrak IMBT dapat ditampilkan dengan
dua bentuk: a) al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik; atau b) Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi
al-Tamlik.
Tidak ada keharusan--dalam arti wajib--menulis kontrak syariah diawali dengan
menuliskan basmallah dan terjemahan ayat Quran; akan tetapi, agar terasa lebih utama
(aspek verstehen) sebaiknya kontrak syariah diawali dengan basmallah dan terjemahan
ayat Quran dan bahkan disertai dengan hadis yang relevan jika diperlukan. Tentu saja
kebiasaan tersebut harus dihargai dan dipelihara serta dilanjutkan sehingga--secara
sosiologis--tujuan DSN-MUI mengenanai sosialisasi dan akselerasi akad mualamah-
ekonomi di masyarakat akan semakin cepat terwujud. Kebiasaan tersebut relevan dengan
kaidah "al-‘adah muhakkamah."
2. Signifikansi Pernyataan tentang Tempat dan Waktu IMBT
36 perjanjian dilakukan pada salah satu tempat: pada bagian pembukaan atau pada
bagian penutup. Selain itu, Naja juga menyampaikan bahwa terdapat sejumlah kontrak
yang memisahkan antara waktu dan tempat kontrak; waktu kontrak dijelaskan pada bagian
pembukaan, sedangkan tempat kontrak dijelaskan pada bagian penutup.37
Dari sejumlah kontrak syariah yang diteliti, tergambar bahwa kontrak syariah
menempatkan pernyataan tentang waktu perjanjian pada bagian depan/pendahuluan;
sedangkan penjelasan mengenai tempat kontrak dilakukan ditempatkan pada bagian
35 Kontrak-kontrak yang diteliti adalah: a) kontrak nomor 108 tentang Pembiayaan
Mudharabah Muqayyadah yang dibuat oleh Notaris yang berdomisili di Tangerang yang dibuat pada tanggal 28 Januari 2004; b) kontrak nomor 14 tentang Akad Mudharabah yang dibuat oleh Notaris yang berdomisili di Bogor yang dibuat pada tanggal 22 November 2007; c) kontrak nomor 06 tentang Akad Murabahah yang dibuat oleh Notaris yang berdomisili di Bogor yang dibuat pada tanggal 18 November 2008; d) kontrak nomor 36 tentang Akad Musyarakah yang dibuat oleh Notaris yang berdomisili di Bogor yang dibuat pada tanggal 28 Oktober 2008; dan e) kontrak nomor 09 tentang Akad Musyarakah Mutanaqishah yang dibuat oleh Notaris yang berdomisili di Bogor yang dibuat pada tanggal 17 Pebruari 2009.
36 Pernyataan mengenai waktu pembuatan kontrak ditulis dengan huruf (latin) dan diikuti dengan angka yang ditempatkan dalam kurung.
37 Naja, Contract Drafting, hlm. 115-116.
13
penutup. Akan tetapi, pernyataan mengenai waktu kontrak dilakukan terdapat dua bentuk:
a) pernyataan mengenai waktu pembuatan kontrak yang lengkap; dan b) pernyatan
mengenai waktu pembuatan kontrak yang kurang lengkap. Pernyataan mengenai waktu
pembuatan kontrak yang lengkap adalah pernyataan yang menjelaskan hari, tanggal, bulan
dan tahun, jam dan menitnya serta teritorial waktu (seperti pernyataan WIB, WITA, dan
WIT);38 sedangkan pernyatan mengenai waktu pembuatan kontrak yang kurang lengkap
yang dimaksud di sini adalah pernyataan yang hanya menjelaskan hari, tanggal, bulan dan
tahun pembuatan kontrak.39
Pernyataan mengenai tempat dan waktu perjanjian syariah penting dimuat dalam
kontrak, dan masing-masing memiliki kepentingan tersendiri. Pernyataan tentang waktu
IMBT berhubungan dengan prestasi/pelaksanaan hak dan kewajiban pihak-pihak yang
terikat dengan kontrak, terutama mengenai waktu ujrah dibayarkan oleh musta'jir kepada
Mu'ajir , dan waktu berakhirnya ijarah; sedangkan pernyataan tentang tempat pembuatan
kontrak berhubungan dengan: a) bukti-bukti surat obye IMBT jika benda tersebut termasuk
benda terdaftar atau berwarkat, dan b) yurisdiksi dan/atau kekuasaan relatif peradilan yang
menanganinya apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Pernyataan waktu yang lengkap
juga berguna untuk menghindari peningkaran dari salah satu pihak; sebab dengan hitungan
menit (kurang dari satu jam) sekarang seseorang sudah dapat melakukan perjalanan antar
daerah bahkan antar negara.
40 Menurut Naja, signifikansi pernyataan tersebut adalah
untuk menghindari risiko mengenai kemungkinan adanya sangkalan dari salah satu pihak,
bahwa ia pada saat tersebut tidak berada di tempat pembuatan kontrak tersebut.41
Komparisi kontrak adalah identitas subyek/pelaku perjanjian yang bisa dilakukan oleh
orang/individu yang cakap melakukan melakukan perbuatan hukum, atau badan usaha,
3. Komparisi Kontrak IMBT
38 Lihat kontrak nomor 06 tentang Akad Murabahah yang dibuat oleh Notaris yang
berdomisili di Bogor yang dibuat pada tanggal 18 November 2008. 39 Lihat kontrak nomor 108 tentang Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah yang dibuat oleh
Notaris yang berdomisili di Tangerang yang dibuat pada tanggal 28 Januari 2004. 40 Lihat kontrak nomor 14 tentang Akad Mudharabah yang dibuat oleh Notaris yang
berdomisili di Bogor yang dibuat pada tanggal 22 November 2007. 41 Naja, Contract Drafting, hlm. 116.
14
baik yang berbadan hukum maupun tidak.42 Komparisi sebuah kontrak menjelaskan
identitas pihak-pihak secara detail; di antara karakternya adalah: a) penulisan nama secara
lengkap (tidak ada yang disingkat); b) penulisan gelar secara lengkap, kadang ditulis
singkatannya dalam kurung; c) tanggal lahir ditulis dengan huruf latin dan angkanya ditulis
dalam kurung; d) kewarganegaraan; e) status kepegawaian/pekerjaan; e) alamat tempat
tinggal: Jalan, nomor rumah, RT, RW, kelurahan/desa, dan kota/kabupaten; f) kartu tanda
penduduk/KTP yang dilengkapi dengan informasi mengenai nomor KTP, pejabat/camat
yang menerbitkan KTP, dan masa berlakunya KTP yang diulis dengan huruf latin dan
angkanya ditulis dalam kurung; g) domisili/tempat tinggal ketika kontrak dibuat; dan h)
kedudukannnya dalam badan usaha yang dilengkapi dengan surat keputusan yang
melandasi kedudukannya yang dibuat oleh pihak yang berwenang, titimangsa surat yang
ditulis dengan huruf latin (angkanya ditulis dalam kurung) apabila pihak yang berkontrak
bertindak atas nama badan usaha.43 Selanjutnya, dinyatakan "dalam perjanjian ini disebut
BANK," "selanjutnya disebut pihak pertama/Bank," atau "selanjutnya disebut pihak
kedua/debitur."44
Naja menegaskan bahwa komparisi adalah penjelasan mengenai pihak yang
melakukan perbuatan hukum yang berupa penjelasan mengenai: a) identitas yang meliputi
nama, pekerjaan, dan domisili pihak-pihak; b) dasar hukum yang memberi kewenangan
yuridis untuk bertindak dari para pihak--khususnya untuk badan usaha; dan c) kedudukan
para pihak yang ditulis dengan sebutan: "selanjutnya dalam perjanjian ini disebut pihak
pertama," atau "selanjutnya dalam perjanjian ini disebut pihak kedua."
45
Dengan demikian, komparisi dalam akad IMBT adalah penjselasan mengenai pihak
yang melakukan akad IMBT yang berupa penjelasan mengenai: a) identitas yang meliputi
nama, pekerjaan, dan domisili pihak Mu'ajir dan Musta'jir; b) dasar hukum yang memberi
42 Badan usaha yang berbadan hokum adalah Perseroan Terbatas (PT) dan koperasi.
Sedangkan badan usaha yang tidak berbadan hukum antara firma (Fa) dan persekutuan komanditer (CV). Lihat Simatupang, Aspek Hukum, hlm. 2-26, dan 39.
43 Hal ini mirip dengan asas deskresi/oportunitas yang menetapkan bahwa pejabat pembuat peraturan perundang-undangan (dalam hal ini kontrak) memiliki hak dalam kedudukannya sebagai aparatur pemerintah (dalam hal ini badan usaha); lihat Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1996), hlm. 200-201
44 Lihat kontrak nomor 36 tentang Akad Musyarakah yang dibuat oleh Notaris yang berdomisili di Bogor yang dibuat pada tanggal 28 Oktober 2008.
45 Naja, Contract Drafting, hlm. 116-117.
15
kewenangan yuridis untuk bertindak dari Mu'ajir dan Musta'jir--khususnya untuk badan
usaha; dan c) kedudukan Mu'ajir dan Musta'jir yang ditulis dengan sebutan: "selanjutnya
dalam perjanjian ini disebut pihak pertama/Mu'ajir ," atau "selanjutnya dalam perjanjian ini
disebut pihak kedua/Musta'jir.
4. Recitals IMBT
Recitals adalah bagian pembukaan kontrak yang berisi tentang penjelasan resmi atas
latar belakang suatu keadaan dalam sebuah perjanjian/kontrak untuk menjelaskan
mengapa terjadi perikatan; dengan kata lain, recitals pada dasarnya merupakan penjelasan
mengenai sebab masing-masing pihak bersepakat untuk melakukan perjanjian. Akan
tetapi, recitals tidak mutlak harus ada dalam perjanjian jika tidak ada hal yang perlu
dijelaskan; kecuali perjanjian yang bersifat novasi, di dalam aktanya harus dijelaskan
penggantian perikatan lama dengan perikatan baru; jika tidak penjelasan yang demikian,
tidaklah terjadi perjanjian novasi dimaksud.46
Sejumlah ahli perancang hukum/kontrak masih berbeda pendapat, apakah rumusan
tentang ruang lingkup dapat dianggap sebagai bagian dari pembukaan/pendahuluan
sebuah kontrak, atau sudah merupakan bagian awal dari substansi sehingga harus
dianggap sebagai bagian dari diktum kontrak.
Dengan memperhatikan penjelasan tersebut,
kiranya dapat dipahami bahwa recitals IMBT adalah berupa penjelasan mengenai latar
belakang dilakukannya akad IMBT.
Seperti telah disinggung bahwa recitals--penjelasan mengenai sebab/consideration
kontrak, maka sejumlah kontrak syariah tidak mengandung recitals atas kontrak yang
bersangkutan. Dari segi ilmu perundang-undangan, recitals mirip dengan konsideran yang
bersifat sosiologis dalam peraturan perundang-undangan; yakni penjelasan yang diawali
dengan kata "Menimbang."
5. Ruang Lingkup IMBT
47
46Ibid., hlm. 119-120. 47Naja, Contract Drafting, hlm. 121.
Akan tetapi, "ruang lingkup" kelihatannya
merupakan diktum terpenting dari sebuah kontrak yang rinciannya dapat dijabarkan pada
bagian berikutnya.
16
Ruang lingkup pada dasarnya adalah sebuah kesimpulan yang diambil melalui logika-
linier atas sebab-sebab kontrak dilakukan yang dijelaskan pada recitals. Dari segi urutan
kalimat, "ruang lingkup" kontrak pada dasarnya merupakan kesimpulan dari pernyataan-
pernyataan singkat yang diuraikan sebelumnya; oleh karena itu, wajar jika sejumlah ahli
perancang kontrak berpendapat bahwa "ruang lingkup" berkedudukan sebagai bagian dari
pendahuluan kontrak. Akan tetapi, jika dilihat dari segi substansi, maka "ruang lingkup
kontrak" merupakan pokok kontrak, pasal-pasal berikutnya merupakan rincian dari
kesepakatan tersebut. Oleh karena itu, wajar juga jika sejumlah ahli perancang kontrak
lainnya menganggap bawa "ruang lingkup" merupakan bagian awal dari substansi dan
termasuk diktum kontrak.
F. Substansi Kontrak: Ketentuan Umum dan Prinsip Penyusunan Klausula IMBT
Telah disinggung bahwa ketentuan-ketentuan pokok perjanjian yang terdiri atas: a)
ketentuan umum; b) ketentuan-ketentuan pokok; dan c) ketentuan-ketentuan penunjang.
Ketentuan umum berisi tentang batasan istilah-istilah atau pengertian-pengertian yang
digunakan dalam kontrak yang bersangkutan; penjelasan-penjelasan tersebut disepakati
oleh para pihak guna menghindari dan mempersempit ruang perselisihan yang diduga akan
muncul yang disebabkan oleh perbedaan pengertian dan penafsiran dari para pihak yang
terikat dengan kontrak dimaksud.48
Ketentuan-ketentuan pokok kontrak terdiri atas pasal-pasal; "pasal" dalam sebuah
akta perjanjian/kontrak adalah bagian dari suatu kontrak yang terdiri atas kalimat dan/atau
sejumlah kalimat yang menggambarkan kondisi dan informasi tentang hal yang disepakati
baik secara tersurat maupun tersirat. Syarat-syarat "pasal-pasal" sebuah kontrak adalah: a)
urutan/kronologis; pasal mencerminkan isi dan kondisi kesepakatan yang dibuat secara
kronologis sehingga mudah dalam menemukan dan mengetahui hal-hal yang diatur oleh
masing-masing pasal; b) ketegasan; bahasa yang digunakan menghindari kata-kata
bersayap yang dapat menimbulkan ragam penafsiran; c) keterpaduan; antara kalimat yang
Di antara istilah-istilah yang perlu dijelaskan secara
operasional/definis operasional dalam "ketentuan umum" sebuah kontrak IMBT adalah:
Mu'ajir , musta'jir, ijarah, ujrah, IMBT, intiqal al-milkiyah/pemindahan kepemilikan, hibah,
dan jual-beli.
48Ibid., hlm. 123.
17
satu dengan kalimat yang lain, dan antara pasal yang satu dengan pasal yang lain
mempunyai hubungan; d) kesatuan; kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, dan
antara pasal yang satu dengan pasal yang lain mempunyai saling mendukung; dan e)
kelengkapan; yakni kalimat-kalimat dan pasal-pasal dalam suatu kontrak harus lengkap
informasinya.49
Sedangkan Herlien Budiono menginformasikan bahwa klausula kontrak seharusnya
disusun dalam bahasa perjanjian yang baku yang memenuhi tiga syarat: a) klausula harus
ditulis (bulan lisan, pen); b) klausula disusun terlebih dahulu dan perjanjian baku yang
memuat klausula baku tersebut akan digunakan kepada pihak lawan (mitra, pen) yang
jumlahnya relatif banyak; dan c) adanya peraturan pelaksana yang rinci. Di samping itu,
Budiono juga menginformasikan tulisan Mariam Darus Badrulzaman yang menegaskan
tentang ciri-ciri perjanjian baku, yaitu: a) isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditor
(shahib al-mal, pen); b) nasabah sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian; c)
nasabah terpaksa menerima isi perjanjian karena terdorong oleh kebutuhan; d) bentuknya
tertulis; dan e) dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.
50
Hak mu'ajir adalah: a) memperoleh pembayaran sewa dari musta'jir; b) menarik
obyek IMBT apabila musta'jir tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan;
dan c) mengalihkan obyek IMBT kepada musta'jir lain yang mampu dalam hal musta'jir
pertama tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan obyek IMBT, memperpanjang
masa sewa, atau mencari calon penggantinya pada akhir masa sewa. Sedangkan kewajiban
mu'ajir adalah: a) menyediakan obyek IMBT yang disewakan; b) menanggung biaya
G. Substansi Kontrak: Ketentuan Pokok IMBT
Ketentun pokok IMBT pada dasarnya dibedakan menjadi empat: pertama, ketentuan
yang berkaitan dengan hak dan kewajiban mu'ajir; kedua, ketentuan yang berkaitan
dengan hak dan kewajiban musta'jir; ketiga, ketentuan yang berkaitan dengan obyek IMBT;
dan keempat, ketentuan mengenai harga dan opsi pemindahan kemepilikan.
49Naja, Contract Drafting, hlm. 122-123. 50Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan (Bandung: PT
Citra Aditya Bakti. 2008), hlm. 136.
18
pemeliharaan obyek IMBT kecuali diperjanjikan lain; dan c) menjamin obyek IMBT tidak
cacat dan berfungsi dengan baik.51
Hak musta'jir adalah: a) menggunakan obyek IMBT sesuai dengan persyaratan-
persyaratan yang diperjanjikan; b) menerima obyek IMBT dalam keadaan baik dan siap
dioperasikan; dan c) pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan obyek IMBT,
memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu
untuk memindahkan hak kaepemilikan atas obyek IMBT atau (tidak mampu)
memperpanjang masa sewa. Sedangkan kewajiban musta'jir adalah: a) membayar sewa
sesuai dengan yang diperjanjikan; b) menjaga dan menggunakan obyek IMBT sesuai yang
diperjanjikan; c) tidak menyewakan kembali obyek IMBT kepada pihak lain; dan d)
melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap obyek IMBT.
52
Obyek IMBT adalah berupa barang modal dengan syarat-syarat: a) obyek IMBT
merupakan milik m'ajir; b) manfaatnya harus dapat dinilai dengan uang; c) manfaatnya
dapat diserahkan kepada musta'jir; d) manfaatnya tidak diharamkan oleh syari'ah Islam; e)
manfaatnya harus ditentukan dengan jelas; dan f) spesifikasinya harus dinyatakan dengan
jelas melalui identifikasi fisik, kelaikan, dan jangka waktu pemanfaatannya. Di antara harta
yang dapat dijadikan obyek IMBT adalah: a) alat-alat berat (heavy equipment); b) alat-alat
kantor (office equipment); c) alat-alat foto (photo equipment); d) alat-alat medis (medical
equipment); e) alat-alat printer (printing equipment); f) mesin-mesin (machineries); g) alat-
alat pengangkutan (vehicle); h) gedung (building); i) komputer; dan j) peralatan komunikasi
atau satelit.
53
Ketentuan mengenai ujrah dan opsi pemindahan kepemilikan atas obyek IMBT
adalah: a) harga sewa/ujrah dan cara pembayaran atas obyek IMBT ditetapkan berdasarkan
kesepakatan di awal akad; b) harga untuk opsi pemindahan kepemilikan atas obyek IMBT
ditetapkan setelah berakhirnya masa sewa yang dibuat secara tertulis dalam perjanjian
pemindahan kepemilikan; dan c) alat pembayaran ujrah adalah berupa uang atau bentuk
lain yang memiliki nilai yang sama dan tidak dilarang secara syari'ah.
54
51Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (selanjutnya
Bapepam LK) Nomor: PER-04/BL/2007 tentang Akad-akad yang Digunakan dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, pasal 10, ayat (1) dan (2).
52Peraturan Ketua Bapepam LK Nomor: PER-04/BL/2007, pasal 11, ayat (1) dan (2). 53Peraturan Ketua Bapepam LK Nomor: PER-04/BL/2007, pasal 12-13.
54Peraturan Ketua Bapepam LK Nomor: PER-04/BL/2007, pasal 14.
19
H. Akta, Dokumentasi, dan Ketentuan Penunjang IMBT
Dalam akta/surat IMBT harus terdapat hal-hal berikut: a) identitas mu'jir dan
musta'jir; b) spesifikasi obyek IMBT yang meliputi nama, jenis, jumlah, ukuran, tipe dan
lokasi penggunaanya; c) spesifikasi manfaat obyek IMBT; d) harga perolehan, nilai
pembiayaan, pembayaran ujrah, ketentuan jaminan dan asuransi atas obyek IMBT; e)
jangka waktu sewa; f) saat penyerahan obyek IMBT; g) ketentuan mengenai pengakhiran
transaksi yang belum jatuh tempo; h) ketentuan mengenai biaya-biaya yang timbul selama
masa sewa; i) ketentuan mengenai biaya-biaya yang ditanggung oleh masing-masing pihak
apabila terdapat kerusakan, kehilangan, atau tidak berfungsinya obyek IMBT; j) ketentuan
mengenai pengalihan obyek IMBT oleh mu'ajir kepada pihak lain; dan k) hak dan
tanggungjawab masing-masing pihak.55
Dokumentasi akad IMBT oleh pihak mu'ajir sekurang-kurangnya meliputi: a) surat
permohonan IMBT; b) surat persetujuan prinsip (offering letter); c) dokumen akad IMBT; d)
dokumen wa'd; e) perjanjian pengikatan jaminan atas pembayaran ujrah; f) tanda terima
barang; dan f) perjanjian pemindahan kepemilikan.
56
Makna ijarah yang telah diperluas dan dimodifikasi sehingga terjaga semangatnya di
satu sisi, dan dapat diaplikasikan dalam konteks kegiatan bisnis yang tidak bisa lepas dari
asas hukum perikatan yang berlaku di sisi yang lain. Bisnis yang menggunakan sistem
syariah melibatkan banyak pihak, pelaku bisnis (seperti banker), law officer, dan notaris. Di
sisi lain, kalau terjadi perselisihan di antara para pihak, penyelesaiannya dilakukan secara
Ketentuan-ketentuan penunjang yang terdapat dalam kontrak IMBT dapat berupa: a)
perjanjian dan jaminan dari pihak musta'jir; b) kelalaian dan pelanggaran; c) pelunasan di
muka; d) berakkhirnya perjanjian IMBT; dan e) lain-lain. Sedangkan bagian penutup akta
IMBT terdiri atas: a) pencantuman saksi-saksi; b) klausula perjanjian yang menyatakan
bahwa akta ini sebagai bukti; c) ruang tanda tangan para pihak; dan d) ruang tanda tangan
para saksi.
I. Penutup
55Peraturan Ketua Bapepam LK Nomor: PER-04/BL/2007, pasal 15. 56Peraturan Ketua Bapepam LK Nomor: PER-04/BL/2007, pasal 16.
20
musyawarah (al-syura), perdamaian (al-shulh), mediasi (al-tahkim), atau pengadilan (al-
qadha). Dengan demikian, baik pelaku bisnis maupun pihak-pihak yang terkait dengan
kegiatan tersebut diharapkan memiliki pengetahuan yang relatif sama sehingga perbedaan
penafsiran dapat dikurangi. Dari segi "ilmu" rancangan kontrak bisnis, IMBT termasuk
produk jasa lembaga keuangan syari'ah yang bersifat terbuka, dan bahkan dapat
melibatkan pihak ketiga jika diperlukan. Dalam konteks keindonesiaan, ekonomi syari'ah
dirancang dan digerakan secara kutural oleh MUI. Dalam rangka regulasi bisnis dengan
sistem syariah, MUI membentutuk Dewan Syari'ah Nasional (DSN) yang menghasilkan
fatwa; dalam rangka pengawasan, DSN menempatkan Dewan Pengawas Syari'ah (DPS)
pada setiap unit usaha yang menggunakan sistem syari'ah; dalam rangka penyelesaian
sengketa bisnis syari'ah, MUI membentuk Badan Arbitrase Syari'ah Nasional (Basyarnas),
Sedangkan secara struktural, Negara telah mengakomodir sistem usaha syari'ah dalam
bentuk peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, sifat keterbukaan (asas
kebebasan berkontrak) yang juga dianut dalam kontrak IMBT, dibatasi oleh peraturan
perundang-undangan dan kepatutan secara syari'ah yang didasarkan pada fatwa DSN-MUI.
DAFTAR PUSTAKA
Abduh, ‘Isa. t.th. Bunuk bila Fawa’id. Mesir: Dar al-I‘tisham. Abdul Mannan. 1995. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, terj. M. Nastangin. Yogyakarta:
Dana Bhakti wakaf. Abu Zahrah, Muhammad. 1970. Buhûts fî al-Ribâ. Mesir: Dar al-Buhuts al-‘Ilmiyah. Ali, Faried. 1996. Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. Anonimous. 2006. Al-Ma'ayir al-Syar'iyyah. Bahrain: Hai'at al-Muhasabah wa al-Muraja'ah li
al-Mu'assasat al-Maliyah al-Islamiyyah. Anoraga, Pandji. 2004. Manajemen Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta. Anwar, Syamsul. 2007. Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Arief, Mohammad (ed.). 1982. Monetary and Fiscal Economics of Islam. Jeddah:
International Centre for Research in Islamic Economics, King Abdulaziz University. Basyir, Ahmad Azhar. 1983. Hukum Islam tentang Riba, Utang-Piutang, dan Gadai.
Bandung: PT al-Ma‘arif. Boediono. 1982. Ekonom Mikro. Yogyakarta: BPFE. Budiono, Herlien. 2008. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti. Chapra, Umer. 1997. Alquran Menuju Sistem Moneter yang Adil, terj. Lukman Hakim.
Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.
21
Fuady, Munir. 2002. Hukum tentang Pembiayaan dalam Teori dan Praktek. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Hakim, Sofyan, al-, dan Enceng Arif Faizal. 2004. Pengaruh Fatwa MUI tentang Bunga terhadap Perkembangan Bank Syariah. Bandung: Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati.
Hasan, Ahmad. t.th. Nazhariyyat al-Ujur fi al-Fiqh al-Islami:Dirasah Tahliliyyah Mubtakirah li Fiqh al-Mu'amalat al-Maliyyah. tt: Dar Iqra'.
Hassan, A. 1988. Soal-Jawab tentang Berbagai Masalah Agama. Bandung: CV Diponegoro. Kontrak nomor 06 tentang Akad Murabahah yang dibuat oleh Notaris yang berdomisili di
Bogor yang dibuat pada tanggal 18 November 2008. Kontrak nomor 09 tentang Akad Musyarakah Mutanaqishah yang dibuat oleh Notaris yang
berdomisili di Bogor yang dibuat pada tanggal 17 Pebruari 2009. Kontrak nomor 108 tentang Pembiayaan Mudharabah Muqayyadah yang dibuat oleh
Notaris yang berdomisili di Tangerang yang dibuat pada tanggal 28 Januari 2004. Kontrak nomor 14 tentang Akad Mudharabah yang dibuat oleh Notaris yang berdomisili di
Bogor yang dibuat pada tanggal 22 November 2007. Kontrak nomor 36 tentang Akad Musyarakah yang dibuat oleh Notaris yang berdomisili di
Bogor yang dibuat pada tanggal 28 Oktober 2008. Masyhuri, KH Abdul Aziz. 1977. Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nahdhatul Ulama. Surabaya: PP Rabithah Ma‘ahidil Islamiyah dan Dinamika Press. Modeong, Supardan. 2005. Teknik Perundang-undangan di Indonesia. Jakarta: PT Perca. MUI Pusat. 2003. Keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang Fatwa Bunga
(Interest/Fa’idah), Terorisme, dan Penetapan Awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Jakarta, 16 Dember.
Naja, Daeng. 2006. Contract Drafting: Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Nasti, Jaya (ed.). 1999. Pendirian dan Pengelolaan Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) di Lingkungan Pondok Pesantren. Jakarta: Depag RI.
PB Mathla‘ul Anwar. 1985. Keputusan-Keputusan Majelis Fatwa Mathla‘ul Anwar. Jakarta: Sekretariat PB Mathla‘ul Anwar.
Peraturan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (selanjutnya Bapepam LK) Nomor: PER-04/BL/2007 tentang Akad-akad yang Digunakan dalam Kegiatan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
PP Muhamadiyah. t.th. Himpunan Putusan Tarjih. Yogyakarta: Pengurus Pusat Muhammadiyah, Majlis Tarjih.
Qardawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam, terj. Zainal Arifin dan Dahlia Husin. Jakarta: Gema Insani Press.
Rahardjo, M. Dawam. 1999. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat.
Sadr, Muhammad Baqer, dan Ayatullah Sayyid Mahmud Taleghani. 1991. Islamic Economics: Contemporary Ulama Perspective. Kuala Lumpur: Iqra’.
Simatupang, Richard Burton. 2003. Aspek Hukum dalam Bisnis. Jakarta: PT Rineka Cipta. Soekanto, Soerjono dkk. 1988. Pendekatan Sosiologi terhadap Hukum. Jakarta: PT Bina
Aksara. Soekanto, Soerjono, dan Mustafa Abdullah. 1987. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat.
Jakarta: Rajawali Pers.
22
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Soemardjan, Selo, dan Soelaeman Soemardi. 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi UI.
Sulaiman, Tahir Abdul Muhsin. 1985. Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam, terj. Anshori Umar Sitanggal. Bandung: PT al-Ma‘arif.
Syaeikh Abod, Syekh Ghazali dkk (ed.). 1991. An Introduction to Islamic Finance. Kuala Lumpur: Quill Publishers.
Taizir, Aswita. 1994. Muhammad Abduh and The Reformation of Islamic Law. Canada: Mc Gill University.
Tunggal, Amin Widjaya, dan Arif Djohan Tunggal. 2001. Aspek Yuridis dalam Leasing. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Umar, Husein. 2003. Business an Introduction. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama dan Jakarta Business Research Center.
Undang-undang Nomor: 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Zuhaili, Wahbah, al-. 2006. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Damaskus: Dar al-Fikr.