Klasifikasi Reaksi Adversi

16
Klasifikasi Reaksi Adversi A. Reaksi adversi yang terjadi pada orang normal. 1. Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung berhubungan dengan pemberian dosis yang berlebihan. Contoh : depresi pemapasan karena obat sedatif. 2. Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak diinginkan tetapi juga tak dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis terapeutik. Misalnya efek mengantuk pada pemakaian antihistamin. 3. Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung berhubungan dengan efek farmakologis primer suatu obat. 4. Contoh: penglepasan antigen atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik (reaksi Jarisch-Herxheimer) 5. Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau lebih obat-obat lain misalnya induksi enzim suatu obat yang mempengaruhi metabolisme obat lain. B. Reaksi adversi pada orang-orang yang sensitif. 1. Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang meninggi. Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil. 2. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek farmakologis dan tidak juga disebabkan reaksi imunologis, misalnya primakuin yang menyebabkan anemia hemolitik. 3. Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat tejadi pada pasien tertentu. Gejala yang ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat merupakan sebagian dari reaksi adversi. 4. Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu tejadinya keadaan yang menyerupai reaksi tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (lgE independenf). Beberapa obat seperti opiat, vankomisin, polimiksin B. D tubokurarin dan zat kontras (pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator (seperti tipe

Transcript of Klasifikasi Reaksi Adversi

Page 1: Klasifikasi Reaksi Adversi

Klasifikasi Reaksi Adversi

A.  Reaksi adversi yang terjadi pada orang normal.

1. Overdosis yaitu reaksi adversi yang secara langsung berhubungan dengan pemberian dosis yang berlebihan. Contoh : depresi pemapasan karena obat sedatif.

2. Efek samping yaitu efek farmakologis suatu obat yang tidak diinginkan tetapi juga tak dapat dihindarkan yang terjadi pada dosis terapeutik. Misalnya efek mengantuk pada pemakaian antihistamin.

3. Efek sekunder yaitu reaksi adversi yang secara tidak langsung berhubungan dengan efek farmakologis primer suatu obat.

4. Contoh: penglepasan antigen atau endotoksin sesudah pemberian antibiotik (reaksi Jarisch-Herxheimer)

5. Interaksi obat yaitu efek suatu obat yang mempengaruhi respons satu atau lebih obat-obat lain misalnya induksi enzim suatu obat yang mempengaruhi metabolisme obat lain.

B.  Reaksi adversi pada orang-orang yang sensitif.

1. Intoleransi yaitu reaksi adversi yang disebabkan oleh efek farmakologis yang meninggi. Misalnya gejala tinitus pada pemakaian aspirin dosis kecil.

2. Idiosinkrasi adalah reaksi adversi yang tidak berhubungan dengan efek farmakologis dan tidak juga disebabkan reaksi imunologis, misalnya primakuin yang menyebabkan anemia hemolitik.

3. Reaksi alergi atau hipersensitivitas dapat tejadi pada pasien tertentu. Gejala yang ditimbulkan adalah melalui mekanisme imunologis. Jadi reaksi alergi obat merupakan sebagian dari reaksi adversi.

4. Pseudoalergi (reaksi anafilaktoid) yaitu tejadinya keadaan yang menyerupai reaksi tipe I tanpa melalui ikatan antigen dengan IgE (lgE independenf). Beberapa obat seperti opiat, vankomisin, polimiksin B. D tubokurarin dan zat kontras (pemeriksaan radiologis) dapat menyebabkan sel mast melepaskan mediator (seperti tipe I). Proses di atas tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu (non-imunologis).

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (Tipe I s/d IV). Untuk memudahkan pengertian patogenesis dan pengobatannya, dalam makalah im digunakan klasifikasi Gell dan Coombs.

Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat)

Page 2: Klasifikasi Reaksi Adversi

Manifestasi klinis yang tejadi merupakan efek mediator kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk yang menyebabkan kontraksi otot polos. meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus.

Kejang bronkus gejalanya berupa sesak. Kadang-kadang kejang bronkus. disertai kejang laring. Bila disertai edema laring keadaan ini bisa sangat gawat karena pasien tidak dapat atau sangat sulit bernapas.

Urtikaria. Angioedema. Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilaktik dapat terjadi beberapa menit setelah

suntikan seperti penisilin.

Manifestasi klinis renjatan anafilaktik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah pemberian obat. Karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial membahayakan, reaksi ini sering disebut sebagai anafilaksis. Penyebab yang tersering adalah penisilin.

Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :

1. Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE.2. Fase aktivasi, yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik.

Akibat aktivasi ini sel mast/basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granul yang dapat menimbulkan reaksi.

3. Fase efektor, yaitu fase terjadinya respons imun yang kompleks akibat penglepasan mediator.

Tipe II

Reaksi hipersensitivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi oleh karena terbentuknya IgM / IgG oleh paparan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel-sel yang memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antigen-antibodi juga dapat mengaktifkan komplemen melalui reseptro komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia hemolitik, trombositopenia, eosinofilia, dan granulositopenia. Nefritis interstisial dapat juga merupakan reaksi alergi tipe ini.

Tipe III

Reaksi ini disebut juga reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada jaringan. Antibodi yang berperan disini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :

Page 3: Klasifikasi Reaksi Adversi

1. Urtikaria. angioedema, eritema. makulopapula, eritema multiforme, dan lain-Iaih. Gejala tersebut sering disertai pruritus.

2. Demam.3. Kelainan sendi, artralgia, dan efusi sendi.4. Limfadenopati.5. Lain-Iain :

kejang perut, mual neuritis optik glomerulonefritis sindrom lupus eritematosus sistemik gejala vaskulitis lain

Gejala tadi timbul 5-20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah mendapat obat tersebut, gejala dapat timbul dalam waktu 1-5 hari.

Tipe lV

Reaksi tipe IV disebut Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated Immunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi karena respons sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.

Berbagai jenis DTH (Delayed Type Hypersensitivity) :

1. Cutaneous Basophil Hypersensitivity2. Hipersensitivitas kontak (contact Dermatitis)3. Reaksi tuberkulin4. Reaksi granuloma

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam, sesak, batuk, infiltrat paru, dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofurantoin, Nefritis interstisial, ensefalomielitis, dan hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi alergi obat.

Namun demikian dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang-kadang gejala baru timbul bertahun-tahun setelah sensitisasi. Contohnya pemakaian obat topikal (sulfa, penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18-24 jam setelah obat dioleskan.

Diagnosis

1. Anamnesis

Wawancara mengenai riwayat penyakit (anamnesis) merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis alergi obat, karena cara-cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala

Page 4: Klasifikasi Reaksi Adversi

yang dicurigai timbul sebagai manifestasi alergi obat atau karena penyakit dasarnya. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah :

1. Catat semua obat yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum, dan juga obat yang sebelumnya telah sering dipakai tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat.

2. Riwayat pemakaian obat masa lampau dan catat bila ada reaksi.

1. Lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala timbul segera, tetapi kadang-kadang gejala alergi obat baru timbul 7-10 hari setelah pemakaian pertama.

4. Cara lama pemakaian serta riwayat pemakaian obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang-seling, berulang-ulang, serta dosis tinggi secara parenteral.

5. Manifestasi klinis alergi obat sering dihubungkan dengan jenis obat tertentu.6. Diagnosis alergi obat sangat mungkin. bila gejala menghilang setelah obat

dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama.7. Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik jangka lama merupakan salah satu jalan

terjadinya sensitisasi obat yang harus diperhatikan.

2. Uji kulit

Uji kulit yang ada pada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat (penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat-obat yang lain masih diragukan nilainya. Hal ini karena beberapa hal, antara lain :

1. Kebanyakan reaksi alergi obat disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita melakukan uji kulit dengan obat aslinya, hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan kecuali penisilin yang telah diketahui hasil metabolismenya serta obat-obat yang mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung protein telur).

2. Beberapa macam obat bersifat sebagai pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin), sehingga uji positif yang tejadi adalah semu (false positive).

3. Konsentrasi obat terlalu tinggi,  juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten, oleh sebab itu sukar untuk menentukan antigennya.

Uji kulit yang disebutkan di atas adalah uji kulit yang lazim dipakai untuk reaksi alergi tipe I (anafilaksis). Uji kulit untuk tujuan lain seperti untuk melihat reaksi lambat belum diketahui sebagai prosedur yang berguna, demikian pula peran uji tempel (patch test) untuk menilai reaksi alergi tipe I. Uji tempel bermanfaat hanya untuk obat-obat yang diberikan secara topikal (tipe IV).

Page 5: Klasifikasi Reaksi Adversi

3. Pemeriksaan laboratorium

Seperti telah dibicarakan sebelumnya, reaksi alergi obat tipe I terutama ditunjang dengan pemeriksaan uji kulit, sayangnya uji tersebut hanya terbatas pada beberapa macam obat. Dikenal pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test) yaitu pemeriksaan untuk menentukan adanya IgE spesifik terhadap berbagai antigen. Tetapi untuk obat, jenis antigennya juga terbatas. Pemeriksaan ini berguna pada kasus-kasus dengan risiko tinggi seperti pada pasien yang mungkin timbul bila dilakukan uji kulit atau bila tidak dapat dilakukan uji kulit (karena seluruh kulit rusak, minum antihistamin dan kulit tidak sensitif lagi).

Pemeriksaan untuk diagnosis reaksi sitolitik (tipe II), seperti pada anemia hemolitik dapat ditunjang dengan pemeriksaan Coombs indirek, sedangkan trombositopenia dengan pemeriksaan fiksasi komplemen atau reaksi aglutinasi.

Pemeriksaan hemaglutinasi dan komplemen dapat menunjang reaksi obat tipe III. Dibuktikan dengan adanya antibodi IgG atau IgM terhadap obat. Sedangkan pemeriksaan laboratorium untuk reaksi alergi tipe IV selain sangat rumit, hasilnya pun sering tidak memuaskan. Untuk jelasnya tipe reaksi, manifestasi klinik, uji laboratorium dan pemakaian obat masa depan dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Identifikasi dan penatalaksanaan reaksi alergi obat

Tipe reaksi Karakteristik klinik Uji laboratoirum Penggunaan obat selanjutnya

Gell and Coombs

Tipe 1

Gell and Commbs

Tipe 2

Gell and Coombs

Tipe 3

Urtikaria, angioedema, mengi, hipotensi, nausea, muntah, nyeri abdomen, diare

Anemia hemolitik, granulositopenia, trombositopenia

Demam, urtikaria, arthralgia, limfadenopati 2-21 hari sesudah  mulai terapi

Eritema, blister (kulit melepuh)

Ruam makulo popular (dapat bergabung)

Uji kulit, uji radio-alergosorben

Darah perifer lengkap (DPL)

Kadar komplemen

Desensitisasi

Indikasi kontra

Indikasi kontra

Page 6: Klasifikasi Reaksi Adversi

Gell and Coombs

Tipe 4

Morbilliform

Eritema multiforme

Steven-Johnson/TEN

Anafilaktoid

HSS/DRESS

Lesi sasaran tertentu

Lesi sasaran, keterlibatan membran mukosa, deskuamasi kulit

Utikaria, mengi, angioedema, hipotensi

Dermatitis, eksfoliativa, demam, limfadenopati

Uji tempel

Mungkin uji tempel, uji kulit intradermal (reaksi lambat)

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

DPL, enzim hati, kreatinin, urinalisis

Agaknya Indikasi kontra

Pemakaian hati-hati

Indikasi kontra

Indikasi kontra

Pencegahan dengan prednison dan antihistamin untuk sensitivitas terhadap radiokontras

Indikasi kontra

HS : Hypersensitivity Syndrome, DRESS : Drug Rash with Eosinophilia and Systemic Symptom

Pengobatan

Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Bila pada saat itu pasien memakai bermacam-macam obat, kalau mungkin semuanya dihentikan. Tetapi bila tidak mungkin berikan obat yang esensial saja dan diketahui paling kecil

Page 7: Klasifikasi Reaksi Adversi

kemungkinannya menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain yang rumus imunokimianya berlainan.

Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala yang ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pengobatan kasus yang lebih berat tergantung pada erupsi kulit yang tejadi dan derajat berat reaksi pada organ-organ lain. Apapun penyebabnya pengobatannya lebih kurang sama.

Pada kelainan kulit yang berat seperti pada sindrom Steven Johnson, pasiennya harus dirawat, karena selain harus mendapat kortikosteroid, yang lebih penting lagi adalah pemasukan kalori dan cairan perlu dijaga. Perawatan kulit juga memerlukan waktu berhari-hari sampai berminggu-minggu. Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder sehingga pasien perlu diberikan antibiotik.

Kelainan sistemik yang berat seperti anafilaksis, dibicarakan tersendiri pada bab anafilaksis. Pada urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih berat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hati, nefritis interstisial, dan lain-Iain diperlukan kortikosteroid dosis tinggi (60-100 mg prednison atau ekuivalennya) sampai gejala terkendali dan selanjutnya prednison tersebut diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu.

Pencegahan

Cara yang efektif untuk mencegah atau mengurangi terjadinya reaksi alergi obat yaitu memberikan obat hanya kalau ada indikasinya. Jangan hanya untuk menyenangkan pasien atau kita sendiri. Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan terhadap 30 kematian karena penisilin, ternyata hanya 12 pasien yang mempunyai indikasi yang jelas.

Jika sudah tepat indikasinya. barulah ditanyakan secara teliti riwayat alergi obat di masa lalu, terutama yang ada hubungannya dengan yang akan kita berikan. Sering pasien menyebutkan alergi terhadap bermacam-macam obat yang sebenarnya kurang masuk akal, tetapi untuk sementara hal ini harus kita terima saja. Selanjutnya kepada pasien diberikan obat yang mempunyai rumus imunokimia yang berlainan. Masalah reaksi silang di antara obat juga harus diperhatikan. Seperti penisilin dengan sefalosporin, gentamisin dengan kanamisin atau streptomisin, sulfa dengan obat-obat golongan sulfonilurea.

Pada pasien dengan riwayat alergi obat, atau dicurigai alergi obat sedangkan obat atau tindakan alternatif tidak mungkin diperoleh, dapat dilakukan uji kulit atau kalau ada fasilitas dengan pemeriksaan laboratorium. Jika negatif, obat tadi boleh diberikan namun tetap harus berhati-hati. Tetapi bila hasil uji positif dan obat memang harus diberikan, dipertimbangkan cara pemberian obat secara desensitisasi. Sedangkan bagi obat-obat yang uji kulit tidak bermakna dilakukan pemberian obat secara provokasi dan bila reaksinya positif kembali kita melakukan prosedur desensitisasi (Gambar 1 ).

Page 8: Klasifikasi Reaksi Adversi

Baik prosedur uji provokasi maupun desensitisasi selalu mengandung risiko yang kadang-kadang dapat menimbulkan kematian. Karena itu diperlukan beberapa syarat untuk melakukannya.

1. Indikasi kuat dan tak ada obat atau alternatif lain.2. Pasien dan keluarganya diberitahu perihal tujuan tindakan ini, serta untung

ruginya.3. Dilakukan di rumah sakit yang mempunyai obat dan peralatan untuk

menanggulangi keadaan darurat.4. Dilakukan oleh dokter yang berpengalaman.5. Umumnya rute pemberian obat pada desensitisasi atau provokasi sesuai dengan

rute pemberian yang akan diberikan.6. Pada desensitisasi pasien dipasang infus, yang sewaktu-waktu bisa dipergunakan

bila terjadi keadaan darurat.7. Uji kulit dilakukan segera sebelum pemberian obat. Jangan menunggu berhari-

hari kemudian obat baru diberikan, karena uji kulit sendiri menimbulkan sensitisasi.

Prinsip uji provokasi atau desensitisasi yaitu memberikan dosis permulaan yang sangat kecil, kemudian dinaikkan perlahan-Iahan sampai dosis terapeutik tercapai. Meskipun uji provokasi menyerupai desensitisasi, tetapi sebenarnya pada uji provokasi tidak selalu tejadi desensitisasi karena sensitisasinya sendiri belum bisa dibuktikan. Prosedur desensitisasi hanya memberi pasien keadaan bebas sensitisasi sementara, karena bila suatu hari diperlukan pemakaian obat yang sama, prosedur tersebut harus diulangi kembali. Perlu ditambahkan bahwa kedua prosedur tadi hanya untuk mencegah terjadinya reaksi anafilaktik.

Di bawah ini diberikan contoh uji provokasi dengan anestesi lokal (TabeI 2).

Tabel 2. Uji provokasi dengan anesujii lokal

(dikulip dari J Allergy Cllin Immunol1978; 61:339)

Urutan

No.Rute Dosis

1.

2.

3.

4.

5.

uji tusuk

uji tusuk

intrakutan

intrakutan

subkutan

1 : 100 (pengenceran)

tidak diencerkan

0,02 mL larutan 1 : 100

0,02 mL tidak diencerkan

0, 1 mL tidak diencerkan

Page 9: Klasifikasi Reaksi Adversi

6. subkutan 1 mL tidak diencerkan

Catatan :

-Larutan obat tidak mengandung epinefrin

-Urutan no: 1 dan 3 boleh dilewatkan bila riwayat penyakit tak jelas.

Riwayat alergi obat

Struktur dan aktifitas obatSifat-sifat kimia fisika merupakan dasar untuk menjelaskan aktifitas biologis obat karena:1.Sifat kimia fisika memegang peranan penting dalam pengagngkutan obat untuk mencapai reseptor. Sebelum mencapai reseptor, molekul-molekul obat harus melalui bermacam-macam membran, berinteraksi dengan senyawa-senyawa dalam cairan luar dan dalam sel serta biopolimer. Disini sifat kimia dan fisika berperan dalam proses penyerapan dan distribusi obat sehingga kadar obat pada waktu tertentu mencapai reseptor dalam jumlah yang cukup besar.2.Hanya obat yang mempunyai struktur dengan kekhasan yang tinggi saja yang dapat berinteraksi dengan reseptor biologis, sifat kimia fisika harus menunjang orientasi khas molekul pada permukaan reseptor.

Jenis-jenis kerja obat adalah sebagai berikut:1.Obat berstruktur non spesifikObat berstruktur nonspesifik , obat yang bekerja secara langsung tidak tergantung struktur kimia. Mempunyai struktur kimia bervariasi, tidak berinteraksi dengan struktur kimia spesifik. AktifitasBiologis dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia fisika seperti: adsorpsi, kelarutan, aktifitas termodinamika, tegangan permukaan, potensi oksidasi reduksi, mempengaruhi permeabilitas, depolarisasi membran, koagulasi protein, dan pembentukan kompleks.Contoh obat yang termasuk golongan ini adalah :•Anastetika umum•Hipnotika tertentu•Bakterisida tertentu•Antiseptik•Anti jamur

Ciri-ciri obat yang berstruktur nonspesifik adalah :•Obat tidak bereaksi dengan reseptor spesifik•Kerja biologisnya berlangsung dengan aktifitas termodinamika•Bekerja dengan dosis yang relatif besar

Page 10: Klasifikasi Reaksi Adversi

•Menimbulkan efek yang mirip walaupun strukturnya berbeda•Kerjanya hampir tidak berubah pada modifikasi struktur

2.Obat berstruktur spesifikYaitu obat-obat yang memberikan aktifitas biologis akibat adanya ikatan obat dengan reseptor atau akseptor spesifik. Aktivitas biologisnya dihasilkan dari struktur kimia yang mengadaptasikandirinya ke dalam struktur reseptor dalam bentuk tiga dimensi dalam organisme dan membentuk kompleks.

Karakteristik obat berstruktur spesifik•Efektif pada kadar rendah•Modifikasi sedikit dalam struktur kimianya akan menghasilkan perubahan dalam aktifitas biologisnya•Melibatkan kesetimbangan kadar obat dalam biofasa dan fasa eksternal•Pada keadaan kesetimbangan, aktivitas biologisnya maksimal•Melibatkan ikatan-ikatan kimia yang lebih kuat dibandingkan pada senyawa yang berstruktur nonspesifik.Mekanisme obat yang mungkin terjadi•Bekerja terhadap enzim antagonis dengan cara pengaktifan, penghambatan, atau pengaktifan kembali enzim-enzim tubuh.•Penularan fungsi gen yang bekerja pada membran, yaitu dengan mengubah membran sel dan mempengaruhi sistem transport membran.

Faktor-faktor yang mempengaruhi aktifitas biologis•Sifat kimia fisika•Koefisien partisiKoefisien partisi adalah kelarutan relatif zat antara dua fase yang saling tidak tercampur.•Derajat ionisasi

EFEK FARMAKOLOGI GUGUS SPESIFIKModifikasi dalam molekul suatu senyawa induk adalah salah satu cara untuk mendapatkan obat baru, variasi dalam struktur akan mengubah aktivitas biologis yang ditentukan oleh sifat :•Fisika•Distribusi ke sel dan jaringan•Penembusan ke enzim dan reseptor•Cara bereaksi ke target•Eksresi

MODIFIKASI LAMANYA AKSI OBATYaitu aksi yang diperpanjang atau diperpendek, biasanya diinginkan agar obat mempunyai kerja yang diperpanjang, contoh :antibiotik sering diperlukan untuk memperoleh konsentrasi yang tinggi dan harus dipertahankan dalam darah. Ada beberapa cara yang digunakan untuk memperpanjang aksi obat:•Esterifikasi: terutama untuk steroid seperti androgen, estrogen, progesteron, dan juga antibiotik tertentu, sperti eritromisin, oleondromisin.

Page 11: Klasifikasi Reaksi Adversi

•Pembentukan kompleks, seperti: vit B-12, amfetamin tannat•Pembentukan garam, contoh: garam penisilin seperti prokain penisilin•Pengubahan senyawa-senyawa yang tidak jenuh menjadi jenuh, contoh prednison menjadi prednisolon.Jika ingin memperpendek lama kerja obat dapat dengan mengganti gugus kimia yang stabil dengan yang labil, contoh: substitusi ion cl dari Cl-profamid dengan gugus metil menjadi tolbutamid, karena gugus metil labil maka gugus ini segera teroksidasi menjadi karboksilat yang memberikan suatu produk inaktif, waktu paruh tolbutamid hanya 5,7 jam sedangkan klorporamid 33 jam.

Berdasarkan sumbernya dewasa ini obat digolongkan menjadi 3 diantaranya adalah :1.Obat alamiahObat alamiah adalah obat yang terdapat di alam, contohnya pada tanaman, kuinon dan atropin, pada hewan contohnya minyak ikan dan hormon, serta mineral contohnya adalah belerang, Kbr2.Obat semisintetikObat semisintetik adalah obat hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal dari obat bahan alam, contoh morfin menjadi kodein dan diosgenin menjadi progesteron.3.Obat sintetik murniObat sintetik murni adalah obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah disintesis akan didapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu. Contoh : obat-obatan golongan analgetik-antipiretik, antihistamin dan diuretik.

Tiga fasa yang menentukan terjadinya aktifitas obat diantaranya adalah :1.Fasa farmasetisFasa farmasetis meliputi proses pabrikasi, pengaturan dosis dan proses formulasi, bentuk sediaan, pemecahan bentuk sediaan dan terlarutnya zat aktif. Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk diserap oleh tubuh.2.Fasa farmakokinetikFasa farmakokinetik meliputi proses penyerapan obat (Absorpsi), distribusi obat, metabolisme obat, dan Eksresi obat (ADME). Fasa ini berperan dalam ketersediaan obat untuk mencapai sasaran atau reseptor sehingga dapat menimbulkan respons biologis.3.Fasa farmakodinamikFasa farmakodinamik merupakan fasa terjadinya interaksi antara obat dengan reseptor dalam jaringan sasaran. Fasa ini berperan dalam timbulnya respons biologis