Komunikasi dan Periklanan “Representasi Identitas Wanita dalam Iklan: Analisis Sirkuit Budaya...
-
Upload
ayubwahyudi -
Category
Documents
-
view
349 -
download
1
description
Transcript of Komunikasi dan Periklanan “Representasi Identitas Wanita dalam Iklan: Analisis Sirkuit Budaya...
Komunikasi dan Periklanan
“Representasi Identitas Wanita dalam Iklan: Analisis Sirkuit Budaya
Terhadap Iklan Deterjen Daia versi ‘Istriku Hebat’”
Oleh:
Kelompok 4
Annisa Yusyda 209000252
Ayub Wahyudi 209000012
Erni Nur Izzati 209000021
Fahmi 209000153
1
BAB I
Pendahuluan
Dalam perspektif ekonomi kebutuhan manusia yang tidak terbatas akan sulit dipenuhi
karena barang atau alat pemuas kebutuhan tersebut selalu terbatas. Hal ini terkait dengan
berbagai faktor. Manusia butuh makan, minum dan kebutuhan lainnya dan alat kebutuhan selalu
berusaha memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan demikian, kebutuhan manusia akan terpenuhi.
Akan tetapi, dari mana manusia mendapatkan informasi tentang apa yang mereka harus makan
atau yang mereka harus minum. Kita bisa bersama-sama mengatakan bahwa disinilah letak
komunikasi. Melalui komunikasi manusia mendapatkan informasi yang mereka butuhkan agar
bertindak dengan tepat.
Di era informasi saat ini, dimana masyarakat menjadikan informasi sebagai sebuah alat
kebutuhan, dapat dikatakan sedikit berbeda dengan gambaran diatas. Saat ini, informasi telah
mengalami komodifikasi yang mengubah nilai gunanya menjadi nilai tukar. Informasi dibungkus
sedemikian rupa sehingga membuat masyarakat menjadi lebih fokus kepada bagaimana
informasi tersebut dibungkus. Semakin menarik bingkisan informasi tersebut, maka informasi
tersebutlah yang akan menang. Hal tersebut membuat masyarakat menjadi “ingin” dan bukan
“butuh” terhadap sebuah informasi. Ini dampak dari komodifikasi informasi.
Manusia memang mempunyai kebutuhan untuk dikonsumsi dan untuk memenuhinya,
mereka akan mencari informasi atas alat pemuas kebutuhan yang menurut mereka tepat untuk
itu. Dengan kata lain alat pemuas kebutuhan yang mampu menarik perhatianlah yang akan
menentukan pilihan masyarakat. disinilah periklanan berkerja.
Komunikasi Periklanan
Otto Klepper (1986), seorang ahli periklanan terkenal asal Amerika, merupakan orang
yang berjasa besar dalam meruntut asal muasal istilah advertising. Dalam bukunya yang berjudul
Advertising Procedure, dituliskan bahwa istilah advertising berasal dari bahasa latin yaitu ad-
vere yang berarti mengoperkan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Dunn dan barban (1978)
menuliskan bahwa iklan merupakan bentuk kegiatan komunikasi non personal yang disampaikan
lewat media dengan membayar ruang yang dipakainya untuk menyampaikan pesan yang bersifat
membujuk kepada konsumen oleh perusahaan, lembaga non komersial, maupun pribadi yang
berkepentingan. Wright menjelaskan bahwa iklan juga merupakan sebentuk penyampaian pesan
2
sebagaimana kegiatan komunikasi lainnya. Iklan mempunyai kekuatan sangat penting sebagai
alat pemasaran yang membantu menjual barang, meberikan pelayanan, serta gagasan atau ide-ide
melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. Di Indonesia, masyarakat
Periklanan Indonesia mengartikan iklan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk atau
jasayang disampaikan lewat suatu media dan ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.
Sementara istilah periklanan diartikan sebagai keseluruhan proses yang meliputi persiapan,
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan penyampaian iklan. (Widyatama, 2009)
Komunikasi periklanan adalah penyampaian pesan penawaran mengenai suatu produk,
jasa atau ide kepada khayalak (konsumen) melalui media massa dan media lainnya yang dibayar
untuk mempengaruhi khayalak sehingga menggunakan produk, jasa atau ide yang ditawarkan.
Proses komunikasi periklanan adalah urut-urutan peristiwa yang terjadi dalam komunikasi
periklanan (Badri, 2010). Dalam proses komunikasi tersebut terdapat unsur- unsur komunikasi
sebagai berikut:
1. Source (Produk) adalah produsen yang menjadi pemilik produk/jasa/ide yang akan
ditawarkan. Produsen bermaksud supaya produk/jasa/ide digunakan oleh konsumen.
Produk/jasa/ide merupakan sesuatu yang ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan dan
memuaskan konsumen
Produk adalah barang yang bernilai ekonomis yang diperlukan oleh konsumen. Produk
tahan lama : yang tidak habis dipakai misalnya perabotan, mobil, elektronik, dsb. Produk
tidak tahan lama :habis dipakai misalnya, sabun, makanan, minuman, dsb. Produk
berwujud (tangible) : adalah produk yang ada bentuk fisiknya.
a. Jasa adalah layanan yang dapat memuaskan kebutuhan konsumen. Misalnya jasa
angkutan transportasi, jasa pendidikan, jasa perbankan, dsb. Jasa sering disebut
sebagai produk tidak berwujud (intangible).
b. Ide adalah hasil pemikiran yang dapat memuaskan kebutuhan konsumen.
3
2. Message (Iklan) Iklan adalah pesan-pesan penawaran yang dibuat untuk membantu
menjual produk/jasa/ide yang dimaksud. Proses perumusan pesan yang dapat membantu
penjualan meliputi isi, struktur dan format yang paling baik untuk kondisi produk
/jasa/ide yang ditawarkan.
3. Channel (Saluran) Media adalah alat perantara yang digunakan dalam menyalurkan
pesan penawaran kepada konsumen. Misalnya surat kabar, majalah, radio, televisi,
internet, billboard, bioskop, VCD/DVD, mobile, dsb. Disini terjadi proses pemilihan
media yang paling kuat pengaruhnya untuk membantu menyalurkan pesan-pesan iklan.
4. Receiver (Audiens) Audiens orang yang menjadi sasaran penyampaian iklan.
Komunikasi dalam komunikasi periklanan sering disebut khayalak konsumen atau calon
konsumen yang menjadi pengguna produk/jasa/ide yang ditawarkan. Komunikasi
menerima iklan dan mengolahnya sehingga menghasilkan efek.
5. Effect (Efek) Efek adalah tujuan yang diharapkan oleh komunikasi periklanan dapat
berupa:
a. Kognitif: Pengetahuan terhadap produk
b. Afektif: Menyukai
c. Konatif: Tindakan pembelian.
4
BAB II
Pembahasan
Periklanan: Komunikasi Massa dan Budaya
Iklan adalah salah satu bentuk komunikasi massa. Menurut Tilman dan Kirkpatrick
(Sumartono, 2002: 13), iklan merupakan komunikasi massa yang menawarkan janji kepada
konsumen. Melalui pesan yang informatif sekaligus persuasif menjanjikan tentang adanya
barang dan jasa yang dapat memenuhi kebutuhan, tempat memperolehnya dan kualitas barang
dan jasa. Menurut Wright (Sumartono, 2002: 20), iklan merupakan media komunikasi massa.
Pembedaan iklan dengan teknik komunikasi pemasaran yang lain adalah komunikasi yang non-
personal, jadi iklan memakai media dengan menyewa ruang dan waktu. Disamping itu peranan
iklan antara lain dirancang untuk memberikan saran pada orang supaya mereka membeli suatu
produk tertentu membentuk hasrat memiliknya dengan mengkonsumsinya secara tepat
(Hasiando, 2007).
Periklanan dapat dikatakan sebagai bentuk komunikasi persuasif. Semakin efektif sebuah
iklan makan kekuatan persuasifnya akan mendorong masyarakat dalam memilih sebuah alat
kebutuhan. Dengan kata lain, periklanan adalah bentuk komunikasi yang berfokus pada dampak
dari proses komunikasi yang diharapakan terjadi. Akan tetapi, dalam proses melakukan persuasif
tersebut, iklan telah membentuk sebuah konstruk-konstruk yang pada akhirnya, tidak lagi
membantu manusia memilih, tapi justru menentukan pilihan yang tepat bagi mayarakat.
Meskipun terkadang hal tersebut memanfaatkan konstruksi sosial yang telah ada, seperti gender.
Dengan kata lain, periklanan adalah bentuk komunikasi budaya.
Sebagai bentuk komunikasi massa, periklanan menggunakan media massa untuk
mendapatkan dampak tertentu. Fungsi media massa menurut Laswell (Aryanto, 2009), ada tiga
yaitu:
1. The surveillance of environment
2. The correlation of the parts of society in responding to environment
3. The transmission of social heritage from one generation to the next
Periklanan, sebagai bentuk komunikasi budaya yang fokus pada dampak, akan lebih
menggunakan fungsi media massa yang ketiga. Fungsi ini dapat juga menempatkan media
sebagai agen sosialisasi yang memungkinkan nilai-nilai budaya yang ada dipahami dalam bentuk
5
edukasi. Fungsi ini sangat berpengaruh bagi periklanan dalam menggunakan budaya yang telah
ada dalam konten iklan.
Pada setiap media massa dan media baru saat ini kita akan melihat kolom dan jeda waktu
yang menampilkan berbagai macam produk yang dikemas dengan menarik sehingga tanpa kita
sadari kita mulai merespon baik secara kognitif maupun afektif. Inilah yang disebut dengan
iklan. ketika kita sedang membola-balik halaman majalah satu persatu, tanpa kita sadari, kita
tiba-tiba berhenti pada sebuah halaman dengan konten visual mobil mewah dan wanita cantik
standar media disebelahnya. Saat itu pernahkah kita bertanya kenapa kita tiba-tiba berhenti pada
halaman tersebut atau pernahkah kita sadari apakah kita melihat mobil atau wanitanya.
Pertanyaan pertama mungkin akan sangat jarang terjawab dan pertanyaan kedua akan sering
dijawab bahwa itu adalah mobil. Tanpa kita sadari iklan telah berhasil membuat kita sadar bahwa
itu adalah iklan mobil tanpa harus melihat bahwa ada seorang wanita yang berdiri disana.
Padahal jika kita sadari proses yang terjadi dalam kognitif kita, kita berhenti pada halaman
tersebut karena ada seorang wanita cantik disana bukan karena mobil mewahnya. Atau mungkin
kah kita akan berhenti pada halaman tersebut jika wanita tersebut tidak “cantik” atau ternyata
bukan seorang wanita disana tapi seorang pria. Wanita tersebut dipilih bukan tanpa alasan. Iklan
memilih wanita tersebut karena mampu menarik perhatian kita. Mereka menyebutnya
“endorser”.
Menurut Terence A. Shimp (2002: 455) endorser adalah pendukung iklan atau juga yang
dikenal sebagai bintang iklan yang mendukung produk yang di iklankan. Endorser dibagi
menjadi dua jenis (Widyatama, 2009), yaitu:
1. Typical Person Endorser adalah memanfaatkan beberapa orang bukan selebritis untuk
menyampaikan pesan mengenai suatu produk.
2. Celebrity Endorser adalah arang-orang terkenal yang dapat mempengaruhi karena
prestasinya.
Kedua jenis endorser diatas memilih karakteristik dan atribut yang sama hanya dibedakan dalam
penggunaan orang-orangnya sebagai pendukung apakah orang-orang yang digunakan sebagai
endorser tokoh terkenal atau tidak. Dalam hal ini, pembahasannya hanya difokuskan pada
penyampaian pesan menggunakan orang-orang terkenal (celebrity endorser) saja dan orang-
orang biasa atau typical-person endorser dianggap konstan.
6
Tanpa kita sadari iklan telah memanfaatkan konstruk gender dalam budaya masyarakat
Indonesia yang patriarkal untuk melakukan persuasif. Periklanan telah menentukan apa yang
harus dan tidak harus kita lakukan. Kita tanpa sadar telah menikmati ketidakadilan gender yang
ditawarkan pada konten-konten iklan. Periklanan mampu menyampaikan tentang budaya massa
yang seharusnya ada pada khalayak. Kita dapat membedakan mana yang cantik dan tidak, mana
yang pantas dan tidak atau; mana yang kita inginkan atau kita butuhkan. Kita diarahkan untuk
memaknai sebuah visual sebagai budaya yang harus kita terima dan hal tersebut terjadi dalam
proses yang rumit tanpa kita sadari sama sekali.
Sirkuit Budaya: Konsumsi Bias Gender
Berbicara mengenai komunikasi dan periklanan seringkali kita luput untuk menyorot satu
hal yang sebenarnya cukup penting untuk kita perhatikan, yaitu mengenai pembentukan identitas
suatu objek dari kegiatan periklanan itu sendiri. Hal ini cenderung tidak begitu santer untuk
dijadikan bahan pembahasan mengingat hal ini berproses secara laten dengan penggunaan pola-
pola yang implisit. Secara tidak sadar kemudian masyarakat sebagai pelaku komunikasi dan
konsumen periklanan digiring untuk mengonsep kebenaran tentang suatu hal dalam pikirannya
sesuai dengan pola yang disajikan oleh dunia periklanan.
Untuk dapat menelusuri makna dan representasi yang tersirat dalam tayangan-tayangan
iklan diperlukan suatu pemodelan layaknya yang dibuat oleh Paul du Gay dan Stuart Hall yang
kemudian kita kenal dengan sebutan “Sirkuit Budaya”. Sirkuit budaya ini dimaksudkan untuk
menunjukkan secara jelas relasi dan koneksi antar elemen budaya dan representasinya yang kita
bisa sebut sebagai share meaning. (Du Gay, 1997) Terdapat lima unsur utama yang saling
berkaitan dalam pemodelan Sirkuit Budaya ini, yaitu produksi, konsumsi, regulasi, representasi,
dan identitas. Lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar dibawah ini:
7
Gambar 1: The Circuit of Culture, from Du Gay, 1997, Production of Culture/Cultures of Production
Jika kita adaptasikan dalam sistem periklanan konsep ini akan sangat jelas menggambarkan
bagaimana kelima unsur ini bekerja merepresentasi, membentuk atau mengukuhkan ‘identitas’
melalui sebuah tayangan iklan. Representasi tersebut dapat kita lihat dari berbagai sudut pada
iklan seperti tanda visual dan gambar, penggunaan backsound, penempatan peran model dan
sebagainya. Hal-hal semacam ini yang membawa makna dan kemudian diolah, dimengerti dan
dipahami sehingga menimbulkan interpretasi dan persepsi dari sudut pandang si penonton
tayangan iklan tersebut.
Proses produksi, representasi, hingga interpretasi dari penonton tayangatkan iklan ini
menjadi penting karena tayangan-tayangan iklan ini ternyata berdampak sangat besar dalam
kehidupan masyarakat dalam pembentukan sebuah identitas yang kemudian akan diterapkan
sebagai ‘identitas sebenarnya’ oleh masyarakat. Ini membuat masyarakat menjadi kabur dalam
menentukan mana yang sebenarnya identitas hakiki, mana yang merupakan konstruksi, dan mana
yang sebenarnya hanya sebuah mitos belaka.
Salah satu isu menarik yang disebabkan oleh periklanan kita ini adalah pembentukan
identitas perempuan dan lelaki di kalangan masyarakat. Dalam tayangan iklan yang setiap hari
kita konsumsi ini secara implisit menimbulkan bias jender. Istilah yang sering kita sebut dengan
jender ini merupakan permasalahan budaya, ia merujuk pada klasifikasi sosial dari laki-laki dan
perempuan menjadi maskulin dan feminin. Sedangkan kesetaraan jender kerap kali diartikan
dalam benak kita sebagai pembahasan tentang kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan
khususnya dalam kehidupan bersosial. Sedangkan bias jender sendiri merupakan oposisi binner
dari kesetaraan jender, yaitu pembedaan antara kaum laki-laki dan perempuan baik dari segi
fungsi, peranan, dan kewajibannya dalam kehidupan bersosial.
Posisi perempuan saat ini lebih cenderung menempati subordinat dari kaum laki-laki.
Salah satu faktornya yaitu dari konstruksi representasi dari media termasuk tayangan iklan
didalamnya. Pada Kasus TVC (TV Commercial) Deterjen Merek Daia versi “Istriku Hebat”
(TVConAir, 2011), kita dapat mendengar dan memberikan penilaian ketika mendengar salah
satu dialog yang ada pada tayangan TVC tersebut. Dialog yang ada didalamnya sangat
mengandung bias gender.
8
Dalam tayangan TVC tersebut, wanita diungkapkan sebagai “istri yang hebat” karena
bisa mencuci dengan bersih dan wangi serta membuat pakaian tetap rapi. Dengan kata lain, istri
yang “Hebat” adalah wanita yang pandai mencuci. Jika tadak pandai mencuci maka wanita
tersebut “Tidak Hebat”. Belum lagi hubungan antara deterjen dan wanita dalam tayangan
tersebut mencoba mengatakan bahwa untuk untuk bisa mencuci dengan bersih dan wangi serta
membuat pakaian rapi terus maka harus menggunakan “Daia”. Dengan kata lain sekali lagi
bahwa wanita yang tidak menggunakan “Daia” adalah wanita yang “Tidak Hebat”. Inilah makna
dari pesan sesungguhnya yang dibawa oleh tayangan TVC Daia dan tidak banyak dari kita yang
menyadari hal tersebut karena proses yang terjadi sangat cepat sehingga efek yang dirasakan
juga sangat cepat.
Komunikasi periklanan merupakan bentuk komunikasi persuasif yang mengutamakan
hasil dari dampak yang diterima oleh khalayak. Ada beberapa tahap sebelum ilan mencapai efek
yang diharapkan (Badri, 2010), yaitu :
1. Exposure, Proses pertama yang dialami konsumen yaitu diterpa (terdedah) atau tersentuh
oleh pesan iklan.
2. Processing, Iklan yang disampai kepada konsumen akan diolah atau diproses dalam
memori konsumen. Konsumen coba memahami isi iklan dan membandingkan dengan
nilai-nilai yang ada dalam memori.
3. Communication Effect, Informasi yang diolah dalam memori mengakibatkan terjadinya
pengaruh dalam diri konsumen berupa :
a. Kesadaran terhadap produk.
b. Pengetahuan terhadap produk.
c. Menyukai produk.
d. Mengutamakan merk.
e. Yakin akan produk.
4. Target Audience Action, Konsumen membeli produk yang ditawarkan.
Dengan kata lain, periklanan akan selalu mengatur apa yang harus kita beli. Dan tanpa kita
sadari, masyarakat terus menurus mengkonsumsi sesuatu yang sebenarnya telah menegaskan
ketidakadilan jender dalam masyarakat kita. Kita tidak pernah berfikir apa bedanya “Daia”
dengan deterjen merek lain. Kita tidak pernah sadar kenapa iklan tidak pernah tidak pernah
memberikan informasi yang seadanya sesuai dengan fakta tanpa harus mengikutkan simbol-
9
simbol gender. Bahkan mungkin tidak satupun iklan dengan produk yang berjenis sama tidak
lekang dari konteks bias gender.
10
BAB III
Penutup
Periklanan mempunyai tujuan akhir untuk membuat konsumen membeli sebuah produk
barang atau jasa. Padahal selama ini, konten iklan, khususnya TVC, secara sengaja menggunakan
konstruk-konstruk dan simbol-simbol budaya; misalnya simbol jender. Dalam konsep gender
yang digunakan selalu berada pada permasalahan ketidakadilan atau bias gender. Meskipun
demikian, konsumen tetap saja menikmati sajian tayangan yang ditayangkan atau disiarkan tanpa
sadar bahwa mereka membeli sebuah produk dalam bentuk hegemoni.
TVC Daia versi “Istriku Hebat” memberikan makna bahwa seorang wanita hanya bisa
menjadi istri yang hebat jika mencuci menggunakan produk tersebut. hal telah sangat terdengar
sarat dengan konsep bias gender, dimana wanita hanya selalu menjadi subordinat terhadap pria.
Dalam iklan, wanita hanya selalu menjadi hiasan untuk menarik perhatian konsumen. Dengan
memperlihatkan semua fakta-fakta diatas, kita seharusnya dapat lebih peka terhadap konten-
konten yang tidak seharusnya ada dan menjadi lebih kritis.
11
Daftar Pustaka
Aryanto, H. (2009, September). Jurnal: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Retrieved April 8, 2012, from Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI): http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/7109149167.pdf
Badri, M. (2010, April 4). Ruang Dosen: Wordpress. Retrieved April 9, 2012, from Wordpress.com: http://ruangdosen.wordpress.com/2010/04/04/iklan-dan-komunikasi-pemasaran/
Du Gay, P. (1997). Doing Cultural Strudies: The Story of The Sony Walkman Culture, Media & Identities (Vol. I). Sage Publication.
Hasiando, D. A. (2007). Digital Collection: Petra Christian University library. Retrieved April 8, 2012, from Petra Christian University library: http://digilib.petra.ac.id/viewer.php?page=1&submit.x=13&submit.y=6&submit=next&qual=high&submitval=next&fname=%2Fjiunkpe%2Fs1%2Fikom%2F2007%2Fjiunkpe-ns-s1-2007-51402097-6775-sinar_sosro-chapter2.pdf
TVConAir. (2011, May 31). Daia: TVConAir. Retrieved April 9, 2012, from TVConAir: http://www.tvconair.com/view_ad.php?id=11050425
Widyatama, R. (2009). Pengantar Periklanan. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
12