KI BAGUS HADIKUSUMO: Potret Seorang Ulama...

24
1 KI BAGUS HADIKUSUMO: Potret Seorang Ulama Nasionalis Oleh: Arifin Suryo Nugroho 1 Abstrak Ki Bagus Hadikusumo adalah seorang putra Yogyakarta yang memiliki peran dan cakupan perjuangan yang luar biasa. Sejarah mencatat, bersama Sukarno dan Hatta di tahun 1943, ia menghadap Tenno Haika. Meskipun pertemuan tersebut belum menghasilkan pengakuan kemerdekaan secara legal formal, tetapi secara psikologis pertemuan yang prestisius tersebut berpengaruh besar dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Pasca Proklamasi 1945, Ki Bagus Hadikusumo—yang juga ketua organisasi Islam modern terbesar di Indonesia; Muhammadiyah periode 1944-1953— tergabung dalam BPUPKI, Sub-Panitia 22, dan PPKI. Di sana, ia menjadi salah satu saksi kunci dalam proses perumusan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Indonesia yang penuh tarik ulur. Kesimpulan artikel ini menunjukkan bahwa Ki Bagoes Hadikusuma memainkan peran yang sangat penting dalam penyusunan Konstitusi Indonesia. Titik-titik kisar perjalanan politik Ki Bagus mampu menjelaskan bagaimana alur Piagam Jakarta dalam kedudukannya secara historis dan dipahami dalam jiwa jamannya. Sebagai seorang nasionalis Islam, ia berjuang untuk menegakkan nilai-nilai keislaman dalam berbangsa dan bernegara. Ia terlibat aktif dalam pendirian Partai Islam Indonesia pada tahun 1939, kemudian tergabung juga dalam partai politik yang berorientasi religius. Sebagai bagian dari historiografi, tulisan singkat ini tidak mengabaikan metode penelitian historis yang terdiri dari 4 langkah yaitu: (1). Heuristik (pengumpulan sumber) yang berupa buku, jurnal, majalah, dan surat kabar; (2). Kritik Sumber, dalam rangka mendapatkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara substansial maupun fisik; (3). Interpretasi (penafsiran) terhadap data-data yang diperoleh berdasarkan kekuatan analisis yang diperkuat melalui kajian pustaka dan segi peninjauan sosiologis maupun politis; dan (4). Penyajian. Sebagai pendalaman analisis, tulisan ini juga menggunakan pendekatan studi tokoh dan biografi, yakni menempatkan tokohnya dalam kerangka sejarah. Kata Kunci: Biografi, Ki Bagus Hadikusumo, Ulama Nasionalis Abstract Ki Bagus Hadikusumo who was originally from Yogyakarta has an important role during the preparation of the Indonesian Independence. In 1943, together with Soekarno and Hatta, he met Tenno Haika. Although the meeting did not result in a legal 1 Penulis adalah staf pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alumni Sarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menulis beberapa biografi tokoh perempuan Indonesia dan sudah diterbitkan. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected] atau 085228375915.

Transcript of KI BAGUS HADIKUSUMO: Potret Seorang Ulama...

  • 1

    KI BAGUS HADIKUSUMO: Potret Seorang Ulama Nasionalis

    Oleh:

    Arifin Suryo Nugroho1

    Abstrak

    Ki Bagus Hadikusumo adalah seorang putra Yogyakarta yang memiliki peran dan cakupan perjuangan yang luar biasa. Sejarah mencatat, bersama Sukarno dan Hatta di tahun 1943, ia menghadap Tenno Haika. Meskipun pertemuan tersebut belum menghasilkan pengakuan kemerdekaan secara legal formal, tetapi secara psikologis pertemuan yang prestisius tersebut berpengaruh besar dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Pasca Proklamasi 1945, Ki Bagus Hadikusumo—yang juga ketua organisasi Islam modern terbesar di Indonesia; Muhammadiyah periode 1944-1953—tergabung dalam BPUPKI, Sub-Panitia 22, dan PPKI. Di sana, ia menjadi salah satu saksi kunci dalam proses perumusan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Indonesia yang penuh tarik ulur. Kesimpulan artikel ini menunjukkan bahwa Ki Bagoes Hadikusuma memainkan peran yang sangat penting dalam penyusunan Konstitusi Indonesia. Titik-titik kisar perjalanan politik Ki Bagus mampu menjelaskan bagaimana alur Piagam Jakarta dalam kedudukannya secara historis dan dipahami dalam jiwa jamannya. Sebagai seorang nasionalis Islam, ia berjuang untuk menegakkan nilai-nilai keislaman dalam berbangsa dan bernegara. Ia terlibat aktif dalam pendirian Partai Islam Indonesia pada tahun 1939, kemudian tergabung juga dalam partai politik yang berorientasi religius. Sebagai bagian dari historiografi, tulisan singkat ini tidak mengabaikan metode penelitian historis yang terdiri dari 4 langkah yaitu: (1). Heuristik (pengumpulan sumber) yang berupa buku, jurnal, majalah, dan surat kabar; (2). Kritik Sumber, dalam rangka mendapatkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara substansial maupun fisik; (3). Interpretasi (penafsiran) terhadap data-data yang diperoleh berdasarkan kekuatan analisis yang diperkuat melalui kajian pustaka dan segi peninjauan sosiologis maupun politis; dan (4). Penyajian. Sebagai pendalaman analisis, tulisan ini juga menggunakan pendekatan studi tokoh dan biografi, yakni menempatkan tokohnya dalam kerangka sejarah.

    Kata Kunci: Biografi, Ki Bagus Hadikusumo, Ulama Nasionalis

    Abstract

    Ki Bagus Hadikusumo who was originally from Yogyakarta has an important role during the preparation of the Indonesian Independence. In 1943, together with Soekarno and Hatta, he met Tenno Haika. Although the meeting did not result in a legal

    1 Penulis adalah staf pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu

    Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alumni Sarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menulis beberapa biografi tokoh perempuan Indonesia dan sudah diterbitkan. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected] atau 085228375915.

  • 2

    formal recognition of the Indonesian Independence, psychologicallu this prestigious meeting had a big influence in the struggle for Independence of the Republic of Indonesia. From 1944-1953, Hadikusumo was the Chair of Muhammadiyah (the largest Modern Moslem organization in Indonesia). After the Proclamation in 1945, he became a member of the BPUPKI, the Sub-Committee 22, and the PPKI). In these institutions, he became one of the key witnesses in the process of formulation of the State Foundation and the Indonesian Constitution. The process of formulation itself was like a tug of war.

    This article inferred that Ki Bagus Hadikusumo played a significant role in drafting the Indonesian Constitution. His political careers can explain how The Jakarta Charter was historically posed in his time. As a Moslem nationalist, he struggled to uphold Islamic values for the benefit of this state and nation. In 1939, he actively involved in the establishment of Partai Islam Indonesia (the Islamic Party of Indonesia) which later joined the association of the religious-oriented political parties.

    As part of historiography, the presentation of this short article has adopted the historical research method that consists of four steps: (1) The heuristic method that is collecting sourches from books, journals, magazines, and newspapers, (2) criticism of sources in order to acquire accountable resources both substantially and physically, (3) interpretation of data which were obtained from the deep analysis supported by a broad literature review and perceived from the sociological and political points of view, and (4) the approach of figure study and biography (putting the figure under study in their historical context) were adopted to deepen the analysis.

    Keywords: biography, Ki Bagus Hadikusumo, Nationalist Ulama

    Tinggallah di desa-desa dan kampung-kampung untuk mengetahui keadaan jiwa dan kehidupan murba (rakyat banyak) yang sebenar-benarnya.

    (Ki Bagus Hadikusumo)

    I. Pengantar

    Jepang ketika berkuasa di Indonesia pernah memberikan janji-janji kemerdekaan.

    Janji itu dikenal dengan Deklarasi Koiso, karena dikeluarkan oleh seorang Perdana

    Menteri Jepang bernama Koiso. Sebenarnya sebelum Deklarasi Koiso, telah ada wacana

    untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia yang disampaikan oleh Perdana

    Menteri sebelumnya yaitu Tojo. Namun pernyataan Tojo tidak pernah ditindaklanjuti,

    justru yang kemudian mendapatkan kemerdekaan adalah negara-negara tetangga

  • 3

    Indonesia seperti Filipina dan Birma. Hal tersebut sangat mengecewakan masyarakat dan

    para tokoh nasionalis Indonesia, karena cita-cita kemerdekaan yang mereka idam-

    idamkan seakan luput di depan mata.

    Saat itulah kemudian Jepang mengundang 3 wakil Indonesia ke Tokyo untuk

    bertemu dengan Kaisar Jepang, Tenno Haika. Mereka adalah Sukarno dan Hatta yang

    mewakili golongan nasionalis dan Ki Bagus Hadikusumo—seorang ulama, pejuang, dan

    tokoh Muhammadiyah—yang diundang oleh pemerintah Jepang sebagai wakil dari

    golongan Islam. Keikutsertaan Hadikusumo dalam kunjungan ke Jepang menandakan

    bahwa keberadaannya sebagai tokoh dari kalangan umat Islam sangat menonjol. Tidak

    hanya perjuangan kemerdekaan, nama Hadikusumo kemudian tercatat sebagai salah satu

    Founding Fathers yang membidani dasar negara dan undang-undang dasar republik.

    Ulama yang meninggal setahun setelah penyusunan Mukadimah Anggaran Dasar

    Muhammadiyah pada konggres tahun 1953 ini adalah seorang ulama yang konsisten

    memperjuangkan integritas dan nasionalisme bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia juga keras

    berjuang agar negara tetap berada di jalur yang sesuai dengan syariat Islam. Hal tersebut

    terlihat saat Hadikusumo menyampaikan pidato dalam sidang BPUPKI, ia menyinggung

    tentang usaha pemerintah Belanda yang ingin mengganti Hukum Warisan Islam yang

    telah berlaku lama dengan Hukum Warisan Adat. Hadikusumo juga mengingatkan

    peristiwa tahun 1922 ketika pemerintah Belanda juga ingin mengganti Hukum

    Perkawinan Islam dengan Hukum Perkawinan Catat. Mengenai politik Belanda terhadap

    ajaran Islam di Indonesia, Hadikusumo dengan tegas memandangnya sebagai sebuah

    upaya untuk menaklukkan perlawanan umat Islam Indonesia.

    Seringkali terdengar suara yang mengatakan bahwa hukum Islam itu adalah peraturan yang sudah tua, tidak dapat dilakukan di zaman sekarang ini, buktinya di Indonesia yang kebanyakan penduduknya beragama Islam, tetapi hukum Islam nyata tidak dapat berjalan. Memang benar, tetapi harus diingat juga apa yang menyebabkan hukum Islam tidak dapat berjalan sempurna di Indonesia. Sebabnya tak lain ialah karena tipu muslihat curang yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang

  • 4

    senantiasa berusaha hendak melenyapkan ajaran Islam dari jajahannya, karena mereka tahu bahwa selama bangsa Indonesia tetap berpegang teguh pada agama Islam, tentu tidak akan menguntungkan dia. Oleh karena itu hukum-hukum Islam yang berlaku di Indonesia sedikit demi sedikit hendak dihapuskan dan digantikan dengan hukum lain yang dikehendakinya.2

    Tentu saja hal tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat sebagian besar penduduk

    Hindia Belanda adalah umat Islam. Telah jelas apa yang dilakukan Belanda tersebut

    merupakan bentuk propaganda untuk memecah belah kesatuan umat Islam, dimana

    orientalis Snouck Hurgronje berada di belakangnya. Hadikusumo yang seorang Islam

    nasionalis sadar bahwa usaha memisahkan nilai-nilai Islam dari sendi-sendi kehidupan

    bangsanya akan menjadi ancaman nyata bagi integritas bangsa di masa depan.

    Sikap nasionalis yang dibungkus dengan nilai-nilai keislaman dalam diri Ki

    Bagus Hadikusumo selain dibentuk karena faktor keturunan, jatidiri atau kepribadiannya

    juga tidak terlepas dari faktor lingkungan. Hal ini relevan dengan teori konvergensi dari

    William Stern, bahwa setiap tingkah laku merupakan hasil pertemuan (konvergensi)

    antara faktor pribadi dan faktor lingkungan,3 menjadi dasar untuk melacak jejak

    pembentukan kepribadian dan gambaran secara lahir batin seorang Ki Bagus. Kampung

    Kauman, lembaga pendidikan masa kecil, dan keluarga menjadi bagian penting dalam

    membentuk kepribadian Ki Bagus Hadikusumo.

    Sebagai seorang nasionalis Islam, ia berjuang menegakkan nilai-nilai keislaman

    dalam berbangsa dan bernegara. Ia terlibat aktif dalam pendirian Partai Islam Indonesia

    pada tahun 1939, ia juga anggota partai politik yang berorientasi religius, hingga peran

    pentingnya dalam penyusunan Konstitusi Indonesia. Karir dan perjuangan politiknya

    2 A. Hafizh Dasuki dkk., Suplemen Ensiklopedi Islam 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,

    1996, hlm. 148. 3 Lihat Monks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan,

    Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, hlm. 18-21.

  • 5

    untuk Indonesia tersebut serta kiprahnya di Muhammadiyah, hingga kematiannya pada

    tahun 1994 didiskusikan dalam artikel ini.

    II. Riwayat Hidup Raden Dayat dari Kampung Kauman

    Kampung Kauman Yogyakarta adalah tempat dimana banyak lahir ulama-

    pejuang terkemuka di Indonesia. Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan dan

    Ketua Umum Muhammadiyah berikutnya juga putra-putra dari Kampung Kauman.

    Demikian pula seorang Ki Bagus Hadikusumo yang dilahirkan dengan jeneng cilik

    (nama kecil) Hidayat atau Raden Dayat.4 Jeneng cilik merupakan kebiasaan yang umum

    di kalangan priyayi Jawa, dan saat usia anak menginjak dewasa maka ia akan memiliki

    jeneng tuwo (nama dewasa). Nama Ki Bagus Hadikusumo adalah jeneng tuwo dari

    Hidayat yang memiliki makna elok, Ki merupakan sebutan laki-laki, menunjukkan

    fungsi sosial tertentu terutama dalam hal agama seperti Kiai, Bagus adalah panggilan

    yang biasa berlaku di lingkungan elite Jawa, sementara Hadikusumo adalah nama yang

    sesungguhnya dan menandakan ia berasal dari kalangan elite priyayi atau golongan

    bangsawan.

    Lahir dari keluarga priyayi dengan seorang ayah yang menjabat sebagai abdi

    dalem pamethakan atau putihan bernama Raden Kaji Lurah Hasyim, atau jabatan sebagai

    pejabat keraton dalam bidang agama Islam, membuat Hadikusumo kecil tak kering dari

    pendidikan umum maupun agama. Namun pendidikan di sekolah umum hanya sampai

    kelas 3 sekolah dasar atau sekolah Ongko Loro, karena Hadikusumo lebih tertarik pada

    pendidikan agama di pondok pesantren. Pondok pesantren tempat Hadikusumo menuntut

    ilmu adalah Pondok Pesantren Wonokromo Yogyakarta. Di pesantren itulah

    Hadikusumo mulai mendalami secara serius khasanah ilmu pengetahuan Islam terutama

    masalah akhlak dan tasawuf. Sedangkan ilmu fiqih diperoleh langsung dari KH. Ahmad

    4 Ibid., hlm 145.

  • 6

    Dahlan. Pengetahuan Hadikusumo akan tasawuf Islam makin berkembang dengan

    kegemarannya membaca karya-karya ahli agama Timur Tengah seperti Ibnu Taimiyah,

    Imam Syafii, Al Gazali, dan beberapa karya Ibnu Rusyd.

    Menikah sebanyak 3 kali dan dikaruniai banyak putra-putri merupakan salah satu

    garis kehidupan yang dijalani Ki Bagus Hadikusumo. Pernikahannya yang pertama

    terjadi pada umur 20 tahun dengan putri Raden Kaji Suhud bernama Siti Fatmah. Dari

    pernikahan pertama ia dikaruniai 6 orang anak yang salah satunya nanti menjadi tokoh

    terkemuka di Muhammadiyah dan Parmusi yang lebih dikenal dengan nama Djarnawi

    Hadikusumo. Namun sayang Siti Fatmah meninggal, kemudian Ki Bagus Hadikusumo

    menikah lagi dengan Mursilah, seorang pengusaha Yogyakarta. Pernikahan keduanya

    juga tak kekal, setelah melahirkan putra ketiga Mursilah meninggal. Pernikahan ketiga

    juga dengan seorang perempuan pengusaha bernama Siti Fatimah dan dikaruniai lima

    orang putra.

    Kiprah Awal di Partai Politik

    Ki Bagus Hadikusumo yang dibesarkan di lingkungan santri dengan lembaga

    pendidikan pesantren yang kental nilai-nilai keislaman telah membentuk konsep diri Ki

    Bagus sebagai seorang nasionalis Islam. Apa yang tampak dalam nafas perjuangan Ki

    Bagus kemudian hari menjadi bukti bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dengan

    nasionalisme. Menurut aktivis pergerakan Islam berkebangsaan Mesir, Hassan Al-Banna,

    apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan

    terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan

    kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain maka nasionalisme

  • 7

    dalam makna demikian dapat diterima dan bahkan dalam kondisi tertentu dianggap

    sebagai kewajiban.5

    Perjuangan politik Ki Bagus Hadikusumo diawali pada tahun 1922 ketika ia

    diangkat pemerintah melalui Keputusan Raja no.54 tertanggal 12 Januari 1922 menjadi

    anggota Priesterraaden Commissie, sebuah panitia yang bertugas menyelidiki keadaan

    pengadilan agama dan menyampaikan saran-saran kepada pemerintah dalam rangka

    usaha perbaikan peradilan agama. Visi politik Ki Bagus Hadikusumo semakin terlihat

    setelah aktif di partai politik. Partai politik pertama kali yang menjadi pilihannya adalah

    PII (Partai Islam Indonesia).

    Partai Islam Indonesia berdiri setelah terjadi kegelisahan dari kalangan umat

    Islam di Indonesia yang merasa tidak memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasi

    politiknya setelah terjadi perpecahan di kalangan PSII pada dekade tahun 1930-an.

    Mereka terdiri dari orang-orang Persis, Muhammadiyah, Barisan Penyadar PSII, dan

    beberapa organisasi Islam lain. Program pertama partai ini adalah menuntut Indonesia

    berparlemen.

    Ide dasar pembentukan PII ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1933, ketika

    terbentuk Panitia Persatuan Islam Indonesia, suatu organisasi yang menurut para

    pendirinya didasarkan kepada Islam, swadaya dan nasionalisme. Embrio PII semakin

    kuat setelah bergabungnya tokoh-tokoh PSII yang terkena pemecatan dari partai akibat

    konflik intern di tubuh PSII tahun 1933, pasca meninggalnya HOS Cokroaminoto. Juga

    bergabungnya Jong Islamieten Bond Yogyakarta, dengan nama Islam Studi Club di

    bawah pimpinan Ahmad Kasmat Bauwinangun. Partai Islam Indonesia secara resmi

    5 Lihat dalam Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam

    Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, hlm. xvii.

  • 8

    dideklarasikan pada 4 Desember 1938, dengan ketuanya yang pertama Rd. Wiwoho

    Purbohadidjojo yang juga menjadi anggota Volksraad.

    Ki Bagus Hadikusumo menunjukkan keseriusannya dalam membangun PII

    terlihat dalam posisinya sebagai Komisaris PII bersama tokoh Islam yang lain, seperti

    KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Rasyidi, M. Natsir.

    Pada awalnya berdirinya, PII baru memikirkan masalah praktis di antaranya adalah

    menuntut Indonesia berparlemen kepada pemerintah kolonial Belanda. Baru kemudian

    menyusun program yang bersifat menyeluruh, pengiriman juru kampanye untuk menarik

    anggota-anggota di seluruh Nusantara. Alhasil tahun 1941, PII sudah memiliki 125

    cabang yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara.

    Pada kongres pertama di Yogyakarta 1938, tuntutan PII hasil kongres itu lebih

    visioner, yaitu menghendaki negara kesatuan (Indonesia) yang lebih demokratis, dengan

    dilengkapi parlemen dan lembaga-lembaga perwakilan yang keanggotaannya

    berdasarkan pemilihan langsung dan umum, di antaranya Indonesianisasi anggota staf

    pemerintahan, perluasan hak-hak politik, kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat,

    berfikir, dan kebebasan pers. PII juga menuntut penghapusan peraturan yang

    menghambat Islam, penghapusan subsidi bagi semua agama, penyerahan perusahaan

    vital kepada negara, hapusnya imigrasi, hapusnya pajak yang memberatkan rakyat

    banyak dan perlindungan perusahaan-perusahaan Bumiputera terhadap saingan dan

    tekanan perusahaan asing.6

    Dalam kongresnya yang kedua di Solo pada 25-27 Juli 1941, PII bersedia untuk

    menjadi anggota GAPI (Gabungan Politik Indonesia). PII juga bergabung dengan

    Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Keputusan

    6 Ibid, hlm. 83.

  • 9

    itu dilakukan karena pemaksaan kebijakan Jepang untuk membatasi gerak seluruh partai

    politik di Indonesia.

    Bersama Sukarno dan Hatta Ke Jepang

    Masyarakat Indonesia sempat merasakan kekecewaan ketika tidak diikutkan

    dalam Konferensi Asia Timur Raya. Namun kekecewaan tersebut sempat terobati dengan

    datangnya undangan untuk 3 wakil Indonesia. Sukarno wakil dari Cuo Sangi In7, Hatta

    wakil dari golongan intelektual, dan Ki Bagus Hadikusumo wakil dari golongan Islam.

    Keberangkatan 3 orang pada November 1943 diharapkan mampu membawa Indonesia

    menuju kemerdekaan.

    Kunjungan mereka ke Jepang untuk mengabulkan undangan bertemu dengan

    Tenno Haika atau Kaisar Jepang. Sebelum bertemu kaisar mereka lebih dulu ditemui

    oleh Jenderal Tojo yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang. Ketiga tokoh

    Indonesia itu, termasuk Hadikusumo menjadi pembicaraan para petinggi militer Jepang,

    karena kesediaan Kaisar Jepang untuk berjabatan tangan dengan tamu dari Indonesia itu.

    Di Jepang, kaisar dianggap sebagai wakil dewa di dunia, sehingga rakyat Jepang sangat

    patuh dan menghormati. Yang menjadi buah bibir petinggi militer Jepang atas pertemuan

    ketiga tokoh nasionalis Indonesia dengan kaisar Jepang itu bahwa Tenno Heika tidak

    pernah bersalaman dengan anak buahnya dan rakyat Jepang sekalipun.8 Tradisi

    bersalaman yang biasa dilakukan orang Indonesia sebagai bentuk penghormatan tersebut

    membawa dampak yang luar biasa setelah kepulangan mereka ke tanah air. Hadikusumo

    menjadi tokoh yang dihormati oleh para pembesar Jepang di Indonesia selain Sukarno

    dan Hatta.

    7 Badan yang didirikan oleh pemerintah Jepang dalam usaha mempropaganda masyarakat Indonesia untuk membantu Jepang dalam perang Asia Timur Raya 8 Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1979, hlm. 431.

  • 10

    Selain bertemu dengan kaisar, kunjungan ke Jepang juga beragendakan

    pemberian penghargaan Bintang Ratna Suci dari pemerintah Jepang. Ki Bagus

    Hadikusumo mendapat Bintang Ratna Suci kelas III (Kun San To Juihosyo) sama dengan

    yang diberikan kepada Hatta, sementara Sukarno mendapat Bintang Ratna Suci kelas II

    (Kun Nito Juihosyo). Menutup kunjungan ke Jepang, Hadikusumo—Hatta dan Sukarno

    diundang makan malam oleh Perdana Menteri Tojo. Tidak ada catatan dari Hadikusumo,

    namun Hatta mengisahkan dalam memoirnya acara makan malam di Jepang tersebut:

    Kami semuanya duduk di lantai mengelilingi suatu meja rendah. Di bawah meja itu, apabila penat bersila, kaki dapat diunjurkan. Di kepala meja duduk tuan rumah Perdana Menteri Tojo. Pada sebelah kanannya Soekarno, pada sebelah kirinya aku, di sebelah kanan Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo dan sebelah kiri-ku Tuan Miyoshi. Santapan dimulai dengan suatu pidato ringkas yang diucapkan oleh Perdana Menteri Tojo. Ia mengatakan supaya kunjungan kami ke Tokyo membawa kegembiraan pada hati kami.9

    Kunjungan ke Jepang yang awalnya diharapkan membawa kabar tentang

    kemerdekaan Indonesia ternyata justru tak membicarakan masalah itu sama sekali. Pada

    saat berkunjung ke Jepang itu, Hadikusumo mendengar tentang berita bahwa sebenarnya

    pasukan Jepang mulai terdesak oleh pasukan Rusia, hanya saja pemerintah Jepang di

    Tokyo merahasiakan.

    Ki Bagus: Islam sebagai Dasar Negara

    Penyelidikan dan persiapan menuju Indonesia merdeka, tak bisa luput dari

    perhatian Ki Bagus Hadikusumo. Karena itu, ia ikut terpilih menjadi anggota BPUPKI

    sebagai wakil dari golongan umat Islam bersama dengan 14 orang lainnya yaitu Abdul

    Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Mas Mansyur, Abdul Kahar Muzakkir, KH. Abdul

    Wahid Hasyim, KH. Masykur, Sukiman Wirjosandjojo, Abikusno Tjokrosujoso, dan H.

    Agus Salim.10 Ki Bagus Hadikusumo termasuk anggota BPUPKI yang berjuang keras

    dalam membela dasar-dasar Islam, namun tetap menginginkan integritas nasional. Ia 9 Ibid., hlm. 433. 10 A. Hafizh Dasuki dkk.,Op.Cit., hlm.146-147

  • 11

    termasuk tokoh vokal yang mewakili golongan Islam―yang berjumlah 15 dari 62

    anggota BPUPKI.

    Pada saat penetapan dasar negara, terdapat usulan Sukarno mengenai Pancasila

    yang kemudian direvisi ulang oleh Panitia Sembilan. Hadikusumo tidak termasuk dalam

    Panitia Sembilan, sehingga mempertanyakan kata-kata hasil rumusan Panitia Sembilan

    yaitu pada sila pertama, Ketuhanan, yang diikuti anak kalimat “dengan kewajiban

    menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Hadikusumo kata-kata

    tersebut hendaknya diganti “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”. Pembicaraan

    mengenai sila-sila dalam Pancasila memang menjadi perdebatan yang cukup keras.

    Dalam sidang BPUPKI 11 Juli, 14 Juli, dan 15 Juli, Ki Bagus mengatakan

    berkali-kali hendaknya kata-kata yang terdapat di bagian akhir yang berbunyi “bagi

    pemeluk-pemeluknya” dihilangkan. Pada tanggal 14 Juli, dua kali Ki Bagus menyatakan

    hal itu dan Sukarno sekali lagi mengulangi peringatannya bahwa kalimat itu merupakan

    jalan tengah yang didapat dengan susah payah. Akhirnya pada tanggal 15 Juli itu, Ki

    Bagus mengatakan, “Kalau sidang mufakat, saya terima.” Piagam Jakarta yang dijadikan

    pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat ditetapkan pada tanggal 15 Juli 1945

    berbunyi; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-

    pemeluknya.”

    Sebulan sebelumnya dalam rentetan sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945 pukul

    15.00, Ki Bagus mengeluarkan pernyataan yang intinya “membangun negara di atas

    dasar ajaran Islam.” Dengan penuh keyakinan Ki Bagus mengusulkan kepada sidang

    agar Islam dijadikan dasar negara Republlik Indonesia. Dalam satu pidatonya yang

    disampaikan di depan sidang BPUPKI itu Ki Bagus menyatakan:

    Tuan-Tuan dan sidang yang terhormat. Dalam negara kita niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur bersendikan permusyawaratan dan putusan rapat, luas berlebar dada, serta tidak

  • 12

    memaksakan agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintah itu atas Agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu. Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya-pun bangsa Indonesia yang asli dan murni, belum ada campurannya, dan sebagai seorang muslim, yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka, maka supaya Negara Indonesia itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya Negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam. Sebab itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi. Janganlah hendaknya jiwa yang 99% dari rakyat itu diabaikan saja tidak dipedulikan.11

    Ki Bagus Hadikusumo dalam pidato itu mengeluarkan dua pernyataan; “(1) Islam

    itu cakap dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita

    Indonesia; dan (2) Umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita yang luhur dan

    mulia sejak dahulu hingga sekarang ini, seterusnya pada masa yang akan datang, yaitu

    dimana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat Islam akan membangunkan

    negara atau menyusun masyarakat yang didasarkan atas hukum Allah dan agama

    Islam.”12

    Islam cocok sebagai dasar negara Indonesia karena menurut Ki Bagus agama ini

    memiliki latar belakang sosiologis-historis. Menurutnya agama Islam paling tidak sudah

    enam abad menjadi agama bangsa Indonesia, atau setidaknya tiga abad sebelum Belanda

    menjajah. Telah banyak hukum Islam yang telah menjadi adat istiadat bangsa Indonesia.

    Oleh karena itu menurut Ki Bagus, dasar negara Indonesia harus menyesuaikan dengan

    jiwa rakyatnya. “Tuan-tuan harus mengetahui betul jiwa keislaman rakyat.”13 Bahkan

    untuk menghayati aspirasi penduduk dalam tataran praktis, Ki Bagus mengusulkan agar

    para pemimpin bangsa hendaknya tinggal di desa agar tidak salah merekam aspirasi

    penduduk.

    11 Ki Bagus Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, dicuplik dalam Mustafa Kemal Pasha, dkk, Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003, hlm. 14. 12 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm. 101-102. 13 Ibid.

  • 13

    Selamilah jiwa rakyat sedalam-dalamnya untuk menjadi dasar tata negara kita, supaya nanti negara kita dapat menjadi negara yang kuat dan sentosa. Tinggallah di desa-desa dan kampung-kampung untuk mengetahui keadaan jiwa dan kehidupan murba (rakyat banyak) yang sebenar-benarnya. Di situ tentu tuan-tuan nanti akan mendapati bahwa rakyat yang terbanyak memang berjiwa Islam.14

    Jiwa bangsa Indonesia aktif dan terus-menerus hidup bersemangat. Jiwa yang

    demikian oleh Ki Bagus dikatakan semata-mata karena mengandung iman yang andal

    dan bersandar pada ajaran Islam yang tertuang dalam kitab suci Al-Quran dan

    pemahaman rasional dengan menggunakan ilmu pengetahuan. Iman yang demikian

    dicerahkan sedikitnya oleh shalat lima waktu, berpuasa sebulan setiap tahun, dan berani

    mengeluarkan zakat dua setengah persen dari hartanya setiap tahun untuk dibagi-bagikan

    kepada fakir miskin. Jiwa yang hidup itu menggerakkan aktivitas sosial. Jiwa yang

    demikian juga menjadi sumber perjuangan yang mati-matian dalam membela agamanya

    serta mempertahankan tanah air dan bangsanya. Ki Bagus mengingatkan bahwa dahulu

    para pejuang yang membela negara adalah muslim.

    Cobalah tuan-tuan ingat sejarah Indonesia di masa akhir-akhir ini (sebelum 1945). Siapakah yang berani menentang imperialis Belanda? Bukankah Diponegoro. Bukankah Teuku Umar, Imam Bonjol, dan kyai-kyai lainnya yang beliau itu penganjur dan pendekar rakyat yang berpegang teguh kepada Islam serta mendasarkan perjuangannya di atas dasar agama Islam.15

    Ki Bagus juga menyoroti bahwa organisasi pergerakan yang cepat memperoleh

    sambutan luas dari masyarakat Indonesia di nusantara adalah Sarekat Islam, bukan Budi

    Utomo maupun Indische Partai. Hal ini menurut Ki Bagus, jelas bahwa ada pengaruh

    agama Islam yang sangat kuat dan mendalam pada rakyat Indonesia. Ki Bagus

    menyatakan kekhawatirannya apabila negara ini tidak berdiri di atas agama Islam,

    mayoritas penduduk muslim akan bersikap dingin, pasif, dan tidak mengambil peran

    yang produktif dalam pembangunan. Ki Bagus menyatakan bahwa Islam tidak hanya 14 Ki Bagus Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, dicuplik Syaifullah, Op.Cit., hlm. 102. 15 Ibid., hlm. 103.

  • 14

    agama saja tetapi aplikatif sebagai dasar negara dimana di dalamnya mencangkup aturan-

    aturan tentang nasionalisme persatuan, ketahanan nasional, ekonomi, pendidikan,

    budaya, sosial, serta keadilan, kerakyatan, dan toleransi.

    Mengenai persatuan, Ki Bagus menyitir surat Ali Imran 103 dan al-Maidah 3,

    “Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh dengan tali Allah (agama Islam) dan jangan

    kamu sekalian bercerai berai. Ingatlah akan nikmat Allah yang telah diberikan

    kepadamu, yaitu dahulu kamu bermusuh-musuhan satu dengan lainnya, tetapi sekarang

    Allah berkenan mempersatukan hati kamu sekalian, sehingga dengan nikmat-Nya tadi,

    kamu sekalian dapat menjadi saudara seerat-eratnya. “Hendaknya kamu bertolong-

    tolongan atas kebaikan dan takwa kepada Allah.” Mengenai ketahanan nasional/ negara,

    Ki Bagus mengatakan, “Bangunlah negara ini atas firman-firman Allah, antara lain

    dalam surat al-Anfal 62, ash-Shaf 2,3,4,10,11,12, dan 13. Tuan-tuan yang terhormat,

    maksud ayat-ayat tersebut sudah jelas, ialah menyuruh kita sekalian bersiap sedia untuk

    menolak setiap serangan musuh yang mungkin datang memukul kita, dan menyuruh kita

    mencurahkan segala tenaga dan harta benda yang ada pada kita untuk menyediakan

    segala kekuatan perang sehingga dapat menegakkan keadilan dan kebenaran...Oleh

    karena itu, bangunlah negara ini dengan sendi agama Islam.”16

    Mengenai ekonomi, Ki Bagus mengatakan, “berdasarkan firman Allah dalam

    surat an-Nahl ayat 14, Allah menyuruh kita mencari rejeki Allah di atas dan di dalam

    laut dengan mengusahakan perikanan, pelayaran, pencarian mutiara dan sebagainya.

    Dalam konteks ini, masih banyak ayat-ayat yang semakna dengan pengertian

    menganjurkan pertanian, pengairan, peternakan, pertenunan, dan sebagainya,

    sebagaimana dalam al-Quran surat Ibrahim, an-Nahl, al-Haj, dan lainnya.”17

    16 Ibid., hlm. 106-107. 17 Ibid, hlm. 107.

  • 15

    Dalam keadilan, kerakyatan dan toleransi, Ki Bagus mengatakan, “dalam negara

    kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya, satu pemerintahan yang adil dan

    bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan

    keputusan rakyat, serta luas dan lapang dada, tidak memaksa tentang agama. Jika tuan-

    tuan benar-benar menginginkan keadilan, kerakyatan, dan toleransi, maka dirikanlah

    pemerintah ini atas dasar Islam, karena Islam mengajarkan masalah tersebut. Allah

    berfirman dalam surat an-Nahl 90, an-Nisa 5, Ali Imran 159, asy-Syura 38, dan al-

    Baqarah 256.”18

    Ki Bagus Hadikusumo menekankan dengan ayat-ayat singkat yang disitirnya dari

    ayat al-Quran tersebut di atas, bahwa Islam cakap, cukup, pantas dan patut untuk

    menjadi sendi pemerintahan kebangsaan Republik Indonesia. Dalam pidatonya itu Ki

    Bagus mengatakan harapannya terhadap negara Indonesia, “Mudah-mudahan negara

    Indonesia baru, yang akan datang itu, berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara

    yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Amin.”19

    Perlu dicatat bahwa pidato Ki Bagus yang disampaikan pada tanggal 31 Mei

    1945 pukul 15.00 dalam sidang BPUPKI itu merupakan respon atas pidato kelompok

    kebangsaan sebelumnya pada 29, 30, dan 31 (pagi) Mei 1945. Perjalanan sejarah

    Indonesia akhirnya menetapkan bahwa dasar negara Indonesia yang diterima dalam

    sidang BPUPKI adalah Pancasila, istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Sukarno

    pada pidatonya 1 Juni 1945.20 Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 ini dapat dikatakan

    sebagai usaha mencari titik kompromi antara ide dari golongan kebangsaan dan golongan

    Islam, setelah keduanya menyampaikan aspirasi ideologinya masing-masing. Gagasan Ki

    Bagus Hadikusumo dalam pidatonya juga mempengaruhi konsep Pancasila Sukarno, 18 Ibid. 19 Ibid., hlm. 108.

    20 Arifin Suryo Nugroho, The First Lady: Biografi Fatmawati Sukarno, Yogyakarta: Ombak, 2010, hlm. 100.

  • 16

    dimana sebelumnya dalam konsep Marhaenisme-nya yang sering disuarakan tidak

    termuat sila Ketuhanan. Sehingga dapat dipahami setelah mendengar pidato dari Ki

    Bagus Hadikusumo, Sukarno kemudian memasukkan sila Ketuhanan pada urutan yang

    kelima.21

    Ki Bagus dan Perubahan Piagam Jakarta

    Ulama yang berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon untuk

    memerintahkan umat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian

    tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari ini juga terlibat dalam

    keanggotaan PPKI, sehingga setelah proklamasi dikumandangkan dan anggota PPKI

    diundang untuk mengadakan rapat darurat pada tanggal 18 Agustus 1945, Hadikusumo

    juga turut serta. Hasil sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 itu memutuskan antara lain:

    1. Memilih Presiden dan Wakil Presiden, yang dengan aklamasi menunjuk Bung Karno sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden.

    2. Mengesahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dengan terlebih dahulu diadakan revisi dengan mengacu pertemuan Bung Hatta dan Ki Bagus. a. Naskah Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD 1945 setelah terlebih dahulu

    diadakan perubahan pada alinea keempat. Rumusan: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kata-kata “menurut dasar” yang ada diantara sila pertama dan sila kedua dihilangkan.

    b. Rancangan Hukum Dasar hasil Panitia Perancang Hukum Dasar yang diketuai Supomo disahkan sebagai UUD 1945 setelah terlebih dahulu diubah, yakni pada: (1). Pasal 29 ayat (1) yang semula berbunyi “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). Pasal 6 ayat (1) semula mensyaratkan “Presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam” menjadi “Presiden adalah orang Indonesia asli.”22

    Mengenai perubahan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat

    Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” dalam Piagam

    Jakarta, ada kisah tersendiri antara Hatta dan perwakilan tokoh Islam yaitu Ki Bagus

    21 Rumusan Pancasila yang dikemukakan Sukarno secara berurutan adalah Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme ataau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat dalam Mustafa Kemal Pasha, dkk, Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003. 22 Mustafa Kemal Pasha, dkk, Ibid., hlm. 35.

  • 17

    Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, KH A. Wachid Hasyim, dan Kasman

    Singodimedjo. Peristiwa itu diawali ketika sore hari, tanggal 17 Agustus 1945, Hatta

    menerima telepon dari Juru Bahasa Laksamana Maeda, Nishijima Shigetada, apakah

    Hatta mau menerima kedatangan seorang perwira Kaigun yang akan bertemu dirinya

    sore itu. Hatta mempersilahkan perwira Kaigun itu bertamu ke rumahnya. Perwira

    Angkatan Laut Jepang itu menyampaikan keberatan para tokoh Indonesia bagian Timur

    atas pemakaian kata-kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “dengan kewajiban

    menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut mereka, meskipun kata-

    kata tersebut tidak mengikat agama lain di luar Islam, namun dengan tercantumnya

    ketetapan seperti itu di dalam UUD berarti menimbulkan perbedaan golongan. Jika hal

    ini tidak dibatasi, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Sejenak diam

    berfikir atas ancaman disintegrasi pada bangsanya yang baru merdeka dan ia

    perjuangankan berpuluh-puluh tahun, lantas ia berkata kepada perwira itu, “...esok hari

    dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan akan kukemukakan masalah yang sangat

    penting itu.”23

    Kemudian esok paginya tanggal 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI dimulai,

    Hatta mengundang keempat tokoh Islam―Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad

    Hassan, KH A. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo―untuk merundingkan

    masalah yang diajukan perwira Kaigun secara pra-formal. Tentang Teuku Muhammad

    Hassan bereaksi positif atas usul Hatta, hal itu dapat dipahami karena ia sama sekali

    tidak terlibat dalam sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, Sub Panitia 22, maupun Panitia

    Tujuh. Mengenai A. Wahid Hasyim tidak hadir dalam pertemuan itu karena ia sedang

    dalam perjalanan ke Jawa Timur, sedangkan Kasman Singodimedjo, yang merupakan

    anggota tambahan PPKI, menerima undangan mendadak baru pada pagi hari, sehingga

    23 Mohammad Hatta, Op.Cit., hlm. 459.

  • 18

    dapat dimengerti bila dia sama sekali tidak siap untuk berurusan dengan masalah

    tersebut. Kasman bukan anggota BPUPKI, bukan pula anggota Panitia Sembilan, Sub-

    Panitia 22, maupun Panitia Tujuh. Namun demikian Kasman sangat berperan dalam

    melunakkan hati Ki Bagus dalam mempertahankan “kalimat-kalimat Islami” sehingga Ki

    Bagus dapat menerima reduksi kalimat-kalimat tersebut.

    Ki Bagus Hadikusumo saat itu seakan menanggung seluruh tekanan psikologis

    tentang berhasil tidaknya penentuan Undang-Undang Dasar diletakkan pada pundak Ki

    Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam pada waktu itu.

    Posisi Ki Bagus dapat dimengerti karena ia anggota BPUPKI, anggota Sub-Panitia 22,

    dan anggota PPKI meskipun bukan anggota Panitia Sembilan dan Panitia Tujuh. Hal ini

    cukup mendasari bahwa Ki Bagus-lah yang mengetahui pergulatan dalam

    memperjuangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, sehingga sebenarnya ia berat

    menyetujui pencoretan tujuh kata yang diperjuangannya dengan beberapa tokoh Islam

    sebelumnya.

    Pendekatan Hatta saat itu berpegang pada pernyataan Sukarno bahwa UUD 1945

    hanya bersifat sementara dan nantinya akan dibuat lagi Undang-Undang yang lebih

    lengkap, umat Islam boleh menyampaikan aspirasinya, serta mengingat pentingnya

    persatuan dan kesatuan bangsa.24 Peran Kasman Singodimedjo untuk melunakkan dan

    mempengaruhi Ki Bagus agar menerima usulan Hatta sangat besar. Melalui pendekatan

    pribadi dan pendekatan Muhammadiyah. Persetujuan Ki Bagus berhasil didapat setelah

    Kasman menyatakan bahwa rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai pengganti

    tujuh kata tersebut mengandung konsep tauhid yang diyakini oleh umat Islam, yaitu

    keyakinan terhadap Allah SWT.25 Kasman membangun logika keamanan negara yang

    24 Ibid., hlm. 459-460. 25 A. Hafizh Dasuki, dkk., Op.Cit., hlm. 315.

  • 19

    sedang terancam. Dan Kasman juga meyakinkan kepada Ki Bagus bahwa jika keadaan

    sudah aman akan diperjuangkan lagi, “bukankah undang-undang ini sifatnya

    sementara?”26

    Sebenarnya dalam hal ini Hadikusumo masih berbeda pendapat namun tidak mau

    menyampaikan langsung karena takut akan terjadi perpecahan antara orang Indonesia

    sendiri. Kegelisahan dan ketidaksetujuannya di hari kemudian ia sampaikan pada

    Kasman Singodimejo, yang awal mulanya juga mendorong Hadikusumo untuk

    menerima usul Hatta. Atas ketidaksetujuannya terhadap pendapat Sukarno dan Hatta

    dalam sidang PPKI, Hadikusumo kemudian menulis kawat kepada Majelis Tanwir

    Muhammadiyah yang pada waktu itu mengadakan sidang di Yogyakarta. Ia meminta

    agar sidang jangan selesai sebelum dia sampai di Yogyakarta, dalam sidang itulah

    kemudian dia menyampaikan ketidaksetujuannya atas pengesahan UUD 1945. Ia pun

    mengingatkan kepada Majelis Tanwir, dan secara tidak langsung umat Islam di

    Indonesia, bahwa perjuangan belum selesai dan umat Islam masih terus bersiap segala

    tantangan pada masa berikutnya.

    Di kemudian hari Kasman Singodimedjo mengatakan dengan mata berkaca-kaca,

    bahwa ia sangat berdosa karena dialah orang kunci yang melunakkan hati Ki Bagus

    ketika bertahan pada tujuh kata anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat

    Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Yang ia sesalkan ternyata bukan hanya dalam

    Pembukaan UUD yang dicoret, tetapi juga dilakukan koreksi di berbagai batang tubuh

    UUD yang berbau tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut.27

    Pergulatannya di Muhammadiyah

    26 Syaifullah, Op.Cit., hlm. 124. 27 Ibid.

  • 20

    Duduknya Hadikusumo di kursi ketua umum Muhammadiyah menggantikan

    posisi KH. Mas Mansyur. Proyeksi Hadikusumo sebagai ketua umum PB

    Muhammadiyah sudah sejak konggres Muhammadiyah ke-26 tahun 1937. Pada konggres

    ke-29, Hadikusumo dan Mas Mansyur sama-sama menjadi kandidat ketua umum. Saat

    itu Mas Mansyur terpilih sebagai Ketua Umum sedangkan Hadikusumo masuk dalam

    jajaran Pengurus Besar. Ki Bagus Hadikusumo kemudian dipercaya menjadi ketua

    umum PB Muhammadiyah sampai tahun 1953.

    Karier Hadikusumo di Muhammadiyah sebelum ketua umum adalah ketua

    Majelis Tablig pada tahun 1922, ketua Majelis Tarjih, dan anggota Komisi Majelis

    Pendidikan Muhammadiyah. Selain itu juga pernah menjabat sebagai hoofdbestuur

    (pengurus tertinggi) Muhammadiyah tahun 1926 yang bertugas melengkapi putusan

    Konggres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya khususnya tentang materi Konggres

    Masyarakat Pendidikan Muhammadiyah.28

    Muhammadiyah di bawah pimpinan Ki Bagus Hadikusumo berada dalam periode

    Revolusi Kemerdekaan Indonesia, sehingga arah kembang dan perjuangan organisasi ini

    mengikuti jiwa jamannya. Muhammadiyah dituntut aktif ambil bagian dalam membela

    dan mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia yang baru berdiri itu. Hal ini

    tercermin dalam khotbah iftitah muktamar I sesudah kemerdekaan RI pada 1950,

    Muhammadiyah menyatakan:

    Rasa kebangsaan, rasa keagamaan, rasa kenasionalan, dan bahwa kejayaan agama Islam hanya dapat dicapai di negara Indonesia yang merdeka, tidak pernah hilang dan tiada pernah lepas dari tiap keluarga Muhammadiyah. Meskipun tidak berpolitik, yang menjadi tujuan Muhammadiyah adalah sama dengan yang menjadi tujuan tiap golongan putra-putra tanah air, yaitu berjasa untuk tanah air dan bangsa dengan dorongan iman dari agamanya, agar bangsanya berbudi luhur dan tanah airnya kelak beroleh kedudukan mulia dan terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain.29

    28 Ibid., hlm. 146. 29 Abdul Munir Mulkan dan Sukriyanto (Ed.), Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985, hlm. 213.

  • 21

    Jelas dari pidato di atas bahwa Muhammadiyah menginginkan Indonesia yang

    sejajar dengan negara maju, tetapi tetap terbingkai dengan nilai-nilai moral. Pada

    permulaan kemerdekaan itu pula Muhammadiyah memberi instruksi kepada cabang-

    cabangnya di Jawa-Madura, yang isinya seluruh anggota Muhammadiyah harus turut

    bekerja untuk meluhurkan serta menegakkan ajaran Islam dan negara Republik

    Indonesia. Saat itu instruksi baru dapat disampaikan di cabang Jawa-Madura karena

    komunikasi dengan cabang-cabang luar Jawa terputus akibat masa penjajahan Jepang.

    Para pemimpin Muhammadiyah yang dikomandoi Ki Bagus Hadikusumo

    berpendapat bahwa dalam revolusi fisik, setiap orang harus dapat mendahulukan mana

    yang lebih penting dan mana yang dapat segera dikerjakan. Oleh karena itu, pada masa

    revolusi fisik, penanganan pengembangan pendidikan dan sosial dinomor-duakan karena

    sumber daya manusia yang dimiliki Muhammadiyah banyak yang terserap revolusi, baik

    ikut dalam pertempuran ataupun ikut duduk dalam pemerintahan.

    Untuk menyelaraskan perjuangan dalam bidang militer dengan perjuangan dalam

    bidang spiritual, kehadiran Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam pengajian anggota

    pimpinan Muhammadiyah setiap malam Selasa di Kauman Yogyakarta besar artinya

    bagi Muhammadiyah karena dalam kesempatan itu Jenderal Sudirman selalu

    menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan umat Islam. Jenderal Sudirman

    sering menjadi pengisi acara pengajian itu dengan didampingi Ki Bagus Hadikusumo.30

    Ketika terjadi agresi militer Belanda I di Yogyakarta pada 21 Juli 1947 pukul

    00.00, ulama-ulama Muhammadiyah ikut membantu perjuangan para tentara Repubik

    Indonesia. Para ulama membuka markas di Mesjid Taqwa di Kampung Suranatan,

    kampung seberang Kauman. Di sana selain membicarakan tentang strategi melawan

    musuh, juga diadakan rapat persiapan menghadapi perang. Ki Bagus Hadikusumo hadir

    30 Syaifullah, Op.Cit., hlm. 130-131.

  • 22

    dalam pertemuan itu selain beberapa ulama seperti KH Mahfudz, KH Hadjid, KH

    Badawi, KH Abdul Azis, Kyai Djohar, KH Djuremi, juga Jenderal Sarbini. Kemudian

    dibentuklah Angkatan Perang Sabil (APS) yang susunan pemimpinnya Ki Bagus

    Hadikusumo (Penasihat), KH Mahfudz (Imam), KH Hadjid (Ketua), dan KH Badawi

    (Wakil Ketua). Pembentukan APS dilaporkan kepada Jenderal Sudirman juga Sultan

    Hamengkubuwono IX. Jenderal Sudirman kemudian mengirimkan beberapa anak

    buahnya untuk memberikan latihan militer. Begitulah perjuangan Ki Bagus Hadikusumo

    dan Muhammadiyah pada masa revolusi fisik.

    Di bawah pimpinan Hadikusumo, Muhammadiyah juga mulai menyusun

    mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang nantinya menjadi dasar ideologis

    organisasi Muhammadiyah. Hal tersebut menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah

    lainnya, di antaranya Hamka. Hamka menjadikan muqaddimah tersebut untuk

    merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian

    Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.31

    Ki Bagus Menutup Usia

    Setelah Indonesia merdeka, Ki Bagus Hadikusumo konsisten berjuang di dalam

    partai politik yang berorientasi religius. Kiprahnya berlanjut di Masyumi. Ia bersama

    dengan KH. Abdul Wahab terpilih menjadi penasehat Masyumi. Hadikusumo juga

    terpilih sebagai Ketua Muda I Majelis Syuro (Dewan Pertimbangan Partai) Pimpinan

    Pusat Masyumi untuk masa bakti 1945-1949. Sedangkan untuk masa kepengurusan

    1949-1951 Hadikusumo menjadi salah seorang anggota Pimpinan Pusat Masyumi. Tidak

    hanya dalam bidang politik, amalnya untuk bangsa ini ia salurkan juga dalam bidang

    pendidikan dengan mengajar di Kweekschool Muhammadiyah.

    31 http://www.muhammadiyah.or.id/diakses tanggal 3 Mei 2010

  • 23

    Di akhir kariernya, Ki Bagus Hadikusumo menulis sebuah buku berjudul Islam

    sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin yang diterbitkan tahun 1954 oleh penerbit

    Pustaka Rahayu yang ada di Yogyakarta.32 Buku tersebut berisi tentang pengalamannya

    menjadi anggota BPUPKI saat berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler. Buku

    tersebut menjadikan Hadikusumo bebas menyampaikan pendapatnya, terutama dalam

    pergulatan dirinya dalam perumusan dasar negara Indonesia. Hatinya masih menyimpan

    kegelisahan bahwa Indonesia memiliki umat Islam terbanyak tetapi hukum Islam justru

    tidak bisa ditegakkan. Sebelumnya ia juga menulis buku dalam bahasa Jawa yang

    berjudul Risalah Katresnan Jati yang diterbitkan pada tahun 1935, dan dicetak ulang

    pada tahun 1936, 1940, 1941, 1954.

    Setelah Indonesia merdeka, Ki Bagus Hadikusumo turut memprakarsai dan

    duduk sebagai penasehat Markas Ulama dan Laskar Angkatan Perang Sabil (MU-LAPS),

    sebuah wadah sosial keagamaan semi militer yang berdiri pada 23 Juli 1948. Ulama

    nasionalis yang lahir pada 24 November 1890 ini wafat pada tanggal 3 September 1954

    dalam usia 64 tahun. Pada tanggal 9 November 1995, 41 tahun setelah berpulang kepada

    Sang Khalik, Ki Bagus Hadikusumo dianugerahi Bintang Republik Indonesia Utama dari

    pemerintah Republik Indonesia atas jasanya sebagai salah satu perancang pembukaan

    UUD 1945.

    32 A. Hafizh Dasuki, dkk, Op.Cit, hlm. 148.

  • 24

    DAFTAR PUSTAKA

    Dault, Adhyaksa, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks

    Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, Hadikusuma, Djarnawi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Yogyakarta: Persatuan, tt. Hafizh Dasuki, A. dkk., Suplemen Ensiklopedi Islam 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van

    Hoeve, 1996. Hatta, Mohammad, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1979. Mulkan, Abdul Munir dan Sukriyanto (Ed.), Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah

    dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985. Monks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan,

    Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.

    Nakamura, Mitsuo, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.

    Nugroho, Arifin Suryo, The First Lady: Biografi Fatmawati Sukarno, Yogyakarta: Ombak, 2010.

    Pasha, Mustafa Kemal, dkk, Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis,

    Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003. Puar, Yusuf Abdullah, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka

    Antara, 1989.

    Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.

    http://www.muhammadiyah.or.id/diakses tanggal 3 Mei 2010