Kolitis infeksi

download Kolitis infeksi

of 10

description

semoga bermanfaat

Transcript of Kolitis infeksi

Nyeri perut yang disertai diare berdarah dan nyeri tekan

DISUSUN OLEH :ADHE WILLIAM FANGGIDAE102007122

[email protected]

SKENARIOLaki-laki 36 tahun datang dengan nyeri perut sejak 1 tahun hilang timbul, terakhir kambuh 1 minggu yang lalu. Kadang-kadang diare berdarah. PF nyeri tekan LLQ. Laboratorium Hb 10 g/dL, Leu 11.100/uL, lain-lain dalam batas normal. Feses lengkap: darah +, lender +DEFINISI Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon, yang berdasarkan penyebab dapat diklasifikasi sebagai berikut:1. Kolitis infeksi, misalnya: shigelosis, kolitis tuberkulosa, kolitis amebik, kolitis pseudomembran, kolitis karena virus/bakteri/parasit lain.2. Kolitis non-infeksi, misalnya: kolitis ulseratif, penyakit crohns, kolitis radiasi, kolitis iskemik, kolitis mikroskopik, kolitis non-spesifik (simple colitis) Pembahasan ini difokuskan pada kolitis infeksi yang sering ditemukan di indonesia sebagai daerah tropik, yaitu kolitis amebik, shigelosis, dan kolitis tuberkulosa. Disamping itu dibahas pula kolitis pseudomembran yang timbulnya terkait dengan pemakaian antibiotik, dan infeksi E. Coli patogen yang dilaporkan sebagai salah satu penyebab diare kronik di indonesia.

KOLITIS AMEBIK (AMEBIASIS KOLON)Batasan.Peradangan kolon yang disebabkan oleh protozoa Entamoeba histolytica.Epidemiologi. Prevalensi amebiasis diberbagai tempat sangat bervariasi, diperkirakan 10% populasi terinfeksi. Prevalensi tertinggi di daerah tropis (50-80%). Manusia merupakan host sekaligus reservoir utama. Penularannya lewat kontaminasi tinja ke makanan dan minuman, dengan perantara lalat, kecoak, kontak interpersonal atau lewat hubungan seksual anal-oral. Sanitasi lingkungan yang jelek. Penduduk yang padat dan kurangnya sanitasi individual mempermudah penularannya. Pasien yang asimtomatik tanpa adanya invasi jaringan, hanya mengeluarkan kista pada tinjanya. Kista tersebut dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia. Sedangkan pada pasien dengan infeksi amuba akut/kronik yang invasif selain kista juga mengeluarkan trofozoit, namun bentuk trofozoit tersebut tidak dapat bertahan lama diluar tubuh manusia.Gejala klinis. Gejala klinis pasien amebiasis sangat bervariasi, mulai dan asimtomatik sampai berat dengan gejala klinis menyerupai kolitis ulseratif. Beberapa jenis keadaan klinis pasien amebiasis adalah sebagai berikut :1. Carrier: ameba tidak mengadakan invasi ke dinding usus, tanpa gejala atau hanya keluhan ringan seperti kembung, flatulensi, obstipasi, kadang-kadang diare. Sembilan puluh persen pasien sembuh sendiri dalam waktu satu tahun, sisanya (10 %) berkembang menjadi kolitis ameba.2. Disentri ameba ringan : kembung, nyeri perut ringan, demam ringan, diare ringan dengan tinja berbau busuk serta bercampur darah dan lendir, keadaan umum pasien baik.3. Disentri ameba sedang : kram perut, demam, badan lemah, hepatomegali dengan nyeri spontan.4. Disenti ameba berat : diare disertai banyak darah, demam tinggi, mual, anemia.5. Disentri ameba kronik : gejala menyerupai disentri ameba ringan diselingi dengan periode normal tanpa gejala, berlangsung berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, neurasthenia, serangan diare biasanya timbul karena kelelahan, demam atau makanan yang sukar dicerna.DiagonosisPada pasien yang dicurigai mengidap amebiasis kolon, pertama kali diperiksa adanya eritrosit dalam tinja, bila positif, pemeriksaan dilanjutkan. Pemeriksaan tinja segar yang diberi larutan garam fisiologis, dilakukan minimal pada 3 spesimen tinja yang terpisah, untuk mencari ada adanya bentuk trofozit. Untuk indentifikasi kista dilakukan pemeriksaan tinja dengan pengecatan trchome, bila perlu dengan teknik konsentrasi tinja.Pemeriksaan endoskopi bermanfaat untuk menegakkan diagnosis pada pasien amebiasis akut. Pemeriksaan dilakukan dini sebelum dilakukan terapi. Ulkus yang terjadi bentuknya khas, berupa ulkus kecil, berbatas jelas, dengan dasar yang melebar, dan dilapisi dengan eksudat putih kekuningan. Mukosa di sekitar ulkus biasanya normal. Bentuk trofozoit biasanya dapat ditemukan pada dasar ulkus dengan cara mengerok atau aspirasi kemudian diperiksa denga mikroskop setalah larutan garam fisiologis.Pemeriksaan radiologi tidka banyak membantu, karena gambarnya sangat bervariasi dan tidak spesifik. Bila terbentuk ameboma tampak sebagai filling defect.Diagnosis bandingKolitis amebik sanga perlu dibedakan dengan kolitis ulserosa atau kolitis Chorn karena pemberian kortikosteroid pada kolits amebik menyebabkan penyebaran organisme dengan cepat dan menimbulkan kematian pasien.Diagnosis banding lain adalah kolitis karena infeksi Shigella, Salmonella, Campylo bacter, Yersinia, E. Coli patogen, dan kolitis pseudomembran.Komplikasi 1. Intestinal. Berupa perdarahan kolon, perforasi, peritonitis, ameboma, intususepsi, dan striktur2. Ekstraintestinal. Dapat terjadi abses hati, amebiasis kulit, amebiasis pleuropulmonal, abses otak, limpa, atau organ lain.Penatalaksanaan.1. Karier asimtomatik. Diberi obat yang bekerja di lumen usus (luminal agents) antara lain: Iodoquinol (diiodohidroxyquin) 650 mg tiga kali per hari selama 20 hari atau Paromomycine 500 mg 3 kali sehari selama 10 hari.2. Kolitis ameba akut. Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5 10 hari, ditambah dengan obat luminal tersebut di atas.3. Amebiasis ekstraintestinal (misalnya : abses hati ameba). Metronidazol 750 mg tiga kali sehari selama 5-10 hari ditambah dengan obat luminal tersebut diatas. Penggunaan 2 macam atau lebih amebisidal ekstra intestinal tidak terbukti lebih efektif dari satu macam obat.DISENTRI BASILER (SHIGELLOSIS)Batasan.Infeksi akut ileum terminalis dan kolon yang disebabkan oleh bakteri genus ShigellaEpidemiologi. Infeksi Shigella mudah terjadi di tempat pemukiman padat , sanitasi jelek, kurang air dan tingkat kebersihan perorangan yang rendah. Di daerah endemik infeksi Shigella merupakan 10 15 % penyebab diare pada anak. Sumber kuman Shigella yang alamiah adalah manusia walaupun kera dan simpanse yang telah dipelihara dapat juga tertular. Jumlah kuman untuk menimbulkan penyakit relative sedikit, yaitu berkisar antara 10-100 kuman. Oleh karena itu sangat mudah terjadi penularan secara fecal oral, baik secara kontak langsung maupun akibat makanan dan minuman yang terkontaminasi.Di daerah tropis termasuk Indonesia. Disentri biasanya meningkat pada musim kemarau di mana S.flexnerii merupakan penyebab infeksi terbanyak. Sedangkan di negera-negara Eropa dan Amerika Serikat prevalensinya meningkat di musim dingin. Prevalensi infeksi oleh S.flexnerii di negera tersebut telah menurun sehingga saat ini S.Sonnei adalah yang terbanyakGejala klinis. Masa tunas berkisar antara 7 jam sampai 7 hari. Pada dasarnya gejala klinis Shigeleosis bervariasi. Lama gejala rerata 7 hari pada orang dewasa, namundapat berlangsung sampai 4 minggu. Disentri basiler yang tidak diobati dengan baik dan berlangsung lama gejalanya menyerupai kolitis ulserosa. Pada fase awal pasien mengeluh nyeri perut bawah, rasa panas rektal, diare disertai demam yang bisa mencapai 40o C. selanjutnya diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, dan nafsu makan menurun. Pada anak-anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau tanpa kejang, delirium, nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi.Pengidap pasca infeksi pada umumnya berlangsung kurang dari 4 minggu. Walaupun jarang terjadi telah dilaporkan adanya pengidap Shigella yang mengeluarkan kuman bersama feses selama bertahun. Pengidap kronik tersebut biasanya sembuh sendiri dan dapat mengalami gejala shifellosis yang intermiten.Penatalaksanaan1. Mengatasi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Sebagian besar pasien disentri dapat diatasi dengan rehidrasi oral. Pada pasien dengan diare berat, disertai dehidrasi dan pasien yang muntah berlebihan sehingga tidak dapat dilakukan rehidrasi oral harus dilakukan rehidrasi intravena.2. Antibiotik. Keputusan penggunaan antibiotik sepenuhnya berdasarkan beratnya penyakit yaitu pasien dengan gejala disentri sedang sampai berat, diare persisten serta perlu diperhatikan pola sensitivitas kuman di daerah tersebut. Beberapa jenis antibiotik yang dianjurkan adalah: Ampisilin 4 kali 500 mg per hari, atau Kontrimoksazol 2 kali 2 tablet per hari, atau Tetrasiklin 4 kali 500 mg per hari selama 5 hari Dilaporkan bahwa pada daerah tertentu di Indonesia kuman Shigella telah banyak yang resisten dengan antibiotik tersebut diatas sehingga diperlukan antibiotik lain seperti golongan kuinolon dan sefalosporin generasi III terutama pada pasien dengan gejala klinik yang berat1. Pengobatan simtomatik. Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus seperti narkotika dan derivatnya, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri dan memprovokasi terjadinya megakolon toksik. Obat simtomatik yang lain diberikan sesuai dengan keadaan pasien antara lain analgetik-antipiretik dan antikonvulasi.ESCHERICHIA COLI (PATOGEN) Batasan.Infeksi kolon oleh serotie Escherichia coli tertentu (O157:H7) yang menyebabkan diare berdahak/tidak.Epidemiologi. Karena pemeriksaan laboratorium untuk E.Coli patogen jarang dilakukan, maka angka kejadiannya tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan di Amerika Serikat sekitar 21.000 orang terinfeksi setiap tahunnya. Di Canada dan Amerika Serikat, E.Coli (O157:H7) lebih sering diisolasi pada pasien diare dibandingkan dengan Shigella demikian juga pada pasien diare kronik di Jakarta.E.Coli patogen tersebut didapatkan pada usus ternak sehat (sekitar 1%), penularan ke manusia sehingga menyebabkan KLB (kejadian luar biasa/outbreak) adalah lewat daging yang terkontaminasi pada saat penyembelihan, daging tersebut kemudian digiling dan kurang baik dalam proses pemanasannya. Cara penularan lain adalah lewat air minum yang tercemar, tempat berenang yang tercemar dan antar manusia.Masa inkubasi rerata 3-4 hari, namun dapat terjadi antara 1 8 hari. E.Coli patogen dapat ditemukan pada pasien sampai 3 minggu setelah sembuh namun tidak pernah ditemukan pada orang sehat (bukan flora normal pada manusia).Gejala klinis.Manifestasi klinis enfeksi E.Coli patogen sangat bervariasi, dapat berupa : infeksi asimtomatik, diare tanpa darah, diare berdarah (hemorrhagic colitis), SHU, purpura trombositopenik sampai kematian.Gejala klinis adalah nyeri abdomen yang sangat (severe abdominal cramp), diare yang kemudian diikuti diare berdarah dan sebagian dari pasien disertai nausea (mual) dan vomiting (muntah). Pada umumnya suhu tubuh pasien sedikit meningkat atau normal, sehingga dapat dikelirukan sebagai kolitis non infeksi.Pemeriksaan tinja pasien biasanya penuh dengan darah, namun sebagian pasien tindak mengandung darah sama sekali.Gejala biasanya membaik dalam seminggu, namun dapat pula terjadi SHU (sekitar 6 % dari pasien) antara 2-12 hari dari onset diare. SHU ditandai dengan anemia hemolitik mikroangiopatik, trombositopenia, gagal ginjal dan gejala saraf sentral. Komplikasi neurologik berupa kejang , koma, hemiparesis terjadi pada sekitar seperempat dari pasien SHU. Prediktor keparahan SHU antara lain meningkatnya jumlah lekosit, gejala gastrointestinal yang berat, cepat timbul anuria, usia di bawah 2 tahun. Mortalitas antara 3-5 %Penatalaksanaan. Pengobatan infeksi E.Coli patogen tidak spesifik, terutama pengobatan suportif dan simtomatik. Komplikasi SHU dilaporkan lebih banyak terjadi pada pasien yang mendapat antibiotik dan obat yang menghambat motilitas. Di samping itu pemberian kontrimoksazol dilaporkan tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap perjalanan gejala gastrointestinal, ekskresi organisme dan komplikasi SHU.KOLITIS TUBERKULOSABatasan.Infeksi kolon oleh kuman Mycobacterium tuberculosae.Epidemiologi. Lebih sering ditemukan di negara berkembang dengan penyakit tuberculosis yang masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.Gejala klinis. Keluhan paling sering (pada 80-90% kasus) adalah nyeri perut kronik yang tidak khas. Dapat terjadi diare ringan bercampur darah, kadang-kadang konstipasi, anoreksi, demam ringan, penurunan berat badan atau teraba masa abdomen kanan bawah. Pada sepertiga kasus ditemukan kuman pada tinja, tetapi pada pasien dengan tuberkulosis paru aktif adanya kuman pada tinja mungkin hanya berasal dan kuman yang tertelan bersama sputum.Penatalaksanaan. Diperlukan kombinasi 3 macam atau lebih obat anti tuberculosis seperti pada pengobatan tuberculosis paru, demikian pula lama pengobatan dan dosis obatnya. Kadang-kadang perlu tindakan bedah untuk mengatasi komplikasi. Beberapa obat anti tuberculosis yang sering dipakai adalah : INH 5 10 mg/kgBB atau 400 mg sekali sehari Etambutol 15 25 mg/kgBB atau 900 1200 mg sekali sehari Rifampisin 10 mg/kgBB atau 400 600 mg sekali sehari Pirazinaidid 25 -3 mg/kgBB atau 1,5 2 g sekali sehariKOLITIS PSEUDOMEMBRANBatasan.Kolotis pseudomembran adalah peradangan kolon akibat toksin yang ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaan mukosa. Disebut pula sebagai kolitis terkait antibiotik sebab umumnya timbul setelah menggunakan antibiotika.EtiologiWalaupun umumnya timbul sebagai komplikasi pemakaian antibiotik, namun kolitis pseudomembran ini telah ditemukan sebelum era antibiotik. Yang dianggap sebagai kuman penyebab adalah Clostridium difficile, toksin yang dikeluarkan mengakibatkan kolitis. Mekanisme pasti antibiotik menjadi usus lebih rentan terhadap C. difficile belum jelas. Penjelasan paling mungkin adalah penekanan flora usus normal oleh antibiotik memberi kesempatan tumbuh dan terbentuknya kolonisasi C. difficile disertai pengeluaran toksin.EpidemiologiC. diffecile ditemukan di tinja 3-5% orang dewasa sehat tanpa kelainan apapun di kolonnya. Kolitis pseudomembran bisa mengenai semua tingkat umur. Kemungkinan tidak dilaporkan kolitis pseudomembran karenan untuk menegakkan diagnosis perlu kolonoskopi dan pemeriksaan toksin kuman di tinja. Penularan bisa secara kontak langsung lewat tangan atau perantaraan makanan minuman yang tercembar. Secara jenis antibiotik, kecuali aminoglikosida intravena, potensial menimbulkan kolitis psudomembran, namun yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin, dan sefalosporin.PatogenesisC. difficile menimbulkan kolitis dengan cara toxin-mediated. Kuman mengeluarkan dua toksin utama, toksin A dan toksin B. Toksin A merupakan enterotoksin yang sangat berpengaruh terhadap semua kelainan yang terjadi, sedangkan toksin B adalah sitotoksin dan tidak melekat pada mukosa yang masih utuh. Sebanyak 75% isolat C. difficile menghasilkan kedua toksin tersebut. Kuman yang tidak menghasilkan toksin tidak menyebabkan kolitis maupun diare. Pemeriksaan toksin A dan toksin B diambil dan sediaan tinja, dengan metode ELISA masing-masing spesifitasnya 98,6% dan 100%Gejala KlinisKolitis mungkin sudah timbul sejak sehari setelah antibiotik digunakan, tetapi mungkin pula baru muncul setelah antibiotik di hentikan. Gejala yang paling sering dikeluhkan adalh diare cair disertai kram perut. Diare yang terjadi dapat ringan, tetapi biasanya banyak, sampai 10-20 kali sehari. Mual muntah jarang ditemukan. Sebagian besar pasien mengalami demam walaupun dapat terjadi hiperpireksia, umumnya suhu tidak melampaui 38c. terdapat leukositosis, sering sampai 50.000/mm pada beberapa pasien mungkin hanya diawali demam dan leukositosis, sedangkan diare baru muncul beberapa hari kemudian. Temuan lain meliputi nyeri tekan abdomen bawah, edema, dan hipoalbuminemia. Yang lebih sering terjadi adalah kolitis ringan. Pada kasus yang berat dapat terjadi komplikasi berupa dehidrasi edema anasarka, gangguan elektrolit, megakolon toksik, atau perforasi meningkatkan resiko megakolon.DiagnosisJika ditemukan pasien diare selama atau setelah menggunakan antibiotik perlu dipikirkan terjadinya kolitis pseudomembran. Diagnosis kolitis pseudomembran dapat cepat dibuat dan akuran denga melakukan kolonoskopi. Sensitivitasnya tinggin dan merupakan alat diagnostik definitif. Jika ditemukan lesi khas kolitis pseudomembran, seyogyanya tetap dilakuna biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Secara tipikal, diawali dengan lesi kecil (2-5 mm) putih atau kekuningan, diskret, timbul mukosa diantaranya sering terlihat normal atau mungkin menunjukkan berbagai derajat eritema, granularitas, dan kerapuhan. Jika lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu-abuan dan jika diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa di bawahnya mengalami ulserasi.C. difficile tumbuh pada 95% biakan tinja pasien kolitis pseudomembran yang terdiagnosis secara kolonoskopi. Hasil biakan positif tidak diagnostik, karena pasien yang berada di rumah sakit tanpa kolitis ditemukan bsiakan C. difficile positif sebesar 10-25%. Sebagai standar baku adalh ditemukan toksin B di tinja, sehubungan dengan efek sitopatik toksin B pada kultur jaringan. Karena pemeriksaan ini memakan waktu dan mahal, biasanya cukup memeriksa terhadapnya toksin A dengan metode ELISA.Gambaran histopatologi kolitis pseudomembran bervariasi tergantung beratnya penyakit dan saat kapan biopsi dikerjakan.Pentalaksanaan Tindakan awal terpenting adalah menghentikan antibiotik yang diduga menjadi penyebab, juga obat yang mengganggu peristaltik, dan mencegah penyebaran nosokomial. Pada kasus yang ringan keadaan sudah bisa teratasi dengan penghentian antibiotik disertai pemberian cairan dan elektrolit. Pada kasus dengan gejala-gejala lebih berat seyogyanya dilakukan pemeriksaan deteksi toksin C. difficile dan terapi spesifik per oral mengunakan metronidazol atau vankomisin.Pada kolitis ringan sampai sedang digunakan metronidazol dengan dosis peroral 250-500 mg empat kali sehari selama 7-10 hari. Pada kasus dengan kolitis yang berat menggunakan vankomisin per oral dosisnya 125-500 mg empat kali sehari selama 7-14 hari. Alternatif pengobatan lainnya menggunakan kolestiramin untuk mengikat toksisn yang dihasilkan C. difficile, tetapi obat ini juga mengikat vankomisin; diberiakn peroral dengan dosis 4 gr tiga kali sehari selama 5-10 hari.Pada kasus yang berhasil disembuhkan, ternyata dalam beberapa minggu atau bulan kemudian sebanyak 15-35% kambuh. Dianjurkan setelah pengobatan spesifik diusahakan kembalinya flora normal usus dengan memberikan kuman laktobasilus atau ragi ( saccharomyces boulardii) selama beberap minggu

DAFTAR PUSTAKA1. Azim T, Islam LN, Raideman RC, Hamadani I, Khanum N, Sarker MS, Salam MA, Albert MI. Peripheral blood neutrophil responses in children with Shigellosis. Chin Dign Lab Immunol. 2003;2;6162. Barlett IG, Pseudomembraneus eterocolitis and antibiotic-associated colitis. In: Sleissenger MH, Fordtran IS, editors. Gastrointestinal disease: pathphysiology, diagonsis, management. 5th ed. Philadelphia: WB Sauders; 2003. p. 11813. Chan KL, Sung IV, Hsu R, Liew CT. The association of the amoebic colitis dan chronic ulcerative colitis. Singapore Med J. 2005;36:3034. Chun D, Chandrasoma P. Kiyabu M, Fulminant amoebic colitis: A morphologic study of four cases. Dis Colon Rectum. 2004; 37:5355. Chuah SK, Sheen IS, Changchien CS. Chiu KW, Fan KD. Risk factors associated with fulminant amoebic colitis. Formos Med Assoc. 2006:95:4466. Fakety R, Shah AB. Diagnosis and treatment of Clostridium difficile colitis. JAMA. 2003;269:717. Haque R, Huston CD., Hughes M, et al. Amebiasis. N Engl J Med. 2003; 348:15658. Hsu YB, Chen FM, Lee PR, Yu SC, Chen KM, Yao YT, Hsu HC. Fulminant amoebiasis: a clinical evaluation. Hepatogastroenterol. 2005; 42:1099. Islam MM, Azad Ak, Bardhan PK, Raqid R, Islam D, Pathology of shigellosis and its complications. Histopathology. 2004;24:6510. Jacobs NF Jr. Antibiotic-induced diarrhea and psudomembranous colitis. Postgrad Med J. 2005;9:1-11