kimia.unnes.ac.idkimia.unnes.ac.id/kasmui/kuantum/book/Handout Bab 1... · Web viewProton,...
Transcript of kimia.unnes.ac.idkimia.unnes.ac.id/kasmui/kuantum/book/Handout Bab 1... · Web viewProton,...
Pendahuluan matematika
Tanpa pemahaman matematika yang cukup adalah sangat mustahil untuk dapat memahami kimia kuantum.
Sistem koordinat
Sistem koordinat dipergunakan untuk menyatakan kedudukan sebuah titik di dalam suatu ruangan.
Ada beberapa sistem koordinat yang sering dipergunakan, diantaranya yaitu koordinat Cartesius, dan koordinat bola.
Kriteria pemilihannya dalam penggunaan, semata-mata hanya ditentukan dari sistem mana yang jika dipergunakan memberikan penyelesaian matematika yang paling sederhana. Sudah barang
tentu, system koordinat apapun yang dipergunakan, akan memberikan hasil yang sama.
Koordinat Cartesius.
Dalam sistem ini, kedudukan sebuah titik dinyatakan dengan cara menyatakan jarak proyeksi titik itu ke sumbu X, Y dan Z dari titik asal (O). Jika sebuah titik P, proyeksinya pada sumbu X berjarak 5 skala, proyeksinya pada sumbu Y berjarak 7 skala dan terhadap sumbu Z berjarak 9 skala masing-masing diukur dari titik asal O, maka kedudukan titik itu dinyatakan dengan P(5,7,9). Secara umum, 5 adalah x, 7 adalah y sedang 9 adalah z, sehingga kedudukan P dinyatakan dengan P(x,y,z)
Gambar 1-1 : Koordinat Cartesius titik P(x,y,z)
Koordinat bola
Dalam sistem ini, kedudukan sebuah titik P di atas dinyatakan dalam r, , (gambar 1-2).
Dalam hal ini r adalah jarak dari O ke P, adalah sudut antara r dengan sumbu Z, sedang adalah sudut antara proyeksi r pada bidang XY (r’) dengan sumbu X.
x
X
y
Y
z
Z
P(x,y,z)
Jika dibuat hubungan antara koordinat Cartesius dengan koordinat bola untuk sebuah titik P di atas, maka akan diperoleh :
x = r sin cos; y = r sin sin; z = r cos (1-1)
tan = ; tan =
Sedang hubungan antara x, y, dan z terhadap r adalah:
x + y + z = r
Dalam problem-problem mekanika kuantum, kita sering dihadapkan kepada masalah integral ke seluruh ruangan. Untuk mengerjakan hal ini, kita harus mengenal unsur diferensial volume (d) dari masing-masing sistem koordinat serta harga batas integrasinya.
Gambar 1-2 : Koordinat spherik polar titik P(r,,)
Untuk masing-masing sistem koordinat, berlaku hubungan sebagai berikut:
Untuk koordinat Cartesius:
x
Y
y
zX
Z
r
r'
d = dx dy dz < x < +
< y < +
< z < +
Untuk koordinat bola:
d = r dr sin d d 0 < r < + ~
0 < <
0 < < 2
1.2.2 Vektor
Dikenal dua macam besaran, yaitu besaran skalar yang hanya mempunyai harga saja, dan besaran vektor yang selain mempunyai harga, juga mempunyai arah.
Besaran-besaran seperti gaya, medan listrik, kecepatan, percepatan, momentum, dan lain-lain, merupakan beberapa contoh besaran vektor. Dalam buku ini, vektor akan ditulis dengan huruf yang dicetak tebal.
Contoh :
Vektor gaya ditulis : F
Vektor kecepatan ditulis : v dan seterusnya.
Jika suatu vektor harganya satu satuan, maka vektor itu disebut vektor satuan atau vektor unit (u). Hubungan antara vektor dengan vektor unitnya adalah :
F = F u (1-2)
Jika suatu vektor diproyeksikan pada masing-masing sumbu maka akan diperoleh tiga buah komponen vektor yang masing-masing saling tegak lurus sesamanya. Ketiga komponen itu adalah komponen x, y dan z. Sebagai contoh, jika suatu vektor gaya F diproyeksikan, akan diperoleh komponen-komponennya yaitu F , F dan F . Hubungan antara vektor dan komponen-komponennya adalah :
F = F + F + F (1-3)
Komponen vektor unit pada sumbu X disebut i, komponen vektor unit pada sumbu Y disebut j dan komponen vektor unit pada sumbu Z disebut k sehingga:
F = F i;
F = F j
F = F k
dengan demikian maka persamaan (1-3) dapat ditulis:
F = F i + F j + F k (1-4)
Secara umum, untuk sembarang vektor A berlaku :
A = A i + A j + A k (1-5)
Operasi vektor
Yang dimaksud dengan operasi vektor adalah operasi matematika yang dapat diberlakukan terhadap vektor meliputi penjumhan, pengurangan, perkalian, dan penurunan atau diferensial vektor.
Operasi penjumlahan
Jika vektor C adalah jumlah dari vektor A dan vektor B maka secara matematis, pernyataan ini dapat ditulis :
C = A + B (1-6)
Secara grafika, vektor C sebagai hasil penjumlahan vektor A dan vektor B diperoleh dengan cara sebagai berikut:
Jika pangkal vektor B dipasang pada ujung vektor A, maka panjang dan arah vektor C adalah dari pangkal vektor A sampai ke ujung vektor B (gambar 1-3).
A B
C
Gambar 1-3 : Vektor C = A + B
Selain secara grafis, penjumlahan juga dapat dilakukan secara analitika. Berdasarkan persamaan (1-5), maka untuk vektor A :
A = A i + A j + A k
Sedang untuk vektor B, berlaku:
B = B i + B j + B k
Sehingga jumlahnya :
C = (A + B ) i + (A + B ) j + (A + B ) k
Operasi pengurangan
Jika vektor C adalah selisih dari vektor A dan vektor B maka secara matematis, pernyataan ini dapat ditulis :
C = A + -B (1-8)
Secara grafika, vektor C sebagai hasil penjumlahan vektor A dan vektor B diperoleh dengan cara sebagai berikut:
Jika pangkal vektor B yang dipasang terbalik dipasang pada ujung vektor A, maka panjang dan arah vektor C adalah dari pangkal vektor A sampai ke ujung vektor B (gambar 1-3).
A B
C B
Gambar 1-3 : Vektor C = A - B
Selain secara grafis, pengurangan juga dapat dilakukan secara analitika. Analog persamaan (1-5), maka:
C = (A B ) i + (A B ) j + (A B ) k (1-9)
Operasi perkalian
Dikenal dua macam operasi perkalian buah vektor yaitu perkalian skalar dan perkalian vektor.
Perkalian skalar
Operasi perkalian skalar A dan B ditulis A.B menghasilkan besaran skalar pula, dan didefinisikan sebagai berikut:
Perkalian skalar antara A dan B adalah hasil kali harga vektor B terhadap proyeksi A pada B. Jadi secara matematika, definisi itu dapat ditulis:
A .B = AB cos (1-10)
dengan adalah sudut lancip yang dibentuk oleh A dan B.
Dari definisi itu, jika kita mempunyai dua buah vektor yang saling tegak lurus maka hasil kali skalarnya adalah nol. Dua buah vektor saling tegak lurus ini disebut orthogonal.
Jika masing-masing vektor ditulis atas komponen-komponennya, maka:
A .B = (A i + A j + A k ) . (B i + B j + B k )
= A B + A B + A B (1-11)
Perkalian vektor
Secara geometri, A x B adalah luas jajaran genjang yang dibentuk oleh kedua vektor yang di-kalivektor-kan sehingga perkalian vektor antara A dan B ditulis A x B didefinisikan :
A x B = N AB sin (1-12)
dengan N adalah vektor unit normal, yaitu vektor unit yang tegak lurus terhadap A dan B sedang adalah sudut antara A dan B dengan arah jarum jam, jadi berbeda dengan konsep pada perkalian skalar. Hal ini berakibat:
A x B tidak sama dengan B x A. Hubungan antara keduanya adalah:
A x B = (B x A) (1-13)
Jika masing-masing vektor yang di-kalivektor-kan itu dinyatakan dalam komponen-komponennya maka hasil per-kalivektor-annya dapat diperoleh dari harga determinan sebagai berikut:
A x B = (1-14)
= (A .B A B )i (A B A B )j + (A )k
Sebagai contoh, kita akan membicarakan harga momentum angular L, yang merupakan perkalian vektor jarak r dengan vektor momentum liniar p. Jadi:
L = r x p
Komponen vektor r adalah x i, y j dan z k dalam hubungan:
r = x i + y j + z k
Sedang komponen p adalah p i, p j dan p k dalam hubungan:
p = p i + p j + p k
Jadi :
L = (x i + y j + z k) x (p i + p j + p k)
=
= (y p z p ) i (x p z )j + (x p y p )k
Sementara itu hubungan antara L dengan komponen-komponennya adalah:
L = L i + L j + L k
Dengan demikian dapat pula diperoleh harga komponen momentum angular, yaitu:
L = y p z p
L = x p z
L = x p y p
Operasi diferensial
Vektor dapat diturunkan dengan sederhana dengan cara menurunkan atas komponen-komponennya. Contohnya:
Jika A = x i + y j + z k diturunkan terhadap waktu, maka :
= i + j + k
= v i + v j + v k
= v
dengan v adalah vektor kecepatan.
1.2.3 Bilangan komplek
Yang disebut bilangan komplek, adalah bilangan yang terdiri atas bilangan real dan bilangan imajiner. Bentuk umum bilangan komplek ditulis:
C = A + iB (1-16)
dengan i = . Sehubungan dengan bilangan komplek C, dikenal pula komplek konjugasi C* yaitu :
C* = A - iB (1-17)
Harga absolut bilangan komplek didefinisikan sebagai akar dari hasil kali bilangan komplek dengan kojugasi-nya. Jadi:
= = (1-19)
Jadi harga absolut bilangan komplek, selalu merupakan bilangan real.
Persamaan yang selalu dipergunakan dan melibatkan bilangan komplek adalah persamaan Euler, yang formulanya adalah:
e = cos + i sin (1-20)
C A B
1.2.4 Operator
Pengertian operator
Dalam pembahasan mengenai mekanika kuantum akan sangat sering menggunakan operator matematika.
Operator tidak lebih dari sebuah simbol/lambang, yang meminta kita untuk melakukan sesuatu terhadap apa yang tertulis di belakang simbol tersebut. Sedang yang tertulis dibelakang operator itu disebut operan (Boas, 1983: 187).
Sebagai contoh adalah:
Simbol adalah operator yang meminta kita untuk mencari harga akar kuadrat dari operan yang tertulis sesudah tanda akar itu, yaitu bilangan 16.
Contoh lain lagi adalah bentuk berikut ini:
.
Lambang adalah operator yang meminta agar fungsi diturunkan terhadap x.
Secara umum, operator diberi lambang sebuah huruf yang di atasnya diberi tanda caret (^). Operator P, ditulis ; Operator Q ditulis ; ...dan seterusnya.
Ada yang perlu ditegaskan yaitu bahwa pada umumnya operasi antar operator, seperti hal-nya operasi vektor, bersifat tidak komutatif:
belum tentu = .
Untuk membuktikannya, marilah kita mengamati contoh ini :
Misal kita mempunyai dua buah operator yaitu log dan akar yang bekerja pada bilangan 100 sehingga diperoleh susunan:
log dengan .
keduanya bernilai tidak sama.
Operator tertentu, memang ada yang bersifat komutatif, seperti misalnya operator diferensial partial. Tetapi pada umumnya tidak demikian.
Operator vektor
Jika suatu operator adalah operator vektor maka penyelesaiannya adalah dengan jalan menguraikannya atas komponen-komponennya.
Salah satu contoh operator vektor adalah operator del ( ) yang merupakan operator vektor deferensial. Untuk satu dimensi:
f = i (komponen sumbu x)
atau
f = j (komponen sumbu y)
atau:
f = k (komponen sumbu z)
Sehingga untuk tiga dimensi :
f = i + j + k (1-20)
Operator komplek
Hampir semua opertor yang dipergunakan dalam mekanika kuantum merupakan operator komplek, yaitu operator yang mengandung bilangan imajiner i.
Jika suatu operator merupakan operator komplek, misal: = i maka
bentuk konjugasi operator itu diperoleh dengan memasang i sebagai pengganti i sehingga diperoleh:
= i
Operator linear
Dalam mekanika kuantum, operator yang dipergunakan hanyalah operator linear yaitu operator yang jika bekerja pada suatu fungsi atau fungsi-fungsi memenuhi sifat-sifat sebagai berikut:
1. (f + g) = f + g
atau:
2. a.f = a f
dengan f dan g adalah fungsi sedang a adalah bilangan konstan.
Operator del kuadrat atau
Operator sangat dibutuhkan dalam membahas persamaan Schrodinger. Untuk menurunkan harganya marilah kita lihat kembali operator del.
f = i (komponan sumbu x). Jadi:
f = i = i
Sehingga untuk tiga dimensi:
f = i + j + k (1-21)
Operator yang dibicarakan di atas itu dinyatakan dalam koordinat Cartesius. Tetapi dalam banyak hal, penggunaannya kurang
menguntungkan karena akan melibatkan persamaan-persamaan yang rumit.
Untuk kasus-kasus atom dan molekul, menggunakan operator dalam koordinat bola ternyata lebih menguntungkan. Untuk ini perlu diadakan transformasi dari koordinat Cartesius ke dalam koordinat bola.
Perlu diingat bahwa dalam koordinat Cartesius, kedudukan titik dinyatakan dalam (x,y,z) sehingga penurunnanya adalah dx, dy, dan dz. Sedang dalam koordinat bola kedudukan titik dinyatakan dalam (r,,), sehingga men-transformasi dalam koordinat Cartesius ke dalam koordinat bola, pada dasarnya adalah mengganti dx ,dy dan dz ke dalam dr, d dan d. Dengan cara seperti itu akan diperoleh:
f = + + (1-22)
1.2.5 Fungsi eigen
Jika sebuah operator bekerja pada sebuah operan, misal f(x) menghasilkan n kali harga fungsi itu sendiri, maka f(x) itu disebut fungsi eigen, n disebut nilai eigen sedang persamaannya, yaitu:
f(x) = n . f(x) (1-23)
disebut persamaan eigen.
Dalam mekanika kuantum, jenis operator dan nilai eigen dari sebuah fungsi eigen mempunyai hubungan yang sangat erat.
Jika operator yang digunakan adalah operator energi kinetik, bekerja pada suatu fungsi eigen dan menghasilkan nilai eigen n, maka n adalah energi kinetik.
Jika operator yang digunakan adalah operator energi total, maka n yang dihasilkan adalah energi total fungsi tersebut.
Untuk lebih memahami pengertian fungsi eigen, akan diberikan beberapa contoh berikut:
1) Operator = d/dx bekerja pada sebuah operan f(x) = A sin ax. Akan diselidiki apakah fungsi tersebut merupakan fungsi eigen terhadap operator yang bersangkutan.
Penyelesaian:
= A sin ax = a A cos ax
Ternyata penyelesaiannya tidak dapat dinyatakan dalam bentuk kelipatan A sin ax. Maka kesimpulannya f(x) tersebut bukan fungsi eigen.
2) Operator = d /dx bekerja pada sebuah operan f(x) = A sin ax. Akan diselidiki apakah fungsi tersebut merupakan fungsi eigen terhadap operator yang bersangkutan.
Penyelesaian:
=
= ( A sin ax )
= a A cos ax
= a 2 A sin ax
n f(x)
Ternyata penyelesaiannya merupakan kelipatan f(x) asalnya, sehingga terhadap operator d /dx , f(x) tersebut merupakan fungsi eigen.
Dari contoh tersebut jelas bahwa, sebuah fungsi dapat menjadi fungsi eigen terhadap operator tertentu, tetapi menjadi bukan eigen terhadap operator yang lain. Dalam contoh di atas, nilai eigennya yaitu n = a .
Catatan:
= n!
= +
= +
=
cos x =
sin x =
sin x . cos x = sin 2x
=
=
=
=
= dst
PENDAHULUAN MEKANIKA KUANTUM
Latar Belakang:
Pada akhir abad 17, Isaac Newton mengembangkan mekanika yang
membicarakan hukum gerak bagi obyek makroskopik.
Pada awal abad 20, para fisikawan menjumpai beberapa fenomena
fisik: 1) radiasi benda hitam, 2) efek foto listrik dan 3) efek Compton
yang tidak dapat dijelaskan secara klasik dengan teori gelombang
elektromagnit dan baru dapat diatasi setelah Einstein menerapkan
teori kuantum Planck.
Pada saat yang hampir bersamaan juga dijumpai gerak mikroskopik
yang tidak dapat dideskripsi secara benar oleh mekanika Newton.
Sifat-sifat gerak mikroskopik dideskripsi oleh himpunan hukum-
hukum yang disebut mekanika kuantum.
PERKEMBANGAN MEKANIKA KUANTUM
Planck melakukan studi terhadap sifat-sifat cahaya yang berasal dari
sebuah padatan yang dipanaskan.
Pada 1801, Thomas Young menyatakan bahwa cahaya mempunyai
sifat gelombang dan hal ini dibuktikan dengan adanya sifat difraksi
dan interferensi manakala cahaya dilewatkan pada dua buah lubang
kecil yang berdekatan.
Sekitar 1860, James Clerk Maxwell
mengembangkan 4 buah persamaan (persamaan Maxwell) yang
menggabungkan hukum-hukum kelistrikan dan kemagnetan.
Persamaan Maxwell memprediksi bahwa muatan listrik yang
diakselerasi akan meradiasi energi dalam bentuk gelombang
elektromagnetik yang terdiri atas oscilasi selang-seling antara
medan listrik dengan medan magnet.
Prediksi Maxwell terhadap laju gelombang elektromagnetik
tersebut sama dengan laju cahaya yang diperoleh secara
eksperimen. Atas dasar ini Maxwell menyimpulkan bahwa
cahaya adalah gelombang elektromagnetik.
Pada 1888, Heinrich Hertz
mendeteksi adanya gelombang radio apabila muatan listrik
diakselerasi melalui bunga api, sebagaimana diprediksi oleh
persamaan Makwell.
Lebih membuat yakin para fisikawan bahwa cahaya adalah
gelombang elektromagnetik.
Semua gelombang elektromagnetik melintas dengan laju c = 2,998
. 108 m/s dalam ruang vakum.
Hubungan antara laju (c), frekuensi () dan panjang gelombang ()
dinyatakan oleh persamaan:
. = c
Pada akhir 1800-an fisikawan mengukur intensitas cahaya yang
diemisi oleh benda hitam yang dipanaskan pada temperatur
tertentu.
Benda hitam adalah obyek yang mengabsorpsi seluruh cahaya
yang jatuh padanya.
Jika para fisikawan menggunakan mekanika statistik dan model
gelombang elektromagnetik untuk memprediksi kurva intenlitas-
dan-frekuensi bagi emisi radiasi benda hitam, maka mereka
memperoleh hasil yang sepenuhnya tidak sesuai dengan kurva
eksperimental, khususnya pada porsi frekuensi tinggi.
Pada 1900, Max Planck
mengembangkan teori yang memberikan kesesuaian yang luar
biasa dengan kurva eksperimental radiasi benda hitam.
Planck berasumsi bahwa atom-atom dalam benda hitam tersebut
dapat mengemisi energi cahaya dalam jumlah tertentu yaitu h,
dengan h adalah tetapan Planck = 6,63 . 1034 J.s sedang adalah
frekuensi. Nilai h ini memberikan kurva yang sangat sesuai dengan
kurva radiasi benda hitam hasil eksperimen.
Hasil kerja Planck ini menengarai dimulainya mekanika kuantum.
Hipotesis Planck yang menyatakan bahwa hanya kuantitas
tertentu saja yang dapat diemisi oleh energi cahaya (jadi emisi
energinya bersifat terkuantisasi atau diskrit) merupakan
pernyataan yang kontradiktif secara langsung pendapat para
fisikawan sebelumnya.
Menurut pendapat klasik, energi gelombang cahaya ditentukan
oleh amplitudonya. Karena amplitudo dapat mempunyai
sembarang harga dari nol ke atas maka energi (begitu menurut
pendapat klasik) harus dapat mempunyai sembarang harga yang
kontinum dari nol ke atas.
Tetapi, kenyataan menunjukkan bahwa energi terkuantisasi
seperti yang dinyatakan oleh Planck-lah yang sesuai dengan kurva
radiasi benda hitam.
Aplikasi kedua dari sifat energi terkuantisasi adalah pada efek foto
listrik. Dalam kasus efek foto listrik, cahaya yang dijatuhkan pada
permukaan logam, menghasilkan emisi elektron.
Menurut pendapat klasik, energi gelombang adalah sebanding
dengan intensitasnya dan tidak berhubungan dengan
frekuensinya, sehingga energi kinetik elektron meningkat sesuai
dengan peningkatan intensitas cahaya tidak peduli dengan
frekuensinya. Jadi seharusnya cahaya dengan frekuensi berapapun
seharusnya dapat menghasilkan foto listrik.
Kenyataannya hanya cahaya dengan frekuensi tertentu saja yang
dapat menghasilkan foto listrik.
Pada 1905, Albert Einstein
menunjukkan bahwa fenomena foto listrik dapat dijelaskan
melalui pemahaman bahwa cahaya merupakan sesuatu yang mirip
materi (disebut foton) yang masing-masing foton mempunyai
energi:
Efoton = h .
Ketika elektron logam mengabsorpsi foton, sebagian energi foton
digunakan untuk melawan gaya yang mengikat elektron dan
sisanya, jika ada, akan muncul sebagai energi kinetik.
Efek foto listrik tidak akan terjadi manakala energi foton tidak
cukup untuk melawan gaya yang mengikat elektron.
Konservasi energinya adalah:
h . = + Ekinetik
adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk melepaskan
elektron (disebut fungsi kerja) sedang Ekinetik adalah energi kinetik
maksimum yang diterima oleh elektron yang teremisi.
Melalui fenomena foto listrik diyakini bahwa cahaya mempunyai
sifat partikel selain sifat gelombang seperti ditunjukkan oleh
eksperimen difraksi dan interferensi.
STRUKTUR MATERI
Pada akhir abad 19 percobaan tabung lucutan muatan listrik
radioaktivitas natural menunjukkan bahwa
atom-atom dan molekul merupakan partikel yang bermuatan.
Elektron mempunyai muatan negatif
Proton, mempunyai muatan positif, sebesar muatan elektron
tetapi berlawanan tanda sedang massanya 1836 kali massa
elektron.
Penyusun atom yang ketiga adalah netron (diketemukan 1932),
tidak bermuatan dan sedikit lebih berat dibandingkan proton.
Berawal pada 1909, Rutherford, Geiger dan Marsden
melakukan serangkaian percobaan yang sangat terkenal yaitu
hamburan partikel alfa.
Kesimpulan eksperimen ini adalah
bahwa sebagian besar dari volume atom adalah ruang
kosong (karena sebagian besar alfa tidak mengalami
pembelokan arah),
sedang seluruh massa terpusat pada inti yang bermuatan
positif.
Kesimpulan kedua diambil karena ada beberapa alfa yang
arahnya membelok.
Pembelokan arah alfa diduga disebabkan oleh tolakan inti.
Karena alfa bermuatan positif, maka tolakan hanya terjadi jika
inti juga bermuatan positif.
Jari-jari atom 1013 sampai 1012 cm,
Inti atom terdiri atas sejumlah netron dan Z proton. Z
selanjutnya disebut nomor atom. Di luar inti atom terdapat Z
elektron.
Muatan-muatan partikel berinteraksi sesuai dengan hukum
Coulomb.
Sifat kimia atom-atom dan molekul ditentukan oleh struktur
elektronnya.
Pada tahun 1911, Rutherford mengajukan model planet bagi atom.
Tetapi kesulitan muncul sehubungan dengan model ini. Menurut
teori elektromagnetik klasik, partikel yang bergerak melengkung
dengan kecepatan konstan pasti memperoleh akselerasi dari
waktu ke waktu, karena arah vektor kecepatannya berubah terus
menerus. Padahal jika partikel bermuatan mengalami akselerasi
maka ia akan meradiasi energi berupa gelombang
elektromagnetik, sehingga elektron sepanjang lintasannya akan
kehilangan energi sehingga bentuk lintasannya seharusnya
adalah spiral dan pada akhirnya elektron akan jatuh ke dalam
inti.
Salah satu kemungkinan untuk mengatasi kesulitan Rutherford
diajukan oleh Niels Bohr, ketika ia menggunakan konsep energi
terkuantisasi pada atom hidrogen.
Bohr berasumsi bahwa energi elektron atom hidrogen
terkuantisasi, dan elektron bergerak hanya pada satu lintasan
tertentu yang diijinkan.
Jika elektron berpindah dari satu orbit ke orbit yang lain maka
akan terjadi emisi atau absorsi foton menurut relasi:
Etinggi Erendah = h (1-3)
dengan Etinggi dan Erendah adalah tingkat energi.
Kesulitan mendasar yang muncul dalam model atom Bohr adalah
ketika ia menggunakan mekanika Newton untuk mendeskripsi
gerak elektron dalam atom.
Fakta spektra menunjukkan bahwa energi atom bersifat diskrit
artinya hanya harga tertentu saja yang diijinkan, padahal
mekanika Newton mengijinkan rentang energi secara kontinum.
Pemaksaan aplikasi mekanika Newton merupakan kelemahan
utama model Bohr.
De Broglie pada tahun 1923
mengajukan hipotesis bahwa gerak elektron adalah gerak
gelombang dengan panjang gelombang yang dinyatakan dengan:
= = (1-4)
p adalah momentum linear, m massa dan v kecepatan elektron.
De Broglie mengemukanan (1-4) melalui alasan dan analogi
dengan foton.
Menurut teori relativitas Einstein, energi semua partikel
(termasuk foton) dapat dinyatakan dengan E = m . c2 dengan
kecepatan cahaya.
Untuk foton, E = h = h c/Penggabungan keduanya
menghasilkan = h/mc = h/p.
Persamaan (1-4) adalah analogi dari yang dikenakan pada gerak
elektron.
Pada tahun 1927, Davisson dan Germer secara eksperimen melakukan
konfirmasi terhadap hipotesis De Broglie melalui percobaan difraksi
elektron.
Pada 1932, Stern, melakukan hal yang sama, kemudian melakukan
verifikasi bahwa efek gelombang pada elektron adalah sesuatu yang
tidak mustahil, dan hal ini merupakan konsekuensi dari beberapa
hukum gerak bagi partikel mikroskopik.
Jadi, elektron dalam satu peristiwa menyerupai partikel dan pada
peristiwa yang lain menyerupai gelombang.
Kita dihadapkan dengan munculnya kontradiksi yang disebut
“dualitas gelombang-partikel” pada materi (dan cahaya).
Bagaimana mungkin, elektron dapat berlaku sebagai partikel
(yang bersifat terlokalisir) sekaligus juga berlaku sebagai
gelombang (yang bersifat takterlokalisir) ?
Jawabnya adalah bahwa elektron adalah bukan partikel dan bukan
pula gelombang tetapi sesuatu yang lain.
Pengilustrasian secara akurat terhadap sifat-sifat elektron dengan
menggunakan konsep fisika klasik tentang gelombang atau
partikel adalah sangat tidak mungkin.
Konsep fisika klasik telah dikembangkan atas dasar pengalaman
dalam dunia makroskopis dan tidak ditujukan bagi dunia
mikroskopis.
Meskipun foton dan elektron keduanya menunjukkan gejala
dualitas, namun keduanya tetap bukan merupakan sesuatu yang
sejenis.
Foton senantiasa bergerak dengan kecepatan c dan massa diam
nol, sedang elektron bergerak dengan v < c dan massa diamnya
tidak nol.
Foton harus selalu ditangani secara relativistik sedang elektron
yang berkecepatan rendah boleh ditangani secara non relativistik.
PRINSIP KETIDAKPASTIAN HEISSENBERG
x . px h
tanda karena ketidakpastian tidak dapat didefinisikan secara persis
maka penggunaan tanda = dipandang kurang tepat dan diganti tanda .
Untuk materi yang memiliki dualitas gelombang partikel, adalah tidak
mungkin melakukan pengukuran secara simultan terhadap posisi dan
momentumnya.
Artinya jika kita menentukan presisi yang sangat tinggi untuk posisi maka
ini akan berakibat berkurangnya akurasi penentuan momentum.
Fenomena ini disebut Prinsip Ketidakpastian yang dikemukakan oleh
Werner Heissenberg pada tahun 1927.
Contoh Hitungan:
Soal 1.2
1.4 Persamaan Schrodinger Bergantung Waktu
Mekanika klasik atau mekanika Newton sangat sukses dalam
mendeskripsi gerak makroskopis, tetapi gagal dalam mendeskripsi
gerak mikroskopis.
Gerak mikroskopis membutuhkan mekanika khusus yang disebut
mekanika kuantum. Karena gerak partikel mikroskopis adalah gerak
gelombang (menurut de Broglie) maka salah satu metode
membangun mekanika kuantum adalah dengan pendekatan
gelombang, oleh karena itu maka mekanika kuantum juga disebut
mekanika gelombang.
Perbedaan mendasar antara mekanika klasik dengan mekanika
kuantum adalah bahwa
dalam mekanika klasik state ( posisi, kecepatan, momentum dan
gaya yang bekerja) suatu partikel pada saat tertentu dapat
ditentukan secara eksak dengan menggunakan hukum Newton.
Sedang pada mekanika kuantum, karena adanya prinsip
ketidakpastian pada pengukuran momentum partikel, maka state
suatu partikel tidak dapat ditentukan dengan pasti tetapi orang
hanya dapat menentukan kebolehjadian suatu partikel
menempati state tertentu.
Dalam mekanika kuantum state suatu sistem dapat diperoleh
manakala fungsi gelombang partikel diketahui.
Untuk mengetahui fungsi gelombang orang harus mempunyai
persamaan gelombang partikel mikroskopis. Karena persamaan
gelombang ini diperoleh oleh Schrodinger, maka persamaannya
disebut persamaan Schrodinger.
Persamaan Schrodinger merupakan jantungnya mekanika kuantum,
karena melalui persamaan Schrodinger inilah fungsi gelombang
dapat diperoleh.
Persamaan Schrodinger adalah persamaan yang
menyatakan hubungan antara turunan pertama
fungsi gelombang terhadap waktu dengan turunan
kedua fungsi tersebut terhadap koordinat.
Disimpulkan fungsi gelombang merupakan fungsi koordinat dan
waktu.
Persamaan Schrodinger gelombang sebuah partikel satu dimensi.
Persamaannya Schrodinger menggunakan fungsi gelombang fisik,
misal fungsi rambatan gelombang harmonik satu dimensi, yaitu:
F(x , t) = A . e i ( kx t ) (1-7)
Dimana:
k = 2 /
= 2 ;
= panjang gelombang;
= frekuensi gelombang
Turunan pertama terhadap t:
= i A . e i ( kx t ) = i F(x,t) (1-8)
Turunan kedua terhadap x: Ingat!
= i2 k2 .A . e i ( kx t ) = k2 F(x,t) (1-9)
= k2 .A . e i ( kx t ) = k2 F(x,t) (1-9)
Jika turunan pertama dibagi turunan kedua
Jadi
= (1-10)
Dalam mekanika kuantum
E = h = E / h
jadi
= 2 = 2 E / h = (1-11)
Menurut dualisme de Broglie, p = h / sehingga:
k = 2 / = 2 p / h = (1-12)
Subtitusi (1-11) dan (1-12) ke dalam (1-10) menghasilkan:
= i (1-13)
Karena sudah masuk ke daerah kuantum, maka notasi fungsi
gelombangnya diganti (x,t) sehingga (1-13) ditulis:
= i (1-14)
E = T + V
E adalah jumlah energi kinetik T dan energi potensial V, jadi:
= i (1-15)
Atau jika dipisahkan
= i + i (1-16)
Jika T diganti p2/ 2m , ( ; ; )
= i + i (1-17)
Atau jika ruas kiri dan kanan dikalikan ( )
= (1-18)
Sebenarnya (1-18) tersebut sudah merupakan persamaan Schrodinger,
tetapi yang lebih lazim di suku kedua ruas kanan diganti dengan
k2 (x,t) yaitu analog dengan (1-9) sehingga (1-18) boleh ditulis:
= k2 (x,t) (1-19)
dan karena k = p / , maka (1-19) juga boleh ditulis:
= V (x,t) (1-20a)
Persamaan (1-20a) itu adalah persamaan gelombang Schrodinger
bergantung waktu untuk sebuah partikel dalam satu dimensi .
Kadang-kadang beberapa buku menulis (1-20a) dalam bentuk:
= V (x,t) (1-20b)
Apakah makna fisik Ruas Kiri Persamaan Schrodinger ?
Kita telah tahu bahwa sesuai dengan (1-8) maka:
= i (x,t)
Ruas kiri dan kanan dikalikan -
Jadi:
= (x,t)
padahal = 2 jadi:
= h (x,t)
Karena h = E, maka:
= E (x,t) (1-21)
atau
= E (1-22)
Bagaimana makna fisik Ruas Kanan ?
Kita telah tahu bahwa makna fisik ruas kiri persamaan adalah E (x,t).
Jadi ruas kananpun = E (x,t)
V (x,t) = E (x,t) (1-23)
dengan demikian maka:
V = E (1-24)
Dalam mekanika kuantum maka
V juga disebut operator energi.
Jadi dikenal dua macam operator energi yaitu
dan
V.
Pada perkembangan berikutnya nanti operator energi yang lebih populer
adalah V yang juga dikenal dengan nama operator Hamilton
atau .
Jadi:
= V (1-25a)
atau:
= V (1-25b)
Kita tahu bahwa
V = operator untuk E
padahal kita juga tahu bahwa E = T + V maka sudah dapat dipastikan
bahwa
= operator untuk T atau operator energi kinetik.
Jadi:
= (1-26)
Tentang Fungsi Gelombang
Kata state suatu sistem mengacu pada kecepatan posisi partikel
pada saat tertentu serta gaya yang bekerja pada partikel tersebut.
Dalam mekanika klasik , tepatnya menurut hukum Newton, massa
tepat state sistem dapat diprediksi secara eksak apabila state sistem
saat ini diketahui.
Dalam mekanika kuantum , state sistem direpresentasikan oleh
fungsi gelombang yang merupakan fungsi koordinat dan waktu.
Informasi masa depan suatu sistem dalam mekanika kuantum dapat
dikalkulasi dengan menggunakan persamaan Schrodinger, hanya saja
karena adanya prinsip ketidakpastian pada pengukuran posisi dan
momentum, maka prediksi secara eksak seperti yang terjadi pada
mekanika klasik tidak dapat diberikan oleh fungsi gelombang.
Fungsi gelombang memuat semua informasi mengenai sistem yang
didiskripsinya.
tidak dapat memberikan informasi posisi secara tepat seperti yang
dilakukan oleh mekanika klasik.
Jawaban yang benar terhadap pertanyaan tersebut diberikan oleh
Max Born beberapa saat setelah Schrodinger menemukan
persamaan Schrodinger.
Born membuat postulat bahwa:
(1-27)
merupakan peluang pada waktu t untuk menemukan partikel
sepanjang sumbu x yang terletak antara x dengan x + dx.
Fungsi adalah fungsi kerapatan peluang (probability density)
untuk mendapatkan partikel di sembarang tempat sepanjang sumbu
x.
Sebagai contoh:
dianggap bahwa pada sembarang waktu tertentu t0 sebuah partikel
didiskripsi oleh fungsi gelombang dengan a dan b adalah tetapan
real. Jika kita mengukur posisi partikel pada saat t0 , kita dapat
memperoleh sembarang harga x sebab nilai rapat peluangnya yaitu
tidak nol, berapapun harga x-nya. Nilai x = 0 adalah lebih baik
dibandingkan nilai x yang lain karena di titik asal (x = 0), harga
mencapai maksimum.
Untuk membuat hubungan yang tepat antara dengan hasil
pengukuran eksperimental, kita harus mengambil sejumlah sistem
identik yang tidak saling berinteraksi, masing-masing berada dalam
keadaan yang sama. Kemudian kita dapat mengukur posisi masing-
masing sistem.
Jika kita mempunyai n sistem dan membuat n pengukuran, dan jika dnx
adalah banyaknya pengukuran yang dimana kita menjumpai partikel
terletak antara x dan x + dx, maka dnx/n adalah peluang mendapatkan
partikel pada posisi antara x dan x + dx. Jadi:
= dx =
dan grafik versus x adalah kerapatan peluang .
Mekanika Kuantum pada dasarnya dilandasi oleh sifat statistikal
(bagian per bagian atau sampel). Konsekuensinya:
memahami keadaan sistem pada saat tertentu, kita tidak dapat
memprediksi hasil pengukuran posisi secara pasti.
Kita hanya dapat memprediksi kemungkinan dari berbagai hasil yang
mungkin.
Teori Bohr yang menyatakan bahwa elektron beredar pada lintasan
yang berjarak pasti dari inti, merupakan pernyataan yang tidak dapat
diterima oleh mekanika kuantum.
1.5 Persamaan Schrodinger Tak Bergantung (Bebas) Waktu
Persamaan Schrodinger bebas waktu untuk sebuah partikel dalam
sistem satu dimensi adalah
(1-28)
Persamaan (1-28) dapat diturunkan dari persamaan (1-20a) melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
Perlu diketahui bahwa ( x , t ) adalah gabungan dari x dan t dan
dinyatakan:
( x , t ) = x . t (1-29)
Jika (1-29) dimasukkan ke dalam (1-20a) diperoleh:
(1-30)
Jika kita batasi bahwa fungsi energi potensial hanya merupakan fungsi x
saja dan bebas waktu, maka (1-30) ditulis:
atau:
(1-31)
Jika (1-31) dibagi x setelah itu hasilnya dibagi t maka diperoleh:
(1-32)
= E (1-22)
Jika ruas kiri (1-32) dibandingkan dengan (1-22) maka ruas kiri (1-32) itu
adalah E, jadi (1-32) dapat ditulis:
atau
atau(1-
28)
Persamaan di atas adalah persamaan (1-28) yang kita turunkan.
Selanjutnya untuk mengetahui penyelesaian t kita ikuti langkah
berikut:
Seperti ruas kanan, ruas kiri (1-32) = E, maka:
E atau dt
yang jika diintegralkan:
jadi:
= A.
Konstanta A pada t dapat dilimpahkan pada x pada perkalian (1-29)
sehingga:
= (1-33)
( x , t ) = x . t (1-29)
Jika (1-33) dimasukkan kedalam (1-29) maka kita peroleh bentuk fungsi
gelombang sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yaitu:
( x , t ) = . x (1-34)
Tampak bahwa fungsi gelombang partikel merupakan fungsi komplek,
padahal kerapatan peluang adalah .
Untuk fungsi komplek harga kuadrat absolutnya adalah hasil kali fungsi
itu dengan fungsi konjugatnya.
= . (1-35)
adalah fungsi konjugat dari yaitu yang i nya diganti i.
1.6 Probabilitas
kerapatan peluang = = .
peluang mendapatkan partikel pada segmen sepanjang dx yaitu
dari x sampai x + dx adalah dx = . dx,
Cara untuk menentukan peluang rentang tertentu misal dari a s/d b
adalah dengan menjumlahkan peluang dari segmen ke segmen
sepanjang antara a dan b. Penjumlahan seperti itu pada dasarnya
adalah pengintegralan.
Jadi
P( a < x < b ) = = . . dx (1-36)
Jika interval a s/d b adalah ~ s/d + ~ maka peluang dijumpai partikel
pada interval tersebut pasti = 1,
artinya pasti menjumpai partikel jika kita mencarinya mulai dari posisi ~
s/d + ~.
Jadi dapat ditulis
P( ~ < x < +~ ) = = . . dx = 1 (1-37)
Fungsi gelombang partikel yang memenuhi persamaan (1-37) disebut
fungsi gelombang ternormalisasi.
Soal-soal Bab 1
1. Hitunglah panjang gelombang de Broglie dari sebuah elektron yang
melintas dengan kecepatan 1/137 kali kecepatan cahaya. (dengan
kecepatan tersebut, pendekatan relativistik boleh diabaikan).
2. Fungsi kerja Na adalah 2,28 eV. Tentukan:
a) energi kinetik maksimum dari fotoelektron yang diemisi oleh Na,
jika proses fotolistrik tersebut menggunakan cahaya ultra violet
yang panjang gelombangnya 200 nm.
b)berapa panjang gelombang cahaya maksimal yang masih dapat
menghasilkan fotolistrik terhadap Na ?
3. Ketika J.J Thomson melakukan investigasi terhadap elektron melalui
eksperimen tabung sinar katoda, ia melakukan pengamatan
terhadap sifat-sifat elektron dengan menggunakan pendekatan
mekanika klasik.
a) Jika elektron diakselerasi dengan energi kinetik 1000 eV, dan
melalui celah yang lebarnya 0,1 cm, berapakah besarnya sudut
difraksi dalam gambar 1.1
b)Berapa lebar celah yang diperlukan agar elektron dengan energi
kinetik 1000 eV menghasilkan = 1o ?
4. Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang
dinyatakan oleh fungsi:
=
a dan b adalah konstanta dan m adalah massa partikel. Dengan
menggunakan persamaan Schrodinger bergantung waktu, tentukan
fungsi energi potensial bagi sistem tersebut.
5. Diketahui sebuah partikel dalam sistem satu dimensi yang
dinyatakan oleh fungsi:
x = b x .
Tentukan energi partikel tersebut jika diketahui:
Fungsi energi potensial = V =
b = konstanta ; c = 2 nm2 ; m = 1,00 . 1030 kg
6. Pada saat tertentu, sebuah partikel dalam sistem satu dimensi,
dideskripsi oleh = (2 / b3 )1/2x.ex/ b dengan b = 3 nm. Jika pada
saat itu diadakan pengukuran terhadap x, maka:
(a) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0,9 dan
0,9001 nm (anggaplah bahwa dx amat kecil dibandingkan dengan 0,9
nm)
(b) Tentukan probabilitasnya agar hasil pengukurannya antara 0 dan 2
nm.
(c) Untuk x bernilai berapakah, probabilitas akan minimum? (tidak
perlu dijawab secara kalkulus)
(d) Buktikan bahwa ternormalisasi.
Jawaban:
1. Gelombang de Broglie :
p = h
p = m . v
Dengan memasukkan harga m dan v elektron, p dapat dihitung. Jika p
sudah diketahui, dapat dihitung.
Jika diketahui = =
m
Pengingat satuan:
W = F.S J = N.m
F = m.a N = kg.m/s2
Jadi J = kg.m2/s2
P = F/A Pa = N/ m2 = 9.86923266716 x 10-6 atm
1 atm = 101325.0 Pa
2. Dalam fotolistrik berlaku
a. E foton = h . = h . c = + Ekinetik
dengan memasukkan harga dan dan fungsi kerja maka enegi kinetik
dapat dihitung
Diketahui:
Fungsi kerja Na = 2,28 eV = 2,28 x 1.60217733 x 10-19 J
200 nm = 200 x 10-9 m = 2 x 10-7 m
h . c = + Ekinetik
b. Untuk menghirung ambang gunakan: h . c >
3. a. Untuk menghitung sudut difraksi kita gunakan relasi:
p = p sin
p dihitung dari relasi : p . x = h dengan x = lebar celah
p dihitung dari energi kinetik elektron, ingat : Ek = p2 / 2m
Diketahui:
b. solusinya merupakan kebalikan dari a. Kita telah tahu harga p,
selanjutnya kita cari harga p melalui p = p sin Selanjutnya x
dapat dihitung.
4. Persamaan Schrodinger bergantung waktu adalah:
(4-6)
Kita selesaikan dulu ruas kiri:
Dengan demikian persamaan (4-6) menjadi:
b ( x, t)
Selanjutnya kita selesaikan suku pertama ruas kanan:
Sekarang persamaan Schrodinger menjadi:
b ( x, t) ( x, t)
atau:
b ( x, t) ( x, t)
atau:
b
Jadi fungsi energi potensialnya adalah:
= b
= b +
=
5. Berbeda dengan soal no. 4 yang fungsi gelombangnya merupakan
fungsi x dan t, maka pada soal no. 5 ini fungsi gelombangnya hanya
merupakan fungsi x, sehingga untuk menyelesaikannnya kita gunakan
persamaan Schrodinger tak bergantung waktu (Persamaan 5-1)
(5-1)
Jika V kita masukkan akan kita peroleh:
(E ) ( x ) = 0
Kita selesaikan suku pertama ruas kiri:
Dengan demikian persamaan Schrodinger menjadi:
(
atau:
Jadi: