Kewajiban Dan Hak Pasien

download Kewajiban Dan Hak Pasien

of 101

Transcript of Kewajiban Dan Hak Pasien

100

KEWAJIBAN DAN HAK ANTARA PASIEN DENGAN RUMAH SAKIT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT

Supeno, S.H., M.H.Staf Pengajar Stikes MeranginABSTRAKUndang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit ditetapkan untuk mengatur penyelenggaraan Rumah Sakit di Indonesia, salah satu pertimbangan ditetapkannya undang-undang ini adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan rumah sakit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengkritisi pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit serta menganalisis apakah pengaturan tentang kewajiban dan hak tersebut telah memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit melalui penelitian normatif yaitu mengkaji norma-norma dalam hukum positif dengan menggunakan pendekatan konseptual, perundang-undangan dan sejarah. Dari penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa undang-undang ini belum mengatur secara lengkap tentang kewajiban rumah sakit, kewajiban dan hak pasien, dengan demikian undang-undang ini belum sepenuhnya memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit. Diharapkan agar perlu adanya pengkajian agar undang-undang ini dapat memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit serta perlu dilakukan pembaharuan terhadap undang-undang ini sebagai bagian dari upaya pembaharuan hukum nasional.Kata kunci: Pengaturan kewajiban dan hak merupakan unsur penting dalam upaya memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang MasalahManusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT diamanatkan untuk menjalin hubungan yang baik dengan sang Khalik dan menjalin hubungan yang baik dengan sesama manusia. Dalam konteks hubungan sesama manusia, manusia disebut makhluk sosial di mana manusia tidak bisa hidup tanpa bantuan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, demikian pula dalam upaya untuk mendapatkan kondisi kesehatan yang prima maka seseorang membutuhkan bantuan dari orang lain yang mempunyai kemampuan dalam bidang kesehatan yaitu tenaga kesehatan. Untuk dapat melakukan upaya kesehatan tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.Kesehatan merupakan kebutuhan yang penting dan mendasar bagi setiap manusia, kebutuhan akan kesehatan meliputi kehidupan manusia sepanjang hayat, jika tidak didukung oleh kondisi kesehatan yang baik maka manusia tidak dapat menjalankan segala aktivitas kehidupannya dengan baik pula, oleh karena masalah kesehatan merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia maka setiap orang berhak untuk hidup sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan serta setiap orang mempunyai kesempatan yang sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan. Kesempatan memperoleh pelayanan kesehatan dijamin oleh konstitusi Indonesia yang termuat dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 hasil amandemen kedua yang mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dengan demikian setiap warga Negara Indonesia dijamin haknya untuk hidup sehat dan untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pelayanan kesehatan, artinya hak untuk hidup sehat dan untuk memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali yang harus dihormati oleh setiap orang dan pemerintah wajib melindungi hak warga negara tersebut. Hak atas kesehatan dipertegas lagi dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang mengatur bahwa Setiap orang berhak atas kesehatan. Hal tersebut dapat diartikan adanya penegasan pentingnya perlindungan hak atas kesehatan bagi semua orang. Di samping itu kesehatan juga merupakan kewajiban setiap orang untuk berperilaku hidup sehat sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 11 yang mengatur bahwa setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. Atas dasar ketentuan di atas maka masalah kesehatan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tenaga kesehatan dan sarana kesehatan akan tetapi menjadi tanggung jawab setiap orang agar kehidupan manusia menjadi berkualitas.Jika ditinjau secara khusus, kesehatan menyangkut semua segi kehidupan manusia dan ruang lingkupnya sangat luas, dalam sejarah perkembangannya telah terjadi perubahan orientasi pemikiran mengenai upaya pemecahan masalah kesehatan, proses perubahan tersebut sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan sosial budaya masyarakat sehingga upaya kesehatan tidak hanya sekedar penyembuhan saja akan tetapi menyangkut upaya-upaya yang luas, menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia bahwa upaya-upaya kesehatan tersebut menyangkut upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.[footnoteRef:2] Dengan demikian kesehatan tidak hanya proses penyembuhan saja setelah timbulnya penyakit akan tetapi juga mencakup upaya peningkatan kondisi kesehatan, upaya pencegahan kemungkinan timbulnya penyakit yaitu upaya menghindari penyebab timbulnya suatu penyakit dan upaya memulihkan kondisi kesehatan setelah menderita sakit. [2: Depkes RI, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1987, hal.3.]

Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan yang disebut tenaga kesehatan adalah:a. tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigib. tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidanc. tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.d.tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomology kesehatan, mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitariane.tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisienf.tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicarag. tenaga keteknisian medis meliputi radiographer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan perekam medis. Untuk menjadi tenaga kesehatan harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan, pengetahuan dan ketrampilan tersebut diperolah dari lembaga pendidikan kesehatan sesuai dengan program studi yang dikembangkan oleh lembaga pendidikan yang dibuktikan kepemilikan ijazah, dan untuk dapat melakukan upaya kesehatan tenaga kesehatan harus memiliki izin dari pejabat yang berwenang. Tuntutan masyarakat terhadap tenaga kesehatan tidak hanya menyangkut tersedianya tenaga kesehatan saja akan tetapi seiring dengan kemajuan tingkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat maka tenaga kesehatan harus memiliki kualifikasi bidang keahlian dan faktor penting lainnya yaitu sumber daya tenaga kesehatan yang berkulitas, fasilitas pelayanan kesehatan, tekhnologi alat kesehatan serta informasi publik. Sumber daya untuk menunjang kesehatan dapat berasal dari pemerintah dan masyarakat dan masalah penyelenggaraan upaya kesehatan merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.Sarana kesehatan yang diselenggarakan oleh pemerintah berupa rumah sakit pemerintah, puskesmas, puskesmas pembantu, polindes, bidan desa, sumber pembiayaannya berasal dari pemerintah, sedangkan sumber daya kesehatan yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah rumah sakit swasta, dokter praktik swasta baik perorangan maupun praktik bersama, Bidan Praktik Swasta (BPS) dan sebagainya, terjaminnya upaya kesehatan yang baik sangat tergantung kepada upaya pembinaan sumber daya kesehatan yang baik pula. Pelayanan kesehatan (health care services) merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan derajat kesehatan baik perseorangan, maupun kelompok atau masyarakat secara keseluruhan.[footnoteRef:3] [3: Lihat Veronica Komalawati, Aspek Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan : Suatu Kajian, Jurnal Hukum Bisnis, hal.17.]

Menurut Bambang Giatno, Kepala Badan PPSDM Kesehatan Republik Indonesia menyatakan bahwa arah pembinaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan adalah tenaga kesehatan yang berkualitas, tenaga kesehatan yang beretika dan berdedikasi, merata dalam jumlah dan jenis yang memadai.[footnoteRef:4] Permasalahan tenaga kesehatan yang kurang berkualitas dan kurang beretika menjadi isu yang mengemuka akhir-akhir ini, banyak kasus terjadinya kesalahan tindakan medik dikarenakan tidak mampunya tenaga kesehatan melakukan pertolongan sesuai dengan standar yang ditetapkan, dalam kasus lain juga ditemukan kurangnya etika tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat seperti kurang ramah terutama terhadap pasien miskin, suka marah dan berbicara kurang sopan. Oleh karena itu arah pembinaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan tersebut harus menjadi agenda utama pembinaan sumber daya kesehatan agar tenaga kesehatan memiliki kualitas keilmuan dan ketrampilan, beretika dan berdedikasi. [4: Bambang Giatno, Kebijakan DEPKES Dalam Pengadaan Sumber Daya Manusia (SDM) Bidan, Kongres XIV IBI, Padang, 3 Nopember 2008.]

Menurut Endang Kusuma Astuti bahwa tenaga kesehatan yang berkualitas diukur dari standar profesi yang telah dirumuskan oleh organisasi profesi (IDI) yaitu standar ketrampilan, standar sarana, standar perilaku dan standar catatan medis.[footnoteRef:5] [5: Endang Kusuma Astuti, Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit, PT. Citra Aditya Bhakti, Semarang, 2009, hal.33.]

Dewasa ini ada kecenderungan terjadinya pergeseran fungsi rumah sakit dari fungsi moral dan sosial ke orientasi bisnis yang memicu rumah sakit cenderung mengejar keuntungan dan kurang mempertimbangkan faktor moral, kemanusiaan dan sosial, praktiknya upaya kesehatan baru dapat dilaksanakan jika telah memenuhi syarat administrasi dan jaminan kepastian mampu membayar biaya pengobatan. Hal inipun berpengaruh kepada mutu pelayanan, jika pasien memiliki jaminan mampu untuk membayar biaya pengobatan akan mendapatkan respon positif dan akan mendapatkan pelayanan yang prima dari tenaga kesehatan, akan tetapi jika pasien orang yang tidak mampu maka kurang mendapat pelayanan yang baik, hal inilah yang menunjukkan terjadinya pergeseran fungsi rumah sakit dari fungsi moral dan sosial menjadi fungsi komersil.Dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan yang merata dalam jumlah dan jenis yang memadai dapat ditempuh dengan cara menyelenggarakan pendidikan tenaga kesehatan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat, dengan mencetak tenaga kesehatan maka diharapkan penyebaran tenaga kesehatan akan merata. Dalam hal ini masyarakat merasakan kurangnya tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan karena banyak tenaga kesehatan yang enggan bertugas di daerah-daerah yang terpencil yang sebenarnya sangat membutuhkan tenaga kesehatan terutama dokter, permasalahan lain adalah fasilitas kesehatan dan biaya alat kesehatan yang relatif mahal. Pemerintah berusaha menyediakan dana dan melakukan kontrol terhadap barang dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara memaksimalkan akses barang dan/atau jasa termasuk biaya kesehatan, menurut Elfindri kontrol pemerintah terhadap barang dan jasa pelayanan kesehatan dilakukan atas dasar pertimbangan penting yakni menghindarkan salah alokasi dalam pembiayaan, menjaga agar tidak terjadi ketimpangan pembiayaan, menghindari agar tidak terjadi pemborosan, dan menghindari pembengkakan pembiayaan.[footnoteRef:6] Akan tetapi upaya ini belum secara maksimal dapat dilaksanakan oleh pemerintah yang mengakibatkan banyak rumah sakit pemerintah tidak memiliki peralatan yang memadai sesuai dengan tuntutan akan kebutuhan pelayanan kesehatan masyarakat dewasa ini. [6: Elfindri, Ekonomi Layanan Kesehatan, Andalas Press, Padang, 2003, hal.27.]

Permasalahan lain adalah tentang kualitas tenaga kesehatan masih menjadi keluhan banyak orang, tenaga kesehatan yang tersedia masih dirasa kurang memenuhi kualifikasi keahlian, hal ini menunjukkan sistem pendidikan kesehatan dinilai belum berjalan secara maksimal dan sistem rekrutmen tenaga kesehatan perlu dievaluasi kembali, karena jika tidak ditindaklanjuti sejak dini dikawatirkan tingkat kesalahan dan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan akan semakin meningkat dan dapat merugikan masyarakat, petugas kesehatan maupun sarana kesehatan itu sendiri. Dengan adanya perkembangan yang pesat dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kesehatan yang dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat, maka pemerintah membuka kesempatan yang besar kepada tenaga kesehatan untuk membuka bisnis di bidang pelayanan kesehatan baik perseorangan maupun secara bersama-sama. Kesempatan ini sangat bermanfaat karena dapat membantu pemerintah dalam upaya membuka akseskesehatan yang lebih besar kepada masyarakat akan kebutuhan kesehatan, di sisi lain dengan dibukanya bisnis layanan kesehatan diharapkan dapat memberikan pelayanan yang bermutu, cepat dan terjangkau oleh masyarakat luas di samping bertujuan meningkatkan pendapatan bagi tenaga kesehatan dan masyarakat itu sendiri.Menurut Richard Burton Simatupang sebagaimana dikutip oleh Johannes Ibrahim dan Lindawati Sewu mendefinisikan bisnis adalah:

Sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan secara teratur dan terus menerus, yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjual belikan, dipertukarkan, atau disewagunakan dengan tujuan mendapatkan keuntungan.[footnoteRef:7] [7: Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia Modern, PT.Refika Aditama, Bandung, 2007, hal.25.]

Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian bisnis adalah Usaha dagang, usaha komersial dalam dunia perdagangan.[footnoteRef:8] Jika dianalisis dari kedua pengertian bisnis tersebut maka bisnis mengandung unsur-unsur sebagai beriku: [8: Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT.Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hal.138.]

1. Adanya suatu kegiatan2. Dilakukan oleh orang atau badan3. Dilakukan secara teratur dan terus menerus4. Bergerak dalam bidang barang dan/atau jasa5. Perdagangan6. Komersil/keuntungan Bisnis layanan kesehatan dewasa ini pada dasarnya juga bertujuan untuk mendapatkan nilai ekonomi/komersil disamping tujuan sosial dari pelayanan jasa kesehatan yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan, tenaga kesehatan akan melakukan upaya kesehatan yang disepakati dengan pasien dan dari upaya tersebut tenaga kesehatan akan mendapatkan imbalan jasa, yang unik dalam transaksi pelayanan jasa kesehatan adalah bahwa imbalan jasa ini tidak dihubungkan dengan hasil (sembuh/tidak sembuh) dari upaya yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tetapi adalah mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien tersebut. Menurut Bahder Johan Nasution Jadi menurut hukum, objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.[footnoteRef:9] Dokter tidak dapat menjamin kesembuhan bagi pasien akan tetapi dokter wajib melakukan upaya semaksimal mungkin untuk kesembuhan pasien. [9: Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal.11.]

Bisnis dalam kesehatan merupakan suatu hal yang wajar dilakukan karena semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Alexandra Indriyanti Dewi menyatakan Banyak rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang benar-benar memanfaatkan lembaganya sebagai mesin penghasil uang, dengan alasan fungsi ekonomi.[footnoteRef:10] Dengan demikian sarana kesehatan dewasa ini pada umumnya dapat dikategorikan sebagai bentuk lembaga bisnis yang menyelenggarakan praktik untuk mendapatkan nilai ekonomis di samping nilai sosial. [10: Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, Pustaka Book Publisher, Jakarta, 2008, hal.299.]

Bisnis bidang layanan kesehatan dewasa ini berkembang begitu pesat, hal tersebut menunjukkan adanya iklim yang baik dalam bisnis layanan kesehatan ditunjang dengan semakin baiknya tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan, dengan demikian diharapkan akses masyarakat terhadap pusat layanan kesehatan menjadi lebih besar. Walaupun demikian bukan berarti kesempatan tersebut dengan mudah diperoleh akan tetapi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan oleh pemerintah berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, dan karena biasanya yang membuka bisnis layanan kesehatan ini adalah dokter maka perlu juga adanya pengawasan dari organisasi profesi karena praktik yang dilakukan dalam layanan kesehatan sangat erat hubungannnya dengan profesi kedokteran.Dalam hal ini perlu diketahui juga tentang profesi, menurut Wirjonodjojo Basoeki sebagimana dikutip oleh Hendrojono Soewono bahwa ciri-ciri profesi memiliki batasan sebagai berikut:

1. Sebagai penguasaan sistem tentang keahlian;2. Melalui pendidikan khusus yang lama;3. Pekerjaan full-time4. Menunjukkan pada dedikasi dan pelayanan pada masyarakat;5. Mempunyai monopoli tentang kehliannya;6. Menjunjung tinggi koliagilitas;7. Mengatur dan mengontrol diri sendiri melalui etik dan moral.[footnoteRef:11] [11: Hendrojono Soewono, Perlindungan Hak-hak Pasien dalam Transaksi Terapeutik, Srikandi, Surabaya, hal.18.]

Dengan demikian suatu profesi harus mempunyai keahlian, melalui pendidikan khusus, dilakukan secara terus menerus, berhubungan dengan orang banyak, kolegalitas dalam ikatan profesi dan memiliki kode etik. Suatu profesi juga terikat berbagai peraturan baik yang ditetapkan oleh pemerintah maupun yang dikeluarkan oleh organisasi profesi, bisnis layanan kesehatan dan harus memenuhi persyaratan administratif, memiliki sarana dan sumberdaya kesehatan yang memadai. Dari unsur-unsur profesi tersebut maka pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan pada umumnya adalah suatu profesi, suatu profesi biasanya menjadi anggota ikatan profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Persatuan Perawat Seluruh Indonesia (PPNI). Salah satu tugas ikatan profesi adalah menetapkan kode etik profesi dan menindak anggota profesi jika melanggar kode etik profesi. Menurut M.Yusuf Hanafiah dan Amri Amir bahwa Etika profesi yang tertua adalah etik kedokteran, yang merupakan prinsip-prinsip moral atau asas-asas akhlak yang harus diterapkan oleh para dokter dalam hubungannya dengan pasien, teman sejawatnya dan masyarakat umumnya.[footnoteRef:12] Lebih lanjut M.Yusuf Hanafiah dan Amri Amir menyatakan bahwa pekerjaan profesi kesehatan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: [12: M.Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC, Medan, 1998, hal.2.]

1. Mengikuti pendidikan sesuai dengan dengan standar nasional2. Pekerjaan berlandaskan etik profesi3. Mengutamakan panggilan kemanusiaan daripada keuntungan4. Pekerjaannya legal melalui perizinan5. Anggota-anggotanya belajar sepanjang hayat6. Anggota-anggotanya bergabung dalam suatu organisasi profesi.[footnoteRef:13] [13: Ibid.]

Permasalahan etika profesi sangat penting untuk menjadi perhatian dan pegangan bagi para tenaga kesehatan karena dengan berpedoman kepada etika profesi dapat terhindar dari kemungkinan terjadinya kesalahan dan kelalaian dalam menjalankan tugas keprofesiannya. Produk perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang mengatur tentang kesehatan ataupun yang berhubungan dengan kesehatan cukup banyak dari tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri kesehatan dan keputusan menteri kesehatan hal ini menunjukkan bahwa permasalahan kesehatan merupakan salah satu hal penting yang harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah karena permasalahan kesehatan sangat kompleks dan dinamis dan menyangkut hajat hidup orang banyak.Dalam pelaksanaan bisnis layanan kesehatan sudah tentu akan terjadi hubungan antara tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan dengan pengguna jasa kesehatan (pasien), pasien membutuhkan pelayanan kesehatan untuk menangani penyakit yang dideritanya dan tenaga kesehatan dan/ atau sarana kesehatan membutuhkan pasien untuk melakukan upaya kesehatan dan dari upaya kesehatan tersebut maka tenaga kesehatan dan/ atau sarana kesehatan akan mendapatkan imbalan jasa, dengan adanya hubungan tersebut mengakibatkan munculnya kewajiban dan hak dari kedua belah pihak.Hal penting yang perlu disoroti dalam konteks ini adalah tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan Rumah Sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, kewajiban dan hak tersebut menjadi isu sentral dalam beberapa waktu belakangan ini, pasien sebagai pemakai jasa menjadi pihak yang sering dirugikan jika terjadi permasalahan dalam hubungan antara pasien dan dokter, demikian pula sebaliknya rumah sakit menjadi pihak yang sering dipersalahkan dalam pemberian pelayanan kesehatan. Intensitas gugatan terhadap pelayanan tenaga kesehatan terutama dokter dan rumah sakit semakin meningkat, M.C. Inge Hartini menyatakan sebagaimana yang dikutip oleh Muladi bahwa:

Dalam majalah Tempo edisi Maret 2004 serangkaian gugatan pasien terhadap dokter maupun rumah sakit muncul ke permukaan. Tampaknya fenomena ini akan semakin meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan dan kesadaran masyarakat akan hak-haknya.[footnoteRef:14] [14: Muladi, Hak Asasi Manusia, Refika Aditama, Bandung, 2009, hal.186.]

Permasalahan kewajiban dan hak antara pasien dan rumah sakit menjadi suatu permasalahan yang perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar dari semua kalangan karena permasalahan ini menyangkut kepentingan orang banyak, semakin tinggi tingkat pendidikan dan kesadaran masyarakat semakin tinggi pula intensitas gugatan oleh pasien terhadap rumah sakit. Bahder Johan Nasution menyatakan bahwa:

Munculnya kasus-kasus di bidang kesehatan merupakan indikasi bahwa kesadaran hukum masyarakat semakin meningkat. Semakin sadar masyarakat akan aturan hukum semakin mengetahui mereka akan hak dan kewajibannya dan semakin luas pula suara-suara yang menuntut agar hukum memainkan peranannya di bidang kesehatan.[footnoteRef:15] [15: Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.4.]

Pada tanggal 28 Oktober 2009 telah disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153), beberapa pertimbangan disahkannya undang-undang ini adalah dalam rangka meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan rumah sakit serta pengaturan hak dan kewajiban masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dan untuk memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan rumah sakit. Di dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit tersebut diatur tentang kewajiban dan hak rumah sakit dan pasien, kewajiban rumah sakit diatur dalam pasal 29, hak rumah sakit diatur dalam pasal 30, kewajiban pasien diatur dalam pasal 31 dan hak pasien diatur dalam pasal 32. Jika dicermati tentang pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit tersebut ada beberapa hal yang peneliti kritisi yaitu:1. Pasal 29 yang mengatur tentang kewajiban rumah sakit tidak diatur kewajiban rumah sakit untuk mengganti tenaga kesehatan yang tidak memiliki kompetensi dalam memberikan pelayanan medik terhadap pasien di rumah sakit setelah mendapat keluhan dari pasien, tidak diatur kewajiban rumah sakit untuk menyediakan ruang khusus bagi penderita penyakit yang berbahaya bagi pasien lain (ruang isolasi).2. Pasal 31 ayat (1) hanya mengatur bahwa setiap pasien mempunyai kewajiban terhadap rumah sakit atas pelayanan yang diterimanya dan ayat (2) menegaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pasien diatur dengan peraturan menteri. 3. Pasal 32 yang mengatur tentang hak pasien tidak diatur tentang hak pasien untuk menerima atau menolak dijadikan objek percobaan penggunan obat dan/atau alat kesehatan, hak untuk menolak dirawat oleh tenaga kesehatan yang tidak memiliki kompetensi, hak pasien untuk menghentikan upaya pengobatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit, hak pasien untuk menerima isi rekam medik miliknya dan hak pasien untuk meminta dirujuk ke rumah sakit lain.Dengan kondisi demikian maka peneliti akan melakukan analisis dan kritik, dengan analisis dan kritik tersebut diharapkan akan dilakukan penyempurnaan terhadap undang-undang ini terutama ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit, dengan dilakukannya penyempurnaan terhadap pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit. Menurut Bahder Johan Nasution Dalam rangka pembangunan sektor kesehatan yang demikian kompleks dan luas, sangat dirasakan, bahwa peraturan perundang-undangan yang mendukung upaya kesehatan perlu lebih disempurnakan dan ditingkatkan.[footnoteRef:16] Penyempurnaan tersebut penting untuk dilaksanakan karena permasalahan kesehatan sangat kompleks dan sangat luas apalagi dalam era globalisasi dewasa ini, posisi bidang kesehatan menurut WTO/GATS menyatakan antara lain bahwa profesi dokter dan dokter gigi saat ini termasuk dalam sektor jasa bisnis.[footnoteRef:17] [16: Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal.3.] [17: www. STADTAUS.com, Perlindungan Konsumen Kesehatan Berkaitan Dengan Malpraktik Medik, diakses tanggal 7 Juni 2010. ]

B. Rumusan MasalahBerdasarkan hal-hal yang telah diungkapkan di atas, maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut:1. Bagaimana pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit ?2. Apakah pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit telah memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit?

C. Tujuan PenelitianTujuan yang ingin dicapai dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Untuk mengetahui dan menganalisis terhadap ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.2. Untuk menganalisis dan mengkritisi apakah ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 telah memberikan kepastian hukum bagi pasien dan rumah sakit.

D. Manfaat PenelitianPenelitian ini diupayakan akan memberikan manfaat bagi semua pihak yang mempunyai hubungan dengan layanan kesehatan baik teoretis maupun praktis, manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:1. Secara Akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum khususnya tentang hukum kesehatan.2. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kepada pasien dan rumah sakit tentang pentingnya memahami kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit.3. Sebagai acuan bagi kegiatan penelitian khususnya penelitian di bidang hukum kesehatan, baik bagi para akademisi maupun peneliti lainnya.

E. Metode Penelitian 1. Tipe PenelitianSebagai konsekuensi pemilihan topik yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum tentang kewajiban dan hak pasien dan rumah sakit, maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian juridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji kaedah-kaedah atau norma-norma dalam hukum positif. 2. Pendekatan Yang digunakanDikarenakan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka pendekatan yang akan digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach) yaitu dengan cara meneliti teori-teori dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit. Dan pendekatan perundang-undangan (normative approach) dengan cara meneliti ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang kewajiban dan hak pasien dan Rumah Sakit yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit serta pendekatan sejarah (historical approach) yaitu dengan cara mempelajari sejarah rumah sakit.3. Pengumpulan Bahan Hukum Bahan-bahan hukum yang telah diperoleh akan diinventarisir dan diidentifikasi untuk digunakan sebagai bahan menganalisis pokok permasalahan dalam penelitian ini. Identifikasi bahan hukum primer, sekunder maupun tertier dilakukan secara kritis, logis dan sistematis, dikumpulkan berdasarkan sistem kartu (card system), hal ini dilakukan untuk mempermudah proses pengolahan bahan hukum tersebut, dengan demikian bahan hukum akan disusun dan dikelompokkan menurut bentuk, jenis dan tingkatannya. Adapun bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang berasal dari Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 29 Tahu 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kehakiman yang digunakan untuk mempertajam analisis yang dilakukan yang ada hubungan dengan permasalahan yang dibahas.b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan hukum yang diperoleh dari bahan-bahan pendukung yang menjelaskan bahan hukum primer yaitu dengan mempelajari buku-buku dan literatur ilmiah lainnya yang ada relevansi dengan penulisan tesis ini.c. Bahan hukum tertier adalah bahan yang dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti Black Law Dictionary, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan sebagainya.4. Analisis bahan hukumYaitu semua bahan hukum yang telah dikumpulkan baik itu bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang berhubungan dengan kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit serta bahan hukum tertier diseleksi dan dinilai dari aspek hukum, apakah bahan hukum tersebut ada hubungan dan memperkuat serta mendukung jawaban atas permasalahan yang berhubungan dengan pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan Rumah Sakit. Bahan hukum yang telah diseleksi dan ada hubungan dengan permasalahan tersebut diklasifikasi sesuai dengan tingkat relevansinya.Bahan hukum kemudian dianalisis dan dikaji dan menarik kesimpulan dari semua permasalahan yang dibahasi, kajian dilakukan sedemikian rupa sehingga menggambarkan permasalahan dan pemecahannya secara jelas dan komprehensif.

F. Sistematika PenulisanDalam upaya memberikan pedoman dalam penelitian dan penulisan serta untuk memberikan gambaran bagaimana penulisan dan laporan dilakukan, maka disusun sistematika penulisan sebagai berikut:1. Bab I tentang Pendahuluan. Dalam bab ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.2. Bab II tentang Tinjauan Umum Tentang Rumah Sakit. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang pengertian dan pembagian rumah sakit , sejarah rumah sakit, rumah sakit sebagai lembaga bisnis, rumah sakit dalam konteks hospital laws dan hospital by laws, kepastian hukum dalam penyelenggaraan rumah sakit serta karakteristik hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit.3. Bab III tentang Gambaran Umum Tentang Kewajiban dan Hak Antara Pasien dengan Rumah Sakit. Dalam bab ini akan dipaparkan tentang pengertian tentang kewajiban dan hak pasien dengan rumah sakit, pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit, hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit serta tanggung jawab rumah sakit secara hukum terhadap pasien. 4. Bab IV tentang Kewajiban dan Hak Antara Pasien dengan Rumah Sakit dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit. Dalam bab ini akan dipaparkan pengaturan tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, kepastian hukum tentang kewajiban dan hak antara pasien dengan rumah sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.5. Bab V tentang Penutup. Dalam bab ini akan diuraikan tentang kesimpulan berdasarkan temuan dari pengolahan bahan hukum, dan pengajuan saran yang berhubungan dengan pengaturan kewajiban dan hak antara pasien dengan Rumah Sakit dalam perspektif Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

BAB IITINJAUAN UMUM TENTANG RUMAH SAKIT

A. Pengertian dan Pembagian Rumah SakitRumah sakit didirikan dan diselenggarakan dengan tujuan utama untuk memberikan pelayanan kesehatan dalam bentuk asuhan perawatan, tindakan medis dan diagnostik serta upaya rehabilitasi medis untuk memenuhi kebutuhan pasien. Pemenuhan kebutuhan untuk pasien harus didasarkan atas batas-batas kemampuan rumah sakit.Dalam tatanan atau sistem kesehatan nasional rumah sakit menjadi salah satu unsur untuk dapat menjawab tujuan pembangunan kesehatan yaitu untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Bahkan rumah sakit dewasa ini dijadikan sebagai salah satu bentuk tingkat kemajuan bidang kesehatan di suatu negara, oleh karena itu jika suatu rumah sakit memiliki tenaga kesehatan yang kompeten dan lengkap serta didukung oleh prasarana dan sarana yang menunjang maka akan menjadi tujuan utama masyarakat apalagi jika tingkat keberhasilan dalam melakukan upaya kesehatan akan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap rumah sakit tersebut.Menurut anggaran dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) rumah sakit adalah suatu sarana dalam mata rantai sistem kesehatan nasional yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat. Rumah sakit mengemban tugas mulia yaitu memberikan pelayanan kesehatan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkan. Sedangkan menurut panitia etika rumah sakit sebagaimana yang dikutip oleh Endang Kusuma Astuti, rumah sakit adalah suatu sarana yang merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang menjalankan rawat inap, rawat jalan dan rehabilitasi berikut segala penunjangnya.[footnoteRef:18] Dalam hal ini lebih ditekankan tentang sistem pelayanan yang umum dilakukan oleh rumah sakit yaitu menjalankan rawat inap, rawat jalan dan rehabilitasi berikut segala penunjangnya seperti sumber daya manusia, prasarana dan sarana, keuangan, manajemen dan sebagainya. Rumah sakit menurut American Hospital Association sebagaimana dikutip oleh Wiku Adisasmito: [18: Endang Kusuma Astuti, Op.Cit., hal. 51.]

Rumah sakit adalah suatu organisasi tenaga medis professional yang terorganisasi serta sarana kedokteran yang permanen dalam menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis, serta pengobatan penyakit yang diderita oleh pasien.[footnoteRef:19] [19: Wiku Adisasmito, Sistem Manejemen Lingkungan Rumah Sakit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 1.]

Dari pengertian rumah sakit tersebut memberi makna bahwa rumah sakit merupakan kumpulan dari tenaga medis yang membentuk suatu organisasi dalam suatu sarana yang bersifat permanen untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang berkesinambungan terhadap pasien. Rumah sakit menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam hal ini rumah sakit dimaksudkan sebagai sarana kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap diri seseorang dan dilakukan secara paripurna, selain menyelenggarakan rawat inap dan rawat jalan juga menjalankan pelayanan kegawatdaaruratan.Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan Nomor 031/Birhup/1972 Tentang Rumah Sakit Pemerintah, rumah sakit adalah suatu kompleks atau ruangan yang dipergunakan untuk menampung dan merawat orang sakit atau bersalin, kamar-kamar orang sakit yang berada dalam satu perumahan khusus seperti rumah sakit khusus, rumah sakit bersalin, lembaga masyarakat, kapal laut. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 983/1992 yang dimaksud dengan rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang menyelenggarakan kegiatan kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian. Fokus pengertian menurut keputusan menteri tersebut adalah rumah sakit selain berfungsi sebagai sarana pelayanan kesehatan juga berfungsi untuk kepentingan pendidikan dan penelitian ilmu kedokteran, ilmu kedokteran sebagai salah satu ilmu terapan selain tenaga kesehatan dituntut untuk memiliki ilmu pengetahuan yang baik tentang kesehatan juga harus ditunjang dengan tingkat keterampilan yang baik pula apalagi dewasa ini semakin banyak muncul penyakit yang belum ada obat dan standar upaya penangannya perlu adanya pelatihan dan penelitian untuk menjawab permasalahan tersebut, oleh karena itu untuk menciptakan tenaga kesehatan yang kompeten harus ditetapkan rumah sakit sebagai lembaga penelitian dan pendidikan bagi calon tenaga kesehatan. Menurut peneliti rumah sakit adalah suatu sarana yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang bersifat sosial maupun bisnis kepada masyarakat yang didukung oleh sumber daya menusia, sarana dan prasarana yang memadai untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.Dari beberapa definisi rumah sakit tersebut maka dapat dipetik kesimpulan bahwa rumah sakit memiliki unsur-unsur:1. Sarana pelayanan kesehatan, pendidikan dan penelitian2. Memiliki sumber daya manusia, prasarana dan sarana serta penunjang lainnya3. Menyelenggarakan pelayanan rawat inap, gawat darurat dan rawat jalan4. Dilaksanakan secara terorganisir5. Menjalankan fungsi sosial dan bisnisMenurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 031/Birhup/1972, rumah sakit ditinjau dari sudut kepemilikan dibagi menjadi 2 (dua) macam yaitu:a. Rumah Sakit pemerintah yang dikelola oleh :1). Departemen Kesehatan2). Departemen Dalam Negeri3). Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan4). Badan Usaha Milik Negara (BUMN). b.Rumah Sakit swasta yang bersifat:1). Yang bukan mencari keuntungan (not for profit) dan2). Yang bersifat mencari keuntungan (for profit)Rumah sakit pemerintah adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh badan-badan pemerintah, didanai secara penuh oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah serta tenaga kesehatannya diangkat dan diawasi langsung oleh pemerintah serta didirikan untuk memberikan pelayanan secara menyeluruh kepada masyarakat dan lebih cenderung berfungsi sosial. Rumah sakit swasta adalah rumah sakit yang didirikan oleh pihak swasta atau nonpemerintah, yaitu oleh orang perorangan ataupun oleh badan hukum yang lazim dalam bentuk yayasan dan bertujuan mencari keuntungan. Selain itu rumah sakit ada yang didirikan oleh organisasi keagamaan. Menurut Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, rumah sakit dikategorikan menjadi 2 (dua) yaitu:1. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan : Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus (Pasal 19 ayat (1).2. Berdasarkan pengelolaannnya : Rumah Sakit Publik dan Rumah Sakit Privat (Pasal 20 ayat (1). Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang menyelenggarakan banyak jenis layanan kesehatan, seperti layanan kesehatan umum, bedah, mata, kebidanan, anak, THT, jantung dan sebagainya. Sedangkan rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan khusus penyakit tertentu seperti rumah sakit jantung, rumah sakit stroke, rumah sakit jiwa, rumah sakit kanker dan sebagainya. Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh pemerintah sedangkan rumah sakit privat adalah rumah sakit yang diselenggarakan oleh nonpemerintah. Selain itu dikenal Rumah Sakit Pendidikan yaitu ru mah sakit yang menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi dokter, pendidikan kedokteran berkelanjutan dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya (Pasal 23 Ayat (1).Rumah sakit juga diklasifikasi berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit (Pasal 24), klasifikasi tersebut adalah:1. Rumah Sakit kelas (tipe) A adalah rumah sakit yang menyediakan pelayanan medis spesialistik luas dan subspesialistik yang luas.2. Rumah Sakit kelas (tipe) B adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan medis spesialistik luas dan subspesialistik terbatas.3. Rumah Sakit kelas C (tipe) adalah rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan medis spesialistik minimal untuk vak besar yaitu penyakit dalam, kesehatan anak, bedah dan obstetric-ginekologi.4. Rumah Sakit kelas (tipe) D adalah rumah sakit yang menyediakan pelayanan dasar oleh dokter umum.Pelayanan medis spesialistik seperti spesialis bedah, spesialis kandungan, spesialis anak, spesialis mata, spesialis penyakit dalam dan sebagainya, sedangkan sub spesialis dari spesialistik kandungan contohnya adalah sub spesialis onkologi yaitu kanker kandungan, tumor kandungan dan sebagainya.

B. Sejarah Rumah Sakit

Menurut Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle bahwa sejarah adalah mempelajari perjalanan waktu masyarakat di dalam totalitasnya.[footnoteRef:20] Rumah sakit adalah salah satu lembaga yang mengalami perkembangan sejalan dengan perjalanan waktu masyarakat, untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang rumah sakit maka akan peneliti ungkapkan sejarah rumah sakit. Sejarah rumah sakit menurut Karyadi dalam tulisannya yang berjudul Rumah Sakit adalah sebagaimana yang tertuang di bawah ini. [20: Emeritus John Gilissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, Refika Aditama, Bandung, 2007, hal. 119.]

Dalam sejarah, antara kepercayaan dan pengobatan memiliki hubungan yang erat, tempat pengobatan orang sakit pertama kali dilaksanakan di kuil Mesir, kuil yang berfungsi sebagai sarana ibadah juga berfungsi sebagai tempat pengobatan, demikian juga kuil Asclepius di Yunani juga memberikan pengobatan kepada orang sakit yang kemudian dicontoh oleh bangsa Romawi sebagai kepercayaan. Kuil kepercayaan untuk Asclepius dibangun pada tahun 291 SM di Tanah Tiber Roma yang hampir sama dengan kepercayaan bangsa Romawi. Institusi yang spesifik untuk pengobatan pertama kali ditemukan di India, Rumah Sakit Brahmanti pertama kali didirikan di Srilangka pada tahun 431 SM, kemudian Raja Ashoka juga mendirikan 18 rumah sakit di Hindustan pada tahun 230 SM dengan dilengkapi tenaga medis dan perawat yang dibiayai kerajaan. Rumah sakit pertama yang melibatkan konsep pengajaran pengobatan dengan mahasiswa yang diberikan oleh tenaga ahli adalah Akademi Gundishapur di Kerajaan Persia.Bangsa Romawi menciptakan pengobatan untuk para budak, gladiator dan prajurit sekitar 100 tahun SM, adopsi kepercayaan Kristiani turut mempengaruhi pelayanan medis di sana. Konsili Nicea I pada tahun 325 memerintahkan pihak gereja untuk memberikan pelayanan kepada orang-orang miskin, sakit, janda dan musafir. Setiap satu katedral di setiap kota harus menyediakan satu pelayanan kesehatan salah satunya adalah Saint Sampson di Konstantinopel dan Basil. Bangunan ini berhubungan langsung dengan bangunan gereja dan disediakan pula tempat terpisah untuk penderita lepra.Rumah sakit abad pertengahan di Eropa juga mengikuti pola tersebut, di setiap tempat peribadahan biasanya terdapat pelayanan kesehatan oleh pendeta dan suster, namun beberapa di antaranya terpisah dari tempat peribadahan demikian pula rumah sakit yang terspesialisasi untuk penderita lepra, kaum miskin atau musafir.Rumah sakit dalam sejarah Islam memperkenalkan standar pengobatan tinggi pada abad ke-8 hingga abad ke-12, rumah sakit pertama kali didirikan pada abad ke-9 hingga ke-10 mempekerjakan 25 staf pengobatan dan perlakuan pengobatan berbeda untuk penyakit yang berbeda pula. Rumah sakit yang didanai pemerintah muncul pula dalam sejarah Tiongkok pada awal abad ke-10. Perubahan rumah sakit menjadi lebih sekuler di Eropa terjadi pada abad ke-16 hingga abad ke-17 tetapi baru pada abad ke-18 rumah sakit modern pertama dibangun dengan hanya menyediakan pelayanan dan pembedahan medis. Inggris pertama kali memperkenalkan konsep ini, Guy,s hospital didirikan di London pada tahun 1724 atas perintaan seorang saudagar kaya Thomas Guy. Rumah sakit yang dibiayai swasta seperti ini kemudian menjamur di seluruh Inggris Raya. Di koloni Inggris di Amerika kemudian berdiri Pennsylvania General Hospital di Philadelphia pada tahun 1751, setelah terkumpul sumbangan. Di Eropa daratan rumah sakit biasanya dibiayai oleh dana publik, namun secara umum pada pertengahan abad ke-19 hampir seluruh negara di Eropa dan Amerika Utara telah memiliki keberagaman rumah sakit. Pada tahun 1919, dr. N.F. Liem menggagas untuk mengganti dan menggabungkan Rumah Sakit Kota (Stadverband Ziekenhuis) dengan Rumah Sakit Kota Pembantu (Hulp Stadverband Ziekenhuis) di Semarang menjadi Centrale Begrliijke Ziekenninricting yang dikenal dengan nama CBZ. Pada tanggal 9 September secara resmi CBZ berdiri setelah memakan waktu 5 tahun pembangunan sejak tahun 1920 dengan kapasitas 500 tempat tidur dalam bangsal-bangsal besar yang dapat menampung 45 tempat tidur. Ooiman Van Leeuwen dan Opzichter sebagai perencana serta Bapak Wijanarko sebagai pelaksana jauh sebelumnya telah merancang pemisahan antara poliklinik dan ruang rawat inap di samping membangun asrama, dapur, pencucian, laboratorium, kamar obat, kantor administrasi dan garasi. Perumahan dokter dan karyawan dibangun mengelilingi rumah sakit sengaja untuk efisiensi dan mempermudah pelayanan gawat darurat pada masa lalu. Pada awal berdirinya tersedia beberapa ahli di bidang penyakit dalam, bedah, kebidanan dan penyakit kandungan, serta mengutamakan fungsi pelayanan medis berupa pengobatan kuratif dan fungsi pendidikan paramedis. Dalam perkembangan selanjutnya rumah sakit diklasifikasi berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit.

C. Rumah Sakit Sebagai Lembaga Bisnis

Pada konsep awal rumah sakit merupakan sebuah lembaga sosial yang mengedepankan fungsi dan tanggung jawab sosial dan dilaksanakan dengan pertimbangan kemanusiaan untuk kesejahteraan masyarakat, dengan demikian Rumah Sakit bukan merupakan lembaga bisnis tetapi merupakan lembaga moral yang nonprofit yang bergerak di bidang pelayanan kesehatan. Seiring dengan perkembangan alam fikiran masyarakat dewasa ini rumah sakit pada konsep awal semata-mata melakukan pelayanan kesehatan yang bersifat sosial mengalami perubahan, hal ini disebabkan semakin sulit rumah sakit mendapatkan biaya yang berasal dari sumbangan para dermawan untuk menopang operasional rumah sakit ditambah dengan tingginya biaya operasional yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit, sehingga biaya operasional lebih tinggi dibandingkan pemasukan, kondisi demikian dapat mengancam eksistensi dari rumah sakit itu sendiri. Atas dasar alasan tersebut maka pendiri/pengelola rumah sakit membuat kebijaksanaan yaitu biaya yang diperlukan untuk melakukan upaya kesehatan dibebankan kepada pasien. Kondisi demikian tidak dapat dihindari oleh rumah sakit terutama bagi rumah sakit swasta untuk kelangsungan operasional rumah sakit dan nasib tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit maka kecenderungan ini tidak dapat dihindari, di sisi lain pembiayaan operasional rumah sakit tidak mungkin digantungkan secara penuh kepada keuangan pemerintah dan donator.Dewasa ini daerah memacu untuk menggali Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari berbagai sektor termasuk sektor pelayanan kesehatan. Dengan dijadikannya rumah sakit pemerintah sebagai salah satu sektor yang dapat menggenjot pendapatan maka fungsi rumah sakit menjadi berfungis bisnis. Dalam konteks ini perlu dilakukan pendakatan yuridis formal bahwa rumah sakit merupakan salah satu jenis pelayanan publik yang mempunyai tanggung jawab sosial terhadap kebutuhan masyarakat akan kesehatan. Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warganegara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggaran pelayanan publik. Di dalam pasal 5 ayat (2) diatur bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya. Rumah sakit merupakan salah satu jenis pelayanan kesehatan yang melakukan rangkaian kegiatan pemenuhan kebutuhan jasa pelayanan kesehatan bagi masyarakat, dengan demikian rumah sakit adalah salah satu bentuk pelayanan publik. Tentang penyelenggara pelayanan publik dalam pasal 1 ayat (2) ditegaskan bahwa penyelenggara pelayanan publik yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah setiap institusi penyelenggaraan Negara, kooporasi, lembaga independen yang dibentuk berdasarkan undang-undang untuk kegiatan pelayanan publik, dan badan hukum lain yang dibentuk semata-mata untuk kegiatan pelayanan publik. Hal tersebut berarti bahwa rumah sakit pemerintah termasuk dalam ruang lingkup pelayanan publik yang harus lebih mengedepankan kepentingan sosial, Negara mempunyai tanggung jawab untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, oleh karena itu rumah sakit pemerintah harus tetap berkomitmen untuk mendahulukan kepentingan sosial. Penyelenggara rumah sakit swasta di Indonesia kebanyakan berbentuk yayaan dan badan hukum lain yang bersifat sosial dalam bentuk perkumpulan, secara filosofis rumah sakit swasta dibentuk tidak untuk mencari keuntungan. Di dalam Kode Etik Rumah Sakit Indonesia Tahun 1986 ada pernyataan bahwa rumah sakit sebagai unit sosio-ekonomi tidak semata-mata mencari keuntungan. Hal ini berarti rumah sakit diperbolehkan mencari keuntungan akan tetapi tidak boleh mengutamakan keuntungan tetapi harus berperan sebagai lembaga sosial. Adapun bentuk-bentuk fungsi sosial rumah sakit swasta yaitu:

1. Penyediaan 25% tempat tidur bagi pasien tidak mampu atau miskin2. Membebaskan biaya perawatan pasien yang benar-benar tidak mampu3. Memberikan tariff khusus bagi pasien tidak mampu4. Mengutamakan pertolongan darurat tanpa mempertimbangkan biaya atau uang muka5. Terlibat dalam program pemerintah di bidang kesehatan, misalnya ikut penangulangan bencana.[footnoteRef:21] [21: Lihat Ahdiana Yuni Lestari, Aspek Hukum Komersialisasi Rumah Sakit Swasta Dalam Kaitanya Dengan Pelayanan Kesehatan Yang berfungsi Sosial, Jurnal Hukum Bisnis, hal. 26.]

Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit ada ketentuan yang menegaskan kedudukan rumah sakit sebagai lembaga sosial yaitu dalam pasal 29 ayat (1) huruf f ditegaskan bahwa rumah sakit wajib melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian luar biasa. Berdasarkan hal tersebut undang-undang ini tidak dibedakan kewajiban antara rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta, menurut peneliti dari sisi tanggung jawab sosial ada perbedaan mendasar antara rumah sakit pemerintah dan swasta yaitu:1. Rumah sakit pemerintah wajib menggratiskan pasien tidak mampu/miskin melalui berbagai program, sedangkan bagi rumah sakit swasta hanya menggratiskan biaya perawatan bagi pasien yang benar-benar tidak mampu/miskin, bagi pasien yang tidak mampu/miskin rumah sakit swasta hanya memberlakukan tarif khusus bukan gratis.2. Penyediaan tempat tidur bagi pasien umum dalam bentuk bangsal dan zaal lebih banyak dibandingkan dengan tempat tidur khusus/VIP, sedangkan rumah sakit swasta cenderung menyediakan tempat tidur khusus/VIP lebih banyak dibandingkan tempat tidur umum dalam bentuk bangsal/zaal.3. Rumah sakit pemerintah wajib menyediakan ambulan gratis, rumah sakit swasta tetap membebankan biaya ambulan kepada pasien.4. Rumah sakit pemerintah wajib memberikan pelayanan kesehatan bencana tanpa terkecuali karena ditopang langsung oleh pemerintah, sedangkan rumah sakit swasta memberikan pelayanan kesehatan bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya.Berhubungan dengan fungsi bisnis, ditegaskan dalam pasal 30 ayat (1) yaitu menerima imbalan jasa pelayanan serta menentukan remunerasi, insentif, dan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka pengembangan pelayanan, menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mendapatkan insentif pajak bagi rumah sakit publik dan rumah sakit yang ditetapkan sebagai rumah sakit pendidikan. Menurut peneliti ada perbedaan antara rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta dalam menjalankan fungsi bisnis yaitu:1. Penetapan besarnya imbalan jasa yang harus diberikan oleh pasien kepada rumah sakit ditetapkan oleh pemerintah, sedangkan untuk rumah sakit swasta ditetapkan oleh rumah sakit sendiri.2. Rumah sakit pemerintah tidak bebas untuk menjalin kerjasama dan menerima bantuan dari pihak lain sedangkan rumah sakit swasta memiliki kebebasan untuk menjalin kerjasama dan untuk menerima bantuan dari pihak lain.3. Insentif pajak rumah sakit pendidikan bagi rumah sakit pemerintah ditetapkan oleh pemerintah contohnya ditentukan dalam Perda, sedangkan untuk rumah sakit swasta berdasarkan kesepakatan antara rumah sakit dengan lembaga pendidikan.Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 44 Tahu 2009 Tentang Rumah Sakit ditegaskan bahwa Rumah sakit privat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dikelola oleh badan hukum dengan tujuan provit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero. Dari pasal 21 tersebut dapat dipahami bahwa rumah sakit swasta bertujuan untuk mencari keuntungan dari kegiatan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, jelas bahwa antara rumah sakit publik dan rumah sakit privat memiliki orientasi yang sangat berbeda yaitu rumah sakit publik mengemban tugas sebagai pelayanan sosial sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat sedangkan rumah sakit swasta bertujuan untuk mencari keuntungan. Walaupun demikian menurut peneliti rumah sakit pemerintah dapat saja menjalankan fungsi bisnis untuk mencari keuntungan karena operasional rumah sakit pemerintah dewasa ini tidak dapat menggantungkan subsidi dari pemerintah, demikian pula sebaliknya bagi rumah sakit swasta yang didirikan untuk mencari keuntungan tidak boleh hanya mengedepankan kepentingan bisnis akan tetapi tetap memperhatikan kepentingan sosial sebagai bentuk tanggung jawab moral terhadap kesehatan masyarakat, artinya harus ada keseimbangan antara kedua kedua fungsi tersebut.

Salah satu prinsip bisnis yang dapat dipergunakan oleh rumah sakit adalah konsep balance scorecard yaitu konsep bahwa perusahaan yang sukses tidak hanya mengejar keuntungan saja, tetapi juga berusaha untuk mengejar kepuasan pengguna, pengembangan sumber daya manusia dan proses yang bermutu.[footnoteRef:22] [22: Ibid., hal.27.]

Menurut peneliti konsep ini penting untuk diterapkan di setiap rumah sakit di Indonesia jika didukung oleh komitmen yang kuat dari pemerintah dan penyelenggara rumah sakit.

D. Rumah Sakit Dalam Konteks Hospital Laws dan Hospital By Laws

Istilah hospital Laws terdiri dari dua kata yaitu hospital dan laws, hospital berarti rumah sakit dan law adalah hukum, hospital laws adalah seperangkat kaedah yang mengatur semua aspek yang berkaitan dengan kerumah-sakitan, dibuat oleh badan legislatif, keberadaannya mengikat pemerintah, seluruh rakyat Indonesia dan seluruh rumah sakit, termasuk rumah sakit asing.[footnoteRef:23] Hospital laws berarti segala hukum yang mengatur tentang rumah sakit dan mengikat pemerintah, rakyat terutama rumah sakit. Hukum rumah sakit mengatur semua rumah sakit yang ada tanpa ada kecuali apakah rumah sakit pemerintah, rumah sakit swasta, termasuk juga rumah sakit asing yang didirikan di Indonesia. Hukum rumah sakit juga tidak hanya terbatas oleh aturan yang mengatur khusus tentang rumah sakit akan tetapi semua aturan yang berkaitan dengan penyelenggaraan rumah sakit. Hukum rumah sakit dapat berupa undang-undang, asas-asas hukum pelayanan kesehatan di rumah sakit, peraturan pemerintah dan sebagainya. Pada tingkat undang-undang seperti ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, KUHP, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Pelayanan Publik, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dan sebagainya. Pada tingkat peraturan pemerintah seperti Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 Tentang Tenaga Wajib Simpan Rahasia Kedokteran, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1981 Tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan. Selain itu rumah sakit juga tunduk pada peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti Peraturan Menteri Kesehatan Nomor :585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor:749a/Men.Kes/per/XII/1989 tentang Medical Record dan sebagainya. [23: http://eryrusty.blogspot.com/2009/03/hospital-bylaws.html, diakses tanggal 24 Oktober 2010.]

Rumah sakit dalam konteks hospital laws tidak hanya berpegang dan tunduk terhadap segala bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi juga tunduk kepada asas-asas hukum umum dan asas-asas hukum khusus yang berlaku dalam ruang lingkup pelayanan medis di rumah sakit. Menurut Sudikno Mertokusumo asas hukum dibagi 2 (dua) yaitu asas hukum umum dan asas hukum khusus, asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum seperti asas siapa yang merugikan orang lain harus memberikan ganti rugi, demi kepastian hukum dan sebagainya sedangkan asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit sdalam bidang hukum tertentu seperti asas konsensualisme, asas legalitas dan sebagainya. Scholten mendefinisikan asas hukum adalah:Pikiran-pikiran dasar, yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim, yang berkenaan dengan ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai penjabarannya.[footnoteRef:24] [24: J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal. 11.]

Menurut Scholten asas hukum merupakan pikiran-pikiran dasar dan pikiran-pikiran dasar tersebut dirumuskan secara kongkrit dalam aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Eikema Hommes berpendapat sebagaimana dikutip oleh Alexandra Indriyanti Dewi bahwa asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma-norma hukum yang kongkrit akan tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk bagi hukum yang berlaku.[footnoteRef:25] Eikema Hommes lebih menekankan bahwa asas hukum bukan norma hukum yang nyata tetapi asas hukum menjadi petunjuk bagi hukum yang berlaku. Beberapa contoh asas hukum umum adalah: [25: Alexandra Indriyanti Dewi, Op. Cit., hal.166.]

1. Siapa yang mempunyai kepentingan hukum dapat mengajukan gugatan (point dinteret point daction)2. Hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada/kabur aturan (Non Miquet)3. Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain harus mengganti kerugian tersebut.Dalam pelayanan kesehatan juga berlaku asas hukum khusus, menurut Alexandra Indriyanti Dewi di dalam ilmu kesehatan yang dijadikan dasar dalam pelayanan medis di rumah sakit dikenal beberapa asas yaitu :a). Sa science et sa conscience, ya ilmunya ya hati nuraninya, maksud dari pernyataan asas ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaannya Biasanya digunakan pada pengaturan hak-hak dokter, di mana dokter berhak menolak dilakukannya tindakan medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.b). Agroti Salus Lex Suprema, keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.c). Deminimis noncurat lex, hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Selama kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan menuntut.d). Res Ipsa loquitur, faktanya telah berbicara. Digunakan di dalam kasus-kasus malpraktik di mana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut karena faktanya terlihat jelas.[footnoteRef:26] [26: Ibid., hal. 167.]

Dapat dijelaskan di sini bahwa dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit berlaku asas hukum khusus yaitu Sa science et sa conscience, dokter tidak boleh melakukan upaya kesehatan yang diminta oleh pasien yang bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaan seperti melakukan aborsi atas permintaan pasien, euthanasia dan sebagainya. Agroti Salus Lex Suprema, dokter harus mengakui bahwa keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi dalam arti bahwa dokter harus mengedepankan keselamatan pasiennya dan melakukan upaya maksimal demi keselamatan pasiennya, dalam kondisi yang kritis dokter tidak boleh berfikir lain kecuali mengupayakan keselamatan pasien dan dokter tidak boleh menolak untuk melakukan tindakan penyelamatan nyawa pasien. Deminimis noncurat lex, dalam kesehatan hukum tidak akan mencampuri hal-hal sepele yang menimpa pasien dan tidak merugikan pasien, tenaga kesehatan mungkin melakukan kelalaian seperti lamban melakukan upaya kesehatan terhadap pasien yang tidak parah (emergency) maka hukum tidak akan menuntut, kecuali sebaliknya. Res Ipsa loquitur, dalam hal ini tenaga kesehatan lalai dan atau melakukan kesalahan dalam melakukan tugasnya dan mengkibatkan kerugian fisik seperti cacat permanen atau kematian, atau mengakibatkan gangguan jiwa pasien di mana faktanya jelas maka tidak perlu pembuktian lebih lanjut maka hukum akan bertindak.Di rumah sakit terjadi hubungan hukum antara tenaga kesehatan dan pasien yang dilakukan dalam bentuk hubungan kontraktual, asas hukum dalam hubungan kontraktual adalah:1. Asas konsensual, di mana masing-masing pihak harus menyatakan persetujuannya baik secara eksplisit (lisan) maupun secara implisit (tertulis) seperti dalam bentuk melakukan pendaftaran, memberikan nomor urut atau menjual karcis).2. Asas itikad baik, kedua belah pihak harus memiliki itikad baik dalam menjalin hubungan kontraktual.3. Asas bebas, pada prinsipnya kedua belah pihak mempunyai kebebasan dalam menjalin hubungan kontraktual terutama yang menyangkut hak dan kewajiban, akan tetapi perlu disadari bahwa hubungan terapeutik penuh dengan uncertainly di mana hasil dan resikonya tidak dapat diperhitungkan secara matematik.4. Asas tidak melanggar hukum, walaupun kedua belah pihak boleh mengadakan hubungan kontraktual secara secara bebas tetapi tidak boleh melanggar hukum. Contohnya kedua belah pihak sepakat untuk melakukan aborsi tanpa indikasi medis, hal tersebut tidak boleh dianggap hubungan terapeutik tetapi merupakan pemufakatan jahat. Dokter pun tidak dapat digugat mengganti kerugian atas dasar wanprestasi.5. Asas kepatutan dan kebiasaan, kebiasaan dan kepatutan yang berlaku di dunia kedokteran sedikit berbeda dengan hubungan kontraktual pada umumnya, penghentian upaya kesehatan oleh pasien secara sepihak dapat dilakukan jika kepercayaan kepada tenaga kesehatan telah hilang. Hukum medis bertumpu kepada 2 (dua) asas yaitu:1. Hak atas pelayanan kesehatan (the right to health care)2. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) Hak atas pelayanan kesehatan (the right to health care) menunjukkan bahwa setiap orang berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dalam konteks ini ada unsur tanggung jawab dari Pemerintah untuk menyelenggarakan sarana kesehatan agar kebutuhan masyarakat akan kesehatan dapat terpenuhi dengan baik dan rumah sakit harus dapat menyelenggarakan rumah sakit yang dapat memenuhi standar dan pelayanan kesehatan yang bermutu, rumah sakit tidak boleh menolak untuk melakukan upaya kesehatan. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) merupakan hak dasar pasien bahwa pasienlah yang menentukan apa yang harus dilakukan oleh rumah sakit terhadap dirinya dan rumah sakit tidak boleh melakukan apa yang tidak diinginkan atau tidak ada izin dari pasien yang bersangkutan. Kedua asas tersebut menjadi dasar pelaksanaan hukum medis di rumah sakit.Dengan demikian di dalam rumah sakit dalam konteks hospital laws selain berlaku semua peraturan yang berhubungan dengan rumah sakit juga berlaku asas hukum yang bersifat umum dan asas hukum khusus yang bertujuan agar penyelenggaraan rumah sakit tetap dalam koridor aturan dan asas hukum yang berlaku.Hospital by laws adalah peraturan yang dibuat sepihak oleh rumah sakit, berlaku di rumah sakit yang bersangkutan, mengikat semua pihak yang berinteraksi dengan rumah sakit (staf manajemen, para professional, karyawan, pasien dll). Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 29 huruf r Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit yang mengatur bahwa setiap rumah sakit mempunyai kewajiban menyusun dan melaksanakan peraturan internal rumah sakit (hospital by laws). Hospital by laws berfungsi untuk mengatur kewenangan dan tanggungjawab pemilik, direksi dan tenaga kerja dalam rumah sakit, mengatur hak dan kewajiban semua pihak yang berinteraksi dengan rumah sakit dan mengatur tata laksana menjalankan tugas, wewenang, kewajiban dan hak serta sebagai pedoman bagi rumah sakit dalam penyelenggaraan rumah sakit. Sedangkan kegunaan hospital by laws adalah:1. Sebagai pedoman intern rumah sakit2. Sebagai pedoman bagi pihak ekstern yang berunteraksi dengan rumah sakit termasuk pasien3. Sebagai sarana untuk menjamin efentifitas, efisiensi dan mutu bagi pelaksanaan tugas dan kewajiban rumah sakit4. Sebagai syarat untuk keperluan akreditasi5. Sebagai sarana perlindungan hukum bagi semua pihak6. Sebagai acuan dalam penyelesaian sengketa atau konflik Adalah menjadi kewajiban bagi rumah sakit untuk dapat mematuhi semua pedoman penyelenggaraan rumah sakit baik itu dalam konteks hospital laws maupun dalam konteks hospital by laws.

E. Kepastian Hukum Dalam Penyelenggaraan Rumah SakitDengan adanya hospital laws dan hospital by laws bertujuan agar penyelenggaraan rumah sakit tetap tunduk terhadap peraturan yang berlaku baik ketentuan hukum umum sebagaimana yang diatur dalam KUHP dan KUHPerdata, ketentuan hukum khusus yang mengatur tentang kesehatan dan rumah sakit serta peraturan intern rumah sakit. Dengan kondisi tersebut diharapkan agar segala peraturan dan ketentuan yang mengatur tentang penyelenggaraan rumah sakit memberikan kepastian hukum baik bagi masyarakat maupun rumah sakit itu sendiri.Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa tujuan hukum adalah terpelihara dan terjaminnya keteraturan (kepastian) dan ketertiban. Tanpa keteraturan dan ketertiban, kehidupan manusia yang wajar memang tidak mungkin.[footnoteRef:27] Kepastian hukum menurut Faisal adalah perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara[footnoteRef:28]. Kepastian hukum menurut peneliti adalah peraturan yang dimuat secara pasti dan jelas dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dapat menjamin tidak adanya keragu-raguan dalam penerapan hukum. Dengan adanya kepastian hukum akan tercipta tindakan yang selalu terkendali dalam koridor hukum bagi masyarakat maupun penguasa. UUD 1945 Pasal 28D angka (1) menegaskan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, dengan demikian UUD 1945 mengamanatkan bahwa salah satu hak setiap orang adalah memperoleh kepastian hukum, kepastian hukum mutlak dibutuhkan oleh negara yang berdasarkan atas hukum. Kepastian hukum sering dipertentangkan dengan keadilan yaitu dalam upaya mencapai kepastian hukum apakah rasa keadilan dikesampingkan atau dalam mencapai rasa keadilan apakah harus mengenyampingkan asas kepastian hukum. Idealnya rasa keadilan harus sejalan dengan kepastian hukum, kedua unsur tersebut harus saling mengisi yaitu keadilan yang berdasarkan kepastian hukum dan kepastian hukum yang berdasarkan rasa keadilan. Arief Hidayat menyatakan bahwa hukum harus memenuhi rasa keadilan dan membahagiakan seluruh masyarakat, selain mengandung kepastian hukum.[footnoteRef:29] Selanjutnya Arief Hidayat menyatakan bahwa konsep negara hukum mencakup empat tuntutan dasar, yakni kepastian hukum, hukum berlaku sama bagi seluruh penduduk, adanya legitimasi demokrasi dalam pembuatan hukum, dan menjunjung tinggi martabat manusia. Erman Rajagukguk menyatakan bahwa kepastian hukum adalah prasyarat berhasilnya pembangunan.[footnoteRef:30] Di dalam negara yang sedang membangun unsur kepastian hukum menjadi salah satu kunci keberhasilan pembangunan karena dalam kondisi tersebut berlakunya aturan yang pasti akan memantapkan langkah pembangunan yang banyak melibatkan pihak dalam negeri dan luar negeri serta mencakup banyak sisi kehidupan manusia, oleh sebab itu unsur kepastian hukum menjadi prasyarat berhasilnya pembangunan suatu negara, Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa: [27: Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1999, hal. 50. ] [28: Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Mata Padi Presindo, Yogyakarta, 2010, hal. 81.] [29: Lihat Arief Hidayat, Kepastian Hukum Harus Sejalan Dengan Rasa Keadilan, http://www. antaranews.com/berita, diakses 4 September 2010.] [30: Lihat Erman Rajagukguk, Kepastian Hukum, http://www.legalitas.org, diakses 4 September 2010. ]

Dalam hukum harus ada keadilan dan kepastian hukum, kepastian hukum itu penting agar orang tidak bingung. Tapi keadilan dan kepastian hukum itu sendiri merupakan dua sisi mata uang, keadilan dan kepastian hukum tidak perlu dipertentangkan. Kalimatnya jangan kita potong : keadilan yang pasti identik dengan kepastian yang adil. [footnoteRef:31] [31: Lihat Jimly Assiddiqie, Keadilan, Kepastian Hukum dan keteraturan, http://www.suarakarya-online.com/news. diakses 4 September 2010.]

Menurut beliau di dalam suatu produk hukum harus memuat unsur keadilan dan kepastian hukum, tujuan kepastian hukum adalah agar orang tidak bingung, tidak ragu ataupun salah menafsirkan suatu peraturan yang berlaku. Jika salah menafsirkan dapat mengakibatkan suatu keputusan hukum akan jauh dari rasa keadilan, oleh karena itu beliau menyatakan bahwa antara keadilan dan kepastian hukum adalah dua sisi mata uang. Dikatakan adil jika berdasarkan aturan yang pasti, dikatakan pasti jika telah memuat unsur rasa kedilan, artinya kedua unsur tersebut harus seimbang. Fungsi hukum dan asas-asas dasar negara hukum adalah:Asas kepastian hukum, warga masyarakat bebas dari tindakan pemerintah dan pejabatnya yang tidak dapat diprediksi dan sewenang-wenang. Implementasi asas ini menuntut dipenuhinya :- Syarat legalitas dan konstitusionalitas, tindakan pemerintah dan pejabatnya bertumpu pada perundang-undangan dalam kerangka konstitusi- Syarat Undang-Undang menetapkan berbagai perangkat aturan tentang cara pemerintah dan para pejabatnya melakukan tindakan- Syarat perundang-undangan hanya mengikat warga masyarakat setelah diundang dan tidak berlaku surut (Non Retroaktif).- Asas peradilan bebas terjaminnya obyektifitas, imparsialitas, adil dan manusiawi.- Asas bahwa Hakim tidak boleh menolak mengadili perkara dengan alasan hukum tidak ada atau tidak jelas (Asas Non Miquet).[footnoteRef:32] [32: Lihat M. Choliq, Fungsi Hukum dan Asas-asas Dasar Negara Hukum, http://www.suara karya-online.com/news. Diakses 4 September 2010.]

Hal yang penting dari pendapat tersebut adalah bahwa asas kepastian hukum bertujuan agar masyarakat terhindar dari tindakan pejabat yang dapat bertindak sewenang-wenang karena tidak adanya aturan yang mengatur, oleh karena itu tindakan pejabat harus bertumpu pada aturan yang berlaku. Di sisi lain di dalam hukum berlaku asas bahwa hakim tidak boleh menolak suatu perkara karena alasan hukumnya tidak ada atau tidak jelas (Asas Non Miquet). Asas Non Miquet menjadi dasar penting dalam mengatasi permasalahan kekosongan hukum, artinya hakim harus selalu siap dan tidak boleh menolak perkara yang masuk dan harus tetap memprosesnya, selanjutnya tugas hakimlah untuk menemukan hukum untuk menangani perkara-perkara tersebut, agar tidak terjadi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh hakim dalam menemukan hukum. Menurut peneliti sebaiknya hukum yang ada tetap menjamin kepastian hukum agar tindakan hakim tetap dalam koridor hukum dan hakim tidak boleh semaunya menafsirkan atau mencari hukum lain yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan.Walaupun masalah pelayanan kesehatan telah banyak diatur dalam berbagai macam bentuk peraturan perundang-undangan akan tetapi masih ada beberapa ketentuan yang seharusnya diatur tetapi tidak diatur yang sifatnya sangat penting, demikian juga dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit masih ada beberapa hal penting yang seharusnya diatur tetapi tidak diatur dalam undang-undang ini apalagi hal tersebut berhubungan dengan kewajiban dan hak pasien yang telah menjadi isu sentral masyarakat dewasa ini karena tingginya intensitas permasalahan yang timbul antara rumah sakit dan pasien, dengan kondisi demikian akan mempengaruhi kepastian hukum baik bagi rumah sakit maupun pasien. Berpedoman dengan pendapat para ahli dia atas menunjukkan bahwa permasalahan kepastian hukum sangat penting selain agar tidak terjadi kebingungan bagi masyarakat juga dapat mengontrol tindakan pihak tertentu seperti rumah sakit agar tidak out of control, kontrol yang sangat efektif adalah kontrol yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan dan di lain pihak dalam melakukan penegakan hukum tidak akan mengalami permasalahan karena hal tersebut telah diatur secara tegas dalam suatu peraturan perundang-undangan.Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum merupakan unsur penting dalam tatanan hukum suatu negara agar tercapai kedamaian hidup manusia, oleh karena itu setiap peraturan perundang-undangan harus menjamin adanya kepastian hukum bagi setiap orang termasuk Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.

F. Karakteristik Hubungan Hukum Antara Pasien Dengan Rumah Sakit

Kesehatan sebagai satu unsur kebutuhan mendasar bagi manusia tidak dapat menghindar dari aspek hukum karena hubungan antar tenaga kesehatan dengan pasien merupakan hubungan antar subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum, ditambah semakin meningkatnya kasus-kasus yang terjadi dalam bidang kesehatan terutama adanya kesalahan, kesengajaan, kelalaian yang mengakibatkan kerugian bagi pasien. Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan dalam menyelenggarakan aktivitasnya mengandung muatan hukum. Suryani Supardan berpendapat bahwa:

Kegiatan pelayanan kesehatan merupakan suatu transaksi yang sering kali berhubungan dengan prestasi, sedangkan di sisi lain, kegiatan ini menimbulkan adanya kontraprestasi atau imbalan. Kegiatan tersebut berlangsung terus menerus sehingga menjadi suatu kebiasaan, yang akhirnya membentuk peraturan, dan terutama mengandung muatan hukum. [footnoteRef:33] [33: Suryani Supardan dan Dadi Anwar Hadi, Etika Kebidanan dan Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta, 2005, hal. 113.]

Pembahasan tentang muatan hukum dalam praktik rumah sakit tidak dapat dipisahkan dari hukum kesehatan, menurut Black Law Dictionary, Hukum kesehatan (health law) adalah law, ordinance, or codes prescribing sanitary standards and regulations, designed to promote and preserve the health of the community.[footnoteRef:34] Yang artinya hukum kesehatan adalah = hukum, peraturan, atau perundang-undangan yang menentukan standar-standar dan peraturan-peraturan, dirancang untuk memajukan dan menjaga kesehatan masyarakat, hukum kesehatan dapat berupa peraturan, perundang-undangan yang berisi tentang standar dan aturan yang bertujuan untuk memajukan dan menjaga kesehatan masyarakat. Menurut H.J.J. Leenen sebagaimana yang dikuti oleh J. Guwandi, hukum kesehatan adalah: [34: Blacks Law Dictionary, 5th ed. 1978.]

Semua peraturan hukum yang berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapannya pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan di sini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan, hukum yurispudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga merupakan sumber hukum.[footnoteRef:35] [35: J. Guwandi, Hukum Medik (Medical Law), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.12.]

Menurut Van Der Mijn hukum kesehatan sebagai kumpulan peraturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga penerapannya kepada hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi.[footnoteRef:36] Jadi hukum kesehatan menyangkut hukum perdata, pidana dan administrasi. H.J.J. Leenen dan Van Der Mijn memfokuskan hukum kesehatan pada peraturan yang mengatur pemberian pelayanan kesehatan yang penerapannya dapat dilaksanakan menurut hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana. Menurut Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI) yang dikutip oleh M. Yusuf Hanafiah dan Amri yang dimaksud dengan hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan dengan langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan dan penerapannya.[footnoteRef:37] Pemeliharaan dan pelayanan kesehatan sangat luas karena dapat dilakukan oleh semua tenaga medis sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan, oleh sebab itu hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum kedokteran/kedokteran gigi, keperawatan, farmasi, Rumah Sakit, kesehatan masyarakat, kesehatan lingkungan, kebidanan dan sebagainya. [36: Ibid., hal. 13.] [37: M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, Op. Cit., hal. 3.]

Selain itu dalam hukum kesehatan juga dikenal istilah hukum medik (medical law) yang sebenarnya pengertiannya berbeda dengan hukum kesehatan, hukum medik (medical law) menurut Van der Mijn sebagaimana dikutip oleh Guwandi adalah hukum yang mempelajari hubungan yuridis di mana dokter menjadi salah satu pihak, adalah bagian dari hukum kesehatan.[footnoteRef:38] [38: J. Guwandi, Op. Cit., hal.13.]

Oleh karena itu dalam praktik pelayanan kesehatan di rumah sakit sering muncul istilah pelayanan medik, sengketa medik, persetujuan tindakan medik, rekam medik dan sebagainya istilah tersebut lebih mengacu kepada hukum medik. Perbedaan antara hukum kesehatan dan hukum medik adalah terletak pada cakupan hukum tersebut, hukum kesehatan lebih luas dari hukum medik, hukum medik merupakan bagian dari hukum kesehatan, hukum medik lebih spesifik mengatur tentang hubungan hukum antara rumah sakit dengan pasiennya. Aspek hukum dalam hubungan antara pasien dan rumah sakit memiliki karakteristik sendiri yaitu:1. Aspek hubungan hukum, hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien terjadi pada saat terjadi kesepakatan antara rumah sakit dan pasien untuk melakukan upaya kesehatan terhadap pasien. Secara khusus hubungan hukum antara pasien dan Rumah Sakit akan dibahas pada bab III.2. Aspek objek perjanjian dalam transaksi terapeutik, berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata diatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian salah satunya adalah mengenai sesuatu hal tertentu (objek perjanjian). Secara umum syarat tersebut juga berlaku dalam hubungan hukum antara pasien dengan rumah sakit yaitu harus ada objek tertentu. Menurut Bahder Johan Nasution:

Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, dikenal adanya dua macam perjanjian yaitu :a. Inspanningverbentenis, yakni perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikanb. Resultaatverbentenis, yakni suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan suatu resultaat, yaitu suatu hasil yang nyata sesuai dengan apa yang diperjanjikan.[footnoteRef:39] [39: Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal. 13.]

Dalam hubungan terapeutik antara pasien dengan rumah sakit yang menjadi objek perjanjian adalah mencari upaya yang maksimal untuk kesembuhan pasien, tenaga kesehatan hanya berkewajiban untuk mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien dengan penuh kesungguhan serta mengerahkan semua ilmu pengetahuan dan perhatiannya untuk kesembuhan pasien.3. Aspek perbuatan hukum, setiap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter baik diagnostik maupun terapeutik selalu mengandung perbuatan hukum, tindakan dokter yang bagaimana yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan hukum dan yang menimbulkan akibat hukum, lebih jelas akan dipaparkan sebagaimana yang tertuang di bawah ini :a. Malpraktik (malpractice)Malpraktik (malpractice) berasal dari kata mal yang berarti buruk dan practice yang berarti tindakan atau praktik, malpraktik berarti tindakan atau praktik yang buruk. Malpraktik dapat berupa:1). Criminal malpractice, malpraktik yang memenuhi unsur pidana, perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela, adanya kesalahan berupa kesengajaan (intentional), kecerobohan (recklessness) ataupun kealpaan (negligence). Menurut Taylor yang dikutip oleh Endang Kusuma Astuti seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila telah memenuhi unsur :a). Duty (kewajiban)b). Dereliction of That Duty (penyimpangan kewajiban)c). Damage (kerugian)d). Direct causal relationship (berkaitan langsung).[footnoteRef:40] [40: Endang Kusuma Astuti, Op. Cit., hal. 193-194.]

2).Civil malpractice, dokter tidak melakukan prestasi sebagaimana yang telah disepakati atau dokter melakukan perbuatan yang melawan hukum. Unsur civil malpractice adalah: a). Dokter melakukan wanprestasi, wanprestasi menurut Subekti adalah:

(1).Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan. (2).Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan. (3).Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat. (4).Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.[footnoteRef:41] [41: Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal. 45.]

Menurut Bahder Johan Nasution, wanprestasi dalam pelayanan kesehatan jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

(1). Hubungan antara dokter dengan pasien terjadi berdasarkan kontrak terapeutik(2).Dokter telah memberikan pelayanan kesehatan yang tidak patut yang menyalahi tujuan kontrak terapeutik(3).Pasien menderita kerugian akibat tindakan dokter yang bersangkutan.[footnoteRef:42] [42: Bahder Johan Nasution, Op.Cit., hal. 63.]

Wanprestasi dalam hubungan antara pasien dengan dokter harus ada kontrak terapeutik, tetapi dokter menyimpang dari tujuan kontrak terapeutik yang disepakati, akibatnya pasien menderita kerugian.b).Dokter melakukan perbuatan melanggar hukum Menurut Wirjono Prodjodikoro perbuatan melanggar hukum adalah:

Bahwa perbuatan itu mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat, apabila peraturan-peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar (langsung), melainkan juga, apabila peraturan-peraturan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar (langsung).[footnoteRef:43] [43: Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal.7.]

Perbuatan melanggar hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi adalah hukum yang lebih luas yaitu melanggar susila, agama dan kesopanan.3) Administrative malpractice, tenaga kesehatan melanggar peraturan yang berlaku seperti persyaratan menjalankan profesi medis, batas kewenangan, kewajiban dan sebagainya, maka tenaga kesehatan tersebut dapat dipersalahkan, contohnya menjalankan praktik tanpa izin, izin kadaluarsa, tidak membuat rekam medis dan sebagainya. Menurut J. Guwandi, dikatakan terdapat malpraktek medis apabila:

a). Adanya sikap-tindak seorang dokter yang: -bertentangan dengan etika, moral dan disiplin -bertentangan dengan hukum -bertentangan dengan standar profesi medis -kekurangan ilmu pengetahuan atau ketinggalan di dalam profesinya yang sudah berlaku umum di kalangan tersebut. b).Menelantarkan, kelalaian, kurang hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap keselamatan pasien, kesalahan yang menyolok, dan sebagainya.[footnoteRef:44] [44: Guwandi, Op. Cit., hal. 31-32.]

b.Kecelakaan Medis (Medical Mishap)Menurut J.Guwandi kelalaian medis dapat dipersalahkan, sedangkan pada kecelakaan medis tidak dapat dipersalahkan, asalkan ini merupakan kecelakaan murni, di mana tidak ada unsur kelalaian.[footnoteRef:45] Dikatakan kecelakaan jika tindakan dokter tersebut sudah sesuai dengan etika profesi dan standar profesi medis tetapi terjadinya kecelakaan tidak dapat dicegah dan terjadinya tidak diduga sebelumnya. [45: Ibid., hal. 25.]

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa dari aspek perbuatan melanggar hukum konsepnya sama dengan perbuatan melanggar hukum secara umum di mana perbuatan tersebut mengandung akibat hukum, tindakan dokter kemungkinan dapat terjadi kelalaian, malpraktik yang dapat dikategorikan dapat dipersalahkan dan akan berakibat hukum baik secara administrasi, perdata maupun pidana. Akan tetapi perbuatan yang dikategorikan sebagai kecelakaan, tenaga kesehatan tidak dapat dipersalahkan karena tindakan tersebut telah dilakukan sesuai dengan kode etik dan standar profesi dan akibatnya tidak dapat dihindari dan tidak diduga sebelumnya.4. Aspek beban pembuktianSalah satu unsur penting dalam permasalahan hukum kesehatan adalah tentang pembuktian mengingat tidak mudah begitu saja untuk pembuktian dalam kasus-kasus hukum kesehatan :a. Pada criminal malpractice pembuktiannya didasarkan atas dipenuhi atau tidaknya unsur pidana, yaitu:1). Melawan hukum2). Kemampuan bertanggungjawab3). Kesalahan4). Hubungan kausal antara tindakan dengan akibat yang ditimbulkan5). Ada tidaknya alasan pemaafKesalahan merupakan unsur yang penting dalam hukum pidana karena menyangkut pertanggungjawaban, menurut. Sahuri Lasmadi Sebab asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah tidak di pidana jika tidak ada kesalahan (geen straf Zonder Schuld; Acrus non facit reum nisi mens sir rea).[footnoteRef:46] [46: Sahuri Lasmadi, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam perspektif Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia, Disertasi Doktor Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2003, hal.116. ]

Sedangkan unsur-unsur kesalahan dalam hukum pidana adalah apabila suatu perbuatan :1). Bersifat bertentangan dengan hukum2). Akibatnya dapat dibayangkan3). Akibatnya dapat dihindari4). Perbuatan tersebut dapat dipersalahkanb.Pada civil malpractice, diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata yaitu: tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian, dikatakan civil malpraktik jika memenuhi unsur-unsur: 1).Pasien harus mengalami suatu kerugian2).Ada kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan3)Ada hubungan kausal antara kesalahan dan kerugian4).Perbuatan itu melawan hukumSedangkan cara untuk melakukan pembuktian dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yaitu:1). Secara langsung yaitu dengan membuktikan unsurnya secara langsung yaitu unsur kewajiban, menelantarkan kewajiban, rusaknya kesehatan, dan adanya hubungan langsung antara tindakan menelantarkan kewajiban dengan rusaknya kesehatan.2).Secara tidak langsung yaitu dengan cara mencari fakta-fakta yang membuktikan adanya kesalahan di pihak dokter berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor (The Think Speaks for it Self), fakta tersebut adalah fakta yang tidak mungkin terjadi jika dokter tidak lalai, fakta yag terjadi berada di bawah tanggung jawab dokter, pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu.Dalam hukum pidana beban pembuktian terletak pada pihak penuntut umum, tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66 KUHAP), sedangkan dalam hukum perdata pada beberapa keadaan dapat diberlakukan pembalikan beban pembuktian, Kedua belah pihak berada pada kedudukan yang sama beban pembuktian berada pada pihak penggugat. Dalam kenyataan penggugat sangat sulit mendapatkan bukti-bukti karena pada umumya pasien awan dalam permasalahan medis. di pihak lain dokter enggan untuk memberikan bukti dan fakta yang objektif, oleh karena itu berdasarkan prinsip Res Ipsa Loquitur dapat diberi kesempatan kepada tergugat untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah (pembuktian terbalik). Chrisdiono M.Achadiat menegaskan bahwa:

Doktrin Res Ipsa Loquitur tidaklah membuktikan sesuatu, melainkan hanya memberikan suatu kemungkinan terbatas untuk memindahkan beban pembuktian dari penggugat kepada tergugat sehingga tidak dapat diterapkan secara otomatis. Dengan penerapan doktrin ini sebenarnya pembuktian oleh pasien sebagai penggugat tidaklah diperlukan lagi karena kesalahan/kelalaian yang terjadi telah sedemikian jelasnya.[footnoteRef:47] [47: Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman, EGC, Jakarta, 2006, hal. 67.]

Dengan demikian dalam kasus sengketa medik pembuktiannya dapat dibebankan kepada tergugat untuk membuktikan bahwa tindakan yang dilakukannya benar (pembuktian terbalik) karena penggugat belum tentu menguasai permasalahan medik asalkan kesalahan tersebut sang