kju

25
Agri Ayu Pertasi 102012405 Fakultas Kedokteran,Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510. Telepon: (021)5694-2061, fax: (021)563- 1731 [email protected] I. Pendahuluan II. Pembahasan 1. Anamnesis Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pasien, setiap dokter harus melakukan anamnesis. Anamnesis merupakan wawancara yang dilakukan terhadap pasien. Tehnik anamnesis yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter dengan pasien. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarga atau pengantarnya (alo-anamnesis) jika keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai misalnya dalam keadaan gawat darurat. 2 Hal-hal yang ditanyakan dokter pada pasien dalam melakukan anamnesis antara lain: Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur, tempat tanggal lahir, alamat, pekerjaan, pendidikan terakhir, suku bangsa dan agama. Identitas perlu

description

jh

Transcript of kju

Agri Ayu Pertasi102012405Fakultas Kedokteran,Universitas Kristen Krida Wacana, JakartaJalan Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510. Telepon: (021)5694-2061, fax: (021)[email protected]

I. Pendahuluan

II. Pembahasan1. Anamnesis

Sebelum melakukan pemeriksaan terhadap pasien, setiap dokter harus melakukan anamnesis. Anamnesis merupakan wawancara yang dilakukan terhadap pasien. Tehnik anamnesis yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komunikasi antara dokter dengan pasien. Anamnesis dapat langsung dilakukan terhadap pasien (auto-anamnesis) atau terhadap keluarga atau pengantarnya (alo-anamnesis) jika keadaan pasien tidak memungkinkan untuk diwawancarai misalnya dalam keadaan gawat darurat.2Hal-hal yang ditanyakan dokter pada pasien dalam melakukan anamnesis antara lain: Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur, tempat tanggal lahir, alamat, pekerjaan, pendidikan terakhir, suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan bahwa pasien yang dihadapi adalah memang pasien yang dimaksud.2Keluhan utama merupakan alasan spesifik atau keluhan yang dirasakan seseorang sehingga ia datang ke dokter atau rumah sakit. Dalam menuliskan keluhan utama, harus disertai dengan indicator waktu, berapa lama pasien mengalami hal tersebut.1 Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita yang kronologis, terperinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Keluhan utama ditelusuri untuk menentukan penyebab, ditanya jawab diarahkan sesuai dengan hipotesis yang dapat berubah bila jawaban pasien tidak cocok.2 Riwayat penyakit dahulu bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.2 Riwayat penyakit keluarga penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familiar atau penyakit infeksi. Riwayat Pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan.2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang pertama dilakukan adalah melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, suhu, nadi, dan pernapasan. Status lokalis, saat dilakukan inspeksi (look), move (pergerakan),feel (palpasi). Katup vena yang tidak berfungsi baik dapat dievaluasi secara klinis dengan menguji waktu pengisia an vena. Tes Brodier-Trendelenburg dilakukan dengan menggosokan vena safena melalui peninggian anggota gerak dan mengurangi aliran ateri melalui oklusi. Pada katup yang tidak berfungsi baik, terlihat pengisian vena yang cepat saat oklusi kemungkinan juga saant berdiri, teknik lain adalah tes kompresi manual, yaitu dengan melakuakan kompresi disebelah proksimal vena dan palpasi disebelah distal untuk mengevaluasi penggisian vena retrograd karena refluks katup. 3. Pemeriksaan Penunjang

1.Tes Daraha)Tes D-dimerTes D-dimer adalah tes untuk mengukur produk degradasi cross-linked fibrin. D-dimer meningkat dalam plasma dengan adanya bekuan darah akut karena aktivasi simultan koagulasi dan fibrinolisis.Selama proses pembentukan trombus maka fibrinogen akan diubah menjadi fibrin monomer yang terikat dengan jaringan polimer. Selama proses fibrinolisis maka polimer fibrin tersebut akan terdegradasi yang akan menghasilkan produk akhir fibrinolisis berupa fragmen fibrin D-Dimer. D-dimer sangat spesifik untuk fibrin dan spesifisitas fibrin untuk DVT adalah rendah karena D-dimer yang meningkat tidak hanya pada keadaan trombosis akut tetapi juga pada kondisi, seperti kehamilan, kanker, peradangan, infeksi, nekrosis, diseksi aorta sehingga hasil D-dimer positif tidak berguna Sebaliknya, hasil negatif menggunakan berguna untuk menyingkirkan DVT akut.Saat ini telah tersedia beberapa metode penilaian D-Dimer, sepertienzyme-linked immunofluorecense assays(Elisa) (sensitifitas 96%),microplate enzyme-linked immunosorbent assays(sensitifitas 94%),quantitative latexatauimmunoturbidimetric assays(sensitifitas 93%),whole blood D-dimer assays(sensitifitas 83%) danlatex semiquantitative assays(sensitifitas 85%).Tes-tes ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, seperti Elisa merupakan tes yang sensitif tetapi membutuhkan banyak waktu, perlu pemeriksaan yang intensif dan tidak praktis pada keadaan emergensi. Sedangkan teswhole blood D-dimer assaysmudah dikerjakan dan praktis, tetapi kekurangannya mempunyai sensitifitas yang rendah.D-dimer juga dapat digunakan untuk menentukan durasi terapi antikoagulan, dari penelitian yang dilakukan Palareti dkk menunjukkan bahwa pasien yang melanjutkan pemakaian antikoagulan dengan nilai D-dimer yang abnormal setelah menggunakan antikoagulan selama 3 bulan mempunyai resiko terjadinya venous troboemboli ulangan lebih kecil dibandingkan dengan yang tidak melanjutkan pemakaiaan antikoagulan.Ultrasonografi dapat dikombinasikan dengan tes D-dimer dan mengurangi sekitar 60% dari jumlah pasien yang harus menjalani serial ultrasonografi. Jika USG awal hasilnya adalah normal dan hasil D-dimer adalah negatif, pengujian lebih lanjut dengan serial ultrasonografi tidak perlu dan terapi antikoagulan belum perlu diberikan. Oleh karena itu, tes D-dimer dapat mengurangi jumlah pemeriksaan USG yang diperlukan padai pasien yang datang dengan dicurigai episode pertama DVT.b)Protein S, protein c, antithrombin III, faktor V, prothrombin, antifosfolipid antibody, dan kadar hemosistein. Defisiensi terhadap beberapa faktor ini merupakan suatu keadaan abnormal yang menyebabkan terjadinya hiperkoagulasi.

2.Imaging (pencitraan)

a)VenografiMerupakan suatu pemeriksaan gold standard untuk menegakkan diagnose trombosis vena dalam dengan menggunakan kontras. Prosedur ini invasif tetapi resikonya kecil terhadap suatu reaksi alergi atau trombosis vena. Berikut gambaran trombosis vena dalam pada a. poplitea.

b)Ultrasonography VenaUltrasonografi vena adalah pilihan untuk pasien dengan hasil skor Wells pretest probabilitas moderate atau tinggi.Bersama dengan pemeriksaan D-dimer, ultrasonography vena merupakan tes yang paling berguna dan obyektif dalam mendiagnosisDVT. Penggunaan ultrasonography venadan tes D-dimer bersama dengan penilaian klinisdapat menurunkan penggunaaancontrast venographyyang merupakan standar diagnosis DVT.Ultrasonography vena dapat digunakan untuk menentukan ada tidaknya thrombus pada vena ekstremitas bawah, menentukan karakteristik dan staging dari penyakit thrombus dan mengevaluasi apakah suatu thrombus berpotensi menyebabkan suatu emboli. Meskipun ultrasonography vena sangat reliable untuk mendiagnosa DVT pada fase akut, tetapi ultrasonography vena sangat terbatas dalam mendiagnosa DVT kronik.Ultrasonography vena merupakan tes yang obyektif pada pasien dengan high atau moderate pretest probability. Jika hasil ultrasonography vena pada kelompok tersebut positif maka diagnosa DVT sudah dapat ditegakkan. Jika ultrasonography vena dikerjakan pada kelompok low pretest probability hasilnya negatif maka diagnosa DVT dapat disingkirkan.Kriteria ultrasound duplex pada DVT antara lain : vena tidak tertekan pada posisi melintang denganprobeDoppler, tampak adanya trombus, tidak ada aliran padaimaging color, vena tidak dilatasi saat dilakukanvalsava maneuver(khusus untuk vena femoralis),respiratory phasicitykurang. Dalam keadaan normal vena tertekan/terkompresi oleh probe Doppler, dengan posisi melintang. Vena yang tidak terkompresi menggambarkan adanya trombus. Trombus yang baru terlihat sangat echolusent sehingga susah untuk memvisualisasikannya. Lama-lama trombus menjadi echogenic (putih) dan keadaan kronik mungkin tampak rekanalisasi (dinding menebal, pada lumen tampak aliran tidak teratur). Tidak tampak ada aliran darah padaimaging colormenunjukkan adanya oklusi. Pada vena sentral seperti vena ilaka, lebih susah untuk mengevaluasi secara langsung dengan duplek dan maneuver kompresi. Cara tidak langsung yang dapat digunakan adalah dengan aliranphasic. Dilatasi vena femoralis yang tidak normal dengan maneuver valsalva dapat timbul pada trombosis vena iliaka dan variasi normal respirasi pada aliran menunjukkan ketidakadaanphasic.c)CT-Scan dan MRIDengan Ct-Scan dapat menunjukkan adanya trombosis vena dalam dan jaringan lunak sekitar tungkai yang membengkak. Sedangkan MRI sangat sensitif dan dapat mendiagnostik kecurigaan adanya trombosis pada vena iliaka atau vena cava inferior.

4. WD

Deep Vein Trombosisadalah suatu pembentukan bekuan darah (trombus) pada vena dalam. Trombus dapat terjadi pada vena-vena profunda pada tungkai. Trombosis vena dalam dapat juga terjadi pada vena lainnya (sinus cerebral, vena pada lengan, retina, dan mesenterika). Trombosis vena dalam hanya menyebabkan suatu peradangan yang minimal. Peradangan yang terjadi disekitar trombus, disertai dengan perlengketan trombus terhadap dinding vena yang lama kelamaan terlepas dan menjadi embolus, berjalan melalui aliran darah dan berakhir pada suatu aliran darah yang sempit sehingga menyebabkan blockade terhadap aliran darah. Trombosis vena dalam dapat menyebabkan komplikasi seperti sindrom postphlebitis, embolisme paru dan kematian.Trombus terjadi karena perlambatan dari aliran darah, kelainan dinding pembuluh darah, atau gangguan pembekuan darah yang sering dinamakan dengan trias Virchow. Beberapa factor inilah yang menyebabkan tingginya insiden trombus vena dalam. Trombus terbentuk pada daerah yang aliran darahnya (arteri) cepat pada umumnya berwarna abu-abu dan terdiri dari platelet. Trombus terjadi relative sangat lambat pada system vena biasanya berwarna merah dan terdiri dari fibrin dan sel darah merah.Bekuan yang terbentuk di dalam suatu pembuluh darah disebut trombus. Trombus dapat terjadi baik di vena superfisial (vena permukaan) maupun di vena dalam, tetapi yang berbahaya adalah yang terbentuk di vena dalam. Trombosis Vena Dalam adalah suatu keadaan yang ditandai dengan ditemukannya bekuan darah di dalam vena dalam. Pada awalnya trombus vena terdiri atas platelet dan fibrin. Kemudian sel darah merah menyelingi fibrin dan trombus cenderung untuk menyebarkan arah aliran darah. Perubahan pada dinding pembuluh darah dapat minimal atau sebaliknya terjadi infiltrasi granulosit, kehilangaan endotelium dan edema. Trombosis vena dalam sangat berbahaya karena seluruh atau sebagian dari trombus bisa pecah, mengikuti aliran darah dan tersangkut di dalam arteri yang sempit di paru-paru sehingga menyumbat aliran darah. Trombus yang terlepas dan diangkut ke tempat lain dalam pembuluh darah disebut emboli. Semakin sedikit peradangan di sekitar suatu trombus, semakin longgar trombus melekat ke dinding vena dan semakin mudah membentuk emboli. Emboli paru merupakan salah satu konsekuensi utama trombosis vena dalam. Konsekuensi lainnya adalahpostphlebitic syndromeatau insufisiensi vena dalam kronik. Trombosis vena dalam sering terjadi pada vena di betis namun dapat juga terjadi pada vena-vena yang letaknya lebih proksimal yaitu poplitea, femoralis dan lliac.5. DDLimfedemaLimfedema adalah edem pitting yang difus dan menetap, akibat obstruksi drainase limfe disuatu daerah, biasanya ekstremitas. Pembengkakan jaringan pada ekstremitas terjadi karena peningkatan limfe yang diakibatkan oleb obstuksi limfatik. Limfedema dikelompokan sebagai primer (malformasi kongenital), atau sekunder (obstuksi didapat). Tipe paling umum adalah limfedema kongenital (limfedema praecox), yang disebabkan oleh hipoplasia sistem limfatik ekstremitas bawah. Gangguan drainase limfatik dapat terjadi sekunder akibat infeksi, tromboflebitis, infestasi parasit, neoplasma, iradiasi, atau pengankatan nodus limfatikus melalui pembedahan. Kondisi ini sangat jelas terutama bila ekstremitas dalam posisi dependen. Penyakit ini biasanya terjadi pada wanita, dan pertama kiali terjadi pada usia 15 dan 25 tahun. Obstuksi munkin terjadi pada kedua nodus limfe dan pembuluh limfe.Penyebab obtruksi yang paling sering ditemukan adalah keganasan, reseksi limfonodi regional, fibrosis pasca radiasi, filariasis, thombosis pasca inflamasi dengan pembentukan parut limfatik. Kalau sudah berjalan lama, limfedema menyebabkan fibrosis interstisial. Kalau jaringan kutaneus ikut terkena, limfedema menimbulkan gambaran peau dorang (gambaran kulit jeruk) pada kulit dengan disertai ulkus dan indurasi berwarna merah coklat. Akumulasi chyle dapat terjadi sekunder dalam setiap rongga tubuh karena ruptur pembuluh limfe yang melebar dan mengalami obstruksi.Gejala limfedema meliputi, pembengkakan pada bagian lengan atau kaki atau seluruh lengan atau kaki, termasuk jari tangan atau kaki. Perasaan berat atau sesak di lengan atau kaki. Terbatasnya jangkauan gerak lengan atau kaki. Sakit atau ketidaknyamanan pada lengan atau kaki. Berulangnya infeksi pada anggota badan yang terkena. Pengerasan dan penebalan kulit pada lengan atau kaki. Tromboflebitis SuperfisialisTromboflebitis superfisial menyerang pembulu darah subkutan di eskteremitras atas dan bawah. Penyebab tersering tromboflebitis pada ekstremitas atas adalan infus intra vena, terutama jika memasukan larutan asam dan hipertonik. Sedangkan ekstremitas bawah biasanya disebabkan oleh varieses vena atau trauma. Perjalanan tromboflebitis superfisial biasanya jinak dan swasirna. Emboli paru jarang terjadi tetapi dapat terjadi perluasann trombos kesistem profunda, terutama jika trombos berada dekat saluran penghubung utama atau pada pertemuan antara vena sefaldan poplitea atau vena femoralis.Manifestasi khas dari thomboflebitis superfisialis adalah nyeri akut disertai rasa terbakar dan nyeri tekan permukaan. Trobofebitis superfisialis biasanya lebih nyeri daripada trombosis vena profunda karena ujung saraf kulit berdekatan dengan letak proses peradangannya. Kulit disekitar vena tersebut mungkin menjadi eritematosa dan hangat. Mungkin kulit juga terlihat sedikit bengkak. Vena tersebut dapat teraba. Kekakuan vena ini kadang disebut tali subkutan. Dapat timbul manifestasi sistemik dari peradangan ini, berupa demam dan malese.Pengobatan tromboflebitis superfisial berupa meninggikan ekstremitas yang terangsang dan mengompres dengan air hangat. Obat antiradang aspirin dapat mengurang rasa tidak nyaman dan meningkatkan kerja antitrombosis. Kauskaki penekan dapat mengurangi stasis dan meningkatkan aliran balik vena dari ekstremitas bawah. 6. Etiologi dan EpidemiologiDeep Vein Trombosis (DVT) mengenai pembumbuh darah sistem vena profunda yang menyerang hampir 2 juta orang Amerika setiap tahunnya. Serangan awal disebut DVT akut. Adanya riwayat DVT akut merupakan predisposisi untuk terjadinya DVT rekuren. Episode DVT dapat menyebabkan kecatatan untuk waktu yang lama kerena kerusakan katup-katup vena profunda. Emboli paru adalah resiko yang cukup bermakna pada DVT, terjadi pada 30% pasien DVT. Emboli paru menyebabkan 60.000 kematian setiap tahunnya di AS.Kebanyakan trombus vena propunda berasal dari ekstremitas bawah, banyak yang sembuh sempontan dan yang lain menjadi lebih luas atau membentuk emboli. Penyakit ini dapat menyerang satu vena atau lebih, vena-vena di betis adalah vena-vena yang paling sering terserang. Thombosis pada vena poplitea, femoralis superfisial, dan segmen-segmen vena ileofemoralis juga sering terjadi. Amat banyak kasus emboli paru-paru yang terjdi akibat DVT pada vena panggul dan ekstremitas bawah.Faktor resiko utama adalah imobilisasi nyata, dehidrrasi, keganasan lanjutan, diskrasia darah, riwayat DVT, varises vena, operasi atau trauma pada anggota gerak bawah atau pelvis. Faktor prediposisi lain adalah pemakaian obat kontrasepsi yang mengandung estrogen, kehamilan, gagal jantung kongesti kronik dan obesitas.7. Gejala KlinisDVT merupakan masalah yang tersembunyi karena bisanya tidak terderdapat gejala, emboli pari-paru dapat menjadi indikasi klinis pertama dari trombosis.pembetukan trombosis pada vena profunda tida nyata secara klinis pertama dari trombosis . pembentukan trombus pada sistem vena provunda dapat tdak nyata secara klinis karena besaranya kapasitas sistem vena dan terbentuknya sirkulasi kolateral yang merngelilingi obstuksi. Diagnosis sulit ditegakan karena gejala dan tanda klinisa dan DVT tidak spesifik dan keparahan penakit tidak berhubungan langsung dengan luasnya penyakit. Tanda yanga paling dapat dipercaya adalah bengkak dan edem pada ekstremitas yan g terkena. Pembekakan disebabkan oleh peningkatan volume intravaskular akibat bendungan darah vena edem menunjukan adanyan perembesan darah disepanjang membran kapiler memasuki jaringan interstisial yang terjadi karenba peningkatan tekanan hidrostatik. Vena superfisial dapat juga berdilatasi karenan obtruksi aliran dari sistem rofunda ke superfisial. Walau pun biasanya unilateral, tetapi obstruktif pada vena ileofemoralis dapat menimbulkan pembengkaan bilateral.Nyeri adalah gejala tersering biasanyas digambarkan sebagai rasa sakit atau berdenyut dan mungkin berat. Berjalan dapat memperberat nyeri. Nyeri pada extremitas yang terserang dapat ditemukan. Dua tenik untuk mendapatkan nyeri tekan adalah dorsofleksi kaki disebut tanda homan dan dianggap sebagai tanda DVT yang tidak terlalu dapat dipercaya, nyeri dipaha dan betis pembendungan manset disebut tanda lowenbung. Tanda yang lain adalah menikatkan turgor jaringan disertai pembengkakan, kenaikan suhu dengan dilatasi vena superfisial, bintik-bintik dan sianosis karena stagnasi aliran, peningkatan ekstrasi oksigen, penurunan hemoglobin.Terdapat dua trombosit vena yang jarang terjadi tetapi memliki arti keparahanya. Jenis yang pertama adalah phlegmasia alba dolensm, yaitu suatu bentuk trombosis kiliofemoral. Trombosis ini menyebabkan reaksi peradangan antara vena yang berat dan juga menyerang serat saraf antararteri, yang menyebabkan spasme arteri distal. Akibat penurunan aliran arteri, anggota gerakn menjadi pucat, terlihat membengkak dan denyut nadi pda sistem arteri tidak teraba. Jenis kedua adalah phlegmasia cerulae dolens, dan jenis ini merupakan oklusi iliofemoral yanglebih serius. Pada kasus ini, oklusi mendadak pada aliran vena anggota gerak menibulkan kenaikan tekanan dalam ekstremitas sehingga aliran arteri terhenti, dan dapat menyebabkan gangren pada ekstremitas. Gejala sisa ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang dirawat karena sakit parah akibat keganasan. 8. Patofisiologi Mekanisme pasti mengenai keadaan yang mengawali terjadinya tombosis yang belum dipahami. Tiga kelompok faktor yang mempengaruhi terjadinya pembentukan trombus disebut denganTrias Virchowyaitu jejas endotel, stasis atau turbulensi aliran darah (aliran darah abnormal), dan hiperkoagulabilitas darah.Statis merupakan faktor utama dalam pembentukan trombus vena. Stasis dan turbulensi akan (1) mengganggu aliran laminar dan melekatkan trombosit pada endotel, (2) mencegah pengenceran faktor pembekuan yang teraktivasi oleh darah segar yang terus mengalir, (3) menunda aliran masuk inhibitor faktor pembekuan dan memungkinkan pembentukan trombus, (4) meningkatkan aktivasi sel endotel, memengaruhi pembentukan trombosis lokal, perlekatan leukosit serta berbagai efek sel endotel lain. Beberapa faktor yang menyebabkan aliran vena melambat dan menginduksi terjadinya stasis adalah imobilisasi (bed restlama setelah operasi, duduk didalam mobil atau pesawat terbang dalam perjalanan yang lama), gagal jantung, dan sindrom hiperviskositas (seperti polisitemia vera).Jejas endotel akibatinjuryeksternal maupun akibat kateter intravena dapat mengikis sel endotel dan mengakibatkan pajanan kolagen subendotel. Kolagen yang terpajan merupakan substrat yang digunakan sebagai tempat pengikatan faktor von Willebrand dan platelet yang menginisiasi kaskade pembekuan darah.Endotel yang mengalami disfungsi dapat menghasilkan faktor prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar dan efektor antikoagulan dalam jumlah yang lebih kecil (misalnya trombomodulin dan heparan sulfat). Penyebab kerusakan endotel yaqng jelas adalah troma langsung pada pembulu darah ( seperti fraktur atau cidera jaringan lunak) dan infus intervena atau zat-zat yang mengiritasi seperti kalsium klorida, kemoterapi, antibiotik dosis tinggi.

Penyebab hiperkoagulabilitas darah terbagi atas penyebab primer (genetik) dan penyebab sekunder (didapat). Hiperkoagulabilitas darah tergantung dari interaksi kompleks antara berbagai macai variabel, termasuk endotel pembuluh darah, faktor-faktor pembekuan darah, faktor-faktor pembekuan dan trombosit, komposissi, dan sifat-sifat aliran darah. Selain sistem fibrinolitik intrisik menyeimbangkan sistempembekuan melalui lisis dan disolusi untuk mempertahankan paternsi vaskuler. Keadaan hiperkoagulasi timbul akibat perubahan salah satu variabel ini kelainan hematologis, keganasan, trauma, terapi estrogen, atau pembedahan yang dapat menyebabkan kelainan koagulasi. Trombosis vena akan meningkatkan resistensi aliran vena dari ekstremitas bawah. Dan meningkatnya resistensi aliran vena ekstre mitas bawah. Dengan meningkatkan resistendi aliran vena, pengosongan vena akan terganggu, meningkatkan volume dan tekanan darah vena. Trombosis dapat melibatkan kantong katup dan merusak fungsi katup. Katup yang tidak berfungsi atau inkompeten mempermudah terjadinya stasis dan penimbunan darah diekstremitas. Trombos akan menjadi sangat terorganisir dan melekat pada dinding pembulu darah apabila trombos semakin matang . sebagai akibatnya, resiko embolis menjadi lebih besar pada awal fase-fase trombosis, namun demikian ujung bekuan dapat terlepas dan menjadi emboli sewaktu fase terorganisasi.

9. Penatalaksanaan

Berdasarkan morbilitas dan mortalitas akibat DVt dan emboli paru, maka pengobatan ditekankan pada adanya pengenalan adanya resiko tinggi dan tindakan pencegahan yang sesuai. Bila dicurigai adanya DVT, tujuan pengobatan untuk menghidari perluasan bekuan dan embolisasi.

Non-Farmakologi

Metode-metode fisik untuk mengatasi stasi vena sering dipakai untuk profilaksis pasien yang beresiko tinggi. Tekanan dari luar (misalnya dengan kaus kaki penekanan atau pembalut elastik) diajurkan untuk mengurangi stasi vena. Tetapi pemakaian kaus kakidan pembalu elastis haru dipakai berhati-hati, untuk menghidari efek torniket yang ditimbulkan oleh alat yang tidak pas atau pemakaian yang ceroboh .Aliran balik vena kejantung dapat juga diperbaiki dengan melakukan latihan pada tungkai secara aktif dan pasif dan bergerak sedini mungkin pasca operasi. Meninggikan bagian kaki tempat tidur hingga lebih tinggi dario jantung adalah tidakan sederhana untuk mengurangi tekanan hidrostatik vena dan menundakan pengosongan vena. Ada juga alat-alat yang menirukan atau merangsang aksi pemompaan mekanis otot-otot betis. Kompresi pneumatik eksternal pada ekstremitas bawah. Dapat dicapai dengan menutup betis menggunakan sep[atu berlaras tinggi yang dapat diisi udara, yang secara periodik dikempiskan. Sepatu pneumatik sudah banyak dipakai oleh sebagian besar bedah saraf dan pasca operasi mayor abdomen.Indikasiopen surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupunmechanical thrombectomy, lesi yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking danesmarch bandage.Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1 hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT. Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi kompartemen dan perbaikan sirkulasi.Postthrombotic syndromeadalah komplikasi kronik dari DVT. Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaanelastic compression stockings(ECS) untuk mengurangi edema dan keluhan,intermitten pneumatic compressionefektif untuk PTS simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala jangka pendek.Compression therapy, perawatan kulit dantopical dressingsdigunakan untuk ulkus vena. PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien resiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis dan durasi, menggunakanelastic compression stockingselama kurang lebih 2 tahun setelah diagnosis DVT ditegakkan. Peran trombolisis pada pencegahan PTS belum diketahui secara jelas. Peranan CDT dalam rangka prevensi PTS juga membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

Farmakologi

Terapi anti koagulan dengan hepari dosis rendah dianjurkan oleh beberapa ahli sebagai profilaksis pada kelompok beresiko tinggi. Terapi antikoagulan dengan dosis rendah diajurkan oleh beberapa ahli sebagai profilaksis pada kelompok beresiko tinggi. Heparin dosis rendah dapat menguranggi komplikasi bersama dengan penggunaan anti koagulan yang adekuat. keefektifan obat ini masih kontrofersi.Tujuan pengobatan antikoagulan adalah untuk mencegah perluasan trombus, propagasi, dan embolisasi. Antikoagulan yang diggunakan selama fase akut sekarang ini mengguanakan heparin intravena atau enoksaparin subkutan (levenox). Penggunaan LMWH biasanya diberikan pada pasien dengan DVT atau emboli paru yang tersumbat aliran vena nya, pada pasien rawat jalan yang telah selesai menggunakan antikoagulan , atau pada wanita hamil. Enoksapir tersedia dalam dosis 1 mg/kg yang diberikan secara injeksi subkutan setiap 12 jam. Heparin diberikan secara infus intravena dengan dosis pembebanan 80 unit/kg dan dilanjutkan dengan 18 unit/kg disesuikajn dengan keadaan pasien.Antikoagulan oral dengan walfarin (coumadin) diberikan sebelum penghentian heparin atau enoskapin. Walfarin sering diberikan dengan atikoagulan intravena atau sukutan. Target pengobatan anti koagulasi adalah untuk mencapai Perbadingan Normal Internasional (INH) nyaitu 2;3. Pengobatan atikoagulan oral berlanjut selama 3 hingga 6 bulan pada pasien dengan resiko sementara (setelah operasi) atau dengan penyebab DVT yang idiopatik, pada pasien dengan DVT yang berulang atau dengan faktor resiko yang terus menerus, pengobatan dapat dilabnjutkan selama 12 bulan atau seumur hidup.Pemberian obat fibrinolitik ( seperti streptokinase dan urokinase)untuk melarukan bekuan menjadi semakin disukai untuk mengobati DVT.obat-obat yang diberikan selama tahap awal DVT akut untuk mengaktifkan sistem fibrinolisis endogen. Sistem fibrinolitik berperanuntuk memecahkan dan melarutkan bekuan. Idealnya pengobatan fibrolitik harus dimulai dalam waktu 24 sampai 28 jam setelah awitan DVT karena bekuan matur lebih sukar lisis. Kontra indikasi pengobatan fibrinolitik bila baru mengalami operasi atau pendarahan saluran cerna.Trombolitik memecah bekuan darah yang baru terbentuk dan mengembalikan patensi vena lebih cepat daripada antikoagulan. Trombolitik dapat diberikan secara sistemik atau lokal dengancatheter-directed thrombolysis(CDT). Terapi trombolitik pada episode akut DVT dapat menurunkan resiko terjadinya rekurensi danpost thrombotic syndrome(PTS).Serine protease inhibitorendogen seperti urokinase dan rekombinantissue plasminogen activator(r-TPA) menggantikan fungsi streptokinase sebagai obat pilihan pada terapi trombolitik sistemik dengan efek samping yang lebih minimal, akan tetapi banyak pusat-pusat kesehatan lebih memilih menggunakan alteplase. Trombolitik sistemik dapat menghancurkan bekuan secara cepat tapi resiko perdarahan juga tinggi. Penggunaan trombolitik dengan CDT akan menghasilkan konsentrasi lokal yang lebih tinggi daripada secara sistemik dan secara teori seharusnya dapat meningkatkan efikasinya dan menurunkan resiko perdarahan.Resiko terjadinya perdarahan pada penggunaan trombolitik lebih besar dibanding penggunaan heparin. Indikasi dilakukan trombolisis antara lain trombosis luas dengan resiko tinggi terjadi emboli paru, DVT proksimal,threatened limb viability, adanya predisposisi kelainan anatomi, kondisi fisiologis yang baik (usia 18-75 tahun), harapan hidup lebih dari 6 bulan, onset gejala 180 mmHg, DBP>110 mmHg).CDT dilakukan dengan tuntunanultrasoundsehingga dapat meminimalkan terjadinya komplikasi dan punksi multipel pembuluh darah. Pemilihan untuk dilakukan trombolisis atau tidak, pemilihan agen trombolitik, penggunaanvenous stentingtambahan daninferior vena cava filter(IVC) berbeda-beda pada tiap pusat kesehatan. IVC tidak rutin dilakukan dan umumnya hanya dipakai sementara, penggunaannya dilakukan pada kondisi tertentu seperti adanya kontraindikasi penggunaan antikoagulan dan timbulnya DVT pada penggunaan rutin antikoagulan. Penggunaanya harus melalui diskusi tim multidisiplin dan kasus per kasus. Pemasangan stent endovaskular pada saat dilakukan CDT dapat dilakukan pada kasus tertentu seperti adanya kelainan anatomi yang mendasari timbulnya DVT (May-Thurner syndrome). Pada sindrom ini vena iliaka komunis ditekan oleh arteri iliaca komunis sehingga terjadi tekanan dan kerusakan pembuluh darah. Penyebab lain yaitu kompresi oleh tumor daerah pelvis, osteofit, retensi urin kronik, aneurisma arteri iliaka, endometriosis, kehamilan, tumor uterus.Aspiration thrombectomyjuga dapat dilakukan bersama CDT pada kasus tertentu. Terapi antikoagulan tetap harus dilakukan setelah tindakan trombolisis untuk mencegah progresivitas dan munculnya kembali trombus.

10. Komplikasi

Meskipun dengan terapi yang adekuat beberapa pasien DVT akan mengalami komplikasi jangka panjang sepertiDVT berulang, emboli paru danpost-thrombotyc syndrome.Risiko terjadinya recurrent DVT tergantung dari penyebab DVT tersebut. Trombus yang berasal dari pembedahan atau trauma jarang menyebabkan terjadinya recurrent DVT. Individu dengan spontaneus DVT tanpa faktor resiko akan mengalami resiko ulangan sebesar 30 % dalam 10 tahun. Semakin banyak faktor resiko semakin tinggi resiko terjadinya kekambuhan.Pulmonary Embolism (PE)muncul jika terjadi pelepasan fragmen trombus kesirkulasi darah dan mencapaijantung dan kemudianmenyumbat arteri pulmonalis. Emboli paru merupakan komplikasi fatal yang memerlukan penanganan cepat. Gejala emboli paru biasanyasesak nafas,nyeri dada, batuk tiba-tiba, sinkop dan hemoptisis.Dari pemeriksaan fisik bisa ditemukan takipnea,takikardi, tanda-tanda DVT, sianosis, demamserta hipotensi.Pada pasien yang dicurigai mengalami PE harus dilakukan penilaian probabilitas klinis dengan menggunakan Revised Geneva Score atau Wells Score yang membagi kemungkinan PE menjadi tiga kategori yaitu risiko rendah, moderate dan berat. Kategori risiko berat atau pasien mengalami hipotensi atau syok harus segera dilakukan CT scan dada jika tersedia atau ekokardiografi. Jika positif, maka pasien diterapi dengan trombolitik atau embolektomi. Pada pasien yang kategori risiko tidak berat, maka dilakukan tes D-dimer terlebih dahulu yang bila hasilnya positif dilanjutkan pemeriksaan CT multidetektor. Jika hasil CT multidetektor positif, maka diberikan terapi antikoagulan seperti pada DVT .Post thrombotyc syndrome( PTS ) merupakan komplikasikronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga pasien DVT akan mengalami PTS. 5- 10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi vena. Pada pasien DVT simptomatik proksimal diatas lutut, 80 % akan terjadi komplikasi PTS. PTS yang berat dilaporkan pada 50 % kasus dan ulserasi lutut muncul pada 10 % pasien. Kondisi ini akan menurunkan disabilitas dan kualitas dari hidup. PTS rata-rata mengenai pasien berumur 56 tahun dan 50 % mengenai pasien usia kerja, hal ini akan menurunkan kualitas sosial pasien.PTS disebabkan oleh hipertensi vena kronik yang sekunder disebabkan oleh reflux vena, obstruksi vena dan disfungsi katup vena. Gejala dari PTS ini adalahkelemahan tungkai,nyeri,gatal,bengkak, kaki terasa berat dan klaudikasio vena.Pada pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi perimalleolar, ektasis vena, hiperpigmentasi, kemerahan, sianosis.Pada kondisi yang berat dan tahap akhir akan menyebabkan ulserasi vena.The Subcommittee on Control of Anticoagulation of the Scientific and Standardization Committee of the International Society on Thrombosis and Hemostasismerekomendasikan penggunaan skala villalta untuk diagnosis PTS. Compression Ultrasonography dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien dengan kecurigaan PTS tanpa ada riwayat DVT sebelumnya. Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression stockings (ECS) untuk mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic compression efektif untuk PTS simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala jangka pendek. Compression therapy, perawatan kulit dan topical dressings digunakan untuk ulkus vena. PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien risiko tinggi, rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis dan durasi, menggunakan elastic compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah diagnosis DVT ditegakkan.11. PencegahanPencegahan DVT merupakan hal yang sulitoleh karena beberapa faktor risiko tidak bisa diubah seperti umur dan riwayat keluarga. Berjalan dan mobilitas dini pasca operasi dapat mencegah terjadinya DVT. Penggunaanelastic stockingpada pasien dengan resiko terjadi DVT sangat berguna dalam pencegahan DVT.Elastic stockingsangat berguna selama tidak menimbulkan komplikasi perdarahan, mudah dipakai dan tidak mahal.Intermitten pneumatic compressionsangat berguna pada pasien dengan resiko tinggi terutama ada resiko terjadinya perdarahan. PenggunaanUnfractionated heparindosis rendah dapat juga dipergunakan dalam pencegahan DVT. Heparin dapat diberikan dengan dosis 5000 unit tiap 8 sampai 12 jam kemudian dapat digantikan warfarin jika resiko trombosis masih ada. Resiko terjadinya perdarahan harus dimonitor secara ketat dengan menyesuaikan APTT sesuai yang dikehendaki. LMWH dapat diberikan sekali atau dua kali sehari sebagai pengganti UFH.Dari penelitian yang dilakukan Agnelli dkk, penggunaan Enoxaparin bersamaan dengancompression stockinglebih efektif dibandingkan penggunaancompression stokingsaja dalam mencegah terjadinyavenous thromboembolismpada pasien yang telah dilakukan pembedahan saraf.Sedangkan penggunaan aspirin setelah penggunaan antikoagulan dihentikan dapat mencegah terjadinya trombosis ulangan tanpa meningkatkan resiko perdarahan.12. PrognosisSemua pasien dengan DVT pada masa yang lama mempunyai resiko terjadinya insufisiensi vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani dapat berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian. Dengan antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali. Sebagian besar kasus DVT dapat hilang tanpa adanya masalah apapun, namun penyakit ini dapat kambuh. Beberapa orang dapat mengalami nyeri dan bengkak berkepanjangan pada salah satu kakinya yang dikenal sebagaipost phlebitic syndrome. Hal ini dapat dicegah atau dikurangi kemungkinan terjadinya dengan penggunaancompression stockingsaat dan sesudah episode DVT terjadi.Pada pasien dengan riwayat terjaid emboli paru, maka pengawasan harus dilakukan secara lebih ketat dan teratur. Daftar pustaka