KONSEP NEGARA MENURUT AL-MAUDUDI DAN ALI · PDF fileNegara (Munawir Sadzali, Islam, Politik...
Transcript of KONSEP NEGARA MENURUT AL-MAUDUDI DAN ALI · PDF fileNegara (Munawir Sadzali, Islam, Politik...
1
KONSEP NEGARA MENURUT AL-MAUDUDI DAN ALI ABDUL RAZIQ
A. Identifikasi Masalah
Konsep tentang nagara telah menjadi pusat perhatian para pemikir dan
pilosof muslim sejak masa klasik hingga masa modern dalam proses pencarian
mereka akan bentuk ideal masyarakat manusia, tak terkecuali pemikir politik
Islam.
Pemikiran dan pencarian konsep tentang negara adalah adalah ijtihad
politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan
proses politik yang sedang berlangsung. Hal ini dimaksudkan untuk, (1)
menemukan idealitas Islam tentang negara (aspek teoritis dan formal), hal ini
berdasarkan asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara; (2)
Untuk melakukan idealisasi dari prespektif Islam terhadap proses
penyelenggaraan Islam memiliki konsep tertentu tentang negara; (2) Untuk
melakukan idealisasi dari presfektif Islam terhadap proses penyelenggaraan
negara (aspek praktis dan subtansial), yang hal ini bertolak dari asumsi bahwa
Islam tidak membawa konsep tertentu dan menawarkan prinsip-prinsip dasar
berupa etika dan moral.
Dalam konteks pemikiran politik terdapat tiga paragdigma tentang
hubungan agama dan negara, yaitu:
1. Agama dan negara tidak dipisahkan (menekankan paradigma integralistik);
2. Agama dan Negara berhubungan secara simbiotik;
3. Sekularistik
2
Ketiga paradigma tersebut,yang muncul dari pemahaman dan pendekatan
yang berbeda, menampilkan pola pemikiran yang berbeda pula. Namun kendati
dalam pemahaman dan pendekatan berbeda, ketiganya mempunyai tujuan yang
sama, yaitu menemukan rekonsiliasi antara idelitas agama dan realitas politik.
Rekonsiliasi antara cita-cita agama dan relaitas politik menjadi tugas
utama pemikiran politik Islam. Hal ini merupakan tuntutan keran hubungan antara
agama dan negara dalam kenyataan sejarah sering menampilkan fenomena
kesenjangan dan pertentangan. Fenomena ini bersumber pada dua sebab, yaitu
terdapatnya perbedaan konseptual antara agama politik yang menimbulkan
kesukaran pemanduan dalampraktek dan terdapatnya penyimpangan praktek
pollitik dari etika dan moralitas agama.
Upaya penerapan etika dan moralitas agama terhadap politik sangatlah
beragam. Para pemikir politik Islam berupaya dengan berbagai pendekatan.
Dalam hal ini upaya Al-Maududi dan Ali Abdul Raziq untuk menerapkan dan
mendudukan posisi agama dan politik pada tempatnya. Al-Maududi menerapkan
paradigma integrelalistik, sedangkan Ali Abdul Raziq mnerapkan paradigma
sekuleristik.
Kedua paradigma pemikiran politik tersebut mewakili dari keseluruhan
pemikiran politik lainnya dari pada paradigma simbiotik. Fundamentalisme Al-
Maududi yang lebih mnekankan totalitas ajaran agama serta sekulerisme Ali
Abdul Raziq merupakan dua kutub pemikiran politiik yang sangat bertentangan,
hal ini patut dikaji lebih lanjut untuk mengetahui letak kekuatan dan kelemahan
argumentasi yang dikemukakan oleh kedua tokoh pemikir politik tersebut.
3
Dari Uraian di atas, untuk mengetahui permasalahannya yang lebih jelas,
maka dalam hal ini penulis ajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep negara menurut Al-Maududi dan Ali Abul Raziq?
2. Apa landasan dan metode isntinbath hukum yang dipakai oleh al-Muadudi dan
Ali Abul Raziq dalam mengemukakan konsep negara?
B. Metodologi Penelitian
1. Penentuan Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
content analysis atau analisis isi karena peneliti meneliti atau mencari data dari
buku-buku, teks al-Quran, tafsir, dan tulisan-tulisan lain sebagai hasil dari
pemikiran para ulama.
2. Penentuan Sumber Data
Sumber data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah data yang bersifat
primer, yaitu data yang langsung dari sumber aslinya, diantaranya: al-Khilafah
waal-Mulk, the Islamic law and consittution karangan Al-Maududi dan Al-Islam
waal-Ushul al-Hukm karangan Ali Abdur Raziq, sedangkan data sekunder yaitu
data yang tidak langsung, namun ada relevansinya dengan penelitian ini,
diantaranya: Teori-teori Politik Islam (Mumtaz Ahmad, Ed. Islam dan Tata
Negara (Munawir Sadzali, Islam, Politik dan negara karangan Yusuf Musa dan
litelatur lainnya.
3. Penentuan Jenis Data
4
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif
yang berhubungan dengan:
1. Konsep negara menurut Al-Maududi dan Ali Abul Raziq; dan
2. Landasan atau dalil dan metode isntinbath hukum yang dipakai oleh al-
Muadudi dan Ali Abul Raziq dalam mengemukakan konsep Negara.
4. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode book
survey yaitu dengan mengumpulkan data yang bersifat kualitatif dengan jalan
mencari data atau teori dari sumber-sumber primer dan sekunder.
5. Analisis Data
Data yang sudah terkumpul, oleh penulis akan dianalisis dengan
menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teknik analisis isi.
Dalam pelaksanaannya, penganalisisan dilakukan dengan melalui langkah-
langkah sebagai berikut:
a. Menelaah semua data yang terkumpul dari berbagai sumber, baik sumber
primer maupun sumber sekunder;
b. Mengelompokkan seluruh data dalam satuan-satuan sesuai dengan masalah
yang diteliti;
c. Menghubungkan data dengan teori yang sudah dikemukakan dalam kerangka
pemikiran; dan
5
d. Menafsirkan dan menarik kesimpulan dari data yang dianalisis dengan
memperhatikan rumusan masalah dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam
penelitian.
C. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Pemikiran Al-Maududi dan Ali Abdul Raziq tentang Konsep Negara
a. Pemikiran Al-Maududi tentang Konsep Negara
Ada dua konsep modern tentang negara yang saling bertentangan. Pertama
konsep Hegel yang menyatakan bahwa negara adalah perwujudan dari ide suci,
yaitu ide illahi (divine Idea) dimuka bumi, dimana setiap negara dapat
mengidentifikasikan martabatnya, statusnya kearah kehidupannya. Identifikasi
martabatnya, status keaah kehidupannya. Citra Hegelian tentang negara adalah
bahwa negara merupakan inkarnasi ide suci dan karena negara harus berada
diatas segala-galanya. Makin kuat suatu negara, makin baik para warganya.
Dengan demikian setiap warga negara harus menyerahkan segala dedikasinya
untuk negara. Dalam arti, konsep Hegelian menjadikan negara sebagai aparat
yang didewakan yang berhak menuntut apa saja dari para warganya. Jelas sekali
bahwa Hegel menuhankan negara.
Sebaliknya konsep Marx. Walaupun Ia bangga menjadimurid spritual
Hegel, tetapi pandangannya tentang negara betolak belakang dengan pandangan
gurunya. Marx berpendapat bahwa negara pada hakekatnya adalah aparat atau
mesin operasi operasi (penindasan), tirani dan eksploitasi kaum pekerja oleh
pemilik alat-alat produksi (kaum kapitalis) dan pemegang distribusi kekayaan
yang mencelakakan kelas pekerja, jadi dapat kita temukan dalam marxisme
6
konsep mengenai layunya negara setelah terjadinya revolusi sosialis. Artinya,
setelah berlangsungnya revolusi akan terbentuk suatu kediktatoran proletariat dan
kemudian melalui kekuasaan kaum protelar perbedaan kelas dapat dimusnahkan
sampai terwujudanya masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas
inilah negara sebagai aparat penindasan kelas kafitalis akan layu dengan
sendirinya, akan lenyap Selma-lamanya.
Jika Hegel berpendapat bahwakuat dan mekarnya negara berarti tercpainya
cita-cita menusia, maka marx menganggap lenyapnya negara adalah adalah
kebijakan puncak.lantas bagaimnakah konsep negara menurut Al-Maududi yang
berpegang kepada al-Qur’an?
Menurut Al-Maududi pembentukan suatu negara merupakan sebagian dari
misi Islam yang agung. Membangun negara merupakan salah satu kewajiban
agama. Oleh karenanya negara yang dibangun harus dipelihara eksistensinya,
tetapi tidak boleh negara itu didewa-dewakan. Islam menolak Utopia Marx yang
ingin melenyapkan negara, sehingga dapat dijadikan acuan dalam memahami
konsep negara menurut Al-Maududi.
Pemikiran Al-Maududi tentang teori politik Islam atau dalam hal ini
kensep konsep negara, yang landasan filosofinya adalah kedaulatan rakyat.
Dengan demikian, teori politik Islam yang dikemukakan Al-Maududi
terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan ada ditangan
tuhan, bukan seperti konsep dasar demikrasi Barat yang menegaskan bahwa
kedaulatan ditangan rakyat.
7
Menurut Al-Maududi, atas terpenting dalam Islam adalah tauhid, doktrin-
doktrin yang terkandung dalam ajaran tauhid sangat revolusioner dan mempunyai
implikasi sangat jauh dalam mengubah tata sosial, tata politik, tata ekonomi, yang
sudah ada yang tidak bersendikan tauhid. Jadi tidaklah aneh sejak dulu, orang-
orang yang sering menentang doktrin-doktrin sosial, politik, ekonomi, yang
bersendikan tauhid, berhubung doktrin-doktrin tersebut selalu menentang
penindasan dan tirani serta kekuasaan yang tidak adil.
Dari dasar utama tauhid ini, maka lembaga negara atau konsep negara
yang dikemukakan Al-Maududi dikenal dengan nama “theokrasi”, namun teokrasi
bukan seperti yang pernah jaya di Eropa, dimana sekelompok masyarakat khusus
yaitu kelompok pendeta, mendominasi dalam penegakan hukumnya sendiri atas
nama Tuhan, yang pada akhirnya memaksakan keilahian dn ketuhanan mereka
sendiri di atas rakyat. Sedangkan teokrasi yang dibangun Islam tidaklah dikuasai
oleh kelompok keagamaan manapun melaikan seluruh masyarakat Islam. Seluruh
masyarakat Islam menyelenggarakan pemerintahan sejalan dengan Kitabullah dan
praktek Rasulullah. Namun disini Al-Maududi memakai istilah konsep negara
dengan “Teo-demokrasi”, yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi,
karenanya kaum mualim diberi kedaulatan yang terbatas dibawah pengawasan
hukum dan norma Tuhan. Dalam penggertian ini, politik Islam disebut juga
sebuah demokrasi (Al-Maududi, 1975: 159).
Dari konnsep di atas dapat dipahami, bahwa negara hanyalah merupakan
instrumen pembaharuan yang terus menerus, yang didirikan berlandaskan hukum
yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasulullah Saw. Pemerintah
8
yang memegang kekuasaan (imam) diberi hak untuk ditaati dalam kapasitasnya
sebagai agen politik yang diciptakan untuk menegakan hukum-hukum Tuhan,
sepanjang ia bertindak sesuaia dengan kemampuannya (Al-Maududi, 1975: 158).
Disamping itu, negara Islam dan konsep negara dalam Islam merupakan
negara ideologis. Negara yang berlandaskan suatu ideology yang bertujuan untuk
menegakan ideology tersebut. Negara merupakan instrument reformasi ideologis.
Ketentuan inilah yang menyebabkan negara tersebut wajib diselenggarakan oleh
orang-orang yang meyakini ideology Islam dan hukum ilahi. Hukum disini
mengandung arti norma-norma dasar bagi penciptaan masyarakat adil sejahtera,
bukan hukum-hukum administrative atau hukum yang lainnya, karena dalam
pengertian ini manusia diperbolehkan untuk membuat peraturan.
Negara Islam yang berlandaskan syari’ah tersebut, menurut Al-Maududi
harus berdasarkan kepada empat prinsip dasar yaitu: mengakui kedaulatan Tuhan;
menerima otoritas nabi Muhammad; memiliki status wakil Tuhan; dan
menerapkan prinsip musyawarah (syura’).
b. Pemikiran Ali Abdul Raziq tentang Konsep Negara
Sementara itu, pemahaman kenegaraan atau lembaga khilafah yang
dikemukakan oleh Ali Abdul Raziq, sebagai mana dituliskan dalam karyanya,
menyatakan bahwa:
Negara adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak berada pada seorang kepala negara / pemerintah dengan gelar khalifah, pengganti Nabi Besar Muhamad SAW, dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan rakyat/umat, baik keagamaan maupun kedunawian yang hukumnya wajib bagi umat untuk patuh dan ta’at sepenuhnya. (Ali Abdul Raziq, 1925 :12 ).
9
Dari konsep tersebut dafat dipaham, bahwa baik Ali Abdul Raziq ataupun
ulama yang lain pada dasarnya mengakui bahwa Islam memerlukan adanya sistem
pemerintahaan dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat dengan
aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Al-Raziq mengakui, bahwa nabi telah mendirikan suatu Negara di
Madinah bagaimanapun sederhananya. Sebab, pelaksannan hukum dalam
pengertian pemerintahaan sudah ada dizaman Nabi Muhamad SAW. (Ali Abdul
Raziq, 1925 : 39).
Tetapi dalam hal ini, al-Raziq menyatakan sulitnta membuat kesimpulan
bagaimana prosudur penetapan hukum yang ditempuh Nabi. Demikian juga
adanya inpormasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, seperti
masalah keuangan dan pengawasan, keamanan jiwa atau kepolisian dan lain
sebagainya. Namun demikian, bidang-bidang tugas yang dilakukan nabi seperti
ekspedisi militer untuk membela diri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah,
pemberian delegasi kepada shahabat untuk melaksanakan berbagai bidang tugas,
memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad saw. Disamping sebagai seorang
Rasul juga sebagai pemimpin politik (Ali Abdul Raziq, 1925: 55).
Akan tetapi yang menjadi persoalan bagi al-Raziq ialah masalah pendirina
negara di Medinah oleh Nabi berikut pengawasan dan bidang-bidang tugas yang
dilakukan tersebut, yang dapat disebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari kerasulan dan pendirian negara itu berikut fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang
dilakukan Nabi berada di luar tugas kenabiannya.
10
Al-Raziq berpendapat, pemerintahan yang dilaksaknakan Rasul bukanlah
dagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dari misi
kerasulan/dakwah Islamiyah dan berada di luar tugas kerasulannya. Pemerintah
yang pernah dibentuk Nabi adalah amalan duniawi yang sama sekali tidak ada
kaitannya dengan tugas kerasulannya (Ali Abdul Raziq, 1925: 55).
Al- Raziq berpendapat, pemerintahan yang dilaksanakan Rasul bukanlah
bagian dari tugas, melainkan tugas yang terpisah dari misi kerasulan/dakwah
Islamiyah dan berada diluar tugasa kerasulannya. Pemerintah yang pernah
dibentuk Nabi adalah amalan duniawi yang sama sekali tidak ada kaitannya
dengan tugas kerasulan (Ali Abdul Raziq, 1925: 55 ).
Sesungguhnya pernyataan tersebut bukanlah pendapat Al-Raziq yang
sebenarnya, pendapat ini hanya sementara sekedar mengikuti alur pemikiran yang
dianut oleh umat Islam pada umumnya, bahwa Nabi pernah mendirikan negara
dan beliau mempunyai dua fungsi, yakni sebagai Rasul dan sebagai kepala negara.
Kalau masyarakat yang dipimpin oleh Nabi itu disebut negara, maka al-Raziq
memandang sebagai tugas yang berada di luar misi kerasulannya. Nabi tidak
membawa dan mengemban misi untuk mendirikan negara. Paradigma pendapat
yang ditujukan untuk menolak pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan negara di
Medinah.
2. Landasan dan Metode Istinbath yang Digunakan Al-Maududi dan Ali Abdul
Raziq
a. Landasan dan Metode Istinbath yang Digunakan Al-Maududi
11
Landasan atau dasar hokum yang digunakan oleh Al-Maududi dalam
mengemukakan pendapatnya tentang konsep Negara adalah al-Qur’an dan al-
Hadits. Al-Maududi memahami konsep negara, melalui Al-qur’an surat An-nur
ayat 55, yang berbunyi :
م يف األرض ... (النّوروعد اهللا )55: اّلذين وعملوا الّصلحت ليستخلفو
“Allah telah berjanji pada orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
bahwa ia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,
sebagaimana ia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa …
”(Soenarjo dkk., 1971 : 553).
Juga hadits yang berbunyi:
كم مسئول عن عن عمر بن اخلطاب قال: رسول اهللا صم أال كّلكم راع زكّلراعيته فاإلمام اّلذي على النّاس راع وهو مسئول عن راعيته واملرأة راعيته يف بيت
يتها ... رواه مسلم)زوجها وهي مسئولة عن راع “Dari umar Ibn al-Khaththab berkata : Rasulullah bersabda : “ Ingat, setiap
kamu semua adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu akan diminta
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya, maka seorang pemimpin (Iman)
yang memimpin manusia adalah pemimpin dan ia akan diminta tanggung jawab
atas kepemimpinannya, seorang istri adalah pemimpin atas kehidupan rumah
tangga suaminya dan ia akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinannya, dan
12
seorang hamba sahaya adalah pemimpin dan ia akan diminta tanggung jawabnya
atas kepemimpinannya…” (HR. Muslim).
Dari kedua keterangan ini menurut al-Mududi merupakan teori Islam
tentang politik atau negara. Dan dari keterangan ini dapat di tarik dua masalah
yang fundamental, yaitu:
1. Islam menggunakan ‘Khilafah’ sebagai kata kunci, bukan dengan kata
kedaulatan atau yang lainnya. Dengan demikian pemegang kekuasaan dan
penggunaan harus sesuai dengan norma dan hukum tuhan, maka dengan
sendirinya ia menjadi khalifah (pengganti) Tuhan.
2. Kekuasaan untuk mengatur bumi, mengelola negara dan mensejahterakan
masyarakat dan dijanjikan kepada seluruh masyuarakat beriman, bukan
kepada seseorang atau suatu kelas tertentu. Setiap mukmin menjadi khalifah
Tuhan dimuka bumi sesuai dengan kapasitas individunya.
Kata kekuasaan dan kekhalifahaan dngan sendirinya akan terkait dengan
raja- raja atau otoritas kepuasaan. Meurut konsep al-Qur’an, kekhalifahaan
bukanlah Hk istimewa individu, kelas atau kelompok terteentu, melaikan hak
kolektif yang mengakui kedaulaaan mutlak Tuhan atas diri mereka dan
menjalankan hukum Tuhan yang disampaikan oleh Rasul.
Pemikiran Al-Maududi tentang konsep negara dilandasi oleh tiga dasar
atau anggapan: pertama, Islam adalah agama yang paripurna, lengkap dengan
petunjuk uantuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan
politik, dalam arti bahwa dalam Islam ada sistem politik, oleh karena itu dalam
bernegara umat Islam tidak perlu meniru sistem politik barat, tetapi kembali ke
13
sistem Islam enagn merujuk kepada pola politik al-Khulafaur al-Roshidiin.
Sebagai contoh sistem kenegaraan menurut Islam, kedua kekuasaan tertinggi,
dalam istilah politik Islam adalah kedaulatan. Dan kedaulatan tertingi dalam
politik Islam ada di tangan tuhan, sedangkan manusia adalah hanya pelaksana
kedaulatan Tuhan sebagai Khlifah-Khalifah Allah du bumi. Ketiga, Sistem politik
Islam adalah suatu sistem universal yang tidak mengenal batas-batas dan ikatan-
ikatan geografis, bahasa dan kebangasaan (Munawir, 1990 : 166).
b. Landasan dan Metode Istinbath Hukum Yang Digunakan Ali Abdul Raziq
Dasar hukum yang digunakan oleh Ali Abdul Raziq dalam
mengemukakan pendapatnya tentang konsep Negara adalah al-Qur’an surat al-
Nisa ayat 59 dan 83 yang menyebutkan kata ulil ‘amri:
1. Ayat pertama berbunyi:
ها اّلذين أ ّ سول وأوىل األمر منكم فإن تنازعتم يف يأي منوا أطيعوا اهللا وأطيعوا الرّسول إن كنتم تؤمنون باهللا واليوم األخر ذلك خري وأحسن شيء فرّده اىل اهللا والرّ
تأويالHai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-
Nya, dan Uli al-Amri diantara kamu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasulnya (al-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)dan lebih baik akibatnya. (Soenarjo dkk., 1971: 128).
2. Ayat yang kedua berbunyi:
سول اىل رّدوه ولو اذاعوبه اخلوف او األمن من أمر جآءهم وإذا اوىل واىل الرّذين لعلمه منهم األمر )83 النّسآء...( منهم يستنبطون اّل
14
“Dan apabila mereka ditimpa suatu hal, keamanan atau ketakutan, mereka
siarkan (kepada musuh). Dan kalau mereka serahkan hal itu kepada Rasul atau
kepada Ulil Amri (yang mempunyai urusan diantara kamu), niscaya orang-orang
yang meneliti diantara mereka mengetahui hal itu” (Soenarjo dkk, 1971: 132).
Ali Abdul Raziq mengakaui bahwa ada diantara mufasir yang menafsir
kata ulil amri’ pada ayat pertama dengan penguasa kaum muslimin pada masa
rasul dan pada masa sesudah rasul termasuk para khalifah, para qadli dan
panglima perang. Ada juga yang menafsirkan dengan ulama syara’ . Sedangkan
kata Ulil amri pada ayat kedua ditafsirkan dengan sahabat senior atau para
pemimpin mereka. Akan tetapi menurutnya, tidak ada seorangpun yang
menganggap kedua ayat tersebut diatas sebagai dalil wajibnya mendirikan
khilafah/negara.
Jadi menurutnya, kedua ayat ini masih belum memadai sebagai dalil
adanya khilafah atau negara. Namun kandungan ayat tersebut ialah membuktikan
adanya keharusan bagi kaum muslimin untuk memiliki sekelompok orang yang
dapat dijadikan rujukan bagi persoalan- persoalan yang mereka hadapi. Makna ini
jelas lebih umum dan luas dibandingkan dengan makna yang mereka sebutkan.
Malahan pengertian seperti itu satu sama lain berbeda jauh.
Sebagaimana Al-Qur’an, Al-Sunah juga tidak membicarakan khilafah ini.
Seandainya ada hadits yang bisa dijadikan dalil, niscaya mereka lebih
mendahulukannya dari pada ij’ma dan tentu pengarang Al-Mawaqif (yang
dimaksud ialah Abdurrahman Al-Iji dan Sayyid Syarip Al-Jurjani) tidak
15
mengatakan bahwa Ijma dalam mendirikan negara ini tidak memiliki sandaran
dalili Naqli.
Rasyid Ridlolah diantara ulama yang berusaha mendapatkan Al-Sunah
sebagai dalil atas kewajiban mendirikan negara atau khilafah. Dia kritik Al-
Taftazzany dan orang-orang lainnya yang dianggapnya telah lupa mengambil
hadits-hadits shahih yang menetapkan adanya jama’ah kaum muslimin dan imam
mereka. Sementara ada hadits lain yang mengemukakan bahwa orang yang mati
yang belum melakukan bai’at maka kematiannya bagaikan kematian orang
jahiliyyah.Ada lagi hadits Hudzaifah yang menyatakan “Tetaplah kamu dalam
jama’ah kaum muslimin dan imam mereka “ (Rasyid Ridlo, 1924 : 11).
Menurut Ali Abdul Raziq, para ulama tidak menjadikan hadits-hadits itu
sebagai dalil dalam masalah ini. Sungguh demikian ia mengakui bahwa Rasyid
Ridlo bukanlah orang yang pertama kali mengemukakan konsep ini, sebelumnya
Ibn hazm Al- dhahri juga mempunyai dugaan bahwa ayat 59 surat al-nisa dan
beberapa hadits shahih yang menyatakan perlunya ta’at kepada imam, dapat
dijadikan dasar kewajiban pendirian suatu negara atau khilafah.
Menurut Al-Raziq, bila dilakukan penelitian terhadap hadits-hadits yang
disebutr diatas, semuanya tidak ada yang memadai untuk dijadikan dalil terhadap
anggapan mereka itu, yakni bahwa syariat Islam mengakui adanya hegara atau
imamah, Al-‘udhma dalam pengertian menggantikan nabi dan menduduki
kedudukannya dikalangan kaum muslimin, apalagi untuk dijadikan dalil bahwa
khilafah adalah aqidah syari’ah dan salah satu diantara hukum-hukum agama.
16
Semua hadits Rasulullah Saw. yang menuturkan tentang Imamah,
Khilafah, bai’at dan istilah-istilah lainnya tidak menunjukan suatu pengertian
lebih banyak ketimbang yang masih ada dalam ucapan Yesus ketika menyinggung
berbagai hukum yang berkenaan dengan pemerintahan kekaisaran. Dalam hal ini
al-Raziq mengutip perkataan Isa al-Masih, yaitu: “berikanlah kepada kaisar apa
yang menjadi hak kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hak
Tuhan.
Setelah al-Raziq berusaha mematahkan argumentasi yang menganggap
pembentukan khilafah adalah wjib syar’I, lalu Ia meninjau khilafah dari sudut
sosioligi-historis. Menurutnya, ia hanya melahirkan keburukan dan kebobrokan.
Semenjak pertengahan abad ke tiga Hijriyah, kekhilafahan Islam mulai kehilangan
pengaruhnya dn kekuasaanya hanya terbatas tidak lebih pada satu wilayah yang
sempit terletak di Bahgdad sebgai tempat khalifah tidak lebih baik disbanding
dengan negeri-negeri yang telah lepas dari kekhalifahan. Demikian juga kondisi
perekonomiannya.
Allah menjamin ketinggian dan kelestarian agama-Nya, namun Allah tidak
menghendaki ketinggian atau kehinaan agama-Nya tergantung kepada suatu
bentuk pemerintahan atau kepemimpinan. Dan Allah juga tidak menghendaki
kebaikan atu kerusakan hamba-Nya yang muslim tergantung kepda Khilafah atau
pra khalifah.
Sebelum mengkaji kepemimpinan Rasululllah, al-Raziq antara lain
mengatakan bahwa risalah bukanlah mulk keduanya tidak memiliki keterkaitan.
Risalah adalah suatu kedudukan dan mulk adalah kedudukan lainnya. Banyak
17
diantara malik yang bukan nabi dan banyak Rasul yang bukan Malik bahkan
kebanyakan Rasul bertugas semata-mata sebgai Rasul. Dalam sejarah Rasul,
sedikit sekalai orang yang menggabungkan kedua kedudukan itu.
Ali Abdul Raziq mengakui bahwa Nabi melakukan tindakan yang bisa
dinilai sebagai pengaturan politik dalam menjalankan pemerintahnnya, seperti
jihad. Jika jihad (perjuangan dengan senjata) disamping alat dakwah juga
diartikan sebagai cara untuk mengokohkan negara dan memperluas kerajaan,
maka orang yang mengambil kesimpulan bahwa disamping sebagai Rasulullah,
Nabi Muhammad juga sebagai penguasa politik. Namun al-Raziq mengajukan
suatu pertanyaan apakah pembentukan pemerintahan Islam dan berkecimpungnya
Nabi didalamnya merupkan bagian tugas yang diperintahkan wahyu Allah atau di
luar tugas beliau sebagai pembawa risalah.
Menurutnya, prilaku politik yang dilakukan Nabi adalah di luar tugasnya
sebagai pembawa risalah. Kalau memang ternyata Nabi menjadi pemimpin
politik, maka hal itu timbul karena fenomena kebutuhan duniawi yang tidak ada
sangkut pautnya dengan risalah. Selanjutnya, al-Raziq memberikan penjelasan,
memang benar tugas risalah itu menuntut Nabi untuk memiliki semacam
kepemimpinan dan kekuasaan atas bangsanya, tetapi kepemimpinan dan
kekuasaan raja ats rakyatnya.
Menurutnya, kekuasaan Rasul atas bangsanya adalah kekuasaan
Rohani/keagamaan dan ketundukan yang sempurna yang selanjutnya dengan
ketundukan fisik. Sedangkan kekuasaan politik adalah kekuasaan pisik yang
berdasarkan atas kekuasaan fisik tanpa ada kaitan dengan hati. Yang pertama
18
kekuasaan memimpin dan menunjukan jalan untuk menuju jlan Allahm,
sedangkan yang kedua kekusaan yang mengatur kemakmuran dan kebaikan
kshidupan duniawi. Yang pertama untuk agama dan yang kedua untuk dunia.
Yang pertama untuk Allah yang kedua untuk menusia, yang pertama
kepemimpinan agama dan kedua kepemimpinan politik sangatlah jauh perbedaan
antara kedudukan agama dan politik.
Sungguh pun demikian, al-Raziq memandang logis bila semua umat
manusia inin memeluk suatu agama dan diatur oleh suatu ikatan keagamaan.
Sedangkan bila umat manusiadi muka bumi ini diatur melalui ikatan polittik
dibawah satu pemerintahan, maka hal itu dengan segera akan membuat mereka
keluar dari watak kemanusiaanya dan itu tidak sesuai kehendak Tuhan.
Pengaturan manusia melalui pemerintah dan ikatan politik merupakan
suatu kebutuhan duniawi yang dipasrahkan oleh Allah kepada kemampuan akal
maanusia. Manusia diberikan kebebasan untuk mengaturnya melalui bimbingan
dan pertimbangan akal, ilmu pengetahuan, interes, dorongan nafsu dan ambisi-
ambisi mereka. Dan inilah hikmah yang diberikan Allah agar manusia menjadi
bangsa yang beraneka.
Pandangan-pandangan Ali Abdul Raziq ini, yang berlandaskan kepada
pola pemahaman yang memberikan gambaran tentang tidak adanya dalil tentang
konsep negara, yang merupakan lembaga khilafah. Tegasnya ia menolak sistem
khilafah yang dianggap merupakan sistem pemerintahan Islam yang ideal dan
sistem pemerintahan yang berdasarkan Al-qur’an dan Al-sunah .Menurutnya,
yang ada hanya pemerintahan duniawi yang terlepas dari konsep-konsep
19
keagamaan. Dan Ia menunjukan bahwa agama dan negara mempunyai peran dan
tugas masing-masing serta antara agama dan negara tidak boleh disatukan dalam
sebuah lembaga.
D. Kesimpulan
Berdasarkan atas pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Menurut Al-Maududi Negara itu harus dikelola secara demokratis yang
dibimbing wahyu yang dia sebut sebagai theo-demokrasi, yaitu suatu
pemerintahan demokrasi Ilahiyah. Sedangkan Ali Abdul Raziq berpendapat
bahwa konsep kepemimpinan masyarakat haruslah ada, namun bukan karena
tuntutan agama, karena tidak ada ayat al-Qur’an yang secara tegas
menunjukkan kepada konsep negara. Dengan demikian, menurutnya, bentuk
pemerintahan/negara boleh beraneka bentuk dan sifatnya sesuai dengan kultur
dan kondisi politik.
2. Pemikiran tentang konsep negara menurut Al-Maududi didasarkan pada
pemahaman terhadap al-Qur’an surat al-Nur ayat 55 dan al-Sunnah. Ayat
tersebut melukiskan teori Islam tentang politik atau negara dan mengandung
dua masalah yang dianggapnya merupakan pondasi demokrasi dalam Islam,
yaitu (a) kata “khilafah” sebagai kata kunci, bukan dengan kedaulatan, dan (b)
kekuasaan untuk mengatur bumi diserahkan kepada seluruh masyarakat
beriman, bukan individu atau kelompok tertentu. Atas dasar itu maka lahirlah
konsep theo-demokrasi, suatu pemerintahan demokrasi Ilahiyah. Sedangkan
20
Ali Abdul Raziq mendasarkan pemahamannya terhadap surat al-Nisa ayat 59
dan 83, tentang kepemimpinan. Metode istinbath hukum yang digunakan oleh
Al-Maududi dalam memahami ayat al-Qur’an dan al-Sunnah adalah metode
skripturalistik, yaitu pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, sehingga
isyarat harpiyah ayat dianggap makna dan konsep yang sesungguhnya.
Sedangkan Ali Abdul Raziq dalam memahami ayat itu menggunakan metode
‘aqliyah atau rasionalistik yang cenderung memahami teks tanpa
mempertimbangkan siratan makna yang terkandung di dalamnya, sehingga
karena tidak ada ayat yang secara gamblang menerangkan konsep negara
dianggap bahwa Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan suatu negara.
E. Daftar Pustaka
Al-Maududi 1985 Khilafah dan Kerajaan: Studi Kritis atas Sejarah Pemerintahan
Islam, Mizan, Bandung. Al-Maududi 1975 Sistim Politik Islam, Mizan, Bandung. Ali Abdul Raziq 1925 Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Al-Maktabah al-Hayat, Beirut. Al-Mawardi 1973 Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Al-Halabi, Mesir. Abdul Wahab Khalaf 1987 Ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Kuwaitiyah al-Nasr. Kuwait. Ahmad Nusnan 1992 Berbenah Diri Menuju Pemikiran Islami, Pustaka, Bandung. Ahmad Siddiq Abdurrahman, 1993 Bae’at (Satu Gerakan Islam), Al-Fawaz Press. Jakarta. Ahmad Syafi’I Ma’arif 1985 Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, Jakarta. Charles C. Adam, 1933 Islam and Modernism in Egypt, Oxford University Press, London. Djazuli, A 1987 Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar), Orba Sakti, Bandung. Djazuli, A
21
1990 Persoalan dan Ruang Lingkup Fiqh Siyasah Dusturi, IAIN SGD, Bandung. Depag. RI
1971 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Gema Risalah, Bandung. Dhiya al-Din al-Rais 1957 Al-Nadhariyat al-Siyasah al-Islamiyah, Maktab al-Anjalu al- Mishriyah, Mesir. Fazlur Rahman, 1984 Islam, Pustaka, Bandung. Gibb, H.A.R. 1990 Aliran-aliran Modern dalam Islam, rajawali Press, bandung. Hanafi. A 1970 Penganatar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang Jakarta. Hasbi ash-shiddiqieqy 1969 Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Harun Nasution, 1975 Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Harun Nasution dan Azyumardi Azra (peny.) 1985 Perkembangan Modrn dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Hasjmy, A. 1984 Dimana Letaknya Negara Islam, Bina Ilmu, Surabaya. Hamid Algar, 1969 Religion and State in Iran, University of California Press,
Barkeley. Ibnu Khaldun, t.t. Muqaddimah, Daar Fiqr, Beirut. Imam Munawir, t.t. Asas-asas Kepemimpinan dalam Islam, Usaha Nasional Surabaya Jakarta. John J. Donohue dan John L. Esposito, 1994 Islam dan Pembaharuan (Ensiklopedi Masalah-masalah, PT. Grafindo Persada, Jakarta. Juhaya S. Praja. 1993 Filsafat Hukum Islam, Piara, Bandung. Johannes Der Heijer dan Syamsul Anwar. 1993 Islam, Negara dan Hukum, INIS, Jakarta. Mariam Budiarjo 1972 Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta. Munawir Sadzali 1990 Islam dan Tata Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta Mukhtar yahya dan Faturrahman, 1986 Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Mizan Bandung. Muntaz Ahmad, 1993 Masalah-masalah Teori Politik Islam, Al-Maarif, Bandung. Muhammad Asand,
22
1985 Sebuah Kajian tentang Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka, Bandung. Mahdi Fadhullah, 1991 Titik Temu Agama dan Politik, Ramdani, Jakarta. Nurchalis Madjid, 1985 Islam dan Masalah Kenegaraan, Mizan, Bandung. Rasyid Ridla, 1924 Al-Khilafah au Imamah al-‘Udhma, Maktab al-Manar, Mesir. Shalahuddin Sanusi, 1976 Integritas Umat Islam, Iqamatuddin, Bandung. Sayyed Adnan Amal,
1985 Maulana Maududi and the Islamic State, People Publishing House, Lahore.
Taufik Adnan Amal, 1989 Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung. Taufiq Ali Wahbah, 1985 Jihad dalam Islam, Media Dakwah, Jakarta. Wirjono Projodikoro, 1983 Azas-azas Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta. Waqar Ahmad Husaini, 1983 Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Pustaka, Bandung. Yusuf Musa, 1963 Politik dan Negara dalam Islam, Al-Ikhlas Surabaya.