WAYANG GARING: TRADISI LISAN YANG HAMPIR PUNAH DARI ...
Transcript of WAYANG GARING: TRADISI LISAN YANG HAMPIR PUNAH DARI ...
UNIVERSITAS INDONESIA
WAYANG GARING: TRADISI LISAN
YANG HAMPIR PUNAH DARI BANTEN
MAKALAH NONSEMINAR
diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
WINASTI RAHMA DIANI
1006764605
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
PROGRAM STUDI INDONESIA
DEPOK
AGUSTUS 2014
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Karya ilmiah ini diajukan oleh
Nama : Winasti Rahma Diani
NPM : 1006764605
Program Studi : Indonesia
Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis Karya : Makalah Non Seminar
Nama Mata Kuliah : Sastra Lisan
Judul Karya Ilmiah : Wayang Garing: Tradisi Lisan yang Hampir Punah dari Banten
Telah disetujui oleh dosen pengajar mata kuliah untuk diunggah di lib.ui.ac.id/unggah
dan dipublikasikan sebagai karya imiah sivitas akademika Universitas Indonesia
Dosen Mata Kuliah : Syahrial ( ............tanda tangan...........)
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 25 Agustus 2014
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
WAYANG GARING: TRADISI LISAN
YANG HAMPIR PUNAH DARI BANTEN
Winasti Rahma Diani, Syahrial
Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Abstrak
Indonesia merupakan bangsa multikultural yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Setiap daerah memiliki ciri
khas dan tradisi masing-masing yang menjadi warisan kebudayaannya. Salah satu bentuk warisan kebudayaan
itu adalah tradisi lisan. Semua tradisi lisan penting untuk dilestarikan sebagai warisan kebudayaan bangsa. Salah
satu tradisi lisan asal Banten adalah Wayang Garing yang memiliki beberapa perbedaan jika dibandingkan
dengan wayang pada umumnya. Perbedaan itu membuat Wayang Garing terlihat unik. Namun, tradisi lisan
tersebut terancam punah karena saat ini hanya ada seorang dalang yang masih berusaha mempertahankannya.
Tidak ada salah seorang pun dari keturunan sang dalang Wayang Garing yang berminat untuk mempertahankan
atau mewarisi tradisi lisan tersebut, begitu juga dengan generasi muda dari tempat Wayang Garing berasal. Peran
dan upaya pemerintah untuk melestarikan Wayang Garing juga tidak tampak dengan jelas atau terasa. Jika
keadaan ini terus berlanjut, keberadaan Wayang Garing sebagai salah satu tradisi lisan asal Banten benar-benar
berada di ambang kepunahan.
Kata kunci: budaya; pelestarian; punah; tradisi lisan; wayang garing
Abstract
Indonesia is a multicultural nation which consist of hundreds ethnic groups. Each region has particular
characteristics and their own traditions that become the culture heritage. One of the Indonesian’s culture heritage
is oral tradition. All of the oral traditions are important to be conserved as nation culture heritage. One of the oral
tradition from Banten is Wayang Garing which has some differences from other wayang or puppets tradition.
The differences made Wayang Garing looks unique. But, that oral tradition is barely extinct because nowadays
there is only one master or dalang who still trying to preserve Wayang Garing. Unfortunately, there is no one
from his family members and people arround him who seems interested to preserve Wayang Garing. The
government seems lacking in their role and efforts to preserve Wayang Garing. If this situation continues, the
existence of Wayang Garing as one of the oral tradition from Banten is really in danger state of extinction.
Keywords: culture; conserved; extinct; oral tradition; wayang garing
Pendahuluan
Wilayah Indonesia yang begitu luas, dari Sabang sampai Merauke, membuat Indonesia
tidak hanya terkenal kaya dengan kekayaan alamnya, tetapi juga dengan kekayaan budayanya.
Fakta tersebut tidak dapat disangkal karena penduduk Indonesia berasal dari beragam suku
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
dan bangsa yang menempati berbagai daerah di wilayah nusantara sejak zaman dahulu kala.
Setiap daerah, memiliki ciri khasnya masing-masing di berbagai aspek, meskipun terkadang
kebudayaan dari suatu daerah dan daerah lainnya terlihat serupa. Namun, jika diteliti lebih
baik lagi, satu bentuk tradisi atau budaya dari suatu daerah pasti memiliki keunikannya
tersendiri. Keunikan tersebut mewakili kekhasan budaya masyarakat penghasilnya.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Indonesia yang merupakan bangsa
multikultural memiliki beragam tradisi dan budaya. Jika dapat terus dipertahankan
keberadaannya dan dilestarikan terus-menerus pada generasi selanjutnya, kekayaan tersebut
dapat menjadi warisan budaya Indonesia.
Salah satu bentuk warisan budaya Indonesia yang perlu dipertahankan dan dilestarikan
adalah tradisi lisan. Ada beberapa pengertian tradisi lisan (oral tradition) menurut para ahli.
Vansina mengungkapkan bahwa tradisi lisan (oral tradition) adalah pesan verbal berupa
pernyataan yang dilaporkan dari masa silam kepada generasi masa kini. Pesan itu haruslah
berupa pernyataan yang dituturkan, dinyanyikan, atau diiringi alat musik. Selain itu, harus ada
penyampaian melalui tutur kata dari mulut yang minimal berjarak satu generasi (1985: 27-
28).
Pengertian tradisi lisan juga diungkapkan oleh B.H. Hoed, seperti yang dikutip
Pudentia dalam buku Metodologi Kajian Tradisi Lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat
kebiasaan yang secara turun-temurun disampaikan secara lisan yang mencakup tidak hanya
cerita rakyat, mitos, dan legenda, tetapi juga dilengkapi dengan sejarah, hukum adat, dan
pengobatan. Hal-hal yang terkandung dalam suatu tradisi lisan adalah hal-hal yang terlahir
dan menjadi tradisi dalam suatu masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang. Pada
dasarnya, suatu tradisi dapat disebut sebagai tradisi lisan jika tradisi tersebut dikatakan oleh
penutur dan didengar oleh penonton (2008: 184).
Tradisi lisan dapat berkembang beriringan dengan masyarakat pemiliknya. Namun,
suatu tradisi lisan juga dapat mengalami kepunahan, jika tidak ada lagi yang melestarikannya.
Seiring berkembangnya zaman, masyarakat mulai disibukkan dengan beragam hal yang
berhubungan dengan modernisasi. Hal itu sering kali membuat mereka melupakan tradisi dari
daerah tempatnya berasal.
Salah satu tradisi lisan yang mulai terlupakan dan nyaris mengalami kepunahan adalah
Wayang Garing dari daerah Serang, Banten. Saat ini, hanya ada seorang dalang yang masih
bertahan mempertahankan keberadaan Wayang Garing, Ki Kajali namanya. Ki Kajali tidak
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
lagi muda, tetapi ia masih berjuang mempertahankan warisan kebudayaan tersebut dan
menjadikannya sebagai sumber mata pencahariannya yang utama.
Di sisi lain, hal itu juga menimbulkan kecemasan tentang wayang garing yang
terancam punah, jika Ki Kajali telah tiada. Indonesia akan kehilangan salah satu warisan
budayanya. Masyarakat Banten, khususnya, terancam akan kehilangan kesenian Wayang
Garing yang harusnya dapat dibanggakan keberadaannya karena mengandung kebudayaan
Banten dan memiliki keunikan yang tidak dapat ditemukan pada pertunjukan-pertunjukan
wayang pada umumnya.
Tinjauan Teoretis dan Metode Penelitian
Penelitian ini membahas mengenai salah satu tradisi lisan dari Banten, yaitu Wayang
Garing yang kini terancam punah. Kondisi tersebut terjadi karena tidak adanya proses
pewarisan tradisi lisan ke generasi penerus. Oleh karena itu, teori yang akan digunakan
sebagai landasan dalam penelitian ini adalah teori yang diungkapkan oleh Pudentia dan
Effendi mengenai tradisi lisan pada masa sekarang yang mengalami perubahan dalam
kehidupan masyarakatnya. Perubahan masa dan situasi akan mempengaruhi perubahan tradisi
lisan, seperti:
1. Tradisi lisan yang terancam punah karena fungsinya sudah berkurang atau berubah
dalam kehidupan masyarakatnya;
2. Tradisi lisan yang mengalami perubahan sangat lambat, seperti yang terdapat
dalam upacara-upacara adat dan seremonial kenegaraan, dan;
3. Tradisi lisan yang berubah cepat sehingga seringkali tidak dikenali lagi akarnya
(1996:10).
Metode Penelitian
Berdasarkan landasan teori yang telah disebutkan di atas, penulis mencoba mencari
faktor-faktor apa yang menjadi penyebab hampir punahnya Wayang Garing. Penelitian ini
diawali dengan metode pengamatan. Penulis menyaksikan pertunjukan Wayang Garing yang
ditampilkan pada Acara Dies Natalis Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia. Dengan menyaksikan pertunjukan Wayang Garing secara langsung, penulis
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
mendapat gambaran mengenai pertunjukan tersebut. Penulis juga dapat mengamati keunikan
pertunjukan Wayang Garing yang tidak dapat ditemukan dalam pertunjukan wayang pada
umumnya.
Kemudian, penulis melakukan studi kepustakaan untuk mendapatkan informasi dan
referensi tambahan mengenai tradisi lisan Wayang Garing yang berasal dari Banten.
Informasi dan referensi yang didapatkan tidak hanya berasal dari buku-buku yang tersimpan
di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, tetapi juga didapat dari internet.
Wayang Garing: Tradisi Lisan Asal Banten yang Hampir Punah
Tinjauan Wilayah Banten
Foto 1. Peta wilayah administrasi Provinsi Banten (sumber:
http://bantenprov.go.id/)
Banten adalah provinsi yang terletak di ujung Pulau Jawa, tepatnya di antara 5°7’50” -
7°1’11” Lintang Selatan dan 105°1’11” - 106°7’12” Bujur Timur. Wilayah Banten yang
dahulu berbentuk kesultanan telah dikenal di manca negara sejak abad ke-14 (1330 M). Pada
abad ke-16 sampai abad ke-17, Banten yang dipimpin oleh Sultan Maulana Hasanudin dan
Sultan Ageng Tirtayasa semakin dikenal sebagai pusat kerajaan Islam dan pusat perdagangan
nusantara. Hal itu disebabkan oleh wilayah Banten yang strategis, sehingga banyak pedagang
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
dari manca negara yang datang untuk bersinggah. Mereka tidak hanya melakukan aktivitas
jual-beli, tetapi juga mewujudkan persentuhan dan pertukaran budaya.
Wilayah Banten yang begitu subur dan strategis dalam jalur perdagangan membuat
para pedagang Eropa bersaing untuk menaklukkan Banten. Dalam persaingan para pedagang
Eropa itu, Belanda muncul sebagai pemenang. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda,
pemerintah mengeluarkan peraturan untuk membentuk pemerintahan otonom provinsi.
Provincie West Java adalah provinsi pertama yang dibentuk oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Bantam Regentschappen (Banten) menjadi salah satu keresidenan dalam Provincie West Java
bersama dengan Batavia, Buitenzorg (Bogor), Preanger (Priangan), dan Cirebon.
Keadaan itu tetap bertahan sampai masa pemerintahan Indonesia. Namun, akhirnya,
pada tahun 2000, Banten resmi menjadi provinsi ke-30 di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Mayoritas penduduk Banten adalah suku Sunda, seperti penduduk Jawa Barat.
Penggunaan bahasa Sunda masih banyak ditemui di wilayah Banten, terutama di daerah
Serang dan Cilegon. Namun, bahasa Sunda yang digunakan di Banten tergolong sebagai
bahasa Sunda kasar.
Pemakaian bahasa Sunda juga masih digunakan dalam berbagai ritual adat masyarakat
setempat dan pertunjukan kebudayaan, misalnya dalam pertunjukan Wayang Garing.
Pertunjukan tersebut selalu ditampilkan dengan menggunakan bahasa Sunda karena Ki
Kajali—satu-satunya dalang Wayang garing yang masih bertahan—tidak dapat menggunakan
bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Sunda dalam pertunjukkan Wayang Garing memang
dapat menjadi ciri khas daerah Wayang Garing berasal. Namun, hal tersebut dapat juga
menjadi pengganjal orang-orang dari daerah lain yang tidak mengerti bahasa Sunda untuk
menikmati pertunjukan Wayang Garing.
Saat ini, pertunjukan Wayang Garing paling banyak dikenal oleh masyarakat Serang
karena di sanalah Ki Kajali yang merupakan dalang Wayang Garing berasal. Meskipun
demikian, Ki Kajali juga sering kali ‘ditanggap’ atau mendapat undangan pentas sampai ke
wilayah Tangerang. Hal itu menjadi bukti bahwa pertunjukan Wayang Garing cukup dikenal
di sebagian besar wilayah Banten.
Namun, informasi mengenai kepastian wilayah Wayang Garing berasal sulit ditelusuri
karena keterbatasan sumber referensi. Informasi mengenai Wayang Garing di zaman dahulu
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
sangat terbatas. Beberapa informasi mengenai Wayang Garing yang mudah didapat hanyalah
mengenai keadaan Wayang Garing yang hampir punah saat ini.
Keunikan Wayang Garing
Ketika mendengar nama Wayang Garing disebut, hal pertama yang menjadi
pertanyaan adalah keberadaan kata ‘garing’ yang melekat pada pertunjukan wayang tersebut.
Orang yang belum pernah menyaksikan atau mengetahui Wayang Garing dapat berpikir
bahwa kata ‘garing’ bisa berhubungan dengan bahan pembuat wayang yang digunakan dalam
pertunjukan atau suasana saat pertunjukan wayang itu berlangsung. Hal itu dapat menarik
perhatian orang yang tadinya tidak mengenal atau mengetahui keberadaan Wayang Garing
untuk mencari tahu alasan pertunjukan wayang itu diberi nama Wayang Garing.
Pertunjukan wayang garing memiliki keunikan yang membedakannya dengan
pertunjukan-pertunjukan wayang lain, meskipun peralatan yang digunakan untuk mendalang
sebenarnya hampir sama, yaitu kecrekan, cempala, layar, gedebok atau batang pohon pisang,
dan lampu. Hal yang membuatnya berbeda adalah pertunjukan wayang garing tidak diiringi
oleh alunan musik gamelan (pangrawit) dan nyanyian merdu seorang sinden (swarawati)
yang biasanya mengiringi pertunjukan-pertunjukan wayang.
Keunikan itu yang membuat wayang tersebut disebut sebagai wayang garing oleh
masyarakat tempatnya berasal. Menurut KBBI, garing berarti keras dan kering; kering—
garingan berarti tanpa iringan musik (2008: 417). Jadi, sebutan ‘garing’ yang dilekatkan pada
tradisi wayang dari Banten itu mengacu pada pertunjukan wayang yang ditampilkan tanpa
iringan musik, sehingga terasa garing jika dibandingkan dengan pertunjukan wayang lain
yang biasanya diramaikan dengan irama tabuhan musik dan alunan seorang sinden atau
penyanyi.
Bagi sebagian orang yang terbiasa menikmati pertunjukan wayang lain, menyaksikan
wayang garing mungkin akan terasa lebih sepi. Namun, hal itu justru dapat menjadi daya tarik
wayang garing, sehingga membuat orang-orang yang belum pernah menyaksikan pertunjukan
wayang garing sebelumnya menjadi penasaran untuk menonton. Sebagai ganti ketiadaan
musik pengiring, sang dalang membuat efek-efek suara dari gedebok pisang yang ditabuh atau
dipukul. Selain itu, sang dalang juga dapat bernyanyi untuk mengambil alih peran sinden
yang tidak ada dalam pertunjukan wayang garing. Hal-hal itu membuat wayang garing yang
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
tampak sederhana tetap memiliki daya pikat, sehingga dapat dinikmati penonton karena
keunikannya.
Dilihat dari bentuk fisik wayang yang digunakan oleh sang dalang dalam pertunjukan
Wayang Garing, wayang yang digunakan dalam pertunjukan wayang garing terbuat dari kulit
binatang. Meskipun Wayang Garing berasal dari daerah Banten yang masih lekat dengan
kebudayaan Sunda, wayang yang digunakan dalam pertunjukan Wayang Garing tidak seperti
wayang golek yang terbuat dari kayu. Sedangkan dari segi cerita, wayang garing satu pakem
dengan wayang purwa karena bersumber pada kisah-kisah dalam Mahabrata, Ramayana, dan
Lokapala.
Ki Kajali, satu-satunya dalang wayang garing yang masih bertahan hingga saat ini,
mengaku hapal sekitar 120 cerita dari kisah-kisah wayang tersebut. Namun, ada pula
beberapa cerita lain yang sering Ki Kajali tampilkan. Biasanya, Ki Kajali menampilkan lakon
atau cerita yang disenangi banyak penonton atau cerita yang khusus diminta oleh orang-orang
yang mengundangnya. Tidak jarang, Ki Kajali menyelipkan lelucon mengenai isu-isu yang
sedang hangat di masyarakat untuk menarik perhatian penonton dan agar penonton tidak
merasa bosan selama pertunjukan berlangsung.
Lakon-lakon wayang yang ia tampilkan tidak dibawakan dalam bahasa Indonesia,
tetapi dalam bahasa Sunda Banten, bahasa Jawa Pantura, atau bahasa Melayu logat Betawi
yang dikuasai oleh Ki Kajali. Hal itu dapat membuat para penonton yang tidak memahami
bahasa Sunda kesulitan untuk memahami keseluruhan isi cerita yang dibawakan. Oleh karena
itu, bagi orang yang tidak memahami bahasa Sunda, sebaiknya menonton pertunjukan
wayang garing dengan ditemani orang lain yang memahami bahasa Sunda agar mendapat
bantuan memahami isi ceritanya. Namun, orang yang mengerti bahasa Sunda pun bisa
mengalami kesulitan karena adanya perbedaan dialek bahasa Sunda.
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
Foto 2. Pertunjukan Wayang Garing yang ditampilkan dalam Acara Dies Natalis
FIB UI (sumber: Dokumentasi Winasti Rahma Diani)
Selain menampilkan lakon atau cerita yang menarik, ada beberapa hal lain yang
membuat wayang garing tetap disukai oleh para penggemarnya. Pertama, pertunjukan wayang
garing tidak merepotkan tuan rumah yang menanggap atau mengundang Ki Kajali
mementaskan kesenian itu karena tidak banyak peralatan yang dibutuhkan. Tuan rumah hanya
perlu menyediakan gedebok pisang, layar, dan lampu. Peralatan-peralatan tersebut cukup
sederhana dan tidak membutuhkan biaya yang terlalu besar. Panggung atau tempat
pementasan wayang garing pun tidak membutuhkan ruang yang terlalu luas.
Kedua, orang yang menanggap tidak perlu menyediakan transportasi khusus untuk Ki
Kajali karena barang bawaannya tidak terlalu banyak. Ki Kajali biasanya datang dengan
menggunakan sepeda atau naik angkot. Hal ini tentu semakin mempermudah orang yang
ingin menanggap atau mengundang Ki Kajali.
Ketiga, biaya untuk menanggap pertunjukkan wayang garing terjangkau karena tidak
terlalu mahal. Untuk sekali mengadakan pertunjukan, Ki Kajali biasanya mendapatkan upah
sekitar Rp300.000,00, jika pertunjukan diadakan dalam lingkup wilayah Serang. Untuk
wilayah yang lebih jauh, seperti wilayah Tangerang, Ki Kajali biasanya mendapatkan bayaran
sebesar Rp600.000,00. Tarif tersebut dinilai cukup terjangkau oleh para penggemar wayang
garing.
Hal yang menarik selanjutnya dari Wayang Garing adalah suasana santai yang
dibangun sang dalang selama pertunjukan berlangsung. Sang dalang, Ki Kajali, tidak ragu
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
menunjukkan sikap santainya, meskipun sedang bekerja. Ia tidak segan untuk minta izin pada
para penonton di tengah-tengah pertunjukan, jika ia perlu pergi ke kamar mandi. Terkadang,
ia juga meminta izin untuk istirahat sejenak saat kelelahan. Tidak hanya itu, Ki Kajali juga
tidak sungkan meminta rokok kepada para penontonnya, sebelum melanjutkan
pertunjukannya kembali.
Dengan suasana yang begitu santai dan rileks, interaksi antara dalang dan para
penonton dapat mudah terjalin. Selain itu, mereka dapat dengan mudah menyambut atau
menanggapi lelucon yang dilemparkan oleh dalang. Dengan begitu, pertunjukan wayang
garing yang berlangsung sekitar 2—5 jam dapat dinikmati oleh para penonton dengan
nyaman.
Foto 3. Ki Kajali dikerumuni warga yang menyaksikan Wayang Garing
(sumber: http://blogedykurniawan.blogspot.com/2012/12/panggung-kelam-kajali.html)
Wayang Garing Terancam Punah
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, keadaan tradisi lisan Wayang Garing
terancam punah, saat ini. Keberadaan Wayang Garing tampak begitu bergantung dengan
keadaan Ki Kajali yang merupakan satu-satunya dalang Wayang Garing yang masih bertahan.
Ki Kajali seolah-olah tampak tidak berdaya mempertahankan keberadaan Wayang Garing
seorang diri karena tidak ada dukungan dari masyarakat atau pun pemerintah. Padahal,
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
wayang telah ditetapkan oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization sebagai warisan budaya bagi bangsa Indonesia.
Setelah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO)
memberikan penghargaan kepada wayang sebagai Karya Agung Budaya Dunia pada tanggal
21 April 2004 di Paris, Prancis, pemerintah mulai mencurahkan perhatiannya kepada wayang
yang merupakan warisan budaya bangsa. Dua organisasi pewayangan di Indonesia, yaitu
PEPADI (Persatuan Padalangan Indonesia) dan SENAWANGI (Sekretariat Nasional
Pewayangan Indonesia) pun mulai mengadakan program-program untuk pelestarian wayang.
Namun, banyaknya ragam tradisi wayang di Indonesia membuat dua organisasi
wayang tersebut belum dapat menjalankan programnya secara optimal. Beragam tradisi
wayang yang terdapat di berbagai wilayah di Indonesia pun masih banyak yang belum
mendapat bantuan berarti sebagai bentuk pelestarian. Padahal, jika diabaikan terlalu lama,
bukan tidak mungkin tradisi yang seharusnya dilestarikan menjadi semakin terlupakan hingga
terancam punah.
Selain itu, tidak dapat diungkiri bahwa minat generasi muda untuk mengenal dan
mencintai warisan budayanya semakin terkikis di tengah maraknya pengaruh budaya-budaya
asing yang populer di Indonesia. Berbagai kebudayaan lokal pun jarang mendapat sorotan
dari berbagai media, seperti televisi, radio, atau pun media cetak. Bahkan, tak jarang banyak
orang baru mulai mencemaskan dan mengetahui keberadaan suatu warisan budaya, seperti
tradisi lisan, ketika warisan budaya tersebut mulai terancam punah.
Pudentia dan Effendi mengungkapkan bahwa tradisi lisan pada masa sekarang telah
mengalami perubahan dalam kehidupan masyarakatnya. Perubahan masa dan situasi akan
mempengaruhi perubahan tradisi lisan, seperti:
1. Tradisi lisan yang terancam punah karena fungsinya sudah berkurang atau berubah
dalam kehidupan masyarakatnya;
2. Tradisi lisan yang mengalami perubahan sangat lambat, seperti yang terdapat
dalam upacara-upacara adat dan seremonial kenegaraan, dan;
3. Tradisi lisan yang berubah cepat sehingga seringkali tidak dikenali lagi akarnya
(1996:10).
Poin pertama dinilai penulis sesuai dengan gambaran keadaan tradisi lisan Wayang
Garing yang terancam punah. Saat ini, tradisi lisan Wayang Garing telah berkurang atau
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
berubah fungsinya dalam kehidupan masyarakat. Wayang Garing yang dahulu kala berfungsi
sebagai media pembelajaran sejarah dan kejayaan raja-raja Banten, saat ini tampak hanya
sekadar sebagai media hiburan saja. Meskipun cerita-cerita yang disampaikan dalam
pertunjukan Wayang Garing menyimpan cerita sejarah atau pesan moral, banyak orang yang
hanya berniat untuk sekadar menonton Wayang Garing untuk sekadar mencari hiburan atau
melepas penat.
Oleh karena tradisi lisan Wayang Garing tidak ada keterikatan dengan suatu acara
upacara atau acara seremonial, perhatian masyarakat terhadap Wayang Garing semakin
sedikit. Masyarakat jadi lebih mudah mengabaikan keberadaan Wayang Garing karena bagi
mereka tradisi lisan tersebut pun tidak terlalu penting kedudukannya dalam berbagai acara
adat.
Selain kurangnya perhatian dari masyarakat atau pun pemerintah, hal penting lainnya
yang menjadi faktor utama Wayang Garing terancam punah adalah kenyataan bahwa saat ini
hanya ada seorang dalang, Ki Kajali, yang masih mempertahankannya. Usia Ki Kajali pun
sayangnya tidak lagi muda. Namun, Ki Kajali tidak dapat mewariskan kesenian tersebut pada
anak atau cucunya karena mereka tidak tertarik menekuni kesenian wayang garing.
Ki Kajali tidak dapat berbuat apa-apa dan memaksakan kehendaknya. Kenyataan itu
hanya dapat dimaklumi oleh Ki Kajali yang tidak hendak memaksa keturunannya untuk
menjadi seorang dalang karena pekerjaan tersebut memang tidak cukup menghasilkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ki Kajali tidak ingin kehidupan anak dan cucunya
bergantung pada penghasilan dari menjadi dalang wayang garing yang tidak menentu kapan
datangnya dalam setiap bulan. Tidak ada jaminan kebutuhan hidup tercukupi, jika menjadikan
dalang wayang garing sebagai sumber mata pencaharian.
Padahal, menurut Prof. Dr. Kanti Walujo, MSc., keturunan seorang dalang biasanya
lebih mudah untuk mempelajari cara mendalang secara tradisional. Cara tradisional yang
dimaksud berbeda dengan cara formal yang proses pembelajarannya melalui pendidikan
formal, seperti sekolah atau kuliah di jurusan pedalangan. Cara tradisional dilakukan dengan
nyantrik atau mengabdi kepada dalang. Prosesnya dimulai dari melakukan hal yang
sederhana, yaitu merawat wayang, memasukkan wayang ke dalam kotak, dan membersihkan
gamelan. Selanjutnya, proses pembelajaran terjadi saat mendengar dan menyaksikan sang
dalang memainkan wayang dalam setiap pagelaran atau pertunjukan (2013: 37).
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
Lebih lanjut lagi, pewarisan tradisi lisan diungkapkan Lord dapat terjadi melalui tiga
tahapan:
1. Ketika seorang calon penutur memiliki keinginan untuk menjadi penutur juga.
Hal ini dimulai ketika ia menyukai cerita yang dituturkan oleh penutur cerita. Pada
tahapan ini, pengulangan frasa atau kata yang disebut sebagai formula sudah
masuk ke dalam ingatan penutur muda karena kebiasaan mendengar membuatnya
mengenali tema cerita yang disampaikan.
2. Ketika penutur muda tidak sengaja mendengar, tetapi sudah mulai belajar untuk
menuturkan cerita yang sudah sering didengar sebelumnya, baik dengan atau tanpa
iringan instrumen. Pada tahapan ini, penutur akan semakin mengenal irama dan
melodi untuk menuturkan cerita.
3. Ketika tukang cerita muda telah mampu menampilkan cerita yang pernah
disampaikan oleh gurunya di hadapan para penonton. Tahapan belajar seorang
penutur muda akan selesai setelah sering tampil dan mendengarkan tanggapan dari
penonton atau pendengarnya (2000: 21-25).
Berbagai proses pembelajaran tersebut dapat lebih mudah diwariskan kepada
keturunan seorang dalang. Namun, sayangnya, para keturunan Ki Kajali tidak menaruh minat
pada hal tersebut, meskipun mereka sering membantu menyiapkan peralatan dan menemani
Ki Kajali saat pertunjukan wayang garing berlangsung. Oleh karena itu, Ki Kajali tidak dapat
mewariskan keahliannya sebagai dalang wayang garing terhadap anak dan cucunya.
Masyarakat Kota Serang, Banten, pun hanya menghargai tradisi wayang garing
sewajarnya. Belum ada perhatian lebih mengenai pelestarian wayang garing yang berasal dari
daerah tersebut. Revitalisasi gerakan budaya yang merupakan salah satu gerakan pelestarian
budaya pun akan sulit terlaksana jika tidak dibantu dengan peran aktif masyarakat. Oleh
karena itu, usaha pelestarian wayang garing haruslah didukung oleh masyarakat pewaris
kebudayaan tersebut dan juga pemerintah.
Kesimpulan
Wayang garing adalah salah satu tradisi lisan asli Banten yang terancam punah. Saat
ini, hanya ada seorang dalang bernama Ki Kajali yang masih berperan aktif menjaga
kelestarian kebudayaan tersebut. Namun, umur Ki Kajali yang tak lagi muda seakan tidak
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
dapat menggugah kesadaran masyarakat, khususnya generasi muda, untuk segera berperan
aktif dalam usaha pelestarian kebudayaan tersebut.
Generasi muda yang seharusnya dapat menjadi penerus tradisi lisan tersebut merasa
tidak memiliki dan berkewajiban untuk melestarikan wayang garing yang terancam punah.
Kenyataan tersebut tentunya mengundang keprihatinan. Namun, generasi muda juga tidak
dapat disalahkan sepenuhnya. Rasa tidak memiliki tersebut wajar timbul karena mereka tidak
mengenali budayanya sendiri.
Selain itu, anggapan bahwa mewarisi budaya lokal dan menekuni pekerjaan seni tidak
menguntungkan perlu diubah. Dalam hal ini, pemerintah dan berbagai organisasi kesenian
yang dibentuk masyarakat harus bekerja sama untuk menarik perhatian masyarakat dan
mendorong mereka untuk mencintai budayanya. Upaya-upaya yang akan atau sedang
dijalankan untuk melestarikan warisan-warisan budaya itu pun tidak boleh putus di tengah
jalan sebelum cita-cita luhurnya terwujud.
Revitalisasi budaya adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk melestarikan
wayang garing. Pertunjukan wayang garing mulai diadakan tidak hanya dalam acara-acara
hajatan atau pernikahan, tetapi juga dalam berbagai acara yang diadakan oleh pemerintah.
Saat ini, informasi mengenai wayang garing pun sudah dicantumkan dalam situs-situs
pemerintahan dan pariwisata Provinsi Banten. Namun, belum banyak informasi yang tertera
di sana. Padahal, hal itu harusnya dapat membantu banyak orang untuk mendapatkan
informasi mengenai wayang garing.
Oleh karena itu, masih ada hal-hal yang harus diperbaiki dan diupayakan lebih giat
lagi oleh pemerintah dan masyarakat secara optimal untuk melestarikan wayang garing. Jika
usaha revitalisasi budaya tersebut dapat terwujud dan terlaksana dengan baik, bukanlah hal
mustahil wayang garing dapat terus bertahan menjadi salah satu warisan tradisi masyarakat
Banten. Tradisi yang dapat menjadi warisan kebudayaan bagi generasi-generasi berikutnya.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Lord, Albert B. (1976). The Singer of Tales. Cambridge, MA: Harvard University Press.
Pudentia, MPSS. peny. (1998). Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014
Pudentia dan Effendi. (1996). Sekitar Penelitian Tradisi Lisan. Warta ATL. Edisi 11/ Maret.
Vansina, Jan. (1985). Oral Tradition as History. Afrika: James Currey Publishers.
Walujo, Kanti. (2013). Wayang sebagai Media Komunikasi Tradisional dalam Diseminasi
Informasi. Jakarta: Universitas Press.
http://repository.upi.edu/operator/upload/t_bind_1004876_chapter2.pdf (diunduh pada 27
Desember 2012, pukul 07:17 WIB)
http://wayang.wordpress.com/2010/03/06/wayang-garing-wayang-banten-tanpa-gamelan-dan-
pesinden/ (diunduh pada 30 Desember 2012, pukul 02: 36 WIB)
http://www.wisatamelayu.com/id/tour/623-Wayang-Garing/navcat (diunduh pada 30
Desember 2012, pukul 16: 23 WIB)
http://disbudpar.bantenprov.go.id/place/kesenian-wayang-garing (diunduh pada 23 Juni 2014,
pukul 15:10 WIB)
http://bantenprov.go.id/read/terbentuknya-provins (diunduh pada 20 Agustus 2014, pukul 13:
57 WIB)
Wayang garing …, Winasti Rahma Diani, FIB UI, 2014