Mengenal Tradisi Pertunjukan Wayang

101
1 HARRY D. FAUZI MENGENAL TRADISI PERTUNJUKAN WAYANG Bahan Apresiasi bagi yang Ingin Mengenal Tradisi Wayang

Transcript of Mengenal Tradisi Pertunjukan Wayang

1

HARRY D. FAUZI

MENGENAL TRADISI PERTUNJUKAN

WAYANG

Bahan Apresiasi bagi yang Ingin Mengenal Tradisi Wayang

2

PENGANTAR

Wayang sebagai salah satu hasil budaya asli bangsa Indonesia

hampir tidak dikenali lagi oleh generasi muda masa kini. Gencarnya

hiburan yang bersifat global melalui berbagai media elektronik seolah

menyisihkan wayang dari pengamatan masyarakat. Perkembangan

teknologi informasi dan komunikasi yang melesat telah memberikan

banyak pilihan kepada masyarakat dalam memilih dan menentukan jenis

hiburan yang akan dinikmatinya.

Akhir-akhir ini memang ada usaha mengangkat kembali kesenian

wayang, baik wayang kulit, wayang golek, maupun wayang orang. Berbagai

media dan kesempatan mencoba menyajikan hiburan ini dengan berbagai

kepentingan. Ini merupakan langkah yang sangat baik dalam upaya

melestarikan kesenian wayang. Di sisi lain, ada pula usaha pendekatan

yang dilakukan oleh para pelaku seni wayang dengan mengemas

pertunjukan wayang lebih menarik. Tujuannya sama, agar masyarakat

dapat menikmati kembali wayang seperti pada masa kejayaannya dulu.

Salah satu upaya yang dilakukan dalam memperkenalkan wayang

adalah melalui jalur pendidikan. Hingga saat ini masih sangat sedikit

buku-buku bacaan mengenai seni tradisional, termasuk wayang, yang ada

di perpustakaan-perustakaan sekolah. Padahal, kita sadar bahwa

lingkungan pendidikan merupakan salah satu jalan yang paling efektif

untuk memperkenalkan kesenian tradisional. Usia siswa SLTP dan SLTA

masih diliputi rasa keingintahuan yang tinggi serta mudah memberikan

apresiasi terhadap hal-hal yang dipahaminya.

Penulisan buku ini merupakan salah satu upaya untuk

mendekatkan kesenian wayang kepada generasi muda. Di dalam buku ini

disajikan berbagai aspek mengenai wayang sebagai salah satu bentuk

kesenian tradisional Indonesia. Diawali dengan pengertian-pengertian

3

dasar, sejarah pertumbuhan wayang, jenis pertunjukan wayang, sumber

cerita wayang, hingga struktur pementasan wayang. Pembahasan dalam

buku ini diupayakan lebih ringkas dan sederhana agar mudah dipahami,

serta mampu merangsang para siswa untuk mengetahui lebih lanjut

dengan mencari dan menemukan sumber-sumber lainnya.

Pembahasan wayang dalam buku ini masih bersifat umum karena

ingin mencakup pemahaman siswa tentang wayang golek, wayang kulit,

dan wayang orang. Pada kenyataannya, perkembangan masing-masing

jenis pertunjukan wayang tersebut memiliki kekhasan tersendiri,

termasuk peristilahan yang digunakan, sesuai dengan lingkungan

daerahnya. Oleh karena itu, ilustrasi yang digunakan dalam buku ini tidak

mengacu kepada salah satu jenis pertunjukan wayang tersebut. Sebagai

penjelasan, ilustrasi disajikan dari berbagai bentuk versi wayang. Ada yang

menggunakan versi wayang kulit, wayang golek, wayang orang, ilustrasi

komik, dan sebagainya.

Akhirnya, mudah-mudahan isi buku ini dapat memberikan manfaat

bagi peningkatan apresiasi siswa terhadap kesenian wayang. Agar jenis

kesenian wayang ini tidak semakin terpinggirkan dan kalah oleh hiburan-

hiburan yang berasal dari luar negeri.

Semoga.

Penulis

4

DAFTAR ISI

1. Pendahuluan

2. Jenis Pertunjukan Wayang

3. Sumber Cerita dalam Pertunjukan Wayang

4. Tokoh Panakawan atau Punakawan

5. Karakterisasi dalam Wayang

6. Struktur Lakon dalam Pertunjukan Wayang

7. Struktur Pementasan Wayang

8. Daftar Pustaka

5

PENDAHULUAN

Pengertian Wayang

Wayang diyakini sudah ada sejak zaman dahulu, yaitu pada masa

prasejarah (sekitar 1500 tahun SM). Masyarakat Indonesia pada masa itu

memeluk kepercayaan animisme berupa pemujaan roh nenek moyang

yang disebut hyang atau dahyang, yang diwujudkan dalam bentuk arca

atau gambar.

Pada awalnya, beberapa orang ahli wayang menyatakan bahwa

wayang berasal dari India. Hal ini didasarkan kepada kenyataan tentang

sumber-sumber cerita wayang, seperti epos Mahabharata dan

Ramayana, datang dari India. Akan tetapi, tidak ada bukti-bukti yang

menguatkan dugaan kesenian wayang berasal dari negeri tersebut. Setelah

dilakukan penelitian lebih jauh, para ahli berkesimpulan bahwa wayang

adalah kreasi asli orang Indonesia karena tidak ada pertunjukan yang

sama ditemukan dalam budaya lain.

Ada beberapa definisi berkaitan dengan pengertian wayang. Tiga di

antaranya adalah sebagai berikut.

1. Perkataan wayang berasal dari bahasa Jawa krama ngoko (bahasa

Jawa halus dan kasar) yang berarti perwajahan yang terdiri dari

barang dan lain sebagainya, yang terkena cahaya atau penerangan

(Ismunandar, 1988).

2. Wayang terbuat dari kulit dan menceritakan peranan orang Jawa

zaman dahulu. Disebut wayang karena dapat dilihat bayangannya

pada kelir (layar), menggambarkan orang zaman dahulu yang

terbayang dalam angan-angan (Mertosedono, 1990).

3. Wayang adalah orang-orangan yang terbuat dari kulit atau dari

kayu yang diibaratkan menjadi tokoh-tokoh dari cerita

6

Mahabharata yang membentuk menjadi pementasan sandiwara

boneka (Kamus Umum Bahasa Sunda).

Secara harfiah wayang diartikan sebagai bayangan. Akan tetapi,

sesuai dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman, pengertian

wayang itu berubah, sehingga kini wayang dapat diartikan sebagai

pertunjukan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris.

Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung yang

melibatkan sutradara sebagai pemain. Orang yang menjadi sutradara

dalam wayang golek disebut dalang.

Asal-usul Wayang

Sangat sulit untuk meruntut perkembangan wayang sejak zaman

prasejarah karena hampir tidak ada catatan yang dapat menunjukkan

perkembangannya. Akan tetapi, para ahli merasa yakin bahwa pada

awalnya, wayang adalah bagian dari kegiatan religi animisme dalam

menyembah ‘hyang’. Kegiatan penyembahan ’hyang’ ini dilakukan antara

lain di saat-saat panenan atau menanam padi dalam bentuk upacara

ruwatan, tingkeban, ataupun ‘merti desa’ agar panen berhasil atau agar

desa terhindar dari segala malapetaka.

Pada sekitar tahun 898 – 910 M, sesungguhnya wayang sudah

menjadi wayang purwa, tetapi masih tetap ditujukan untuk menyembah

para sanghyang bagaimana yang tertulis dalam Prasasti Balitung (tahun

907 Masehi) yang berbunyi: ”si galigi mawayang buat hyang, macarita

bhimaya kumara” (terjemahan bebasnya kira-kira adalah ”menggelar

wayang untuk para hyang menceritakan tentang Bima sang Kumara”).

Prasasti Balitung yang berupa lempengan tembaga dari Jawa

Tengah diduga berasal dari abad kesepuluh. Hal ini menunjukkan bukti

bahwa episode-episode yang terdapat dalam Mahabharata dan Ramayana

telah diperdengarkan melalui lantunan lagu pada peristiwa-peristiwa yang

memiliki sifat ritual. Bhimaya Kumara mungkin sebuah cerita yang

berhubungan dengan Bima. Cerita ini boleh jadi telah dipertunjukan

7

sebagai sebuah teater bayangan yang sekarang kita kenal dengan istilah

wayang purwa.

Pada jaman kerajaan Mataram Hindu ini, kitab epos Ramayana dari

India berhasil dituliskan ke dalam bahasa Jawa Kuna (Kawi) pada masa

raja Dharmawangsa, yang berkuasa pada tahun 996 – 1042 M.

Selanjutnya, kitab Mahabharata yang berbahasa Sansekerta dan terdiri

atas delapan belas parwa dapat dirakit menjadi sembilan parwa dalam

bahasa Jawa Kuna. Kemudian, pada masa kekuasaan Raja Airlangga,

yakni sekitar abad kesebelas, kisah Arjuna Wiwaha pun berhasil pula

disusun oleh Mpu Kanwa. Pada jaman kerajaan Kediri dan Raja Jayabaya,

Mpu Sedah pun menyusun serat Bharatayuda yang kemudian diselesaikan

oleh Mpu Panuluh. Tak puas dengan itu saja, Mpu Panuluh lalu menyusun

Serat Hariwangsa dan kemudian Serat Gatutkacasraya.

Menurut Serat Centhini, Sang Jayabaya kemudian memerintahkan

untuk menuliskan karya-karya Mpu Sedah, Mpu Panuluh, dan Mpu

Kanwa tersebut ke atas rontal (lembaran-lembaran daun lontar yang

disusun seperti kerai dan disatukan dengan tali).

Pada zaman awal kerajaan Majapahit, wayang digambar di atas

kertas jawi dan sudah dilengkapi dengan berbagai hiasan pakaian. Karya

ini kemudian dikenal sebagai bentuk wayang beber. Masa-masa awal

abad kesepuluh ini bisa kita sebut sebagai periode globalisasi wayang

tahap pertama di tanah Jawa. Pada periode ini kepercayaan animisme

mulai digeser oleh pengaruh agama Hindu yang menempatkan tokoh

‘dewa’ berada di atas tokoh ‘hyang’. Selain itu, pada periode sekularisasi

wayang tahap pertama ini, dikembangkan berbagai mitos yang

mengagungkan para raja sebagai keturunan langsung para dewa. Periode

globalisasi wayang tahap pertama ini berlangsung sekitar abad kesepuluh

hingga abad kedua belas, bahkan hingga abad kelima belas.

8

Gambar 1. Bentuk pementasan wayang beber. Perhatikan bermacam sesaji dihidangkan di depan dalang, http://yanabeing.blogspot.com/2011/04/wayang-beber.html

Pada abad kelima belas, terjadi lagi proses globalisasi wayang tahap

kedua. Pada periode ini pengaruh budaya Islam mulai meresap masuk ke

dalam seni wayang. Pada saat berdirinya kerajaan Demak (1500 – 1550

M), ternyata banyak kaidah wayang yang berbenturan dengan ajaran

Islam. Raden Patah memerintahkan mengubah beberapa aturan wayang

yang segera dilaksanakan oleh para wali secara gotong-royong. Wayang

beber, karya Prabangkara (yang telah ditulis pada jaman Majapahit)

segera direka ulang, dibuat dan digambar kembali di atas permukaan kulit

kerbau yang ditipiskan. Di wilayah kerajaan Demak masa itu, sapi tidak

boleh dipotong untuk menghormati penganut Hindu yang masih banyak.

Gambar dibuat menyamping, tangan dipanjangkan, digapit dengan

penguat tanduk kerbau. Sunan Bonang bertugas menyusun struktur

dramatika cerita wayang. Sunan Prawata menambahkan tokoh raksasa

dan kera, serta menambahkan beberapa bentuk cerita sempalan. Raden

Patah menambahkan tokoh gajah dan wayang prampogan. Sunan Kalijaga

mengubah sarana pertunjukan yang awalnya dari kayu kini terdiri dari

9

batang pisang, blencong, kotak wayang,

dan gunungan. Pada masa inilah

perkembangan wayang kulit dimulai.

Beberapa pembaharuan dan perbaikan

dilakukan secara bertahap oleh Sunan

Kudus dan Sultan Trenggana. Bahkan,

Sunan Bonang menyusun cerita yang

bersumber dari kerajaan Majapahit, seperti

kisah Damarwulan, serta dipentaskan

dalam bentuk wayang untuk konsumsi

rakyat jelata.

Pada masa inilah Sunan Kudus mulai

memperkenalkan bentuk wayang golek

untuk pertama kalinya. Penciptaan

pertunjukan wayang golek ini dimaksudkan

untuk mengatasi kendala pertunjukan wayang (kulit) yang biasanya hanya

dapat ditampilkan pada malam hari. Dengan adanya wayang golek, maka

pertunjukan wayang dapat ditampilkan pada siang hari karena tidak

memerlukan layar (kelir) serta pencahayaan. Cerita-cerita yang

ditampilkan pada pertunjukan wayang golek tidak jauh berbeda dengan

pertunjukan wayang kulit serta wayang-wayang lainnya, yakni bersumber

dari epos Mahabharata, Ramayana, Babad Lokapala, kisah-kisah raja

Majapahit, dan raja-raja sebelumnya.

Dengan demikian, mulailah periode pertumbuhan wayang golek

purwa di tanah Jawa, yang kemudian lebih berkembang di daerah Jawa

Barat, khususnya wilayah Priangan.

Bentuk Wayang

Pada awal perkembangannya, wayang memiliki bentuk

sebagaimana wujud manusia sempurna. Namun, setelah kedatangan

agama Islam, wayang berubah bentuk sesuai dengan aturan agama Islam.

Gambar 2. Wayang kulit yang sekarang dikenal merupakan hasil perubahan bentuk yang dilakukan

oleh para wali. (Sumber: http://www.jelajahunik.us/2012/02/mengenal-jenis-jenis-wayang-

di.html)

10

Hal ini dilakukan karena Islam, melarang pemeluknya menciptakan

sesuatu yang sangat mirip dengan manusia. Itulah sebabnya maka bentuk

wayang berubah menjadi bentuk mahluk berbeda dari manusia tetapi

masih mirip dengan manusia. Wajah dan tubuhnya dibuat sangat

langsing, sedangkan tangannya tidak menampilkan ukuran perbandingan

yang baik dengan bagian tubuh yang lain (biasanya tangannya dibuat lebih

panjang dari ukuran yang seharusnya).

Meskipun demikian, setiap boneka mewakili tokoh khusus.

Penggambaran tokoh pada wayang golek ditandai dengan bentuk wajah,

warna muka, serta pakaian yang dikenakan oleh masing-masing wayang.

Akan tetapi, boneka tidak dapat menggambarkan perasaan tokoh, maka

peran dalang dalam memainkan boneka, dalam mengemukakan ceritera

dan dalam berkomunikasi dengan penonton sangat penting. Perasaan para

tokoh juga dapat diperlihatkan melalui lagu yang ditembangkan para

pesinden (penyanyi) dan musik yang dimainkan para nayaga (pemain

musik), sedangkan karakter dasar dilambangkan melalui warna wajah

yang beraneka rupa. Dalam bahasa Sunda, ada ungkapan yang berasal dari

kepercayaan agama Islam, dan menyatakan “Wayang sakotak, dalangna

ngan hiji”. Ungkapan ini dapat diartikan: ”wayangnya sekotak, hanya

memerlukan seorang dalang” yang berarti bahwa begitu banyak manusia

di dunia hanya memerlukan satu Tuhan.

Wayang Purwa

Istilah wayang purwa mengacu kepada cerita wayang yang berakar

pada epos Mahabharata dan Ramayana, sehingga semua pertunjukan

wayang kulit maupun wayang golek yang mengambil cerita dari kedua

epos tersebut dinamakan sebagai wayang kulit purwa dan wayang golek

purwa. Kedua cerita tersebut merasal dari India yang masing-masing

ditulis oleh Vyasa (Mahabharata) dan Valmiki (Ramayana). Peristilahan

wayang purwa ini untuk membedakan jenis wayang ini dengan wayang-

wayang lainnya.

11

Dalam tradisi wayang purwa di Indonesia, kedua cerita yang ditulis

oleh dua pengarang berbeda itu diramu menjadi satu dan dihubungkan

satu sama lain. Kedua cerita tersebut digabungkan seolah-olah terjalin

dalam urutan waktu. Kisah Ramayana terlahir lebih dahulu, yang

kemudian diakhiri dengan kisah Mahabharata. Di antara kedua cerita

besar tersebut, kemudian disisipkan berbagai cerita rekaan yang dapat

menghubungkan kedua epos tersebut.

Awal Perkembangan Wayang Golek

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, wayang merupakan

tradisi kuno, termasuk pertunjukan wayang kulit. Dahulu pertunjukan

wayang kulit hanya dapat dilakukan pada malam hari, dengan memakai

cahaya blencong (sejenis penerangan khusus yang menggunakan minyak

tanah) serta penggunaan layar (kelir). Waktu pertunjukan wayang pada

malam hari ini tentu saja membatasi jumlah penonton. Artinya,

masyarakat yang berusaha menonton pertunjukan wayang kulit pada

malam hari sangat terbatas. Hanya orang-orang tertentu saja yang mau

dengan sengaja menyaksikan pertunjukan pada waktu malam hari.

Gambar 3. Bentuk pementasan wayang kulit yang menggantungkan pencahayaan pada blencong (tergantung di bagian tengah pentas mengarah ke permukaan kelir atau layar).

Pada layar inilah pada umumnya warga masyarakat menghibur hatinya setelah penat bekerja sepekan. (Sumber: http://dabgenthong.wordpress.com/2011/01/14/wayang-

kulit-tontonan-dan-tuntunan-hidup/)

12

Sebagai sarana pendidikan kepada masyarakat, pertunjukan pada

malam hari tentu kurang mencapai sasaran. Apa lagi, pada saat itu

pertunjukan wayang kulit digunakan sebagai salah satu sarana da’wah

Islam. Oleh karena itu, Sunan Kudus pada tahun 1583 mulai

memperkenalkan boneka kayu sebagai alat pertunjukkan, dengan tujuan

agar boneka ini dapat dimainkan pada siang hari.

Pada mulanya, yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera

panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek

ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati pada

tahun 1540-1650). Di daerah Cirebon disebut sebagai wayang golek

papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman

Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita

yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang

dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Wayang

golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa)

baru lahir pada sekitar tahun 1840-an.

Gambar 4. Wayang golek papak atau wayang cepak yang berkembang di daerah Cirebon merupakan cikal bakal perkembangan wayang golek gaya Priangan yang dikenal dewasa

ini. Tokoh di atas merupakan salah satu karakter yang dimainkan dalam pertunjukan wayang cepak. (Sumber: http://wayangpabu.files.wordpress.com/)

13

Menurut C.M Pleyte, masyarakat di Jawa Barat mulai mengenal

wayang pada sekitar tahun 1455 Saka atau sekitar tahun 1533 Masehi

sesuai dengan yang tertera dalam Prasasti Batutulis. Naskah Ceritera

Parahyangan yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta pada pertengahan

abad ke-16 juga disebutkan berulang-ulang kata-kata Sang Pandawa Ring

/ Kuningan. Hal ini menunjukkan bahwa benar masyarakat Jawa Barat

telah mengenal wayang sejak awal abad ke-16.

Pada waktu kabupaten-kabupaten di Jawa Barat ada di bawah

pemerintahan Mataram, yakni pada masa pemerintahan Sultan Agung

(1601-1635), jumlah masyarakat penggemar seni pewayangan lebih

meningkat lagi sehingga mampu meningkatkan penyebaran wayang di

daerah Priangan. Di sisi lain, banyaknya kaum bangsawan Sunda yang

datang ke Mataram untuk mempelajari bahasa Jawa untuk kepentingan

pemerintahan, membantu pula penyebaran dan perkembangan seni

wayang. Kebebasan penggunaan bahasa dalam pertunjukan wayang

menambah pula petumbuhan wayang golek

sehingga menjangkau hampir seluruh

wilayah Jawa Barat.

Dr. Th. Pigeaud, seorang ahli

sejarah, menyebutkan bahwa salah seorang

bupati Sumedang mendapat gagasan untuk

membuat wayang golek yang bentuknya

meniru wayang kulit seperti dalam cerita

Ramayana dan Mahabharata yang

berkembang di Jawa Tengah. Perubahan

bentuk wayang kulit menjadi golek ini

berlangsung secara berangsur-angsur. Hal

itu terjadi pada sekitar abad XVIII – XIX.

Penemuan ini diperkuat dengan adanya

berita, bahwa pada abad ke-18, tepatnya

Gambar 5. Bentuk wayang golek gaya Priangan yang dikenal dewasa ini.

(Sumber: http://www.kaskus.co.id/showthread.ph

p?p=588909727)

14

sekitar tahun 1794-1829, Dalem Bupati Bandung atau Dalem Wiranata

Koesoemah III (disebut juga sebagai Dalem Karanganyar),

menugaskan Ki Darman, seorang juru wayang kulit asal Tegal yang

bertempat tinggal di Cibiru (Ujungberung, Bandung), untuk membuat

bentuk wayang golek purwa. Bentuk wayang yang dibuatnya semula

berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Bentuk atau wujud

wayang golek yang dibuat Ki Darman ini kemudian mengalami

perkembangan dan perbaikan sesuai dengan kebutuhan dan

perkembangan jaman. Pada akhir abad ke-20, wayang golek mengalami

perubahan-perubahan bentuk yang semakin menjadi baik dan sempurna,

sehingga mencapai bentuk wayang golek yang kita ketemukan sekarang

ini. Wayang golek yang seperti ini kita sebut Wayang Golek Purwa Gaya

Sunda atau Priangan.

Pada awalnya perkembangannya, pertunjukan wayang golek

diselenggarakan oleh para priyayi (kaum bangsawan Sunda) di lingkungan

istana atau lingkungan kabupaten untuk kepentingan pribadi maupun

untuk keperluan umum. Lambat laun, pertunjukan wayang golek ini

menyebar pula ke lingkungan masyarakat umum. Perkenalan masyarakat

Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya

Daendels yang menghubungkan daerah pantai yang landai dengan

Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan

menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai

mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

15

Gambar 6. Pertunjukan wayang golek dapat dilakukan untuk berbagai kepentingan, baik yang bersifat ritual khusus maupun tontonan hiburan (Sumber: http://antarafoto.com)

Fungsi pertunjukan wayang tersebut bergantung kepada

permintaan, terutama para bangsawan pada waktu itu. Pergelaran wayang

golek tersebut dilakukan untuk keperluan ritual khusus atau dalam rangka

tontonan/hiburan. Pertunjukan wayang golek yang sifatnya ritual,

walaupun ada tetapi sudah jarang sekali dipentaskan.

Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat Jawa Barat adalah

ngaruwat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa

orang yang diruwat antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung

Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba

(empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima

putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra

dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang

putra), dan sebagainya. Di samping itu, acara pementasan bersifat ritual

itu juga dilakukan dalam rangka selamatan rumah, upacara sedekah laut

dan sedekah bumi, setiap tahun sekali.

Pementasan yang masih semarak adalah pertunjukan wayang golek

untuk keperluan tontonan. Biasanya diselenggerakan untuk keperluan

memperingati hari jadi, HUT Kemerdekaan RI, syukuran dan lain

16

sebagainya. Di samping sebagai sarana hiburan yang sehat, ia juga

berfungsi sebagai media penerangan dan pendidikan. Pementasan wayang

pada umumnya berbicara tentang moralitas, etika, adat istiadat atau religi.

Walaupun demikian, bukan berarti esensi yang terkandung dalam

pertunjukan wayang golek sudah hilang, nilai-nilai tersebut tetap

dipertahankan sesuai dengan kepentingannya.

Bentuk Wayang Golek

Media utama pergelaran Wayang Golek adalah boneka yang terbuat

dari kayu (umumnya jenis kayu yang ringan), dipahat dan diukir, dicat,

diberi busana dan karakter sesuai dengan ketentuan dan kebutuhan.

Boneka kayu yang menyerupai manusia dengan stilisasi di sana-sini itu

disebut wayang golek, dengan demikian nama benda peraga dan nama

jenis pertunjukannya itu sendiri sama yakni Wayang Golek.

Bentuk/badan wadag Wayang Golek sebenarnya dapat dipisah-

pisah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu bagian kepala beserta leher, tangan,

dan badan. Ketiga bagian tersebut dibuat secara terpisah untuk kemudian

disambungkan sehingga bentuknya tampak utuh seperti “manusia”.

Bagian leher dan kepala disambungkan oleh bambu yang telah

diraut kurang lebih sebesar jari kelingking sehingga wayang tersebut dapat

menengok ke kiri dan ke kanan seperti manusia. Bagian bawah dari

bambu itu diruncingkan, menembus badan wayang sampai ke bawah dan

akhirnya berfungsi sebagai kaki yang akan ditancapkan pada batang

pisang sehingga dapat berdiri kokoh. Dari bagian pinggang ke bawah

dipasang kain yang berbentuk sarung sehingga tangan Dalang yang

memegang bambu tadi tidak tampak dari luar.

17

Gambar 7. Bagian kepala dan leher yang disambung dengan sebuah tongkat bambu lancip (Sumber: www.antarafoto.com)

Bagian tangan dibuat terpisah terutama pada sendi bahu dan sendi

siku. Sendi-sendi itu dihubungkan dengan benang/tali sehingga wayang

tersebut dapat digerakkan menyerupai manusia. Bagian tangan tokoh-

tokoh wayang tertentu diberi kelat bahu (hiasan pangkal lengan) atau

gelang. Demikian juga pada bagian-bagian tubuh wayang yang penuh

dengan manik-manik, anting telinga, badong (hiasan punggung), keris

dan sebagainya. Adapun bentuk badan raut wajah, pakaian, hiasan,

disesuaikan dengan karakter dan kedudukan tokoh wayang yang

bersangkutan.

18

JENIS PERTUNJUKAN WAYANG

Sejak wayang pertama kali dikenal oleh masyarakat Nusantara,

telah terlahir cukup banyak jenis pertunjukan wayang yang berkembang di

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Kurang lebih terdapat 30

jenis pertunjukan wayang yang berkembang dan tersebar di keempat

daerah tersebut. Masing-masing pertunjukan wayang tersebut memiliki

keunikan dan ciri tersendiri yang dapat memperkaya khasanah

kebudayaan nasional. Jumlah tersebut belum termasuk bentuk-bentuk

teater boneka yang berkembang kemudian akibat pengaruh budaya

Nusantara

Dari sekian banyaknya jenis pertunjukan wayang tersebut,

beberapa di antaranya akan dijelaskan berikut ini.

1. Wayang Beber

Jenis wayang ini dinamakan wayang beber karena terdiri atas

lembaran-lembaran kain atau kulit lembu yang digambari dengan adegan-

adegan dalam cerita wayang. Sumber cerita yang disajikan dalam wayang

beber bersumber dari epos Mahabharata dan Ramayana.

Wayang Beber adalah seni wayang yang muncul dan berkembang

di Jawa pada masa pra Islam dan masih berkembang di daerah daerah

tertentu di Pulau Jawa. Wayang beber muncul dan berkembang di Pulau

Jawa pada masa kerajaan Majapahit. Gambar-gambar tokoh pewayangan

dilukiskan pada selembar kain atau kertas, kemudian disusun adegan

demi adegan berurutan sesuai dengan urutan cerita. Gambar-gambar ini

dimainkan dengan cara dibeber. Saat ini hanya beberapa kalangan di

Dusun Gelaran, Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunung Kidul, yang masih

menyimpan dan memainkan wayang beber ini.

Konon oleh para Wali, di antaranya adalah Sunan Kalijaga wayang

beber ini dimodifikasi bentuk menjadi wayang kulit dengan bentuk-bentuk

19

yang bersifat hiasan yang dikenal sekarang, karena ajaran Islam

mengharamkan bentuk gambar makhluk hidup (manusia, hewan) maupun

patung serta menambahkan Pusaka Hyang Kalimusada atau Layang

Jamus Kalimusada. Wayang hasil modifikasi para wali inilah yang

digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam dan yang kita kenal sekarang.

Gambar 8. Salah satu cuplikan adegan pada gulungan wayang beber yang biasa ditampilkan. (Sumber: http://julianarome.blogspot.com/)

Salah satu Wayang Beber tua ditemukan di Daerah Pacitan,

Donorojo. Wayang ini dipegang oleh seseorang yang secara turun-temurun

dipercaya memeliharanya dan tidak akan dipegang oleh orang dari

keturunan yang berbeda karena mereka percaya bahwa itu sebuah amanat

luhur yang harus dipelihara. Selain di Pacitan, ada juga sampai sekarang

jenis wayang beber yang masih tersimpan dengan baik dan masing

dimainkan di Dusun Gelaran Desa Bejiharjo, Karangmojo Gunungkidul.

Menurut Kitab Sastro Mirudo, Wayang Beber dibuat pada tahun

1283, dengan Condro Sengkolo, Gunaning Bujonggo Nembah Ing Dewo

(1283), Kemudian dilanjutkan oleh putra Prabu Bhre Wijaya, Raden

Sungging Prabangkara, dalam pembuatan wayang beber. Wayang Beber

20

juga memuat banyak cerita Panji, yakni Kisah Cinta Panji Asmara Bangun

yang merajut cintanya dengan Dewi Sekartaji Putri Jenggolo.

Usia teater tutur ini sudah amat tua, sekurang-kurangnya sudah

ada sejak zaman Majapahit (menurut berita Cina tahun 1416). Sisa-sisanya

masih terdapat di Pacitan dan kemungkinan hampir punah karena seni ini

tidak dapat diajarkan kepada orang-orang lain kecuali keturunannya saja,

takut terhadap pelanggaran pantangan nenek moyangnya.

Wayang Beber hanya dipentaskan untuk upacara ruwatan atau

nadar saja. Wayang ini berbentuk lukisan di atas kertas, dengan roman

seperti wayang kulit purwa hanya kedua matanya nampak. Sikap wayang

bermacam-macam, ada yang duduk bersila, sedang berjalan, sedang

berperang dan sebagainya. Lukisan wayang beber berjumlah 6 gulung, dan

tiap gulung berisi 4 jagong atau adegan.

Gambar 9. Pementasan wayang beber. Dalang tampak sedang membeberkan gambar sambil bercerita. Di belakang Ki Dalang tampak para penonton menyaksikan dan

mendengarkan tuturan dalang. (Sumber: http://waybemetro.wordpress.com/)

Dalang menggelar tiap gulungan tiap gulungan dengan cara

membeberkannya di atas kotak gulungan.

21

Urutan pertunjukkan :

1. Dalang membakar kemenyan, kemudian membuka kotak dan

mengambil tiap gulungan menurut kronologi cerita.

2. Dalang membeberkan gulungannya pertama dan seterusnya,

dengan membelakangi penonton.

3. Dalang mulai menuturkan janturan (narasi).

4. Setelah janturan, mulailah suluk (lagu penggambaran) yang amat

berbeda dengan umumnya suluk wayang purwa

5. Setelah suluk, dimulailah pocapan atau penuturan cerita

berdasarkan gambar wayang yang tengah dibeberkan. begitu

seterusnya sampai seluruh gulungan habis dibeberkan dan

dikisahkan.

Seluruh pertunjukkan diiringi dengan seperangkat gamelan Slendro

yang terdiri dari rebab, kendang batangan, ketuk berlaras dua, kenong,

gong besar, gong susukan, kempul. Penabuhnya cukup 4 orang saja yakni

sebagai penggesek rebab, petigendang, penabuh ketuk kenong, dan

penabuh kempul serta gong. Patet yang digunakan hanya patet nem dan

patet sanga.

Lama pementasan hanya sekitar satu setengah jam saja, dapat

dilakukan siang hari ataupun malam hari. Setiap pagelaran wayang beber

harus ada sesaji yang terdiri dari kembang boreh, ketan yang ditumbuk

halus, tumpeng dan panggang ayam, ayam hidup, jajan pasar (kue-kue)

dan pembakaran kemenyan. Untuk upacara ruatan atau bersih desa perlu

ada tambahan sesaji berupa sebuah kuali baru, kendi baru dan kain putih

baru.

2. Wayang Kulit

Wayang kulit adalah seni tradisional Indonesia yang terutama

berkembang di Jawa. Wayang kulit dimainkan oleh seorang dalang yang

22

juga menjadi narator dialog tokoh-tokoh wayang, dengan diiringi oleh

musik gamelan yang dimainkan sekelompok nayaga dan tembang yang

dinyanyikan oleh para pesinden. Dalang memainkan wayang kulit di balik

kelir, yaitu layar yang terbuat dari kain putih, sementara di belakangnya

disorotkan lampu listrik atau lampu minyak atau blencong, sehingga para

penonton yang berada di sisi lain dari layar dapat melihat bayangan

wayang yang jatuh ke kelir. Untuk dapat memahami cerita wayang,

penonton harus memiliki pengetahuan akan tokoh-tokoh wayang yang

bayangannya tampil di layar.

Gambar 10. Tata letak pentas pada pergelaran wayang kulit purwa. Perhatikan letak masing-masing, nayaga, pesinden yang seluruhnya berada di belakang dalang yang

menghadapi kelir (layar). Di belakang kelir, tampak para penonton menyaksikan bayangan wayang yang dimainkan dalang. (Sumber:

http://siswandikadamok.wordpress.com/).

Secara umum wayang mengambil cerita dari naskah Mahabharata

dan Ramayana. Akan tetapi, seorang dalang tak dibatasi hanya dengan

pakem (cerita baku) tersebut, ki Dalang bisa juga memainkan lakon

carangan (gubahan sendiri), termasuk menyajikan cerita panji.

23

Wayang kulit dibuat dari bahan kulit kerbau yang sudah diproses

menjadi kulit lembaran. Perbuah wayang membutuhkan sekitar ukuran 50

x 30 cm kulit lembaran yang kemudian dipahat dengan peralatan yang

digunakan adalah besi berujung runcing berbahan dari baja yang

berkualitas baik. Besi baja ini dibuat terlebih dahulu dalam berbagai

bentuk dan ukuran, ada yang runcing, pipih, kecil, besar dan bentuk

lainnya yang masing-masing mempunyai fungsinya berbeda-beda.

Namun pada dasarnya, untuk menata atau membuat berbagai

bentuk lubang ukiran yang sengaja dibuat hingga berlubang. Selanjutnya

dilakukan pemasangan bagian-bagian tubuh seperti tangan, pada tangan

ada dua sambungan, lengan bagian atas dan siku, cara menyambungnya

dengan sekrup kecil yang terbuat dari tanduk kerbau atau sapi. Tangkai

yang fungsinya untuk menggerak bagian lengan yang berwarna kehitaman

juga terbuat berasal dari bahan tanduk kerbau dan warna keemasannya

umumnya dengan menggunakan prada yaitu kertas warna emas yang

ditempel atau bisa juga dengan dibronz, dicat dengan bubuk yang

dicairkan. Wayang yang menggunakan prada, hasilnya jauh lebih baik,

warnanya bisa tahan lebih lama dibandingkan dengan yang bronz.

3. Wayang Cepak

Wayang di Cirebon dikenal dengan nama wayang cepak atau

wayang papak. Cepak atau papak berarti datar, sama, atau lebih dekat.

Bntuk hiasan kepala wayang golek jenis ini cenderung lebih datar jika

dibandingkan dengan bentuk wayang golek yang tinggi dan bulat. Wayang

ini terbuat dari kayu, yang ujungnya tidak runcing (cepak = bhs Sunda;

papak = bhs Jawa). Itulah sebabnya maka wayang ini disebut wayang

cepak atau wayang papak.

Dilihat dari bentuknya, wayang cepak diperkirakan merupakan

pengembangan dari wayang kulit, wayang golek atau wayang menak yang

berpusat di daerah Cirebon. Wayang cepak biasanya membawakan lakon-

lakon Menak, Panji, cerita-cerita babad, legenda dan mitos. Tetapi, di

24

daerah Cirebon sendiri, wayang cepak lebih banyak melakonkan babad

Cirebon, juga babad Mekah dan Pamanukan yang disampaikan dengan

bahasa Jawa Cirebon. Sehingga muncul tokoh-tokoh seperti Nyi Mas

Gandasari, Wiralodra, Ki Tinggil, Kuwu Sangkan, Bagal Buntung, dan lain-

lain.

Wayang cepak dipercaya dibuat oleh

Sunan Kudus dan Sunan Kalijaga. Wayang

cepak dapat terbuat dari kulit (wayang kulit

cepak) atau dari kayu (wayang golek cepak).

Bentuk wayang golek cepak diambil dari

wayang kulit cepak. Ceritanya bersumber dari

sejarah Jawa dan cerita Islam. Meskipun

terkait dengan sejarah, cerita-cerita digubah

dari sumber lisan kemudian dibuat menjadi

cerita tersendiri.

Dalam pertunjukannya di masyarakat,

wayang cepak Cirebon memiliki struktur

yang baku. Adapun susunan adegan wayang

cepak Cirebon secara umum sebagai berikut :

(1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung,

gending jejer atau gending kawit, murwa,

nyandra, suluk atau kakawen dan biantara; (2) babak unjal, paseban, dan

bebegalan; (3) nagara sejen; (4) patepah; (5) perang gagal; (6) panakawan

atau goro-goro; (7) perang kembang; (8) Perang Raket; (9) Tutug.

4. Wayang Golek Purwa

Wayang golek adalah wayang dengan bentuk tri matra (tiga

dimensi). Kata golek secara harfiah berarti boneka, patung kecil, atau

mencari (makna cerita). Kepala, badan, dan lengan boneka diukir dari

kayu; tudhing (gagang penggerak) biasanya dibuat dari bambu, sama

dengan gagang penyangga (sogo). Sogo dibuat menembus badan ke kepala

Gambar 11. Bentuk wayang golek cepak yang menggambarkan sosok

Prabu Cakrabuana. Perhatikan bentuk bagian kepala wayang yang

rata atau cepak. (Sumber: http://www.pitoyo.com/)

25

dan berfungsi sebagai pegangan. Wayang jenis ini memakai kain panjang

yang terikat di pinggang dengan selendang tempat menyimpan keris.

Menurut Serat Centhini (awal abad ke-19) dan Serat Sastramiruda (awal

abad ke-20), wayang golek Jawa diperkenalkan pada tahun 1584.

Sedangkan, wayang golek purwa gaya Sunda baru mulai diperkenalkan di

Parahyangan awal abad ke-19.

Pada dasarnya, struktur pertunjukan wayang golek tidak jauh

berbeda dari pertunjukan wayang kulit. Bahkan, sumber cerita yang

digunakan dalam pertunjukan

wayang golek sama seperti

sumber cerita yang digunakan

dalam pertunjukan wayang kulit,

yakni epos Mahabharata,

Ramayana, dan Babad Lokapala.

Hal yang membedakan

pertunjukan wayang golek dari

wayang kulit adalah (1)

pertunjukan wayang golek tidak

mengenal kelir (layar) karena

dipertunjukkan secara langsung,

(2) pertunjukan wayang golek

(khususnya gaya Priangan)

menggunakan bahasa Sunda, dan

(3) aspek karawitan pada

pertunjukan wayang golek

menggunakan karawitan Sunda.

Wayang Golek adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang

tumbuh dan berkembang di daerah Jawa Barat. Daerah penyebarannya

terbentang luas dari Cirebon di sebelah timur sampai wilayah Banten di

sebelah barat, bahkan di daerah Jawa Tengah yang berbatasan dengan

Jawa Barat sering pula dipertunjukkan pergelaran Wayang Golek.

Gambar 12. Wayang golek yang mewakili karakter Gatotkaca, salah seorang putra

Bima (Sumber: http://www.datasunda.org/)

26

Kelahiran wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar

(Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem

memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang

tinggal di Cibiru, Ujung Berung, untuk membuat wayang dari kayu.

Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola

pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran

Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh

berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri

dikenal pada awal abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan

wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang

menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung.

Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun,

setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan

adalah bahasa Sunda.

5. Wayang Krucil

Wayang krucil adalah kesenian khas Ngawi, Jawa Timur dari

bahan kulit dan berukuran kecil sehingga lebih sering disebut dengan

Wayang Krucil. Wayang ini dalam perkembangannya menggunakan bahan

kayu pipih (dua dimensi) yang kemudian dikenal sebagai Wayang Klithik.

Di daerah Jawa Tengah wayang krucil memiliki bentuk yang mirip

dengan wayang gedog. Tokoh-tokohnya memakai dodot rapekan, berkeris,

dan menggunakan tutup kepala tekes (kipas). Sedangkan, di Jawa Timur

tokoh-tokohnya banyak yang menyerupai wayang kulit purwa, raja-

rajanya bermahkota dan memakai praba. Di Jawa Tengah, tokoh-tokoh

rajanya bergelung Keling atau Garuda Mungkur saja.

27

Cerita yang dipakai dalam wayang

krucil umumnya mengambil dari zaman

Panji Kudalaleyan di Pajajaran hingga

zaman Prabu Brawijaya di Majapahit.

Namun, tidak menutup kemungkinan

wayang krucil memakai cerita wayang

purwa dan wayang menak, bahkan dari

babad tanah Jawa sekalipun.

Gamelan yang dipergunakan untuk

mengiringi pertunjukan wayang ini amat

sederhana, berlaras slendro dan berirama

playon bangomati (srepegan). Namun,

ada kalanya wayang krucil menggunakan

gending-gending besar.

6. Wayang Orang

Wayang orang disebut juga dengan istilah wayang wong (bahasa

Jawa) adalah wayang yang dimainkan dengan menggunakan orang

sebagai tokoh dalam cerita wayang tersebut. Wayang orang diciptakan

oleh Sultan Hamangkurat I pada tahun 1731.

Sesuai dengan nama sebutannya, wayang tersebut tidak lagi

dipergelarkan dengan memainkan boneka-boneka wayang (wayang kulit

yang biasanya terbuat dari bahan kulit kerbau ataupun yang lain), tetapi

menampilkan manusia-manusia sebagai pengganti boneka-boneka

wayang tersebut. Mereka memakai pakaian sama seperti hiasan-hiasan

yang dipakai pada wayang kulit. Supaya bentuk muka atau bangun muka

mereka menyerupai wayang kulit (kalau dilihat dari samping), sering kali

pemain wayang orang ini diubah/dihias mukanya dengan tambahan

gambar atau lukisan.

Wayang Orang adalah suatu bentuk drama tari berdialog prosa

yang ceritanya diambil dari epos Ramayana dan Mahabarata. Konsep

Gambar 13. Bentuk wayang krucil yang kecil dan berkembang di Jawa

Tengah. (Sumber: http://wayangindonesiaraya.blogspo

t.com/)

28

dasar wayang orang mengacu pada wayang purwa (wayang kulit). Oleh

karena itu, wayang orang merupakan personifikasi wayang kulit.

Gambar 14. Penampilan kelompok Wayang Orang Bharata dalam menyajikan salah satu adegan pada epos Mahabharata (Sumber:

http://en.wikipedia.org/wiki/File:Wayang_Wong_Bharata_Pandawa.jpg)

Bila ditelusuri tentang asal-usulnya, kesenian Wayang Orang sudah

ada pada masa Jawa Kuna, sekitar tahun 930, dan dikenal dengan nama

“Wayang Wong” seperti yang tercantum dalam prasasti Wimalasrama.

Pada mulanya, yakni pertengahan abad ke-18, semua penari Wayang

Orang adalah penari pria, tidak ada penari wanita. Jadi agak mirip dengan

pertunjukan ludruk di Jawa Timur dewasa ini.

Dalam berbagai buku mengenai budaya wayang disebutkan bahwa

Wayang Orang diciptakan oleh Kangjeng Pangeran Adipati Arya

Mangkunegara I (1757 - 1795). Para pemainnya waktu itu terdiri atas abdi

dalem istana. Pertama kali Wayang Orang itu dipentaskan secara terbatas

pada tahun 1760. Namun, baru pada pemerintahan Mangkunegara V

pertunjukan Wayang Orang itu lebih memasyarakat, walaupun masih

tetap terbatas dinikmati oleh kerabat keraton dan para pegawainya.

Pemasyarakatan seni Wayang Orang hampir bersamaan waktunya

dengan lahirnya drama tari Langendriyan.

29

Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII (1916 -1944)

kesenian Wayang Orang mulai diperkenalkan pada masyarakat di luar

tembok keraton. Usaha memasyarakatkan kesenian ini makin pesat

ketika Sunan Paku Buwana X (1893-1939) memprakarsai pertunjukan

Wayang Orang bagi masyarakat umum di Balekambang, Taman Sri

Wedari, dan di Pasar Malam yang diselenggarakan di alun-alun. Para

pemainnya pun, bukan lagi hanya para abdi dalem, melainkan juga

orang-orang di luar keraton yang berbakat menari.

Penyelenggaraan pertunjukan Wayang Orang secara komersial

baru dimulai pada tahun 1922. Mulanya, dengan tujuan

mengumpulkan dana bagi kongres kebudayaan. Kemudian pada tahun

1932, pertama kali Wayang Orang masuk dalam siaran radio,

yaitu Solosche Radio Vereeniging, yang mendapat sambutan hebat dari

masyarakat.

Pakaian para penari Wayang Orang pada awalnya masih amat

sederhana, tidak jauh berbeda dengan pakaian adat keraton sehari-

hari, hanya ditambah dengan selendang tari. Baru pada zaman

Mangkunegara VI (1881-1896), penari Wayang Orang mengenakan

irah-irahan terbuat dari kulit ditatah apik, kemudian disungging

dengan prada.

30

SUMBER CERITA DALAM PERTUNJUKAN WAYANG

Sebuah pementasan wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek,

maupun wayang orang, selalu menyajikan cerita yang dapat dinikmati oleh

penonton. Cerita yang dipaparkan dalam sebuah pertunjukan wayang

pada umumnya telah dikenal dan dipahami oleh penontonnya. Oleh

karena itu, penonton akan lebih dapat menikmati pertunjukan dari awal

hingga akhir.

Dalam tradisi wayang purwa di Jawa Tengah maupun di Priangan,

terdapat sumber cerita yang dijadikan dasar pertunjukan wayang. Sumber

cerita tersebut sebagian besar bersumber dari epos Ramayana dan

Mahabharata. Akan tetapi, kedua cerita tersebut amatlah panjang dan

rumit jika harus dipentaskan dalam satu kali pergelaran. Oleh karena itu,

dalang biasanya mengambil bagian-bagian tertentu dari cerita Ramayana

atau Mahabharata untuk ditampilkan.

Sejak awal zaman Kerajaan Majapahit diperkenalkan cerita wayang

lain yang tidak berinduk pada Kitab Ramayana dan Mahabarata. Sejak

saat itulah cerita-cerita Panji; yakni cerita tentang leluhur raja-raja

Majapahit, mulai diperkenalkan sebagai salah satu bentuk wayang yang

lain. Cerita Panji ini kemudian lebih banyak digunakan untuk pertunjukan

Wayang Beber.

Meskipun demikian, ada kalanya juga dalang mengembangkan

sendiri cerita yang diambil dari naskah baku tersebut sesuai dengan

penafsirannya. Maksud pengembangan dalam pementasan ini agar cerita

lebih menarik dan disukai penonton. Pengembangan ini kemudian

menjadi makin meluas, sehingga tidak sedikit dalang-dalang berkreasi

dengan mengarang sendiri cerita untuk dipentaskan.

Sejak zaman Kartasura, penggubahan cerita wayang yang berinduk

pada Ramayana dan Mahabarata makin jauh dari aslinya. Sejak zaman

31

itulah masyarakat penggemar wayang mengenal silsilah tokoh wayang,

termasuk tokoh dewanya, yang berawal dari Nabi Adam. Sisilah itu terus

berlanjut hingga sampai pada raja-raja di Pulau Jawa. Selanjutnya, mulai

dikenal pula adanya cerita wayang pakem yang sesuai standar cerita, dan

cerita wayang carangan yang di luar garis standar. Selain itu masih ada

lagi yang disebut lakon sempalan, yang sudah terlalu jauh keluar dari

cerita pakem.

Penggunaan cerita yang bermacam-macam, dan ada kalanya

menyimpang dari sumber cerita yang sesungguhnya, menyebabkan

munculnya pembagian kelompok cerita. Pada cerita pedalangan, terdapat

tiga bentuk lakon atau cerita yang biasa ditampilkan dalam pertunjukan

wayang, yakni cerita atau lakon pakem, lakon sempalan, dan lakon

carangan. Ketiga bentuk cerita atau lakon inilah yang kemudian menjadi

standar pementasan wayang baik di Jawa maupun di Sunda.

1. Lakon Pakem

Tradisi cerita wayang di Jawa dan Sunda pada awalnya bersumber

dari mitologi Hindu-Jawa. Dalam ajaran Hindu, terdapat tiga kekuatan

yang saling berkaitan satu sama lain, yakni kesatuan Siwa – Brahma –

Wisnu. Wisnu sebagai sang pemelihara jagad, berbeda dengan Brahma

sang pencipta dan Siwa sang penghancur. Wisnu dalam menjalankan

tugasnya perlu bertumimbal hidup – lahir tua dan mati – bersama para

"titah" atau "dumadi" atau "makhluk". Oleh karena itu, dalam dunia

pewayangan, setiap babakan kisah atau "babad" akan dipimpin oleh titisan

atau "awatara" Wisnu yang berganti-ganti.

Menurut mitologi Hindu-Jawa, ada sepuluh "babad" atau babakan

kisah penitisan Wisnu di dunia, yaitu diawali dengan Wisnu menitis

sebagai "matsya" atau ikan besar, dan ditutup kelak menitis sebagai

danawa Kalki pada awal "kaliyuga" atau "jaman kalabendu", jaman serba

sengsara. Tetapi dari sepuluh babakan kisah itu, hanya tiga di antaranya

yang dikisahkan dalam rangkaian lakon, untuk digunakan sebagai

32

"wayang", bayangan, "gegambaran" atau suri

tauladan, dan selanjutnya diperagakan dengan

"boneka" atau "anak wayang" sebagai wahana.

Tiga babakan kisah itu ialah semasa

penitisan Wisnu yang keenam, yaitu ketika

Wisnu menitis sebagai brahmana yang

bersenjata kampak atau Parasurama;

penitisan Wisnu yang ketujuh, yaitu Wisnu

menitis sebagai Rama raja Ayudhya; dan

penitisan Wisnu kedelapan, yaitu Wisnu

menitis sebagai Kresna, raja Dwarawati.

Dalam dunia pedalangan wayang Jawa,

penitisan pertama terhimpun dalam pakem

lakon atau Babad Lokapala, yakni ketika Wisnu menjelma dalam raga

Prabu Harjunasasrabahu. Penitisan kedua terjadi dalam pakem lakon

Ramayana, ketika Wisnu menjelma dalam raga Raja Ramawijaya.

Sedangkan penitisan ketiga terjadi dalam pakem lakon Mahabharata,

ketika Wisnu menjelma dalam raga Prabu Kresna. Ketiga-tiga "sumber"

lakon wayang itulah yang dinamai "pakem".

Secara ringkas isi dari ketiga pakem cerita dalam pewayangan Jawa

dan Sunda tersebut adalah sebagai berikut.

a. Babad Lokapala atau Serat Arjuna Sasrabahu

Istilah Babad Lokapala merupakan istilah yang digunakan dalam

lingkungan Pedalangan Sunda, sedangkan di lingkungan

Pedalangan Jawa disebut sebagai (Serat) Arjuna Sasrabahu. Lakon

ini dapat dikatakan lebih tua daripada Ramayana, tetapi

“sebenarnya” merupakan kisah awal kelahiran Rahwana menuju

kapada Cerita Ramayana. Karena mahirnya para pujangga, kisah ini

seolah-olah runtut, dari kisah paradewa, lahirnya Rahwana, kisah

Gambar 15. Penggambaran Wisnu dalam wayang kulit (Sumber:

http://id.wikipedia.org/)

33

Subali-Sugriwa, serta kisah Arjuna Sasrabahu begitu juga hubungan

kekeluargaan dari tokoh-tokoh dalam alur Cerita Babad Lokapala.

Kandungan kisah dalam Babad Lokapala:

- Kisah kelahiran Rahwana

Kerajaan Lokapala dipimpin oleh Prabu Danaraja atau

Danapati. Beliau adalah putra Begawan Wisrawa dan Dewi

Lokati. Ada keinginan Sang Prabu untuk mempersunting Dewi

Sukesi, putri Prabu Sumali dari kerajaan Alengka. Begawan

Wisrawa pun hendak melamar Sekar Kedaton Alengka tersebut

sebagai permaisuri prabu Danapati.

Kecantikan Dewi Sukesi ini membuat Prabu Sumali tidak terlalu

kesulitan untuk mencarikan jodoh bagi putrinya tersayang.

Namun syarat yang diajukan oleh Dewi Sukesi amatlah berat,

yakni ia bersedia menerima pria manapun asalkan pria tersebut

mampu mengajarinya Ilmu Sastra Jendra.

Demi Sang Danaraja, maka berangkatlah Begawan Wisrawa

menuju Kerajaan Lokapala. Sesampainya di sana Sang Begawan

menyampaikan maksud kedatangannya itu kepada Prabu

Sumali. Sesuai dengan permintaan putrinya Dewi Sukesi, maka

Prabu Sumali berkata kepada Sang Begawan bahwa putrinya

akan menerima siapa saja yang mampu mengajarinya ilmu

rahasia dewa tersebut. Sang Begawan menyanggupi permintaan

Dewi Sukesi tersebut asalkan Sang Dewi mau dijadikan

menantunya. Beliau juga menambahkan bahwa untuk

memberikan wejangan ilmu rahasia itu harus di tempat yang

benar-benar sunyi dan di taman yang hanya ditumbuhi bunga

kenanga saja. Kesepakatan antara kedua belah pihak pun dibuat.

Kemudian dipanggilah Dewi Sukesi menghadap Sang Begawan

yang saat itu sudah bersiap-siap di taman yang agak jauh dari

istana. Taman tersebut benar-benar sunyi dan hanya bunga

34

kenanga yang tumbuh di sana sebagaimana permintaan Sang

Begawan. Setelah Dewi Sukesi memberikan hormat kepada Sang

Begawan, maka dimulailah wejangan ilmu “Sastra Jendra”

seperti yang diminta oleh Sang Dewi.

Gambar 16. Begawan Wisrawa tengah mengajarkan ilmu Sastra Jendra kepada Dewi Sukesi. (Sumber: http://tomyarjunanto.wordpress.com/)

Menurut patunjuk para dewa, ilmu sastra jendra tidak boleh

diajarkan kepada sembarang orang. Terlebih-lebih dari pria

kepada wanita, karena akan berakibat buruk. Begawan Wisrawa

yang mengajarkan ilmu sastra jendra pada Dewi Sukesi ini

mendapat murka dari Batara Guru. Seketika Batara Guru

menitis ke dalam diri Begawan Wisrawa dan Batari Uma

menjelma ke dalam diri Dewi Sukesi. Dengan demikian, Dewi

Sukesi bertekad hanya mau melayani Begawan Wisrawa.

Begawan Wisrawa yang telah dirasuki Betara Guru pun tidak

menolak.

35

Begitulah akhirnya, Dewi Sukesi dikawini sendiri oleh Begawan

Wisrawa dan melahirkan 4 orang anak, yakni Rahwana atau

Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakenaka dan Gunawan Wibisana.

Betapa kagetnya Dewi Lokati melihat suaminya menikah lagi

dengan putri yang seharusnya menjadi permaisuri putranya.

Prabu Danaraja menerima keadaan itu sebagai suratan takdir

dengan iklhas legawa. Namun malapetaka terus berlanjut ketika

Dasamuka membunuh Dewi Lokati dan Prabu Danaraja.

Sebagai penghargaan atas keluhuran budi Prabu Danaraja, para

dewa di kahyangan mengangkat arwahnya menjadi dewa

kekayaan dengan gelar Batara Kuwera. Di sana Batara Kuwera

diberi wewenang untuk menjaga Kembang Dewaretna, bunga

yang berfungsi untuk membagi rejeki di alam raya.

Rahwana kemudian menjadi raja Alengka dan menjalankan

pemerintahan dengan cara angkara murka. Rahwana menguasai

dunia dengan keji karena kesaktian yang dimilikinya.

- Kisah Subali dan Sugriwa

Menurut versi Ramayana, Subali dan Sugriwa adalah sepasang

Wanara kembar yang dilahirkan oleh seorang ibu, tetapi

berbeda ayah. Keduanya sama-sama putra dewa. Subali adalah

putra Indra, sedangkan Sugriwa merupakan putra Surya.

Berbeda dengan versi aslinya, dalam pewayangan Jawa, Subali

dan Sugriwa pada mulanya terlahir sebagai manusia normal.

Keduanya masing-masing bernama Guwarsi dan Guwarsa.

Mereka memiliki kakak perempuan bernama Anjani. Ketiganya

merupakan anak Resi Gotama dan Dewi Indradi yang tinggal di

Pertapaan Agrastina.

Pada suatu hari Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa berselisih

memperebutkan cupu milik ibu mereka yang luar biasa

indahnya. Hal itu diketahui oleh Gotama. Indradi pun dipanggil

36

dan ditanya dari mana cupu tersebut berasal. Gotama

sebenarnya mengetahui kalau cupu itu adalah benda kahyangan

milik Batara Surya yang bernama Cupumanik Astagina. Indradi

yang ketakutan diam tak mau menjawab. Gotama yang marah

karena merasa dikhianati mengutuk istrinya itu menjadi tugu. Ia

lalu melemparkan tugu tersebut sejauh-jauhnya, sampai jatuh di

perbatasan Kerajaan Alengka.

Meskipun kehilangan ibu, ketiga anak Gotama tetap saja

memperebutkan Cupu Astagina. Gotama pun membuang benda

itu jauh-jauh. Tanpa sepengetahuan siapa pun, Cupu Astagina

jatuh di sebuah tanah kosong dan berubah menjadi telaga.

Guwarsi dan Guwarsa begitu sampai di dekat telaga itu segera

menceburkan diri karena mengira cupu yang mereka cari jatuh

ke dalamnya. Seketika itu juga wujud keduanya berubah

menjadi wanara atau kera. Sementara itu Anjani yang baru tiba

merasa kepanasan. Ia pun mencuci muka menggunakan air

telaga tersebut. Akibatnya, wajah dan lengannya berubah

menjadi wajah dan lengan kera.

Anjani, Guwarsi, dan Guwarsa menghadap Gotama dengan

perasaan sedih. Ketiganya pun diperintahkan untuk bertapa

mensucikan diri. Anjani bertapa di Telaga Madirda. Kelak ia

bertemu Batara Guru dan memperoleh seorang putra bernama

Hanoman. Sementara itu Guwarsi dan Guwarsa yang telah

berganti nama menjadi Subali dan Sugriwa masing-masing

bertapa di Gunung dan Hutan Sunyapringga. Ketiga anak

Gotama tersebut berangkat ke tempat tujuan masing-masing.

Sesuai petunjuk ayah mereka, Anjani bertapa dengan gaya

berendam telanjang seperti seekor katak, Subali menggantung

di dahan pohon seperti seekor kelelawar, sedangkan Sugriwa

mengangkat sebelah kakinya seperti seekor kijang.

37

Anjani, setelah melahirkan Hanoman, kembali seperti semula

dan diangkat menjadi dewi di kahyangan. Sedangkan Subali dan

Sugriwa tetap menjalani tapanya sampai kemudian dipanggil

oleh dewa untuk melawan Mahesasura di Goa Kiskenda.

- Kisah Arjuna Sasrabahu

Kisah Arjunasasrabahu terdapat dalam babad Mahespati. Babad

Mahespati ini merupakan kelanjutan petualangan Rahwana

dalam melakukan perbuatan angkaranya, yang harus diimbangi

dengan kewajiban Batara Wisnu dalam mengamankan dunia.

Karena itulah, maka Batara Wisnu menitis ke dalam raga Prabu

Arjunasasrabahu atau yang disebut Prabu Arjuna Wijaya salah

seorang keturunan Hyang Tunggal, yang menjadi raja di

Mahespati.

Silsilah Mahespati ini masih terkait dengan Resi Gotama yang

ada di pertapan Grastina, dan Resi Suwandageni di pertapan

Jatisrana. Resi Bargawa adalah seorang Brahmana yang

menjalani kehidupannya dengan jalan berkelana, untuk mencari

kematiannya di tangan Batara Wisnu.

Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam babad

Arjunasasrabahu adalah pengabdian Bambang Sumantri yaitu

putra Begawan Suwandageni dari pertaapan Jatisrana,

pernikahan Prabu Arjunasasrabahu dengan Dewi Citrawati yaitu

putra Prabu Citradarma dari negara Manggada, penaklukan raja

Rahwana oleh Prabu Arjunasasrabahu di mana Rahwana

berjanji akan menjadi manusia yang baik, kematian Bambang

Sumantri setelah diangkat menjadi patih di Mahespati dengan

gelar Patih Suwanda. Baik babad Mahespati maupun cerita

Ramayana, menonjolkan Dewa Wisnu sebagai sumber peranan,

sumber kesaktian dalam mengamankan dunia.

38

Gambar 17. Ilustrasi pertarungan Rama Bargawa dengan Arjunasasrabahu (Sumber: http://mitrabangsa-seni.blogspot.com/)

Prabu Arjunasasrabahu kemudian gugur oleh Begawan Rama

Bargawa, yang menyangka bahwa Prabu Arjunasasrabahu

adalah titisan Batara Wisnu. Setelah Prabu Arjunasasrabahu

mangkat, Rahwana mengingkari sumpahnya dan kembali

mengumbar angkara murka.

Memang benar bahwa Prabu Arjunasasrabahu adalah titisan

Batara Wisnu, tetapi pada saat bertempur melawan Begawan

Rama Bargawa, Batara Wisnu sudah meninggalkan raga Prabu

Harjunasasrabahu. Menurut beberapa kitab, Prabu

Arjunasasrabahu adalah titisan Batara Wisnu, karena memiliki

ciri-ciri yang sama dengan Batara Wisnu, salah satunya yaitu

bisa ber-Triwikrama.

- Kisah Ramaparasu

RAMA BARGAWA, atau yang lebih dikenal dengan nama Rama

Parasu, merupakan salah satu tokoh wayang lintas batas, artinya

ada dicerita Ramayana dan Mahabarata. Brahmana yang juga

39

pertapa sakti bertekad menjungkirbalikkan tata nilai dan

anggapan masyarakat kala itu yang terlalu mengagungkan

golongan ksatria. Bertahun-tahun ia berkelana mengelilingi

dunia hanya untuk mencari perkara dan alasan agar dengan

kesaktian yang dimilikinya. ia dapat membunuh ksatria

sebanyak-banyaknya.

Gambar 18. Rama Bargawa atau Parasu Rama, seorang begawan atau resi yang terkenal sangat membenci satria. (Sumber:

http://batararama.multiply.com/)

Nama Rama Bargawa diperolehnya karena ia merupakan

keturunan Maharesi Bregu yang ternama. la juga dinamakan

Rama Parasu, karena senjata andalannya adalah kapak. Parasu

berarti kapak. Kelak, Rama Bargawa akan berhadapan dengan

Rama Wijaya dalam kisah Ramayana, serta mengajarkan ilmu

kesaktian kepada Bisma, Durna, dan Karna dalam kisah

Mahabharata.

b. Kisah Ramayana

Ramayana pada wayang golek purwa, mengacu kepada kisah asli;

Ramayana, yang terdiri atas tujuh “kanda”. Istilah kanda yang

40

digunakan dalam kisah Ramayana dapat diartikan sebagai babak

atau bagian.

1) Bala kanda, mengisahkan Kusya dan Lawa, menjadi pencerita

tentang kisah Rama yang telah tega mengusir Dewi Sinta yang

sedang hamil. Sinta kemudian dipelihara oleh Resi Walmiki

sampai melahirkan Kusya dan Lawa. Rama kemudian

menyadari perilakunya.

2) Ayodya kanda, cerita Kusya dan Lawa tentang leluhur Rama.

Kisah Dasarata yang akan melantik Rama menjadi raja yang

digagalkan Dwei Kakeyi yang menuntut anaknya Barata

dijadikan raja. Padahal Barata tidak menghendakinya. Akhirnya,

Rama harus dibuang ke dalam hutan.

3) Arania kanda: yang mengisahkan kehidupan Rama, Sinta dan

Laksmana di hutan Dandaka. Kanda ini diakhiri dengan

diculiknya Dewi Sinta oleh Rahwana, dan Rama mencari

permaisurinya.

4) Kiskenda kanda, mengisahkan pertarungan Resi Sobali dan

Sugriwa. Dengan pertolongan Rama, Sobali dapat dibunuh.

Dengan matinya Sobali, Sugriwa mengerahkan rakyatnya

membantu Rama.

5) Sundara kanda, Anoman diutus memberikan cincin Batara

Rama kepada Dewi Sinta. Anoman memberikan cincin Rama di

taman Soka, dan Sinta memberikan konde (cundamanik).

Anoman dikepung oleh wadiabala Alengka. Anoman membakar

sebagian Alengka. Babak ini sering disebut Anoman Duta.

41

Gambar 19. Salah satu adegan dalam Sendratari Ramayana yang menggambarkan kisah Hanoman Duta (Sumber: http://sonces.blogspot.com/)

6) Yuda kanda, mengisahkan perang antara Rama dan Rahwana,

yang diakhiri dengan kematian Rahwana, karena dihimpit

gunung Sondara-Sondari. Diakhiri dengan kembalinya Dewi

Sinta ke Ayodya, disertai Dewi Trijata.

7) Utara kanda, kisah yang berisi pembakaran Sinta untuk

membersihkan tudingan masyarakat, karena prasangka akan

kesucian Dewi Sinta. Karena Sinta merupakan isteri setia, Sinta

tetap tanpa cacat walaupun dibakar. Masyarakat percaya dan

Rama menerima Sinta sebagi permasurinya. Babak ini sering

disebut dengan Sinta Labuhgeni atau Sinta Obong. Namun

masyarakat tetap berburuk sangka, setelah Sinta dinyatakan

suci, Sinta kembali ke hutan dan dipelihara oleh Resi Walmiki,

sampai melahirkan Kusa dan Lawa. Sinta diminta untuk kemali

ke Ayodya, tetapi Sinta malah memasuki Patala dan diterima

oleh Dewi Pratiwi.

c. Kisah Mahabharata

Seperti halnya Ramayana, Mahabarata juga digunakan sebagai

acuan, dan terdiri dari 18 parwa atau bagian.

42

1) Adiparwa, mengisahkan leluhur Pandawa dan Korawa,

diantaranya juga mengisahkan Raja Duswanta-Dewi Sakuntala

(orangtua Barata). Juga dikisahkan riwayat kelahiran Destarata

dan Pandu serta kelahiran anak-anaknya dan perangainya.

Asal muasalnya perselisilah Pandawa dan Korawa.juga

sayembara di pancala. Parwa ini sering disebut LULUHUR

PANDAWA.

2) Sabha parwa, persidangan para putra mahkota, perjudian

dengan dadu yang berakibat Pandawa harus masuk hutan

Kamiaka slama 12 tahun. Parwa ini sering disebut PANDAWA

DADU.

Gambar 20 Drupadi menerima penghinaan yang sangat keji dari Dursasana ketika Pandawa kalah bermain dadu dengan Kurawa. (Sumber:

http://id.wikipedia.org/wiki/Sabhaparwa)

3) Wana parwa, kehidupan selama pengembaraan Pandawa di

hutan.

4) Wirata parwa, penyamaran Pandawa selama satu tahun di

negara Wirata. Pada bagian ini dikisahkan juga tentang

terbunuhnya Kaecaka.

43

Gambar 21 Penyamaran Pandawa selama satu tahun di negara Wirata tanpa diketahui oleh Kurawa maupun raja Wirata (Sumber:

http://baltyra.com/2012/07/18/draupadi-5/)

5) Udyoga parwa, persiapan Baratayuda, meminta bantuan

negara sahabat. Kresna menjadi duta Pandawa untuk meminta

Amarta. Dalam padalangan Sunda, Sering disebut bab

KRESNA DUTA.

6) Bisma parwa, mengisahkan keperwiraan Resi Bisma dalam

memimpin bala Korawa. Bisma dikalahkan Dewi Srikandi yang

merupakan titisan Dewi Amba.

7) Drona parwa, mengisahkan taktik perang yang digunakan

bala Korawa dibawah pimpinan Resi Dorna. Resi Dorna gugur

karena kecintaannya kepada anaknya Aswatama yang

didengarnya sudah gugur dan percaya akan kata-kata Samiaji.

8) Karna parwa, pertempuran Karna sebagai Mahasenapati

Korawa melawan Arjuna. Akhirnya Karna gugur. Cerita ini

lebih terkenal dengan nama KARNA TANDINGAN atau

KARNA TINANDING.

44

Gambar 22. Pertempuran antara Karna dan Gatotkaca yang menyebabkan gugurnya Gatotkaca oleh senjata Konta milik Karna (Sumber:

http://www.santaisejenak.com/cerita-rakyat/suluhan-gatotkaca-gugur/)

9) Salya parwa, pertempuran Mahasenapati Salya. Salya

terkena panah Samiaji akibat supata Resi Bagaspati, mertua

Salya.

10) Sauptika parwa, penyerbuan tiga pahlawan Korawa,

dipimpin Aswatama dan berhasil membunuh Drestajumena,

Srikandi dan Pancawala. Aswatama dikutuk oleh Batara

Kresna, sehingga sukmanya “berada di dalam tanah”.

11) Stri parwa, mengisahkan kesedihan janda-janda dari kedua

belah pihak.

12) Santi parwa, nasihat kewajiban dan tugas Kepala Negara dari

Kresna, serta dari Bisma, agar tenang tenteram mengurus

negara, serta persiapan kurban kuda.

13) Anusasana parwa, nasihat Resi Bisma sebelum meninggal.

14) Aswamedika parwa, korban kuda, upacara pelantikan

Semiaji jadi raja.

15) Asramawasana parwa, Destarata, Dewi Gandari dan Dewi

Kunti, bertapa di hutan, dan meninggal akibat kebakaran

hutan.

45

16) Mausala parwa, mengisahkan meninggalnya Prabu

Baladewa dan Batara Kresna. Negara Meralaya ditelan ombak,

rakyat Meralaya musnah akibat saling gada. Batara Kresna

meninggal akibat terpanah kakinya.

17) Mahasprahastanika parwa, mengisahkan Semiaji

menyerahkan tahta Astina kepada Parikesit. Selanjutnya

Pandawa mengadakan perjalanan suci ke Himalaya. Masing-

masing Pandawa meninggal kecuali Semaji.

18) Swargarohana parwa, buku terakhir. Semaji melihat

saudara-saudaranya di neraka dan Korawa di sorga yang

kemudian bertukar tempat, Pandawa berada di sorga.

Dalam kisah Mahabarata terdapat cerita/lakon yang tidak dapat

dengan begitu saja dipergelarkan, yaitu Bharata Yudha (Perang

Barata), namun kisah-kisah ini paling menarik masayarakat.

Sehingga Baratayuda ini penyajian pagelarannya dibagi dalam 24

lakon.

1) KRESNA DUTA, Kresna menjadi utusan Pandawa meminta

kembali kerajaan Amarta atau Indraprahasta, tetapi Korawa

tetap pada pendiriannya, yang akhirnya diputuskan untuk

tetap berperang.

2) JAYA SETA, berkisah tentang gugurnya Seta oleh Resi Bisma.

3) JAYA RENYUAN, berkisah tentang gugurnya Abimanyu oleh

Jayadrata, oleh senjata Gagakrancang, sehingga tubuhnya

dipenuhi panah.

4) JAYA TIGASAN, berkisah tentang Arjuna sedih atas

kematian Abimanyu, dan membalas dendam kepada Jayadrata.

Jayadrata gugur oleh Arjuna.

5) JAYA PERBANGSA, berkisah tentang gugurnya Gatotkaca

akibat senjata Konta yang digunakan Adipati Karna.Konta

46

menghilang bersama sukma Gatotkaca, layaknya sebuah keris

yang masuk ke dalam warangkanya, karena warangka Konta

ada dalam pusar Gatotkaca.

6) JAYA JAMABAKAN, berkisah tentang matinya Dursasana

oleh Bima. Darah Dursasana digunakan untuk mencuci rambut

Dewi Drupadi serta juga diminum Bima.

7) KARNA TINANDING, berkisah tentang gugurnya Adipati

Karna oleh Arjuna.

8) JAYA LENGLENGAN, berkisah tentang gugurnya Prabu

Salya oleh Darmakusumah, yang juga dibantu oleh supata Resi

Bagaspati (mertua Salya)

9) JAYA LENGGAKAN, berkisah tentang gugurnya resi Dorna

oleh Drestajumena, setelah dibohongi bahwa Aswatama mati.

10) JAYA SEBITAN, berkisah tentang binasanya Patih Sangkuni

oleh Bima, dengan menghantam mulut Sangkuni.

11) JAYA PUPUAN, berkisah tentang gugurnya Prabu Suyudana

oleh Bima. Suyudana membilas badannya dengan minyak

Renggatala/Kamandungu sehingga kebal, tetapi paha (PUPU)

kirinya tidak kena minyak, karena sudah habis. Paha Suyudana

menjadi titik matinya Suyudana, dan dipukul Bima.

12) JAYA GANGSIRAN, berkisah tentang dibunuhnya

Drestajumena, Pancawala dan Srikandi oleh Aswatama, pada

saat tidur di kemah. Aswatama dikutuk Kresna, sukmanya

beredar di dalam tanah.

13) JAYA SUNGGAL, berkisah tentang matinya anak-anak Raja

Wirata : Wratsangka terbunuh oleh Resi Dorna dan Utara oleh

Prabu Salya.

14) JAYA AMPUWALIKAL, berkisah tentang gugurnya Irawan,

anak Arjuna, oleh Kalasrenggi. Kalasrenggi dibunuh Arjuna

47

15) JAYA PRABATA, mengisahkan Sang Prabata, wasu bungsu

yang menitis kepada Bisma melawan Srikandi titisan sukma

Dewi Amba. Resi Bisma dipenuhi panah-panah Srikandi.

16) JAYA LALEWA, berkisah tentang Dewi Siti Sondari,

melakukan satia - labuh geni, karena meninggalnya Abimanyu.

17) JAYA GANDOLAN, mengisahkan gugurnya Burisrawa oleh

Padmanagara/ Sencaki.

18) JAYA GITIKAN, mengisahkan kematian Antaraeja, akibat

menjiat tapak kakinya.

19) JAYA KALAMUNCUL, berkisah tentang saat Arjuna dan

Dipati Karna bertempur, muncul ular yang bernama

Ardawalika, yang ingin membalas dendam kepada Arjuna,

karena ayahnya dibunuh Arjuna. Dengan nasihat Batara

Kresna, Ardawalika dapat dibunuh.

20) JAYA RUNIAGA, mengsahkan Dewi Surtikanti melakukan

satia-labuhgeni akibat gugurnya Dipati Karna.

21) JAYA WINAGUN, Arjuna melawan Walmuka, tetapi Kresna

marah dan pulang ke Dwarawati.

22) JAYA SUMINGGAR, berkisah tentang Wisata mendakwa

Batara Kresna, bahwa pelaku licik dibiarkan. Kresna

mengatakan sukar melaksanakannnya karena perang yang

hebat, tak dapat lagi membedakan mana yang benar dan yang

curang.

23) JAYA WIGEGELA, berkisah tentang Prabu Salya bertengkar

dengan Aswatama, karena Salya “curang” ketika menjadi kusir

Dipati Karna.

24) JAYA SUMINGKAL, berkisah tentang Resi Abiasa mengusir

siluman dan para setan.

48

2. Lakon Carangan

Lakon carangan, atau disebut dengan carangan saja, adalah cerita

gubahan dalang yang hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada

perpustakaan wayang. Lakon carangan boleh dikatakan sebagai lakon

asli yang diberi tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan

(carang dalam bahasa Jawa berarti dahan). Lakon Carangan yang

lazim dipentaskan di antaranya adalah kisah Babad Alas Mertani,

Partakrama, Aji Narantaka, Abimanyu Lahir, dan sebagainya.

3. Lakon Sempalan

Lakon sempalan merupakan lakon atau cerita yang sama sekali

terlepas dari pakem pewayangan. Alur cerita dalam lakon sempalan

merupakan karangan utuh dalang atau pengarang. Hanya nama dan

tempat saja yang digunakan dalam lakon jenis ini. Misalnya cerita

Dawala Gugat, yang mengisahkan gugatan Dawala atau Petruk

terhadap Batara Guru yang telah menelantarkan hidupnya, padahal

dirinya memiliki hak yang sama dengan para dewa lainnya.

4. Lakon Lain-lain

Pengggolongan lakon atau cerita dalam pewayangan juga ada yang

didasarkan kepada jenis ceritanya, di antarannya: lakon lahiran, lakon

raben, lakon gugur, lakon wahyu, lakon banjaran, lakon gugat dan

lakon brubuh.

• Lakon Lahiran biasanya mengisahkan tentang lahirnya seorang

tokoh dalam pewayangan, sebagai contoh lahirnya Dasamuka,

lahirnya Wisanggeni, lahirnya Gatotkaca, dan sebagainya.

49

• Lakon Raben biasanya mengisahkan tentang seorang ksatria yang

menyunting seorang puteri untuk dijadikan istrinya. Lakon Raben

yang paling terkenal adalah Rabine Premadi.

• Lakon Gugur biasanya menceriterakan wafatnya seorang tokoh

wayang, misalnya Salya Gugur, Bisma Gugur, Duryudana Gugur,

dan sebagainya.

• Lakon Wahyu menceriterakan mengenai keberuntungan seorang

ksatria yang mendapatkan anugerah dari dewata karena kesucian

hatinya dalam memaknai setiap cita-citanya. Lakon wahyu yang

paling terkenal yakni Wahyu Makutharama. Lakon wahyu ini

sangat banyak dan tergolong paling disukai masyarakat penggemar

wayang. Karena sifatnya yang ringan, banyak humor, berpetuah,

dan ramai dalam sajian, serta diyakini akan membawa berkah

kebaikan pada penanggap pasca mengadakan pergelaran wayang.

• Lakon Banjaran merupakan kreativitas baru terutama dari

Dalang Ki Timbul Hadiprayitno. Banjaran serupa visualisasi

riwayat hidup seorang tokoh, lengkap dari lahir sampai mati. Maka

Gambar 23. Gatotkaca terlahir dengan nama Jabang Tutuka. Kelahiran Gatotkaca menjadi salah satu cerita sempalan yang menarik untuk diperhatikan. (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)

50

lakon Banjaran Sangkuni menceritakan lahirnya Sangkuni dan

nama aslinya, bagaimana ia mendapat jabatan patih di Astina,

bagaimana ia menyulut pembakaran para Pandawa, sampai

kematian Sangkuni dalam perang Baratayudha. Lakon Banjaran

lainnya adalah Banjaran Durna, Banjaran Bhisma, Banjaran

Salya, Banjaran Pandu dan sebagainya.

• Lakon Gugat merupakan semacam representasi visualiasi protes

pada keadaan yang tidak beres atau ketidak-adilan. Misalnya,

Pandawa Gugat, Pandu Gugat, Gatotkaca Gugat. Walaupun tidak

menggunakan kata "gugat" namun lakon Petruk Jadi Ratu

menampilkan gugatan orang kecil pada majikannya.

• Lakon Brubuh menceritakan hancurnya suatu kerajaan. Maka

ada lakon Brubuh Alengka dan Brubuh Astina

51

TOKOH PANAKAWAN ATAU PUNAKAWAN

Panakawan (diambil dari bahasa Jawa) atau punakawan menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sebutan umum untuk para

pengikut ksatria dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di

Jawa. Pada umumnya para panakawan ditampilkan dalam pementasan

wayang, baik itu wayang kulit, wayang golek, ataupun wayang orang

sebagai kelompok penebar humor untuk mencairkan suasana. Namun di

samping itu, para panakawan juga berperan penting sebagai penasihat

ksatria yang menjadi asuhan mereka.

Istilah punakawan berasal dari kata pana yang bermakna "paham",

dan kawan yang bermakna "teman". Maksudnya ialah, para panakawan

tidak hanya sekadar abdi atau pengikut biasa, namun mereka juga

memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan, seringkali

mereka bertindak sebagai penasihat majikan mereka tersebut.

Gambar 24. Sosok pakakawan versi wayang kulit Jawa Tengah. Dari kiri ke kanan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong (Sumber: http://id.wikipedia.org/)

Para tokoh dalam kelompok Punakawan ini memiliki karakter yang

menarik karena mewakili simbol kerendahhatian dan penebar hikmah.

Mereka adalah tokoh multiperan yang dapat menjadi penasihat para

52

penguasa/ksatria bahkan dewa, penghibur, kritikus hingga menjadi

penyampai kebenaran dan kebajikan.

1. Sejarah Punakawan dalam Pewayangan

Pementasan wayang hampir selalu dibumbui dengan tingkah

laku lucu para panakawan. Pada umumnya kisah yang dipentaskan

bersumber dari naskah Mahabharata dan Ramayana yang berasal dari

India. Meskipun demikian, dalam kedua naskah tersebut sama sekali

tidak dijumpai adanya tokoh panakawan. Hal ini dikarenakan

panakawan merupakan unsur lokal ciptaan pujangga Jawa sendiri.

Menurut sejarawan Slamet Mulyana, tokoh panakawan muncul

pertama kali dalam karya sastra berjudul Ghatotkacasraya karangan

Empu Panuluh pada zaman kerajaan Kediri. Naskah ini menceritakan

tentang bantuan Gatotkaca terhadap sepupunya, yaitu Abimanyu yang

berusaha menikahi Sundari, putri Sri Kresna.

Gambar 25. Ilustrasi panakawan dalam komik di Indonesia menggambarkan Semar bersama ketiga anaknya yang tiada henti bersenda gurau (Sumber:

http://wayang.wordpress.com/)

Dikisahkan Abimanyu memiliki tiga orang panakawan bernama

Jurudyah, Punta, dan Prasanta. Ketiganya dianggap sebagai

53

panakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa. Dalam kisah

tersebut peran ketiganya masih belum seberapa, seolah hanya sebagai

pengikut biasa.

Panakawan selanjutnya adalah Semar, yang muncul dalam

karya sastra berjudul Sudamala dari zaman Kerajaan Majapahit.

Dalam naskah ini, Semar lebih banyak berperan aktif daripada ketiga

panakawan di atas. Pada zaman selanjutnya, untuk menjaga

keterkaitan antara kedua golongan panakawan tersebut, para dalang

dalam pementasan wayang seringkali menyebut Jurudyah

Puntaprasanta sebagai salah satu nama sebutan lain untuk Semar.

2. Tokoh Semar dalam Pewayangan

Sebagaimana disebutkan di atas

bahwa nama Semar pertama kali

ditemukan dalam sebuah karya sastra

berjudul Sudamala yang ditulis pada

masa kerajaan Majapahit. Selain

dalam bentuk kakawin, kisah

Sudamala juga dipahat sebagai relief

dalam Candi Sukuh yang berangka

tahun 1439. Nama Semar kemudian

dikukuhkan sebagai salah satu

panakawan dalam cerita pewayangan

Jawa dan Sunda.

Semar dikisahkan sebagai abdi

atau hamba tokoh utama cerita

tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran

Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai

pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Pada zaman berikutnya, ketika kerajaan-kerajaan Islam

berkembang di Pulau Jawa, pewayangan pun dipergunakan sebagai

Gambar 26. Sosok Semar versi wayang golek gaya Priangan

(Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)

54

salah satu media dakwah. Kisah-kisah yang dipentaskan masih seputar

Mahabharata yang saat itu sudah melekat kuat dalam ingatan

masyarakat Jawa. Salah satu ulama yang terkenal sebagai ahli budaya,

yakni Sunan Kalijaga, mempertahankan keberadaan tokoh Semar ini.

Bahkan, peran aktifnya lebih banyak daripada dalam kisah Sudamala.

Dalam perkembangan selanjutnya, derajat Semar semakin

meningkat lagi. Para pujangga Jawa dalam karya-karya sastra mereka

mengisahkan Semar bukan sekadar rakyat jelata biasa, melainkan

penjelmaan Batara Ismaya, kakak kandung dari Batara Guru, raja para

dewa.

Terdapat beberapa versi tentang kelahiran atau asal-usul Semar,

yakni versi Serat Kanda, versi Paramayoga, versi Purwakanda, dan

versi Purwacarita. Namun semuanya menyebut tokoh ini sebagai

penjelmaan dewa.

Dalam tradisi pewayangan Jawa dan Sunda, nama Semar

dilengkapi dengan Badranaya sehingga menjadi Semar Badranaya.

Kata Badranaya ini berasal dari kata Bebadra yang berarti

”membangun sarana dari dasar” serta kata naya = nayaka = utusan

mangrasul. Jadi, kata badranaya mengandung makna ”mengemban

sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi

kesejahteraan manusia”.

Badannya pendek, tambun, berkulit hitam pekat tetapi

wajahnya putih kepalanya berkuncung sejumput rambut berwarna

putih. Tokoh ini bernama Semar. Jabatannya lurah di Desa Karang

Tumaritis termasuk wilayah Kabupaten Madukara, Pandawa. Karena

itu ia sering pula disebut Lurah Semar atau Lurah Kudapawana.

55

Abdi dalem Kerajaan Pandawa itu

hidup amat sederhana bersama istrinya,

Dewi Sutiragen (Sudiragen) seorang putri

raja serta tiga anaknya. Ada perbedaan

urutan anak-anak Semar di dalam

pewayangan Jawa dan Sunda. Dalam

pewayangan Jawa, anak sulung Semar

bernama Gareng kemudian Petruk dan yang

bungsu bernama Bagong. Sedangkan dalam

pewayangan Sunda, anak sulung bernama

Cepot alias Sastrajingga alias Bagong.

Kedua bernama Dawala dengan nama kecil

Udel, dan yang bungsu bernama Gareng

alias Nalagareng.

3. Semar dan Anak-anaknya

Baik dalam versi Jawa Tengah maupun versi Sunda, anak-anak

Semar seluruhnya ada tiga orang sebagaimana telah disebutkan di atas.

Akan tetapi, pada versi Cirebon terdapat lebih banyak anak-anak

Semar.

Urutan anak Semar pada wayang versi Jawa Tengah adalah

Gareng, Petruk, dan Bagong. Gareng dianggap anak tertua, yang

disusul oleh Petruk, dan si bungsu Bagong. Sementara itu, pewayangan

gaya Jawa Timuran menyebut pasangan Semar hanya Bagong saja,

serta anak Bagong yang bernama Besut.

Menurut versi Sunda, Cepot atau Astrajingga adalah anak

tertua, disusul oleh Dawala atau Petruk, dan anak bungsu Gareng atau

Nalagareng. Baik Cepot, Dawala, maupun Gareng tidak terlahir dari

perkawinan Semar dengan Sutiragen, melainkan hasil ciptaan Semar

sendiri. Banyak versi tentang kelahiran ketiga anak Semar ini, salah

satu di antaranya adalah sebagai berikut.

Gambar 27. Cepot atau Astrajingga versi wayang

golek Sunda (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)

56

Sanghyang Antaga, adik dari

Sanghyang Ismaya, menyatakan bahwa

ia tidak sanggup memelihara Pusaka

Jamus Layang Kalimasada. Antaga

menyerahkan pusaka itu kepada Semar.

Tetapi, Antaga kemudian meminta

teman. Togog kemudian memohon

dengan cara mujasmedi seraya meminta

dari pusaka. Muncullah seorang

makhluk yang mirip Togog, hanya agak

kurus, dan dinamai Sarawita. Togog dan

Sarawita meninggalkan Semar, menuju

ke arah barat.

Sepeninggal Togog atau Antaga

beserta anaknya, Semar menangis sendiri beserta pusaka Layang

Jamus Kalimasada. Tiba-tiba datanglah hujan yang sangat deras.

Semar berlari-lari mencari tempat berteduh, dan menemukan dangau

sehingga ia masuk ke dalam dangau tersebut. Tiba-tiba hujan berhenti

dan seketika terang benderang. Semar sangat gembira dan merasa

ditolong oleh dangau, lalu ia meminta kepada pusaka yang dipegangnta

agar dangau itu dijadikan teman.

Seketika muncullah orang yang mirip Semar namun agak kecil,

dan dinami Astra (Asta) Jingga, asta artinya lengan – jingga jenis

warna, yang berarti bibit kehidupan.

Dalam perjalanannya Semar dan Astrajingga menemukan patok,

yang diubah melalui pemujaan oleh Semar, yang menjelma menjadi

manusia jangkung berhidung panjang dan dinamai Petruk yang artinya

patok di jalan. Pada perjalanan berikutnya, Petruk memiliki nama lain

yang lebih populer, yakni Dewala atau Udel.

Gambar 28. Dawala alias Petruk, anak kedua Semar, versi wayang

golek (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/).

57

Semar bersama kedua anaknya terus

berjalan dan memasuki sebuah tempat

perlindungan sehingga semua binatang buas

tak mampu mengganggu. Tempat

perlindungan itu kemudian di”puja” dan

menjelma menjadi orang pendek, bertangan

bengkok dan berperut buncit dan dinamai

Nalagareng, artinya hati yang kering.

Bersama ketiga anaknya inilah Semar

mengabdi kepada satria-satria yang

memiliki budi luhur.

4. Togog Tejamantri

Togog adalah tokoh wayang yang

digunakan pada lakon apapun juga di pihak

raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan

pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan

ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal

ini, karena ia menjelajah banyak negeri

dengan menghambakan dirinya, dan

sebentar kemudian pindah pada majikan

yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan.

Karena itu kelakuan Togog sering

diumpamakan pada seseorang yang tidak

setia pada pekerjaannya dan sering berganti

majikan.

Togog adalah penjelmaan dari

Sanghyang Antaga, saudara dari Sanghyang

Ismaya atau Semar. Selama hidupnya, Togog

hanya mengabdi kepada raja-raja yang

angkara murka, tetapi dia sendiri tidak pernah terpengaruh. Tugasnya

Gambar 29. Gareng atau Nalagareng, anak bungsu Semar, versi wayang golek

Sunda. (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)

Gambar 30. Togog, penjelmaan Sanghyang

Antaga, versi wayang golek Sunda (Sumber:

http://wayang.wordpress.com/)

58

hanya menasihati raja angkara murka tersebut bukan mengikuti

kemauannya. Akibatnya, setiap kali raja angkara murka tidak dapat

dinasihati, maka Togog dan putranya pun meninggalkannya.

Togog bermata keran (juling), hidung pesek, mulut mrongos (jongang),

tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk. Bergelang.

Kain slobog (nama batik), berkeris dan berwedung. Togog bersuara

besar, cara menyuarakannya dengan suara dalam leher dibesarkan.

Punakawan atau panakawan ternyata tidak hanya terdapat dalam cerita

pewayangan saja. Pada cerita-cerita lain pun kerap ditemukan tokoh-

tokoh yang bisa dianggap sebagai panakawan. Dalam cerita-cerita panji

dikenal beberapa panakawan seperti Sabdapalon dan Nayagenggong.

Dalam kisah-kisah babad di Sunda dikenal adanya tokoh Lengser.

59

KARAKTERISASI DALAM WAYANG

Pertunjukan wayang, baik wayang kulit, wayang golek, maupun

wayang orang, adalah bentuk teater total. Seluruh unsur teater terdapat

dalam proses pertunjukan wayang, termasuk karakterisasi tokoh-tokoh

yang berlaku di dalamnya.

Jika di dalam pementasan teater modern permasalahan

karakterisasi menjadi bagian dari penafsiran aktor, maka dalam

pertunjukan wayang justru tidak. Karakterisasi dalam wayang merupakan

unsur pokok yang sudah ditetapkan aturannya. Pengembangan karakter

dasar tokoh Gatotkaca oleh semua dalang pasti sama dan tidak boleh

berubah. Demikian pula halnya dengan pengembangan karakter para

panakawan. Guyonan dan humor hanya boleh dilontarkan melalui tokoh-

tokoh panakawan serta para raksasa. Sedangkan para satria tidak

diperbolehkan melahirkan guyonan. Sosok satria menurut pakem

pewayangan merupakan suatu keharusan yang tidak boleh diubah dan

dipermainkan semau dalang.

Selain melalui pemahaman dan pengembangan karakter melalui

ucapan dan gerak dalang, pada wayang golek karakter wayang dapat

dilihat dari bentuk fisik serta warna wajah golek yang bersangkutan.

Wajah-wajah wayang golek ada yang putih, ada yang berwajah krem, biru,

merah, hijau, dan lain-lain. Setiap warna tersebut melambangkan karakter

dasar dari sosok wayang tersebut.

Warna merah mewakili sifat-sifat keberingasan, sifat toma (angkara

murka), ketidaksabaran, rasa wera (amarah). Warna hitam dan biru

mewakili sifat-sifat ketentraman, kebangkitan rohani, kedewasaan. Warna

putih mewakili sifat-sifat kemurnian, budi luhur dan tatakrama,

sedangkan warna mas atau kuning (krem) mewakili karakter para narapati

dan kaum ningrat.

60

Di samping itu, karakter dasar masing-masing tokoh dalam

pewayangan telah ditetapkan dan seorang dalang harus menguasainya

dengan lengkap.

1. Tokoh-tokoh pada Babad Lokapala

Pada babad Lokapala terdapat beberapa tokoh penting yang

perwatakannya harus diperhatikan.

- Resi Wisrawa adalah putra Resi

Supadma dari pertapaan Giri Jembatan,

masih keturunan Bathara Sambodana,

putra Bathara Sambu. Resi Wisrawa

sangat sakti dan termashur dalam ilmu

Kasidan. Ia kemudian dinikahkan

dengan saudara sepupunya. Dewi

Lokawati, putri Prabu Lokawana raja

negara Lokapala dengan permaisuri

Dewi Lokati. Dari perkawinan tersebut ia

memperoleh seorang putra bernama

Wisrawana yang kemudian menjadi raja

Lokapala bergelar Prabu Danapati atau

Danaraja.

- Sukesi adalah putri sulung Prabu Sumali, raja negara Alengka

dengan permaisuri Dewi Desidara. Ia mempunyai adik kandung

bernama Prahasta. Walau ayahnya berwujud raksasa Dewi Sukesi

berwajah cantik seperti ibunya, seorang hapsari/bidadari. Ia

mempunyai perwatakan, sangat bersahaja, jujur, setia dan kuat

dalam pendirian. Setelah dewasa Dewi Sukesi menjadi lamaran

para satria dan raja. Untuk menentukan pilihan, Dewi Sukesi

menggelar sayembara : barang siapa yang bisa menjabarkan ilmu

“Sastra Harjendra Yuningrat” dialah yang berhak menjadi

suaminya. Selain itu, pamannya, Ditya Jambumangli putra Ditya

Gambar 31. Begawan Wisrawa (Sumber:

http://wayang.wordpress.com)

61

Maliawan, yang secara diam-diam mencintai Dewi Sukesi ikut

mengajukan satu persyaratan; bahwa hanya mereka yang dapat

mengalahkan dirinya yang berhak mengawini Dewi Sukesi.

Sayembara akhirnya dimenangkan oleh Resi Wisrawa, brahmana

dari pertapaan Girijembatan, yang meminang Dewi Sukesi atas

nama putranya, Prabu

Wisrawana/Danaraja, raja negara

Lokapala. Selain dapat menjabarkan

ilmu “Sastra Harjendra Yuningrat”,

Resi Wisrawa juga berhasil membunuh

Ditya Jambumangli. Dewi Sukesi yang

menolak dinikahkan dengan Prabu

Danaraja, akhirnya menikah dengan

Resi Wisrawa. Dari perkawinan

tersebut, ia memperoleh empat orang

putra, masing-masing bernama

Rahwana, Arya Kumbakarna, Dewi

Sarpakenaka dan Arya Wibisana.

- Prabu Sumali adalah putra Prabu

Suksara, raja raksasa negara Alengka dengan permaisuri Dewi

Subakti. Ia mempunyai adik kandung bernama Ditya Maliawan.

Prabu Sumali menjadi raja negara Alengka menggantikan

kedudukan ayahnya, Prabu Suksara yang mengundurkan diri hidup

sabagai brahmana. Prabu Sumali adalah raja Aditya yang berwatak

brahmana. Ia memerintah negara dengan arif dan bijaksana, adil

dan jujur. Prabu Sumali menikah dengan Dewi Desidara, seorang

hapsari keturunan Bathara Brahma dari permaisuri Dewi Sarasyati.

Dari perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra masing-

masing bernama Dewi Sukesi dan Prahasta.

- Arjunasasrabahu adalah seorang raja yang gagah perkasa, tinggi

kesaktiannya, serta merupakan salah satu titisan Wisnu. Karakter

Gambar 32. Dewi Sukesi yang bersikukuh ingin menguasai ilmu Sastra Jendra (Sumber:

http://wayang.wordpress.com/)

62

dasar Arjunasasrabahu adalah karakter satria gagah tetapi santun.

Kartawirya atau Sahasrarjuna adalah nama seorang tokoh

dalam mitologi Hindu yang dikenal sebagai raja Kerajaan Hehaya

yang beribu kota di Mahismati. Konon, ia dilukiskan memiliki

seribu lengan sehingga dikenal pula dengan sebutan Arjuna

Sahasrabahu, atau "Arjuna yang Berlengan Seribu". Kartawirya

Arjuna merupakan pemuja setia Dewa Dattatreya. Ia pernah

mengalahkan Rahwana, musuh besar Sri Rama dalam kisah

Ramayana. Ia sendiri akhirnya mati di tangan awatara Wisnu yang

bernama Parasurama. Akan tetapi, dalam pewayangan Jawa yang

disebut sebagai awatara Wisnu justru Kartawirya Arjuna sendiri.

Dalam versi ini, Kartawirya Arjuna lebih sering disebut dengan

nama Arjuna Sasrabahu, yang dikenal sebagai raja Kerajaan

Mahespati.

Gambar 33. Dua versi sosok Arjuna Sasrabahu yang digambarkan sebagai avatar Wisnu (Sumber: http://archive.kaskus.co.id/thread/11302687/40)

- Bambang Sumantri atau Patih Suwanda, adalah seorang satria

perkasa yang memiliki sifat agak angkuh. Dia hanya tunduk kepada

Arjunasasrabahu. Karakternya kuat, bicaranya ringan, tetapi tetap

santun. Bambang Sumantri adalah keponakan Rama Bergawa. Dia

63

mempunyai adik bernama Sukrasana yang buruk rupa. Dia pernah

dihukum oleh Arjuna Sasrabahu karena ingin menikahi calon istri

Arjuna Sasrabahu, yaitu diperintah untuk memindahkan Taman

Sriwedari ke alun-alun kota. Berkat bantuan adiknya taman itu bisa

dipindahkan. Namun karena malu punyak adik buruk rupa

akhirnya secara tidak sengaja Sukrasana terbunuh oleh kakaknya

sendiri. Sumantri mati oleh Sukrasana yang menjelma menjadi

buaya ketika Sumantri berkelahi dengan Rahwana.

- Sukasrana, adalah adik dari Sumantri. Tubuhnya berwujud

raksasa kerdil dan sangat mencintai kakaknya. Sukasrana adalah

tipe tokoh yang jujur, rendah hati, sangat setia, dan sakti

mandraguna. Ia putra Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar

dengan permaisuri Dewi Darini, seorang hapsari keturunan Bathara

Sambujana, putra Sanghyang Sambo. Ia mempunyai seorang kakak

bernama Bambang Sumantri, yang berwajah sangat tampan.

2. Tokoh-tokoh pada Periode Ramayana

Pada periode Ramayana terdapat beberapa

tokoh penting yang harus diperhatikan

perwatakannya.

- Sri Rama adalah pewaris tahta kerajaan

Kosala. Ia merupakan titisan Wisnu.

Karakter dasarnya adalah lemah lembut,

santun, dan penuh wibawa. Sri Rama atau

Ramacandra adalah salah satu tokoh

utama dalam wiracarita Ramayana. Ia

adalah putera dari Prabu Dasarata (raja

Ayodhya) dengan Kosalya. Rama

dipandang sebagai Maryada

Purushottama, yang berarti manusia sempurna. Ia juga diyakini

sebagai awatara Dewa Wisnu yang ketujuh yang turun pada zaman

Gambar 34. Sri Rama versi wayang golek (Sumber:

http://saungreyodastrajingga.blogspot.com/)

64

Tretayuga. Rama beristrikan Dewi Sita atau Dewi Sinta, yang

merupakan inkarnasi dari Dewi Laksmi. Dari pernikahan itu,

mereka dikaruniai dua anak kembar yaitu Kusa dan Lawa.

- Laksmana atau Laksmanawidagda adalah putra Prabu Dasarata,

raja negara Ayodya dengan permaisuri kedua Dewi Sumitra, putri

Prabu Ruryana raja negara Maespati. Ia mempunyai empat orang

saudara seayah lain ibu masing-masing bernama Ramawijaya/

Ramadewa, dari permaisuri Dewi Kusalya, dan Barata, Satrugna

serta Dewi Kawakwa ketiganya putra Prabu Dasarata dengan

permaisuri Dewi Kekayi. Laksmana bertempat tinggal di kesatrian

Girituba. Ia seorang satria brahmacari (tidak kawin). Mempunyai

watak halus, setia dan tak kenal takut. Sejak kecil Laksmana sangat

rapat dan sangat sayang kepada Ramawijaya. Laksmana diyakini

sebagai titisan Bathara Suman, pasangan Bathara Wisnu.

- Dewi Sinta adalah putri Prabu Janaka, raja negara Mantili atau

Mitila (Mahabharata). Dewi Sinta diyakini sebagai titisan Bathari

Sri Widowati, istri Bathara Wisnu. Selain sangat cantik, Dewi Sinta

merupakan putri yang sangat setia, jatmika (selalu dengan sopan

santun) dan suci trilaksita (ucapan, pikiran dan hati)nya. Dewi

Sinta menikah dengan Ramawijaya, putra Prabu Dasarata dengan

Dewi Kusalya dari negara Ayodya, setelah Rama memenangkan

sayembara mengangkat busur Dewa Siwa di negara Mantili. Dari

perkawinan tersebut ia memperoleh dua orang putra masing-

masing bernama Lawa dan Kusya.

- Hanoman atau disebut juga Anoman Perbancana Suta, atau

Hanoman, kera berbulu putih putra Batara Guru dari dewi Anjani.

Ia pernah menjabat sebagai senapati kerajaan Mahespati, mengabdi

kepada Batara Rama dalam kisah Ramayana.Ia juga memiliki umur

yang sangat panjang, karena mempunyai tugas menyimpan sukma

Rahwana di dalam cupunya. Itu menurut Pustaka Rajah Purwa

65

Ramayana, yang berbeda dengan versi Ramayana dari India.

Anoman memiliki beberapa ajian. Aji Pancasona, kekuatan

menerima bacokan musuh. Bayu Bajra, pukulan dengan tenaga

ratusan kali sehingga bisa menjepit gunung sonara-sonara untuk

menjepit tubuh dasamuka. Pancanaka, kuku ibu jarinya yang bisa

digunakan sebagai senjata pembunuh yang hebat. Bayu Rota,

kekuatan atau kecepatan secepat angin. Sirna Bobot, aji untuk

meringankan tubuh saat terbang atau pun loncat.

Gambar 35 Penggambaran sosok Hanoman dalam dua versi wayang golek (Sumber: http://batararama.multiply.com/)

- Gunawan Wibisana adalah adik bungsu Rahwana. Wibisana

sangat berbudi luhur dan membela keadilan dan kebenaran. Oleh

sebab itu, dia meninggalkan kakaknya Rahwana untuk memihak Sri

Rama karena melihat bahwa kakaknya salah dan keblinger,

bertindak tidak adil dan mau menang sendiri.

- Sugriwa dikenal pula dengan nama Guwarsa (pedalangan). Ia

merupakan putra bungsu Resi Gotama dari pertapaan

Erraya/Grastina dengan Dewi Indradi/Windardi, bidadari

66

keturunan Bathara Asmara. Sugriwa mempunyai dua orang saudra

kandung masing-masing bernama Dewi Anjani dan Subali.

- Rahwana adalah tokoh utama

yang bertentangan terhadap

Rama dalam Sastra Hindu,

Ramayana. Dalam kisah, ia

merupakan Raja Alengka,

sekaligus Rakshasa atau iblis,

ribuan tahun yang lalu. Rawana

dilukiskan dalam kesenian

dengan sepuluh kepala,

menunjukkan bahwa ia memiliki

pengetahuan dalam Weda dan

sastra. Karena punya sepuluh

kepala ia diberi nama

Dasamukha (bermuka sepuluh),

Dasagriva (berleher sepuluh)

dan Dasakanta (berkerongkongan sepuluh). Ia juga memiliki dua

puluh tangan, menunjukkan kesombongan dan kemauan yang tak

terbatas. Ia juga dikatakan sebagai ksatria besar.

- Kumbakarna adalah putra kedua Resi Wisrawa dengan Dewi

Sukesi, putri Prabu Sumali, raja negara Alengka. Ia mempunyai tiga

orang saudara kandung bernama; Dasamuka/Rahwana, Dewi

Sarpakenaka dan Arya Wibisana. Kumbakarna juga mempunyai

saudara lain ibu bernama Wisrawana/Prabu Danaraja raja negara

Lokapala, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati. Kumbakarna

mempunyai tempat kedudukan di kesatrian/negara Leburgangsa.

Ia berwatak jujur, berani karena benar dan bersifat satria. Pada

waktu mudanya ia pergi bertapa dengan maksud agar dapat

anugerah Dewa berupa kejujuran dan kesaktian. Kumbakarna

pernah ikut serta Prabu Dasamuka menyerang Suralaya, dan

Gambar 36. Rahwana atau Prabu Dasamuka (Sumber:

http://batararama.multiply.com/)

67

memperoleh Dewi Aswani sebagai istrinya. Dari perkawinan

tersebut ia memperoleh dua orang putra bernama; Kumba-kumba

dan Aswanikumba.

- Sarpakanaka adalah putri ketiga Resi Wisrawa dengan Dewi

Sukesi, putri Prabu Sumali, raja negara Alengka. Ia mempunyai tiga

orang saudara kandung masing-masing bernama; Dasamuka/

Rahwana, Arya Kumbakarna dan Arya Wibisana. Sarpakenaka juga

mempunyai saudara seayah lain ibu bernama Prabu Danaraja/

Danapati, raja negara Lokapala, putra Resi Wisrawa dengan Dewi

Lokawati. Tabiat Sarpakenaka adalah manja dan keji.

- Indrajit alias Megananda adalah salah satu putera Rahwana dan

menjadi putera mahkota Kerajaan Alengka. Indrajit merupakan

ksatria yang sakti mandraguna, dalam perang antara pihak Rama

dan Rahwana, Indrajit sering merepotkan bala tentara Rama

dengan kesaktiannya. Ia punya senjata sakti yang bernama

Nagapasa, apabila senjata tersebut dilepaskan, maka akan keluar

ribuan naga meyerang ke barisan musuh.

3. Tokoh-tokoh pada Periode Mahabharata

Pada periode Mahabharata terdapat banyak sekali tokoh yang

berperan. Akan tetapi, tokoh-tokoh penting yang harus diperhatikan

perwatakannya adalah sebagai berikut.

a. Para Pandawa yang terdiri atas

- Yudhistira (disebut juga Dharmakusuma atau Samiaji)

adalah raja yang sangat bijaksana, sangat jujur dan tidak pernah

berbohong, setia terhadap saudaranya, serta luhur budi

pekertinya. Sifat-sifat ini digambarkan dalam perilaku yang

halus, lemah lembut tetapi tegas, serta penuh wibawa.

68

Gambar 37. Prabu Yudhistira, putra tertua Pandawa (Sumber: http://datasunda.org/)

- Bima atau Bratasena atau Werkudara adalah anak kedua

dari lima Pandawa bersaudara. Ia adalah titisan (inkarnasi,

turunan) Batara Bayu. Bima diwujudkan dengan tubuh yang

besar kokoh (dalam wayang kulit di Jawa, perbedaan ukurannya

sangat besar, ketimbang di Bali). Dalam wayang wong (wayang

orang), tentu, pebedaannya tidak bisa jauh sekali, walau untuk

peran Bima juga dipilih penari yang paling tinggi-besar. Dalam

semua gaya (gagrag) wayang, yang khas dari Bima adalah

memiliki Kuku Pancanaka, Gelang Candrakirana, dan Dodot

Bintuluaji (Bangbintuluaji), dengan pola kotak-kotak seperti

papan catur, dengan 4 warna: putih, kuning, merah, hitam.

69

Gambar 38. Penggambaran sosok Bima dalam beberapa versi wayang golek dan wayang kulit (Sumber: http://wayang.wordpress.com/)

- Arjuna adalah putra Pandu yang ketiga dari ibu Dewi Kunti.

Disebut juga panengah Pandawa. Tinggal di Madukara, bagian

dari kerajaan Amarta. Berparas

tampan, banyak disukai wanita.

Memiliki senjata pusaka keris

Pancaroba, Ali-ali Ampal dan panah

Pasopati. Arjuna sangat taat kepada

gurunya, yaitu Resi Drona dari kerajaan

Astina. Dalam cerita pewayangan,

Arjuna memiliki kedekatan khusus

dengan Sri Kresna, sehingga mereka

diibaratkan sebagai dwitunggal.

Memiliki putra salah satunya adalah

Abimanyu.

- Nakula adalah putra Pandu yang

keempat. Disebut juga Pandawa yang

keempat. Memiliki saudara kembar yaitu Sadewa. Nakula

dikenal sebagai seorang ahli pertanian. Karakternya lebih

dewasa dan lebih teliti daripada Arjuna, kakaknya.

- Sadewa adalah saudara kembar Nakula, putra kelima Pandu,

atau Pandawa kelima. Sadewa terkenal sebagai ahli peternakan.

Gambar 39. Arjuna, panengah Pandawa (Sumber:

http://2.bp.blogspot.com/)

70

Gambar 40. Nakula dan Sadewa, dua Pandawa kembar, yang dilahirkan melalui Dewi Madrim. (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/).

b. Tokoh-tokoh yang mendukung Pandawa seperti:

- Sri Kresna adalah anak Dewaki dan Wasudewa, termasuk suku

Yadawa, keturunan Yadu. Ia lahir dari kehamilan yang ke

delapan, jelmaan dewa Wisnu. Semasih kecil hingga remaja

bernama Narayana. Raden Narayana setelah menjadi raja

bernama Prabu Harimurti Padmanaba, karena ia titisan

Begawan Padmanaba. Disebut juga Prabu Dwarawati, karena

menjadi raja di negeri Dwarawati, dan disebut juga Prabu

Kresna, karena berkulit hitam dan lain-lain. la dapat bertahta di

Dwarawati karena mengalahkan seorang raja raksasa bernama

Prabu Kunjana Kresna di negeri tersebut, dan nama Kresna itu

dipakainya juga sebagai namanya sendiri, yakni Prabu Kresna.

Prabu Kresna sebagai pengasuh Pandawa atau disebut dalang,

ialah seorang yang pandai menjalankan siasat politik negara,

peperangan dan lain-lain. Prabu Kresna mempunyai senjata

cakra, senjata yang hanya dikuasai oleh titisan Wisnu, dan

mempunyai azimat kembang Wijayakusuma, untuk

menghidupkan orang mati, yang belum sampai pada takdirnya.

71

Dalam perang Baratayudha Sri Kresna yang memegang daya

upaya kemenangan Pandawa. Usia Prabu Kresna lanjut, hingga

sehabis perang Baratayudha.

Gambar 41. Penggambaran sosok Kresna versi wayang golek dan wayang kulit (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/ dan http://wayang.wordpress.com/)

- Gatotkaca adalah putera Wrekudara atau Bima yang kedua.

Ibunya seorang putri raksasa bernama Dewi Arimbi di

Pringgandani. Waktu dilahirkan Gatotkaca berupa raksasa,

karena sangat saktinya tidak ada senjata yang dapat memotong

tali pusatnya. Kemudian tali pusat itu dapat juga dipotong

dengan senjata Karna yang bernama Kunta, tetapi sarung

senjata itu masuk ke dalam perut Gatotkaca, dan menambah

lagi kesaktiannya. Dengan kehendak dewa-dewa, bayi Gatotkaca

itu dimasak seperti bubur dan diisi dengan segala kesaktian.

Karena itu, Gatotkaca berurat kawat, bertulang besi, berdarah

gala-gala, dapat terbang di awan dan duduk di atas awan yang

melintang. Kecepatan Gatotkaca pada waktu terbang di awan

bagai kilat dan liar bagai halilintar. Kesaktiannya dalam perang,

dapat mencabut leher musuhnya dengan digunakan pada saat

72

yang penting. Gatotkaca diangkat jadi raja di Pringgadani dan ia

disebut kesatria di Pringgadani, karena pemerintahan negara

dikuasai oleh keturunan dari pihak perempuan. Dalam perang

Baratayudha Gatotkaca tewas oleh senjata Kunta yang ditujukan

kepada Gatotkaca. Ketika Gatotkaca bersembunyi dalam awan.

Gatotkaca jatuh dari angkasa dan mengenai kereta kendaraan

Karna hingga hancur lebur. Gatotkaca beristerikan saudara

misan, bernama Dewi Pregiwa, puteri Raden Arjuna.

Gambar 42. Gatotkaca, putra Bima, yang tewas di tangan Karna dalam Bharatayudha. (Sumber: http://batararama.multiply.com/)

- Antareja adalah putera Raden Wrekudara atau Bima yang

tertua dengan Dewi Nagagini, puteri Hyang Antaboga, Dewa

ular di Saptapratala. Antasena juga bernama Antareja, terhitung

sebangsa dewa. Ia dapat hidup dalam bumi dan dapat terbang di

awan. Tetapi ia tetap tinggal di dalam bumi, hanya keluar ke

dunia jika perlu. Kesaktian Antasena mengalahkan kesaktian

Wrekudara ayahnya. Kesaktiannya yang luar biasa, ialah

menyembur bagai ular dan berbisa sekali. Jika dijilatnya bekas

telapak kaki seseorang, matilah orang yang punya jejak itu. Oleh

terang tilik Sri Kresna, Antasena ditipu supaya menjilat jejak

73

kakinya sendiri, Antasena tewas karenanya. Kehendak Sri

Kresna itu karena nanti pada perang Baratayudha Antasena tak

akan mendapat lawan.

Gambar 43. Antareja, putra sulung Bima dari Dewi Nagagini. Badan Antareja digambarkan bersisik. (Sumber: http://www.pitoyo.com/ dan

http://wayang.wordpress.com/)

- Abimanyu. Raden Angkawijaya semasa mudanya bernama

Bambang Abimanyu, putera Raden Arjuna dengan Dewi Wara

Sumbadra. Isteri Abimanyu yang pertama adalah Dewi Siti

Sundari, puteri Prabu Kresna, namun tidak berputra. Isteri

kedua Dewi Utari, puteri Prabu Matswapati, berputera Prabu

Parikesit, ialah penghabisan turunan Pandawa dalam zaman

Purwa. Perkawinan Angkawijaya dengan Dewi Utari ini adalah

tidak sepadan, karena Dewi Utari itu seumur dengan bapak

kakek (nenek moyang atau Jawa:. embah buyut) Angkawijaya,

tetapi oleh kuasa Dewa, Dewi Utari tidak berubah sifatnya, tetap

muda. Raden Angkawijaya sebagai kesatria agung, bersemayam

di negeri Plangkawati, asalnya negeri itu negeri seorang raksasa

yang dikalahkan oleh Angkawijaya.

74

c. Para Kurawa yang diwakili oleh tokoh-tokoh:

- Duryudana atau disebut juga Suyudana adalah putera Prabu

Destarastra di Hastinapura, ia seorang Kurawa yang tertua.

Korawa atau Kurawa berarti suku bangsa Kuru. Setelah dewasa

Duryudana bertahta di Hastinapura bergelar Prabu Duryudana.

Kurawa meskipun bersaudara misan dengan Pandawa namun

senantiasa bermusuhan, hingga terjadi

perang saudara, yang disebut

Baratayudha. Negeri Hastinapurapura

terhitung kerajaan besar, binatara,

maka waktu perang Baratayudha

dapat bantuan dari kerajaan lain.

Sebenarnya Prabu Duryudana seorang

yang sakti, tetapi tak pernah kelihatan

kesaktiannya. Duryudana memiliki

sifat-sifat angkara murka dan mudah

terhasut oleh pamannya, yaitu Patih

Sangkuni, untuk memusnahkan

Pandawa.

- Dursasana adalah putera Prabu

Destarastra yang ke dua di Hastinapura, seorang Kurawa

kesatria yang tinggal di kesatrian Banjarjungut, karena itu ia

disebut juga kesatria Banjarjungut. Dursasana sangat disayangi

oleh rama ibu dan saudara tuanya, Sri Duryudana. Apa yang

diperbuatnya tidak dilarang dan selalu dibiarkan saja. la suka

dipuji dan bertabiat sesuka-sukanya. Tidak ada seorang pun

yang kuasa melarangnya. Perkataan Dursasana kasar diikuti

dengan tertawa dan ia tak pernah tenang. Pada waktu berjalan

melenggang-lenggang panyang, pun waktu duduk ia berbuat

begitu juga, suatu adat yang ganjil sekali.

Gambar 44. Duryudana, tertua dari Kurawa, Raja Hastina yang

berupaya melenyapkan Pandawa (Sumber:

http://wayang.wordpress.com/)

75

Gambar 45. Para Kurawa yang berjumlah 100 orang, merupakan putra-putra dari Drestarata dari Dewi Gendari. Seluruh Kurawa diasuh oleh Sangkuni dengan cara-cara

yang salah. (Sumber: http://wayang.wordpress.com/)

- Citraksa putra Prabu Destarastra di Hastinapura, seorang

Kurawa, saudara Sri Duryudana. Citraksa berbicara gagap,

beradat congkak. la seorang Kurawa yang. terpilih. Dalam

perang Baratayudha Citraksa tewas oleh Arjuna pada waktu

Arjuna mengamuk dalam perang itu,

sesudah Angkawijaya meninggal.

d. Tokoh-tokoh yang mendukung Kurawa

- Sangkuni atau Sakuning merupakan

paman dari Kurawa dan adik dari Gandari.

Sengkuni ini bersifat licik dan suka

menghasut. Kurawa mendapat pengaruh

buruk karena dimanja oleh Sengkuni.

- Resi Drona atau Dahyang Durna

semasa mudanya bernama Bambang

Kumbayana, beroman cakap dan sakti, asal

dari Atasangin. Sebenarnya ia seorang

pendeta bijaksana, guru Pandawa dan

Kurawa. Wrekudaralah seorang anak

muridnya yang sejati. Adapun pada mulanya memang

Gambar 46. Patih Sangkuni, pengasuh Kurawa yang licik.

(Sumber: http://batararama.multiply.com

/).

76

Wrekudara diperdayanya, diperintahkan terjun ke dalam laut

supaya mati. Tapi segala petunjuk Durna yang demikian itu

malahan menjadikan kesempumaan ilmunya atas petunjuk

Dewa Ruci, dewanya Wrekudara yang sebenarnya. Dalam

perang Baratayudha, Durna tewas oleh Raden Drustajumena

kena tusukan keris yang telah kemasukan jiwa Prabu Palgunadi,

yang membalas dendam pada Durna.

Gambar 47. Resi Durna, guru para Pandawa dan Kurawa, seorang resi sakti mandraguna (Sumber: http://2.bp.blogspot.com/)

- Aswatama adalah putra Resi Drona (guru Pandawa dan

Kurawa) dari Dewi Wilotama. Putra satu-satunya, menjadikan

Aswatama sangat disayang oleh ayahnya.

- Karna adalah putera Dewi Kunti dengan Betara Surya, tetapi

melalui kejadian yang gaib, sebab pada waktu Dewi Kunti masih

gadis. Ia mempunyai ilmu dari seorang pendeta Begawan

Druwasa. Ilmu itu tak boleh dirapal ketika ia sedang kena sinar

77

matahari. Tetapi Dewi Kunti lengah, ia melangar pantangan itu,

maka hamillah puteri itu. Oleh pertolongan dan kesaktian

Begawan Druwasa, bayi dalam kandungan itu dapat dikeluarkan

dari telinga (telinga bahasa Kawinya: Karna), dan setelah anak

itu dewasa bernama Karna juga. Konon waktu dilahirkan di

kedua telinganya terselip sepasang anting-anting.

Gambar 48. Karna, semula bernama Aradea, putra Dewi Kunti dari Batara Surya yang dibuang kemudian dipungut oleh kusir Adirata. Karna diangkat menjadi Adipati Awangga oleh Duryudana. (Sumber: http://wayang-golek-

antik.blogspot.com/ dan http://www.tembi.com.)

Oleh banyak orang kemudian ia dianggap sebagai anak tak

berbapa, karena itu ia dibuang oleh neneknya di tepi samudra.

Bayi itu kemudian ditemukan oleh seorang kusir Astina

bernama Adirata. Bayi itu kemudian diberi nama Aradea.

Karena Karna juga anak angkat Betara Surya maka ia bernama

juga Suryaputra. Walaupun Karna saudara tertua Pandawa,

tetapi ia tak berpihak pada saudara-saudaranya itu, malah ia

memihak kepada kerajaan Hastinapura, yang rajanya terhitung

saudara misannya. Karna berbuat demikian karena dia merasa

disia-siakan oleh orang tuanya pada waktu masih bayi. Hingga

Baratayudha Karna tetap memandang Pandawa sebagai musuh

yang mutlak. Dalam Baratayudha Karna berperang tanding

78

dengan Arjuna hingga tewas, menepati kesetiaannya pada

kerajaan Hastinapura.

e. Tokoh lain di luar Pandawa dan Kurawa

- Raden Kakrasana waktu jadi raja di Madura bergelar Prabu

Baladewa. Ia naik tahta setelah menjadi menantu Prabu Salya,

raja di Madraka. Ketika itulah ia mendapat gelar Prabu

Baladewa, karena pada waktu kawin dihadiri oleh para dewa. Ia

mendapat hadiah dari Betara Guru berupa senjata Algora dan

diberi nama oleh dewa Kusumawalikita, Balarama, Basukiyana.

Hyang Narada memberi nama Alayuda.

Gambar 49. Prabu Baladewa dalam dua versi wayang kulit dan wayang golek Sunda (Sumber: http://punakawan-suroboyo.blogspot.com/ dan

http://blvckshadow.blogspot.com/)

Setelah menjadi raja ia memihak pada Kurawa dan memusuhi

Pandawa, saudara misannya sendiri. Karena kesaktian Prabu

Baladewa itu dipandang oleh Sri Kresna tidak akan tertandingi,

maka menjelang perang Baratayudha, ia ditipu oleh Sri Kresna

supaya bertapa di Grojogan Sewu. Setelah Prabu Baladewa

mendapat nasehat Sri Kresna, ia menuju tempat yang ditunjuk

dan bertapa di Grojogan Sewu. Pada saat bertapa di air terjun,

terlihat darah mengalir dan mengertilah ia bahwa perang

79

Baratayudha telah terjadi. Setelah perang, Prabu Baladewa

kembali Ke Hastinapura, dan mengetahui kekalahan Kurawa

dan binasa di medan perang. Kemudian Prabu Baladewa

mengikuti Pandawa mengasuh Prabu Parikesit hingga ajalnya.

Prabu Baladewa mempunyai senjata bernama Nanggala,

kesaktiannya tak seorang pun yang mampu menahannnya

sekalipun ia dewa.

- Raden Wratsangka, putera bungsu raja di Wirata, Prabu

Matswapati, saudara Raden Seta. Wratsangka beristerikan Dewi

Sindusari, puteri Prabu Tasikraja di Tasikretna, sebagai hadiah,

karena ia dapat mengalahkan musuh seorang raja raksasa di

Bulukapitu, bernama Prabu Prawata. Dalam perang

Baratayudha, setewasnya Raden Utara, Wratsangka diangkat

menggantikan sebagai panglima perang. Kemudian ia mati juga

oleh Bisma. Kematian ketiga kesatria ini dalam sehari, sangat

mengharukan sekalian yang seisi negeri. Hingga ibu para

kesatria itu datang ke medan perang menangisi jenazah

puteranya yang berkumpul jadi satu. Rasa duka ibu ini tak

terhingga dengan memandang wajah putra-putranya. Tetapi

besar juga dalam hati, karena kematian kedua putera lantaran

berbakti kepada negeri tumpah darah yang merebut kebenaran.

Selain tokoh-tokoh di atas, pada setiap cerita masih terdapat sejumlah

tokoh dan karakter yang berpengaruh terhadap jalan cerita. Bahkan,

tokoh-tokoh dewa pun digambarkan secara nyata dalam bentuk wayang

sebagaimana tokoh-tokoh lainnya.

- Batara Guru merupakan dewa yang merajai kahyangan. Ia

merupakan perwujudan dari dewa Siwa yang mengatur wahyu,

hadiah, dan berbagai ilmu kepada para tokoh wayang lainnya.

Batara Guru mempunyai istri Dewi Uma, dan mempunyai

beberapa anak. Betara Guru digambarkan sebagai wayang

80

bertangan empat, dua tangan di antaranya memegang senjata

trisula dan bunga teratai. Hewan kendaraan Batara Guru adalah

sang lembu Nandini.

Gambar 50. Batara Guru versi wayang golek dan wayang kulit (Sumber: http://batararama.multiply.com/ dan http://blvckshadow.blogspot.com/)

- Batara Brahma juga disebut Brahma atau Batara Agni.

Penguasa api. Ayah dari Dewi Dresanala, yang kemudian

melahirkan anak bernama Wisanggeni, satu-satunya keturunan

bangsa manusia, yang berani dan mampu menggugat kekuasaan

bangsa dewa. Dewa Brahma beristri Dewi Saraswati, yang

menurunkan segala ilmu pengetahuan ke dunia.

- Batara Wisnu adalah dewa mempunyai tunggangan seekor

burung garuda bernama Brihawan. Dia adalah seorang dewa

yang suka memelihara ketentraman mayapada dari ancaman

para angkara murka, semua ini terbukti beberapa kali ia menitis

kepada para raja dan kesatria atau berwujud apa saja, guna

menumpas angkara murka. Seperti terlukis dalam ceritera

Ramayana, di sini Batara Wisnu berujud prabu Rama yang

menumpas prabu Rawana beserta bala tentaranya, dan Batara

81

Wisnu selalu menjadi musuhnya Batara Kala, ini sebagai

lambang Budi Wening dan Angkara Murka.

- Batara Indra adalah putra Batara Guru dari Dewi Uma. Batara

Indra mempunyai kekuasaan atas para dewa dan para bidadari

di sorga. Selain itu sering memberikan anugrah atau hadiah

pada siapa saja yang gemar bertapa dan membantu ketentraman

dunia serta permintaan titah yang sedang bertapa. Batara Indra

mempunyai kekuasaan memerintah para Dewa atas perintah

Hyang Guru. Batara Indra mempunyai keahlian berperang dan

banyak mempunyai panah sakti. Betara Indra merupakan dewa

yang menyebabkan kelahiran Arjuna melalui Dewi Kunti.

- Batara Surya adalah seorang dewa yang menguasai gerak

Matahari. Serta dalam lakon lahirnya Karna Betara Surya adalah

salah satu dewa yang menurunkan raden Suryaputra dengan

ibunya dewi Kunti. Menurut silsilah pewayangan di Jawa dan

Sunda, Batara Surya merupakan salah seorang putra dari

Sanghyang Ismaya atau Semar.

- Batara Narada adalah tangan kanan Batara Guru di negeri

Jonggring Saloka. Memiliki postur tubuh yang khas, bulat

gemuk, kepala selalu tengadah dan jalan berjingkat-jingkat.

Dilahirkan di sebuah alam kasat mata Sidi Udaludal. Walaupun

kehadirannya selalu merupakan wakil dari Batara Guru, tapi

tidak jarang bangsa dewa ini selalu berselisih paham dengan

dewa lainnya. Terutama kritisinya atas sikap Batara Guru yang

selalu ingin mengatur kehidupan di Macapada.

82

STRUKTUR LAKON DALAM PERTUNJUKAN WAYANG

Struktur lakon atau cerita wayang berkaitan erat dengan struktur

pertunjukan wayang secara keseluruhan. Struktur lakon wayang ini tentu

sangat terikat oleh kebutuhan pentas sehingga polanya diatur sedemikian

rupa agar dapat menyajikan peristiwa demi peristiwa secara runtut.

Penyajian epos Ramayana dan Mahabharata secara utuh bukanlah

hal yang mudah dan tidak akan menarik. Oleh karena itu, diperlukan

keterampilan khusus bagi para penyanggi cerita untuk menyusun

peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita agar menarik. Aspek menarik di

sini mengandung makna dapat diikuti dengan mudah mengingat penikmat

pertunjukan wayang bukan hanya dari kalangan pelajar saja, melainkan

juga kalangan masyarakat secara luas.

Menurut kaidah dramatik, sebuah cerita pada dasarnya terbagi atas

tiga bagian: awal cerita, tengah cerita, dan akhir cerita. Awal cerita akan

menentukan perkembangan bagian tengah cerita, dan peristiwa-peristiwa

yang berlangsung pada bagian tengah cerita akan sangat menentukan

bagian akhir cerita.

Bagian awal cerita wayang terdiri atas pemaparan tentang tempat,

waktu, tokoh, serta situasi yang sedang berlangsung. Pada bagian

pendahuluan ini muncul motif-motif yang kemudian mulai saling

berbenturan dengan kondisi dan situasi di sekelilingya atau tokoh lain.

Bagian tengah cerita merupakan pengembangan atas motif-motif

yang muncul pada bagian awal. Motif-motif tersebut kemudian saling

berbenturan dengan motif-motif lain sesuai dengan kepentingannya. Pada

bagian inilah yang dinamakan dengan konflik cerita. Konflik ini bisa saja

dapat merugikan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lain.

83

Ketika salah satu pihak kian terdesak dan sulit melepaskan diri dari

tekanan pihak lain, muncul solusi berupa pertolongan yang dapat

menyelesaikan masalah. Pihak yang tertekan kemudian bangkit dan

melawan pihak yang menekan.

Bagian akhir cerita digambarkan pihak yang asalnya tertekan

memperoleh kemenangan. Bagian akhir ini juga akan diisi dengan

penjelasan-penjelasan tentang peristiwa yang telah berlangsung, serta

nasihat-nasihat bagi semua penonton.

Dalam struktur cerita wayang terdapat beberapa pola cerita yang

lazim digunakan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

Pola Bagian Deskripsi Cerita

Awal Sang pahlawan (ksatria) memperoleh panggilan gaib atau panggilan dewata.

Tengah Sang pahlawan berangkat menuju dunia lain, dunia di luar kesehariannya. Di sana ia diuji dan setelah lulus ia memperoleh anugerah dewata.

Mintaraga

Akhir Anugerah ini kemudian ia gunakan untuk menyejahterakan sesamanya.

Awal Sang Wisnu turun ke dunia dan menitis pada satu tokoh dan bertugas untuk memerangi angkara murka.

Tengah Tokoh yang dititisi Wisnu mencari identitas dirinya secara metafisikal. Kemudian ia memerangi angkara murka yang mengancam dan akan merusak ketenteraman dunia dan kesejahteraan manusia.

Wisnu Nitis

Akhir Angkara murka dapat diberantas dan keadaan dunia kembali aman sejahtera.

84

Pola Bagian Deskripsi Cerita

Awal Salah seorang putra Arjuna di pertapaan kakeknya bertanya tentang siapa sebenarnya ayah kandungnya. Sang Kakek mengatakan bahwa ayahnya adalah Arjuna.

Tengah Sang ksatria pun pergi ke Amarta mencari ayahnya. Ia kemudian diuji melalui pelaksanaan dharmanya sebagai ksatria.

Mencari Ayah

Akhir Setelah lulus, resmilah ia dakui sebagai putra Arjuna.

Selain pola-pola di atas, masih dapat kita temukan pola-pola lain

dalam drama klasik yang dapat kita pelajari dan kita kembangkan.

Misalnya saja Pola Mencari Pengetahuan, Pola Kejayaan-

Kejatuhan, Pola Mengalahkan Kejahatan, dan sebagainya.

85

STRUKTUR PEMENTASAN WAYANG

Dalam sebuah pementasan wayang, baik wayang kulit, wayang

golek, maupun wayang orang, selalu terlibat sejumlah unsur yang harus

dipenuhi. Unsur-unsur tersebut terdiri atas cerita, bahasa dan sastra

pedalangan, unsur tarian, unsur antawacana, dan aspek dramatik.

1. Unsur Cerita

Unsur cerita, sebagaimana telah dikemukakan pada bagian

terdahulu, bersumber dari epos Mahabharata, Ramayana, dan Babad

Lokapala. Meskipun demikian, terdapat juga sejumlah cerita yang

bersumber dari kisah-kisah lain seperti perjuangan Islam (pada wayang

menak) serta cerita-cerita panji (pada wayang golek Jawa Tengah).

2. Bahasa dan Sastra Pedalangan

Bahasa pedalangan mengacu kepada bahasa yang digunakan dalang

dalam pementasan. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa tuturan yang

sesuai dengan tingkatan atau derajat kedudukan tokoh wayang. Misalnya,

bahasa yang digunakan oleh para ksatria lungguh akan berbeda dari

bahasa yang digunakan oleh para raksasa. Bahasa komunikasi Arjuna akan

berbeda dari bahasa komunikasi yang digunakan si Cepot. Termasuk

humor dan guyonan yang dilakukan oleh para tokoh dalam wayang. Akan

janggal rasanya kalau tiba-tiba mendengar Arjuna dan Kresna bersenda

gurau sebagaimana layaknya si Cepot dan si Dawala.

Sastra pedalangan mengacu kepada bentuk-bentuk murwa,

nyandra, kekawen, renggan, dan sendon yang digunakan dalang.

Murwa adalah lirik yang dinyanyikan oleh dalang pada adegan

permulaan yang dimaksudkan untuk menggambarkan keadaan suatu

adegan. Murwa ini bermacam-macam bentuknya. Di antara murwa yang

sering dilantunkan oleh dalang di tatar Pasundan dan Jawa Tengah adalah

86

Kembang Sungsang, Murwa Jejer Keraton (Patet Lasem), Murwa

Pertapaan (patet Sanga), Murwa Taman Bunga (patet Manyura Ageng),

Murwa Astina, serta Murwa adegan Sawarga. Lirik dari murwa tersebut

biasanya sudah ditetapkan dan merupakan pustaka acuan bagi para

dalang.

Contoh murwa Kembang Sungsang:

Kembang sungsang, gotaka rawis wayang Rap kidap, purwa mandra-mandra winulan Sosoroti kadya sang Diwangkara Kadya sangiang Latri kapajut gumbira lawan ancala

Setelah murwa, biasanya dilanjutkan dengan nyandra. Nyandra

adalah prosa lirik yang dipergunakan dalang untuk melukiskan keadaan

suatu adegan sebagai pengarahan bagi penonton. Di Jawa Tengah, bagian

ini sering dinamakan dengan Janturan, sedangkan di Cirebon disebut

Ngretawara atau Prasanta. Panjang atau pendeknya nyandra sangat

tergantung kepada kemampuan dalang dalam mereka bahasa dan sastra

pedalangan. Ada dalang yang lebih suka menggunakan bahasa yang

panjang, dan sebagian lainnya adal yang lebih pendek. Nyandra

merupakan penggambaran setting atau latar. Latar ini dapat berupa

tempat (negara, keraton, pertapaan, medan pertempuran), waktu, atau

keadaan. Oleh karena itu, setiap jejer atau latar memiliki nyandra

masing-masing, seperti jejer Amarta, Jejer Astina, Jejer Sawarga, dan

sebagainya.

Kakawen berasal dari kata ka-kawi-an. Artinya, ungkapan atau

lantunan lagu yang menggunakan tiruan bahasa Kawi. Istilah kakawen

hanya dikenal di Jawa Barat saja. DI Jawa Tengah digunakan istilah

suluk. Suluk atau kakawen adalah syair yang dinyanyikan oleh dalang,

berisi simbol-simbol atau pepatah, nasihat, penerangan bagi masyarakat.

Kakawen disajikan setelah gending akhir pengiring selesai dimainkan.

Kakawen atau suluk yang disajikan pad akhir gending pengiring jejer ini

dinamakan dengan sebrakan. Beberapa sebrakan yang sering

87

dinyanyikan oleh para dalang di antaranya adalah Saur Nira, Betet Ijo, Sri

Timon, dan sebagainya.

Contoh kakawen: Sri Timon

Sri timon pasewakan, busana maneka warna Kebak puspiteng udiana, miang hanjrah sarwa rukma Renggeng manik narawata, narawata Narawungkang ajuwala, ajuwala

Kakawen berikutnya adalah untuk menggambarkan adegan yang

disertai dengan menancapkan gunungan atau kayon. Suluk atau kakawen

yang digunakan di antaranya adalah Kayu Agung, Gedong Duwur, Toya

Mijil, Gunung Kelir, dan Tinungsang.

Kakawen Kayu Agung:

Kayu agung babar wite, samia rebel godonge, ya godonge Samia rogol yang pangpange, sekar mekar ing galihe Pandele si pandan arum.

Kakawen digunakan juga untuk menggambarkan jabatan seperti

pandita, keputren, denawa, sinatria, dan pandawa. Kakawen juga

digunakan untuk menggambarkan tokoh-tokoh tertentu seperti Arjuna,

Kresna, Semar, Gatotkaca, Durna, Kumbakarna, dan sebagainya.

Kakawen Semar:

Semar – semar ya gegelar Wayang agung sumalindung Semar – semar ya gegelar Semar sana danar guling.

atau

Semar semar ya winangnong Semar kuncung pakuning alam Semar-semar ya gegelar Wayang Agung sumalindung.

Sendon adalah vokalia yang disajikan dalang dan berfungsi untuk

mendukung suasana sedih yang dialami oleh tokoh pada suatu adegan.

88

Kesedihan tersebut diungkapkan melalui syair dan melodi tertentu. Ada

bentuk sendon umum (digunakan dalam berbagai situasi sedih oleh

sembarang tokoh), sendon lara tangis (digunakan untuk menggambarkan

tangisan penuh kedukaan), sendon papaten (digunakan untuk

menggambarkan kesedihan karena kematian), dan sendon penanggalan

(digunakan khusus untuk menggambarkan kerinduan Sinta terhadap Sri

Rama dalam kisah Ramayana).

Sendon Umum yang sering digunakan:

Rebang rebang cinandak layang kakerin, Wis tinancak perlambange, perlambange sinungkemi.

Renggan adalah vokalia yang digunakan untuk menggambarkan

suatu adegan atau suasana dalam suatu adegan. Misalnya renggan taman

bunga (menggambarkan keindahan taman bunga), renggan gembira

(menggambarkan kegembiraan yang diperoleh karena suatu sebab),

renggan kaget, renggan tamu datang, renggan sukma atau ruh keluar

dari jasad, dan renggan denawa.

Renggan Gembira:

Bingah amarwata suta, bingah kagiri-giri Aningal dayu kang nembe rawuh, solendra katon pawarna.

Renggan Kaget:

Kaget den nira ningali Ningali kang nembe rawuh solendra katon pawarna

Renggan sukma keluar dari jasad:

Nur cahya sekaring wawang Sukma medal saking raga Solendra katon pawarsa.

Greget Saut adalah vokalia yang menggambarkan kemarahan

seorang tokoh tertentu. Misalnya greget saut Arjuna, greget saut Kresna,

89

greget saut Bima, greget saut Karna, greget saut Gatotkaca, dan

sebagainya.

3. Unsur Tarian

Unsur tarian dalam pergelaran wayang golek dan wayang kulit

adalah keterampilan dalang dalam memainkan wayang, baik dalam

menari, berjalan, berperang, dan sebagainya. Sedangkan pada wayang

orang adalah keterampilan masing-masing pemain dalam melakukan

gerak-gerak yang diperlukan dalam proses pemeranan tokoh wayang.

Dalam pergelaran wayang golek terdapat bentuk-bentuk ibing (tarian)

bagi berbagai tokoh seperti ibing raja, ibing satria lungguh, ibing satria

dangah, ibing satria ladak, ibing putri halus, ibing putri dangah, ibing

topeng, ibing danawa, ibing panakawan, ibing semar, ibing cepot, ibing

dawala, ibing gareng, dan sebagainya. Selain itu, terdapat pula berbagai

gerak perang baik tanpa senjata maupun dengan senjata.

4. Unsur Antawacana

Antawacana adalah penampilan suara dalang yang diolah untuk

membeda-bedakan dialog atau paguneman setiap wayang berdasarkan

warna suara, nada dasar (surupan), serta logat atau aksen. Di Jawa Tengah

dikenal dengan nama Catur atau Paguneman.

Warna suara dalam istilah pedalangan dimaksudkan sebagai

perbedaan karakter suara bagi masing-masing tokoh wayang. Warna suara

ini diperoleh melalui keterampilan dalang dalam mengolah suaranya

berdasarkan teknik-teknik vokal tertentu. Ada tiga teknik pengembangan

warna suara yang digunakan sebagai karakter suara, yakni suara biasa,

suara gangsa, dan suara bengek.

- Suara biasa adalah suara dasar yang dimiliki dalang yang

disesuaikan dengan nada-nada tertentu pada gamelan. Jenis

suara ini biasanya dimiliki oleh Arjuna, Yudhistira, Abimanyu

(Amarta); Duryudana dan Lesmana Mandrakumara (Astina); Sri

90

Rama, Laksmana, Sinta (Ayodya); Pandu Dewanata, Kunti

Nalibrata, Arimbi, Rukmini, serta satria-satria yang setara.

- Suara gangsa diperoleh dengan cara pengolahan suara dada

dan suara perut yang ditekan pada tenggorokan. Jenis suara ini

digunakan untuk penyuaraan wayang-wayang yang berkarakter

kasar, gagah, berwibawa, berani atau serakah. Di antaranya

adalah Antareja, Antasena, Bima, Gatotkaca, Udawa (Amarta);

Aswatama, Baladewa, Jayadrata, Bisma, Salya, Suyudana

(Astina); Indrajit, Prahasta, Kumbakarna, Rahwana, Somali

(Alengka); Bayu, Indra, Basuki, Yamadipati, Sambu

(Swargaloka); Brajamusti, Brajawisesa, Brajalambatan

(Banyu Mudal); ponggawa-ponggawa lain seperti Anoman,

Anggada, Dursala, Gandamanah, dan sebagainya.

- Suara Bengek diperoleh melalui pengolahan suara dada atau

suara perut yang ditekan ke tenggorokan dan dikeluarkan

melalui rongga hidung. Jenis suara ini digunakan untuk

menggambarkan penyuaraan wayang-wayang yang bersifat

lantang, lincah, putri lungguh. Penampilan suara ini pun

diselaraskan dengan nada dasar yang sesuai dengan gamelan. Di

antara wayang yang menggunakan jenis suara ini adalah jenis

Satria Ladak seperti Aradea, Arayana, Bambang Somantri,

Citragada, Drestajumena, Ekalaya, Irawan, Janaka, Kresna,

Karna, Narasoma, Samba, Eisanggeni. Kemudian jenis Putri

Lincah seperti Banowati, Erawati, Surtikanti, Kakeyi, Rukmini,

Setiawati, dan lainnya. Selanjutnya Putri Lungguh seperti

Larasati, Lara ireng, Mustakaweni, Subadra, Supraba, Windardi,

dan sebagainya. Jenis suara ini juga digunakan untuk

penyuaraan tokoh-tokoh Kombayana, Bilung, Semar, Togog,

serta denawa tertentu.

91

- Selain ketiga jenis suara di atas, kadang-kadang digunakan juga

suara falseto (cop stem). Jenis suara ini digunakan untuk

wayang-wayang yang bersifat lucu.

Unsur nada dasar juga menentukan jenis suara wayang. Perbedaan

penggunaan nada dasar (surpan) akan sangat terasa jika tengah

menyuarakan dua karakter wayang yang sama. Misalnya paguneman atau

pembicaraan yang terjadi antara Bima dan Gatotkaca yang memiliki suara

gangsa. Untuk membedakannya biasanya digunakan nada dasar yang

berbeda. Misalnya Bima menggunakan nada dasar Barang rendah (B

ageng), sedangkan Gatotkaca menggunakan nada dasar Loloran atau

Kenongan ageng.

Unsur terakhir yang menentukan karakter suara tokoh wayang

adalah logat atau aksen bicara. Ada logat yang memberi kesan lemah

lembut seperti pada tokoh Arjuna dan Yudhistira; ada pula yang berlogat

enteng, lincah, hidup, gembira seperti yang diterapkan kepada Karna,

Kresna, Ekalaya, dan sejenisnya. Ada pula tokoh wayang yang berbicara

gugup seperti pada tokoh Dursasana, Rahwana, dan Burisrawa. Ada pula

yang berbicara dengan logat yang memiliki kesan keras, tegas, dan tegap

seperti yang diterapkan kepada tokoh Gatotkaca, Bima, Bisma, Indrajit,

Salya, dan sebagainya.

Hal yang sama juga diterapkan kepada wayang-wayang putri sesuai

dengan karakter masing-masing. Wayang-wayang panakawan juga

menggunakan berbagai logat sebagaimana disebutkan di atas tetapi

diselaraskan dengan karakter masing-masing.

5. Aspek Dramatik

Aspek dramatik pedalangan berkaitan dengan struktur pertunjukan

yang disajikan. Aspek dramatik yang langsung dapat dinikmati oleh

penonton adalah susunan pengadegan serta konstruksi pentas.

92

a. Susunan Pengadegan dalam Pergelaran Wayang

Susunan pengadegan tidak lain adalah pembabakan dalam cerita yang

dikaitkan dengan proses pertunjukan. Secara umum struktur

pertunjukan terdiri atas adegan-adegan berikut.

(1) Tatalu adalah bagian permulaan pementasan ketika

pertunjukan akan segera dimulai. Tatalu berarti memainkan

gamelan dalam rangka memberitahu masyarakat bahwa

pertunjukan akan segera dimulai. Pada saat ini, dalang dan

sinden naik panggung. Dalang kemudian memukul campala dan

gending kawitan atau gending jejer pun ditabuh. Setelah selesai,

dilanjutkan dengan murwa, kemudian nyandra, dan kakawen.

(2) Adegan pertama atau Jejer yang merupakan penjelasan dalang

tentang latar sesuai dengan tempat peristiwa berlangsung.

Misalnya kerajaan Amarta, kerajaan Hastina, kerajaan Maespati,

dan sebagainya.

(3) Kadatonan, yakni adegan yang mengisahkan raja yang sedang

membicarakan permasalahannya bersama keluarganya.

(4) Paseban adalah adegan bermusyawarah bersama seluruh tokoh

dan narapati kerajaan di paseban.

(5) Jaranan mengisahkan persiapan perjalanan pasukan kerajaan

dengan menggunakan berbagai kendaraan. Biasanya adegan ini

dilakukan melalui narasi dalang.

(6) Bebegalan mengisahkan keadaan barisan pasukan yang dicegat

oleh para denawa penghuni hutan. Peperangan terjadi yang

dimenangkan oleh pasukan kerajaan.

(7) Pagedongan merupakan adegan pembatas yang ditandai

dengan menancapkan gunungan. Pada saat ini sepintas dalang

menjelaskan perpindahan adegan melalui narasi.

93

(8) Negara Sejen mengisahkan keadaan yang ada di negara lain.

Adegan ini dapat berupa adegan kerajaan, pertapaan, atau

tempat lain yang ada sangkut pautnya dengan cerita yang digelar.

Topik permasalahan yang dibicarakan pada adegan negara sejen

ini berkaitan dengan permasalahan yang dibahas pada awal

cerita, baik bertentangan ataupun sejalan.

(9) Perang Gagal mengisahkan peperangan antara pasukan

kerajaan dengan pasukan negara sejen. Peperangan diakhiri

dengan salah satu keputusan: pasukan kerajaan mengalami

kekalahan, dilakukan perundingan, melakukan kerja sama, atau

tindakan lain yang sesuai dengan kepentingan cerita.

(10) Adegan sambilan (di Jawa Tengah disebut dengan Goro-

goro) menceritakan suatu adegan (kerajaan, pertapaan, atau

tempat lain) yang ada kaitannya dengan alur cerita. Manurut

kebiasaan, adegan ini diawali dengan keluarnya para panakawan,

yaitu Semar, Cepot, Dawala, dan Gareng sebagai pengawal atau

pengasuh. Dalam adegan ini biasanya dipenuhi dengan gelak

tawa penonton karena menyaksikan senda gurau para

panakawan.

Gambar 51. Adegan sambilan atau Goro-goro biasanya ditandai dengan munculnya para panakawan (Sumber: http://www.wayangprabu.com/)

94

Apabila adegan ini menggambarkan suatu pertapaan, maka satria

yang diasuh panakawan sudah tamat menuntut ilmu

kesaktiannya sehingga diperbolehkan untuk membaktikan

kemampuannya. Pada bagian ini tumbuh penjelasan tentang

pertolongan bagi pihak yang benar.

(11) Adegan penyelang merupakan adegan yang akan memberikan

pertolongan kepada pihak yang benar. Pada adegan ini terjadi

pertemuan antara pihak yang menolong dan pihak yang meminta

pertolongan. Setelah selesai perundingan, maka penolong dan

yang ditolong berangkat menuju pertempuran dengan negara

sejen.

(12) Perang Kembang mengisahkan perang-perang awal dari

pelaku utama dalam membela kebenaran. Adegan ini biasanya

merupakan peperangan antara panakawan dengan pengikut

pasukan musuh.

(13) Perang ruket merupakan perang sesungguhnya antara pelaku

utama dengan musuh. Akhir dari peperangan ini adalah

kemenangan bagi kebenaran. Pasukan musuh lari tunggang

langgang, dan musuh utamanya menyatakan takluk atau perlaya.

(14) Adegan pamungkas merupakan adegan penutup yang berisi

akhir cerita yang melukiskan kemenangan pihak yang benar dan

kekalahan pihak yang salah.

b. Konstruksi Pentas

Panggung pertunjukan wayang golek dan wayang kulit adalah

dua batang gedebog pisang yang ada di hadapan dalang, bukan ruang

dengan empat dinding sebagaimana tempat permainan bagi teater.

Kedua batang pisang ini harus dapat diolah dan dikembangkan

sedemikian rupa sehingga dapat menampilkan peristiwa-peristiwa

penting yang terjadi dalam cerita.

95

Dalang menempatkan wayang-wayang yang dimainkannya

pada dua batang pohon pisang sesuai dengan kaidah yang

dipahaminya. Secara sederhana, komposisi standar penempatan

wayang adalah sebagai berikut.

Gambar 52 Konstruksi pentas pada pertunjukan wayang golek dan wayang kulit.

Keterangan:

X = gedebog bagian luar sebagai tempat bagi tokoh berkedudukan

tinggi dan dihormati.

Y = gedebog bagian dalam sebagai paseban.

Sedangkan abjad-abjad A, B, C, D, E, dan F merupakan tokoh-

tokoh yang dimainkan dengan ketentuan sebagai berikut.

Adegan A B C D E F

Amarta Yudhistira Bima Kresna Arjuna Nakula Sadewa

Sawarga Batara Guru Batara Narada

Batara Indra

Batara Bayu

Batara Sambu

Kamajaya

Alengka Rahwana Togog Prahasta Indrajit Bukbis Marica

Hastina Duruyudana Karna Pandita Durna

Banakeling Dursasana Aswatama

Bloking atau penempatan wayang di atas sesungguhnya

didasarkan atas pengalaman para dalang yang kemudian diikuti

96

sebagai ketentuan. Pada adegan-adegan lain, penempatan tokoh

disesuaikan pula dengan tingkat atau strata sosial tokoh masing-

masing.

Hal lain yang menjadi fakta menarik adalah posisi wayang pada

tangan dalang ketika melakukan perang tanding. Tokoh yang akan

menang dalam perang tanding, atau tokoh yang berada di pihak yang

benar, akan selalu berada pada sebelah kanan dalang. Sedangkan

tokoh yang akan kalah perang tanding, atau tokoh yang berada di

pihak salah akan berada di sebelah kiri dalang.

97

DAFTAR PUSTAKA

Agus Pramono 2005. Mbah Daman Darmono, Dhalang Wayang Krucil Saka Trenggalek : Aku Kepingin Pentas nang Pendapa. Majalah Jayabaya No.45 Tahun 2005. Surabaya: PT Jayabaya Prabu Gendrayana.

Akbar Kaelola. 2010. Mengenal Tokoh Wayang Mahabharata. Jakarta: Cakrawala.

Amrin Rauf. 2010. Jagad Wayang. Jogyakarta: Garailmu.

Amir Mertosedono. 1986. Sejarah Wayang, Asal-usul, Jenis dan Cirinya. Semarang. Dahara Prize.

Anom Sukatno. 1993. Serat Pedhalangan Lampahan Bimo Suci. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih.

Ardian Kresna. 2009. Arjuna Sang Pembunuh. Jogyakarta: DIVAPress.

Ardian Kresna. 2009. Pahlawan Pilihan Kresna. Jogyakarta: DIVAPress.

Atik Sopandi. 1984. Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. Bandung: Pustaka Buana

Bastomi, Suwaji. 1993. Nilai-nilai Seni Pewayangan. Semarang: Dahara Prize.

Bondhan Harghana SW. 2003. Janturan Jangkep Wayang Purwo. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih.

Bondhan Harghana SW. 1998a. Serat Ramayana, Reroncen Balungan Pakem Cariyos Ringgit Purwo. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih.

Damardjati Soepadjar 1994. Krida Graita. Jogyakarta: Krida Martana.

Djoko Mulyono. 1993. Kalender Pawukon 200 Tahun, 1900-2100, The 200- Year Pawukon Calendar. Jakarta: TMII dan Pepadi Pusat.

Edi Sedyawati, Sapardi Djoko Damono (1983). Seni Dalam Masyarakat Indonesia, Bunga Rampai. Jakarta: PT Gramedia.

Gamal Komandoko. 2009. Bharatayudha, Banjir darah di Tegal Kurusetra. Jogyakarta: Narasi.

Ghulam – Sarwar Yousof. 1992. Panggung Semar, Aspects of Traditional Malay Theatre. Selangor Darul Ehsan. Tempo Publishing (M) Sdn Bhd.

98

Hardjowirogo. 1968. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: PN Balai Pustaka

Haryanto, S. 1992. Bayang-bayang Adiluhung. Filsafat, Simbolis dan Mistik Dalam Wayang. Semarang: Dahara Prize.

Heru S. Sudjarwo, Sumari, et.al. 2010. Rupa & Karakter Wayang Purwa. Edisi I Cetakan Pertama. Jakarta: Kaki Langit Kencana.

Majalah Jayabaya 2005. Wara Sumbadra, Garwa Sing Banget Setya. Edisi Nomor 45 Tahun 2005. Surabaya: PT Jayabaya Prabu Gendrayana.

Masud Thoyib.ed. 1996. Jagad Pedalangan dan Pewayangan. Cempala. Edisi Gatotkaca. Jakarta: Humas PEPADI Pusat

Megandaru W. Kawuryan. 2006. Tata Pemerintahan Negara Kertagama Kraton Majapahit. Jogyakarta: Panji Pustaka.

Mohammad Syuropati. 2010. Buku Cerdas 1818 Peribahasa Jawa (Bacaan Wajib Masyarakat Jawa). Jogyakarta: IN AzNa Books

Niels Mulder. 1985. Pribadi dan Masyarakat di Jawa. Jakarta: Sinar Harapan.

Nyoman S. Pendit. 2010. Mahabharata. Cetakan ke sepuluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Nyoman S. Pendit. 2010. Ramayana. Cetakan ke sepuluh. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Pandam Guritno 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).

Pekan Wayang Indonesia VI. 1993. Sarasehan Wayang Indonesia Tahun 1993. Jakarta: Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia (SENAWANGI).

Pitoyo Amrih. 2006. Antareja Antasena. Jalan Kematian Para Ksatria. Jogyakarta: Pinus Book Publisher.

Pitoyo Amrih. 2007a. Ksatria Pembela Kurawa. Jogyakarta: Pinus Book Publishers.

Pitoyo Amrih. 2007b. Mengungkap Kisah-kisah Tersembunyi Kebaikan Kurawa. Jogyakarta: Pinus Book Publishers.

Pitoyo Amrih. 2008c. Perjalanan Sunyi Bisma Dewabrata. Sukohardjo, Solo: EBook Publishing.

Pitoyo Amrih. 2010. Sebuah Novel: Pertempuran 2 Pemanah Arjuna-Karna. Jogyakarta: Pinus Book Publishers.

99

Purwadi. 2007. Mengenal Gambar Tokoh Wayang Purwa dan Keterangannya. Sukoharjo-Surakarta: CV. Cendrawasih.

Purwadi, Dr., M.Hum. 2007. Seni Pedhalangan: Wayang Purwa. Jakarta: Tanpa Penerbit.

Ranggawarsita, R. Ng. 1988. Serat Jayengbaya. Jakarta: Balai Pustaka.

Sabdawara. 1997. Kumpulan Balungan Lakon. Sukoharjo-Surakarta: CV Cendrawasih.

Seno Sastroamijoyo. 1967. Tjeritera Dewa Rutji, dengan arti Filsafatnya. Tjetakan ke-2. Jakarta: Kinta.

Sindunata. 2007. Manusia & Kebatinan Petruk Jadi Guru. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Syamsoedjin Probohardjono 1964. Seni Pedhalangan Gaya Surakarta. Surakarta: Pawiyatan Kabudayan Kraton Surakarta.

Sri Mulyono, Ir. 1987. Tripama Watak Satria dan Sastra Jendra. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Gunung Agung.

Sri Mulyono, Ir. 1982. Apa & Siapa Semar. Jakarta: Gunung Agung.

Soekatno, BA 1992. Mengenal Wayang Kulit Purwa. Semarang: Aneka Ilmu.

Sudibioprono, Rio. 1994. Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compendium). Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Direktorat Pembinaan Kesenian, Ditjen Kebudayaan Departemen P&K.

Suratno Guno Wiharjo. 1994. Kempalan Balungan Lampahan Wayang Kulit Purwa. Sukohardjo-Surakarta. CV Cendrawasih.

Tuwuh Raharjo. 2002. Serat Pedhalangan (Kawruh Wayang Purwa). Sukoharjo-Surakarta: Cendrawasih.

Victoria M. Clara van Groenendael. 1987. Dalang Di balik Wayang. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

Wijanarko. Tanpa Tahun. Selayang Pandang Wayang Menak. Bogor: Amigo.

100

SUMBER-SUMBER DARI INTERNET

Artikel-artikel pada http://www.wayangprabu.com/

Artikel-artikel pada http://wayang.wordpress.com/

Artikel-artikel pada http://www.pitoyo.com/

Artikel-artikel pada http://batararama.multiply.com/

Artikel-artikel pada http://id.wikipedia.org/

Artikel bebas ”Asal-usul Wayang Indonesia” (On-line) terdapat pada http://serbaserbihindu.blogspot.com/2012/05/asal-usul-wayang-indonesia.html

Artikel bebas ”Seni Pewayangan” (On-line) terdapat pada http://nazhroul.wordpress.com/2010/05/22/seni-pewayangan/

Gambar-gambar yang bersumber dari:

1. http://yanabeing.blogspot.com/2011/04/wayang-beber.html

2. http://www.jelajahunik.us/2012/02/mengenal-jenis-jenis-wayang-di.html

3. http://dabgenthong.wordpress.com/2011/01/14/wayang-kulit-tontonan-dan-tuntunan-hidup/

4. http://wayangpabu.files.wordpress.com/

5. http://www.kaskus.co.id/

6. http://antarafoto.com

7. http://julianarome.blogspot.com/

8. http://waybemetro.wordpress.com/

9. http://siswandikadamok.wordpress.com/

10. http://www.pitoyo.com/

11. http://www.datasunda.org/

12. http://wayangindonesiaraya.blogspot.com/

101

13. http://en.wikipedia.org/wiki/

14. http://tomyarjunanto.wordpress.com/

15. http://mitrabangsa-seni.blogspot.com/

16. http://batararama.multiply.com/

17. http://sonces.blogspot.com/

18. http://baltyra.com/2012/07/18/draupadi-5/

19. http://www.santaisejenak.com/cerita-rakyat/suluhan-gatotkaca-gugur/

20. http://2.bp.blogspot.com/

21. http://saungreyodastrajingga.blogspot.com/

22. http://www.tembi.com

23. http://punakawan-suroboyo.blogspot.com

24. http://blvckshadow.blogspot.com/