KI BAGUS HADIKUSUMO: Potret Seorang Ulama...
Transcript of KI BAGUS HADIKUSUMO: Potret Seorang Ulama...
-
1
KI BAGUS HADIKUSUMO: Potret Seorang Ulama Nasionalis
Oleh:
Arifin Suryo Nugroho1
Abstrak
Ki Bagus Hadikusumo adalah seorang putra Yogyakarta yang memiliki peran dan cakupan perjuangan yang luar biasa. Sejarah mencatat, bersama Sukarno dan Hatta di tahun 1943, ia menghadap Tenno Haika. Meskipun pertemuan tersebut belum menghasilkan pengakuan kemerdekaan secara legal formal, tetapi secara psikologis pertemuan yang prestisius tersebut berpengaruh besar dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Pasca Proklamasi 1945, Ki Bagus Hadikusumo—yang juga ketua organisasi Islam modern terbesar di Indonesia; Muhammadiyah periode 1944-1953—tergabung dalam BPUPKI, Sub-Panitia 22, dan PPKI. Di sana, ia menjadi salah satu saksi kunci dalam proses perumusan Dasar Negara dan Undang-Undang Dasar Indonesia yang penuh tarik ulur. Kesimpulan artikel ini menunjukkan bahwa Ki Bagoes Hadikusuma memainkan peran yang sangat penting dalam penyusunan Konstitusi Indonesia. Titik-titik kisar perjalanan politik Ki Bagus mampu menjelaskan bagaimana alur Piagam Jakarta dalam kedudukannya secara historis dan dipahami dalam jiwa jamannya. Sebagai seorang nasionalis Islam, ia berjuang untuk menegakkan nilai-nilai keislaman dalam berbangsa dan bernegara. Ia terlibat aktif dalam pendirian Partai Islam Indonesia pada tahun 1939, kemudian tergabung juga dalam partai politik yang berorientasi religius. Sebagai bagian dari historiografi, tulisan singkat ini tidak mengabaikan metode penelitian historis yang terdiri dari 4 langkah yaitu: (1). Heuristik (pengumpulan sumber) yang berupa buku, jurnal, majalah, dan surat kabar; (2). Kritik Sumber, dalam rangka mendapatkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara substansial maupun fisik; (3). Interpretasi (penafsiran) terhadap data-data yang diperoleh berdasarkan kekuatan analisis yang diperkuat melalui kajian pustaka dan segi peninjauan sosiologis maupun politis; dan (4). Penyajian. Sebagai pendalaman analisis, tulisan ini juga menggunakan pendekatan studi tokoh dan biografi, yakni menempatkan tokohnya dalam kerangka sejarah.
Kata Kunci: Biografi, Ki Bagus Hadikusumo, Ulama Nasionalis
Abstract
Ki Bagus Hadikusumo who was originally from Yogyakarta has an important role during the preparation of the Indonesian Independence. In 1943, together with Soekarno and Hatta, he met Tenno Haika. Although the meeting did not result in a legal
1 Penulis adalah staf pengajar di Prodi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alumni Sarjana Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan Pascasarjana Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta. Menulis beberapa biografi tokoh perempuan Indonesia dan sudah diterbitkan. Penulis dapat dihubungi melalui email [email protected] atau 085228375915.
-
2
formal recognition of the Indonesian Independence, psychologicallu this prestigious meeting had a big influence in the struggle for Independence of the Republic of Indonesia. From 1944-1953, Hadikusumo was the Chair of Muhammadiyah (the largest Modern Moslem organization in Indonesia). After the Proclamation in 1945, he became a member of the BPUPKI, the Sub-Committee 22, and the PPKI). In these institutions, he became one of the key witnesses in the process of formulation of the State Foundation and the Indonesian Constitution. The process of formulation itself was like a tug of war.
This article inferred that Ki Bagus Hadikusumo played a significant role in drafting the Indonesian Constitution. His political careers can explain how The Jakarta Charter was historically posed in his time. As a Moslem nationalist, he struggled to uphold Islamic values for the benefit of this state and nation. In 1939, he actively involved in the establishment of Partai Islam Indonesia (the Islamic Party of Indonesia) which later joined the association of the religious-oriented political parties.
As part of historiography, the presentation of this short article has adopted the historical research method that consists of four steps: (1) The heuristic method that is collecting sourches from books, journals, magazines, and newspapers, (2) criticism of sources in order to acquire accountable resources both substantially and physically, (3) interpretation of data which were obtained from the deep analysis supported by a broad literature review and perceived from the sociological and political points of view, and (4) the approach of figure study and biography (putting the figure under study in their historical context) were adopted to deepen the analysis.
Keywords: biography, Ki Bagus Hadikusumo, Nationalist Ulama
Tinggallah di desa-desa dan kampung-kampung untuk mengetahui keadaan jiwa dan kehidupan murba (rakyat banyak) yang sebenar-benarnya.
(Ki Bagus Hadikusumo)
I. Pengantar
Jepang ketika berkuasa di Indonesia pernah memberikan janji-janji kemerdekaan.
Janji itu dikenal dengan Deklarasi Koiso, karena dikeluarkan oleh seorang Perdana
Menteri Jepang bernama Koiso. Sebenarnya sebelum Deklarasi Koiso, telah ada wacana
untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia yang disampaikan oleh Perdana
Menteri sebelumnya yaitu Tojo. Namun pernyataan Tojo tidak pernah ditindaklanjuti,
justru yang kemudian mendapatkan kemerdekaan adalah negara-negara tetangga
-
3
Indonesia seperti Filipina dan Birma. Hal tersebut sangat mengecewakan masyarakat dan
para tokoh nasionalis Indonesia, karena cita-cita kemerdekaan yang mereka idam-
idamkan seakan luput di depan mata.
Saat itulah kemudian Jepang mengundang 3 wakil Indonesia ke Tokyo untuk
bertemu dengan Kaisar Jepang, Tenno Haika. Mereka adalah Sukarno dan Hatta yang
mewakili golongan nasionalis dan Ki Bagus Hadikusumo—seorang ulama, pejuang, dan
tokoh Muhammadiyah—yang diundang oleh pemerintah Jepang sebagai wakil dari
golongan Islam. Keikutsertaan Hadikusumo dalam kunjungan ke Jepang menandakan
bahwa keberadaannya sebagai tokoh dari kalangan umat Islam sangat menonjol. Tidak
hanya perjuangan kemerdekaan, nama Hadikusumo kemudian tercatat sebagai salah satu
Founding Fathers yang membidani dasar negara dan undang-undang dasar republik.
Ulama yang meninggal setahun setelah penyusunan Mukadimah Anggaran Dasar
Muhammadiyah pada konggres tahun 1953 ini adalah seorang ulama yang konsisten
memperjuangkan integritas dan nasionalisme bagi seluruh rakyat Indonesia. Ia juga keras
berjuang agar negara tetap berada di jalur yang sesuai dengan syariat Islam. Hal tersebut
terlihat saat Hadikusumo menyampaikan pidato dalam sidang BPUPKI, ia menyinggung
tentang usaha pemerintah Belanda yang ingin mengganti Hukum Warisan Islam yang
telah berlaku lama dengan Hukum Warisan Adat. Hadikusumo juga mengingatkan
peristiwa tahun 1922 ketika pemerintah Belanda juga ingin mengganti Hukum
Perkawinan Islam dengan Hukum Perkawinan Catat. Mengenai politik Belanda terhadap
ajaran Islam di Indonesia, Hadikusumo dengan tegas memandangnya sebagai sebuah
upaya untuk menaklukkan perlawanan umat Islam Indonesia.
Seringkali terdengar suara yang mengatakan bahwa hukum Islam itu adalah peraturan yang sudah tua, tidak dapat dilakukan di zaman sekarang ini, buktinya di Indonesia yang kebanyakan penduduknya beragama Islam, tetapi hukum Islam nyata tidak dapat berjalan. Memang benar, tetapi harus diingat juga apa yang menyebabkan hukum Islam tidak dapat berjalan sempurna di Indonesia. Sebabnya tak lain ialah karena tipu muslihat curang yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang menjajah negeri kita ini, yang memang
-
4
senantiasa berusaha hendak melenyapkan ajaran Islam dari jajahannya, karena mereka tahu bahwa selama bangsa Indonesia tetap berpegang teguh pada agama Islam, tentu tidak akan menguntungkan dia. Oleh karena itu hukum-hukum Islam yang berlaku di Indonesia sedikit demi sedikit hendak dihapuskan dan digantikan dengan hukum lain yang dikehendakinya.2
Tentu saja hal tersebut sangat mengkhawatirkan mengingat sebagian besar penduduk
Hindia Belanda adalah umat Islam. Telah jelas apa yang dilakukan Belanda tersebut
merupakan bentuk propaganda untuk memecah belah kesatuan umat Islam, dimana
orientalis Snouck Hurgronje berada di belakangnya. Hadikusumo yang seorang Islam
nasionalis sadar bahwa usaha memisahkan nilai-nilai Islam dari sendi-sendi kehidupan
bangsanya akan menjadi ancaman nyata bagi integritas bangsa di masa depan.
Sikap nasionalis yang dibungkus dengan nilai-nilai keislaman dalam diri Ki
Bagus Hadikusumo selain dibentuk karena faktor keturunan, jatidiri atau kepribadiannya
juga tidak terlepas dari faktor lingkungan. Hal ini relevan dengan teori konvergensi dari
William Stern, bahwa setiap tingkah laku merupakan hasil pertemuan (konvergensi)
antara faktor pribadi dan faktor lingkungan,3 menjadi dasar untuk melacak jejak
pembentukan kepribadian dan gambaran secara lahir batin seorang Ki Bagus. Kampung
Kauman, lembaga pendidikan masa kecil, dan keluarga menjadi bagian penting dalam
membentuk kepribadian Ki Bagus Hadikusumo.
Sebagai seorang nasionalis Islam, ia berjuang menegakkan nilai-nilai keislaman
dalam berbangsa dan bernegara. Ia terlibat aktif dalam pendirian Partai Islam Indonesia
pada tahun 1939, ia juga anggota partai politik yang berorientasi religius, hingga peran
pentingnya dalam penyusunan Konstitusi Indonesia. Karir dan perjuangan politiknya
2 A. Hafizh Dasuki dkk., Suplemen Ensiklopedi Islam 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996, hlm. 148. 3 Lihat Monks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, hlm. 18-21.
-
5
untuk Indonesia tersebut serta kiprahnya di Muhammadiyah, hingga kematiannya pada
tahun 1994 didiskusikan dalam artikel ini.
II. Riwayat Hidup Raden Dayat dari Kampung Kauman
Kampung Kauman Yogyakarta adalah tempat dimana banyak lahir ulama-
pejuang terkemuka di Indonesia. Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan dan
Ketua Umum Muhammadiyah berikutnya juga putra-putra dari Kampung Kauman.
Demikian pula seorang Ki Bagus Hadikusumo yang dilahirkan dengan jeneng cilik
(nama kecil) Hidayat atau Raden Dayat.4 Jeneng cilik merupakan kebiasaan yang umum
di kalangan priyayi Jawa, dan saat usia anak menginjak dewasa maka ia akan memiliki
jeneng tuwo (nama dewasa). Nama Ki Bagus Hadikusumo adalah jeneng tuwo dari
Hidayat yang memiliki makna elok, Ki merupakan sebutan laki-laki, menunjukkan
fungsi sosial tertentu terutama dalam hal agama seperti Kiai, Bagus adalah panggilan
yang biasa berlaku di lingkungan elite Jawa, sementara Hadikusumo adalah nama yang
sesungguhnya dan menandakan ia berasal dari kalangan elite priyayi atau golongan
bangsawan.
Lahir dari keluarga priyayi dengan seorang ayah yang menjabat sebagai abdi
dalem pamethakan atau putihan bernama Raden Kaji Lurah Hasyim, atau jabatan sebagai
pejabat keraton dalam bidang agama Islam, membuat Hadikusumo kecil tak kering dari
pendidikan umum maupun agama. Namun pendidikan di sekolah umum hanya sampai
kelas 3 sekolah dasar atau sekolah Ongko Loro, karena Hadikusumo lebih tertarik pada
pendidikan agama di pondok pesantren. Pondok pesantren tempat Hadikusumo menuntut
ilmu adalah Pondok Pesantren Wonokromo Yogyakarta. Di pesantren itulah
Hadikusumo mulai mendalami secara serius khasanah ilmu pengetahuan Islam terutama
masalah akhlak dan tasawuf. Sedangkan ilmu fiqih diperoleh langsung dari KH. Ahmad
4 Ibid., hlm 145.
-
6
Dahlan. Pengetahuan Hadikusumo akan tasawuf Islam makin berkembang dengan
kegemarannya membaca karya-karya ahli agama Timur Tengah seperti Ibnu Taimiyah,
Imam Syafii, Al Gazali, dan beberapa karya Ibnu Rusyd.
Menikah sebanyak 3 kali dan dikaruniai banyak putra-putri merupakan salah satu
garis kehidupan yang dijalani Ki Bagus Hadikusumo. Pernikahannya yang pertama
terjadi pada umur 20 tahun dengan putri Raden Kaji Suhud bernama Siti Fatmah. Dari
pernikahan pertama ia dikaruniai 6 orang anak yang salah satunya nanti menjadi tokoh
terkemuka di Muhammadiyah dan Parmusi yang lebih dikenal dengan nama Djarnawi
Hadikusumo. Namun sayang Siti Fatmah meninggal, kemudian Ki Bagus Hadikusumo
menikah lagi dengan Mursilah, seorang pengusaha Yogyakarta. Pernikahan keduanya
juga tak kekal, setelah melahirkan putra ketiga Mursilah meninggal. Pernikahan ketiga
juga dengan seorang perempuan pengusaha bernama Siti Fatimah dan dikaruniai lima
orang putra.
Kiprah Awal di Partai Politik
Ki Bagus Hadikusumo yang dibesarkan di lingkungan santri dengan lembaga
pendidikan pesantren yang kental nilai-nilai keislaman telah membentuk konsep diri Ki
Bagus sebagai seorang nasionalis Islam. Apa yang tampak dalam nafas perjuangan Ki
Bagus kemudian hari menjadi bukti bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dengan
nasionalisme. Menurut aktivis pergerakan Islam berkebangsaan Mesir, Hassan Al-Banna,
apabila yang dimaksud dengan nasionalisme adalah kerinduan atau keberpihakan
terhadap tanah air, keharusan berjuang membebaskan tanah air dari penjajahan, ikatan
kekeluargaan antar masyarakat, dan pembebasan negeri-negeri lain maka nasionalisme
-
7
dalam makna demikian dapat diterima dan bahkan dalam kondisi tertentu dianggap
sebagai kewajiban.5
Perjuangan politik Ki Bagus Hadikusumo diawali pada tahun 1922 ketika ia
diangkat pemerintah melalui Keputusan Raja no.54 tertanggal 12 Januari 1922 menjadi
anggota Priesterraaden Commissie, sebuah panitia yang bertugas menyelidiki keadaan
pengadilan agama dan menyampaikan saran-saran kepada pemerintah dalam rangka
usaha perbaikan peradilan agama. Visi politik Ki Bagus Hadikusumo semakin terlihat
setelah aktif di partai politik. Partai politik pertama kali yang menjadi pilihannya adalah
PII (Partai Islam Indonesia).
Partai Islam Indonesia berdiri setelah terjadi kegelisahan dari kalangan umat
Islam di Indonesia yang merasa tidak memiliki wadah untuk menyalurkan aspirasi
politiknya setelah terjadi perpecahan di kalangan PSII pada dekade tahun 1930-an.
Mereka terdiri dari orang-orang Persis, Muhammadiyah, Barisan Penyadar PSII, dan
beberapa organisasi Islam lain. Program pertama partai ini adalah menuntut Indonesia
berparlemen.
Ide dasar pembentukan PII ini sebenarnya sudah muncul sejak tahun 1933, ketika
terbentuk Panitia Persatuan Islam Indonesia, suatu organisasi yang menurut para
pendirinya didasarkan kepada Islam, swadaya dan nasionalisme. Embrio PII semakin
kuat setelah bergabungnya tokoh-tokoh PSII yang terkena pemecatan dari partai akibat
konflik intern di tubuh PSII tahun 1933, pasca meninggalnya HOS Cokroaminoto. Juga
bergabungnya Jong Islamieten Bond Yogyakarta, dengan nama Islam Studi Club di
bawah pimpinan Ahmad Kasmat Bauwinangun. Partai Islam Indonesia secara resmi
5 Lihat dalam Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam
Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, hlm. xvii.
-
8
dideklarasikan pada 4 Desember 1938, dengan ketuanya yang pertama Rd. Wiwoho
Purbohadidjojo yang juga menjadi anggota Volksraad.
Ki Bagus Hadikusumo menunjukkan keseriusannya dalam membangun PII
terlihat dalam posisinya sebagai Komisaris PII bersama tokoh Islam yang lain, seperti
KH Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, Rasyidi, M. Natsir.
Pada awalnya berdirinya, PII baru memikirkan masalah praktis di antaranya adalah
menuntut Indonesia berparlemen kepada pemerintah kolonial Belanda. Baru kemudian
menyusun program yang bersifat menyeluruh, pengiriman juru kampanye untuk menarik
anggota-anggota di seluruh Nusantara. Alhasil tahun 1941, PII sudah memiliki 125
cabang yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara.
Pada kongres pertama di Yogyakarta 1938, tuntutan PII hasil kongres itu lebih
visioner, yaitu menghendaki negara kesatuan (Indonesia) yang lebih demokratis, dengan
dilengkapi parlemen dan lembaga-lembaga perwakilan yang keanggotaannya
berdasarkan pemilihan langsung dan umum, di antaranya Indonesianisasi anggota staf
pemerintahan, perluasan hak-hak politik, kebebasan berbicara, mengeluarkan pendapat,
berfikir, dan kebebasan pers. PII juga menuntut penghapusan peraturan yang
menghambat Islam, penghapusan subsidi bagi semua agama, penyerahan perusahaan
vital kepada negara, hapusnya imigrasi, hapusnya pajak yang memberatkan rakyat
banyak dan perlindungan perusahaan-perusahaan Bumiputera terhadap saingan dan
tekanan perusahaan asing.6
Dalam kongresnya yang kedua di Solo pada 25-27 Juli 1941, PII bersedia untuk
menjadi anggota GAPI (Gabungan Politik Indonesia). PII juga bergabung dengan
Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) dan Majelis Rakyat Indonesia (MRI). Keputusan
6 Ibid, hlm. 83.
-
9
itu dilakukan karena pemaksaan kebijakan Jepang untuk membatasi gerak seluruh partai
politik di Indonesia.
Bersama Sukarno dan Hatta Ke Jepang
Masyarakat Indonesia sempat merasakan kekecewaan ketika tidak diikutkan
dalam Konferensi Asia Timur Raya. Namun kekecewaan tersebut sempat terobati dengan
datangnya undangan untuk 3 wakil Indonesia. Sukarno wakil dari Cuo Sangi In7, Hatta
wakil dari golongan intelektual, dan Ki Bagus Hadikusumo wakil dari golongan Islam.
Keberangkatan 3 orang pada November 1943 diharapkan mampu membawa Indonesia
menuju kemerdekaan.
Kunjungan mereka ke Jepang untuk mengabulkan undangan bertemu dengan
Tenno Haika atau Kaisar Jepang. Sebelum bertemu kaisar mereka lebih dulu ditemui
oleh Jenderal Tojo yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri Jepang. Ketiga tokoh
Indonesia itu, termasuk Hadikusumo menjadi pembicaraan para petinggi militer Jepang,
karena kesediaan Kaisar Jepang untuk berjabatan tangan dengan tamu dari Indonesia itu.
Di Jepang, kaisar dianggap sebagai wakil dewa di dunia, sehingga rakyat Jepang sangat
patuh dan menghormati. Yang menjadi buah bibir petinggi militer Jepang atas pertemuan
ketiga tokoh nasionalis Indonesia dengan kaisar Jepang itu bahwa Tenno Heika tidak
pernah bersalaman dengan anak buahnya dan rakyat Jepang sekalipun.8 Tradisi
bersalaman yang biasa dilakukan orang Indonesia sebagai bentuk penghormatan tersebut
membawa dampak yang luar biasa setelah kepulangan mereka ke tanah air. Hadikusumo
menjadi tokoh yang dihormati oleh para pembesar Jepang di Indonesia selain Sukarno
dan Hatta.
7 Badan yang didirikan oleh pemerintah Jepang dalam usaha mempropaganda masyarakat Indonesia untuk membantu Jepang dalam perang Asia Timur Raya 8 Mohammad Hatta, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1979, hlm. 431.
-
10
Selain bertemu dengan kaisar, kunjungan ke Jepang juga beragendakan
pemberian penghargaan Bintang Ratna Suci dari pemerintah Jepang. Ki Bagus
Hadikusumo mendapat Bintang Ratna Suci kelas III (Kun San To Juihosyo) sama dengan
yang diberikan kepada Hatta, sementara Sukarno mendapat Bintang Ratna Suci kelas II
(Kun Nito Juihosyo). Menutup kunjungan ke Jepang, Hadikusumo—Hatta dan Sukarno
diundang makan malam oleh Perdana Menteri Tojo. Tidak ada catatan dari Hadikusumo,
namun Hatta mengisahkan dalam memoirnya acara makan malam di Jepang tersebut:
Kami semuanya duduk di lantai mengelilingi suatu meja rendah. Di bawah meja itu, apabila penat bersila, kaki dapat diunjurkan. Di kepala meja duduk tuan rumah Perdana Menteri Tojo. Pada sebelah kanannya Soekarno, pada sebelah kirinya aku, di sebelah kanan Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo dan sebelah kiri-ku Tuan Miyoshi. Santapan dimulai dengan suatu pidato ringkas yang diucapkan oleh Perdana Menteri Tojo. Ia mengatakan supaya kunjungan kami ke Tokyo membawa kegembiraan pada hati kami.9
Kunjungan ke Jepang yang awalnya diharapkan membawa kabar tentang
kemerdekaan Indonesia ternyata justru tak membicarakan masalah itu sama sekali. Pada
saat berkunjung ke Jepang itu, Hadikusumo mendengar tentang berita bahwa sebenarnya
pasukan Jepang mulai terdesak oleh pasukan Rusia, hanya saja pemerintah Jepang di
Tokyo merahasiakan.
Ki Bagus: Islam sebagai Dasar Negara
Penyelidikan dan persiapan menuju Indonesia merdeka, tak bisa luput dari
perhatian Ki Bagus Hadikusumo. Karena itu, ia ikut terpilih menjadi anggota BPUPKI
sebagai wakil dari golongan umat Islam bersama dengan 14 orang lainnya yaitu Abdul
Halim, KH. Ahmad Sanusi, KH. Mas Mansyur, Abdul Kahar Muzakkir, KH. Abdul
Wahid Hasyim, KH. Masykur, Sukiman Wirjosandjojo, Abikusno Tjokrosujoso, dan H.
Agus Salim.10 Ki Bagus Hadikusumo termasuk anggota BPUPKI yang berjuang keras
dalam membela dasar-dasar Islam, namun tetap menginginkan integritas nasional. Ia 9 Ibid., hlm. 433. 10 A. Hafizh Dasuki dkk.,Op.Cit., hlm.146-147
-
11
termasuk tokoh vokal yang mewakili golongan Islam―yang berjumlah 15 dari 62
anggota BPUPKI.
Pada saat penetapan dasar negara, terdapat usulan Sukarno mengenai Pancasila
yang kemudian direvisi ulang oleh Panitia Sembilan. Hadikusumo tidak termasuk dalam
Panitia Sembilan, sehingga mempertanyakan kata-kata hasil rumusan Panitia Sembilan
yaitu pada sila pertama, Ketuhanan, yang diikuti anak kalimat “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Hadikusumo kata-kata
tersebut hendaknya diganti “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam”. Pembicaraan
mengenai sila-sila dalam Pancasila memang menjadi perdebatan yang cukup keras.
Dalam sidang BPUPKI 11 Juli, 14 Juli, dan 15 Juli, Ki Bagus mengatakan
berkali-kali hendaknya kata-kata yang terdapat di bagian akhir yang berbunyi “bagi
pemeluk-pemeluknya” dihilangkan. Pada tanggal 14 Juli, dua kali Ki Bagus menyatakan
hal itu dan Sukarno sekali lagi mengulangi peringatannya bahwa kalimat itu merupakan
jalan tengah yang didapat dengan susah payah. Akhirnya pada tanggal 15 Juli itu, Ki
Bagus mengatakan, “Kalau sidang mufakat, saya terima.” Piagam Jakarta yang dijadikan
pembukaan UUD 1945 pada alinea ke empat ditetapkan pada tanggal 15 Juli 1945
berbunyi; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya.”
Sebulan sebelumnya dalam rentetan sidang BPUPKI pada 31 Mei 1945 pukul
15.00, Ki Bagus mengeluarkan pernyataan yang intinya “membangun negara di atas
dasar ajaran Islam.” Dengan penuh keyakinan Ki Bagus mengusulkan kepada sidang
agar Islam dijadikan dasar negara Republlik Indonesia. Dalam satu pidatonya yang
disampaikan di depan sidang BPUPKI itu Ki Bagus menyatakan:
Tuan-Tuan dan sidang yang terhormat. Dalam negara kita niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur bersendikan permusyawaratan dan putusan rapat, luas berlebar dada, serta tidak
-
12
memaksakan agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintah itu atas Agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu. Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya-pun bangsa Indonesia yang asli dan murni, belum ada campurannya, dan sebagai seorang muslim, yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan merdeka, maka supaya Negara Indonesia itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya Negara Indonesia ini berdasarkan agama Islam. Sebab itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi. Janganlah hendaknya jiwa yang 99% dari rakyat itu diabaikan saja tidak dipedulikan.11
Ki Bagus Hadikusumo dalam pidato itu mengeluarkan dua pernyataan; “(1) Islam
itu cakap dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita
Indonesia; dan (2) Umat Islam adalah umat yang mempunyai cita-cita yang luhur dan
mulia sejak dahulu hingga sekarang ini, seterusnya pada masa yang akan datang, yaitu
dimana ada kemungkinan dan kesempatan pastilah umat Islam akan membangunkan
negara atau menyusun masyarakat yang didasarkan atas hukum Allah dan agama
Islam.”12
Islam cocok sebagai dasar negara Indonesia karena menurut Ki Bagus agama ini
memiliki latar belakang sosiologis-historis. Menurutnya agama Islam paling tidak sudah
enam abad menjadi agama bangsa Indonesia, atau setidaknya tiga abad sebelum Belanda
menjajah. Telah banyak hukum Islam yang telah menjadi adat istiadat bangsa Indonesia.
Oleh karena itu menurut Ki Bagus, dasar negara Indonesia harus menyesuaikan dengan
jiwa rakyatnya. “Tuan-tuan harus mengetahui betul jiwa keislaman rakyat.”13 Bahkan
untuk menghayati aspirasi penduduk dalam tataran praktis, Ki Bagus mengusulkan agar
para pemimpin bangsa hendaknya tinggal di desa agar tidak salah merekam aspirasi
penduduk.
11 Ki Bagus Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, dicuplik dalam Mustafa Kemal Pasha, dkk, Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003, hlm. 14. 12 Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997, hlm. 101-102. 13 Ibid.
-
13
Selamilah jiwa rakyat sedalam-dalamnya untuk menjadi dasar tata negara kita, supaya nanti negara kita dapat menjadi negara yang kuat dan sentosa. Tinggallah di desa-desa dan kampung-kampung untuk mengetahui keadaan jiwa dan kehidupan murba (rakyat banyak) yang sebenar-benarnya. Di situ tentu tuan-tuan nanti akan mendapati bahwa rakyat yang terbanyak memang berjiwa Islam.14
Jiwa bangsa Indonesia aktif dan terus-menerus hidup bersemangat. Jiwa yang
demikian oleh Ki Bagus dikatakan semata-mata karena mengandung iman yang andal
dan bersandar pada ajaran Islam yang tertuang dalam kitab suci Al-Quran dan
pemahaman rasional dengan menggunakan ilmu pengetahuan. Iman yang demikian
dicerahkan sedikitnya oleh shalat lima waktu, berpuasa sebulan setiap tahun, dan berani
mengeluarkan zakat dua setengah persen dari hartanya setiap tahun untuk dibagi-bagikan
kepada fakir miskin. Jiwa yang hidup itu menggerakkan aktivitas sosial. Jiwa yang
demikian juga menjadi sumber perjuangan yang mati-matian dalam membela agamanya
serta mempertahankan tanah air dan bangsanya. Ki Bagus mengingatkan bahwa dahulu
para pejuang yang membela negara adalah muslim.
Cobalah tuan-tuan ingat sejarah Indonesia di masa akhir-akhir ini (sebelum 1945). Siapakah yang berani menentang imperialis Belanda? Bukankah Diponegoro. Bukankah Teuku Umar, Imam Bonjol, dan kyai-kyai lainnya yang beliau itu penganjur dan pendekar rakyat yang berpegang teguh kepada Islam serta mendasarkan perjuangannya di atas dasar agama Islam.15
Ki Bagus juga menyoroti bahwa organisasi pergerakan yang cepat memperoleh
sambutan luas dari masyarakat Indonesia di nusantara adalah Sarekat Islam, bukan Budi
Utomo maupun Indische Partai. Hal ini menurut Ki Bagus, jelas bahwa ada pengaruh
agama Islam yang sangat kuat dan mendalam pada rakyat Indonesia. Ki Bagus
menyatakan kekhawatirannya apabila negara ini tidak berdiri di atas agama Islam,
mayoritas penduduk muslim akan bersikap dingin, pasif, dan tidak mengambil peran
yang produktif dalam pembangunan. Ki Bagus menyatakan bahwa Islam tidak hanya 14 Ki Bagus Hadikusumo, Islam sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin, dicuplik Syaifullah, Op.Cit., hlm. 102. 15 Ibid., hlm. 103.
-
14
agama saja tetapi aplikatif sebagai dasar negara dimana di dalamnya mencangkup aturan-
aturan tentang nasionalisme persatuan, ketahanan nasional, ekonomi, pendidikan,
budaya, sosial, serta keadilan, kerakyatan, dan toleransi.
Mengenai persatuan, Ki Bagus menyitir surat Ali Imran 103 dan al-Maidah 3,
“Hendaklah kamu sekalian berpegang teguh dengan tali Allah (agama Islam) dan jangan
kamu sekalian bercerai berai. Ingatlah akan nikmat Allah yang telah diberikan
kepadamu, yaitu dahulu kamu bermusuh-musuhan satu dengan lainnya, tetapi sekarang
Allah berkenan mempersatukan hati kamu sekalian, sehingga dengan nikmat-Nya tadi,
kamu sekalian dapat menjadi saudara seerat-eratnya. “Hendaknya kamu bertolong-
tolongan atas kebaikan dan takwa kepada Allah.” Mengenai ketahanan nasional/ negara,
Ki Bagus mengatakan, “Bangunlah negara ini atas firman-firman Allah, antara lain
dalam surat al-Anfal 62, ash-Shaf 2,3,4,10,11,12, dan 13. Tuan-tuan yang terhormat,
maksud ayat-ayat tersebut sudah jelas, ialah menyuruh kita sekalian bersiap sedia untuk
menolak setiap serangan musuh yang mungkin datang memukul kita, dan menyuruh kita
mencurahkan segala tenaga dan harta benda yang ada pada kita untuk menyediakan
segala kekuatan perang sehingga dapat menegakkan keadilan dan kebenaran...Oleh
karena itu, bangunlah negara ini dengan sendi agama Islam.”16
Mengenai ekonomi, Ki Bagus mengatakan, “berdasarkan firman Allah dalam
surat an-Nahl ayat 14, Allah menyuruh kita mencari rejeki Allah di atas dan di dalam
laut dengan mengusahakan perikanan, pelayaran, pencarian mutiara dan sebagainya.
Dalam konteks ini, masih banyak ayat-ayat yang semakna dengan pengertian
menganjurkan pertanian, pengairan, peternakan, pertenunan, dan sebagainya,
sebagaimana dalam al-Quran surat Ibrahim, an-Nahl, al-Haj, dan lainnya.”17
16 Ibid., hlm. 106-107. 17 Ibid, hlm. 107.
-
15
Dalam keadilan, kerakyatan dan toleransi, Ki Bagus mengatakan, “dalam negara
kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya, satu pemerintahan yang adil dan
bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan
keputusan rakyat, serta luas dan lapang dada, tidak memaksa tentang agama. Jika tuan-
tuan benar-benar menginginkan keadilan, kerakyatan, dan toleransi, maka dirikanlah
pemerintah ini atas dasar Islam, karena Islam mengajarkan masalah tersebut. Allah
berfirman dalam surat an-Nahl 90, an-Nisa 5, Ali Imran 159, asy-Syura 38, dan al-
Baqarah 256.”18
Ki Bagus Hadikusumo menekankan dengan ayat-ayat singkat yang disitirnya dari
ayat al-Quran tersebut di atas, bahwa Islam cakap, cukup, pantas dan patut untuk
menjadi sendi pemerintahan kebangsaan Republik Indonesia. Dalam pidatonya itu Ki
Bagus mengatakan harapannya terhadap negara Indonesia, “Mudah-mudahan negara
Indonesia baru, yang akan datang itu, berdasarkan agama Islam dan akan menjadi negara
yang tegak dan teguh serta kuat dan kokoh. Amin.”19
Perlu dicatat bahwa pidato Ki Bagus yang disampaikan pada tanggal 31 Mei
1945 pukul 15.00 dalam sidang BPUPKI itu merupakan respon atas pidato kelompok
kebangsaan sebelumnya pada 29, 30, dan 31 (pagi) Mei 1945. Perjalanan sejarah
Indonesia akhirnya menetapkan bahwa dasar negara Indonesia yang diterima dalam
sidang BPUPKI adalah Pancasila, istilah yang pertama kali dikenalkan oleh Sukarno
pada pidatonya 1 Juni 1945.20 Pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 ini dapat dikatakan
sebagai usaha mencari titik kompromi antara ide dari golongan kebangsaan dan golongan
Islam, setelah keduanya menyampaikan aspirasi ideologinya masing-masing. Gagasan Ki
Bagus Hadikusumo dalam pidatonya juga mempengaruhi konsep Pancasila Sukarno, 18 Ibid. 19 Ibid., hlm. 108.
20 Arifin Suryo Nugroho, The First Lady: Biografi Fatmawati Sukarno, Yogyakarta: Ombak, 2010, hlm. 100.
-
16
dimana sebelumnya dalam konsep Marhaenisme-nya yang sering disuarakan tidak
termuat sila Ketuhanan. Sehingga dapat dipahami setelah mendengar pidato dari Ki
Bagus Hadikusumo, Sukarno kemudian memasukkan sila Ketuhanan pada urutan yang
kelima.21
Ki Bagus dan Perubahan Piagam Jakarta
Ulama yang berani menentang perintah pimpinan tentara Dai Nippon untuk
memerintahkan umat Islam dan warga Muhammadiyah melakukan upacara kebaktian
tiap pagi sebagai penghormatan kepada Dewa Matahari ini juga terlibat dalam
keanggotaan PPKI, sehingga setelah proklamasi dikumandangkan dan anggota PPKI
diundang untuk mengadakan rapat darurat pada tanggal 18 Agustus 1945, Hadikusumo
juga turut serta. Hasil sidang pada tanggal 18 Agustus 1945 itu memutuskan antara lain:
1. Memilih Presiden dan Wakil Presiden, yang dengan aklamasi menunjuk Bung Karno sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden.
2. Mengesahkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dengan terlebih dahulu diadakan revisi dengan mengacu pertemuan Bung Hatta dan Ki Bagus. a. Naskah Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD 1945 setelah terlebih dahulu
diadakan perubahan pada alinea keempat. Rumusan: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kata-kata “menurut dasar” yang ada diantara sila pertama dan sila kedua dihilangkan.
b. Rancangan Hukum Dasar hasil Panitia Perancang Hukum Dasar yang diketuai Supomo disahkan sebagai UUD 1945 setelah terlebih dahulu diubah, yakni pada: (1). Pasal 29 ayat (1) yang semula berbunyi “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa.” (2). Pasal 6 ayat (1) semula mensyaratkan “Presiden adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam” menjadi “Presiden adalah orang Indonesia asli.”22
Mengenai perubahan kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” dalam Piagam
Jakarta, ada kisah tersendiri antara Hatta dan perwakilan tokoh Islam yaitu Ki Bagus
21 Rumusan Pancasila yang dikemukakan Sukarno secara berurutan adalah Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme ataau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa. Lihat dalam Mustafa Kemal Pasha, dkk, Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003. 22 Mustafa Kemal Pasha, dkk, Ibid., hlm. 35.
-
17
Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, KH A. Wachid Hasyim, dan Kasman
Singodimedjo. Peristiwa itu diawali ketika sore hari, tanggal 17 Agustus 1945, Hatta
menerima telepon dari Juru Bahasa Laksamana Maeda, Nishijima Shigetada, apakah
Hatta mau menerima kedatangan seorang perwira Kaigun yang akan bertemu dirinya
sore itu. Hatta mempersilahkan perwira Kaigun itu bertamu ke rumahnya. Perwira
Angkatan Laut Jepang itu menyampaikan keberatan para tokoh Indonesia bagian Timur
atas pemakaian kata-kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut mereka, meskipun kata-
kata tersebut tidak mengikat agama lain di luar Islam, namun dengan tercantumnya
ketetapan seperti itu di dalam UUD berarti menimbulkan perbedaan golongan. Jika hal
ini tidak dibatasi, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Sejenak diam
berfikir atas ancaman disintegrasi pada bangsanya yang baru merdeka dan ia
perjuangankan berpuluh-puluh tahun, lantas ia berkata kepada perwira itu, “...esok hari
dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan akan kukemukakan masalah yang sangat
penting itu.”23
Kemudian esok paginya tanggal 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI dimulai,
Hatta mengundang keempat tokoh Islam―Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad
Hassan, KH A. Wahid Hasyim dan Kasman Singodimedjo―untuk merundingkan
masalah yang diajukan perwira Kaigun secara pra-formal. Tentang Teuku Muhammad
Hassan bereaksi positif atas usul Hatta, hal itu dapat dipahami karena ia sama sekali
tidak terlibat dalam sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, Sub Panitia 22, maupun Panitia
Tujuh. Mengenai A. Wahid Hasyim tidak hadir dalam pertemuan itu karena ia sedang
dalam perjalanan ke Jawa Timur, sedangkan Kasman Singodimedjo, yang merupakan
anggota tambahan PPKI, menerima undangan mendadak baru pada pagi hari, sehingga
23 Mohammad Hatta, Op.Cit., hlm. 459.
-
18
dapat dimengerti bila dia sama sekali tidak siap untuk berurusan dengan masalah
tersebut. Kasman bukan anggota BPUPKI, bukan pula anggota Panitia Sembilan, Sub-
Panitia 22, maupun Panitia Tujuh. Namun demikian Kasman sangat berperan dalam
melunakkan hati Ki Bagus dalam mempertahankan “kalimat-kalimat Islami” sehingga Ki
Bagus dapat menerima reduksi kalimat-kalimat tersebut.
Ki Bagus Hadikusumo saat itu seakan menanggung seluruh tekanan psikologis
tentang berhasil tidaknya penentuan Undang-Undang Dasar diletakkan pada pundak Ki
Bagus Hadikusumo, sebagai satu-satunya eksponen perjuangan Islam pada waktu itu.
Posisi Ki Bagus dapat dimengerti karena ia anggota BPUPKI, anggota Sub-Panitia 22,
dan anggota PPKI meskipun bukan anggota Panitia Sembilan dan Panitia Tujuh. Hal ini
cukup mendasari bahwa Ki Bagus-lah yang mengetahui pergulatan dalam
memperjuangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu, sehingga sebenarnya ia berat
menyetujui pencoretan tujuh kata yang diperjuangannya dengan beberapa tokoh Islam
sebelumnya.
Pendekatan Hatta saat itu berpegang pada pernyataan Sukarno bahwa UUD 1945
hanya bersifat sementara dan nantinya akan dibuat lagi Undang-Undang yang lebih
lengkap, umat Islam boleh menyampaikan aspirasinya, serta mengingat pentingnya
persatuan dan kesatuan bangsa.24 Peran Kasman Singodimedjo untuk melunakkan dan
mempengaruhi Ki Bagus agar menerima usulan Hatta sangat besar. Melalui pendekatan
pribadi dan pendekatan Muhammadiyah. Persetujuan Ki Bagus berhasil didapat setelah
Kasman menyatakan bahwa rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai pengganti
tujuh kata tersebut mengandung konsep tauhid yang diyakini oleh umat Islam, yaitu
keyakinan terhadap Allah SWT.25 Kasman membangun logika keamanan negara yang
24 Ibid., hlm. 459-460. 25 A. Hafizh Dasuki, dkk., Op.Cit., hlm. 315.
-
19
sedang terancam. Dan Kasman juga meyakinkan kepada Ki Bagus bahwa jika keadaan
sudah aman akan diperjuangkan lagi, “bukankah undang-undang ini sifatnya
sementara?”26
Sebenarnya dalam hal ini Hadikusumo masih berbeda pendapat namun tidak mau
menyampaikan langsung karena takut akan terjadi perpecahan antara orang Indonesia
sendiri. Kegelisahan dan ketidaksetujuannya di hari kemudian ia sampaikan pada
Kasman Singodimejo, yang awal mulanya juga mendorong Hadikusumo untuk
menerima usul Hatta. Atas ketidaksetujuannya terhadap pendapat Sukarno dan Hatta
dalam sidang PPKI, Hadikusumo kemudian menulis kawat kepada Majelis Tanwir
Muhammadiyah yang pada waktu itu mengadakan sidang di Yogyakarta. Ia meminta
agar sidang jangan selesai sebelum dia sampai di Yogyakarta, dalam sidang itulah
kemudian dia menyampaikan ketidaksetujuannya atas pengesahan UUD 1945. Ia pun
mengingatkan kepada Majelis Tanwir, dan secara tidak langsung umat Islam di
Indonesia, bahwa perjuangan belum selesai dan umat Islam masih terus bersiap segala
tantangan pada masa berikutnya.
Di kemudian hari Kasman Singodimedjo mengatakan dengan mata berkaca-kaca,
bahwa ia sangat berdosa karena dialah orang kunci yang melunakkan hati Ki Bagus
ketika bertahan pada tujuh kata anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Yang ia sesalkan ternyata bukan hanya dalam
Pembukaan UUD yang dicoret, tetapi juga dilakukan koreksi di berbagai batang tubuh
UUD yang berbau tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut.27
Pergulatannya di Muhammadiyah
26 Syaifullah, Op.Cit., hlm. 124. 27 Ibid.
-
20
Duduknya Hadikusumo di kursi ketua umum Muhammadiyah menggantikan
posisi KH. Mas Mansyur. Proyeksi Hadikusumo sebagai ketua umum PB
Muhammadiyah sudah sejak konggres Muhammadiyah ke-26 tahun 1937. Pada konggres
ke-29, Hadikusumo dan Mas Mansyur sama-sama menjadi kandidat ketua umum. Saat
itu Mas Mansyur terpilih sebagai Ketua Umum sedangkan Hadikusumo masuk dalam
jajaran Pengurus Besar. Ki Bagus Hadikusumo kemudian dipercaya menjadi ketua
umum PB Muhammadiyah sampai tahun 1953.
Karier Hadikusumo di Muhammadiyah sebelum ketua umum adalah ketua
Majelis Tablig pada tahun 1922, ketua Majelis Tarjih, dan anggota Komisi Majelis
Pendidikan Muhammadiyah. Selain itu juga pernah menjabat sebagai hoofdbestuur
(pengurus tertinggi) Muhammadiyah tahun 1926 yang bertugas melengkapi putusan
Konggres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya khususnya tentang materi Konggres
Masyarakat Pendidikan Muhammadiyah.28
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ki Bagus Hadikusumo berada dalam periode
Revolusi Kemerdekaan Indonesia, sehingga arah kembang dan perjuangan organisasi ini
mengikuti jiwa jamannya. Muhammadiyah dituntut aktif ambil bagian dalam membela
dan mempertahankan kemerdekaan negara Indonesia yang baru berdiri itu. Hal ini
tercermin dalam khotbah iftitah muktamar I sesudah kemerdekaan RI pada 1950,
Muhammadiyah menyatakan:
Rasa kebangsaan, rasa keagamaan, rasa kenasionalan, dan bahwa kejayaan agama Islam hanya dapat dicapai di negara Indonesia yang merdeka, tidak pernah hilang dan tiada pernah lepas dari tiap keluarga Muhammadiyah. Meskipun tidak berpolitik, yang menjadi tujuan Muhammadiyah adalah sama dengan yang menjadi tujuan tiap golongan putra-putra tanah air, yaitu berjasa untuk tanah air dan bangsa dengan dorongan iman dari agamanya, agar bangsanya berbudi luhur dan tanah airnya kelak beroleh kedudukan mulia dan terhormat, sejajar dengan bangsa-bangsa lain.29
28 Ibid., hlm. 146. 29 Abdul Munir Mulkan dan Sukriyanto (Ed.), Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985, hlm. 213.
-
21
Jelas dari pidato di atas bahwa Muhammadiyah menginginkan Indonesia yang
sejajar dengan negara maju, tetapi tetap terbingkai dengan nilai-nilai moral. Pada
permulaan kemerdekaan itu pula Muhammadiyah memberi instruksi kepada cabang-
cabangnya di Jawa-Madura, yang isinya seluruh anggota Muhammadiyah harus turut
bekerja untuk meluhurkan serta menegakkan ajaran Islam dan negara Republik
Indonesia. Saat itu instruksi baru dapat disampaikan di cabang Jawa-Madura karena
komunikasi dengan cabang-cabang luar Jawa terputus akibat masa penjajahan Jepang.
Para pemimpin Muhammadiyah yang dikomandoi Ki Bagus Hadikusumo
berpendapat bahwa dalam revolusi fisik, setiap orang harus dapat mendahulukan mana
yang lebih penting dan mana yang dapat segera dikerjakan. Oleh karena itu, pada masa
revolusi fisik, penanganan pengembangan pendidikan dan sosial dinomor-duakan karena
sumber daya manusia yang dimiliki Muhammadiyah banyak yang terserap revolusi, baik
ikut dalam pertempuran ataupun ikut duduk dalam pemerintahan.
Untuk menyelaraskan perjuangan dalam bidang militer dengan perjuangan dalam
bidang spiritual, kehadiran Panglima Besar Jenderal Sudirman dalam pengajian anggota
pimpinan Muhammadiyah setiap malam Selasa di Kauman Yogyakarta besar artinya
bagi Muhammadiyah karena dalam kesempatan itu Jenderal Sudirman selalu
menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan perjuangan umat Islam. Jenderal Sudirman
sering menjadi pengisi acara pengajian itu dengan didampingi Ki Bagus Hadikusumo.30
Ketika terjadi agresi militer Belanda I di Yogyakarta pada 21 Juli 1947 pukul
00.00, ulama-ulama Muhammadiyah ikut membantu perjuangan para tentara Repubik
Indonesia. Para ulama membuka markas di Mesjid Taqwa di Kampung Suranatan,
kampung seberang Kauman. Di sana selain membicarakan tentang strategi melawan
musuh, juga diadakan rapat persiapan menghadapi perang. Ki Bagus Hadikusumo hadir
30 Syaifullah, Op.Cit., hlm. 130-131.
-
22
dalam pertemuan itu selain beberapa ulama seperti KH Mahfudz, KH Hadjid, KH
Badawi, KH Abdul Azis, Kyai Djohar, KH Djuremi, juga Jenderal Sarbini. Kemudian
dibentuklah Angkatan Perang Sabil (APS) yang susunan pemimpinnya Ki Bagus
Hadikusumo (Penasihat), KH Mahfudz (Imam), KH Hadjid (Ketua), dan KH Badawi
(Wakil Ketua). Pembentukan APS dilaporkan kepada Jenderal Sudirman juga Sultan
Hamengkubuwono IX. Jenderal Sudirman kemudian mengirimkan beberapa anak
buahnya untuk memberikan latihan militer. Begitulah perjuangan Ki Bagus Hadikusumo
dan Muhammadiyah pada masa revolusi fisik.
Di bawah pimpinan Hadikusumo, Muhammadiyah juga mulai menyusun
mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang nantinya menjadi dasar ideologis
organisasi Muhammadiyah. Hal tersebut menginspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah
lainnya, di antaranya Hamka. Hamka menjadikan muqaddimah tersebut untuk
merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah, yaitu Matan Kepribadian
Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah.31
Ki Bagus Menutup Usia
Setelah Indonesia merdeka, Ki Bagus Hadikusumo konsisten berjuang di dalam
partai politik yang berorientasi religius. Kiprahnya berlanjut di Masyumi. Ia bersama
dengan KH. Abdul Wahab terpilih menjadi penasehat Masyumi. Hadikusumo juga
terpilih sebagai Ketua Muda I Majelis Syuro (Dewan Pertimbangan Partai) Pimpinan
Pusat Masyumi untuk masa bakti 1945-1949. Sedangkan untuk masa kepengurusan
1949-1951 Hadikusumo menjadi salah seorang anggota Pimpinan Pusat Masyumi. Tidak
hanya dalam bidang politik, amalnya untuk bangsa ini ia salurkan juga dalam bidang
pendidikan dengan mengajar di Kweekschool Muhammadiyah.
31 http://www.muhammadiyah.or.id/diakses tanggal 3 Mei 2010
-
23
Di akhir kariernya, Ki Bagus Hadikusumo menulis sebuah buku berjudul Islam
sebagai Dasar Negara dan Akhlak Pemimpin yang diterbitkan tahun 1954 oleh penerbit
Pustaka Rahayu yang ada di Yogyakarta.32 Buku tersebut berisi tentang pengalamannya
menjadi anggota BPUPKI saat berhadapan dengan golongan nasionalis sekuler. Buku
tersebut menjadikan Hadikusumo bebas menyampaikan pendapatnya, terutama dalam
pergulatan dirinya dalam perumusan dasar negara Indonesia. Hatinya masih menyimpan
kegelisahan bahwa Indonesia memiliki umat Islam terbanyak tetapi hukum Islam justru
tidak bisa ditegakkan. Sebelumnya ia juga menulis buku dalam bahasa Jawa yang
berjudul Risalah Katresnan Jati yang diterbitkan pada tahun 1935, dan dicetak ulang
pada tahun 1936, 1940, 1941, 1954.
Setelah Indonesia merdeka, Ki Bagus Hadikusumo turut memprakarsai dan
duduk sebagai penasehat Markas Ulama dan Laskar Angkatan Perang Sabil (MU-LAPS),
sebuah wadah sosial keagamaan semi militer yang berdiri pada 23 Juli 1948. Ulama
nasionalis yang lahir pada 24 November 1890 ini wafat pada tanggal 3 September 1954
dalam usia 64 tahun. Pada tanggal 9 November 1995, 41 tahun setelah berpulang kepada
Sang Khalik, Ki Bagus Hadikusumo dianugerahi Bintang Republik Indonesia Utama dari
pemerintah Republik Indonesia atas jasanya sebagai salah satu perancang pembukaan
UUD 1945.
32 A. Hafizh Dasuki, dkk, Op.Cit, hlm. 148.
-
24
DAFTAR PUSTAKA
Dault, Adhyaksa, Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks
Nasional, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005, Hadikusuma, Djarnawi, Matahari-Matahari Muhammadiyah, Yogyakarta: Persatuan, tt. Hafizh Dasuki, A. dkk., Suplemen Ensiklopedi Islam 1, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996. Hatta, Mohammad, Memoir, Jakarta: Tintamas, 1979. Mulkan, Abdul Munir dan Sukriyanto (Ed.), Perkembangan Pemikiran Muhammadiyah
dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Dua Dimensi, 1985. Monks, F.J., Knoers, A.M.P., dan Siti Rahayu Haditono, Psikologi Perkembangan,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002.
Nakamura, Mitsuo, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin (terj.), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983.
Nugroho, Arifin Suryo, The First Lady: Biografi Fatmawati Sukarno, Yogyakarta: Ombak, 2010.
Pasha, Mustafa Kemal, dkk, Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis,
Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2003. Puar, Yusuf Abdullah, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, Jakarta: Pustaka
Antara, 1989.
Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.
http://www.muhammadiyah.or.id/diakses tanggal 3 Mei 2010