Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

25
BAB I PENDAHULUAN I. LATAR BELAKANG Pada zaman yang serba modern seperti sekarang ini, maka manusia dituntut untuk lebih maju dalam hal pengembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang wajib dimiliki oleh masing-masing orang. Karena tanpa adanya ilmu pengetahuan maka manusia akan kesulitan untuk bersaing dengan manusia yang lain guna kelangsungan hidup mereka di dunia yang hanya sebentar saja. Oleh karena itu maka perlu adanya pengembangan ilmu pengetahuan secara terus menerus. Untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan diperlukan beberapa hal diantaranya yaitu objek yang dikaji harus jelas, metode pengembangan yang tepat, serta perlu adanya etos dan kode etik keilmuan. Etos keilmuan diperlukan sebagai semangat untuk memotivasi para ilmuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sekalipun dana dan fasilitas sudah cukup memadai, namun apabila tidak ada semangat yang memotivasi untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan maka ilmu tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Sedangkan kode etik diperlukan untuk mempromosikan persamaan manusia, 1

description

tugas makalah

Transcript of Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

Page 1: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

BAB I

PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Pada zaman yang serba modern seperti sekarang ini, maka manusia dituntut

untuk lebih maju dalam hal pengembangan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan suatu hal yang wajib dimiliki oleh masing-

masing orang. Karena tanpa adanya ilmu pengetahuan maka manusia akan kesulitan

untuk bersaing dengan manusia yang lain guna kelangsungan hidup mereka di dunia

yang hanya sebentar saja. Oleh karena itu maka perlu adanya pengembangan ilmu

pengetahuan secara terus menerus.

Untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan diperlukan beberapa hal

diantaranya yaitu objek yang dikaji harus jelas, metode pengembangan yang tepat,

serta perlu adanya etos dan kode etik keilmuan. Etos keilmuan diperlukan sebagai

semangat untuk memotivasi para ilmuan untuk mencari dan mengembangkan ilmu

pengetahuan. Sekalipun dana dan fasilitas sudah cukup memadai, namun apabila

tidak ada semangat yang memotivasi untuk mengembangkan sebuah ilmu

pengetahuan maka ilmu tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Sedangkan kode

etik diperlukan untuk mempromosikan persamaan manusia, keadilan sosial, dan

kesejahteraan masyarakat selama proses pengembangan ilmu pengetahuan

berlangsung.

II. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang seperti di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1) Apa yang dimaksud dengan etos keilmuan?

2) Apa yang menjadi pokok bahasan etos keilmuan?

3) Apa yang dimaksud dengan kode etik keilmuan?

4) Apa yang menjadi pokok bahasan kode etik keilmuan?

1

Page 2: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

III. TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah seperti di atas maka dapat diperoleh tujuan

sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui pengertian etos keilmuan.

2) Untuk mengetahui pokok bahasan yang dikaji dalam etos keilmuan.

3) Untuk mengetahui pengertian kode etik keilmuan.

4) Untuk mengetahui pokok bahasan yang dikaji dalam kode etik keilmuan.

2

Page 3: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Etos Keilmuan

Ethos secara etimologi berarti sifat, watak, adat, kebiasaan, tempat

yang baik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etos adalah pandangan

hidup yang khas dari suatu golongan sosial. Sedangkan keilmuan yang berasal

dari kata ilmu menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti pengetahuan

tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu,

yg dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang pengetahuan

itu sendiri.

Dari pengertian etos dan keilmuan tersebut maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa etos keilmuan adalah suatu pandangan hidup yang

dijadikan sebagai sebuah semangat untuk menggali, mendapatkan, dan

mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan.

B. Pokok Bahasan Etos Keilmuan

Di dalam islam etos keilmuan dikenal sejak diturunkannya wahyu

pertama oleh Allah kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui Q.S. al-‘Alaq (96)

ayat 1-5 yang berbunyi sebagi berikut:

3

Page 4: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

Dari Q.S. al-‘Alaq (96) ayat 1-5 tersebut maka dapat dipastikan bahwa

Allah telah memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w untuk “membaca”. Hal itu

berarti sejak masa itu semangat untuk mencari tahu, mendapatkan, serta

mengembangkan ilmu pengetahuan sudah dianjurkan oleh Allah SWT. Etos

keilmuan juga merupakan salah satu sisi dari dua semangat kembar. Dua

semangat kembar tersebut bahkan telah diberikan Allah sejak penciptaan

Adam. Semangat keilmuan juga tampak pada Q.S. al-Baqarah (2) ayat 31

sebagai barikut :

ال�م�الئ�ك�ة� ع�ل�ى م� ه� ض� ع�ر� ث�م� ا ك�ل�ه� اء� م� األس� آد�م� و�ع�ل�م�

ين� اد�ق� ص� ك�ن�ت�م� إ�ن� ؤ�الء� ه� اء� م� س�ب�أ� ن�ب�ئ�ون�ي

� أ ال� ق� ف�

Artinya: “Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)

seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu

berfirman : Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang

orang-orang yang benar!” (Q.S. al-Baqarah (2):31).

4

Page 5: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

الت�و�اب� و� ه� �ن�ه� إ ع�ل�ي�ه� ت�اب� ف� ك�ل�م�ات6 ب8ه� ر� م�ن� آد�م� ى ت�ل�ق� ف�

يم� ح� الر�

Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka

Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi

Maha Penyayang.” (Q.S. al-Baqarah (2):37).

Secara umum, wahyu pertama ini mengandung tiga misi kerasulan

Muhammad Saw., yaitu misi ketuhanan (rububiyah), misi kemanusiaan

(insaniyah) dan misi peradaban (al-‘ilm). Misi pertama (ketuhanan)

disebutkan dalam teks wahyu pertama dengan mengintrodusir pernyataan

bismi rabbik al-ladzi khalaq dan ungkapan wa rabbuka al-akram. Kedua

pernyataan ini untuk menegaskan ketuhanan sejati sebagai kritik atas

keyakinan ketuhanan yang menyimpang dalam tradisi masyarakat Arab.

Yaitu, keyakinan terhadap ketuhanan Lata dan Uza yang biasa mereka sebut

dalam segala bentuk ritual keagamaan dan aktivitas kehidupan. Wahyu

pertama di atas, merupakan pembebasan dari keyakinan ketuhanan semu

tersebut dengan menegaskan orientasi baru terhadap ketuhanan sejati, yaitu

Tuhan pencipta dan pemelihara kehidupan. Istilah rabb tidak hanya berarti

ketuhanan pasif, yakni sekedar pencipta, melainkan mengandung arti

ketuhanan dinamis, yakni sebagai pencipta sekaligus pemelihara dan pengatur

kehidupan (M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Dengan demikian, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa pernyataan

bismi rabbika al-ladzi khalaq (atas nama Tuhan Yang Menciptakan)

merupakan misi transendensi kehidupan, yakni bahwa segala aktivitas

kehidupan harus diorientasikan semata-mata sebagai pengabdian kepada

Tuhan sejati. Inilah, misi pertama kenabian Muhammad, Saw. yang harus

menjadi nilai atau etos dalam segala aktivitas kerja, keluarga, masyarakat,

5

Page 6: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

organisasi, bisnis (ekonomi), politik (penyelenggaraan kekuasaan),

pengelolaan pendidikan, penegakkan hukum, pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi, kesehatan dan lingkungan hidup serta

pengembangan seni-kebudayaan (M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Misi kedua dari kenabian Muhammad Saw., yakni misi kemanusiaan

ditunjukkan dalam ayat ketiga surat al-Alaq yang berbunyi: khalaq al-insâna

min ‘alaq (Yang telah menciptakan manusia dari ‘alaq). Kata ‘alaq—bentuk

jamak dari ‘alaqah—mengandung arti plural, yakni di antaranya berarti

segumpal darah yang beku (al-dam al-jâmid). ‘Alaq dalam pengertian

segumpal darah yang beku ini hampir dijumpai dalam seluruh kitab tafsir

klasik, termasuk Al-Quran. Berkaitan dengan misi kemanusiaan di atas, teks

ayat ketiga dari wahyu pertama ini, menjelaskan bahwa seluruh manusia

diciptakan dari asal yang sama, yakni ‘alaqah. Oleh karena itu, semua

manusia adalah sama dan setara (equality) dihadapan Tuhan, tidak ada yang

inferior atau superior. Gagasan kesetaraan ini, merupakan misi yang

membebaskan dari segala bentuk diskriminasi sosial. Dalam masyarakat Arab

ketika itu, terjadi diskriminasi antara kelas sosial kaya (the have) dan kelas

sosial miskin (the have not), budak dan Tuan, ‘azami dan non-‘azami, serta

diskriminasi gender antara laki-laki dan perempuan. Praktik diskriminatif

tersebut, melahirkan berbagai bentuk ketimpangan sosial dan penindasan atau

exploitation of man by human beings. Dengan demikian, misi kemanusiaan

dari kenabian Muhammad Saw. dalam wahyu pertamanya itu adalah

pembebasan dari segala bentuk diskriminasi dan penindasan sosial dalam

rangka menegakkan cita-cita sosial yang berkeadilan (M. Quraish Shihab,

2002: 403).

Sementara misi ketiga dari kenabian Muhammad Saw. berdasarkan

surat al-Alaq di atas adalah mewujudkan masyarakat yang berperadaban

(mission civilisatrice). Misi peradaban ini, ditunjukkan dalam teks al-ladzi

‘alama bi al-qalam ‘alama al-insâna mâ lam ya’lam (Yang mengajar

6

Page 7: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

(manusia) melalui perantaraan qalam. Mengajar manusia apa yang tidak

diketahuinya). Jika qalam merupakan simbol ilmu pengetahuan (sains) dan

ilmu pengetahuan merupakan simbol peradaban, maka qalam adalah simbol

peradaban (M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Tentunya, sebagaimana telah dikemukakan bahwa mengemban risalah

atau misi ketuhanan, kemanusiaan dan peradaban ini, diperlukan suatu

persiapan yang mumpuni. Dan persiapan yang mumpuni itu hanya dapat

dicapai melalui membaca. Dengan demikian, membaca (perintah iqra’) adalah

kunci pertama yang harus dilakukan oleh Nabi dan kaum muslimin dalam

mewujudkan serta mengaktualisasikan misi profetik ketuhanan, kemanusiaan

dan peradaban (M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Pemikiran penting dalam surat al-‘Alaq ini adalah berkait dengan

perintah membaca atau menggali ilmu pengetahuan (iqra’) yang dihubungkan

dengan keimanan atau ketauhidan (bismi rabbik).Tidak ada satu pun konsep

yang secara operatif berperan menentukan dalam pembentukan peradaban

Islam di segala aspeknya selain konsep ilmu. Maka dapat dikatakan bahwa

tauhid dan keilmuan merupakan semangat kembar yang dibawa Al-Quran

sejak semula. Semangat tauhid dan keilmuan itulah yang terkandung dalam

formulasi wahyu pertama iqra bismi rabbik (bacalah atas nama Tuhan-mu)

dan iqra wa rabuk al-akram, alladzi ‘allama bi al-qalam (bacalah dan

Tuhanmu Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan

perantaraan qalam) (M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Formulasi iqra bismi rabbik dan iqra wa rabuk al-akram, alladzi

‘allama bi al-qalam di atas, juga mengisyaratkan bahwa semangat keilmuan

atau semangat menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan merupakan

suatu ikhtiar suci yang berkait langsung dengan aspek religiusitas ketuhanan.

Karena itu, tujuan akhir dari pencarian dan pengembangan keilmuan dalam

Islam adalah pencerahan spiritualitas melalui sikap ketundukan dan

7

Page 8: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

kepasrahan kepada Tuhan. Kesadaran ketuhanan (tauhid) dan tujuan

pencerahan spiritualitas inilah yang menjadi falsafah dasar pencarian dan

pengembangan keilmuan dalam Islam. Falsafah dasar keilmuan ini berpijak

pada keyakinan akan segala ketergantungan kepada rahman dan rahim-Nya.

Karenanya, segala cita, sikap, pikir dan prilaku keilmuan seharusnya menjadi

bagian dari pengabdian seorang hamba kepada Tuhan. Sehingga semangat

pencarian, penelitian, penemuan teori dan pengembangan serta pengalihan

atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni harus menjadi sarana yang tidak

bebas nilai dan harus diorientasikan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam,

seluruh bangsa dan umat manusiaan (M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Dengan demikian, antara awal dengan tujuan akhir dalam pencarian dan

pengembangan ilmu pengetahuan terjadi kesejalanan. Yaitu, awalnya iqra

bismi rabbik serta iqra wa rabuk al-akram, al-ladzi ‘allama bi al-qalam

(pencarian, penemuan, pengembangan dan transfer ilmu atas nama Tuhan)

dan tujuan akhirnya wa ‘sjud wa ‘qtarib serta rahmatan li al-‘âlamîn

(pencerahan spiritualitas dan kesejahteraan seluruh alam). Oleh karena itu,

tidak seharusnya kegiatan pencarian, penelitian, penemuan teori dan

pengembangan serta pengalihan atau transfer ilmu, sains, teknologi dan seni

tersebut melahirkan keangkuhan intelektual (intellectual arogance) apalagi

menimbulkan kemungkaran, menjauh dari dzikir kepada Allah serta

pengrusakan alam dan lingkungan. (M. Quraish Shihab, 2002: 403).

Adapun tentang semangat Tauhid tampak pada ayat sebagai berikut:

م� ي�ت�ه� ذ�ر8 ور�ه�م� ظ�ه� م�ن� آد�م� ب�ن�ي م�ن� ب@ك� ر� ذ� خ�أ� �ذ� إ و�

د�ن�ا ه� ش� ب�ل�ى ال�وا ق� ب8ك�م� ب�ر� ت� �ل�س� أ م� ه� س� �ن�ف� أ ع�ل�ى د�ه�م� ه� ش�أ� و�

8

Page 9: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

ل�ين� غ�اف� ذ�ا ه� ع�ن� ك�ن�ا �ن�ا إ ة� ي�ام� ال�ق� ي�و�م� ول�وا ت�ق� ن� أ�

Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak

Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa

mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu? Mereka menjawab:

Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan yang

demikian itu) agar hari kiamat kamu tidak mengatakan: Sesungghnya kami

(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

(Q.S. al-a‘raf (7):172).

Alasan semangat keilmuan (etos keilmuan) dijadikan sebagai semangat

kembar menurut Santoso, 1992 adalah sebagai berikut:

1. Tidak seorang pun dapat menangkap pesan-pesan wahyu kecuali orang-

orang yang memiliki ilmu dan menggunakan akalnya. (Q.S. Ali ‘Imran

(3):7)

2. Kekurangan ilmu yang benar dapat menggiring manusia untuk memaki

(baca:sombong kepada) Allah (Q.S. al-An’am(6):180), bahkan

menyembah selain Dia.(Q.S. al-Hajj(22):71).

3. Barang siapa yang mendapatkan hikmat (ilmu), sungguh ia telah diberi

kebajikan yang banyak (Q.S. al-Baqarah (2): 269)

4. Bahkan hanya orang-orang yang beriman dan berilmu yang akan

ditinggikan beberapa derajat.(Q.S. al-Mujadilah(58):11)

5. Dan hanya orang-orang yang berilmu yang benar-benar takut kepada

Allah dan (karenanya tetap) melangkah di jalan kebajikan.(Q.S. Fathir

(35): 28)

9

Page 10: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

6. Tak heran bila di antara doa-doanya, Nabi Muhammad s.a.w. memohon

ditambah dan dikembangkan ilmunya. (Q.S. Thaha (20): 114)

C. Pengertian Kode Etik Keilmuan

Kode etik berasal dari dua kata. Kode artinya tanda yang desetujui

dengan maksud tertentu. Sedangkan Etik itu berasal dari bahasa yunani yaitu

“ethos” yang memiliki arti watak, adab, cara hidup. Sadirman A.M,.

mengatakan bahwa etika itu sebagai tata susila atau hal-hal yang berhubungan

dengan ketatasusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kode etik

pada dasarnya tidak lain dari sejumlah nilai dan norma yang mengatur dan

mengarahkan tentang bagaimana seseorang mengekspresikan diri dengan

mempertegas kedudukan dan peranannya sekaligus untuk melindungi

profesinya. Sedangkan dalam pendidikan islam Kode Etik merupakan

Pedoman tingkah laku yang harus di ikuti dan ditaati oleh anggota- anggota

suatu tertentu.

D. Pokok Bahasan Kode Etik Keilmuan

Sebuah tawaran tentang kode etik islami untuk pengembangan ilmu telah

direkomendasikan dalam sebuah seminar internasional tentang Pengetahuan

dan Nilai di Stockholm, Swedia,1981. Tawaran kode etik yang dimaksud

masih bersifat umum, terdiri dari sepuluh nilai yaitu (Sardar,1988:7-8):

1. Tauhid (keesaan atau kasatuan)

2. Khilafah (perwakilan)

3. Ibadah

4. ‘ilm

5. Halal

10

Page 11: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

6. Haram

7. ‘adl (keadilan)

8. Zhulm (penindasan)

9. Istishlah (kepentingan umum)

10. Dhiya (pemborosan atau kesia-siaan)

Dari kesepuluh nilai itu, nilai yang paling mendasar adalah tauhid yang

biasanya bermakna keesaan Tuhan: Allah itu Esa, tidak mempunyai partner

dan tidak ada satu pun yang patut disembah kecuali Dia. Makana yang sangat

teologis ini meluas ke semua ciptaan-Nya menjadi kesatuan manusia (antara

jasmani dan rohaninya, antara fikr dan dzikrnya), kesatuan manusia dan alam,

keatuan pengetahuan dan nilai, kesatuan sunnatullah (antara yang diwahyukan

dan yang tidak diwahyukan) semua kesatuan ini diperlukan bagi

pengembangan ilmu (Sardar.1998:7;Santoso.1992:18-19)

Dari Tauhid lahir nilai khilafah. Alllah memberikan mandate kepada

manusia untuk menjadi wakil-Nya di muka bumi, sehingga manusia tidak

bebas sebebas-bebasnya tetapi bertanggung jawab kepada Allah, termasuk

dalam kegiatan pengembangan dan penerapan ilmu. Khilafah

mengimplisitkan bahwa manusia tidak mempunyai hak yang eksklusif

terhadap sesuatu dan bahwa ia harus bertanggung jwab untuk memelihara dan

melindungi integritas tempat dimana ia hidup dan menjalani kehidupannya.

Karena itu, praktik pengembangan dan penrapan ilmu yang mengekploitasi

dan mendominasi alam tidaklah memperoleh tempat dalam kerangka berfikir

di atas (Sardar, 1988:7). Khilafah mengimplisitkan juga pemenuhan tanggung

jawab terhadap kebutuhan-kebutuhan manusia dan makhluk lainnya yang

disesuaikan dengan kehendak Allah. Pelaksanaan yang tepat terhadap

tanggung jawab yang luhur ini sesungguhnya merupakan hakikat sebenarnya

dari ibadah (Santoso, 1992:19).

Ibadah yang berarti kontemplasi terhadap keesaan Allah yang memang

banyak manifestasinya. Salah satu bentuk manifestasinya yang bermakna

11

Page 12: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

sempit adalah ritus dalam bentuknya yang khusus, tetapi dalam maknanya

yang luas manifestasi ibadah adalah suatu kehidupan yangs ecara terus

menerus mengabdi dan patuh kepada Allah, mencakup semua kegiatan

spiritual, sosial, ekonomi, politik, budaya yang tujuan luhurnya mencari ridha

Allah. Salah satu manifestasi dari ibadah yang merupakan prasyarat bagi

pelaksanaannya yang efektif adalah ‘ilm (Santoso,1992:19).

Dilihat dari sumbernya ‘ilm dapat dipilah antara yang bersumber dari

wahyu (qauli) dan yang bersumber dari non wahyu (kauni). Pencarian ‘ilm

kategori pertama merupakan fardh al-‘ain (kewajiban setiap individu) karena

ia penting bagi individu agar bertahan hidup, tidak saja di dunia ini tetapi juga

di kehidupan nanti. Sementara pencarian ‘ilm kategori kedua merupakan fardh

al-kifayah (kewajiban kelompok, tidak setiap individu) karena ia penting bagi

kelangsungan keseluruhan masyarakat (al-Attas,1979:41-42). Pencarian ‘ilm

baik kategori pertama maupun kedua, sekali lagi adalah ibadah. Karena itu,

ditolak pernyataan “ilmu itu untuk kepentingan ilmu” dan “ilmu itu alat untuk

mencapai tujuan”. Mengingat ilmu dikembangkan bukan untuk kepentingan

ilmu, tetapi untuk pengabdian kepada Allah, ternyata tidak semua ilmu

memenuhi maksud tersebut. Ini berimplikasi kepada kategorisasi halal dan

haram (Santoso,1992:19; cf. Sardar,1988:7).

Halal mencakup semua ilmu dan kegiatan yang bermanfaat bagi individu,

masyarakat dan lingkungan. Ilmu yang halal akan mempromosikan ‘adl

(keadilan sosial) dan istishlah (kepentinagn umum) (Sardar,1988:8). Di dalm

semua bidang ‘adl dan istishlah dengan dimensinya yang luas memastikan

bahwa ‘ilm itu dikembangkan untuk mewujudkan persamaan universal,

kebebasan individual, martabat sosial, dan nilai-nilai lain yang meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan peradaban muslim (Santoso, 1992:29).

Adapun haram mencakup semua ilmu dan kegiatan yang merusak manusia

dan lungkungannya, bai secara fisik, intelektual, maupun spiritual.

Sehubungan denagn itu, penelitian yang mempromosikan alienasi,

dehuamanisasi, pengangguran, konsentrasi kekayaan pada segelintir orang,

12

Page 13: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

dan perusakan lingkungan ditolak. Kegiatan seperti itu bersifat zhulm

(penindasan) dan dinilai sebagai dhiya’ (kesia-siaan) (Sardar, 1988:8).

Pertama, etika atau kode etik dalam konteks “kebebasan akademik”,

mencakup kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan/profesi.

Bahwa setiap anggota sivitas akademika dan/atau tenaga ahli dari luar

perguruan tinggi yang bersangkutan memiliki kebebasan untuk

menyampaikan pikiran dan pendapat atau melaksanakan kegiatan yang terkait

dengan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara

bertanggungjawab dan mandiri, dalam bentuk seminar, ceramah, simposium,

diskusi panel, dan ujian dalam rangka pelaksanaan pendidikan akademik

dan/atau profesional. Akan tetapi kebebasan akademik itu harus tetap

disesuaikan dan dan dilandasi oleh norma dan kaidah keilmuan/profesi (PP.

no. 60, pasal 17-18). Kedua, etika atau kode etik dalam konteks “pelaksanaan

tugas dan tanggungjawab keilmuan/profesi”. Berdasarkan etika ini, seorang

dosen adalah tenaga pendidik atau kependidikan pada perguruan tinggi yang

berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat dengan tugas utama

mengajar (PP. no. 60/1999, psl. 5; 101:2), melakukan penelitian, membuat

karya ilmiah, dan pengabdian pada masyarakat (SK. Menkowasbangpan, no.

38/1999). Dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab

keilmuan/profesinya, secara etis harus tunduk dan patuh terhadap norma-

norma dan kaidah-kaidah keilmuan/profesi (PP. no. 60, pasal 2:2b; pasal

101:2; SK. Menkowasbangpan No.38/1999), dan terhadap batas-batas

spesialisasi atau konsentrasi bidang disiplin keilmuan/profesinya (Shils,

1993). Seorang guru juga adalah tenaga pendidik yang diberi tugas,

wewenang, dan tanggungjawab untuk melaksanakan pendidikan (mengajar,

membimbing) di jenjang pendidikan dasar dan menengah, juga aktivitas

pengembangan profesi dan pengabdian pada masyarakat (UU no. 20/2003; SE

Bersama Mendikbud & Ka. BAKN, 1999). Ketiga, etika atau kode etik dalam

konteks “penggunaan, pengambilan, dan pengumuman dan/atau perbanyakan”

13

Page 14: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

sebagian atau keseluruhan dari karya-karya cipta keilmuan/profesi.

Berdasarkan etika ini, setiap bentuk penggunaan, pengambilan, dan

pengumuman dan/atau perbanyakan sebagian atau keseluruhan dari karya-

karya cipta keilmuan/profesi secara etis wajib atau harus menyebutkan

sumbernya secara legkap, baik untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan,

dan/atau ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu

pengetahuan (UU no. 19/2002; pasal 15). Karya-karya cipta keilmuan/profesi

tersebut meliputi: buku, karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya

tulis lain, ceramah, kuliah, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan

pendidikan dan ilmu pengetahuan, terjemahan 9 tafsir, saduran, bunga

rampai, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan (pasal 12: 1); ciptaan-

ciptaan yang tidak atau belum diterbitkan, terlebih lagi ciptaan-ciptaan yang

sudah merupakan suatu kesatuan yang nyata, yang memungkinkan

perbanyakan atas hasil karya itu (ayat 2), termasuk berita-berita elektronik dan

tertulis yang terdapat di media-media massa (pasal 14). Keempat, etika atau

kode etik dalam konteks “penerjemahan (dan perbanyakannya)” karya-karya

keilmuan/profesi oleh orang atau pihak lain. Berdasarkan etika ini, setiap

bentuk aktivitas penerjemahan dan perbanyakan terhadap ciptaan-ciptaan

dalam bidang ilmu pengetahuan oleh orang atau pihak lain wajib atau harus

terlebih dahulu meminta ijin penerjemahan dan perbanyakannya kepada

penciptanya. Kecuali penerjemahan dan perbanyakan tersebut dilakukan oleh

pencipta sendiri. Akan tetapi, dalam hal bahwa karya tersebut dipandang

sangat dibutuhkan untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, serta

kegiatan penelitian dan pengembangan, Menteri dapat mewajibkan pemegang

hak cipta untuk melaksanakan sendiri, memberi izin atau menunjuk pihak lain

untuk melakukan penerjemahan dan/atau perbanyakan, atas dasar

pertimbangan Dewan Hak Cipta (pasal 16:1). Sungguhpun demikian,

pewajiban oleh pemerintah/menteri tersebut, hanya boleh dilakukan setelah

lewat jangka waktu 3 tahunsejak ciptaan-ciptaan itu diterbitkan, dan belum

14

Page 15: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (UU no. 19/2002; pasal

16:2-4). Pewajiban penerjemahan dan perbanyakan oleh pemerintah tersebut

berbeda untuk setiap bidang keilmuan/profesi. Untuk bidang matematika dan

ilmu pengetahuan alam, boleh dilakukan setelah 3 tahun sejak diterbitkan;

untuk bidang ilmupengetahuan sosial setelah 5 tahun sejak diterbitkan; dan

untuk bidang seni dan sastra setelah 7 tahun sejak diterbitkan (pasal 16:3a-c)

dengan catatan bahwa karya-karya cipta keilmuan/profesi di ketiga bidang itu

belum pernah diterjemahkan dan diperbanyak (pasal 16:4). Kelima, etika atau

kode etik dalam konteks “tempat penerjemahan, perbanyakan,dan

pemakaiannya”. Berdasarkan etika ini, setiap bentuk atau aktivitas

penerjemahan baik dilakukan sendiri oleh pencipta maupun oleh orang atau

pihak lain atas izin pencipta atau karena diwajibkan oleh pemerintah; juga

penggunaan atau pemakaian karya-karya hasil terjemahan dan

perbanyakannya tersebut, hanya berlaku di dalam wilayah Indonesia (UU no.

19/2002; pasal 16:1-4). Keenam, etika atau kode etik dalam konteks

penerimaan dan penggunaan “gelar akademik” (Sarjana, Magister, atau

Doktor); dan “sebutan profesional”. Gelar akademik adalah gelar yang

diberikan kepada lulusan perguruan (Kepmendiknas no. 178/U/2001, psl. 1:1),

dan yang dimaksud pendidikan akademik adalah pendidikan yang diarahkan

terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan(Kepmendiknas no. 178/U/2001,

psl. 1:4). Gelar akademik terdiri atas Sarjana, Magister dan Doktor (psl.6)

(Shils,E.1991).

15

Page 16: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan di atsa maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Etos Keilmuan merupakan semangat kembar yang digunakan untuk

mengembangkan keilmuan.

2. Kode Etik Keilmuan merupakan pedoman tingkah laku yang harus diikuti

dan ditaati oleh anggota- anggota suatu tertentu dalam hal pengembangan

dunia keilmuan.

B. SARAN

Berdasarkan uraian pembahasan di atas maka kelompok kami

menyarankan agar dalam hal mengembangkan dunia keilmuan para ilmuan

harus memiliki etos keilmuan yang tinggi agar ilmu yang didapat bermanfaat

dan diridhai Allah SAW, dan harus memperhatikan kode etik keilmuan agar

tidak tersesat di jalan saat mengembangkan dunia keilmuan.

16

Page 17: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

DAFTAR PUSTAKA

Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1979. Premilinary Thughts On The

Nature Of Knowledge And The Definition And Aims Of Education

dalam Syed Muhammad Naquib al-Attas (ed.), Aims And Objectives

Of Islamic Education. Jeddah: hodder and Stoughton dan King

Abdul Aziz Uneversity.

M. Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Misbah,Pesan, Kesan dan Keserasian

Al-Quran. Jakarta: Lentera Hati. vol. XV, hal. 403.

Q.S. al-‘Alaq (96) ayat 1-5

Q.S. al-An’am(6) ayat 180

Q.S. al-a‘raf (7) ayat 172

Q.S. al-Baqarah (2) ayat 31;37;269

Q.S. Fathir (35) ayat 28

Q.S. Ali ‘Imran (3) ayat 7

Q.S. al-Hajj(22) ayat 71

Q.S. al-Mujadilah(58) ayat 11

Q.S. Thaha (20) ayat 114

Sadirman A.M.1990. Interaksi dan Motivasi Belajar.Jakarta: Rajawali

Press.hal.149

Santoso, M.A. Fattah. 1992. Ilmu Pengetahuan Dalam Pandangan Islam

Dalam Akademika (jurnal Universitas Muhammadiyah Surakarta),

nomor 01, Tahun X, h.11-21.

17

Page 18: Etos Keilmuan Dank Ode Etik Keilmuan

Sardar, Ziauddin. 1988. Introduction: Islamic and Western Approaches to

Science dalam Ziauddin Sardar (ed.), The Touch Of Midas: Science,

Values And Environment In Islam And The West. Petaling Jaya

(Malaysia): Pelanduk Publication.

Shils, E. 1991. Etika Akademis. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

18