Kondisi Politik Indonesia
Transcript of Kondisi Politik Indonesia
Kondisi Politik IndonesiaOPINI | 15 June 2012 | 14:35 Dibaca: 6873 Komentar: 1 0
Politik Indonesia dewasa ini seperti sedang mendominasi wacana di media. Layaknya gula
yang sedang di kelilingi semut, seperti itulah media yang memberitakan kondisi politik di
Indonesia.
Saat ini kondisi politik yang terjadi justru saling memperebutkan kekuasaan. Para penjabat
yang memiliki kekuasaan telah melupakan masyarakat. Janji – janji yang dulu di buat justru
di lupakan seiring dengan kursi kekuasaan yang di peroleh. Seolah tidak menerima dengan
kemenangan sang rival, maka berusaha mencari kesalahan untuk dapat menggulingkan.
Kondisi politik di Indonesia sangatlah memprihatinkan. Para pejabat masih saja sibuk
mengurusi kursi jabatannya. Lagi – lagi mereka melupakan soal rakyat. Semisal saja soal
kasus suap wisma atlet. kita ketahui bahwa Anggelina S merupakan kunci dari bobroknya
korupsi yang terjadi di Wisma Atlet. Namun, apa yang terjadi? Apakah Anggelina S
berbicara jujur terkait korupsi yang terjadi di Wisma Atlet? Tidak kawan, justru beliau
menutupi kondisi yang sebenarnya terjadi.
Kondisi tersebut sangatlah memprihatinkan. Hal tersebut masih salah satu contoh yang ada.
Berbicara kondisi politik di Indonesia maka tidak akan jauh dari sebuah kekuasaan. Dewasa
ini politik justru seringkali di gunakan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Ntah dengan
apa pun, tidak melihat rambu rambu yang ada, hal yang terpenting kursi kekuasaan harus di
dapat. Namun, kursi kekuasaan itu harus di bayar dengan pengorbanan yang besar juga baik
itu fikiran dan materil.
Akhirnya rakyat yang menjadi korban dari kondisi politik yang ada sekarang. Para birokrat
bangsa ini sepertinya masih terlalu sibuk untuk terus berebut kursi kekuasaan.
Sebenarnya politik layaknya sebuah pisau. Bila pisau tersebut di gunakan oleh ibu rumah
tangga untuk memasak maka pisau akanlah sangat bermanfaat. Maka akan tersedia hidangan
yang lezat untuk keluarga. Namun beda cerita bila pisau tersebut di gunakan oleh pembunuh.
Maka yang terjadi adalah sebuah kesedihan dan kesengsaraan yang terjadi.
Begitu pula dengan politik, ia akan bisa menjadi sebuah alat untuk mencapai sebuah
kebahagiaan atau malah menjadi sebuah kesengsaraan.
Dewasa ini, para politikus yang ada justru tidak mampu memberikan sebuah kesejukan di
tengah gerahnya suasana politik yang ada. Para politikus ini nampaknya masih terlalu sibuk.
Padahal rakyat Indonesia di luar sana menjadi korban mereka.
Kita semua bisa melihat gejala mati rasa penyelenggara negara misalnya dalam soal
pembelian mobil mewah untuk para menteri Kabinet Indonesia Bersatu II atau juga
pembangunan pagar istana presiden yang menelan biaya puluhan miliar rupiah. Kebijakan itu
jelas mencederai rasa keadilan publik karena di saat yang sama kemiskinan masih mengharu
biru Indonesia (jumlah orang miskin di Indonesia per Maret 2010 berdasar BPS sebanyak
31,02 juta orang–relatif tak banyak berubah jika dibandingkan dengan data per Februari
2005, yakni sebesar 35,10 juta orang). Publik juga bisa melihat bagaimana penyikapan kasus
Lapindo, terjadinya ‘kriminalisasi’ terhadap dua pemimpin KPK, penanganan kasus Bank
Century yang belum jelas bagaimana akhirnya, serta kuatnya nuansa tebang pilih terhadap
penanganan kasus korupsi. Kesemuanya itu adalah contoh-contoh lain yang harus diakui kian
mengiris rasa keadilan. Kendati dibalut pernyataan-pernyataan yang apik dan santun, toh
penyikapan dari penyelenggara negara terhadap kasus-kasus tersebut tetap saja dinilai jauh
dari komitmen untuk mewujudkan aspirasi dan kehendak rakyat.
Selain contoh contoh yang ada di atas, masih banyak kita lihat masalah soal kemiskinan,
putus sekolah dan kelaparan. Namun sepertinya para pejabat ini masih belum tersentuh untuk
menuju ke situ akhirnya masih berkutat dengan masalah kekuasaan.
Sebenarnya politik tidak hanya di kekuasaan saja. Namun ekonomi pun sudah di politikkan.
Sebenarnya politik itu merupakan bagaimana seseorang mampu mempengaruhi orang
sekelompok lain agar mengikuti gagasan yang kita fikirkan.
Dalam aspek obyektif, Sukardi mencontohkan harga cabai yang makin hari semakin mahal.
Kondisi tersebut akan semakin parah bila pemerintah mengeluarkan kebijakan yang tergesa-
gesa, misalnya dengan kenaikan harga tiket kereta ekonomi. Momentum ini bisa dipakai
untuk menyerang kekuatan politik lawannya.
Untuk aspek dari daerah, Sukardi mencontohkan polemik keistimewaan Yogyakarta yang
hingga saat ini masih berlarut-larut. Menurut Sukardi, pemerintah harus cepat menyelesaikan
polemik tersebut. Kalau tidak, masalah itu juga akan dijadikan partai lain sebagai amunisi
untuk menyerang Demokrat.
Sekarang ini keadaan politik di Indonesia tidak seperti yang diinginkan. Banyak rakyat
beranggapan bahwa politik di Indonesia adalah sesuatu yang hanya mementingkan dan
merebut kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Pemerintah Indonesia pun tidak
mampu menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Hal ini ditunjukkan oleh sebagian
rakyat yang mengeluh, karena hidup mereka belum dapat disejahterakan oleh negara.
Pandangan masyarakat terhadap politik itu sendiri menjadi buruk, dikarenakan pemerintah
Indonesia yang tidak menjalankan kewajibannya sebagai wakil rakyat dengan baik.bagi
mereka politik hanyalah sesuatu yang buruk dalam mencapai kekuasaan.
Jika hal ini terus di biarkan, maka seperti bom yang terus di pendam. Maka suatu saat akan
meletus juga. Jika kondisi pemerintah terus seperti ini maka tidakl mustahil jika rakyat tidak
akan percaya dengan politik. Ketidakpercayaan para rakyat inilah yang sangat berbahaya bagi
kestabilan negara. Akibatnya masyarakat akan cenderung apatis terhadap kondisi sebuah
negara. Karena kestabilan negara juga di pengaruhi oleh kestabilan politik yang ada di negara
tersebut. Apabila gejolak politik di suatu negara terus menerus bergejolak maka tidak
mustahil jika terjadi peperangan. Akibatnya masyarakat yang menjadi korban seperti negara
negara di timur tengah.
Kesimpulan : Rakyat Indonesia belum merasakan kinerja yang baik dari pemerintah
Indonesia, malahan membuat mereka memandang buruk terhadap politik itu sendiri. Selain
itu, para generasi muda Indonesia haruslah diperkenalkan dengan politik yang sebenarnya,
agar dikemudian hari mereka dapat menjadi generasi baru yang lebih bertanggung jawab.
Sehingga kondisi bangsa ini tidak terus terpuruk akibat politik tidak bertanggungjawab para
pejabat sekarang. Sedah seharusnya kita membanahi bangsa ini. Karena bila kondisi seperti
ini terus di budayakan, maka bukanlah hal yang mustahil jika suatu saat nanti nama Indonesia
hanya tinggal sejarah.