Konservasi tanah dan air

33
BAB I PENDAHULUAN Salah satu bagian penting dari budi daya pertanian yang sering terabaikan oleh para praktisi pertanian di Indonesia adalah konservasi tanah. Hal ini terjadi antara lain karena dampak degradasi tanah tidak selalu segera terlihat di lapangan, atau tidak secara drastis menurunkan hasil panen. Dampak erosi tanah dan pencemaran agrokimia, misalnya, tidak segera dapat dilihat seperti halnya dampak tanah longsor atau banjir badang. Padahal tanpa tindakan konservasi tanah yang efektif, produktivitas lahan yang tinggi dan usaha pertanian sulit terjamin keberlanjutannya. Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menentukan kemampuan tanah (soil capability) untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan agar tanah tidak rusak dan dapat digunakan secara terus-menerus dan berkelanjutan (sustainable). Upaya-upaya konservasi tanah ditujukan

Transcript of Konservasi tanah dan air

Page 1: Konservasi tanah dan air

BAB I

PENDAHULUAN

Salah satu bagian penting dari budi daya pertanian yang sering terabaikan

oleh para praktisi pertanian di Indonesia adalah konservasi tanah. Hal ini terjadi

antara lain karena dampak degradasi tanah tidak selalu segera terlihat di lapangan,

atau tidak secara drastis menurunkan hasil panen. Dampak erosi tanah dan

pencemaran agrokimia, misalnya, tidak segera dapat dilihat seperti halnya dampak

tanah longsor atau banjir badang. Padahal tanpa tindakan konservasi tanah yang

efektif, produktivitas lahan yang tinggi dan usaha pertanian sulit terjamin

keberlanjutannya.

Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang

tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan

memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi

kerusakan tanah. Dalam arti sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya

untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak

oleh erosi. Sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menentukan kemampuan

tanah (soil capability) untuk suatu penggunaan dan perlakuan yang diperlukan

agar tanah tidak rusak dan dapat digunakan secara terus-menerus dan

berkelanjutan (sustainable). Upaya-upaya konservasi tanah ditujukan untuk (1)

mencegah erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta

meningkatkan produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara

berkelanjutan.

Konservasi tanah mempunyai hubungan sangat erat dengan konservasi air.

Konservasi air pada dasarnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah

untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi

banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau. Setiap

perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan memperngaruhi tata air pada

tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu, konservasi tanah dan

konservasi air merupakan dua hal yang berhubungan erat sekali. Berbagai

tindakan konservasi tanah juga merupakan tindakan konservasi air.

Page 2: Konservasi tanah dan air

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Perkembangan Penelitian Konservasi Tanah

Sejarah perkembangan iptek dan penelitian tanah di Indonesia diawali pada

tahun 1905, bertepatan dengan berdirinya Laboratorium voor Vermeerdering

de Kennis van den Bodem (Laboratorium  untuk Perluasan Pengetahuan

tentang Tanah), yang sekarang menjadi Balai Besar Penelitian dan

Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Kegiatan pengembangan ilmu

tanah waktu itu mencakup pula penelitian erosi dan konservasi tanah. Namun,

penelitian konservasi tanah yang lebih terprogram dan terorganisasi baru

dikembangkan pada tahun 1969/1970 dengan dibentuknya Bagian Konservasi

Tanah pada Lembaga Penelitian Tanah, Departemen Pertanian. Secara

kronologis, garis besar sejarah perkembangan penelitian konservasi tanah

dapat dipilah dalam beberapa kurun waktu sebagai berikut.

Periode 1970-1980

Dalam periode ini pengembangan iptek dan penelitian konservasi tanah

didominasi oleh kegiatan di laboratorium dan rumah kaca, didukung dengan

beberapa kegiatan penelitian lapangan. Kegiatan penelitian diarahkan untuk

mengkompilasi berbagai data fisika dan konservasi tanah serta menguji

berbagai metode dan teknologi dasar konservasi tanah dan air, termasuk

penggunaan soil conditioner. Dalam periode ini juga dikembangkan teknik

simulasi dan pemodelan, seperti rainfall simulator, Universal Soil Loss

Equation (USLE), dan RUSLE (Revised USLE) (Abdurachman et al. 1984;

Abdurachman 1989; Abdurachman dan Kurnia 1990).

Beberapa inovasi iptek utama yang dihasilkan dalam periode ini adalah:

(1) nilai faktor erodibiltas tanah-tanah Indonesia (Kurnia dan Suwardjo 1984),

(2) nilai faktor pertanaman dan tindakan pengendalian erosi (Abdurachman et

al. 1984), (3) penggunaan soil conditoner, (4) tingkat erosi tanah pada berbagai

lahan pertania, (5) teknologi pengelolaan bahan organik, (6) teknologi

Page 3: Konservasi tanah dan air

pengolahan tanah, (7) teknologi pengendalian erosi, dan (8) teknologi

rehabilitasi tanah.

Periode 1980-2002

Dalam periode ini, iptek dan penelitian konservasi tanah lebih

diarahkan pada kegiatan lapangan dengan melibatkan petani, dan didukung

dengan penelitian rumah kaca dan laboratorium. Kegiatan penelitian dan

pengembangan konservasi tanah pada masa ini cukup aktif dan luas, karena

didukung oleh berbagai kerja sama dalam dan luar negeri. Kegiatan utamanya

antara lain (Abdurachman dan Agus 2000; Agus et al. 2005) : (1) Proyek

Penyelamatan Hutan Tanah dan Air di DAS Citanduy, 1982-1988; (2) Proyek

Penelitian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P3HTA/ UACP) di DAS

Jratunseluna dan Brantas, 1984-1994; (3) Proyek Penelitian Terapan Sistem

DAS Kawasan Perbukitan Kritis di Yogyakarta (YUADP), 1992-1996; (4)

Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nusa Tenggara, 1986-1995; (5)

Penelitian Peningkatan Produktivitas dan Konservasi Tanah untuk Mengatasi

Peladangan Berpindah, 1990-1993; (6) Proyek Penelitian Usahatani Lahan

Kering-UFDP (Upland Farmers Development Project) di Jawa Barat,

Kalimantan Tengah, dan Nusa Tenggara Timur, 1993-2000; (7) Kelompok

Kerja Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering, di DAS

Cimanuk, 1995-2000; (8) Managing of Soil Erosion Consortium (MSEC) di

Jawa Tengah, 1995-2004; dan (9) Penelitian Multifungsi Pertanian, antara lain

untuk memformulasikan kebijakan pembangunan pertanian dan tata guna

lahan, 2000-2005.

Kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut menghasilkan berbagai

teknologi dan sistem usaha tani konservasi (SUT), termasuk model

kelembagaan dan sistem diseminasinya. Beberapa rekomendasi pengelolaan

lahan juga dihasilkan, seperti formulasi dan pemilihan jenis tanaman sesuai

kemiringan lereng, SUT pada wilayah pegunungan, dan SUT lahan kering

beriklim kering. Bahkan Permentan No. 47/2006 tentang Pedoman Budidaya

pada Lahan Pegunungan, pada hakekatnya merupakan kristalisasi, penjabaran,

Page 4: Konservasi tanah dan air

dan aplikasi dari hampir seluruh kegiatan atau program penelitian dan

pengembangan konservasi tanah pada periode ini.

Periode 2002-2007

Pada periode ini, kegiatan penelitian konservasi tanah berkurang karena

tidak banyak lagi penelitian konservasi yang melibatkan petani pada areal yang

luas. Kegiatan lebih banyak berupa desk-work, memanfaatkan data yang telah

terkumpul untuk menyusun baku mutu tanah, pemodelan konservasi tanah,

buku petunjuk konservasi tanah, dan sebagainya. Pada periode ini juga

diupayakan pengembangan dan diseminasi iptek Prima Tani di berbagai lokasi,

terutama pada lahan kering beriklim basah. Kegiatan lain diarahkan pada upaya

perakitan teknologi dan rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi, seperti lahan

bekas tambang, lahan tercemar, bekas longsor, termasuk lahan yang tergenang

lumpur di Sidoarjo.

2.2 Degradasi Tanah di Indonesia

Degradasi tanah di Indonesia yang paling dominan adalah erosi. Proses ini

telah berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan

pertanian. Jenis degradasi yang lain adalah pencemaran kimiawi, kebakaran

hutan, aktivitas penambangan dan industri, serta dalam arti luas termasuk

juga konversi lahan pertanian ke nonpertanian.

Jenis-jenis Degradasi Tanah

Erosi Tanah

Hasil penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup

tinggi dan telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut

hingga kini. Beberapa data dapat dikemukakan sebagai berikut:

a. Sedimentasi di DAS Cilutung, Jawa Barat, memperlihatkan kenaikan laju

erosi tanah dari 0,9 mm/tahun pada 1911/1912 menjadi 1,9 mm/tahun pada

Page 5: Konservasi tanah dan air

1934/1935, dan naik lagi menjadi 5 mm/ tahun pada 1970-an (Soemarwoto

1974).

b. Laju erosi di DAS Cimanuk, Jawa Barat, mencapai 5,2 mm/tahun,

mencakup areal 332 ribu ha (Partosedono 1977).

c. Pada tanah Ultisols di Citayam, Jawa Barat yang berlereng 14 % dan

ditanami tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun

(Suwardjo 1981).

d. Di Putat, Jawa Tengah, laju erosi mencapai 15 mm/tahun, dan di Punung,

Jawa Timur, sekitar 14 mm/tahun. Keduanya pada tanah Alfisols berlereng 9-

10 % yang ditanami tanaman pangan semusim (Abdurachman et al. 1985).

e. Di Pekalongan, Lampung, laju erosi tanah mencapai 3 mm/tahun pada

tanah Ultisols berlereng 3,5 % yang ditanami tanaman pangan semusim. Pada

tanah Ultisols berlereng 14 % di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun

(Abdurachman et al. 1985).

Data di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40-250 m3 atau 35-220 ton

tanah/ha lahan tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28

ton tanah/ ha/tahun, dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7

ton/ha/tahun. Data menunjukkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia terus

meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 10,9 juta ha. Bahkan

Departemen Kehutanan mengidentifikasi luas lahan kritis mencapai 13,2 juta

ha. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor.

Pencemaran Tanah dan Kebakaran Hutan

Selain terdegradasi oleh erosi, lahan pertanian juga mengalami penurunan

kualitas akibat penggunaan bahan agrokimia, yang meninggalkan residu zat

kimia dalam tanah atau pada bagian tanaman seperti buah, daun, dan umbi.

Hasil penelitian menunjukkan adanya residu insektisida pada beras dan tanah

sawah di Jawa, seperti organofosfat, organoklorin, dan karbamat (Ardiwinata

et al. 1999; Harsanti et al., 1999; Jatmiko et al. 1999). Pencemaran tanah juga

Page 6: Konservasi tanah dan air

terjadi di daerah pertambangan, seperti pertambangan emas liar di Pongkor,

Bogor, yang menyebabkan pencemaran air raksa (Hg) dengan kadar 1,27-

6,73 ppm sampai jarak 7-10 km dari lokasi pertambangan. Pencemaran tanah

juga ditemukan di kawasan industri, seperti industri tekstil, kertas, baterai,

dan cat. Bahan-bahan kimia yang sering menimbulkan pencemaran tanah

antara lain adalah Na, NH4, SO4, Fe, Al, Mn, Co, dan Ni (Tim Peneliti Baku

Mutu Tanah 2000).

Proses degradasi tanah sebagai akibat kebakaran hutan terjadi setiap tahun,

terutama di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Menurut Bakornas-

PB dalam Kartodihardjo (2006), pada tahun 1998-2004 di Indonesia terjadi

193 kali kebakaran hutan, yang mengakibatkan 44 orang meninggal dan

kerugian harta-benda senilai Rp647 miliar. Menurut Bappenas (1998), sekitar

1,5 juta ha lahan gambut di Indonesia terbakar selama musim kering 1997 dan

1998. Parish (2002) melaporkan terjadinya kebakaran gambut seluas 0,5 juta

ha di Kalimantan pada musim kering 1982 dan 1983. Selain tanaman dan

sisa-sisa tanaman yang ada di permukaan tanah, berbagai material turut

hangus terbakar, seperti humus dan gambut. Menurut Jaya et al. (2000),

kebakaran hutan mengakibatkan hilangnya serasah dan lapisan atas gambut.

Kerugian lainnya berupa gangguan terhadap keanekaragaman hayati,

lingkungan hidup, kesehatan manusia dan hewan, serta kelancaran

transportasi (Musa dan Parlan 2002).

Banjir, Longsor, dan Konversi Lahan

Degradasi lahan pertanian juga sering disebabkan oleh banjir dan longsor,

yang membawa tanah dari puncak atau lereng bukit ke bagian di bawahnya.

Proses ini menimbulkan kerusakan pada lahan pertanian baik di lokasi

kejadian maupun areal yang tertimbun longsoran tanah, serta alur di antara

kedua tempat tersebut. Proses degradasi lahan pertanian (dalam makna yang

sebenarnya), yang tergolong sangat cepat menurunkan bahkan

menghilangkan produktivitas pertanian adalah konversi ke penggunaan

nonpertanian.

Page 7: Konservasi tanah dan air

Pada tahun 1981-1999, di Indonesia terjadi konversi lahan sawah seluas

1,6 juta ha; dan sekitar 1 juta ha di antaranya terjadi di Jawa (Irawan et al.

2001). Winoto (2005) menyatakan sekitar 42,4% lahan sawah beririgasi (3,1

juta ha) telah direncanakan untuk dikonversi. Kondisi terburuk terjadi di Jawa

dan Bali, karena 1,67 juta ha atau 49,2% dari luas lahan sawah berpotensi

untuk dikonversi.

2.3 Dampak Degradasi Tanah

Degradasi tanah tidak hanya berdampak buruk terhadap produktivitas

lahan, tetapi juga mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi lahan

pertanian.

Produksi dan Mutu Hasil Pertanian

Erosi tanah oleh air menurunkan produktivitas secara nyata melalui

penurunan kesuburan tanah, baik fisika, kimia maupun biologi. Langdale et

al. (1979) dan Lal (1985) melaporkan bahwa hasil jagung menurun 0,07-0,15

t/ha setiap kehilangan tanah setebal 1 cm. Hal ini terjadi karena tanah lapisan

atas memiliki tingkat kesuburan paling tinggi, dan menurun pada lapisan di

bawahnya. Penyebab utama penurunan kesuburan tersebut adalah kadar

bahan organik dan hara tanah makin menurun, tekstur bertambah berat, dan

struktur tanah makin padat.

Penurunan produktivitas dan produksi pertanian juga dapat terjadi akibat

proses degradasi jenis lain seperti kebakaran hutan (lahan) dan longsor, serta

konversi lahan pertanian ke nonpertanian.

Sumber Daya Air

Erosi tanah bukan hanya berdampak terhadap daerah yang langsung

terkena, tetapi juga daerah hilirnya, antara lain berupa pendangkalan dam-

dam penyimpan cadangan air dan saluran irigasinya, pendangkalan sungai,

dan pengendapan partikel-partikel tanah yang tererosi di daerah cekungan.

Page 8: Konservasi tanah dan air

Dengan demikian bukan saja lahan yang terkena dampak, tetapi juga kondisi

sumber daya air menjadi buruk.

Multifungsi Pertanian

Lahan pertanian memiliki fungsi yang besar bagi kemanusiaan melalui

fungsi gandanya (multifunctionality). Selain berfungsi sebagai penghasil

produk pertanian (tangible products) yang dapat dikonsumsi dan dijual,

pertanian memiliki fungsi lain yang berupa intangible products, antara lain

mitigasi banjir, pengendali erosi, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas

karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik,

dan pemelihara keanekaragaman hayati (Agus dan Husen 2004). Fungsi

sosial-ekonomi dan budaya pertanian juga sangat besar, seperti penyedia

lapangan kerja dan ketahanan pangan. Eom dan Kang (2001) dalam Agus dan

Husen (2004) mengidentifikasi 30 jenis fungsi pertanian di Korea Selatan.

Fungsi-fungsi tersebut dapat terkikis secara gradual oleh erosi dan

pencemaran kimiawi, dan dapat berlangsung lebih cepat lagi dengan

terjadinya longsor, banjir, dan konversi lahan. Multifungsi tersebut perlu

dilindungi, antara lain dengan strategi sebagai berikut: (1) meningkatkan citra

pertanian beserta multifungsinya, (2) mengubah kebijakan produk

pertanian harga murah, (3) meningkatkan upaya konservasi lahan pertanian,

dan (4) menetapkan lahan pertanian abadi (Abdurachman 2006a).

2.3 Permasalahan Konservasi Tanah

Faktor Alami Penyebab Erosi

Kondisi sumber daya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi

tanah, terutama tiga faktor berikut: (1) curah hujan yang tinggi, baik kuantitas

maupun intensitasnya, (2) lereng yang curam, dan (3) tanah yang peka erosi,

terutama terkait dengan genesa tanah

Data BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah

Indonesia memiliki curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara

Page 9: Konservasi tanah dan air

2.000-3.500 mm, dan hanya 17,2% yang memiliki curah hujan tahunan <

2.000 mm. Dengan demikian, curah hujan merupakan faktor pendorong

terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang luas. Lereng merupakan

penyebab erosi alami yang dominan di samping curah hujan. Sebagian besar

(77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan topografi datar, agak

berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng <

3%) hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia

(Subagyo et al. 2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%) di setiap pulau

di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%).

Praktek Pertanian yang Kurang Bijak

Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan

tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga

pada lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman

tahunan atau hutan. Secara keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi

luas 31,5 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002), namun penggunaannya

diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri, pertambangan, dan sektor

lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan pertanian lahan kering jauh

lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian terdesak ke lahanlahan

berlereng curam.

Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian

yang tidak disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem

perladangan berpindah yang banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada

sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik konservasi tanah belum

merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai bagian penting dari

pertanian.

Faktor Kebijakan dan Sosial- Ekonomi

Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan

teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi

seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain.

Page 10: Konservasi tanah dan air

Hudson (1980) menyatakan bahwa walaupun masih ada kekurangan dalam

teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk perbaikan teknis, hambatan

yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan ekonomi.

Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan

keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan

yang ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun

pendanaan. Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas

utama pembangunan pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi dan

pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek keberlanjutan dan

kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut

berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa mendatang.

Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga

sering menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan

dan hak atas lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan

tekanan penduduk. Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering

menjadi alasan bagi mereka untuk mengabaikan konservasi tanah.

Konversi lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani,

yang memaksa mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya

sumber mata pencaharian (Abdurachman 2004). Selain faktor alami,

terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama terkait dengan lemahnya

peraturan dan sistem perundangundangan. Selain itu, faktor teknis dan

ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan

alasan mudah dan murah.

2.4 Strategi Konservasi Tanah di Indonesia

Upaya konservasi tanah tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan

kemampuan petani saja, karena berbagai keterbatasan, terutama permodalan,

selain kurang memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran

pemerintah sangat penting dan menentukan. Demikian juga strategi yang

Page 11: Konservasi tanah dan air

dipilih untuk mensukseskan implementasinya di lapangan sangat menentukan

keberhasilan. Strategi tersebut meliputi lima hal sebagai berikut.

Strategi 1 Penyiapan Teknologi Konservasi

Teknologi konservasi tanah yang tepat guna, berupa teknologi

pengendalian erosi dan longsor, sudah tersedia. Beberapa di antaranya telah

dipublikasikan dalam berbagai media cetak berupa buku, jurnal, dan

prosiding. Yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan dan menyusunnya

dalam buku teknologi atau menyediakan file elektronis, sehingga dapat

diakses dengan mudah oleh penyuluh dan calon pengguna lainnya. Teknologi

untuk mengendalikan pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, polusi oleh

limbah pertambangan dan industri, serta konversi lahan masih perlu diteliti

dan dikembangkan lebih lanjut.

Strategi 2 Percepatan Diseminasi

Upaya penelitian konservasi tanah selama ini belum didukung oleh sistem

diseminasi yang handal. Teknologi pengendalian erosi lebih banyak

diterapkan pada proyek reboisasi dan penghijauan yang dikelola oleh

Departemen Kehutanan. Sasaran utaman proyek tersebut adalah kawasan

hutan, terutama pada DAS bagian hulu, sedangkan konservasi wilayah

pertanian hanya terbatas pada penghijauan lahan pertanian di DAS hulu. Oleh

karena itu, diperlukan pembenahan terhadap materi, program, dan

kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Untuk

mendukung pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu diarahkan

kepada pencarian metode diseminasi teknologi yang tepat, di samping

penelitian teknologinya sendiri.

Salah satu program Departemen Pertanian yang dapat dijadikan wadah

percepatan diseminasi teknologi konservasi adalah Prima Tani, yang salah

satu tujuannya adalah mempercepat diseminasi inovasi pertanian

(Abdurachman 2006b, 2006c). Prima Tani merupakan model pembangunan

pedesaan yang mengintegrasikan berbagai program pertanian,

Page 12: Konservasi tanah dan air

penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara sinergis, yang juga

bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa sumber

daya manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani sangat

dekat dengan semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui

Prima Tani, teknologi konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani

sebagai percontohan. Lebih jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani

sebagai suatu model pembangunan pertanian yang berawal dari desa, dan

merupakan tonggak baru sejarah pembangunan pertanian (Abdurachman

2007).

Teknologi konservasi dapat pula didiseminasikan melalui peraturan, seperti

dengan penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum

Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut

dengan tegas ditetapkan strategi dan teknologi konservasi tanah dan air

menurut karakteristik lahan dan iklim secara spesifik lokasi. Secara

substansial, Permentan tersebut disusun dan merupakan kristalisasi serta sari

pati hasil pembelajaran dari berbagai program penelitian dan pengembangan

konservasi sejak puluhan tahun yang lalu.

Strategi 3: Reformasi Kelembagaan Konservasi Tanah

Pada tahun 2005, dalam struktur organisasi Departemen Pertanian

dibentuk kelembagaan eselon I baru, yaitu Direktorat Jenderal Pengelolaan

Lahan dan Air, dengan Permentan No. 299 tahun 2005. Hal ini memberikan

harapan akan lebih tertibnya pengelolaan lahan dan air, walaupun mandat

konservasi tanah masih diletakkan pada tingkat jabatan yang relatif rendah

(eselon III), yaitu Subdit Rehabilitasi, Konservasi, dan Reklamasi Lahan.

Makin cepatnya laju degradasi lahan pertanian, yang mengancam

keberlanjutan dan tingkat produksi pertanian, menuntut adanya politik

pemerintah yang lebih tegas, antara lain dengan meninjau ulang posisi

kelembagaan konservasi tanah. Mandat konservasi tanah di Departemen

Pertanian seyogianya dilaksanakan oleh suatu kelembagaan setingkat

eselon II (Direktorat Konservasi Tanah), di bawah Ditjen PLA, bahkan

Page 13: Konservasi tanah dan air

lebih baik lagi dibentuk Direktorat Jenderal Konservasi Tanah. Dengan

demikian akan ada kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan serta

melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang konservasi

tanah, yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Strategi 4:  Relokasi Program Konservasi Tanah

Program konservasi tanah selama ini dilaksanakan oleh Departemen

Kehutanan, dengan nama Reboisasi dan Penghijauan hingga tahun 2002.

Kemudian pada tahun 2003 digalakkan gerakan masyarakat yang disebut

Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional (Gerhan). Hingga tahun

2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta ha digunakan anggaran Rp8,586

triliun atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari dana reboisasi (Kartodihardjo

2006). Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut yang digunakan untuk

pembuatan konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti teras dan saluran

drainase, sehingga dampak program tersebut tampaknya belum cukup berarti,

terutama untuk konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan tersebut,

seyogianya program konservasi lahan pertanian dikelola oleh kelembagaan

konservasi di Departemen Pertanian yang dikoordinasikan dengan program

Dinas Pertanian di provinsi dan kabupaten. Dengan demikian, konservasi

lahan pertanian akan mendapat perhatian lebih besar, dan Departemen

Kehutanan dapat memfokuskan programnya pada penanganan konservasi

kawasan hutan.

Strategi 5: Pelaksanaan Program Pendukung

Upaya konservasi lahan pertanian perlu didukung perbaikan perencanaan

dan implementasi programnya, antara lain berupa program sebagai berikut.

Peningkatan Kesadaran Masyarakat

Hasil penelitian di DAS Citarum dan DAS Kaligarang menunjukkan

bahwa masyarakat pedesaan baru mengenal 2-4 jenis fungsi lahan pertanian,

yaitu penghasil produk pertanian, pemelihara pasokan air tanah, pengendali

Page 14: Konservasi tanah dan air

banjir, dan penyedia lapangan kerja. Padahal fungsi lahan pertanian bagi

kemanusiaan mencapai 30 jenis.

Sehubungan dengan hal tersebut, penggalakan konservasi tanah harus

meliputi pula advokasi pentingnya pertanian beserta fungsi gandanya. Dalam

jangka pendek, promosi dapat dilakukan melalui seminar dan simposium

serta media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran advokasi

bukan saja masyarakat umum, tetapi juga pelajar dan mahasiswa melalui

kurikulum pokok dan ekstra-kurikuler.

Penguatan Kelembagaan Penyuluhan

Kondisi kelembagaan penyuluhan saat ini kurang kondusif untuk

pembangunan pertanian secara umum, lebih-lebih untuk pengembangan

konservasi tanah. Hal ini terjadi terutama setelah diberlakukannya UU No.

32/2004 tentang otonomi daerah, yang antara lain mengalihkan pengelolaan

urusan penyuluhan pertanian dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

Kabupaten. Namun dengan diterbitkannya UU No 16/2006 tentang

penyuluhan diharapkan fungsi penyuluhan akan lebih baik, apalagi dengan

digabungnya penyuluhan pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam satu

wadah. Salah satu hal yang perlu diupayakan adalah pengadaan tenaga

penyuluh konservasi tanah lapangan yang terlatih dan dibekali pengetahuan

dan teknologi konservasi yang memadai.

Penegakan Hukum

RUU Konservasi Tanah masih dalam proses ke arah pengesahan menjadi

undang-undang. Namun sebenarnya berbagai peraturan/perundangan yang

berkaitan dengan masalah kerusakan lahan pertanian, terutama konversi lahan

ke nonpertanian, sudah banyak diberlakukan dalam bentuk Peraturan

Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan Daerah. Masalah yang

mengemuka adalah lemahnya penegakan hukum terutama karena penerapan

law-enforcement yang kurang tegas.

Page 15: Konservasi tanah dan air

Advokasi Penanggung Jawab

Konservasi Perlu dilakukan advokasi intensif kepada masyarakat luas

untuk menjelaskan bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan

bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh

generasi bangsa Indonesia.

2.5 Metode Atau Teknik Dalam Konservasi Tanah Dan Air

Di dalam konservasi tanah dan air, ada beberapa teknik dalam kegiatannya:

A. Teknik Mulsa Vertikal

Teknik mulsa vertikal ini adalah salah satu teknik dalam konservasi tanah

dan air. Teknik ini adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari bagian

tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun

daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam saluran atau

alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan (Pratiwi,

2005). Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan

pembuatan guludan.

Peranan dari teknik mulsa vertikal ini, antara lain (yang terdiri dari 3

komponen, yaitu pemanfaatan limbah hutan (serasah), pembuatan saluran, dan

guludan):

a. Limbah hutan (serasah) berfungsi sebagai:

1. Menghasilkan unsur-unsur hara penting bagi tanaman, yaitu limbah hutan

yang dimasukkan dalam saluran, akan terdekomposisi. Lalu aktivitas

mikroba meningkat dalam proses penghancuran atau dekomposisi bahan

organik.

2. Biomas segar yang telah dikomposisi tersebut merupakan media yang

dapat menyerap dan memegang massa air dalam jumlah besar sehingga

penyimpanan air dalam tanah dapat berjalan efisien.

3. Bahan organik yang telah terkomposisi di dalam saluran dapat diangkat

dan digunakan sebagai kompos. Kompos ini akhirnya dapat memperbaiki

kesuburan tanah.

4. Dapat meningkatkan keragaman biota tanah, karena mulsa merupakan

niche ekologi bagi berbagai jenis biota tanah. Biota ini akan

Page 16: Konservasi tanah dan air

memanfaatkan energi dan unsur hara di dalam mulsa dan akan

menghasilkan senyawa organik yang dapat memantapkan agregat tanah.

5. Limbah hutan yang dimasukkan dalam saluran dapat berfungsi sebagai

penghambat penyumbatan pori makro dinding saluran oleh sedimen

sehingga air akan mudah meresap ke dalam saluran.

b. Saluran berfungsi sebagai:

1. Adanya saluran maka infiltrasi akan meningkat sehingga aliran

permukaan yang menyebabkan erosi akan menurun tajam, karena air

akan masuk ke dalam saluran.

2. Saluran merupakan tempat menyimpan partikel tanah yang terbawa oleh

aliran dari bidang di atas saluran sehingga dapat terendapkan di bagian

saluran mulsa vertikal tersebut.

3. Dan guludan berfungsi sebagai penahan aliran permukaan dan pertikel-

partikel tanah sebelum tererosi ke bagian hilir. Dengan demikian

partikel-partikel tanah akan terhenti di bagian guludan tersebut

(www.dephut.go.id/files/Pratiwi)

B. Teknik Kebekolo

Masalah berkurangnya kesuburan tanah untuk pertanian telah menyita

perhatian dunia dan konservasi tanah menjadi solusinya. Mengembangkan teknik

konservasi tanah dengan memperhatikan kearifan lokal dapat dijadikan salah satu

pilihan. Salah satu contoh adalah Kebekolo dari NTT.

Kebekolo adalah barisan-barisan tumpukan kayu atau ranting yang disusun

atau direntang memotong lereng perbukitan pada lahan kering. Tumpukan-

tumpukan itu dimaksudkan untuk menahan erosi, yaitu tergerusnya tanah oleh

aliran air permukaan ketika hujan turun. Jarak antara tumpukan satu dengan

tumpukan lain dibuat semakin rapat tatkala tingkat kemiringannya lahan kering

tersebut semakin tinggi.

Teknik ini sangat efektif menahan erosi tanah permukaan. Tetapi kelemahan

teknik kebekolo ini adalah ketergantungan pada umur tumpukan kayu dan ranting

tersebut. Bila kayu atau ranting yang digunakan sudah menjadi lapuk atau

membusuk lalu rapuh dan hancur, tentunya teknik ini menjadi tidak efektif untuk

menahan erosi.

Page 17: Konservasi tanah dan air

Resikonya secara periodik harus mengganti tumpukan kayu atau ranting

yang telah membusuk tersebut.(www.litbang.deptan.go.id/berita/one/666/).

C. Teknik Teknologi Koservasi Tanah Dan Air

Untuk menahan air dan mencegah kehilangan air melalui aliran permukaan,

perkolasi, dan evaporasi diperlukan teknologi konservasi air. Dan konservasi

tanah diterapkan untuk mengendalikan erosi dan mencegah degradasi lahan.

Berikut diuraikan berbagai macam teknologi konservasi tanah dan air:

1. Sistem pertanaman lorong

Adalah suatu sistem dimana tanaman pangan ditanam pada lorong di

antara barisan tanaman pagar. Sistem in sangat bermanfaat dalam mengurangi laju

limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara

terutama N untuk tanaman lorong.

2. Strip rumput

Adalah suatu sistem dimana tanaman pangan ditanam pada lorong, tetapi

tanaman pagarnya adalah rumput. Strip rumput dibuat mengikuti kontur dengan

lebar strip 0,5 meter atau lebih. Semakin lebar strip, semakin efektif

mengendalikan erosi.

3. Tanaman penutup tanah

Merupakan tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan dengan

tanaman pokok. Bermanfaat untuk menutupi tanah dari terpaan langsung curah

hujan, mengurangi erosi, menyediakan bahan organik tanah, dan menjaga

kesuburan tanah.

4. Teras Gulud

Sistem pengendalian erosi secara mekanis yang berupa barisan gulud yang

dilengkapi rumput penguat gulud dan saluran air di bagian lereng atasnya. Ini

mengurangi laju limpasan permukaan dan menyebabkan resapan air

5. Teras bangku

Adalah teras yang dibuat dengan cara memotong lurus dan meratakan tanah

di bidang olah sehingga terjadi deretan menyerupai tangga teras bangku. Ini

berfungsi sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi.

6. Rorak

Page 18: Konservasi tanah dan air

Adalah lubang atau penampung yang dibuat memotong lereng yang

berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan. Rorak ini

berguna untuk memperbesar peresapan air ke dalam tanah, memperlambat

limpasan air pada saluran peresapan, dan sebagai pengumpul tanah yang tererosi,

sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah.

7. Embung

Merupakan bangunan penampung air yang berfungsi sebagai pemanen

limpasan air permukaan dan air hujan. Fungsinya sebagai penyedia air di musim

kemarau.

8. Daun Parit

Adalah suatu cara mengumpulkan atau membendung aliran air pada suatu

parit dengan tujuan untuk menampung aliran air permukaan, sehingga dapat

digunakan untuk mengairi lahan di sekitarnya. Daun parit dapat menurunkan

aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi.

(www.primatani.litbang.deptan.go.id/indek.php?)

D. Teknik Biopori

Teknik ini dicetuskan oleh Dr. Kamir R. Brata, salah satu peneliti senior di

IPT. Teknik biopori ini sering disebut dengan Lubang Resapan Biopori (LRB),

yaitu metode resapan air yang ditujukan untuk membantu mengatasi banjir dan

genangan air serta sampah organik di pemukiman warga. Peningkatan daya resap

air pada tanah dikeluarkan dengan membuat lubang silindris yang dibuat secara

pertikel ke dalam tanah dengan melebihi kedalaman muka air tanah. Pada lubang

itu dimasukkan sampah organik berupa daun-daun, pangkasan rumput atau limbah

dapur sisa-sisa makanan untuk menghasilkan kompos. Sampah organik yang

ditimbun di dalam tanah akan menghidupi fauna tanah yang seterusnya mampu

menciptakan pori-pori di dalam tanah.

E. Teknik Groundwater Conservation Area

Merupakan teknik yang mengusahakan suatu kawasan atau wilayah tertentu

yang khusus diperuntukkan sebagai daerah pemanenan air hujan (peresapan air

Page 19: Konservasi tanah dan air

hujan) yang dijaga diversifikasi dan konstruksi apapun tidak boleh dibangun di

atas area tersebut.

Untuk keperluan ini harus dipilih daerah yang mempunyai peresapan tinggi

dan bebas dari kontaminasi polutan (A. Maryono dan E.N. Santoso, 2006).

2.7 Manfaat Konservasi Tanah Dan Air

Pada dasarnya konservasi merupakan pemberdayaan atau pemeliharaan

terhadap alam dan makhluk hidup. Manfaat – manfaat konservasi diwujudkan

dengan:

1. Terjaganya kondisi alam dan lingkungannya, berarti konservasi

dilakukan dengan memelihara agar kawasan konservasi tidak rusak.

2. Terhindarnya makhluk hidup dari kepunahan, yang berarti jika

gangguan-gangguan penyebab turunnya jumlah dan mutu makhluk

hidup terus dibiarkan tanpa upaya pengendalian akan berakibat

makhluk hidup tersebut menuju kepunahan bahkan punah sama sekali.

3. Terhindarnya dari bencana akibat perubahan alam, berarti gangguan-

gangguan terhadap flora dan fauna serta ekosistemnya pada

khususnya serta sumber daya alam pada umumnya menyebabkan

perubahan berupa kerusakan maupun penurunan jumlah dan mutu

sumber daya alam tersebut.

4. Mampu mewujudkan keseimbangan lingkungan baik mikro maupun

makro, bararti dalam ekosistem terdapat hubungan yang erat antara

makhluk hidup dengan lingkungannya.

5. Mampu memberikan kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, berarti

upaya konservasi sebagai sarana pengamatan dan pelestarian flora

yang sudah punah maupun belum punah dari sifat, potensi maupun

penggunaannya.

6. Mampu memberikan konstruksi kepada kepariwisataan,

berarti ciri-ciri dan objeknya yang karakteristik

merupakan kawasan ideal sebagai sarana rekreasi atau

wisata alam (www.petualang.com/2008/09/konservasi-

sumber-daya-alam-di-indonesia/

Page 20: Konservasi tanah dan air

BAB III

PENUTUP

Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang

tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan

memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi

kerusakan tanah. Upaya-upaya konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah

erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak, dan (3) memelihara serta meningkatkan

produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan secara berkelanjutan.

Konservasi tanah sangat berguna untuk menjaga dan memelihara tanah

sehingga produktivitas tanah menjadi maksimal dan tidak mengalami kemunduran

dan kemiskinan unsur hara pada tanah. Akibat dari konservasi tanah, produktivitas

pertanian pada setiap komoditi akan mengalami peningkatan, dan semua tindakan

yang dilakukan untuk konservasi tanah sangat disarankan dan dilaksanakan sebaik

mungkin, selain manusia yang meningkat dan kebutuhan akan pangan maupun

komoditi lainnya semakin meningkat. Konservasi tanah juga berperan penting

dalam menjaga lingkungan agar tetap bersahabat.

Konservasi tanah selalu berhubungan dengan konservasi air, untuk

menjaga tanah dan air agar tetap berkelanjutan maka dibuat metode-metode

konservasi tanah dan air, adapun metode tersebut adalah : teknik mulsa vertikal,

teknik kebekolo, teknik teknologi konservasi tanah dan air, teknik biopori dan

teknik Groundwater conservation area.

Sebaiknya, konservasi tanah dinegara Indonesia harus diperhatikan

keberlangsungannya supaya target dan tujuan yang akan dicapai dalam kegiatan

perdagangan mengalami peningkatan, dan menjaga keamanan berbagai komoditi

serta memelihara lingkungan dari akibat yang dapat merugikan sekitar.

Page 21: Konservasi tanah dan air

Tugas Mata Kuliah Sistem Pertanian Berkelanjutan I, Pertanian Konservasi

Tindakan Konservasi Tanah

Disusun Oleh :

Kukuh Dwi Oktantyo (150110080075)

Tommy Frengky Sihombing (150110080076)

Bobby Aprilendy Ramadhan (150110080077)

Muhammad Luqman Kuswardana (150110080078)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2011