Konteks Kebijakan.doc

10
Analisis kebijakan adalah suatu tindakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur pokok yang terdapat pada suatu kebijakan untuk menghasilkan informasi-informasi yang bermanfaat untuk pengembangan ataupun perbaikan kebijakan tersebut. Dalam melakukan analisis kebijakan terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan, salah satunya adalah kerangka segitiga kebijakan. Kerangka segitiga kebijakan dapat digunakan untuk memahami konteks kebijakan, isi kebijakan, proses penyusunana kebijakan, dan aktor-aktor yang mempengaruhi proses penyusunan kebijakan tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan analisis kebijakan “Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010” adalah kerangka segitiga kebijakan. Berikut adalah pemaparan mengenai konteks kebijakan “Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010”: 2.1Konteks Kebijakan Konteks kebijakan adalah factor-faktor sistematis-politik, ekonomi, social atau budaya, baik nasional maupun internasional yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Konteks dari kebijakan “Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010” adalah: 2.1.1 Faktor Situsional Faktor situasional adalah kondisi yang tidak permanen atau khusus yang berdampak pada kebijakan. Faktor situasional yang mendorong terbentuknya Kebijakan “Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010” adalah

description

Konteks kebijakan

Transcript of Konteks Kebijakan.doc

Analisis kebijakan adalah suatu tindakan untuk mengidentifikasi unsur-unsur pokok yang terdapat pada suatu kebijakan untuk menghasilkan informasi-informasi yang bermanfaat untuk pengembangan ataupun perbaikan kebijakan tersebut. Dalam melakukan analisis kebijakan terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan, salah satunya adalah kerangka segitiga kebijakan. Kerangka segitiga kebijakan dapat digunakan untuk memahami konteks kebijakan, isi kebijakan, proses penyusunana kebijakan, dan aktor-aktor yang mempengaruhi proses penyusunan kebijakan tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam melakukan analisis kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 adalah kerangka segitiga kebijakan. Berikut adalah pemaparan mengenai konteks kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010:

2.1 Konteks KebijakanKonteks kebijakan adalah factor-faktor sistematis-politik, ekonomi, social atau budaya, baik nasional maupun internasional yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Konteks dari kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 adalah:2.1.1 Faktor Situsional

Faktor situasional adalah kondisi yang tidak permanen atau khusus yang berdampak pada kebijakan. Faktor situasional yang mendorong terbentuknya Kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 adalah

1. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa kejadian TB telah meningkat secaranyata di antara kasus HIV. TB masih merupakan salah satu masalahkesehatan masyarakat yang utama di Indonesia dimana setiap tahunnyaditemukan lebih dari 300.000 kasus baru, maka perawatan untuk keduajenis penyakit ini harus dilakukan secara bersamaan.

2.1.2 Faktor StrukturalFaktor structural adalah bagian dari masyarakat yang tidak berubah. Faktor struktural yang mendorong terbentuknya Kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 adalah1. Terjadi peningkatan kasus HIV/AIDS Situasi tahun 1987-2002

Pada akhir 1997 jumlah kasus AIDS kumulatif 153 kasus dan HIV positif baru 486 orang yang diperoleh dari serosurvei di daerah sentinel. Pada akhir abad ke 20 terlihat kenaikan yang sangat berarti dari jumlah kasus AIDS dan di beberapa daerah pada sub-populasi tertentu, angka prevalensi sudah mencapai 5%, sehingga sejak itu Indonesia dimasukkan kedalam kelompok negara dengan epidemi terkonsentrasi. Jumlah kasus AIDS pada tahun 2002 menjadi 1016 kaus dan HIV positiv 2552 kasus.

Situasi tahun 2003-2006

Pada akhir tahun 2003 jumlah kasus AIDS yang dilaporkan bertambah 355 kasus sehingga berjumlah 1371 kasus, semantara jumlah kasus HIV positif mejadi 2720 kasus.Peningkatan jumlah kasus AIDS terus terjadi, pada akhir Desember 2004 berjumlah 2682 kasus, pada akhir Desember 2005 naik hampir dua kali lipat menjadi 5321 kasus dan pada akhir September 2006 sudah menjadi 6871 kasus dan dilaporkan oleh 32 dari 33 provinsi. 2. Sistem desentralisasi

Sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia merupakan sistem desentralisasi. Salah tujuan dilaksanakannya desentralisasi dan otonomi pemerintahan adalah untuk mempercepat tercapainya kesejahteraan rakyat termasuk dalam bidang kesehatan. Dengan demikian memberikan kesempatan bagi Pemerintah Daerah untuk merencanakan program yang dibutuhkan termasuk pencegahan HIV dan AIDS yang didasarkan pada kebutuhan lokal dan mengalokasikan anggaran yang sesuai. Beberapa provinsi dan kabupaten/kota telah memperlihatkan perhatian yang cukup besar terhadap masalah HIV dan AIDS di daerah masing-masing, namun sebagain besar pemerintah daerah belum menganggap masalah HIV dan AIDS sebagai prioritas pembangunan untuk ditanggulangi, walaupun data telah menunjukkan masalah HIV dan AIDs sudah mengkhawatirkan.

3. Peraturan yang dibuat oleh pemerinatah

Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2006 Tentang Komisi Penanggulangan AIDS nasional, mengamanatkan perlunya peningkatan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di seluruh Indonesia. Dibentuknya Kebijakan Stranas tersebut oleh Komisi Penanggulangan AIDS merupkan perwujudan respons untuk mengurangi semaksimal mungkin peningkatan kasus baru dan kematian. di semua tingkat akan semakin kuat.

4. Meningkatnya jumlah penasun

Jumlah pengguna obat-obat terlarang di Indonesia terus meningkat terutama di kalangan remaja dan kelompok dewasa muda. Menurut estimasi Departemen Kesehatan pada tahun 2006 terdapat antara 191.000 sampai 248.000 penasun di Indonesia. Badan Narkotika Nasional(BNN) menunjuk kepada angka 508.000 pada tahun yang sama. Masalah menjadi semakin sulit karena ketidak pedulian akan bahaya tertular seperti ditunjukkan hasil survei perilaku tahun 2002 sekitar dua per tiga penasun yang menyatakanbahwa mereka tidak memiliki resiko terinfeksi juga menyatakan bahwa mereka telah menggunakan peralatan secara bersama-sama dalam minggusebelumnya pada survei yang sama.

2.1.3 Budaya

Faktor budaya adalah factor-faktor yang berasal dari nilai-nilai yang dimiliki, berkembang dan dianut oleh masyarakat di suatu daerah setempat yang dapat mempengaruhi kebijakan kesehatan. Faktor budaya yang mempengaruhi terbentuknya Kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 adalah

1. Stigma dan diskrimansi terhadap ODHA

Diskriminasi yang dialami ODHA baik pada unit pelayanan kesehatan, tempat kerja, lingkungan keluarga maupun di masyarakat. Stigma dan diskriminasi akan berdampak pada tatanan social masyarakat. Penderita HIV dan AIDS dapat kehilangan kasih sayang dan kehangatan pergaulan sosial. Sebagian akan kehilangan pekerjaan dan sumber penghasilan yang pada akhirnya menimbulkan kerawanan sosial. Sebagaian mengalami keretakan rumah tangga sampai perceraian. Jumlah anak yatim dan piatu akan bertambah yang akan menimbulkan masalah tersendiri. Oleh sebab itu keterbukaan dan hilangnya stiga dan diskriminasi sangat perlu mendapat perhatian dimasa mendatang.

2. Penerimaan kondom di masyarakat

Banyak kalangan masih menyebarkan pesan ketidak sukaannya terhadap kampanye penggunaan kondom untuk hubungan seks yang aman. Meskipun kondom kini lebih mudah diperoleh, penerimaan masyarakat yang masih terbatas mengurangi penggunaannya Komunikasi yang buruk di antara pasangan dalam kebutuhan dan kecemasan seksual mereka ditambah dengan rasa ketergantungan perempuan terhadap laki-laki baik secara emosi maupun sosial-ekonomi, telah mengurangi kemampuan perempuan untuk meminta hubunan seks yang aman.

3. Pandangan pendidikan seks

Sebagian besar masyarakat menggap bahwa pendidikan seks merupakan suatu hal yang tabu untuk dibicarakan yang menyebabkan sulitnya mengajarkan atau mendiskusikan seks dengan kaum remaja serta menghalangi dimasukannya pendidikan seks ke dalam kurikulum sekolah. Hal-hal ini menyebabkan para remaja kurang memiliki refrensi mengenai tindakan mana yang boleh dilakukan dan yang tidak bolah dilakukan berkaitan dengan seks, ditambah dengan rasa ingin tahu mereka yang sangat besar mengai hal tersebut. Dalam stranas disebutkan bahwa fakta bahwa aktivitas seksual di antara anak muda seringkali dimulai jauh pada usia yang lebih muda daripada yang diperkirakan oleh orang tua, guru, dan orang dewasa lainnya diamana hal ini akan memperbesar risiko remaja untuk tertular HIV/AIDS.2.1.4 Faktor external

Faktor external adalah faktror-faktor yang berasal dari luar suatu Negara yang dapat mempengaruhi kemandirian dan kerjasama internasional dalam bidang kesehatan. Faktor external yang mendorong Kebijakan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 adalah

1. Kerjasama Internasional

Kerjasama internasional dalam penanggulangn HIV/AIDS merupakan salah satu factor eksternal yang mendorong terbentuknya kebijakan tersebut. Kerjasama internasional bersifat bilateral dan multilateral, dimana kerjasama yang terbentuk adalah dalam hal pemberian bantuan. Bantuan telah diberikan antara lain bagi programpeningkatan kapasitas kelembagaan baik di pusat maupun di daerah, programperawatan, pengobatan dan dukungan pada ODHA, program pengurangan dampakburuk di kalangan penasun , program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anakdan program penanggulangan HIV dan AIDS di Tempat Kerja.Berdasarkan Perpres No 75/2006 mobilisasi dan pemanfaatan bantuan danadan bantuan teknis dari mitra internasional akan diarahkan dan dikoordinasikan oleh KPAN.

Sebagai konsekuensi dari bantuan ini, Indonesia sebagai negara penerima bantuan harus mengikuti saran yang dianjurkan oleh Negara pendonor, contohnya adalah Peran KPAN dalam pelaksanaan STRANAS sesuai dengan Three One Principle yang dianjurkan oleh UNAIDS, yaitu (1) setiap negara perlu mempunyai satu institusi yang mengkoordinasikan upaya penanggulangan, (2) satu strategi nasional yang menjadi acuan semua pihak dalam menyelenggarakan upaya penanggulangan, dan (3) satu sistem monitoring dan evaluasi nasional yang berlaku secara nasional.

2. Keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga internasional

Keputusanyang dibentuk oleh lembaga internasional merupakan salah satu factor yang mempengaruhi kebijakan nasional suatu negara. Keputusan-keputusan yang dibentuk oleh lembaga-lembaga internasional dinyatakan sebagai rekomendasi, khususnya sebagai pedoman teknis dimana negara-negara anggota dapat mengadopsi atau tidak tergantung pada relevansi dan kebijakan nasionalnya (Buse, et. all, 2005). Keputusan-keputusan internasional yang mempengaruhi terbetuknya kebijakan tersebut adalah:

1. Keputusan ILO (Internasinal Labour Organization)

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) telah mengakui bahwa HIV dan AIDS sebagai persoalan dunia kerja. Jenis pekerjaan, lingkungan dan tempat kerja berpotensi bagi pekerja untuk terpapar HIV. Keputusan ILO tersebut merupakan salah satu factor yang mendorong kebijakan tersebut. Dalam Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010, disebutkan bahwa prinsip-prinsip utama Kaidah ILO tentang HIV dan AIDS dan Dunia Kerja perlu ditingkatkan implementasinya di dunia kerja Indonesia melalui kesepakatan tripartit. Implementasi Kaidah ILO tersebut dijabarkan dalam program penanggulangan HIV dan AIDS di dunia kerja dan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan.