Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

27
KOMUNIKASI: SEJARAH DAN FONDASI KEILMUAN Oleh Adde Oriza Rio SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI Komunikasi telah dijadikan penunjang kehidupan manusia dan masyarakatnya sejak awal kehidupan umat manusia dan telah dipelajari sejak dulu. Hanya saja, komunikasi dipelajari masih sebagai perangkat kiat atau resep-resep berkomunikasi agar komunikasi yang dilakukan seseorang bisa sukses dengan indikatornya adalah maksud atau keinginan orang tersebut tercapai. Belum sebagai satu ilmu. Perkembangan berikutnya didorong oleh berbagai penemuan teknologi komunikasi seperti mesin cetak cepat, piringan hitam, radio, film yang membawa perspektif baru yaitu massifikasi komunikasi melalui media massa walaupun fokusnya masih soal kesuksesan komunikasi dengan indikatornya adalah tercapainya maksud atau keinginan para pelaku komunikasi. Fokus ini mulai berubah dan perkembangan komunikasi ke arah ilmu mulai tumbuh pasca Perang Dunia I dan terus berlanjut sampai Perang Dunia II ketika ternyata banyak orang mulai menyadari bahwa penerapan pengetahuan komunikasi yang selama ini diketahui tidak bisa menjamin tercapainya efek yang diinginkan. Malah

Transcript of Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

Page 1: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

KOMUNIKASI: SEJARAH DAN FONDASI KEILMUAN

Oleh

Adde Oriza Rio

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KOMUNIKASI

Komunikasi telah dijadikan penunjang kehidupan manusia dan masyarakatnya

sejak awal kehidupan umat manusia dan telah dipelajari sejak dulu. Hanya saja,

komunikasi dipelajari masih sebagai perangkat kiat atau resep-resep berkomunikasi agar

komunikasi yang dilakukan seseorang bisa sukses dengan indikatornya adalah maksud

atau keinginan orang tersebut tercapai. Belum sebagai satu ilmu. Perkembangan

berikutnya didorong oleh berbagai penemuan teknologi komunikasi seperti mesin cetak

cepat, piringan hitam, radio, film yang membawa perspektif baru yaitu massifikasi

komunikasi melalui media massa walaupun fokusnya masih soal kesuksesan komunikasi

dengan indikatornya adalah tercapainya maksud atau keinginan para pelaku komunikasi.

Fokus ini mulai berubah dan perkembangan komunikasi ke arah ilmu mulai

tumbuh pasca Perang Dunia I dan terus berlanjut sampai Perang Dunia II ketika ternyata

banyak orang mulai menyadari bahwa penerapan pengetahuan komunikasi yang selama

ini diketahui tidak bisa menjamin tercapainya efek yang diinginkan. Malah bisa berbalik

memunculkan efek yang tidak diharapkan. Saat itulah kemudian muncul banyak

pertanyaan mengenai komunikasi, apa itu komunikasi, apa faktor-faktor yang berperan,

bagaimana mengatasi hambatan-hambatan komunikasi. Pertanyaan-pertanyaan ini

muncul tidak hanya dari para praktisi komunikasi (misalnya jurnalis atau orator) melainkan

juga dari para pakar berbagai bidang ilmu seperti sosiologi, psikologi, bahasa, sastra,

antropologi, politik bahkan termasuk para pakar bidang ilmu eksakta seperti fisika dan

matematika. Pertanyaan ini memicu banyaknya penelitian dalam komunikasi oleh para

ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu. (M. Alwi Dahlan, 2008).

Para pakar dari berbagai disiplin ilmu inilah yang disebut Everett M Rogers

sebagai forerunners (para pendahulu) dalam ilmu komunikasi. Rogers menjelaskan bahwa

forerunners adalah ilmuwan yang membuat kontribusi intelektual yang penting pada studi

komunikasi tetapi tidak mengidentifikasi diri dan murid-muridnya sebagai ilmuwan

komunikasi dan juga tidak menginstitusionalisasi bidang ini dengan mendirikan sekolah

atau departemen komunikasi di universitas-universitas. Mereka yang disebut forerunners

adalah Gabriel Tarde, Georg Simmel, George Herbert Mead, Kurt Lewin, Harold D Laswell,

Page 2: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

Paul Lazasfeld, Carl I Hovland, Norbert Wiener dan Claude E Shannon. Sebagai contoh,

Lazarfeld misalnya menganggap dirinya dan murid-muridnya sebagai sosiolog dan bukan

ilmuwan komunikasi (Rogers, 1994, dalam Budyatna, 2008:171-172). Dari hasil kerja keras

para pakar forerunners inilah muncul khazanah perbendaharaan penelitian, pengetahuan

dan teori mengenai komunikasi yang bersifat antardisiplin. Konvergensi dari semua

pengetahuan ilmiah tentang komunikasi itulah yang mendorong pengembangan satu

bidang ilmu baru yang disebut Ilmu Komunikasi (M. Alwi Dahlan, 2008).

Orang yang berperan dalam proses melahirkan bidang ilmu inilah yang disebut

founder (pendiri) oleh Rogers yaitu ilmuwan yang tidak dididik secara formal dalam

komunikasi tetapi menjalankan riset komunikasi dan mendidik generasi pertama dari

ilmuwan-ilmuwan komunikasi dalam disiplin baru ini. Pendiri utama adalah Wilbur

Schramm yang tidak hanya menginstitusionalisasikan studi komunikasi di Iowa, Illinois dan

Stanford dalam bentuk institut riset komunikasi tetapi juga mengajar banyak pemegang

gelar Ph.D Ilmu Komunikasi yang pertama (Roger, 1994, dalam Budyatna, 2008: 171-172).

Di sini jelas disebut oleh Rogers bahwa chief founder (pendiri utama) dari Ilmu Komunikasi

adalah Wilbur Schramm sementara proses pendirian Ilmu Komunikasi ini berlangsung di

Amerika Serikat.

Di Amerika Serikat, pendidikan jurnalisme sudah berkembang sejak tahun 1930-

an. Tahun 1943, Schramm diberi kepercayaan untuk untuk memimpin School of

Journalism di Iowa University. Pada waktu itu, jurnalisme masihlah satu ilmu terapan yang

bicara mengenai how-to-do- it journalism dan program semacam ini tidak hanya terdapat di

Iowa University tetapi berjumlah ratusan yang ada diseluruh Amerika (sekalipun tidak

semuanya hanya bicara how-to-do it journalism tetapi ada juga yang sudah menekankan

pentingnya penelitian dan telah memasukkan mata kuliah ilmu-ilmu sosial seperti sejarah

pers, hukum dan manajemen ke dalam kurikulumnya yaitu di School of Journalism di

University of Wisconsin, Madison yang dipimpin oleh Willard G Bleyer). Schramm punya

ide bahwa sebaiknya mata kuliah ilmu-ilmu sosial juga diberikan bahkan Schramm

mengusulkan agar didirikan program Ph.D di bidang komunikasi massa. Masalahnya

adalah Schramm saat itu kekurangan dana untuk membiayai rencana-rencananya

sehingga ia berpaling ke tempat lain yaitu University of Illinois. Di universitas itu Schramm

mendapatkan posisi dalam inner circle of adviser. Ia lantas minta programnya di Iowa bisa

direalisasikan di Illinois. Permintaannya dikabulkan dan berdirilah Institute of

Communication Research dengan Schammm sebagai direkturnya. Esensi dari lembaga ini

Page 3: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

adalah program doktor di bidang ilmu komunikasi yang bersifat interdisipliner dengan biaya

besar untuk riset plus Schramm diangkat menjadi guru besar pertama Ilmu Komunikasi.

Problem berikutnya adalah ketiadaan buku teks bagi Ilmu Komunikasi. Untuk

mengatasinya, Schramm kemudian mengadakan konferensi dengan menjelaskan

mengenai lembaga yang dipimpinnya dan program doktoral yang dijalankannya. Setelah

itu beberapa forerunner seperti Lazarfeld, Hovland, Casey menyampaikan makalah

mereka dalam konferensi itu. Selanjutnya, makalah-makalah itu disunting dan diterbitkan

dalam satu buku berjudul Communication in Modern Society yang menjadi buku teks

pertama bagi Ilmu Komunikasi. Setelah itu, Schramm mengumpulkan lebih banyak artikel

dan makalah dan menerbitkannya menjadi buku berjudul Mass Communication yang

menggantikan buku pertama sebagai buku teks. Schramm kemudian berpikir bahwa lebih

mudah untuk mendirikan bidang akademi baru di satu universitas swasta yang bergengsi.

Oleh sebab itu ia pindah lagi ke Stanford University. Memang saat itu Stanford belum

termasuk universitas ranking kelas atas di Amerika Serikat, tetapi masuknya Schramm

adalah juga demi meningkatkan ranking Stanford. Di Stanford, Schramm memimpin

Institute for Communication Research. Di Stanford, mudah sekali bagi Schramm untuk

menggalang dana yang membuat ia semakin mudah mengembangkan bidang ilmu yang

masih belia yaitu ilmu komunikasi (Budyatna, 2008: 172-175). Selanjutnya, ilmu ini

berkembang terus di Amerika Serikat sesuai dengan tuntutan zaman melahirkan banyak

cabang. Tidak lagi hanya melulu membicarakan soal kepentingan perang atau

pembangunan tetapi juga sudah mulai dimanfaatkan dalam praktek politik, bisnis, dan

industri (M. Alwi Dahlan, 2008).

Pertanyaan berikutnya adalah: walaupun komunikasi sudah disadari sangat

berpengaruh pada kehidupan manusia dan masyarakatnya sejak lama, mengapa

komunikasi baru berkembang dengan pesat ke arah ilmu pada abad XX? Tentu ada faktor-

faktor yang yang mendorong perkembangan itu.

Littlejohn menjelaskan, ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan

komunikasi menjadi Ilmu Komunikasi. Pertama, adanya perkembangan teknologi

komunikasi seperti radio, televisi, telepon, satelit, dan jaringan komputer yang disertai

munculnya industrialisasi, bisnis-bisnis besar dan politik global yang menyebabkan

komunikasi mulai dianggap penting dan mulai mendapat perhatian. Kedua, adanya

ketertarikan terhadap komunikasi sebagai suatu subjek studi karena dipromosikan oleh

filsafat progressivisme dan pragmatisme yang merangsang munculnya hasrat bagi

Page 4: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

kemajuan kehidupan masyarakat melalui meluasnya perubahan sosial. Ketiga, adanya

beberapa perkembangan yang mengarahkan munculnya ketertarikan pada komunikasi

secara akademik yaitu pengaruh politik dari pesan publik yang memicu kesadaran untuk

melakukan riset atas propaganda dan opini publik serta adanya perkembangan ilmu sosial

yaitu ketika sosiologi dan psikologi sosial menjadi pemimpin dalam mempelajari

komunikasi. Kebanyakan riset sosiologi pada tahun 1930-an ingin mengetahui cara-cara

komunikasi mempegaruhi individu dan masyarakat sedangkan dalam psikologi sosial

banyak dilakukan riset untuk mengetahui efek menonton film bagi anak-anak, propaganda

dan persuasi, serta dinamika kelompok. Keempat, adanya dominasi dari kepentingan

komersial yang kuat yang membuat orang tertarik untuk memperlajari komunikasi agar

bisa diterapkan dalam bisnis yaitu untuk tujuan-tujuan pemasaran atau periklanan. Kelima,

pasca Perang Dunia II, ilmu sosial telah menjadi ilmu yang secara penuh terlegitimasi dan

muncul ketertarikan yang kuat dan tetap pada proses-proses sosial dan psikologikal.

Komunikasi menjadi studi yang cukup penting (Littlejohn, 2002: 3-4). Terakhir, diluar yang

dijelaskan Littlejohn kita bisa menambahkan adanya kepentingan Amerika Serikat dalam

Perang Dunia II. Pemerintah Amerika Serikat kala itu menghadapi kendala-kendala seperti

bagaimana meyakinkan rakyat agar mau ikut perang, mengubah gaya hidup perdamaian

menjadi gaya hidup perperangan. Kendala-kendala ini membuat pemerintah Amerika

Serikat memobilisir para pakar untuk melakukan penelitian mengenai komunikasi demi

mendapatkan solusi atas kendala-kendala itu dan memenghasilkan sati organisasi yang

bernama Offiice of War Information atau OWI. Termasuk didalamnya adalah para pemikir

Mahzab Frankfurt yang melarikan diri dari Jerman ke Amerika Serikat (M.Alwi Dahlan,

2008).

Dengan demikian, komunikasi sesungguhnya adalah bidang ilmu yang masih

muda umurnya. Lantas, bagaimana hubungan ilmu komunikasi dengan bidang ilmu

lainnya? Seperti yang kita lihat dalam sejarahnya, komunikasi adalah hasil konvergensi

berbagai pengetahuan tentang komunikasi dari berbagai bidang ilmu seperti sosiologi,

antropologi, politik, psikologi dan matematika (M. Alwi Dahlan, 2008). Maka dari itu ilmu

komunikasi ibarat ”jalan simpang yang paling ramai dengan berbagai disiplin ilmu yang

melintasiya” dan bisa dianalogikan dengan kota purba Babelh Dehre yang sering

disinggahi para musafir sebelum melanjutkan perjalanan. Masing-masing musafir itu

kemudian meninggalkan sesuatu di kota purba itu. Persis seperti komunikasi yang dilewati

oleh berbagai disiplin ilmu dan mendapatkan pengkayaan dari berbagai disiplin ilmu itu

Page 5: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

(Schramm, 1980 dalam Anwar Arifin, 2006: 15). Itulah sebabnya mengapa komunikasi

menjadi ilmu yang sangat eklektik dan interdisipliner.

Schramm sebagai founder (pendiri) dari Ilmu Komunikasi sendiri menyadari bahwa

tidak mungkin mengembangkan komunikasi menjadi satu bidang ilmu yang mandiri

dengan mengabaikan bidang ilmu lainnya. Namun, demikian tetap harus memberikan

penekanan pada hal yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Komunikasi adalah

bidang ilmu pengetahuan sekaligus juga terapan yang menghasilkan profesionalisme.

Industri media massa seperti radio, televisi, film dan lainnya membutuhkan para pekerja

yang terampil dari lulusan ilmu komunikasi (Budyatna, 2008: 176). Inilah bentuk hubungan

ilmu komunikasi dengan disiplin ilmu lain, juga hubungannya dengan dunia profesi.

Lebih jauh, untuk membedakan Ilmu Komunikasi dengan disiplin ilmu yang lain,

kita perlu ingat bahwa sekalipun bidang ilmu yang lain juga meneliti komunikasi, tetapi

mereka melihatnya sebagai proses sekunder. Psikologi misalnya mempelajari perilaku

individu dan memandang komunikasi sebagai salah satu bentuk perilaku. Sedangkan

Sosiologi yang fokus pada masyarakat dan proses sosial memandang komunikasi hanya

sebagai salah satu faktor sosial. Kita, sebagai ilmuwan komunikasi, tidak memandang

komunikasi sebagai proses sekunder melainkan primer. Komunikasi adalah pusat dari

semua pengalaman manusia dan Ilmu Komunikasi adalah bidang ilmu yang

dicirikan/dikaraterisasikan dari fokusnya pada komunikasi sebagai topik utama dan

perhatiannya pada keluasan topik komunikasi itu (Littlejohn, 2002: 5-6).

Bagaimanapun, perkembangan ilmu komunikasi di Amerika Serikat mengambil

pendekatan yang berbeda dengan di Eropa. Pendekatan Amerika Serikat lebih bersifat

kuantitatif demi mengejar objektivitas hasil penelitian sedangkan di Eropa lebih bersifat

kritis, historis dan kultural karena pengaruh Marxisme yang ada di dalamnya (Littlejohn,

2002:4). Dalam hal ini, pakar Ilmu Komunikasi D. Lawrence Kincaid bahkan telah

membedakan antara perspektif Barat dan Timur. Kincaid berpendapat bahwa cara berpikir

Timur juga bisa berkontribusi pada pemahaman kita atas komunikasi. Oleh sebab itu,

dengan sangat berharga Kincaid membandingkan antara perspektif Barat dan Timur.

Perspektif Barat yang dimaksud oleh Kincaid adalah perspektif yang dipakai di Amerika

Serikat dan Eropa di atas. Perbedaan itu adalah (1) teori-teori Timur berupaya untuk fokus

pada keutuhan (wholeness) dan kesatuan (unity) sedangkan pespektif Barat lebih

mempelajari bagian-bagian dan tidak menggabungkannya dalam satu proses yang

menyatukan. (2) Banyak teori Barat didominasi oleh visi individualisme. Manusia dianggap

Page 6: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

aktif mengejar tujuan personal. Sebaliknya, banyak teori Timur memandang capaian

komunikasi sebagai hasil yang tidak direncanakan dan alamiah. (3) Banyak teori Barat

didominasi oleh bahasa. Di Timur, simbol verbal, terutama ucapan dijalankan dan

dipandang dengan skeptis. Cara berpikir Barat juga dicurigai oleh tradisi Timur. Apa yang

dianggap penting dalam banyak filsafat Asia adalah wawasan intuitif yang didapat dari

pengalaman langsung. Wawasan semacam itu bisa didapat dengan tidak memotong

kejadian/peristiwa alamiah, yang juga menjelaskan mengapa sikap ’diam’ menjadi sangat

penting dalam komunikasi Timur. Terakhir (4) keduanya mengkonseptualisasikan relasi

dengan cara yang berbeda. Pada perspektif Barat, relasi ada antara dua orang atau lebih.

Dalam perspektif Timur, relasi lebih rumit karena selalu melibatkan perbedaan posisi sosial

seperti peran, status dan kekuasaan (Littlejohn, 2002: 4-5).

Di Indonesia, Ilmu Komunikasi adalah salah satu bidang studi yang paling diminati.

Hal ini dapat kita lihat dari menjamurnya program studi Ilmu Komunikasi di universitas-

universitas. Mengapa demikian? Saya pikir karena adanya pertemuan dua arus

kepentingan. Seperti kita tahu, industri media adalah industri yang paling banyak

dijalankan saat ini. Hitung saja jumlah stasiun televisi (lokal dan nasional), jumlah stasiun

radio, jumlah koran (lokal dan nasional), jumlah majalah, dan lainnya. Industri media ini

adalah industri padat modal yang harus dikelola dengan sangat hati-hati dan profesional

karena persaingan yang sangat ketat antara media itu sendiri. Artinya, industri media

memiliki kepentingan atas adanya pekerja-pekerja yang terampil dan profesional dalam

mengelola media. Sebaliknya, lapangan kerja sangat dibutuhkan oleh banyak orang.

Menyadari kebutuhan industri-industri media itu, orang kemudian berbondong-bondong

belajar di program Ilmu Komunikasi dengan harapan setelah lulus nanti bisa berkerja di

industri media tersebut. Baik sebagai reporter, news reader, editor, filmmaker,

cameraperson, dan profesi lainnya. Berdirinya banyak sekali program Ilmu Komunikasi di

universitas-universitas serta masuknya orang secara berbondong-bondong ke dalam

program Ilmu Komunikasi ini juga berimbas pada kebutuhan yang besar atas tenaga

pengajar dalam Ilmu Komunikasi. Akibatnya, pendidikan Ilmu Komunikasi pada level yang

lebih tinggi (pasca sarjana) semakin diminati orang.

Selain untuk berkerja sebagai praktisi media atau tenaga pengajar, orang juga

mulai sadar bahwa apapun profesi mereka, maka skill atau keterampilan berkomunikasi

sangatlah penting. Misalnya, dokter perlu komunikasi yang baik dengan pasiennya, begitu

juga politisi perlu komunikasi yang baik dengan calon ataupun konstituennya. Oleh sebab

Page 7: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

ini, maka banyak orang merasa perlu untuk mempelajari ilmu komunikasi. Dari semua

faktor ini, maka dapat kita simpulkan bahwa prospek Ilmu Komunikasi adalah sangat

cerah. Hanya saja, gairah yang tinggi untuk mempelajari Ilmu Komunikasi ini hanya

didasari oleh kepentingan pragmatis. Belum melibatkan kepentingan yang lebih jauh lagi

seperti misalnya memperkuat kesatuan dan persatuan bangsa karena komunikasi yang

baik dapat menjembatani berbagai perbedaan yang ada dalam tubuh bangsa Indonesia

yang bhineka.

FONDASI ILMIAH ILMU KOMUNIKASI

Seperti juga bidang ilmu yang lain, Ilmu Komunikasi mesti memiliki fondasi

keilmuannya sendiri sehingga ia layak disebut satu bidang ilmu mandiri yang berdiri

sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan fondasi keilmuan adalah paradigma (yang

juga mencerminkan filsafat dalam ilmu komunikasi), definisi dan teori yang terdapat dalam

ilmu komunikasi.

Apa saja paradigma yang ada dalam ilmu komunikasi dan paradigma apa yang

dominan? Rasanya, sebelum menjawab pertanyaan ini maka kata ”paradigma” itu sendiri

perlu kita definisikan terlebih dahulu. Kata ”paradigma”, sesungguhnya adalah kata yang

dipopulerkan oleh filsuf Thomas Kuhn dalam bukunya yang berjudul The Structure of

Scientific Revolution (Mulyana, 2004: 9). Paradigma sendiri dijelaskan oleh Kuhn adalah

”broad theoretical orientations that guide the works of scholars in a field over a substantial

period of time. They are pervasive and highly influential, and shape and are reflected in

scholars’ theories, research, and practice” (Kuhn, 1970, dalam Ruben dan Stewart, 2006:

48)

Definisi yang lain diberikan oleh Patton yaitu paradigma adalah cara pandang atas

dunia -satu cara untuk memikirkan dan memberikan penjelasan atas kompleksitas dunia

nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya.

Paradigma memberitahukan apa yang penting, terlegitimasi dan masuk akal. Paradigma

juga bersifat normatif, menunjukkan pada para praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa

perlu mempertimbangkan eksistensial atau epistemologis yang panjang (Patton, 2002: 69).

Dari dua definisi diatas, saya kemudian mengambil kesimpulan secara longgar

bahwa paradigma adalah suatu cara pandang teoretis untuk memahami realitas yang

memandu ilmuwan dalam kerja-kerja ilmiahnya. Artinya, dari sini kita bisa membedakan

antara paradigma dalam ilmu pengetahuan secara umum dengan paradigma dalam ilmu

Page 8: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

komunikasi. Paradigma dalam ilmu pengetahuan secara umum adalah cara pandang kita

atas apa itu realitas dan apa itu kebenaran sedangkan paradigma dalam ilmu komunikasi

adalah cara pandang kita mengenai apa itu komunikasi.

Dalam ilmu pengetahuan sosial, kita mengenal adanya beberapa paradigma yaitu

positivisme/postpositivisme, konstruktivisme/konstruksionisme/interpretif dan kritis.

Sedangkan, dalam ilmu komunikasi kita mengenal adanya dua paradigma yaitu paradigma

transmisi atau rezim transmisi (Radford, 2005: 1) atau Mahzab Proses (Fiske, 2004: 9)]

dan paradigma ritual (Carey, 1989, dalam Idi Subandy Ibrahim, 2004: ix) atau disebut

mahzab semiotika oleh Fiske (Fiske, 2004: 9).

Paradigma transmisi/proses memandang komunikasi sebagai proses transmisi

pesan dari sumber menuju penerima. Ia tertarik pada bagaimana pengirim mengkonstruksi

pesan (encode) dan penerima menafsirkannya (decode) serta bagaimana dan melalui

saluran apa pesan tersebut ditransmisikan. Paradigma transmisi melihat efisiensi dan

akurasi pengiriman pesan sebagai cara untuk mengukur keberhasilan komunikasi dengan

efek sebagai indikatornya. Jika pesan dipahami penerima sama dengan yang dipahami

pengirim atau penerima berperilaku sesuai dengan yang diharapkan pengirim maka

komunikasi dianggap berhasil. Sebaliknya, paradigma ritual atau mahzab semiotika

memusatkan perhatiannya pada makna. Komunikasi dipandang sebagai produksi dan

pertukaran makna yang mana melaluinya kebudayaan dibentuk, dipelihara dan diubah.

Konsekuensinya adalah, dalam riset, paradigma transmisi memusatkan perhatian untuk

meneliti tindakan komunikasi sedangkan paradigma ritual pada karya komunikasi (teks)

dan maknanya.

Dalam perkembangan ilmu komunikasi, pada mulanya paradigma transmisi adalah

paradigma yang dominan. Oleh sebab itulah teori-teori yang ada selalu membicarakan

adanya sumber, pesan, penerima, saluran dan efek. Misalnya, teori komunikasi dari

Shannon atau Laswell. Sedangkan implikasinya pada riset adalah bahwa dalam riset

ketika itu, yang menjadi fokus peneliti selalu adalah tindakan komunikasi serta efeknya

seperti yang telah dijelaskan diatas. Contohnya, riset yang dilakukan Schramm dan timnya

dari Stanford University pada tahun 1958 sampai 1960 mengenai efek televisi terhadap

anak-anak. Berkat dana besar dari National Educational Television and Radio Center,

riset ini dijalankan Schramm 11 kali di 10 kota yang berbeda. Wawancara dilakukan

terhadap 6000 anak dan 2000 orang tua (Baran dan Davis, 2000: 150). Lama-kelamaan

paradigma transmisi ini tidak lagi dominan. Karena begitu kompleksnya komunikasi, maka

Page 9: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

lebih baik untuk mendekati jantung komunikasi dengan menggunakan kedua paradigma

ini. Dominasi paradigma transmisi digantikan oleh konvergensi antara paradigma transmisi

dengan paradigma ritual atau semiotika seperti yang disimpulkan oleh Fiske (Fiske, 2004:

261-263)

Kini, dengan munculnya teknologi komunikasi dan informasi global,

batasan/halangan ruang dan waktu untuk berkomunikasi menjadi tidak lagi begitu berarti.

Orang bisa berkirim dan menerima pesan secara simultan, dari banyak orang ke banyak

orang, dari ujung dunia ke ujung dunia lain, melewati batas-batas geografis dan kultural.

Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah berimplikasi pada berubahnya

pelaku komunikasi (pengirim/penerima) menjadi pastisipan komunikasi (peserta) yang

setara. Selain itu juga sulit untuk membedakan mana komunikasi antarpribadi, mana

komunikasi massa, mana komunikasi antarbudaya. Batasan-batasan itu sudah semakin

kabur. Sepertinya pelaku komunikasi sudah dapat disebut prosumen (produsen-

konsumen) komunikasi, baik dalam level individu maupun massal (M.Alwi Dahlan, 2008).

Begitu juga dengan pesan telah mengambil beragam bentuk yang lebih luas dari

sebelumnya seperti misalnya animasi, film, musik dan tulisan bisa muncul bersamaan.

Apa implikasinya lebih jauh bagi ilmu komunikasi? Saya kira, dengan semakin kaburnya

batasan itu, membuat komunikasi menjadi subjek yang semakin kompleks untuk didekati.

Oleh sebab itu, perlu adanya konvergensi antara dua paradigma menjadi satu seperti yang

disimpulkan Fiske.

Mengenai definisi, maka sangat sulit untuk mendefinisikan kata ”komunikasi”

padahal komunikasi itulah yang menjadi subjek studi ilmu komunikasi. Komunikasi

memang adalah pengalaman yang paling biasa yang selalu kita alami sehari-hari. Tapi,

saat kita coba mendefinisikannya, ia tiba-tiba menjadi teka-teki yang begitu rumit

(Littlejohn, 2002: 2). Kesulitan untuk mendefinisikan komunikasi itu muncul dari

penggunaan istilah komunikasi yang sedemikian luas dalam kehidupan kita sehari-hari.

Komunikasi bisa adalah berbicara dengan orang lain, berita di koran, kritik sastra, diskusi

ilmilah di ruang kelas, senyuman, ciuman, lambaian tangan, jeritan, sampai gaya potongan

rambut. Daftar ini tak ada habis-habisnya. Penggunaan yang sedemikian luas dari istilah

komunikasi inilah yang membingungkan kita saat mencoba mendefinisikan komunikasi.

Apakah istilah komunikasi memiliki batasan arti? Bagaimana mendefinisikan komunikasi?

Apakah segalanya adalah komunikasi? (Ruben dan Steward, 2006: 12; Fiske, 2004: 7).

Page 10: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

Lantas, apa sesungguhnya definisi dari komunikasi? Sebelum menjawab

pertanyaan itu, mari kita artikan dulu apa yang kita maksud dengan definisi. Definsi adalah

sesuatu yang penting dalam ilmu pengetahuan. Definisi yang berbeda memiliki fungsi yang

berbeda yang membuat para teoritesi mampu melakukan hal yang berbeda. Satu definisi

seharusnya dinilai berdasarkan sebaik apa definisi itu mampu mencapai tujuan dari satu

investigasi. Investigasi yang berbeda mensyaratkan definisi yang berbeda bahkan bisa jadi

bertentangan satu sama lain. Definisi, oleh sebab itu, adalah alat yang semustinya bisa

digunakan secara fleksibel. (Littlejohn, 2002: 8-9).

Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa adanya satu definisi tunggal justeru akan

menjadi kaku dan tidak mampu dipergunakan untuk mencapai tujuan dari berbagai

investigasi. Dance sendiri menyadari hal ini. Dance berkata: ”kita telah mencoba untuk

membuat konsep atas ’komunikasi’ untuk mengerjakan terlalu banyak hal bagi kita”

(Dance, 1970, dalam Littlejohn, 2002: 9). Oleh sebab itu Dance meminta adanya

sekumpulan konsep, yang secara kolektif, mendefinisikan apa itu komunikasi. Jadi,

implikasinya adalah tidak ada definisi yang tunggal mengenai apa itu komunikasi dalam

Ilmu Komunikasi.

Apa yang kemudian dilakukan Frank Dance? Persis seperti kesimpulannya bahwa

dibutuhkan sekumpulan konsep untuk mendefinisikan komunikasi, maka Dance berusaha

mengumpulkan sebanyak mungkin konsep untuk mendefinisikan komunikasi. Ia

menemukan tiga poin ”diferensiasi konseptual kritis” yang membentuk dimensi dasar dari

komuniasi yaitu (1) level observasi atau keabstrakan. Terkadang, satu definisi terlalu

meluas sedang yang lain terlalu menyempit. (2) Kesengajaan. Sebagian definisi hanya

memasukkan tindakan yang disengaja sebagai komunikasi, sebagian lagi tidak. (3)

Penilaian normatif yaitu memasukkan satu penilaian normatif atas komunikasi. Misalnya,

akurasi dan efisensi pengiriman pesan, sampai pemahaman pesan (Littlejohn, 2002: 6-7).

Dari upayanya, Frank Dance berhasil mengumpulkan 126 definisi atas komunikasi (Ruben

dan Stewart, 2006 : 13).

Ruben sendiri, mengajukan beberapa karakteristik yang fundamental dari

komunikasi yaitu (1) komunikasi itu proses, (2) komunikasi itu adalah sesuatu yang

esensial bagi kehidupan individu, relasi, kelompok, organisasi dan masyarakat, (3)

komunikasi melibatkan tindakan merespon dan membuat pesan dan mentransformasikan

pesan menjadi satu informasi yang bisa dipakai, (4) komunikasi melibatkan tindakan

beradaptasi dengan manusia lain dan lingkungan. Dengan mengkombinasikan empat

Page 11: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

karakteristik fundamental itu, Ruben hendak menawarkan satu definisi yang menurut

hematnya cukup memadai atas komunikasi yaitu: human communication is the process

through which individuals in relationships, groups, organizations, and societes create and

use information to relate to the environment and one another (komunikasi manusia adalah

satu proses yang melaluinya individu dalam relasi-relasi, kelompok, organisasi, dan

masyarakat menciptakan dan memakai informasi untuk berhubungan dengan lingkungan

dan orang lain) (Ruben dan Stewart, 2006 : 14-17).

Lantas, perilaku apa sajakah yang dapat digolongkan komunikasi? Ada sembilan

perilaku yang bisa dipertimbangkan dalam mendefinisikan komunikasi. Sembilan perilaku

itu adalah (1A) nonperceived symptomatic behaviour (pesan berupa gejala fisik yang tak

disengaja –seperti menguap, yang tak diterima penerima), (1B) incidenttally perceived

symptoms (pesan berupa gejala fisik tak disengaja, tetapi diterima penerima walaupun

diacuhkan), (1C) symptom attended to (pesan berupa gejala fisik yang tak disengaja dan

diterima oleh penerima kemudian direspon, (2A) nonperceived nonverbal message (pesan

nonverbal yang dikirim dengan sengaja, tetapi tidak diterima), (2B) incidental nonverbal

message (yang dikirim dengan sengaja, diterima tetapi diacuhkan), (2C) nonverbal

messages attended to (pesan nonverbal yang dikirim dengan sengaja dan direspon), (3A)

nonperceived verbal messages (pesan verbal yang dikirim dengan sengaja, tetapi tidak

diterima), (3B) incidental verbal message (pesan verbal yang dikirimkan dengan sengaja,

diterima tetapi diacukan), (3C) verbal messages attended to (pesan verbal yang dikirim

dengan sengaja, diterima dan direspon dengan sengaja). Kita bisa menggolongkan

perilaku mana saja yang termasuk komunikasi dengan menjawab dua pertanyaan

pemandu berikut ini: (1) Haruskah komunikasi dilakukan dengan sengaja? (2) Haruskah

pesan komunikasi ditangkap penerima? (Littlejohn, 2002: 7-9)

Motley menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pengiriman pesan yang

disengaja dan selama pesan itu dapat diterima (2B, 3B, 2C, 3C). Pendapat Motley ini

disebut the sender-receiver model. Andersen menyatakan bahwa setiap perilaku yang bisa

dimaknai oleh penerima harus digolongkan kedalam komunikasi tanpa memperdulikan

kesengajaan pengirim (1B, 2B, 3B, 1C, 2C, 3C). Pendapat Andersen ini disebut the

receiver model. Terakhir, Clevenger menyatakan bahwa ia setuju dengan Motley bahwa

hanya pengiriman pesan yang disengajalah yang tergolong komunikasi. Tapi kesengajaan

sulit untuk diketahui sehingga ia menyarankan agar semua pengiriman baik yang

disengaja maupun tidak, selama pesan yang dikirim masih diterima, dapat digolongkan

Page 12: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

sebagai komunikasi (2A, 3A, 1B, 2B, 3B, 1C, 2C, 3C). Pendapat Clevenger ini disebut the

communication behaviour model.

Littlejohn mensintesakan dari pemikiran tiga pakar bahwa semua perilaku yang

disengaja dapat digolongkan sebagai komunikasi. Tapi, masih ada perbedaan pendapat

tentang perilaku lain lagi yang mana yang dapat digolongkan sebagai komunikasi. Karena

sedemikian luasnya komunikasi, serta sedemikian pentingnya definisi bagi investigasi

komunikasi, maka Littlejohn dalam hal ini kemudian bersepakat dengan Dance bahwa

diperlukan lebih dari satu definisi atas komunikasi melainkan sekumpulan konsep

(Littlejohn, 2002: 8-9).

Betapa luasnya makna dan definisi komunikasi telah melahirkan begitu banyak

teori dalam bidang ini. Kemudian, muncul pertanyaan, bagaimana mengkarakteristikkan

teori komunikasi yang beragam tadi menjadi satu bidang? Seorang profesor komunikasi

dari University of Colorado yaitu Robert T Craig berpendapat bahwa akan bidang ini tidak

akan tersatukan dengan menyatukan teori atau teori-teori karena teori-teori selalu

merefleksikan betapa majemuknya ide-ide praktis tentang komunikasi dalam hidup sehari-

hari. Oleh sebab itu, maka kita seharusnya bukan bertujuan mencari satu model standar

melainkan mencari satu bentuk koherensi berdasarkan pada; (1) pemahaman bersama

atas persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan atau titik ketegangan antara teori-

teori dan (2) suatu komitmen bersama untuk mengatur ketegangan itu lewat dialog. Dari

sini, kita mendapatkan dua persyaratan agar teori komunikasi bisa menjadi satu bidang

yaitu adanya metamodel (model atas model) dan metadiscourse (wacana mengenai

wacana). Sebagai premis dasar metamodel, Craig mengatakan bahwa komunikasi

membentuk realitas. Ia adalah proses primer dimana kehidupan manusia dialami.

Mengenai metadiscourse, maka yang dimaksud Craig adalah teori komunikasi yakni

bentuk komunikasi yang ”menjelaskan komunikasi”. Craig selanjutnya mendeskripsikan

bahwa ada tujuh titik pijak tradisional yang bisa ikut serta dalam dialog untuk membentuk

koherensi bidang komunikasi yaitu (1) tradisi retoris yang memandang komunikasi sebagai

seni keterampilan yang bisa dievaluasi dan dikembangkan, (2) tradisi semiotik yang fokus

pada tanda-tanda dan simbol-simbol serta bagaimana tanda-tanda itu membangkitkan

makna, (3) tradisi fenomenologis yang berkonsentrasi pada pengalaman personal

sehingga memandang komunikasi sebagai pertukaran pengalaman personal melalui

dialog, (4) tradisi sibernetik yang memandang komunikasi sebagai pemprosesan informasi,

(5) tradisi sosiopsikologis yang berkonsentrasi pada aspek-aspek komunikasi seperti

Page 13: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

ekpresi, interaksi dan pengaruh, (6) tradisi sosiokultural yang menjadikan tatanan sosial

sebagai fokus mereka dan memandang komunikasi sebagai perekat masyarakat, serta (7)

tradisi kritis yang cenderung memandang komunikasi sebagai pengaturan sosial dari

kekuasaan dan penindasan yang merespon persoalan-persoalan ideologi, kekuasaan, dan

dominasi. (Littlejohn, 2002: 12-14)

Dalam kaitannya dengan hal ini, Bradac dan Bowers telah mengadakan satu

analisis metateori atas ilmu komunikasi. Metateori adalah satu bidang yang

mendeskripsikan dan menjelaskan persamaan-persamaan serta perbedaan-perbedaan

yang ada diantara teori-teori dengan memakai tiga tema besar yaitu epistemologi (tentang

pengetahuan yang benar dan cara mendapatkannya), ontologi (tentang eksistensi) dan

aksiologi (tenyang nilai-nilai). Apa hasil dari analisis Bradac dan Bowers itu? Dalam bagian

kesimpulan, Bradac dan Bowers mengatakan bahwa metateori yang ada dalam ilmu

komunikasi sudah benar, sudah pada jalurnya. Oleh sebab itu, tugas kita selanjutnya

bukan lagi membuat metateori melainkan melakukan riset dan berteori dengan memakai

metateori yang sudah ada. (Bradac and Bowers, dalam Burgoon, ed., 1982: 20-21). Jadi,

tujuh titik pijak yang ditawarkan Craig sudah memadai untuk menjadi titik pijak kita dalam

berteori.

Apa Itu teori komunikasi? Secara sederhana, teori adalah segala upaya

menjelaskan atau merepresentasikan pengalaman dan realitas. Artinya, semua orang

dalam kehidupan sehari-hari bisa saja berteori. Namun, para ilmuwan memakai istilah teori

dengan lebih seksama yakni hasil kerja intelektual yang melibatkan penelitian ilmiah yang

tekun dan seksama. Istilah teori komunikasi sendiri bisa merujuk pada satu teori atau juga

untuk menandai sekumpulan pemikiran yang ditemukan dalam sekumpulan teori yang

berhubungan dengan komunikasi

Mengapa Mempelajari Teori Komunikasi? Karena dengan mengembangkan

pemahaman atas berbagai teori komunikasi kita mendapatkan paradigma yang membuat

kita mampu menginterpretasikan peristiwa dengan lebih mendalam, fleksibel dan

bermanfaat. Kita lantas bisa melihat hal-hal baru dan bermanfaat sekalipun objek yang kita

amati adalah objek yang sudah familiar bagi kita.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Anwar. 2006. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar Ringkas. Cetakan 7. Jakarta :

Raja Grafindo Persada.

Page 14: Komunikasi-Sejarah Dan Fondasi Keilmuan

Bradac, James J. dan John Waite Bowers. 1982. Issues in Communication Theory: A

Metatheoretical Analysis, dalam Michel Burgoon (ed.). Communication Year Book

5

Budyatna, M. 2008. Perkembangan Sistem Pendidikan Komunikasi, dalam Manusia

Komunikasi, Komunikasi Manusia. Jakarta : Kompas

Dahlan, M. Alwi. 2008. Selintas Perkembangan Komunikasi dan Ilmunya: Retrospeksi dan

Prospek. Disampaikan sebagai materi diskusi pada Colloqium Pembuka Awal

Tahun Kuliah 2008-2009, Program Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi, Universitas

Indonesia.

Fiske, John. 2004. Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling

Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra. Penerjemah: Idi Subandy Ibrahim dan Yosal

Iriantara dari Fiske, John. 1990. Introduction to Communication Studies. 2nd

edition. Routledge.

Ibrahim, Idi Subandy. 2004. Studi Komunikasi Dalam Masyarakat Kontemporer : Menuju

Konvergensi dan Pendekatan Kritis. Pengantar Editor untuk Fiske, John. 2004.

Cultural and Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif.

Yogyakarta: Jalasutra

Littlejohn, Stephen. 2002. Theories of Human Communication. Seventh edition. Belmont:

Wadsworth

Patton, Michael Quinn. 2002. Qualitative Research and Evaluation Methods. Third edition.

Thousand Oaks, California: Sage Publications

Radford, Gary. 2005. On The Philosophy of Communication. Belmont: Wadsworth

Ruben, Brent D, dan Lea P. Stewart. 2006. Communication and Human Behavior. Fifth

edition. Boston: Pearson Education