digilib.uns.ac.id/Konsep... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii KOMPLEKS...
Transcript of digilib.uns.ac.id/Konsep... · perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user ii KOMPLEKS...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA TENGAH
DI SURAKARTA
TUGAS AKHIR
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Teknik Arsitektur
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh :
MUHAMMAD SYARIF H.
I 0207065
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA TENGAH
DI SURAKARTA
Disusun Oleh :
MUHAMMAD SYARIF H.
I 0207065
Menyetujui, Surakarta, Januari 2012
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Titis S. Pitana, S.T., M. Trop. Arch. Sri Yuliani, S.T., M. App, Sc. NIP. 19680609 199402 1 001 NIP. 19710706 199512 2 001
Mengesahkan, Ketua Jurusan Arsitektur
Fakultas Teknik UNS
Dr. Ir. Mohammad Muqoffa, M.T. NIP. 19620610 199103 1 001
Ketua Prodi Arsitektur Fakultas Teknik UNS
Kahar Sunoko, S.T., M.T. NIP. 19690320 199503 1 002
Pembantu Dekan I Fakultas Teknik
Kusno Adi Sambowo, S.T, M.Sc, Ph.D.
NIP. 19691026 199503 1 002
JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis pajatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan
Konsep Tugas Akhir berjudul “ Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah Di Surakarta“ sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di
Jurusan Arsitektur Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan Konsep Tugas Akhir ini tidak lepas
dari pihak-pihak yang telah memberi bantuan baik bantuan moril maupun materiil.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Mohammad Muqoffa, M.T. selaku Ketua Jurusan Arsitektur
2. Kahar Sunoko, S.T., M.T. selaku Ketua Prodi Arsitektur
3. Yosafat Winarto, S.T., M.T. selaku Kordinator Tugas Akhir
4. Ir. Y. Aries Susilo selaku Pembimbing Akademik
5. Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch. selaku Dosen Pembimbing I
6. Sri Yuliani, S.T, M.App.Sc. selaku Dosen Pembimbing II
Penulis menyadari bahwa Konsep Tugas Akhir ini masih memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun. Semoga Konsep Tugas Akhir ini dapat memberikan manfaat bagi
penulis pribadi dan para pembaca.
Surakarta, 9 Januari 2012
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
UCAPAN TERIMA KASIH
Allah SWT
Puji syukur penulis pajatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan Konsep Tugas
Akhir
Keluarga Tercinta
Terima kasih atas semua dukungan baik moral maupun material.
Dr. Ir. Mohammad Muqoffa, M.T. (Ketua Jurusan Arsitektur)
Kahar Sunoko, S.T., M.T. (Ketua Prodi Arsitektur)
Yosafat Winarto, S.T., M.T. (Kordinator Tugas Akhir)
Ir. Y. Aries Susilo (Pembimbing Akademik)
Terima kasih atas ijin yang anda berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
Konsep Tugas Akhir.
Dr. Titis Srimuda Pitana, S.T., M.Trop.Arch. (Dosen Pembimbing I)
Sri Yuliani, S.T, M.App.Sc. (Dosen Pembimbing II)
Terima kasih atas bimbingan anda selama hampir satu tahun. Berkat bimbingan
dan arahan anda, penulis dapat menyelesaikan Konsep Tugas Akhir.
Teman-Teman Studio 124
Terima kasih telah menemani penulis selama menyelesaikan desain Tugas Akhir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
Bram Sanjaya
Terima kasih atas bantuan Maket Tugas Akhir.
Fatkhurahman, Irfan, Fungki, dan Sukamto
Terima kasih atas dukungan dan bantuannya selama masuk Studio Tugas Akhir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
DAFTAR ISI
Halaman Judul i
Lembar Pengesahan ii
Kata Pengantar iii
Ucapan Terima Kasih iv
Daftar Isi vi
Daftar Gambar xii
Daftar Tabel xvi
Daftar Diagram xix
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Judul dan Pemahaman Judul 1
1.2. Latar Belakang 2
1.3. Permasalahan dan Persoalan 7
4.6.1. Permasalahan 7
4.6.2. Persoalan 7
1.4. Tujuan dan Sasaran 8
1.4.1. Tujuan 8
1.4.2. Sasaran 8
1.5. Metode Perencanaan dan Perancangan 9
1.5.1. Penelusuran Masalah 9
1.5.2. Pengumpulan Data 9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
1.5.3. Pendekatan Konsep Perencanaan dan Perancangan 10
1.5.4. Transformasi dan Rancang Bangun Arsitektur 11
1.6. Sistematika Penulisan 12
BAB 2 TINJAUAN KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN
TRADISIONAL JAWA TENGAH DI SURAKARTA
2.1. Tinjauan Kompleks Seni 13
2.2. Tinjauan Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 14
2.2.1. Jenis dan Pelaku Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 14
2.2.2. Fungsi Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 23
2.2.3. Ruang Pentas Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 24
2.3. Tinjauan Kehidupan Seniman Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 27
2.4. Tinjauan Suasana Kampung Sebagai Cerminan Kehidupan
Seniman Yang Bebas 28
2.5. Tinjauan Arsitektur Jawa 29
2.5.1. Arsitektur Jawa Sebagai Wujud
Kearifan Lokal Manusia Jawa 32
2.5.2. Arsitektur Jawa Dalam Tampilan Fisik 32
2.5.3. Arsitektur Jawa Secara Konseptual 34
2.5.4. Aspek Konseptual Arsitektur Jawa Sebagai Pijakan
Dalam Perolehan Bentuk Fisik 42
2.6. Tinjauan Kota Surakarta 43
2.6.1. Tinjauan Administratif Kota Surakarta 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
2.6.2. Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Surakarta 44
2.6.3. Tinjauan Pariwisata Budaya Kota Surakarta 46
2.6.4. Tinjauan Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah di Surakarta 49
2.6.5. Fasilitas Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah di Surakarta 60
BAB 3 KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL
JAWA TENGAH DI SURAKARTA YANG DIRENCANAKAN
3.1. Deskripsi Singkat 62
3.2. Visi, Misi, Peran, Fungsi, Manfaat, dan Sasaran Pelayanan 63
3.2.1. Visi 63
3.2.2. Misi 63
3.2.3. Peran 63
3.2.4. Fungsi 64
3.2.5. Manfaat 64
3.2.6. Sasaran Pelayanan 65
3.3. Eksistensi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Yang Direncanakan di Tengah Kondisi Budaya Surakarta 65
3.4. Kegiatan dan Pelaku Kegiatan Yang Direncanakan 67
3.5. Ruang Kegiatan Yang Direncanakan 70
3.6. Lokasi Yang Direncanakan 73
3.7. Suasana Kampung Yang Direncanakan 74
3.8. Arsitektur Jawa Yang Direncanakan 75
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
BAB 4 PENDEKATAN KONSEP PERENCANAAN DAN
PERANCANGAN KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN
TRADISIONAL JAWA TENGAH DI SURAKARTA
4.1. Analisa Kegiatan dan Pelaku Kegiatan 77
4.1.1. Analisa Kegiatan 77
4.1.2. Analisa Pelaku Kegiatan 79
4.2. Analisa Ruang 81
4.2.1. Analisa Kebutuhan Ruang 81
4.2.2. Analisa Besaran Ruang 90
4.2.3. Analisa Hubungan Ruang 103
4.2.4. Analisa Bentuk, Ekspresi, dan Tata Ruang 108
4.3. Analisa Tapak/Site 112
4.3.1. Analisa Pemilihan Lokasi Tapak/Site 112
4.3.2. Analisa Penentuan Tapak/Site 118
4.3.3. Analisa Pencapaian Tapak/Site 125
4.3.4. Analisa Kebisingan (Noise) 128
4.3.5. Analisa Pandangan (View) di Dalam Tapak/Site 131
4.3.6. Analisa Zoning 133
4.3.7. Analisa Sirkulasi di Dalam Tapak/Site 135
4.4. Analisa Massa Bangunan 137
4.4.1. Analisa Bentuk, Arah, Ekspresi, dan Tata Massa
Bangunan 137
4.5. Analisa Sistem Struktur dan Kontruksi 144
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
4.6. Analisa Utilitas 148
4.6.1. Analisa Sistem Pencahayaan dan Penghawaan 148
4.6.2. Analisa Sistem Air 154
4.6.3. Analisa Sistem Penanganan Sampah 156
4.6.4. Analisa Sistem Elektrikal 157
4.6.5. Analisa Sistem Penanggulangan Kebakaran 158
4.6.6. Analisa Sistem Penangkal Petir 160
BAB 5 KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL
JAWA TENGAH DI SURAKARTA
5.1. Konsep Kegiatan dan Pelaku Kegiatan 161
5.2. Konsep Ruang 164
5.2.1. Kebutuhan dan Besaran Ruang 164
5.2.2. Konsep Hubungan Ruang 172
5.2.3. Konsep Bentuk, Ekspresi, dan Tata Ruang 177
5.3. Konsep Tapak/Site 179
5.3.1. Lokasi Tapak/Site Terpilih 179
5.3.2. Site Terpilih 180
5.3.3. Pencapaian Tapak/Site 183
5.3.4. Respon Terhadap Kebisingan (Noise) dan Angin 184
5.3.5. Pandangan (View) di Dalam Site 185
5.3.6. Zoning 186
5.3.7. Sirkulasi di Dalam Tapak/Site 187
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
5.4. Konsep Massa Bangunan 188
5.4.1. Bentuk, Arah, Ekspresi, dan Tata Massa Bangunan 188
5.5. Konsep Sistem Struktur dan Kontruksi 193
5.6. Konsep Utilitas 194
5.6.1. Sistem Pencahayaan dan Penghawaan 194
5.6.2. Sistem Air 195
5.6.3. Sistem Penanganan Sampah 197
5.6.4. Sistem Elektrikal 197
5.6.5. Sistem Penanggulangan Kebakaran 198
5.6.6. Sistem Penangkal Petir 198
Daftar Pustaka 199
Lampiran Lampiran 1
A. Tranformasi Desain Lampiran 1
B. Gambar Kerja Lampiran 18
C. Eksterior dan Interior Lampiran 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Pementasan Wayang Kulit di Pendhopo Rumah 26
Gambar 2.2. Pementasan Tari Tradisional di Ruang Terbuka
(Halaman Rumah dan Pasar) 28
Gambar 2.3. Kondisi Rumah-Rumah Seniman Yang Sederhana
dan Menyatu Dengan Alam 28
Gambar 2.4. Suasana Kampung Sumber, Banjarsari, Surakarta
Dengan Pepohonan Pisang, Melinjo, dan Mangga 29
Gambar 2.5. Denah Rumah Tinggal Jawa 39
Gambar 2.6. Posisi Pagelaran Wayang Pada Bangunan Jawa 40
Gambar 2.7. Peta Kota Surakarta 44
Gambar 2.8. Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) 45
Gambar 2.9. Peta Pariwisata Kota Surakarta 46
Gambar 4.1. Bentuk Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 109
Gambar 4.2. Ekspresi Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 110
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
Gambar 4.3. Tata Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah 112
Gambar 4.4. Daerah Sumber 114
Gambar 4.5. Daerah Mojosongo 115
Gambar 4.6. Daerah Ngarsopuro 116
Gambar 4.7. Alternatif Lokasi Site Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 117
Gambar 4.8. Lokasi Tapak/Site Terpilih (Daerah Sumber) 118
Gambar 4.9. Alternatif Site 1 120
Gambar 4.10. Alternatif Site 2 121
Gambar 4.11. Kondisi Eksisting Site 1 Dan Site 2
Berupa Persawahan 121
Gambar 4.12. Jalan Kahuripan Utara Terhubung Langsung
Dengan Jalan Kahuripan Barat 122
Gambar 4.13. Kondisi Perkampungan di Sebelah Timur Site 122
Gambar 4.14. Kondisi Lingkungan Site Yang Tenang 122
Gambar 4.15. Saluran Iringasi di Dalam Site 123
Gambar 4.16. Potensi Kedua Alternatif Site 123
Gambar 4.17. Site Terpilih 125
Gambar 4.18. Potensi Pencapaian Site 127
Gambar 4.19. Pencapaian Site 128
Gambar 4.20. Potensi Noise di Sekitar Site 130
Gambar 4.21. Respon Terhadap Noise di Dalam Site 131
Gambar 4.22. View Bangunan di Dalam Site 133
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
Gambar 4.23. Zoning Site 135
Gambar 4.24. Sirkulasi di Dalam Site 137
Gambar 4.25. Bentuk Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 140
Gambar 4.26. Ekspresi Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 141
Gambar 4.27. Tata Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 143
Gambar 4.28. Orientasi Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 144
Gambar 4.29. Pondasi Menerus 145
Gambar 4.30. Pondasi Setempat 146
Gambar 4.31. Pondasi Gabungan 146
Gambar 4.32. Pondasi Plat 146
Gambar 5.1. Bentuk Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 177
Gambar 5.2. Ekspresi Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 178
Gambar 5.3. Tata Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah 179
Gambar 5.4. Daerah Sumber 180
Gambar 5.5. Tapak/Site Terpilih 181
Gambar 5.6. Kondisi Eksisting Site 1 (kiri) dan Site 2 (kanan)
Berupa Persawahan 181
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
Gambar 5.7. Jalan Kahuripan Utara Terhubung Langsung
Dengan Jalan Kahuripan Barat 182
Gambar 5.8. Kondisi Perkampungan di Sebelah Timur Site 182
Gambar 5.9. Kondisi Lingkungan Site Yang Tenang 183
Gambar 5.10. Saluran Iringasi di Dalam Site 183
Gambar 5.11. Pencapaian Site 184
Gambar 5.12. Respon Kebisingan dan Angin Pada Site 185
Gambar 5.13. View Bangunan di Dalam Site 186
Gambar 5.14. Zoning Site 187
Gambar 5.15. Sirkulasi di Dalam Site 188
Gambar 5.16. Bentuk Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 190
Gambar 5.17. Ekspresi Massa Bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 191
Gambar 5.18. Tata Massa Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 192
Gambar 5.19. Orientasi Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 193
Gambar 5.20. Pondasi Menerus 193
Gambar 5.21. Pondasi Setempat 193
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tipe Arsitektur Jawa 33
Tabel 2.2. Tabel Fungsi Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) 45
Tabel 2.3. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik) ke
Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di Kota Surakarta 48
Tabel 2.4. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik) ke
Obyek Wisata di Kota Surakarta 48
Tabel 4.1. Kebutuhan Ruang Panggung Terbuka 82
Tabel 4.2. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Tari 83
Tabel 4.3. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Musik Tradisional 84
Tabel 4.4. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Teater Boneka 85
Tabel 4.5. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Teater Orang 85
Tabel 4.6. Kebutuhan Ruang Griya Alit Tari 86
Tabel 4.7. Kebutuhan Ruang Griya Alit Musik Tradisional 87
Tabel 4.8. Kebutuhan Ruang Griya Alit Teater Boneka 87
Tabel 4.9. Kebutuhan Ruang Griya Alit Teater Orang 87
Tabel 4.10. Kebutuhan Ruang Mushola 88
Tabel 4.11. Kebutuhan Ruang Lapangan 88
Tabel 4.12. Kebutuhan Ruang Gazebo 89
Tabel 4.13. Kebutuhan Ruang Angkringan 89
Tabel 4.14. Kebutuhan Ruang Griya Pengelola 89
Tabel 4.15. Besaran Ruang Panggung Terbuka 90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
Tabel 4.16. Besaran Ruang Griya Ageng Tari 92
Tabel 4.17. Besaran Ruang Griya Ageng Musik Tradisional 94
Tabel 4.18. Besaran Ruang Griya Ageng Teater Boneka 95
Tabel 4.19. Besaran Ruang Griya Ageng Teater Orang 96
Tabel 4.20. Besaran Ruang Griya Alit Tari 97
Tabel 4.21. Besaran Ruang Griya Alit Musik Tradisional 97
Tabel 4.22. Besaran Ruang Griya Alit Teater Boneka 98
Tabel 4.23. Besaran Ruang Griya Alit Teater Orang 98
Tabel 4.24. Besaran Ruang Mushola 99
Tabel 4.25. Besaran Ruang Lapangan 99
Tabel 4.26. Besaran Ruang Gazebo 99
Tabel 4.27. Besaran Ruang Angkringan 99
Tabel 4.28. Besaran Ruang Griya Pengelola 100
Tabel4.29. Luas Total Ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 100
Tabel 4.30. Kode Pola Hubungan Antar Ruang 106
Tabel 4.31. Penilaian Alternatif Site Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah 117
Tabel 4.32. Hubungan Zona Ruang Dengan Pencapaian,
Kebisingan (Noise), Angin, dan Pandangan (View) 134
Tabel 5.1. Kebutuhan dan Besaran Ruang Panggung Terbuka 164
Tabel 5.2. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng Tari 165
Tabel 5.3. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng
Musik Tradisional 166
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xviii
Tabel 5.4. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng
Teater Boneka 167
Tabel 5.5. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng Tari 168
Tabel 5.6. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit Tari 169
Tabel 5.7. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit
Musik Tradisional 169
Tabel 5.8. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit
Teater Boneka 169
Tabel 5.9. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit
Teater Orang 170
Tabel 5.10. Kebutuhan dan Besaran Ruang Mushola 170
Tabel 5.11. Kebutuhan dan Besaran Ruang Lapangan 171
Tabel 5.12. Kebutuhan dan Besaran Ruang Gazebo 171
Tabel 5.13. Kebutuhan dan Besaran Ruang Angkringan 171
Tabel 5.14. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Pengelola 171
Tabel 5.15. Kode Pola Hubungan Antar Ruang 175
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xix
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 2.1. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik)
ke Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW)
di Kota Surakarta 48
Diagram 4.1. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik
Dengan Kelompok Ruang Semi Publik 103
Diagram 4.2. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik
Dengan Kelompok Ruang Privat 104
Diagram 4.3. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik
Dengan Kelompok Ruang Servis 104
Diagram 4.4. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik
Dengan Kelompok Ruang Pengelola 104
Diagram 4.5. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Privat 104
Diagram 4.6. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Servis 104
Diagram 4.7. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola 105
Diagram 4.8. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat
Dengan Kelompok Ruang Servis 105
Diagram 4.9. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat
Dengan Kelompok Ruang Pengelola 105
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xx
Diagram 4.10. Hubungan Antara Kelompok Ruang Servis
Dengan Kelompok Ruang Pengelola 105
Diagram 4.11. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni
Dengan Kelompok Ruang Berhuni 105
Diagram 4.12 Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni
Dengan Kelompok Ruang Servis 106
Diagram 4.13. Hubungan Antara Kelompok Ruang Berhuni
Dengan Kelompok Ruang Servis 106
Diagram 4.14. Hubungan Antara Kelompok Ruang
di Dalam Griya Alit 107
Diagram 4.15. Sistem Air Bersih dan Air Kotor Bangunan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 155
Diagram 4.16. Sistem Penanganan Sampah Bangunan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 157
Diagram 5.1. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Publik Dengan Kelompok Ruang Semi Publik 172
Diagram 5.2. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Publik Dengan Kelompok Ruang Privat 173
Diagram 5.3. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Publik Dengan Kelompok Ruang Servis 173
Diagram 5.4. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola 173
Diagram 5.5. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Privat 173
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xxi
Diagram 5.6. Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Servis 173
Diagram 5.7. Analisa Hubungan Antara Kelompok Ruang
Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola 174
Diagram 5.8. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat
Dengan Kelompok Ruang Servis 174
Diagram 5.9. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat
Dengan Kelompok Ruang Pengelola 174
Diagram 5.10. Hubungan Antara Kelompok Ruang Servis
Dengan Kelompok Ruang Pengelola 174
Diagram 5.11. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni
Dengan Kelompok Ruang Berhuni 174
Diagram 5.12. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni
Dengan Kelompok Ruang Servis 175
Diagram 5.13. Hubungan Antara Kelompok Ruang Berhuni
Dengan Kelompok Ruang Servis 175
Diagram 5.14. Hubungan Antara Kelompok Ruang
di Dalam Griya Alit 176
Diagram 5.15. Sistem Air Bersih dan Air Kotor Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 196
Diagram 5.16. Sistem Penanganan Sampah Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah 197
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Judul dan Pemahaman Judul
Judul dalam Tugas Akhir ini adalah Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta. Pemahaman tentang judul tersebut
dapat diperoleh dari penelusuran berikut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kompleks sebagai
suatu kesatuan, kelompok, daerah, atau lingkungan yang merujuk pada
sekelompok bangunan, seperti kompleks industri yang dipahami sebagai
kelompok atau daerah kegiatan industri. Pemahaman yang sama diperoleh
dari www.wikipedia.org (25 Agustus 2011) yang mendefinisikan kompleks
sebagai suatu kesatuan dari sejumlah bagian yang saling berhubungan dan
dapat merujuk pada gabungan beberapa bangunan dalam suatu wilayah.
Seni pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi
dasarnya pergelaran langsung di hadapan penonton (Sedyawati, 2009:1).
Sementara itu, Dwi (2008:187) mengungkapkan bahwa seni tradisional
adalah seni yang telah baku oleh aturan-aturan tertentu. Aturan baku tersebut
diwariskan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya
dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dengan demikian, seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah yakni segala ungkapan seni yang diwariskan secara
turun menurun dalam kehidupan masyarakat Jawa Tengah dan dapat
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
dipergelarkan langsung kepada penonton dengan berpedoman pada aturan-
aturan baku yang telah disepakati.
Dari uraian diatas didapat pemahaman singkat mengenai judul
“Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta”, yakni
sekelompok bangunan sebagai wadah kegiatan seni pertunjukan tradisional
Jawa Tengah yang menempati wilayah tertentu di Surakarta.
1.2. Latar Belakang
Seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah merupakan salah satu aset
negara yang dapat memperkaya khasanah budaya Indonesia. Keberadaannya
memberi warna tersendiri sehingga dapat menambah nilai seni dan budaya
Jawa Tengah. Selain itu, seni pertunjukan Jawa Tengah mampu memberi
identitas/ciri khas tersendiri terhadap Jawa Tengah. Pesan-pesan moral yang
terkandung di dalam setiap pergelaran seni pertunjukan tersebut menunjukkan
bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang berbudi luhur.
Saat ini minat masyarakat terhadap seni pertunjukan tradisional Jawa
Tengah mulai menurun. Hal itu ditandai dengan gulung tikarnya beberapa
seni pertunjukan seperti ketoprak, wayang wong, dan drama tradisional yang
ditunjukkan dengan bubarnya beberapa kelompok seni yang pernah jaya
dimasa lalu, seperti: kelompok Dagelan Mataram, Sri Mulat, dan lain-lain
(Susatyo, 2008: 4). Selain itu, keberadaan seni pertunjukan ini mulai tergeser
oleh kebudayaan Barat yang lebih canggih dan modern, seperti musik rock,
disco,dan lainya. Hal ini terlihat dari perilaku masyarakat Jawa Tengah
terutama generasi pemuda yang dinilai sudah tidak mendukung keberadaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
seni pertunjukan tersebut. Seperti yang dimuat pada Harian Radar
Tasikmalaya tanggal 17 Oktober 2010 bahwa generasi muda saat ini
cenderung menyukai kebudayaan luar daripada kebudayaan daerah.
Alasannya adalah arus budaya luar begitu gencar masuk ke negara Indonesia
melalui media massa. Sementara itu, filterisasi kebudayaan nyaris tidak ada.
Keadaan ini diperparah dengan lemahnya bimbingan dari kalangan orang tua
untuk mengenalkan keanekaragaman seni budaya daerah kepada generasi
muda. Padahal, dengan mengetahui dan memahami kesenian tradisional
generasi muda mendapatkan kesempatan untuk melakukan studi banding
dengan kebudayaan tradisional di negara-negara lain. Generasi muda akan
lebih mengetahui bahwa seni budaya Indonesia lebih unggul daripada seni
budaya asing. Keprihatinan terhadap rendahnya daya dukung pemuda
terhadap seni tradisional juga diungkapkan dalam Harian Pelita tanggal 5 Mei
2011 yang menyatakan bahwa sekarang ini generasi muda sangat jauh dari
seni tradisional. Mereka lebih suka dengan kesenian modern termasuk
kesenian yang datangnya dari dunia Barat.
Di balik menurunnya minat masyarakat terhadap seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah masih ada masyarakat Jawa Tengah yang mencoba
mempertahankannya dengan membentuk grup-grup kesenian antara lain grup
kesenian tari, wayang kulit, wayang wong, kethoprak, karawitan, dan lain-
lain. Grup-grup kesenian tersebut ada yang tumbuh melalui lembaga
pelatihan dan ada pula yang tumbuh di lingkungan masyarakat sebagi salah
satu bagian dari kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Keberadaan seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah masih sangat dibutuhkan bagi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
masyarakat tertentu terutama masyarakat di kampung-kampung yang masih
menganggap tradisi sebagai bagian dari kehidupan mereka. Pagelaran wayang
kulit, wayang wong, dan kethoprak dalam acara ruwatan serta pentas Tari
Gambyong dalam upacara pernikahan Jawa merupakan wujud dari
pentingnya seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah bagi masyarakat Jawa.
Keberadaan grup-grup kesenian kurang lengkap tanpa fasilitas yang
mewadahi kegiatan mereka. Oleh karena itu, Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah perlu dibangun sebagai wadah kegiatan seni para
seniman. Kegiatan seni bukanlah kegiatan singkat karena untuk mementaskan
suatu cerita perlu berkali-kali latihan. Selama proses latihan dan pentas
tersebut seniman memerlukan hunian untuk tinggal. Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah direncanakan sebagai wadah kegiatan
seni dan kegiatan berhuni seniman selama mereka mengadakan latihan dan
pentas.
Keberhasilan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
dalam menjalankan fungsinya tentu sangat dipengaruhi oleh lokasi bangunan
tersebut. Surakarta merupakan salah satu kota di Jawa Tengah yang menjadi
tujuan wisata seni dan budaya. Koentjaraningrat (1995:329) menyebut kota
ini sebagai pusat kebudayaan Jawa. Hal ini disebabkan karena Surakarta
memiliki banyak peninggalan seni dan budaya, antara lain Keraton
Kasunanan, Puro Mangkunegaran, bangunan kolonial Belanda, Museum
Radya Pustaka, tari-tarian tradisional, dan masih banyak yang lainnya.
Keberagaman peninggalan seni dan budaya tersebut mampu menarik minat
wisatawan untuk berkunjung. Hal ini terlihat dengan banyaknya wisatawan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
baik wisatawan domestic maupun wisatawan mancanegara yang berkunjung
ke Surakarta untuk mengenal, mempelajari, dan berapresiasi terhadap seni
dan budaya setempat. Data dari Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan
Surakarta tahun 2003-2010 menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan ke
kota Surakarta semakin meningkat setiap tahunnya. Pembangunan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah di Surakarta merupakan salah satu
upaya menjaga kearifan lokal Surakarta yang sarat akan budaya.
Saat ini Surakarta telah memiliki beberapa wadah kegiatan seni, yakni
Taman Budaya Surakarta, Gedung Wayang Wong Sriwedari, dan Gedung
Kethoprak Balekambang yang lebih berfungsi sebagai tempat latihan dan
pentas. Fasilitas tersebut dinilai kurang konteks dengan seni pertunjukan
tradisional yang lebih cocok dipentaskan di ruang-ruang sederhana. Selain itu,
Taman Budaya Surakarta tersebut kurang mendukung bagi kehidupan berhuni
seniman yang bebas dan bersahabat dengan alam. Wisma seni Taman Budaya
Surakarta lebih difungsikan sebagai tempat tinggal sementara bagi seniman
yang sedang mengadakan latihan dan pentas. Desain wisma seni dinilai
kurang menjiwai karakter para seniman. Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah hadir sebagai fasilitas seni bernuansa kampung,
yakni nuansa kesederhanaan, bebas, akrab, dan menyatu dengan alam.
Kesederhanaan yang dimaksud adalah kesederhanaan dalam pentas dimana
seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah ditampilkan secara non formal
dalam ruang-ruang sederhana sebagaimana mengulang kebiasaan pentas seni
pertunjukan tersebut. Hunian-hunian seniman didesain sebagai respon dari
karakter seniman yang bersahabat dengan lingkungan alam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah tumbuh di lingkungan
masyarakat Jawa Tengah dan sering dipentaskan di dalam maupun diluar
bangunan Jawa, seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa dahulu
kesenian wayang, wayang wong, dan kethoprak sering dipentaskan di dalam
salah satu bagian rumah tinggal Jawa seperti pendhopo dan pringgitan
(Soetarno, 2005 dan Padmodarmaya, 1988:35). Dengan demikian, alangkah
baiknya jika bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
dirancang dengan konsep arsitektur Jawa agar lebih kontekstual dengan
kegiatan yang diwadahi di dalamnya.
Sebagai Kota Budaya, Surakarta hendaknya mampu mempertahankan
hasil karya budaya yang tumbuh dan diwariskan oleh masyarakat Jawa.
Arsitektur Jawa merupakan salah satu hasil karya budaya yang dimiliki
Surakarta. Hal ini dapat dilihat pada bangunan-bangunan bersejarah di
Surakarta yang hingga kini masih terpelihara dengan baik seperti Keraton
Kasunanan, Puro Mangkunegaran, dan Museum Radya Pustaka yang masih
bercirikan arsitektur Jawa. Tampilan arsitektur Jawa juga menjadi ciri khas
perkampungan di Surakarta karena sebagian besar kampung di Surakarta
memiliki tampilan fisik arsitektur Jawa, seperti Kampung Baluwarti,
Kampung Kauman, Kampung Laweyan, dan lain-lain. Oleh karena itu,
konsep arsitektur Jawa pada Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah yang direncanakan sangat diperlukan sebagai salah satu usaha untuk
menjaga citra dan identitas Surakarta sebagai Kota Budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
1.3. Permasalahan dan Persoalan
1.3.1. Permasalahan
Bagaimana konsep perencanaan dan perancangan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah di Kota Surakarta sebagai
wadah kegiatan seni dan kegiatan berhuni para seniman dalam suasana
ruang yang bebas, alami, dan sederhana seperti suasana di suatu
kampung berarsitektur Jawa.
1.3.2. Persoalan
Berdasarkan permasalahan yang ada muncul beberapa persoalan
sebagai berikut.
1) Jenis kegiatan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah apa yang
diwadahi dan bagaimana wujud wadah kegiatan tersebut agar tujuan
pelestarian seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dapat tercapai.
2) Bagaimana program ruang yang mampu menampung kegiatan seni
dan kegiatan berhuni para seniman.
3) Bagaimana lokasi yang berpotensi dan mendukung keberadaan serta
operasional Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
yang akan didirikan.
4) Bagaimana bentuk dan tata massa bangunan yang mencerminkan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah sebagai wadah
kegiatan seni dan kegiatan berhuni dengan suasana ruang bebas,
alami, dan sederhana seperti suasana di suatu kampung berarsitektur
Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
5) Bagaimana struktur dan kontruksi bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah agar dapat berdiri kokoh
dalam menahan beban yang mengenainya sehingga terjamin
kenyamanan dan keselamatan penggunanya.
6) Bagaimana utilitas bangunan yang mendukung fungsi Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
1.4. Tujuan dan Sasaran
1.4.1. Tujuan
Terwujudnya konsep perencanaan dan perancangan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah di Kota Surakarta sebagai
wadah kegiatan seni dan kegiatan berhuni para seniman dalam suasana
ruang yang bebas, alami, dan sederhana seperti suasana di suatu
kampung berarsitektur Jawa.
1.4.2. Sasaran
Sasaran dalam penyusunan konsep perencanaan dan
perancangan fisik Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Di Surakarta yakni sebagai berikut.
1) Konsep kegiatan dan pelaku kegiatan
2) Konsep kebutuhan, besaran, dan hubungan ruang
3) Konsep lokasi dan site
4) Konsep bentuk dan tata massa bangunan berarsitektur Jawa
5) Konsep sistem struktur dan kontruksi bangunan
6) Konsep sistem utilitas bangunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
1.5. Metode Perencanaan dan Perancangan
Metode perencanaan dan perancangan dilakukan dengan memaparkan,
mengidentifikasi, dan mendeskripsikan tentang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta dengan pendekatan arsitektur Jawa
melalui beberapa prosedur, yaitu penelusuran masalah, pengumpulan data,
pendekatan konsep perencanaan dan perancangan, transformasi dan rancang
bangun.
1.5.1. Penelusuran Masalah
Masalah yang timbul berangkat dari adanya isu-isu yang sedang
berkembang tentang kelestarian seni pertunjukan tradisional Jawa
Tengah. Kemudian isu-isu tersebut ditelusuri tentang kebenarannya
dengan mencari data-data yang relevan dan dapat dipercaya melalui
buku, media cetak, dan media elektronik.
1.5.2. Pengumpulan Data
Data yang dibutuhkan dalam penyusunan konsep ini
dikumpulkan dengan cara sebagai berikut.
1) Studi Literatur
Studi literatur dipergunakan untuk mendapatkan data-data
sekunder, meliputi tinjauan kompleks seni, tinjauan seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah sebagai obyek pelestarian, tinjauan kehidupan
seniman, tinjauan suasana kampung, tinjauan arsitektur Jawa, dan
tinjauan Kota Surakarta sebagai lokasi berdirinya Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang diperoleh dari buku, jurnal,
disertasi, majalah, dan lain-lain, website, dan pihak-pihak terkait.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
2) Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang terkait, yakni
seniman seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah, wisatawan di
Surakarta, dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Surakarta untuk
memperoleh informasi tentang kondisi seni pertunjukan tradisional
Jawa Tengah saat ini dan tingkat kunjungan wisatawan di Surakarta.
1.5.3. Pendekatan Konsep Perencanaan dan Perancangan
Pendekatan perumusan konsep perencanaan dan perancangan
melalui metoda induktif, yaitu pendekatan berdasarkan data empiric dan
metoda deduktif, yaitu pendekatan berdasarkan teoritik yang membantu
mengarahkan pembahasan sesuai dengan perencanaan yang diinginkan.
Cara yang digunakan yakni sebagai berikut.
1) Analisa
Merupakan metode penguraian dan pengkajian data-data dan
informasi yang akan digunakan sebagai data relevan bagi perencanaan
dan perancangan. Metode yang digunakan adalah metode analisa
deskriptif yaitu metode penguraian data dan informasi yang disertai
gambar sebagai media berdasar pada teori normatif yang ada. Pada
tahapan analisa ini dilakukan pengolahan data-data yang telah
terkumpul dan dikelompokan berdasarkan program fungsional,
performasi, dan arsitektural sebagai berikut.
a) Program fungsional untuk mengidentifikasi penggunaan bangunan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah meliputi
kebutuhan dan aktivitas pengguna bangunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
b) Program performasi yang membahas tentang persyaratan atau
kriteria pemilihan site, program ruang, dan persyaratan lain yang
berhubungan dengan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
c) Program arsitektural merupakan tahap penggabungan dari hasil
analisa fungsional dan performasi yang dilakukan dengan
menganalisa masalah pengolahan site, ruang, massa, tampilan,
struktur, kontruksi, dan utilitas bangunan dengan memperhatikan dan
menyesuaiakan dengan kebutuhan dan aktivitas pengguna serta
persyaratan-persyaratan lain yang berhubungan dengan perencanaan
dan perancangan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
2) Sintesa
Hasil analisa tersebut kemudian diolah dan disimpulkan untuk
mendapatkan pendekatan konsep perencanaan dan perancangan yang
sesuai sehingga siap ditransformasikan ke dalam bentuk ungkapan fisik
yang dikehendaki.
1.5.4. Transformasi dan Rancang Bangun Arsitektur
Berdasarkan deskripsi pendekatan konsep perencanaan dan
perancangan kemudian dilakukan transformasi untuk memperjelas apa
yang dideskripsikan menjadi wujud gambaran yang berisi ide-ide
rancangan Kompleks yang dihendaki (konsep diagramatik dan
skematik).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Ide-ide rancangan tersebut kemudian dikembangkan menjadi
produk desain berupa gambar-gambar dua dimensi dan tiga dimensi
serta dilengkapi dengan maket sebagai pelengkap informasi desain.
1.6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan konsep perencanaan dan perancangan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta sebagai
berikut.
1) Tahap pertama menguraikan tentang judul, pemahaman judul, latar
belakang, permasalahan, persoalan, tujuan, sasaran, metode perencanaan
dan perancangan, serta sistematika penulisan.
2) Tahap kedua menyajikan data-data terkait yang diperoleh melalui studi
literatur yang nantinya akan menjadi bahan untuk membuat analisa guna
memecahkan permasalahan Kota Surakarta sebagai lokasi Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang direncanakan.
3) Tahap ketiga memberi gambaran mengenai Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta yang direncanakan.
4) Tahap keempat menyajikan analisa-analisa dan alternatif penyelesaian
permasalahan perencanaan dan perancangan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta.
5) Tahap kelima menyajikan hasil-hasil analisa yang dirumuskan dalam
konsep perencanaan dan perancangan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
13
BAB 2
TINJAUAN
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA TENGAH
DI SURAKARTA
2.1. Tinjauan Kompleks Seni
Sebagaimana telah disebutkan di Bab I bahwa kompleks dapat
dipahami sebagai sekelompok bangunan yang saling berhubungan dalam
suatu wilayah. Dengan demikian, kompleks seni dapat dipahami sebagai
sekelompok bangunan yang saling berhubungan dalam menjalankan fungsi
yang sama, yakni mewadahi kegiatan seni. Salah satu fasilitas yang dapat
disebut sebagai Kompleks seni adalah Taman Budaya Surakarta (TBS) yang
terdiri dari sekelompok bangunan, yakni pendhopo, gedung teater arena,
wisma seni, dan bangunan lainnya. Bangunan-bangunan tersebut memiliki
fungsi yang sama, yakni mewadahi kegiatan seni. Pendhopo dan gedung
teater arena merupakan fasilitas utama, wisma seni sebagai fasilitas
penunjang, kantor pengelolaan sebagai fasilitas pengelolaan, dan kantin
sebagai fasilitas servis. Dengan fasilitas yang beraneka ragam seperti yang
dimiliki oleh TBS tersebut dapat diketahui bahwa kompleks seni mewadahi
berbagai jenis kegiatan dengan kegiatan seni sebagai salah satu kegiatan yang
dominan dan utama. Kompleks seni dalam proyek ini mewadahi kegiatan seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah meliputi kegiatan latihan, pentas hingga
kegiatan berhuni para seniman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
2.2. Tinjauan Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Seni pertunjukan adalah segala ungkapan seni yang substansi
dasarnya pergelaran langsung di hadapan penonton (Sedyawati, 2009:1).
Sementara itu, Dwi (2008:187) mengungkapkan bahwa seni tradisional
adalah seni yang telah baku oleh aturan-aturan tertentu. Aturan baku tersebut
diwariskan secara turun menurun dari satu generasi ke generasi berikutnya
dalam kurun waktu yang telah disepakati. Dengan demikian, seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah yaitu segala ungkapan seni yang diwariskan secara
turun menurun dalam kehidupan masyarakat Jawa Tengah dan dapat
dipergelarkan langsung kepada penonton dengan berpedoman pada aturan-
aturan baku yang telah disepakati.
2.2.1. Jenis dan Pelaku Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Dalam buku “Sejarah Kebudayaan Indonesia Seni Pertunjukan
Indonesia” yang ditulis oleh Sedyawati (2009:28-29) disebutkan
tentang pembagian seni musik tradisional berdasarkan pelaku,
penikmat, dan lingkup penyajiannya. Dari pembagian tersebut dapat
disimpulkan bahwa seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dapat
dibagi menjadi seni pertunjukan rakyat dan seni pertunjukan klasik atau
seni pertunjukan budaya tinggi (high culture). Seni pertunjukan rakyat
yaitu seni pertunjukan tradisional yang banyak hidup di lingkungan
masyarakat pedesaan (rural) dan memiliki hubungan erat dengan
masyarakat petani atau nelayan sedangkan seni pertunjukan klasik atau
seni pertunjukan budaya tinggi (high culture) yaitu seni pertunjukan
tradisional yang digunakan, didukung, disajikan, dan hidup di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
lingkungan pusat-pusat kekuasaan, religi, kerajaan, maupun
pemerintahan. Seni pertunjukan klasik biasa disajikan dalam
upacara/peringatan siklus hidup manusia, upacara atau hajatan keluarga,
kemasyarakatan, keagamaan, kenegaraan, dan sebagainya. Di beberapa
lokasi tertentu seni pertunjukan rakyat dan klasik sering memiliki
repertoriar yang sama. Salah satu contohnya adalah Ketawang
Puspawarna ciptaan Mangkunegaran. Selain disajikan sebagai
gendhing setiap Adipati Mangkunegaran tampil di publik dalam acara
resmi, Puspawarna juga disajikan dalam bentuk gendhing tayub yang
populer sampai di wilayah Banyumas.
Jakob Sumarjo (1992:18-19) mengemukaan ciri-ciri seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah yakni nilai dan laku dramatik
dilakukan secara spontan, mengandung unsur lawakan, menggunakan
tetabuhan atau musik tradisional, penonton mengikuti pertunjukan
secara santai dan akrab, menggunakan bahasa daerah, tempat
pertunjukan terbuka dalam bentuk arena, penyajian dilakukan dengan
dialog, tarian, dan nyanyian
Sedyawati (2009:1) membagi seni pertunjukan menjadi tiga
bentuk, yaitu seni musik (vokal, instrumental, gabungan), seni tari
(representasional dan non-representasional), dan seni teater (dengan
orang atau boneka/wayang sebagai dramatis personae). Berikut adalah
uraian dari ketiga bentuk seni tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
a) Seni Musik
Salah satu contoh seni musik tradisional Jawa adalah seni
karawitan. Berdasarkan sumber dari www.wikipedia.org yang diakses
pada tanggal 10 Oktober 2010 pukul 20.30 WIB disebutkan bahwa seni
karawitan merupakan seni menabuh gamelan. Sementara itu, gamelan
didefinisikan sebagai ensembel musik yang biasanya menonjolkan
metalofon, gambang, gendang, dan gong. Seperangkat gamelan dapat
terdiri dari beberapa alat musik dengan berbagai ukuran yang
jumlahnya bisa mencapai 75 buah. Di dalam seni karawitan terdapat
penabuh gamelan (pengrawit), penyanyi wanita solo (pesindhen), dan
penyanyi lelaki membawa suara unisono (gerong).
b) Seni Tari
Tari dapat diartikan sebagai ekspresi jiwa manusia yang
diungkapkan melalui gerak ritmis yang indah. Pola dan struktur alur
gerak ritmis tersebut harus berirama dan diselaraskan dengan bunyi
musik atau gamelan (Soedarsono dan Soeryodiningrat dalam Setiawati,
2008:19). Seni tari tradisional Jawa Tengah dapat dibagi lagi menjadi
dua, yakni sebagai berikut.
1) Seni tari klasik (Wartono, 1989), contohnya:
- Tari Bedhaya, yaitu tari yang dimainkan oleh sembilan penari putri
untuk menjamu tamu raja dan menghormati Nyi Roro Kidul. Tari
Bedhaya Ketawang jarang disajikan di luar Kraton karena tari tersebut
sangat sakral. Beberapa jenis tari Bedhaya yang belum mengalami
perubahan antara lain: Bedhaya Ketawang, Bedhaya Pangkur,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
Bedhaya Duradasih, Bedhaya Mangunkarya, Bedhaya Sinom,
Bedhaya Endhol-endhol, Bedhaya Gandrungmanis, Bedhaya Kabor,
Bedhaya Tejanata.
- Tari Srimpi, yaitu tari yang dimainkan oleh empat penari putri.
Masing-masing penari mendapat sebutan sebagai air, api, angin, dan
bumi/tanah sebagai lambang terjadinya manusia dan lambang empat
penjuru mata angin.
- Tari Bondan, yaitu tari yang tidak memiliki ketentuan jumlah penari.
2) Seni tari rakyat (Wartono, 1989 dan Muryantoro, 2007:234),
contohnya:
- Tari di dalam teater wayang wong.
- Tari Srandul, dimainkan oleh lima penari.
- Langendriyan, dimainkan oleh dua penari atau lebih.
- Langen Wanara, yaitu tari yang meniru gerak kera (gerak wanara)
dan dapat dimainkan secara tunggal atau massal.
- Wireng, yaitu tari yangmengisahkan tentang perang dua kesatria.
- Tari Tayub, yaitu tari yang sangat terkenal di Pati, Blora, Jepara,
Grobogan, Sragen dan Tuban sebagai sarana ritual yang ditarikan saat
mulai panen. Tari ini dimainkan oleh para wanita cantik (tledhek) dan
diiringi oleh para penjoget pria.
- Tari Dolalak dari Purworejo, yaitu tari yang dimainkan oleh beberapa
orang penari yang berpakaian menyerupai pakaian prajurit Belanda
atau Perancis dan diiringi dengan kentrung, rebana, kendang, kencer,
dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
- Tari Patolan (Prisenan) dari Rembang, yaitu jenis olahraga gulat
rakyat yang dimainkan oleh dua orang pegulat dipimpin oleh dua
orang gelandang (wasit) dari masing-masing pihak. Tari ini biasa
dimainkan di tempat-tempat yang berpasir seperti di tepi pantai.
- Kuda Kepang, Barongan, dan Wayang Krucil dari Blora.
- Kuntulan dan Sintren dari Pekalongan. Kuntulan merupakan kesenian
bela diri yang dilukiskan dalam bentuk tarian dengan iringan bunyi-
bunyian seperti bedug, terbang, dan lain-lain. Sintren merupakan seni
tari yang dimainkan oleh seorang penari (gadis) dalam keadaan tidak
sadarkan diri. Sebelum tarian dimulai tangan penari diikat kemudian
penari dimasukkan ke dalam tempat tertutup bersama peralatan
bersolek. Selang beberapa lama penari selesai berdandan dan siap
untuk menari. Atraksi ini dapat disaksikan pada waktu malam bulan
purnama setelah panen.
- Obeg dan Begalan dari Cilacap. Obeg merupakan seni tari yang
dimainkan oleh beberapa orang wanita atau pria dengan menunggang
kuda yang terbuat dari anyaman bambu (kepang) dan diiringi dengan
bunyi-bunyian tertentu. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang pawang
(dukun) yang dapat membuat pemain dalam keadaan tidak sadar.
Begalan adalah salah satu acara dalam rangkaian upacara perkawinan
adat.
- Kuda Lumping (Jaran Kepang) dari Temanggung, yaitu tari yang
sering dipentaskan untuk menyambut tamu -tamu resmi atau biasanya
diadakan pada waktu upacara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
- Lengger dari Wonosobo, yaitu tari yang dimainkan oleh dua orang
laki-laki untuk memerankan tokoh dalam cerita Dewi Chandrakirana
yang sedang mencari suaminya. Seni tari ini diiringi dengan alat
musik angklung.
- Jatilan dari Magelang, yaitu tari yang dimainkan oleh delapan orang
pemain. Tari ini dipimpin oleh seorang pawang dan diiringi dengan
bunyi-bunyian berupa bende, kenong, dan lain-lain.
- Jlantur dari Boyolali, yaitu tari yang dimainkan oleh 40 orang pria
dengan memakai ikat kepala gaya Turki dan menaiki kuda kepang
dengan senjata tombak dan pedang. Tarian ini menggambarkan
prajurit yang akan berangkat ke medan perang.
- Ketek Ogleng dari Wonogiri, yaitu tari yang mengisahkan percintaan
antara Endang Roro Tompe dengan ketek ogleng.
c) Seni Teater
Santoso (2008:1) dalam bukunya “Seni Teater Jilid 1 Untuk
Sekolah Menengah Kejuruan” menjelaskan tentang definisi dan fungsi
seni teater. Di dalam buku tersebut disebutkan bahwa teater berasal dari
kata Yunani, yaitu “theatron” yang artinya tempat atau gedung
pertunjukan. Dalam pengertian yang lebih luas kata teater diartikan
sebagai segala hal yang dipertunjukkan di depan orang banyak. Teater
dapat berfungsi sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah seperti anak-
anak bermain sebagai ayah dan ibu, bermain perang-perangan, dan lain
sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan
strata sosial kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
seperti upacara adat maupun upacara kenegaraan dimana keduanya
memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna filosofis. Harymawan
dalam Santoso (2008:1) membatasi seni teater dari sudut pandang
sebagai berikut.
“Tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif.”
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seni teater adalah
pertunjukan lakon yang dimainkan di atas pentas dan disaksikan oleh
penonton. Beberapa contoh seni teater tradisional di Jawa Tengah,
yakni sebagai berikut.
1) Wayang kulit
Wayang kulit merupakan seni pertunjukan tradisional Jawa yang
mengambil cerita dari naskah Mahabharata dan Ramayana (Susatyo,
2008:13). Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang sebagai narrator
dan diiringi dengan musik gamelan yang dimainkan sekelompok
nayaga. Dalang memainkan wayang kulit pada sebuah layar yang
terbuat dari kain putih (kelir). Di atas dalang dipasang lampu listrik atau
lampu minyak (blencong) sehingga para penonton yang berada di sisi
lain dari layar dapat melihat bayangan wayang yang jatuh ke kelir
(www.wikipedia.org diakses pada tanggal 10 Oktober 2010 pukul 20.30
WIB).
Di dalam buku yang berjudul “Pertunjukan Wayang Purwa dan
Makna Simbolisme” yang ditulis oleh Soetarno (2005) disebutkan
pelaku-pelaku dalam pertunjukan wayang kulit antara lain: Dalang,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
yakni orang yang bertindak sebagai pemain figure;
pesindhen/waranggana, yakni penyanyi orkes (gamelan) yang
mengiringi pertunjukan wayang kulit; pengrawit/pradangga/niyaga,
yakni pemain gamelan; dan penggerong, yakni vokalis pria berupa koor
yang mengiringi gendhing.
2) Wayang wong (wayang orang)
Wayang wong merupakan pertunjukan wayang yang dimainkan
oleh manusia yang berperan sebagai tokoh dalam cerita Mahabharata
dan Ramayana. Para pemain memakai pakaian sama seperti hiasan-
hiasan yang dipakai pada wayang kulit agar muka mereka menyerupai
wayang kulit kalau dilihat dari samping (www.wikipedia.org diakses
pada tanggal 10 Oktober 2010 pukul 20.30 WIB).
3) Kethoprak
Kethoprak merupakan pertunjukan wayang yang dimainkan
oleh manusia yang berperan sebagai tokoh dalam cerita legenda atau
sejarah Jawa. Tema cerita dalam kethoprak tidak pernah diambil dari
repertoar cerita epos (wiracarita) Ramayana dan Mahabharata
(www.wikipedia.org diakses pada tanggal 10 Oktober 2010 pukul 20.30
WIB).
R.M.A. Harymawan (1993:231) mengemukakan tentang ciri-ciri
kethoprak sebagai berikut. Kethoprak menggunakan bahasa Jawa
sebagai bahasa pengantar dalam dialog. Ceritanya tidak terikat pada
salah satu pakem tetapi ada tiga kategori pembagian jenis, yaitu cerita-
cerita tradisional seperti Timun Mas, Ande-ande Lumut, Buto Ijo, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
Roro Mendut Pronocitro. Musik pengiring kethoprak adalah gamelan
Jawa. Seluruh cerita kethoprak dibagi-bagi dalam babak besar dan kecil
dengan perkembangan yang sangat urut dan tidak mengenal flash back
seperti dalam film. Dalam cerita kethoprak selalu ada peranan dagelan
yang mengikuti tokoh-tokoh protagonis maupun antagonis.
Handung Kus Sudyarsana (1989:15) menuliskan periodisasi
kethoprak sebagai berikut. Tahun 1887- 1925 merupakan periodisasi
kethoprak lesung yakni kethoprak yang menggunakan iringan tetabuhan
lesung. Untuk mementaskan ketoprak lesung dibutuhkan pendukung
sebanyak ± 22 orang, yaitu 15 orang untuk pemain (pria dan wanita)
dan 7 orang sebagai pemusik. Dalam pertunjukan ini tidak dikenal
adanya vokalis khusus atau waranggana. Vokal untuk mengiringi musik
dilakukan bersama-sama baik oleh pemusik maupun pemain.
Tahun 1925-1927 merupakan periodisasi kehoprak peralihan
yakni kethoprak yang menggunakan iringan tetabuhan campuran
(lesung, rebana, dan alat musik Barat). Tahun 1927 sampai sekarang
merupakan periodisasi kethoprak gamelan yakni kethoprak yang
menggunakan iringan tetabuhan gamelan. Untuk mementaskan
kethoprak gamelan diperlukan pendukung sebanyak kurang lebih 34
orang pemain, penabuh gamelan, waranggana, dan dalang.
Salah satu perbedaan ketoprak lesung dengan ketoprak gamelan
adalah adanya unsur tari. Pada waktu masuk atau keluar panggung atau
kegiatan lain pemain ketoprak lesung melakukan tarian yang bersifat
improvisasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
2.2.2. Fungsi Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Pada umumnya kehidupan berkesenian merupakan salah satu
perilaku budaya manusia baik secara individu maupun sebagai sebuah
kelompok masyarakat. Oleh karena itu, setiap bentuk kesenian memiliki
fungsi sendiri-sendiri dalam kehidupan masyarakat. Soedarsono dalam
Darsiharjo (2009:6-7) mengemukakan bahwa seni pertunjukan memiliki
fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer tersebut antara lain sebagai
sarana ritual, sarana hiburan, dan presentasi estetis. Sedangkan fungsi
sekundernya antara lain sebagai pengikat kebersamaan, media
komunikasi, interaksi, ajang gengsi, bisnis, dan mata pencaharian.
Dengan kata lain, tiap tarian bisa mempunyai beberapa fungsi yang
menentukan fungsi primer dan fungsi sekundernya sehingga fungsinya
belum tentu abadi dari waktu ke waktu (Anya, 1980: 85).
Seni pertunjukan sebagai sarana ritual dapat ditemui di beberapa
daerah Jawa Tengah yang masih menyelenggarakan upacara-upacara
ritual. Pergelaran wayang merupakan salah satu contoh media ritualisasi
masyarakat pada zaman dahulu yang ingin meruwat anaknya. Ritual
tersebut masih dapat ditemui pada masa sekarang. Contoh lain dari
fungsi seni pertunjukan sebagai sarana ritual adalah pergelaran Tari
Bedhaya Ketawang pada upacara sakral Tingalandalem Jumenengan
(upacara ulang tahun penobatan raja). Hadiwijaya (1974:12-15)
mengungkapkan bahwa Nyi Loro Kidul selalu hadir dan ikut menari
setiap ada pementasan Tari Bedhaya Ketawang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
2.2.3. Ruang Pentas Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Pementasan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah tak
mungkin dapat lepas dari kebutuhan akan sebuah panggung.
Padmodarmaya (1988:34) menyebutkan bahwa panggung adalah suatu
ketinggian yang dibuat dari benda-benda ala kadarnya. Jadi, peran
sebuah panggung disini adalah sebagai pembatas antara ruang gerak
pemain dan ruang penonton yang biasanya diwujudkan dalam bentuk
perbedaan ketinggian.
Padmodarmaya (1988:35-95) mengelompokan panggung di
Indonesia menjadi tiga macam bentuk, antara lain: panggung arena,
panggung proscenium, dan panggung campuran. Pembahasan dari
masing-masing bentuk panggung tersebut yakni sebagai berikut.
1) Panggung Arena
Panggung arena merupakan bentuk panggung yang paling
sederhana. Panggung ini biasanya digunakan untuk pertunjukan seni
yang tidak memerlukan pelayanan khusus, misalnya menggunakan
skeneri yang realistis atau tiap pergantian adegan harus dilayani dengan
skeneri berbeda. Di dalam panggung arena batas antara pemain dan
penonton biasanya tersamarkan. Hubungan pemain dan penonton sangat
akrab bahkan terkadang penonton dapat ikut menjadi pemain. Panggung
arena dapat berupa halaman Pura, halaman rumah, pendhapa, balai
banjar, balai rakyat, dan lain-lain. Panggung bentuk ini biasanya tidak
berukuran besar dan maksimal hanya memuat 300 – 400 penonton.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
2) Panggung Proscenium
Panggung proscenium merupakan bentuk panggung yang
biasanya digunakan untuk pertunjukan seni yang memerlukan
pelayanan khusus, misalnya menggunakan skeneri yang realistis atau
tiap pergantian adegan harus dilayani dengan skeneri berbeda. Di dalam
panggung arena batas antara pemain dan penonton dibuat sangat jelas.
Keakraban antara pemain dan penonton tidak ditemui pada panggung
ini karena masing-masing pihak telah sadar akan perannya masing-
masing, yaitu pemain hanya bermain seni sedangkan penonton hanya
berhak menonton pertunjukan.
Bagian-bagian sebuah panggung proscenium antara lain
proscenium (dinding yang memisahkan antara panggung dengan ruang
penonton), sayap/sebeng (sekat di belakang proscenium), pintu muatan
(pintu lebar di belakang panggung untuk keluar masuk peralatan
panggung yang berukuran besar), ruang layang (ruang di bagian atas
panggung), serta pintu menuju ruang peralatan, ruang kontrol lampu,
dan ruang tata rias.
3) Panggung Campuran
Panggung campuran merupakan penggabungan bentuk
panggung pentas dan proscenium.
Padmodarmaya (1988:35) juga mengungkapkan bahwa dalam
menentukan bentuk panggung hendaknya menyesuaikan dengan jenis
pertunjukan yang akan dipentaskan. Namun, terkadang pementasan seni
pertunjukan harus menyesuaikan bentuk panggung agar lebih praktis.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Pada awalnya sebagian besar seni pertunjukan tradisional Jawa
Tengah sering dipentaskan secara non formal di atas panggung arena.
Hal itu dapat ditunjukkan oleh beberapa sumber sebagai berikut.
1) Soetarno (2005) menyebutkan bahwa wayang purwa (ringgit) sering
digelar di dalam salah satu bagian rumah tinggal Jawa yang disebut
dengan pringgitan (panggung arena). Mulai tahun 1960 pertunjukan
wayang purwa sudah dilakukan di atas panggung di luar ruangan.
2) Padmodarmaya (1988:35) menyebutkan bahwa pada mulanya
kethoprak dan wayang wong dipentaskan di dalam pendhapa
(panggung arena). Namun, sekarang sudah banyak dipentaskan di
atas panggung proscenium.
3) Seni tari rakyat Patolan (Prisenan) dari Rembang biasa dimainkan di
tempat-tempat yang berpasir seperti di tepi pantai (panggung arena).
Gambar 2.1. Pementasan Wayang Kulit di Pendhopo Rumah Sumber: Dokumentasi Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
2.3. Tinjauan Kehidupan Seniman Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah
Kebebasan seniman tidak hanya terbatas pada saat mereka
memerankan suatu lakon dalam pentas tetapi juga cara mereka hidup sehari-
hari. Bagi seniman seni merupakan bagian dari kehidupan. Beberapa wujud
dari kebebasan hidup para seniman dapat dilihat pada kehidupan grup
Kethoprak Tobong yang hidup bebas dan berpindah-pindah menyesuaikan
tempat mereka mengadakan pentas. Contoh lainnya adalah grup Kethoprak
Ngampung dari Kadipiro, Banjarsari, Surakarta yang mengadakan pentas
dengan berkeliling kampung.
Kebebasan hidup para seniman berpengaruh terhadap ruang hidup
mereka. Para seniman umumnya lebih memilih tempat tinggal yang menyatu
dengan alam, sederhana, dan tidak terkekang oleh hiruk pikuk keramaian
kota. Kondisi lingkungan tersebut dirasa lebih mendukung dalam berkarya.
Salah satu wujud dari pengaruh kehidupan para seniman terhadap ruang
hidupnya dapat ditemui di Kampung Seni Nitiprayan Yogyakarta. Di
kampung ini seniman tinggal di rumah-rumah yang sederhana dengan
material alam sehingga menyatu dengan lingkungan sekitar. Kegiatan pentas
tari tradisional dilakukan di ruang-ruang publik kampung yang sangat
sederhana, yakni di pasar dan halaman rumah. Kegiatan gotong-royong,
unggah-ungguh/tepo seliro (sopan-santun atau budaya saling menghormati),
dan etika bertetangga masih dijaga di kampung ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
2.4. Tinjauan Suasana Kampung Sebagai Cerminan Kehidupan Seniman
Yang Bebas
Kehidupan seniman seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah yang
bebas membawa mereka ke dalam ruang hidup alami seperti yang telah
diuraikan pada pembahasan Kampung Seni Nitiprayan di atas. Dari uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang hidup alami bagi seniman
berhubungan erat dengan konsep hidup di dalam suatu kampung.
Berdasarkan konsep ruang hidup alami suatu kampung maka suasana
kampung dapat tercipta dengan pemakaian material-material yang berasal dari
alam sekitar. Pemilihan material ini berkaitan dengan kearifan lokal sebagai
hasil interaksi masyarakat setempat terhadap keberadaan material bangunan
Gambar 2.3. Kondisi Rumah-Rumah Seniman Yang Sederhana dan Menyatu Dengan Alam Sumber: www.jogjatrip.com diakses 1 Oktober 2011 Pukul 20.00 WIB
Gambar 2.2. Pementasan Tari Tradisional di Ruang Terbuka (Halamn Rumah dan Pasar) Sumber: www.jogjatrip.com diakses 1 Oktober 2011 Pukul 20.00 WIB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
di sekitar mereka. Lokasi proyek yang direncanakan berada di Surakarta
sehingga material alami yang dipakai mudah ditemui dan digunakan untuk
bangunan-bangunan di Surakarta, yakni batu bata, kayu, bambu, gedeg, dan
lain-lain. Suasana kampung juga dapat diwujudkan dengan menanam pohon-
pohon yang biasa ditanam di kampung seperti yang diilustrasikan pada
gambar di bawah ini.
Berdasarkan studi pada Kampung Seni Nitiprayan didapatkan suasana
kampung yang ditunjukkan dengan ciri-ciri fisik sebagai berikut.
1) Tata massa bangunan kampung cenderung acak/organis.
2) Kampung mempunyai ruang komunal.
3) Fasilitas-fasilitas sosial kampung menyatu dengan hunian.
4) Kampung Ruang terbuka hijau yang cukup.
5) Sirkulasi kampung cenderung tegas dan majemuk.
2.5. Tinjauan Arsitektur Jawa
Pengetahuan tentang arsitektur Jawa dapat digali dari pendapat
Prijotomo dan Kawruh Kalang yang dikutip oleh Pitana bahwa pada dasarnya
arsitektur Jawa merupakan perwujudan dari arsitektur pernaungan dimana
Gambar 2.4. Suasana Kampung Sumber, Banjarsari, Surakarta Dengan Pepohonan Pisang, Melinjo, dan Mangga
Sumber: Dokumentasi Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
orang yang masuk ke dalam bangunan bagaikan bernaung (berteduh) di
bawah pohon (niatan) yang besar (Pitana, 2010:138). Sebagai wadah kegiatan
bernaung (berteduh), tentu salah satu bagian bangunan arsitektur Jawa yang
terpenting adalah atap yang berfungsi sebagai peneduh dari panas dan hujan.
Begitu pentingnya keberadaan sebuah atap hingga manusia Jawa menetapkan
ukuran bangunan (pemidhangan) dengan menunjuk bagian atap seperti
blandar dan pengeret sebagai titik berangkatnya. Di atas blandar dan pengeret
tersebut dapat bertumpu berbagai bentuk atap seperti tajug, juglo (joglo),
limansap (limasan), dan kapung (kampung) yang selanjutnya dijadikan
sebagai sebutan atau nama bagi bangunan Jawa (Pitana, 2010:140-141).
Pengetahuan tentang arsitektur Jawa juga dapat dijumpai dalam
disertasi Prijotomo (2006:180-183) yang kurang lebih dapat dijabarkan
sebagai berikut.
1) Arsitektur Jawa merupakan representasi bagi cita penghuninya/pemiliknya
yang berkenaan dengan kehidupan duniawi orang Jawa yang dinyatakan
sebagai angsar atau watak kayu. Cita penghuni griya Jawa mencakup
kesejahteraan dan kesehatan keluarga, rejeki, dan karier dalam bekerja.
Masing-masing kehidupan duniawi menjadi daya dari kayu yang
memotivasi penghuni untuk menjalankan dan mengarahkan kehidupannya.
2) Arsitektur Jawa dapat disebut sebagai dhapur griya karena memiliki
kekayaan tipe bangunan yaitu tajug, joglo, limasan, dan kampung dengan
berbagai varian/ragam bentuknya.
3) Arsitektur Jawa menjadikan dirinya sebagai penaung kegiatan. Kerangka
atap (empyak) dan keseluruhan atap (payon) dituntut untuk menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
penaung sehingga komponen atap menjadi ketetapan dalam menyertakan
dan menyandangkan berbagai guna-griya. Lantai bangunan di mana
aktivitas berlangsung merupakan daerah ternaungi yang sepenuhnya
menggantumgkan diri pada keberadaan atap (luasan atap dan jauh-
dekatnya atap dari tanah/lantai menjadi faktor bagi luasan lantai).
4) Arsitektur Jawa dapat dimengerti sebagai rakitan (assemblage) cita
arsitektur sebagai pernyataan idealisasi kehidupan duniawi, fungsi sebagai
penaung, dan rupa arsitektur sebagai penyedia daya/kekuatan struktural
bangunan serta sebagai penciri rupa.
Arsitektur Jawa tidak hanya dipandang sebagai perwujudan bentuk
fisik bangunan saja. Tetapi lebih dari itu, arti non fisik bangunan memiliki
tingkat prioritas yang sangat tinggi. Dua aspek dominan dari arti non fisik ini
adalah aspek arah dan lambang tubuh manusia (Silas dalam Muhammad dan
Santosa, 2008:51). Aspek lain yang tidak kalah penting adalah pandangan
manusia Jawa terhadap makrokosmos (jagad gede = jagad raya) dan
mikrokosmos (jagad cilik = diri manusia) (Pitana, 2010:131).
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa arsitektur Jawa dapat
dipahami dalam dua aspek, yaitu aspek fisik dan non fisik. Secara fisik
arsitektur Jawa merupakan perwujudan dari arsitektur pernaungan yang
memiliki kekayaan tipe dan varian atap sebagai penaung kegiatan di
bawahnya sehingga dikenal sebagai dhapur griya. Sedangkan secara non fisik
arsitektur Jawa merupakan representasi bagi cita dan pandangan hidup
penghuninya/pemiliknya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kosmologi.
2.5.1. Arsitektur Jawa Sebagai Wujud Kearifan Lokal Manusia Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
Sunoko (2011:277) dalam Adilihung Kajian Budaya Jawa
menyatakan bahwa kearifan masyarakat Jawa telah teruji dalam
memahami alam dan merealisasikannya di segala aspek kehidupan,
salah satunya dalam praktek me”rumah”. Sementara itu, Pitana
(2011:120) dalam buku yang sama mengungkapkan bahwa rumah Jawa
merupakan hasil interaksi manusia Jawa dengan alam (makrokosmos).
Berdasarkan pernyataan-pernyataan dapat disimpulkan bahwa arsitektur
Jawa merupakan arsitektur yang tanggap terhadap lingkungan, seperti
iklim dan cuaca.
2.5.2. Arsitektur Jawa Dalam Tampilan Fisik
Sebagai dhapur griya, arsitektur Jawa memiliki kekayaan
bentuk bangunan yang dapat dbedakan menjadi lima tipe, yaitu
panggang-pe, kampung, limasan, joglo/tikelan, dan tajug/tajub/masjid
(Mintoboedjono dalam Budiharjo, 1994:11-22 dan Hamzuri, t.t.;14).
Masing-masing tipe tersebut masih berkembang menjadi berbagai
varian/ragam bentuk menyesuaikan situasi dan kondisi lingkungan
sekitar. Dengan demikian, penyelesaian dan perkembangan arsitektur
Jawa di satu wilayah berbeda dengan wilayah lain karena masing-
masing wilayah memiliki situasi dan kondisi lingkungan yang berbeda
sehingga tidak ada satu pembakuan yang berlaku di seluruh Jawa
(Parmono dalam Budiharjo, 1994:11). Sebagai contoh, setiap wilayah di
Jawa Tengah memiliki kekhasan arsitektur sendiri-sendiri (Soegeng
dalam Budiharjo, 1994:11-12), yakni sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
1) Wilayah pantai utara (Demak, Kudus, Pati, Jepara, dan Rembang)
memiliki kekhasan atap penchu, bekuk-lulang dan konsolnya.
2) Wilayah selatan (eks Karesidenan Kedu dan Banyumas) memiliki
kekhasan atap srotongan, trojogan, dan tikelan.
3) Wilayah tengah (eks Karesidenan Surakarta dan sekitarnya)
memiliki kekhasan atap joglo.
a. Tipe Arsitektur Jawa
Berikut disajikan tabel yang berisi uraian kelima tipe arsitektur
Jawa, yaitu panggang pe, kampung, limasan, joglo/tikelan, dan
tajug/masjid menurut Hamzuri (t.t.: 14-60).
Tipe Arsitektur Jawa
Uraian Kegunaan
Panggang pe
- Mempunyai tiang atau saka sebanyak empat atau enam buah.
- Pada sisi-sisi kelilingnya diberi dinding sekedar penahan hawa lingkungan sekitarnya.
- Rumah tinggal orang desa atau kampung yang kurang mampu
Kampung
- Memiliki denah persegi atau persegi panjang dengan dua bidang atap yang dipertemukan pada sisi atasnya dan ditutup menggunakan tutup keong.
- Bangunan pokoknya terdiri dari saka-saka yang berjumlah 4, 6, 8, dan seterusnya.
- Ruangan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian depan, tengah, dan belakang. Ruangan bagian tengah dibagi menjadi tiga kamar atau senthong, yaitu senthong kiwa (kamar kiri), senthong tengah (kamar tengah) dan senthong tengen (kamar kanan).
- Rumah tinggal orang desa atau kampung yang kurang mampu
Limasan - Memiliki denah persegi atau persegi panjang dengan empat bidang atap, yaitu dua atap berbentuk segitiga (kejen/cocor) dan dua atap berbentuk trapesium sama kaki (brunjung).
- Ruangan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Pada ruang belakang terdapat tiga senthong, yaitu: senthong kiwa, senthong tengah dan senthong tengen. Sedangkan penambahan senthong atau kamar biasanya ditempatkan di sebelah kiri, senthong kiwa,
- Rumah tinggal orang mampu
Tabel 2.1. Tipe Arsitektur Jawa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
dan di sebelah kanan senthong tengen.
Joglo/tikelan
- Memiliki empat tiang pokok (saka guru) dan blandar bersusun yang disebut blandar tumpang sari. Blandar tumpang sari ini merupakan blandar yang tersusun makin ke atas makin melebar.
- Memiliki kerangka yang disebut sunduk atau sunduk kili. Sunduk ini berfungsi sebagai penyiku atau penguat bangunan agar tidak berubah posisinya.
- Rumah tinggal orang terpandang dan dihormati.
Tajug/masjid - Memiliki denah bujur sangkar dengan empat tiang dan empat bidang atap yang bertemu di satu titik puncak yang runcing.
- Bangunan sakral seperti cungkup, makam, langgar, mushola, dan masjid.
b. Arsitektur Jawa Kontemporer (Masa Kini)
Prijotomo (1995:1) mengungkapkan bahwa arsitektur Jawa
bukanlah arsitektur yang mandeg, mati, atau tak memungkinkan untuk
ditafsir ke dalam massa kini dan masa depan. Dari pernyataan tersebut
diketahui bahwa arsitektur Jawa dapat hadir dalam tampilan yang baru
(kontemporer/masa kini) namun masih memegang hakekat arsitektur
Jawa sebagai arsitektur pernaungan dengan konsep kosmologi Jawa di
dalamnya. Masjid Said Na’um dijadikan Prijotomo (1995:1) sebagai
contoh perkembangan arsitektur Jawa masa kini.
2.5.3. Arsitektur Jawa Secara Konseptual
Sebagaimana telah dikemukaan di atas bahwa arsitektur Jawa
tidak hanya dilihat sebagai bentuk fisik saja, tetapi lebih dari itu,
Sumber: Hamzuri, t.t.: 14-60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
arsitektur Jawa harus dapat menjawab tuntutan kehidupan penghuninya,
lingkungan, dan budaya setempat. Oleh karena itu, setiap karya
arsitektur Jawa hendaknya dapat menyerasikan diri dengan lingkungan
sekitar sesuai dengan tata krama menempatkan diri atas dasar sumbu
religi atau sumbu bumi (axis mindi). Hal ini bertujuan agar terjadi
kosmisasi menuju situasi dan kondisi yang serba menentramkan,
menyejahterakan, dan membahagiakan manusia (Budiharjo, 1994:8).
Budiharjo (1994:10-17) dalam bukunya “Percikan Masalah
Arsitektur, Perumahan, Perkotaan” mengungkapkan bahwa arsitektur
Jawa harus dapat berfungsi sebagai pernyataan bentuk lingkungan dan
ruang hidup untuk kelangsungan hidup manusia sesuai kaidah-kaidah
yang diakui atau masih dianut oleh masyarakat Jawa. Beberapa
pernyataan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Arsitektur Jawa harus dapat menunjukkan kehidupan masyarakat
Jawa yang sarat dengan tata krama, seperti tata krama menempatkan
diri dari setiap bangunan terhadap lingkungan alam yang kasat mata
maupun alam maya. Di daerah Surakarta dan Yogyakarta tata krama
menempatkan diri dapat ditemui pada orientasi bangunannya.
Sebagian besar masyarakat Surakarta percaya akan adanya kerajaan
Nyi Roro Kidul di pantai selatan. Oleh karena itu, mereka
membangun rumah menghadap ke selatan sebagai lambang
keselamatan dan penghormatan kepada ratu Nyi Roro Kidul.
2) Arsitektur Jawa merupakan arsitektur yang jujur dalam hal struktur
dan bahan. Sebagian besar bahan kontruksi bangunan tradisional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Jawa diambil dari lingkungan sekitar seperti kayu sebagai bahan
dominan dalam kontruksi saka dan atap. Material-material tersebut
diperlihatkan secara jelas dan jujur sehingga menunjukkan watak
aslinya. Hal ini berbeda dengan material bangunan modern seperti
atap genteng bangunan yang kebanyakan dicat dengan berbagai
warna sehingga sangat sulit diketahui apakah genteng terbuat dari
tanah liat, beton, atau metal.
3) Arsitektur Jawa harus dapat menunjukkan keselarasan antara ruang
dalam dan ruang luar. Penggunaan material dari lingkungan sektitar
pada bangunan dapat memberi keselarasan antara ruang di dalam
rumah dengan halaman dan lingkungan sekitar sehingga dapat
meningkatkan citra lingkungan masyarakat Jawa yang tenteram dan
damai.
4) Arsitektur Jawa sebagai suatu proses organisme yang mengikuti
proses pertumbuhan kehidupan dan kondisi bio-sosial-ekonomi-
budaya masyarakat Jawa. Arsitektur Jawa mirip dengan jasad hidup
yang tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan sejalan
dengan perkembangan kehidupan penghuninya. Sistem strukturnya
dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dibongkar pasang,
ditambahi atau dikurangi sesuai kebutuhan. Bila penghuni rumah
bertambah dan menuntut bertambahnya ruang, bangunan dapat
dengan mudah dikembangkan seperti rumah panggang pe
ceregancet yang terbentuk dari dua unit panggang pe yang
dipertemukan pada sisi belakangnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Silas dalam Muhammad dan Santosa (2008:51) mengutarakan
bahwa arti non-fisik arsitektur Jawa justru memiliki prioritas yang
sangat tinggi. Ada dua aspek yang dominan dari arti non-fisik tersebut,
yaitu aspek arah dan lambang tubuh manusia. Wondoamiseno, Basuki,
dan Setiawan dalam Sagrim (2011:7) memperjelas bahwa aspek arah
biasa diterapkan dalam penentuan arah hadap rumah dan arah tidur
masyarakat Surakarta dan Yogyakarta sebagai tanda penghormatan
terhadap Nyai Roro Kidul yang bersemayam di Laut Selatan. Namun,
kebiasaan tersebut semakin ditinggalkan di daerah-daerah yang jauh
dari pusat keraton seperti di Somoroto dan Ponorogo. Di dalam
primbon Betaljemur Adammakna bab 172 yang diredaksi oleh Sagrim
(2011:7) juga dipaparkan tentang cara penentuan arah rumah
berdasarkan hari pasaran kelahiran pemilik rumah dan arah ke empat
penjuru angin.
Prijotomo dalam Muhammad dan Santosa (2008:51)
mengemukakan bahwa arsitektur Jawa memiliki aturan yang bersifat
linier dan sentripetal serta mengacu pada prinsip pusat dan dualitas.
Prinsip dualitas dijelaskan oleh Sagrim (2011:8) sebagai oposisi binair
antara ruang luar dan dalam, antara kiri dan kanan, antara daerah
istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki (tempat placenta
yang biasanya diletakkan sebelah kanan) dan spirit wanita (tempat
placenta yang biasanya diletakkan pada bagian kiri), sentong kanan dan
sentong kiri, dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
a. Ruang Pada Arsitektur Jawa
Konsep ruang pada arsitektur Jawa pada kenyataannya berbeda
dengan konsep ruang pada arsitektur Barat. Masyarakat Jawa lebih
mengenal ruang sebagai nggon atau panggonan yang berarti tempat
(Tjahjono dan Setiawan dalam Sagrim, 2011:7). Pengertian tempat
lebih lanjut dapat dilihat pada bagian-bagian rumah tinggal orang Jawa.
Pada rumah induk (omah), istilah dalem dapat diartikan sebagai
keakuan orang Jawa karena kata dalem adalah kata ganti orang pertama
(aku) dalam bahasa Jawa halus. Dasar keakuan dalam pandangan dunia
Jawa terletak pada kesatuan dengan Illahi yang diupayakan sepanjang
hidupnya dalam mencari sangkan paraning dumadi dengan selalu
memperdalam rasa yaitu suatu pengertian tentang asal dan tujuan
sebagai makhluk (Magnis Suseno dalam Sagrim, 2011:7). Sentong
tengah yang terletak dibagian omah merupakan tempat bagi pemilik
rumah untuk berhubungan dan menyatu dengan Illahi sedangkan
pendopo merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan sesama
manusianya (Prijotomo dalam Sagrim, 2011:7). Dengan demikian,
pengertian ruang dalam rumah tinggal Jawa mencakup aspek tempat,
waktu, dan ritual. Rumah tinggal merupakan tempat menyatunya jagad
cilik (mikrokosmos) yaitu manusia Jawa dengan jagad gede
(makrokosmos) yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang
menguasainya. Bagi orang Jawa rumah tinggalnya merupakan poros
dunia (axis-mundi) dan gambaran dunia atau imago-mundi dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
memenuhi aspek kosmos dan pusat (Eliade dan Tjahjono dalam Sagrim,
2011:7).
Konfigurasi ruang atau bagian-bagian rumah orang Jawa di desa
membentuk tatanan tiga bagian linier belakang. Bagian depan pendopo,
di tengah peringgitan dan yang paling belakang dan terdalam adalah
dalem. Pada konfigurai ruang rumah Jawa dikenal adanya dualisme
(oposisi binair) antara ruang luar dan dalam, antara kiri dan kanan,
antara daerah istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki
(tempat placenta yang biasanya diletakkan sebelah kanan) dan spirit
wanita (tempat placenta yang biasanya diletakkan pada bagian kiri),
sentong kanan dan sentong kiri, dan lain-lain. Pembagian dua ini juga
terjadi pada saat pagelaran wayang dimana layar diletakkan di
sepanjang peringgitan, dalang dan perangkatnya serta penonton laki-
laki di bagian pendapa sedangkan perempuan menonton dari bagian
belakang (melihat bayangan wayang dari belakang kelir).
Gambar 2.5. Denah Rumah Tinggal Jawa Sumber: Selo Sumarjan Yang Dikomposisikan Oleh Sagrim (2011;6)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
b. Kosmologi Jawa
Dalam kosmologi Jawa dikenal adaya jagad cilik
(mikrokosmos) yaitu manusia Jawa dan jagad gede (makrokosmos)
yaitu alam semesta dan kekuatan gaib yang menguasainya. Alam
raya dan eksistensi (hidup) dalam kosmos dipandang sebagai sesuatu
yang memiliki bentuk teratur dan tersusun bertingkat (Ronald,
2005:53).
Pitana (2010:131) dalam disertasinya mengungkapkan bahwa
pandangan manusia Jawa yang arkais mengenai keberadaan kosmos
menghasilkan empat asumsi dasar yang dapat dijadikan pijakan
argumen dalam pembahasan mengenai kesadaran manusia terhadap
ruang hidupnya. Pertama, pandangan manusia Jawa mengenai
kosmosnya merupakan bentuk nilai tetap yang selalu hadir dalam
kehidupannya (Nugroho dalam Titis, 2010:131). Kedua, etika hidup
Gambar 2.6. Posisi Pagelaran Wayang Pada Bangunan Jawa Sumber: Selo Sumarjan Yang Dikomposisikan Oleh Sagrim (2011;6)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
manusia Jawa dalam interaksi sosial diatur melalui prinsip rukun dan
hormat dalam menjaga keselarasan hidup. Ketiga, rukun dan hormat
sebagai upaya menjaga keselarasan hidup merupakan “prinsip
pencegahan konflik” (Magnis Suseno dalam Pitana, 2010:132).
Artinya, manusia Jawa sangat terbuka dalam menerima suatu
perubahan akibat interaksi sosial yang dijalani demi terjaganya
keselarasan. Keempat, identitas diri yang terbentuk diungkapkan
melalui pikiran dan perbuatan yang total, berlandasan, dan beralasan.
Dalam konteks kosmologi, manusia Jawa memiliki panduan
petunjuk arah yang disebut konsep Pajupat yang dapat ditemukan
dalam dua versi. Pertama, konsep Pajupat Hindu-Jawa, yaitu
adanya keyakinan bahwa setiap arah mata angin dijaga oleh dewa
dengan segala kesaktian dan perannya masing-masing sehingga
lokasi di tengah perpotongan mata angin diartikan sebagai lokasi
yang mengandung getraan magis yang sangat tinggi. Kesaktian dan
peran dewa-dewa yang dimaksud, yakni sebagai berikut (Frick
dalam Pitana, 2010:136).
1) Arah Utara dijaga oleh dewa Wisnu, yang merupakan dewa
pemelihara hidup dan kehidupan di bumi.
2) Arah Selatan dijaga oleh dewa Antaboga, ialah dewa kesabaran
dan kebahagiaan.
3) Arah Barat dijaga oleh dewa Yamadipati, yang merupakan dewa
kematian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
4) Arah Timur dijaga oleh dewa Mahadewa yang merupakan dewa
kebersamaan dan keseragaman (kesatuan dan persatuan).
Kedua, konsep Pajupat Kejawen, yaitu adanya petunjuk
lengkap cara pelaksana laku bila seseorang akan menggunakan arah
kiblat papat kalima pancer dalam rangka mencapai suatu maksud
tertentu. Sebagai contoh, bila seseorang menginginkan kelancaran
sandang pangan dalam kehidupannya. Petunjuk yang didapat adalah
yang bersamgkutan menghadap ke Timur untuk melakukan mediasi
atau semadi dengan memakai pakaian serba putih (Miksic dalam
Pitana, 2010:137).
2.5.4. Aspek Konseptual Arsitektur Jawa Sebagai Pijakan Dalam
Perolehan Bentuk Fisik
Manusia Jawa dalam kehidupannya selalu berusaha menjaga
keseimbangan dan keharmonisan antara jagad alit (dirinya sendiri)
dan jagad gede (lingkungan alam sekitar) (Herusatoto dalam Pitana
2011:320). Perwujudan dari konsep bentuk arsitektur Jawa
merupakan refleksi dari lingkungan alamnya yang sangat
dipengaruhi oleh geometric, yang sepenuhnya dikuasai oleh
kekuatan dari dalam diri sendiri; dan pengaruh geofisik, yang sangat
tergantung pada kekuatan alam lingkungannya. Berdasarkan
pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk fisik arsitektur
Jawa selalu berubah dan berkembang sebagai refleksi dari
lingkungan alam yang selalu berubah. Dengan demikian, arsitektur
Jawa kontemporer (masa kini) merupakan perwujudan dari respon
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
bangunan terhadap lingkungan masa kini yang berbeda dengan masa
lalu.
2.6. Tinjauan Kota Surakarta
2.6.1. Tinjauan Administratif Kota Surakarta
Surakarta Dalam Angka tahun 2008 menyebutkan bahwa luas
wilayah administratif Kota Surakarta sekitar 4406 Ha yang terbagi atas
lima wilayah kecamatan (Kecamatan Laweyan, Kecamatan Serengan,
Kecamatan Pasar kliwon, Kecamatan Jebres, dan Kecamatan
Banjarsari) dan 51 wilayah kelurahan. Kota Surakarta berbatasan
dengan beberapa wilayah administrasi (lihat Gambar 3.1), yaitu
berbatasan dengan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten
Karanganyar di sebelah timur, Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan,
dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah barat.Luas kawasan yang telah
terbangun mencapai 88,47 %. Sementara itu, yang belum terbangun
kurang lebih 11,53 % di bagian utara dan barat kota. Keterbatasan lahan
di Kota Surakarta menyebabkan terjadinya perluasan wilayah Kota
Surakarta menuju ke arah wilayah administratif tetangga seperti
Karanganyar dan Sukoharjo. Berdasarkan studi dari tim Proyek
Pengembangan Kota Terpadu, luas wilayah perkotaan Surakarta saat ini
telah mencapai sekitar 11000-12000 Ha atau berkembang menjadi
hampir tiga kali lipat dari luas wilayah semula. Luas wilayah
administratif Kota Surakarta tersebut meliputi wilayah administratif
Kota Dati II Surakarta seluas 4406 Ha, sebagian Dati II Sukoharjo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
(Kecamatan Kartosuro, Kecamatan Grogol, Kecamatan Baki, dan
Kecamatan Mojolaban) seluas 3168 Ha, dan sebagian Dati II
Karanganyar (Kecamatan Jaten dan Kecamatan Colomadu) seluas 1143
Ha.
2.6.2. Rencana Pemanfaatan Ruang Kota Surakarta
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 2 tahun
1987 menyebutkan bahwa rencana pemanfaatan ruang kota mencakup
arahan pemanfaatan ruang yang menggambarkan lokasi intensitas tiap
penggunaan untuk kegiatan primer dan sekunder yang ada di dalam
kota sampai akhir tahun perencanaan. Jadi, pengaturan lokasi dan luas
lahan dirinci dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) untuk
kegiatan primer maupun sekunder. Rencana pemanfaatan ruang Kota
Surakarta ditunjukkan pada tabel dan peta di bawah ini.
Gambar 2.7. Peta Kota Surakarta Sumber: http://www.surakarta.go.id Diakses 1 Juni 2011 Pukul 12.00 WIB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
SWP Fungsi SWP
Lokasi A B C D E F G H Jumlah
(%)
I 20 10 70 100 Pucangsawit
II 10 5 5 10 10 60 100 Mangkunegaran,
Balaikota, Kawasan Komersial
III 15 15 25 45 100 Keraton, Kawasan Komersial
IV 5 15 5 10 65 100 Sriwedari, Balekambang, Manahan
V 15 5 10 70 100 Sondakan, Laweyan
VI 5 10 5 5 75 100 Jajar VII 5 5 90 100 Sumber, Banyuanyar
VIII 10 5 10 25 5 55 100 Taman Jurug, UNS, Kawasan Komersial
IX 15 5 5 75 100 Kadipiro
X 5 5 90 100 Mojosongo
Kebijakan pemerintah dalam perencanaan Kota Surakarta
diwujudkan melalui visi perencanaan kota, yaitu mewujudkan Surakarta
Gambar 2.8. Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta
Keterangan : A. Pariwisata B. Kebudayaan C. Olah Raga D. Industri
E. Pendidikan F. Perdagangan G. Pusat Administrasi/Perkantoran H. Perumahan
Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta
Tabel 2.2. Tabel Fungsi Satuan Wilayah Pengembangan (SWP)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
sebagai “Kota Budaya” dengan menekankan pada aspek kultural dan
arsitektur kota. Penekanan aspek kultural ditempuh dengan cara
melestarikan kebudayaan Surakarta beserta pranata-pranata sosial
budaya sebagai identitas komunal, sedangkan penekanan pada aspek
arsitektur kota ditempuh dengan cara menciptakan Kota Surakarta yang
dapat mencerminkan sebagai kota yang masih mempunyai karismatik
dan berbudaya lokal yang dapat dijadikan sebagai trademark kota.
2.6.3. Tinjauan Pariwisata Budaya Kota Surakarta
Koentjaraningrat (1995:329) menyebut Surakarta sebagai pusat
kebudayaan Jawa yang menjadi induk dari daerah-daerah kejawen
lainnya, yaitu Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan
Kediri. Begitu juga dengan Kuncoro (1997) dalam seminarnya berjudul
“Sejarah dan Peninggalan dalam Membentuk Identitas Kota Surakarta”
yang menyebutkan bahwa Kota Surakarta telah lama dinobatkan
sebagai “Kota Pusat Budaya Jawa Tengah” karena Surakarta
Gambar 2.9. Peta Pariwisata Kota Surakarta Sumber: www.wisatasolo.com Diakses 1 Agustus 2011 Pukul 20.30 WIB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
menyimpan sumber-sumber budaya yang berpotensi menjadi induk
budaya Jawa Tengah. Selain itu, Surakarta juga mendapat julukan
sebagai “Pintu Gerbang Pariwisata Jawa Tengah“ bagi para
pengunjung dari luar Jawa Tengah yang datang melalui Bandara
Adisumarmo.
Potensi-potensi seni dan budaya yang dimiliki Surakarta antara
lain seni pertunjukan tradisional, upacara-upacara tradisi yang masih
dijalankan baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari maupun oleh
masyarakat bangsawan (keraton), event-event budaya, dan peninggalan
bangunan-bangunan bersejarah dengan berbagai ragam arsitektur,
antara lain arsitektur Jawa, Indis, dan kolonial Belanda (lihat gambar 7).
Bangunan-bangunan bersejarah yang dapat dijadikan sebagai objek
pariwisata budaya antara lain Puro Mangkunegaran, Museum Radya
Pustaka, Taman Balekambang, Lojigandrung, Taman Sriwedari,
Monumen Pers, Pasar Klewer, Pasar Gede, dan lain-lain. Keberagaman
seni dan budaya tersebut mampu menarik minat wisatawan untuk
berkunjung. Hal ini terlihat dengan banyaknya wisatawan, baik
wisatawan domestic maupun wisatawan mancanegara yang berkunjung
ke Surakarta untuk mengenal, mempelajari, dan berapresiasi terhadap
seni dan budaya setempat. Data dari Dinas Pariwisata Seni dan
Kebudayaan Surakarta tahun 2003-2010 menunjukkan bahwa
kunjungan wisatawan ke Kota Surakarta mengalami peningkatan setiap
tahun (lihat Tabel 4, Grafik 1, dan Tabel 5).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
No Tahun Wisatawan
Mancanegara Wisatawan Domestic
Jumlah total
1 2003 7.929 737.025 737.025 2 2004 7.985 742.890 750.875 3 2005 9.649 760.095 769.744 4 2006 10.625 904.984 915.610 5 2007 11.922 960.625 972.547 6 2008 13.859 1.029.003 1.042.862 7 2009 26.047 1.054.283 1.080.330 8 2010 29.218 988.615 1.017.833
0200000400000600000800000
10000001200000
200320042005200620072008 2009 2010WisatawanMancanegara
Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta
Tabel 2. 4. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik) ke Obyek Wisata di Kota Surakarta
Diagram 2.1. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik) ke Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di Kota Surakarta
Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta
Sumber: Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta
Tabel 2.3. Kunjungan Wisatawan (Mancanegara dan Domestik) ke Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di Kota Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
2.6.4. Tinjauan Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah di Surakarta
Berbagai bentuk kesenian tradisional Jawa termasuk di
dalamnya seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah masih berkembang
di Surakarta. Nuansa budaya Jawa tersebut masih terasa sangat kental
dalam kehidupan masyarakat hingga saat ini. Keadaan tersebut
berkaitan dengan realita historis bahwa beberapa abad yang lalu
Surakarta merupakan salah satu pusat kerajaan Dinasti Mataram di
tanah Jawa (di samping Kasultanan Yogyakarta). Itulah sebabnya
hingga saat ini Surakarta masih menjadi salah satu pusat pengembangan
budaya Jawa. Sejumlah potensi seni pertunjukan tradisional yang
berkembang di Surakarta dapat menjadi salah satu peluang dalam
mendukung pengembangan sektor pariwisata sehingga diharapkan
kepariwisataan di daerah Surakarta dapat menjadi wajah wisata budaya
di Jawa Tengah.
a. Sejarah dan Kondisi Seni Tari Tradisional di Surakarta
Di bawah ini adalah uraian tentang seni tari di Surakarta yang
dikutip dari buku berjudul “Standar Kompetensi Tari Yogyakarta
Surakarta Bali” karya Widyastutiningrum dan Prabowo (2003:21-24).
Pada awalnya seni tari gaya Surakarta berkembang di Keraton
Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Keduanya memiliki warna,
corak, kualitas, dan gaya yang berbeda. Namun, yang banyak dikenal
masyarakat luas sebagai tari gaya Surakarta adalah tari gaya Kasunanan
yang awalnya hanya berkembang di lingkungan keraton. Sejak Paku
Buwana X lengser pada tahun 1939, tari gaya Surakarta (gaya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Kasunanan) mulai berkembang di luar keraton namun masih dalam
batas lingkungan tertentu. Perkembangan tari gaya Surakarta (gaya
Kasunanan) tersebut dimotori oleh abdi dalem langentaya, antara lain
Wira Bratana, Atmohutaya, Wignyohambeksa, Sindu Hardiman,
Atmakesawa, Pamarditaya, Harta Sukalewa, dan lain-lain. Oleh karena
itu, muncul aliran gaya tari seperti aliran Wirabratanan, aliran Sindu
Hardiman, aliran Wignyahambeksan, aliran Kusumakesawan, dan
sebagainya. Sejak tahun 1950-an tari gaya Surakarta semakin
berkembang di luar keraton yang didukung dengan berdirinya
Konservatori Karawitan Indonesia (KOKAR) Surakarta dan Himpunan
Budaya Surakarta (HBS) yang dipelopori oleh empu tari dari
Kasunanan dan Mangkunegaran. HBS dimotori oleh K.R.T.
Kusumakesawa, R. Ng. Wignyahambeksa, R.M. Susena, Pamarditaya,
Prawirareja , dan S. Ngaliman.
Tari gaya Surakarta berkembang sangat pesat setelah dilakukan
penggalian tari dan upaya pengembangan tari gaya Surakarta oleh
Pengembangan Kesenian Jawa Tengah (PKJT). Upaya pengembangan
tari gaya Surakarta dilakukan dengan berbagai cara seperti pemadatan,
perubahan, dan penggarapan bentuk. Hasil pengembangan tersebut
melahirkan tari gaya Sasanamulya dengan bentuk yang lebih dinamik
pada tahun 1980-an. Kemudian, tari gaya Sasanamulya berkembang
menjadi tari gaya Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta yang
mendominasi tari di Surakarta. Dalam perkembangannya tari gaya
Surakarta diwarnai oleh tari gaya Mangkunegaran yang banyak digubah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
oleh empu di luar lingkungan Mangkunegaran seperti Tari Menak
Koncar dan Gambyong Pareanom. Saat ini tari gaya Surakarta banyak
mendapatkan pengaruh dan banyak mengalami perubahan sehingga
semakin kaya dan cenderung sulit untuk dibedakan antara tari gaya
Kasunanan dan gaya Mangkunegaran.
Pelestarian tari gaya Surakarta telah dilakukan melalui beberapa
lembaga pendidikan di Surakarta baik yang bersifat formal maupun
informal. Lembaga pendidikan formal yang bergerak di bidang tari
antara lain sebagai berikut.
1) Sekolah Menengah Kejuruan VIII (dahulu KOKAR).
SMK VIII menekankan pembelajarannya pada bidang seni
karawitan, musik, pedalangan, dan tari. Pembelajaran seni tari
difokuskan pada tari gaya Surakarta, namun para siswa juga mendapat
pembelajaran tari daerah lain seperti tari Bali, tari Sunda dan tari
Yogyakarta.
2) Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta
STSI Surakarta merupakan perkembangan dari Akademi Seni
Karawitan Indonesia (ASKI) yang berdiri sejak tahun 1964. Saat ini
Jurusan Seni Tari lebih diminati daripada jurusan lain. Hal itu terlihat
dari jumlah mahasiswa Jurusan Seni Tari yang lebih banyak daripada
jurusan lainnya. Mata kuliah tari gaya Surakarta merupakan mata kuliah
mayor dan wajib.
Berbeda dengan lembaga pendidikan formal, lembaga
pendidikan informal memiliki jumlah yang lebih banyak di Kota
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Surakarta. Hal itu terlihat dari banyaknya sanggar-sanggar tari yang
pernah tumbuh dan berkembang di Surakarta. Adapun sanggar-sanggar
tari tersebut antara lain sebagai berikut.
1) Sanggar Tari Yayasan Kembang Setaman
Sanggar tari ini didirikan oleh Suhartini Sri Hastanto pada tahun
1993 di Kentingan, Surakarta. Pada mulanya kegiatan latihan berpusat
di Kentingan, Surakarta, kemudian berkembang di Tegalsari,
Karanganyar dan di Kelurahan Mojosongo. Kini kegiatannya hanya
dilakukan di Tegalsari, Karanganyar. Sanggar ini diketuai oleh Nanik
Sri Prihatini, S.Kar., M.Si. dengan 8 orang pelatih dan 60 orang siswa
(semua alumni STSI Surakarta). Materi tari yang diajarkan adalah tari
gaya Surakarta.
2) Sanggar Tari Metta Budaya
Sanggar Tari Metta Budaya didirikan oleh sekelompok alumni
STSI Surakarta pada tahun 1989. Pada mulanya sanggar ini bertempat
di Prangwedanan, Mangkunegaran, namun sekarang telah pindah di
Joglo Sri Wedari Surakarta. Sanggar ini diketuai oleh Joko Naryato, S.
Sen. dengan 10 orang pelatih dan 466 orang siswa (semua alumni STSI
Surakarta). Materi tari yang diajarkan adalah tari gaya Surakarta.
3) Sanggar Tari Soerya Sumirat
Sanggar ini didirikan pada tahun 1992 oleh GPH Herwasta
Kusuma di Prangwedanan, Mangkunegaran dengan Ketua Pelaksana
Harian Th. Sri Kurniati, S.Sen. Siswa yang belajar tari di sanggar ini
berjumlah 330 orang yang terdiri dari siswa TK, SD, SLTP, SLTA, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
mahasiswa dengan 8 orang pelatih yang sebagian besar adalah alumni
STSI Surakarta. Latihan dilakukan dua kali seminggu selama dua jam
dan evaluasi dilakukan setiap empat bulan. Dana didapat dari donatur
dan iuran siswa.
4) Sanggar Tari Sarotomo
Sanggar ini didirikan pada tahun 1983 oleh Mujiono, S. Kar.
Kegiatan di sanggar ini meliputi seni tari, karawitan, dan pedalangan.
Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 68 orang dengan 7
orang pelatih (semua alumni STSI Surakarta). Selain materi tari gaya
Surakarta juga sering diberikan materi dolanan anak-anak. Dana didapat
dari iuran siswa.
5) Sanggar Tari Semarak Candra Kirana
Sanggar ini didirikan pada tanggal 31 Juli 1998 oleh Dra.
Irawati Kusumosari dan Wahyu Santoso Prabowo, S. Kar, M.S. di Jalan
Supomo no.7, Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini
sebanyak 140 orang dengan 3 orang pelatih (semua alumni STSI
Surakarta). Sumber dana didapat dari iuran siswa.
6) Sanggar Tari Pawiyatan Budaya Keraton Surakarta.
Sanggar ini didirikan pada tahun 1930 dan sempat mengalami
penurunan aktivitas pada tahun 1972 karena para empu-nya meninggal
dunia. Pada tahun 1996 sanggar ini diaktifkan lagi oleh G. R. A. Koes
Murtiyah. Pada tahun 1998 kegiatannya dipusatkan di Bangsal
Smarakata Konservatori Keraton Kasunanan Surakarta. Jumlah siswa
yang belajar di sanggar ini sebanyak 125 orang dengan 5 orang pelatih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Para siswa tidak dipungut iuran karena semua biaya disubsidi oleh
Keraton Surakarta. Materi tari yang diajarkan adalah tari gaya
Surakarta, termasuk Tari Bedaya dan Srimpi.
7) Sanggar Tari Sang Rama
Sanggar tari ini didirikan oleh Sidik Suradi, S.Sen. di Jalan
kahuripan No. 27, Sumber, Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di
sanggar ini sebanyak 43 orang dengan 4 orang pelatih (lulusan dan
mahasiswa STSI Surakarta). Kegiatan latihannya dilakukan dua kali
seminggu dan evaluasi dilakuksan setiap empat bulan. Materi tarinya
menekankan pada tari gaya Surakarta.
8) Sanggar Tari Among Beksa
Sanggar ini didirikan oleh Nanik Sri Sumantri, S.Kar., M.Hum.
pada tahun 1996 di Kentingan Jebres. Pada mulanya latihan dilakukan
di S.D. Bulukantil Kentingan, kemudian pindah ke lingkungan gereja
Purbawardayan, Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini
sebanyak 40 orang dengan 3 orang pelatih (alumni STSI Surakarta).
9) Sanggar Tari Eka Santi Budaya
Sanggar ini didirikan pada tahun 1996 di Radio Siaran Niaga
PTPN Rasitania, Surakarta dan dikelola oleh manager Radio PTPN
Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 122 orang
dengan 4 orang pelatih (alumni ASTI Yogyakarta). Materi tari yang
diberikan adalah tari gaya Surakarta dan tari daerah lain (Bali, Sunda ).
Sumber dana didapat dari iuran para siswa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
10) Sanggar Tari Perkumpulan Masyarakat Surakarta
Sanggar tari ini didirikan pada tahun 1972 di Gedung Gajah
Surakarta. Sebagian besar siswanya adalah keturunan Cina namun
mereka mempelajari tari gaya Surakarta dan terkadang tari kreasi baru.
Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 50 orang dengan 3
orang pelatih. Dana untuk membiayai sanggar ini didapat dari donatur
dan iuran siswa.
11) Sanggar Tari Arena Langen Budaya
Sanggar tari ini didirikan oleh S. Witoyo pada tahun 1985 di
Kampung Sidomukti, Laweyan, Surakarta. Jumlah siswa yang belajar di
sanggar ini sebanyak 54 orang dengan 4 orang pelatih (alumni SMKI
dan STSI Surakarta). Materi tari yang diberikan ialah tari gaya
Surakarta. Sumber dana didapat dari iuran para siswa.
12) Sanggar Tari Pagutri
Sanggar tari ini didirikan di Jalan Panjatian No. 9 Surakarta oleh
sekelompok guru-guru tari Sekolah Dasar di Surakarta pada tahun 1995
dan diketuai oleh S. Priyadi. Tujuan didirikan sanggar tari adalah untuk
untuk menampung minat dan bakat anak-anak yang menonjol dalam
bidang tari. Anak-anak tersebut dibina secara intensif untuk mengikuti
lomba tari. Jumlah siswa yang belajar di sanggar ini sebanyak 15 orang
dengan 4 orang pelatih (alumni SMKI dan STSI Surakarta). Latihan
dilakukan di SD Balapan, Surakarta, dengan iuran Rp. 1000 setiap kali
latihan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
13) Sanggar Tari MGMP
Sanggar ini didirikan oleh sekelompok guru tari Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Surakarta dan diketuai oleh Retno
Lesnarning. Sanggar ini digunakan untuk latihan siswa dan guru.
14) Sanggar Tari Sarwi Budaya
Sanggar ini didirikan Sarwiyati Hartono pada tahun 1974.
Kegiatan latihan dilakukan di Djogoprajan, Surakarta. Jumlah siswa
yang belajar di sanggar ini sebanyak 76 orang anak dengan 4 orang
pelatih (alumni STSI Surakarta). Latihan dilakukan dua kali seminggu
dan evaluasi dilakukan setiap empat bulan. Sumber dana diperoleh dari
iuran siswa sebesar Rp. 3.000.
15) Sanggar Tari Pariwita
Sanggar ini didirikan oleh Purwani pada tahun 1998. Kegiatan
latihan dilakukan di Jl. Natadiningratan, Surakarta. Sanggar ini tidak
mengadakan latihan secara rutin. Latihan hanya dilakukan apabila ada
rencana pentas. Pelatih tarinya didatangkan dari STSI Surakarta.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa sebagian besar
pembina dan pengelola sanggar-sanggar tari tersebut adalah alumni
STSI Surakarta. Oleh sebab itu, materi tari yang diberikan cenderung
mendapat pengaruh dari gaya tari yang dikembangkan STSI Surakarta.
Sanggar-sanggar tari tersebut menekankan kegiatannya pada pelatihan
tari anak-anak dan materi tari yang diajarkan biasanya disesuaikan
dengan tingkatan umur siswa. Jenis tari yang diajarkan dibedakan
menjadi dua, yaitu tari putri dan tari putra. Tari putri yang diajarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
antara lain Tari Pangpung, Tari Bathik, Tari Manipuri, Tari Kupu-
Kupu, Tari Soyong, Tari Kidang, Tari Menak Koncar, Tari Gunungsari
Tari Golek Mugi Rahayu, Tari Golek Manis, Tari Bondan Kendhi, dan
Tari Bondhan Tani. Sedangkan tari putra yang diajarkan antara lain Tari
Kelinci, Tari Menak Koncar, Tari Gunungsari,Tari Kudha-Kudha, Tari
Lutung, dan Tari Wanara. Pada umumnya sanggar-sanggar tari tersebut
mendapatkan dana dari iuran para siswa yang jumlahnya berkisar antara
Rp. 2.000 s/d Rp. 8.000 perbulan. Sanggar-sanggar tari tersebut
kadang-kadang juga mengadakan pentas atas permintaan masyarakat
yang punya kenduri.
b. Seni Musik Tradisional (Karawitan) di Surakarta
Seni Karawitan hingga kini masih hidup subur di masyarakat
Surakarta. Hampir setiap institusi seperti lembaga pendidikan (SMP,
SMA/ SMK), kampus perguruan tinggi, dan kantor pemerintah di
Surakarta memiliki seperangkat gamelan ini. Beberapa hotel di
Surakarta menyuguhkan seni karawitan untuk menyambut kehadiran
wisatawan terutama wisatawan asing.
c. Sejarah dan Kondisi Seni Teater Tradisional di Surakarta
- Sejarah dan Kondisi Wayang Wong Sriwedari
Markhamah (2006:45-53) menguraikan tentang Sejarah dan
Kondisi Wayang Wong Sriwedari di Surakarta sebagai berikut. Wayang
Wong Sriwedari merupakan pertunjukan wayang wong panggung
pertama di Surakarta yang didirikan oleh Adipati Mangku Negara I atau
Sultan Hamengku Buwana I (1757-1795). Setelah sekian lama tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
berkembang, pengelolaan Wayang Wong Sriwedari diambil alih oleh
Mangku Negara V (1881-1896). Di bawah pengelolaan beliau wayang
wong tersebut memiliki peralatan, perlengkapan, dan busana yang lebih
komplit. Pada tahun 1901 tempat perkumpulan wayang wong tersebut
berubah menjadi Taman Sriwedari.
Haryanto dalam Markhamah (2006:52-53) mengemukakan
bahwa Wayang Wong Sriwedari merupakan grup wayang wong
komersial tertua yang telah mengadakan pertunjukan sejak tahun 1911.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan Markhamah terhadap Hartono
(10 Mei 2004), didapatkan informasi bahwa grup Wayang Wong
Sriwedari pernah mengalami puncak kejayaan pada tahun 1950-1970
karena didukung oleh beberapa faktor, yaitu belum banyak hiburan dan
pertunjukan, belum banyak televisi, banyak pemain terkenal, dan
banyak masyarakat yang menyukai pertunjukan wayang wong.
Haryanto dalam Markhamah (2006;53) mengungkapkan bahwa
kesenangan masyarakat Surakarta terhadap wayang wong ini berawal
dari pertunjukan wayang wong pada perayaan Maleman Sriwedari yang
diselenggarakan pada tahun 1940-an.
Menurut Hersapandi dalam Markhamah (2006:45-46), Wayang
Wong Sriwedari mulai mengalami kemunduran pada tahun 1970-an
yang disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang
dimaksud antara lain pertunjukan bersifat statis, terjadi keterlambatan
alih generasi, tingkat pendidikan seniman rendah (sekitar 87%
berpendidikan sekolah dasar (SD), sistem produksi tidak professional,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
serta sarana dan prasarana yang masih sederhana sehingga tidak sesuai
dengan perkembangan zaman. Faktor ekternal yang berpengaruh antara
lain banyaknya media hiburan lain, heterogenitas masyarakat Surakarta,
dan perkembangan wajah kota yang cenderung urban. Sementara itu,
Haryanto dalam Markhamah (2006:53) mengungkapkan bahwa
kegiatan grup Wayang Wong Sriwedari menurun drastis sepeninggal
Sastrodirun selaku pemeran Petruk. Meskipun peminat dan
penontonnya semakin berkurang, grup Wayang Wong Sriwedari tetap
hidup dan mengadakan pertunjukan karena grup ini dikelola dan
dibiayai oleh Pemerintah Kota Surakarta dan Dinas Pariwisata Kota
Surakarta dengan syarat harus mengadakan pertunjukan setiap malam.
- Kethoprak
Grup kethoprak yang cukup terkenal di Surakarta adalah grup
Kethoprak Balekambang dan Kethoprak Ngampung. Ketoprak
Balekambang sudah ada sejak tahun 1950 tetapi gedungnya baru
dibangun pada tahun 1977. Dahulu pertunjukan ini dinamakan
“Kethoprak Tobong” atau panggung darurat karena tempatnya selalu
berpindah-pindah. Pada tahun 1989 diputuskan untuk mengadakan
pertunjukan tetap di sebuah gedung tidak terpakai di dalam kawasan
Balekambang. Saat ini jumlah anggota komunitas Ketoprak Tobong
kurang lebih dari 70 orang. Kelompok Kethoprak Humor srimulat juga
lahir di sini, termasuk pelawak-pelawak terkenal seperti Gepeng,
Timbul, Basuki, dan lain-lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Kethoprak Ngampung bertempat di Kampung Seniman, Ngi-
pang, Kadipiro, Banjarsari,Surakarta. Kampung dihuni oleh 31 keluarga
seniman Kethoprak Balekambang. Grup kethoprak yang berdiri pada ta-
hun 2007 ini memilih penonton dari kalangan muda dan remaja yang
diharapkan bisa melahirkan generasi baru penonton ketoprak. Ketho-
prak Ngampung merupakan jenis kethoprak yang keluar dari pakem ke-
thoprak klasik sehingga pernah mendapat protes dari kalangan seniman
kethoprak yang lebih senior dan sempat menghentikan kegiatannya. Ke-
thoprak Ngampung beranggotakan 25 orang berusia 20-30 tahun yang
terdiri dari pekerja pabrik, pedagang, dan seniman. Walaupun ketho-
prak tersebut beraliran kontemporer, tetapi masih mengandung pakem
kethoprak klasik seperti kostum Jawa klasik, dialog menggunakan ba-
hasa Jawa, dan menggunakan gamelan slendro (Solopos edisi Senin, 20
Desember 2010 , halaman XVI).
2.6.5. Fasilitas Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di Surakarta
Saat ini Surakarta telah memiliki beberapa fasilitas seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah yakni sebagai berikut.
1) Joglo Mangkunegaran yang digunakan untuk pementasan seni tari
pada acara-acara tertentu.
2) ISI Surakarta, yaitu lembaga yang bergerak di bidang pendidikan
seni termasuk di dalamnya seni pertunjukan tradisional Jawa
Tengah. Fasilitas ini hanya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
ekonomi menengah ke atas yang memiliki potensi/bakat seni.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
3) Gedung Wayang Wong Sriwedari untuk pementasan wayang wong
yang bersifat komersial.
4) Taman Budaya Surakarta (TBS) merupakan lembaga kesenian yang
memiliki fasilitas yang cukup, diantaranya ruang pameran, joglo
untuk pergelaran seni, teater, dan lainnya.
5) Gedung Kethoprak Balekambang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
BAB 3
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA TENGAH
DI SURAKARTA YANG DIRENCANAKAN
3.1. Deskripsi Singkat
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang
direncanakan mewadahi kegiatan seni dan kegiatan berhuni para seniman.
Kegiatan seni yang diwadahi yakni kegiatan latihan, pentas, sarasehan seni,
serta menyimpan, mengoleksi, dan menjual perlengkapan seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah. Kegiatan latihan dan pentas seni dilakukan secara
sederhana di ruang-ruang terbuka dan semi terbuka di antara ruang-ruang
berhuni para seniman. Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
didesain alami menggunakan material-material kampung untuk memberi
suasana yang nyaman bagi kegiatan berhuni para seniman sehingga seniman
dapat merasakan seperti tinggal di suatu kampung. Konsep suasana kampung
alami, sederhana, dan menyatu dengan lingkungan alam sekitar sangat cocok
untuk kehidupan berhuni para seniman yang ingin bebas terutama seniman
tersebut adalah orang Jawa yang berpandangan bahwa lingkungan
makrokosmos (lingkungan alam sekitar) harus selaras dan seimbang dengan
kehidupan sehari-hari mereka.
Ruang-ruang publik dan semi publik di dalam griya ageng (griya
untuk kegiatan latihan, pentas, dan berhuni seniman) didesain nyaman dan
teduh sebagai tempat berkumpul para seniman. Melalui kegiatan berkumpul
62
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
diharapkan para seniman mampu melahirkan ide-ide menarik untuk
melestarikan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dan hubungan
kekeluargaan antara seniman semakin erat.
3.2. Visi, Misi, Peran, Fungsi, Manfaat, dan Sasaran Pelayanan
3.2.1. Visi
Visi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di
Surakarta adalah melestarikan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah
melalui berbagai kegiatan seni yang tumbuh, berkembang, dan
membaur dalam kehidupan berhuni masyarakat seniman.
3.2.2. Misi
Misi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di
Surakarta yakni sebagai berikut.
1) Memberi ruang publik kepada para seniman untuk mengadakan
latihan atau pentas seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah.
2) Memberi ruang kepada para seniman beserta keluarganya untuk
tinggal dan hidup di dalam komunitasnya selama melakukan
kegiatan seni.
3) Mewujudkan suasana berkesenian yang nyaman, bebas, akrab, alami,
selaras dengan lingkungan sekitar dan penuh rasa kekeluargaan.
3.2.3. Peran
Peran Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di
Surakarta yakni sebagai wadah kegiatan seni pertunjukan tradisional
Jawa Tengah dan kegiatan berhuni para seniman.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
3.2.4. Fungsi
Fungsi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Di
Surakarta yakni menyediakan ruang sederhana, bebas, alami, akrab,
dan nyaman seperti ruang-ruang di kampung untuk kegiatan seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah dan kegiatan berhuni para
seniman.
3.2.5. Manfaat
Keberadaan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah di Surakarta diharapkan bermanfaat bagi semua pihak terutama
bagi para seniman, masyarakat luas, dan pemerintah Jawa Tengah.
Manfaat yang dapat diperoleh sebagai berikut.
1) Bagi para seniman
- Memperoleh keterampilan dalam memainkan seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah sehingga siap pentas di hadapan para
penonton
- Mempererat tali persaudaraan antar seniman
2) Bagi masyarakat luas
- Memperoleh kesempatan untuk mengenal dan mempelajari seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah
- Memperoleh hiburan
3) Bagi pemerintah Jawa Tengah
- Memperoleh kemudahan untuk memperkenalkan seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah kepada masyarakat luas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
3.2.6. Sasaran Pelayanan
Sasaran pelayanan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah yakni sebagai berikut.
1) Seniman seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah yang berasal dari
dalam maupun luar Kota Surakarta
2) Masyarakat luas yang berasal dari dalam maupun luar Kota
Surakarta
3) Wisatawan domestik dan wisatawan mancanegara
3.3. Eksistensi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Yang
Direncanakan di Tengah Kondisi Budaya Surakarta
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah diharapkan
mampu bersanding dan mendukung potensi budaya di Surakarta serta mampu
menarik minat wisatawan domestic maupun mancanegara untuk berkunjung
dan memberikan apresiasinya terhadap keindahan seni pertunjukan tradisional
Jawa Tengah.
Image Kota Surakarta sebagai Kota Budaya menunjukkan bahwa kota
memiliki peran strategis pada sirkulasi perubahan kebudayaan di setiap
daerah atau wilayah. Fungsi tersebut harus senantiasa terpelihara dengan baik.
Di samping itu, sentra kebudayaan harus dapat melahirkan ide-ide yang
inovatif bagi perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat. Salah satu
bentuk aplikasi fungsi tersebut adalah membangun Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengahsebagai wadah pelestarian seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Sejarah menunjukkan bahwa kota-kota bersejarah sebagai representasi
peradaban manusia adalah kota-kota yang didalamnya tersimpan dokumen
pengetahuan yang memadai. Salah satu wujud tersimpannya dokumen
pengetahuan di Kota Surakarta dapat berupa bangunan Konservatori Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Saat ini Surakarta telah memiliki beberapa wadah kegiatan seni, yakni
Taman Budaya Surakarta, Gedung Wayang Wong Sriwedari, dan Gedung
Kethoprak Balekambang yang lebih berfungsi sebagai tempat latihan dan
pentas. Fasilitas tersebut dinilai kurang konteks dengan seni pertunjukan
tradisional yang lebih cocok dipentaskan di ruang-ruang sederhana. Selain itu,
Taman Budaya Surakarta kurang mendukung bagi kehidupan berhuni
seniman yang bebas dan bersahabat dengan alam. Wisma seni Taman Budaya
Surakarta lebih difungsikan sebagai tempat tinggal sementara bagi seniman
yang sedang mengadakan latihan dan pentas. Desain wisma seni dinilai
kurang menjiwai karakter para seniman. Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah hadir sebagai fasilitas seni bernuansa kampung,
yakni nuansa kesederhanaan, bebas, akrab, dan menyatu dengan alam.
Kesederhanaan yang dimaksud adalah kesederhanaan dalam pentas dimana
seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah ditampilkan secara non formal
dalam ruang-ruang sederhana sebagaimana mengulang kebiasaan pentas seni
pertunjukan tersebut. Hunian-hunian seniman didesain sebagai respon dari
karakter seniman yang bersahabat dengan lingkungan alam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
3.4. Kegiatan dan Pelaku Kegiatan Yang Direncanakan
Kegiatan yang diwadahi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah dapat dibedakan menjadi empat, yakni sebagai berikut.
1) Kegiatan seni, yakni kegiatan yang berhubungan dengan seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah, meliputi:
- Latihan dan pentas seni tari, musik tradisional, teater boneka, dan teater
orang. Kegiatan latihan dan pentas dapat dilakukan oleh grup kesenian
yang sedang tinggal di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah maupun grup kesenian dari luar Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah.
- Menyimpan, mengoleksi, merawat, dan menjual perlengkapan seni tari,
seni musik tradisional, seni teater boneka, dan seni teater orang.
- Pertemuan dalam bentuk rapat, diskusi, atau sarasehan yang berkaitan
dengan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah.
2) Kegiatan berhuni, yakni kegiatan yang terjadi di lingkungan keluarga
seniman dimana seniman dapat tidur, masak, makan, ibadah, menerima
tamu, kumpul bersama, dan MCK. Tidak ada batasan waktu untuk
kegiatan berhuni seniman. Grup kesenian dapat berhuni di Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dengan sistem kontrak selama
kegiatan pentas mereka menguntungkan bagi pengelolaan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah (Kegiatan pentas mendatangkan
banyak pengunjung).
3) Pengelola dapat tinggal di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah untuk mengelola, mengawasi, dan menjaga kondisi lingkungan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
dalam Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Wisatawan
domestic maupun mancanegara dapat bermalam/menginap untuk
keperluan wisata budaya.
4) Kegiatan bermasyarakat, yakni kegiatan yang menuntut para seniman
berinteraksi satu sama lain dalam berbagai bentuk kegiatan, meliputi
kegiatan kumpul bersama, ronda, ibadah berjamaah, olahraga, dan
kegiatan seni.
5) Kegiatan pengelolaan, yakni kegiatan mengelola semua kegiatan yang
berlangsung di dalam Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
6) Kegiatan wisata, yakni kegiatan berkunjung wisatawan ke Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Berdasarkan keterampilan di bidang seni, pelaku kegiatan di
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu seniman dan bukan seniman. Seniman adalah orang yang
memiliki bakat di bidang seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dan
berada di dalam Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah untuk
berlatih atau mengadakan pentas. Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah terbuka lebar bagi para seniman dari berbagai latar belakang
yang berbeda. Seniman kampung hingga seniman dari lembaga-lembaga
pelatihan dapat memakai fasilitas di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah. Bukan seniman adalah orang yang tidak memiliki bakat di
bidang seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dan berada di Kompleks
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dengan tujuan berwisata atau
menyaksikan pentas.
Berdasarkan kaitannya dengan kegiatan berhuni, pelaku kegiatan di
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dapat dibedakan
menjadi dua, yakni sebagai berikut.
1) Penghuni, yakni seniman yang menghuni Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah selama melakukan kegiatan seni. Karakteristik
penghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah adalah
grup-grup kesenian dari berbagai daerah di Jawa Tengah yang ingin
melakukan kegiatan seni di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah. Para seniman dari suatu grup kesenian dapat tinggal di Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dengan membawa keluarganya
dalam waktu yang cukup lama tetapi tidak menetap. Selain seniman
pengelola juga dapat menghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah.
2) Bukan penghuni, yakni orang yang hanya berkunjung untuk latihan,
pentas, menonton pentas, atau berwisata tetapi tidak tinggal di Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Berdasarkan peran, pelaku kegiatan di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah dapat dibedakan menjadi enam, yakni sebagai
berikut.
1) Pelatih, yaitu orang yang melatih para murid.
2) Murid, yaitu orang yang menerima materi seni dari para pelatih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
3) Pemain, yaitu orang yang mempertunjukan keterampilannya memainkan
seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah kepada para penonton di atas
panggung.
4) Penonton, orang yang datang ke Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah dengan tujuan menyaksikan pementasan seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah.
5) Pengelola, yaitu orang yang mengelola dan bertanggung jawab atas semua
kegiatan yang berlangsung di dalam Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah. Pengelolaan di bawah naungan Dinas Pariwisata
Kota Surakarta.
6) Wisatawan, yaitu orang yang berkunjung ke Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah untuk tujuan wisata. Wisatawan dapat ikut
berlatih atau menginap sementara bersama para seniman.
3.5. Ruang Kegiatan Yang Direncanakan
Ruang-ruang kegiatan di dalam Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah didesain dengan sederhana, alami, akrab, dan bebas
dengan menerapkan konsep ruang kampung sehingga tercipta nuansa
kampung di dalamnya. Ruang-ruang latihan dan pentas dibuat sederhana serta
berbeda dengan ruang-ruang pada gedung-gedung kesenian yang ada di
Surakarta. Kegiatan latihan dan pentas berlangsung di sela-sela hunian
seniman. Ruang kegiatan yang direncanakan dikelompokkan menurut tingkat
jangkauan pengunjung sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
1) Kelompok ruang publik, terdiri dari:
a) Panggung terbuka, yakni panggung yang digunakan sebagai tempat
pentas semua jenis seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dalam
skala besar (jumlah penonton banyak). Panggung terbuka dapat
digunakan untuk pentas oleh penghuni Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah maupun grup seniman lain dari luar Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
2) Kelompok Ruang Semi Publik, terdiri dari:
a) Griya ageng tari, yakni griya (rumah) yang terdiri dari beberapa
kelompok ruang sebagai wadah kegiatan seni dan berhuni para penari.
Ruang-ruang kegiatan seni pada griya ageng tari khusus digunakan oleh
penari yang menghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah. Ruang pentas didesain untuk kegiatan latihan atau pentas tari
dalam skala kecil (jumlah penonton sedikit).
b) Griya ageng musik tradisional , yakni griya (rumah) yang terdiri dari
beberapa kelompok ruang sebagai wadah kegiatan seni dan berhuni
para seniman musik tradisional. Ruang-ruang kegiatan seni pada griya
ageng musik tradisional khusus digunakan oleh seniman musik
tradisional yang menghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah. Ruang pentas didesain untuk kegiatan latihan atau pentas
musik tradisional dalam skala kecil (jumlah penonton sedikit).
c) Griya ageng teater boneka, yakni griya (rumah) yang terdiri dari
beberapa kelompok ruang sebagai wadah kegiatan seni dan berhuni
para seniman teater boneka. Ruang-ruang kegiatan seni pada griya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
ageng teater boneka khusus digunakan oleh seniman teater boneka yang
menghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Ruang
pentas didesain untuk kegiatan latihan atau pentas teater boneka dalam
skala kecil (jumlah penonton sedikit).
d) Griya ageng teater orang, yakni griya (rumah) yang terdiri dari
beberapa kelompok ruang sebagai wadah kegiatan seni dan berhuni
para seniman orang. Ruang-ruang kegiatan seni pada griya ageng teater
orang khusus digunakan oleh seniman teater orang yang menghuni
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Ruang pentas
didesain untuk kegiatan latihan atau pentas teater orang dalam skala
kecil (jumlah penonton sedikit).
3) Kelompok ruang privat, terdiri dari:
a) Griya alit tari, yakni griya (rumah) yang mewadahi kegiatan berhuni
para penari
b) Griya alit musik tradisional, yakni griya (rumah) yang mewadahi
kegiatan berhuni para seniman musik tradisional
c) Griya alit teater boneka, yakni griya (rumah) yang mewadahi kegiatan
berhuni para seniman teater boneka
d) Griya alit teater orang, yakni griya (rumah) yang mewadahi kegiatan
berhuni para seniman teater orang
4) Kelompok ruang servis, terdiri dari:
a) Mushola, yakni tempat ibadah bagi seniman muslim
b) Lapangan, yakni tempat olahraga bagi penghuni Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Lapangan juga dapat digunakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
sebagai tempat pentas pertunjukan tari rakyat, antara lain jaran kepang,
kethek ogleng, jlantur, dan tarian lain yang memerlukan ruang terbuka
dan melibatkan pemain dalam jumlah banyak.
c) Gazebo, yakni tempat berkumpul para seniman untuk kegiatan ronda
pada malam hari dan tempat singgah para pedagang untuk menjajakan
dagangannya kepada para penghuni Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah pada siang hari
d) Angkringan, yakni tempat berjualan makanan untuk para penghuni
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dan para
pengunjung
5) Kelompok ruang pengelola, terdiri dari
a) Griya pengelola, yakni griya (rumah) yang mewadahi kegiatan
pengelola Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
3.6. Lokasi yang Direncanakan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah merupakan
wadah pelestarian seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah yang secara tidak
langsung mendukung pengembangan wisata budaya di Kota Surakarta.
Lokasi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah harus
disesuaikan dengan kondisi lingkungan Surakarta terutama kondisi wisata
budaya yang telah ada. Lokasi yang direncanakan harus sesuai dengan konsep
nuansa kampung yang ingin diciptakan dan karakteristik seniman. Oleh
karena itu, pemilihan lokasi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
1) Lokasi berada atau berdekatan dengan kawasan budaya di Surakarta
2) Lokasi sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) dan
Satuan Wilayah Pengembangan (SWP).
3) Lokasi mudah dicapai dari lokasi-lokasi di sekitarnya dan dari pusat kota
4) Lokasi tapak/site berpotensi bagi terciptanya nuansa kampung pada
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Potensi
yang diinginkan antara lain sebagai berikut.
a) Mayoritas bangunan di lokasi tapak/site merupakan perkampungan atau
hunian.
b) Lokasi tapak/site memiliki suasana alami yang dapat ditunjukan dengan
keberadaan sawah, sungai, pepohonan, dan lainnya.
5) Sebagian besar tapak/site di dalam lokasi memiliki ketenangan untuk
kegiatan seni dan kegiatan berhuni para seniman.
3.7. Suasana Kampung Yang Direncanakan
Suasana kampung pada desain Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah diwujudkan dengan menerapkan ciri-ciri fisik
kampung, yakni sebagai berikut.
1) Bangunan didesain dengan material alami yang mudah ditemui di daerah
Surakarta dan sekitarnya, antara lain bambu, kayu, batu bata. Jalan-jalan di
antara bangunan menggunakan matrial alami yakni campuran tanah dan
kerikil yang dipadatkan agar tidak mudah tergerus air ketika hujan.
2) Bangunan ditata secara organis dengan pola cluster. Landscape tapak/site
juga dibuat organis dengan menanam pepohonan secara acak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
3) Memberi ruang komunal dalam bentuk griya ageng yang didalamnya
terdapat ruang pentas dan ruang sarasehan sebagai tempat berkumpul
seniman untuk berinteraksi satu sama lainnya dalam bentuk kegiatan
latihan, pentas, dan sarasehan.
4) Ruang pentas sebagai ruang komunal pada griya ageng diletakkan diantara
hunian sehingga menyatu dengan hunian.
5) Memberi ruang terbuka hijau berupa pohon-pohon yang biasa tumbuh di
kampung-kampung, antara lain mangga, rambutan, pepaya, dan jambu.
6) Sirkulasi di dalam tapak/site dibuat tegas dan majemuk.
3.8. Arsitektur Jawa Yang Direncanakan
Arsitektur Jawa diterapkan pada Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah dengan dua cara, yakni secara fisik dan konseptual.
Arsitektur Jawa secara fisik diterapkan dengan cara merancang bangunan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah sebagai tempat
bernaung (berteduh) bagi para seniman. Bentuk atap didesain sedemikian
rupa sehingga tampil sebagai bentuk aristektur Jawa masa kini (kontemporer)
yang tidak terlalu ter-pakem pada aturan-aturan tradisional. Pengembangan
bentuk atap panggang pe-, pelana, limasan, dan tajug sangat ditekankan
pada desain atap bangunan terutama pengembangan atap pelana yang lebih
banyak digunakan pada bangunan-bangunan kampung dengan harapan agar
nuansa kampung yang diinginkan lebih terasa.
Arsitektur Jawa secara konseptual diterapkan dengan menerjemahkan
filosofi-filosofi Jawa pada bentuk bangunan, yakni sebagai berikut atap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
bangunan dibuat bervariasi dan menonjol dengan proporsinya yang lebih
besar daripada elemen bangunan di bawahnya mengandung filosofi bahwa
kedudukan atap bagi manusia Jawa sangat penting dalam kehidupan sebagai
penaung kegiatan yang melindungi dari gangguan lingkungan sekitar, antara
lain panas, angin, dan hujan. Atap dan plafon bangunan dibuat rendah dengan
maksud bahwa arsitektur Jawa sangat dekat dengan kehidupan manusia.
Wujud kearifan manusia Jawa dalam menanggapi alam sekitar
(makrokosmos) ditunjukkan dengan desain kemiringan atap bangunan antara
30 derajat hingga 40 derajat agar air hujan dapat langsung turun ke
permukaan tanah. Penggunaan material lokal pada bangunan bertujuan untuk
memberikan nuansa yang menyatu dengan alam dan memandang bangunan
sebagai bagian dari alam. Hal itu sesuai dengan karakter manusia Jawa yang
selalu ingin hidup selaras dan seimbang dengan alam. Prinsip pusat dan
dualitas diterapkan dalam perletakkan massa bangunan panggung terbuka dan
griya ageng sebagai pusat dari bangunan lain dengan maksud bahwa semua
kegiatan di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah memiliki
tujuan utama, yakni kegiatan seni yang diwadahi dalam ruang-ruang
panggung terbuka dan griya ageng.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
BAB 4
PENDEKATAN KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA TENGAH
DI SURAKARTA
Bab pendekatan konsep perencanaan dan perancangan berisi analisa-
analisa yang dilakukan untuk menentukan konsep perencaanaan dan perancangan,
yakni analisa kegiatan dan pelaku kegiatan, analisa ruang, analisa tapak/site,
analisa massa bangunan, analisa struktur dan kontruksi bangunan, serta analisa
utilitas bangunan.
4.1. Analisa Kegiatan dan Pelaku Kegiatan
4.1.1. Analisa Kegiatan
Tujuan
Analisa kegiatan bertujuan untuk menentukan jenis dan
kelompok kegiatan di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
Dasar Pertimbangan
Analisa kegiatan dilakukan berdasarkan pertimbangan fungsi
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang
direncanakan.
77
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Analisa
Kegiatan yang diwadahi di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah dapat dikelompokkan menjadi empat, yakni
sebagai berikut.
1) Kegiatan seni, yakni kegiatan yang berhubungan dengan seni
pertunjukan tradisional Jawa Tengah, meliputi:
- Latihan dan pentas seni tari, musik tradisional, teater boneka, dan
teater orang. Kegiatan latihan dan pentas dapat dilakukan oleh grup
kesenian yang sedang tinggal di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah maupun grup kesenian dari luar
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
- Menyimpan, mengoleksi, merawat, dan menjual perlengkapan seni
tari, seni musik tradisional, seni teater boneka, dan seni teater
orang.
- Pertemuan dalam bentuk rapat, diskusi, atau sarasehan yang
berkaitan dengan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah.
2) Kegiatan berhuni, yakni kegiatan yang terjadi di lingkungan keluarga
seniman dimana seniman dapat tidur, masak, makan, ibadah,
menerima tamu, kumpul bersama, dan MCK. Pengelola dapat tinggal
di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah untuk
mengelola, mengawasi, dan menjaga kondisi lingkungan di dalam
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Wisatawan
domestic maupun mancanegara dapat bermalam/menginap untuk
keperluan wisata budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
3) Kegiatan bermasyarakat, yakni kegiatan yang menuntut para
seniman berinteraksi satu sama lain dalam berbagai bentuk kegiatan,
meliputi kegiatan kumpul bersama, ronda, ibadah berjamaah,
olahraga, dan kegiatan seni.
4) Kegiatan pengelolaan, yakni kegiatan mengelola semua kegiatan
yang berlangsung di dalam Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah.
5) Kegiatan wisata, yakni kegiatan berkunjung wisatawan ke Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
4.1.2. Analisa Pelaku Kegiatan
Tujuan
Analisa pelaku kegiatan bertujuan untuk menentukan pelaku
kegiatan di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Analisa kegiatan dilakukan berdasarkan pertimbangan jenis
kegiatan yang diwadahi.
Analisa
Berdasarkan keterampilan di bidang seni, pelaku kegiatan di
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu seniman dan bukan seniman. Seniman adalah orang
yang memiliki bakat di bidang seni pertunjukan tradisional Jawa
Tengah dan berada di dalam Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah untuk berlatih atau mengadakan pentas. Bukan seniman
adalah orang yang tidak memiliki bakat di bidang seni pertunjukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
tradisional Jawa Tengah dan berada di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah dengan tujuan berwisata atau menyaksikan
pentas.
Berdasarkan kaitannya dengan kegiatan berhuni, pelaku
kegiatan di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dapat
dibedakan menjadi dua, yakni sebagai berikut.
1) Penghuni, yakni seniman yang menghuni Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah selama melakukan kegiatan
seni. Karakteristik penghuni Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah adalah grup-grup kesenian dari berbagai
daerah di Jawa Tengah yang ingin melakukan kegiatan seni di
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Para
seniman dari suatu grup kesenian dapat tinggal di Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dengan membawa
keluarganya dalam waktu yang cukup lama tetapi tidak menetap.
Selain seniman pengelola juga dapat menghuni Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
2) Bukan penghuni, yakni orang yang hanya berkunjung untuk
latihan, pentas, menonton pentas, atau berwisata tetapi tidak tinggal
di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Berdasarkan peran, pelaku kegiatan di Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dapat dibedakan menjadi enam,
yakni sebagai berikut.
1) Pelatih, yaitu orang yang melatih para murid.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
2) Murid, yaitu orang yang menerima materi seni dari para pelatih.
3) Pemain, yaitu orang yang mempertunjukan keterampilannya
memainkan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah kepada para
penonton di atas panggung.
4) Penonton, orang yang datang ke Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah dengan tujuan menyaksikan pementasan
seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah.
5) Pengelola, yaitu orang yang mengelola dan bertanggung jawab atas
semua kegiatan yang berlangsung di dalam Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
6) Wisatawan, yaitu orang yang berkunjung ke Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah untuk tujuan wisata.
Wisatawan dapat ikut berlatih atau menginap sementara bersama
para seniman.
4.2. Analisa Ruang
4.2.1. Analisa Kebutuhan Ruang
Tujuan
Analisa kebutuhan ruang bertujuan untuk memperoleh jenis
ruang yang dibutuhkan oleh Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Analisa kebutuhan ruang dilakukan berdasarkan pertimbangan
jenis dan pelaku kegiatan yang diwadahi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Analisa
Berdasarkan kegiatan dan pelaku kegiatan yang telah diuraikan
di atas dibutuhkan ruang-ruang sebagai berikut.
1) Kelompok ruang publik, terdiri dari:
a) Panggung terbuka
Panggung terbuka, yakni panggung yang digunakan sebagai
tempat pentas semua jenis seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah
dalam skala besar (jumlah penonton banyak). Panggung terbuka
dapat digunakan untuk pentas oleh penghuni Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah maupun grup seniman lain
dari luar Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Ruang-ruang pada panggung terbuka sebagai berikut.
Jenis kegiatan Jenis ruang Parkir T. parkir Menyimpan properti (gamelan, perlengkapan tari, teater boneka, dan teater orang)
R. properti
Ganti kostum R. ganti Persiapan pentas R. persiapan Pentas Panggung Mengiringi pentas R. musik pengiring Menonton pentas R. penonton MCK KM/WC
2) Kelompok Ruang Semi Publik, terdiri dari:
a) Griya ageng tari
Griya ageng tari, yakni griya (rumah) yang terdiri dari
beberapa kelompok ruang sebagai wadah kegiatan seni dan berhuni
para penari. Ruang-ruang kegiatan seni pada griya ageng tari khusus
digunakan oleh penari yang menghuni Kompleks Seni Pertunjukan
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.1. Kebutuhan Ruang Panggung Terbuka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Tradisional Jawa Tengah. Ruang pentas didesain untuk kegiatan
latihan atau pentas tari dalam skala kecil (jumlah penonton
sedikit).Ruang-ruang di dalam griya ageng tari sebagai berikut.
Kelompok ruang Jenis kegiatan Jenis ruang Kelompok kegiatan seni
Menyimpan perlengkapan pentas
R. properti
Ganti kostum R. ganti
Menonton pentas tari R. penonton Latihan/pentas tari R. latihan/pentas Menyimpan, mengoleksi, dan menjual perlengkapan tari
Galeri tari
Sarasehan R. sarasehan Kelompok kegiatan berhuni seniman, pengelola, dan wisatawan)
Bersantai Teras Menerima tamu R. tamu Kumpul bersama keluarga R. keluarga tidur R. tidur Memasak Dapur Makan R. makan MCK KM/WC Menyimpan barang Gudang Mencuci dan menjemur pakaian
R. cuci jemur
Kelompok kegiatan servis
Parkir penghuni Parkir pengunjung
-Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
MCK pengunjung KM/WC pengunjung
b) Griya ageng musik tradisional
Griya ageng musik tradisional , yakni griya (rumah) yang
terdiri dari beberapa kelompok ruang sebagai wadah kegiatan seni
dan berhuni para seniman musik tradisional. Ruang-ruang kegiatan
seni pada griya ageng musik tradisional khusus digunakan oleh
seniman musik tradisional yang menghuni Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Ruang pentas didesain untuk
kegiatan latihan atau pentas musik tradisional dalam skala kecil
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.2. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Tari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
(jumlah penonton sedikit). Ruang-ruang di dalam griya ageng griya
ageng musik tradisional sebagai berikut.
Kelompok kegiatan Jenis kegiatan Jenis ruang Kelompok kegiatan seni
Latihan/pentas musik tradisional
Ruang latihan / pentas
Menonton pentas musik tradisional
Ruang penonton
Menyimpan, mengoleksi, dan menjual perlengkapan musik tradisional
Galeri musik tradisional
Sarasehan R. sarasehan Kelompok kegiatan berhuni
Bersantai Teras Menerima tamu R, tamu Kumpul bersama keluarga R. keluarga tidur R. tidur Memasak Dapur Makan R. makan MCK KM/WC Menyimpan barang Gudang Mencuci dan menjemur pakaian
R. cuci jemur
Kelompok kegiatan servis
Parkir penghuni Parkie pengunjung
-Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
MCK pengunjung KM/WC pengunjung
c) Griya ageng teater boneka
Griya ageng teater boneka, yakni griya (rumah) yang terdiri
dari beberapa kelompok ruang sebagai wadah kegiatan seni dan
berhuni para seniman teater boneka. Ruang-ruang kegiatan seni pada
griya ageng teater boneka khusus digunakan oleh seniman teater
boneka yang menghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah. Ruang pentas didesain untuk kegiatan latihan atau
pentas teater boneka dalam skala kecil (jumlah penonton sedikit).
Ruang-ruang di dalam griya ageng teater boneka sebagai berikut.
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.3. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Musik Tradisional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Kelompok kegiatan Jenis kegiatan Jenis ruang Kelompok kegiatan seni
Latihan/pentas musik tradisional
Ruang latihan / pentas
Menonton pentas musik tradisional
Ruang penonton
Menyimpan, mengoleksi, dan menjual perlengkapan teater boneka
Galeri teater boneka
Sarasehan R. sarasehan Kelompok kegiatan berhuni
Bersantai Teras Menerima tamu R. tamu Kumpul bersama keluarga R. keluarga tidur R. tidur Memasak Dapur Makan R. makan MCK KM/WC Menyimpan barang Gudang Mencuci dan menjemur pakaian
R. cuci jemur
Kelompok kegiatan servis
Parkir penghuni Parkir pengunjung
T. parkir: -Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
MCK pengunjung KM/WC pengunjung
d) Griya ageng teater orang
Griya ageng teater orang, yakni griya (rumah) yang terdiri
dari beberapa kelompok ruang sebagai wadah kegiatan seni dan
berhuni para seniman orang. Ruang-ruang kegiatan seni pada griya
ageng teater orang khusus digunakan oleh seniman teater orang yang
menghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Ruang pentas didesain untuk kegiatan latihan atau pentas teater
orang dalam skala kecil (jumlah penonton sedikit).Ruang-ruang di
dalam griya ageng teater orang sebagai berikut.
Kelompok ruang Jenis kegiatan Jenis ruang
Kelompok kegiatan seni
Ganti kostum R. ganti kostum Persiapan R. persiapan Latihan/pentas Panggung
Tabel 4.5. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Teater Orang
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.4. Kebutuhan Ruang Griya Ageng Teater Boneka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
Mengiringi pentas R. musik pengiring Menonton pentas R. penonton Menyimpan, megoleksi, dan menjual perlengkapan seni
Galeri teater orang
Sarasehan R. sarasehan Kelompok kegiatan berhuni seniman, pengelola, dan wisatawan
Bersantai Teras Menerima tamu R. tamu Kumpul bersama keluarga R. keluarga tidur R. tidur Memasak Dapur Makan R. makan MCK KM/WC Menyimpan barang Gudang Mencuci dan menjemur pakaian
R. cuci jemur
Kelompok kegiatan servis
Parkir penghuni Parkir pengunjung
T. parkir -Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
MCK pengunjung KM/WC pengunjung
3) Kelompok ruang privat, terdiri dari:
a) Griya alit tari, yakni griya (rumah) yang mewadahi kegiatan
berhuni para penari
Jenis kegiatan Jenis ruang Parkir Garasi Bersantai Teras Menerima tamu R. tamu Kumpul R. keluarga Tidur R. tidur Memasak Dapur Makan R. makan KM/WC KM/WC Menyimpan barang
Gudang
Mencuci dan menjemur pakaian
R. cuci jemur
b) Griya alit musik tradisional, yakni griya (rumah) yang mewadahi
kegiatan berhuni para seniman musik tradisional
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.6.. Kebutuhan Ruang Griya Alit Tari
Sumber : Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
Jenis kegiatan Jenis ruang Parkir Garasi Bersantai Teras Menerima tamu R. tamu Kumpul R. keluarga Tidur R. tidur Memasak Dapur Makan R. makan KM/WC KM/WC Menyimpan barang
Gudang
Mencuci dan menjemur pakaian
R. cuci jemur
c) Griya alit teater boneka, yakni griya (rumah) yang mewadahi
kegiatan berhuni para seniman teater boneka
Jenis kegiatan Jenis ruang Parkir Garasi Bersantai Teras Menerima tamu R. tamu Kumpul R. keluarga Tidur R. tidur Memasak Dapur Makan R. makan KM/WC KM/WC Menyimpan barang
Gudang
Mencuci dan menjemur pakaian
R. cuci jemur
d) Griya alit teater orang, yakni griya (rumah) yang mewadahi
kegiatan berhuni para seniman teater orang
Jenis kegiatan Jenis ruang Parkir Garasi Bersantai Teras Menerima tamu R. tamu Kumpul R. keluarga Tidur R. tidur Memasak Dapur Makan R. makan KM/WC KM/WC
Tabel 4.9. Kebutuhan Ruang Griya Alit Teater Orang
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.8. Kebutuhan Ruang Griya Alit Teater Boneka
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.7. Kebutuhan Ruang Griya Alit Musik Tradisional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Menyimpan barang
Gudang
Mencuci dan menjemur pakaian
R. cuci jemur
4) Kelompok ruang servis, terdiri dari
a) Mushola, yakni tempat ibadah bagi seniman muslim
Jenis kegiatan Jenis ruang Parkir T. parkir Wudhu Tempat wudhu Sholat R. sholat Menyimpan barang
Gudang
MCK KM/WC
b) Lapangan, merupakan tempat olahraga bagi penghuni Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Lapangan juga dapat
digunakan sebagai tempat pentas pertunjukan tari rakyat, antara
lain jaran kepang, kethek ogleng, jlantur, dan tarian lain yang
memerlukan ruang terbuka dan melibatkan pemain dalam jumlah
banyak.
Jenis kegiatan Jenis ruang Olahraga Lapangan
c) Gazebo, yakni tempat berkumpul para seniman untuk kegiatan
ronda pada malam hari dan tempat singgah para pedagang untuk
menjajakan dagangannya kepada para penghuni Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah pada siang hari.
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.11. Kebutuhan Ruang Lapangan
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.10. Kebutuhan Ruang Mushola
Sumber : Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Jenis kegiatan Jenis ruang Berjualan Gazebo
d) Angkringan merupakan tempat berjualan makanan untuk para
penghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
dan para pengunjung
Jenis kegiatan Jenis ruang Berjualan Angkringan
5) Kelompok ruang pengelola, terdiri dari
a) Griya pengelola, yakni griya (rumah) yang mewadahi kegiatan
pengelola Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Jenis kegiatan Jenis ruang Parkir T. parkir Memimpin semua kegiatan pengelolaan
R. kepala
Membantu kegiatan pengelola
R. sekretaris
Memimpin tata usaha
R. kepala tata usaha
Mengurusi R. seksi urusan umum
Mengurusi keuangan
R. seksi urusan keuangan
Mengurusi perlengkapan pentas
R. seksi urusan perlengkapan
Menyediakan informasi
R. seksi informasi
Mengurusi pentas R. seksi pentas Menyiapkan konsumsi
Pantry
MCK KM/WC Menyimpan barang Gudang
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.14. Kebutuhan Ruang Griya Pengelola
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.13. Kebutuhan Ruang Angkringan
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.12. Kebutuhan Ruang Gazebo
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
4.2.2. Analisa Besaran Ruang
Tujuan
Analisa besaran ruang bertujuan untuk memperoleh besaran
ruang yang dibutuhkan oleh Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Analisa besaran ruang dilakukan berdasarkan pertimbangan
jenis kegiatan yang diwadahi, jumlah pelaku kegiatan, dan jumlah
perabot (furniture).
Analisa
Berdasarkan jenis kegiatan, jumlah pelaku kegiatan, dan jumlah
perabot (furniture) diperoleh besaran ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah sebagai berikut.
1) Kelompok ruang publik
a) Panggung terbuka
Jenis ruang
Luas Jumlah Luas x jumlah
Volume
T. parkir -Motor= 2 m2
-Mobil=15 m2
-Jumlah pemain terbesar adalah pemain teater orang = 30 pemeran + 17 pengrawit = 47 orang -Rincian parkir bagi pemain: 30 orang naik mobil berkapasitas 6 orang = 5 mobil 17 orang berboncengan motor = 9 motor -Jumlah penonton = 300 orang -Rincian parkir bagi penonton: 63 naik mobil berkapasitas 3 orang = 21 mobil
390 m2
untuk mobil + 246 m2
untuk motor = 636 m2
-
Tabel 4.15. Besaran Ruang Panggung Terbuka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
200 orang naik motor -52 naik motor sendiri = 52 motor -124 orang berboncengan = 62 motor 61 jalan kaki -Total parkir = 26 mobil + 123 motor
T. penonton
300 orang x 1 m2/orang = 300 m2
1 300 m2
-
R. ganti 1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit 6 m2 16.5 m3
R. persiapan
-Pentas tari: 10 penari x 2 m2/orang = 20 m2
-Pentas musik tradisional (17 pengrawit + 5 sindhen + 5 pengerong) x 2 m2/orang )= m2 = 54 m2
-Pentas teater boneka (1 dalang + 5 sinden + 2 penggerong) x 2 m2/orang) = 16 m2
-Pentas teater orang 30 pemain x 2 m2/orang = 60 m2
-Diambil luas ruang terbesar = yakni 60 m2
1 60 m2 -
Panggung
-Pentas tari 10 penari x 4 m2/orang = 40 m2
1 40 m2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
- Pentas musik tradisional (5 sindhen + 5 pengerong) x 2 m2/orang = 20 m2 -Pentas teater boneka: 1 dalang x 4 m2/orang) + (5 sinden x 2 m2/orang) + (2 penggerong x 2 m2/orang)=18 m2
-Pentas teater orang 10 pemain x 4 m2/orang = 40 m2
-Diambil luas ruang terbesar = 40 m2
R. musik pengiring
17 pengrawit + 1 set gamelan = 54 m2
1 54 m2 -
R. properti 50 m2 1 50 m2 150 m3 KM/WC 1,5 m2 -Untuk pemain:
2 pria + 2 wanita = 4 unit -Untuk penonton 2 pria + 2 wanita = 4 unit
12 m2 33 m3
Luas total = 1158 m2 Volume total = 399.5 m3
2) Kelompok ruang semi publik, terdiri dari:
a) Griya ageng tari
Kelompok ruang
Jenis ruang
Luas Jumlah Luas x jumlah
Volume
1 R. properti 14 m2 1 14 m2 38.5 m3
Tabel 4.16. Besaran Ruang Griya Ageng Tari
Sumber : Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
kelompok ruang seni
R. ganti 1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Ruang latihan / pentas
(12 penari x 4 m2/orang) + (11 pengrawit + 1 set gamelan) = m2 = 48 m2 + 40 m2 = 88 m2
1 88 m2 354 m3
Ruang penonton
106 penonton x 1 m2/orang = 106 m2
1 106 m2 318 m3
Galeri tari 54 m2 1 54 m2 162 m3 R. sarasehan
54 orang x 1 m2/orang = 54 m2
1 54 m2 162 m3
Luas total = 322 m2 x 1 kelompok ruang = 322 m2 Volume total = 1051 m3 x 1 kelompok ruang = 1051 m3
6 kelompok ruang berhuni (4 unit untuk seniman, 1 unit untuk pengelola, 1 unit untuk wisatawan)
Teras 4.5 m2 1 4.5 m2 12.375 m3
R. tamu 9 m2 1 9 m2 24.75 m3 R. keluarga
27 m2 1 27 m2 81 m3
R. tidur 9 m2 3 9 m2 24.75 m3 Dapur 7.5 m2 1 7.5 m2 22.5 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1.5 m2 1 1.5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur
4.5 m2 1 4.5 m2 -
Luas total = 75 m2 x 6 kelompok ruang = 450 m2 Volume total = 204.7m3 x 6 kelompok ruang = 1228.2 m3
1 kelompok ruang servis
T. parkir -Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
15 m2 (48 motor x 2 m2) + (15 mobil x 15 m2 ) = 96 m2 + 225 m2= 321 m2
4 1
60 m2
321 m2
162 m3
866.7 m3
KM/WC pengunjung dan pemain
1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Luas total = 387 m2 x 1 kelompok ruang= 387 m2 Volume total = 1045.2 m3 x 1 kelompok ruang = 1045.2 m3
Luas total griya ageng tari = = 1159 m2 Volume total griya ageng tari = 3324.4 m3
Sumber : Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
b) Griya ageng musik tradisional
Kelompok ruang
Jenis ruang
Luas Jumlah Luas x jumlah
Volume
1 kelompok ruang seni
R. latihan / pentas
(17 pengrawit + 1 set gamelan) + + ((5 sindhen + 5 pengerong) x 2 m2/orang ))= m2 = 54 m2 + 20 m2 = 74 m2
1 74 m2 296 m3
R. penonton
106 penonton x 1 m2/orang = 106 m2
1 106 m2 318 m3
Galeri musik tradisional
54 m2 1 54 m2 162 m3
R. sarasehan
54 orang x 1 m2/orang = 54 m2
1 54 m2 162 m3
Luas total = 288 m2 x 1 kelompok ruang = 288 m2 Volume total = 938 m3 x 1 kelompok ruang = 938 m3
6 kelompok ruang berhuni (4 unit untuk seniman, 1 unit untuk pengelola, 1 unit untuk wisatawan)
Teras 4.5 m2 1 4.5 m2 12.375m3 R. tamu 9 m2 1 9 m2 24.75 m3 R. keluarga
27 m2 1 27 m2 81 m3
R. tidur 9 m2 3 9 m2 24.75 m3 Dapur 7.5 m2 1 7.5 m2 22.5 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1.5 m2 1 1.5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur
4.5 m2 1 4.5 m2 -
Luas total = 75 m2 x 6 kelompok ruang = 450 m2 Volume total = 204.7m3 x 6 kelompok ruang = 1228.2 m3
1 kelompok ruang servis
T. parkir -Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
15 m2 (48 motor x 2 m2) + (15 mobil x 15 m2 ) = 96 m2 + 225 m2= 321 m2
4 1
60 m2
321 m2
162 m3
866.7 m3
KM/WC pengunjung dan pemain
1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Luas total = 387 m2 x 1 kelompok ruang= 387 m2 Volume total = 1045.2 m3 x 1 kelompok ruang = 1045.2 m3
Tabel 4.17. Besaran Ruang Griya Ageng Musik Tradisional
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Luas total griya ageng tari = 1125 m2 Volume total griya ageng tari = 3211.4 m3
c) Griya ageng teater boneka
Kelompok ruang
Jenis ruang
Luas Jumlah Luas x jumlah
Volume
1 kelompok ruang seni
R. latihan / pentas
1 dalang x 4 m2/orang) + (5 sinden x 2 m2/orang) + (2 penggerong x 2 m2/orang) + 17 pengrawit + a set gamelan = 72 m2
1 72 m2 288 m3
R. penonton
106 penonton x 1 m2/orang = 106 m2
1 106 m2 318 m3
Galeri teater boneka
54 m2 1 54 m2 162 m3
R. sarasehan
54 orang x 1 m2/orang = 54 m2
1 54 m2 162 m3
Luas total = 286 m2 x 1 kelompok ruang = 286 m2 Volume total = 930 m3 x 1 kelompok ruang = 930 m3
6 kelompok ruang berhuni (4 unit untuk seniman, 1 unit untuk pengelola, 1 unit untuk wisatawan)
Teras 4.5 m2 1 4.5 m2 12.375 m3
R. tamu 9 m2 1 9 m2 24.75 m3 R. keluarga
27 m2 1 27 m2 81 m3
R. tidur 9 m2 3 9 m2 24.75 m3 Dapur 7.5 m2 1 7.5 m2 22.5 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1.5 m2 1 1.5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur
4.5 m2 1 4.5 m2
Luas total = 75 m2 x 6 kelompok ruang = 450 m2 Volume total = 204.7m3 x 6 kelompok ruang = 1228.2 m3
1 kelompok ruang servis
T. parkir -Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
15 m2 (48 motor x 2 m2) + (15 mobil x 15 m2 ) = 96 m2 + 225 m2= 321 m2
4 1
60 m2
321 m2
162 m3
866.7 m3
KM/WC pengunju
1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4
6 m2 16.5 m3
Tabel 4.18. Besaran Ruang Griya Ageng Teater Boneka
Sumber : Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
ng + pemain
unit
Luas total = 387 m2 x 1 kelompok ruang= 387 m2 Volume total = 1045.2 m3 x 1 kelompok ruang = 1045.2 m3
Luas total griya ageng musik tradisional = 1123 m2 Volume total griya ageng musik tradisional = 3203.4 m3
d) Griya ageng teater orang
Kelompok
ruang Jenis
ruang Luas Jumlah Luas x
jumlah Volume
1 kelompok ruang seni
R. properti
21 m2 1 21 m2 63m3
R. ganti 1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
R. persiapan
30 orang x 2 m2/orang) = 60 m2
1 60 m2 180 m3
Panggung 10 orang x 4 m2/orang) = 40 m2
1 40 m2 288 m3
R. musik pengiring
(11 pengrawit + 1 set gamelan) + ((2 sindhen + 2 penggerong) x 2 m2/orang)= 40 m2 + 8 m2 = 48 m2
1 48 m2 16.8 m3
Ruang penonton
70 penonton x 1 m2/orang = 70 m2
1 70 m2 245 m3
Galeri t. orang
54 m2 1 54 m2 162 m3
R. sarasehan
54 orang x 1 m2/orang = 54 m2
1 54 m2 162 m3
Luas total = 425 m2 x 1 kelompok ruang = 425 m2 Volume total = 1133.3 m3 x 1 kelompok ruang = 1133.3 m3
6 kelompok ruang berhuni (4 unit untuk seniman, 1 unit untuk pengelola, 1 unit untuk wisatawan)
Teras 6 m2 1 6 m2 16.5 m3 R. tamu 9 m2 1 9 m2 24.75 m3 R. keluarga
22.5 m2 4 22.5 m2 67.5 m3
R. tidur 9 m2 3 9 m2 24.75 m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1.5 m2 1 1.5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur
4.5 m2 1 4.5 m2 -
Tabel 4.19. Besaran Ruang Griya Ageng Teater Orang
Sumber : Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Luas total = 70.5 m2 x 6 kelompok ruang = 423 m2 Volume total = 190.875 m3 x 6 kelompok ruang = 1145.25 m2
1 kelompok ruang servis
T. parkir -Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
15 m2 (30 motor x 2 m2) + (14 mobil x 15 m2 ) = 60 m2 + 210 m2= 270 m2
4 1
60 m2
270 m2
180 m3 810 m3
KM/WC pengunjung dan pemain
1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Luas total = 336 m2 x 1 kelompok ruang = 336 m2 Volume total = 1006.5 m3 x 1 kelompok ruang = 1006.5 m3
Luas total ruang griya ageng teater boneka = 1184 m2 Volume total ruang griya ageng teater boneka = 3285.05 m3
3) Kelompok ruang privat, terdiri dari:
a) Griya alit tari
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Garasi 15 m2 1 15 m2 41.25 m3 Teras 19 m2 1 19 m2 74.25 m3 R. tamu 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. keluarga 18 m2 1 18 m2 67.5 m3 R. tidur 9 m2 3 27 m2 81 m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1,5 m2 1 1,5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur 4,5 m2 1 4,5 m2 - Luas total = 112 m2 Volume total = 348.375 m3
b) Griya alit musik tradisional
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Garasi 15 m2 1 15 m2 41.25 m3 Teras 23 m2 1 23 m2 74.25 m3
Tabel 4.21. Besaran Ruang Griya Alit Musik Tradisional
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.20. Besaran Ruang Griya Alit Tari
Sumber : Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
R. tamu 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. keluarga 22,5 m2 1 22.5 m2 67.5 m3 R. tidur 9 m2 3 27 m2 81 m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1,5 m2 1 1,5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur 4,5 m2 1 4,5 m2 - Luas total = 120.5 m2 Volume total = 348.375 m3
c) Griya alit teater boneka
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Garasi 15 m2 1 15 m2 41.25 m3 Teras 27 m2 1 27 m2 74.25 m3 R. tamu 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. keluarga 22,5 m2 1 22.5 m2 67.5 m3 R. tidur 9 m2 3 27 m2 81 m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1,5 m2 1 1,5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur 4,5 m2 1 4,5 m2 - Luas total = 124.5 m2 Volume total = 348.375 m3
d) Griya alit teater orang
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Garasi 15 m2 1 15 m2 45 m3 Teras
27 m2 27 m2 74.25 m3
R. tamu 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. keluarga 22.5 m2 1 22.5 m2 67.5 m3 R. tidur 9 m2 3 27 m2 81 m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1,5 m2 1 1,5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur 4,5 m2 1 4,5 m2 - Luas total = 124.5 m2 Volume total = 352.125 m3
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.23. Besaran Ruang Griya Alit Teater Orang
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.22. Besaran Ruang Griya Alit Teater Boneka
Sumber : Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
4) Kelompok ruang servis
a) Mushola, merupakan tempat ibadah bagi seniman muslim
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Tempat wudhu 6 orang X
0,8 m2/orang = 4,8 m2
1 pa + 1 pi = 2
9,6 m2 28.8 m3
R. sholat 60 orang X 1 m2/orang = 60 m2
1 60 m2 180 m3
Gudang 3 m2 1 6 m2 18 m3 KM/WC 1,5 m2 1 pa + 1 pi
= 2 3 m2 9 m3
T. parkir 15 m2/mobil 2 m2/motor
4 mobil 12 motor
60 m2
24 m2
-
Luas total = 162.6 m2 Volume total = 235.8 m3
b) Lapangan
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Lapangan 230 m2 1 230 m2 -
c) Gazebo
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Gazebo 4 m2 1 4 m2 10 m3
d) Angkringan
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Angkringan 10 m2 1 10 m2 25 m3
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.27. Besaran Ruang Angkringan
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.26. Besaran Ruang Gazebo
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.25. Besaran Ruang Lapangan
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.24. Besaran Ruang Mushola
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
5) Kelompok ruang pengelola, terdiri dari:
a) Griya pengelola
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x
jumlah Volume
R. kepala 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. sekretaris 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. kepala tata usaha 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi urusan umum 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi urusan keuangan 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi urusan perlengkapan 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi informasi 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi pentas 6 m2 1 6 m2 18 m3 Pantry 6 m2 1 6 m2 18 m3 KM/WC 1,5 m2 1 pa + 1
pi = 2 1,5 m2 4.5 m3
Gudang 6 m2 1 3 m2 9 m3 T. parkir 15
m2/mobil 2 m2 / motor
7 mobil 12 motor
105 m2
24 m2
- -
Luas total = 190.5 m2 Volume total = 184.5 m3
Kelompok ruang Luas
(m2) Jumlah (unit)
Luas x jumlah (m2)
Publik - Panggung terbuka
1158
1
1158
Semi publik - Griya ageng tari - Griya ageng musik
tradisional - Griya ageng teater boneka - Griya ageng teater orang
1159 1125 1123 1184
1 1 1 1
1159 1125 1123 1184
Privat - Griya alit tari - Griya alit musik tradisional - Griya alit teater boneka - Griya alit teater orang
112 120.5 124.5 124.5
23 11 10 22
2576 1325.5 1245 2739
Servis - Lapangan - Mushola - Gazebo - Angkringan
230 162.6 10 25
2 4 15 12
560 78.6 150 300
Pengelolaan - Griya pengelola
190.5
1
190.5
Luas total 14913.6 m2
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.29. Luas Total Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.28. Besaran Ruang Griya Pengelola
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Perhitungan Jumlah Hunian Di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah
1) Hunian Bagi Seniman tari
-Penghuni utama : 40 penari + 11 pengrawit + 3 kru = 54 orang
-¼ jumlah penghuni utama membawa 2 anggota keluarganya = (¼ x
54 orang) x 2 = 14 orang x 2 = 28 orang
-Jumlah penghuni = 82 orang
-1 unit hunian untuk 3 orang sehingga dibutuhkan 82 orang : 3
orang/unit = 27 unit
Selain hunian untuk seniman tari juga disediakan 1 unit hunian
bagi wisatawan dan 1 unit pengelola dengan kapasitas 3 orang/hunian.
Jadi, jumlah total hunian adalah 27 unit hunian seniman + 1 unit hunian
wisatawan + 1 unit hunian pengelola = 29 unit dengan perincian 6 unit
termasuk dalam griya ageng tari sedangkan 23 dalam bentuk griya alit
tari.
2) Hunian Bagi Seniman musik tradisional
-Penghuni utama : 17 pengrawit + 5 sinden + 5 penggerong + 3 kru
= 30 orang
-¼ jumlah penghuni utama membawa 2 anggota keluarganya = (¼ x
30 orang) x 2 = 7 orang x 2 = 14 orang
-Jumlah penghuni = 44 orang
-1 unit hunian untuk 3 orang sehingga dibutuhkan 44 orang : 3
orang/unit = 15 unit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Selain hunian untuk seniman musik tradisional juga disediakan
1unit hunian bagi wisatawan dan 1 unit pengelola dengan kapasitas 3
orang/hunian. Jadi, jumlah total hunian adalah 15 unit hunian seniman
+ 1 unit hunian wisatawan + 1 unit hunian pengelola = 17 unit dengan
perincian 6 unit termasuk dalam griya ageng musik tradisional
sedangkan 11 dalam bentuk griya alit musik tradisional .
3) Hunian Bagi Seniman teater boneka
- Penghuni utama : 1 dalang + 5 sinden + 2 penggerong + 7
pengrawit + 3 kru = 28 orang
-¼ jumlah penghuni utama membawa 2 anggota keluarganya = (¼ x
28 orang) x 2 = 7 orang x 2 = 14 orang
-Jumlah penghuni = 42 orang
-1 unit hunian untuk 3 orang sehingga dibutuhkan 42 orang : 3
orang/unit = 14 unit
Selain hunian untuk seniman teater boneka juga disediakan
1unit hunian bagi wisatawan dan 1 unit pengelola dengan kapasitas 3
orang/hunian. Jadi, jumlah total hunian adalah 14 unit hunian seniman
+ 1 unit hunian wisatawan + 1 unit hunian pengelola = 16 unit dengan
perincian 6 unit termasuk dalam griya ageng musik tradisional
sedangkan 10 dalam bentuk griya alit teater boneka .
4) Hunian Bagi Seniman teater orang
-Penghuni utama : 30 pemeran + 2 sinden + 2 penggerong + 11
pengrawit + 4 penata rias + 4 kru = 53 orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
-¼ jumlah penghuni utama membawa 2 anggota keluarganya = (¼ x
53 orang) x 2 = 13 orang x 2 = 26 orang
-Jumlah penghuni = 79 orang
-1 unit hunian untuk 3 orang sehingga dibutuhkan 79 orang : 3
orang/unit = 26 unit
Selain hunian untuk seniman teater orang juga disediakan 1unit
hunian bagi wisatawan dan 1 unit pengelola dengan kapasitas 3
orang/hunian. Jadi, jumlah total hunian adalah 26 unit hunian seniman
+ 1 unit hunian wisatawan + 1 unit hunian pengelola = 28 unit dengan
perincian 6 unit termasuk dalam griya ageng musik tradisional
sedangkan 22 dalam bentuk griya alit teater orang.
4.2.3. Analisa Hubungan Ruang
Tujuan
Analisa hubungan ruang bertujuan untuk memperoleh hubungan
ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang satu
dengan yang lain.
Dasar Pertimbangan
Analisa hubungan ruang dilakukan berdasarkan pertimbangan
jenis dan hubungan kegiatan yang diwadahi oleh masing-masing ruang.
Analisa Hubungan Antar Kelompok Ruang
1.3, 2.2, 3.3, 4.1, 5.2, 6.2
1.3, 2.2, 3.3, 4.2, 5.2, 6.2
Kelompok
ruang publik Kelompok ruang semi
publik
Diagram 4.1. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik Dengan Kelompok Ruang Semi Publik
Sumber: Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
1.1, 2.1, 3.2, 4.3, 5.2, 6.3
1.1, 2.1, 3.2, 4.2, 5.1, 6.3
Kelompok ruang semi
publik
Kelompok ruang servis
Diagram 4.6. Hubungan Antara Kelompok Ruang Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.1, 6.1
1.1, 2.1, 3.1, 4.1, 5.1, 6.1
Kelompok ruang semi
publik
Kelompok ruang privat
Diagram 4.5. Hubungan Antara Kelompok Ruang Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Privat
Sumber: Analisa Penulis, 2011
1.1, 1.4, 2.1, 3.3, 4.2, 5.2, 6.1
1.1, 2.1, 3.3, 4.2, 5.2, 6.1
Kelompok ruang publik
Kelompok ruang
pengelola
Diagram 4.4. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola
Sumber: Analisa Penulis, 2011
1.4, 2.3, 3.3, 4.3, 5.2, 6.3
1.3, 1.4, 2.3, 3.3, 4.3, 5.2, 6.3
Kelompok ruang publik
Kelompok ruang servis
Diagram 4.3. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.3, 4.3, 5.2, 6.3
1.3, 2.1, 2.3, 3.3, 4.3, 5.2, 6.3
Kelompok
ruang publik Kelompok
ruang privat
Diagram 4.2. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik Dengan Kelompok Ruang Privat
Sumber: Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Analisa Hubungan Antar Ruang
- Hubungan Antar Ruang Di Dalam Griya Ageng
1.1, 1.4, 2.3, 3.1, 4.1, 5.1, 6.1
1.1, 2.3, 3.1, 4.2, 5.1, 6.1
Kelompok ruang seni
Kelompok ruang berhuni
Diagram 4.11. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni Dengan Kelompok Ruang Berhuni
Sumber: Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.3, 4.2, 5.2, 6.3
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.1, 6.3
Kelompok ruang servis
Kelompok ruang
pengelola
Diagram 4.10. Hubungan Antara Kelompok Ruang Servis Dengan Kelompok Ruang Pengelola
Sumber: Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.1, 6.3
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.1, 6.3
Kelompok ruang privat
Kelompok ruang
pengelola
Diagram 4.9. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat Dengan Kelompok Ruang Pengelola
Sumber: Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.3, 4.3, 5.1, 6.1
1.1, 2.1, 3.1, 4.1, 5.1, 6.1
Kelompok ruang privat
Kelompok ruang servis
Diagram 4.8. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.1, 4.1, 5.1, 6.3
1.1, 2.1, 3.1, 4.3, 5.1, 6.3
Kelompok ruang semi
publik
Kelompok ruang
pengelola
Diagram 4.7. Hubungan Antara Kelompok Ruang Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola
Sumber: Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
Tanda Uraian pertalian/hubungan Kode Pergerakan Langsung
Tak langsung …… Jenis hubungan Fisik 1.1
Audio visual 1.2 Pendengaran (auditive) 1.3 Pandangan (visual) 1.4
Kelas hubungan/kelompok hubungan
Manusia dengan manusia 2.1 Peralatan dengan peralatan 2.2 Manusia dengan peralatan 2.3
Frekuensi hubungan Tetap, terus menerus (continue) 3.1 Berulang (repetitive) 3.2 Sekali – sekali / kadang - kadang 3.3 Jarang / langka 3.4
Frekuensi user Tinggi, padat 4.1 Menengah, sedang 4.2 Rendah 4.3
Ketentuan waktu Tetap (permanen) 5.1 Sementara (temporary) 5.2
Jarak Dekat 6.1 Sedang 6.2 Jauh 6.3
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.30. Kode Pola Hubungan Antar Ruang
1.1, 2.1, 3.1, 4.1, 5.1, 6.2
1.1, 2.1, 3.1, 4.2, 5.1, 6.2
Kelompok ruang berhuni
Kelompok ruang sevis
Diagram 4.13. Hubungan Antara Kelompok Ruang Berhuni Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.2, 6.2
1.1, 2.1, 3.3, 4.3, 5.2, 6.2
Kelompok ruang seni
Kelompok ruang servis
Diagram 4.12. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
- Hubungan Antar Ruang Di Dalam Griya Alit
R. tamu
R. keluarga R. tidur
R. dapur
R. makan
KM/WC
Gudang
R. cuci jemur
KM/WC
Diagram 4.14. Hubungan Antara Kelompok Ruang Di Dalam Griya Alit Sumber: Analisa Penulis, 2011
Keterangan:
Tidak Penting (Non Essensial)
Saling mengisi
Penting (essensial)
Tidak diinginkan
Tidak dapat diterima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
Keterangan :
4.2.4. Analisa Bentuk, Ekspresi, dan Tata Ruang
Tujuan
Analisa ini bertujuan untuk memperoleh bentuk, arah, ekspresi,
dan tata ruang yang sesuai dan mencerminkan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah sebagai wadah kegiatan seni dan
kegiatan berhuni seniman dengan suasana kampung berarsitektur Jawa.
Dasar Pertimbangan
Analisa bentuk, arah, ekspresi, dan tata ruang dilakukan
berdasarkan pertimbangan kegiatan yang diwadahi, hubungan ruang,
konsep suasana kampung, dan konsep arsitektur Jawa.
Analisa Bentuk Ruang
Berdasarkan studi terhadap beberapa bentuk ruang pada rumah-
rumah Jawa yang ditulis oleh Hamzuri (t.t.: 14-60) didapat pengetahuan
bahwa rumah Jawa umumnya memiliki denah ruang berbentuk persegi.
Sebagian besar kampung-kampung di Jawa memiliki denah persegi
terutama untuk kampung yang beratapkan pelana (atap kampung).
Pengetahuan tersebut dapat diterapkan pada perancangan bangunan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Hasil Analisa Bentuk Ruang
Ruang-ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah didesain sederhana dengan mengkombinasikan bentuk-bentuk
Dekat
Jauh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
persegi sehingga tercipta suasana ruang yang unik, nyaman untuk
berkesenian, dan mendukung suasana kampung yang direncanakan.
Analisa Ekspresi Ruang
Pada umumnya rumah-rumah kampung memiliki ekspresi ruang
sederhana dan jauh dari kemewahan. Hal itu ditunjukkan dengan
penggunaan material dari alam seperti kayu dan kondisi elemen
bangunan yang kurang sempurna seperti dinding yang tidak diaci.
Penggunaan material-material alami tersebut juga relevan dengan
konsep yang diutarakan oleh Budiharjo (1994:10-17) bahwa arsitektur
Jawa harus dapat menunjukkan keselarasan antara ruang dalam dan
ruang luar.
Hasil Analisa Ekspresi Ruang
Ruang bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah dibuat sederhana dan menggunakan material alam, yakni lantai
berlapiskan bambu, dinding bambu, dan bukaan berbahan bambu.
Untuk memperkuat nuansa kampung, digunakan dinding bata tanpa
Gambar 4.1. Bentuk Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
acian setinggi 1 meter dari lantai. Di atas dinding bata tertsebut berupa
dinding bambu utuh yang dirangkaian satu sama lain.
Penggunaan material dari lingkungan sektitar pada bangunan
dapat memberi keselarasan antara ruang di dalam rumah dengan
halaman dan lingkungan sekitar sehingga dapat meningkatkan citra
lingkungan masyarakat Jawa yang tenteram dan damai. Untuk
memperkuat konsep arsitektur Jawa maka ruang-ruang di dalam
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dibuat
teduh dengan atap dan plafon yang rendah agar terkesan bahwa
keberadaan atap sebagai elemen ‘penaung’ dapat akrab dengan
kehidupan penghuni.
Sebagai wadah kegiatan seni maka ruang-ruang latihan/pentas
dihias dengan elemen-elemen seni pertunjukan, seperti ornamen-
ornamen pada dinding, gantungan selendang tari, dan lainnya.
Analisa Tata Ruang
Prijotomo dalam Muhammad dan Santosa (2008:51)
mengemukakan bahwa arsitektur Jawa memiliki aturan yang bersifat
Gambar 4.2. Ekspresi Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
linier dan sentripetal serta mengacu pada prinsip pusat dan dualitas.
Prinsip dualitas dijelaskan oleh Sagrim (2011:8) sebagai oposisi binair
antara ruang luar dan dalam, antara kiri dan kanan, antara daerah
istirahat dan daerah aktivitas, antara spirit laki-laki (tempat placenta
yang biasanya diletakkan sebelah kanan) dan spirit wanita (tempat
placenta yang biasanya diletakkan pada bagian kiri), sentong kanan dan
sentong kiri, dan lain-lain. Pernyataan di atas menunjukkan bahwa
prinsip pusat dan dualitas kiranya merupakan ungkapan tak langsung
bahwa manusia Jawa menginginkan keseimbangan dalam hidupnya,
baik keseimbangan dengan lingkungan sekitar maupun dengan
Tuhannya. Prinsip keseimbangan tersebut dapat diterapkan dalam
desain tata ruang bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah.
Hasil Analisa Tata Ruang
Prinsip keseimbangan dalam arsitektur Jawa diterapkan dalam
desain tata ruang bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah yang simetris dengan ruang kegiatan utama (ruang pentas)
sebagai pusat dari semua ruang griya ageng.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
4.3. Analisa Tapak/Site
4.3.1. Analisa Pemilihan Lokasi Tapak/Site
Tujuan
Analisa pemilihan lokasi tapak/site bertujuan untuk memperoleh
lokasi tapak/site yang mendukung keberadaan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Dasar pertimbangan analisa pemilihan lokasi tapak/site sebagai
berikut.
1) Lokasi tapak/site berada atau berdekatan dengan kawasan budaya di
Surakarta.
2) Lokasi tapak/site sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota
(RUTRK) dan Satuan Wilayah Pengembangan (SWP).
3) Lokasi tapak/site mudah dicapai dari lokasi-lokasi di sekitarnya dan
dari pusat kota.
Gambar 4.3. Tata Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
4) Lokasi tapak/site berpotensi bagi terciptanya nuansa kampung pada
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Potensi yang diinginkan antara lain sebagai berikut.
a) Mayoritas bangunan di lokasi tapak/site merupakan
perkampungan atau hunian.
b) Lokasi tapak/site memiliki suasana alami yang dapat ditunjukan
dengan keberadaan sawah, sungai, pepohonan, dan lainnya.
5) Sebagian besar tapak/site memiliki ketenangan untuk kegiatan seni
dan kegiatan berhuni para seniman.
Analisa
Dari dasar pertimbangan di atas terdapat tiga alternatif lokasi
site yang berpotensi, yakni sebagai berikut.
1) Daerah Sumber
Sumber merupakan salah satu daerah di Surakarta yang masuk
dalam SWP VII yang 90 % lahannya diperuntukkan bagi
perumahan/pemukiman sehingga sangat tepat digunakan untuk kegiatan
berhuni para seniman. Daerahnya berdekatan dengan salah satu titik
budaya di Surakarta, yakni Taman Balekambang yang di dalamnya
terdapat gedung kethoprak dan pernah sebagai tempat tinggal para
seniman kethoprak tobong. Di gedung inilah grup Srimulat lahir dan
pernah mengalami kejayaan. Keberadaan gedung kethoprak tersebut
akan mendukung bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah dari sisi pariwisata dan pelestarian budaya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
Daerah Sumber mudah dicapai dari segala arah. Jalan Kahuripan
Barat merupakan akses utama ke lokasi dari arah barat. Keberadaan
terminal Tirtonadi di sebelah timur mempermudah akses dari daerah
lain (terutama dari luar kota). Daerah ini mudah dicapai dari pusat kota
yang terletak sekitar 6 km di sebelah tenggara apalagi didukung oleh
tranportasi yang memadai, antara lain bus, taxi, dan angkutan kota.
Keberadaan terminal Tirtonadi di sebelah timur mempermudah akses
dari daerah lain (terutama dari luar kota).
Sebagaimana peruntukkan lahannya maka mayoritas bangunan
di daerah Sumber adalah hunian berupa perumahan dan perkampungan.
Beberapa lahan di daerah ini masih dimanfaatkan untuk kegiatan
bertani. Keberadaan sungai Bengawan Solo, sungai kecil, pepohonan,
dan persawahan merupakan potensi untuk memperkuat suasana
kampung di dalam kawasan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah yang direncanakan.
2) Daerah Mojosongo
Daerah Mojosongo masuk dalam SWP VII dengan kondisi
alam dari sebagian besar lahannya masih terjaga. 90 % lahan di daerah
Gambar 4.4. Daerah Sumber Sumber: Google Earth, Diakses 15 Oktober 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
ini diperuntukkan bagi perumahan/pemukiman sehingga sangat sesuai
digunakan untuk kegiatan berhuni para seniman. Kontur tanah yang
berbukit-bukit dan keberadaan kampung-kampung di dalamnya
mendukung bagi bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah yang direncanakan. Daerah ini mudah dicapai dari
ringroad utara penghubung Surakarta, Karanganyar, dan Sragen.
Namun, letaknya yang cukup jauh dari pusat kota membuat daerah ini
sedikit sulit untuk dicapai para wisatawan dari pusat kota apalagi
keberadaanya jauh dari kawasan budaya sehingga kurang mendukung
bagi berdirinya Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
3) Daerah Ngarsopuro
Kawasan Ngarsopuro berada di sebelah utara Jalan Brigjen
Slamet Riyadi dan di sebelah selatan Puro Mangkunegaran yang
merupakan salah satu peninggalan sejarah Kota Surakarta. Kawasan ini
masih termasuk dalam wilayah segitiga budaya Surakarta, yaitu wilayah
yang meliputi Keraton Kasunanan Surakarta, Puro Mangkunegaran, dan
Pasar Gedhe. Tabel Fungsi Satuan Wilayah Pengembangan (SWP)
Surakarta (lihat Tabel 3.1 bab III) menyatakan bahwa 10 % dari
Gambar 4.5. Daerah Mojosongo Sumber: Google Earth, Diakses 15 Oktober
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
kawasan ini termasuk wilayah pengembangan pariwisata sedangkan 5
%-nya adalah wilayah pengembangan kebudayaan.
Keberadaan Jalan Brigjen Slamet Riyadi, Jalan R. A. Kartini,
Jalan Pangeran Diponegoro, dan Jalan Ronggowarsito dengan sirkulasi
jalan yang cukup baik membuat kawasan ini memiliki aksesibilitas atau
tingkat pencapaian yang cukup tinggi dari segala arah. Potensi bagi bagi
terciptanya nuansa kampung pada bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah sangat rendah meskipun di
daerah ini terdapat Kampung Nonongan dan berdekatan dengan
Kampung Kauman tetapi kondisi alamnya kurang mendukung.
Gambar 4.6. Daerah Ngarsopuro Sumber: Google Earth, Diakses 15 Oktober 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa ketiga allternatif
lokasi site memiliki potensi besar. Oleh karena itu, diperlukan suatu
penilaian untuk mengetahui lokasi site yang paling tepat untuk
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Berikut disajikan
tabel penilaian ketiga alternatif lokasi site Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah.
No. Aspek Yang Dinilai Daerah
Sumber Daerah Mojosongo
Daerah Ngarsopuro
1 Kedekatan dengan kawasan budaya
8 4 10
2 Kesesuaian dengan SWP Surakarta
8 8 9
3 Aksesibilitas atau tingkat pencapaian dari daerah sekitar dan pusat kota
7 4 9
4 Potensi yang mendukung nuansa kampung
8 10 2
5 Ketenangan 7 9 2 Jumlah 38 35 32
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.31. Penilaian Alternatif Site Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Gambar 4.7. Alternatif Lokasi Site Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah Sumber : Dinas Pariwisata Seni dan Kebudayaan Kota Surakarta, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Hasil Analisa
Berdasarkan analisa di atas diketahui bahwa daerah Sumber
lebih berpotensi untuk dijadikan sebagai lokasi site Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah karena memiliki nilai yang lebih
tinggi daripada daerah lainnya. Oleh karena itu, daerah Sumber dipilih
sebagai lokasi site Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
4.3.2. Analisa Penentuan Tapak/Site
Tujuan
Analisa penentuan tapak/site bertujuan untuk memperoleh site
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang tepat dan
mendukung semua kegiatan seni di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Dasar pertimbangan dalam analisa penentuan tapak/site sebagai
berikut.
1) Tapak/site merupakan lahan kosong atau lahan dari suatu bangunan
yang sudah tidak layak dan tidak berfungsi.
Gambar 4.8. Lokasi Tapak/Site Terpilih (Daerah Sumber) Sumber: Google Earth, Diakses 15 Oktober 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
2) Tapak/site bukan merupakan lahan dari suatu bangunan yang
dilindungi (cagar budaya).
3) Luas tapak/site mencukupi
Luas tapak/site Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah yang diperlukan dapat diketahui melalui perhitungan sebagai
berikut.
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah didesain
dengan nuansa kampung di dalamnya sehingga diperlukan pengolahan
landscape ruang terbuka hijau yang luas, diasumsikan 80 % site adalah
ruang terbuka yang terdiri dari jalan-jalan sirkulasi dan vegetasi. Jadi,
luas site yang diperlukan dapat diperoleh dari perhitungan sebagai
berikut.
Luas lantai dasar = luas keseluruhan – luas lantai 2 pada griya ageng
= 14913.6 m2 – 3126 m2
= 11787.6 m2
Luas site = luas lantai dasar + (80 % x luas site)
= 11787.6 m2 + 0.8 x (luas site)
0.2 x (luas site) = 11787.6 m2
Luas site = 58938 m2 (luas minimal)
4) Tapak/site mudah dicapai dari jalan-jalan besar.
5) Tapak/site berada di lingkungan yang mendukung bagi terciptanya
nuansa kampung pada bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah yang direncanakan, yakni berada di
lingkungan perkampungan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
6) Tapak/site memiliki ketenangan karena karakter seniman yang akan
menghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
memerlukan ketenangan dan karakter seni pertunjukan tradisional
Jawa Tengah yang dipentaskan secara non formal tidak
menginginkan adanya kebisingan terutama kebisingan dari jalan
raya.
7) Tapak/site memiliki sistem utilitas yang baik, antara lain jaringan
listrik, telepon, dan air.
8) Tapak/site berdekatan dengan fasilitas umum lain yang mendukung
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Analisa
Dari dasar pertimbangan di atas diperoleh dua alternatif
tapak/site sebagai berikut.
1) Tapak/site 1 di sebelah selatan Jalan Kahuripan Utara
Gambar 4.9. Alternatif Site 1 Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
2) Tapak/site 2 di sebelah utara Jalan Kahuripan Utara
Kedua alternatif memiliki potensi besar untuk dijadikan sebagai
tapak/site Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah, yakni
sebagai berikut.
1) Kedua tapak/site merupakan lahan persawahan yang tanahnya masih
subur sehingga sangat cocok ditanami pepohonan-pepohonan yang
biasa tumbuh di kampung-kampung, seperti mangga, rambutan,
bambu, dan lain-lain.
2) Tapak/site 1 memiliki luas 65690 m2 sedangkan tapak/site 2
memiliki luas 41215, 65 m2.
3) Kedua tapak/site mudah dicapai dari jalan raya karena letaknya
berada sekitar 250 m dari Jalan Kahuripan Barat, yakni jalan besar
yang merupakan akses utama ke dalam site dan terhubung oleh Jalan
Kahuripan Utara yang berada tepat di sebelah utara tapak/site.
Gambar 4.11. Kondisi Eksisting Site 1 (kiri) Dan Site 2 (kanan) Berupa Persawahan Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
Gambar 4.10. Alternatif Site 2 Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
4) Lingkungan kedua tapak/site adalah perkampungan dan perumahan
sehingga sangat mendukung bagi terciptanya suasana kampung pada
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
yang direncanakan.
5) Kedua tapak/site berada di lingkungan yang cukup tenang untuk
kegiatan seni dan kegiatan berhuni para seniman. pemukiman-
pemukiman di sebelah barat tapak/site menghalangi noise yang
berasal dari suara kendaraan bermotor di Jalan Kahuripan Barat.
Gambar 4.14. Kondisi Lingkungan Site Yang Tenang Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
Gambar 4.13. Kondisi Perkampungan di Sebelah Timur Site Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
Gambar 4.12. Jalan Kahuripan Utara Terhubung Langsung Dengan Jalan Kahuripan Barat
Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
6) Sistem utilitas di sekitar kedua tapak/site cukup memadai, meliputi
listrik, telepon, dan saluran irigasi. Saluran-saluran air bermuara di
Sungai Bengawan Solo yang berada sekitar 230 m di sebelah selatan.
Saluran irigasi sawah merupakan potensi untuk sanitasi air kotor
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
7) Kedua tapak/site berdekatan dengan Gedung Kethoprak
Balekambang di seberang Sungai Bengawan Solo yang merupakan
pendukung bagi beroperasinya bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dalam bidang pariwisata dan
pelestarian budaya.
Gambar 4.16. Potensi Kedua Alternatif Site Sumber: Analisa Penulis, 2011
Gambar 4.15. Saluran Iringasi di Dalam Site Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
Berdasarkan potensi kedua tapak/site yang telah diuraikan di
atas dipilih tapak/site 1 sebagai tapak/site Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah karena memiliki luas yang lebih mencukupi,
yakni 65690 m2 > 58938 m2.
Hasil Analisa
Berdasarkan analisa di atas diperoleh tapak/site di Kelurahan
Sumber RT 04 RW 06, Banjarsari, Surakarta dengan batas eksisting
sebagai berikut
1) Sebelah utara: Jalan Kahuripan Utara dan persawahan
2) Sebelah timur: SMP Nur Hidayah dan perkampungan
3) Sebelah selatan: perkampungan
4) Sebelah barat: Perumahan Griya Purwantara, perkampungan, dan
Jalan Kahuripan Barat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
4.3.3. Analisa Pencapaian Tapak/Site
Tujuan
Analisa pencapaian tapak/site bertujuan untuk menentukan
main entrance (ME) dan side entrance (SE) yang aksesibel sehingga
pengunjung dan penghuni mudah masuk atau keluar site.
Dasar Pertimbangan
Fungsi ME sebagai gerbang depan atau gerbang utama yang
melayani keluar masuk pengunjung dan penghuni. menuju ke semua
bangunan. Oleh karena itu, dalam penentuan ME harus berdasarkan
pertimbangan sebagai berikut.
1) ME mudah dikenali pengunjung dan penghuni
2) ME mudah dicapai oleh kendaraan maupun pejalan kaki.
Gambar 4.17. Site Terpilih Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
3) ME berdekatan dan berhubungan langsung dengan jalan utama atau
jalan yang paling besar, paling ramai, dan paling lancar arus lalu
lintasnya di antara jalan-jalan yang ada di sekitar site.
4) Sirkulasi dari jalan menuju ME jelas.
5) Keberadaan ME tidak mengganggu arus lalu lintas. Oleh karena itu,
letak ME tidak boleh kurang dari 30 meter dari perempatan atau
pertigaan jalan agar tidak terjadi crossing atau macet.
Fungsi SE sebagai gerbang samping yang melayani keluar
masuk penghuni dan para penjual di pasar tradisional. Oleh karena itu,
dalam penentuan SE harus berdasarkan pertimbangan sebagai berikut.
1) SE mudah dikenali oleh penghuni sebagai gerbang alternatif.
2) SE mudah dicapai oleh kendaraan maupun pejalan kaki terutama
kendaraan service.
3) SE berdekatan dan berhubungan langsung dengan jalan sekunder
atau jalan yang lebih sepi daripada jalan yang berdekatan dengan
ME dan arus lalu lintasnya lancar.
4) Sirkulasi dari jalan menuju SE jelas.
5) Keberadaan SE tidak mengganggu arus lalu lintas. Oleh karena itu,
letak SE tidak boleh kurang dari 30 meter dari perempatan atau
pertigaan jalan agar tidak terjadi crossing atau macet.
Analisa
Tapak/site terpilih dikelilingi oleh Jalan Kahuripan Utara,
perkampungan, dan persawahan. Jalan Kahuripan Utara merupakan jalan
satu-satunya yang menghubungkan site dengan Jalan Kahuripan Barat,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
yakni jalan besar yang berada 250 m di sebelah barat tapak/site. Dari sisi
Jalan Kahuripan Utara tersebut pengunjung lebih mudah mencapai
tapak/site karena frekuensi pengguna Jalan Kahuripan Barat lebih besar
daripada pengguna jalan di kampung-kampung sekitar. Selain itu,
transportasi di Jalan Kahuripan Barat cukup memadai meliputi bus,
angkutan, taxi, dan lain-lain. Letak tapak/site dari perlimaan Jalan
Kahuripan Barat lebih dari 30 meter sehingga tidak mengganggu lalu
lintas di jalan tersebut.
Hasil Analisa
Berdasarkan analisa di atas dapat ditentukan letak ME berada di
sisi Jalan Kahuripan Utara karena lebih menguntungkan bagi operasional
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. SE ditentukan
berada di sekeliling samping dan belakang tapak/site dengan alasan
bahwa nuansa kampung akan lebih terasa jika memiliki akses masuk
yang banyak terutama SE. Perletakan SE ini dilakukan dengan
Gambar 4.18. Potensi Pencapaian Site Sumber: Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
membangun jalan di sekeliling bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah yang masih merupakan lahan bangunan. Jalan-
jalan pada sisi SE ini selain terhubung oleh Jalan Kahuripan Utara juga
terhubung dengan jalan-jalan kampung di sebelah selatan tapak/site
sehingga merupakan akses sekunder terutama bagi warga kampung di
sekitarnya yang ingin menyaksikan pentas di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah.
4.3.4. Analisa Kebisingan (Noise)
Tujuan
Analisa kebisingan (noise) bertujuan untuk memecahkan
masalah kebisingan baik kebisingan dari luar site yang dapat
mengganggu kegiatan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah di dalam site maupun sebaliknya.
Dasar Pertimbangan
Dasar pertimbangan dalam analisa kebisingan yakni sumber
kebisingan, intensitas kebisingan baik yang ditimbulkan oleh
Gambar 4.19. Pencapaian Site Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
lingkungan sekitar site maupun yang ditimbulkan oleh kegiatan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah di dalam site, dan
arah berhembusnya angin. Dasar pertimbangan yang dipakai dalam
analisa angin yaitu arah berhembusnya angin dan keberadaan bangunan
di sekitar tapak/site yang menghalangi arah berhembusnya angin.
Analisa
Kebisingan (noise) merupakan faktor penting yang sangat
mempengaruhi kegiatan di dalam Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah. Kegiatan seni pertunjukan tradisional
memerlukan kondisi lingkungan yang tenang apalagi konsep
pertunjukan seni di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah adalah kesederhanaan dan non formal di ruang-ruang terbuka
dan semi terbuka.
Noise yang berasal dari lingkungan sekitar tapak/site cukup
rendah karena suara-suara kendaraan dari Jalan Kahuripan Barat yang
dibawa angin telah tereduksi oleh keberadaan pemukiman warga. Akan
tetapi, noise juga berasal dari dalam tapak/site berupa suara kendaraan
di jalan-jalan sirkulasi dan tempat parkir sehingga perlu dilakukan
upaya reduksi noise dengan cara sebagai berikut.
1) Pembuatan penghalang (barier) berupa pepohonan. Pohon bambu
merupakan pohon yang rindang sehingga sangat cocok untuk
mereduksi noise.
2) Perletakan ruang-ruang latihan atau pentas yang dikelilingi bangunan
lain (hunian)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
3) Pemakaian material berpori sebagai peredam/pereduksi suara berupa
dinding bambu dua lapis yang disekat oleh daun padi di antaranya
pada ruang-ruang parkir.
Kegiatan latihan dan pentas seni pertunjukan tradisional
menimbulkan suara gamelan yang halus, lembut, dan bagi sebagian
orang membuat ngantuk sehingga tidak terlalu menggangu kegiatan
berhuni seniman dan kegiatan warga di sekitar site. Namun, upaya
reduksi suara agar tidak keluar site perlu dilakukan dengan menanam
pohon bambu di sekitar site. Sementara itu, reduksi suara terhadap
hunian (griya alit) tidak diperlukan karena ketika kegiatan latihan atau
pentas berlangsung seniman tidak berada di dalam griya alit tetapi
mereka melakukan pentas di griya ageng.
Gambar 4.20. Potensi Noise di Sekitar Site Sumber: Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Hasil Analisa
Berdasarkan analisa di atas dapat disimpulkan bahwa kebisingan
(noise) di dalam dapat diatasi dengan cara sebagai berikut.
1) Pembuatan penghalang (barier) berupa pohon bambu di sekeliling
site.
2) Perletakan ruang-ruang latihan atau pentas yang dikelilingi
bangunan lain (hunian).
3) Pemakain dinding bambu dua lapis yang disekat oleh daun padi di
antaranya sebagai peredam bunyi pada ruang parkir.
4.3.5. Analisa Pandangan (View) di Dalam Tapak/Site
Tujuan
Analisa pandangan (view) bertujuan untuk menentukan
pandangan (view) dari dalam keluar bangunan.
Gambar 4.21. Respon Terhadap Noise di Dalam Site Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Dasar Pertimbangan
Analisa pandangan (view) berdasarkan pertimbangan kegiatan
dan nuansa kampung yang direncanakan.
Analisa
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
direncanakan sebagai suatu kawasan sehingga view dari dalam
bangunan diarahkan menuju kegiatan utama dan nuansa kampung di
dalam kawasan tersebut.
Hasil Analisa
View dari dalam griya alit di arahkan menuju ke titik-titik
kegiatan utama di dalam site, yakni ke arah griya ageng sebagai pusat
orientasi. Selain itu, view dari ruang tidur, ruang keluarga, dan ruang
makan pada griya alit diarahkan menuju vegetasi yang ditanam di
sekitarnya untuk memperoleh kenyamanan visual bagi seniman dan
keselarasan ruang luar dan dalam yang menyatu dalam suasana
kampung yang alami.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
4.3.6. Analisa Zoning
Tujuan
Analisa zoning bertujuan untuk menempatkan zona-zona ruang
ke dalam tapak/site.
Dasar pertimbangan
Analisa zoning dilakukan berdasarkan pertimbangan hubungan
ruang dengan pencapaian, kebisingan (noise), angin, dan pandangan
(view).
Analisa
Berdasarkan tingkat jangkauan pengunjung terhadap bangunan-
bangunan di dalam site diperoleh pengelompokkan zona dalam skala
zona publik (zona dengan tingkat jangkauan pengunjung tinggi), zona
semi publik (zona dengan tingkat jangkauan pengunjung sedang), zona
Gambar 4.22. View Bangunan di Dalam Site Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
privat (zona dengan tingkat jangkauan pengunjung rendah), dan zona
service (zona yang mendapat jangkauan pengunjung untuk memperoleh
suatu pelayanan).
Sebelum menempatkan zona-zona ruang ke dalam site perlu
dilakukan analisa hubungan zona ruang dengan pencapaian, kebisingan
(noise), angin, dan pandangan (view) sebagai berikut.
Zona Kelompok ruang Pencapaian Angin dan
bising (noise) View
ME SE Publik
- Panggung terbuka
+++
++
- ++
Semi publik
- Griya ageng tari - Griya ageng musik
tradisional - Griya ageng teater boneka - Griya ageng teater orang
++ ++ ++ ++
++ ++ ++ ++
-
++
Privat
- Griya alit tari - Griya alit musik tradisional - Griya alit teater boneka - Griya alit teater orang
+ + + +
+ + + +
+ + + +
+++ +++ +++ +++
Servis
- Lapangan - Mushola - Angkringan - Gazebo
+ + + ++
+ + + +
+ - +++ +++
+++ ++ +++ ++
Pengelola
- Griya pengelola +++ + + +++
Keterangan: +++ : dekat, banyak ++ : sedang, sedang ++ : jauh, sedikit
Hasil Analisa
Berdasarkan analisa hubungan zona ruang dengan pencapaian,
kebisingan (noise), angin, dan pandangan (view) di atas diperoleh
penempatan zona ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah yang diilustrasikan melalui gambar di bawah ini.
Sumber : Analisa Penulis, 2011
Tabel 4.32. Analisa Hubungan Zona Ruang Dengan Pencapaian, Kebisingan (Noise), Angin, dan Pandangan (View)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
4.3.7. Analisa Sirkulasi di Dalam Tapak/Site
Tujuan
Analisa sirkulasi bertujuan untuk memperoleh jalur-jalur
pergerakan pelaku kegiatan di dalam tapak/site.
Dasar Pertimbangan
Analisa sirkulasi dilakukan berdasarkan pertimbangan kegiatan
yang diwadahi.
Analisa
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah didesain
bernuansa kampung dengan menerapkan pola sirkulasi suatu kampung.
Pola sirkulasi di dalam tapak/site dibuat tegas dan majemuk sehingga
pengunjung mudah menuju bangunan yang ingin dicapai mengingat
Gambar 4.23. Zoning Site Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
jumlah bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
cukup banyak. Untuk menghindari crowded maka jalur sirkulasi di
dekat kelompok ruang publik dibuat searah. Jalur sirkulasi di dalam
tapak/site dibedakan menjadi dua, yakni jalur sirkulasi primer (utama)
dan sekunder. Jalur sirkulasi primer menghubungkan Main Entrance
(ME), Side Entrance (SE), ruang publik, ruang semi publik, dan ruang
pengelola. Jalur sirkulasi sekunder menghubungkan ruang semi publik,
ruang privat, dan ruang servis.
Sirkulasi di dalam tapak/site Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah didesain sedemikian rupa sehingga ruang-
ruang publik lebih mudah dicapai dari pintu Main Entrance (ME) dan
Side Entrance (SE) berkaitan dengan akses pengunjung terhadap
ruang-ruang tersebut cukup besar. Urutan selanjutnya adalah ruang-
ruang semipublik berupa griya-griya ageng sebagai tempat berhuni dan
pentas seni, ruang privat yang lebih banyak diakses oleh seniman
sebagai penghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah, dan yang terakhir adalah ruang service. Lebar jalan yang
direncanakan juga dibedakan berdasarkan intensitas pengunjung.
Hasil Analisa
Berdasarkan analisa di atas diperoleh pola sirkulasi di dalam
tapak/site, yakni pola sirkulasi yang tegas dan majemuk dalam bentuk
jalan-jalan searah maupun dua arah. Jalan utama di dalam tapak/site
dibuat dengan lebar 8 meter sebagai jalan penghubung Main Entrance
(ME) dengan ruang-ruang publik (panggung terbuka) sedangkan ruang-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
ruang lain dihubungkan dengan jalan yang lebih sempit karena akses
pengunjung lebih sedikit.
4.4. Analisa Massa Bangunan
4.4.1. Analisa Bentuk, Ekspresi, Tata Massa, Dan Orientasi Bangunan
Tujuan
Analisa ini bertujuan untuk memperoleh bentuk, ekspresi, tata
massa, dan orientasi bangunan yang sesuai dan mencerminkan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah sebagai wadah
kegiatan seni dan kegiatan berhuni seniman dengan suasana kampung
berarsitektur Jawa.
Gambar 4.24. Sirkulasi di Dalam Site Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Dasar Pertimbangan
Analisa ini dilakukan berdasarkan pertimbangan kegiatan yang
diwadahi, volume ruang, konsep arsitektur Jawa, dan konsep bentuk
dan tata massa bangunan kampung.
Analisa Bentuk Massa Bangunan
Bentuk bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah dapat diperoleh dengan mengkombinasikan bentuk kaki, badan,
dan kepala bangunan dengan memasukkan konsep arsitektur Jawa baik
secara fisik maupun konseptual. Permainan proporsi volume antara
kaki, badan, dan kepala bangunan juga dapat menjadi dasar bentuk
bangunan. Penggunaaan atap panggang pe, pelana, limasan, dan tajug
dapat memberi identitas bahwa bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah berarsitektur Jawa. Falsafah Jawa dan
kearifan manusia Jawa dalam menanggapi lingkungan alam dapat
ditransformasikan dalam bentuk bangunan.
Hasil Analisa Bentuk Massa Bangunan
Ruang-ruang bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah didesain dengan perpaduan bentuk persegi sehingga
massa bangunan yang dihasilkan berbentuk perpaduan kubus dan balok
untuk struktur kaki dan badan. Atap bangunan merupakan perpaduan
atap panggang pe, pelana, limasan, dan tajug yang membentuk
tampilan massa bangunan Jawa yang kontemporer (kekinian).
Permainan proporsi atap yang lebih besar daripada badan dan kaki
bangunan menunjukkan bahwa keberadaan atap sebagai penaung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
kegiatan sangat penting dan menjadi ciri khas ruang hidup bagi manusia
Jawa.
Atap-atap bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah terutama griya alit sebagai tempat berhuni seniman
didesain dengan variasi bentuk atap panggang pe dan kampung (atap
yang umum digunakan untuk rumah-rumah kampung Jawa) dengan
tujuan untuk memunculkan nuansa kampung. Selain itu, penggunaan
teras yang panjang menambah nuansa kampung pada bangunan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang
direncanakan. Atap limasan digunakan untuk memberi variasi pada
bangunan semi publik (griya ageng) sedangkan atap tajug hanya
digunakan untuk mushola karena pandangan manusia Jawa tentang atap
tajug yang terkesan sakral.
Penggunaaan tiang-tiang kayu (saka) dan umpak pada teras
bangunan griya alit memperkuat nuansa Jawa karena mencoba
memunculkan elemen tradisional dalam konsep arsitektur Jawa
kontemporer (kekinian).
Salah satu wujud kearifan manusia Jawa dalam memahami dan
berinteraksi dengan alam sebagai lingkungan makrokosmosnya
diwujudkan pada desain bangunan yang tanggap terhadap lingkungan,
antara lain:
a) Penggunaan atap yang teduh dan rendah sebagai respon terhadap
lingkungan Surakarta yang panas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
b) Kemiringan atap > 30 derajat merupakan dimaksudkan agar air hujan
yang jatuh mengenai atap dapat lebih cepat sampai permukaan tanah
Analisa Ekspresi Massa Bangunan
Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
harus dapat mencerminkan sebagai bangunan seni dengan nuansa
kampung berarsitektur Jawa. Nuansa kampung dapat diciptakan dengan
menerapkan elemen-elemen fisik kampung ke dalam bentuk bangunan
sedangkan nuansa arsitektur Jawa dapat dimunculkan dengan
menerapkan ciri-ciri bangunan Jawa baik secara konseptual maupun
fisik.
Hasil Analisa Ekspresi Massa Bangunan
Massa bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah diekspresikan dalam tampilan arsitektur Jawa masa kini
(kontemporer) dengan nuansa kampung yang ditunjukkan dengan
Gambar 4.25. Bentuk Massa Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
141
ukuran atap sebagai mahkota lebih besar daripada badan (dinding
bangunan) karena atap merupakan identitas arsitektur Jawa yang
memberi naungan terhadap ruang hidup di bawahnya (arsitektur Jawa
sebagai perwujudan arsitektur pernaungan (Pitana, 2010:138).
Pemakaian material lokal seperti batu bata, kayu, dan bambu yang
mudah diperoleh di Surakarta dan sekitarnya merupakan wujud kearifan
manusia Jawa dalam merespon lingkungan apalagi material alam
tersebut sangat cocok untuk memberikan nuansa kampung.
Analisa Tata Massa Bangunan
Massa-massa bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah ditata sedemikian rupa sehingga mirip dengan tata massa
bangunan kampung agar tercipta suasana ruang seperti berada di suatu
kampung. Massa bangunan juga ditata sebagai simbolisasi konsep
arsitektur Jawa.
Berdasarkan tinjauan di Bab II disebutkan bahwa sebagian besar
kampung memiliki ciri-ciri tata massa bangunan sebagai berikut.
Gambar 4.26. Ekspresi Massa Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
142
1) Tata massa hunian acak.
2) Ruang komunal berada di sela-sela hunian.
3) Fasilitas-fasilitas sosial menyatu dengan hunian.
4) Kampung memiliki ruang terbuka yang cukup.
5) Sirkulasi kampung cenderung tegas dan majemuk.
Ciri-ciri tata massa bangunan tersebut digunakan sebagai dasar
penataan bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
Hasil Analisa Tata Massa Bangunan
Massa bangunan ditata acak namun masih terlihat jelas alur
sirkulasinya. Griya ageng merupakan griya yang terdiri dari beberapa
massa bangunan, yakni massa bangunan pentas (ruang komunal/ruang
sosial) yang menyatu dengan massa hunian seniman. Ruang-ruang
terbuka diciptakan antara bangunan dengan ditanami berbagai jenis
tanaman yang biasa tumbuh di kampung, antara lain pohon mangga,
rambutan, jambu, dan lain-lain.
Massa bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah dikelompokkan ke dalam blok-blok bangunan, yakni blok griya
tari, musik tradisional, teater boneka, dan teater orang. Blok-blok
bangunan tersebut dipisahkan oleh empat jalan yang mengarah pada
empat arah mata angin, yakni barat, selatan, timur, dan utara serta
disatukan oleh panggung terbuka di tengah-tengah sebagai pusatnya.
Desain blok-blok bangunan tersebut merupakan simbolisasi dari konsep
Pat Pajupat Lima Pancer, yakni empat mata angin yang disatukan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
143
pancer (pusat) di tengah-tengahnya. Dalam hal ini panggung terbuka
sebagai pusatnya karena panggung ini merupakan tempat pentas utama
dalam skala besar. Simbolisasi ini juga berhubungan dengan konsep
hidup orang Jawa yang menginginkan keseimbangan hidup melalui
prinsip pusat dan dualitas. Prinsip pusat dalam desain Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah diterapkan dengan menempatkan
panggung terbuka dan griya ageng sebagai pusat dari semua kegiatan.
Analisa Orientasi Massa Bangunan
Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
merupakan bangunan berarsitektur Jawa sehingga orientasi
bangunannya harus mengacu pada konsep konsep Jawa. Seperti yang
disimpulkan penulis dari pernyataan Prijotomo dalam Muhammad dan
Santosa (2008:51) bahwa manusia Jawa mengharapkan suatu
keseimbangan dalam hidupnya dengan pusat sebagai pengatur
lingkungan sekitar. Oleh karena itu, massa-massa bangunan Kompleks
Gambar 4.27. Tata Massa Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
144
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah harus memiliki pusat
keseimbangan sebagai penyatu orientasi.
Hasil Analisa Orientasi Massa Bangunan
Keseimbangan tata massa bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah disimbolkan dengan orientasi griya alit
menuju pusat, yakni griya ageng sebagai tempat latihan dan pentas.
Griya ageng berorientasi pada panggung terbuka sebagai pusat
kawasan. Panggung terbuka berorientasi menuju Main Entrance (ME).
4.5. Analisa Sistem Struktur dan Kontruksi
Tujuan
Analisa sistem struktur dan kontruksi bertujuan untuk menentukan
sistem struktur dan kontruksi yang mendukung berdirinya bangunan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Gambar 4.28. Orientasi Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
145
Dasar Pertimbangan
Dasar pertimbangan yang dipakai dalam analisa sistem struktur dan
kontruksi yakni beban yang diterima, konsep struktur kontruksi bangunan
kampung, dan konsep arsitektur Jawa.
Analisa
Di dalam ilmu bangunan dikenal istilah kaki (sub structure), badan
(mid structure), dan kepala bangunan (upper structure) sebagai penyusun
struktur bangunan. Kaki (sub structure) merupakan bagian paling bawah dari
suatu bangunan yang berfungsi mendukung seluruh beban bangunan dan
meneruskannya ke dalam tanah. Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah direncanakan tidak bertingkat sehingga alternatif
pondasi yang dapat digunakan adalah pondasi dangkal (shallow foundation).
Berdasarkan bentuknya pondasi dangkal dapat dibagi menjadi empat macam,
yakni sebagai berikut.
1) Pondasi menerus yang biasa dipakai pada kedalaman 80 cm – 120 cm dari
permukaan tanah asli.
2) Pondasi setempat yang biasa dipakai pada kedalaman 150 cm – 400 cm
dari permukaan tanah asli.
Gambar 4.29. Pondasi Menerus Sumber : Benny, 1996
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
146
3) Pondasi gabungan, yakni pondasi plat yang mendukung lebih dari satu
kolom. Pondasi ini dipakai bila luas tanah untuk bangunan sangat terbatas,
misalnya di kanan kiri lahan sudah padat bangunan.
4) Pondasi plat, yakni pondasi yang terbuat dari plat tebal dengan perkuatan
balok-balok beton bertulang yang kedap air. Pondasi ini dipasang di bawah
seluruh luas bangunan.
Gambar 4.32. Pondasi Plat Sumber : Benny, 1996
Gambar 4.31. Pondasi Gabungan Sumber : Benny, 1996
Gambar 4.30. Pondasi Setempat Sumber : Benny, 1996
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
147
Di dalam arsitektur Jawa dikenal pondasi umpak, yakni pondasi dari
batu yang tidak ditanam penuh di dalam tanah tetapi sekitar seperempat
bagiannya masih terlihat di atas tanah.
Badan (mid structure) merupakan bagian tengah dari suatu bangunan
berupa dinding yang menopang beban dari atap. Bangunan Jawa umumnya
dicirikan dengan penggunaan material kayu untuk tiang (saka) dan dinding.
Kepala bangunan (upper structure) merupakan bagian atas suatu
bangunan berupa atap. Di dalam bangunan Jawa keberadaan atap sangat
penting baik dari segi tampilan maupun filosofi.
Hasil Analisa
Pondasi yang sangat sesuai untuk griya ageng adalah pondasi menerus
untuk menopang dinding-dinding bangunan dan pondasi setempat (footplat)
untuk menopang seluruh beban bangunan bertingkat. Griya-griya alit cukup
menggunakan pondasi menerus di bawah dinding-dinding bangunan dan
pondasi umpak pada teras
Tiang-tiang penopang teras griya alit menggunakan material kayu.
Satu meter dinding dari lantai memakai material batu bata tanpa acian (batu
bata ekspos) sedangkan diatasnya berupa dinding bambu. Dinding-dinding
tersebut bukan merupakan struktur utama bangunan (struktur non bearing
wall)
Desain bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah menonjolkan bentuk atap masa kini (kontemporer) dengan
sambungan atap yang cukup rumit namun cukup kuat menerima beban
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
148
karena didukung oleh kontruksi atap kayu dan besaran kolom balok yang
ideal.
4.6. Analisa Utilitas
4.6.1. Analisa Sistem Pencahayaan dan Penghawaan
Tujuan
Analisa sistem pencahayaan dan penghawaan bertujuan untuk
memperoleh pencahayaan dan kondisi thermal yang mendukung fungsi
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Analisa sistem pencahayaan dan penghawaan dilakukan
berdasarkan pertimbangan kegiatan yang diwadahi, tuntutan kebutuhan,
dan teknologi yang paling sesuai.
Analisa
Kegiatan di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah berlangsung di dalam dan di luar ruangan pada waktu siang dan
malam hari. Oleh karena itu, sistem pencahayaannya dapat dibedakan
menjadi dua, yakni sistem pencahayaan alami dan buatan. Sistem
pencahayaan alami (natural lighting) berupa cahaya matahari yang
masuk melalui bukaan-bukaan pada dinding dan atap bangunan atau
melalui pantulan terhadap permukaan tanah di luar bangunan. Sistem
pencahayaan buatan (artificial lighting) berfungsi mendukung
pencahayaan dalam ruangan yang tidak terjangkau pencahayaan di
siang hari dan menciptakan kondisi penerangan dalam ruang sesuai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
149
dengan kebutuhan aktivitas. Sistem pencahayaan buatan berasal dari
cahaya lampu lampu listrik dan lampu minyak (teplok).
Berdasarkan unsur kimia penyusunnya, jenis lampu dapat
dibedakan menjadi lampu pijar, lampu fluoresen, lampu metal halida,
merkuri, dan sodium. Lampu pijar mempunyai efficacy (Q) yang rendah
sehingga beban listriknya tinggi. Namun, lampu pijar dapat
menonjolkan unsur dekoratif sehingga sering digunakan sebagai lampu
sorot. Lampu pijar memiliki banyak ragam antara lain lampu pijar
standar, lampu pijar halogen (MR), dan lampu dengan reflector yang
mempunyai rentang daya antara 5-500 watt.
Lampu sorot selain digunakan untuk eksternal (flood light) juga
banyak digunakan untuk kepentingan interior (spot light). Lampu sorot
dengan unsur halogen banyak digunakan karena berbentuk kecil, tidak
ada kerlip cahaya (flicker), usia pemakaiannya lebih lama, colour
rendering-nya tinggi, berwarna sejuk, dan memberi kesan mewah.
Lampu fluoresen (lampu TL/TLD, PL, dan S) mempunyai
efficacy tinggi sehingga beban listriknya rendah. Lampu ini memberi
suasana sejuk dan dapat memantulkan warna benda sesuai aslinya.
Penggunaan lampu TL lebih disukai dibandingkan dengan lampu pijar
karena menghasilkan 3-5 kali lumen per watt, berusia 7-20 kali usia
lampu pijar, tidak mudah panas, dapat beroperasi pada suhu rendah, dan
memiliki suhu maksimal 40 º C.
Lampu metal halida, merkuri, dan sodium cocok untuk
penerangan di luar bangunan. Lampu metal halida mempunyai daya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
150
antara 250-2000 watt, lampu merkuri mempunyai daya antara 50-1000
watt, lampu sodium tingkat tinggi mempunyai daya antara 70-2000 watt
dan lampu sodium tekanan rendah mempunyai daya antara 18-180 watt.
Jenis lampu ini berukuran cukup besar dan memiliki usia cukup lama,
yakni metal halida berusia 8000-10000 jam, sodium tekanan rendah
berusia 10000 jam, dan sodium tingkat tinggi berusia 12000 jam.
Sistem penghawaan bangunan ada dua, yakni sistem
penghawaan alami dan buatan. Sistem penghawaan alami (natural
thermal) adalah sistem penghawaan yang menggunakan udara alam
sebagai sumber penghawaan. Penghawaan alami bersifat permanen
karena udara yang dihasilkan oleh alam tidak akan habis penghawaan
alami dapat diperoleh melalui bukaan pintu, jendela, dan ventilasi udara
yang lain. Sistem Penghawaan buatan (artificial thermal) adalah sistem
penghawaan yang menggunakan udara buatan sebagai sumber
penghawaan. Penghawaan buatan bersifat sementara karena udara yang
dihasilkan tergantung adanya energi listrik yang ada.
Alat yang dapat digunakan untuk memperoleh penghawaan
buatan adalah air conditional (AC) dan kipas angin (fan). AC memiliki
beberapa keuntungan, yakni suhu, kelembaban, kecepatan, dan arah
udara mudah diatur. Selain itu kebersihan udara di dalam ruangan dapat
terjaga. Ada banyak tipe mesin AC, namun secara garis besar dapat
dibagi sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
151
1) AC Unit (Unit AC)
Tipe AC unit dapat dibedakan menjadi dua paket, yakni paket
tunggal/ jendela (windows type) dan paket pisah/ split (split type). Paket
tunggal/jendela (windows type) memiliki ciri-ciri seluruh bagian AC
berada dalam satu wadah. AC ini dipasang dengan cara meletakkan
mesin langsung menembus dinding. Tipe paket pisah dikenal sebagai
tipe split (split type). Sesuai dengan namanya, AC ini mempunyai dua
bagian terpisah yaitu unit dalam ruang (indoor unit) dan unit luar ruang
(outdoor unit). Unit luar ruang berisi kipas, kompresor, dan kondensor
untuk membuang panas sedangkan unit dalam ruang berisi evaporator
dan kipas untuk mengambil panas dari udara dalam ruangan. Tipe paket
pisah dapat berupa tipe split tunggal (single split type, satu unit luar
ruang melayani satu unit dalam ruang) dan tipe split ganda (multi split
type, satu unit luar ruang melayani beberapa unit dalam ruang).
Berdasarkan pemasangannya tipe paket pisah dapat dibedakan menjadi
tiga, yakni tipe langit-langit/dinding (ceiling/wall type) dengan indoor
unit dipasang di dinding bagian atas, tipe lantai (floor type) dengan
indoor unit diletakkan dilantai berbentuk seperti almari, dan tipe kaset
(cassete type) dengan indoor unit dipasang dilangit-langit menghadap
ke bawah.
2) AC terpusat (central ac)
AC Terpusat (Central AC) merupakan AC tipe besar yang
dikendalikan secara terpusat untuk melayani satu gedung besar, seperti
perhotelan dan perkantoran. AC central melibatkan sistem jaringan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
152
distribusi udara (ducting) untuk mengatur udara sejuk ke dalam ruang
dan mengambil kembali udara tersebut untuk diolah kembali. Lubang
tempat udara dari sistem AC yang masuk dalam ruangan disebut difuser
(diffuser) sedangkan lubang tempat udara kembali dari dalam ruangan
ke jaringan disebut gril (grill). Keuntungan dari AC terpusat yaitu
mempunyai tingkat kenyamanan yang lebih baik, karena tersedianya
ruangan khusus untuk menempatkan mesin AC.
Hasil Analisa
Berdasarkan analisa di atas diperoleh rekomendasi sistem
pencahayaan dan penghawaan untuk Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah sebagai berikut.
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
menggunakan pencahayaan alami (matahari) pada siang hari yang
masuk melalului bukaan-bukaan dan pencahayaan buatan (lampu) pada
malam hari. Pada malam hari ruang-ruang pentas di griya ageng
menggunakan lampu sorot halogen dan lampu pijar untuk menyinari
ruangan sekaligus memberi kesan dekoratif. Ruang-ruang griya alit
menggunakan lampu fluoresen (lampu TL/TLD, PL, dan S) karena
beban listriknya cukup rendah dan hemat. Sementara itu, penerangan di
luar bangunan menggunakan lampu metal halida, merkuri, dan sodium
cocok untuk penerangan di luar bangunan. Sewaktu pasokan listrik PLN
padam ruang-ruang pentas di griya ageng diterangi oleh cahaya lampu
dengan tenaga listrik dari genset sedangkan ruang-ruang griya alit dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
153
bangunan lainnya diterangi oleh cahaya lampu minyak (teplok) untuk
menambah kesederhanaan nuansa kampung.
Sistem penghawaan alami lebih diutamakan karena lebih hemat
dan bersahabat dengan lingkungan sekitar (penerapan konsep arsitektur
Jawa, yakni keselarasan antara lingkungan dalam dan luar bangunan).
Kawasan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah sengaja
ditanami pepohonan agar memberikan rasa sejuk dan teduh. Udara
sejuk yang dihasilkan dialirkan ke dalam griya-griya seni melalui
beberapa jalur, yakni:
1) Jendela yang didesain dengan dua daun dan dapat terbuka penuh
dimaksudkan untuk memaksimalkan masuknya udara dari luar
2) Celah-celah dinding bambu
3) Celah-celah anyaman bambu (gedeg) pada plafon
Sistem penghawaan buatan digunakan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah untuk memberi kenyamanan
udara pada ruang-ruang yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan
penghawaan alami. Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah menggunakan kipas angin untuk memberikan penghawaan
buatan karena dinilai lebih hemat dan ramah lingkungan. Jika ditinjau
dari sisi teknologi pemakaian kipas angin lebih mendukung nuansa
kampung yang ingin diciptakan daripada pemakaian AC.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
154
4.6.2. Analisa Sistem Air
Tujuan
Analisa sistem air bertujuan untuk memperoleh sistem air bersih
dan air kotor yang sesuai dengan fungsi bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Analisa sistem air dilakukan berdasarkan pertimbangan jumlah
air yang terpakai dan terbuang, potensi dan kendala lingkungan yang
ada, teknologi yang sesuai situasi dan kondisi lingkungan, serta kondisi
fisik lingkungan.
Analisa
Tapak/site Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
berada di lingkungan dengan potensi air yang cukup besar. Keberadaan
Sungai Bengawan Solo dan sungai kecil di sebelah selatan menambah
kandungan air tanah sehingga sangat cocok dibuatkan sumur bor untuk
memasok kebutuhan berhuni seniman yang cukup besar. Air-air dari
sumur bor dialirkan untuk kegiatan dapur, mencuci, dan MCK.
Kegiatan berhuni seniman menghasilkan air buangan (air kotor)
yang cukup banyak sehingga perlu penanganan yang tepat. Semua air
kotor dialirkan menuju selokan dan berakhir di sungai. Namun,
beberapa air buangan perlu perlakuan khusus sebelum masuk ke
selokan. Air buangan dapur perlu dialirkan ke bak penangkap lemak
untuk disaring sisa-sisa makanannya. Air tinja perlu dialirkan ke
septictank untuk diuraikan oleh bakteri. Air hujan diperlakukan dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
155
dua cara, yakni dialirkan dari atap menuju talang dan berakhir di
permukaan tanah melalui pipa-pipa vertikal dan dialirkan langsung dari
atap menuju permukaan tanah. Di antara air-air hujan yang jatuh ke
permukaan tanah tersebut sebagian meresap ke dalam tanah dan yang
lain mengalir ke selokan. Sumur peresapan dibuat sebagiai tempat
pembuangan akhir air kotor dari beberapa bangunan yang letaknya jauh
dari selokan dan sungai.
Hasil Analisa
Secara umum sistem air di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah dapat diilustrasikan melalui diagram di bawah
ini.
Diagram 4.15. Sistem Air Bersih dan Air Kotor Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber: Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
156
4.6.3. Analisa Sistem Penanganan Sampah
Tujuan
Analisa sistem penanganan sampah bertujuan untuk
memperoleh sistem penanganan sampah yang sesuai dengan fungsi
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Analisa sistem penanganan sampah dilakukan berdasarkan
pertimbangan jumlah sampah yang dihasilkan, jenis sampah yang
dihasilkan, polusi yang ditimbulkan, dan fasilitas lingkungan yang
menunjang.
Analisa
Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
mewadahi kegiatan berhuni para seniman sehingga kapasitas sampah
yang dihasilkan cukup banyak. Sampah-sampah ditampung sementara
dalam bak sampah sementara yang diletakkan di tempat yang tidak
mengganggu dan mudah diambil oleh petugas sampah. Beberapa hari
sekali sampah dari bak sementara di pungut, dikumpulkan, dan
diangkut menuju tempat pembuangan sampah di dalam kawasan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah. Sampah-sampah
organik dikeringkan kemudian dibakar sedangkan sampah anorganik
diangkut menuju tempat pembuangan akhir sampah Kota Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
157
Hasil Analisa
Secara umum sistem penanganan sampah di Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dapat diilustrasikan melalui
diagram di bawah ini.
4.6.4. Analisa Sistem Elektrikal
Tujuan
Analisa sistem elektrikal bertujuan untuk memperoleh sistem
elektrikal (listrik) yang sesuai dengan fungsi bangunan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Analisa sistem elektrikal dilakukan berdasarkan pertimbangan
sumber daya yang ada, jumlah yang dibutuhkan, dan peralatan
elektrikal yang digunakan.
Analisa
Penyediaan sumber listrik harus memperhatikan sumber daya
yang ada di lingkungan sekitar. PLN merupakan salah satu sumber
energi listrik yang telah tersedia di sekitar tapak/site dan dapat
Sampah organik
Sampah anorganik
Bak sampah
sementara
Bak sampah
sementara
Tempat pembuangan
sampah KSPTJT
Tempat pembuangan
sampah KSPTJT
Dibakar
Tempat pembuangan akhir Kota Surakarta
Diagram 4.16. Sistem Penanganan Sampah Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber: Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
158
digunakan sebagai sumber energi listrik Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah.
Peralatan elektrikal pada ruang pentas tidak hanya terdiri dari
lampu saja tetapi juga sound system. Oleh karena itu, pasokan listrik
harus tetap ada ketika listrik PLN padam agar kegiatan pentas tetap
berlangsung. Saat listrik PLN padam pencahayaan dan sound system di
ruang pentas memperoleh energi listrik dari genset sedangkan ruang-
ruang griya alit dan bangunan lainnya diterangi oleh cahaya lampu
minyak (teplok) untuk menambah kesederhanaan nuansa kampung.
Hasil Analisa
Sumber energi listrik Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah adalah PLN dan generator (genset). PLN memasok energi
listrik ke semua bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah. Sewaktu pasokan listrik PLN padam ruang-ruang pentas
griya ageng mendapat pasokan listrik dari genset untuk mendukung
pencahayaan dan sound system sedangkan ruang-ruang griya alit dan
bangunan lainnya diterangi oleh cahaya lampu minyak (teplok) untuk
menambah kesederhanaan nuansa kampung.
4.6.5. Analisa Sistem Penanggulangan Kebakaran
Tujuan
Analisa ini bertujuan untuk memperoleh sistem pencegahan dan
penanggulangan bahaya kebakaran yang sesuai dengan fungsi bangunan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
159
Dasar Pertimbangan
Analisa ini dilakukan berdasarkan pertimbangan jenis material
bangunan, dimensi bangunan, dan skala pelayanan.
Analisa
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah didesain
dengan material alami, yakni bambu dan kayu sehingga kemungkinan
untuk terbakar cukup besar. Oleh karena itu, perlu upaya pencegahan
bahaya kebakaran secara pasif dengan memperjauh jarak bangunan dan
penanggulangan kebakaran secara aktif dengan alat-alat pemadam,
seperti hydrant, springkler, fire estinguisher, dan lain-lain disesuaikan
dengan kondisi bangunan. Penggunaan hydrant lebih memungkinkan
daripada springkler dan fire estinguisher melihat desain bangunan
berdimensi kecil.
Hasil Analisa
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah terdiri
dari bangunan-bangunan berdimensi kecil dengan jarak antar bangunan
yang cukup jauh, yakni antara 4-5 m untuk masing-masing griya alit
sehingga sistem penanggulangan kebakaran yang paling tepat adalah
penyediaan hydrant di halaman griya ageng dan griya alit. Hydrant di
letakkan di halaman griya ageng yang memungkinkan menjangkau
seluruh sisi bangunan. Hydrant yang lain di pasang di halaman griya
alit yang memungkinkan menjangkau 4-5 griya alit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
160
4.6.6. Analisa Sistem Penangkal Petir
Tujuan
Analisa sistem penangkal petir bertujuan untuk memperoleh
sistem penangkal petir yang sesuai dengan fungsi bangunan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Dasar Pertimbangan
Analisa sistem penangkal petir dilakukan berdasarkan
pertimbangan ketinggian bangunan terhadap lingkungan sekitar, luas
dan ukuran bangunan, serta pemasangan penangkal petir tidak boleh
mengganggu fasad bangunan.
Analisa
Sebagian besar bangunan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah tidak bertingkat dengan ketinggian sekitar 6
meter kecuali griya ageng yang dibuat lebih tinggi, yakni sekitar 15
meter. Oleh karena itu, penangkal petir hanya perlu dipasang pada
bangunan balai. Sistem penangkal petir yang dapat digunakan sebagai
berikut.
1) Sistem Franklin, yakni sistem melindungi isi kerucut dimana jari-
jari dan alasnya sama tinggi kerucut. Sistem ini untuk bangunan
dengan luasan atap yang relatif luas dirasa kurang efektif dan efisien.
2) Sistem Faraday, yakni sistem yang menggunakan jaringan tiang-
tiang kecil tidak lebih dari 60 cm yang dipasang di atap. Sistem ini
lebih efektif dibanding sistem Franklin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
161
3) Sistem Thomas, yakni sistem yang menggunakan alat berbentuk
payung setinggi 50 cm yang dipasang diatas atap dan diisolasi agar
tidak mengalirkan listrik ke dalam bangunan.Sistem penangkal petir
electrostatic, yakni sistem kerja penangkal petir yang bekerja dengan
cara menambah muatan pada ujung finial/splitzer agar petir selalu
memilih ujung ini untuk disambar.
Hasil Analisa
Berdasarkan uraian sistem penangkal petir di atas didapat
rekomendasi sistem penangkal petir yang sesuai untuk bangunan griya
ageng yakni sistem Faraday karena sistem ini paling efektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
162
BAB 5
KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN
KOMPLEKS SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL JAWA TENGAH
DI SURAKARTA
Bab ini berisi konsep perencanaan dan perancangan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah (Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah) Di Surakarta, meliputi konsep kegiatan dan pelaku kegiatan, konsep
ruang, konsep tapak/site, konsep massa bangunan, konsep struktur dan kontruksi
bangunan, serta konsep utilitas bangunan.
5.1. Konsep Kegiatan dan Pelaku Kegiatan
Kegiatan yang diwadahi Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah dapat dibedakan menjadi empat, yakni sebagai berikut.
1) Kegiatan seni, yakni kegiatan yang berhubungan dengan seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah, meliputi:
- Latihan dan pentas seni tari, musik tradisional, teater boneka, dan teater
orang. Kegiatan latihan dan pentas dapat dilakukan oleh grup kesenian
yang sedang tinggal di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah maupun grup kesenian dari luar Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah.
- Menyimpan, mengoleksi, merawat, dan menjual perlengkapan seni tari,
seni musik tradisional, seni teater boneka, dan seni teater orang.
161
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
163
- Pertemuan dalam bentuk rapat, diskusi, atau sarasehan yang berkaitan
dengan seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah
2) Kegiatan berhuni, yakni kegiatan yang terjadi di lingkungan keluarga
seniman dimana seniman dapat tidur, masak, makan, ibadah, menerima
tamu, kumpul bersama, dan MCK. Pengelola dapat tinggal di Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah untuk mengelola, mengawasi,
dan menjaga kondisi lingkungan di dalam Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah. Wisatawan domestic maupun mancanegara
dapat bermalam/menginap untuk keperluan wisata budaya.
3) Kegiatan bermasyarakat, yakni kegiatan yang menuntut para seniman
berinteraksi satu sama lain dalam berbagai bentuk kegiatan, meliputi
kegiatan kumpul bersama, ronda, ibadah berjamaah, olahraga, dan
kegiatan seni.
4) Kegiatan pengelolaan, yakni kegiatan mengelola semua kegiatan yang
berlangsung di dalam Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
5) Kegiatan wisata, yakni kegiatan berkunjung wisatawan ke Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Berdasarkan keterampilan di bidang seni, pelaku kegiatan di
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu seniman dan bukan seniman. Seniman adalah orang yang
memiliki bakat di bidang seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dan
berada di dalam Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah untuk
berlatih atau mengadakan pentas. Bukan seniman adalah orang yang tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
164
memiliki bakat di bidang seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah dan
berada di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dengan
tujuan berwisata atau menyaksikan pentas.
Berdasarkan kaitannya dengan kegiatan berhuni, pelaku kegiatan di
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dapat dibedakan
menjadi dua, yakni sebagai berikut.
1) Penghuni, yakni seniman yang menghuni Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah selama melakukan kegiatan seni. Karakteristik
penghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah adalah
grup-grup kesenian dari berbagai daerah di Jawa Tengah yang ingin
melakukan kegiatan seni di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah. Para seniman dari suatu grup kesenian dapat tinggal di Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dengan membawa keluarganya
dalam waktu yang cukup lama tetapi tidak menetap. Selain seniman
pengelola juga dapat menghuni Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah.
2) Bukan penghuni, yakni orang yang hanya berkunjung untuk latihan,
pentas, menonton pentas, atau berwisata tetapi tidak tinggal di Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
Berdasarkan peran, pelaku kegiatan di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah dapat dibedakan menjadi enam, yakni sebagai
berikut.
1) Pelatih, yaitu orang yang melatih para murid.
2) Murid, yaitu orang yang menerima materi seni dari para pelatih.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
165
3) Pemain, yaitu orang yang mempertunjukan keterampilannya memainkan
seni pertunjukan tradisional Jawa Tengah kepada para penonton di atas
panggung.
4) Penonton, orang yang datang ke Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah dengan tujuan menyaksikan pementasan seni pertunjukan
tradisional Jawa Tengah.
5) Pengelola, yaitu orang yang mengelola dan bertanggung jawab atas semua
kegiatan yang berlangsung di dalam Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah.
6) Wisatawan, yaitu orang yang berkunjung ke Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah untuk tujuan wisata. Wisatawan dapat ikut
berlatih atau menginap sementara bersama para seniman.
5.2. Konsep Ruang
5.2.1. Kebutuhan dan Besaran Ruang
Kebutuhan dan besaran ruang Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah sebagai berikut
1) Kelompok ruang publik, terdiri dari:
a) Panggung terbuka
Jenis ruang
Luas Jumlah Luas x jumlah Volume
T. parkir -motor= 2 m2
-mobil=15 m2 26 mobil + 123 motor
390 m2 untuk mobil + 246 m2
untuk motor = 636 m2
-
T. penonton
300 m2 1 300 m2 -
R. ganti 1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Tabel 5.1. Kebutuhan dan Besaran Ruang Panggung Terbuka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
166
R. persiapan
60 m2 1 60 m2 -
Panggung 40 m2 1 40 m2 - R. musik pengiring
17 pengrawit + 1 set gamelan = 54 m2
1 54 m2 -
R. properti 50 m2 1 50 m2 150 m3 KM/WC 1,5 m2 -Untuk pemain:
2 pria + 2 wanita = 4 unit -Untuk penonton 2 pria + 2 wanita = 4 unit
12 m2 33 m3
Luas total = 1158 m2 Volume total = 399.5 m3
2) Kelompok ruang semi publik, terdiri dari:
a) Griya ageng tari
Kelompok ruang
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah
Volume
1 kelompok ruang seni
R. properti 14 m2 1 14 m2 38.5 m3 R. ganti 1,5 m2 2 pria + 2
wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Ruang latihan / pentas
88 m2
1 88 m2 354 m3
Ruang penonton
106 m2 1 106 m2 318 m3
Galeri tari 54 m2 1 54 m2 162 m3 R. sarasehan 54 m2 1 54 m2 162 m3 Luas total = 322 m2 x 1 kelompok ruang = 322 m2 Volume total = 1051 m3 x 1 kelompok ruang = 1051 m3
6 kelompok ruang berhuni (4 unit untuk seniman, 1 unit untuk pengelola, 1 unit untuk wisatawan)
Teras 4.5 m2 1 4.5 m2 12.375 m3
R. tamu 9 m2 1 9 m2 24.75 m3 R. keluarga 27 m2 1 27 m2 81 m3 R. tidur 9 m2 3 9 m2 24.75 m3 Dapur 7.5 m2 1 7.5 m2 22.5 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1.5 m2 1 1.5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur
4.5 m2 1 4.5 m2 -
Luas total = 75 m2 x 6 kelompok ruang = 450 m2 Volume total = 204.7m3 x 6 kelompok ruang = 1228.2 m3
1 kelompok ruang servis
T. parkir -Garasi untuk penghuni
15 m2 96 m2 untuk
4 1
60 m2
321 m2
162 m3
866.7 m3
Tabel 5.2. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng Tari
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
167
-T. parkir untuk pengunjung
motor + 225 m2 untuk mobil
KM/WC pengunjung dan pemain
1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Luas total = 387 m2 x 1 kelompok ruang= 387 m2 Volume total = 1045.2 m3 x 1 kelompok ruang = 1045.2 m3
Luas total griya ageng tari = = 1159 m2 Volume total griya ageng tari = 3324.4 m3
b) Griya ageng musik tradisional
Kelompok
ruang Jenis ruang Luas Jumlah Luas x
jumlah Volume
1 kelompok ruang seni
R. latihan / pentas
74 m2
1 74 m2 296 m3
R. penonton 106 m2 1 106 m2 318 m3 Galeri musik tradisional
54 m2 1 54 m2 162 m3
R. sarasehan 54 m2 1 54 m2 162 m3 Luas total = 288 m2 x 1 kelompok ruang = 288 m2 Volume total = 938 m3 x 1 kelompok ruang = 938 m3
6 kelompok ruang berhuni (4 unit untuk seniman, 1 unit untuk pengelola, 1 unit untuk wisatawan)
Teras 4.5 m2 1 4.5 m2 12.375m3
R. tamu 9 m2 1 9 m2 24.75 m3
R. keluarga 27 m2 1 27 m2 81 m3 R. tidur 9 m2 3 9 m2 24.75
m3 Dapur 7.5 m2 1 7.5 m2 22.5
m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1.5 m2 1 1.5 m2 4.125
m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25
m3 R. cuci jemur
4.5 m2 1 4.5 m2 -
Luas total = 75 m2 x 6 kelompok ruang = 450 m2 Volume total = 204.7m3 x 6 kelompok ruang = 1228.2 m3
1 kelompok ruang servis
T. parkir -Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
15 m2 96 m2 untuk motor+ 225 m2 untuk mobil
4 1
60 m2
321 m2
162 m3
866.7 m3
Tabel 5.3. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng Musik Tradisional
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
168
KM/WC pengunjung dan pemain
1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Luas total = 387 m2 x 1 kelompok ruang= 387 m2 Volume total = 1045.2 m3 x 1 kelompok ruang = 1045.2 m3
Luas total griya ageng tari = 1125 m2 Volume total griya ageng tari = 3211.4 m3
c) Griya ageng teater boneka
Kelompok
ruang Jenis ruang Luas Jumlah Luas x
jumlah Volum
e 1 kelompok ruang seni
R. latihan / pentas
72 m2
1 72 m2 288 m3
R. penonton 106 m2 1 106 m2 318 m3 Galeri teater boneka
54 m2 1 54 m2 162 m3
R. sarasehan 54 m2 1 54 m2 162 m3 Luas total = 286 m2 x 1 kelompok ruang = 286 m2 Volume total = 930 m3 x 1 kelompok ruang = 930 m3
6 kelompok ruang berhuni (4 unit untuk seniman, 1 unit untuk pengelola, 1 unit untuk wisatawan)
Teras 4.5 m2 1 4.5 m2 12.375 m3
R. tamu 9 m2 1 9 m2 24.75 m3
R. keluarga 27 m2 1 27 m2 81 m3 R. tidur 9 m2 3 9 m2 24.75
m3 Dapur 7.5 m2 1 7.5 m2 22.5 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1.5 m2 1 1.5 m2 4.125
m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur
4.5 m2 1 4.5 m2
Luas total = 75 m2 x 6 kelompok ruang = 450 m2 Volume total = 204.7m3 x 6 kelompok ruang = 1228.2 m3
1 kelompok ruang servis
T. parkir -Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
15 m2 96 m2 untuk motor+ 225 m2 untuk mobil
4 1
60 m2
321 m2
162 m3
866.7 m3
KM/WC pengunjung + pemain
1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Luas total = 387 m2 x 1 kelompok ruang= 387 m2 Volume total = 1045.2 m3 x 1 kelompok ruang = 1045.2 m3
Luas total griya ageng musik tradisional = 1123 m2 Volume total griya ageng musik tradisional = 3203.4 m3
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.4. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng Teater Boneka
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
169
d. Griya ageng teater orang
Kelompok
ruang Jenis ruang Luas Jumlah Luas x
jumlah Volum
e 1 kelompok ruang seni
R. properti 21 m2 1 21 m2 63m3 R. ganti 1,5 m2 2 pria + 2
wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
R. persiapan 60 m2
1 60 m2 180 m3
Panggung 40 m2
1 72 m2 288 m3
R. musik pengiring
48 m2 1 48 m2 16.8 m3
Ruang penonton
70 m2 1 70 m2 245 m3
Galeri tari 54 m2 1 54 m2 162 m3 R. sarasehan 54 m2 1 54 m2 162 m3 Luas total = 425 m2 x 1 kelompok ruang = 425 m2 Volume total = 1133.3 m3 x 1 kelompok ruang = 1133.3 m3
6 kelompok ruang berhuni (4 unit untuk seniman, 1 unit untuk pengelola, 1 unit untuk wisatawan)
Teras 6 m2 1 6 m2 16.5 m3 R. tamu 9 m2 1 9 m2 24.75
m3 R. keluarga 22.5 m2 4 22.5 m2 67.5 m3 R. tidur 9 m2 3 9 m2 24.75
m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1.5 m2 1 1.5 m2 4.125
m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur
4.5 m2 1 4.5 m2 -
Luas total = 70.5 m2 x 6 kelompok ruang = 423 m2 Volume total = 190.875 m3 x 6 kelompok ruang = 1145.25 m2
1 kelompok ruang servis
T. parkir -Garasi untuk penghuni -T. parkir untuk pengunjung
15 m2 60 m2 untuk motor + 210 m2 untuk mobil
4 1
60 m2
270 m2
180 m3 810 m3
KM/WC pengunjung dan pemain
1,5 m2 2 pria + 2 wanita = 4 unit
6 m2 16.5 m3
Luas total = 336 m2 x 1 kelompok ruang = 336 m2 Volume total = 1006.5 m3 x 1 kelompok ruang = 1006.5 m3
Luas total ruang griya ageng teater boneka = 1184 m2 Volume total ruang griya ageng teater boneka = 3285.05 m3
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.5. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Ageng Tari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
170
3) Kelompok ruang privat, terdiri dari:
a) Griya alit tari
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Garasi 15 m2 1 15 m2 41.25 m3 Teras 19 m2 1 19 m2 74.25 m3 R. tamu 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. keluarga 18 m2 1 18 m2 67.5 m3 R. tidur 9 m2 3 27 m2 81 m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1,5 m2 1 1,5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur 4,5 m2 1 4,5 m2 - Luas total = 112 m2 Volume total = 348.375 m3
b) Griya alit musik tradisional
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Garasi 15 m2 1 15 m2 41.25 m3 Teras 23 m2 1 23 m2 74.25 m3
R. tamu 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. keluarga 22,5 m2 1 22.5 m2 67.5 m3 R. tidur 9 m2 3 27 m2 81 m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1,5 m2 1 1,5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur 4,5 m2 1 4,5 m2 - Luas total = 120.5 m2 Volume total = 348.375 m3
c) Griya alit teater boneka
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Garasi 15 m2 1 15 m2 41.25 m3 Teras 27 m2 1 27 m2 74.25 m3 R. tamu 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. keluarga 22,5 m2 1 22.5 m2 67.5 m3 R. tidur 9 m2 3 27 m2 81 m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3
Tabel 5.8. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit Teater Boneka
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.7. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit Musik Tradisional
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.6. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit Tari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
171
R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1,5 m2 1 1,5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur 4,5 m2 1 4,5 m2 - Luas total = 124.5 m2 Volume total = 348.375 m3
d) Griya alit teater orang, merupakan griya (rumah) yang mewadahi
kegiatan berhuni para seniman teater orang
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Garasi 15 m2 1 15 m2 45 m3 Teras
27 m2 27 m2 74.25 m3
R. tamu 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. keluarga 22.5 m2 1 22.5 m2 67.5 m3 R. tidur 9 m2 3 27 m2 81 m3 Dapur 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. makan 9 m2 1 9 m2 27 m3 KM/WC 1,5 m2 1 1,5 m2 4.125 m3 Gudang 3 m2 1 3 m2 8.25 m3 R. cuci jemur 4,5 m2 1 4,5 m2 - Luas total = 124.5 m2 Volume total = 352.125 m3
4) Kelompok ruang servis
a) Mushola, merupakan tempat ibadah bagi seniman muslim
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Tempat wudhu
4,8 m2 1 pa + 1 pi = 2
9,6 m2 28.8 m3
R. sholat 60 m2 1 60 m2 180 m3 Gudang 3 m2 1 6 m2 18 m3 KM/WC 1,5 m2 1 pa + 1 pi
= 2 3 m2 9 m3
T. parkir 15 m2/mobil 2 m2/motor
4 mobil 12 motor
60 m2
24 m2
-
Luas total = 162.6 m2 Volume total = 235.8 m3
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.10. Kebutuhan dan Besaran Ruang Mushola
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.9. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Alit Teater Orang
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
172
b) Lapangan
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Lapangan 230 m2 1 230 m2 -
c) Gazebo
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Gazebo 4 m2 1 4 m2 10 m3
d) Angkringan
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x jumlah Volume Angkringan 10 m2 1 10 m2 25 m3
5) Kelompok ruang pengelola, terdiri dari:
a) Griya pengelola
Jenis ruang Luas Jumlah Luas x
jumlah Volume
R. kepala 9 m2 1 9 m2 27 m3 R. sekretaris 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. kepala tata usaha 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi urusan umum 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi urusan keuangan 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi urusan perlengkapan 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi informasi 6 m2 1 6 m2 18 m3 R. seksi pentas 6 m2 1 6 m2 18 m3 Pantry 6 m2 1 6 m2 18 m3 KM/WC 1,5 m2 1 pa + 1
pi = 2 1,5 m2 4.5 m3
Gudang 6 m2 1 3 m2 9 m3 T. parkir 15
m2/mobil 2 m2 / motor
7 12
105 m2
24 m2
- -
Luas total = 190.5 m2 Volume total = 184.5 m3
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.14. Kebutuhan dan Besaran Ruang Griya Pengelola
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.13. Kebutuhan dan Besaran Ruang Angkringan
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.12. Kebutuhan dan Besaran Ruang Gazebo
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.11. Kebutuhan dan Besaran Ruang Lapangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
173
Jumlah Hunian Di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah
1) Hunian Bagi Seniman tari = 27 unit hunian seniman + 1 unit
hunian wisatawan + 1 unit hunian pengelola = 29 unit dengan
perincian 6 unit termasuk dalam griya ageng tari sedangkan 23
dalam bentuk griya alit tari .
2) Hunian Bagi Seniman musik tradisional = 17 unit dengan perincian
6 unit termasuk dalam griya ageng musik tradisional sedangkan 11
dalam bentuk griya alit musik tradisional .
3) Hunian Bagi Seniman teater boneka = 16 unit dengan perincian 6
unit termasuk dalam griya ageng musik tradisional sedangkan 10
dalam bentuk griya alit teater boneka .
4) Hunian Bagi Seniman teater orang = 26 unit hunian seniman + 1
unit hunian wisatawan + 1 unit hunian pengelola = 28 unit dengan
perincian 6 unit termasuk dalam griya ageng musik tradisional
sedangkan 22 dalam bentuk griya alit teater orang.
5.2.2. Konsep Hubungan Ruang
Hubungan ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah dibedakan menjadi dua, yakni sebagai berikut.
a. Hubungan Antar Kelompok Ruang
1.3, 2.2, 3.3, 4.1, 5.2, 6.2
1.3, 2.2, 3.3, 4.2, 5.2, 6.2
Kelompok ruang publik
Kelompok ruang semi
publik
Diagram 5.1. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik Dengan Kelompok Ruang Semi Publik
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
174
1.1, 2.1, 3.2, 4.3, 5.2, 6.3
1.1, 2.1, 3.2, 4.2, 5.1, 6.3
Kelompok ruang semi
publik
Kelompok ruang servis
Diagram 5.6. Hubungan Antara Kelompok Ruang Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.1, 6.1
1.1, 2.1, 3.1, 4.1, 5.1, 6.1
Kelompok ruang semi
publik
Kelompok ruang privat
Diagram 5.5. Hubungan Antara Kelompok Ruang Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Privat
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
1.1, 1.4, 2.1, 3.3, 4.2, 5.2, 6.1
1.1, 2.1, 3.3, 4.2, 5.2, 6.1
Kelompok ruang publik
Kelompok ruang
pengelola
Diagram 5.4. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
1.4, 2.3, 3.3, 4.3, 5.2, 6.3
1.3, 1.4, 2.3, 3.3, 4.3, 5.2, 6.3
Kelompok ruang publik
Kelompok ruang servis
Diagram 5.3. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.3, 4.3, 5.2, 6.3
1.3, 2.1, 2.3, 3.3, 4.3, 5.2, 6.3
Kelompok ruang publik
Kelompok ruang privat
Diagram 5.2. Hubungan Antara Kelompok Ruang Publik Dengan Kelompok Ruang Privat
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
175
b. Hubungan Antar Ruang
- Hubungan Antar Ruang di Dalam Griya Ageng
1.1, 1.4, 2.3, 3.1, 4.1, 5.1, 6.1
1.1, 2.3, 3.1, 4.2, 5.1, 6.1
Kelompok ruang seni
Kelompok ruang berhuni
Diagram 5.11. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni Dengan Kelompok Ruang Berhuni
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.3, 4.2, 5.2, 6.3
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.1, 6.3
Kelompok ruang servis
Kelompok ruang
pengelola
Diagram 5.10. Hubungan Antara Kelompok Ruang Servis Dengan Kelompok Ruang Pengelola
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.1, 6.3
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.1, 6.3
Kelompok ruang privat
Kelompok ruang
pengelola
Diagram 5.9. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat Dengan Kelompok Ruang Pengelola
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.3, 4.3, 5.1, 6.1
1.1, 2.1, 3.1, 4.1, 5.1, 6.1
Kelompok ruang privat
Kelompok ruang servis
Diagram 5.8. Hubungan Antara Kelompok Ruang Privat Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.1, 4.1, 5.1, 6.3
1.1, 2.1, 3.1, 4.3, 5.1, 6.3
Kelompok ruang semi
publik
Kelompok ruang
pengelola
Diagram 5.7. Hubungan Antara Kelompok Ruang Semi Publik Dengan Kelompok Ruang Pengelola
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
176
Tanda Uraian pertalian/hubungan Kode Pergerakan Langsung
Tak langsung …… Jenis hubungan Fisik 1.1
Audio visual 1.2 Pendengaran (auditive) 1.3 Pandangan (visual) 1.4
Kelas hubungan/kelompok hubungan
Manusia dengan manusia 2.1 Peralatan dengan peralatan 2.2 Manusia dengan peralatan 2.3
Frekuensi hubungan Tetap, terus menerus (continue) 3.1 Berulang (repetitive) 3.2 Sekali – sekali / kadang - kadang 3.3 Jarang / langka 3.4
Frekuensi user Tinggi, padat 4.1 Menengah, sedang 4.2 Rendah 4.3
Ketentuan waktu Tetap (permanen) 5.1 Sementara (temporary) 5.2
Jarak Dekat 6.1 Sedang 6.2 Jauh 6.3
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
Tabel 5.15. Kode Pola Hubungan Antar Ruang
1.1, 2.1, 3.1, 4.1, 5.1, 6.2
1.1, 2.1, 3.1, 4.2, 5.1, 6.2
Kelompok ruang berhuni
Kelompok ruang sevis
Diagram 5.13. Hubungan Antara Kelompok Ruang Berhuni Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
1.1, 2.1, 3.4, 4.3, 5.2, 6.2
1.1, 2.1, 3.3, 4.3, 5.2, 6.2
Kelompok ruang seni
Kelompok ruang servis
Diagram 5.12. Hubungan Antara Kelompok Ruang Seni Dengan Kelompok Ruang Servis
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
177
- Hubungan Antar Ruang di Dalam Griya Alit
Keterangan :
Dekat
Jauh
R. tamu
R. keluarga R. tidur
R. dapur
R. makan
KM/WC
Gudang
R. cuci jemur
KM/WC
Diagram 5.14. Hubungan Antara Kelompok Ruang Di Dalam Griya Alit Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
Keterangan:
Tidak Penting (Non Essensial)
Saling mengisi
Penting (essensial)
Tidak diinginkan
Tidak dapat diterima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
178
5.2.3. Konsep Bentuk, Ekspresi, dan Tata Ruang
Konsep Bentuk Ruang
Ruang-ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah didesain sederhana dengan mengkombinasikan bentuk-bentuk
persegi sehingga tercipta suasana ruang yang unik, nyaman untuk
berkesenian, dan mendukung suasana kampung yang direncanakan.
Konsep Ekspresi Ruang
Ruang bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah dibuat sederhana dan menggunakan material alam, yakni lantai
berlapiskan bambu, dinding bambu, dan bukaan berbahan bambu.
Untuk memperkuat nuansa kampung, digunakan dinding bata tanpa
acian setinggi 1 meter dari lantai. Di atas dinding bata tertsebut berupa
dinding bambu utuh yang dirangkaian satu sama lain.
Penggunaan material dari lingkungan sektitar pada bangunan
dapat memberi keselarasan antara ruang di dalam rumah dengan
halaman dan lingkungan sekitar sehingga dapat meningkatkan citra
lingkungan masyarakat Jawa yang tenteram dan damai. Untuk
Gambar 5.1. Bentuk Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
179
memperkuat konsep arsitektur Jawa maka ruang-ruang di dalam
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah dibuat
teduh dengan atap dan plafon yang rendah agar terkesan bahwa
keberadaan atap sebagai elemen ‘penaung’ dapat akrab dengan
kehidupan penghuni.
Sebagai wadah kegiatan seni maka ruang-ruang latihan/pentas
dihias dengan elemen-elemen seni pertunjukan, seperti ornamen-
ornamen pada dinding, gantungan selendang tari, dan lainnya.
Konsep Tata Ruang
Prinsip keseimbangan diterapkan dalam desain tata ruang
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang
simetris dengan ruang kegiatan utama sebagai pusat dari semua ruang.
Gambar 5.2. Ekspresi Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
180
5.3. Konsep Tapak/Site
5.3.1. Lokasi Tapak/Site Terpilih
Lokasi tapak/site terpilih berada di daerah Sumber, Banjarsari,
Surakarta. Daerah ini merupakan salah satu daerah di Surakarta yang
masuk dalam SWP VII yang 90 % lahannya diperuntukkan bagi
perumahan/pemukiman sehingga sangat tepat digunakan untuk kegiatan
berhuni para seniman. Daerahnya berdekatan dengan salah satu titik
budaya di Surakarta, yakni Taman Balekambang yang di dalamnya
terdapat gedung kethoprak dan pernah sebagai tempat tinggal para
seniman kethoprak tobong. Di gedung inilah grup Srimulat lahir dan
pernah mengalami kejayaan. Keberadaan gedung kethoprak tersebut
akan mendukung bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah dari sisi pariwisata dan pelestarian budaya.
Daerah Sumber mudah dicapai dari segala arah. Jalan Kahuripan
Barat merupakan akses utama ke lokasi dari arah barat. Keberadaan
terminal Tirtonadi di sebelah timur mempermudah akses dari daerah
Gambar 5.3. Tata Ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
181
lain (terutama dari luar kota). Daerah ini mudah dicapai dari pusat kota
yang terletak sekitar 6 km di sebelah tenggara apalagi didukung oleh
tranportasi yang memadai, antara lain bus, taxi, dan angkutan kota.
Keberadaan terminal Tirtonadi di sebelah timur mempermudah akses
dari daerah lain (terutama dari luar kota).
Sebagaimana peruntukkan lahannya maka mayoritas bangunan
di daerah Sumber adalah hunian berupa perumahan dan perkampungan.
Beberapa lahan di daerah ini masih dimanfaatkan untuk kegiatan
bertani. Keberadaan sungai Bengawan Solo, sungai kecil, pepohonan,
dan persawahan merupakan potensi untuk memperkuat suasana
kampung di dalam kawasan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah yang direncanakan.
5.3.2. Tapak/Site Terpilih
Tapak/site terpilih berada di Kelurahan Sumber RT 04 RW 06,
Banjarsari, Surakarta dengan batas eksisting sebagai berikut
1) Sebelah utara: Jalan Kahuripan Utara dan persawahan
2) Sebelah timur: SMP Nur Hidayah dan perkampungan
3) Sebelah selatan: perkampungan
Gambar 5.4. Daerah Sumber Sumber: Google Earth, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
182
4) Sebelah barat: Perumahan Griya Purwantara, perkampungan, dan
Jalan Kahuripan Barat
Tapak/site terpilih memiliki potensi yang besar bagi berdirinya
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah, yakni sebagai
berikut.
1) Tapak/site merupakan lahan persawahan yang tanahnya masih subur
sehingga sangat cocok ditanami pepohonan-pepohonan yang biasa
tumbuh di kampung-kampung, seperti mangga, rambutan, bambu,
dan lain-lain.
Gambar 5.6. Kondisi Eksisting Site 1 (kiri) dan Site 2 (kanan) Berupa Persawahan Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
Gambar 5.5. Tapak/Site Terpilih Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
183
2) Tapak/site memiliki luas yang cukup, yakni 65690 m2 lebih luas dari
luas minimal yang diperlukan, yakni 58938 m2.
3) Tapak/site mudah dicapai dari jalan raya karena letaknya berada
sekitar 250 m dari Jalan Kahuripan Barat, yakni jalan besar yang
merupakan akses utama ke dalam site dan terhubung oleh Jalan
Kahuripan Utara yang berada tepat di sebelah utara tapak/site.
4) Lingkungan tapak/site adalah perkampungan dan perumahan
sehingga sangat mendukung bagi terciptanya suasana kampung pada
bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
yang direncanakan.
5) Tapak/site berada di lingkungan yang cukup tenang untuk kegiatan
seni dan kegiatan berhuni para seniman. pemukiman-pemukiman di
Gambar 5.8. Kondisi Perkampungan di Sebelah Timur Site Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
Gambar 5.7. Jalan Kahuripan Utara Terhubung Langsung Dengan Jalan Kahuripan Barat
Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
184
sebelah barat tapak/site menghalangi noise yang berasal dari suara
kendaraan bermotor di Jalan Kahuripan Barat.
6) Sistem utilitas di sekitar Tapak/site cukup memadai, meliputi listrik,
telepon, dan saluran irigasi. Saluran-saluran air bermuara di Sungai
Bengawan Solo yang berada sekitar 230 m di sebelah selatan.
Saluran irigasi sawah merupakan potensi untuk sanitasi air kotor
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah.
7) Tapak/site berdekatan dengan Gedung Kethoprak Balekambang di
seberang Sungai Bengawan Solo yang merupakan pendukung bagi
beroperasinya bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah dalam bidang pariwisata dan pelestarian budaya.
5.3.3. Pencapaian Tapak/Site
Main entrance (ME) berada di sisi Jalan Kahuripan Utara karena
lebih menguntungkan bagi operasional Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah. Side entrance (SE) ditentukan berada di
Gambar 5.10. Saluran Iringasi di Dalam Site Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
Gambar 5.9. Kondisi Lingkungan Site Yang Tenang Sumber: Hasil Survey Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
185
sekeliling samping dan belakang tapak/site dengan alasan bahwa nuansa
kampung akan lebih terasa jika memiliki akses masuk yang banyak
terutama side entrance (SE). Perletakan side entrance (SE) ini
dilakukan dengan membangun jalan di sekeliling bangunan Kompleks
Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang masih merupakan
lahan bangunan. Jalan-jalan pada sisi side entrance (SE) ini selain
terhubung oleh Jalan Kahuripan Utara juga terhubung dengan jalan-
jalan kampung di sebelah selatan tapak/site sehingga merupakan akses
sekunder terutama bagi warga kampung di sekitarnya yang ingin
menyaksikan pentas di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah.
5.3.4. Respon Terhadap Kebisingan (Noise) dan Angin
Berdasarkan analisa di atas dapat disimpulkan bahwa kebisingan
(noise) di dalam dapat diatasi dengan cara sebagai berikut.
1) Pembuatan penghalang (barier) berupa pohon bambu di sekeliling
site.
Gambar 5.11. Pencapaian Site Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
186
2) Perletakan ruang-ruang latihan atau pentas yang dikelilingi bangunan
lain (hunian).
3) Pemakain dinding bambu dua lapis yang disekat oleh daun padi di
antaranya sebagai peredam bunyi pada ruang parkir.
5.3.5. Pandangan (View) di Dalam Site
View dari dalam griya alit di arahkan menuju ke titik-titik
kegiatan utama di dalam site, yakni ke arah griya ageng sebagai pusat
orientasi. Selain itu, view dari ruang tidur, ruang keluarga, dan ruang
makan pada griya alit diarahkan menuju vegetasi yang ditanam di
sekitarnya untuk memperoleh kenyamanan visual bagi seniman dan
keselarasan ruang luar dan dalam yang menyatu dalam suasana
kampung yang alami.
Gambar 5.12. Respon Kebisingan dan Angin Pada Site Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
187
5.3.6. Zoning
Penempatan zona ruang Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah diilustrasikan melalui gambar di bawah ini.
Gambar 5.13. View Bangunan di Dalam Site Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
188
5.3.7. Sirkulasi di Dalam Tapak/Site
Pola sirkulasi di dalam tapak/site dibuat tegas dan majemuk
dalam bentuk jalan-jalan searah maupun dua arah. Jalan utama di dalam
tapak/site dibuat dengan lebar 8 meter sebagai jalan penghubung Main
Entrance (ME) dengan ruang-ruang publik (panggung terbuka)
sedangkan ruang-ruang lain dihubungkan dengan jalan yang lebih
sempit karena akses pengunjung lebih sedikit.
Gambar 5.14. Zoning Site Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
189
5.4. Konsep Massa Bangunan
5.4.1. Bentuk, Arah, Ekspresi, dan Tata Massa Bangunan
Bentuk Massa Bangunan
Ruang-ruang bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah didesain dengan perpaduan bentuk persegi sehingga
massa bangunan yang dihasilkan berbentuk perpaduan kubus dan balok
untuk struktur kaki dan badan. Atap bangunan merupakan perpaduan
atap panggang pe, pelana, limasan, dan tajug yang membentuk
tampilan massa bangunan Jawa yang kontemporer (kekinian).
Permainan proporsi atap yang lebih besar daripada badan dan kaki
bangunan menunjukkan bahwa keberadaan atap sebagai penaung
kegiatan sangat penting dan menjadi ciri khas ruang hidup bagi manusia
Jawa.
Gambar 5.15. Sirkulasi di Dalam Site Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
190
Atap-atap bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah terutama griya alit sebagai tempat berhuni seniman
didesain dengan variasi bentuk atap panggang pe dan kampung (atap
yang umum digunakan untuk rumah-rumah kampung Jawa) dengan
tujuan untuk memunculkan nuansa kampung. Selain itu, penggunaan
teras yang panjang menambah nuansa kampung pada bangunan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang
direncanakan. Atap limasan digunakan untuk memberi variasi pada
bangunan semi publik (griya ageng) sedangkan atap tajug hanya
digunakan untuk mushola karena pandangan manusia Jawa tentang atap
tajug yang terkesan sakral.
Penggunaaan tiang-tiang kayu (saka) dan umpak pada teras
bangunan griya alit memperkuat nuansa Jawa karena mencoba
memunculkan elemen tradisional dalam konsep arsitektur Jawa
kontemporer (kekinian).
Salah satu wujud kearifan manusia Jawa dalam memahami dan
berinteraksi dengan alam sebagai lingkungan makrokosmosnya
diwujudkan pada desain bangunan yang tanggap terhadap lingkungan,
antara lain:
1) Penggunaan atap yang teduh dan rendah sebagai respon terhadap
lingkungan Surakarta yang panas.
2) Kemiringan atap > 30 derajat merupakan dimaksudkan agar air hujan
yang jatuh mengenai atap dapat lebih cepat sampai permukaan tanah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
191
Ekspresi Massa Bangunan
Massa bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah diekspresikan dalam tampilan arsitektur Jawa masa kini
(kontemporer) dengan nuansa kampung yang ditunjukkan dengan
ukuran atap sebagai mahkota lebih besar daripada badan (dinding
bangunan) karena atap merupakan identitas arsitektur Jawa yang
memberi naungan terhadap ruang hidup di bawahnya (arsitektur Jawa
sebagai perwujudan arsitektur pernaungan (Pitana, 2010:138)).
Pemakaian material lokal seperti batu bata, kayu, dan bambu yang
mudah diperoleh di Surakarta dan sekitarnya merupakan wujud kearifan
manusia Jawa dalam merespon lingkungan apalagi material alam
tersebut sangat cocok untuk memberikan nuansa kampung.
Gambar 5.16. Bentuk Massa Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
192
Tata Massa Bangunan
Massa bangunan ditata acak namun masih terlihat jelas alur
sirkulasinya. Griya ageng merupakan griya yang terdiri dari beberapa
massa bangunan, yakni massa bangunan pentas (ruang komunal/ruang
sosial) yang menyatu dengan massa hunian seniman. Ruang-ruang
terbuka diciptakan antara bangunan dengan ditanami berbagai jenis
tanaman yang biasa tumbuh di kampung, antara lain pohon mangga,
rambutan, jambu, dan lain-lain.
Massa bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah dikelompokkan ke dalam blok-blok bangunan, yakni blok griya
tari, musik tradisional, teater boneka, dan teater orang. Blok-blok
bangunan tersebut dipisahkan oleh empat jalan yang mengarah pada
empat arah mata angin, yakni barat, selatan, timur, dan utara serta
disatukan oleh panggung terbuka di tengah-tengah sebagai pusatnya.
Desain blok-blok bangunan tersebut merupakan simbolisasi dari konsep
Gambar 5.17. Ekspresi Massa Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
193
Pat Pajupat Lima Pancer, yakni empat mata angin yang disatukan oleh
pancer (pusat) di tengah-tengahnya. Dalam hal ini panggung terbuka
sebagai pusatnya karena panggung ini merupakan tempat pentas utama
dalam skala besar. Simbolisasi ini juga berhubungan dengan konsep
hidup orang Jawa yang menginginkan keseimbangan hidup melalui
prinsip pusat dan dualitas. Prinsip pusat dalam desain Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah diterapkan dengan menempatkan
panggung terbuka dan griya ageng sebagai pusat dari semua kegiatan.
Orientasi Massa Bangunan
Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
merupakan bangunan berarsitektur Jawa sehingga orientasi
bangunannya mengacu pada konsep konsep Jawa. Keseimbangan tata
massa bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
disimbolkan dengan orientasi griya alit menuju pusat, yakni griya
ageng sebagai tempat latihan dan pentas. Griya ageng berorientasi pada
panggung terbuka sebagai pusat kawasan. Panggung terbuka
berorientasi menuju Main Entrance (ME).
Gambar 5.18. Tata Massa Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
194
5.5. Konsep Sistem Struktur dan Kontruksi
Pondasi yang sangat sesuai untuk griya ageng adalah pondasi menerus
untuk menopang dinding-dinding bangunan dan pondasi setempat (footplat)
untuk menopang seluruh beban bangunan bertingkat. Griya-griya alit cukup
menggunakan pondasi menerus di bawah dinding-dinding bangunan dan
pondasi umpak pada teras.
Tiang-tiang penopang teras griya alit menggunakan material kayu.
Sebagaimana telah dianalisa sebelumnya bahwa satu meter dinding dari lantai
memakai material batu bata tanpa acian (batu bata ekspos) sedangkan
diatasnya berupa dinding bambu. Dinding-dinding tersebut bukan merupakan
struktur utama bangunan (struktur non bearing wall).
Gambar 5.21. Pondasi Setempat Sumber : Benny, 1996
Gambar 5.20. Pondasi Menerus Sumber : Benny, 1996
Gambar 5.19. Orientasi Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber : Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
195
Desain bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah menonjolkan bentuk atap masa kini (kontemporer) dengan
sambungan atap yang cukup rumit namun cukup kuat menerima beban
karena didukung oleh kontruksi atap kayu dan besaran kolom balok yang
ideal.
5.6. Konsep Utilitas
5.6.1. Sistem Pencahayaan dan Penghawaan
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
menggunakan pencahayaan alami (matahari) pada siang hari yang
masuk melalui bukaan-bukaan dan pencahayaan buatan (lampu) pada
malam hari. Pada malam hari ruang-ruang pentas di griya ageng
menggunakan lampu sorot halogen dan lampu pijar untuk menyinari
ruangan sekaligus memberi kesan dekoratif. Ruang-ruang griya alit
menggunakan lampu fluoresen (lampu TL/TLD, PL, dan S) karena
beban listriknya cukup rendah dan hemat. Sementara itu, penerangan di
luar bangunan menggunakan lampu metal halida, merkuri, dan sodium
cocok untuk penerangan di luar bangunan. Sewaktu pasokan listrik PLN
padam ruang-ruang pentas di griya ageng diterangi oleh cahaya lampu
dengan tenaga listrik dari genset sedangkan ruang-ruang griya alit dan
bangunan lainnya diterangi oleh cahaya lampu minyak (teplok) untuk
menambah kesederhanaan nuansa kampung.
Sistem penghawaan alami lebih diutamakan karena lebih hemat
dan bersahabat dengan lingkungan sekitar (penerapan konsep arsitektur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
196
Jawa, yakni keselarasan antara lingkungan dalam dan luar bangunan).
Kawasan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah sengaja
ditanami pepohonan agar memberikan rasa sejuk dan teduh. Udara
sejuk yang dihasilkan dialirkan ke dalam griya-griya seni melalui
beberapa jalur, yakni:
1) Jendela yang didesain dengan dua daun dan dapat terbuka penuh
dimaksudkan untuk memaksimalkan masuknya udara dari luar.
2) Celah-celah dinding bambu.
3) Celah-celah anyaman bambu (gedeg) pada plafon.
Sistem penghawaan buatan digunakan Kompleks Seni
Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah untuk memberi kenyamanan
udara pada ruang-ruang yang tidak memungkinkan untuk mendapatkan
penghawaan alami. Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah menggunakan kipas angin untuk memberikan penghawaan
buatan karena dinilai lebih hemat dan ramah lingkungan. Jika ditinjau
dari sisi teknologi pemakaian kipas angin lebih mendukung nuansa
kampung yang ingin diciptakan daripada pemakaian AC.
5.6.2. Sistem Air
Kebutuhan air bersih di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah dipasok dari air sumur bor karena kandungan air tanah di
dalam tapak/site cukup besar.
Air buangan (air kotor) yang dihasilkan dari kegiatan berhuni
seniman cukup banyak sehingga perlu penanganan yang tepat. Semua
air kotor dialirkan menuju selokan dan berakhir di sungai. Namun,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
197
beberapa air buangan perlu perlakuan khusus sebelum masuk ke
selokan. Air buangan dapur perlu dialirkan ke bak penangkap lemak
untuk disaring sisa-sisa makanannya. Air tinja perlu dialirkan ke
septictank untuk diuraikan oleh bakteri. Air hujan diperlakukan dengan
dua cara, yakni dialirkan dari atap menuju talang dan berakhir di
permukaan tanah melalui pipa-pipa vertikal dan dialirkan langsung dari
atap menuju permukaan tanah. Di antara air-air hujan yang jatuh ke
permukaan tanah tersebut sebagian meresap ke dalam tanah dan yang
lain mengalir ke selokan. Sumur peresapan dibuat sebagiai tempat
pembuangan akhir air kotor dari beberapa bangunan yang letaknya jauh
dari selokan dan sungai.
Secara umum sistem air di Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah dapat diilustrasikan melalui diagram di bawah
ini.
Diagram 5.15. Sistem Air Bersih dan Air Kotor Bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
198
5.6.3. Sistem Penanganan Sampah
Sampah-sampah ditampung sementara dalam bak sampah
sementara yang diletakkan di tempat yang tidak mengganggu dan
mudah diambil oleh petugas sampah. Beberapa hari sekali sampah dari
bak sementara di pungut, dikumpulkan, dan diangkut menuju tempat
pembuangan sampah di dalam kawasan Kompleks Seni Pertunjukan
Tradisional Jawa Tengah. Sampah-sampah organik dikeringkan
kemudian dibakar sedangkan sampah anorganik diangkut menuju
tempat pembuangan akhir sampah Kota Surakarta. Secara umum sistem
penanganan sampah di Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa
Tengah dapat diilustrasikan melalui diagram di bawah ini.
5.6.4. Sistem Elektrikal
Sumber energi listrik Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah adalah PLN dan generator (genset). PLN memasok energi
listrik ke semua bangunan Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional
Jawa Tengah. Sewaktu pasokan listrik PLN padam ruang-ruang pentas
griya ageng mendapat pasokan listrik dari genset untuk mendukung
Sampah organik
Sampah anorganik
Bak sampah
sementara
Bak sampah
sementara
Tempat pembuangan
sampah KSPTJT
Tempat pembuangan
sampah KSPTJT
Dibakar
Tempat pembuangan
akhir kota Surakarta
Diagram 5.16. Sistem Penanganan Sampah Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah
Sumber: Hasil Analisa Penulis, 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
199
pencahayaan dan sound system sedangkan ruang-ruang griya alit dan
bangunan lainnya diterangi oleh cahaya lampu minyak (teplok) untuk
menambah kesederhanaan nuansa kampung.
5.6.5. Sistem Penanggulangan Kebakaran
Sistem penanggulangan kebakaran yang paling tepat untuk
Kompleks Seni Pertunjukan Tradisional Jawa Tengah yang terdiri dari
bangunan-bangunan berdimensi kecil dengan jarak antar bangunan
yang cukup jauh, yakni antara 4-5 m adalah penyediaan hydrant di
halaman griya ageng dan griya alit. Hydrant di letakkan di halaman
griya ageng yang memungkinkan menjangkau seluruh sisi bangunan.
Hydrant yang lain di pasang di halaman griya alit yang memungkinkan
menjangkau 4-5 griya alit.
5.6.6. Sistem Penangkal Petir
Penangkal petir hanya perlu dipasang pada bangunan griya
ageng dengan sistem Faraday, yakni sistem yang menggunakan
jaringan tiang- tiang kecil tidak lebih dari 60 cm yang dipasang di atap.
Sistem ini lebih efektif dibanding sistem lainnya.