BAB II KONSEP KEADILAN ATAS PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN KEKAYAAN ALAM · 2013. 6. 27. · KEKAYAAN...

56
31 BAB II KONSEP KEADILAN ATAS PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN KEKAYAAN ALAM Konsep keadilan atas penguasaan dan penggunaan kekayaan alam. Pada dasarnya manusia menghendaki keadilan, manusia memiliki tanggungjawab besar terhadap hidupnya, karena hati nurani manusia berfungsi sebagai index, ludex, dan vindex. 1 Pembicaraan keadilan memiliki cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Konsep keadilan, bahkan konsep kepastian dan kebenaran akan selalu berevolusi, oleh karena itu keadilan harus mampu melakukan interaksi sirkular dengan perkembangan ilmu-ilmu lain, antara lain teologi, ideologi, dan teknologi. Perkembangan keadilan di Barat misalnya, konsep keadilan yang pada mulanya sifatnya mytologicaI, pada masa ini keadilan hanya terdapat pada para dewa. Aristoteles dan Plato kemudian mengembangkan konsep keadilan tersebut menjadi intelektual-rasional. Keadilan kemudian dikaitkan dengan institusi dan kolektifitas kehidupan manusia. Perubahan konsep keadilan dari waktu ke waktu lebih banyak terjadi pada dataran operasional, sedangkan sifatnya selalu statis dan politis. 1 Sebagai index : menilai perbuatan yang akan datang. Sebagai ludex : menilai perbuatan yang sedang dilakukan. Sebagai vindex : menilai perbuatan yang telah berlangsung. Poedjawijatna, 1978, Pembimbing ke Alam FiIsafat, Pembangunan, Jakarta, hal 12.

Transcript of BAB II KONSEP KEADILAN ATAS PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN KEKAYAAN ALAM · 2013. 6. 27. · KEKAYAAN...

  • 31

    BAB II

    KONSEP KEADILAN ATAS PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN

    KEKAYAAN ALAM

    Konsep keadilan atas penguasaan dan penggunaan kekayaan alam.

    Pada dasarnya manusia menghendaki keadilan, manusia memiliki

    tanggungjawab besar terhadap hidupnya, karena hati nurani manusia

    berfungsi sebagai index, ludex, dan vindex.1 Pembicaraan keadilan memiliki

    cakupan yang luas, mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai

    pada keadilan sosial.

    Konsep keadilan, bahkan konsep kepastian dan kebenaran akan selalu

    berevolusi, oleh karena itu keadilan harus mampu melakukan interaksi

    sirkular dengan perkembangan ilmu-ilmu lain, antara lain teologi, ideologi,

    dan teknologi. Perkembangan keadilan di Barat misalnya, konsep keadilan

    yang pada mulanya sifatnya mytologicaI, pada masa ini keadilan hanya

    terdapat pada para dewa. Aristoteles dan Plato kemudian mengembangkan

    konsep keadilan tersebut menjadi intelektual-rasional. Keadilan kemudian

    dikaitkan dengan institusi dan kolektifitas kehidupan manusia.

    Perubahan konsep keadilan dari waktu ke waktu lebih banyak terjadi

    pada dataran operasional, sedangkan sifatnya selalu statis dan politis.

    1 Sebagai index : menilai perbuatan yang akan datang. Sebagai ludex : menilai

    perbuatan yang sedang dilakukan. Sebagai vindex : menilai perbuatan yang telah

    berlangsung. Poedjawijatna, 1978, Pembimbing ke Alam FiIsafat, Pembangunan, Jakarta,

    hal 12.

  • 32

    Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang

    bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu

    hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat. Dari

    konsep perubahan dan dengan berpegang pada konsep "hak" kemudian

    dikembangkan diferensiasi jenis keadilan. Tantangan utama dalam

    pembentukan prinsip keadilan di zaman sekarang ini adalah bagaimana

    mencari celah di antara benturan liberalisme dan sosialisme, terutama yang

    menyangkut perkembangan ekonomi, sehingga keadilan menjadi erat

    kaitannya dengan ekonomi. Selain itu, keadilan merupakan salah satu tujuan

    sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Dalam hal inilah, maka keadilan

    adalah kehendak yang ajeg atau tetap untuk memberikan kepada siapa pun

    sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan

    jaman.

    Pembahasan dalam Bab ini akan dilakukan dalam tiga tataran

    analisis. Pertama, pada tataran konseptual dan filsafat penulis akan

    menjelaskan konsep keadilan dari pandangan tradisional, pandangan modern,

    pandangan tokoh bangsa Indonesia. Tata rakit antara konsep keadilan dengan

    filsafat sebagai induk ilmu (mother of science) adalah untuk mencari jalan

    keluar dari belenggu kehidupan secara rational dengan menggunakan hukum

    yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya, oleh sebab itu

    penulis akan menggali konsep keadilan berdasarkan pandangan-pandangan

  • 33

    tokoh-tokoh dan doktrin-doktrin hukum yang berkembang dalam Ilmu

    Hukum. Kedua, pada tataran analitik dalam bab ini akan menjelaskan konsep

    fungsi pemerintah, dalam hal ini berkaitan dengan fungsi pemerintah sebagai

    pewujud keadilan sosial dalam masyarakatnya. Ketiga, pada tataran yuridis,

    penulis akan menjelaskan konsep asas keadilan dalam materi muatan

    peraturan perundang-undangan dan makna keadilan dalam penguasaan dan

    penggunaan kekayaan alam menurut Pasal 33 UUD 1945.

    A. Konsep Keadilan

    Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal

    dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang

    berbeda yaitu: (1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair

    (sinonimnya justness); (2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan

    hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman

    (sinonimnya judicature); dan (3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak

    menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan

    (sinonimnya judge, jurist, magistrate).2 Sedangkan kata “adil” dalam bahasa

    Indonesia merupakan serapan dari bahasa Arab “al ‘adl” yang artinya

    2 Muchamad Ali Safa’at, Pemikiran Keadilan (Plato, Aristoteles, dan John Rawls),

    http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/keadilan.pdf, diakses pada tanggal 2 Maret 2012.

    http://safaat.lecture.ub.ac.id/files/2011/12/keadilan.pdf

  • 34

    sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang

    dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.3

    Dari pengertian keadilan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    keadilan adalah kehendak yang ajeg dan menetap untuk memberikan kepada

    masing-masing bagiannya. Dalam bahasa Inggris terjemahannya berbunyi

    “to give everbody his owm” atau memberikan kepada setiap orang yang

    menjadi haknya. Inti dari pengertian tersebut bahwa memberikan masing-

    masing haknya dan tidak lebih, tapi juga tidak kurang daripada haknya.4

    Pada bahasan konsep keadilan ini, penulis akan menguraikan konsep

    keadilan dari pandangan tradisional, pandangan modern, pandangan tokoh

    bangsa Indonesia dan berdasarkan pasal 33 UUD 1945.

    1. Pandangan Tradisional

    Gagasan keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal

    munculnya filsafat Yunani. Teori-teori Hukum Alam tetap mempertahankan

    keadilan sebagai mahkota hukum—yang dalam hal ini menurut penulis:

    konsep keadilan dari teori hukum alam merupakan konsep keadilan

    tradisional. Teori Hukum Alam mengutamakan “the search for justice”.5

    Pandangan tradisional mengenai keadilan, dapat dirunut dari

    pemikiran Plato. Plato adalah seorang pemikir idealis abstrak yang mengakui

    3 Ibid.

    4 O. Notohamidjojo, Op.cit, hal. 86.

    5 Theo Huijebers, Op.cit, hal 196.

  • 35

    kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia sehingga pemikiran irasional

    masuk dalam filsafatnya. Demikian pula halnya dengan masalah keadilan,

    Plato berpendapat bahwa keadilan adalah diluar kemampuan manusia biasa.

    Oleh sebab itu ia sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang

    memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai

    organisme sosial. Setiap warga Negara harus melakukan tugasnya sesuai

    dengan posisi dan sifat alamiahnya.6

    Pendapat Plato tersebut di atas merupakan pernyataan kelas, maka

    keadilan Platonis berarti bahwa para anggota setiap masyarakat harus

    menyelesaikan pekerjaan masing-rnasing dan tidak boleh mencampuri

    urusan anggota kelas lain.7 Pembuat peraturan harus menempatkan dengan

    jelas posisi setiap kelompok masyarakat di mana dan situasi bagaimana yang

    cocok untuk seseorang. Pendapat tersebut berangkat dari asumsi dasar bahwa

    manusia bukanlah suatu jiwa yang terisolir dan bebas melakukan apa saja

    yang dikehendakinya, tetapi manusia adalah jiwa yang terikat dengan

    peraturan dan tatanan universal yang harus menundukkan keinginan

    pribadinya kepada organik kolektif. Dari sini terkesan pemahaman bahwa,

    keadilan dalam konsep Plato sangat terkait dengan peran dan fungsi individu

    dalam masyarakat. Idealisme keadilan akan tercapai bila dalam kehidupan

    6 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum, Gajahmada University Press,

    Yogyakarta, 2009, hal 47. 7 Krishna Djaya Darumurti, Pemerintah Memiliki Tanggungjawab Menciptakan

    Keadilan, Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas

    Hukum Universitas Airlangga, 2011, (tidak dipublikasikan), hal 4.

  • 36

    semua unsur masyarakat berupa individu dapat menempatkan dirinya pada

    proporsi masing-masing dan bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang

    diemban, selanjutnya tidak dapat mencampuri urusan dan tugas kelompok

    lain.8 Dalam hubungan dengan kehidupan bernegara, keadilan menurut Plato

    itu terletak pada persesuaian dan keselarasan antara fungsi di satu pihak

    kecakapan serta kesanggupan di pihak lain.9

    Pandangan tradisional mengenai keadilan dapat dirunut juga dari

    pandangan Aristoteles tentang keadilan yang bisa kita dapatkan dalam

    karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya,

    dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi

    keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap

    sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan

    dalam kaitannya dengan keadilan”.10

    Menurut Aristoteles, di samping keadilan sebagai keutamaan umum

    (yaitu ketaatan kepada hukum alam dan hukum positif) terdapat juga

    keadilan sebagai keutamaan moral khusus, yang menetukan sikap manusia

    pada bidang tertentu. Sebagai keutamaan khusus keadilan itu ditandai oleh

    sifat-sifat yang berikut:11

    8 Ibid.

    9 Deliar Noer, Pemikiran Politik Di Negeri Barat, Cetakan II Edisi Revisi, Pustaka

    Mizan, 1997, Bandung, hal. 5. 10

    Carl Joachim Friedrich, Op.cit, hal. 24 11

    Theo Huijebers, Op.cit, hal.29.

  • 37

    a. Keadilan menentukan bagaimanakah hubungan yang baik antara

    orang yang satu dengan yang lain.

    b. Keadilan berada di tengan dua ekstrem, yaitu diusahakan supaya

    dalam mengejar keuntungan terciptalah keseimbangan antara dua

    pihak: jangan mengutamakan pihaknya sendiri dan jangan juga

    mengutamakan pihak lain.

    c. Untuk menentukan di manakah terletak keseimbangan yang tepat

    antara orang-orang digunakan ukuran kesamaan; kesamaan ini

    dihitung secara aritmetis atau geometris.

    Selain itu, menurut Aristoteles, keadilan yang mengatur hubungan

    dengan sesama manusia, meliputi beberapa bidang:12

    a. Terdapat keadilan mengenai pembagian jabatan-jabatan dan harta

    benda publik. Pembagian ini harus sesuai dengan bakat dan

    kedudukan orang dalam negara.

    b. Terdapat keadilan dalam bidang transaksi jual beli.

    c. Keadilan dalam hukum pidana diukur secara geometris juga.

    d. Terdapat keadilan juga dalam bidang privat yaitu dalam hukum

    kontrak dan dalam delik privat. Kesamaan yang dituju dalam bidang-

    bidang ini ialah kesamaan aritmetis.

    12

    Ibid, hal 31.

  • 38

    e. Terdapat semacam keadilan juga dalam bidang penafsiran hukum, di

    mana hukum diterapkan pada perkara-perkara yang konkret. Di sini

    Aristoteles menghendaki, agar seorang hakim yang mengambil

    tindakan in concreto hendaknya mengambil tindakan seakan-akan ia

    menyaksikan sendiri peristiwa konkret yang diadilinya. Dalam

    menerapkan hukum pada perkara-perkara konkret itu kesamaan

    geometris atau aritmetris tidak berperanan lagi. Apa yang diperlukan

    adalah epikea yaitu suatu rasa tentang apa yang pantas. Sebagai

    demikian epikea termasuk prinsip-prinsip regulatif, yang memberi

    pedoman bagi praktek hidup negara menurut hukum.

    Aristoteles memberikan arti keadilan sebagai, “ius suum cuique

    tribuendi” adalah memberikan masing-masing bagiannya.13

    Lebih lanjut,

    Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan

    keadilan korektif. Keadilan distributif dan korektif sama-sama rentan

    terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam

    kerangkanya.

    Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa

    imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang

    kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan

    oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

    13

    L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983,

    hal. 23.

  • 39

    Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,

    kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam

    masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah

    bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang

    berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di kalangan warga. Distribusi

    yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai

    kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.14

    Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang

    salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka

    keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi

    pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman

    yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun,

    ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah

    mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali

    kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif

    merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan

    bidangnya pemerintah.15

    Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya

    dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat

    kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim,

    14

    Theo Huijebers, Op.cit, hal. 25. 15

    Carl Joachim Friedrich, Op.cit.

  • 40

    dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum

    tertentu. Pembedaan ini jangan dicampur adukkan dengan pembedaan antara

    hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat—

    karena berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu

    dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas

    tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain kendati diwujudkan dalam

    bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa

    didapatkan dari fitrah umum manusia.16

    Selanjutnya, dari pemikiran Thomas Aquinas kemudian terbit

    pemahaman mengenai keadilan proposional. Keutamaan yang disebut

    keadilan menurut Thomas Aquinas menentukan bagaimana hubungan orang

    dengan orang lain dalam hal iustum, yakni mengenai ’apa yang sepatutnya

    bagi orang lain menurut sesuatu kesamaan proporsional’ (aliquod opus

    adaequatum alteri secundum aliquem aequalitatis modum).17

    Filsuf Hukum Alam, Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas

    dua kelompok, yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus.

    Keadilan umum adalah keadilan menurut kehendak Undang-Undang, yang

    harus ditunaikan demi kepentingan umum. Selanjutnya keadilan khusus

    16

    Ibid, hal. 26-27. 17

    Theo Huijebers, Op.cit, hal 42.

  • 41

    adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus

    ini dibedakan menjadi:18

    a. Keadilan distributif (justitia distribution).

    Keadilan distributif adalah keadilan yang secara proporsional

    diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum.

    b. Keadilan komutatif (justitia commutative).

    Keadilan komutatif adalah keadilan dengan mempersamakan antara

    prestasi dan kontraprestasi. Keadilan ini juga sering disebut sebagai

    keadilan tukar menukar. Ukurannya bersifat aritmetis.

    c. Keadilan vindikatif (justitia vindication).

    Keadilan vindikatif adalah keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman

    atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Keadilan ini termasuk dalam

    keadilan tukar menukar.

    d. Keadilan legal (justitia legalis).

    Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat

    dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung dalam keadilan legal

    ini. Keadilan legal menuntut supaya orang tunduk pada semua undang-

    undang, oleh karena undang-undang itu menyatakan kepentingan

    umum. Dengan mentaati hukum adalah sama dengan bersikap baik

    18

    Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op.cit, hal. 156-157.

  • 42

    dalam segala hal, maka keadilan legal disebut keadilan umum (justitis

    generalis).

    2. Pandangan Modern

    Menurut John Rawls, pada masyarakat yang telah maju (modern),

    hukum baru akan ditaati apabila ia mampu meletakkan prinsip-prinsip

    keadilan.19

    Pemikiran mengenai keadilan John Rawls inilah, yang penulis

    anggap sebagai kategori konsep keadilan modern. Menurut pendapat Rawls,

    berbicara mengenai keadilan, maka hukum tidak boleh dipersepsikan sebagai

    wasit yang tidak memihak dan bersimpati dengan orang lain. Hukum justru

    harus menjadi penuntun agar orang dapat mengambil posisi tetap

    memperhatikan kepentingan individunya. Jika bidang utama keadilan adalah

    struktur dasar masyarakat, problem utama keadilan, menurut Rawls, adalah

    merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-pisnsip yang harus

    dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil. Dengan

    diterapkan pada fakta struktur dasar masyarakat, prinsip-prinsip keadilan

    harus mengerjakan dua hal:20

    a. Prinsip keadilan harus memberi penilaian konkret tentang adil tidaknya

    institusi-institusi dan praktik institusional.

    19

    Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Op. cit., hal. 161. 20

    Ibid, hal. 162-163.

  • 43

    b. Prinsip-prinsip keadilan harus membimbing kita ke dalam

    memperkembangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk

    mengoreksi ketidakadilan alam struktur dasar masyarakat.

    Rawls mengakui bahwa kecenderungan manusia untuk

    mementingkan diri sendiri merupakan kendala utama dalam mencari prinsip-

    prinsip keadilan itu. Apabila dapat menempatkan diri pada posisi asli,

    manusia akan sampai pada dua prinsip keadilan yang paling mendasar,

    yaitu:21

    1) Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of greatest

    equal liberty). Menurut pinsip ini setiap orang mempunyai hak yang

    sama atas seluruh keuntungan masyarakat.

    2) Prinsip ketidaksamaan atau perbedaan, yang menyatakan bahwa

    situasi perbedaan (sosial ekonomi) harus diberikan aturan sedemikian

    rupa sehingga dapat menguntungkan golongan masyarakat yang

    paling lemah (paling tidak mendapat peluang untuk mencapai

    prospek kesejahteraan, pendapatan dan otoritas). Rumusan prinsip

    kedua ini sesungguhnya merupakan gabungan dari dua prinsip, yaitu

    prinsip perbedaan (difference principle) dan prinsip persamaan yang

    adil atas kesempatan (the principle of fair equality of opportunity).

    21

    Ibid, hal 165.

  • 44

    Menurut Rawls, kekuatan dalam keadilan dalam arti Fairness justru

    terletak pada tuntutan bahwa ketidaksamaan dibenarkan sejauh juga

    memberikan keuntungan bagi semua pihak dan sekaligus memberi prioritas

    pada kebebasan.22

    Ini merupakan dua tuntutan dasar yang dipenuhi dan

    dengan demikian juga membedakan secara tegas konsep keadilan sebagai

    Fairness dari teori-teori yang dirumuskan dalam napas intuisionisme dalam

    cakrawala teologis. Untuk terjaminnya efektivitas dari kedua prinsip keadilan

    itu, Rawls menegaskan bahwa keduanya harus diatur dalam suatu tatanan

    yang disebutnya serial order.23

    Dengan pengaturan seperti itu, Rawls

    menegaskan bahwa hak-hak serta kebebasan-kebebasan dasar tidak dapat

    ditukar dengan keuntungan sosial dan ekonomis. Ini berarti prinsip keadilan

    yang kedua hanya bisa mendapat tempat dan diterapkan apabila prinsip

    keadilan yang pertama telah dipenuhi. Artinya penerapan dan pelaksanaan

    prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan dengan prinsip

    keadilan yang pertama. Dengan demikian hak-hak dan kebebasan-kebebasan

    dasar dalam konsep keadilan memiliki priroritas utama atas keuntungan

    sosial dan ekonomis.

    Setelah era pandangan tradisional mengenai keadilan, Karen Lebacqz

    mengevaluasi pemikiran enam tokoh mengenai keadilan, yaitu: Mill, Rawls,

    Nozick, Para Uskup, Niebuhr, dan Miranda. Mereka menggunakan keadilan

    22

    Abdul Ghofur Anshori, Op.cit, hal.52. 23

    Ibid.

  • 45

    distributif dalam maknanya yang luas: pertanyaannya bukan lagi “Siapa yang

    memperoleh?”, namun juga “Apakah jenis yang diperoleh semestinya?” dan

    “Siapa yang berhak memutuskannya?”.24

    Berikut ini merupakan ringkasan

    pemikirin keadilan Mill, Rawls, Nozick, Para Uskup, Niebuhr, dan Miranda:

    a. John Stuart Mill25

    Pendekatannya terhadap keadilan terletak di dalam analisis mengenai

    akal sehat dan kepekaan moral pada saat itu. Keadilan dipahami oleh

    Mill ketika berhadapan dengan klaim atau hak personal, dan berusaha

    melandasi klaim-klaim tersebut dengan argumen utilitarian. Menurut

    Mill, tidak ada teori teori keadilan yang bisa dipisahkan dari tuntutan

    kemanfaatan. Keadilan adalah istilah yang diberikan kepada aturan-

    aturan yang melindungi klaim-klaim yang dianggap esensial bagi

    kesejahteraan masyarakat, klaim untuk memegang janji, diperlakukan

    setara, dan sebagainya. Klaim seperti ini merupakan pokok-pokok

    hitungan utilitarian. Sifat esensial keadilan dalam skema utilitarian

    adalah: keadilan mengakui hak-hak individu yang didukung

    masyarakat. Keadilan mensyaratkan aturan-aturan yang ditetapkan

    menjadi kebaikan masyarakat demi menjamin pemenuhan kewajiban

    tertentu yang keras dan demi melindungi hak-hak individu. Keadilan

    24

    Karen Lebacqz, Teori-teori Keadilan (Six Theories of Justice), Nusa Media, Bandung, 1986, hal. 2.

    25 Ibid, hal. 13-41.

  • 46

    bisa memadukan konsep mengenai perlakukan setara dan pengabaian.

    Keadilan bukan Sui Generis, karena dia bergantung sepenuhnya pada

    kemanfaatan sosial sebagai fondasinya. Semua aturan keadilan bisa

    tunduk kepada tuntutan-tuntutan kemanfaatan. Apapun yang

    membawa kebaikan terbesar bagi semuanya dapat disebut adil.

    b. John Rawls26

    Prinsip-prinsip keadilan diperoleh bukan dengan mengevaluasi

    kemanfaatan dari tindakan-tindakan melainkan dari pilihan rasional

    di dalam kondisi adil. Prinsip-prinsip tersebut dilekatkan pada

    struktur dasar masyarakat, bukannya setiap tindakan atau setiap

    tingkatan di mana keadilan dipersoalkan. Teori keadilan Rawls,

    menggunakan kontrak sosial sebagai basis teori keadilan. Prinsip-

    prinsip Rawls melindungi pihak-pihak yang paling kurang beruntung

    di masyarakat. Tidak ada pertukaran kebebasan atau kesejahteraan

    mereka dengan kesejahteraan orang lain yang dibolehkan.

    Kebebasan-kebebasan dasar harus didistribusikan setara dan tidak

    boleh dikorbankan demi pencapaian ekonomi.

    c. Robert Nozick27

    Nozick menolak peran negara di dalam keadilan distributif. Keadilan

    dibatasi hanya pada ruang komutatif pertukaran individu. Keadilan

    26

    Ibid, hal. 49-79. 27

    Ibid, hal 89-113.

  • 47

    terdapat di dalam pertukaran yang adil. Keadilan tidak dapat

    membuat klaim yang substantif apapun, selain hanya mengandung

    persyaratan prosedural bagi keadilan pertukaran. Keadilan tidak

    terdapat di dalam propaganda kebaikan terbesar untuk jumlah

    terbesar dan tidak juga di dalam upaya untuk melindungi pihak-pihak

    yang kurang beruntung.

    d. Para Uskup28

    Keadilan berakar pada tradisi iman yang merespon Tuhan yang adil

    dan penuh kasih. Para Uskup mengajukan konsep keadilan sebagai

    kebaikan bersama. Kebaikan bersama didasarkan pada keberpihakan

    kepada orang miskin, tidak pernah kebaikan yang lebih besar

    sejumlah orang dapat menjustifikasi keterpurukan orang lain.

    Keberpihakan kepada orang-orang yang malang menjadi tongkat

    pengukur keadilan suatu masyarakat.

    e. Reinhold Niebuhr29

    Pendekatan Niebuhr terhadap keadilan adalah dengan penekanan

    terhadap konsep dosa. Menurut Niebuhr, di sebuah dunia yang sudah

    dirembesi dosa, tidak ada satu pun prinsip atau pendekatan dapat

    menghasilkan prinsip keadilan yang sahih selamanya. Keadilan tetap

    harus dicirikan pertama dan terutama oleh keseimbangan kekuasaan.

    28

    Ibid, hal 119-146. 29

    Ibid, hal 157-184.

  • 48

    Yang ideal adalah harmoni diri dengan diri, sehingga keadilan

    berusaha mendekati yang ideal dengan menyeimbangkan kekuasaan

    sehingga yang lemah akan terlindungi dari yang kuat. Kesimbangan

    seperti itu bukan harmoni yang relatif, melainkan harmoni yang

    dibutuhkan dan adil. Keadilan tidak pernah bersifat mutlak dan

    tercapai seutuhnya. Setiap keadilan relatif adalah sekaligus ketidak-

    adilan relatif.

    f. Jose Porforio Miranda30

    Miranda berfokus pada kasih istimewa Tuhan bagi kaum papa dan

    tertindas. Keadilan dimulai dari menolak ketidakadilan. Tuhan

    dikenal hanya dari tindakan keadilan, dan tindakan keadilan berarti

    bertindak adil kepada orang miskin. Tidak ada pemisahan ruang

    ekonomi dan politik, karena keadilan meliputi segala sesuatu.

    Tradisi menyebutkan bahwa prinsip resmi keadilan distributif adalah

    ”bagi masing-masing sesuai dengan yang layak baginya.”31

    Pemikiran enam

    tokoh mengenai keadilan, yaitu: Mill, Rawls, Nozick, Para Uskup, Niebuhr,

    dan Miranda—berbeda dengan pandangan tradisional yaitu:32

    a. John Stuart Mill: Bagi masing-masing sesuai dengan kecenderungan

    tindakan yang memaksimalkan kemanfaatan bagi semuanya.

    30

    Ibid, hal 196-233. 31

    Karen Lebacqz, Op.cit, hal. 236. 32

    Ibid.

  • 49

    b. John Rawls: Bagi masing-masing sesuai dengan struktur dasar yang

    dapat menguntungkan pihak-pihak kurang beruntung (di mana

    batasannya adalah kesetaraan hak-hak politik, kesetaraan

    kesempatan, dan pelestarian yang adil bagi generasi masa depan)

    c. Robert Nozick: Bagi masing-masing sesuai dengan pilihan-pilihan

    yang sudah menjadi hak mereka.

    d. Para Uskup: Bagi masing-masing sesuai dengan martabat mereka

    sebagai makhluk yang diciptakan secitra Allah (dengan kewajiban

    dan hak yang sesuai dengan citra tersebut dalam bentuk tiga aspek

    keadilan)

    e. Reinhold Niebuhr: Bagi masing-masing sesuai dengan prinsip

    kebebasan, khususnya kesetaraan, yang diimbangi kasih da keadilan.

    f. Jose Porforio Miranda: Bagi masing-masing sesuai dengan campur

    tangan Tuhan di dalam sejarah dalam membebaskan orang miskin

    dan tertindas.

    Dari pemikiran enam tokoh di atas mengenai keadilan, yang

    mengejutkan adalah hilangnya beberapa konsep tradisional seperti klaim

    aristotelian bahwa keadilan bisa dimaknai sebagai distribusi asalkan

    beriringan dengan kebaikan.33

    Dalam hal pencapaian keadilan, tentunya

    33

    Ibid, hal 237.

  • 50

    dibutuhkan persyaratan. Karen Lebacqz juga mengevaluasi pemikiran enam

    tokoh mengenai persyaratan keadilan, yaitu:34

    a. John Stuart Mill: Persyaratan keadilan tercapai melalui pencarian

    hakikat umum di dalam konsep-konsep yang ada selama ini mengenai

    apa yang adil dan tidak adil.

    b. John Rawls: Persyaratan keadilan tercapai melalui pilihan rasional di

    dalam setting yang fair.

    c. Robert Nozick: Persyaratan keadilan bagi hak-hak minimal tercapai

    melalui pendeduksian maksim Kantian yang memperlakukan setiap

    pribadi sebagai tujuan akhir, bukan hanya sebagai alat/cara.

    d. Para Uskup: Persyaratan keadilan tercapai melalui perwujudan visi

    keadilan berbasis iman dalam prinsip-prinsip filosofis dan teologis

    mengenai kewajiban dan hak.

    e. Reinhold Niebuhr: Persyaratan keadilan tercapai melalui prinsip

    kasih berbasis iman yang selalu tarik ulur dengan realitas-realitas

    dosa.

    f. Jose Porforio Miranda: persyaratan keadilan tercapai melalui

    konfirmasi Alkitab bagi analisis Marxis tentang ketidakadilan yang

    dialami kaum tertindas.

    34

    Ibid.

  • 51

    Dari Mill dan kaum utilitarian, keadilan mencakup pengertian

    fundamental mengenai kesetaraan, karena setiap kebaikan pribadi haruslah

    terhitung sama dengan kebaikan orang lain.35

    Di mata Rawls, teori keadilan

    pada akhirnya harus bergerak menuju kesetaraan distribusi, meskipun dia

    tidak mensyaratkan kesetaraan sebagai prinsip distribusi. Jika bidang utama

    keadilan adalah struktur dasar masyarakat, problem utama keadilan, menurut

    Rawls, adalah merumuskan dan memberikan alasan pada sederet prinsip-

    pisnsip yang harus dipenuhi oleh sebuah struktur dasar masyarakat yang adil.

    Keadilan dalam pandangan Niebuhr lebih kepada fundamental hakikat

    manusia. Perhatian Nozick terarah kepada keniscayaan dan batasan-batasan

    negara; perhatian Miranda terfokus kepada cara berpikir Alkitab; sedangkan

    perhatian para uskup terfokus langsung pada kemiskinan.

    3. Pandangan Tokoh bangsa Indonesia

    Konsep keadilan sosial di negara Indonesia telah mendapat tempat

    yang utama oleh para tokoh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah

    Soekarno, hal ini jelas sekali dapat dibuktikan dari gagasan Soekarno dalam

    pembicaraannya tentang Dasar Negara Indonesia di dalam sidang BPUPKI

    (1 Juni 1945). Menurut Soekarno, yang dimaksud sebagai keadilan sosial

    ialah:

    “Suatu masyarakat atau sifat suatu masyarakat adil dan makmur,

    berbahagia buat semua orang, tidak ada penghinaan, tidak ada

    35

    Karen Lebacqz, Op.cit, hal. 233.

  • 52

    penindasan, tidak ada penghisapan. Tidak ada exploitation de

    I’homme par I’homme. Semuanya berbahagia, cukup sandang, cukup

    pangan, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja.”36

    Pemikiran Soekarno tentang keadilan sosial di atas sungguh jelas,

    tepat, sistematis dan tegas. Tampak sekali bahwa Seoekarno sangat

    memprioritaskan nilai keadilan dan menjunjung tinggi nilai hak-hak asasi

    manusia dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sudah tentu, lahirnya

    gagasan tentang definisi keadilan sosial ini merupakan hasil refleksi

    Soekarno tentang masa gelap sejarah bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia

    telah mengalami penderitaan, penindasan, penghinaan dan penghisapan oleh

    penjajahan Belanda dan Jepang. Pernyataan teks di atas membuktikan bahwa

    Soekarno ingin mencanangkan keadilan sosial sebagai warisan dan etika

    bangsa Indonesia yang harus diraih. Selain itu, cita-cita keadilan Soekarno

    juga berdasarkan penggunaan industrialisme modern untuk kepentingan

    umum, Soekarno pernah mengatakan bahwa:

    “Sudah pernah saya katakan bahwa cita-cita dengan keadilan sosial

    ialah suatu masyarakat yang adil dan makmur. Saya tekankan adil

    dan makmur, makmur dan adil, dengan menggunakan alat-alat

    industri, alat-alat teknologi yang sangat modern....Tetapi

    industrialisme modern itu kita pergunakan untuk kepentingan

    umum.”37

    Upaya agar keadilan sosial dapat terwujud, maka keadilan sosial itu

    harus dimulai dari hidup bermasyarakat. Soekarno menyadari bahwa negara

    36

    Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Pressindo,

    Yogyakarta, 2006, hal 277-278. 37

    Ibid, hal 295.

  • 53

    Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa akan mencapai

    keadilan sosial asalkan rakyat Indonesia telah dipersatukan menjadi satu

    bangsa, yakni bangsa Indonesia. Pemahaman aspek persatuan ini jelas tidak

    bisa terlepas dari aspek “rasa” setiap orang. Rupanya konsep tentang

    persatuan bangsa ini sudah lama digagas oleh Soekarno. Hal ini dapat dibaca

    dalam isi pidatonya di Sidang BPUPKI:

    “Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan

    buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan,

    maupun golongan yang kaya, - tetapi “semua buat semua”. Inilah

    salah satu dasar pikiran yang nanti yang akan saya kupas lagi. Maka,

    yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di

    dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai ini,

    akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama,

    yang baik dijadikan dasar buatan Negara Indonesia, ialah dasar

    kebangsaan.”38

    Berbicara tentang cara mencapai keberhasilan ide menunju keadilan

    sosial ini, maka Soekarno melihat bahwa keadilan sosial tidak bisa terlepas

    dari usaha mempersatukan bangsa. Demikian juga bahwa persatuan bangsa

    juga tidak bisa lepas dari tata negara “Gotong Royong”. Apa yang dimaksud

    dengan Gotong Royong? Menurut Soekarno :

    “Gotong-royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari

    “kekeluargaan”, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah salah satu

    faham yang statis, tetapi gotong-rouong menggambarkan satu usaha,

    satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat

    Soekardjo: satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo,

    gawe, pekerjaan amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah

    pembanting tulang bersama pemerasan keringat bersama, perjuangan

    38

    Saafroedin Bahar (ed), Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus

    1945. Edisi kedua. Sekretaris Negara RI, Jakarta, 1995, hal. 71.

  • 54

    bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua,

    keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat

    kepentingan bersama! Itulah gotong-royong!” 39

    Soekarno memiliki buah pikiran yang cemerlang tentang keadilan

    sosial. Gagasan keadilan sosial tidak bisa terlepas dari gerakan persatuan dan

    gotong royong. Justru bangsa yang tahu bersatu dan mau berkerjasama akan

    dapat memahami nilai keadilan sosial. Pernyataan ini ditegaskan lagi oleh

    Soekarno dalam pidatonya yang berbicara tentang nilai kebersamaan untuk

    mencapai cita-cita bangsa, yakni menciptakan masyarakat adil dan makmur.

    Selain Soekarno, tokoh bangsa Indonesia adalah Sutan Syahir. Sjahrir

    dalam pidato di depan Kongres Majelis Pemuda Kristen Oikumenia IV di

    Bandung, 18 April 1957, berkata, "Tujuan itu haruslah membangun suatu

    masyarakat yang berbahagia, yang berdasarkan kerakyatan serta keadilan

    sosial. Rasa kemanusiaan harus kita perkuat."40

    Menurut Sjahrir, kita harus

    pula menyadarkan rakyat kita bahwa rasa kemanusiaan, kerakyatan, dan

    keadilan sosial hanya berarti serta dapat diwujudkan dengan sempurna, jika

    masyarakat kita berdasarkan pada kemakmuran bersama serta merata.41

    Jakob Oetama (Pimpinan Umum Kompas) ketika menyampaikan makna

    Peringatan Seratus Tahun Sutan Sjahrir mengatakan, buah pemikiran Sjahrir

    adalah sistem ekonomi pasar sosial yang mengombinasikan peran sosial

    39

    Ibid, hal 82. 40

    Kompas, Sosok Sjahrir Relevan bagi Masa Depan Bangsa,

    http://nasional.kompas.com/read/2009/03/31/20504632/, diakses pada tanggal 7 Maret 2012. 41

    Ibid.

    http://nasional.kompas.com/read/2009/03/31/20504632/

  • 55

    peran negara dan peran pasar, yang bertujuan untuk menyejahterakan

    rakyat.42

    Apa yang dinyatakan oleh Sjahrir tersebut senada dengan Muh.

    Yamin yang menyatakan bahwa kesejahteraan rakyat yang menjadi dasar dan

    tujuan Negara Indonesia Merdeka adalah pada ringkasannya keadilan

    masyarakat atau keadilan sosial.43

    Mohammad Hatta juga menyadari mengenai pentingnya keadilan

    sosial bagi rakyat Indonesia, yang berakibat kepada kesejahteraan rakyat,

    namun hal ini menurutnya harus mengandaikan kedaulatan rakyat. Dalam

    sebuah pidato di Aceh pada tahun 1970, ia mengatakan:

    “Apakah yang dimaksud dengan Indonesia yang adil? Indonesia yang

    adil maksudnya tak lain daripada memberikan perasaan kepada

    seluruh rakyat bahwa ia dalam segala segi penghidupannya

    diperlakukan secara adil dengan tiada dibeda-bedakan sebagai warga

    negara. Itu akan berlaku apabila pemerintahan negara dari atas

    sampai ke bawah berdasarkan kedaulatan rakyat.”44

    Pemikiran Bung Hatta yang sangat komprehensif tentang keadilan

    sosial dapat dilihat dan ditelusuri pada saat ia berbicara tentang Pancasila,

    suatu dasar yang dibelanya secara sungguh-sungguh baik dalam teori

    maupun praktek. Bagi Hatta sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan

    prinsip pembimbing bagi cita-cita kenegaraan di Indonesia. Prinsip spiritual

    dan etik ini memberikan bimbingan kepada semua pihak yang baik bagi

    42

    Kompas, Buah Pikiran Sjahrir Tidak Lekang oleh Waktu,

    http://nasional.kompas.com/read/2009/03/05/22073081/Buah.Pikiran.Sjahrir.Tidak.Lekang.

    oleh.Waktu, diakses pada tanggal 7 Maret 2012. 43

    Saafroedin Bahar (ed), Op.cit, hal. 28. 44

    Mohammad Hatta, dalam Franz Magnis Suseno, Bung Hatta dan Demokrasi,

    Tempo, 18 Agustus 2002.

    http://nasional.kompas.com/read/2009/03/05/22073081/Buah.Pikiran.Sjahrir.Tidak.Lekang.oleh.Waktuhttp://nasional.kompas.com/read/2009/03/05/22073081/Buah.Pikiran.Sjahrir.Tidak.Lekang.oleh.Waktu

  • 56

    rakyat dan bangsa. Sejalan dengan prinsip dasar ini, sila kemanusiaan yang

    adil adan beradab adalah kelanjutan dari sila pertama dalam praktik. Begitu

    pula sila ketiga dan keempat. Sedangkan sila kelima, “Keadilan Sosial bagi

    seluruh rakyat Indonesia”, menjadi tujuan terakhir dari ideologi Pancasila.45

    Hatta juga menegaskan bahwa di bawah bimbingan sila pertama, sila

    Ketuhanan Yang Maha Esa, kelima sila itu saling mengikat.46

    Hal yang pernah diperjuangkan Bung Hatta dalam rangka

    penyusunan konsep keadilan sosial dalam UUD 1945 adalah dengan

    keberhasilannya memasukkan perihal ekonomi dan kesejahteraan rakyat

    pada pasal 33 sebelum diamandemen yang berbunyi:

    1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas

    kekeluargaan.

    2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai

    hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

    3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

    dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk

    kemakmuran rakyat.

    Dari isi Pasal 33 UUD 1945 ini sangat terasa bahwa HAM dalam

    artian berpihak pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia cukup

    45

    A. Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan

    dalam Konstituante. LP3ES, Jakarta, 1987, hal. 155. 46

    Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Idayu Press, Jakarta, 1977, hal.20.

  • 57

    dijamin.47

    Hatta ingin agar Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung

    di dalamnya itu dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat—

    dengan demikian nasionalisme Indonesia jika ingin difungsikan dalam

    kenyataan tidak harus sekedar ditujukan untuk melawan eksploitasi dan

    dominasi asing dalam politik, ekonomi, dan budaya, tetapi juga harus

    dihadapkan kepada unsur kolonial domestik.48

    Senada dengan konsep keadilan Bung Hatta, Abdurrahman Wahid

    juga menyatakan bahwa keadilan itu tidak hanya dibatasi hanya pada lingkup

    mikro dari kehidupan warga masyarakat Indonesia secara perorangan,

    melainkan juga lingkup makro kehidupan masyarakat Indonesia itu sendiri.49

    O. Notohamidjojo juga menuturkan bahwa keadilan itu menuntut perlawanan

    terhadap kesewanang-wenangan kepada manusia, keadilan memberikan

    kepada masing-masing haknya, dengan kata lain keadilan merupakan

    postulat (tuntutan atau dalil, yang tidak dapat dibuktikan, yang harus

    diterima untuk memahami fakta atau peristiwa tertentu) bagi perbuatan

    manusia—karena keadilan menuntut untuk melihat sesama manusia sebagai

    47

    Todung Mulya Lubis, Hak Azasi Manusia dan Kita. Sinar Harapan, Jakarta,

    1982, hal 18. 48

    Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia: Kumpulan Karangan.

    Gramedia, Jakarta, 1981, hal.120. 49

    Abdurrahman Wahid, Konsep Keadilan,

    http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=28/hl=id/Konsep_Keadilan, diakses pada

    tanggal 5 Maret 2012.

    http://www.gusdur.net/Pemikiran/Detail/?id=28/hl=id/Konsep_Keadilan

  • 58

    manusia, mewajibkan memanusiakan manusia (Vermenschlichung den

    Menschen).50

    B. Fungsi Pemerintah Sebagai Pewujud Keadilan Sosial

    Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau

    beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu

    hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang

    berdaulat.51

    Mengenai tugas negara dibagi menjadi tiga kelompok:52

    Pertama, negara harus memberikan perlindungan kepada penduduk dalam

    wilayah tertentu. Kedua, negara mendukung atau langsung menyediakan

    berbagai pelayanan kehidupan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan

    kebudayaan. Ketiga, negara menjadi wasit yang tidak memihak antara pihak-

    pihak yang berkonflik dalam masyarakat serta menyediakan suatu sistem

    yudisial yang menjamin keadilan dasar dalam hubungan kemasyarakatan.

    Tugas negara menurut faham modern sekarang ini (dalam suatu Negara

    Kesejahteraan atau Social Service State), adalah menyelenggarakan

    kepentingan umum untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan yang

    sebesar-besarnya berdasarkan keadilan dalam suatu Negara Hukum.53

    50

    O. Notohamidjojo, Op. cit., hal. 89. 51

    Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi),

    Penerbit Renaka Cipta, Jakarta, 2000, hal 64. 52

    Y. Sri Pudyatmoko, Perizinan, Problem dan Upaya Pembenahan, PT. Gramedia

    Widiarsana Indonesia, Jakarta, 2009, hal.1. 53

    Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi

    dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hal. 110.

  • 59

    Keadilan sosial yang berakibat kepada kesejahteraan umum adalah

    cita-cita setiap negara, demikian halnya Negara Indonesia, hal ini tercermin

    dalam cita-cita luhur dan tujuan negara Indonesia dalam pembukaan UUD

    1945, yang berbunyi :

    “Berkat rahmat Allah Maha Kuasa dan dengan didorongkan atas

    keinginan luhur supaya berperikehidupan kebangsaan yang bebas,

    merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur maka rakyat Indonesia

    menyatakan kemerdekaannya …dan membentuk pemerintah negara

    Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

    tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,

    mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban

    dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan

    keadilan sosial.”

    Indonesia sebagai negara hukum (Rechtsstaat) pada prinsipnya

    bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial. Hukum dan cita hukum

    (Rechtidee) sebagai perwujudan budaya. Perwujudan budaya dan peradaban

    manusia tegak berkat sistem hukum, tujuan hukum dan cita hukum

    (Rechtidee) ditegakkan dalam keadilan yang menampilkan citra moral dan

    kebajikan adalah fenomena budaya dan peradaban. Manusia senantiasa

    berjuang menuntut dan membela kebenaran, kebaikan, kebajikan menjadi

    cita dan citra moral kemanusiaan dan citra moral pribadi manusia. Keadilan

    senantiasa terpadu dengan asas kepastian hukum (Rechtssicherkeit) dan

    kedayagunaan hukum (Zeweckmassigkeit). Tiap makna dan jenis keadilan

    merujuk nilai dan tujuan apa dan bagaimana keadilan komutatif, distributif

    maupun keadilan protektif demi terwujudnya kesejahteraan lahir dan batin

  • 60

    warga negara, yang pada hakikatnya demi harkat dan martabat manusia.

    Hukum dan keadilan sungguh-sungguh merupakan dunia dari trans empirical

    setiap pribadi manusia.

    Dalam mencapai tujuan dari negara dan menjalankan negara,

    dilaksanakan oleh pemerintah. Mengenai pemerintah, terdapat dua

    pengertian, yaitu pemerintah dalam arti luas dan pemerintah dalam arti

    sempit. Pemerintah dalam arti luas (regering) adalah pelaksanaan tugas

    seluruh badan-badan, lembaga-lembaga dan petugas-petugas yang diserahi

    wewenang mencapai tujuan Negara.54

    Sedangkan, pemerintah dalam arti

    sempit (bestuur) mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas

    pemerintahan.55

    Dalam konteks berbangsa dan bernegara, keadilan merupakan hak

    mutlak bagi setiap warga negara. Pemerintah harus mampu menegakkan

    keadilan bagi setiap warga negaranya. Keadilan tersebut harus menyangkut

    semua aspek kehidupan, baik keadilan hukum, politik, maupun kesejahteraan

    ekonomi.56

    Pengendalian dan pengorganisasian fungsi negara mengusahakan

    kesejahteraan dan kemakmuran rakyat tersebut dilakukan dengan perantaraan

    pemerintah beserta segala alat-alat perlengkapannya. Sebab dalam

    kenyataannya, pihak atau organ yang meyelenggarakan kekuasaan negara

    54

    Kuntjoro Purbopranoto, Perkembangan Hukum Administrasi Indonesia,

    Binacipta, Bandung, 1981, hal.1. 55

    Ibid. 56

    Krishna Djaya Darumurti, Op.cit, hal.28.

  • 61

    adalah pemerintah, baik dalam arti sempit—lembaga eksekutif—maupun

    dalam arti luas, meliputi seluruh badan kenegaraan yang terdapat di dalam

    Negara—hal ini merupakan fungsi pemerintah sebagai administrasi negara.

    Administrasi (Negara) adalah badan atau jabatan dalam lapangan kekuasaan

    eksekutif yang mempunyai kekuasaan mandiri berdasarkan hukum untuk

    melakukan tindakan-tindakan pemerintahan baik di lapangan pengaturan,

    maupun penyelenggaraan administrasi negara.57

    Keterlibatan pemerintah

    yang sedemikian luas dalam tugas Negara ini menempatkan dirinya sebagai

    servis publik, yakni menyelenggarakan dan mengupayakan suatu keadilan

    dan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakatnya.58

    Dalam mewujudkan keadilan sosial, kekuasaan dan atau kewenangan

    pemerintah ditetapkan secara umum dalam Undang-undang Dasar,

    sedangkan kekuasaan dan atau kewenangan pemerintah daerah termasuk

    dalam pembentukan produk hukum ditetapkan oleh lembaga pembuatan

    undang-undang di tingkat pusat.59

    Negara Indonesia adalah negara yang

    berbentuk kesatuan (unitary state). Kekuasaan asal berada di pemerintah

    pusat, namun kewenangan (authorithy) pemerintah pusat ditentukan batas-

    batasnya dalam UUD dan Undang-undang, sedangkan kewenangan yang

    tidak disebutkan dalam UUD dan Undang-undang ditentukan sebagai

    57

    Ibid, hal.29. 58

    Ibid. 59

    Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah, Ghalia, Bogor, 2007.hal 111.

  • 62

    kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah.60

    Asas pemerintahan

    daerah ditegaskan di dalam Pasal 18 Ayat (2) bahwa pemerintahan daerah

    propinsi dan daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan

    pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Oleh sebab itu

    secara universal asas pemerintahan daerah mencakup 3 (tiga) asas penting

    yaitu:61

    1. Asas desentralisasi.

    2. Asas dekonsentarsi.

    3. Tugas pembantuan.

    Pemerintah pusat sebagai pihak yang melimpahkan wewenang tetap

    bertanggungjawab terhadap pelaksanaan urusan yang telah dilimpahkan.

    Penyelenggaraan asas desentralisasi dan dekonsentralisasi dilaksanakan di

    propinsi. Desentralisasi menggambarkan pengalihan tugas operasional ke

    pemerintahan lokal dan juga menggambarkan pendelegasian atau devolusi

    kewenangan pembuatan keputusan kepada pemerintah yang tingkatannya

    lebih rendah.62

    Dengan kata lain desentralisasi merupakan pelaksanaan

    60

    Jimly Asshiddiqie, Pengantar Pemikiran UUD Negara Kesatuan RI, The

    Habibie Centre, Jakarta, 2001, hal. 28. 61

    Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Sinar Harapan, Jakarta,

    2000, hal 32. 62

    Ibid.

  • 63

    pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah

    dalam negara kesatuan dalam rangka otonomi daerah.63

    Di dalam Undang Undang 32 Tahun 2004, pada Pasal 1 Angka 6

    pengertian daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang

    mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

    urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

    Pembentukan daerah otonom merupakan “perintah” (amanat) konstitusi.

    Daerah otonom tersebut pada dasarnya merupakan satu kesatuan wilayah

    sebagai kesatuan masyarakat yang mempunyai ikatan serta mempunyai

    kewenangan untuk mengurus kepentingan dengan tetap berada dalam ikatan

    Negara Kesatuan Republik Indonesia.64

    Daerah otonom dibangun melalui

    perangkat substansi (kaidah) hukum, yang memiliki kewenangan “otonomi”.

    Penguatan otonomi menciptakan keseimbangan antara penyerahan dan

    pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah dan menjaga keutuhan

    NKRI.

    Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

    dikemukakan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan

    mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

    pembantuan.65

    Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk

    63

    Mustamin Dg Matutu, dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di

    Indonesia, UIII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 35-36. 64

    Lihat Penjelasan Umum UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 65

    Ibid.

  • 64

    mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan

    pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dan daerah diharapkan

    mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,

    pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan

    keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

    Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya

    dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua

    urusan pemerintahan, di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang

    ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan

    membuat kebijakan daerah berupa peraturan-peraturan untuk memberi

    pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat

    yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat—yang berakibat pada

    keadilan sosial.

    Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi

    yang nyata dimana urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas,

    wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk

    tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan

    daerah.66

    Hal senada diungkapkan oleh Hatta67

    bahwa dasar kedaulatan

    rakyat adalah hak rakyat untuk menentukan nasibnya, yang tidak hanya ada

    66

    Penjelasan Umum angka 1 huruf b.UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

    Daerah. 67

    Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka Kumpulan Karangan Jilid I,

    Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hal. 103.

  • 65

    pada pucuk pemerintah negeri, melainkan juga pada setiap tempat (daerah).

    Tiap-tiap golongan atau bagian rakyat mendapat otonomi (membuat dan

    menjalankan peraturan sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan peraturan yang

    dibuat oleh dewan yang lebih tinggi). Hal ini menjadi penting karena

    keperluan tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berbeda-

    beda.

    Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu

    sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang

    bertanggung jawab menurut Undang-undang Pemerintahan Daerah 2004

    adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan

    dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk

    memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang

    merupakan bagian utama dari tujuan nasional. Seiring dengan prinsip itu

    penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan

    kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan

    aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Selain itu penyelenggaraan otonomi

    daerah, juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan

    Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk

    meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar

    Daerah.

  • 66

    Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus

    mampu menjamin hubungan yang serasi antar Daerah dengan Pemerintah,

    artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan

    tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka

    mewujudkan tujuan Negara. Kewenangan daerah otonom secara jelas

    disebutkan dalam Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu:

    “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang

    pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,

    pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta

    kewenangan bidang lain”.68

    Memperhatikan kewenangan yang telah dikemukakan, maka dapat

    diketahui bahwa terdapat sejumlah kewenangan di bidang pemerintahan

    yang tidak diserahkan kepada daerah, sehingga kewenangan tersebut tetap

    menjadi wewenang pemerintah pusat dalam wujud dekonsentrasi dan tugas

    pembantuan. Inti otonomi daerah adalah demokratisasi dan pemberdayaan.69

    Sebagai demokratisasi berarti ada keserasian antara pusat, daerah dan daerah

    mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan,

    kebutuhan dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah

    mendapat perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat,

    68

    Lihat Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 69

    Wahidudin Adam, Permasalahan Hukum yang berkaitan dengan Peraturan

    Daerah, disampaikan pada Pelatihan Teknis Perancang Peraturan Perundang-undangan

    Tahun 2008, Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, tanggal 17 Desember 2008, hal. 3.

  • 67

    sedangkan otonomi daerah pemberdayaan daerah merupakan suatu proses

    pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mengatur, mengurus dan

    mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakat sendiri. Undang Undang

    Nomor 32 Tahun 2004 memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan

    bertanggungjawab kepada daerah sehingga daerah diberikan peluang untuk

    mengatur dan melaksanakan kewenangannya atas prakarsa sendiri dengan

    memperhatikan kepentingan masyarakat setempat dan potensi daerahnya.

    Kewenangan ini merupakan upaya untuk membatasi kewenangan Pemerintah

    dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom, karena Pemerintah dalam

    hal ini pemerintah pusat dan pemerintah Propinsi hanya diberi kewenangan

    meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi

    pada semua aspek pemerintahan.

    Selain itu, dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang intinya menyatakan

    bahwa hak menguasai negara terhadap pengelolaan kekayaan sunber daya

    alam itu harus benar-benar ditujukan bagi kemakmuran rakyat, pernyataan

    pasal ini sudah menggarisbawahi pemerintah bahwa tidak satupun alasan dari

    pemerintah untuk tidak melaksanakan pasal tersebut secara konsekuen. Di

    dalam merealisasikan fungsi pemerintah mewujudkan kesejahteraan sosial

    atau keadilan sosial tersebut, administrasi negara harus selalu berpegang

    pada asas legalitas sebagai salah satu asas penting negara hukum. Asas the

    rule of law demikian ini menghendaki setiap tindakan administrasi Negara

  • 68

    harus berdasarkan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan

    yang berlaku yang diperoleh melalui kewenangan atribusi.70

    Setiap tindakan

    badan/pejabat tata usaha negara tidak boleh bertentangan dengan hukum

    (onrechtmatige overheidsdaad), sewenang-wenang (wellekeur/abus de droit)

    dan menyalahgunakan wewenang (detournement de pouvoir).

    Sehubungan dengan mewujudkan keadilan sosial, baik Pemerintah

    Pusat maupun Pemerintah Daerah di dalam menjalankan fungsinya yang

    secara normatif dituangkan melalui penetapan berbagai produk hukum yang

    bersifat penetapan, menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang

    perlu diperhatikan, yakni :71

    a. memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis (rechtmatige)

    b. tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaatasasan hierarkhi peraturan

    perundang-undangan;

    c. tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga masyarakat;

    d. diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar) upaya

    mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum.

    70

    Kewenangan atribusi adalah bentuk kewenangan yang didasarkan atau diberikan

    oleh UUD atau Undang-Undang kepada suatu lembaga negara/pemerintahan. Kewenangan

    tersebut terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan,

    sesuai dengan batas-batas yang diberikan. Contoh: kewenangan yang dimiliki oleh

    pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. 71

    Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi

    Negara, Alumni, Bandung, 1986, hal 4.

  • 69

    C. Asas Keadilan Dalam Materi Muatan Peraturan Perundang-

    Undangan

    Kebijakan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan

    sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres)

    Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang

    dan Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia, namun

    pengaturannya tidak secara tegas dan rinci. Pengaturan lebih tegas terkait

    harmonisasi kemudian diatur berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998

    tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang

    merupan pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.

    Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun

    1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

    tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan

    amanat dari Pasal 22A UUD 1945.72

    Oleh karena Undang-Undang Nomor 10

    Tahun 2004 dalam tataran praktik empririkal masih banyak mengandung

    kelemahan, maka DPR bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali

    dan melakukan penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun

    2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai

    pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

    72

    Pasal 22A UUD 1945 mengatur bahwa Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara

    pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.

  • 70

    Pembentukan suatu Undang-Undang bilamana ditinjau dari aspek

    substansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah pengolahan isi dari

    suatu peraturan perundang-undangan yang memuat asas-asas dan kaidah

    hukum sampai dengan pedoman perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan

    hukum.73

    Lebih jauh aspek materiil ini berkenaan dengan pembentukan

    struktur, sifat dan penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan

    dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek formal berkaitan

    dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang

    berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap metode,

    proses dan teknik perundang-undangan.74

    Aspek materiil dan aspek formal ini saling berhubungan secara timbal

    balik dan dinamis. Aspek materiil yang memuat jenis-jenis kaidah

    memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman perilaku yang hendak

    direalisasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dapat

    diwujudkan atau dikonkretkan memiliki legitimasi dan daya laku efektif

    dalam realitas kehidupan kemasyarakatan.75

    Demikian sebaliknya dimana

    sebah produk perundang-undangan yang dihasilkan melalui aspek formal/

    prosedural yang terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-undangan

    sampai menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta mendapat

    73

    Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,

    PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal.222. 74

    Ibid. 75

    Ibid.

  • 71

    respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena dampak

    pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari aspek materiil/

    substansial.76

    Melalui proses sinkronisasi materi muatan Undang-Undang

    akan mendukung pelaksanaan harmonisasi sehingga dapat mencegah

    terjadinya pengaturan ganda dan pertentangan norma antar berbagai Undang-

    Undang.

    Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

    Pembentukan Peraturan Perundang-undangan materi muatan peraturan

    perundang-undangan harus mengandung asas-asas sebagai berikut:77

    a. Asas pengayoman, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

    undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka

    menciptakan ketentraman masyarakat.

    b. Asas kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

    undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-

    hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan

    penduduk Indonesia secara proporsional.

    c. Asas kebangsaan, bahwa setiap muatan peraturan perundang-undangan

    harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik

    76

    Ibid, hal. 223. 77

    Lihat Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

    Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

  • 72

    (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan

    Republik Indonesia.

    d. Asas kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

    undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat

    dalam setiap pengambilan keputusan.

    e. Asas kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

    undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah

    Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-undangan

    merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan

    Pancasila.

    f. Asas bhinneka tunggal ika, bahwa setiap materi muatan peraturan

    perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,

    agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya khususnya yang

    menyangkut masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat,

    berbangsa dan bernegara.

    g. Asas keadilan, bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-

    undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap

    warga negara tanpa kecuali.

    h. Asas kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi

    muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang

  • 73

    bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama,

    suku, ras, golongan, gender atau status sosial.

    i. Asas ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan

    peraturan perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban

    dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.

    j. Asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi

    muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan

    keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan individu

    dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

    k. Asas lain, sesuai substansi peraturan perundang-undangan yang

    bersangkutan.

    Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

    tersebut, salah satu asas yang harus ada dalam materi muatan Peraturan

    Perundang-undangan adalah asas keadilan. Berpijak pada hal inilah, maka

    setiap materi muatan peraturan perundang-undangan mengenai pengaturan

    pengelolaan pertambangan harus mempertanyakan makna pemahaman asas

    yang dimaknai sebagai keadilan secara secara proporsional, sesuai dengan

    yang dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12

    Tahun 2011 tersebut.

    Jika kita kaji lebih dalam lagi, keadilan sosial dalam UUD 1945

    sesungguhnya tidak identik dengan konsep keadilan dalam Penjelasan Pasal

  • 74

    6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Keadilan sosial dalam Undang-

    Undang Dasar 1945 merupakan sesuatu yang harus diwujudkan secara

    dinamis dalam suatu bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

    Namun dalam Penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012,

    keadilan dimaknakan sebagai proporsional. Dalam hal inilah, maka penulis

    perlu menelaah pemaknaan keadilan dalam materi muatan peraturan

    perundang-undangan mengenai pengaturan pengelolaan pertambangan

    apakah merupakan keadilan proporsional ataukah merupakan keadilan sosial

    bagi seluruh rakyat Indonesia.

    D. Makna Keadilan Dalam Penguasaan dan Penggunaan Kekayaan

    Alam Menurut Pasal 33 UUD 1945

    Dalam konteks negara Indonesia, arti penting kekayaan alam sebagai

    kebutuhan dasar manusia yang membutuhkan jaminan akses bagi seluruh

    rakyat sangat disadari oleh para founding fathers di negeri ini. Hal ini terlihat

    dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Tahun 1945 yang berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

    dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya

    kemakmuran rakyat”. Sifat kekayaan alam yang memiliki jumlah yang

    terbatas sedangkan jumlah penduduk yang terus meningkat membutuhkan

    keseriusan pemerintah dalam penanganannya, baik masalah peruntukan,

  • 75

    penggunaan dan pengaturannya yang terus meningkat seiring dengan

    bertambahnya jumlah penduduk dan penggunaannya yang beranekaragam.

    Payung hukum dari konsep keadilan dari Undang-Undang

    Pertambangan adalah Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 yang

    berbunyi:78

    1. Ayat (1): Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;

    2. Ayat (2): Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

    3. Ayat (3): Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya

    kemakmuran rakyat;

    4. Ayat (4): Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan, efisiensi,

    berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,

    serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi

    nasional;

    5. Ayat (5): Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dengan Undang-Undang.

    Penguasaan negara atas kekayaan alam yang bersifat nasional untuk

    pemenuhan kesejahteraan rakyat. Pemenuhan kesejahteraan seluruh rakyat

    Indonesia sebagai suatu manifestasi perjuangan Bangsa Indonesia dalam

    melepaskan diri dari penjajahan yang telah menciptakan penderitaan bagi

    rakyat Indonesia. Sehingga diharapkan penderitaan itu berakhir dan

    kewajiban bangsa Indonesia untuk mewujudkan kesejahteraan sebagai

    konsekuensi kesepakatan seluruh rakyat Indonesia untuk mendirikan negara

    78

    Lihat Undang-Undang Dasar 1945, Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan

    Kesejahteraan Nasional.

  • 76

    yang bernama Indonesia. Jaminan hak atas kekayaan alam bagi seluruh

    rakyat Indonesia merupakan bentuk kesejahteraan tersebut. Hak menguasai

    negara tersebut adalah untuk melancarkan pengurusan, penggunaan

    kekayaan nasional.79

    Bung Hatta menginterprestasikan mengenai penguasaan

    negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:

    Dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tidak berarti

    negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih

    tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat

    peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang

    pula “pengisapan” orang yang lemah oleh orang lain yang

    bermodal.80

    Selanjutnya dalam perihal Bung Hatta menginterprestasikan

    mengenai peranan modal dalam keterlibatan perekonomian di Indonesia,

    sebagai berikut:

    “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi

    yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah

    dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak

    berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing

    menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan

    Pemerintah …. “Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa

    melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD

    1945. Terutama digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah

    dengan jalan koperasi, kemudian diberi kesempatan kepada golongan

    swasta untuk menyerahkan pekerjaan dan kapital nasional. Apabila

    tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam

    tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila

    bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi

    kesempatan kepada mereka untuk menanam modalnya di tanah air

    79

    Imam Soetiknjo, Politik Agraria Nasional, Gadjah Mada University Press,

    Yogjakarta, 1990, hal. 37. 80

    Mohammad Hatta, Cita-cita Kooperasi dalam Pasal 33 UUD 1945, Pidato Hari Kooperasi 12 Juli 1977, dalam Mohammad Hatta, Satu Abad Bung Hatta, Demokrasi Kita,

    Bebas Aktif, Ekonomi Masa Depan, UI Press, Jakarta, 2002, hal 225.

  • 77

    kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia

    sendiri. Syarat-syarat yang ditentukan itu terutama menjamin

    kekayaan alam kita, seperti hutan kita dan kesuburan tanah air kita,

    tetap terpelihara.” 81

    Berdasarkan kutipan interprestasi Bung Hatta mengenai peranan

    modal dalam keterlibatan perekonomian di Indonesia, maka dapat penulis

    gambarkan secara hirarki sebagai berikut:

    Gambar 1.

    Hirarki Peranan Modal Dalam Keterlibatan Perekonomian di Indonesia

    Sumber: Mohammad Hatta, diolah penulis.

    Gambar 1. di atas menunjukkan pemikiran Bung Hatta bahwa

    perekonomian Indonesia di masa datang diusahakan dengan jenjang prioritas

    berikut: Pertama, mendayagunakan rakyat sebagai pelaku pembangunan

    ekonomi dengan jalan koperasi; kedua, yaitu golongan swasta dan modal

    nasional; ketiga, bila tenaga dan modal nasional tidak mencukupi, maka

    81

    Ibid, hal 226-227.

  • 78

    kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam tenaga dan modal asing;

    keempat, bila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka

    diberi kesempatan kepada mereka untuk menanam modal di Indonesia

    dengan syarat-syarat oleh pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap

    terjaga. Bila pemikiran Hatta pada tahun 1946 dimaknai pada hari ini sebagai

    tafsir historis atas Pasal 33 UUD 1945, tentu penggolongan yang bersifat

    prioritas oleh Hatta harus dilaksanakan dalam pembentukan undang-undang

    dan dinamika sosial ekonomi dalam hal sumberdaya alam pertambangan.

    Dalam kaitannya dengan konsep keadilan, maka keterkaitan dengan

    hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan

    mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:82

    1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat

    (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan

    kesejahteraan masyarakat.

    2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di

    dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu

    yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh

    rakyat.

    82

    Pan Mohamad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal

    33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, http://dosen.narotama.ac.id/wp-

    content/uploads/2011/04/PENAFSIRAN-KONSEP-PENGUASAAN-NEGARA.pdf, diakses

    pada tanggal 8 Maret 2012.

    http://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2011/04/PENAFSIRAN-KONSEP-PENGUASAAN-NEGARA.pdfhttp://dosen.narotama.ac.id/wp-content/uploads/2011/04/PENAFSIRAN-KONSEP-PENGUASAAN-NEGARA.pdf

  • 79

    3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan

    menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan

    kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

    Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak

    penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan

    pemahaman bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan

    pengurusan (bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk

    melakukan tindakan sendiri (eigensdaad) atas kekayaan alam.

    Landasan pemikiran lahirnya Pasal 33 UUD 1945 tidak terlepas dari

    nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri, seperti tolong

    menolong dan usaha bersama yang membedakannya dengan paham

    kapitalisme, yang justru menegasikan nilai-nilai tersebut. Karena paham

    kapitalisme dalam pengelolaan ekonomi dengan mengandalkan modal dan

    alat produksinya hanyalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya

    dengan tidak memperhatikan kepentingan masyarakat yang lemah. Karena

    dalam paham kapitalisme kepemilikan modal dan alat produksi hanya

    dimiliki segelintir orang saja. Dalam konteks negara Indonesia, dalam hal

    pengelolaan sesuatu yang menjadi hajat hidup orang banyak harus dikuasai

    seperti yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, dalam kerangka

    keadilan sosial. Hal ini untuk mencegah terjadinya monopoli oleh seseorang

    atau segelintir orang saja sehingga peranan negara dalam menguasai

  • 80

    kekayaan nasional untuk memberikan jaminan terhadap seluruh rakyat yang

    berujung pada kesejahteraan seluruh rakyat.

    Asas kekeluargaan dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 itu ialah

    kooperasi. Bung Hatta menginterprestasikan mengenai kooperasi dalam

    Pasal 33 ayat (1) UUD 1945, sebagai berikut:

    Dalam pada itu ada baiknya diperingatkan di sini, bagaimana kita

    memahamkan kooperasi seperti yang terpancang dalam Pasal 33

    Undang-Undang Dasar 1945. Cita-cita kooperasi Indonesia

    menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental.

    Paham kooperasi Indonesia menciptakan masayarakat Indonesia yang

    kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli, tetapi

    ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi, sesuai dengan tuntutan

    zaman modern. Semangat kolektivisme Indonesia yang akan

    dihidupkan kembali dengan kooperasi mengutamakan kerjasama

    dalam suasana kekeluargaan antar manusia pribadi, bebas dari

    penindasan dan paksaan ... Pada kooperasi, sebagai badan usaha

    berdasarkan asas kekeluargaan, didamaikan dalam keadaan harmonis

    kepentingan orang-seorang dengan kepentingan umum. Kooperasi

    yang semacam itu memupuk selanjutnya semangan toleransi—aku

    mengakui pendapat masing-masing—dan rasa tanggungjawab

    bersama. Dengan ini kooperasi mendidik dan memperkuat demokrasi

    sebagai cita-cita bangsa. 83

    Oleh karena itu, sistem ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai

    Indonesia menurut Mohammad Hatta adalah sistem sosialisme kooperatif

    yang kemudian dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Sistem sosialisme

    kooperatif mengandung tiga unsur penting, yaitu:

    1. Cita-cita sosialisme barat yang mengemukakan perikemanusiaan

    dengan pelaksanaan demokrasi mengenai demokrasi politik,

    83

    Mohammad Hatta, Op.cit, hal 227-228.

  • 81

    2. Ajaran agama yang mengemukakan dasar-dasar keadilan dan

    persaudaraan serta penilaian yang tinggi kepada manusia pribadi

    sebagai makhluk Allah,

    3. Gotong-royong sebagai pembawaan masyarakat Indonesia yang

    asli.84

    Dari unsur-unsur penting di atas, terlihat bahwa pengelolaan

    kekayaan alam sebagai salah satu kekayaan nasional yang terdapat dalam

    Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sangat bersandar pada nilai-nilai yang hidup

    dalam Bangsa Indonesia, seperti nilai religius dan nilai gotong-royong. Akan

    tetapi Indonesia sebagai negara yang baru merdeka dan sedang membangun

    tidak menutup diri juga terhadap nilai-nilai yang dapat menunjang dan sesuai

    dengan perkembangan masyarakat Indonesia yaitu dalam bentuk

    pengadopsian cita-cita sosialisme barat dengan tetap memperhatikan dan

    mempertahankan nilai dan falsafah bangsa Indonesia. Yang terpenting adalah

    bagaimana nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat kita selalu menjadi

    acuan utama dalam proses pengambilan kebijakan sehingga melahirkan

    kebijakan yang populis dan partisipatif—serta berkeadilan sosial.

    Berdasarkan uraian di atas, maka aspek-aspek keadilan sosial atas

    penguasaan dan penggunaan kekayaan alam yang terkandung di dalam Pasal

    33 UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai berikut:

    84

    Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal 13.

  • 82

    1. Orientasi

    Orientasi dalam pemanfaatan kekayaan alam adalah kemakmuran

    rakyat. Dalam hal ini, keadilan sosial harus sesuai dengan rumusan yang

    terdapat dalam Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

    dimana bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

    dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

    rakyat.

    2. Keberpihakan

    Keterkaitan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya

    kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban

    Negara yang memiliki keberpihakan kepada rakyat.85

    Mahkamah Konstitusi

    menyatakan bahwa penguasaan negara atas sumberdaya alam lahir dari

    konsep hubungan publik. Dikatakan sebagai konsep hubungan publik karena:

    “Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum

    publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut

    dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun

    ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu,

    rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik dan sekaligus

    pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai

    dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.

    Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut, tercakup pula

    pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif.”86

    3. Hubungan dengan pemilik modal.

    85

    Ibid, hal. 17. 86

    Lihat Putusan Perkara Nomor 002/PUU-I/2003

  • 83

    Dalam hal hubungan dengan pemilik modal, Mohammad Hatta

    menyatakan sebagai berikut:

    “Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan

    pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945. Terutama

    digerakkan tenaga-tenaga Indonesia yang lemah dengan jalan

    koperasi, kemudian diberi kesempatan kepada golongan swasta untuk

    menyerahkan pekerjaan dan kapital nasional. Apabila tenaga nasional

    dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan

    kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak

    bersedia meminjamkan kapitalnya, maka diberi kesempatan kepada

    mereka untuk menanam modalnya di tanah air kita dengan syarat-

    syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. Syarat-

    syarat yang ditentukan itu terutama menjamin kekayaan alam kita,

    seperti hutan kita dan kesuburan tanah air kita, tetap terpelihara.” 87

    Perkataan Mohammad Hatta di atas jelas bahwa terhadap peranan

    modal, beliau mengkonstruksi keterlibatan modal sebagai alternatif atau

    pelengkap dari usaha-usaha sektor produksi atau sumberdaya alam yang

    besar setelah dimaksimalisasi pengusahaannya oleh dalam negeri (koperasi

    dan badan usaha negara). Kutipan di atas menunjukkan pemikiran

    Mohammad Hatta bahwa perekonomian Indonesia di masa datang

    diusahakan dengan jenjang prioritas berikut: Pertama, mendayagunakan

    rakyat sebagai pelaku pembangunan ekonomi dengan jalan koperasi (badan

    usaha negara); kedua, yaitu golongan swasta dan modal nasional (swasta

    nasional dan badan usaha negara); ketiga, bila tenaga dan modal nasional

    tidak mencukupi, maka kegiatan produksi dilakukan dengan meminjam

    tenaga dan modal asing (Production Sharing); keempat, bila bangsa asing

    87

    Mohammad Hatta, Op.cit, hal 225.

  • 84

    tidak bersedia meminjamkan modalnya, maka diberi kesempatan kepada

    mereka untuk menanam modal di Indonesia dengan syarat-syarat oleh

    pemerintah agar kekayaan alam Indonesia tetap terjaga (Perijinan).

    4. Akses Mengusahakan.

    Akses mengusahakan berkisar pada kata kunci ”dikuasai negara” vis

    a vis ekonomi pasar bebas yang mendominasi perekonomian dunia.

    Mengenai makna ”dikuasai negara”, Mahkamah Konstitusi berpendapat

    antara lain sebagai berikut:

    … pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup

    makna penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan

    diturunkan dari konsep kedaulatan rakyat Indonesia atas segala

    sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di

    dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian publik oleh

    kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat

    secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan

    mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan

    tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad),

    pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad)

    untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Fungsi

    pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah

    dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas

    perizinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie).

    Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui

    kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi

    oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan

    melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau

    melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik

    Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen

    kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah,

    mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu

    untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

    Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara

    (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah,

  • 85

    dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan

    penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud

    benar-benar dilakukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat …

    Yang harus dikuasai oleh negara adalah jika: (i) cabang-cabang

    produksi itu penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang

    banyak; atau (ii) penting bagi Negara, tetapi tidak menguasai hajat

    hidup orang banyak; atau (iii) tidak penting bagi Negara, tetapi

    menguasai hajat hidup orang banyak. Ketiganya harus dikuasai oleh

    Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.88

    Berdasarkan tafsiran Mahkamah Konstitusi di atas, maka dengan kata

    lain, makna “dikuasai negara” tidak harus diartikan bahwa negara sendiri

    yang langsung mengusahakan sumber daya alam. Aksentuasi “dikuasai

    negara” atau kedaulatan negara atas sumber daya alam terletak pada tindakan

    negara dalam hal pembuatan kebijakan, pengaturan, pengurusan,

    pengelolaan, dan pengawasan terhadap kegiatan usaha di bidang sumber

    daya alam. Dalam menafsirkan makna frasa “dikuasai oleh negara” dari

    Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi

    mengkonstruksi 5 (lima) fungsi negara dalam menguasai cabang-cabang

    produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air

    dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, ha