KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI...
-
Upload
duongnguyet -
Category
Documents
-
view
214 -
download
0
Transcript of KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI...
SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI
(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)
Oleh
RAHMATUL HIDAYAT
(106045103546)
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
“SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI
(Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)”
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)
Oleh:
Rahmatul Hidayat
NIM : 106045103546
Di bawah Bimbingan:
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. Yunasril Ali, MA Dedy Nursyamsi, SH. M.Hum
NIP 150223823 NIP 196111011993031002
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M / 1432 H
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI
(PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF)” telah diujikan dalam
Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.sy) pada Program Studi Jinayah
Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam.
Jakarta, 21 Maret 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
Nip: 195505051982031012
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. Asmawi, M.Ag. (..…....…….……………)
NIP. 197210101997031008
2. Sekretaris : Afwan Faizin,MA (..…....…….……………)
NIP: 197210262003121001
3. Pembimbing I : Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA (..…....……….…………)
NIP. 150223823
4. Pembimbing II: Dedy Nursyamsyi, SH, M.Hum (..…....……….…………)
NIP. 196111011993031002
5. Penguji I : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag (..…........…….…………)
NIP. 150326893
6. Penguji II : Afwan Faizin, MA (..…....…….……………)
: NIP. 197210262003121001
i
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan Skripsi dengan judul “SABUNG AYAM TABUH RAH DAN
JUDI TAJEN DI BALI (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif)” yang
merupakan kewajiban bagi Program sarjana (S-1) Program Studi Jinayah Siyasah
Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas akhir
untuk memperoleh Gelar sarjana (S1).Dalam penulisan Skripsi ini, sudah tentu Penulis
banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik
moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini.
Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang
setulus-tulusnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Afwan Faizin, MA selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. Yunasril Ali, MA, selaku dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan sekaligus dosen pembimbing I.
ii
5. Dedy Nursyamsi, SH, M.Hum, selaku dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan sekaligus dosen pembimbing II.
6. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Kepala dan Seluruh Staff/Karyawan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum maupun
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan
buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan Skripsi ini.
8. Lebih khusus lagi adalah ucapan terima kasih kepada :
a. Kepada Ayahanda dan Ibunda (Abdurrohim dan Misenik) dan juga Alm. H.
Abdul Ghafar dan Almrh. H. Siti Nariyah, yang berkat do’a mereka ananda
mendapatkan semangat untuk menyelesaikan Penulisan Skripsi ini.
b. Kepada kakak dan Istri (Holil Ashari dan Fifin Yusfiana), yang selalu
memberikan bantuan moril maupun materil sehingga kiranya ananda dapat
menyelesaikan masa studi kuliah di UIN Syarih Hidayatullah jakarta serta
menyelesaikan penulisan Skripsi ini, walaupun banyak kelakuan buruk yang
ananda buat.
c. Kepada seluruh kakak beserta istrinya, yang selalu memberikan dorongan
serta semangat kepada ananda untuk menyelesaikan studi ini.
9. Teman-teman PI angkatan 2006 seperti, Mahpudin, Fandi, Safrowi, Faris, Fitrah, Isa
Shaleh, Amir Syarifudin, Nuruzzaman, H. Buldan Fahmi, Muchsin, Husen, Eril,
Sumirat, Kholid, U’2, Ibro, P-men, Bonar, Chandra, Rangga, Cucun, Yuswandi,
Wismoyo, Nisa, Wahyuni dsb. Kebersamaan dan kesolidan kita bersama perkuliahan
dan pergaulan yang terkadang diselingi dengan aktivitas canda tawa memberikan arti
pentingnya sebuah persahabatan yang tek terlupakan dan menjadi catatan sejarah bagi
kita semua. “Aku mengenal kalian tanpa sengaja mencoba akrab dengan kalian
iii
menjalani persahabatan yang tak pernah pudar saling melengkapi satu sama lain
bersatu dalam ikatan persaudaraan, kelak… suatu saat jika kita telah hidup masing-
masing semoga ikatan ini tidak akan putus dan bangga punya teman seperti kalian”.
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat
membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan masalah
ini. Amin
Jakarta, 08 Maret 2011
penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 9
D. Review Pustaka ........................................................................... 10
E. Metode Penelitian........................................................................ 12
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SABUNG AYAM TABUH
RAH DAN JUDI TAJEN
A. Gambaran Umum Masyarakat Bali ............................................. 15
1. Letak Geografis ..................................................................... 15
2. Profil Kependudukan ............................................................ 16
3. Sistem Kemasyarakatan ........................................................ 17
B. Sejarah dan Latar Belakang Tabuh Rah dan Tajen ..................... 19
C. Cara pelaksanaan ........................................................................ 30
1. Tabuh Rah ............................................................................ 30
2. Tajen ..................................................................................... 34
v
D. Fungsi Pelaksanaan .................................................................... 39
E. Implikasi Sabung Ayam Tabuh Rah dan Tajen Terhadap
Masyarakat ................................................................................. 42
1. Tabuh Rah ............................................................................ 42
2. Tajen ..................................................................................... 43
BAB III SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen .............. 47
B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam ........ 54
BAB IV SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen ............. 75
B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam ........ 83
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 89
B. Saran-saran .................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 93
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara kepulauan yang berarti Indonesia terdiri dari
pulau-pulau. Hal ini juga memperlihatkan bahwa bangsa Indonesia itu terdiri dari
banyak suku bangsa yang mempunyai bahasa yang berbeda-beda, kebiasaan dan
adat-istiadat yang berbeda, kepercayaan yang berbeda, kesenian, ilmu
pengetahuan, mata pencaharian dan cara berfikir yang berbeda-beda. Berkat
kekuasaan Majapahit dan penjajahan Belanda, Indonesia mulai bersatu untuk
menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Indonesia harus mempunyai wilayah,
penduduk dan pemerintahan.
Begitu juga terdapat agama yang berkembang dan diakui oleh Negara
Indonesia, salah satunya agama Hindu, yang berpusat di Bali. Agama Hindu
Dharma disebut juga agama Hindu Bali, karena mengingat lahirnya agama
tersebut di Bali dan mayoritas pemeluknya adalah masyarakat Bali. Sebelumnya
masyarakat Bali menyebut agamanya adalah agama Tirta, keyakinan ini
merupakan hasil pencampuran dari agama Hindu Jawa dengan religi Bali asli.
Pada tahun 1958 agama Hindu-Bali diakui oleh Departemen Agama RI. Sesudah
Agama Hindu-Bali mendapat tempat di Kementrian Agama dibentuklah suatu
Dewan Agama Hindu-Bali, yang sesudah kongres tahun 1959 disebut Parisada
Dharma Hindu Bali; kemudian pada tahun 1964 namanya diganti dengan Parisada
2
Hindu Dharma hingga sekarang ini, pada tahun 1969 Parisada Hindu Dharma
memiliki 11 cabang, yaitu 8 di Bali dan 3 di Jawa. Sesudah G-30-S
perkembangannya sangat pesat, terlebih-lebih di Jawa. Demikianlah agama Hindu
Dharma lahir dan berkembang sampai sekarang.1
Sedangkan agama sendiri berkaitan dengan dengan usaha-usaha manusia
untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaannya sendiri dan kehadiran alam
semesta. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam
hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut.
Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat macam apa pun konsepsi tentang
agama merupakan bagian tak terpisahkan dari pandangan hidup dan sangat
diwarnai oleh perasaan mereka yang khas terhadap apa yang dianggap sakral
(suci).2 Tiap-tiap manusia yang lahir ke muka bumi membawa suatu akibat dalam
jiwanya, yaitu tabiat ingin mengabdi dan menyembah kepada sesuatu yang
dianggapnya Maha Kuasa. Dan pembawaan ini memang telah terwujud fitrah3
kejadian manusia, yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa dalam diri mereka.
Di dalam masyarakat Bali, sabung ayam memiliki makna religius. Makna
religius tersebut adalah sebagai persembahan korban suci yang ditujukan pada
bhuta dan kala, yaitu makhluk-makhluk halus yang jahat dan makhluk-makhluk
1 Parisada Hindu Dharma, Sejarah Agama Hindu Dharna Hindu Bali,
http://faridfann.wordpress.com/2008/05/07/sejarah-agama-hindu-dharma-hindu-bali/.
2 Elizabeth K. Nothinghem, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi Agama, Cet-
8. (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 3-4.
3 Agus Salim, Perbandingan Agama Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan Majusi-
Shabiah-Yahudi-Kristen-Hindu Budha&Sikh, (Jakarta: Diponegoro 1985), h. 11.
3
halus perwujudan dewa-dewa yang bersifat merusak. Upacara penyembahan
melalui korban suci ini disebut “caru” atau “mecaru”. Upacara mecaru ini
biasanya berupa tumpahnya darah yang tercecer di tanah akibat dari sebuah
pertarungan atau penyembelihan hewan korban, yang disebut dengan Tabuh Rah
atau Labuh Getih. Salah satu cara agar terjadi tumpahnya darah dengan cara
melakukan sabung ayam (Perang Satha).
Untuk memahami agama pada umumnya secara sosiologis, ibadat atau
upacara keagamaan barangkali lebih penting. Ritus (ibadat) adalah bagian dari
tingkah laku keagamaan yang aktif dan dapat diamati. Ritus ini tentu saja
mencakup semua jenis tingkah laku seperti; memakai pakaian khusus,
mengorbankan nyawa dan harta benda, mengucapkan ucapan-ucapan formal
tertentu. Dan ritus akan efektif apabila orang-orang berkumpul bersama-sama,
karena mereka saling mendorong satu sama lain. Jadi, salah satu fungsi penting
ritus adalah keyakinan masyarakat terhadap adanya dunia yang gaib dan
memberikan cara-cara pengungkapan emosi keyakinan secara simbolik.
Dalam agama Hindu terdapat banyak upacara yang senantiasa dilakukan
oleh masyarakat di sana sebagai penggambaran serta penghambaan kepada Tuhan
mereka, yakni Sang Hyang Widhi sehingga akan terjalin sebuah hubungan yang
baik antara hamba dan Tuhannya. Segala ritual atau upacara-upacara yang
dilakukan oleh masyarakat Hindu digunakan sebagai perwujudan tingkah laku
4
umat yang dilandasi oleh 3 (tiga) unsur kerangka dasar yaitu; 4 Tatwa (filsafat),
Susila (etika), dan Upacara (ritual). Sehingga jika ketiga kerangka dasar yang di
atas telah terpenuhi maka akan tercapainya suatu tujuan (dharma) bagi umatnya,
yang disebutkan dalam Wedha, “Mokshartam Jagadhita Ya ca Iti dharma”.5
Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen
sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat
Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan
dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan
lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher
hewan tersebut, namun ada juga dengan cara (Perang Satha) yaitu pertarungan
ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan,
pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang
Satha merupakan simbol perjuangan hidup. 6
Tradisi Tabuh Rah di Bali sering diselenggarakan dalam rangkaian
upacara buthayajna, yaitu upacara suci yang ditujukan untuk menyelaraskan
unsur-unsur alam dengan kehidupan manusia. Salah satu upacara buthayajna
adalah acara tawur yang diadakan sehari sebelum Nyepi. Dalam acara ini
4 Parisada Hindu Dharma,
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/darma070102008.pdf.
5 Suatu cita-cita manusia dalam kehidupan manusia, baik kebahagiaan lahir dan bathin di
dunia dan di akhirat, yang berlandaskan dharma. Di mana kebahagiaan lahir akan terwujud dengan
terpenuhinya kebutuhan artha dan kama, dan kebahagiaan bathin adalah kedamaian.
6 Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali, http://
matatia.ayam_files\tajen-sabung-ayam-bali.html.
5
biasanya diadakan pertarungan ayam. Selain itu dalam Prasasti Batur Abang
tahun 933 Saka dan Prasasti Batuan tahun 944 Saka juga disebutkan bahwa
sabung ayam untuk upacara Tabuh Rah diperbolehkan, namun bukan untuk
berjudi.
Dalam perkembangannya, ritual suci Tabuh Rah mengalami pergeseran
makna. Seni pertarungan ayam yang seru dan mengasyikkan kemudian sering
dijadikan ajang berjudi. Kini, banyak banjar (desa) yang menggelar Tajen yang
biasa disebut Tajen terang untuk kepentingan menggalang dana dan dilakukan
hanya dua atau tiga hari setelah diadakannya Tabuh Rah. Setiap desa di Bali
memiliki tatacara tersendiri untuk mengatur Tajen terang ini, para pecalang pun
dilibatkan untuk menjaga keamanan. Dalam tajen terang ini yang diutamakan
adalah hiburan, bukan menang atau kalah. Meski demikian, sebelum diadakan
acara Tajen terang, desa adat terlebih dahulu juga menyelenggarakan upacara
kepada Dewa Tajen agar tidak terjadi perselisihan selama acara berlangsung.
Dan yang lebih ditanyakan lagi dalam masalah sosial dimana perjudian ini
adalah tingkah laku penyimpangan (devian behaviour) yang gampang meluas dan
menjamurnya dalam masyarakat kita. Maka berlangsunglah apa yang dinamakan
devisiasi situasional komulatif yaitu suatu bentuk penyimpangan dari norma-
norma sosial atau hukum sebagai produk transportasi psikologis yang dipaksakan
oleh situasi dan kondisi lingkungan sosialnya.7
7 Kartini Kartono, Patologi sosial, (Jakarta; Rajwali, 1993) h. 90.
6
Untuk meregulasi perjudian dan tidak menjadikannya sebagai perbuatan
kriminal (dekriminalisasi) di Indonesia tidak semudah membalikkan telapak
tangan. Tantangan terbesar adalah munculnya resistensi masyarakat karena
kondisi social budaya, kepercayaan/agama, dan kondisi masyarakat yang belum
sepenuhnya memahami tentang pluralisme hukum.8
Masalah perjudian umum nya dalam aspek hukum pidana KUHP telah
memberikan batasan tentang pengertian perjudian dalam pasal 303 ayat (3)
KUHP yang berbunyi;
“Tiap-tiap permainan, dimana pada umumnya kemungkinan mendapat
untung bergantung peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih
atau lebih mahir. Disitu termasuk segala pertaruhan tentang keputusan
perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka
yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan
lainnya”.
Meskipun masalah perjudian di Indonesia telah banyak diberantas, namun
masalah perjudian ini merupakan masalah sosial. Apalagi dalam masyarakat Bali
Tajen merupakan sebuah pertaruhan nama baik serta kebanggaan bagi sang
pemilik ayam aduan tersebut. Apalagi jika ayam aduan miliknya dapat dan
mampu mengalahkan ayam aduan milik orang lain atau musuhnya. Dan juga
8 Aziz Syamsuddin, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan
Hukum Masyarakat Adil dan Makmur, Cet- 1. (Jakarta: 2007), h. 126.
7
ayam menjadi bagian yang terpisahkan dari kaum pria dan juga sebagai simbol
kemaskulinan mereka.
Namun, jika kita lihat dan kita tinjau asal-muasal terbentuknya tradisi
budaya Bali, yakni bertujuan menyuburkan berkembangnya kehidupan beragama.
Tanpa disadari amat disayangkan kesadaran masyarakat sekarang jurusannya
melenceng dari sasaran semula mengingat dahulu seni budaya semata-mata wujud
daya hidup sembah bhakti mereka kehadapan Hyang maha kuasa.9
Untuk itu, berdasarkan pemikiran tersebut penulis tertarik untuk menggali
masalah yang berkaitan dengan perjudian sabung ayam yang berkedok budaya.
Oleh karena itu skripsi ini penulis tuangkan dalam karya ilmiah yang berjudul
“SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN DI BALI (Perspektif
Hukum Islam dan Hukum Positif)”
B. Pembatasan dan Perumusan masalah
Dalam skripsi ini, penulis ingin mengemukakan suatu fenomena
masyarakat yang terjadi di Bali, yang dalam kehidupan beragama sebuah upacara,
Tabuh Rah merupakan sebuah alat untuk mendekatkan kepada tuhannya yakni
Sang Hyang Widhi. Akan tetapi, disalahgunakan oleh oknum sebagai perjudian.
Dari uraian di atas kiranya dapat ditemukan suatu permasalahan yang
cukup penting untuk dikaji lebih mendalam sehingga dapat ditemukan titik terang
9 I Nyoman Suarka, Ketuhanan Bali (kajian empiris dan Era baru empu Kuturan), (Surabaya:
Paramitha Surabaya, 2005), h. 36.
8
mengenai permasalahan yang akan dikaji maka, penulis akan membatasi dalam
beberapa hal, yakni sebagai berikut;
1. Sabung ayam yang dimaksud oleh penulis adalah sebuah ritual upacara dalam
agama Hindu di Bali yang dinamakan dengan Tabuh Rah yang ditujukan
untuk Sang Hyang Widhi sebagai perwujudan sembah bhakti kepadanya,
serta dalam pelaksanaannya tanpa ada unsur taruhan.
2. Tajen yang dimaksud penulis adalah menyabungkan ayam yang dilakukan di
luar dari sebuah ritual upacara agama Hindu di Bali dan disertai dengan
taruhan.
Dari pembatasan masalah di atas, kemudian penulis merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana tradisi dan fungsi sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen
menurut pandangan masyarakat Bali ?
2. Bagaimana mekanisme pelaksanaan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen
pada masyarakat Bali?
3. Bagaimana perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Positif terhadap
sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
9
1. Untuk mengetahui bagaimana tradisi dan fungsi sabung ayam Tabuh Rah dan
judi Tajen menurut pandangan masyarakat Bali.
2. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan sabung ayam Tabuh Rah dan judi
Tajen pada masyarakat Bali.
3. Untuk mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum Positif
terhadap sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen.
4. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang budaya Tabuh Rah dan judi
Tajen di Bali
Sedangkan untuk manfaat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang budaya Tabuh Rah dan judi
Tajen di Bali
2. Penelitian ini setidaknya diharapkan bermanfaat menjadi sumbangan ilmiah
penulis terhadap masyarakat yang ini mengetahui budaya upacara Tabuh Rah
dan judi Tajen di Bali.
3. Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sabung ayam
Tabuh Rah dan judi Tajen, baik dari segi hukum Islam dan hukum Positif,
serta kaitannya dengan legalisasi perjudian berkedok budaya. Sehingga
mampu untuk membedakan dan menempatkan mana dengan benar mana yang
Tabuh Rah dan judi Tajen.
10
D. Review Pustaka
Penulis menggunakan beberapa literatur yang mempunyai keterkaitan
dengan judul ini yang diantaranya adalah:
Pertama karya mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum yang
ditulis oleh Rahmat Hidayat yang berjudul “Peranan Kepolisian Resort
Purwakarta dalam Penanganan Tindak Pidana Perjudian”, Skripsi, yang
didalamnya dijabarkan beberapa tindak pidana perjudian seperti judi Sepak Bola
dan Judi sabung Ayam. dalam skripsi ini memiliki kesamaan yakni tentang
perjudian sabung ayam yang terjadi di Bali dan Purwakarta.
Kedua karya ilmiah mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syari’ah dan Hukum
yang ditulis oleh Nasori yang berjudul “Perjudian Pandangan Hukum Islam dan
KUHP (Kajian Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan)”, Skripsi,
yang di dalamnya dijabarkan mulai dari pengertian, sejarah, macam-macam
perjudian serta dampaknya, bagaimana pendapat Hukum Islam dan Hukum
Positif terhadap perjudian serta menganalisis sebuah putusan pengadilan.
Ketiga Aziz Syamsuddin yang berjudul “Dekriminalisasi Tindak Pidana
Perjudian: Menuju Pembangunan Hukum Masyarakat Adil dan makmur, 2007,
Jakarta. Yang secara garis besar dalam buku ini menjelaskan tentang sejarah dan
praktik perjudian di dunia, psikologi judi, potret perjudian di Indonesia,
kriminalisasi perjudian.
Keempat Kartono Kartini yang berjudul “Patologi Sosial”, Rajawali, 1993,
Jakarta, jadi dalam buku ini masalah perjudian merupakan sebuah masalah social
11
dimana perjudian adalah suatu tingkah laku penyimpangan (depian behaviour)
yang merupakan suatu bentuk penyimpangan dari norma-norma social atau
hukum sebagai produk dari transportasi psikologis yang dipaksakan oleh situasi
dan kondisi lingkungan sosialnya.
Kelima Ida Pedanda Putra Pidada Kniten dan Pinandita I Nyoman
Gunanta “Tinjauan Tabuh Rah dan Judi”, Paramitha 2005, Surabaya, yang
membahas tentang bagaimana tabuh rah serta tajen yang memiliki keterkaitan
dengan ritual Tabuh Rah pada masyarakat Hindu di Bali.
Keenam Karya Ilmiah (Tesis) Mahasiswa Universita Indonesia yang
ditulis oleh Hendrik Andriyanto “Perjudian Sabung Ayam di Bali”, Jakarta, 2003,
yang dijelaskan secara detail di dalam masyarakat Bali tentang Tabuh Rah dan
Tajen dan juga adanya pengecukan atau pengambilan duit keamanan pada setiap
acara tajen yang berlangsung baik di pura maupun tempat yang memang sengaja
disediakan oleh masyarakat yang senang berjudi.
Ketujuh Ketut Upedhana, yang berjudul “Fraksi Partai Golkar dukung judi
Sabung ayam, Analisis Surat kabar, TEMPO Interaktif, Denpasar, 2005, yang
isinya aktivitas sabung ayam (tajen) yang selalu diikuti kegiatan perjudian harus
dilihat sebagai warisan budaya, yang erat kaitannya dengan pelaksanaan
keagamaan Hindu di Bali.
12
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
data-datanya diungkapkan melalui kata-kata, norma atau aturan-aturan,
dengan kata lain, penelitian ini memanfaatkan data kualitatif10
.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normative doktriner, yaitu
penelitian yang mengkaji asas-asas dan norma-norma hukum. Penulis
mencoba menelaah dan menjelaskan aspek-aspek yang berkenaan dengan
permasalahan ini. Dan penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yakni
penelitian yang bertujuan menjelaskan satu variable.
Adapun sumber data yang dipergunakan penulis adalah;
a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari perundang-
undangan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), serta dalil-dalil
yang terdapat pada Al-Qur’an dan al-Hadits, sarta ketentuan-ketentuan
Fiqh yang mengatur masalah perjudian.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan
dalam mengkaji data primer, yaitu data-data yang diperoleh dari buku-
buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang akan
diteliti.
10
Lexi J. Moelang, Penelitian Kualitaif, Cet ke- 5. (Bandung: Remaja Kosda Karya, 2005),
hal. 6.
13
c. Bahan Hukum Tersier, bahan hukum yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Seperti penduduk Bali,
pelaku sabung ayam maupun sampel yang diperlukan untuk penunjang
kelengkapan data.
2. Teknik Pengumpulan Data
a. Studi Dokumentasi, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang
penulis perlukan, yaitu dengan cara melihat buku-buku yang terkait
dengan pokok masalah yang akan diteliti.
3. Teknik Analisis data
Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif, yaitu
pendekatan isi (content analisis) yang menekankan pada pengambilan
kesimpulan dan analisis yang bersifat deduktif, yaitu penelaran berawal dari
hal yang umum untuk menentukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu
kesimpulan.11
Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
Pedoman Penulisan skripsi, cetakan ke-1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari sub-sub Bab
sebagai berikut :
11
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), h. 42-215.
14
Bab I Merupakan Bab pendahuluan yang terdiri dari : Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Metodelogi Penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Merupakan Tradisi Sabung ayam Tabuh rah dan judi Tajen, yang
di dalamnya membahas tentang gambaran umum masyarakat Bali yang meliputi
(letak geografis, profil kependudukan, dan sistem kemasyarakatan), sejarah dan
latar belakang tradisi Tabuh Rah dan Tajen, cara pelaksanaan, fungsi
dilaksanakan, serta implikasinya.
Bab III Merupakan pembahasan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen
dalam perspektif Hukum Islam yang meliputi bagaimana Tradisi dan fungsi
pelaksanaan Tabuh Rah dan judi Tajen, serta dasar hukum tentang larangan
perjudian Sabung Ayam.
Bab IV Merupakan pembahasan sabung ayam Tabuh Rah dan judi Tajen
dalam perspektif Hukum Positif yang meliputi tentang Tradisi dan fungsi
pelaksanaan Tabuh Rah dan judi Tajen, serta dasar hukum tentang larangan
perjudian Sabung Ayam.
Bab V Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran-
saran.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SABUNG AYAM TABUH RAH
DAN JUDI TAJEN
A. Gambaran Umum Masyarakat Bali
1. Letak Geografis
Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40" - 8°50'48" Lintang
Selatan dan 114°25'53" - 115°42'40" Bujur Timur. Relief dan topografi Pulau
Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang dari barat ke
timur. Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Batas
fisiknya adalah sebagai berikut. Sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah
selatan dengan Samudra Indonesia, sebelah barat dengan Selat Bali atau
Provinsi Jawa Timur, dan sebelah timur dengan Selat Lombok atau Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten
dan satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar,
Karangasem, Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga
merupakan ibukota provinsi. Selain itu, pulau Bali terdiri dari pulau-pulau
kecil lainnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan
di wilayah Kabupaten Klungkung, Pulau Serangan di wilayah Kota Denpasar,
dan Pulau Menjangan di Kabupaten Buleleng. Luas total wilayah Provinsi
Bali adalah 5.634,40 ha dengan panjang pantai mencapai 529 km.
16
Tabel Luas Wilayah Tiap Kabupaten di Provinsi Bali1
Kabupaten/Kota Ibukota
Luas
(km²)
Persentase
(%)
Jembrana Negara 841,80 14,94
Tabanan Tabanan 839,30 14,90
Badung Badung 420,09 7,43
Denpasar Denpasar 123,98 2,20
Gianyar Gianyar 368,00 6,53
Klungkung Semarapura 315,00 5,59
Bangli Bangli 520,81 9,25
Karangasem Amlapura 839,54 14,90
Buleleng Singaraja 1.365,88 24,25
Jumlah 5.634,40 100,00
Sumber: Master Plan Penunjang Investasi Provinsi Bali Tahun 2006-2010
2. Profil Kependudukan
Wilayah Bali secara umum beriklim tropis yang dipengaruhi oleh angin
musim. Terdapat musim kemarau dan musim hujan yang diselingi oleh musim
pancaroba, dengan curah hujan berkisar antara 0,0 – 425,4 milimeter. Rata-rata
1 Departemen Kebudayaan Provinsi Bali, Geografis, dematografi dan sistem kemasyarakatn
Hindu Bali, http://www.baliprov.go.id/index.php?page=geo_grafi (Artikel ini diakses pada 11
Agustus 2010).
17
suhu maksimum antara 29,8 – 33,4 derajat Celcius dan rata-rata suhu minimum
antara 21,9 – 32,5 derajat Celcius. Temperatur tertinggi terjadi sekitar November
dan terendah sekitar Juli dan kelembaban udara antara 73,3 hingga 82,1 %.
Penduduk Bali sebagaian besar memeluk agama Hindu. Khusus untuk Kota
Denpasar persentase pemeluk Agama Hindu 67,94 %, Islam 23,03 %, Kristen
2,24 %, Protestan dan 4,87 Budha 1,91 %. Sejalan dengan mayoritas penduduk
yang beragama Hindu, demikian halnya ketersediaan fasilitas peribadatan
didominasi oleh Pura, dengan jumlah keseluruhan mencapai 457 buah Pura. Dari
sejumlah tersebut 105 buah diantaranya merupakan Kahyangan Tiga , 3 buah
merupakan Sad Dang Kahyangan fasilitas peribadatan lainnya berupa Mesjid 28
buah, Langgar 0 buah, Musholla 77 buah serta Gereja 73 buah. Vihara dan
Kelenteng juga 9 buah.2
3. Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Bali menganut sistem sosial yang mengikat yang terdiri atas
empat sistem sosial, yaitu sistem klan (dadia), sistem tingkatan (kasta), sistem
kemasyarakatan (banjar), dan sistem kelompok dalam minat dan pekerjaan
(seka). Sistem dadia meliputi gabungan keluarga besar dari leluhur yang sama.
Dalam hubungan ini, anggota keluarga secara berkala bertemu bersama pada
suatu tempat untuk menyembah tuhan, di tempat sembahyangan di rumah
2 Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Denpasar, Kondisi Sosial Budaya Bali,
http://www.denpasar.go.id/main.php?act=kon_sb (Artikel ini diakses pada 06 November 2010).
18
(sanggah/pamarajan) untuk keluarga dekat atau di pura untuk keluarga besar
(pura dadia atau paibon/pamarajan agung).
Pembagian kasta, asalnya dari Hindu didasarkan atas fungsinya di
masayarakat, yakni Brahmana merupakan kasta tertinggi (meliputi Pedanda)
bertanggung jawab atas upacara agama. Ksatriya (meliputi raja, pejabat dan
keluraganya, termasuk pemimpin irigasi atau kepala desa). Vaisya terlibat dalam
wirausaha dan kegiatan kesejahteraan masyarakat, dan Sudra adalah para petani
dan yang melaksanakan tugas (buruh) bagi kasta lainnya.
Sistem sosial yang ketiga yang mengikat orang Bali adalah sistem banjar.
Banjar sering dibedakan menjadi dua jenis yakni banjar adat dan banjar dinas.
Banjar adat sering disebut banjar patus (mempunyai tugas dan kewajiban khusus
dalam kaitannya dengan upacara agama Hindu) atau banjar suka-duka, sedangkan
banjar dinas merupakan perpanjangan tangan dari organisasi pemerintahan negara
di bawa desa dinas. Banjar adat merupakan organisasi di bawah pemerintahan
desa adat yang kini berdasarkan Peraturan Daerah Bali (Perda) No.3 Tahun 2001
pasal 1 ayat 4, disebut dengan desa pakraman, yakni batasannya disebutkan
sebagai berikut.
“Desa pakraman adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Bali,
yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup
masyrakat umat Hindu secara turun-temurun, dalam ikatan kahyangan tiga,
kahyanga desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan serta
berhak mengurus rumah tangganya sendiri”.
19
Tiap-tiap masyarakat terbentuk oleh banyak kelompok, setiap kelompok
terdiri atas individu-individu yang datang bersama-sama untuk kegiatan kerja
sama dengan minat khusus. Kelompok ini disebut seka. Nama seka sesuai dengan
kegiatan khususnya. Ada kelompok kerja, seperti: seka manyi untuk menanam
padi, seka semal untuk menghalau tupai yang merusak buah kelapa, seka membeg
untuk mengolah tanah, di samping ada kelompok yang berminat pada seni,
misalnya seka gong gamelan, seka drama, seka barong yang bertanggung jawab
atas pemeliharaan dan tarian barong, seka kecak (kelompok penari kecak), malah
ada kelompok peminum tuak atau seka tuak. Para pemuda, misalnya remaja yang
belum menikah, juga merupakan anggota masyarakat khusus yang disebut seka
taruna-taruni. Persamaan dan kerja sama anggota merupakan peraturan pertama
kelompok itu.
B. Sejarah dan Latar Belakang Tradisi Tabuh Rah dan Tajen
Sebelum kedatangan Agama Hindu di Nusantara3, masyarakat masih
memeluk keyakinan primitif, yaitu Animisme dan Dinamisme. Pengaruh agama
Hindu yang paling besar terdapat di pulau Jawa, khususnya diantara suku Jawa.
Agama Hindu masuk di Indonesia belum dapat diketahui secara pasti. Namun
dibeberapa daerah ditemukan adanya bukti-bukti sejarah seperti patung, candi,
prasasti dan yang lainnya.
3 Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Sejarah Perkembangan Hindu Agama Hindu,
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=506&Itemid=29&limit=1&li
mitstart=2 (Artikel di akses pada 13 Juni 2010).
20
Prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-5 SM hingga abad ke-7 M,
terdapat di kutai (Kalimantan Timur) dan Jawa Barat, dari prasasti-prasasti
tersebut, kita dapat mengetahui bahwa pada waktu itu ada raja yang memiliki
nama yang berasal dari India. Seperti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di
Jawa Barat. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa raja-raja itu adalah orang
India. Mungkin mereka orang Indonesia asli, yang sudah memeluk agama yang
datang dari India. Sumber-sumber pengetahuan kita tentang agama Hindu agak
terbatas dibandingkan dengan sumber-sumber agama Budha.
Maka dari sini untuk memudahkan para pembaca kami bagi menjadi 3
periode tentang sejarah Hindu yang ada di Jawa Timur :
1. Zaman Mpu Sendok hingga akhir pemerintahan Erlangga (1929-1092 M).
Pada zaman ini agama yang berkembang adalah agama Siwa dan
agama Buddha, kedua agama ini sebelumnya sudah berkembang di Jawa
Tengah, yaitu pertumbuhan agama Siwa dan agama Budha menjadi satu,
kemudian menjadi nyata di Jawa Timur, dengan adanya keyakinan yang
dipadukan antara agama Siwa dengan agama Budha, serta menyebutnya Siwa-
Buddha, bukan lagi Siwa dan Budha, melainkan Siwa-Budha menjadi satu
Tuhan. Pada masa ini juga telah didapati kepustakaan terkuno yang terdiri dari
ayat-ayat dalam sansekerta, yang diikuti oleh keterangan bebas didalam
bahasa Jawa kuno. Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat itu berasal dari
India.
21
2. Zaman kerajaan Kediri dan Singosari (1042-1292 M)
Agama yang berkembang Pada zaman ini adalah agama Wisnu, para
raja dianggap sebagai titisan Wisnu. Pada zaman ini kepustakaan Jawa Kuno
yang tidak bersifat keagamaan secara khas sangat berkembang sekali. Ada
banyak syair kepahlawanan yaitu kepustakaan kakawin.
3. Zaman kerajaan Majapahit (1293-1528 M)
Pada zaman ini agama yang berkembang adalah sinkretisme dari tiga
agama, yaitu agama Siwa, Wisnu dan Budha Mahayana. Segala macam
upacara keagamaan dalam tiga agama tersebut bisa berjalan secara
berdampingan, hal ini menandakan bahwa proses sinkretisme yang
menjadikan agama Hindu dan Budha yang dipandang sebagai bentuk yang
bermacam-macam yang ditampakkan oleh satu kebenaran. Proses sinkretisme
ini sudah dimulai pada zaman Jawa Tengah, serta dikembangkan pada zaman
Empu Sendok, Kediri dan Singosari, kemudian mencapai puncaknya pada
zaman Majapahit. Menurut orang Bali sejarah kebudayaan dan
kemasyarakatan di Bali di mulai dengan kedatangan orang-orang Majapahit di
Bali. Menurut orang-orang Bali zaman–zaman terdahulu dianggap atau
dipandang sebagai zaman yang gelap dan dikuasai oleh roh-roh jahat, serta
makhluk-makhluk yang ghaib.
Berbagai upacara keagamaan hampir setiap hari dapat disaksikan di pulau
Bali. Umat Hindu selalu melakukan upacara pancayajna, yakni lima macam
upacara yang masing-masing disebut (1) devayajna ditujukan kepada Tuhan Yang
22
Maha Esa, para dewa manifestasi Tuhan Yang Maha esa, dan roh suci para
leluhur yang dipuja melalui pura atau tempat yang dipandang suci lainnya; (2)
pitrayajna ditujukan kepada para leluhur sejak yang bersangkutan meninggal
sampai rohnya disucikan dan di-shata-kan pada pura keluarga; (3) rsiyajna
ditujukan kepada para rsi atau pandita sejak upacara inisiasi sampai yang
bersangkutan meninggal dunia; (4) manusayajna ditujukan kepada manusia sejak
bayi dalam kandungan sampai upacara penyucian diri (pawintenan); dan (5)
bhutayajna ditujukan kepada makhluk rendahan dan kekuatan-kekuatan negatif.
Bhutayajna juga disebut sebagai upacara penyucian alam semesta dari gangguan
kekuatan bhutakala, yakni roh-roh jahat yang menimbulkan masalah bagi umat
manusia, baik dalam skala besar maupun kecil.4
Kata “Tabuh Rah” adalah suatu kata majemuk yang terdiri dari kata tabuh
dan rah. Kata tabuh sama dengan kata tabur, tawur atau kata taur yang berarti
bayar. Sedangkan kata rah, berasal dari kata darah. Jadi dari uraian di atas, maka
kata tabuh rah berarti tawur darah, yaitu pembayaran dengan darah.
Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup
di masyarakat dan lebih-lebih di dalam hubungannya dengan tata cara
pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di
dalam kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu
yang taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang
4 I Made Titib, Persepsi Umat Hindu Di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Moksa Dalam
Svargarohanaparva Persepektif Kajian Budaya, (Surabaya : Paramitha, 2006), h.2.
23
mereka warisi dari leluhurnya. Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang
sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun dimasyarakat dari sejak dahulu
hingga kini, di samping juga secara filosofis mengadung arti yang penting bagi
upacara-upacara di dalam agama Hindu.
Namun, dari beberapa istilah mengenai Tabuh Rah yang biasa dilakukan
di Bali. Sampai saat kini belum ada kesamaan pendapat atau pengertian mengenai
Tabuh Rah itu. Ketidaksamaan itu juga didapati pada beberapa prasasti dan
lontar-lontar, yang ditemukan di Bali.5
1. Di dalam prasasti Bali kuno dan terutama pada prasasti Sukawan A.I.
yangberangka tahun 804 Saka (882 A.D), ada terdapat kata : “Blindarah”, Dr.
R.Goris mengartikan kata blindarah itu sebagai “blodoffer voor velerlei godsd
verrichtingen yaitu: korban darah untuk berbagai tindakan keagamaan.
2. Di dalam prasasti Batur Abang A. Yang berangka tahun 933 Saka (1011 A.
D) disebutkan sebagai berikut:
“... mwang yan pakaryyakarya, msanga kunang wgila ya manawunga
makantang tlung parahatan, i thaniya, yan pamwita, tan pawwata ring
nayaka saksi...”
Artinya “... lagi pula bila mengadakan upacara-upacara tawur kesanga,
patutlah mengadakan sabungan ayam tiga ronde (leban) di desanya, tidaklah
minta izin, tidaklah membawa (memberitahukan) kepada pemerintah...”.
5 Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, (Diterbitkan Oleh
Seksi Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Kabupaten Buleleng: 1979). h. 12-14.
24
3. Di dalam prasasti Batuan yang berangka tahun 944 Saka (1022 A.D.), ada
kalimat sebagi berikut:
“... kunang yan manawunga ing pangudwan makantang tlun parahatan, tan
pamwita ring nyaka saksi mwang sawung tunggur, tan knana minta pamli...”
Artinya “... adapun bila mengadu ayam ditempat suci dilakukan tiga ronde
(leban) tidak meminta izin kepada pemerintah dan juga kepada pengawas
sabungan, tidak dikenakan pajak...”.
4. Di dalam lontar Ciwatatwapurana, disebutkan sebagai berikut:
“mwah ri tileming ke sanga, hulun megawe yoga, teka wnang wang ing
madyapada megae taur kasowangan, denhana pranging satha, wnang nyepi
sadina ika labain sang kala daca bhumi, yanora samangkana rug ikang
wanging madyapada...”
Artinya “lagi pada tilem kesanga aku (dewa Siwa) mengadakan yoga,
berkewajibanlah orang bumi ini membuat persembahan masing-masing, lalu
adakan pertarungan ayam, dan Nyepi sehari, (ketika) itu beri hidangan sang
kala dacabhumi, jika tidak rusaklah manusia di bumi...”.
5. Di dalam lontar Sandharigama, disebutkan bahwa di dalam rangkaian
melakukan tawur atau bhutayajna disertai dengan “tetabuhan”.
Dari beberapa kutipan tersebut di atas, jelaslah adanya perbedaan istilah
yang dipergunakan di dalam korban darah yang berhubungan dengan upacara
keagamaan. Diantara istilah-istilah itu maka istilah blindarah ada persesuaiannya
dengan makna pembayaran dengan darah atau penebusan dengan darah.
25
Sedangkan istilah perang Satha dan Manawung sudah mengandung kekaburan
mengenai makna Tabuh Rah. Kekaburannya disebabkan karena bukan dititik
beratkan kepada korban darah, melainkan ditekankan kepada pertarungan ayam,
sehingga dengan demikian sering timbul anggapan bahwa Tabuh Rah itu adalah
sabungan ayam.
Jika kita perhatikan dengan seksama seluruh kegiatan keupacaraan yang
dilakukan umat Hindu di Bali, ada sesuatu yang dipahami, yang sangat dihormati,
yang diperlakukan sebagai tamu agung, yang dipandang maha suci, yakni Sang
Hyang Widhi wasa (Tuhan Yang Maha Esa) sebagai penguasa alam semesta
beserta seluruh isinya, yang dimohon hadir untuk menganugerahkan kasih sayang,
perlindungan, keselamatan, kesejahteraan hidup lahir serta bathin. Begitu juga
pada pelaksanaan Tabuh Rah sendiri.
Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup
di masyarakat dan lebih-lebih didalam hubungannya dengan tata cara pelaksanaan
upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di dalam
kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu yang
taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang
mereka warisi dari leluhurnya.
Pelaksanaan agama dipandang kurang mantap dan dirasakan seolah-olah
tidak akan mendatangkan suatu pahala yang baik, jika dilakukan tidak mengikuti
cara yang tradisional di masyarakat. Tetapi hal yang demikian itu tidak lah berarti
umat Hindu di Bali mempertahankan tradisinya secara konservatif melainkan
26
menempuh kehidupan yang fleksibel, elastis yang demikian itulah dijumpai pada
umat Hindu di Bali yang mempunyai pandangan, bahwa apa yang diwarisi dari
leluhurnya merupakan suatu pusaka suci, baik warisan itu berupa benda atau
berupa pandangan hidup. Disebabkan oleh adanya rasa bhakti dan hormat
terhadap leluhur inilah mengapa tradisi dapat dipelihara dengan baik oleh
generasi-generasi berikutnya.
Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi
berlangsung turun-temurun di masyarakat dari sejak dahulu hingga kini,
disamping juga secara filosofis mengandung arti yang penting bagi upacara-
upacara di dalam agama Hindu.
Tentang munculnya Tabuh Rah dalam hubungannya dengan upacara
bhutayajna di Bali, rupa-rupanya berpangkal pada bentuk upacara berkorban
sejak zaman purba. Kadang-kadang berkurban itu ada hubungannya dengan kaul
dan berhubungan dengan keharmonisan antar bhuanagung dan bhuanaalit dimana
hal ini terdapat adanya hubungan yang erat antara para roh leluhur dengan dunia
gaib.6
Dalam agama Hindu mitos memiliki peranan yang penting. Karena dalam
mitos tersebut diyakini, diikuti, dan bahkan menjadi pedoman serta berguna
meskipun tidak rasional bagi kita. Begitu juga dengan masalah Tabuh Rah sendiri.
Banyaknya cerita yang menggambarkan ritual tersebut yang harus dilaksanakan
6 Utarayana, Pengayam-ayaman, (Denpasar-Bali, Percetakan Offset dan Toko Buku RIA,
1993), h. 12.
27
oleh umat agama Hindu berdasarkan lontar-lontar. Meskipun banyak yang belum
atau tidak dapat dijelaskan dengan akal (rasio). Dan hingga sekarang sebagian
masyarakat Bali (umat Hindunya) masih memahami serta menghayatai
mythology, yang ternyata masih besar faedahnya itu.
Tabuh Rah biasanya dilaksanakan dalam beberapa cara dan selalu
berhubungan dengan bhutayajna atau lazim di Bali disebut dengan mecaru
(membuat upacara korban). Bhutayajna itu sering dilakukan dengan mecaru
karena makna dari bhutayajna itu adalah mengharmoniskan hubungan unsur-
unsur Panca Mahabhuta di bhuanaagung dan bhuanaalit.
Berkorban atau bersaji adalah suatu usaha untuk berhubungan dengan
dunia gaib dalam artian memberi barang sesuatu kepada dunia gaib dengan
pengaharapan untuk mendapatkan penggantiannya. Hal ini sering terlihat dengan
jelas pada beberapa agama di Indonesia sekarang dan dapat dibandingkan dengan
adanya janji atau kaul pada kepercayaan sekarang, bahwa akan mengadakan
keselamatan sesudah maksud tercapai. Selain itu juga ada juga korban yang
berupa makanan-makanan yang juga oleh manusia dipandang lezat, sehingga di
dalam pikiran manusia ada anggapan bahwa apa yang dipandang oleh enak
dirinya, juga akan digemari oleh dunia gaib atau roh-roh. Makan bersama-sama
dengan para roh-roh leluhur atau dunia gaib adalah untuk mengeratkan hubungan
manusia dengan dunia gaib atau roh-roh.
Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia, darah manusia
yang dijadikan korban kepada dunia gaib atau kekuatan alam yang maha besar
28
yang dianggap sebagai roh, selain bermaksud penebusan dosa manusia, namun
juga dianggap sebagai sarana demi eratnya hubungan manusia dengan dunia gaib
atau roh-roh itu. Di samping dijadikan korban seperti itu darah manusia juga
dimakan bersama-sama sebagai pernyataan tanda bergembira, demi eratnya
persahabatan antara sesamanya dan pula merupakan tanda turut berduka cita
sebagai pernyataan solider terhadap sesamanya yang ditimpa mala petaka.
Lalu penggunaan korban manusia diganti dengan darah binatang karena
dianggap tidak sesuai lagi dengan perikemanusiaan. Binatang korban itu yang
dipakai pengganti korban manusia adalah binatang peliharaan yang dianggap
sebagai anggota dari masyarakat, sehingga dengan demikian yang dipakai korban
adalah darah salah satu dari anggota masyarakat juga. Sehingga di dalam setiap
jenis korban di Bali dipakailah ayam sebagai binatang korban pokok, sedangkan
binatang-binatang korban lainnya adalah merupakan perubahan menurut besar
kecilnya tingkatan korban itu.
Darah pada banyak bangsa-bangsa dianggap suatu zat yang mengandung
kekuatan magis. Pada beberapa suku Dayak, tiang-tiang rumah yang baru
didirikan, dipoles dengan darah untuk memberikan kekuatan secara spiritual
kepada rumah itu. Hal itu dapat dibandingkan dengan di Bali, bilamana orang
mendirikan rumah baru, maka pada saat upacara peresmiannya (melaspas), tiang-
tiang (pilar) dari bangunan itu dipoles dengan darah ayam hitam, yang disebut
pengurip-urip, guna memberikan kekuatan spiritual dalam artian suasana baik
kepada bangunan itu. Dengan anggapan bahwa darah itu mengandung kekuatan
29
magis, sakti, paralel dengan kepercayaan bangsa purba mengenai adanya
kekuatan sakti di dalam segala hal yang luar biasa yang disebut dinamisme, maka
dari itulah manusia purba menggunakan darah sebagai sarana yang paling urgen
di dalam berkorban. Selanjutnya di dalam filsafat Hindu yang berkembang lebih
demikian, maka anggapan seperti itu lalu menjadi suatu faham yang mengandung
perlu adanya sarana-sarana untuk memelihara keseimbangan antara bhuana
agung dan bhuana alit.
Acara Tajen di Bali sudah ada sejak jaman Majapahit. Konon, Tajen
sangat lekat dengan tradisi Tabuh Rah, yaitu salah satu upacara dalam masyarakat
Hindu Bali. Upacara Tabuh Rah, ini tak ubahnya sebuah upacara persembahan
dengan mengorbankan ternak seperti ayam, babi, kerbau, atau hewan peliharaan
lain. Persembahan ini dilakukan ada yang dengan cara menyembelih bagian leher
hewan tersebut, namun ada juga dengan cara (Perang Satha) yaitu pertarungan
ayam dalam rangkaian korban suci yang melambangkan penciptaan,
pemeliharaan, dan pemusnahan dunia. Masyarakat Bali percaya bahwa perang
sata merupakan simbol perjuangan hidup. 7
Kemudian setelah masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia yang
selanjutnya berkembang dan akulturasi dengan kebudayaan asli Indonesia, bentuk
dari pada korban darah itu berbeda-beda dilakukan dibeberapa daerah di
Indonesia khususnya di Bali korban darah itu telah banyak mengalami bentuk-
7 Matatia.com, Tales from The Road: Tajen sabung Ayam di Bali,
http:// matatia.ayam_files\tajen-sabung-ayam-bali.html.
30
bentuk perkembangan disertai variasi-variasi, sehingga hal itu disebutlah dengan
berbagai istilah yang berlain-lainan seperti yang diuraikan dibeberapa prasasti dan
lontar-lontar.8
Kendatipun demikian, namun prinsip yang dikandungnya tidaklah jauh
menyimpang dari pada prinsipnya yang semula perubahan bentuk, dan istilah
korban darah itu adalah logis terjadi sebagai akibat adanya perkembangan
kebudayaan Indonesia dan meningkatnya kemampuan daya pikir bangsa
Indonesia di dalam menganalisa suatu persoalan.
C. Cara Pelaksanaan
1. Tabuh Rah
Tabuh Rah pada mulanya mempergunakan darah manusia lalu diganti
dengan darah binatang. Binatang yang dijadikan korban adalah jenis binatang
yang erat hubungannya dengan kehidupan manusia, yaitu: ayam, itik, angsa,
babi dll. Oleh sebab itu maka binatang dijadikan korban, karena binatang
adalah sebagai wakil dari anggota kelompok manusia. Maka dalam setiap
jenis caru di dipilah ayam sebagai saran yang terutama di dalam caru. Dalam
lontar Kandhapat yang dihubungkan dengan mantra-mantar tentang caru,
maka terdapat kesesuaian. Karena, ayam memiliki bermacam-macam warna,
baik memiliki satu warna dan juga ada yang berwarna campuran. Begitu juga
8 Tabuh Rah, keputusan seminar tafsir agama Hindu ke III tahun 1976, (Diterbitkan Oleh
Seksi Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Departemen Agama Kab. Buleleng, 1979), h. 12.
31
dengan bhuta yang memiliki warna yang dapat disimbolkan dengan warna
ayam yang bermacam-macam yang juga dapat mencapai keharmonisan,
karena memiliki persesuaian warna dengan bhuta itu, misal: bhuta putih
diberi caru ayam putih, bhuta abang diberi caru ayam biying, bhuta hitam
diberi caru ayam brumbun.
Pelaksanaan upacara Tabuh Rah memerlukan waktu (dewasa). Yang
umumnya dilaksanakan oleh masyarakat Bali yaitu pada pukul 12 siang pada saat
hari tilem (bulan tidak kelihatan sama sekali) atau bisa juga pada saat sore hari
pada pukul 5 sore. Prosesi Tabuh Rah adalah prosesi yang sakral, prosesi yang
suci. Ada tata cara keagamaan dan larangan-larangan atau persyaratan-
persyaratan di dalamnya. Salah satu persyaratan adalah harus ada ayam yang
kalah dan menang, karena kalau dari hasil pertarungan ayam hasilnya seri maka
pertarungan tersebut akan diulang dan pendeta akan menaburkan arak dilokasi
hingga dalam pertarungan berikutnya tidak ada hasil yang seri lagi.
Dalam penaburah darah ada beberapa macam dan disertai variasi tertentu
yakni sebagai berikut:
a. Daerah Buleleng bagian barat yaitu daerah Ngenjung, pada waktu
mengadakan yajna besar (karya agung), binatang yang dijadikan caru terlebih
dahulu dikelilingkan tiga kali ditempat upacara (mapadhapa) dan pada tiap
penjuru tempat upacara (pura), binatang korban itu ditombak-tombak
sehingga darahnya berceceran ditempat upacara. Menurut istilah disana
disebut mabayang-bayang
32
b. Di Pura Penatran Agung di desa Pangotan Daerah Tk. II Bangli, tiap-tiap lima
tahun sekali yaitu hari purnama kedasa, orang desa disana mengadakan karya
Ngasaba setelah bhatara-bhatara dalam wujud pratima-pratima atau arca-
arca dikelilingkan berjajar di balai panjang dijaba tengah, lalu seekor kerbau
hitam yang akan dijadikan korban atau caru diikatkan pada pohon yang ada di
depan balai panjang itu. Setelah kerbau itu terlebih dahulu diupacarai, lalu
ditikam dengan keris khusus untuk itu oleh seorang petugas tertentu (Jero
Bahu), sehingga darahnya membasahi tanah tempat upacara yang akan
diadakan lebih lanjut.
c. Di desa Cemagi Daerah Tk. II Badung dan juga desa-desa lainnya umumnya
Bali, setiap mengadakan pecaruan atau karya (upacara-upacara) dipura atau di
dalam perumahan, maka disaat mengakhiri pecaruan atau upacara, lalu
dilakukan penyembelihan yaitu: seekor ayam kecil atau babi butuhan
dipotong lehernya dengan keris lalu darahnya ditaburkan ditempat upacara
tersebut. Hal ini ada persesuaiannya dengan keadaan di jaman Majapahit
dahulu, dimana juga dilakukan pemotongan kepala ayam sebagai upacara
berkorban.
d. Hampir diseluruh Bali orang beranggapan bahwa tabuh rah itu adalah
sabungan ayam. Secara sepintas anggapan hal ini nampaknya beralasan juga
seperti di dalam prasasti Batur Agung A (933 Saka), prasasti Batuan (944
Saka) dengan istilah: “manawung” dan lontar Ciwatattwa purana menyebut
dengangan istilah: “perang Satha”.
33
Jadi dapat disimpulkan dalam membuat caru atau korban binatang kepada
bhuta kala terdapat berbagai variasi menurut tradisi dan kondisi setempat, karena
masing-masing desa adat di Bali, mempunyai corak kekhususan tersendiri,
sehingga sulitlah menemukan suatu bentuk upakara dan upacara yang persis
sama. Sehingga Tabuh Rah dalam bhutayajna adalah perlu bukan merupakan
suatu saran yang prinsipil karena mengandung makna mengharmoniskan
hubungan Panca Mahabhuta di bhuana agung dengan Panca Mahabhuta di
bhuana alit.
Prosesi pelaksanaan Tabuh Rah di Pura daerah Denpasar,9 bahwa setiap
pelaksanaan upacara tersebut diwajibkan menggunakan pakaian adat, dengan
membawa banten (sesaji) dan perlengkapannya yang di dalamnya terdapat
“kelapa, telor, canang sari (dupa, beras, uang kepeng), dan kelapa tadi dililit
dengan benang warna (merah, putih dan hitam), kemudian banten tersebut
diberikan kepada pemangku atau orang yang dianggap suci, barulah binatang
tersebut dikelilingkan atau dilepaskan dalam pura tempat yang akan diadakan
Tabuh Rah yang dilaksanakan dengan perang Satha hingga binatang tersebut
mengeluarkan darah pada tempat pelaksanaan Tabuh Rah (pura) tersebut, baru
setelah itu dilanjutkan dengan adu kelapa dan telur dengan disertakan ucapan
mantra-mantra oleh pemangku tersebut sebagai akhir dari sebuah ritual upacara.
Jadi dalam hal ini yang bisa dikatakan Tabuh Rah hanya ronde pertama saja.
9 Hasil pengamatan yang dilakukan penulis pada pelaksanaan ritual tabuh rah di pura Padang
Samben pada tanggal 23 September 2010 (Tilem Kesanga).
34
2. Tajen
Tajen berasal dari kata taji yang artinya susuh pada kaki ayam. Kata tajen
kadang didwi purnakan menjadi tatajen. Pengertian taji itu ada hubungannya
dengan tajam dalam bahasa Indonesia yang bermakna sesuatu yang runcing.
Adanya anggapan umum di Bali yang menyebut sabungan ayam itu adalah tajen,
dikaitkan pada taji yang dipakai oleh ayam yang akan diadu. Sehingga ada ucapan
pada masyarakat Bali dengan “metajen”.
Perang satha yang sebenarnya untuk sebuah acara bhutayajna, lama
kelamaan senang digemari oleh orang karena mengandung nila-nilai hiburan bagi
para penggemarnya. Yang menurut mereka gerak-gerik ayam pada saat bertarung
mereka anggap seni. Jadi wajar jika perang Satha tersebut digemari oleh banyak
orang jadi tidak menutup kemungkinan acara tersebut dijadikan untuk berjudi.
Jadi di sini terlah terjadi pergeseran atau erosi nilai-nilai kesakralan Tabuh Rah.
Tabuh Rah yang tadinya adalah prosesi yang sakral, oleh para penjudi dijadikan
ajang untuk bertaruh, dijadikan mata pencaharian kehidupan sehari-hari dengan
mengadakan perjudian sabung ayam yaitu sesuatu yang duniawi untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Menurut antropholog John Roberts yang melakukan penelitian terhadap
permainan-permainan atau games (tidak selalu pemainan judi) yang dimainkan
oleh bebagai suku bangsa, menunjukkan bahwa di dalam kebudayaan-kebudayaan
yang menganut permainan yang hanya mendasarkan pada untung-untungan saja
(games of chance) biasanya memiliki keperrcayaan-kepercayaan religius terhadap
35
tuhan atau roh-roh yang penuh kebaikan dan dapat memaksa, atau dengan kata
lain, permainan untung-untungan tersebut dikaitkan dengan kekuasaan
supranatual.10
Identifikasi psikologi yang mendalam tentang kaum pria di Bali dengan
ayam mereka tidak dapat dipisahkan. Bateson dan Mead mengatakan jika
dikaitkan dengan konsepsi masyarakat Bali tentang tubuh sebagai satu bagian
terpisah dari kehidupan, maka ayam di gambarkan sebagai bagian terpisah alat
ambulant genital dengan kehidupan mereka sendiri. Pada kenyataannya ayam-
ayam tersebut merupakan simbol dari kemaskulinan mereka.11
Sedang pelaksanaan Tajen sendiri, tidak menggunakan ritual upacara
layaknya tabuh. Biasanya tajen dilakukan pada tempat yang telah disediakan oleh
pura, dan pasti setiap pura memiliki wantilan dan hampir dimiliki setiap desa
adat yang berukuran 50 x 50 meter. Dibuat berundak-undak menurun ke tengah.
Tetapi persis di tengah itu dibuat meninggi lagi, inilah arena pekelahian ayam.
Arena ini bentuknya bujur sangkar dengan sisi sepuluh langkah kaki orang
dewasa. Di tengah-tengah arena, ada lagi bujur sangkar kecil bersisi satu langkah,
ditandai dengan garis.
10
Hendrik Andrianto, Perjudian Sabung Ayam di Bali,Tesis Pasca Sarjana Universitas
Indonesia, (Jakarta: 2003, Perpustakaan Umum UI) h. 18.
11
Clifford Geertz, Notes On The Balinese Cookfight,
http://itha.wordpress.com/2008/01/06/Catatan-sabung-ayam-pada-masyarakat-bali/ (tulisan diakses
pada tanggal 19 Oktober 2010).
36
Ayam yang siap dengan taji dibawa oleh “pakembar”.12
Bagi pakembar
yang fanatik, ia pasti ke tengah arena lebih awal, untuk kemudian memilih dari
arah mana ia akan melepas ayamnya. Kalau pakembar pertama berada di timur,
mau-mau tak mau pakembar yang kedua harus berada di barat.
Langkah awal adalah memperkenalkan kedua ayam kepada petarung yang
mengelilingi arena. Caranya, kedua pakembar membawa ayamnya ke tengah
bujur sangkar kecil, dihadap-hadapkan, diadu, tetapi tidak dilepas (bongbongan).
Akan kelihatan bagaimana kedua jago ini berdiri tegak dengan leher menjulang.
Atau ketika diadu perkenalan ketika sudah cukup perkenalan itu, dan pakembar
berdiri, penjudi di luar arena mulai bertaruh. Pakembar itu pun mengacung-
acungkan tangannya yang memegang ayam. Tak jarang, dia juga mencari lawan
taruhan lagi, mungkin tidak puas bertaruh dengan pakembar lawannya, apalagi
kalau ayamnya itu unggulan.
Pada setiap pertarungan, selalu ada ayam unggulan. Begitu pakembar
mengadakan perkenalan singkat berhadap-hadapan di bujur sangkar kecil,
seseorang berteriak: bihing... bihing...13
. Kalau sampai pakembar berdiri tidak
ada teriakan yang lain, berarti ayam bihing itulah ayam unggulan. Suara petaruh
12
Salah satu diantara yang mempunyai tugas dalam sebuah sabung ayam, sebagai pemegang
ayam sebelum ayam diadu dan juga harus memiliki keahlihan dalam membaca situasi apabila ingin
mengadu dan memenagkan setiap sabung ayam.
13
Penyebutan ayam dalam bahasa Bali, yang memiliki warna merah polos. Seperti ayam yang
berwarna merah bercampur warna lain disebut; Brumbun, buik, kedas, wangkas dll.
37
selanjutnya tidak lagi bihing atau menyebut nama ayam tetapi sebutan yang
mengarah ke sistem taruhan: cok, gasal, dapang, tindo, apit, satu teng.14
Seorang petaruh cukup meneriakkan sistem taruhan, dan yang berminat
melawannya tinggal mengangkat tangan, tanpa berteriak apa-apa. Jadi, petaruh
yang berpihak ke ayam bukan unggulan saja yang berteriak-teriak, karena ia
berkepentingan mengajukan penawaran sistem taruhan. Kecuali kalau dua ayam
yang bertarung itu “padu baret”.15
Dalam situasi seperti ini, nama ayam masih
sering disebut-sebut.
Dalam tajen ini ada juga posisi yang sangat vital yakni; “Saya”16
, dia
memiliki peran sebagai penengah yang menentukan menang-kalah dalam
kegiatan tersebut dan keputusannya tidak memihak salah satu diantara mereka,
sehingga sabung ayam dapat terlaksana dengan aman dan tertib. Kejujuran serta
keadilan harus dimiliki oleh “Saya”, karena dengan modal tersebut segala
keputusannya membuat para bobotoh puas dan menerima kemenangannya, serta
yang kalah menerima dengan lapang dada.
Para penjudi bisa melakukan transaksi taruhan dari jarak jauh. Tanpa
harus berhadap-hadapan. Para penjudi itu memakai kode jari tangannya,
14
System taruhan yang digunakan pada tajen. “ngelimin 5:2, apit 2:1, telewin 5:3, teludo 3:2,
cok 4:3, gasal 5:4, dapang 10:9.
15
Padu baret dalam istilah sabung ayam menyebut antara kedua ayam yang akan diadu
seimbang atau kelihatan seimbang.
16
Saya, disini bukan dalam arti aku, melainkan juri dalam acara ritual Tabuh Rah maupun
dalam Tajen. Saya disini memiliki peranan penting dalam menentukan arah kebijakan dalam sebuah
pertarungan ayam tersebut, yang dalam pemberian keputusan tidak memihak antara pemilik ayam yang
satu dengan yang lain (adil).
38
sementara uang taruhan tetap di saku atau dompet masing-masing. Kalau
pertandingan usai, justru yang kalah yang datang ketempat yang menang. Atau
kalau jarak cukup dekat, uang digulung dan dilemparkan. Dan uang yang
dilemparkan tidak akan disabet oleh orang lain yang tak berhak. Mereka masih
mengenal etika, apalagi jika kalah mereka tidak akan buru-buru kabur atau
bahkan menyelinap dan pergi. Karena mereka yakin suatu saat pasti akan bertemu
lagi ditempat lain.
Dengan melihat tabel mungkin dapat memberikan penjelasan secara
singkat perbedaan antara tabuh rah dan tajen :
NO Tabuh Rah Tajen
1 Sabungan ayam dilaksanakan
hanya 3 set (telung parahatan)
Sabungan ayam dilaksanakan lebih
dari 3 set (telung parahatan)
2 Sabungan ayam dilengkapi
dengan adu kemiri, telur,
kelapa.
Tidak dilengkapi dengan adua-aduan
kemiri, telur, kelapa.
3 Disertai upakara yajna, untuk
upacara pada suatu tempat.
Tidak disertai upakara yajna.
4 Ada toh dedamping tidak
bermotif judi sebagai
perwujudan ikhlas berkurban
untuk upacara
Ada taruhan, dengan harapa untuk
menang.
39
D. Fungsi pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen
Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun
dimasyarakat dari sejak dahulu hingga kini, di samping juga secara filosofis
mengadung arti yang penting bagi upacara-upacara di dalam agama Hindu. Tabuh
Rah erat kaitannya denga bhutayajna. Bhutayajna berarti suatu korban suci
kepada bhuta dan kala yang dalam pengertiannya adalah sesuatu kekuatan negatif
yang timbul akibat terjadi ketidak harmonisan antara macrocosmos (bhuana
agung) dengan microcosmos (bhuana alit) yang dapat dikatakan seperti makhluk
halus yang selalu menggangu ketentraman hidup manusia.
Bhuana agung dan bhuana alit yang terdiri dari lima unsur yaitu: pritiwi
(unsur zat padat), apah (unsur zat cair), teja (sinar atau panas), wayu (udara), dan
akasa (ether). Jadi antara Panca Mahabhuta di dalam bhuana agung hendaknya
senantiasa harmonis dengan Panca Mahabhuta di bhuana alit.
Selanjutnya mengenai kala, lontar Kalatattwa menyebutkan, bahwa kala
itu adalah putra Dewa Siwa yang lahir di laut. Karenanya Dewa Siwa itu disebut
Mahakala yaitu, sebutan terhadap kekuatan Dewa Siwa yang maha hebat yang
pada waktu melakukan pralina. Mahakala juga berarti energi yang maha besar. Di
dalam lontar Kalatattwa itu juga disebutkan bahwa bhuta kala apabila diaci, ia
tidak akan menggangu manusia melainkan membantunya di dalam kehidupan,
sebab bhuta kala itu bukan hanya bersifat negatif saja melainkan juga bersifat
positif.
40
Jadi dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa perlulah dijaga
keharmonisan Panca Mahabhuta itu dengan salah satu cara mengadakan aci atau
yajna. Jadi makna dari pada bhutayajna itu adalah usaha untuk
mengharmoniskan perhubungan Panca Mahabhuta di bhuana agung dengan
Panca Mahabhuta di bhuana alit.
Dalam kitab Agastya Parwa menyatakan Bhutayajna itu sebagai berikut:
“Bhuta yajna ngarania tawur muang sang kapujan ring tuwuh”
“Bhutayajna itu adalah mengembalikan (Unsur-unsur alam) dan melestarikan
tumbuh-tumbuhan”.
Itulah sesungguhnya inti dari bhutayajna menurut Agastya Parwa.
Betapun besar atau kecilnya upacara bhutayajna hendaknya jangan sampai tidak
memuat nilai universal dari bhutayajna tersebut. Dalam Sataphata Brahmana
bagian dari Rgveda bhutayajna itu adalah persembahan pada bhuta. Sembah
dalam Jawa kuna artinya menyayangi, menghormati/memuji, memohon,
menyerahkan diri dan menyatukan diri. 17
Dalam agama Hindu, tubuh manusia itu dibentuk oleh zat yang sama
dengan alam semesta, karena itu dikenal dengan istilah bhuana agung dan bhuana
alit. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang
atma). Maka, tubuh itu tak ubahnya sebagai benda rongsokan. Ibarat sampah, ia
17
I Ketut Wiana, M.Ag, Tri Hita karana menurut Konsep Hindu , (Surabaya: Paramitha,
2007), h. 165.
41
harus segera dihanguskan, supaya berbaur dengan alam semeseta. Unsur-unsur di
dalam tubuh (bhuana alit) sama seperti yang ada di jagat raya (bhuana agung).18
Pengharmonisan antara bhuana agung dan bhuana alit sebagai pencapaian
ketentraman hidup lahir dan bathin. Menurut keterangan para “sulinggih”19
yang
mengatakan bahwa bhuana agung dan bhuana alit terdapat beberapa unsur yang
dipersamakan misalnya:
1. Panca giri (bhuana agung) di India yaitu: Gunung Maliawan (timur), Gunung
Gandhamedhana (selatan), Gunung Kailsa (barat), Gunung Udaya (Utara),
Gunung Hilmawan (tengah).
2. Panca giri (bhuana agung) di Bali yaitu: Gunung Lempuyang (timur), Gunung
Uluwatu (selatan), Gunung Watukaru (barat), Gunung Beratan (utara),
Gunung Agung (tengah).
3. Panca giri (bhuana alit) ialah: jantung (timur), hati (selatan), limpa (barat),
empedu (utara), dan kumpulan hati (tengah).
4. Surya chandra atau matahari dan bulan di bhuana agung sedangkan di bhuana
alit ialah mata kanan (surya) dan mata kiri (chandra).
Bhuta kala itu ada dimana-mana dan tidak pernah tidak ada. Bhuta kala
yang riel ialah unsur-unsur yang menjadi alam semesta ini. Bhuta kala yang tidak
riel misalnya nafsu, marah, pikiran jahat dan sebagainya termasuk pula akibat-
18
Putu setia, Menggugat Bali Menelusuri Perjalanan Budaya, Cet ke- 2. (Jakarta: 1987,
Pustaka Utama), h. 35.
19
Sulinggih atau juga biasa disebut sebagai Pedanda, yang berasal dari kata “Su”yang
artinya; Baik dan “linggih” yang artinya; tempat/posisi/ketrunan/duduk. Jadi sulinggih adalah posisi
seseorang yang sangat baik atau kedudukan manusia yang tertinggi (pemimpin agama).
42
akibat yang ditimbulkan oleh bhuta kala yang riel, dan tidak riel. Karena itulah
perlu diadakan pabyakala, yakni suatu korban suci kepada bhuta kala dengan
maksud menjinakkan dan akhirnya “mempralina”20
bhuta kala itu supaya
menjadi dewa, dalam artian dari pengaruh negatif supaya berubah menjadi positif.
Itulah sebabnya setiap mengadakan yajna, didahului oleh pabyakala atau
bhutayajna diadakan lebih dahulu dengan maksud supaya tidak ada unsur-unsur
negatif yang menggangu yajna itu sehingga tidak ada rintangan untuk menuju
kesucian.
E. Implikasi sabung ayam Tabuh Rah dan Tajen terhadap masyarakat
1. Tabuh Rah
Dari segi sosiologis
Masyarakat di Bali mempunyai corak yang spesifik yang erat
pertaliannya dengan hukum adat dan juga merupakan masyarakat agraris
religius, di samping memiliki seni budaya yang bermutu tinggi. Beberapa
unsur dari adat di Bali tetap terpelihara, karena telah dirasa manfaatnya untuk
memelihara keutuhan persatuan dan kesatuan masyrakat itu sendiri yang
sangat penting artinya dan mutlak diperlukan sebagai landasan fundamentil
20
Peleburan, lenyap kembali, Dikatakan bahwa seluruh alam mengalami proses, dan jalannya
proses itu berputar-putar seperti putaran roda, atau jantra, atau cakra. Relatif dengan kehadiran kita,
maka proses itu nampaknya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kemunculan, penciptaan (Utpatti)
2. Kehadiran, menetapnya kehadiran (Sthiti)
3. Peleburan, lenyap kembali (Pralina),
Jadi tiga rangkaian proses ini merupakan sifat kehadiran ( eksistensi) alam semesta ini, bahwa
tidak ada sesuatu yang kekal dialam ini.
43
guna mensukseskan pembangunan dimasyarakat, seperti; desa, banjar, subak,
seka dan sebagainya yang diwarisi sejak dahulu, dan masih terpelihara serta
dibina hingga sekarang.
Kebiasaan yang berlaku turun-temurun dimasyarakat dan kalau
dilanggar akan dapat menimbulkan akibat hukum, merupakan salah satu
faktor yang menguatkan tradisi-tradisi adat yang ada dimasyarakat. Begitu
pula halnya dengan sabung ayam di Bali, yang merupakan tradisi turun-
temurun dari sejak dahulu sehingga, masih banyak pendapat yang merasa
enggan untuk meninggalkannya, karena mungkin telah mendarah daging
dimasyarakat.
Dalam upacara Tabuh Rah penggunaan ayam sebagai persembahan
hanya menggunakan 6 ekor ayam. Namun, jika dalam pelaksanaan upacara
tersebut ayam yang diadu pada salah satunya sudah ada yang menang maka
pelaksanaan aduan ayam Tabuh Rah tersebut dihentikan karena sudah
dianggap telah menaburkan darah sebagai wujud persembahan korban bagi
sang bhuta kala.
2. Tajen
a. Dari segi sosiologis
Sedangkan sabung ayam pada Tajen tersebut dimasukkan ke dalam
peraturan (awig-awig)21
pada sebuah banjar sehingga tradisi tersebut
21
Suatu peraturan desa atau banjar yang mengatur hak dan kewajiban warga masyarkat
disertai suatu upaya pemaksa yang tegas dan nyata. Di dalam keyakinan masyarakat adat apabila awig-
awig dilanggar maka kehidupan masyarakat akan terganggu dan terusik kedamaiannya.
44
enggan untuk ditinggalkan. Misal: ada banjar yang mengadakan sabungan
ayam yang biasanya memakai alasan Tabuh Rah maka anggota banjar
dikenakan satu ekor ayam aduan yang disebut “uran”. Dan bilamana jika
tidak mengeluarkan uran maka akan dikenakan denda. Sehingga dengan
demikian secara tidak langsung berarti mengharuskan anggotanya
mengadu ayam atau main sabungan ayam. Dan juga terdapat lontar yang
digunakan dalam sabungan ayam dari bagaimana memilih lawan, kapan
hari baik untuk mengadu ayam, pantangan yang tidak boleh dilakukan
sebelum mengadu ayam semuanya terdapat pada lontar “pengayam-
ayaman”, sehingga tidak menutup kemungkinan acara Tajen ikut atau
mengikuti cara yang telah dipaparkan dalam lontar tersebut.
b. Dari segi ekonomis
Dari segi ini sabungan ayam lebih banyak mengandung atau
menunjukkan ekses negatif. Menghambur-hamburkan harta benda semata-
mata untuk memuaskan hawa nafsu untuk berjudi. Jarang ada orang
terlihat akan jadi kaya karena menang main sabungan ayam apalagi
dengan Tajen, malahan sebaliknya. Dan juga dapat menyebabkan
seseorang yang baik dapat menjadi jahat, seseorang yang taat dan giat
dapat menjadi jahil, malas bekerja, seakan-akan dia hanya berangan-angan
bagaimana caranya dia menang, menjadi kaya hanya dengan berjudi. Dan
jika dia menang dalam permainan tidak mungkin dia akan berhenti, karena
merasa menang dia akan main terus hingga dia puas. Namun, jika kalah
45
maka akan berimbas kepada orang lain, teman sepermainan akan jadi
musuh dan juga keluarga akan kena imbas jika dia kalah. Dalam sejarah
perjudian, tidak ada orang yang kaya karena berjudi, malah sebaliknya
yang terjadi, banyak orang yang jatuh miskin karena berjudi.22
Bahkan masalah perjudian agama Hindu juga melarang masalah tersebut.
Pemerintah berwenang mengawasi agar larangan judi ditaati sebagaimana ditulis
dalam Manawa Dharmasastra.IX.221:
“Dyutam samahwayam caiwa, raja ratranniwarayet, rajanta karana wetau
dwau, dosau prithiwiksitam”
“Perjudian dan pertaruhan supaya benar-benar dikeluarkan dari wilayah
Pemerintahannya karena kedua hal itu menyebabkan kehancuran kerajaan dan
putra mahkota”.
Pada tempat sabung ayam yang pernah saya kunjungi, ada tulisan yang
terpampang yang bunyinya sebagai berikut:
Tiang matur piuning ring ide dane sane seneng ngibur sane nenten saye
mangde melinggih ring kursi mangde hiburan duene memargi antar suksme.
Artinya “Saya beritahukan kepada semuanya, bagi yang senang silahkan
melihat bagi yang tidak suka saya persilahkan untuk duduk dikursi, karena
hiburan akan segera dimulai terima kasih”.
22
Zaini Dahlan, dkk, UII, Al-Quran dan Tafsinya, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf,
1995), jilid I, Cet. I, h. 228.
46
Awig-awig yang telah dibuat oleh banjar disalah artikan, atau juga bisa
dibengkokkan.23
Seperti Tajen, yang pada mulanya sebagai prosesi yang sakaral
serta suci mengalami pergeseran. Sabungan ayam sebagai manisfestasi judi,
ternyata jalan terus. Anehnya lagi bukan hanya jalan. Artinya ada masyarakat
justru malah mengawig-awig sabungan ayam tersebut. Jika ada upacara satu
orang membawa satu ekor ayam pada hari yang telah ditentukan untuk disabung,
jika melanggar tentu akan kena denda, padahal acara tersebut telah jelas
memenuhi unsur judi. Karena ayam yang diadu bukan hanya satu ekor. Namun,
dengan dalih untuk upacara Tabuh Rah padahal sebenarnya, tidak. Itulah
mengapa masyarakat Bali terutama orang laki-laki gemar berjudi karena menurut
mereka sabung ayam adalah hiburan.
23
Wayan Windia, Meluruskan Awig-awig Yang Bengkok, (Denpasar: BP, t.th), h. 65
47
BAB III
SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen
Tradisi (kebiasaan) adalah salah satu hal yang memiliki kontribusi besar
terhadap terjadinya transformasi hukum syar‟i. Di atas kebiasaan ini, banyak
terbangun hukum-hukum fiqh dan qaidah-qaidah furu. Seperti dalam Qaidah
fiqhiyah yang kelima yakni: ( kebiasaan (tradisi) itu bisa menjadi“ (العادة مهكمة
hukum”. Berdasarkan ketentuan Rasulullah yang mengintrodusir adat kebiasaan
di masyarakat pada saat itu, apabila ada hewan piaraan di siang hari merusakkan
harta milik seseorang, maka bagi pemilik hewan tidak wajib mengganti (dlaman)
pada harta yang dirusak, karena rusaknya kebun pagar di siang hari adalah akibat
kelalaian dan keteledoran pemilik kebun, yang semestinya pada saat (siang hari)
ia menjaga kebunnya. Berbeda jika hewan piaraan tersebut merusaknya di malam
hari, maka bagi pemilik hewan tersebut wajib mengganti apa saja yang dirusak
oleh hewan piaraannya, yang semestinya ia jaga pada saat (malam hari). Lepasnya
hewan di malam hari merupakan akibat kelalaian dan keteledoran pemiliknya.1
Kata urf berasal dari kata „arafa, yaitu (عرف يعرف) sering diartikan dengan
“al-ma‟ruf” (المعرف) dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Di antara ahli bahasa
11
Ali Ahmad al-Nadwi, Al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1986), h. 256
yang dikutip dari Dr. H. Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, dengan Anglo Media, 2004), cet. Ke 1, h. 162
48
Arab ada yang menyamakan kata „adat dan „urf tersebut, kedua kata itu
mutaradif (sinonim). Seandainya kedua kata tersebut dirangkaikan dalam satu
kalimat, seperti: “hukum itu didasarkan kepada „adat dan „urf tidaklah berarti
kata sambung “dan” yang biasa dipakai sebagai kata yang membedakan antara
dua kata. Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka kata „urf adalah
sebagai penguat kata „adat.
Kata „adat dari bahasa Arab: ( ) :akar katanya ,(عا دة يعود- عاد ) yang
mengadung arti: “pengulangan” (ثكرار). Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan
satu kali, belum dinamakan „adat. Tentang berapa kali suatu perbuatan harus
dilakukan untuk sampai disebut „adat, tidak ada ukurannya dan banyak
tergantung pada bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut.
Kata „urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu
perbuatan dilakukan, tetapi dari hal segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-
sama dikenal dan diakui oleh orang banyak. Adanya kali, dan dari sudut dikenal
yang menyebabkan timbulnya dua nama tersebut. Dalam hal ini sebenarnya tidak
ada perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu
perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang
banyak; sebaliknya karena perbuatan itu sudah dikenal dan diakui orang banyak,
maka perbuatan itu dilakukan orang secara berulang kali. Dengan demikian
meskipun dua kata tersebut dapat dibedakan, tetapi perbedaannya tidak berarti.
Perbedaan antara kedua kata itu, juga dapat dilihat dari segi pandangan
artinya, yaitu: „adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan
49
dilakukan dan tidak meliputi penilaian mengenai segi baik dan buruknya
perbuatan tersebut. Jadi kata „adat ini berkonotasi netral, sehingga ada „adat
yang baik dan ada „adat yang buruk.2
Jadi, suatu kebiasaan („adat), baik yang berlaku secara umum maupun
berlaku secara khusus bisa dijadikan perangkat untuk menetapkan hukum syar‟i,
selama tidak ada nash yang melarangnya, atau ada nash, namun tidak secara
khusus (khas) melarangnya, maka suatu adat bisa dijadikan hukum.
Jika dicermati kembali sebuah tradisi yang berlangsung di Bali hingga
sekarang yang telah dijelaskan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan yang
menurut penulis adalah sangat bertentangan dengan Islam. Karena sabung ayam
tersebut bertentangan dengan syariat Islam dari cara pelaksanaan yang
menunjukkan tidak adanya rasa kasihan terhadap sesama ciptaan Allah SWT.
Pelaksanaan Tabuh Rah yang merupakan sebuah ritual upacara pada
agama Hindu merupakan sebuah keharusan yang harus dijalankan oleh
penganutnya. Karena dengan menjalankannya berarti menjaga keseimbangan
seluruh alam atau menurut mereka menjaga keseimbangan antara bhuana agung
dan bhuana alit. Namun, pelaksanaan tersebut sangat bertentangan dengan apa
yang telah tertulis dalam Al-Qur‟an yang berbunyi :
… /
Artinya: “…Dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan
(diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah. (Mengundi
nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan (Q.S. Al-Maidah,[5]:3).
2 Prof Dr. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), jil. 1, h. 362-364
50
Dan juga dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim yang berbunyi:
Artinya: “Telah diriwayatkan oleh Zuhairy ibnu Harbin dan Syuraih ibnu Yunus.
Mereka berkata dari Marwan. Berkata Zuhairy: telah diriwayatkan
dari Marwan ibnu Muawiyah al-Farariy. Telah diriwayatkan dari Abu
Thufail Amir bin Watsilah. Dia berkata: “Pada suatu hari saya sedang
berada di dekat Ali bin Abi Thalib. Tiba-tiba, ada seorang lelaki datang
kepadanya seraya berkata: „hai Amirul mu‟minin, apa yang dulu
pernah dibisikkan oleh Rasulullah SAW kepadamu?
Mendengar hal itu, Ali bin Abi Thalib marah dan berkata, “hai
sahabat, ketahuilah olehmu bahwasannya Rasulullah SAW tidak pernah
membisikkan sesuatu pun kepadaku secara rahasia kemudian beliau
sembunyikan hal itu kepada orang lain. Hanya saja, beliau telah
memberitahukan kepadaku empat hal.”
Lelaki itu bertanya lagi, “ Apakah empat hal itu ya amirul mu‟minin?”
Ali bin Abi Thalib pun menjawab, “ Pertama , Allah mengutuk orang
yang mengutuk ibu bapaknya. Kedua, Allah mengutuk orang yang
menyembelih hewan bukan karena Allah. Ketiga, Allah mengutuk orang
yang membuat kerusakan di muka bumi. Keempat, Allah akan
mengutuk orang yang mengubah tanda-tanda batas bumi.
3 Shahih Muslim syarah an-Nawawi, Kitab Tentang Hewan Buruan, Bab Tentang Hewan
Sembelihan Yang disembelih Dengan Selain Nama Allah, (Dar‟ul Hadis, tth), Juz. 7, h. 155
51
Bangsa Arab sebelum Islam merupakan masyarakat penyembah berhala.
Mereka membuat patung-patung dari kayu dan sebagainya, kemudian mereka
sembah dan mereka agung-agungkan. Dan mereka menyembelih hewan-hewan
korban untuk dipersembahkan kepada patung-patung tersebut. Sudah barang tentu
perbuatan ini adalah perbuatan yang sesat. Yang patut disembah dan diagungkan
hanyalah Allah SWT. Dan manusia dapat menyembah Allah SWT, tanpa
perantara apa pun juga. Dan jika ingin berkorban, sembelihlah korban itu,
kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada manusia yang dapat
memanfaatkannya, jangan kepada patung-patung yang tak akan dapat mengambil
manfaat apapun dari daging korban tersebut. Oleh sebab itu sangat tepatlah bila
Agama Islam melarang kaum muslimin mempersembahkan korban-korban
kepada patung-patung, kemudian Islam menetapkan bahwa korban itu adalah
untuk mengagungkan Allah, dan dagingnya dibagikan kepada sesama manusia.4
Bukan hanya sebagai sesembahan kepada Bhutakala yang telah jelas dilarang
oleh Agama Islam yang tujuan dari acara tersebut untuk berhala, prosesi Tabuh
rah telah mengalami pergeseran makna dan juga dalam pelaksanaan mengalami
penyimpangan yang semula sebagai ritual upacara yang karena melihat
pertarungan ayam bagus laiknya seni, maka dijadikan sebagai hiburan, terlebih
lagi bukan hanya hiburan melainkan telah dijadikan sebagai acara judi.
4 Departemen Agama Republik Indoneisia, Al-Qur‟an dan Tafsirnya Juz 7-8-9,(Jakarta:
Universitas Islam Indonesia, 2005), jil. 3, h.17-18
52
Islam yang merupakan agama rahmatan lil „alamin memberikan cara-cara
yang baik untuk menghormati sesama mahluk cipataan Allah. Islam mengajarkan
bagaimana cara kita untuk menghormati dan melestarikan kehidupannya. Allah
telah menekankan bahwa telah menganugerahi manusia wilayah kekuasaan yang
mencakup segala sesuatu di dunia ini, hal ini tertuang dalam surat Al-Jatsiyah 45:
13
/
Artinya: “Dan Dia telah menundukkan untukmu segala apa yang ada di langit
dan segala apa yang ada di muka bumi; semuanya itu dari Dia;
sesungguhnya di dalam yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berfikir”. (Q.S. Al-Jatsiyah,[45]:13)
Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa manusia memiliki
kekuasaan mutlak (carte blance) untuk berbuat sekendak hatinya dan tidak pula
memiliki hak tanpa batas untuk menggunakan alam sehingga merusak
keseimbangan ekologisnya. Begitu pula ayat ini tidak mendukung manusia untuk
menyalahgunakan binatang untuk tujuan olahraga maupun untuk menjadikan
binatang sebagai objek eksperimen yang sembarangan. Ayat ini mengingatkan
umat manusia bahwa sang pencipta telah menjadikan semua yang ada dialam ini
(termasuk satwa) sebagai amanah yang harus mereka jaga.
53
Al-Qur‟an berkali-kali mengingatkan bahwa kelak manusia akan
mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka di dunia, seperti yang
termaktub dalam ayat berikut :
/
Artinya: “Barang siapa melakukan amal saleh, maka (keuntungannya) adalah
untuk dirinya sendiri dan barang siapa melakukan perbuatan buruk,
maka itu akan mengenai dirinya sendiri. Dan kelak kamu semua akan
kembali kepada Tuhanmu (Q.S. Al-Jatsiyah, [45]: 15)
Karena itu, umat manusia harus memanfaatkan segala sesuatu menurut
cara yang bisa dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini, Muhammad Fazlur
Rahman Anshari menulis: Segala yang di muka bumi ini diciptakan untuk kita,
maka sudah menjadi kewajiban alamiah kita untuk : menjaga segala sesuatu dari
kerusakan, Memanfaatkannya dengan tetap menjaga martabatnya sebagai ciptaan
Tuhan, dan melestarikannya sebisa mungkin yang dengan demikian, mensyukuri
nikmat Tuhan dalam bentuk perbuatan nyata.5
Tradisi sabung ayam pada masyarakat Bali telah lama berlangsung dan
hingga sekarang pun kebiasaan tersebut masih sering dilakukan. Baik dalam
upacara Tabuh Rah maupun dengan Tajen yang marak dengan para
“Babotohnya”. Meskipun upacara Tabuh Rah bagi mereka penganut Agama
Hindu merupakan sebuah cara penghambaan kepada Tuhannya, namun cara
5 Sayyid Herlan, Hukum Mengadu Hewan Dalam Islam,
http://sayyidherlan24.wordpress.com/2010/09/08/hukum-mengadu-hewan-dalam-pandangan-islam/
(Artikel ini diakses pada 06 November 2010).
54
pelaksanaan yang dengan cara menyabungkan ayam dengan diberikannya taji
dikaki ayam tersebut sehingga salah satu ayam tersebut meneteskan darah dan
dianggap kalah. Sedangkan fungsi dilaksanakannya upacara tersebut menurut
agama Islam bertentangan dengan apa yang yang ada di dalam Al-Qur‟an, yakni
manusia tidak mamiliki kekuasaan yang mutlak atas seluruh yang ada di muka
bumi ini. Harusnya manusia bisa menjaga dan memelihara sesame makhluk
ciptaan Allah bukan malah sebaliknya. Begitu juga dengan tradisi Tabuh Rah juga
bertentangan dengan Agama Islam, sebagaimana yang telah ditulis di atas
penyembelihan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah atau pun
menggunakan cara disabung sama-sama dilarang, terlebih lagi hewan tersebut
disembelih atau disabung untuk berhala.
B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam
Al-maisir atau judi dalam bahasa Arab mempunyai beberapa pengertian di
antaranya adalah: lunak, tunduk, keharusan, mudah, gampang, kaya, membgai-
bagi. Ada yang mengatakan kata al-maisir berasala dari kata yasara ( يسر ) yang
artinya keharusan. Makna ini mengingatkan kita kepada adanya keharusan bagi
siapa saja yang kalah dalam bermain al-maisir atau judi untuk menyerahkan
sesuatu yang dipertaruhkan kepada pihak yang menang. Ada yang mengatakan
kata al-maisir berasal dari kata yasrun ( يسر ) yang artinya mudah, dengan
analisis bahasa karena al-maisir merupakan upaya dan cara untuk mendapatkan
rizki dengan mudah, tanpa susah payah. Ada lagi yang mengatakan bahwa kata
55
al-maisir berasal dari kata yasarun ( يسار ) yang artinya kaya , dengan analisa
bahasa karena dengan permainan itu akan menyebabkan pemenangnya menjadi
kaya. Adapula yang berpendapat kata al-maisir berasal dari kata yusrun ( يسر )
yang artinya membagi-bagikan daging onta. Hal ini sesuai dengan sifat al-maisir
yang ada pada masa jahiliyah yang karenanya ayat al-Qur‟an itu diturunkan, di
mana mereka membagi-bagi daging onta menjadi dua puluh delapan bagian.
Dalam bahasa Arab al-maisir sering juga disebut qimar jadi, al-maisir dan qimar
artinya sama. Qimar sendiri artinya taruhan atau perlombaan.6
Menurut bahasa Indonesia judi adalah permainan dengan menggunakan
uang sebagai taruhan, seperti main dadu, kartu dan lain-lain.7
Menurut pendapat Muhammad as-Sayis adalah al-maisir dari kata taisir
yang berarti yang memudahkan, yaitu suatu cara pembagian yang didasarkan atas
kesepakatan sebagaimana yang dilakukan pembagian dalam judi.8
Perjudian adalah taruhan, suatu bentuk permainan untung-untungan dalam
masalah harta benda yang dapat menimbulkan kerugian dan kerusakan pada
semua pihak.9
6 Ibrahim Hosen, Apa itu Judi?, (Jakarta: Institut Ilmu Al-Qur‟an, 1986), cet, h. 25
7 Anton M. Moeliono, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988),
cet. Ke I, h. 367
8 Muhammad Ali as-Sayis, Tafsir Ayat Ahkam, (Misra: Ali Assabais, 1953), jilid ke-2, h. 207
9 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994), cet. 1, h.
142
56
Terdapat definisi maisir menurut istilah yang telah dirumuskan oleh para
ulama. Di antaranya adalah;
1. Definisi menurut Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki dalam
tafsir al-Shawi.
Artinya: Maisir adalah qimar, yaitu alat-alat permainan yang dipermainkan
untuk mendapatkan uang.
2. Definisi menurut Yusuf al-Qardhawi
Artinya: Setiap permainan yang mengandung taruhan adalah haram. Qimar
adalah setiap permainan yang pemainnya bisa untung dan rugi.
3. Definisi menurut Imam Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim
Artinya: Setiap permainan yang padanya ditentukan yang menang
mendapatkan apa saja dari yang kalah, apakah itu berupa barang
berharga atau yang lainnya.
10
Ahmad bin Muhammad al-Shawy al-Maliki, Hasyiah al-Maliki „Ala al-jalalain,
(Semarang: Toha Putra, t.th), Jilid 1, h. 90
11
Yusuf al-qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1999), h. 409
12
Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim, Tafsir Khazin, (Mesir: Musthafa, al-Babi al-
Halabi, 1995), Jilid 1, h. 21
57
4. Hasbi ash-Shiddieqi mengartikan judi dengan :
“Segala bentuk permainan yang ada wujud kalah-menangnya; pihak
yang kalah memberikan sejumlah uang atau barang yang disepakati sebagai
taruhan kepada pihak yang menang”. Lebih lanjut dikatakannya, segala
permainan yang mengandung unsur untung-untungan termasuk judi, dilarang
syara”.13
,
5. Definisi maisir menurut al-Syaukany:
Artinya: Setiap permainan dimana orang yang bermain tidak sunyi dari
menang atau kalah maka dinamakan maisir.
6. Hamka menyatakan dalam tafsir Al-Azhar, judi adalah:
“Segala permainan yang menghilangkan tempo dan melalaikan waktu dari
membawa taruhan, termasuk di dalamnya segala permainan judi, seperti koa
kim, domino, kartu, rollet, dadu atau segala macam permainan yang bisa
memakai pertaruhan”.15
7. Seorang ulama fiqh Indonesia, Ibrahim Hosen, berpendapat :
“Bahwa yang dimaksud dengan al-maysir itu adalah suatu permainan yang
mengandung unsur taruhan yang dilakukan secara berhadap-hadapan /
langsung antara dua orang atau lebih”.16
13
Kafrawi Ridwan, Ensiklopedia Islam I, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 297
14
Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukany, Nail al-Authar, (Kairo: Maktabah al-
Iman, t.th), Jilid 8, h. 102
15
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustama Panjimas, 1984), Jilid 7, h. 39
16
Ibrahim Hosen, Apakah Judi itu?,(Jakarta: Lembaga Kajian Ilmiyaha IIQ, 1987), h. 30
58
Namun, penulis di sini coba menyanggah tentang pendapat Ibrohim
Hosen, yang memberikan pendapat tentang pengertian judi. Yang menurut beliau
judi dilakukan secara berhadap-hadapan. Menurut penulis, judi tidak hanya dapat
dilakukan secara berhadap-hadapan, tetapi lebih baik jika esensinya dititik
beratkan adanya orang yang menang dan ada juga yang kalah. Tidak dilihat dari
cara melakukan judi tersebut.
Mengenai pengharaman meminum khamar, para ahli tafsir berpendapat
bahwa ayat ini merupakan taraf terakhir dalam menentukan hukum haramnya
meminum khamar. Menurut mereka, Al-Qur‟an mengemukakan hukum
meminum khamar dan maisir itu dalam tiga tahap.
Pertama, dengan firman Allah:
/
Artinya : Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah:
“Pada keduanya terrdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi
manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan
mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah:
“yang lebih dari keperluan.”Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir. (QS. Al-Baqarah, [2]:219).
Ayat ini turun pada permulaan Islam, di mana iman kaum Muslimin
belumlah begitu kuat untuk dapat meninggalkan apa yang telah menjadi
kegemaran dan kebiasaan mereka, yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh
59
agama Islam. Maka setelah turun ayat ini, sebagian dari kaum Muslimin telah
menghentikan meminum khamar Karena ayat tersebut telah menyebutkan adanya
dosa besar pada perbuatan itu.
Tapi sebagian lagi masih terus meminum khamar, karena menurut
pendapat mereka ayat itu belum melarang mereka dari perbuatan itu, apalagi
karena ia masih menyebutkan bahwa khamar itu mengandung banyak manfaat
bagi manusia.
Kedua, ialah firman Allah:
/
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk… (QS. An-Nisa, [4]: 43)
Karena ayat ini melarang mereka melakukan shalat dalam keadaan mabuk,
maka ini berarti bahwa mereka tidak dibolehkan meminum khamar sebelum
shalat, supaya mereka dapat melakukan shalat itu di dalam keadaan tidak mabuk.
Setelah turun ayat ini, mereka tidak dapat lagi meminum khamar sejak sebelum
zhuhur, sampai selesainya shalat isya‟, karena waktu zhuhur dan ashar adalah
bersambungan, dan masa yang pendek. Demikian pula antara ashar dan maghrib,
dan antara naghrib dengan isya‟. Apabila mereka meminum khamar sesudah
shalat zhuhur, atau maghrib, niscaya tak cukup waktu untuk menunggu
sembuhnya mereka dari mabuk. Sehingga dengan demikian mereka tak akan
dapat melakukan shalat dalam keadaan sadar, sedangkan Allah telah melarang
mereka melakukan shalat dalam keadaan mabuk.
60
Orang-orang yang hendak meminum khamar juga hanya mendapat
kesempatan sesudah shalat isya‟ dan sesudah shalat shubuh. Karena jarak antara
isya‟ dan shubuh dan antara shubuh dan zhuhur adalah cukup panjang.
Ketiga, kemudian, setelah iman kaum Muslimin semakin kuat, dan telah
matang jiwa mereka untuk dapat meninggalkan apa yang tidak diperbolehkan
agama, maka turunlah ayat 90 91- surat Al-Maidah ini:
/
Artinya: Hai orang-orang yang beriman. Sesunggunya (meminum)khamar,
berjudi (berkoban untuk) berhala, mengundi nasib dengan memanah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian
diantara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka
berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu) (QS. Al-Maidah,
[5]:90-91).
Sedangkan dengan tahapan pertama tentang judi terdapat dalam firman
Allah, yakni surat Ar-Rum
61
/
Artinya: Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi. Di negeri yang
terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam
beberapa tahun lagi, bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah
(mereka menang), dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu
bergembiralah orang-orang yang beriman. Karena pertolongan Allah.
Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha
perkasa lagi Maha Penyayang. (sebagai) janji yang sebenar-benarnya
dari Allah. Allah tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja)
dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat
adalah lalai (QS. Ar-Rum, [21]:1-7)
Ayat ini diturunkan di Mekkah dan ayat ini menerangkan bahwa bangsa
Rumawi telah dikalahkan oleh bangsa Persia di negeri yang dekat dengan kota
Mekkah, yaitu negeri Syiria. Beberapa tahun kemudian setelah mereka
dikalahkan, maka bangsa Rumawi akan mengalahkan bangsa Persia sebagai
balasan atas kekalahan itu.
Yang dimaksud dengan bangsa Rumawi dalam ayat ini ialah kerajaan
Rumawi Timur yang berpusat di Konstantinopel. Bukan kerajaan Rumawi Barat
yang berpusat di Roma. Kerajaan Rumawi Barat, jauh sebelum peristiwa yang
diceritakan dalam ayat ini terjadi, sudah roboh, yaitu pada tahun 476 Masehi.
Bangsa Rumawi beragama Nasrani (Ahli Kitab), sedang bangsa Persia beragama
Majusi (musyrik).
62
Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Persia beragama Majusi,
menyembah api, jadi mereka memperserikatkan tuhan. Orang-orang Mekkah juga
mempersekutukan Tuhan (musyrik) dengan menyembah berhala. Oleh karena itu
mereka merasa agama mereka dekat dengan agama bangsa Persia, karena sama-
sama mempersekutukan Tuhan. Kaum Muslimin merasa agama mereka dekat
dengan agama Nasrani, karena mereka sama-sama menganut agama Samawi.
Karena itu kaum musyrik Mekkah bergembira atas kemenangan itu, sebagai
kemenangan agama politheisme yang mempercayai banyak Tuhan, atas agama
Samawi yang menganut agama Tauhid. Sebaliknya kaum Muslimin waktu itu
bersedih hati karena sikap menentang dari kaum musyrik Mekkah semakin
bertambah, mereka mencemooh kaum Muslimin dengan mengatakan bahwa
dalam waktu dekat mereka akan hancur pula, sebagaimana hancurnya bangsa
Rumawi yang menganut agama Nasrani itu. Kemudian turunlah ayat ini yang
menerangkan bahwa bangsa Rumawi yang kalah itu, akan menglahkan bangsa
Persia yang baru saja menang itu dalam kurun waktu yang tidak lama, hanya
beberapa tahun lagi.
Diriwayatkan bahwa tatkala sampai berita kekalahan bangsa Rumawi oleh
bangsa Persia itu kepada Rasulullah saw dan para sahabatnya di Mekkah, maka
merekapun merasa bersedih, karena kekalahan itu berarti kekalahan bangsa
Rumawi yang menganut agama Nasrani yang termasuk agama Samawi dan
kemenangan bangsa Persia yang beragama Majusi yang termasuk agama syirik.
Orang-orang musyrik Mekkah yang dalam keadaan bergembira itu menemui para
63
sahabat nabi dan berkata: “Sesungguhnya kamu adalah ahli kitab dan orang
Nasrani juga ahli kitab, sesungguhnya saudara kami bangsa Persia yang sama-
sama menyembah berhala dengan kami telah mengalahkan saudara kamu itu.
Sesungguhnya jika kamu memerangi kami tentu kami akan mengalahkan kamu
juga. Maka turunlah ayat. Maka keluarlah Abu Bakar menemui orang-orang
musyrik, ia berkata: “bergembirakah kamu karena kemenangan saudara-saudara
kamu atas saudara-saudara kami? Janganlah kamu terlalu bergembira, demi Allah
bangsa Rumawi benar-benar akan mengalahkan bangsa Persia, sebagaimana yang
telah dikabarkan oleh Nabi kami”. Maka berdirilah Ubay bin Khalaf menghadap
Abu Bakar dan ia berkata: “Engkau berdusta”. Abu Bakar menjawab: “Engkaulah
yang paling berdusta hai musuh Allah. Maukah kamu bertaruh17
, dengan sepuluh
ekor unta muda. Jika bangsa Rumawi menang dalam waktu tiga tahun yang akan
datang, engkau berhutang kepadaku sepuluh ekor unta muda, sebaliknya jika
bangsa Rumawi kalah, maka aku berhutang kepadamu sebanyak itu pula”.
Tantangan bertaruh itu diterima Ubay. Kemudian Abu Bakar menyampaikan hal
tersebut kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menjawab: “Tambahlah jumlah
taruhan itu dan perpanjanglah waktu menunggu”. Maka Abu Bakar pun pergi, lalu
bertemu Ubay. Maka Ubay berkata kepadanya: “Barangkali engkau menyesal
dengan taruhan itu”. Abu Bakar menjawab: “Aku tidak menyesal sedikitpun,
marilah kita tambah jumlahnya dan diperpanjang waktunya sehingga menjadi
17
Bertaruh, semacam berjudi. Waktu Abu Bakar mengajak Ubay bin Khalaf bertaruh itu, judi
belum diharamkan. Judi diharamkan setelah Rasulullah hijrah ke Madianah
64
seratus ekor unta muda, dan waktunya sampai Sembilan tahun”. Ubay menerima
tantangan Abu Bakar, sesuai dengan anjuran Rasulullah kepada Abu Bakar.
Tatkal Abu Bakar akan hijrah ke Madinah, Ubay minta jaminan atas taruhan itu,
seandainya bangsa Rumawi dikalahkan nanti. Maka Abdurrahman putera Abu
Bakar menjaminnya. Tatkala Ubay akan berangkat perang Uhud, Abdurrahman
minta jaminan kepadanya, seandainya bangsa Persia dikalahkan nanti, maka
Abdullah putera Ubay menjaminnya. Tujuh tahun setelah pertaruhan itu bangsa
Rumawi mengalahkan bangsa Persia dan Abu Bakar menerima kemenangan
taruhannya dari ahli warisnya Ubay karena dia mati dalam peperangan Uhud
tersebut. Kemudian beliau pergi menyampaikan hal itu kepada Rasulullah saw.
Sejarah mencatat bahwa tahun 622 Masehi, yaitu setelah tujuh tahun atau
delapan tahun kekalahan bangsa Rumawi dari bangsa Persia itu, mulailah
peperangan baru antara kedua bangsa itu untuk kedua kalinya. Pada permulaan
terjadinya peperangan itu telah Nampak tanda-tanda kemenangan bangsa
Rumawi. Sekalipun demikian, ketika sampai kepada kaum musyrik Mekkah
berita peperangan itu, mereka masih mengharapkan kemenangan berada di pihak
Persia. Karena itu Ubay bin Khalaf ketika mengetahui hijrahnya Abu Bakar ke
Madinah, ia minta agar putera Abu Bakar, yaitu Abdurrahman menjamin taruhan
ayahnya, jika Persia menang. Hal itu diterima olah Abdurrahman.
Islam melarang bermain judi, karena permainan judi itu dapat
menimbulkan permusuhan dan pertentangan antara pemain-pemain itu sendiri.
Kendati nampak dari mulutnya bahwa mereka telah saling merelakan sebab
65
bagaimanapun akan selalu ada pihak yang menang dan yang kalah, yang dirampas
dan yang merampas. Sedang yang kalah apabila diam, maka diamnya itu penuh
kebencian dan sangat kecewa. Dia marah karena angan-angannya tidak dapat
tercapai. Dia sangat kecewa karena taruhannya itu sial. Kalau dia kalah, maka dia
akan menyalahkan dirinya sendiri, karena derita yang dialami dan tangannya yang
menaruhkan taruhannya dengan membabi buta.18
Sebagaimana Hadist yang
diriwayatkan oleh Muslim:
Artinya:” Dan telah diriwayatkan oleh Zuhair ibn Harbin. Telah diriwayatkan
oleh Husyaim. Telah dikabarkan kepadaku oleh Abu Bisryi dari Said
bin Jubair, dia berkata, “Pada suatu ketika, Abdullah bin Umar bin
Khattab berjalan melewati sekelompok anak-anak muda kaum Quraisy
yang sedang memancang seekor burung untuk dijadikan sasaran panah
mereka. Lebih dari ittu, mereka pun menjadikan mainan itu sebagai
ajang taruhan. Begitu melihat Ibnu Umar datang, mereka serentak
menghentikan perbuatan mereka tersebut. Lalu Ibnu Umar berkata
kepada mereka, “siapakah yang melakukan perbuatan ini? Allah akan
mengutuk orang yang berani melakukan perbuatan ini. Sesungguhnya
Rasulullah SAW juga mengutuk orang yang menjadikan binatang hidup
sebagai sasaran anak panah.”
18
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam Alih Bahasa Mu‟amal Hamidi,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999), h. 418 19
Shahih Muslim syarah an-Nawawi, Kitab Tentang Hewan Buruan dan Hewan Sembelihan,
Bab Tentang Larangan Memancang Ternak, (Dar‟ul Hadis, tth), Juz. 7, h. 121.
66
Dan bahaya yang ditimbulkan pada orang-orang yang suka berjudi selalu
berharap akan memperoleh kemenangan. Oleh sebab itu ia tidak pernah jera dari
perbuatan itu, selagi ia masih mempunyai uang, atau barang yang akan
dipertaruhkannya. Dan pada saat ia kehabisan uang atau barang, ia akan berusaha
untuk mengambil hak orang lain dengan jalan yang tidak sah. Betapa banyaknya
ditemui pegawai jawatan atau perusahaan yang telah mengkorup uang jutaan atau
uang perusahaan yang habis dimeja judi. Di antara para penjudi-penjudi itu
sendiri timbul rasa permusuhan, karena masing-masing ingin mengalahkan
lawannya, atau ingin membalas dendam kepada lawan yang telah
mengalahkannya. Di samping itu, seorang penjudi sudah terang tidak akan dapat
beribadah, karena mereka yang sedang asyik berjudi, tidak akan menghentikan
perjudian itu untuk melakukan ibadah, sebab hati mereka sudah tunduk kepada
setan yang senantiasa berusaha untuk menghalang-halangi manusai beribadat
kepada Allah SWT.20
Namun, ada banyak pendapat yang menerangkan tentang illat maisir atau
judi di dalam buku-buku fiqh Syafi‟i. Sebagaimana dalam Al-Iqna‟
20
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Tafsirnya Juz 7-8-9, (Jakarta:
Universitas Isalam Indonesia, 2005), Jil. 3, h. 19-20
21
Muhammad as-Syarbiny al-Khotib, al-Iqna‟ Fi hal al-faadha abi Syizaaiy, (Dar al-Fikri:
tth), Kitabussabqy wa al-Ramyi, hal. 598
67
Artinya: “Dan apabila kedua orang yang berlomba pacuan kuda itu
mengeluarkan taruhannya secara bersam-sama (artinya, siapa yang
kalah harus memberi kepada yang menang), maka dalam kondisi
semacam itu tidak boleh. Kecuali apabila keduanya tadi memasukkan
muhallil, maka hal itu diperbolehkan apabila kuda yang dipakai oleh
muhallil itu sepadan dengan kuda kedua orang yang berpacu tersebut.
Pihak ketiga yang menjadi penengah tadi dinamakan muhallil, karena
ia berfungsi untuk menghalalkan aqad, dan mengeluarkannya dari
bentuk judi yang diharamkan”.
Dalam hal ini dapat kita contohkan sebagai berikut: ada dua orang yang
gemar naik motor dan selalu memacu motornya dengan kecepatan tinggi. Pada
suatu hari dia mencoba menantang seseorang yang sama memiliki hobi memacu
kendaraan dengan kecepatan tinggi. Pada saat yang ditentukan mereka telah
berkumpul dan siap dengan motor serta taruhannya. Dalam taruhan ini mereka
mengeluarkan duit Rp. 1.000.000., jia salah menang akan mendapatkan Rp.
2.000.000,. namun, mereka memerlukan seorang wasit untuk menentukan siapa
yang menang dan siapa yang kalah, dan juga terhindar dari judi. Jadi maksud dari
kutipan tulisan yang penulis ambil buku fiqh Syafi‟I di atas ialah; dengan adanya
muhallil, judi yang awalnya haram akan menjadi boleh. Karena dengan adanya
muhallil ia berfungsi menghalalkan aqad, dang mengeluarkannya dari bentuk judi
yang diharamkan.
Sanksi pidana dalam bahasa Arab disebut “uqubah”, lafaz uqubah menurut
bahasa adalah berasal dari kata عقب yang sinonimnya artinya جزاه سواء بما فعل
membalasnya sesuai dengan apa yang dilakukannya.
Adapun pengertian hukuman sebagaimana dikemukan oleh Abdul Qodir
Audah adalah:
68
Artinya: Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan
masyarakat, karena adanya pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-
ketentuan syara.
Masalah judi Tajen yang hingga sekarang masih tetap berlangsung pada
acara tertentu seperti pada hari Nyepi untuk Agama Hindu. Acara tersebut banyak
dihadiri oleh orang-orang tidak hanya dari lingkungan wilayah sekitar tapi juga
dihadiri oleh masyarakat luar dari daerah tersebut. Masalah perjudian dapat
digolongkan dalam tindak pidana Ta‟zir. Ta‟zir dalam hukum Islam adalah
hukuman atas tindak pidana yang hukumannya belum ditentukan oleh syara‟
tetapi sepenuhnya diserahkan atau ditentukan oleh Hakim (Ulil Amri).22
Yang
dimaksud dengan ta‟zir ialah ta‟dib, yaitu memberi pendidikan (pendisiplinan).
Hukum Islam tidak menentukan macam-macam hukuman tiap-tiap tindak pidana
ta‟zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang paling ringan
sampai yang paling berat. Tindak pidana ta‟zir meliputi tindak pidana hudud,
qishash atau diyah, atau tidak memenuhi syarat tetapi sudah merupakan maksiat.
Kemudian tindak pidana yang ditentukan oleh Al-Qur‟an dan Al-Hadits, namun
tidak ditentukan sanksinya. Selanjutnya tindak pidana yang ditentukan oleh Ulil
Amri untuk kemaslahatan umat.
Hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman yang sesuai
dengan macam tindak pidana ta‟zir serta keadaan sipelaku. Singkatnya hukuman-
hukuman tindak pidana ta‟zir tidak mempunyai batasan-batasan tertentu.
22
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 249
69
Meskipun demikian, hukum Islam tidak memberi wewenang kepada penguasa
atau hakim untuk menentukan tindak pidana setengah hati, tetapi harus dengan
kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan nash-nash
(ketentuan) serta prinsip umum hukum Islam. Dari keterangan di atas, jelas bahwa
tidak ada satu kejahatan pun yang tidak dikenakan sanksi atau hukuman.23
Ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum Islam jarimah
ta‟zir bentuk dan macamnya sudah ditentukan oleh nash, tetapi hukumannya
diserahkan kepada manusia (penguasa), dan jarimah ta‟zir ini tidak berubah dan
harus dipandang sebagai jarimah untuk selama-lamanya. Oleh karena itu hukum
ta‟zir boleh dan harus ditetapkan dengan ketentuan kemaslahatan.
Adapun bentuk-bentuk hukuman ta‟zir sebagaimana dijelaskan oleh
Ahmad Hanafi yaitu 24
:
1. Hukuman Mati
Pada dasarnya menurut syari‟at Islam hukum ta‟zir adalah untuk
memberikan pengajaran (Al-Ta‟dib) dan tidak sampai membinasakan, oleh
karena itu dalam hukuman ta‟zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan
atau penghilangan nyawa, akan tetapi kebanyakan fuqaha membuat suatu
pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkannya
hukuman tersebut jika kepentingan umum menghendaki demikian, atau jika
23
Abdul Qodir Audah, At-Tasyri‟ al-jina‟i al-Islamy Muqaranan bil Qanunil Qad‟iy,
Terj.Ashin Sakho Muhammad, dkk., Ensikloped Hukum Islam. Jld 1, h. 100
24
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islamaa, (Jakarta: Bulan Bintang, 2005), h. 299-
316
70
pemberantasan kejahatan tidak bisa terlaksana kecuali dengan jalan
membunuhnya; seperti mata-mata, pembuat fitnah, dan residivis yang
berbahaya.
Oleh karena hukuman mati suatu pengecualian hukuman ta‟zir, maka
hukuman tersebut tidak boleh diperluas atau diserahkan kepada hakim seperti
halnya hukuman-hukuman ta‟zir yang lain, dan penguasa harus menentukan
macamnya jarimah yang dijatuhkan hukuman mati tersebut.
2. Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk merupakan hukuman yang pokok dalam syari‟at
Islam, dimana untuk jarimah-jarimah hudud sudah tertentu jumlahnya
misalnya seratus kali untuk jarimah zina delapan puluh kali untuk qadzaf,
sedang untuk jarimah ta‟zir yang berbahaya hukuman cambuk lebih
diutamakan. Sebab-sebab diutamakannya hukuman tersebut dikarenakan;
Pertama, Lebih banyak berhasil dalam memberants orang-orang
penjahat yang biasa melakukan jarimah.
Kedua, Hukuman cambuk mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi
dan batas terendah dimana hakim bisa memilih jumlah cambukan yang
terletak antara keduanya yang lebih sesuai dengan keadaan pembuat.
Ketiga, Dari segi pembiayaan pelaksanaannya tidak merepotkan
keuangan Negara dan tidak pula menghentikan daya usaha pembuat ataupun
menyebabkan keluarganya terlantar, sebab hukuman cambuk bisa
dilaksanakan seketika dan sesudah itu pembuat bisa bebas.
71
Keempat, Dengan hukuman cambuk pembuat bisa terhindar dari
akibat-akibat buruk penjara.
Adapun batasan tertingga hukuman cambuk adalah:
Menurut pendapat yang terkenal di kalangan ulama-ulama Maliki,
batas tertinggi diserahkan kepada penguasa, karena hukuman ta‟zir didasarkan
atas kemaslahatan masyarakat dan atas berat ringan jariamh. Berdasarkan
pikiran ini, maka Imam Malik memperbolehkan penjatuhan hukuman lebih
dari seratus kali cambukan.
Ulama-ulama Hanafiah, yaitu Imam Abu Hanifah dan Muhammad
mengatakan bahwa batas tertinggi hukuman cambuk dalam jarimah ta‟zir
adalah tiga puluh sembilan kali, sedang menurut Abu Yusuf adalah tujuh
puluh lima kali. Perbedaan pendapat tersebut berpangkal pada hadits
Rasulullah SAW:
“Barang siapa mencapai had (batas tertinggi) bukan pada jarimah
hudud, maka ia termasuk orang yang salah”.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad, kata-kata “had”(batas
tertinggi) pada hadits tersebut ialah setiap “batas tertinggi” apa saja,
sedangkan empat puluh cambukan merupakan batas tertinggi bagi seorang
hamba yang melakukan jarimah qhazaf (memfitnah). Kalau jarimah tersebut
dikurangi satu maka akan menjadi batas tertinggi hukuman ta‟zir, yaitu tiga
pulu sembilan kali.
Bagi Abu Yusuf kata-kata “had” ialah batas tertinggi bagi orang-
orang merdeka, dan sedikit-sedikitnya adalah delapan puluh kali cambuk.
72
Seharusnya batas tertinggi jarimah ta‟zir adalah tujuh puluh sembilan kali
cambuk, dan mengurangi satu kali. Akan tetapi, abu Yusuf memegangi
tindakan Ali bin Abi Thalib r.a yang menjadikan batas tertinggi hukuman
ta‟zir adalah tujuh puluh lima kali, dengan dikurangi lima kali cambukan dari
batas terendah orang merdeka.
Dikalangan madzhab Syafi‟iyah ada tiga pendapat. Pendapat pertama
dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan Muhammad, dan pendapat yang
kedua sama dengan pendapat Abu Yusuf. Pendapat ketiga mengatakan
hukuman cambuk dalam ta‟zir boleh lebih dari tujuh puluh lima kali, tetapi
tidak sampai seratus kali. Dengan syarat bahwa ta‟zir yang hampir sejenis
dengan jarimah hudud yang dijatuhi hukuman hudud. Jadi misalnya jarimah
bermain-main dengan orang-orang perempuan tidak dijatuhi hukuman seperti
perbuatan zina, yaitu; seratus kali, melainkan harus kurang.
3. Hukuman Penjara Terbatas (Kawalan Terbatas)
Ada dua macam hukuman kawalan dalam Islam yaitu:
a. Hukuman kawalan terbatas, batas terendah bagi hukuman ini adalah satu
hari, sedang batas setinggi-tingginya tidak menjadi kesepakatan. Ulama
Syafi‟iyah menetapkan batas tertinggi satu tahun, karena mereka
mempersamakannya dengan persaingan dalam jarimah zina. Kalau
jarimah had, fuqaha-fuqaha lainnya menyerahkan batas tertinggi tersebut
kepada kepala Negara.
b. Hukuman kawalan tak terbatas, sudah disepakati bahwa hukuman
kawalan ini tidak ditentukan masanya terlebih dahulu, melainkan dapat
73
berlangsung terus sampai terhukum mati atau bertaubat dan baik
pribadinya. Orang yang dikenakan hukuman tersebut ialah orang yang
berbahaya atau orang-orang yang berulang kali melakukan jarimah-
jarimah yang berbahaya, atau orang-orang yang tidak jera dijatuhi
hukuman-hukuman biasa, yang biasa melakukan jarimah pembunuhan,
penganiayaan, dan pencurian.
4. Hukuman Ancaman, Teguran, dan Peringatan
a. Hukuman ancaman (tahdid) juga salah satu hukuman ta‟zir, dengan syarat
akan membawa hasil dan bukan ancaman kosong. Antara lain dengan
ancaman akan dicambuk atau dipenjarakan atau dijatuhi hukuman yang
lebih berat, jika pembuat mengulangi perbuatannya.
b. Teguran (tanbih), hukuman terebut pernah dijatuhkan oleh Rasulullah
SAW tehadap sahabat Abu Zarr yang memaki-maki orang lain, kemudian
dihinakan dengan menyebut-nyebut ibunya, maka bersabdalah Rasulullah
SAW;
“Wahai Abu Zarr, adalah engkau menghina dengan ibunya. Engkau
adalah orang yang masih dihinggapi sifat-sifat masa jahiliyah”
c. Hukuman Peringatan (Al-wa‟zu) juga diterapkan dalam syari‟at Islam
dengan jalan memberi nasihat. Hukuman ini tercantum dalam al-Qur‟an,
sebagai hukuman atas istri, yaitu; “Istri-istri yang kamu khawatirkan akan
membangkang, maka berilah dia peringatan “ (Q.S. Al-Nisa: 34).
d. Hukuman Denda (Al-gharamah) ditetapkan juga oleh syari‟at Islam antara
lain mengenai pencurian buah yang masih tegantung dipohonnya dan
74
didenda dengan dua kali lipat harga buah tersebut, di samping dengan
hukuman yang lain sesuai dengan perbuatan pencurian tersebut.
Jadi telah jelas dalam sebuah tradisi sabung ayam yang dilakukan oleh
masyarakat di Bali merupakan sebuah tradisi yang tidak bisa dijadikan hukum
dan bahkan telah menyimpang dari ajaran Islam. Menurut Al-Zarqa „suatu
kebiasaan, baik yang berlaku secara umum (adat al‟am) atau berlaku secara
khusus (adat al-khash) bisa dijadikan penentu dalam menetapkan hukum syar‟i,
yaitu hukum syar‟i yang tidak bertentangan dengan ketentuan nash secara khusus.
Apabila dalil-dalil nash tidak berseberangan sama sekali dengan suatu kebiasaan
maupun tradisi, atau berseberangan, maka kebiasaan tersebut bisa diterima
sebagai hukum syar‟i‟.
Dan juga tradisi berhala yang telah dilakukan oleh masyarakat di Bali
merupakan perbuatan yang telah lama dilakukan oleh bangsa Arab sebelum Islam.
Msekipun sebuah tradisi yang dilakukan oleh umat Hindu bertentangan dengan
apa yang telah dijelaskan oleh agama Islam, namun apa yang mereka lakukan
adalah sebagai bentuk penghambaan terhadap Tuhan mereka Sang Hyang Widhi.
Begitu juga dengan kita agama Islam yang yang selalu dituntut untuk
mengagungkan Allah, sebagaimana yang mereka lakukan.
75
BAB IV
SABUNG AYAM TABUH RAH DAN JUDI TAJEN
PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Tradisi dan Fungsi Pelaksanaan Tabuh Rah dan Tajen
Sabungan ayam sudah merupakan tradisi yang mendarah daging
dikalangan masyarakat Bali dan diwarisi secara turun-temurun. Kegiatan sabung
ayam tersebut belakangan meningkat, bahkan sudah menjadi kegiatan sehari-hari,
tanpa adanya upaya-upaya penanggulangan yang memadai, padahal dampak
social yang ditimbulkan sangatlah serius, yaitu bukan saja melanggar norma-
norma hukum, tetapi juga melanggar norma Agama dan norma-norma sosial
lainnya.
Hal-hal tersebut di atas, terkait erat dengan tradisi sosial masyarakat yang
menjadi faktor-faktor penyebab semakin maraknya sabung ayam di Bali, baik
yang menyangkut aspek sosial budaya, sosial, ekonomi, sikap mental maupun
tingkat kesadaran hukum masyarakat.
Sebuah tradisi akan tetap berlangsung selama masyarakat pada suatu
wilayah tersebut jika tetap memegang teguh tradisi tersebut. Tradisi yang berasal
dari bahasa Latin, yakni: Traditio,”diteruskan” (kebiasaan), dalam pengertian
yang paling sederhana ialah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi
bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Atau dalam pengertian lain
76
ialah: “adat-istiadat atau kebiasaan yang turun-temurun yang masih dijalankan
oleh masyarakat.
Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak
mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi hubungan
antara individu dengan masyarakatnya bisa harmonis. Dengan tradisi sistem
kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu
kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya
telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya. Efektifitas dan
efesiensinya selalu ter- up date mengikuti perjalanan perkembangan unsur
kebudayaan. Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan
kalau tingkat efektifitasnya dan efesiensinya rendah akan segera ditinggalkan
pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja
sebuah tradisi akan pas dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat
pewarisnya.
Di dalam soal-soal agama, mitos yang lebih memegang peranan (terutama
Agama Hindu). Mitos, walaupun barangkali tidak rasional, namun ia tetap
berguna, ia tetap dipakai pedoman, dipakai pegangan dan diikuti oleh umatnya.
Tiada sedikit terdapat pribadi-pribadi yang luhur, jujur, baik budi, bersifat kesatria
dan lain-lain sifat yang baik sebagai hasil dari pada dongeng-dongeng suci itu,
meskipun banyak yang tidak atau belum dapat dijelaskan dengan akal (rasio).
Tabuh Rah yang merupakan sebuah ritual upacara dalam Agama Hindu
tidak dapat dihilangkan karena telah mengakar dalam diri setiap orang Hindu.
77
Mereka menganggap dengan melaksanakan ritual tersebut telah meneruskan apa
yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Tabuh Rah yang telah ada
hanya mengalami perubahan dalam pelaksanaannya, yang semula dengan
mengorbankan darah seorang manusia untuk mereka persembahkan kepada
bhutakala agar dengan pengorbanan tersebut membawa dampak yang positif bagi
mereka dan seluruh kehidupan lainnya. Dengan perubahan serta perkembangan
zaman pelaksanaan Tabuh Rah menjadi berubah pula, korban yang
dipersembahkan diganti dengan binatang, tetapi tetap saja yang dikorbankan
adalah darahnya sebagai pengganti dari darah manusia. Dan kebiasaan tersebut
berhubungan dengan ritual upacara keagamaan, yakni “bhutayajna”.
Tradisi adalah merupakan faktor penting dalam tata cara pergaulan hidup
di masyarakat dan lebih-lebih di dalam hubungannya dengan tata cara
pelaksanaan upacara agama Hindu di Bali. Peranan tradisi demikian kuatnya di
dalam kehidupan agama Hindu di Bali, sehingga dengan demikian setiap individu
yang taat beragama merasakan pentingnya arti ikatan terhadap tradisi-tradisi yang
mereka warisi dari leluhurnya. Demikian pula halnya Tabuh Rah di Bali yang
sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun dimasyarakat dari sejak dahulu
hingga kini, di samping juga secara filosofis mengandung arti yang penting bagi
upacara-upacara di dalam agama Hindu.
Tradisi Bali sesungguhnya menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan
dan harmonisasi mengenai hubungan manusia dengan Tuhan ( parhyangan ),
hubungan sesama manusia ( pawongan ), dan hubungan manusia dengan
78
lingkungan ( palemahan ), yang tercermin dalam ajaran Tri Hita Karana (tiga
penyebab kesejahteraan). Apabila manusia mampu menjaga hubungan yang
seimbang dan harmonis dengan ketiga aspek tersebut maka kesejahteraan akan
terwujud. Kebudayaan Bali juga memiliki identitas yang jelas yaitu budaya
ekspresif yang termanifestasi secara konfiguratif yang mencakup nilai-nilai dasar
yang dominan sepert: nilai religius, nilai estetika, nilai solidaritas, nilai harmoni,
dan nilai keseimbangan.1 Kelima nilai dasar tersebut ditengarai mampu bertahan
dan berlanjut menghadapi berbagai tantangan.
Dalam aspek keseimbangan dan harmonisasi dengan Tuhan, sesama
manusia, dan hubungannya dengan lingkungan fisik orang Bali mengenal konsep
Tri Hita Karana . Tri Hita Karana secara harfiah artinya adalah tiga faktor yang
menyebabkan kesejahteraan yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang dengan
Tuhan ( parhyangan ), hubungan yang harmonis dan seimbang dengan sesama
manusia ( pawongan ), dan hubungan yang harmonis dan seimbang dengan
lingkungan alam sekitar ( palemahan ).
Tabuh Rah yang merupakan sebuah ritual sakral serta suci yang
dilaksanakan oleh masyarakat Hindu di Bali yang seyogyanya harus dilestarikan,
serta dilaksanakan yang nantinya akan tercipta sebuah kehidupan yang harmonis,
dan juga menyelaraskan antara bhuana agung dan bhuana alit dimana hal ini
terdapat adanya hubungan yang erat antara para roh leluhur dengan dunia gaib.
1 Jauhari, Sejarah Kebudayaan Bali, http://juahaieffendy.blogspot.com/2008/08/sejarah -
kebudayaan-bali.html (Artikel ini diakses pada 11 Oktober 2010).
79
Namun, tidak selamanya kebudayaan akan tetap bertahan apalagi terhadap
gelombang globalisasi. Tapi, hukum adat yang ada di Bali tidak akan pernah bisa
tersungkur sepanjang Bali masih dihuni masyarakat Hindu, dan juga pelaksanaan
ritual tersebut selalu dijalankan dengan baik serta kontinyu. Begitu pula dengan
Tajen, akan tetap terjaga dan eksis karena masyarakat tetap melestarikannya dan
juga ada dukungan dari oknum aparat yang selalu menaunginya untuk tetap
berjalan tanpa hambatan.
Tabuh Rah di Bali yang sudah menjadi tradisi berlangsung turun-temurun
dimasyarakat dari sejak dahulu hingga kini, di samping juga secara filosofis
mengandung arti yang penting bagi upacara-upacara di dalam agama Hindu.
Tabuh Rah erat kaitannya denga bhutayajna. Bhutayajna berarti suatu korban suci
kepada bhuta dan kala yang dalam pengertiannya adalah sesuatu kekuatan negatif
yang timbul akibat terjadi ketidak harmonisan antara macrocosmos (bhuana
agung) dengan microcosmos (bhuana alit) yang dapat dikatakan seperti makhluk
halus yang selalu menggangu ketentraman hidup manusia.
Bhuana agung dan bhuana alit yang terdiri dari lima unsur yaitu: pritiwi
(unsur zat padat), apah (unsur zat cair), teja (sinar atau panas), wayu (udara), dan
akasa (ether). Jadi antara Panca Mahabhuta di dalam bhuana agung hendaknya
senantiasa harmonis dengan Panca Mahabhuta di bhuana alit.
Dalam kitab Agastya Parwa menyatakan Bhutayajna itu sebagai berikut:
“Bhuta yajna ngarania tawur muang sang kapujan ring tuwuh”
80
“Bhutayajna itu adalah mengembalikan (Unsur-unsur alam) dan melestarikan
tumbuh-tumbuhan”.
Itulah sesungguhnya inti dari bhutayajna menurut Agastya Parwa.
Betapun besar atau kecilnya upacara bhutayajna hendaknya jangan sampai tidak
memuat nilai universal dari bhutayajna tersebut. Dalam Sataphata Brahmana
bagian dari Rgveda bhutayajna itu adalah persembahan pada bhuta. Sembah
dalam Jawa kuna artinya menyayangi, menghormati/memuji, memohon,
menyerahkan diri dan menyatukan diri. 2
Dalam agama Hindu, tubuh manusia itu dibentuk oleh zat yang sama
dengan alam semesta, karena itu dikenal dengan istilah bhuana agung dan bhuana
alit. Seseorang yang meninggal dunia, tubuhnya ditinggal pergi oleh roh (sang
atma). Maka, tubuh itu tak ubahnya sebagai benda rongsokan. Ibarat sampah, ia
harus segera dihanguskan, supaya berbaur dengan alam semeseta. Unsur-unsur di
dalam tubuh (bhuana alit) sama seperti yang ada dijagat raya (bhuana agung).3
Pengharmonisan antara bhuana agung dan bhuana alit sebagai pencapaian
ketentraman hidup lahir dan bathin. Menurut keterangan para “sulinggih”4 yang
mengatakan bahwa bhuana agung dan bhuana alit terdapat beberapa unsur yang
dipersamakan misalnya:
2
I Ketut Wiana, M.Ag, Tri Hita karana menurut Konsep Hindu , (Surabaya: Paramitha,
2007), h. 165.
3 Putu setia, Menggugat Bali Menelusuri Perjalanan Budaya, Cet ke- 2. (Jakarta: 1987,
Pustaka Utama), h. 35.
4 Sulinggih atau juga biasa disebut sebagai Pedanda, yang berasal dari kata “Su”yang artinya;
Baik dan “linggih” yang artinya; tempat/posisi/ketrunan/duduk. Jadi sulinggih adalah posisi seseorang
yang sangat baik atau kedudukan manusia yang tertinggi (pemimpin agama).
81
1. Panca giri (bhuana agung) di India yaitu: Gunung Maliawan (timur), Gunung
Gandhamedhana (selatan), Gunung Kailsa (barat), Gunung Udaya (Utara),
Gunung Hilmawan (tengah).
2. Panca giri (bhuana agung) di Bali yaitu: Gunung Lempuyang (timur), Gunung
Uluwatu (selatan), Gunung Watukaru (barat), Gunung Beratan (utara),
Gunung Agung (tengah).
3. Panca giri (bhuana alit) ialah: jantung (timur), hati (selatan), limpa (barat),
empedu (utara), dan kumpulan hati (tengah).
4. Surya chandra atau matahari dan bulan di bhuana agung sedangkan di bhuana
alit ialah mata kanan (surya) dan mata kiri (chandra).
Bhuta kala itu ada dimana-mana dan tidak pernah tidak ada. Bhuta kala
yang riel ialah unsur-unsur yang menjadi alam semesta ini. Bhuta kala yang tidak
riel misalnya nafsu, marah, pikiran jahat dan sebagainya termasuk pula akibat-
akibat yang ditimbulkan oleh bhuta kala yang riel, dan tidak riel. Karena itulah
perlu diadakan pabyakala, yakni suatu korban suci kepada bhuta kala dengan
maksud menjinakkan dan akhirnya “mempralina”5 bhuta kala itu supaya
menjadi dewa, dalam artian dari pengaruh negatif supaya berubah menjadi positif.
Itulah sebabnya setiap mengadakan yajna, didahului oleh pabyakala atau
5 Peleburan, lenyap kembali, Dikatakan bahwa seluruh alam mengalami proses, dan jalannya
proses itu berputar-putar seperti putaran roda, atau jantra, atau cakra. Relatif dengan kehadiran kita,
maka proses itu nampaknya terbagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Kemunculan, penciptaan (Utpatti)
2. Kehadiran, menetapnya kehadiran (Sthiti)
3. Peleburan, lenyap kembali (Pralina),
Jadi tiga rangkaian proses ini merupakan sifat kehadiran ( eksistensi) alam semesta
ini, bahwa tidak ada sesuatu yang kekal dialam ini.
82
bhutayajna diadakan lebih dahulu dengan maksud supaya tidak ada unsur-unsur
negatif yang menggangu yajna itu sehingga tidak ada rintangan untuk menuju
kesucian.
Namun, bebeda dengan Tajen yang seiring berjalannya waktu makna serta
pelaksanaan ritual tersebut berubah menjadi sebuah hiburan yang sangat
mengasyikkan bagi kebanyakan kaum pria di Bali. Sehingga tidak hanya sebagai
hiburan bahkan telah dijadikan sebagai sarana untuk berjudi. Dan juga dengan
Awig-awig yang telah dibuat haruslah ditaati oleh setiap orang, yang apabila
dalam setiap ada riual upacara yang berkenaan dengan bhutayajna diharuskan
membawa satu ekor ayam, tapi yang kemudian oleh mereka disalahgunakan
sebagai acara Tajen namun yang berkedok sebagai sebuah upacara Tabuh Rah.
Meskipun di dalam Undang-undang Dasar 1945 pada pasal 18B ayat 2
yang merupakan amandemen ke-2 berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara kesatuan
Republik Indonesia”.6
Serta dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya
dasar Negara itu. Undang-undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis,
sedangkan di sampingnya Undang-Undang Dasar itu berlaku juga hukum
6 Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Ke-2, Yang Disahkan Pada 18 Agustus 2000
83
dasar yang tak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan
terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara, meskipun tidak tertulis.
B. Dasar Hukum Tentang Larangan Perjudian Sabung Ayam
Pada hakekatnya perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan
dengan norma agama, moral, kesusilaan mupun hukum, serta membahayakan bagi
penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Meskipun demikian,
berbagai macam dan bentuk perjudian dewasa ini sudah demikian merebak dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, baik yang bersifat terang-terangan maupun
secara sembunyi-sembunyi. Bahkan sebagian masyarakat sudah cenderung
permissif dan seolah-olah memandang perjudian sebagai sesuatu hal wajar,
sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan. Sementara itu di sisi lain, memang ada
kesan aparat penegak hukum kurang begitu serius dalam menangani masalah
perjudian ini. Bahkan yang lebih memprihatinkan, beberapa tempat perjudian
disinyalir mempunyai becking dari oknum aparat keamanan.
Perjudian merupakan salah satu penyakit masyarakat yang menunggal
dengan kejahatan, yang dalam proses sejarah dari generasi kegenerasi ternyata
tidak mudah diberantas. Oleh karena itu perlu diupayakan agar masyarakat
menjauhi melakukan perjudian, perjudian terbatas pada lingkungan sekecil-
kecilnya dan terhindarnya ekses-ekses negatif yang lebih parah untuk akhirnya
dapat berhenti melakukan perjudian. Beberapa ketentuan hukum positif yang
84
melarang perjudian di antaranya, pasal 303 KUHP, Undang-undang Nomor 7
Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Dalam pasal 1 Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang penertiban
perjudian dinyatakan bahwa semua tindak pidana perjudian adalah kejahatan
Dalam perspektif hukum positif, perjudian merupakan salah satu tindak
pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Masalah perjudian ini dimasukkan
dalam tindak pidana kesopanan7, dan diatur dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal
303 bis KUHP jo. Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang penertiban
perjudian.
Sedang ketentuan-ketentuan pidana perjudian menurut hukum positif
tercantum di dalam KUHP pasal 303 yang selengkapnya adalah sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun atau pidana denda
paling banyak enam ribu rupiah. (berdasarkan UU No. 7 Tahun 1974 jumlah
pidana telah diubah menjadi sepuluh tahun atau denda menjadi dua puluh lima
juta rupiah), barangsiapa tanpa mendapat izin:
1. Orang yang dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan berjudi,
sebagai mata pencaharian, tanpa mendapat izin.
Kejahatan ini terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: unsur-unsur
objektif perbuatannya : (a) menawarkan kesempatan, dan memberikan
7 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005), h. 157
85
kesempatan, (b) objeknya: untuk bermain judi tanpa izin, dan dijadikannya
sebagai mata pencaharian. Adapun unsur subjektifnya adalah dengan sengaja.
Dalam kejahatan ini, si pembuat tidak melakukan bermain judi. Di sini
tidak ada larangan judi, tetapi perbuatan yang dilarang adalah (a) menawarkan
kesempatan bermain judi, dan (b) memberi kesempatan main judi.
Arti “menawarkan kesempatan” bermain judi ialah si pembuat
melakukan perbuatan dengan cara apapun untuk mengundang atau mengajak
orang-orang untuk bermain judi dengan menyediakan tempat dan waktu
tertentu.
Perbuatan “memberi kesempatan” bermain judi, ialah si pembuat
menyediakan peluang sebaik-baiknya dengan cara menyediakan tempat
tertentu untuk bermain judi, misalnya menyediakan atau menyewakan rumah
atau kamar untuk orang-orang yang bermain judi.
Perbuatan menawarkan kesempatan bermain judi dan atau memberi
kesempatan bermain judi haruslah dijadikan nya sebagai pencaharian. Artinya
perbuatan itu dilakukan tidak seketika, melainkan berlangsung lama dan dari
perbuatan si pembuat demikian dia mendapatkan uang yang dijadikannya
sebagai pendapatan untuk kehidupannya. Pula perbuatan itu baru bersifat
melawan hukum apabila tidak mendapatkan izin terlebih dahulu dari instansi
atau pejabat yang berwenang.
Arti “dengan sengaja” si pembuat memang menghendaki untuk
melakukan perbuatan menawarkan kesempatan dan memberikan kesempatan
86
untuk bermain judi. Si pembuat sadar bahwa yang ditawarkan atau yang diberi
kesempatan itu adalah orang-orang yang akan bermain judi, dan disadarinya
bahwa perbuatannya itu dijadikannya sebagai pencaharian, artinya dia sadar
bahwa dari perbuatannya itu dia mendapatkan uang untuk biaya hidupnya.
2. Orang yang dengan sengaja mengadakan atau memberi kesempatan berjudi
kepada khalayak umum atau dengan sengaja turut serta dalam menjalankan
kegiatan usaha perjudian dengan atau tanpa izin, atau cara dalam hal memakai
kesempatan tanpa izin.
“Khalayak umum” artinya kepada siapa pun, tidak ditujukan kepada
orang-orang perseorangan atau orang tertentu. Siapa pun juga dapat
menggunakan kesempatan bermain judi.
“kegiatan usaha perjudian” adalah kegiatan dalam melakukan
perbuatan, menawarkan kesempatan bermain judi kepad khalayak umum.8
3. Orang yang menawarkan atau memberikan kesempatan untuk bermain judi
dan sebagai mata pencaharian, seperti diterangkan di atas diancam menurut
pasal ini yaitu ancaman pidana penjara paling lama sepuluh tahun atau denda
paling banyak dua puluh lima juta rupiah, sedag yang turut main judi diancam
menurut pasal 303 bis, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau
pidana denda sepuluh juta rupiah.9
8 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Grafindo Persada, 2005),
ed. 1, h.159-161
9 R. Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, (Jakarta: Grafindo Persada, 2006), ed. 5, h.
184
87
Kemudian mengenai larangan pemberian izin perjudian, diatur dalam PP
No.9 Tahun 1981, menentukan sebagai berikut:
1. Pemberian izin penyelenggaraan segala bentuk dan jenis perjudian dilarang,
baik perjudian yang diselenggarakan di kasino, di tempat-tempat keramaian,
maupun yang dikaitkan dengan alasan-alasan lain.
2. Izin penyelenggaraan perjudian yang sudah diberikan dinyatakan dicabut dan
tidak berlaku lagi sejak 31 Maret 1981. Kemudian dikeluarkan pula Instruksi
Presiden (Soeharto), yang melarang segala bentuk perjudian sejak 1 April
1981, kecuali kebiasaan bersangkutan berkaitan dengan upacara keagamaan
dan sepanjang hal itu tidak merupakan perjudian.
Permainan judi selain dilarang berdasarkan undang-undang dan peraturan
pemerintah seperti di atas, juga dilarang berdasarkan Instruksi Mendagri No.5
Tahun 1981. Khusus untuk daerah Bali, pada 20 Februari 1981, telah dikeluarkan
pula Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali
dengan Kepala Kepolisian Nusa Tenggara, Nomor. 20/KESRA. I/A/20/1981,
Nomor POL. SKEP/08/II/1981, tentang pencabutan dan menyatakan tidak berlaku
lagi Instruksi Bersama Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali dan Pangdak XV
Bali Nomor. Pem. 348/I/C/69, Nomor POL. 13/I/1242/971/Res/69, tanggal 4
Oktober 1969, tentang pemberian izin bagi penyelenggaraan sabungan ayam
dalam rangka pembangunan.
Jadi telah jelas jika dalam acara tajen yang dilakukan pada masyarakat
Bali merupakan sebuah perjudian. Karena mereka dengan sengaja membuat acara
88
perjudian untuk khalayak ramai, juga menjadikan acara tersebut sebagai mata
pencaharian mereka serta dalam pelaksanaannya tidak ada izin dari penguasa.
Namun, tidak sedikit dari aparat keamanan ikut andil dalam menjaga acara
tersebut bahkan juga mereka ikut berpartisipasi dalam acara judi tajen tersebut,
sungguh ironis.
89
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penjelasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu permaslahan
yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa
kesimpulan dalam bab ini:
1. Tradisi Tabuh Rah menurut pandangan masyarakat Bali haruslah dijaga
konsistensi dalam melaksankannya. Tradisi tersebut telah mengakar pada
masyarakat Hindu di Bali, karena dengan melaksanakannya berarti telah
meneruskan apa yang telah dilakukan oleh nenek moyang mereka. Begitu pela
dengan Tajen yang merupakan bagian dari Tabuh Rah dan juga dimaknai
sebagai warisan budaya masyarakat Bali, yang merupakan sebuah akulturasi
budaya dari kerajaan Majapahit yang mengalami perubahan dalam
pelaksanaan serta juga berbeda pada fungsinya pelaksanaannya yakni, sebagai
hiburan atau seni sehingga disalah gunakan untuk berjudi, sedangkan Tabuh
Rah yang mempunyai fungsi untuk mengharmoniskan seluruh alam, yakni
dengan cara melakukan bhutayajna untuk keharmonisan di bhuana agung dan
bhuana alit yang ditujukan kepada bhuta kala sehingga tidak akan
mengganggu setiap aktivitas dan juga akan memperoleh ketentraman hidup.
2. Mekanisme pelaksanaan Tabuh Rah yang dilakukan, bahwa setiap
pelaksanaan upacara tersebut diwajibkan menggunakan pakaian adat, dengan
90
membawa banten (sesaji) dan perlengkapannya yang di dalamnya terdapat
“kelapa, telor, canang sari (dupa, beras, uang kepeng), dan kelapa tadi dililit
dengan benang warna (merah, putih dan hitam), kemudian banten tersebut
diberikan kepada pemangku atau orang yang dianggap suci, barulah binatang
tersebut dikelilingkan atau dilepaskan dalam pura tempat yang akan diadakan
Tabuh Rah yang dilaksanakan dengan perang Satha hingga binatang tersebut
mengeluarkan darah pada tempat pelaksanaan Tabuh Rah (pura) tersebut, baru
setelah itu dilanjutkan dengan adu kelapa dan telur dengan disertakan ucapan
mantra-mantra oleh pemangku tersebut sebagai akhir dari sebuah ritual
upacara.
Sedangkan Tajen, tidak menggunakan ritual upacara layaknya Tabuh Rah.
Biasanya tajen dilakukan pada tempat yang telah disediakan oleh pura, dan
pasti setiap pura memiliki wantilan dan hampir dimiliki setiap desa adat yang
berukuran 50 x 50 meter. Dibuat berundak-undak menurun ke tengah. Tetapi
persis di tengah itu dibuat meninggi lagi, inilah arena pekelahian ayam.
3. Menurut hukum Islam bahwa tindak pidana perjudian dikenakan hukuman
ta’zir. Tindak pidana ta’zir dalam hukum Islam adalah hukuman atas tindak
pidana yang hukumannya belum ditentukan oleh syara’ tetapi sepenuhnya
diserahkan atau ditentukan oleh Hakim (Ulil Amri). Yang dimaksud dengan
ta’zir ialah ta’dib, yaitu memberi pendidikan (pendisiplinan).
Tajen termasuk dalam kategori perjudian yang merupakan salah satu tindak
pidana (delict) yang meresahkan masyarakat. Masalah perjudian dimasukkan
91
dalam tindak pidana kesopanan, dan diatur dalam pasal 303 KUHP dan pasal
303 bis KUHP jo. Undang-undang No. 7 Tahhun 1974 yang pada hakekatnya
perjudian bertentangan dengan agama, kesusilaan, dan moral pancasila, serta
membahayakan bagi penghidupan dan kehidupan masyarakat, bangsa dan
Negara. Namun, setelah itu keluar sebuah PP. No. 9 Tahun 1981 yang
mencabut pemberian izin pada setiap penyelenggaraan perjudian, yang
kemudian disusul dengan Instruksi Presiden sejak 1 April 1981 yang melarang
semua bentuk perjudian, kecuali yang berhubungan dengan upacara
keagamaan sepanjang hal itu tidak merupakan perjudian.
B. Saran-saran
Beranjak dari kesimpulan di atas kiranya penulis memberikan saran-saran
dengan poin-poin di bawah ini:
1. Perlunya pembinaan kesadaran hukum dikalangan masyarakat dan
pemerintah, agar dapat terciptanya ketertiban, ketentraman dan masyarakat
yang taat hukum.
2. Masalah sabung ayam yang dilakukan oleh masyarakat Bali merupakan
tradisi yang disalah gunakan. Namun, pada saat I Made Mangku Pastika
menjadi Kapolda Bali judi sabung ayam bisa ditekan sehingga sulit didapati
keberadaannya. Namun berbeda dengan sekarang yang malah mulai muncul
keberadaannya dan juga seringnya judi sabung ayam tersebut dilakukan.
Untuk itu Kepada pihak-pihak yang berwenang, khususnya aparat kepolisian
92
untuk lebih tegas dalam menjalankan setiap aktivitas dilapangan, tidak malah
menjadi pelindung bagi penyelenggara perjudian, tidak hanya di Bali
khususnya melainkan diseluruh wilayah Nusantara.
3. Fakta dasarnya masalah tindak pidana perjudian merupakan suatu
permasalahan yang rumit untuk diambil solusinya. Kita tidak bisa
menganggap suatu persoalan tersebut biasa-biasa saja, karena pada
prakteknya membutuhkan suatu penanganan yang sangat serius terutama
yang dilakukan oleh aparat dan praktisi hukum dalam memberikan
penyuluhan-penyuluhan tentang hukum kepada masyarakat luas.
4. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi suatu bahan atau wawasan keilmuan
bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti suatu bahasan masalah yang
sama.
93
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-karim.
Abbas, Sudirman, Qawaid fiqhiyah dalam perspektif fiqh, Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya dengan Anglo Media, 2004, cet. 1.
Al-Audah, Abdul Qodir , At-Tasyri’Al-Jina’iy Al-Islamiy, Juz 1 Bairut: Dar Al-Kitab,
t.th.
Ali as-Sayis, Muhammad, Tafsir Ayat Ahkam, Misra: Ali Assabais, 1953, jilid ke-2.
Andrianto, Hendrik, Perjudian Sabung Ayam di Bali, Tesis Pasca Sarja Universitas
Indonesia, Jakarta: 2003, Perpustakaan Umum UI.
Bambang sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2003, cet. Ke-6.
Chazawi, Adami, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2005, ed. 1.
Dahlan, Zaini, dkk, UII, Al-Quran dan Tafsinya, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1995, jilid I, Cet. I.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III Juz 7-8-9, Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, 1990.
Departemen Kebudayaan Provinsi Bali, Geografis, Dematogarfi, dan Sistem
Kemasyarkatan Hindu Bali. Artikel ini diakses pada 11 agustus 2010 dari
http://www.baliprov.go.id/index.php?page=geo_grafi
Geertz, Clifford, Notes On The Balinese Cookfight. Artikel ini diakses pada 19
Oktober 2010 dari
http://itha.wordpress.com/2008/01/06/Catatan-sabung-ayam-pada-masyarakat-bali/
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta; Andi Offset, 1990.
Halim, Ridwan A, Hukum adat dalam tanya jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet.
ke-2.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1984, jilid 7.
94
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP edisi Revisi 2008, Jakarta: Rineka Cipta, 2007,
Cet. Ke- 15.
Hanafi, Ahmad, Asas-Asas Hukum Pidana Islamaa, Jakarta: Bulan Bintang, 2005.
Hosen, Ibrahim, Apakah Judi Itu?, Jakarta: Lembaga Kajian IIQ, 1987.
Ibnu Hajar Al Asqalani, Al Imam Al Hafizh, Fathul Baari 29:Penjelasan Kitab
Shahih Bukhari edisi Indonesia, Jakarta: Pustaka Azzam Anggota IKAPI
DKI, 2000, Cet. Ke- 1.
Jauhari, Sejarah Kebudayaan Bali, 2008. Artikel ini diakses pada 11 Oktober 2010
dari
http:// juahaieffendy.blogspot.com/2008/08/sejarah -kebudayaan-bali.html.
kartono, Kartini, Patologi sosial, Jakarta; Rajwali, 1993.
K. Nothinghem, Elizabeth, Agama dan Masyarakat Suatu Pengantar Sosiologi
Agama, Jakarta: Raja Grafindo, 2002, cet. Ke-8.
M. Moeliono, Anton ,dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka,
1988, cet. Ke I.
Mujib, Abdul, Al-Qawaid al-Fiqhiyah, Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980.
Muslich, Ahmad Wardi , Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Lukito, Ratna,“Pergumulan antara Hukum Islam dan Hukum Adat di Indonesia,
Jakarta, INIS, 1998.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Proyek Pembinaan Kepada Lembaga
Pendidikan Agama Hindu dan Parisada Hindu Dharma Tahun 1988-1989
tentang Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-
aspek Agama Hindu I-XIV.
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Sejarah Hindu Bali Di Indonesia. Artikel
ini diakses pada 13 Juni 2010 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu_Dharma
Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, Sejarah Perkembangan Hindu Agama
Hindu. Artikel ini diakses pada 13 Juni 2010 dari
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=50
6&Itemid=29&limit=1&limitstart=2
95
Putra Pidada Kniten, Ida Pedanda, dan Pinandita I Nyoman Gunanta, Tinjauan Tabuh
Rah dan Judi, Surabaya: Paramitha 2005.
Qardhawi, Yusuf, Halal dan Haram Dalam Islam Alih Bahasa Mu’amal Hamidi,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1999.
Ridwan, Kafrawi, Ensiklopedia Islam I, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
Salim, Agus, Perbandingan Agama Pandangan Islam Mengenai Kepercayaan
Majusi-Shabiah-Yahudi-Kristen-hindhu Budha&Sikh, Jakarta: CV.
Diponegoro 1985.
Setia, Putu, Menggugat Bali Menelusuri Perjalanan Budaya, Cet ke- 2. Jakarta: 1987,
Pustaka Utama.
Shabuni, Muhammad Ali, Rawa-i’ul Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,
Makkah, Kulliyat al-Syariah wa al-Dirasah al-Islamiyyah, Jilid ke- 2.
Sharbiny, al-Khatib Muhammad as-Syafi’I, al-Iqna’: Kitabu as-Sabaqa wa al-
Ramyiy, Dar al-Fikriy: tth, hal. 598.
Sharma, Khinsalal Pt, Mengapa? Tradisi dan Upacara Hindu, Surabya: Paramitha,
2007.
Shawy, Ahmad bin Muhammad al-Maliki, Hasyiah al-Shawy ‘Ala al-jalalain,
Semarang: Toha Putra, t.th, Jilid 1.
Situs Resmi Pemerintah Kabupaten Denpasar, Kondisi Sosial Budaya Bali. Artikel ini
diakses pada 06 November 2010 dari
http://www.denpasar.go.id/main.php?act=kon_sb
Soerodibroto, R. Soenarto, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Grafindo Persada, 2006, ed.
5.
Suada, I Nyoman, Bali Dalam Perspektif Sejarah dan Tradisi dalam Relevansinya
Dengan Era Global Menuju Keajegan Bali Yang Harmonis, Denpasar: 2007.
Suarka, I Nyoman, Ketuhanan Bali (kajian empiris dan Era baru empu Kuturan),
Surabaya; Paramitha Surabaya, 2005.
Syamsuddin Aziz, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan
Masyarakat Adil dan Beradab, Jakarta: 2007, cet.1.
96
Tabuh Rah, Keputusan Seminar Tafsir Agama Hindu Ke III Tahun 1976, Diterbitkan
Oleh Seksi Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha Kabupaten Buleleng:
1979.
Tijok’s, Definisi Kebudayaan Menurut Parsudi Suparlan. artikel ini diakses pada 06
November 2010 dari http://prasetijo.wordpress.com/2008/09/11/definisi-
kebudayaan-menurut-parsudi-suparlan-alm/
Titib, I Made, Persepsi Umat Hindu di Bali Terhadap Svarga, Naraka, dan Moksa
Dalam Svargarohanaparva: Perspektif Kajian Budaya, Surabaya:
Paramitha, 2006.
Utarayana, Pengayam-ayaman, Denpasar: Percetakan Offset & Toko Buku Ria, 1993.
Wiana, I Ketut, Tri Hita karana menurut Konsep Hindu , Surabaya: Paramitha, 2007.
Winda, Wayan, Meluruskan Awig-Awig Yang Bengkok, Denpasar: BP,t.th .
Wikipedia Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas Tentang Kebudayaan. Artikel ini
diakses pada 11 Oktober 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya.
Sumber dari Undang-undang dan Peraturan-peraturan Lainnya
- Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen ke-2 yang disahkan pada 18
Agustus 2000
- Undang-undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian
- KUHP Pasal 303 dan Pasal 303 bis jo. Undang-undang No. 7 Tahun 1974
- Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1981
- Instruksi Presiden 1 April 1981
- Instruski Menteri Dalam Negeri No. 5 Tahun 1981
- Surat Keputusan Bersama (SKB) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali
dengan Kepala Kepolisian Nusa Tenggara, Nomor. 20/KESRA. I/A/20/1981,
97
Nomor POL. SKEP/08/II/1981 tentang pencabutan Izin penyelenggaraan
sabungan ayam dalam rangka pembangunan.
Sumber dari Internet (situs web)
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu_Dharma
http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya.
http:// juahaieffendy.blogspot.com/2008/08/sejarah -kebudayaan-bali.html.
http://itha.wordpress.com/2008/01/06/Catatan-sabung-ayam-pada-masyarakat-bali/
http://www.baliprov.go.id/index.php?page=geo_grafi
http://faridfann.wordpress.com/2008/05/07/sejarah-agama-hindu-dharma-hindu-bali/
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/darma070102008
http:// matatia.ayam_files\tajen-sabung-ayam-bali.html
http://www.denpasar.go.id/main.php?act=kon_sb
http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=506&Itemi
d=29&limit=1&limitstart=2
http://sayyidherlan24.wordpress.com/2010/09/08/hukum-mengadu-hewan-dalam-
pandangan-islam/
http://prasetijo.wordpress.com/2008/09/11/definisi-kebudayaan-menurut-parsudi-
suparlan-alm/