Konsep Keadilan Di Indonesia
-
Upload
hajir-tahir -
Category
Documents
-
view
341 -
download
5
Transcript of Konsep Keadilan Di Indonesia
KONSEP KEADILAN DI INDONESIA
(KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA)
A. Pengertian Keadilan
Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, bagaimana mewujudkan suatu keadilan jika
tidak mengetahui apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang paling tidak
mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi mengenai keadilan sangat
beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di bidang
hukum yang memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan.
Keadilan menurut Aristoteles (filsuf yang termasyur) dalam tulisannya Retorica membedakan
keadilan dalam dua macam :
Keadilan distributif atau justitia distributiva; Keadilan distributif adalah suatu keadilan
yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian
menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara
masyarakat dengan perorangan.
Keadilan kumulatif atau justitia cummulativa; Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan
yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing.
Keadilan ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau tidak.
Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata, misalnya dalam perjanjian tukar-
menukar.
Keadilan menurut Thomas Aquinas (filsuf hukum alam), membedakan keadilan dalam dua
kelompok :
Keadilan umum (justitia generalis); Keadilan umum adalah keadilan menururt kehendak
undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.
Keadilan khusus; Keadilan khusus adalah keadilan atas dasar kesamaan atau
proporsionalitas. Keadilan ini debedakan menjadi tiga kelompok yaitu :
a. Keadilan distributif (justitia distributiva) adalah keadilan yang secara proporsional
yang diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.
b. Keadilan komutatif (justitia cummulativa) adalah keadilan dengan mempersamakan
antara prestasi dengan kontraprestasi.
c. Keadilan vindikativ (justitia vindicativa) adalah keadilan dalam hal menjatuhkan
hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia
dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan
atas tindak pidana yang dilakukannya.
Keadilan menurut John Raws (Priyono, 1993: 35), adalah ukuran yang harus diberikan
untuk mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Ada tiga
prinsip keadilan yaitu : (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, (3)
persamaan yang adil atas kesempatan. Pada kenyataannya, ketiga prinsip itu tidak dapat
diwujudkan secara bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan
prinsip yang lain. John Raws memprioritaskan bahwa prinsip kebebasan yang sama yang
sebesar-besarnya secara leksikal berlaku terlebih dahulu dari pada prinsip kedua dan ketiga.
Keadilan menurut Ibnu Taymiyyah (661-728 H) adalah memberikan sesuatu kepada setiap
anggota masyarakat sesuai dengan haknya yang harus diperolehnya tanpa diminta; tidak berat
sebelah atau tidak memihak kepada salah satu pihak; mengetahui hak dan kewajiban, mengerti
mana yang benar dan mana yang salah, bertindak jujur dan tetap menurut peraturan yang telah
ditetapkan. Keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi
berbagai aspek kehidupan, baik individual, keluarga, dan masyarakat. Keadilan tidak hanya
menjadi idaman setiap insan bahkan kitab suci umat Islam menjadikan keadilan sebagai tujuan
risalah samawi.
Penambahan kata sosial dibelakang kata keadilan dalam sila kelima Pancasila adalah untuk
membedakan keadilan sosial dengan konsep keadilan dalam hukum. Presiden pertama RI, Bapak
Soekarno termasuk orang yang akrab dengan kata sosial, berikut kata turunannya. Dalam pidato
tanpa teksnya tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengusulkan kata sosial, tepatnya keadilan
sosial, untuk dijadikan salah satu sila Pancasila. Kata sosial juga banyak dipakai politikus
sebagai bumbu penyedap pidato untuk menunjukkan keberpihakannya pada rakyat. Ada kalanya
kata itu membuat risih pemerintah, misalnya ketika digunakan dalam bentuk sosialis atau
sosialisme. Kata sosial bisa bermakna sampingan dermawan atau suka menolong. Dinas Sosial
terkenal sebagai dinas yang suka menyumbang orang-orang yang terkena bencana. Sosial juga
bisa berarti kekayaan. Status sosial misalnya, berarti status kekayaan. Demikian halnya dengan
kesenjangan sosial yang bermakna kesenjangan kekayaan. Sosial dalam arti kekayaan itulah
yang menyebabkan kita bisa mengerti makna sila kelima Pancasila "Keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia" (Bayangkan kalau kata sosial di sana diartikan masyarakat). Dalam pidatonya
tanggal 1 Juni itu, Bung Karno dengan leluasa mempertukarkan kata keadilan sosial dengan
keadilan kesejahteraan dan kesejahteraan sosial sebagai pelengkap keadilan politik alias
demokrasi.
B. Makna Keadilan Sosial dan Perbedaannya dengan Keadilan Hukum
Keadilan hukum hanya berbicara tentang penghukuman pelaku kejahatan. Keadilan sosial
berbicara tentang kesejahteraan seluruh rakyat dalam negara merdeka. Keadilan yang bisa
diperoleh melalui pengadilan formal di mana saja disebut “keadilan hukum.” Keadilan hukum itu
cukup sederhana, yaitu apa yang sesuai dengan hukum dianggap adil sedang yang melanggar
hukum dianggap tidak adil. Jika terjadi pelanggaran hukum, maka harus dilakukan pengadilan
untuk memulihkan keadilan. Dalam hal terjadinya pelanggaran pidana atau yang dalam bahasa
sehari-hari disebut “kejahatan” maka harus dilakukan pengadilan yang akan melakukan
pemulihan keadilan dengan menjatuhkan hukuman kepada orang yang melakukan pelanggaran
pidana atau kejahatan tersebut. Dengan demikian, keadilan hukum itu sangat sempit dan
memiliki kelemahan. Misalnya, untuk kejahatan-kejahatan berat jika yang ditegakkan keadilan
hukum saja, yang terjadi hanyalah para pelaku di hadapkan ke pengadilan dan dijatuhi hukuman
sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Misalnya orang-orang yang paling bertanggungjawab
akan dihukum seumur hidup, pelaksana di lapangan sepuluh tahun, dan sebagainya. Tetapi
keadaan para korban akan tetap saja. Orang-orang yang diperkosa tetap dalam penderitaan batin.
Mungkin karena menyadari kelemahan tersebut, ada upaya pemikiran dalam keadaan tertentu
mempertimbangkan “keadilan sosial” sebagai pengganti keadilan hukum. Padangan ini diperkuat
oleh kenyataan bahwa pengadilan itu memakan biaya yang sangat besar.
Pengertian keadilan sosial memang jauh lebih luas daripada keadilan hukum. Keadilan
sosial bukan sekadar berbicara tentang keadilan dalam arti tegaknya peraturan perundang-
undangan atau hukum, tetapi berbicara lebih luas tentang hak warganegara dalam sebuah negara.
Keadilan sosial adalah keadaan dalam mana kekayaan dan sumberdaya suatu negara
didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat. Dalam konsep ini terkadung pengertian bahwa
pemerintah dibentuk oleh rakyat untuk melayani kebutuhan seluruh rakyat, dan pemerintah yang
tidak memenuhi kesejahteraan warganegaranya adalah pemerintah yang gagal dan karena itu
tidak adil. Dari perspektif keadilan sosial, keadilan hukum belum tentu adil. Misalnya menurut
hukum setiap orang adalah sama, tetapi jika tidak ada keadilan sosial maka ketentuan ini bisa
menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, karena asas persamaan setiap warganegara setiap orang
mendapatkan pelayanan listrik dengan harga yang sama. Tetapi karena adanya sistem kelas
dalam masyarakat, orang kaya yang lebih bisa menikmatinya karena ia punya uang yang cukup
untuk membayar, sedangkan orang miskin tidak atau sedikit sekali menikmatinya.
Menurut keadilan sosial, setiap orang berhak atas “kebutuhan manusia yang mendasar”
tanpa memandang perbedaan “buatan manusia” seperti ekonomi, kelas, ras, etnis, agama, umur,
dan sebagainya. Untuk mencapai itu antara lain harus dilakukan penghapusan kemiskinan secara
mendasar, pemberantasan butahuruf, pembuatan kebijakan lingkungan yang baik, dan kesamaan
kesempatan bagi perkembangan pribadi dan sosial. Inilah tugas yang harus dilaksanakan
pemerintah. Apakah Indonesia memerlukan keadilan hukum atau keadilan sosial. Keadilan
hukum, yaitu pengadilan dan penghukuman bagi para pelaku kejahatan di masa pendudukan
militer Indonesia diperlukan agar tragedi kekerasan seperti itu tidak terulang lagi. Agar tidak ada
orang atau kelompok yang melakukan kekerasan untuk mencapai tujuan politiknya. Sedang
keadilan sosial diperlukan agar para korban khususnya, dan seluruh rakyat umumnya, bisa
membangun hidup baru yang tidak hanya tanpa kekerasan tetapi juga tidak kesulitan dalam
memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia maupun kebutuhan lain yang diperlukan untuk
meningkatkan taraf hidupnya.
C. Makna Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Jika kelima sila saling berhubungan satu sama lain, dan pola hubungan itu adalah bahwa
sila yang sebelumnya mendasari sila berikutnya, maka konsekuensi paling konkret dari Pancasila
tak lain adalah mewujudkan keadilan sosial. Bukan berarti seakan-akan sila kelima paling
penting, melainkan bahwa sila “Keadilan sosial” merupakan perwujudan paling konkret dari
prinsip-prinsip Pancasila1. Begitu misalnya tidak masuk akal kalau suatu bangsa mengaku ber-
Tuhan dan mengakui keluhuran martabat manusia tetapi membiarkan rakyatnya menderita
kemiskinan.
Keadilan sosial berkaitan dengan struktur, demokrasi, dan HAM
Keadilan (bersama dengan kebaikan dan hormat terhadap diri sendiri) pada dasarnya
merupakan salah satu prinsip moral dasar, yang pada hakikatnya berarti memberikan kepada
1 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 606.
siapa saja apa yang menjadi haknya.2 Jadi kalau seorang bapak mau berlaku adil kepada anak-
anaknya, dia harus, misalnya, memberikan perlakuan yang tidak mengistimewakan salah satu
anaknya. Kalau toh si bapak tampak memperlakukan salah satu anaknya secara istimewa, itu
harus ada alasannya; misalnya, karena anak yang satu sudah lebih dewasa, sehingga punya
kebutuhan yang lebih banyak dibandingkan dengan anak yang lebih kecil, maka anak yang lebih
dewasa itu diberi uang saku lebih banyak. Keadilan semacam ini disebut keadilan individual,
yaitu keadilan yang pelaksanaannya tergantung dari kehendak baik atau buruk masing-masing
individu3.
Tetapi keadilan sosial bukan semata-mata masalah keadilan individual. Artinya, keadilan
sosial bukan hanya masalah kehendak baik dari masing-masing individu, seakan-akan kalau
semua orang Indonesia ini mau berkehendak baik dan bertindak dengan adil, lantas dunia ini
akan beres dan keadilan sosial akan tercapai dengan sendirinya. Sampai batas tertentu itu ada
benarnya juga, tetapi keadilan sosial tidaklah sesederhana itu. Keadilan sosial, yaitu keadilan
yang pelaksanaannya tergantung dari struktur proses-proses ekonomis, politis, sosial, budaya,
dan ideologis dalam masyarakat4. Karena pelaksanaan keadilan sosial itu tergantung pada
struktur-struktur ekonomis, politis, sosial, budaya, dan ideologis, maka mengusahakan keadilan
sosial jelas pertama-tama adalah membongkar struktur-struktur di atas yang menyebabkan
segolongan orang tidak dapat memperoleh apa yang menjadi hak mereka atau tidak mendapat
bagian yang wajar dari harta kekayaan dan hasil pekerjaan masyarakat sebagai keseluruhan5.
Keadilan sosial secara hakiki adalah keadilan struktural, maka mengusahakannya juga selalu
berarti mengurangi kemungkinan bekerjanya struktur-struktur yang menyebabkan ketidakadilan.
Betapapun rakyat berusaha, bekerja dengan rajin dan keras, kalau struktur ekonomis, politis,
sosial, budaya, dan ideologis itu tidak mendukung, tetap saja ketidakadilan akan terjadi, dan
kemiskinan juga sudah barang tentu.
Jadi sebagian besar usaha keadilan sosial memang hanya dapat dibuat oleh negara.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil negara mempunyai dampak paling besar terhadap
perkembangan struktur-struktur yang relevan bagi proses-proses politik, ekonomis, sosial,
2 Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-masalah pokok filsafat moral (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 130-132.3 Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: Gramedia, 1987), hlm. 331.4 Magnis, Etika Politik, 332.5 Magnis, Etika Politik, 332-333.
budaya, dan ideologis. Negara wajib untuk selalu mengusahakan keadilan, itu jelas.6 Kesalahan
paling fundamental negara adalah kalau negara itu secara sengaja dan terang-terangan
mengambil kebijakan-kebijakan yang memungkinkan struktur-struktur yang menyebabkan
ketidakadilan bekerja. Keadilan sosial adalah pertama-tama soal negara dan bukan soal rakyat,
karena negara punya wewenang menentukan kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi struktur-
struktur, sementara rakyat, walaupun bisa usul atau protes, tetap saja tidak punya wewenang
mengambil kebijakan, dan karenanya selalu saja berada di bawah pengaruh struktur-struktur itu.
Jadi kalau negara Indonesia mau mengusahakan keadilan sosial, pertama-tama dia harus
membongkar struktur-struktur yang menyebabkan ketidakadilan, dan itu pertama-tama adalah
tugas negara.
Tetapi pada saat yang sama mengharapkan keadilan sosial hanya dari negara adalah naif
sekaligus juga feodal dan paternalistik. Mengharapkan keadilan sosial hanya dari negara itu naif,
bukan karena seakan-akan orang-perorangan yang menduduki tempat-tempat yang berkuasa
niscaya bersikap acuh tak acuh terhadap nasib orang kecil (walaupun sering memang demikian),
melainkan karena membongkar ketidakadilan sosial atau ketidakadilan struktural dengan
sendirinya bertentangan dengan kepentingan-kepentingan golongan yang berkuasa, dan
karenanya maksud baik itu dengan sendirinya pasti kalah terhadap kepentingan-kepentingan
golongan-golongan yang mereka wakili untuk mempertahankan kedudukan yang
menguntungkan itu7. Oleh karena itu jelas bahwa keadilan sosial, selain harus diusahakan oleh
negara, juga harus secara nyata diusahakan sendiri oleh mereka yang tertimpa ketidakadilan;
bukan dalam arti Marx yaitu revolusi kelas bawah – karena gambaran ini hanya akan
menghasilkan struktur-struktur ketidakadilan yang baru lagi – melainkan supaya mereka yang
menderita ketidakadilan pun dapat menyuarakan harapan dan cita-cita mereka, supaya suara
mereka terdengar dan itu berarti mereka juga ambil bagian dalam kehidupan berpolitik. Oleh
karena itu, jelas bahwa keadilan sosial mengandaikan demokrasi8; dan dalam arti itulah
“Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima) bersandar pada “Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” (sila keempat). Tidak
ada keadilan sosial tanpa demokrasi, karena hanya dalam sistem politik demokrasilah mereka
6 Magnis, Etika Politik, 334.7 Magnis, Etika Politik, 334.8 Magnis, Etika Politik, 335-336.
yang terkena ketidakadilan mungkin menyuarakan harapan dan cita-cita mereka. Jadi kalau
Indonesia mau berkeadilan sosial, dia juga harus demokratis.
Selain itu, mengharapkan keadilan sosial hanya dari negara juga dengan sendirinya bersifat
feodal-paternalistik. Persis di sinilah letak kesalahan hakiki Soekarno yang menolak
dimasukkannya hak-hak asasi manusia demokratis ke dalam undang-undang dasar dengan
mengatakan “Kita ingin kedaulatan sosial dan bukan kedaulatan individual”, dan “Apakah hak-
hak asasi manusia dapat mengisi perut rakyat yang lapar?”
Pengertian keadilan sosial semacam ini masih menyisakan ketergantungan rakyat kepada
kaum elit, sehingga secara hakiki memang harus disebut feodal-paternalistik. Apakah perut
rakyat terisi atau tidak itu seharusnya bisa diusahakan oleh rakyat sendiri, sejauh struktur-
struktur ekonomis, politis, sosial, budaya, dan ideologis menjamin, dan bukan tergantung pada
kehendak baik kaum elit. Oleh karena itu, harus dikatakan bahwa keadilan sosial juga
mengandaikan hak-hak asasi manusia. Maka jelas bahwa tidak ada keadilan sosial tanpa hak-
hak asasi manusia. Dalam arti inilah “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila
kelima) bersandar pada “Kemanusiaan yang adil dan beradab” (sila kedua). Jadi kalau Indonesia
mau berkeadilan sosial, selain membongkar struktur dan demokratis, dia juga harus mengakui
dan menghargai hak-hak asasi manusia. Sebagai rangkuman dapat kita simpulkan bahwa ada tiga
unsur hakiki dalam keadilan sosial. Yang pertama adalah struktur proses-proses ekonomis,
politis, sosial, budaya, dan ideologis dalam masyarakat. Tetapi pada saat yang sama terjaminnya
struktur proses-proses itu juga harus ditopang oleh, unsur kedua yaitu, demokrasi, dan, unsur
ketiga yaitu, hak-hak asasi manusia. Tanpa tiga unsur hakiki itu, keadilan sosial hanya akan
tinggal suara tanpa wujud.
Keadilan sosial sebagai demokrasi ekonomi
Uraian di atas banyak memberi bantuan untuk memahami apa itu keadilan sosial dan
bagaimana mengusahakannya. Tetapi pada saat yang sama ada juga kesan bahwa ternyata
keadilan sosial menyangkut banyak sekali bidang kehidupan. Tiga unsur hakiki keadilan sosial
yang saya uraikan di atas secara bersamaan menyentuh aspek struktural, politik, dan hak-hak
asasi manusia, dan itu sangatlah luas. Maka tema keadilan sosial yang menyangkut banyak sekali
bidang kehidupan itu tampaknya perlu diperas lagi, karena kita memang harus bertindak secara
konkret, dan tanpa yang partikular, yang universal hanya akan tinggal ide.
Jadi pertanyaan selanjutnya yang mendesak untuk dijawab adalah, keadilan sosial itu
secara paling tajam bersentuhan dengan aspek apa? Kiranya tidak terlalu sulit untuk menjawab
pertanyaan ini. Kalau sila pertama tentang ketuhanan, kedua kemanusiaan, ketiga persatuan, dan
keempat demokrasi (dan itu artinya juga politik), maka tinggal satu yang belum tersentuh, yaitu
ekonomi, dan memang aspek itulah yang tampaknya secara paling tajam bersentuhan dengan
keadilan sosial. Keadilan sosial memiliki kaitan khusus dengan bidang ekonomi, meskipun
bukan satu-satunya9. Maka tepatlah kalau Bung Karno sering mengutip ucapan seorang
teoretikus Marxis Austria, Fritz Adler, dalam bahasa Belanda, “Men kan de honger van een
bedelaar niet stillen door hem een grondwet in de hand te stoppen,” (Orang tidak bisa
menghilangkan rasa laparnya seorang pengemis dengan hanya memberikan padanya Undang-
undang Dasar)10.
Tetapi apa itu demokrasi ekonomi? Kita tidak perlu susah-susah masuk dalam rumitnya
diskusi tentang demokrasi ekonomi ini. Cukuplah kalau kita ketahui saja bahwa demokrasi
ekonomi sudah diterjemahkan dengan sangat baik dalam Pasal 33 UUD 1945: (1) Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, (2) Cabang-cabang produksi
yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara,
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, dan (4) Perekonomian nasional
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Maka jelas bahwa keadilan sosial yang mendapat perwujudannya dalam demokrasi
ekonomi itu menghendaki penjelmaan Negara Republik Indonesia sebagai “negara-pengurus”11,
yaitu negara yang sungguh-sungguh mengurusi rakyatnya, dan itu berarti termasuk mencegah
segala tindakan dari pihak mana pun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai
kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam12. Maka keadilan
sosial dan demokrasi ekonomi pada akhirnya juga sangat tergantung pada kepada siapa negara
9 Alex Lanur, “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat?”, Basis XXX – 1 (1980): 465.10 Sebagaimana dikutip dalam Yudi Latif, Negara Paripurna, 491-492.11 Yudi Latif, Negara Paripurna, 493.12 M.P. Faiz, “Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi” dalam Jurnal Hukum Online dalam Yudi Latif, Negara Paripurna, 602.
berpihak: sungguh-sungguh kepada rakyatnya atau justru kepada segelintir kaum elit saja.
Kesalahan fundamental negara adalah kalau negara itu tidak berpihak kepada rakyatnya.
Uraian di atas baru mengatakan bahwa keadilan sosial selalu harus disertai dengan
demokrasi ekonomi, yang dijelaskan dalam Pasal 33 UUD 1945, tetapi belum mengusulkan
suatu jalan keluar. Maka lantas pertanyaan yang lebih mendesak adalah, bagaimana sistem
ekonomi itu bisa menjadi sungguh-sungguh demokratis, sehingga juga sungguh-sungguh bisa
disebut “sistem ekonomi Pancasila” yang dijiwai oleh, terutama, keadilan sosial?
Di sinilah terletak salah satu jasa besar Hatta. Sokoguru perekonomian untuk
merealisasikan sistem ekonomi Pancasila itu adalah prinsip “gotong-royong” atau juga biasa
dikenal dengan “kooperasi”. Jadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahkan perusahaan
swasta pun harus berjiwa kooperasi. Apa itu artinya berjiwa kooperasi? Berjiwa kooperasi tidak
lain adalah semangat tolong-menolong: semangat kekeluargaan yang senantiasa mengupayakan
keuntungan bersama, solidaritas sosial yang berorientasi “berat sama dipikul, ringan sama
dijinjing”, sebagaimana selanjutnya dirangkum dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945:
“Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”, yang berarti
bahwa “produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau pemilikan
anggota-anggota masyarakat”.13
Maka jelas bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak memang harus dikuasai oleh negara, karena kalau tidak, tampuk
produksi akan jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyatlah yang akan tertindas.
Oleh karena itu, hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di
tangan seorang. Jadi dalam perekonomian yang bersifat kooperasi, hak milik perseorangan tetap
diakui, namun dalam penggunaannya dibatasi oleh kepentingan bersama: hak milik perseorangan
memiliki fungsi sosial14; itulah kooperasi, itulah gotong-royong, itulah demokrasi ekonomi,
itulah keadilan sosial!
Tugas Teori Hukum
13 Yudi Latif, Negara Paripurna, 588-589.14 Yudi Latif, Negara Paripurna, 591.
KONSEP KEADILAN DI INDONESIA
(KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA)
Disusun Oleh :
MUHAJIR
P0903212006
PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012