KONSEP NEGARA MENURUT AL-MAUDUDI DAN ALI · PDF fileNegara (Munawir Sadzali, Islam, Politik...

22
1 KONSEP NEGARA MENURUT AL-MAUDUDI DAN ALI ABDUL RAZIQ A. Identifikasi Masalah Konsep tentang nagara telah menjadi pusat perhatian para pemikir dan pilosof muslim sejak masa klasik hingga masa modern dalam proses pencarian mereka akan bentuk ideal masyarakat manusia, tak terkecuali pemikir politik Islam. Pemikiran dan pencarian konsep tentang negara adalah adalah ijtihad politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan proses politik yang sedang berlangsung. Hal ini dimaksudkan untuk, (1) menemukan idealitas Islam tentang negara (aspek teoritis dan formal), hal ini berdasarkan asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara; (2) Untuk melakukan idealisasi dari prespektif Islam terhadap proses penyelenggaraan Islam memiliki konsep tertentu tentang negara; (2) Untuk melakukan idealisasi dari presfektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara (aspek praktis dan subtansial), yang hal ini bertolak dari asumsi bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu dan menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etika dan moral. Dalam konteks pemikiran politik terdapat tiga paragdigma tentang hubungan agama dan negara, yaitu: 1. Agama dan negara tidak dipisahkan (menekankan paradigma integralistik); 2. Agama dan Negara berhubungan secara simbiotik; 3. Sekularistik

Transcript of KONSEP NEGARA MENURUT AL-MAUDUDI DAN ALI · PDF fileNegara (Munawir Sadzali, Islam, Politik...

1

KONSEP NEGARA MENURUT AL-MAUDUDI DAN ALI ABDUL RAZIQ

A. Identifikasi Masalah

Konsep tentang nagara telah menjadi pusat perhatian para pemikir dan

pilosof muslim sejak masa klasik hingga masa modern dalam proses pencarian

mereka akan bentuk ideal masyarakat manusia, tak terkecuali pemikir politik

Islam.

Pemikiran dan pencarian konsep tentang negara adalah adalah ijtihad

politik dalam rangka menemukan nilai-nilai Islam dalam konteks sistem dan

proses politik yang sedang berlangsung. Hal ini dimaksudkan untuk, (1)

menemukan idealitas Islam tentang negara (aspek teoritis dan formal), hal ini

berdasarkan asumsi bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara; (2)

Untuk melakukan idealisasi dari prespektif Islam terhadap proses

penyelenggaraan Islam memiliki konsep tertentu tentang negara; (2) Untuk

melakukan idealisasi dari presfektif Islam terhadap proses penyelenggaraan

negara (aspek praktis dan subtansial), yang hal ini bertolak dari asumsi bahwa

Islam tidak membawa konsep tertentu dan menawarkan prinsip-prinsip dasar

berupa etika dan moral.

Dalam konteks pemikiran politik terdapat tiga paragdigma tentang

hubungan agama dan negara, yaitu:

1. Agama dan negara tidak dipisahkan (menekankan paradigma integralistik);

2. Agama dan Negara berhubungan secara simbiotik;

3. Sekularistik

2

Ketiga paradigma tersebut,yang muncul dari pemahaman dan pendekatan

yang berbeda, menampilkan pola pemikiran yang berbeda pula. Namun kendati

dalam pemahaman dan pendekatan berbeda, ketiganya mempunyai tujuan yang

sama, yaitu menemukan rekonsiliasi antara idelitas agama dan realitas politik.

Rekonsiliasi antara cita-cita agama dan relaitas politik menjadi tugas

utama pemikiran politik Islam. Hal ini merupakan tuntutan keran hubungan antara

agama dan negara dalam kenyataan sejarah sering menampilkan fenomena

kesenjangan dan pertentangan. Fenomena ini bersumber pada dua sebab, yaitu

terdapatnya perbedaan konseptual antara agama politik yang menimbulkan

kesukaran pemanduan dalampraktek dan terdapatnya penyimpangan praktek

pollitik dari etika dan moralitas agama.

Upaya penerapan etika dan moralitas agama terhadap politik sangatlah

beragam. Para pemikir politik Islam berupaya dengan berbagai pendekatan.

Dalam hal ini upaya Al-Maududi dan Ali Abdul Raziq untuk menerapkan dan

mendudukan posisi agama dan politik pada tempatnya. Al-Maududi menerapkan

paradigma integrelalistik, sedangkan Ali Abdul Raziq mnerapkan paradigma

sekuleristik.

Kedua paradigma pemikiran politik tersebut mewakili dari keseluruhan

pemikiran politik lainnya dari pada paradigma simbiotik. Fundamentalisme Al-

Maududi yang lebih mnekankan totalitas ajaran agama serta sekulerisme Ali

Abdul Raziq merupakan dua kutub pemikiran politiik yang sangat bertentangan,

hal ini patut dikaji lebih lanjut untuk mengetahui letak kekuatan dan kelemahan

argumentasi yang dikemukakan oleh kedua tokoh pemikir politik tersebut.

3

Dari Uraian di atas, untuk mengetahui permasalahannya yang lebih jelas,

maka dalam hal ini penulis ajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep negara menurut Al-Maududi dan Ali Abul Raziq?

2. Apa landasan dan metode isntinbath hukum yang dipakai oleh al-Muadudi dan

Ali Abul Raziq dalam mengemukakan konsep negara?

B. Metodologi Penelitian

1. Penentuan Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

content analysis atau analisis isi karena peneliti meneliti atau mencari data dari

buku-buku, teks al-Quran, tafsir, dan tulisan-tulisan lain sebagai hasil dari

pemikiran para ulama.

2. Penentuan Sumber Data

Sumber data yang dihimpun dalam penelitian ini adalah data yang bersifat

primer, yaitu data yang langsung dari sumber aslinya, diantaranya: al-Khilafah

waal-Mulk, the Islamic law and consittution karangan Al-Maududi dan Al-Islam

waal-Ushul al-Hukm karangan Ali Abdur Raziq, sedangkan data sekunder yaitu

data yang tidak langsung, namun ada relevansinya dengan penelitian ini,

diantaranya: Teori-teori Politik Islam (Mumtaz Ahmad, Ed. Islam dan Tata

Negara (Munawir Sadzali, Islam, Politik dan negara karangan Yusuf Musa dan

litelatur lainnya.

3. Penentuan Jenis Data

4

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif

yang berhubungan dengan:

1. Konsep negara menurut Al-Maududi dan Ali Abul Raziq; dan

2. Landasan atau dalil dan metode isntinbath hukum yang dipakai oleh al-

Muadudi dan Ali Abul Raziq dalam mengemukakan konsep Negara.

4. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode book

survey yaitu dengan mengumpulkan data yang bersifat kualitatif dengan jalan

mencari data atau teori dari sumber-sumber primer dan sekunder.

5. Analisis Data

Data yang sudah terkumpul, oleh penulis akan dianalisis dengan

menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan teknik analisis isi.

Dalam pelaksanaannya, penganalisisan dilakukan dengan melalui langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Menelaah semua data yang terkumpul dari berbagai sumber, baik sumber

primer maupun sumber sekunder;

b. Mengelompokkan seluruh data dalam satuan-satuan sesuai dengan masalah

yang diteliti;

c. Menghubungkan data dengan teori yang sudah dikemukakan dalam kerangka

pemikiran; dan

5

d. Menafsirkan dan menarik kesimpulan dari data yang dianalisis dengan

memperhatikan rumusan masalah dan kaidah-kaidah yang berlaku dalam

penelitian.

C. Pembahasan Hasil Penelitian

1. Pemikiran Al-Maududi dan Ali Abdul Raziq tentang Konsep Negara

a. Pemikiran Al-Maududi tentang Konsep Negara

Ada dua konsep modern tentang negara yang saling bertentangan. Pertama

konsep Hegel yang menyatakan bahwa negara adalah perwujudan dari ide suci,

yaitu ide illahi (divine Idea) dimuka bumi, dimana setiap negara dapat

mengidentifikasikan martabatnya, statusnya kearah kehidupannya. Identifikasi

martabatnya, status keaah kehidupannya. Citra Hegelian tentang negara adalah

bahwa negara merupakan inkarnasi ide suci dan karena negara harus berada

diatas segala-galanya. Makin kuat suatu negara, makin baik para warganya.

Dengan demikian setiap warga negara harus menyerahkan segala dedikasinya

untuk negara. Dalam arti, konsep Hegelian menjadikan negara sebagai aparat

yang didewakan yang berhak menuntut apa saja dari para warganya. Jelas sekali

bahwa Hegel menuhankan negara.

Sebaliknya konsep Marx. Walaupun Ia bangga menjadimurid spritual

Hegel, tetapi pandangannya tentang negara betolak belakang dengan pandangan

gurunya. Marx berpendapat bahwa negara pada hakekatnya adalah aparat atau

mesin operasi operasi (penindasan), tirani dan eksploitasi kaum pekerja oleh

pemilik alat-alat produksi (kaum kapitalis) dan pemegang distribusi kekayaan

yang mencelakakan kelas pekerja, jadi dapat kita temukan dalam marxisme

6

konsep mengenai layunya negara setelah terjadinya revolusi sosialis. Artinya,

setelah berlangsungnya revolusi akan terbentuk suatu kediktatoran proletariat dan

kemudian melalui kekuasaan kaum protelar perbedaan kelas dapat dimusnahkan

sampai terwujudanya masyarakat tanpa kelas. Dalam masyarakat tanpa kelas

inilah negara sebagai aparat penindasan kelas kafitalis akan layu dengan

sendirinya, akan lenyap Selma-lamanya.

Jika Hegel berpendapat bahwakuat dan mekarnya negara berarti tercpainya

cita-cita menusia, maka marx menganggap lenyapnya negara adalah adalah

kebijakan puncak.lantas bagaimnakah konsep negara menurut Al-Maududi yang

berpegang kepada al-Qur’an?

Menurut Al-Maududi pembentukan suatu negara merupakan sebagian dari

misi Islam yang agung. Membangun negara merupakan salah satu kewajiban

agama. Oleh karenanya negara yang dibangun harus dipelihara eksistensinya,

tetapi tidak boleh negara itu didewa-dewakan. Islam menolak Utopia Marx yang

ingin melenyapkan negara, sehingga dapat dijadikan acuan dalam memahami

konsep negara menurut Al-Maududi.

Pemikiran Al-Maududi tentang teori politik Islam atau dalam hal ini

kensep konsep negara, yang landasan filosofinya adalah kedaulatan rakyat.

Dengan demikian, teori politik Islam yang dikemukakan Al-Maududi

terletak pada konsep dasar yang menegaskan bahwa kedaulatan ada ditangan

tuhan, bukan seperti konsep dasar demikrasi Barat yang menegaskan bahwa

kedaulatan ditangan rakyat.

7

Menurut Al-Maududi, atas terpenting dalam Islam adalah tauhid, doktrin-

doktrin yang terkandung dalam ajaran tauhid sangat revolusioner dan mempunyai

implikasi sangat jauh dalam mengubah tata sosial, tata politik, tata ekonomi, yang

sudah ada yang tidak bersendikan tauhid. Jadi tidaklah aneh sejak dulu, orang-

orang yang sering menentang doktrin-doktrin sosial, politik, ekonomi, yang

bersendikan tauhid, berhubung doktrin-doktrin tersebut selalu menentang

penindasan dan tirani serta kekuasaan yang tidak adil.

Dari dasar utama tauhid ini, maka lembaga negara atau konsep negara

yang dikemukakan Al-Maududi dikenal dengan nama “theokrasi”, namun teokrasi

bukan seperti yang pernah jaya di Eropa, dimana sekelompok masyarakat khusus

yaitu kelompok pendeta, mendominasi dalam penegakan hukumnya sendiri atas

nama Tuhan, yang pada akhirnya memaksakan keilahian dn ketuhanan mereka

sendiri di atas rakyat. Sedangkan teokrasi yang dibangun Islam tidaklah dikuasai

oleh kelompok keagamaan manapun melaikan seluruh masyarakat Islam. Seluruh

masyarakat Islam menyelenggarakan pemerintahan sejalan dengan Kitabullah dan

praktek Rasulullah. Namun disini Al-Maududi memakai istilah konsep negara

dengan “Teo-demokrasi”, yaitu suatu sistem pemerintahan demokrasi Ilahi,

karenanya kaum mualim diberi kedaulatan yang terbatas dibawah pengawasan

hukum dan norma Tuhan. Dalam penggertian ini, politik Islam disebut juga

sebuah demokrasi (Al-Maududi, 1975: 159).

Dari konnsep di atas dapat dipahami, bahwa negara hanyalah merupakan

instrumen pembaharuan yang terus menerus, yang didirikan berlandaskan hukum

yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasulullah Saw. Pemerintah

8

yang memegang kekuasaan (imam) diberi hak untuk ditaati dalam kapasitasnya

sebagai agen politik yang diciptakan untuk menegakan hukum-hukum Tuhan,

sepanjang ia bertindak sesuaia dengan kemampuannya (Al-Maududi, 1975: 158).

Disamping itu, negara Islam dan konsep negara dalam Islam merupakan

negara ideologis. Negara yang berlandaskan suatu ideology yang bertujuan untuk

menegakan ideology tersebut. Negara merupakan instrument reformasi ideologis.

Ketentuan inilah yang menyebabkan negara tersebut wajib diselenggarakan oleh

orang-orang yang meyakini ideology Islam dan hukum ilahi. Hukum disini

mengandung arti norma-norma dasar bagi penciptaan masyarakat adil sejahtera,

bukan hukum-hukum administrative atau hukum yang lainnya, karena dalam

pengertian ini manusia diperbolehkan untuk membuat peraturan.

Negara Islam yang berlandaskan syari’ah tersebut, menurut Al-Maududi

harus berdasarkan kepada empat prinsip dasar yaitu: mengakui kedaulatan Tuhan;

menerima otoritas nabi Muhammad; memiliki status wakil Tuhan; dan

menerapkan prinsip musyawarah (syura’).

b. Pemikiran Ali Abdul Raziq tentang Konsep Negara

Sementara itu, pemahaman kenegaraan atau lembaga khilafah yang

dikemukakan oleh Ali Abdul Raziq, sebagai mana dituliskan dalam karyanya,

menyatakan bahwa:

Negara adalah suatu pola pemerintahan dimana kekuasaan tertinggi dan mutlak berada pada seorang kepala negara / pemerintah dengan gelar khalifah, pengganti Nabi Besar Muhamad SAW, dengan kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan rakyat/umat, baik keagamaan maupun kedunawian yang hukumnya wajib bagi umat untuk patuh dan ta’at sepenuhnya. (Ali Abdul Raziq, 1925 :12 ).

9

Dari konsep tersebut dafat dipaham, bahwa baik Ali Abdul Raziq ataupun

ulama yang lain pada dasarnya mengakui bahwa Islam memerlukan adanya sistem

pemerintahaan dan kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat dengan

aturan-aturan yang telah ditetapkan.

Al-Raziq mengakui, bahwa nabi telah mendirikan suatu Negara di

Madinah bagaimanapun sederhananya. Sebab, pelaksannan hukum dalam

pengertian pemerintahaan sudah ada dizaman Nabi Muhamad SAW. (Ali Abdul

Raziq, 1925 : 39).

Tetapi dalam hal ini, al-Raziq menyatakan sulitnta membuat kesimpulan

bagaimana prosudur penetapan hukum yang ditempuh Nabi. Demikian juga

adanya inpormasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, seperti

masalah keuangan dan pengawasan, keamanan jiwa atau kepolisian dan lain

sebagainya. Namun demikian, bidang-bidang tugas yang dilakukan nabi seperti

ekspedisi militer untuk membela diri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah,

pemberian delegasi kepada shahabat untuk melaksanakan berbagai bidang tugas,

memberikan petunjuk bahwa Nabi Muhammad saw. Disamping sebagai seorang

Rasul juga sebagai pemimpin politik (Ali Abdul Raziq, 1925: 55).

Akan tetapi yang menjadi persoalan bagi al-Raziq ialah masalah pendirina

negara di Medinah oleh Nabi berikut pengawasan dan bidang-bidang tugas yang

dilakukan tersebut, yang dapat disebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari kerasulan dan pendirian negara itu berikut fungsi-fungsi dan tugas-tugas yang

dilakukan Nabi berada di luar tugas kenabiannya.

10

Al-Raziq berpendapat, pemerintahan yang dilaksaknakan Rasul bukanlah

dagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas yang terpisah dari misi

kerasulan/dakwah Islamiyah dan berada di luar tugas kerasulannya. Pemerintah

yang pernah dibentuk Nabi adalah amalan duniawi yang sama sekali tidak ada

kaitannya dengan tugas kerasulannya (Ali Abdul Raziq, 1925: 55).

Al- Raziq berpendapat, pemerintahan yang dilaksanakan Rasul bukanlah

bagian dari tugas, melainkan tugas yang terpisah dari misi kerasulan/dakwah

Islamiyah dan berada diluar tugasa kerasulannya. Pemerintah yang pernah

dibentuk Nabi adalah amalan duniawi yang sama sekali tidak ada kaitannya

dengan tugas kerasulan (Ali Abdul Raziq, 1925: 55 ).

Sesungguhnya pernyataan tersebut bukanlah pendapat Al-Raziq yang

sebenarnya, pendapat ini hanya sementara sekedar mengikuti alur pemikiran yang

dianut oleh umat Islam pada umumnya, bahwa Nabi pernah mendirikan negara

dan beliau mempunyai dua fungsi, yakni sebagai Rasul dan sebagai kepala negara.

Kalau masyarakat yang dipimpin oleh Nabi itu disebut negara, maka al-Raziq

memandang sebagai tugas yang berada di luar misi kerasulannya. Nabi tidak

membawa dan mengemban misi untuk mendirikan negara. Paradigma pendapat

yang ditujukan untuk menolak pendapat bahwa Nabi pernah mendirikan negara di

Medinah.

2. Landasan dan Metode Istinbath yang Digunakan Al-Maududi dan Ali Abdul

Raziq

a. Landasan dan Metode Istinbath yang Digunakan Al-Maududi

11

Landasan atau dasar hokum yang digunakan oleh Al-Maududi dalam

mengemukakan pendapatnya tentang konsep Negara adalah al-Qur’an dan al-

Hadits. Al-Maududi memahami konsep negara, melalui Al-qur’an surat An-nur

ayat 55, yang berbunyi :

م يف األرض ... (النّوروعد اهللا )55: اّلذين وعملوا الّصلحت ليستخلفو

“Allah telah berjanji pada orang-orang yang beriman dan beramal saleh,

bahwa ia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,

sebagaimana ia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa …

”(Soenarjo dkk., 1971 : 553).

Juga hadits yang berbunyi:

كم مسئول عن عن عمر بن اخلطاب قال: رسول اهللا صم أال كّلكم راع زكّلراعيته فاإلمام اّلذي على النّاس راع وهو مسئول عن راعيته واملرأة راعيته يف بيت

يتها ... رواه مسلم)زوجها وهي مسئولة عن راع “Dari umar Ibn al-Khaththab berkata : Rasulullah bersabda : “ Ingat, setiap

kamu semua adalah pemimpin dan tiap-tiap kamu akan diminta

pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya, maka seorang pemimpin (Iman)

yang memimpin manusia adalah pemimpin dan ia akan diminta tanggung jawab

atas kepemimpinannya, seorang istri adalah pemimpin atas kehidupan rumah

tangga suaminya dan ia akan diminta tanggung jawab atas kepemimpinannya, dan

12

seorang hamba sahaya adalah pemimpin dan ia akan diminta tanggung jawabnya

atas kepemimpinannya…” (HR. Muslim).

Dari kedua keterangan ini menurut al-Mududi merupakan teori Islam

tentang politik atau negara. Dan dari keterangan ini dapat di tarik dua masalah

yang fundamental, yaitu:

1. Islam menggunakan ‘Khilafah’ sebagai kata kunci, bukan dengan kata

kedaulatan atau yang lainnya. Dengan demikian pemegang kekuasaan dan

penggunaan harus sesuai dengan norma dan hukum tuhan, maka dengan

sendirinya ia menjadi khalifah (pengganti) Tuhan.

2. Kekuasaan untuk mengatur bumi, mengelola negara dan mensejahterakan

masyarakat dan dijanjikan kepada seluruh masyuarakat beriman, bukan

kepada seseorang atau suatu kelas tertentu. Setiap mukmin menjadi khalifah

Tuhan dimuka bumi sesuai dengan kapasitas individunya.

Kata kekuasaan dan kekhalifahaan dngan sendirinya akan terkait dengan

raja- raja atau otoritas kepuasaan. Meurut konsep al-Qur’an, kekhalifahaan

bukanlah Hk istimewa individu, kelas atau kelompok terteentu, melaikan hak

kolektif yang mengakui kedaulaaan mutlak Tuhan atas diri mereka dan

menjalankan hukum Tuhan yang disampaikan oleh Rasul.

Pemikiran Al-Maududi tentang konsep negara dilandasi oleh tiga dasar

atau anggapan: pertama, Islam adalah agama yang paripurna, lengkap dengan

petunjuk uantuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan

politik, dalam arti bahwa dalam Islam ada sistem politik, oleh karena itu dalam

bernegara umat Islam tidak perlu meniru sistem politik barat, tetapi kembali ke

13

sistem Islam enagn merujuk kepada pola politik al-Khulafaur al-Roshidiin.

Sebagai contoh sistem kenegaraan menurut Islam, kedua kekuasaan tertinggi,

dalam istilah politik Islam adalah kedaulatan. Dan kedaulatan tertingi dalam

politik Islam ada di tangan tuhan, sedangkan manusia adalah hanya pelaksana

kedaulatan Tuhan sebagai Khlifah-Khalifah Allah du bumi. Ketiga, Sistem politik

Islam adalah suatu sistem universal yang tidak mengenal batas-batas dan ikatan-

ikatan geografis, bahasa dan kebangasaan (Munawir, 1990 : 166).

b. Landasan dan Metode Istinbath Hukum Yang Digunakan Ali Abdul Raziq

Dasar hukum yang digunakan oleh Ali Abdul Raziq dalam

mengemukakan pendapatnya tentang konsep Negara adalah al-Qur’an surat al-

Nisa ayat 59 dan 83 yang menyebutkan kata ulil ‘amri:

1. Ayat pertama berbunyi:

ها اّلذين أ ّ سول وأوىل األمر منكم فإن تنازعتم يف يأي منوا أطيعوا اهللا وأطيعوا الرّسول إن كنتم تؤمنون باهللا واليوم األخر ذلك خري وأحسن شيء فرّده اىل اهللا والرّ

تأويالHai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul-

Nya, dan Uli al-Amri diantara kamu. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasulnya (al-Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)dan lebih baik akibatnya. (Soenarjo dkk., 1971: 128).

2. Ayat yang kedua berbunyi:

سول اىل رّدوه ولو اذاعوبه اخلوف او األمن من أمر جآءهم وإذا اوىل واىل الرّذين لعلمه منهم األمر )83 النّسآء...( منهم يستنبطون اّل

14

“Dan apabila mereka ditimpa suatu hal, keamanan atau ketakutan, mereka

siarkan (kepada musuh). Dan kalau mereka serahkan hal itu kepada Rasul atau

kepada Ulil Amri (yang mempunyai urusan diantara kamu), niscaya orang-orang

yang meneliti diantara mereka mengetahui hal itu” (Soenarjo dkk, 1971: 132).

Ali Abdul Raziq mengakaui bahwa ada diantara mufasir yang menafsir

kata ulil amri’ pada ayat pertama dengan penguasa kaum muslimin pada masa

rasul dan pada masa sesudah rasul termasuk para khalifah, para qadli dan

panglima perang. Ada juga yang menafsirkan dengan ulama syara’ . Sedangkan

kata Ulil amri pada ayat kedua ditafsirkan dengan sahabat senior atau para

pemimpin mereka. Akan tetapi menurutnya, tidak ada seorangpun yang

menganggap kedua ayat tersebut diatas sebagai dalil wajibnya mendirikan

khilafah/negara.

Jadi menurutnya, kedua ayat ini masih belum memadai sebagai dalil

adanya khilafah atau negara. Namun kandungan ayat tersebut ialah membuktikan

adanya keharusan bagi kaum muslimin untuk memiliki sekelompok orang yang

dapat dijadikan rujukan bagi persoalan- persoalan yang mereka hadapi. Makna ini

jelas lebih umum dan luas dibandingkan dengan makna yang mereka sebutkan.

Malahan pengertian seperti itu satu sama lain berbeda jauh.

Sebagaimana Al-Qur’an, Al-Sunah juga tidak membicarakan khilafah ini.

Seandainya ada hadits yang bisa dijadikan dalil, niscaya mereka lebih

mendahulukannya dari pada ij’ma dan tentu pengarang Al-Mawaqif (yang

dimaksud ialah Abdurrahman Al-Iji dan Sayyid Syarip Al-Jurjani) tidak

15

mengatakan bahwa Ijma dalam mendirikan negara ini tidak memiliki sandaran

dalili Naqli.

Rasyid Ridlolah diantara ulama yang berusaha mendapatkan Al-Sunah

sebagai dalil atas kewajiban mendirikan negara atau khilafah. Dia kritik Al-

Taftazzany dan orang-orang lainnya yang dianggapnya telah lupa mengambil

hadits-hadits shahih yang menetapkan adanya jama’ah kaum muslimin dan imam

mereka. Sementara ada hadits lain yang mengemukakan bahwa orang yang mati

yang belum melakukan bai’at maka kematiannya bagaikan kematian orang

jahiliyyah.Ada lagi hadits Hudzaifah yang menyatakan “Tetaplah kamu dalam

jama’ah kaum muslimin dan imam mereka “ (Rasyid Ridlo, 1924 : 11).

Menurut Ali Abdul Raziq, para ulama tidak menjadikan hadits-hadits itu

sebagai dalil dalam masalah ini. Sungguh demikian ia mengakui bahwa Rasyid

Ridlo bukanlah orang yang pertama kali mengemukakan konsep ini, sebelumnya

Ibn hazm Al- dhahri juga mempunyai dugaan bahwa ayat 59 surat al-nisa dan

beberapa hadits shahih yang menyatakan perlunya ta’at kepada imam, dapat

dijadikan dasar kewajiban pendirian suatu negara atau khilafah.

Menurut Al-Raziq, bila dilakukan penelitian terhadap hadits-hadits yang

disebutr diatas, semuanya tidak ada yang memadai untuk dijadikan dalil terhadap

anggapan mereka itu, yakni bahwa syariat Islam mengakui adanya hegara atau

imamah, Al-‘udhma dalam pengertian menggantikan nabi dan menduduki

kedudukannya dikalangan kaum muslimin, apalagi untuk dijadikan dalil bahwa

khilafah adalah aqidah syari’ah dan salah satu diantara hukum-hukum agama.

16

Semua hadits Rasulullah Saw. yang menuturkan tentang Imamah,

Khilafah, bai’at dan istilah-istilah lainnya tidak menunjukan suatu pengertian

lebih banyak ketimbang yang masih ada dalam ucapan Yesus ketika menyinggung

berbagai hukum yang berkenaan dengan pemerintahan kekaisaran. Dalam hal ini

al-Raziq mengutip perkataan Isa al-Masih, yaitu: “berikanlah kepada kaisar apa

yang menjadi hak kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hak

Tuhan.

Setelah al-Raziq berusaha mematahkan argumentasi yang menganggap

pembentukan khilafah adalah wjib syar’I, lalu Ia meninjau khilafah dari sudut

sosioligi-historis. Menurutnya, ia hanya melahirkan keburukan dan kebobrokan.

Semenjak pertengahan abad ke tiga Hijriyah, kekhilafahan Islam mulai kehilangan

pengaruhnya dn kekuasaanya hanya terbatas tidak lebih pada satu wilayah yang

sempit terletak di Bahgdad sebgai tempat khalifah tidak lebih baik disbanding

dengan negeri-negeri yang telah lepas dari kekhalifahan. Demikian juga kondisi

perekonomiannya.

Allah menjamin ketinggian dan kelestarian agama-Nya, namun Allah tidak

menghendaki ketinggian atau kehinaan agama-Nya tergantung kepada suatu

bentuk pemerintahan atau kepemimpinan. Dan Allah juga tidak menghendaki

kebaikan atu kerusakan hamba-Nya yang muslim tergantung kepda Khilafah atau

pra khalifah.

Sebelum mengkaji kepemimpinan Rasululllah, al-Raziq antara lain

mengatakan bahwa risalah bukanlah mulk keduanya tidak memiliki keterkaitan.

Risalah adalah suatu kedudukan dan mulk adalah kedudukan lainnya. Banyak

17

diantara malik yang bukan nabi dan banyak Rasul yang bukan Malik bahkan

kebanyakan Rasul bertugas semata-mata sebgai Rasul. Dalam sejarah Rasul,

sedikit sekalai orang yang menggabungkan kedua kedudukan itu.

Ali Abdul Raziq mengakui bahwa Nabi melakukan tindakan yang bisa

dinilai sebagai pengaturan politik dalam menjalankan pemerintahnnya, seperti

jihad. Jika jihad (perjuangan dengan senjata) disamping alat dakwah juga

diartikan sebagai cara untuk mengokohkan negara dan memperluas kerajaan,

maka orang yang mengambil kesimpulan bahwa disamping sebagai Rasulullah,

Nabi Muhammad juga sebagai penguasa politik. Namun al-Raziq mengajukan

suatu pertanyaan apakah pembentukan pemerintahan Islam dan berkecimpungnya

Nabi didalamnya merupkan bagian tugas yang diperintahkan wahyu Allah atau di

luar tugas beliau sebagai pembawa risalah.

Menurutnya, prilaku politik yang dilakukan Nabi adalah di luar tugasnya

sebagai pembawa risalah. Kalau memang ternyata Nabi menjadi pemimpin

politik, maka hal itu timbul karena fenomena kebutuhan duniawi yang tidak ada

sangkut pautnya dengan risalah. Selanjutnya, al-Raziq memberikan penjelasan,

memang benar tugas risalah itu menuntut Nabi untuk memiliki semacam

kepemimpinan dan kekuasaan atas bangsanya, tetapi kepemimpinan dan

kekuasaan raja ats rakyatnya.

Menurutnya, kekuasaan Rasul atas bangsanya adalah kekuasaan

Rohani/keagamaan dan ketundukan yang sempurna yang selanjutnya dengan

ketundukan fisik. Sedangkan kekuasaan politik adalah kekuasaan pisik yang

berdasarkan atas kekuasaan fisik tanpa ada kaitan dengan hati. Yang pertama

18

kekuasaan memimpin dan menunjukan jalan untuk menuju jlan Allahm,

sedangkan yang kedua kekusaan yang mengatur kemakmuran dan kebaikan

kshidupan duniawi. Yang pertama untuk agama dan yang kedua untuk dunia.

Yang pertama untuk Allah yang kedua untuk menusia, yang pertama

kepemimpinan agama dan kedua kepemimpinan politik sangatlah jauh perbedaan

antara kedudukan agama dan politik.

Sungguh pun demikian, al-Raziq memandang logis bila semua umat

manusia inin memeluk suatu agama dan diatur oleh suatu ikatan keagamaan.

Sedangkan bila umat manusiadi muka bumi ini diatur melalui ikatan polittik

dibawah satu pemerintahan, maka hal itu dengan segera akan membuat mereka

keluar dari watak kemanusiaanya dan itu tidak sesuai kehendak Tuhan.

Pengaturan manusia melalui pemerintah dan ikatan politik merupakan

suatu kebutuhan duniawi yang dipasrahkan oleh Allah kepada kemampuan akal

maanusia. Manusia diberikan kebebasan untuk mengaturnya melalui bimbingan

dan pertimbangan akal, ilmu pengetahuan, interes, dorongan nafsu dan ambisi-

ambisi mereka. Dan inilah hikmah yang diberikan Allah agar manusia menjadi

bangsa yang beraneka.

Pandangan-pandangan Ali Abdul Raziq ini, yang berlandaskan kepada

pola pemahaman yang memberikan gambaran tentang tidak adanya dalil tentang

konsep negara, yang merupakan lembaga khilafah. Tegasnya ia menolak sistem

khilafah yang dianggap merupakan sistem pemerintahan Islam yang ideal dan

sistem pemerintahan yang berdasarkan Al-qur’an dan Al-sunah .Menurutnya,

yang ada hanya pemerintahan duniawi yang terlepas dari konsep-konsep

19

keagamaan. Dan Ia menunjukan bahwa agama dan negara mempunyai peran dan

tugas masing-masing serta antara agama dan negara tidak boleh disatukan dalam

sebuah lembaga.

D. Kesimpulan

Berdasarkan atas pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Menurut Al-Maududi Negara itu harus dikelola secara demokratis yang

dibimbing wahyu yang dia sebut sebagai theo-demokrasi, yaitu suatu

pemerintahan demokrasi Ilahiyah. Sedangkan Ali Abdul Raziq berpendapat

bahwa konsep kepemimpinan masyarakat haruslah ada, namun bukan karena

tuntutan agama, karena tidak ada ayat al-Qur’an yang secara tegas

menunjukkan kepada konsep negara. Dengan demikian, menurutnya, bentuk

pemerintahan/negara boleh beraneka bentuk dan sifatnya sesuai dengan kultur

dan kondisi politik.

2. Pemikiran tentang konsep negara menurut Al-Maududi didasarkan pada

pemahaman terhadap al-Qur’an surat al-Nur ayat 55 dan al-Sunnah. Ayat

tersebut melukiskan teori Islam tentang politik atau negara dan mengandung

dua masalah yang dianggapnya merupakan pondasi demokrasi dalam Islam,

yaitu (a) kata “khilafah” sebagai kata kunci, bukan dengan kedaulatan, dan (b)

kekuasaan untuk mengatur bumi diserahkan kepada seluruh masyarakat

beriman, bukan individu atau kelompok tertentu. Atas dasar itu maka lahirlah

konsep theo-demokrasi, suatu pemerintahan demokrasi Ilahiyah. Sedangkan

20

Ali Abdul Raziq mendasarkan pemahamannya terhadap surat al-Nisa ayat 59

dan 83, tentang kepemimpinan. Metode istinbath hukum yang digunakan oleh

Al-Maududi dalam memahami ayat al-Qur’an dan al-Sunnah adalah metode

skripturalistik, yaitu pemahaman yang bersifat tekstual dan literal, sehingga

isyarat harpiyah ayat dianggap makna dan konsep yang sesungguhnya.

Sedangkan Ali Abdul Raziq dalam memahami ayat itu menggunakan metode

‘aqliyah atau rasionalistik yang cenderung memahami teks tanpa

mempertimbangkan siratan makna yang terkandung di dalamnya, sehingga

karena tidak ada ayat yang secara gamblang menerangkan konsep negara

dianggap bahwa Islam tidak memerintahkan untuk mendirikan suatu negara.

E. Daftar Pustaka

Al-Maududi 1985 Khilafah dan Kerajaan: Studi Kritis atas Sejarah Pemerintahan

Islam, Mizan, Bandung. Al-Maududi 1975 Sistim Politik Islam, Mizan, Bandung. Ali Abdul Raziq 1925 Al-Islam wa Ushul al-Hukm, Al-Maktabah al-Hayat, Beirut. Al-Mawardi 1973 Al-Ahkam al-Sulthaniyah, Al-Halabi, Mesir. Abdul Wahab Khalaf 1987 Ilmu Ushul Fiqh, Dar al-Kuwaitiyah al-Nasr. Kuwait. Ahmad Nusnan 1992 Berbenah Diri Menuju Pemikiran Islami, Pustaka, Bandung. Ahmad Siddiq Abdurrahman, 1993 Bae’at (Satu Gerakan Islam), Al-Fawaz Press. Jakarta. Ahmad Syafi’I Ma’arif 1985 Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, Jakarta. Charles C. Adam, 1933 Islam and Modernism in Egypt, Oxford University Press, London. Djazuli, A 1987 Ilmu Fiqh (Suatu Pengantar), Orba Sakti, Bandung. Djazuli, A

21

1990 Persoalan dan Ruang Lingkup Fiqh Siyasah Dusturi, IAIN SGD, Bandung. Depag. RI

1971 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Gema Risalah, Bandung. Dhiya al-Din al-Rais 1957 Al-Nadhariyat al-Siyasah al-Islamiyah, Maktab al-Anjalu al- Mishriyah, Mesir. Fazlur Rahman, 1984 Islam, Pustaka, Bandung. Gibb, H.A.R. 1990 Aliran-aliran Modern dalam Islam, rajawali Press, bandung. Hanafi. A 1970 Penganatar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang Jakarta. Hasbi ash-shiddiqieqy 1969 Ilmu Kenegaraan dalam Fiqh Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Harun Nasution, 1975 Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta. Harun Nasution dan Azyumardi Azra (peny.) 1985 Perkembangan Modrn dalam Islam, Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Hasjmy, A. 1984 Dimana Letaknya Negara Islam, Bina Ilmu, Surabaya. Hamid Algar, 1969 Religion and State in Iran, University of California Press,

Barkeley. Ibnu Khaldun, t.t. Muqaddimah, Daar Fiqr, Beirut. Imam Munawir, t.t. Asas-asas Kepemimpinan dalam Islam, Usaha Nasional Surabaya Jakarta. John J. Donohue dan John L. Esposito, 1994 Islam dan Pembaharuan (Ensiklopedi Masalah-masalah, PT. Grafindo Persada, Jakarta. Juhaya S. Praja. 1993 Filsafat Hukum Islam, Piara, Bandung. Johannes Der Heijer dan Syamsul Anwar. 1993 Islam, Negara dan Hukum, INIS, Jakarta. Mariam Budiarjo 1972 Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia, Jakarta. Munawir Sadzali 1990 Islam dan Tata Negara, Universitas Indonesia Press, Jakarta Mukhtar yahya dan Faturrahman, 1986 Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, Mizan Bandung. Muntaz Ahmad, 1993 Masalah-masalah Teori Politik Islam, Al-Maarif, Bandung. Muhammad Asand,

22

1985 Sebuah Kajian tentang Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka, Bandung. Mahdi Fadhullah, 1991 Titik Temu Agama dan Politik, Ramdani, Jakarta. Nurchalis Madjid, 1985 Islam dan Masalah Kenegaraan, Mizan, Bandung. Rasyid Ridla, 1924 Al-Khilafah au Imamah al-‘Udhma, Maktab al-Manar, Mesir. Shalahuddin Sanusi, 1976 Integritas Umat Islam, Iqamatuddin, Bandung. Sayyed Adnan Amal,

1985 Maulana Maududi and the Islamic State, People Publishing House, Lahore.

Taufik Adnan Amal, 1989 Islam dan Tantangan Modernitas, Mizan, Bandung. Taufiq Ali Wahbah, 1985 Jihad dalam Islam, Media Dakwah, Jakarta. Wirjono Projodikoro, 1983 Azas-azas Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta. Waqar Ahmad Husaini, 1983 Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, Pustaka, Bandung. Yusuf Musa, 1963 Politik dan Negara dalam Islam, Al-Ikhlas Surabaya.